4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1.
Gelembung Renang
2.1.1. Karakteristik morfologis dan fisiologis gelembung renang Gelembung renang (swimbladder) adalah organ berbentuk kantung udara yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan saat ikan mengapung di air , sehingga ikan tersebut tidak perlu berenang terus menerus dalam mempertahankan posisinya. Organ ini hampir ditemui pada semua jenis ikan. Gelembung renang sering disebut juga gelembung gas atau gelembung udara. Pada beberapa spesies ikan, gelembung renang sanga t penting sebagai indera pendengar. Secara fisik gelembung renang memiliki dinding yang fleksibel, terletak di dalam rongga tubuh ikan, dan memiliki sedikit pembuluh darah (Evans, 1998). Secara morfologi, gelembung renang sangat bervariasi terutama antar famili ikan, seperti perbedaan letak yang dilihat dari sisi tegak lurus, bentuk dari ujung posteriornya, sekat pada bagian tengah, kekuatan membran dan bentuk dari bagian yang melintang. Pada spesies ikan percoid , seperti ikan teleostei, gelembung renang sepenuhnya berbentuk rongga (Pough, 1999). Gelembung renang merupakan organ yang terdapat diantara esophagus dan pharynx, yang secara evolusi merupakan bentuk evaginasi (penggabungan organ) dari keduanya. Namun secara fisiologis, bentuk dari gelembung renang dapat dikelompokkan pada dua tipe, yaitu gelembung renang tipe terbuka atau disebut physostome dan gelembung renang tipe tertutup yang disebut physoclist (Evans, 1998). Letak dan bentuk dari gelembung renang tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Gelembung renang
Gelembung renang tipe terbuka (Physostome)
Gelembung renang
Gelembung renang tipe tertutup (Physoclist )
Gambar 1. Letak dan bentuk gelembung renang (Pough, 1999) .
Gelembung renang tipe terbuka (physostome) merupakan bentuk awal gelembung renang dan masih berfungsi sama dengan paru-paru. Gas yang mengisi gelembung renang/udara ini berasal dari permukaan air, artinya saat ikan naik ke permukaan, ikan akan menghirup udara sehingga mengisi gelembung renang tersebut. Berdasarkan fungsinya untuk menahan dan mengeluarkan gas, terlihat adanya saluran yang menghubungkan antara gelembung renang ke esophagus, yang dinamakan saluran udara (ductus pneumaticus). Saluran penghubung ini memberikan fungsi besar pada larva ikan untuk bernafas dan berenang saat gelembung renangnya mulai berkembang dan hanya beberapa dari gelembung renang yang mempertahankan saluran ini sampai tingkat dewasa. Kemudian melalui sa luran udara tersebut, ikan dapat menahan dan mengeluarkan udara ke permukaan, sehingga dapat mempertahankan keseimbangannya. Berdasarkan alasan ini, gelembung renang tipe terbuka biasanya terdapat pada jenis ikan yang hidupnya di daerah dekat permukaan air, sehingga jenis ikanikan ini mudah untuk mendapatkan udara dari atmosfir dan mengisi gelembung udaranya. Hal tersebut dapat menjadi tidak logis untuk ikan yang hidup di dasar perairan, karena sangat kecil kemungkinannya mendapatkan udara dari atmosfir dengan jumlah yang besar dalam mencapai keseimbangan alami pada perairan yang sangat dalam. Oleh karena itu, kebanyakan dari ikan yang memiliki gelembung
6
renang tipe terbuka (contohnya ikan mas dan trout) ditemukan pada perairan dangkal dari suatu perairan tawar, dan sedikit ditemukan hidup pada kedalaman dibawah 10 meter. Kecuali pada belut (eels) dan herring yang memiliki gelembung renang terbuka. Di lain pihak, ikan yang memiliki tipe gelembung renang tertutup (physoclist), diperlihatkan dengan jelas gelembung renang yang dimiliki sepenuhnya tertutup dari segala sumber udara luar (eksternal). Saluran udara (ductus pneumaticus) yang ada hanya dapat dipertahankan pada tingkat awal larva. Gas yang esensial untuk mempertahankan keseimbangan pada gelembung renang tipe ini berasal langsung dari darah. Untuk membantu metode pertukaran gas, pembuluh darah berhubungan langsung dengan kelenjar gas (gas gland) dan rete mirabile (Evans, 1998). Evolusi dari gelembung renang tipe tertutup, memunculkan sesuatu kebebasan dari ikan untuk mengambil risiko atau memberanikan diri pada perairan yang lebih dalam. Bahkan pada beberapa ikan yang hidup di perairan dalam, mereka memiliki gelembung renang yang ukurannya kecil atau bahkan tidak mengunakan gelembung renang sama sekali. Hal ini karena mereka tidak memiliki kebutuhan atau sama sekali menggunakan dalam kepentingan kehidupan hidrostatisnya.
2.1.2. Komposisi kimia gelembung renang Secara umum protein gelembung renang didominasi oleh kolagen (Ward, 2005). Carver and Blout (1967) dalam Arvanitoyannis (2002) mengemukakan bahwa kolagen merupakan suatu protein yang memiliki sifat kaku (rigid), linier, dan memiliki susunan berbentuk triple helix, dengan berat molekul 360 kDa. Kolagen pada mahluk hidup merupakan bahan penyusun jaringan ikat, pada vertebrata (hewan bertulang belakang) termasuk ikan terdapat sekitar 50% dari total protein yang terdapat pada manusia. Kolagen merupakan protein yang bersifat hidrofilik, karena besarnya kandungan asam amino yang bersifat asam, basa, dan terhidroksilasi. Oleh karena itu, protein ini akan mengembang dalam larutan polar dengan parameter kelarutan yang tinggi. Struktur sekunder merupakan makromolekul heliks dan kecenderungannya pada interchain hydrogen bonding. Struktur tersier merupakan lipatan skala besar dan struktur heliksnya me nyerupai tropocollagen. Struktur
7
quartener
menunjukkan
formasi
ukuran
kecil
sampai
medium
aggregat
tropocollagen. Struktur primer (sekuen asam amino) kolagen mengandung 18 asam amino yang berbeda. Kolagen kaya akan asam amino glisin (1/3 dari total residu), hidroksiprolin dan prolin, dan sedikit mengandung hidroksilisin serta tidak mengandung triptopan (Choa et al., 2005; Choi dan Regenstein. 2000). Kandungan hidroksiprolin pada kolagen ikan lebih kecil dibandingkan pada mamalia. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya ikatan hidrogen pada gelatin dari ikan terhadap air, sehingga mempengaruhi titik gel dan titik lelehnya. Komposisi asam amino gelembung renang catfish dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi asam amino gelembung renang dari catfish No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Asam Amino Triptofan Asam aspartat Threonine Serine Asam glutamat Prolin Glisin Alanin Sistin Valin Methionin Isoleusin Leusin Tirosin Fenilalanin Histidin Lisin Arginin
Komposisi (mg/100g) 0,17 ± 0,01 9,12 ± 0,20 3,52 ± 0,02 4,09 ± 0,03 9,57 ± 0,10 11,50 ± 0,31 7,74 ± 0,90 9,63 ± 0,27 0,28 ± 0,01 2,98 ± 0,03 1,92 ± 0,05 2,00 ± 0,04 3,42 ± 0,02 1,54 ± 0,02 2,76 ± 0,04 1,63 ± 0,04 3,91 ± 0,04 7,81 ± 0,16
Sumber: Eun et al. (1994)
Selanjut nya Ward (2005) menyatakan bahwa kolagen dari gelembung renang pada berbagai jenis ikan berbeda komposisi asam aminonya. Selain itu, ditambahkan bahwa kolagen mengandung 0,5% karbohidrat. Analisis terhadap beberapa jenis ikan
8
menunjukkan tidak adanya perbedaan antara glycosylation pada berbagai sumber tersebut. Berdasarkan komposisi kimianya, gelembung renang pada berbagai jenis ikan air tawar tropis dalam keadaan segar, memiliki kadar air 69,80-75,60%; protein 23,80-26,80%; dan kadar abu 0,12-0,20%. Dalam keadaan kering, kadar air gelembung renang ikan berkisar antara 11,50-14,50%; protein 83,50-87,20%; dan kadar abu 0,40-0,70% (Badonia dan Qureshi, 2000). Komposisi kimia gelembung renang segar dan kering pada berbagai jenis ikan air tawar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia gelembung renang segar dan kering pada berbagai jenis ikan air tawar Jenis Ikan Catla catla Labeo rohita Cirrhinus mrigala Hypophthalmichtys molitrix Ctenopharyngodon idella Mystus seenghala
Kadar air (%) segar kering 74,50 13,20 75,40 14,50 75,60 13,50 70,20 12,10 72,40 12,40 69,80 11,50
Protein (%) segar kering 25,20 84,50 24,60 85,20 23,80 86,50 25,12 86,00 25,50 87,20 26,80 83,50
Kadar Abu (%) segar kering 0,15 0,50 0,12 0,40 0,15 0,50 0,20 0,60 0,15 0,50 0,25 0,70
Sumber : Badonia dan Qureshi (2000).
2.2.
Isinglass
2.2.1. Pengertian dan Kegunaan Isinglass adalah protein fining agent yang dihasilkan dari gelembung renang ikan. Isinglass didapat dalam dua bentuk, yaitu bentuk prehydrolyzed atau yang diproses dengan dehidrasi selama 20 – 30 menit dan bentuk fibrous (berserat) dari flocked isinglass. Hidrasi biasanya digunakan air dingin (15o C/60o F). Jika menggunakan air panas, isinglass mengalami hidrolisis parsial, sehingga butiran molekul menjadi sangat kecil. Hasil ini memberikan nilai yang berbeda dalam karakteristiknya sebagai fining agent dan produk memiliki sifat dan aktivitas layaknya gelatin (Zoecklein, 2002).
9
Berikut pengertian dan karakteristik serta kegunaan dari isinglass: §
Isinglass merupakan protein kolagen. Akan menjadi gelatin ketika dipanaskan. Isinglass dari gelembung renang ini telah digunakan sebagai penjernih atau pembuat citra bening dari wines (anggur fermentasi) dan bir (Clucas dan Ward, 1996).
§
Isinglass adalah bahan seperti gelatin yang diperoleh dari gelembung renang, terutama ikan sturgeon (http:// www.foodreference.com/html/fisinglass.html).
§
Isinglass adalah bahan agak tembus pandang seperti gelatin yang diperoleh dengan cara membersihkan da n mengeringkan gelembung renang dari kotoran dan pembuluh darah yang melekat terutama pada ikan sturgeon, hake, dan ikan lainnya (http://www.slider.com/enc /27000/ isinglass.htm).
§
Isinglass adalah suatu unsur semi transparan keputih-putihan terdiri dari suatu format gelatin, diproduksi dari organ bunyi (gelembung renang) ikan Acipenser huso, dan jenis Acipenser lain yang ditemukan di Caspian dan Laut Hitam (http://palimpsest. stanford.edu/don/dt/dt1901.html).
§
I-Zuhn-Glas; I-Zing-Glas murni dan transparan, merupakan bentuk menyerupai gelatin yang berasal dari gelembung renang ikan tertentu (sturgeon). Populer sejak 100 tahun yang lalu, terutama sekali untuk pembuatan selai dan untuk menjernihkan a nggur (http://allrecipes.iwon.com/encyc/terms /I/7008.asp).
§
Isinglass (i´zenglas) adalah unsur agak tembus pandang (semi transparan) seperti gelatin yang diperoleh dari pembersihan gelembung renang ikan sturgeon, cod, hake, dan ikan lainnya. Isinglass dihasilkan dari Rusia, Amerika Serikat, Canada, Brazil, India Barat, dan Filipina. Digunakan sebagai klarifikasi bir dan anggur, sebagai pengerasan untuk selai, sebagai komponen plester halaman, semen dan lem. (http://www.highbeam.com/library).
§
Formula khusus bahan kertas bagi kolektor lukisan (Petukhova dan Bonadies , 1993) Isinglass merupakan protein fining agent yang memiliki pengaruh sangat
berarti pada kestabilan wine (Zoecklein, 2002 dan Ward, 2005). Isinglass telah lama tidak dipergunakan lagi dan telah tergantikan produk-produk gelatin modern yang diperoleh dari hewan lainnya, namun Badonia dan Qureshi (2000) berpendapat produk isinglass ini, terutama yang dihasilkan dari gelembung renang ikan air tawar
10
memiliki kualitas yang yang baik jika dibandingkan dengan fining agent lain. Tingkat efektivitas isinglass sebagai fining agent dibandingkan dengan sumber bahan baku yang lain dapat dilihat pada Gambar 2. Absorbansi (600 nm)
Bovine dengan pelarut asam
Bovine dengan pelarut enzim pepsin
Waktu (menit)
Gambar 2.
Fining times pada berbagai fining agent antara lain kolagen bovine dengan pelarut asam, gelatin, kolagen bovine dengan pelarut enzim pepsin, isinglass dan kolagen bovine dengan enzim succinylated pepsin (Ward, 2005) .
2.2.3. Proses pembuatan isinglass Pada prinsipnya proses pembuatan isinglass umumnya sama, yaitu preparasi gelembung renang dari bagian lainnya , pengeringan dan pelarutan. Pada tahap persiapan dilakukan pencucian terhadap gelembung renang. Gelembung renang tersebut dibersihkan dari darah, daging, dan kotoran jeroan lainnya yang melekat. Dicuci dengan air bersih, lalu ditiriskan sampai kering atau langsung dikeringkan dengan sinar matahari (Clucas dan Ward, 1996). Pada tahap konversi kolagen menjadi isinglass dilakukan perendaman dalam air selama 4 – 6 jam sampai gelembung renang yang kering tersebut menjadi lunak (Clucas dan Ward, 1996). Badonia dan Qureshi (2000) menjelaskan bahwa tahap perendaman dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, ta rtarat dan asam lainnya yang aman dan tidak terlalu bau. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah
11
sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potassium hidroksida. Proses pembuatan isinglass dari gelembung renang ikan secara skematis berdasarkan Badonia dan Qureshi (2000) dapat dilihat pada Gambar 3. Gelembung renang ikan Pembersihan (darah, daging, kotoran, bagian jeroan lain) Pencucian Penirisan Pengeringan dengan matahari Pemotongan untuk memperkecil ukuran Perendaman (penambahan asam asetat 2%) Isinglass bentuk semi solid gel Penirisan atau Pengeringan dengan matahari Sortasi Isinglass kering Gambar 3. Skema proses pembuatan isinglass semi solid gel dan kering.
Secara lengkap proses pembuatan isinglass berdasarkan Badonia dan Qureshi (2000) sebagai berikut: §
Tahapan preparasi. Tahapan ini diawali dengan proses pembersihan gelembung renang dari kotoran yang menempel, ba ik itu darah, isi perut yang masih menempel maupun kotoran dari luar dan kemudian dicuci dengan air bersih. Gelembung renang ikan pada umumnya memiliki lapisan bening yang tipis pada bagian luarnya yang disebut dengan ”tunica externa” dan lapisan bagian dalamnya yang merupakan bahan baku untuk pembuatan isinglass.
§
Tahapan pengeringan. Pada tahapan ini, gelembung renang yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari sekitar 48 jam atau sampai kekeringan.
12
§
Tahapan perendaman. Gelembung renang yang telah kering tersebut selanjutnya dipotong kecil-kecil, untuk kemudian direndam dalam larutan asam asetat 2% dengan pH sekitar 2,5 selama 4 jam. Bentuk semisolid gel menandakan isinglass telah terbentuk. Jika menginginkan produk isinglass kering, biasanya dilakukan tahapan
selanjutnya, yaitu penirisan atau penjemuran kembali. Teknik penirisan biasanya lebih baik dibandingkan dengan pengeringan dibawah sinar matahari langsung, karena produk isinglass yang dihasilkan umumnya berwarna putih dan menarik serta memiliki nilai komersial yang tinggi. Tahapan terakhir adalah sortasi dan pengemasan. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan produk isinglass kering berdasarkan tingkat penampakannya, yaitu transparan (tembus pandang/bening), transcluent (tembus pandang namun agak buram) atau opaque (buram). 2.3. Pelapis Edible Istilah film dan coating sering dipertukarkan (interchangeably). Secara normal, film berdiri sendiri (self-supporting ), ditempatkan pada atau antara komponen makanan. Coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping ), penyemprotan (spraying), atau panning ke permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta meningkatkan nilai tambah dari produk (Krochta, 2002). Tujuan digunakannya edible film dan coating adalah untuk mencegah migrasinya uap air, gas, aroma, dan lipids; membawa ingredien makanan (seperti antioksidan, antimikrobial, dan flavor); dan/atau untuk meningkatkan integritas mekanik atau karakteristik penanganan dari makanan. Kemampuan pembentukan film dari beberapa substansi yang mengandung protein telah ada sejak dahulu. Mesir kuno, Cina, Yunani dan Romawi menggunakan kasein pada lem karena sifat resistensinya dengan air. Kasein juga berfungsi pada cat, cat penutup kulit dan pelapis kertas. Protein jagung (zein) juga telah digunakan sebagai pembentuk lapisan pada industri tinta cetak, kaleng, kertas anti air, pelapis ubin dan foto. Gelatin adalah satu dari bahan pertama yang digunakan pada pembentukan dinding kapsul polimerik dalam mikroenkapsulasi (Gennadios, 2004).
13
Perkembangan film dan pelapis edible berbahan dasar protein kolagen-gelatin secara lengkap dikemukan oleh Arvanitoyanis (2002) dan Gennadios (2004), dimana secara umum karakteristik fisik film atau pelapis edible dari kolagen-gelatin tersebut adalah : 1.
Karakteristik panas (thermal properties) Karakteristik panas pada kolagen dan gelatin dipengaruhi antara lain oleh kandungan air, sumber, metode preparasi (“hot casting” vs “cold casting”), heating rates dan thermal history. Beberapa penelitian tentang sifat ini dilakukan dengan menentukan ekstrapolasi data percobaan diffrential scanning calorimetry (DSC) (10 oC/min) dengan quenching sampel sampai homogenous glass. Adanya sukrosa, glukosa, gliserol, starch, kitosan, polyol, urea mempengaruhi karakteristik panas zat ini.
2.
Karakteristik mekanis (mechanical properties) Film tipis kolagen-gelatin kaya akan materi koloid. Gelatin komersial memiliki karakterisasi, terutama strength dan viskositas. Sedangkan tensile strength dan elongation sangat penting untuk karakteristik fisik edibel film. Parameter utama yang mempengaruhi sifat kolagen-gelatin adalah sumber (jenis materi), metode ekstraksi, berat molekul, metode preparasi film (hot-cold casting) dan derajat hidratasi atau adanya plasticizer. Kelemahan utama kolagen-gelatin sebagai bahan kemasan makanan adalah pada kurang baiknya atau lemahnya karakteristik mekanis (mechanical properties).
3.
Rheologi Kolagen-gelatin digunakan secara luas pada photography, pharmaceutical dan aplikasi pangan. Kolagen-gelatin mempunyai sifat polielektrolit amfoterik (pH-dependent net charge dan isoelectric point), dan digunakan secara luas dengan surfaktan yang bersifat kationik atau anionik.
Proses pembuatan film atau pelapis edible secara umum tidak mengalami perkembangan yang berarti sejak buku Edible coatings and films to improve food quality yang diedit oleh Krochta, Baldwin dan Nisperos -Carriedo tahun 1994 diterbitkan. Beberapa teknik aplikasi edibel coating meliputi :
14
1).
Pencelupan (dipping) Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan kurang rata. Setelah pencelupan, kelebihan bahan coating biasanya dibiarkan terbuang. Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.
2).
Penyemprotan (spraying) Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang me mpunyai dua sisi permukaan, contohnya pizza.
3).
Pembungkusan (casting) Teknik ini digunakan untuk pembuatan film, yang berdiri sendiri dan terpisah dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk yang bukan pelapisan (coating).
4).
Pengolesan (brushing) Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.
2.4. Udang 2.4.1. Karakteristik udang Udang Penaeid digolongkan ke dalam filum Arthropoda karena memiliki ciriciri anggota badan dan eksoskeleton yang melakukan pergantian kulit (molting) secara berkala. Kelas Malacostraca merupakan kelas dengan tingkat evolusi paling tinggi diantara kelompok krustasea. Udang karang, lobster, udang dan kepiting merupakan empat jenis hewan yang diketahui dari kelas Malacostraca (Brock dan Moss 1992). Menurut Briggs (2004), udang (shrimp atau prawn ) adalah jenis krustasea berenang yang mempunyai lima pasang kaki jalan, mempunyai cangkang (eksternal skeleton) yang selama pertumbuhan diganti secara periodik.
Tubuh udang yang
beruas-ruas, tersusun dalam dua kelompok utama yaitu cephalotorax (kepala ) dan abdomen. Seluruh bagian tubuh udang terlindungi kulit khitin yang tebal dan keras. Ruas pada cephalotorax yang tertutup karapas tidak terlihat jelas, sedangkan ruas pada abdomen meskipun tertutup cangkang, penutupnya mengikuti bentuk ruas
15
sehingga terlihat beruas-ruas sepanjang anggota badan termasuk mata. Pada bagian dada terdapat delapan ruas yang setiap ruas memiliki sepasang anggota badan (trakopoda). Trakopoda pada ruas pertama sampai ketiga (maskipila) berperan sebagai pelengkap mulut dalam memegang makanan. Trakopoda pada ruas keempat sampai kedelapan (periopoda) berperan sebagai kaki jalan. Udang penaeid betina tumbuh 50 gram lebih berat dan 200 mm lebih panjang dari jantannya. Penaeus spp merupakan target utama dari usaha pengolahan hasil perikanan dan merupakan spesies favorit pada usaha budidaya. Spesies ini mudah diidentifikasi melalui perbedaan warna yang dimiliki, terutama setelah mereka dewasa (Dall et al. 1990). Kompos isi daging udang sangat tergantung pada spesies, tingkat umur, musim, habitat juga kebiasaan makan. Nutriondata.com (2005) menginventarisasikan komposisi kimia udang (crustaceans, shrimp, mixed species, cooked, dan moist heat) sebesar 3 oz (85 gram) yang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia udang (crustaceans, shrimp, mixed species, cooked, dan moist heat) sebesar 3 oz (85 gram) Komposisi Kadar Air Kadar Abu Energy Karbohidrat Lemak Protein Lemak asam lemak jenuh (saturated) 18:0 asam lemak tidak jenuh (unsaturated) 18:1 Protein leucine lysine arginine alanine asam aspartat asam glutamat Sumber : Nutriondata.com (2005)
Nilai 77,3 1,6 84,1 0 8,3 75,9 0,9 81,6 96,9 17,8 1410 1547 1552 1006 1837 3031
Satuan gram gram kalori kalori kalori kalori gram mg mg gram mg mg mg mg mg mg
16
2.4.2. Udang m asak (cooked shrimp) Udang masak adalah produk udang yang mengalami proses pe masakan (perebusan dan pengukusan). Teknik pengolahan udang masak ini masih sangat beragam dan tergantung dari target pasarnya. Secara umum teknologi pengolahan udang masak berdasarkan Canadian Food Inspection Agency (1997) meliputi tahapan penerimaan udang, pemberian es dan pencucian, penyimpanan selama hanya 2 hari, persiapan untuk diolah lebih lanjut (pemberian es dan pencucian), pemasakan (cooking), pendinginan dan pengupasan (cooling and peeling), pembersihan (cleaning ), brining and draining , pembekuan IQF (freezing IQF), glazing,
penimbangan
(weighing/ grading),
pengemasan
(packaging),
dan
penyimpanan dalam cold storage. Adapun masing-masing tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Penerimaan bahan baku Udang di dalam wadah dibongkar secara hati–hati, setelah dilakukan pemeriksaan/inspeksi udang kemudian dipindahkan dan disiram dengan air guna menghilangkan kotoran yang melekat.
2.
Pemisahan dan penimbangan Pemisahan ukuran udang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku dan dibagi menjadi 3 ukuran, yaitu udang besar, medium dan kecil. Setelah itu udang ditimbang.
3.
Perendaman dengan bahan tambahan Proses perendaman menggunakan bahan tambahan tertentu dilakukan jika dipersyaratkan oleh pelanggan. Untuk konsentrasi larutan dan waktu perendaman dilakukan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
4.
Pemasakan Proses pemasakan dilakukan menggunakan alat pemasak. Tingkat kematangan didasarkan atas ketentuan pelanggan. Pemasakan dapat dilakukan dengan pengukusan atau perebusan.
5.
Pendinginan Setelah dimasak, udang didinginkan dengan cara memasukkan ke dalam air dingin selama beberapa saat.
17
6.
Penyusunan Udang yang akan dibekukan disusun dalam bentuk blok. Cara penyusunan disesuaikan dengan spesifikasi masing-masing produk.
7.
Pembekuan Pembekuan dilakukan hingga suhu pusat udang mencapai -18 °C.
8.
Penggelasan Blok yang suda h lepas segera dicelupkan ke dalam air es. Tujuan dilakukannya penggelasan ini adalah untuk mencegah terjadinya dehidrasi selama penyimpanan beku dan banyak drip setelah udang di-thawing.
9.
Pengemasan Setelah proses penggelasan selanjutnya udang dikemas sesuai dengan spesifikasi pengemasan yang digunakan, biasanya menggunakan polybag dengan bahan LDPE (Low Density Polyethylene) dan master carton.
10.
Penyimpanan di cold room Udang yang telah dikemas selanjutnya segera dibawa ke gudang pendingin dengan suhu -20°C atau lebih rendah.
2.4.3. Perubahan mutu udang Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dalam petunjuknya mengenai pencegahan dan keamanan produk pangan atau yang dikenal dengan nama Defect Action Level Handbook telah mendefinisikan tentang arti dari dekomposisi, yaitu sebagai suatu penguraian oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk. Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada bau, rasa, tektur, warna dan sebagainya (FDA, 1998). Secara umum dalam mengevaluasi produk udang yang diimpor, FDA Amerika Serikat menggunakan 3 kelas sistem, yaitu: •
Kelas 1 (Passable atau yang lolos dari pemeriksaan), yaitu udang dengan kriteria sangat segar atau produk udang yang tidak dapat diidentifikasi dekomposisinya.
•
Kelas 2 Decomposed-Slight but Definite atau udang yang telah terdekomposisi tetapi tidak terdeteksi baunya.
18
•
Kelas 3 Decomposed -Advanced atau udang yang telah terdekomposisi dan telah menimbulkan bau. Penilaian ini didasarkan atas pe ngujian karakteristik sensori subjektif yang
dilakukan oleh panelis sensori terlatih. Sampai tahun 1996, FDA Compliance Policy Guide (CPG) 7108.11 mendefinisikan dekomposisi kelas 2 sebagai udang dengan jumlah konsentrasi indol lebih besar atau sama dengan 25 µg/100 g tetapi lebih kecil dari 50 µg/100 g, sedangkan udang dengan dekomposisi kelas 3 ditunjukkan dengan konsentrasi indol yang lebih besar dari 50 µg/100 g (FDA, 1996). Namun perubahan mutu akibat berfluktuatif nya suhu hanya dengan menunjukkan nilai indol menjadi tidak efektif lagi. Hal ini diungkapkan oleh Benner et al. (2003), dimana dalam penelitiannya mengenai perbedaan suhu dengan kisaran suhu 0, 12, 24, dan 36 °C yang dicobakan, menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya suhu maka penurunan mutu udang semakin cepat. Perubahan mutu dari udang penaied budidaya menunjukan bahwa udang dapat diterima dengan nilai konsentrasi indol rata -rata sebesar 25 µg/100 g, selain itu untuk putrescine dan cadaverine masing-masing sebesar 3 ppm. Perubahan mutu udang masak, tidak hanya dilihat dari keadaan atau kondisi penyimpanan saja. Murakami (1994) misalnya mengkaji perubahan mutu udang masak selama berlangsungnya pemasakan. Dalam laporannya memperlihatkan bahwa perubahan mutu selama proses pemasakan udang ditunjukkan dengan adanya perubahan tekstur dan karakteristik termofisik dari udang, seperti misalnya kadar air, berat jenis, konduktivitas panas, volume, dan sebagainya, serta terjadinya kehilangan berat (weight loss). Perubahan ini tentu membawa konsekuensi ekonomi yang penting. Penurunan kadar air misalnya, diduga disebabkan oleh penurunan daya ikat air dari protein sehingga menyebabkan denaturasi atau adanya perubahan gaya internal akibat tekanan pada konektivitas jaringan penghubung. Murakami (1994) selanjutnya melaporkan bahwa kadar air pada udang mengalami penurunan hampir 10% selama proses pemasakan.
Udang yang direbus dalam 10% larutan garam
selama 4 menit, volumenya berkurang sebanyak 22,5% dan udang yang dimasak dalam sup kentang (cooking shrimp in cream of potato soup) selama 30 menit mengalami pengurangan berat sebesar 26,3 %.
19
Erdogdu et al. (2004) menerangkan bahwa proses pemasakan pada udang menyebabkan terjadinya denaturation protein myofibrillar dan penyusutan kolagen, sehingga akhirnya mengakibatkan mengerasnya daging udang (tightening and stiffening). Secara bersamaan Brodersen and Bremner (2001) menambahkan bahwa perubahan tersebut akhirnya akan menyebabkan terjadinya drip (keluarnya cairan yang mengandung protein) selama proses pemasakan yang mengakibatkan timbulnya kekosongan antar serabut otot udang. Semua faktor ini mempengaruhi keseluruhan volume dan kepadatan setelah pemasakan. Perubahan mikroorganisme telah dipelajari oleh Hatha et al. (2003), dimana dari 1964 sampel uda ng mentah dan 914 sampel udang masak dari jenis udang windu (Penaeus monodon) di India yang telah menerapkan program keamanan pangan atau HACCP menunjukan bahwa untuk udang mentah yang dibekukan, 96% dari contoh menunjukkan nilai TPC di bawah 105 , sedang 99% dari contoh udang masak beku ready-to-eat menunjukkan TPC kurang dari 104. Nilai TPC berkisar antara 1x102 – 4,2x106 cfu (unit koloni)/gr untuk udang mentah yang dibekukan dan antara 1x102 – 6,4x104 cfu (unit koloni)/gr untuk udang masak yang dibekukan.