KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT LABORATORIUM FORENSIK TENTANG NARKOTIKA DI PERSIDANGAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
SKRIPSI Oleh : RIZKI FEBRIAN SYAH E1A008290
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT LABORATORIUM FORENSIK TENTANG NARKOTIKA DI PERSIDANGAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
SKRIPSI Oleh : RIZKI FEBRIAN SYAH E1A008290
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI SURAT LABORATORIUM FORENSIK TENTANG NARKOTIKA DI PERSIDANGAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
Oleh : RIZKI FEBRIAN SYAH E1A008290 Diterima dan Disahkan Pada Tanggal,
Februari 2013
Para Penguji/Pembimbing
Penguji I/Pembimbing I
Pranoto. S.H., M.H.
NIP. 19540305 198901 1 001
Penguji II/Pembimbing II
Penguji III
Handri Wirastuti Sawitri. S.H., M.H.
Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H.
NIP. 19581019 198702 2 001
NIP. 19640724 199002 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman
Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Rizki Febrian Syah
NIM
: E1A008290
SKS
: 2008
Program Studi : Ilmu Hukum Bagian
: Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
Februari 2013
Yang Membuat Pernyataan,
Rizki Febrian Syah NIM. E1A008290
iv
MOTO PENULIS “Prestasi terbaik lahir dari semangat memenangkan persaingan. Sikap ksatria kepada lawan dan patuh aturan main adalah ciri pemenang sejati”
“Bangunlah kekaguman bukan dengan prestasi tapi dengan karakter” -Bong Chandra-
" Sukses bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal: namun keberanian untuk meneruskan kehidupanlah yang diperhatikan " (Sir Winston Churchill)
“ Yang terpenting bukan siapa anda sekarang, tetapi ingin seperti apa anda besok “
v
LEMBAR PERSEMBAHAN Kupersembahakan Skripsi ini Kepada : Kedua Orang Tua Tercinta Terima kasih kepada Ayahanda Musalim dan Ibundaku Tri Astuti, S.Pd.AUD tercinta yang telah memberikan segala kasih sayang kepada saya sebagai anak bungsu serta doa, nasehat, bimbingan dan dukungan yang saya telah dapat menyelesaikan skripsi ini.
Tiga Orang Kakaku yang Keren-Keren Mas Achmad Arifin,S.Pt, Mas Lutfian Dwi Antoro,A.Md, dan Mas Yuniar Syarief,SP, terima kasih atas motivasinya selama ini yang begitu luar biasa. SH sudah di tanganku mas.
Istri kakak-kakaku yang cantik-cantik dan keponakanku yang lucu-lucu
Terima kasih untuk Mba Whakhidah Kurniyati, A.Ma, Mba Esie Diana, dan Mba Ratna Juwita, SP atas semua semangat yang diberikan, doa, serta dukungannya. Buat fawwas, safa, nayla, dan armita mutiara syarief yang selalu menjadi penghibur di kala jenuh menyelesaikan skripsi. Hehehehe Keluarga Dr. Ir Sakhidin, MP
vi
Terima kasih atas doa, bimbingan, dorongan dan dukungan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum UNSOED Kepada para KIMCULERS 2008 Johan, Wisnu, Woko, Bayu, Anas, Yanuar, bang Ardy, Si Ho, Dany Gendut, Azin, Sudrun, Dony&Dany, Theo, Nunu, Anggoro, Akbar, Yogi, Aditya Dwi (acil), Ajie Soeharto, Bojes Prastowo, Arinda, Djimboen, Deny, Kendar , Yogi, Aan yang senantiasa memberikan dukungan, hiburan, dan doa, semoga sukses untuk kalian semua. Teman-Teman lainnya yang ikut mendukung Sofyan Arief, Dwi Nanda LLHNK, Joko Riyanto Andrian Wicaksono, Marfita Kunto, Nurvita Dewi, Elisabet, Ahmad Alfi, Mba Wulan, Tia, terima kasih atas segalanya. Buat Lina Budiyarti terima kasih atas translate-nya. Terima kasih kepada rekan-rekan Pattra Motor yang rutin cek mesin, cuciin motor supaya tetap ok di jalanan, terima kasih pula buat Galaxy Fitnes Centre, mas Adhi Dharmawan my personal trainer, Mas Yaqub, Pak Roso, Pak Andi yang telah memberikan bimbingan sehingga badan saya mampu bertranformasi dengan baik dan menjadi SH.
vii
PRAKATA
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
limpahan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul KEKUATAN LABORATORIUM
PEMBUKTIAN
FORENSIK
TENTANG
ALAT
BUKTI
SURAT
NARKOTIKA
DI
PERSIDANGAN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto). Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini. 2. Pranoto. S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai. 3. Handri Wirastuti Sawitri. S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun dalam penyusunan skripsi ini.
viii
4. Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis. 5. Tenang Haryanto, SH.MH., selaku Pembimbing Akademik. 6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan. 8. Kedua orang tua tercinta, Musalim dan Tri Astuti,S.Pd. AUD yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi. Penulis dalam penulisan skripsi ini telah berusaha dengan sebaik-baiknya, namun mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis, maka penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Purwokerto,
Februari 2013
Penulis
ix
ABSTRAK Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Penyalahgunaan narkotika sangat membahayakan masyarakat terutama generasi muda yang berakibat dapat merusak moral bangsa. Maka penulis melakukan penelitian dengan judul: Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Laboratorium Forensik Tentang Narkotika di Persidangan (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang pertama, bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto? Kedua, Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto? Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto, hasil pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang dalam Putusan Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN. PWT sebagai alat bukti surat berdasarkan pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 187 huruf c KUHAP adalah alat bukti surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pembuatan serta keterangan yang terkandung di dalamnya yang dibuat diatas sumpah jabatan. Maka alat bukti surat tersebut adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti surat dan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja, 1 (satu) buah botol plastik berisi urine, 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105 No.085726003983. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu unsur setiap orang, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan tanpa hak atau melawan hukum telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa. Kata kunci : Pembuktian, Alat Bukti Surat, Penyalahgunaan Narkotika.
x
ABSTRACT Drug abuse problem in Indonesia, is very alarming nowdays. Narcotics is an useful drug or substance in medicine or health care, and the development of science but on the other hand can also cause dependency that is very detrimental if abused or used without strict control and supervision and carefully. Drug abuse is very dangerous to the public; especially the younger generation, it can lead to moral ruin. The authors conducted a study with the title: Proving the power of Evidence Forensic Laboratory Letter on Narcotics in Court (Judicial Review Decision Number 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto)
Based on the description above, can be formulated as the first problems: how the power of documentary evidence proving the forensic laboratory of the drug court in Decision No. 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto. Second problem: how to judge the legal considetations in decisions number 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto? Based on the results of the Decision no. 22/Pid.Sus/2012/PNPurwokerto, no. Criminality examination laboratories. Lab.: 124/NNF/2012, January 30, 2012 Criminal Investigation Police Forensic Laboratory center Semarang branch in Decision No. 22/Pid.Sus/2012/PN. PWT as documentary evidence is based on Article 184 Paragraph (1) Criminal Procedure Code and Code of Criminal Procedure Article 187 c is documentary evidence made by the competent authority based on legislation in force and manufacture as well as the information contained in it is made on oath. So the documentary is perfect valuable evidence. Evidence submitted at the hearing by the prosecution and conviction the judge those are witnesses, defendant's testimony, documentary evidence and the evidence of one (1) pack of white notebook paper containing marijuana, 1 (one) plastic bottles containing urine , 1 (one) unit of black Nokia mobile type RH-105 No.085726003983. The evidence has to meet the minimum evidentiary principles formulated in Article 183 Criminal Procedure Code. The defendant also has been proven legally and convincingly meet the elements contained in Article 127 paragraph (1) letter a of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics, the element of every person, plant, maintain, possess, store, control or provide Narcotics Group I in the form of plants and without rights or against the law have been proven in court. Panel of Judges also consider the burdensome and relieve the defendant.
Keywords: Evidence, Letter ofEvidence, Narcotics Abuse.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………... ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………......
vi
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………. v HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………. vi PRAKATA…………………………………………………………………..
viii
ABSTRAK…………………………………………………………………….. ix ABSTRACK…………………………………………………………………… x DAFTAR ISI…………………………………………………………………… xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1 B. Perumusan Masalah……………………………………………….. 5 C. Tujuan Penelitian………………………………………………….. 6 D. Kegunaan Penelitian……………………………………………....
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Acara Pidana………………………………….. 7 B. Azas-azas Hukum Acara Pidana…………………………………… 9 C. Sistem Pembuktian dalam KUHAP……………………………….. 22 D. Alat-alat Bukti dalam KUHAP………………………………….... 30 E. Ilmu Bantu Laboratorium Forensik 1. Pengertian Ilmu Forensik……………………………………….. 54
xii
2. Jenis-Jenis Ilmu Forensik……………………………………….. 55 3. Kewenangan Laboratorim Forensik…………………………..... 56 F. Tindak Pidana Narkoba 1. Pengertian Narkoba……………………………………………… 58 2. Penyalahgunaan Narkoba……………………………………….. 60 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkoba…………………………... 61 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan………………………………………………... 65 B. Spesifikasi Penelitian………………………………………………. 66 C. Lokasi Penelitian…………………………………………………… 65 D. Sumber Data……………………………………………………….. 65 E. Metode Pengumpulan Data………………………………………… 66 F. Metode Penyajian Data…………………………………………….. 66 G. Metode Analisis Data……………………………………………… 66 H. Spesifikasi Penelitian Terdahulu…………………………………... 67 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian…………………………………………………….. 70 B. Pembahasan………………………………………………………… 85 BAB V PENUTUP A. Simpulan…………………………………………………………… 96 B. Saran………………………………………………………………... 98 DAFTAR PUSTAKA
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dasar menimbang Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”
1
Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional. Pengaruh narkotika selain terhadap individu itu sendiri, juga berpengaruh pula bagi masyarakat luas, diantaranya akibat adanya pemakaian narkotika antara lain meningkatkan kriminalitas, timbulnya usaha-usaha yang bersifat ilegal dalam masyarakat, misalnya pasar gelap narkotika dan menyebarkan penyakit tertentu seperti HIV/AIDS.1 Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penggolongan narkotika adalah sebagai berikut : a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III. Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masing-masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut: 1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
1
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, halaman 25.
2
dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Penggunaan narkotika telah diatur secara rigid dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena “narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan Pasal 8 ayat (1) mengatur bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Contoh Narkotika Golongan I ini adalah Heroin, Kokain, dan Ganja.2 Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam-macam jenis narkotika. Penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku. Menurut pendapat Dr. Mardani3; “Penyalahgunaan narkotika adalah pemakaian narkotika di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, dan pemakainnya bersifat patologik (menimbulkan kelainan) dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja, dan lingkungan sosial.” Aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika ini, disisi lain masalah peredaran dan
2
Ar. Sujono, Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, halaman 72. 3 Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008, halaman 2.
3
penyalahgunaan ini merupakan perbuatan terlarang dan sangat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Menurut Dadang Hawari
4
dampak yang sering terjadi di tengah
masyarakat dari penyalahgunaan/ketergantungan narkoba antara lain : “Merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktifitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku anti sosial (perilaku maladaptif), gangguan kesehatan (fisik dan mental), mempertinggi jumlah kecelakaan lalulintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya”. Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian. Laboratorium forensik sebagai sarana Kepolisian khusus membantu Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sangat penting dalam membantu pembuktian untuk mengungkap segala sesuatu yang berhubungan dengan segala jenis dan macam Narkotika dan Psikotropika siapa pemakainya.5 Kasus narkotika dalam Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, laboratorium forensik salah satunya melakukan pemeriksaan urin, dengan 4
Dadang Hawari, Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA, Yogyakarta : Dhana Bakti Priayasa, 1997, halaman 153. 5 http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=33&Itemid=33 diakses tanggal 13 September 2012.
4
dikeluarkannya surat keterangan dari laboratorium forensik yang menerangkan bahwa urin terdakwa positif mengandung Tetrahydrocannabinol yang termasuk golongan I (satu) nomor urut 9 (sembilan) lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hakim berkeyakinan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan surat laboratorium forensik itu mempunyai kekuatan pembuktian karena memenuhi syarat hukum pidana formil dan hukum pidana materiil yang sesuai dalam undang-undang. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan skripsi dengan judul : “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Laboratorium Forensik Tentang Narkotika di Persidangan
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN
Purwokerto).”
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto ? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto ?
5
C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian terhadap alat bukti surat laboratorium forensik
tentang
narkotika
di
persidangan
dalam
Putusan
Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto. b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam dalam menjatuhkan Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
D. Kegunaan Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan. b.
Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.
2. Manfaat Praktis a.
Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
b.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.6 Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain. Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut :
6
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. 2001. Hal. 4.
7
J. Dc Bosch Kemper7 Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan-peraturan, undang-undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana Undang-undang pidana itu dilanggar. R. Soesilo8 Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh kaputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan. “Menurut Van Bemmelen9 Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum pidana materiil”. Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi Hamzah, mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah : “Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7
Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986,Hal 16. 8 R Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3 9 R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito. 1983. Hal. 11.
8
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib”. Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen10 dikatakan lebih lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja.
Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana. Menurut R. Soesilo 11 , tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai berikut: “Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguhsungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.”
B. Azas-azas Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara
Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan. Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum
10 11
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 6. Ibid. Hal. 19.
9
sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum. Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada pihak yang berperkara. Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie semakin ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e dikatakan: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Ini dikutip dari UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 10
(KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3). Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut Pasal 140 ayat (1) diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
11
Menurut Yahya Harahap 12 menjabarkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut : 1.) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 2.) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan. 3.) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan. b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence). Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf c yang merumuskan : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Menurut M. Yahya Harahap13 menyatakan pendapatnya yaitu : “Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, 12
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I)., Jakarta : Pustaka Kartini, 2001, Hal 54. 13 Ibid. Hal. 38.
12
karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”. c. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP). Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : Pasal 137
13
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan' melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 140 (1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
14
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.
Pasal 143 (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Pasal 144 (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
15
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampai kan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan dirugikan. A.Z. Abidin Farid 14 memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.”
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak-anak. Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan sebagai berikut : “Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. 14
A.Z. Abidin Farid, Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS, 1981. Hal. 12.
16
Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup. Andi Hamzah15 berpendapat mengenai hal ini bahwa : “Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya”.
e.
Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun jabatannya dalam melakukan pemeriksaan. Romli Atmasasmita 16 dalam bukunya mengatakan bahwa : “Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan
15 16
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 18. Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30.
17
menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.” Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”17 f.
Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan : “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.” Menurut D. Simons 18 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah, menyatakan sebagai berikut: “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.” 17
Ibid. Hal. 20. M Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika . 2001.hal. 22. 18
18
g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh bantuan hukum dari seorang penasehat hukum. Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasankebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai berikut : a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari tersangka / terdakwa.19 Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segisegi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata. Menurut Adnan Buyung Nasution20 19
Andi Hamzah. Opcit. Hal. 21.
19
“setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan keadaan kesehatan yang memburuk.” h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor) Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan tindakan kekerasan ataupun penganiayaan. Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum
20
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
20
sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”. Dalam bukunya, Andi Hamzah21 mengatakan bahwa: “Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.” i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi. b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan
21
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
21
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Bambang Poernomo22 berpendapat bahwa : “Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo23 yaitu: “Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 22
Bambang Poernomo, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79. 23 Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983. Hal. 12.
22
4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.”
1. Penyidikan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”
2. Penuntutan Pasal 137
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”
3. Pemeriksaan di Persidangan Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.”
4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan
23
Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam pasal
270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam pasal 277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : (1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. (2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun. Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana. Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, yaitu :
24
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie) Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa. 24 Menurut D. Simons25seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah: “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.” Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini adalah pembuktian bersifat obyektif menerapkan
yang artinya hakim wajib benar-benar
mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau
tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. 24 25
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.257. Andi Hamzah. Op.cit. Hal.251.
25
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time) M. Yahya Harahap26 berpendapat: “Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti yang ada.” Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang didakwakan kepadanya walaupun dalam persidangan pembuktian terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah. c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)
26
Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 256.
26
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-alasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara logika. “Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.”27
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief wettelijk) Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya
27
Yahya Harahap. Ibid. Hal. 257.
27
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.28 Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif (negatief wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.
28
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.279.
28
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.29 M. Yahya Harahap30 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undangundang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah31 : “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
R. Soesilo 32 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam
29
Ibid. Hal. 280. Ibid. Hal. 256-259. 31 Andi Hamzah. Opcit. Hal. 264. 32 R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109. 30
29
memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.
D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat bukti tersebut. Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undangundang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian
30
dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.33 Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Hal-hal yang bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan : 1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi; 2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.34 a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa:
33
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. 2002. Hal.252. 34 Ibid. Hal. 276.
31
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.” Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lainlain. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan
32
berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji di depan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut : "Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan
33
merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian. b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.35 Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin36 dalam bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut : "Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut". 35
M. Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 266. Leden Marpaung. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta : Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33. 36
34
Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya :
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal 168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undang-undang. Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
35
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benarbenar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah : 1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; 2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.37 Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan: a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; 37
Ibid. Hal. 288.
36
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
b. Keterangan Ahli Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, yaitu: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan (Pasal 186 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Penjelasan : 1. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. 2. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP. Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b KUHAP, jo. Stb. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi : 1. Ahli kedokteran forensik atau; 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.Stb.1937 no.3500; atau; 3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan oleh orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau 37
4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soal, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan.38 Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian keterangan ahli, yaitu: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Pasal 184 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian. Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186. Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat 38
Ibid. Hal. 72-73.
38
ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.39 Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya adalah ahli memberikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli. Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
39
R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. 2002. Hal. 3.
39
Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam kedokteran forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya. I Ketut Martika dan Djoko Prakoso40 berpendapat, bahwa: Keterangan ahli dalam KUHAP dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau penelitian ulang karena diperlukan/ dibutuhkan oleh hakim kepada ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut yang diatur dalam Pasal 180 (2),(3), dan (4) KUHAP. Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli di persidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat
40
I Ketut Martika & Djoko Prakoso. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. Hal. 66.
40
diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan. Yahya Harahap41 berpendapat: Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu : a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli; b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.42 41
Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 299.
41
Untuk menjawab dualisme di atas maka yang dapat dijadikan pedoman adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan menolaknya. Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi yaitu : 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya. 2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.43 Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian
42 43
Ibid. Hal. 303. Ibid. Hal. 253.
42
berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Surat A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo44: “Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.” Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut ketentuan ini: “Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi AsserAnema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.”45 Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili. Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
44
Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradya Paramitha. 1983. Hal.
24. 45
Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 276.
43
“Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Bunyi dalam Pasal 187 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung
bersifat
pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan
bahwa
berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.46 Berdasarkan psssasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari 46
Yahya Harahap. Op.cit. Hal. 309.
44
surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur suratsurat resmi saja. penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan. Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan. Surat yang dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan biasanya berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang dituntutkan kepadanya.
45
Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap47 jika dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut : a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya; c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa. 2. Ditinjau dari segi materiil Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain : a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang. b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan 47
Ibid. Hal. 309-312.
46
moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati. c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan.
d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.48 Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara 48
I Ketut Martika & Djoko Prakoso. Op.cit. Hal. 44.
47
ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya. Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Bunyi pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar penjatuhan hukuman. Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah: a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi. b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan sengaja kejahatan yang terjadi. c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.49 49
Andi Hamzah dan Indra Dahlan. Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar. Jakarta.: Ghalia. Indonesia. 1984. Hal. 263.
48
Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat dihindari, bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti petunjuk yaitu diperoleh dari : a) Keterangan saksi b) Surat c) Keterangan terdakwa Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif. 49
Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain. Djisman Samosir50 berpendapat bahwa: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati nuraninya.”
Menurut Yahya Harahap 51 sendiri berpendapat bahwa nilai kekuatan pembuktian petunjuk serupa dengan sifat dan kekuatan alat bukti yang lain yakni: a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. e. Keterangan terdakwa Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merumuskan: “Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.”
50
C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Bandung. Binacipta. 1985. Hal.
90. 51
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.317.
50
Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti. Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 KUHAP. Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut. a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. Mengaku ia bersalah.52 Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus mengandung beberapa asas, yaitu : 1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan. 52
Andi Hamzah. Op.cit. Hal.278.
51
2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti pada waktu penyidikan dan penyelidikan di kepolisian dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan terdakwa; 3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menjelaskan:
52
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim. Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif. Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk
53
membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
E. Ilmu Bantu Laboratorium Forensik 1. Pengertian Ilmu Forensik Forensik (berasal dari bahasa Yunani ’Forensis’ yang berarti debat atau perdebatan) adalah bidang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses penerapan ilmu (sains). Ilmu Forensik adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan multi disiplin untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi, dan kriminologi dengan tujuan membuat terang atau membuktikan ada dan tidaknya kasus kejahatan pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau "physical evidance" dalam kasus tersebut.53 Ilmu forensik (biasa disingkat forensik) merupakan sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana.
53
http://sirpetermarx.blogspot.com/2009/11/tentang-ilmu-forensik.html (Guru Pinandita Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. , hlm. 279). diakses tanggal 13 Desember 2012
54
2. Jenis-Jenis Ilmu Forensik Ilmu-ilmu forensik meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan. Menurut Musa Perdana Kusuma54; ilmuilmu forensik dapat dibagi menjadi tiga golongan, dilihat dari peranannya dalam penyelesaian kasus kejahatan yaitu : a. Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah yuridis. Dalam golongan ini termasuk hukum pidana dan hukum acara pidana. b. Ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah teknis. Dalam golongan ini termasuk dalam ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik dan ilmu fisika forensik. c. Ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai masalah manusia. Dalam golongan ini termasuk ilmu kriminologi dan psikologi forensik Sebagai sarana pembantu dalam pengusutan kejahatan, Laboratorium Forensik merupakan tempat pemeriksaan dalam pengusutan bukti-bukti fisik. Laboratorium forensik berperan untuk memecahkan masalah-masalah yang terkandung dalam bukti fisik tersebut. Criminalistics adalah subdivisi dari ilmu forensik yang menganalisa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bukti-bukti biologis, bukti jejak, bukti cetakan (seperti sidik jari, jejak sepatu, dan jejak ban mobil), controlled substances (zat-zat kimia yang dilarang oleh pemerintah karena bisa menimbulkan
potensi
penyalahgunaan
atau
ketagihan),
ilmu
balistik
(pemeriksaan senjata api) dan bukti-bukti lainnya yang ditemukan pada TKP. Kemuadian, bukti-bukti tersebut diproses di dalam sebuah laboratorium (crime lab).55
54
Musa Perdana Kusuma. Bab-Bab tentang Kedokteran Forensik. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1983 hal 206 55 http://ozzieside.blogspot.com/2010/03/ilmu-forensik.html diakses tanggal 13 Desember 2012
55
3. Kewenangan Laboratorium Forensik Laboratorium Forensik bertugas menanggulangi kejahatan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tersebut di atas hanya dapat ditanggulangi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pula. Proses penyidikan kejahatan dengan menggunakan teknologi yang lazim disebut penyidikan secara ilmiah atau “scientific crimeiInvestigation / SCI penyidikan secara ilmiah) dimana peran dan fungsi tersebut sebagian diemban oleh Laboratorium Forensik. Kewenangan laboratorium forensik antara lain : 1. Laboratorium forensik berwenang dalam upaya mencari dan mengumpulkan bukti dalam proses penyidikan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara” 2. Laboratorium forensik berwenang apabila penyidik menganggap perlu untuk meminta pendapat ahli, sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.” Pengertian mendatangkan para ahli / memiliki keahlian khusus tersebut salah satunya dapat dipenuhi oleh Laboratorium Forensik,
56
sehingga Laboratorium Forensik dapat berperan dalam tiap tahapan proses penegakan hukum. 3.
Laboratorium
forensik
berwenang
melakukan
pemeriksaan
Psikotropika dan Narkotika telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 522/Menkes/SK/VI/2008 tentang Penunjukkan Laboratorium Pemeriksaan Narkotika dan Psikotropika.
Proses penyelidikan, penyelidik mempunyai wewenang untuk mencari keterangan dan barang bukti. Selain itu, penyelidik bersama-sama penyidik yang telah menerima laporan segera datang ke TKP dan melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai untuk menjaga status quo.
Dalam rangka penanganan TKP ini, penyelidik maupun
penyidik berusaha
mencari barang bukti yang nantinya akan dilakukan
pemeriksaan di Laboratorium.
Tugas
mengenali, mencari, mengambil dan mengumpulkan barang
bukti tersebut diperlukan ketelitian, kecermatan dan pengetahuan atau keahlian mengenai bahan atau barang bukti tersebut. Oleh karena itu, tahap ini perlu melibatkan Laboratorium Forensik. Sebagai contoh kasus narkotika, dimana barang buktinya sering bersifat mikro yang keberhasilan penemuan dan pemeriksaan sangat tergantung terhadap teknologi yang dipergunakan. Hasil pemeriksaan laboratorium
57
tersebut nantinya dapat dijadikan petunjuk dalam proses penyelidikan/ penyidikan lebih lanjut. Penyidik dapat meminta pendapat orang Ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus, sepanjang pendapat orang Ahli yang diminta penyidik tersebut berhubungan dengan barang bukti, maka Ahli tersebut akan melakukan pemeriksaan atau analisa barang bukti di laboratorium. Sebagai contoh pemeriksaan kandungan zat aktif dalam narkotika, pemeriksaan racun dalam organ tubuh, pemeriksaan keaslian tulisan tangan, sidik jari pada senjata api dan sebagainya. Dimana hal-hal tersebut memerlukan pemanfaatan teknologi yang dimiliki oleh Laboratorium Forensik.
F. Tindak Pidana Narkoba 1. Pengertian Narkoba Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.
58
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke atau narkom yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius.56 Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang.57 Pengertian yuridis tentang narkotika diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”. Menurut
istilah
kedokteran,
narkotika
adalah
obat
yang
dapat
menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan.58
56
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008,hal. 78. 57 Ibid. 58 Ibid, hal. 79.
59
Menurut M. Ridha Ma’roef59, narkotika adalah: a.
b.
c.
Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein, dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Narkotika sintetis adalah termasuk dalam pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk didalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant. Bahwa narkotika itu mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan. Bahwa narkotika dalam pengertian dalam pengertian ini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.
2. Penyalahgunaan Narkoba Penyalahgunaan narkoba atau narkotika adalah pemakaian narkoba di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter dan pemakaiannya bersifat patologik dan menimbulkan hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja dan lingkungan sosial.60 Hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut : a.
b.
Narkotika apabila digunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalifisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penyalahgunaan terhadap narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain : 1) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut-ngebutan di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;
59
Ibid, hal. 34. Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal.2. 60
60
2) Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum, maupun instansi tertentu; 3) Mempermudah penyaluran perbuatan seks; 4) Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengalaman emosional; 5) Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup; 6) Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan; 7) Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah; 8) Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; 9) Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.61 Menurut Moh. Taufik Makarao, S.H. MH 62 bentuk-bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut : 1. Penyalahgunaan/melebihi dosis Hal ini disebabkan leh banyak hal antara lain : a. melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengelaman emosional; b. menghilangkan rasa frustasi dan gelisah; c. mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; d. hanya sekedar ingin tahu atau iseng; 2. Pengedaran narkotika Karena keterkaitan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional; 3. Jual beli narkotika Pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan. 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkoba Menurut Komariah E. Sapardjaja63 menyatakan ; “Tindak Pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. “
61
Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres No. 6 Tahun 1976. hal. 8-9. 62 Moh. Taufik Makarao dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, hal 45. 63 Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hal. 22.
61
Menurut Indriyanto Seno Adji64 menyatakan; “Tindak Pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.” Dengan demikian dapat dipahami, bahwa sutau tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau di cela oleh masyarakat dan dilakukan oleh orang yang bersalah yang dapat dikenakan sanksi pidana. Unsur kesalahan atau pertanggung jawaban menjadi bagian pengertian tindak pidana. Moeljatno65 mengatakan tindak pidana adalah “Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan”.
Unsur-unsur tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdiri dari: 1. Unsur “setiap orang” Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah orang; 2. Unsur “tanpa hak atau melawan hukum” Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan rumusan delik. Bersifat melawan hukum yaitu ;
64
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta : Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan,2002, hal. 155. 65 Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983. hal 11.
62
- Melawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah diatur dalam undang-undang. - Melawan hukum material artinya apabila perbuatan yang dilakukan melanggar aturan atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus adanya kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah pencelaan dari masyarakat apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan batin antara pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat. Kesalahan itu sendiri dapat dibagi 2 yaitu kesengajaan/ dolus dan kealpaan;
3. Unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”; Sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang
Narkotika
menyebutkan
bahwa
;
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
12
(dua
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).” 4. Unsur “narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan tanaman, golongan II dan golongan III". Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 untuk pertama kali ditetapkan
63
sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian dari masing-masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai berikut: 4. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 5. Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 6. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
64
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan menggambarkan objek yang diteliti, yaitu objek tentang kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik pada pemeriksaan di persidangan yang digali secara mendalam aturan-aturannya (norma-normanya) kemudian dideskripsikan tanpa maksud untuk mengambil suatu kesimpulan yang berlaku secara umum. C. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto. D. Sumber Data a. Data sekunder, yaitu
berupa literatur-literatur, buku-buku, peraturan
perundang-undangan serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian.
65
b. Data primer, yaitu berupa wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto khususnya Majelis Hakim yang memimpin persidangan pada perkara Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
E. Metode Pengumpulan Data a. Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara mempelajari buku-buku, literatur-literatur, peraturan perundang-undangan maupun dokumen-dokumen yang terkait dengan materi penelitian. b. Data primer, sebagai pendukung dari data sekunder diperoleh dengan melakukan wawancara secara bebas terpimpin dengan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.
F. Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif, yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis berdasarkan data-data
66
yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori hukum yang ada.
H. Spesifikasi Penelitian Terdahulu Berikut ini beberapa skripsi yang dibuat mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman bagian Hukum Acara Pidana: 1. Judul skripsi
:Pembuktian
Dalam
Tindak
Pidana
Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan No : 147/Pid.B/2010/PN. Pbg) Nama
: Reza Febrian Pratama
NIM
: E1A008260
Perumusan Masalah
:
a. Apakah
alat
Kriminalistik
bukti
surat
mempunyai
dari
hasil
kekuatan
pemeriksaan
pembuktian
Laboratorium
dalam
Putusan
No:147/Pid.B/2010/PN.Pbg? b. Bagaimana sitem pembuktian dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika terhadap terdakwaq dalam Putusan No:147/Pid.B/2010/PN.Pbg? Kesimpulan
:
a. Surat termasuk alat bukti yang sah karena memenuhi syarat formil dan materiil. Secara formil bahwa isi dari surat tersebut sudah sesuai dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang dibuat secara resmi menurut formal yang ditentukan undang-undang. b. Menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus: 67
1. kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahw tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Skripsi ini berbeda dengan skripsi penulis karena penulis meneliti tentang kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto serta meneliti pertimbangan
hukum
hakim
dalam
menjatuhkan
Putusan
Nomor
22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto. Kemudian lokasi penelitian yang dilaksanakan penulis adalah di Pengadilan Negeri Purwokerto, sedangkan Reza Febrian Pratama melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Purbalingga.
2. Judul skripsi
: Kekuatan Pembuktian Hasil Laboratorium Forensik Terhadap Pemeriksaan Urin Bagi Penyalahgunaan Narkoba (Tinjauan Yuridis Pasal 183 KUHAP Tentang Sistem Pembuktian)
Nama
: Lisna Desianty Rachman
NIM
: E1A001276
Perumusan Masalah : a. Apakah pemeriksaan urin dapat digunakan sebagai satu-satunya alat bukti untuk memvonis seseorang sebagai pengguna narkoba apabila ditinjau dari Pasal 183 KUHAP?
68
Kesimpulan
:
Dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika dan psikotropika, pembuktian dapat dilakukan dengan meminta keterangan ahli dari Pusat Laboratorium Forensik Polri yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti (narkoba) dan Urin. Agar pengguna narkoba dapat dijerat sesuai pasal 183 KUHAP, pemeriksaan urin yang termasuk hasil keterangan surat yang dikeluarkan oleh Laboratorium Forensik dapat menghadirkan keterangan ahli yang mengeluarkan keterangan surat tersebut, disebabkan pemeriksaan urin tidak dapat digunakan sebagai satusatunya alat bukti dalm memvonis seseorang sebagai pengguna narkoba. Skripsi ini berbeda dengan skripsi penulis, karena skripsi karya Lisna Desianty Rachman memfokuskan penelitiannnya pada pemeriksaan urin apakah dapat digunakan sebagai satu-satunya alat bukti untuk memvonis seseorang sebagai pengguna narkoba apabila ditinjau dari Pasal 183 KUHAP. Sedangkan penulis meneliti tentang kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang narkotika di persidangan dan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto.
69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dalam Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, tentang Tindak Pidana Narkotika, diperoleh sebagai berikut: 1.
Duduk Perkara Terdakwa ID pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012 sekitar pukul 11.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2012 bertempat di rumah terdakwa beralamat Jalan Gunung Slamet III No. 158 RT 02 RW 04 Kelurahan Purwosari Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Terdakwa kedapatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Ketika terdakwa hendak dilakukan pemeriksaan pada hari Minggu tanggal 22 Januari 2012 sekitar pukul 11.10 WIB saksi ECS, saksi ABS dan team (anggota Polri), lalu terdakwa berjalan ke depan rumah dan membuang barang berupa bungkusan kertas buku berwarna putih ke dalam selokan. Setelah itu terdakwa menyerahkan bungkusan kertas buku berwarna putih tersebut kepada saksi ECS dan langsung dibuka, ternyata bungkusan kertas buku warna putih tersebut berisikan daun ganja kering. 70
Terdakwa mengakui ganja tersebut miliknya yang didapat dari H (Daftar Pencarian Orang (DPO)/belum tertangkap) sejak hari Rabu tanggal 18 Januari 2012 sekitar pukul 18.00 WIB dan disimpan terdakwa di dalam almari sampai pada hari Minggu tanggal 22 Januari 2012 sekitar pukul 11.00 WIB. Barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja, 1 (satu) unit handphone merk nokia warna hitam tipe RH-105 No.085726003983 ditemukan dari terdakwa, kemudian 1 (satu) buah botol plastik berisi urine terdakwa dan telah dilakukan penyitaan sesuai penetapan penyitaan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 25/Pen.Pid/2012/PN.Pwt tanggal 31 Januari 2012. Terdakwa menyimpan, memiliki ganja tersebut tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai secara pribadi.
2. Dakwaan Jaksa Berdasarkan
uraian
di
atas,
terdakwa
melakukan
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika menyimpan, memiliki ganja tanpa ada ijin dari pihak yang berwenang dengan tujuan untuk dimiliki atau dikuasai secara pribadi. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan berbentuk alternatif yaitu : 1. Melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau ; 2. Melanggar ketentuan Pasal 127 huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
71
3. Barang Bukti a. 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja ; b. 1 (satu) buah botol plastik berisi urine ; c. 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105 No.085726003983 ;
4. Pembuktian a. Keterangan Saksi 1. DA memberikan keterangan : Saksi dipanggil Polres sebagai saksi perkara terdakwa menggunakan ganja, saksi tahu terdakwa adalah bernama CR. Awalnya pada hari Rabu, tanggal 18 Januari 2012, pukul 21.00 WIB terdakwa bersama H datang ke warung saksi di Jl. Mardikeyo Kranji Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas. Pada waktu itu saksi mau menutup warung, sehingga saksi menawarkan kalau mau main ke rumah saja, kemudian saksi pulang ke rumah dan sekitar pukul 22.00WIB terdakwa dan H datang ke rumah. Terdakwa dan H masuk ke rumah terdakwa tepatnya di ruang tamu kemudian H mengeluarkan bungkusan kertas berisi ganja diletakan di atas meja. Saksi, terdakwa dan H melinting sendiri-sendiri dan
kemudian menghisap
bersama-sama sampai habis, tersisa satu lintingan dibawa pulang oleh H. Saksi tidak tahu berapa kali terdakwa menghisap ganja dan saksi sudah beberapa kali menghisap ganja bersama H, sedangkan dengan terdakwa baru sekali. Saksi baru kenal dengan terdakwa dan yang mengenalkan adalah H. Menurut sepengetahuan
72
saksi H sudah pulang ke Indramayu dan barang bukti tersebut adalah benar. Setahu saksi, terdakwa beli ganja kepada H karena saksi pada waktu itu juga ditawari oleh H dan H bilang terdakwa juga beli akan tetapi saksi jawab saksi tidak punya uang. Ganja tersebut satu paket besar yang disebut satu garis dibungkus kertas koran. Ganja tersebut dilinting dengan papir dan papir tersebut yang membawa H pada tanggal 18 Januari 2012 pukul 21.30 WIB, dari tiga linting sisa satu linting diberikan H untuk saksi. Saksi menghisap ganja untuk menambah nafsu makan. Terdakwa ditangkap seminggu berikutnya baru saksi yang ditangkap. Saksi kenal H sejak H lulus dari Unsoed tahun 2010, selama ini saksi belum pernah beli akan tetapi sering dikasih oleh H, diajak menghisap bersama-sama dan lamanya menghisap kurang lebih setengah jam. 2. ECS memberikan keterangan : Terdakwa diajukan ke persidangan karena kepemilikan ganja. Saksi menangkap seorang laki-laki bernama ID (terdakwa) pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.30 WIB di rumah terdakwa di Jl. Gunung Slamet III No. 158 Kel. Purwosari Rt.02/04 Kec. Baturaden Kab Banyumas. Saksi menangkap terdakwa bersama Brigadir HD, Briptu PW dan Briptu ABS. Awalnya saksi mendapat informasi, kemudian bergerak ke lokasi serta mendapati terdakwa yang berada di dalam rumahnya sedang memegang handphone, terdakwa keluar rumah dengan membawa bungkusan yang selanjutnya bungkusan tersebut dibuang ke dalam got. Kemudian saksi
73
memerintahkan agar terdawa mengambil lagi bungkusan tersebut dan ternyata dalam bungkusan tersebut berisi ganja. Saksi tahu bungkusan tersebut diambil dari saku celana terdakwa yang kemudian dibuang kedalam got depan rumah terdakwa. Setelah dilakukan pengembangan, maka diketahui paket ganja tersebut ternyata dari H yang telah pulang ke Indramayu, sehingga saksi koordinasi dengan Polda Jawa Barat. Barang bukti berupa paket ganja dan handphone merk Nokia type 105 berserta kartu adalah milik terdakwa. Handphone tersebut ada hubungannya dengan perkara ini karena digunakan untuk menghubungi H (DPO). Terdakwa bukan DPO dan baru pertama kali ini mengkonsumsi ganja. Menurut penelitian dari hasil laboratorium, tes urine mengandung positif tetrahydrocannabinol. Saat di rumah terdakwa, hanya ada terdakwa dan tidak ada orang lain selain terdakwa. Terdakwa menghubungi H akan tetapi sudah tidak bisa. Barang bukti yang di dalam kotak masih utuh isi tiga linting dan terdakwa tidak melakukan perlawanan ketika ditangkap, bahkan dia ketakutan. Kondisi rumah terdakwa tidak ada bau ganja karena ganja belum dipergunakan. Bahwa dari hasil pemeriksaan laboratorium forensik dari barang bukti perkara ini yaitu positif narkotika. 3. ABS memberikan keterangan : Terdakwa diajukan ke persidangan karena telah memiliki ganja. Saksi menangkap terdakwa bersama Brigadir HD, Briptu PW dan ECS, pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.30 WIB, di rumah terdakwa di Jl. Gunung Slamet III No. 158 Kel. Purwosari RT 02/04 Kec. Baturaden, Kab
74
Banyumas. Setelah menangkap terdakwa, dilakukan pengembangan, diketahui paket ganja tersebut ternyata dari H yang telah pulang ke Indramayu sehingga saksi koordinasi Polda Jawa Barat. Menurut pengakuan terdakwa sudah biasa menggunakan ganja dengan DA dan PW. Sewaktu ditangkap terdakwa mengakui termasuk pemain baru dan terdakwa mengakui sabu-sabu tersebut adalah milik terdakwa. 4. PW memberikan keterangan: Saksi PW mengetahui terdakwa pengguna ganja karena kalau tidak menggunakan ganja, terdakwa susah tidur. Saksi pernah menggunakan ganja bersama terdakwa kurang lebih 3 (tiga) kali, dengan cara menghisap bersamasama bergantian. Awalnya pada bulan Agustus 2011 saksi mendapatkan ganja dari Jakarta, kedua, berselang 2 (dua) hari kemudian, saksi menghisap ganja bersama terdakwa dan kemudian yang terakhir pada tanggal 21 Januari 2012, tertangkap. Terdakwa mengisap ganja bersama saksi di rumah terdakwa karena rumah terdakwa sepi dan penghuninya hanya terdakwa saja karena orang tua terdakwa kerja di bengkel, pulangnya malam sedangkan ibunya sibuk di gereja dan organisasi. Saksi menghisap ganja di dalam kamar rumah terdakwa, saksi membawa dan memberikan ganja kepada terdakwa dengan rencana akan dihisap bersama-sama. Saksi PW tidak kenal dengan H, berdasarkan pengakuan terdakwa frustasi tidak dapat pekerjaan sehingga pelariannya ke ganja. Saksi pernah mengajak terdakwa untuk bekerja akan tetapi terdakwa tidak mau, katanya mau menunggu
75
penerimaan PNS. Saksi tidak pernah janjian dengan terdakwa datang ke rumah terdakwa untuk menghisap ganja, saksi datang ke rumah terdakwa dan kebetulan rumah terdakwa selalu sepi. Mengenai barang bukti tersebut saksi tidak tahu, saksi kenal dengan terdakwa karena sama-sama sekolah di SD Santa Maria Purwokerto. Kemudian di dalam kamar yang tidak terkunci saksi dan terdakwa duduk di atas kasur sambil menghisap ganja sedangkan pintu utamanya yang dikunci. Setiap selesai menghisap ganja, saksi langsung pulang ke rumah sekitar pukul 21.30 WIB. Sepulang saksi belajar dari Singapura, saksi bertemu terdakwa di jalan kemudian saksi main ke rumah terdakwa, dan terdakwa bercerita belum mendapat pekerjaan sedang menunggu PNS, bahwa terdakwa kecanduan ganja karena kalau tidak menghisap ganja tidak bisa tidur. b. Surat Berdasarkan berita acara pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Nomor Lab: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari
2012 pusat Laboratorium Forensik
Bareskrim Polri cabang Semarang yang ditandatangani oleh pemeriksa : Yayuk Murthi Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST dan diketahui Kepala Laboratorium Forensik cabang Semarang Drs. Siswanto yang memuat: A. Barang bukti : Barang bukti yang diterima diberi No. Lab. 124/NNF/2012 berupa 1 (satu) bungkus plastik yang berlak segel dan berlabel barang bukti dan 1(satu) buah toples yang berlabel barang bukti berisi 5(lima) buah urine setelah dibuka salah satunya diberi nomor barang bukti :
76
1. BB-0213/2012/NNF berupa 1(satu) bungkus kertas berisi batang, daun dan biji yang diduga ganja dengan berat 3,041 gram ; 2. BB-0214/2012/NNF berupa 1(satu) buah tube berisi urine. Barang bukti tersebut di atas disita dari tersangka ID. B. Kesimpulan: Setelah dilakukan pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik disimpulkan: 1. Nomor BB-0213/2012/NNF berupa 1(satu) bungkus kertas berisi batang, daun dan biji yang diduga ganja dengan berat 3,041 gram, positif Derivat Cannabinoid. 2. Nomor BB-0214/2012/NNF berupa urine tersebut di atas adalah mengandung Tetrahydrocannabinol dan terdaftar dalam golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Keterangan Terdakwa Terdakwa juga memberikan keterangan di muka persidangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : Pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.00 WIB, terdakwa menyimpan ganja di almari rumah terdakwa, Jalan Gunung Slamet III No. 158 RT. 02 RW. 04, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas. Terdakwa memperoleh ganja dari H (DPO) dengan cara membeli seharga Rp. 50.000,-, beralamat di Indramayu Jawa Barat, pada hari Rabu, tanggal
77
18 Januari 2012.Terdakwa tahu kalau H (DPO) datang dari Indramayu ke Purwokerto pasti membawa ganja dan sekarang H sudah pulang ke Indramayu. Pada waktu saksi ECS dan saksi ABS, petugas yang mengetuk pintu, kemudian terdakwa mengambil bungkusan berisi ganja yang terdakwa simpan di dalam almari kamar sambil menghubungi ibu terdakwa. Terdakwa membuang bungkusan tersebut ke dalam selokan di depan rumah, akan tetapi perbuatan terdakwa dilihat oleh saksi ECS, sehingga terdakwa disuruh mengambil bungkusan tadi. Terdakwa bersama DA (diajukan dalam perkara lain) dan H (DPO), pada hari Rabu, tanggal 18 Januari 2012, beralamat di Desa Karang Salam, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, dengan cara melinting sendiri-sendiri kemudian secara bergantian menghisap ganja yang sudah dilinting seperti menghisap rokok sampai habis. Benar, selain dengan DA dan H (DPO), terdakwa juga
bersama PW
(diajukan dalam perkara lain), menghisap ganja di rumah terdakwa pada hari Sabtu, tanggal 21 Januari 2012, sekitar pukul 20.00 WIB, sebanyak 2 (dua) kali. Ganja yang dibawa oleh H (DPO) ke rumah terdakwa dan sewaktu terdakwa menghisap ganja dengan DA, yang membawa ganja H (DPO). Setiap menggunakan ganja selalu di rumah karena rumah sepi, ibu terdakwa ada kegiatan di Gereja sedangkan Ayah ada di bengkel. Terdakwa menggunakan ganja terakhir di bulan Januari 2012. Terdakwa belum sempat mempergunakan ganja yang terdakwa peroleh dari H (DPO), namun sudah ditangkap Polisi. Terdakwa belum berkeluarga, anak tunggal dan masih kuliah, sedang mengerjakan skripsi. Terdakwa menggunakan
78
ganja karena frustasi orang tua sudah pensiun, terdakwa belum selesai kuliah dan ingin mencari kerja jadi Pegawai Negeri akan tetapi belum mendapat kerjaan sehingga pelariannya ke ganja sampai terdakwa kecanduan ganja. Terdakwa telah menggunakan ganja setiap malam karena kalau tidak menggunakan ganja badan terasa sakit dan tidak bisa tidur serta nafsu makan hilang. Terdakwa mendapat uang saku dari orang tua sebanyak Rp. 10.000.(sepuluh ribu rupiah) setiap hari. Benar, terdakwa pernah diperiksa oleh Dr. Abdurrahman AMA, MKes, SpKJ pada tanggal 5 Maret 2012. Barang bukti berupa ganja akan dipergunakan sendiri dan tidak untuk dialihkan dan atau diperjualbelikan kepada orang lain. 5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto
yang memeriksan dan mengadili perkara ini memutus sebagai
berikut: a.
Menyatakan
terdakwa
ID
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“Menyalahgunakan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri” sebagaimana dakwaan kedua melanggar dalam Pasal 127 ayat(1) huruf (a) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ID dengan pidana penjara selama : 1 (satu) tahun dan 2(dua) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan perintah terdakwa tetap ditahan ;
79
c. Menyatakan barang bukti berupa : • 1(satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja; • 1(satu) buah botol plastik berisi urine terdakwa; dirampas untuk dimusnahkan; • 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam tipe RH-105 No.085726003983 dirampas untuk Negara; d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah). 6.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdakwa diajukan oleh Penuntut
Umum ke persidangan dengan dakwaan Alternatif, yaitu Kesatu Pasal 111 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Kedua Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum berbentuk alternatif, maka Majelis akan mempertimbangkan dakwaan yang mendekati dengan pembuktian/fakta di persidangan, dan apabila salah satu dakwaan telah terbukti, maka dakwaan selebihnya tidak perlu dipertimbangkan. Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis akan mempertimbangkan dakwaan kedua, yaitu pasal 127 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Setiap penyalahguna ; 80
2. Narkotika golongan I bagi diri sendiri ;
Ad.1 Setiap Penyalahguna Pengertian “Penyalah Guna” pada pasal 1 angka 15 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Orang yang diajukan ke persidangan adalah ID, yang identitas lengkapnya termuat dalam surat dakwaan dan dibenarkan berdasarkan keterangan saksi-saksi serta terdakwa bahwa terdakwa adalah orang yang dimaksud dalam perkara ini, sehingga tidak terjadi kesalahan menyangkut orang atau error in persona. Selanjutnya dengan pekerjaan terdakwa tersebut, dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan berupa ganja yang termasuk golongan Narkotika Golongan I Nomor Urut 8 Lampiran UU No. 35 Tahun 2009, maka Majelis berpendapat, terdakwa bukan seorang ilmuwan yang mempunyai kewenangan untuk mempergunakan narkotika golongan I sebagai obyek pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan sebagai peneliti ilmu pengetahuan tertentu dan bukanlah seorang yang oleh karena itu memperoleh persetujuan Menteri atau rekomendasi Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan. Oleh karena itu terdakwa tidak berhak untuk memiliki ataupun mempergunakan ganja yang termasuk Narkotika Golongan I, sebagaimana ketentuan pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 35 Tahun 2009. Menimbang, bahwa
81
selama mengikuti persidangan, terdakwa dapat menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya, sehingga terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta dapat mempertanggung jawabkan perbuatanya. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka unsur setiap penyalahguna telah terpenuhi.
Ad. 2. Narkotika golongan I bagi diri sendiri Pada hari Minggu, tanggal 22 Januari 2012, pukul 11.00 WIB, terdakwa menyimpan ganja di almari rumah terdakwa, Jalan Gunung Slamet III No. 158 RT. 02 RW. 04, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Baturaden, Kabupaten Banyumas. Terdakwa memperoleh ganja dari H (DPO) dengan cara membeli seharga Rp. 50.000,-, beralamat di Indramayu Jawa Barat, pada hari Rabu, tanggal 18 Januari 2012 dan sebelumnya terdakwa tahu kalau H (DPO) datang dari Indramayu ke Purwokerto, karena H telpon ke terdakwa, menawarkan ganja dan terdakwa membeli, namun sekarang H sudah pulang ke Indramayu. Terdakwa menggunakan ganja terakhir di bulan Januari 2012 dan terdakwa belum sempat mempergunakan ganja yang terdakwa peroleh dari H (DPO), namun sudah ditangkap Polisi. Terdakwa telah menggunakan ganja setiap malam karena kalau tidak menggunakan ganja badan terasa sakit dan tidak bisa tidur serta nafsu makan hilang. Barang bukti yang diajukan di persidangan telah dilakukan pemeriksaan, yaitu berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.: 124/NNF/2012, tanggal 30 Januari 2011, berupa 1 (satu) bungkus kertas berisi
82
batang, daun dan biji, berat 3,041 gram, positif mengandung Derivat Cannabinoid dan 1 (satu) buah tube berisi urin milik terdakwa, positif mengandung Tetrahydrocannabinol, yang termasuk golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Barang bukti berupa ganja akan dipergunakan sendiri dan tidak untuk dialihkan dan atau diperjualbelikan kepada orang lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis berpendapat unsur narkotika golongan I bagi diri sendiri telah terpenuhi, sehingga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan kedua, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar Pasal 127 huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jenis dakwaan Penuntut Umum adalah alternatif, dan dalam perkara ini dakwaan kedua telah terbukti, sehingga dakwaan kesatu, yaitu pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak perlu dibuktikan lagi. Untuk menjatuhkan pidana terhadap diri terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih
dahulu
hal-hal
yang memberatkan dan
meringankan. Hal-hal yang memberatkan : • Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat ;
83
yang
• Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas peredaran dan penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Hal-hal yang meringankan : • Terdakwa bersikap sopan, berterus terang, menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan melakukan lagi ; • Terdakwa belum pernah dihukum ; b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Mejelis Hakim dalam perkara ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu: 1. Menyatakan terdakwa ID terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri ; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 4. Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan ; 5. Menyatakan barang bukti berupa : • 1(satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja; • 1(satu) botol plastik berisi urine milik terdakwa ; dirampas untuk dimusnahkan ;
84
• 1(satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105 No.085726003983 dirampas untuk Negara ; 6. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah).
B. Pembahasan 1.
Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Surat Laboratorium Forensik Tentang Narkotika Di Persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto Salah satu bentuk alat bukti yang sah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah surat. Menurut Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai alat bukti surat yang merumuskan sebagai berikut : “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a.Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b.Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c.Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d.Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
85
Surat adalah alat komunikasi yang dibuat secara tertulis untuk menyampaikan berita/informasi dari seseorang/lembaga/instansi kepada seseorang/lembaga/instansi dengan mengikuti aturan dan bentuk tertentu.66 Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e.Keterangan terdakwa. Alat bukti surat merupakan urutan ke-3 dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Andi Hamzah67 ; “Surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.” Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa, dan pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dengan terdakwa pada saat memeriksa terdakwa. Alat bukti berupa surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang menyebutkan : Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
66
http://www.scribd.com/doc/37855873/Pengertian-Surat-Dan-Jenis-jenis-Surat diakses tanggal 15 September 2012. 67 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, halaman 276.
86
Alat bukti surat yang akan diteliti adalah alat bukti yang dibuat oleh laboratorium forensik. Menurut Pasal 187 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya”. Surat yang ditanda tangani oleh ahli dan dibuat dengan mengingat sumpah, cukup dibaca saja di persidangan, maka mempunyai kekuatan sama dengan ahli yang menghadap di muka persidangan dan menceritakan hal tersebut secara lisan. Surat dapat digunakan sebagai alat alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabila surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh undang-undang. Adapun syarat sah surat supaya mempunyai kekuatan pembuktian harus memiliki syarat formil dan syarat materiil. Surat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat: 1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang. 2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum 3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat melemahkan bukti surat tersebut. Dilihat dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: “Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara 87
jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.68 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari kebenaran materiil. Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.69 Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, hakim memeriksa alat bukti yakni 4 orang saksi, keterangan ahli, dan surat pemeriksaan laboratorium kriminalistik No. Lab: 124/NNF/2012 yang menerangkan barang bukti bahwa:
68
Ibid. halaman 280 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273. 69
88
1. Satu bungkus kertas berisi batang, daun, dan biji ganja dengan berat 3,041 gram, positif mengandung Derivat Cannabinoid; 2. Satu buah tube berisi urin milik terdakwa, positif mengandung Tetrahydrocannabinol, yang termasuk golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan). Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan minimum pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I yang dijatuhi putusan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Seseorang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik kepemilikan narkotika apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1), dan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang terdiri dari: 1. Unsur “setiap orang”; 2. Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”; 3. Unsur “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan”; 4.Unsur “narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan tanaman, golongan II dan golongan III".70 Menurut Moh. Taufik Makarao, S.H. MH 71 bentuk-bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut : 1. Penyalahgunaan/melebihi dosis Hal ini disebabkan leh banyak hal antara lain : a. melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalamanpengelaman emosional; 70
http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/06/kerangka-pikir-pembuktian-unsurtanpa.html diakses tanggal 12 November 2012 71 Moh. Taufik Makarao dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, halaman 45.
89
b. menghilangkan rasa frustasi dan gelisah; c. mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; d. hanya sekedar ingin tahu atau iseng; 2. Pengedaran narkotika Karena keterkaitan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional; 3. Jual beli narkotika Pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan. Persidangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto
memeriksa
alat
bukti
surat
dari
Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang menerangkan bahwa : “Berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang yang ditandatangani oleh pemeriksa : Yayuk Murthi Rahayu, B.Sc dan Ibnu Sutarto, ST dan diketahui Kepala Laboratorium Forensik cabang Semarang Drs. Siswanto yang memuat: A. Barang bukti : Barang bukti yang diterima diberi No. Lab. 124/NNF/2012 berupa 1 (satu) bungkus plastik yang berlak segel dan berlabel barang bukti dan 1(satu) buah toples yang berlabel barang bukti berisi 5(lima) buah urine setelah dibuka salah satunya diberi nomor barang bukti : 1. BB-0213/2012/NNF berupa 1(satu) bungkus kertas berisi batang, daun dan biji yang diduga ganja dengan berat 3,041 gram ; 2. BB-0214/2012/NNF berupa 1(satu) buah tube berisi urine. Barang bukti tersebut di atas disita dari tersangka ID. B. Maksud Pemeriksaan : Apakah barang bukti tersebut mengandung sediaan Narkotika ? C. Pemeriksaan : Barang Bukti Hasil Pemeriksaan BB-0213/2012/NNF Positif Derivat Cannabinoid BB-0214/2012/NNF Positif Tetrahydrocannabinol D. Dalam Kesimpulan : Setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratories kriminalistik di simpulkan: Nomor BB-0214/2012/NNF berupa urine tersebut di atas adalah mengandung Tetrahydrocannabinol dan terdaftar dalam golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
90
127 huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.”72 Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto, hakim yang memeriksa alat bukti surat laboratorium forensik telah dipenuhi ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang dan substansi yang mengenai pemeriksaan urin mengandung narkotika, sehingga alat bukti surat laboratorium forensik mempunyai kekuatan pembuktian karena telah memenuhi syarat formil dan materiil. Berdasarkan
hasil
penelitian
terhadap
Putusan
Nomor:
22/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto terhadap alat bukti surat adalah yang apabila ditinjau dari segi formal bahwa alat bukti surat tersebut merupakan keterangan ahli yang dibuat oleh pejabat yang berwenang di atas sumpah jabatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kekuatan pembuktian alat bukti surat dalam putusan tersebut adalah bernilai sempurna. 2.
Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Putusan Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN. Purwokerto Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” 72
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. halaman 10-11
91
Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni: 1. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah/minimum pembuktian; 2. Adanya keyakinan hakim. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Menurut C. Djisman Samosir73 mengenai alat-alat bukti dan pembuktian yaitu ; ”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim untuk pengambilan keputusannya. Alat-alat bukti ini adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu. Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut”. Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu bermakna bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa. 74
73
C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina Cipta, 1985. halaman 79. 74 Nikolas Simanjuntak , Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009, halaman 244.
92
Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi”. Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut menyatakan : “Menimbang, bahwa selain menghadirkan saksi, Penuntut Umum juga telah mengajukan barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja ; 1 (satu) buah botol plastik berisi urine ; 1 (satu) unit handphone merk Nokia warna hitam type RH-105 No.085726003983 Bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan telah dilakukan pemeriksaan, yaitu berdasarkan berita acara pemeriksaan laboratories kriminalistik No. Lab.: 124/NNF/2012, tanggal 30 Januari 2011, berupa 1 (satu) bungkus kertas berisi batang, daun dan biji, berat 3,041 gram, positif mengandung Derivat Cannabinoid dan 1 (satu) buah tube berisi urin milik terdakwa, positif mengandung Tetrahydrocannabinol, yang termasuk golongan I (satu) Nomor Urut 9 (sembilan) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika”.75 Berdasarkan pemaparan di atas maka hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Putusan Nomor : 22/Pid.Sus/2012/PN.Purwokerto menyatakan bahwa : 1. Menyatakan terdakwa ID terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;76
75 76
Op.cit. halaman 21-23 Ibid. halaman 32-33
93
Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari Keterangan saksi yang saling bersesuaian satu sama lain serta alat bukti surat No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi, maka majelis telah mendapat bukti yang sah dan merupakan sumber keyakinan hakim dalam memberikan putusan, bahwa terdakwa terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan putusan pidana bagi terdakwa atas perbuatannya itu. Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan. Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yang merumuskan : “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.” Laden Marpaung77 menyebutkan :
77
Laden Marpaung. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 36.
94
“Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan atau vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.” Putusan perkara Nomor: 22/Pis.Sus/2012/PN.PWT merupakan bentuk putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam perkara ini bagi terdakwa (IDPO) dengan hukuman pidana penjara selama 1 (satu) tahun karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Putusan perkara pidana Nomor: 22/Pis.Sus/2012/PN.PWT, dengan penjatuhan pidana 1 (satu) tahun penjara dinilai sudah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa sebagai pelaku penyalahguaan narkotika golongan I.
95
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN. PWT, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Kekuatan pembuktian alat bukti surat laboratorium forensik tentang narkotika di persidangan dalam Putusan Nomor 22/Pid.Sus/2012/PN Purwokerto. Hasil
pemeriksaan
laboratories
kriminalistik
No.
Lab.:
124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim
Polri
cabang
Semarang
dalam
Putusan
Nomor:
22/Pid.Sus/2012/PN. PWT sebagai alat bukti surat berdasarkan pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 187 huruf c KUHAP adalah alat bukti surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pembuatan serta keterangan yang terkandung di dalamnya yang dibuat diatas sumpah jabatan. Maka alat bukti surat tersebut adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Alat bukti surat merupakan alat bukti yang sah dan hakim bebas memakai sebagai alat bukti surat untuk dasar pertimbangan hukum bagi
96
hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara selama 1 (satu) tahun terhadap terdakwa (Ignasius Dedy Primadi Octovianto). Pertimbangan Hakim tersebut didasarkan pada : a. Terpenuhinya syarat materiil yaitu substansi yang tercantum dalam alat bukti surat No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang sesuai dengan fakta yang diperiksa oleh seorang ahli dan syarat formil yaitu surat dibentuk secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan sebagai alat bukti surat yakni dibuat secara tertulis dan dikuatkan dengan janji atau sumpah. b. Kesesuaian alat bukti surat No. Lab.: 124/NNF/2012 tanggal 30 Januari 2012 pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri cabang Semarang dengan keterangan para saksi dan keterangan terdakwa.
2) Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Putusan Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN PWT, didasarkan pada: Alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, alat bukti surat dan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus kertas buku warna putih berisi ganja, 1 (satu) buah botol plastik berisi urine, 1(satu) unit
handphone
merk
Nokia
warna
hitam
type
RH-105
No.085726003983. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas
97
minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu unsur setiap orang, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan tanpa hak atau melawan hukum telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa.
B. Saran Berkenaan dengan tidak efektifnya tindakan hukum yang beranggapan bahwa dengan diputus pidana akan menjadi lebih baik dan jerah, karena dengan dipidana tidak memberi jaminan bahwa Negara Indonesia ini bebas dari narkotika, maka dari itu dibutuhkanya tindakan diluar jalur hukum (non penal). Seorang saksi ahli belum tentu dapat menghadiri persidangan karena satu dan lain hal terkait profesinya sebagai seorang ahli, maka dari itu seorang hakim yang memeriksa dan memutus perkara penyalahgunaan narkotika harus paham mengenai hasil dari pemeriksaan laboratorium forensik tersebut.
98
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur : Adji, Indriyanto Seno. 2002. Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta : Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof Oemar Seno Adji dan Rekan. Atang Ranoemihardjo, R. 1983. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito. Atmasasmita, Romli. :BinaCipta.
1983.
BungaRampaiHukumAcaraPidana.
Jakarta
Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS. Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. . 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. . 1986. Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hamzah, Andi dan Indra Dahlan. 1984. Komentar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Perbandingan KUHP, HIR dan
Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I), Jakarta: Pustaka Kartini. . 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. . 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. . 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. Hawari, Dadang. 1997. Konsep Islam Memerangi AIDS dan NAZA. Yogyakarta: Dhana Bakti Priayasa.
99
Kusuma, Musa Perdana.1983. Bab-Bab tentang Kedokteran Forensik. Jakarta: Ghalia Indonesia. Makarao, Moh Taufik dkk. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Marpaung, Leden. 1994. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Sinar Grafika. Jakarta: Sinar Grafika. Martika, I Ketut & Djoko Prakoso. 1992. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta. Moelyatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Poernomo, Bambang. 1985. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty. Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia Indonesia. . 1983. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradya Paramitha. Samosir, C. Djisman. 1985. Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan Bandung: Bina Cipta. . 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Bandung: Binacipta. Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soeparmono, R. 2002. Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria.
100
Sujono, A.R, dan Bony Daniel. 2011. Komentar & Pembahasan UndanngUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika. Supardjaja, Komariah E. 2002. Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung.
B. Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
522/Menkes/SK/VI/2008 tentang Penunjukkan Laboratorium Pemeriksaan Narkotika dan Psikotropika. Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres No. 6 Tahun 1976.
C. Sumber Lain : Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 22/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. http://lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=33&Item id=33 diakses tanggal 13 September 2012. http://www.scribd.com/doc/37855873/Pengertian-Surat-Dan-Jenis-jenis-Surat diakses tanggal 15 September 2012. http://catatansangpengadil.blogspot.com/2010/06/kerangka-pikir-pembuktianunsur-tanpa.html diakses tanggal 12 November 2012. http://sirpetermarx.blogspot.com/2009/11/tentang-ilmu-forensik.html (Guru Pinandita Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. , hlm. 279). diakses tanggal 13 Desember 2012 http://ozzieside.blogspot.com/2010/03/ilmu-forensik.html Desember 2012
101
diakses
tanggal
13