kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok OO (2,26+0,08). Berdasarkan hasil uji post hoc Mann Whitney terdapat perbedaan bermakna fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok OO dengan kelompok NO (p=0,021). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yu et al. (1998) bahwa pemberian NaCl 8% selama 8 minggu mengakibatkan peningkatan fraksi volum kolagen di tubulus ginjal secara signifikan (p<0,01). Perbedaan fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok NO dengan kelompok NK10 memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,021), begitu juga antara kelompok NO dengan NK20 juga memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,021). Nilai rerata+SEM fraksi volum kolagen tubulus kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan NK10 (5,25+0,49), dan kelompok NK20 (1,92+0,20). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis 10 mg/kgBB dan 20 mg/kgBB menurunkan fraksi volum kolagen jika dibandingkan dengan kelompok NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Yan et al. (2013) bahwa fraksi volum kolagen kardiomiosit pada tikus SHR yang mendapatkan dosis kuersetin 10 mg/kgBB lebih rendah dibandingkan dengan tikus SHR yang mendapatkan CMC 1% dan kelompok tikus SHR yang mendapatkan dosis kuersetin 5 mg/kgBB dengan nilai p<0,05. Pada penelitian Verma et al. (2013) pada tikus Wistar dengan fibrosis paru diketahui bahwa kuersetin memiliki efek pneumoprotektif dengan meminimalkan akumulasi kolagen.
Menurut Gosh et al. (2009) ligan PPAR-γ menghambat stimulasi transkripsi gen kolagen yang dirangsang oleh TGF β1 melalui penghambatan pada pembentukan TGF β1 serta jalur penjalaran sinyal pembentukan kompleks R Smad(2/3) dan Co-Smad. Selain itu ligan PPAR-γ juga melakukan represi pada transkripsi gen kolagen dengan cara mencegah terjadinya rekruitmen koaktifator p300. Koaktifator p 300 mendorong terjadinya asetilasi histon yang memiliki peran penting sebagai profibrosis aktivitas TGF-β1 (Gosh dan Varga, 2007). Gressner et al. (2008) juga menyatakan bahwa PPAR-γ melakukan transrepresi tidak hanya pada level koaktivator nuclear receptor dan TGF-β tetapi juga pada level komponen spesifik RS/TK signaling misalnya protein Smad. IV.2.1. Hubungan kadar TGF-β1 dengan fraksi volum kolagen tubulus dan glomerulus Uji korelasi Spearman antara kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen tubulus menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p < 0,005), kemudian korelasi antara kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen glomerulus juga menunjukkan hubungan yang bermakna (p < 0,005). Hubungan keduanya memiliki keeratan sedang dan positif dimana ketika kadar TGF-β1 ginjal tinggi maka fraksi volum kolagen glomerulus dan tubulus ginjal akan tinggi juga, begitu pun sebaliknya. Produksi berlebihan dari kolagen merupakan kontributor utama dari fibrosis ginjal diregulasi oleh faktor fibrogenik seperti TGF-β1 (Cheng et al., 2013). Aktifitas fibrogenik TGF-β menstimulasi kolagen dibuktikan pada
penelitian Robert et al. (1986) injeksi TGF-β secara sub kutan dapat menstimulasi produksi kolagen fibroblas tikus baru lahir. Menurut Poncelet et al (1998) peningkatan kadar TGF-β1 merangsang ekspresi mRNA kolagen. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Kagami et al., (1994) bahwa kultur sel mesangial tikus memperlihatkan peningkatan TGF-β disertai dengan meningkatnya mRNAs matriks protein seperti biglikan, fibronektin dan kolagen I. Pemberian antibody yang menetralisasi TGF-β dapat menghambat kolagen (Kagami et al., 1994). TGF-β1 mengaktifasi progenitor miofibroblas dan
meningkatkan
regulasi
sintesis
protein
kolagen
(Tsoutsou
and
Koukourakis, 2006). Penelitian pada kultur sel tubulus proksimal manusia diketahui bahwa TGF-β1 dan CTGF merangsang sekresi fibronektin dan kolagen tipe IV pada sel di tubulus proksimal dan fibroblast di daerah kortikal ginjal (Qi et al., 2004). Pada kultur sel mesangial manusia, TGF-β1 menstimulasi ekspresi mRNA kolagen tipe IV dan fibronektin (Hansch et al., 1995). Pada penelitian lain yang dilakukan Mizuno et al. (2013) menunjukkan bahwa ekspresi CTGF dan kolagen dimediasi oleh TGF-β1 yang diekspresikan paling banyak di sel mesangial glomerulus, sel epitel viseral dan sel parietal epitel. Pada nefropati diabetes ketiganya terakumulasi bersama matriks ektrasel lainnya. Menurut Grande et al. (1993) TGF-β1 menginduksi ekspresi gen kolagen pada kedua sel NIH-3T3 yang merupakan fibroblast-like line derived dari embrio tikus dan NRK-49F yang merupakan sel ginjal tikus, penelitian ini menunjukkan produksi matriks ekstraglomerulus memiliki peran yang besar pada perkembangan penyakit ginjal.
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa TGF-β dan kaskade downstream penjalaran sinyalnya mengaktifasi patomekanisme seluler yang mengakibatkan perkembangan penyakit ginjal. Secara teoritis mekanisme penjalaran sinyal TGF-β pada penyakit ginjal adalah dengan mengaktifkan reseptor serin/treonin kinase (RS/TK) yang akan merangsang fosforilasi protein Smad 2/3 (R Smad). Protein R Smad akan membentuk kompleks dengan Co Smad di sitosol. Kompleks tersebut akan pindah ke inti sel lalu berikatan dengan reseptor inti dan merekrut faktor transkripsi, selanjutnya akan terjadi proses transkripsi gen yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel, diferensiasi sel dan pembentukan matriks ektrasel. Mekanisme inilah yang mendasari terjadinya fibrosis pada ginjal (Hovater dan Sanders, 2012). Pada beberapa bagian ginjal perkembangan fibrosis lebih cepat dibandingkan dengan bagian yang lain, seperti sel mesangial di glomerulus dan fibroblas di daerah tubulus. Sel tersebut akan mengalami proliferasi dan meningkatkan produksi matrik ekstra sel. Sel epitel endotel dan podosit akan mengalami apoptosis. Sel epitel akan berdiferensiasi dan mengakibatkan sel kehilangan kemampuannya untuk memproduksi molekul adhesi seperti E-cadherins dan meningkatkan matriks ekstra sel lain seperti kolagen. Kondisi ini menyebabkan perubahan sitoskeletal, ruptur pada basal membran tubulus, dan berpindahnya sel epitel yang telah berdiferensiasi menuju ruang interstitial. Perubahan pada struktur sel akan menyebabkan gangguan pada fungsi organ (Hovater dan Sanders, 2012). Fibrosis ginjal yang tidak diatasi akan menyebabkan CKD kemudian akan mengarah pada ESRD, dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang
irreversible dan memerlukan bantuan dialisis atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup (Thomas et al., 2009). BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1.
Kesimpulan
1. Kadar TGF-β1 pada ginjal tikus Wistar jantan yang mendapatkan NaCl 8% dan diberikan kuersetin lebih rendah seiring dengan peningkatan dosis kuersetin namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna. 2. Fraksi volum kolagen pada ginjal tikus Wistar jantan yang mendapatkan NaCl 8% dan diberikan kuersetin lebih rendah seiring dengan peningkatan dosis kuersetin dan terdapat perbedaan bermakna pada kuersetin dosis 20 mg/kgBB. 3. Terdapat hubungan positif yang bermakna antara kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen tubulus dan glomerulus. V.2.
Saran
Untuk penelitian di masa yang akan datang disarankan untuk melihat efek pemberian kuersetin pada tikus Wistar jantan yang diinduksi NaCl 8% terhadap organ lain seperti jantung dan pembuluh darah selain itu dapat juga diteliti efeknya terhadap faktor lain yang berperan pada fibrosis seperti ekspresi α-SMA, fibronectin, Smad2, Smad3 serta pengaruhnya terhadap fungsi ginjal seperti kadar ureum, kadar kreatinin, keseimbangan cairan dan elektrolit serta volum urin.
V.3.
Ringkasan
V.3.1. Latar Belakang Fibrosis disebabkan oleh pembentukan jaringan parut yang berlebihan terutama pada organ paru, pembuluh darah, jantung dan ginjal (Sakai et al. ,1996). Di Amerika Serikat fibrosis dihubungkan dengan sekitar 45% kematian (Wynn, 2004). Ginjal adalah salah satu organ yang sering mengalami fibrosis, ditandai dengan pembentukan jaringan parut karena deposisi, kontraksi dan 53 produksi berlebihan matriks ekstrasel. Proses pembentukan fibrosis berjalan selama beberapa bulan hingga beberapa tahun, fibrosis ginjal yang tidak diatasi merupakan penyebab utama CKD (Chronic Kidney Disease) yang berakhir dengan ESRD (End Stage Renal Disease) serta kematian. Transplantasi organ adalah tindakan yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan ESRD, namun organ transplantasi yang dibutuhkan sangat sulit didapat sehingga pasien seringkali meninggal sebelum mendapatkan organ yang cocok (Asakura et al., 1999; Leaks dan Abraham, 2004; Bartram dan Speer, 2004). Efek merusak NaCl telah diketahui sejak 100 tahun terakhir. Percobaan laboratorium yang lebih spesifik terhadap efek garam pada ginjal mengGambar kan tingginya tingkat gagal ginjal dan hipertensi pada Kelompok albino, pembatasan garam ternyata dapat meningkatkan masa hidupKelompok (Meneely et al., 1952; Tucker et al., 1957). Penelitian awal yang dilakukan oleh Ying dan Sanders (1998) menunjukkan bahwa pemberian suplementasi NaCl 8% pada hewan coba dapat meningkatkan kadar TGF-β1 glomerulus dan tubulus ginjal. Peningkatan ini terjadi secara signifikan satu hari setelah diberi
diet tersebut dan terjadi sebelum adanya hipertensi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa efek garam di pembuluh darah lebih kompleks dari hanya meningkatnya tekanan darah saja. Penelitian Yuet al. (1998) dengan pemberian suplementasiNaCl 8% selama 8 minggu, dapatmeningkatkan kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen pada ginjal, ventrikel kiri dan intramiokardial arteri tanpa ada peningkatan tekanan darah yang signifikan. Famili TGF-β merupakan sitokin yang terdapat di seluruh tubuh, multi fungsi dan penting untuk bertahan hidup, namun jika berada dalam jumlah besar sinyal dari TGF-β akan menyebabkan fibrosis. TGF-β1 adalah mediator kunci sitokin profibrosis yang berperan terhadap kerusakan glomerulus, tubulointerstisial dan fibrosis ginjal. Fibrogenesis ginjal berlebihan merupakan proses yang mengawali terjadinya fibrosis ginjal yang selanjutnya akan meningkat menjadi penyakit gagal ginjal kronis (Botinger dan Bitzer, 2002; Leask dan Abraham, 2004). Kuersetin merupakan kelompok senyawa flovanol dari 6 subkelas senyawa flavonoid. Flavonoid adalah kelompok senyawa pada tanaman yang memiliki struktur molekul flavon yang sama. Kuersetin memiliki efek antioksidan, menghambat protein kinase, menghambat DNA topoisomerase dan meregulasi ekspresi gen ( Moskaug et al., 2004). Pada penelitian Yan et al. (2013)
didapatkan
hasil
bahwa
kuersetin
10mg/kgBB
paling
dapat
menghambat pembesaran jantung melalui peningkatan ekspresi PPAR-γ dan penghambatan jalur sinyal AP-1. Hasil uji histopatologi juga menunjukkan bahwa pada Kelompok Spontaneus Hypersensitive Rats (SHR) yang diberi
terapi kuersetin 10mg/kgBB memiliki volum kolagen yang paling rendah. Phan et al. (2004) menyatakan bahwa kuersetin dapat mensupresi TGF-β, ekspresi TGF-β reseptor 1 dan 2 serta menurunkan ekspresi basal Smad2, Smad3 dan Smad4. Selain itu pemberian kuersetin dapat menghambat fosforilasi Smad2, Smad3 dan Smad4 serta pembentukan kompleks Smad2-3-4 pada kultur keloid fibroblas. Penelitian Kawai et al. (2009) pada Kelompok C57BL/6J yang merupakan kelompok model renal interstisial fibrosis yang diberikan terapi PPAR-γ agonis yaitu thiazolidinedione didapatkan hasil terjadi penurunan kadar TGF-β secara signifikan. Pemberian kuersetin diharapkan dapat memberikan wacana baru penggunaan senyawa flavonoid dalam melindungi ginjal terhadap fibrosis karena asupan garam yang berlebihan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis perlu meneliti pengaruh pemberian kuersetin sebagai renoprotektif terhadapfibrosis ginjaldengan mengukurkadar TGF-βdan fraksi volum kolagen sebagai penanda adanya perkembangan fibrosis pada ginjal. V.3.2. Tinjauan Pustaka Pemberian NaCl dengan jumlah tinggi mengaktifkan potensial listrik dalam jumlah besar yang kemudian akan mengaktifkan kanal voltage- and calcium-activated potassium chanel (BKCa) yang berada di sel endotel. Aktifnya kanal BKCaakan mendorong sinyal melalui jalur prolin-rich tyrosine kinase-2 (Pyk2) yang kemudian akan merekrut c-Src sebagai pasangan untuk membentuk kompleks. Pembentukan kompleks Pyk2 dan c-Src merangsang terjadinya
fosforilasi
dan
mengaktifkan
mitogen-activated
protein
kinase(MAPK) yang mengarah pada produksi TGF-β. Sinyal TGF-β sebagai ligan
akanmengaktifkan
reseptor
serin/treonin
kinase
(RS/TK)
yang
merangsang fosforilasi protein Smad 2/3 (R Smad). Protein R Smad akan membentuk kompleks dengan Co Smad di sitosol. Kompleks tersebut akan pindah ke inti sel untuk berikatan dengan p-300, diikuti denganrekruitmen faktor transkripsi. Selanjutnya akan terjadi proses transkripsi gen yang akan menyebabkan terjadinya proliferasi sel, diferensiasi sel dan pembentukan ekstramatriks selular termasuk kolagen (Hovater dan Sanders, 2012; Rotman et al., 2010). TGF pertama kali dideskripsikan pada tahun 1980 pada literatur kanker karena perannya dalam proliferasi dan transformasi sel. Famili TGF-β merupakan sitokin yang terdapat di seluruh tubuh, multifungsi dan penting untuk bertahan hidup, selain itu TGF-β juga berperan dalam pertumbuhan, peradangan dan perbaikan serta imunitas bagi tubuh. Peran TGF-β pada homeostasis dan proses patogen saat ini digunakan secara luas pada diagnosis dan pengobatan berbagai penyakit peradangan dan fibrosis (Wharton dan Derynck et al. ,2009; Shi dan Massagu , 2003). Bermacam-macam struktur protein dihubungkan dengan keluarga TGF-β. Ada beberapa isoform dari TGFβ yang telah diidentifikasikanpada mamalia, yaitu TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3 (Massagu , 1998). TGF-β1 adalah prototipe dari anggota keluarga TGF dan memiliki peran yang beragam pada perkembangan dan mengatur homeostasis. Perubahan pada pemberian sinyal TGF-β1 dihubungkan dengan fibrosis, kanker, perkembangan dan penyakit kardiovaskular (Robert et al., 1986;
Rosenbloom et al., 2010; Blobe et al., 2000; Prud’homme, 2007; Proetzel et al., 1995; Goumans et al., 2009). TGF-β1 disintesis oleh semua tipe sel yang berada di ginjal (Lan, 2012). Kolagen merupakan komponen utama sebagian besar jaringan ikat, di jaringan manusia ditemukan sedikitnya 25tipe kolagen yang terbentuk oleh lebih dari 30 rantai polipeptida yang berbeda yang masing-masing dikode oleh gen yang terpisah (Kalluri, 2003). Kolagen merupakan komponen utama dari glomerular basement membran (GBM) dan tubulus. Fungsinya penting dalam menyediakan dukungan struktural dan fungsional pada berbagai tipe sel. Kolagen di GBM bersama protein lain yaitu laminin, nidogen dan komponen lain dalam bentuk agregat supramolekul 2 dimensi yang stabil. Kolagen dan komponen lain di glomerulus membentuk lamina basalis dimana strukturnya ditunjang oleh 2 lembaran terpisah lapisan endotel dan lapisan epitel (Gilbert et al., 1998; Boutaud et al., 2000; Gelse et al., 2003; Murray et al., 2009). Produksi berlebihan dari kolagen merupakan kontributor utama dari fibrosis ginjal, yang diregulasi oleh faktor fibrogenik seperti TGF-β1 (Cheng et al., 2013). Mizuno et al. (2013) menyatakan bahwa CTGF dan kolagen dimediasi oleh TGF-β1 dan ketiganya diekspresikan paling banyak di sel mesangial glomerulus, sel epitel viseral dan sel parietal epitel. Pada nefropati diabetes ketiganya terakumulasi bersama matriks ektrasel lainnya. Menurut Grande et al. (1993) TGF-β1 menginduksi ekspresi gen kolagen pada kedua sel NIH-3T3 yang merupakan fibroblast-like line derived dari embrio Kelompok dan NRK-49Fyang merupakan sel ginjal pada
Kelompokdimana menunjukkan bahwa produksi matriks ekstraglomerulus memiliki peran yang besar pada perkembangan penyakit ginjal. Kuersetin merupakan kelompok senyawa flavonol dari 6 subkelas senyawa flavonoid. Pemberian kuersetin sebagai ligan PPAR-γ akan mengaktifasi PPAR-γ dan mensupresi TGF-β serta mencegah ikatan antara protein p-300 dengan protein Smad. Selain itu PPAR-γ dapat menghambat ikatan antara protein Smad (R-Smad dan Co-Smad) dan respon element yang berada di inti sel. Ikatan protein p-300, protein Smad dan respon element akan menginisiasi pembentukan matriks ekstrasel diantaranya kolagen. V.3.3.
Jalannya Penelitian Tikus putih (Rattus novergitus) diambil dari pusat penelitian LPPT
UGM sebanyak 30 ekor tikus Wistar jantan. Usia hewan coba 4-5 minggu dengan bobot 100-150 g dalam kondisi sehat. Tikus dipelihara di laboratorium hewan coba peminatan faal. Pakan berupa AD II produksi Jafpa dan minum diberikan dengan air yang berasal dari keran secara ad libitum. Kandang hewan ditempatkan dalam suhu ruangan dan dibuat siklus terang-gelap 12 jam. Sebelum dilakukan perlakuan, tikus dilakukan adaptasi selama tujuh hari. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan yaitu: Kelompok OO
: Tikus putih jantan (Rattus norvegitus) galur Wistar tanpa perlakuan sebanyak 5 ekor.
Kelompok NO
: Tikus putih jantan (Rattus norvegitus) galur Wistar sehat, diberikan NaCl 8% (NaCl 8 gram dilarutkan dalam 100
mL aquadest) dengan dosis 2% berat badan perhari selama 8 minggu. Kelompok NC
: Tikus putih jantan (Rattus norvegitus) galur Wistar sehat, diberikan NaCl 8% (NaCl 8 gram dilarutkan dalam 100 mL aquadest) dengan dosis 2% berat badan perhari disertai dengan pemberian CMC 0,5% selama 8 minggu.
Kelompok NK5 : Tikus putih jantan (Rattus norvegitus) galur Wistar sehat, diberikan NaCl 8% (NaCl 8 gram dilarutkan dalam 100 mL aquadest) dengan dosis 2% berat badan perhari disertai dengan pemberian kuersetin 5 mg/kgBB/hari peroral selama 8 minggu. Kelompok NK10 : Tikus Tikus putih jantan (Rattus norvegitus) galur Wistar sehat, diberikan NaCl 8% (NaCl 8 gram dilarutkan dalam 100 mL aquadest) dengan dosis 2% berat badan perhari disertai dengan pemberian kuersetin 10 mg/kgBB/hari peroral selama 8 minggu. Kelompok NO20 : Tikus Tikus putih jantan (Rattus norvegitus) galur Wistar sehat, diberikan NaCl 8% (NaCl 8 gram dilarutkan dalam 100 mL aquadest) dengan dosis 2% berat badan perhari disertai dengan pemberian kuersetin 20 mg/kgBB/hari peroral selama 8 minggu. Larutan NaCl 8% dibuat dengan cara menambahkan 8 gram NaCl dengan 100 mL aquadest. Larutan kuersetin dibuat dengan menambahkan
serbuk kuersetin ke dalam larutan CMC 0,5% dengan perbandingan 1 mg kuersetin : 1 mL larutan CMC 0,5%. Kadar TGF-β1 diukur 1 kali, yaitu setelah perlakuan berakhir. Kelompok yang telah diberi perlakuan selama 8 minggu dikorbankan, irisan ginjal diambil untuk diperiksa kadar TGF-β1 dengan metode Sandwich ELISA. Fraksi volum kolagen diukur 1 kali, yaitu setelah perlakuan berakhir. Kelompok yang telah diberi perlakuan selama 8 minggu dikorbankan, irisan ginjal diambil untuk dilakukan pewarnaan dengan picrosirius red. Fraksi volum kolagen ditentukan dengan menghitung area dari jaringan yang terwarnai pada tiap lapang pandang menggunakan software image J. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 20 lapang pandang di glomerulus dan tubulus yang terdapat pada korteks ginjal. V.3.4.
Hasil dan Pembahasan Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rerata kadar TGF-β1 pada
kelompok NO (1,49+0,49) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar TGFβ1 kelompok OO (1,03+0,14). Berdasarkan uji post hoc LSD diketahui bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok OO dengan kelompok NO dengan nilai p= 0,007. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yu et al. (1998) bahwa pemberian NaCl 8% selama 8 minggu mengakibatkan peningkatan rerata kadar TGF-β1 pada ginjal kelompok tikus yang diberi NaCl 8% (1,37+0,05) dibandingkan dengan kelompok tikus yang hanya diberikan NaCl 1% (0,94+0,14). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Ying dan Sanders (1998) bahwa terjadi peningkatan kadar TGF-β1 pada tikus Wistar
jantan berusia 4 minggu yang diberikan NaCl 8% selama 15 hari. Hasil observasi 1 hari hingga hari ke-15 setelah pemberian diketahui bahwa saat kadar TGF-β1 plasma tidak mengalami perubahan, rerata kadar TGF-β1 urin mengalami peningkatan sebesar 76,6%. Hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan kadar TGF-β1 di glomerulus dan tubulus ginjal sebagai tempat diproduksinya urin. Kultur sel tubulus dan glomerulus juga menunjukkan bahwa tikus yang diberikan NaCl 8% menghasilkan TGF-β1 dalam jumlah yang besar. Perbedaan kadar TGF-β1 antara kelompok NO dengan kelompok NK5, NK10 dan NK20 yang diuji dengan menggunakan uji post hoc LSD, hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,050). Walaupun begitu pada Gambar 9 kadar TGF-β1 terlihat lebih rendah pada kelompok NK5 (1,31+0,07), NK10 (1,26+0,13) dan NK20 (1,19+0,14) jika dibandingkan dengan kelompok NO (1,49+0,49). Kadar TGF-β1 semakin rendah ketika dosis kuersetin ditambahkan, kadar TGF-β1 paling rendah terdapat pada kelompok NK20 yang diberikan kuersetin dosis 20 mg/kgBB. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa percobaan in vivo dan in vitro yang menunjukkan bahwa kuersetin memiliki efek menghambat ekspresi TGF-β1. Pada penelitian Guo et al. (2014) pemberian kuersetin dengan dosis 20µM pada kultur glomerular endothelial cells (GEnCs) yang diinduksi Asymmetric dimethylarginine (ADMA) dapat menurunkan ekspresi TGF-β. Penelitian Lai et al. (2012) juga menyatakan pemberian kuersetin selama 12 minggu pada tikus DM yang diinduksi STZ menunjukkan hasil bahwa kuersetin dapat
meningkatkan fungsi ginjal dengan menghambat peningkatan TGF-β1. Penelitian Phan et al. (2004) pada kultur keloid fibroblast juga diketahui bahwa kuersetin mensupresi TGF-β dan ekspresi reseptor TGF-β. Penelitian lain menyatakan pemberian 50 mg/kgBB kuersetin secara intraperitonial selama 2 minggu menurunkan ekspresi TGF-β1 jaringan paru dan plasma pada tikus silikosis (Peng, 2014). Regulasi kuersetin menghambat ekspresi TGF-β1 belum diketahui dengan jelas (Gosh et al., 2004). Diperkirakan kuersetin sebagai ligan PPAR-γ bekerja meningkatkan aktifitas PPARγ. Peningkatan
PPAR-γ akan
menghambat TGF-β sebaliknya ketika aktifitas PPAR-γ diturunkan maka terjadi respon peningkatan TGF-β. Mekanisme PPAR-γ dalam menghambat TGF-β diduga melalui interaksi dengan aktivator protein-1 (AP-1) dan faktor transkripsi lainnya dengan PPAR-γ (Deleverin et al., 1999). Walaupun kadar TGF-β1 yang dimiliki lebih rendah namun belum mendekati nilai rerata yang sama dengan kelompok OO (1,03+0,14). Perbedaan yang tidak signifikan ini kemungkinan disebabkan karena dosis kuersetin yang diberikan masih belum cukup tinggi sehingga hambatan terhadap pembentukan TGF-β1 belum cukup besar. Pada penelitian Phan et. al. (2004) pemberian 50 mg/kgBB secara intraperitonial selama 2 minggu pada tikus yang mengalami silikosis baru dapat mensupresi TGF-β. Uji Kruskal Wallis fraksi volum kolagen glomerulus menunjukkan hasil ada perbedaan yang bermakna antar kelompok (p=0,005). Berdasarkan uji post hoc Mann Whitney diketahui bahwa terdapat perbedaan bermakna antara
kelompok OO dengan kelompok NO (p = 0,021), dengan rerata NO (19,05+0,99) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok OO (3,78+0,12). Hasil ini sesuai dengan penelitian Yu et al. (1998) yang menunjukkan bahwa fraksi volum kolagen di glomerulus kelompok tikus yang diberikan NaCl 8% selama 8 minggu lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberikan NaCl 1% dalam waktu yang sama dengan nilai p < 0,01. Menurut Martinez (2007) Analisis post hoc Mann Whitney kelompok NO dibandingkan dengan kelompok NK5 tidak ada perbedaan bermakna (p=0,773), kelompok NO dibandingkan dengan kelompok NK10 juga tidak ada perbedaan bermakna (p=149). Sedangkan kelompok NO dibandingkan dengan NK20 memiliki beda bermakna (p=0,20) dengan nilai rerata+SEM fraksi volum kolagen glomerulus kelompok NO (19,05+0,99), lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kelompok NK20 (3,22+0,81). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tang et al (2011) bahwa kuersetin memiliki efek proteksi terhadap glomerulosklerosis pada diabetes nepropati dengan menurunkan produksi kolagen. Pada penelitian Verma et al. (2013) pemberian kuersetin 100 mg/kgBB selama 20 hari dapat menurunkan akumulasi kolagen pada fibrosis paru. Regulasi pembentukan kolagen secara normal diatur secara ketat, karena akumulasi kolagen berlebihan akan mengakibatkan fibrosis. Pada fibrosis hampir semua sel di ginjal seperti fibroblas, tubular epitelial sel, perisit, sel endotel, sel otot polos pembuluh darah, sel mesangial dan podosit memiliki peran serta (Liu, 2011).
Fraksi volum kolagen tubulus antar kelompok berdasarkan uji Kruskal Wallis menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,02) dengan nilai rerata+SEM fraksi volum kolagen tubulus kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok OO (2,26+0,08). Berdasarkan hasil uji post hoc Mann Whitney terdapat perbedaan bermakna fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok OO dengan kelompok NO (p=0,021). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yu et al. (1998) bahwa pemberian NaCl 8% selama 8 minggu mengakibatkan peningkatan fraksi volum kolagen di tubulus ginjal secara signifikan (p<0,01). Perbedaan fraksi volum kolagen tubulus antara kelompok NO dengan kelompok NK10 memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,021), begitu juga antara kelompok NO dengan NK20 juga memiliki perbedaan yang bermakna (p=0,021). Nilai rerata+SEM fraksi volum kolagen tubulus kelompok NO (9,79+0,53) lebih tinggi dibandingkan dengan NK10 (5,25+0,49), dan kelompok NK20 (1,92+0,20). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis 10 mg/kgBB dan 20 mg/kgBB menurunkan fraksi volum kolagen jika dibandingkan dengan kelompok NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Yan et al. (2013) bahwa fraksi volum kolagen kardiomiosit pada tikus SHR yang mendapatkan dosis kuersetin 10 mg/kgBB lebih rendah dibandingkan dengan tikus SHR yang mendapatkan CMC 1% dan kelompok tikus SHR yang mendapatkan dosis kuersetin 5 mg/kgBB dengan nilai p<0,05. Pada penelitian Verma et al. (2013) pada tikus Wistar dengan fibrosis paru diketahui bahwa
kuersetin memiliki efek pneumoprotektif dengan meminimalkan akumulasi kolagen. Menurut Gosh et al. (2009) ligan PPAR-γ menghambat stimulasi transkripsi gen kolagen yang dirangsang oleh TGF β1 melalui penghambatan pada pembentukan TGF β1 serta jalur penjalaran sinyal pembentukan kompleks R Smad(2/3) dan Co-Smad. Selain itu ligan PPAR-γ juga melakukan represi pada transkripsi gen kolagen dengan cara mencegah terjadinya rekruitmen koaktifator p300. Gressner et al. (2008) juga menyatakan bahwa PPAR-γ melakukan transrepresi tidak hanya pada level koaktivator nuclear receptor dan TGF-β tetapi juga pada level komponen spesifik RS/TK signaling misalnya protein Smad. Uji korelasi Spearman antara kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen tubulus menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p < 0,005), kemudian korelasi antara kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen glomerulus juga menunjukkan hubungan yang bermakna (p < 0,005). Hubungan keduanya memiliki keeratan sedang dan positif dimana ketika kadar TGF-β1 ginjal tinggi maka fraksi volum kolagen glomerulus dan tubulus ginjal akan tinggi juga, begitu pun sebaliknya. Produksi berlebihan dari kolagen merupakan kontributor utama dari fibrosis ginjal diregulasi oleh faktor fibrogenik seperti TGF-β1 (Cheng et al., 2013). Aktifitas fibrogenik TGF-β menstimulasi kolagen dibuktikan pada penelitian Robert et al. (1986) injeksi TGF-β secara sub kutan dapat menstimulasi produksi kolagen fibroblas tikus baru lahir. Menurut Poncelet et
al (1998) peningkatan kadar TGF-β1 merangsang ekspresi mRNA kolagen. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Kagami et al., (1994) bahwa kultur sel mesangial tikus memperlihatkan peningkatan TGF-β disertai dengan meningkatnya mRNAs matriks protein seperti biglikan, fibronektin dan kolagen I. Pemberian antibody yang menetralisasi TGF-β dapat menghambat kolagen (Kagami et al., 1994). TGF-β1 mengaktifasi progenitor miofibroblas dan
meningkatkan
regulasi
sintesis
protein
kolagen
(Tsoutsou
and
Koukourakis, 2006). Penelitian pada kultur sel tubulus proksimal manusia diketahui bahwa TGF-β1 dan CTGF merangsang sekresi fibronektin dan kolagen tipe IV pada sel di tubulus proksimal dan fibroblast di daerah kortikal ginjal (Qi et al., 2004). Pada kultur sel mesangial manusia, TGF-β1 menstimulasi ekspresi mRNA kolagen tipe IV dan fibronektin (Hansch et al., 1995). Pada penelitian lain yang dilakukan Mizuno et al. (2013) menunjukkan bahwa ekspresi CTGF dan kolagen dimediasi oleh TGF-β1 yang diekspresikan paling banyak di sel mesangial glomerulus, sel epitel viseral dan sel parietal epitel. Pada nefropati diabetes ketiganya terakumulasi bersama matriks ektrasel lainnya. Menurut Grande et al. (1993) TGF-β1 menginduksi ekspresi gen kolagen pada kedua sel NIH-3T3 yang merupakan fibroblast-like line derived dari embrio tikus dan NRK-49F yang merupakan sel ginjal tikus, penelitian ini menunjukkan produksi matriks ekstraglomerulus memiliki peran yang besar pada perkembangan penyakit ginjal. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa TGF-β dan kaskade downstream penjalaran sinyalnya mengaktifasi patomekanisme seluler yang
mengakibatkan perkembangan penyakit ginjal. Secara teoritis mekanisme penjalaran sinyal TGF-β pada penyakit ginjal adalah dengan mengaktifkan reseptor serin/treonin kinase (RS/TK) yang akan merangsang fosforilasi protein Smad 2/3 (R Smad). Protein R Smad akan membentuk kompleks dengan Co Smad di sitosol. Kompleks tersebut akan pindah ke inti sel lalu berikatan dengan reseptor inti dan merekrut faktor transkripsi, selanjutnya akan terjadi proses transkripsi gen yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel, diferensiasi sel dan pembentukan matriks ektrasel. Mekanisme inilah yang mendasari terjadinya fibrosis pada ginjal (Hovater dan Sanders, 2012). Pada beberapa bagian ginjal perkembangan fibrosis lebih cepat dibandingkan dengan bagian yang lain, seperti sel mesangial di glomerulus dan fibroblas di daerah tubulus. Sel tersebut akan mengalami proliferasi dan meningkatkan produksi matrik ekstra sel. Sel epitel endotel dan podosit akan mengalami apoptosis. Sel epitel akan berdiferensiasi dan mengakibatkan sel kehilangan kemampuannya untuk memproduksi molekul adhesi seperti E-cadherins dan meningkatkan matriks ekstra sel lain seperti kolagen. Kondisi ini menyebabkan perubahan sitoskeletal, ruptur pada basal membran tubulus, dan berpindahnya sel epitel yang telah berdiferensiasi menuju ruang interstitial. Perubahan pada struktur sel akan menyebabkan gangguan pada fungsi organ (Hovater dan Sanders, 2012). Fibrosis ginjal yang tidak diatasi akan menyebabkan CKD kemudian akan mengarah pada ESRD, dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang irreversible dan memerlukan bantuan dialisis atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup (Thomas et al., 2009).
V.3.5. 1.
Kesimpulan
Kadar TGF-β1 pada ginjal tikus Wistar jantan yang mendapatkan NaCl 8% dan diberikan kuersetin lebih rendah seiring dengan peningkatan dosis kuersetin namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
2.
Fraksi volum kolagen pada ginjal tikus Wistar jantan yang mendapatkan NaCl 8% dan diberikan kuersetin lebih rendah seiring dengan peningkatan dosis kuersetin dan terdapat perbedaan bermakna pada kuersetin dosis 20 mg/kgBB.
3.
Terdapat hubungan positif yang bermakna antara kadar TGF-β1 dan fraksi volum kolagen tubulus dan glomerulus.
V.3.6.
Saran Untuk penelitian di masa yang akan datang disarankan untuk melihat
efek pemberian kuersetin pada tikus Wistar jantan yang diinduksi NaCl 8% terhadap organ lain seperti jantung dan pembuluh darah selain itu dapat juga diteliti efeknya terhadap faktor lain yang berperan pada fibrosis seperti ekspresi α-SMA, fibronectin, Smad2, Smad3 serta pengaruhnya terhadap fungsi ginjal seperti kadar ureum, kadar kreatinin, keseimbangan cairan dan elektrolit serta volum urin.