Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
Literature Review
Kelainan gigi pada pasien osteogenesis imperfecta (Dental anomaly in osteogenesis imperfecta patients) Zuraida Triana Prameswari*, Achmad Sjafei**,Ervina R. Winoto** * Mahasiswa Strata 1 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya – Indonesia ** Staf Pengajar Departemen Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya – Indonesia
ABSTRACT Background: Osteogenesis imperfecta (OI), is a dominant autosomal disorder characterized by bone fragility and abnormalities of connective tissue with a wide spectrum of severity, raging from very mild bone fragility to lethal forms. It principally affects those tissues containing the main fibrilla collagen type I, e.g. bone and teeth. Purpose: This article review is therefore an introduction to OI and and a reference to help dentists with clinical decision-making. Review: Most dentists will see very few people with this disorder during their careers. The incidence has been estimated at 1-2 per 20,000 births. Conclusion: Dental malocclusions are marked in many OI subjects and include a high incidence of Class III malocclusions, an anterior and/or posterior crossbite, and a posterior openbite. Key words: Osteogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, malocclusion Korespondensi (correspondence): Zuraida Triana Prameswari, Bagian Ortodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Jl. Mayjen Prof Dr. Moestopo 47 Surabaya, Indonesia. E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Osteogenesis imperfecta (OI) merupakan penyakit genetik yang menyebabkan kerapuhan tulang1 yang disebabkan oleh mutasi gen pengkode rantai kolagen tipe I. Kolagen tersebut merupakan protein terbanyak dari tulang, gigi, sklera dan ligamen.2 Insiden yang dapat diketahui pada balita adalah sekitar 1 dalam 20.000 kelahiran. Namun, insiden yang sesungguhnya diperkirakan lebih tinggi mengingat terdapat pasien anak-anak yang tidak terdiagnosa karena memiliki tanda yang ringan. OI timbul pada seluruh ras dan grup etnik.3 Walaupun OI tidak dijumpai dalam praktik sehari-hari, kelainan ini merupakan penyakit yang sering dijumpai dimana penyediaan manajemen yang tepat harus sangat diperhatikan.4 Manifestasi pada gigi, rongga mulut dan kraniofasial sering kali diobservasi dan dapat menjadi alat diagnostik yang sangat penting jika tanda dan gejala fisik tidak pasti.5 Dengan demikian dokter gigi harus mengetahui kelainan gigi yang terjadi pada penderita OI, karena menyangkut estetik yang buruk sehingga menyebabkan kebanyakan penderita merasa rendah diri.6
Tujuan penulisan artikel ini adalah agar dokter gigi khususnya ortodontis mendapatkan informasi mengenai osteogenesis imperfecta dan mengetahui apa saja kelainan gigi pada pasien osteogenesis imperfecta. Osteogenesis Imperfecta Edmon Axman ialah orang yang pada tahun 1831 pertama kali mendiskripsikan empat karakteristik mayor dari OI: kerapuhan tulang, pergerakan sendi yang sangat banyak disertai perubahan letak, sklera berwarna kebiruan, dan tubuh yang lemah. Sedangkan Willem Vrolik, seorang profesor dari University of Amsterdam, yang pertama kali menyadari bahwa kondisi ini bukan merupakan sebuah penyakit yang didapatkan setelah kelahiran dan menegaskan bahwa pada spesimen yang ditemukan olehnya, terdapat kecacatan primer pembentukan tulang dan bukan merupakan sebuah degenerasi sekunder. Diskripsi ini diberi nama “Osteogenesis Imperfecta”.7 Osteogenesis imperfecta (OI) merupakan sebuah kelainan genetik serius yang mempengaruhi jaringan konektif,4 yang ditandai dengan mudahnya fraktur tulang, sering kali karena trauma yang sangat kecil atau bahkan tidak nampak seperti adanya
16
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
trauma.8 Sinonim dari penyakit ini ialah: imperfect osteogenesis, Van der Hoeve syndrome, Eddowe syndrome, Lobstein disease, fragile bone disease, Vrolik disease.9 Walaupun patah tulang dapat sering timbul pada pasien anak-anak dengan OI, jumlah fraktur juga dapat berkurang pada dewasa dikarenakan adanya pengaruh dari hormon seks dan pertumbuhan.2 Sebaliknya, berkurangnya jumlah hormon yang ada saat menopouse dapat memperburuk manifestasi klinis dari OI.10 Prognosis bervariasi mulai dari sangat baik (bentuk autosomal dominan) sampai sangat buruk (bentuk autosomal resesif) karena variasi manifestasi klinis sangat besar.11 Etiologi Kolagen merupakan glikoprotein fibrous utama yang terdapat dalam matriks ekstraseluler dan pada jaringan ikat sepeti tulang rawan, matriks organik tulang, tendon, dan mereka mempertahankan kekuatan jaringan ini.12 Kolagen terbagi menjadi kolagen tipe I,II,III,V,dan XI.13 Kolagen tipe I merupakan protein yang paling penting pada tubuh manusia.14 Gen COL1A1 yang terletak pada kromosom 17 dan gen COL1A2 yang terletak pada kromosom 73 merupakan gen yang mengkode 2 rantai kolagen tipe I yaitu 1 dan 2.15 Osteogenesis imperfecta merupakan kelainan autosomal dominan yang disebabkan oleh mutasi gen kolagen tipe I, COL1A1 dan COL1A216 yang bertanggung jawab dalam sintesis dari protein terbanyak tulang, kulit, ligamen, tendon dan hampir seluruh jaringan konektif.17 Mutasi ini memicu formasi kuantitas patologik (OI tipe I) dari kolagen atau perubahan kualitas produksi kolagen (OI tipe II, III, atau IV).9 Hasilnya ialah campuran dari kolagen yang normal dan tidak normal.18 (Gambar 1)
Gambar 1. Skema mutasi gen penyebab osteogenesis imperfecta.19
Tipe ringan dari OI biasanya disebabkan oleh mutasi yang mengaktifkan satu alel dari gen COL1A1, yang menyebabkan berkurangnya jumlah normal kolagen tipe I. Karakter klinis yang beragam dari OI mencerminkan kelas yang berbeda dari mutasi pada gen COL1A1 dan COL1A2 telah dikenal.17 Mutasi pada gen COL1A1 atau COL1A2 terjadi pada bentuk yang lebih berat dan juga bentuk lethal.19 Klasifikasi Pada klasifikasi osteogenesis imperfecta pertama kali , pada tahun 1906, Looser membagi kelainan ini menjadi dua bentuk : “congenital” (Vrolik) dan “tarda” (Lobstein), bergantung pada tingkat keparahan yang dihasilkan. Pada OI congenital, fraktur multipel nampak in-utero, dimana pada OI tarda, fraktur terjadi pada kelahiran atau sesudahnya. Klasifikasi ini tidak lagi berlaku karena gagal mencakup beberapa variabilitas klinis yang nampak pada penyakit ini.20 Pada tahun 1979, Sillence membagi penyakit ini berdasarkan gambaran radiografi dan gejala klinis dan digunakan hingga kini.21 Setiap kelas diberi nama sesuai dari referensi akan kelainan genetik, ciri klinis, atau keduanya. Tipe I dikenal sebagai “dominant with blue sclerae”, tipe II sebagai “lethal perinatal”, tipe III sebagai “progressive deforming”, dan tipe IV sebagai “dominant with normal sclerae”.4 Tingkat keparahan dari penyakit ini berbeda pada tiap populasi karena adanya variasi fenotif.22 Walaupun telah diterima secara luas, banyak penderita OI tidak masuk dalam klasifikasi osteogenesis imperfecta oleh Sillence, yang disebabkan karena luasnya spektrum dari kelainan molekuler.23 Bentuk baru ini kemudian diberi nama tipe V24 dan tipe VI.25 Penemuan ini telah menghasilkan 3 tipe identifikasi yang berlainan yang didapatkan dari evaluasi analisis histomorphometrik berhubungan yang tergolong sulit untuk dimengerti sehingga masih jarang digunakan.4 Selanjutnya, pada saat ini kelainan ini dibagi menjadi 7 dengan ditemukannya tipe VII.26 Manifestasi Klinis Sebagaimana kolagen tipe I juga merupakan komponen yang penting dari beberapa jaringan ekstraskeletal, maka terdapat beberapa manifestasi ekstraskeletal seperti dentinogenesis imperfecta, sklera yang berwarna biru, kehilangan pendengaran, hiperlacity pada kulit dan ligamen,16 melemahnya
17
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
sendi, penyakit jantung, dan postur tubuh yang pendek.9 (Gambar 2 dan 3.)
Gambar 2. Gambaran klinis pada pasien anak dengan osteogenesis imperfecta.27
populasi pada umumnya. Tidak terdapat bawaan pada kelainan ini yang mempengaruhi kemampuan kognitif.8 Kelainan Kraniofasial Kraniofasial dapat dibagi dalam dua bagian: bagian kranial dan bagian fasial. Pertumbuhan bagian fasial memiliki hubungan yang lebih erat dengan pertumbuhan somatik secara bertahap. Diawali dengan pertumbuhan lateral, dilanjutkan pertumbuhan anteroposterior, dan pada akhirnya pertumbuhan vertikal.32 Wajah yang berbeda dari beberapa tipe OI berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.3 Secara klinis, OI biasanya memiliki bentuk wajah yang segitiga, tulang bitemporal yang protrusif, tulang dahi yang prominen, occipital yang overhanging, dan juga lingkar kepala yang lebih besar dibandingkan normal.9 (Gambar 5 dan 6 )
Gambar 3. Pasien dengan osteogenesis imperfecta.28 Memiliki dahi lebar, tulang yang rapuh, dan postur tubuh yang pendek.
Kerapuhan tulang pada penyakit ini disebabkan karena berkurangnya massa tulang, degenerasi organisasi jaringan tulang dan kecacatan geometri tulang pada bentuk dan ukuran. Kehilangan pende-ngaran adalah salah satu tanda pasti dari OI, dengan kehadirannya yang bervariasi, antara 26% dan 60%.30 Sklera yang berwarna biru disebabkan oleh pigmentasi pada lapisan koroid yang ditunjukan melalui sklera yang tipis.31 (Gambar 4.)
Gambar 5. Ciri kraniofasial pasien osteogenesis imperfecta yaitu wajah berbentuk segitiga dan dahi yang lebar.9
Gambar 6. Pasien laki-laki, 19tahun dengan OI. Wajah betbentuk segitiga dengan dahi yang lebar.28
Gambar 4. Sklera berwarna kebiruan pada pasien osteogenesis imperfecta.31
Pasien dengan OI mempunyai kemampuan intelektual yang baik seperti yang terdapat pada
Ukuran dan bentuk kraniofasial dipengaruhi oleh faktor epigenik seperti postur kepala dan paksaan pada otot. Hubungan mereka secara positif berhubungan dengan meningkatnya abnormalitas dari kualitas tulang dan juga dengan keparahan dari penyakitnya.3 Pada penderita OI, maksila lebih retrusif dibandingkan dengan mandibula dalam hubungannya dengan basis kranii anterior. Tinggi wajah, panjang
18
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
maksila dan mandibula efektif, dan panjang basis kranial anterior dan posterior lebih pendek dibandingkan pasien normal.33 Hal ini disebabkan karena regio sella terdesak oleh berat dari tengkorak yang menghasilkan pembengkokan ke bawah dari basis cranial.34 Pertumbuhan mandibula dan maksila pada dataran sagital melemah pada pasien OI. Hal ini didukung oleh ukuran maksila dan mandibula yang pendek. Terdapat pula divergensi dataran mandibula yang mengindikasikan adanya tendensi gigitan terbuka.33 Pasien OI memiliki sudut basis kranial yang lebih besar,33 dimana hal ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jensen dan Lund di tahun 1997.35 Basis kranial yang mendatar, disebabkan tulang yang rapuh tidak dapat menahan stres mekanik dari berat kepala. Panjang basis kranial anterior dan posterior juga lebih memendek , yang mengindikasikan pertumbuhan basis kranial juga lemah. Sudut artikular (S-Ar-Go) pada pasien OI juga mengindikasi adanya perubahan prognasi. Hal ini dapat menjelaskan adanya profil klas III pada pasien OI. Sudut gonial mempunyai hubungan berarti pada arah pertumbuhan, perubahan profil dan bahkan posisi dari insisif rahang bawah. Sudut gonial yang membesar menandakan peningkatan tendensi gigitan terbuka skeletal.33 Radiografis menggambarkan adanya impresi basilar dan tulang wormian.36 Penting untuk mengidentifikasi karakter kraniofasial pasien OI untuk mengevaluasi kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan.33 Kelainan pada Gigi dan Rongga Mulut Pada pasien OI, gingiva pada maksila terlihat saat tersenyum dan bibir kerap kali tidak kompeten.3 Namun, OI tidak mempengaruhi ada atau tidaknya penyakit gusi (periodontitis). Ukuran rongga mulut pada pasien OI relatif lebih kecil dibandingkan normal karena lemahnya pertumbuhan maksila dan mandibula. Gigi pasien OI tidak mempunyai oklusi yang baik sehingga menyebabkan kesulitan dalam menggigit. Ini disebabkan oleh ukuran dan atau posisi dari rahang atas atau rahang bawah.37 Insisif pada maksila proklinasi ekstrim sementara insisif rahang bawah retroklinasi parah.3 Makroglosia (lidah yang besar) Makroglosia merupakan suatu keadaan lidah yang mempunyai ukuran lebih besar dari normal.39 Definisi makroglosia menurut The National Organization for Rate Disorder adalah pembesaran
abnormal pada lidah yang ditemukan sejak lahir.40 Makroglosia dapat disebabkan oleh karena hipertrofi otot lidah namun juga dapat merupakan kelainan yang didapat, selain karena faktor perkembangan.11 Tekanan otot lidah merupakan faktor penting dalam perkembangan rahang bawah. Makroglosia menimbulkan pengaruh yang besar bagi perkembangan rahang41 selain itu makroglosia juga dapat menyebabkan prognatisme mandibula yaitu tulang mandibula yang maju, sehingga terjadi maloklusi pseudo klas III.42 Lidah yang membesar dan keluar dari rongga mulut yang menyebabkan penderita berusaha menutup mulutnya sehingga lama-kelamaan mandibula terlihat seperti protrusi. Hal inilah yang menyebabkan maloklusi pseudo klas III.40 Pengaruh makroglosia terhadap gigi sangat besar. Makroglosia dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Makroglosia dapat menyebabkan maloklusi pada gigi. Makroglosia juga dapat menimbulkan maloklusi pada gigi dan rahang seperti crossbite, openbite dan prognatisme mandibula. Kasus yang paling sering pada penderita makroglosia adalah crossbite dan openbite.39
Gambar 7. Gambar klinis gigi dengan dentinogenesis imperfecta berwarna abu-abu, coklat atau kuning.38
Dentinogenesis imperfecta Dentinogenesis imperfecta (DI) merupakan salah satu kelainan khas pada gigi yang dapat timbul pada OI (DI tipe I) atau dapat terpisah dari OI (DI tipe II).43 DI juga dikenal sebagai opalescent dentin dan merupakan kondisi autosomal dominan yang mempengaruhi baik gigi susu maupun gigi permanen44 dan ditandai dengan perubahan warna pada gigi.38 Gigi primer dengan DI lebih parah dibandingkan dengan gigi permanen, dan warna yang dilaporkan adalah opalescent, abu-abu, coklat, atau kuning45 dan dapat didiagnosa secara klinis pada gigi bayi yang pertama kali tumbuh.37 (Gambar 8).
19
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
Gambar 8. Pasien perempuan, usia 4 th menderita osteogenesis imperfecta disertai gigi dentinogenesis imperfecta28
Secara radiografi, bentuk mahkota gigi adalah bulbous , dengan konstriksi servikal, akar pendek, dan terjadi obliturasi ruang pulpa. Ketebalan dan radiodensitas enamel nampak normal.45 (Gambar 9). Radiografi, atau X-rays merupakan hal yang penting, namun dapat menjadi sangat susah untuk didapatkan hingga bayi tersebut lebih dewasa.37
Gambar 9. Gambar radiografi menunjukkan mahkota berbentuk bulbous dengan kontriksi servikaldisertai obliturasi ruang pulpa.46
Secara umum, terdapat 3 jenis klasifikasi DI: dentinogenesis imperfecta tipe I, dengan osteogenesis imperfect; dentinogenesis imperfecta tipe II, tanpa osteogenesis imperfect; dentinogenesis imperfecta tipe III, terjadi pada populasi Brandywine di Maryland Selatan, Amerika.6,44 Pada DI, ketidakwajaran bukan disebabkan karena adanya lubang pada gigi, namun lebih kepada penggunaan prematur gigi, yang dihubungkan dengan mengunyah karena erupsi gigi pada OI tipe I terkadang dapat mendahului waktu erupsi gigi yang normal.47 Walaupun enamel gigi dengan DI mempunyai struktur yang normal, dengan konten mineral yang normal, namun enamel cenderung untuk lepas dari permukaan gigi.5 Maloklusi Maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi lengkung geligi (rahang) di luar rentang kewajaran yang dapat diterima.48 Keadaan gigi yang tidak harmonis mempengaruhi estetika dan
penampilan seseorang serta mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan, maupun bicara.49 Maloklusi dapat disebabkan karena tidak adanya keseimbangan dentofasial. Secara garis besar etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat digolongkan dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. Faktor herediter dapat mempengaruhi disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema yang menyeluruh (multipel diastema, serta disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Faktor lokal dapat menyebabkan berbagai maloklusi tergantung penyebabnya. Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena adanya berbagai faktor (multifaktor) yang mempengaruhi pertumbuh kembangan.48 Maloklusi gigi banyak ditemukan pada pasien OI dan mencakup insidensi yang sangat tinggi dari maloklusi kelas III, anterior dan atau gigitan silang posterior. (Gambar 10). Kondisi ini disebabkan oleh kombinasi antara kelainan skelet dan dentoalveolar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chang pada tahun 2007, relasi oklusal kelas III ditemukan pada 62.5 persen dari pasien OI, sementara penelitian yang dilakukan oleh Schwartz dan Tsipouras menemukan maloklusi klas III pada 75% sampel pasien OI.33
Gambar 10. Maloklusi klas III dan gigitan terbuka posterior sering ditemui pada pasien osteogenesis imperfecta.50
Open Bite (Gigitan Terbuka) Gigitan terbuka adalah keadan adanya ruang oklusal atau insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik. Gigitan terbuka pada dasarnya disebabkan karena meningkatnya proporsi vertikal wajah, kebiasaan jelek (seperti menghisap jari), dan pengaruh jaringan limfoid (adenoid) pada pernapasan, mandibula dan postur lidah.51 Gigitan terbuka dapat diklasifikasi sebagai open bite skeletal atau open bite dental. Gigitan
20
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
terbuka skeletal biasanya ditandai dengan kelebihan tinggi vertikal maksila, erupsi gigi posterior berlebih, rotasi mandibula ke arah bawah, normal atau erupsi berlebih dari gigi anterior. Gigitan terbuka dental mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan gigitan terbuka skeletal.52 Pada pasien OI, baik gigitan terbuka anterior dan gigitan terbuka posterior sering dijumpai. Pada penelitian yang dilakukan oleh O’Connell dan Marini, openbite posterior timbul seiring dengan meningkatnya usia dan insiden yang terjadi pada penderita OI ialah sebesar 46%.53 Crossbite Crossbite merupakan penyimpangan hubungan labiolingual dari gigi geligi maksila terhadap mandibula54 yang dapat mengenai seluruh rahang, sebagian rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja.55 Crossbite anterior yang disebabkan faktor skeletal umumnya terjadi akibat adanya pertumbuhan mandibula yang berlebihan yang menghasilkan maloklusi klas III.55 Stenvik et al melaporkan hubungan rahang negatif pada 27 pasien OI dan hubungan terbalik insisif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Schwartz dan Tsipouras, ditemukan insidensi crossbite sebesar 65%, sementara penelitian yang dilakukan oleh O’Connel dan Marini, menggambarkan bahwa didapatkan insidensi crossbite sebesar 46% pada pasien OI.53 Penatalaksanaan Osteogenesis imperfecta mempunyai banyak perbedaan fenotif dan dapat dilihat pada semua umur, dan diagnosis dari penyakit ini sulit dilakukan.26 Diagnosis prenatal dapat dilaksanakan menggunakan tanda klinis, radiografik, metode biokimia atau genetis; sisanya dapat didiagnosa setelah lahir.56 Saat ini, hanya terapi simptomatis yang tersedia; terapi non-bedah termasuk terapi fisik dan rehabilitasi. Terapi bedah dan obat-obatan yang digunakan untuk meningkatkan densitas tulang merupakan pilihan terapi yang lainnya.57 Terapi dengan menggunakan bisphosphonates telah menjadi sebuah terapi simptomatik yang penting.58 Terapi ini dapat meningkatkan prognosis pada bentuk OI yang parah59 dan meningkatkan kualitas hidup pasien60,61 dengan cara mengurangi resorbsi tulang dan mengontrol rasa nyeri.38 Potent inhibitor dari obat resporpsi tulang dan hormon pertumbuhan juga telah digunakan pada tahun terakhir.62 Studi pada binatang dan studi laboratoris akan terapi genetis yang
bertujuan untuk menginaktifkan mutasi masih dalam tahap evaluasi.63 Pada kasus OI yang ringan, perawatan ortodontik pada pasien OI aman untuk dilakukan apabila tidak didapatkan DI. Jika OI disertai dengan DI, ortodontis harus dapat memastikan apakah enamel dapat bertahan lem pada piranti cekat pada gigi dan pada saat melepas piranti cekat nantinya. Sayangnya, susah untuk menentukan betapa kuat enamel hingga perawatan piranti cekat dicoba.43 Perawatan ortodontik dan prosedur bedah untuk mengkoreksi maloklusi pada OI sangat susah dilakukan karena kecenderungan gigi penderita untuk retak. Karena itu, pengasuh anak-anak OI harus diinstruksikan dengan benar bahwa perawatan gigi susu dan pergantian sangat penting untuk menjamin kesejajaran gigi permanen dan meminimalkan perawatan ortodontik yang lebih luas.5 PEMBAHASAN Osteogenesis imperfecta (OI), merupakan penyakit mesoderm. Kecacatan pada kualitas atau kuantitas kolagen tipe I memicu terjadinya kelainan morfologi dari tulang wajah yang menyebabkan pertumbuhan kompleks wajah yang tidak wajar, malformasi rahang atas dan rahang bawah, lengkung gigi, dan gigi Karakteristik wajah, wajah berbentuk segitiga dan dahi yang lebar, ditemukan pada seluruh pasien OI dengan warna sklera yang bervariasi. Pasien OI memiliki sejarah signifikan dari patahnya tulang karena trauma minor.33 Pasien dengan OI mempunyai beberapa problema pada gigi dan oklusal. Crossbite dan relasi oklusal klas III (posisi anterior dari lengkung gigi rahang bawah yang tidak normal dalam hubungannya dengan lengkung gigi rahang atas) merupakan problema ortodontik yang paling sering dijumpai pada pasien OI.34 Maloklusi klas III nampak pada hampir seluruh pasien dengan OI. Insidensi yang didapatkan sangat tinggi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chang pada tahun 2007, relasi oklusal kelas III ditemukan pada 62.5% dari pasien OI, sementara penelitian yang dilakukan oleh Schwartz dan Tsipouras menemukan maloklusi klas III pada 75% sampel pasien OI. Pada tahun 1999, O’Connel dan Marini menemukan insidensi maloklusi klas III sebesar 70% pada sampel pasien OI. Studi ini menunjukkan bahwa pasien OI mempunyai frekuensi maloklusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal.
21
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
Pada tahun 1999, O’Connel dan Marini mendapatkan insidensi maloklusi klas III sebesar 70% pada pasien OI. Stenvik et al. (1985) melaporkan adanya hubungan negatif antar rahang pada 27 pasien OI. Jesen dan Lund (1997) melaporkan hubungan negatif antar rahang pada pasien OI klas III. Studi ini menunjukkan bahwa pasien OI mempunyai frekuensi maloklusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan 3-8% populasi normal.33 Pada pasien OI, terdapat banyak variasi pada fenotif kraniofasial. Postur, berat dan ukuran kepala yang tidak normal pada populasi OI dapat turut memegang pernanan dari perkembangan maloklusi. Regio sella yang terdesak oleh berat otak menghasilkan pembengkokan ke bawah dari basis cranial. Hal ini menyebabkan tinggi wajah, ukuran maksila dan mandibula, dan ukuran basis kranii anterior dan posterior memendek. Hal ini kemudian menghasilkan maksila yang lebih retrusif dibandingkan mandibula dalam hubungannya dengan basis kranii anterior. Selain itu, adanya kehilangan prematur dari dimensi vertikal dan tidak stabilnya oklusi dapat menyebabkan mandibula maju ke depan.34 Pada pasien OI, pertumbuhan mandibula dan maksila pada dataran sagital melemah. Hal ini menyebabkan mengecilnya ukuran maksila dan mandibula. Selain itu, perkembangan kraniofasial dan oklusal menyebabkan kesulitan dalam mengunyah dan makan. Hal ini menyebabkan ukuran rahang pada penderita OI mengecil.34 Openbite merupakan keadaan yang menyimpang dari oklusi normal yang terjadi dalam arah vertikal, dengan karakteristik tidak terjadi overlapping vertikal antara gigi maksila dan mandibula. Pada penelitian yang dilakukan oleh O’Connell dan Marini (1999), openbite posterior timbul seiring dengan meningkatnya usia dan insiden yang terjadi pada penderita OI ialah sebesar 46%. Makroglosia menimbulkan pengaruh yang besar bagi perkembangan rahang, selain itu makroglosia juga dapat menyebabkan prognatisme mandibula yaitu tulang mandibula yang maju, sehingga terjadi maloklusi klas III. Pada pasien OI, ukuran rongga mulut terlalu kecil untuk tempat lidah dan tekanan dari otot-otot lidah gigi mengkompensasi letak gigi yang normal. Hal ini sejalan dengan penemuan bahwa pada pasien OI tidak jarang ditemui adanya tendensi openbite dan gigi yang maju.50 Crossbite disebabkan karena kekuatan otot ekstrinsik pada lidah dan tekanan lidah terhadap gigi anterior rahang bawah. Sementara openbite
disebabkan karena lidah yang membesar dan tidak mempunyai tempat yang cukup dalam rongga mulut, sehingga lidah tersebut protrusif dan terletak diantara gigi rahang atas dan rahang bawah. Hal ini menyebabkan gigi-gigi kelhilangan kontak dengan antagonisnya, sehingga gigi menjadi elongasi mencari oklusi yang tepat dan mengakibatkan terjadi openbite.40 Dentinogenesis imperfecta dapat menjadi bagian dari osteogenesis imperfecta atau dapat terpisah.43 Prevalensi menunjukkan bahwa DI timbul diantara 8% hingga 40% pada pasien osteogenesis imperfecta, dari 43 hingga 82% pada OI tipe III dan antara 37 hingga 100% pada osteogenesis imperfecta tipe IV.5 Pada DI, ketidakwajaran disebabkan bukan karena adanya lubang pada gigi, namun lebih kepada penggunaan prematur gigi, yang dihubungkan dengan mengunyah karena erupsi gigi pada OI tipe I terkadang mendahului waktu erupsi gigi yang normal.47 Disimpulkan bahwa hampir seluruh pasien dengan osteogenesis imperfecta (OI) memiliki kelainan pada daerah kraniofasial. Pasien OI biasanya memiliki wajah yang berbentuk segitiga, tulang bitemporal yang protrusif, tulang dahi yang maju, occiput yang overhanging dan lingkar kepala yang relatif lebih besar dibandingkan populasi normal. Maloklusi gigi ditemukan pada hampir seluruh pasien OI dan mencakup insidensi yang tinggi dari maloklusi klas III, crossbite anterior dan posterior, serta open bite. Kondisi ini dapat disebabkan oleh kelainan dentoalveolar dan skeletal.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
Barnes AM, Carter EM, Cabral WA, Weis M, Chang W, Makareeva E, Leikin S, Rotimi CN, Eyre DR, Raggio CL, Marini JC. Lack of cyclophilin B in osteogenesis imperfecta with normal collagen folding. N Engl J Med 2010; 352(6): 521-8. Teixeira CS, Santos Felippe MC, Tadeu Felippe W, Silva-Sousa YT, Sousa-Neto MD. The role of dentists in diagnosing osteogenesis imperfecta in patients with dentinogenesis imperfecta. J Am Dent Assoc 2008; 139(7): 906. Aizenbud D, Peled M, Figueroa AA. A combined orthodontic and surgical approach in osteogenesis imperfecta and severe class III malocclusion: case report. Oral Maxillofacial Surgery Journal 2008; 66: 1045-53. Major CC, Borggren CL, DeVries RM. Traumatic hand fracture in a patient with
22
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12. 13.
14.
15.
16.
17.
osteogenesis imperfecta. J of Chiropractic Medicine 2008; 7: 155-60. Sanches K, Mussolino de Queiroz A, Campos de Freitas A, Serrano KVD. Clinical feature, dental finding and dental care management in osteogenesis imperfecta. J Clin Pediatr Dent 2005; 30(1): 77-82. Yohanna W. Penatalaksanaan dentinogenesis imperfecta pada gigi anak. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran; 2004. Baljet B. Aspects of the history of osteogenesis imperfecta (Vrolik’s syndrome). Ann Anat 2002; 184:1-7. Clements K, Etris D, Franken A, Hauk J, Huber MB, Hofhine M, Letocha AD, Przybylski T, VanDerAhe L, Young G. United State: Osteogenesis imperfecta: A guide for nurses. National Institute of Health (NIH); 2005. p.1. Solovyov O, Goncharova Y, Zukin V. A case of atypical family form of imperfect osteogenesis (osteogenesis imperfecta). Archives of Perinatal Medicine 2009; 25(4): 222-9. Iwamoto J, Takeda T, Sato Y. Effect of treatment with alendronate in osteogenesis imperfecta type I: a case report. Keio J Med 2004; 53(4): 251-5. Sudiono J. Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial, Jakarta: ECG; 2009. p.13, 72. Yalovaç A, Ulusu NN. Collagen and collagen disorders. FABAD J. Pharm 2007; 32: 139-44. Ottani V, Martini D, Franchi M, Ruggeri A, Raspanti M. Hierarchial structures in fibrillar collagens. Micron 2002; 33(7-8): 587-96. Di Lullo GA, Sweeney SM, Körkkö J, AlaKokko L, San Antonio JD. Mapping the ligandbinding sites and disease-associated mutations on the most abundant protein in the human, type I collagen. Biol Chem 2002; 277(6): 4223-31. Beck K, Chan VC, Shenoy N, Kirkpatrick A, Ramshaw JAM, Brodsky B. Destabilization of osteogenesis imperfecta collagen-like model peptides correlates with the identity of the residue replacing glycine. Proc Natl Acad 2000; 97(8): 4273-8. Ivo R, Fuerderer S, Eysel P. Spondylolisthesis caused by extreme pedicle elongation in osteogenesis imperfecta. Euro Spine Journal 2007; 16:1636-40. Tadmouri GO, Ali SA. Osteogenesis imperfecta congenita. Centre for Arab Genomic Studies; 2006. p.23.
18. Tsitsopoulos PPh, Anagnostopoulos I, Tsitouras V,Venizelos I, Tsitsopoulos P. Intracranial meningioma in a patient with osteogenesis imperfecta. Centre European Journal Medicine 2008; 3(4): 517-20. 19. Gajko-Galicka A. Mutation in type I collagen genes resulting in osteogenesis imperfecta in humans. Acta Biochim Polonica 2002; 49(2):433-42. 20. Plotkin H. Syndrome with congenital brittle bones. BioMed Central Pediatrics 2004; 4:16. 21. Witecka J, Augusciak-Duma AM, Kruczek A, Szydlo A, Lesiak M, Krzak M, Pietrzyk JJ, Männikkö M, Sieroñ AL. Two novel COL1A1 mutations in patients with osteogenesis imperfecta affect the stability of the collagen type I triple-helix. J Appl Genet 2008; 49(3): 283-95. 22. Wannfors K, Johansson C, Donath K. Augmentation of the mandible via a “Tent-Pole” procedure and implant treatment in a patient with type III osteogenesis imperfecta: clinical and histologic considerations. Int J Oral Maxillofac Implats 2009; 24: 1144-8. 23. Chevrel G. Osteogenesis imperfecta. 2010. Available at: http://www.orpha.net/data/ patho/GB/uk-OI.pdf. Accessed January 20, 2010. 24. Glorieux FH, Rauch F, Plotkin H, Ward L, Travers R, Roughley PJ, Lalic L, Glorieux DF, Fassier F, Bishop N. Osteogenesis imperfecta type V: a new form of brittle bone disease. J Bone Min Res 2000; 15:1650-7. 25. Ward LM, Lalic L, Roughley PJ, Glorieux FH. Thirty-three novel COL1A1 and COL1A2 mutations in patients with osteogenesis imperfecta types I-IV. Human Mutation 2001; 17: 434. 26. Cheung MS, Glorieux FH. Osteogenesis imperfecta: update on presentation and management. Rev Endocr Metab Disord 2008; 9(2): 153-60. 27. Werner D. Children who stay small of have weak bones. 2010. Available at: http://www.dinf.ne.jp/doc/english/global/david/ dwe002/dwe00215.html. Accessed: August 24, 2010. 28. Surabaya. RSUD Dr Soetomo: SMF Orthopaedi dan Traumatologi; 2010. 29. Zeitlin L, Fassier F, Glorieux FH. Modern approach to children with osteogenesis imperfecta. J Pediatr Orthop B 2003; 12(2): 7787.
23
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
30. Heimert Tamra L, Lin Doris DM, Yousem David M. Case 48:Osteogenesis imperfecta of the temporal bone. Radiology 2002; 224: 16670. 31. Liu W, Gu F, Ji J, Lu D, Li X, Ma X. A novel COL1A1 nonsense mutation causing osteogenesis imperfecta in a chinese family. Molecular Vision 2007; 13: 360-5. 32. Kusaladewi M. Maloklusi pada sindroma down [Skripsi Studi Pustaka]. Surabaya: Universitas Airlangga; 2008; p.14. 33. Chang PC, Lin SY, Hsu KH. The craniofacial characteristics of osteogenesis imperfecta patients. European Journal of Orthodontics 2007; 29: 232-7. 34. Waltimo-Siren J, Kolkka M, Pynnönen, Kuurila K, Kaitila I, Kovero O. Clinical features in osteogenesis imperfecta: cephalometric study. American Journal of Medical Genetics 2005; 133A: 142-50. 35. Lund AM, Jensen BL, Nielsen LA, Skovby F. Dental manivestations of osteogenesis imperfecta and abnormalities of collagen I metabolism. J Craniofac Genet Dev Biol 1998; 18(1): 30-7. 36. Primorac D, Rowe DW, Mottes M, Barisic I, Anticevic D, Mirandola S, Lira MG, Kalajzic I, Kusec V, Glorieux FH. Osteogenesis imperfecta at the beginning of bone and joint decade. Croatian Medical Journal 2001; 42(4): 393-415. 37. Osteogenesis Imperfecta Foundation (OI Foundation). Dental care for people with osteogenesis imperfecta. 2010. Available at: www.oif.org. Accessed May 28, 2010. 38. Schwartz S, Joseph C, Iera D, Vu D-D. Bisphosphonates, osteonecrosis, osteogenesis imperfecta and dental extraction: a case series. JCDA 2008; 74(6): 537. 39. Langlais RP, Miller CS. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Alih bahasa: Budi Susetyo. Jakarta : Hipokrates, 1994. p. 24, 42-45, 58, 82. 40. Asnindar. Makroglosia : Pengaruhnya pada pertumbuhan dan perkembangan anak. [Skripsi]. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara; 2005. p.13 41. Lynch MA, Brightman VJ, Greeberg MS. Burket ilmu penyakit mulut, diagnosis dan terapi. Alih bahasa: Sianita Kurniawan. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994: p. 523-35 42. Graber TM, Neuman B. Removable orthodontic appliance. 2nded. Philadephia: W.B Saunder Company, 1984. p.153-8.
43. Marks R. Dental care for persons with OI. 2002. Available at: www.osteo.org. Accessed May 28, 2010. 44. Bhandari S and Pannu K. Dentinogenesis imperfecta: A review and case report of a family over four generations. IJDR 2008;19(4): 357-61. 45. Tsai C-L, Lin Y-T, Lin Y-T. Dentinogenesis imperfecta associated with osteogenesis imperfecta: Report of two cases. Chang Gung Med J 2003; 26: 138-43. 46. Mielnik-Blaszczak M, Rogowska A, Stachurski P, Skawinska A. Familial incidence of dentinogenesis imperfecta – a case study. Chair and Department of Paedodontics Dentistry, Medical University of Lublin 2008. 47. Steiner RD, Pepin MG, Byers PH. Gene reviews: osteogenesis imperfecta. 2010. Available at: www.genetest.org. Accessed: February 26, 2010. 48. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya: Airlangga University Press; 2009. p. 26 49. Dewi O. Analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU Kota Medan tahun 2007 [PhD thesis]. USU e-Repository; 2008. 50. Kindelan J, Tobin M, Roberts-Harry D, Loukota RA. Orthodontic and orthognatic management of a patient with osteogenesis imperfecta and dentinogenesis imperfecta: a case report. J of Orthod 2003: 30: 291-6. 51. Burford D, Noar JH. The cause, diagnosis and treatment of anterior open bite. Dent Update 2003; 85: 28-36. 52. Lee W, Wong RW. Non-surgical orthodontic treatment of anterior open bite. Hong Kong Dent J 2009; 6: 103-7. 53. O’Connel AC, Marini JC. Evaluation of oral problems in an osteogenesis imperfecta population. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1999; 87: 189-96. 54. Clark JW. Clinical dentistry. 5th ed, Philadelphia: Harper& Row, 1985;2. p. 33-46. 55. Sinaga M. Crossbite pada masa gigi bercampur pada murid-murid SD Immanuel Medan. USU e-Repository 2008. p.10 56. Hackley, Lorraine RNC, NNP, Merritt, Linda RNC,MSN. Osteogenesis imperfecta in the neonate. Advances in Neonatal Care 2008;8: 2130. 57. Antoniazzi F, Mottes M, Fraschini P, Brunelli PC, Tatò L. Osteogenesis imperfecta: practical treatment guidelines. Paediatric Drugs 2000; 67(4): 389-95.
24
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2011: 16-25
58. Malmgren B, Åmström E, Söderhäll S. No osteonecrosis in jaws of young patients with osteogenesis imperfecta treated with bisphosphonates. J Oral Pathol Med 2008; 37(4): 196-200. 59. Elmrini A, Boujraf S, Marzouki A, Agoumi O, Daoudi A. Osteogenesis imperfecta tarda. A case report. Nigerian Journal of Orthopaedics And Trauma 2006; 5(2): 61-2. 60. Forin V. Osteogenesis imperfecta. Presse Med 2007; 36(12): 1787-93.
61. Tau C. Treatment of osteogenesis imperfecta with bisphosphonates. Medicina 2007; 67(4): 389-95. 62. Devogelaer JP. New uses of bisphosphonates: osteogenesis imperfecta. Curr Opin Pharmacol 2002; 2(6): 748-53. 63. Cole WG. Advances in osteogenesis imperfecta. Clin Orthop Relat Res 2002; (401): 6-16. 64. Isshiki Y. Morphological studies on osteogenesis imperfecta, especially in teeth, dental arch and facial cranium. Bulletin of Tokyo Dental College 7. 1966: 31-49.
25