Kekerasan menurut World Health Organization (WHO) adalah intensi perilaku yang menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan dalam bentuk ancaman terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok yang mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, gangguan perkembangan atau perampasan(Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, &Lozano., 2002). Kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang sensitif dan sering terjadi dalam sebuah hubungan keluarga. Setiap tahun kasus KDRT diperkirakan meningkat, namun masih banyak masyarakat yang tidak mau melapor (Gandhi, 2013). Komnas Perempuan mencatat tahun 2006 terdapat 175 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pelakukan berusia 18 tahun (Hidayat, 2009; Komnas Perempuan, 2007). Tahun 2011 yang melaporkan KDRT ada 113.878 kasus atau 95,71% yang terjadi sekitar 311 kasus per harinya (Maruli, 2012). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa jumlah kekerasan anak paling banyak terjadi di dalam lingkungan keluarga. Mulai dari Januari – Agustus KPAI 2012 mencatat ada 3.332 kasus. Tahun 2012 tercatat 8.315 kasus kekerasan terhadap istri, atau 66% dari kasus yang ditangani, hampir setengah (46%) dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, 28% kekerasan fisik, 17% kekerasan seksual, dan 8% kekerasan ekonomi (Wardah, 2014). Pemerintah Kota Denpasar menyebutkan tahun 2013 lembaga perlindungan anak dan wanita di Bali yaitu P2TP2A ada 35 kasus KDRT dengan 65% dialami oleh anak dan remaja (Pemerintah Kota Denpasar, 2014). Wilayah DIY dan sekitarnya juga memiliki catatan terhadap kekerasan anak. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Rifka Annisa mencatat kekerasan yang dilakukan oleh anak di bawah umur 18 tahun tahun 2010-2013 sejumlah 42 pelaku kekerasan usia anak. Tahun 2009 RA mencatat 209 kasus dengan 6 orang remaja sebagai korban langsung, 2010 ada 236 kasus, 2011 ada 228 kasus dengan 5 remaja korban langsung, 2012 ada 239 kasus dengan 3 remaja sebagai korban langsung, 2013 ada 256 kasus, dan 2014 ada 185 kasus. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Yogyakarta mencatat tahun 2013 terdapat 6 kasus KDRT terhadap anak, tahun 2014 terdapat 11 kasus
2
kekerasan pada anak. Hal ini menunjukan bahwa setiap tahun terjadi kasus kekerasan terhadap anak, apabila tidak diberikan penanganan akan berdampak pada anak tersebut dan lingkungan sekitar. Menurut Sulhin angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terlaporkan di Jakarta Timur (Jaktim) lebih tinggi dibanding daerah lain di DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena tingginya urbanisasi di lokasi JakTim, dan budaya patriarki para pendatang dari daerah yang banyak bermukim di Jaktim, itulah, menurut Iqrak memiliki peran terbesar KDRT (Republika.co.id, 2009). Bentuk kasus tersebut yaitu perebutan hak kuasa asuh, akses bertemu anak, anak kabur dari rumah, penelantaran anak dan pengasuhan anak bermasalah (Nasionalkompas.com, 2012). Anak yang mengalami atau sekedar menyaksikan tindak kekerasan dalam keluarga menjadi rentan berbuat agresif, apatis terhadap orang lain, kecemasan, sulit untuk bersosialisasi dan tidak merasa nyaman di dalam rumah (Ah Yoo, 2012; Chung-Huan., dkk, 2010; Holmes, 2013; Jeevasuthan & Ahmad, 2013; Sim Doh, 2012). Anak pun akan menciptakan ketakutan dalam jiwanya sebagai bentuk ganggua mental (Hidayat, 2009). Korban KDRT pada umumnya terjadi pada perempuan dengan usia produktif dengan pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga (Affandi, Rosa, Suyanto, Khadijah, Widyaningsih, 2012). Bentuk KDRT yang terjadi pada anak yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis yang berupa emotional atau verbal abuse danmental injury, penolakan, melihat pemukukan suami terhadap istri, mendengar pertengkaran dan kekerasan seksual (Edleson, 2002). Ibu yang mengalami perpisahan dari pasangan, kekerasan fisik maupun seksual cenderung kurang sensitif dan responsif terhadap kebutuhan anak, serta mempengaruhi pola asuh dan hubungan afeksi pada anak (Jalvis, 2005; Mercer, 2006). Ibu akan cenderung pasif atau justru sebaliknya terlalu mengintervensi anak, akibatnya anak menjadi agresif, memiliki tingkat kemampuan sosialisasi yang rendah, dan jarang menunjukan afek positif. (Choi & Goo, 2012; Chung-Huan, Wang, & Warrener, 2010; Hwa-Lai, 2011; Jalvis, 2005).
3
Perkembangan anak bergantung pada kondusif atau tidaknya lingkungan, dan pola asuh. Anak yang terus terpapar perilaku kekerasan akan sulit dalam melakukan problem solving. Anak merasa bahwa siklus kekerasan tidak bisa dihindari dan merasa takut dengan kemarahannya sendiri. Ketika salah satu orangtua melakukan kekerasan, anak mengalami perasaan bersalah karena mereka merasa menyebabkan kekerasan. Maka terjadi kesalahan persepsi yang menurunkan harga diri dan menyalahkan diri sendiri pada anak. Perasaan bersalah dan rendah diri biasanya menyertai anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (Singh, 2001). Anak yang mengalami kdrt pada tahun pertama, akan berdampak pada perasaan depresi, tahun ketiga berdampak pada kesehatan mental, dan tahun kelima berdampak pada masalah perilaku anak (Roberty, 1999). Pada anak laki-laki khususnya berpotensi menumbuhkan perilaku agresif dalam fase perkembangannya hingga masa dewasa (Bergen dalam Hidayat, 2009; Burk, 2008; Choi & Goo, 2012; Tachie, 2010). Reaksi-reaksi psikis tersebut apabila tidak diberikan penanganan sedini mungkin akan berdampak pada masa dewasa seperti rentan menjadi depresi saat dewasa, gangguan fisik & mental serta emosional, rendahnya self-esteem, dan berperilaku agresif (Bair-Merritt & Beeman, 2002; Blackstone & Feudtner, 2006; Chung-Huang et al, 2010; Margaretha, Nuringtyas & Rachim ,2013; Miller,2006). Agresivitas adalah cara untuk melampiaskan rasa frustasi dan sarana mencapai tujuan untuk sengaja menyakiti, membahayakan serta mengancam orang lain (Baron&Byrne, 2000; Berkowitz, 2003). Perilaku agresif merupakan bentuk simptom dari dampak anak mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis (Hemsi, 2006; Sprinkle, 2007). Anak yang berperilaku agresif memiliki keterampilan sosial yang rendah bahkan mengalami kekerasan atau pengabaian di lingkungannya (Burk, 2008; Osofsky, 2003; Robert, 1999). Menurut perspektif belajar sosial oleh Bandura, perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman lalu melalui imitasi serta me-modeling. Proses imitasi membutuhkan kerja kognitif dalam menangkap informasi yang masuk dan mempersepsikannya sehingga anak dapat dapat menyikapi suatu perilaku 4
(Fantuzzo & Mohrr, 1999). Proses kerja kognitif juga berkaitan dengan emosi dan perilaku, sehingga apabila anak melihat kekerasan sebagai suatu hal yang biasa maka ia mengalami kesulitan dalam problem solving. Hal ini disebabkan karena anak kekurangan alternative model dalam menyikapai suatu peristiwa bagaimana anak belajar perilaku melalui pengamatan tersebut berdasar pada interpretasi seseorang terhadap suatu pengalamannya (Corey, 2009 & Singh, 2001). Anak yang tinggal dalam lingkungan kekerasan akan bertindak cenderung agresif dan meningkat apabila individu tetap mendapat reinforcerment positif. Proses pemahaman suatu peristiwa ini merupakan kemampuan berpikir anak memanipulasi lingkungan sehingga terjadi perubahan lingkungan yang dikehendaki (Alwisol, 2007; Susantyo, 2011). Anak-anak belajar perilaku dari informasi yang terlihat dihadapan mereka, lalu mereka menginternalisasi perilaku tersebut untuk digunakan di lingkungan sosialnya (Berkowitz, 2003; Simmons., Starsworth., & Wentzel, 1999). Berkowitz (2003) menambahkan bahwa rasa frustasi terhadap figure lekat, penolakan orang tua, perilaku kekerasan, dan penganiayaan menyebabkan agresivitas anak muncul. Anakanak yang mendapat KDRT memiliki pemenuhan kebutuhan afeksi yang minim sehingga mereka tidak memahami perasaan dan cara mengekspresikan perasaan itu ke dalam perilaku. Hasil study preliminary menunjukan anak yang sejak tidak mendapat perhatian dari ibu akibat ibunya mendapat kekerasan dari suaminya yang sibuk bekerja tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki pola kelekatan kepada orang lain. Dia merasa tidak memiliki teman. Gurunya menambahkan bahwa saat anak merasa terganggu atau mendapati situasi yang tidak sesuai dengan kehendak dirinya maka ia akan sangat marah, memaki-maki dan memukul atau melempar barang kepada temannya. Selama ini klien melihat ayah tiri dan ibunya melakukan punishment dengan memukul. Saat tinggal di panti perilaku klien tidak ada yang mengontrol sehingga agresivtas muncul (Benu, 2014). Peristiwa lainya yaitu anak laki-laki umur 9 tahun yang sering melihat ibunya saat marah memukul atau berbicara kasar akan mengikuti pola perilaku tersebut (Saraswati, 2013). 5
Intimate Partner violence (IPV)
Agresivitas meningkat atau tetap ada
Anak mengalami emosi negatif dan tidak mendapat kebutuhan afeksi
Adanya reinforcement positif pada perilaku agresif anak.
Anak terpapar pola perilaku kekerasan sehingga ia mengimitasi perilaku kekerasan
Kesulitan dalam problem solving , anak tidak sadar emosinya, kurangnya alternative model selain perilaku kekerasan,
Gambar1: Dinamika perilaku agresi anak akibat kdrt
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya anak yang mengalami kdrt perlu tempat untuk memfasilitasi emosi dan rasa ketidakpuasaan tersebut, Sarana yang sesuai dengan perkembangan anak dapat memberikan kebebasan bagi anak mengekspresikan inner world-nya. Anak-anak korban KDRT memerlukan kebutuhan yang kuat pengasuhan untuk membantu mendapatkan citra positif dari diri mereka sendiri.Selain itu mereka perlu belajar bahwa kekerasan bukanlah jalan satu-satunya dalam meregulasi emosi. Anak perlu mendapat bimbingan dalam mendapatkan model alternatif selain agresivitas dalam menyikapi stressor. Art therapy dapat menjadi sarana yang tepat bagi proses intervensi anak yang mengalami KDRT. Melalui Art therapy terapis dapat membangun kepercayaan diri anak dan membantu anak untuk meringankan menyalahkan diri atas kekerasan yang menimpa keluarganya (Singh, 2001). Penggunaan seni dalam terapi dapat memfasilitasi pengembangan aliansi antara terapis dan anak. Pemanfaatan seni dapat membantu anak untuk mengamplifikasi hubungan interpersonal yang belum
6
terselesaikan dan memungkinkan terapis untuk menyadari pengalaman anak terlepas dari kemampuan verbal (Malchiody, 2005; Rankanen, 2014; Singh, 2001). Proses art making dianggap sebagai cara untuk berkomunikasi yang menekankan pada gambar, lukisan, dan ekspresi-seni lainnya (Farokhi, 2011; Waller, 2006). Anak-anak dapat mengkomunikasikan dan mengekspresikan perasaan lewat proses art making seperti: menggambar, melukis, dan membuat clay (Bishop, 2012; Christina & Anetta, 2012; Eaton., Dorhetty., Widrick., 2007; Farokhi, 2011; Riley, 2001;). Art therapy memfasilitasi klien menggunakan media seni, proses berpikir kreatif dan hasil karya seni untuk mengekslorasi perasaan, mendamaikan konflik emosional, lebih membuat seseorang aware terhadap dirinya, mengelola perilaku, mengembangkan keterampilan sosial, meningkatkan orientasi realitas, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan harga diri. Art therapy efektif dalam menangani para pasien disorder yang memiliki kecenderungan bertindak kekerasan (Broek, De Vos, & Bernstein, 2011; Malchiody, 2005). Penelitian lain juga menunjukan bahwa Art therapy bisa menjadi sarana belajar anak yang tidak membosankan untuk menurunkan perilaku agresif, meningkatkan regulasi emosi dan sangat efektif bagi anak yang mengalamai peristiwa traumatis karena art therapy bisa memfasilitasi ekspresi emosi dalam setting yang aman (Artkinson & Robson, 2013; Aviv., Regev, & Guttmann, 2014; Bishop, 2012; Brown & Sack, 2013; Khadar., Bapaour., & Sabourimoghaddam, 2013; Samadzadeh, 2013). Anak korban KDRT dengan kecenderungan agresif memiliki kemampuan verbal minim (Alavinezhad, Mousavi, & Sohrabi, 2014). Hal ini disebabkan oleh kebutuhaan afeksi yang kurang terpenuhi sehingga mempengaruhi regulasi emosinya. Namun anak dengan kdrt memiliki daya observasi yang tinggi sehingga saat anak melihat role model orangtua ia belajar menemukan respon coping yang sama dengan role model-nya. Diharapkan dengan Art therapy dapat membantu anak dalam berkomunikasi dengan terapis dan media katarsis untuk mengekspresikan diri dalam bentuk bahasa non verbal (Alavinezhad, et al., 2014; Brown & Sack, 2013; Farokhi, 2011; Khadar., et al, 2013; Malchiody, 2005). 7
Alavinezhad, et al (2014) melakukan penelitian menggunakan Art therapy untuk menurunkan agresifitas dan meningkatkan self-esteem anak usia 7-11 tahun selama 10 sesi, setiap pertemuan seminggu sekali selama dua jam dengan menggunakan pendekatan CBT. Art therapy dengan pendekatan CBT adalah bentuk terapi seni dimana klien terlibat dalam cara berpikir tentang masalah mereka. Klien dapat mempersepsikan masalah mereka dari perspektif baru melalui gambar dan sadar terhadap perasaan dan pikiranya (Alavinezhad, et al., 2014; Malchiodi, 2003). Art therapy CBT menekankan anak untuk aware terhadap perasaan dan pikiranya. Proses ini penting agar anak belajar untuk menerima pengalaman stresornya lewat habituasi agar terbentuk coping skill yang baik (Alavinezhad, et al, 2014; Samadzadeh, Shahbazzadeh, Abbasai; 2013). Pada penjelasan sebelumnya, anak korban kdrt mengalami banyak emosi negatif sehingga hal ini mempengaruhi proses perkembangan emosi serta kognitifnya. Mereka banyak terpapar pola perilaku kekerasan orangtunya, sehingga mereka memiliki sedikit alternatif dalam mengelola dan mengontrol emosinya. Anak pun mengimitasi perilaku itu dan masuk ke dalam belief-nya. Hambatan dalam meregulasi emosi dan belief agresif tadi memunculkan pikiran atau ide-ide melakukan perilaku kekerasan dalam menghadapi stressor. Maka dari itu coping yang terjadi perilaku agresif, sikap bermusuhan, dll. Menurut Malchiodi (2003) melalui Art therapy anak dapat mengungkapkan perasaan emosinya terlebih dahulu tanpa merasa terbenani. Dalam menggambar terdapat proses ekspresi yang membutuhkan ide kreatif sehingga melibatkan proses otak visual cortex, dan keterlibatan fisiologis seperti gerakan tangan. Ketika menuangkan gambar, anak dapat mereduksi tegangan. Sebuah gambar tidak hanya berkaitan dengan visual, namun termasuk semua sensor manusia (alat indera) dan somatosensory (sentuhan, otot, suhu, rasa sakit, visceral, dan vestibular sense). Proses art therapy dalam mengintervensi anak terletak pada mediasi ekspresi emosi lewat gambar kemudian dari gambar tersebut anak diminta untuk bercerita.
8
Saat menggambar, anak membingkai ulang apa yang mereka rasakan, menanggapi suatu peristiwa atau pengalaman, dan bekerja pada perubahan emosi dan perilaku. Hal ini agar anak dapat aware dengan perasaannya. Setelah proses mereduksi tegangan, terapis membimbing anak untuk merekonstruksi belief system atau pikiran negatifnya terhadap kekerasan lewat gambar. Cerita yang keluar dari anak dapat melihat bagaimana anak mempersepsi stressor tersebut. Terapis dapat membantu anak dalam mengubah distorsi kognitifnya dengan visual coping seperti bertanya “what if” dan feedback. Teknik visual coping imagery merupakan sarana terapeutik memerangi perasaan negatif dan melihat lagi pikiran yang muncul. Imagery membantu anak menantang pikiranya untuk mereduksi emosi yang tidak menyenangkan dengan membayangkan kemungkinan cara lainnya (Stallard, 2005). Caranya terapis memberikan pertanyaan yang bersifat paradoks dalam setiap sesi menggambar. Teknik pertanyaan “what if” membuat anak membayangkan situasi stressor yang akan dihadapinya dan membuat anak mencari alternatif lain saat menghadapi stresor tersebut. Harapanya setelah anak paham mengenai emosinya, reframing kognitif dapat terjadi bahwa mereka memiliki cara pandang baru dalam mempersepsi stresornya untuk melakukan coping selain agresivitas. Jika mereka memiliki cara baru selain agresif maka intensi melakukan perilaku agresif menurun. Target harapan penurunan intensi agresivitas dalam penelitian ini menjadi tidak ada atau 0 (nihil). Intervensi Art therapy sangat bergantung pada kemampuan terapis memberikan perspektif baru kepada anak dengan komunikasi non verbal. Peneliti menyusun Art therapy selama 8 sesi (Alavinezhad, et al., 2014). Keberhasilan Art therapy bergantung pada faktor risiko dan protektif anak. Faktor risikonya antara lain: reinforcement positif yang diterima anak, masih melihat perilaku kekerasan, parental skiil. Faktor protektif anak antara lain: anak tidak tinggal dengan orangtua yang melakukan kekerasan atau tidak tinggal di lingkungan kekerasan, kemampuan terapis dalam membangun hubungan terapeutik dengan anak, terjalinya hubungan afeksi positif antara orangtua dengan anak.
9
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas modul Art therapy apabila digunakan pada anak korban KDRT yang memiliki kecenderungan agresivitas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah art therapy dapat menurunkan perilaku agresivitas anak korban KDRT.. Berikut bagan atau kerangka penelitian:
10
Mediasi Art therapy
proses gambar dapat membantu untuk mengekspresikan emosi dan pikiran yang terpendam sebagai katarsis. Kemudian terapis membimbing anak untuk merekonstruksi belief system lewat gambar Masalah Utama KDRT terjadi pd ibu & anak Anak terpapar pola perilaku kekerasan sehingga ia mengimitasi perilaku kekerasan Anak mengalami stres, trauma, ketidakpuasan Kurangnya afeksi ibu ke anak dan
Belief system / distorsi kognitif Terjadi kesalahan persepsi pada anak bahwa kekerasan merupakan alternative coping perilaku dalam menyelesaikan masalah
kurangnya alternatif role model untuk membantu mengatasi emosi marahnya
Anak mengalami kesulitan dalam problem solving karena kurangnya alternative model selain perilaku kekerasan
Efek pada Anak • Persepsi negatif pada stressor • Perubahan perilaku • Coping cenderung agresif dalam kehidupan sehari-hari pada orang lain
Hasil yang Diharapkan
Anak mendapat persepsi baru dalam menghadapi masalah/stressor Perilaku agresi menurun
Keterangan: : area intervensi : hasil yang diharapkan : perubahan proses intervensi : Perubahan efek kdrt pada anak Gambar 2: Dinamika pengaruh Art therapy untuk penurunan perilaku agresi anak korban kdrt