KEMAMPUAN KOLOM GELEMBUNG PANCARAN (JET BUBBLE COLUMN) UNTUK MEREDUKSI KANDUNGAN GAS CO2 Setiadi, Hantizen, Nita Tania H., Bambang Heru S., Dijan Supramono Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus Baru UI, Depok 16424, E-mail :
[email protected]
Abstrak
Kolom gelembung pancaran merupakan salah satu alat peralatan kontak antar fasa gas dan cair, dapat diaplikasikan untuk membantu menurunkan emisi gas CO2. Penelitian ini bermaksud mempelajari studi hidrodinamika dan laju reaksi penyerapan untuk menentukan kinerja jet bubble column. Desain alat yang digunakan berupa kolom adsorber dan serangkain kolom absorber (Jet Bubble Column) dengan masing-masing tinggi kolom sebesar 100cm dan diameter kolom sebesar 11cm berisi larutan KOH 0,05M sebanyak 8 liter. Sampel gas CO2 dianalisa dengan menggunakan Kromatograpi Gas(GC). Berbagai variabel: ukuran diameter nozzle(Dn=7,2mm; 9,3mm; dan 12,1mm) dan laju alir volumetrik cairan(QL): 13,25 -25,8 L/min. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin besar laju alir volumetrik cairan dan laju alir volumetrik gas menghasilkan konstanta kinetika reaksi dan luas kontak antar fasa gas-cair yang semakin besar. Penggunaan Dn = 12.1 mm dengan QL = 0.3526 L/det didapatkan harga laju konstanta laju absorpsi, k = 1.4x10-1 dan luas kontak antar fasa a = 4492.30 m2/m3, sedangkan Dn = 9.3 mm dengan QL = 0.3711 L/det didapatkan harga k = 2.98x10-1 dan a = 1518.3 m2/m3. Dapat disimpulkan bahwa semakin besar laju aliran cairan, distribusi gelembung pada kolom absorpsi akan semakin mengarah pada ukuran gelembung yang semakin besar pada penggunaan diameter nozzle yang sama. Penggunaan ukuran diameter nozzle yang sama memberikan pola distribusi gelembung dengan puncak persentasi populasi yang sama pula.
1. Pendahuluan Pengembangan peralatan proses untuk membersihkan udara dalam ruang yang mengandung zat-zat polusi udara dan untuk mengurangi kekurangan yang dimiliki kolom adsorpsi, maka dilakukan penggabungan dengan teknologi absorpsi yang menggunakan jet bubble column. Proses absorpsi menggunakan jet bubble column sangat efisien untuk alat kontak antara fasa gas dan cair. Hal ini ditunjukkan dari besarnya luas kontak yang dimiliki jet ejector (1000~7000 m2/m3) jika dibandingkan dengan kolom gelembung (~20 m2/m3), spray column (10~100 m2/m3), packed column (~200 m2/m3), tangki berpengaduk mekanik (~200 m2/m3), dan bahkan plate column (100~400 m2/m3). Dan dari nilai koefisien perpindahan massa yang tercapai, untuk jet ejector nilai koefisien perpindahan massanya sebesar 4 ~ 6 /detik yang jauh melampui bubble column (0.04 ~ 0.06 /detik) serta tangki berpengaduk (0.10 ~ 0.15 /detik). Keuntungan kolom gelembung pancaran diantaranya adalah sederhana dalam perancangan, mudah dalam pengoperasian dan pemeliharaannya, volume reaktor yang dibutuhkan kecil,
ukuran diameter gelembung yang terdispersi kedalam cairan kecil, luas area spesik antar fasa besar, serta dapat memperoleh koefisien perpindahan massa yang sangat besar apabila dibandingkan dengan jenis kolom gelembung konvensional lainnya (Ide, 2001; Lee and Tsui, 1998). Selain itu pencampuran yang terjadi antar fasa gas – cair diperoleh sendiri dari gerakan tumbukan cairan yang menumbuk cairan stagnan yang terdapat didalam kolom, tumbukan tersebut akan membentuk lubang seperti terompet serta gas akan terhisap dan akan terperangkap diantara celah lubang tersebut. Tumbukan tersebut dapat membentuk pusaran eddy (Ito, 2000; Havelka, 2000], sehingga demikian tidak diperlukan lagi alat pengaduk. Kemampuan pusaran eddy ini tergantung pula pada diameter kolom downcomer yang akan didisain. Pada Tabel 1 ditampilkan perbandingan khas harga dari kla, εG, VR (volume kontaktor) dan εV (Energi yang hilang per satuan volume) pada beberapa jenis alat kontak cair – gas [Lee &Tsui, 1998]. Tabel 1. Berbagai alat kontak gas – cair secara umum (Lee & Tsui, 1998) Contactor Bubble column excluding jet (loop)
kLa,*
a,
1/s
m2/m3
0.0050.01 0.00070.015
~20
εG
m3 <0.2
10-100
>0.8
0.0050.02
~200
>0.95
Plate column
0.01-0.05
100-400
Pipe/tube Mechanically agitated tank
0.01-0.7
50-2,000
>0.8 0.050.95
0.02-0.2 0.01-2.2
-200 2002,000
0.1-3
1,0007,000
Spray column Packed column, countercurrent
Jet (loop) Tubular/venturi ejector & motionless mixer
VR
εv kW/m 3
0.002300
0.011
-
-
0.005300 0.005300
0.010.2 0.010.2 0.1100
<0.5
0.002100 0.02100
0.5-4 0.890
~0.5
<10
10700
<0.1
Bentuk alat kontak jenis Jet (loop) memiliki harga koefisien perpindahan massa (kla) berada pada rentang 0,01 – 2,2 s-1, luas area spesifik antarfasa (a) 200 – 2000 m2/m3 , holdup fasa gas < 0,5 , volume kontaktor (VR) berada pada rentang 0,02 – 100 m3, serta energi yang hilang persatuan volume (εV) berada pada renatng 10 – 700 kW/m3. Sedangkan rentang nilai koefisien perpindahan massa untuk jenis Tubular/venturi dan jenis Jet memiliki nilai yang tinggi apabila dibandingkan dengan jenis alat kontak lainnya. Apabila harga kla pada alat jenis Jet dibandingkan dengan jenis Tubular/venturi ejector akan memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan, tetapi apabila kita membandingkan dari segi energi yang hilang persatuan volume maka alat jet akan memiliki keunggulan dari pada jenis Tubular. Adapun keunggulan tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Apalagi dibandingkan dengan bubble column tanpa dilengkapi dengan jet loop, maka rentang nilai peralatan kontak jet sangat jauh bedanya terutama dilihat dari harga koefisien perpindahan massa maupun luas kontak antarfasanya. Untuk itulah pada essensinya penelitian ini meredesain kombinasi antara
jet dengan bubble column dengan desain dan fenomena/konsep baru yang disebut dengan jet bubble column atau kolom gelembung berpancaran. Fenomena tenaga dorong jatuhnya air secara vertikal menuju permukaan air akan membawa gelembung udara kecil kedalam medium reaktor. Momentum (tumbukan) dari aliran cairan dapat cukup membawa gelembung berikutnya secara lengkap ke dasar vessel. Aliran air yang jatuh menuju satu level permukaan cairan tersebut akan menarik udara sekelilingnya sepanjang alirannya. Ini akan memancing permukaan cairan untuk membentuk terompet. Jika kecepatan aliran cukup tinggi, gelembung – gelembung udara akan tertarik ke bawah, yaitu mengikuti gerakan cairan dan kemudian akan naik kepermukaan cairan tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan dua alasan : •
Udara yang terperangkap antara batas aliran jatuh dan profil permukaan berbentuk terompet adalah yang terbawa di bawah permukaan. • Turbulensi permukaan dari aliran jatuh akan bercampur dengan udara dalam pusaran eddy (eddy current) dan terbawah jauh di bawah permukaan. Jumlah gas/udara yang terbawa pada setiap aliran dapat dilihat jika mereka dibiarkan jatuh pada permukaan air yang tenang. Aliran cairan yang pelan tidak akan membentuk populasi gelembung – gelembung yang signifikan, tetapi aliran yang lebih cepat (liquid jet) akan membentuk gelembung – gelembung yang dapat menimbulkan awan gelembung. Pada fenomena tersebut akan terjadinya suatu proses perpindahan massa, dimana akan terjadinya perpindahan massa gas kedalam fasa cair. Dalam melihat kinerja operasi kolom gelembung pancaran, diperlukan pemahaman yang baik mengenai aspek kinetika serta aspek hidrodinamika. Keduanya aspek tersebut harus sikron, terutama dalam aspek kinetika sangat penting untuk melihat seberapa effisien dari segi waktu desain peralatan dapat dicapai. Dalam membahas kinetika kolom gelembung yang melibatkan reaksi kimia, masalah yang perlu diteliti adalah menentukan konstanta/tetapan laju reaksi, model matematika atau pola kurva kinetika (Levenspiel, 1982). Penentuan berbagai konstanta konstanta atau pola kurva pada berbagai kondisi operasi alat kontak dipertimbangkan sudah cukup memadai sebagai indikator parameter output untuk melihat kinerja peralatan. Disisi lainnya aspek hidrodinamika sangat penting untuk melihat kinerja jet bubble column, karena menentukan berbgai kelayakan operasi dengan melihat berbagai hidrodinamika terutama adalah gas holdup, gas entrainment, luas kontak area maupun pressure drop-nya. Berbagai variabel yang termasuk dalam variabel desain yaitu diameter kolom dan downcomer, bentuk downcomer, bentuk nozzle, diameter nozzle, jarak nozzle dengan permukaan air, konfigurasi/penempatan aliran jet sangat menentukan kinerja alat kontak ini [Ide, 2001; Ito, 2000, Yamagiwa, 1989]. Begitu juga variabel proses seperti laju alir cairan, tekanan dan pengaturan aliran juga sangat menentukan rentang kinerja peralatan kontak ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh laju alir volumetrik cairan (QL) terhadap laju alir volumetrik gas yang terhisap (QG) pada panjang pipa downcomer yang tercelup (Z) yang konstan, menghitung holdup fasa gas, serta kinetika reaksi absorpsi gas CO2. Dilihat dari betapa pentingnya luas kontak antar fasa gas-cair dari sistem jet bubble column ini, maka penentuan luas kontak juga dilakukan untuk evaluasi kinerja alat dengan sistem jet bubble column.
2. Bahan dan metode Absorben yang digunakan dalam kolom absorpsi dengan jet bubble column ini adalah larutan KOH, karena reaksi antara KOH dengan CO2 termasuk reaksi cepat sekali. Digunakan metode kimia dalam absorpsi CO2 untuk pepentuan luas kontak, dan metode fotografi untuk distribusi gelembung. Untuk menguji kelayakan operasi dilakukan studi hidrodinamika berdasarkan parameter-parameter holdup fasa gas (εG) dan gas entrainment (QG). Untuk pengukuran diameter gelembung, digunakan kolom flat segi empat karena dengan menggunakan kolom ini daerah dispersi/penyebaran gelembung menjadi lebih luas dan mudah diamati. Adapun skema peralatan bisa dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Kolom flat
Gambar 1 Skema rangkaian peralatan kolom gelembung pancaran dengan kolom flat. Untuk studi hidrodinamika, dilakukan variasi diameter nozzle pada 6, 7.2, 9.3, dan 12.1 mm, dan laju alir volumetrik cairan (QL) dengan mengatur bukaan valve-3 dengan fasa cair. Sedangkan untuk percobaan absorpsi CO2 dilakukan dengan variasi konsentrasi larutan KOH pada 0.01, 0.02, 0.03, 0.04, dan 0.05 M, dan diameter nozzle pada 9.3 mm (QL = 0.1982 dan 0.3526 L/det) dan 12.1 mm (QL = 0.2080 dan 0.3711 L/det).Analisa sampel gas 1 (yi) dan analisa sampel gas 2 (yo) diuji dengan menggunakan gas chromatography. Holdup fasa gas. Persamaan yang digunakan untuk menghitung holdup fasa gas didasarkan pada gambar 2, sehingga diperoleh persamaan akhirnya adalah: hf (1) ε g = 1− Hf
(a)
(b)
Gambar 2 Skema presentasi dari kesetimbangan tekanan statik pada kolom gelembung pancaran.
Perhitungan Luas Kontak dengan Metode Kimia
Perhitungan luas area spesifik (interfacial area) didasarkan pada absorpsi gas yang diikuti dengan reaksi kimia. Penentuan luas area spesifik dengan metode kimia dihitung dengan korelasi persamaan yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya (Meikap et al., 2001). Luas area spesifik dihitung dari laju absorpsi fisik CO2 (A) dengan larutan KOH (B) dan kinetika reaksi, sehingga persamaan akhir untuk perhitungan luas kontak adalah, (2)
Dimana kLR =
DA .k .[ KOH ]0 .
Untuk perhitungan luas area spesifik seperti di atas, sebelumnya perlu juga dilakukan perhitungan untuk difusivitas CO2 dan konstanta Henry sebagai berikut: • Nilai difusivitas CO2 dalam larutan (DA), yang dihasilkan dengan persamaan, (3)
•
Konstanta Henry (He)
log ( S S w ) = −hI
(4)
dimana: S w = solubilitas CO 2 dalam air (gmol/L.atm) S = solubilitas CO2 dalam larutan (gmol/L.atm) I = ionic product log S w = I=1
1140 − 5.30 T
2∑
ci zi 2
(5) (6)
dimana : ci = konsentrasi larutan ; zi = ion valensi h = h+ + h− + hG He =
1 L.atm/gmol S
(7) (8)
Untuk nilai konstanta kinetika reaksi (k) dihitung dengan menggunakan metode regresi linier berganda dari persamaan, m n (9) − rKOH = k .CKOH .CCO 2 Sehingga,
log ( − rKOH ) = log k + m log[ KOH ] + n log[CO2 ](10) y = ao + m.x1 + n.x2
(11)
3. Hasil dan Pembahasan
Gas entrainment adalah banyaknya gas yang terbawa masuk atau tersedot oleh cairan yang masuk ke dalam kolom gelembung. Data menentukan kecepatan pancaran cairan dan didapat profil laju gas yang terhisap terhadap kecepatan pancaran cairan yang berbeda pada ukuran
diameter nozzle (gambar 3). Data laju gas yang terhisap diperoleh dari alat ukur flowmeter. Profil laju gas yang terhisap dapat memperlihatkan hubungan yang linier terhadap kecepatan pancaran cairan. Dari gambar 4, dapat terlihat nilai rata–rata koefisien determinasi (R2) sebesar 0.973 (hampir mendekati 1) untuk ukuran diameter nozzle 12,1 mm.
QG (m3/det)
0.00006 0.00005
y = 9E-06x - 3E-06 R² = 0.973
Dn = 12.1 mm
0.00004 Linear (Dn = 12.1 mm)
0.00003 0.00002 0.00001 0 0
1
2
3
4
5
6
7
v (m/det)
Gambar 3 Hubungan antara laju gas entrainment (QG) terhadap kecepatan pancaran cairan (v) pada ukuran diameter nozzle yang tetap. Untuk semua profil tersebut, laju gas yang terhisap semakin besar untuk kecepatan pancaran cairan yang semakin tinggi. Hal ini diakibatkan adanya energi momentum yang masuk semakin besar dengan adanya penambahan kecepatan pancaran cairan, sehingga menghasilkan kedalaman tumbukan yang semakin besar didalam pipa downcomer. Selain itu, hal ini dapat meningkatkan arus pusaran menjadi semakin intensif yang dapat menyebabkan gas yang terhisap kedalam pipa downcomer semakin besar. Holdup Fasa Gas
Holdup fasa gas dihitung dari data tekanan statik yang berupa tinggi cairan aerasi (Hf) dan tinggi cairan (hf), dimana tinggi cairan diperoleh dari pembacaan pada kolom kapiler tambahan. Gambar 4 adalah profil holdup fasa gas untuk kecepatan pancaran cairan pada ukuran diameter nozzle yang berbeda. Terlihat profil holdup fasa gas akan semakin besar untuk kecepatan pancaran cairan yang semakin tinggi pada ukuran nozzle yang tetap. Begitupun juga dengan semakin besarnya ukuran diameter nozzle, maka akan menghasilkan holdup fasa gas yang semakin besar pula. Hal ini diakibatkan adanya energi yang menumbuk cairan dalam pipa downcomer semakin besar, sehingga mengakibatkan tekanan statik pada kedalaman cairan semakin besar (tumbukan semakin dalam). Begitupun juga dengan semakin besarnya ukuran diameter nozzle akan berpengaruh terhadap ukuran pancaran cairan. Dengan semakin besarnya ukuran pancaran cairan maka akan menghasilkan kedalaman tumbukan semakin besar dan meningkatkan arus pusaran (eddy current) menjadi semakin intensif. 0.45 0.4 0.35 Dn = 6 mm
εg
0.3 0.25
Dn = 7.2 mm
0.2
Dn = 9.3 mm
0.15
Dn = 12.1 mm
0.1 0.05 0 0
5
10
15
20
v (m/det)
Gambar 4 Hubungan antara holdup fasa gas ( ε g ) terhadap kecepatan pancaran cairan (v) pada ukuran diameter nozzle yang berbeda (Dn). Konstanta Kinetika Reaksi (k)
Harga k ditentukan dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Pada gambar 5 dan 6, dapat dilihat bahwa grafik hasil dari metode regresi menghasilkan garis yang linier dengan harga R2 lebih besar dari 0.9 (mendekati 1), hal ini berarti harga k, m, dan n dapat digunakan. Pada penelitian ini, larutan KOH yang digunakan berkadar rendah (sangat encer), sehingga reaksinya berlangsung sangat cepat untuk habis bereaksi. Waktu reaksi yang didapatkan untuk hampir keseluruhan kondisi operasi berada dibawah lima menit dan kadar KOH dianggap homogen diseluruh kolom karena adanya pengadukan dari sirkulasi pompa. Oleh karena itu, reaksi yang terjadi dapat dipandang sebagai laju reaksi awal penurunan KOH, sehingga untuk persamaan laju reaksi digunakan konsentrasi awal KOH dan CO2 (initial rate of reaction). 0 -0.2 0.6
0.8
1
1.2
Dn=12.1 mm; QL=0.1982 L/det
-0.4
y-m.x1
-0.6
Dn=12.1 mm; QL=0.3526 L/det
-0.8 y = -0.3451x - 0.8554 R2 = 0.9633
-1
Linear (Dn=12.1 mm; QL=0.1982 L/det)
-1.2 -1.4 -1.6
Linear (Dn=12.1 mm; QL=0.3526 L/det)
y = -0.6757x - 0.9661 R2 = 0.9731
-1.8 -2
x2
Gambar 5 Grafik linierisasi dari metode regresi linier berganda pada Dn = 12.1 mm. 0 -0.2 0.6
0.8
1
1.2
1.4 Dn=9.3 mm; QL=0.2080 L/det
-0.4
y-m.x1
-0.6 -0.8
Dn=9.3 mm; QL=0.3711 L/det
y = -0.174x - 0.526 R² = 0.937
-1 -1.2
y = -0.547x - 0.775 R² = 0.997
Linear (Dn=9.3 mm; QL=0.2080 L/det) Linear (Dn=9.3 mm; QL=0.3711 L/det)
-1.4 -1.6 x2
Gambar 6 Grafik linierisasi dari metode regresi linier berganda pada Dn = 9.3 mm. Dari tabel 2, dapat dilihat bahwa konstanta kinetika reaksi pada diameter nozzle tetap akan semakin besar dengan semakin besarnya laju alir volumetrik cairan (QL) dan laju alir volumetrik gas (QG). Hal ini diakibatkan karena semakin besarnya laju alir volumetrik cairan dan laju alir volumetrik gas, maka kedalaman tumbukan pancaran cairan dan gas entrainment Tabel 2. Hasil Perhitungan Konstanta Kinetika Reaksi Dn (mm) 12.1 9.3
QL Q (L/det) (L/det) G 0.1982 0.0801 0.3526 0.1466 0.2080 0.0573 0.3711 0.1732
k 1.08E-01 1.40E-01 1.68E-01 2.98E-01
yang terhisap ke dalam kolom akan semakin besar dan itu berarti energi tumbukan akan semakin besar. Jika energi tumbukan semakin besar, maka faktor tumbukan akan semakin besar, dengan semakin besarnya faktor tumbukan maka harga k pun akan semakin besar.
Luas kontak (a)
Hasil perhitungan luas kontak pada absorpsi CO2 ini dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel 3, pada diameter nozzle yang tetap dapat dilihat bahwa dengan semakin besarnya konstanta kinetika reaksi, maka akan semakin besar nilai luas kontak, dan dengan semakin besarnya holdup fasa gas, maka akan semakin besar pula luas kontaknya. Hal ini dikarenakan dengan semakin besarnya luas kontak antarfasa, maka luas permukaan sebagai tempat terjadinya reaksi antara fasa cair (larutan KOH) dengan fasa gas (CO2) akan semakin besar dan banyak kesempatan untuk terjadi kontak antarfasa, sehingga reaksi akan terjadi dengan lebih cepat dan konstanta kinetika reaksi pun akan semakin besar. Holdup fasa gas merupakan fraksi gas yang mengisi ruang dilarutan pada kolom dengan bentuk gelembung. Dengan semakin besarnya nilai holdup fasa gas, maka gelembunggelembung yang terjadi didalam larutan pada kolom semakin banyak, sehingga luas kontaknya pun akan semakin besar pula. Hal ini dapat terlihat pada tabel 2, dimana luas kontak pada diameter nozzle yang tetap nilainya semakin besar seiring dengan semakin besarnya holdup fasa gas. Tabel 3. Hasil Perhitungan Luas Kontak Dn (mm) 12.1 9.3
QL k Q (L/det) (L/det) G 0.1982 0.0801 1.08E-01 0.3526 0.1466 1.40E-01 0.2080 0.0573 1.68E-01 0.3711 0.1732 2.98E-01
εG
a (m2/m3)
0.246 0.424 0.153 0.415
2944.21 4492.30 1091.95 1518.27
Penyebaran Distribusi Gelembung dengan Metode Fotografi
Distribusi gelembung dalam proses absorpsi dilakukan dengan pengambilan gambar pada kolom flat dengan kondisi operasi yang sama pada saat melakukan absorpsi dengan sistem jet bubble column. Pengukuran gelembung dengan menggunakan kolom flat dapat dianggap mewakili gelembung-gelembung yang terbentuk pada kolom absorpsi karena kondisi operasi pada kolom flat dibuat sama dengan kondisi operasi pada kolom absorpsi, contohnya adalah jarak antara nozzle dengan permukaan air di dalam kolom dimana tinggi air dalam kolom adalah 69 cm. Dalam hal ini, distribusi gelembung dimaksudkan sebagai penyebaran jumlah gelembung dan banyaknya gelembung yang terbentuk dari tiap diameter pada satu kolom dan pada masing-masing kondisi operasi yang dilakukan. Distribusi gelembung-gelembung yang terjadi pada setiap kondisi dapat dilihat pada gambar 8. Terlihat bahwa pola kurva persentase populasi ukuran gelembung untuk rentang tertentu dari masing-masing kondisi operasi tidak jauh berbeda, yakni terbentuk titik maksimum jumlah pupulasi gelembung pada rentang diameter tertentu. Pada diameter nozzle yang sama terjadi
% jumlah gelembung
pergeseran titik maksimum kearah kanan atau dengan interval diameter gelembung yang semakin besar, dengan semakin besarnya laju aliran cairan. Untuk penggunaan diameter nozzle (Dn)= 9,3 mm, titik puncak % populasi untuk laju alir 0,33711 L/det pada rentang rentang ukuran diameter 0,00 0.00273 – 0.00360 m. Hal yang sama juga terjadi pergeseran titik puncak untuk penggunaan Dn = 12, 1 mm, dimana titik puncak terjadi pada rentang ukuran diameter tersebut dengan laju aliran cairan sebesar 0,3526 L/det. Sehingga bisa disimpulkan bahwa untuk membentuk populasi gelembung dengan diameter gelembung dengan rentang ukuran diameter yang lebih kecil perlu mengoperasikan laju cairan pada renatng yang lebih kecil. Idealnya pola kurva distribusi yang baik mengarah pada daerah rentang ukuran gelembung yang sekecil-kecilnya dengan populasi yang sebesar-besarnya, karena akan menghasilkan luas kontak yang sebesar-besarnya pula. Oleh karenanya posisi kurva distribusi dengan operasi diameter nozzle 9.3 mm dan QL 0.3711 L/det menghasilkan luas kontak yang paling tinggi, seperti terlihat pada Tabel 4. Oleh karena itu, kondisi operasi pada diameter nozzle 9.3 mm dan QL 0.3711 L/det merupakan kondisi operasi dengan distribusi gelembung paling baik. 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
Dn=12.1 mm; QL=0.1982 L/det Dn=12.1 mm; QL=0.3526 L/det Dn=9.3 mm; QL=0.2080 L/det Dn=9.3 mm; QL=0.3711 L/det
0.00097- 0.00273- 0.00449- 0.006250.00184 0.00360 0.00536 0.00712 Interval Diameter Gelembung (m)
Gambar 7 Persentasi populasl gelembung untuk tiap interval diameter gelembungnya. Tabel 4. Rangkuman dari Perhitungan Luas Kontak dan Distribusi Gelembung Dn (mm) QL (L/det) QG(L/det) 12.1 9.3
0.1982 0.3526 0.2080 0.3711
0.0801 0.1466 0.0573 0.1732
k
εG
a (m2/m3)
% jumlah gelembung
1.08E-01 1.40E-01 1.68E-01 2.98E-01
0.246 0.424 0.153 0.415
2944.21 4492.30 1091.95 1518.27
18.71 33.73 23.94 41.26
Pada prinsipnya kinerja operasi peralatan kontak jet bubble column haruslah mampu menciptakan populasi gelembung yang setinggi-tingginya (kuantitas) dengan rentang ukuran gelembung-gelembung yang sekecil mungkin (microbubble) untuk menciptakan luas kontak yang setinggi-tingginya. Dengan luas kontak yang tinggi akan membuat proses perpindahan massa ataupun kinetika yang sangat efisien dan terakselerasi dengan baik. Hal ini sejalan dengan temuan yang didapatkan tersajikan dalam seperti dapat dilihat rangkumannya pada tabel 4. Terlihat bahwa dengan semakin tingginya persentase jumlah gelembung, luas kontak dan konstanta kinetika reaksi pun akan semakin besar. Dengan semakin besarnya konstanta kinetika reaksi maka reaksi akan berlangsung dengan lebih cepat. Maka dari itu dapat
dikatakan dengan tingginya distribusi gelembung atau semakin banyaknya gelembung yang terbentuk dalam kolom, kinerja dari peralatan absorpsi dengan sistem jet bubble column ini akan semakin efektif.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: • Kemampuan kolom gelembung pancaran (Jet Bubble Column) yang telah didesain, layak beroperasi baik dari aspek hidrodinamika maupun uji kinetikanya untuk absorpsi CO2. • Semakin besar laju alir volumetrik cairan dan laju alir volumetrik gas pada diameter tetap akan menghasilkan konstanta kinetika reaksi dan luas kontak antar fasa gas-cair yang semakin besar. Penggunaan diameter nozzle Dn = 12.1 mm dengan laju aliran cairan QL = 0.3526 L/det didaptkan harga laju konstanta laju absorpsi,k = 1.4x10-1 dan luas kontak antar fasa a = 4492.30 m2/m3, sedangkan pada Dn = 9.3 mm dengan QL = 0.3711 L/det didapatkan harga k = 2.98x10-1 dan a = 1518.27 m2/m3. • Semakin besar laju aliran cairan, distribusi gelembung pada kolom absorpsi akan semakin mengarah pada ukuran gelembung yang semakin besar pada penggunaan diameter nozzle yang sama. Tetapi penggunaan ukuran diameter nozzle yang sama memberikan pola distribusi gelembung dengan puncak persentasi populasi yang sama pula. 5. Ucapan Terima kasih
Kami mengucapkan terima kasih terutama kepada pihak DP2M (Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Departmen Pendidikan Nasional-RI, yang telah memberi amanah kepada kami berupa dukungan alokasi pendanaan melalui Penelitian Hibah Bersaing XVI Anggaran 2008-2009. Dan atas segala pihak khususnya para mahasiswa dibawah bimbingan kami dengan tekun dan ulet telah mendukung dalam pelaksanaan penelitian ini. 6. Pustaka Acuan
Danckwerts P.V. (1970), Gas-Liquid Reactor, Mc-Graw Hill Company, New York, pp.15 – 20 Evans G. M. (1990), A Study Of A Plunging Jet Bubble Column, PhD thesis, Department of Chemical Engineering, The University of Newcastle. Havelka, P. et al.(2000).Hydrodynamic and mass transfer characteristics of ejector loop reactors", Chem. Eng. Sci., 55, 535 – 549. Ide, Mitsuharu et al. (2001). Mass transfer characteristics in gas bubble dispersed phase generated by plunging jet containing small solute bubbles. Chem. Eng. Sci., 56, 6225 – 6231. Ito Akira, et al. (2000). Maximum Penetration Dept of Air Bubbles Entrained by vertical Liquid Jet. J.Chem.Eng. Japan, 33 (6), hal. 898 – 900
Lee Sheng-Yi, Pang Tsui Y. (1998). Succeed at Gas/Liquid Contacting. J.Am.Inst.of Chem. Eng. Levenspiel, O.(1982), Chemical Reaction Engineering, 2nd. Wiley Int., New York. Meikap B.C., Kundu G., Biswas M.N. (2001). Prediction of The Interfacial Area of Contact in A Variable-Area Multistage Bubble Column. Ind. Eng. Chem. Res., 40, 6194 – 6200. Yamagiwa, Kazuaki, Ohkawa, A. (1989). Technique for Measuring Gas Holdup in a Downflow Bubble Column with Gas Entrainment by a Liquid Jet. J. ferm. Bio-eng., 68 (2), 160 – 162
----------------------ooo-------------------