Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014, hal 124-131 ISSN 2302-5719
Vol II, Nomor 1
Kekerasan Media:
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan E K A N A D A S H O FA A L K H A J A R Dosen dan Peneliti di Departemen Komunikasi, FISIP Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan, Surakarta 57126 Surel:
[email protected] Diterima: 21 Januari 2014 Disetujui: 10 Maret 2014
ABSTRACT There is no doubt that media violence poses a threat to public health. Violence is incompatible with humanity as well as the true enemy of it, and violence does not recognize a religion. Ironically, violence often appears from the dialectic of human life. The tools for articulating violence are vary. One of them is media. Media as a powerful tool in cultivating messages were often included and participated to bring violence to audiences with economics logic and capital profit. This paper reveals an overview where violence is often used as a presentation and commodities that are sold through media in society. Violence is not only a common matter of daily life but also an entertainment.
Keywords: Violence, Commodity, the Society of Spectacle, Media, Entertainment
Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menemui apa yang dinamakan kekerasan. Kekerasan itu sendiri mengandung pe ngertian yang buruk. Oleh karena itu, kekerasan adalah sesuatu yang harus dihindari karena mengandung unsur yang tidak sejalan dengan kemanusiaan. Jamil Salmi dalam bukunya Violence and Democratic Society (1993) menilai kekerasan itu harus dihindari karena kekerasan memiliki wajah yang menyeramkan dan mengerikan (Salmi, 1993). Kekerasan itu sendiri sangat bertentangan dengan para pelaku, dan pemikir kemanusiaan semisal Mahatma Gandhi atau Martin Luther King Jr., yang telah
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 124
mengajarkan solidaritas, cinta, dan kasih sayang (Alkhajar, 2014: 65). Namun, apa jadinya bila kekerasan malah sengaja diciptakan, bahkan diolah menjadi sebuah komoditas yang dapat dijual dan laku di pasar? Sekali lagi orientasi pasar sebagai alasan utama berperan di sini. Tidak dapat dimungkiri bahwa media massa modern kerap menjadikan kekerasan sebagai barang dagangan. Kekerasan itu dikonstruksi, dan didekontruksi untuk dapat diambil serta diangkat menjadi komoditas baik menjadi sebentuk bacaan ataupun tontonan. Hal ini dapat dikatakan sebagai proses bersenyawanya kapitalisme dan media se-
4/24/2014 10:45:13 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 125
hingga apapun dapat direduksi, dikemas serta disajikan sebagai hiburan dan tontonan. Hal ini senada dengan pandangan Gerald Sussman (1997: 34-35) yang menyatakan bahwa realitas yang terjadi saat ini merupakan sebuah gambaran mengenai industri yang di dalamnya segala sesuatu dapat dikomodifikasikan. Dengan kata lain, semua aspek kehidupan bisa menjadi komoditas menjanjikan bagi pemilik modal. Maka tak salah apa yang dikatakan Jackman (2002) bahwa kita kerap menemui kekerasan, yang tentangnya kita tidak ha nya menyaksikan atau mengalami secara langsung tetapi juga melalui media. Jadi, dari gejala, hasil amatan dan pandang an para ahli ini, lalu muncullah istilah ke kerasan media atau media violence, yang dapat dimaknai sebagai penggambaran ataupun penampilan kekerasan dari suatu sumber media, yang tentunya dapat membawa efek negatif terhadap masyarakat.
yang dapat dijual, dan disajikan ke pasar. Kapitalisme merupakan ruh sementara komodifikasi merupakan cara atau proses yang dijalankan. Merujuk pada Webster’s New World Encyclopedia (1992), komodifikasi memiliki akar kata ‘komoditas’ yakni ‘something produced to sale’. Pengertian ini menggambarkan komoditas merupakan suatu objek. Merujuk pada Barker (2004), komodifikasi dapat dimaknai sebagai proses ketika objek, kualitas, dan penanda diubah menjadi komoditas yang tujuan utamanya adalah untuk dijual atau berorientasi pasar. Sementara itu, Vincent Mosco mengatakan bahwa komodifikasi merupakan suatu cara kapitalisme untuk mengakumulasikan modal. Dengan kata lain, komodifikasi adalah suatu transformasi atau perubahan dari nilai fungsi atau nilai guna menjadi nilai tukar (Mosco, 2009). Berpijak pada Stuart Hall, media massa merupakan instrumen paling penting dari kapitalisme Nalar Ekonomi Kapitalis, Komodifikasi dan (Lury, 1996). Media massa memiliki logika tersendiri dalam menangkap “realitas”. Konstruksi Sosial Kekerasan melalui media massa ditangSalah satu kata kunci dari kapitalisme adakap untuk kemudian dihadirkan kembali lah keuntungan. Ini adalah sebuah cara sebagai bentuk komoditas. Hal ini senada pandang sejati yang selalu dijadikan paradigma bagi para pemilik modal yakni men- dengan Inglis (1990), yang menuturkan cari serta memeroleh keuntungan. Karl bahwa kapitalisme era modern mengadaMarx (dalam Sanderson, 1999) mengurai- kan suatu industrialisasi terhadap area kekan bahwa kapitalisme merupakan suatu hidupan yang tidak terbayangkan, namun sistem ekonomi yang memungkinkan be- tentu saja dengan logika mencari dan peberapa individu menguasai sumber daya menuhan pasar-pasar baru, termasuk di produksi vital yang mereka gunakan untuk antaranya industrialisasi kekerasan. Lebih memeroleh keuntungan. Nalar ekonomi dari itu, Baudrillard dalam bukunya In the kapitalis merujuk pada makna yang men- Shadow of the Silent Majorities (1983), mencakup pengertian bahwa produksi dalam jelaskan bahwa media memiliki logikanya suatu pasar memiliki tujuan akhir yang sendiri terutama mengenai kemampuanmemungkinkan produsen memeroleh ke- nya memproduksi “realitas kedua”. Realitas ini tidak dapat lepas dari berbagai keuntungan yang sebesar-besarnya. Kapitalisme dan komodifikasi meru- pentingan yang ada termasuk di dalamnya pakan jalinan yang erat. Jalinan ini akan adalah pertimbangan mengenai orientasi senantiasa menghasilkan suatu komoditas keuntungan modal.
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 125
4/24/2014 10:45:13 AM
126
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Oleh karena itu, berbagai berita, teks, atau diskursus media yang hadir di hadap an khalayak bukan merupakan suatu yang netral dan otonom pada dirinya, melainkan realitas baru yang dihasilkan media melalui apapun itu bentuknya baik jurnalisme, surat kabar, film, televisi dan sebagainya. Berpedoman pada uraian di atas, maka penulis dapat mengatakan bahwa kekeras an dalam media merupakan sebentuk konstruksi sosial dari berbagai pihak yang terlibat di belakangnya. Konstruksi sosial ini merujuk pada pandangan Berger dan Luckmann (1966), yang erat kaitannya de ngan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu. Dengan kalimat lain, kesadaran merupakan bagian paling penting dalam konstruksi sosial. Bagi kapitalisme, imaji kekerasan menjadi suatu bahan yang potensial untuk dijual kepada khalayak tentu saja dengan terlebih dahulu melakukan konstruksi sosial terhadap kekerasan tersebut. Semua dibentuk sedemikian rupa agar dapat disajikan kepada pasar dalam bentuk-bentuk baru yang seolah-olah hal tersebut memiliki alasan yang meyakinkan untuk disajikan. Dalam tataran ini, hal yang berbahaya tentu ketika kapitalisme mampu membeli dunia kesadaran sehingga menyebabkan realitas kekerasan tadi seakan menjadi sesuatu yang biasa dan wajar adanya. Kita pun asyik larut dalam menikmati serta mengonsumsi kekerasan yang disajikan oleh media. Mengenai hal ini, Chomsky (1997) pernah mengingatkan bahwa informasi atau fakta – termasuk di sini mengenai kekerasan yang ditampilkan di media – hanyalah hasil olahan semata yang tentunya sangat tergantung pada bagaimana orang di balik media melakukan kerja-kerjanya. Jika orang di balik media merupakan kalangan yang berorientasi kepada modal, maka arah kerjanya adalah mendapatkan keuntungan dari apa yang diolahnya.
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 126
VOL II, 2014
Industri Hiburan dan Masyarakat Tonton an Berbagai materi dan aksi kekerasan dalam media kerap kali kita temui. Kekerasan menjelma ke dalam bentuk apapun yang mungkin untuk dibuat. Muaranya tak lain adalah untuk dapat dilempar ke pasar. Ketika dunia kesadaran berhasil dibeli oleh kapitalisme, maka sejatinya “darah” kapitalisme telah mengalir ke segenap relung kehidupan sehingga cepat atau lambat akan menumpulkan daya kritis dari khalayaknya. Dengan maraknya muatan kekerasan yang diangkat oleh media khususnya televisi dan film dengan berbagai bentuk sajiannya, penulis menengarai gejala kekerasan yang terasa semakin kental. Banyak sajian yang kerap atau bahkan sengaja disajikan tidak sebagai informasi yang konstruktif melainkan lebih menyiratkan harapan akan modal atau keuntungan yang tidak lain adalah bisnis. Khususnya mengenai televisi, Fiske (1991: 55-56) pernah mengingatkan bahwa televisi bukan sekadar memproduksi dan mereproduksi komoditas melainkan yang lebih penting lagi adalah modal. Televisi tidak memproduksi realitas objektif tetapi memproduksi modal. Begitu halnya dengan film, Dominic Strinati (1995) mengkritik bahwa film merupakan produk budaya yang telah menjadi produk komersil yang sudah tercerabut dari realitas sosialnya. Tidak dapat dimungkiri, kekerasan di media telah menjelma menjadi sebuah budaya populer yang sarat mempertontonkan makna hiburan sehingga menggeser makna sejati dari kekerasan yang berwajah menyeramkan. Hal ini dapat dirasionalisasi karena dalam dunia kapitalisme, hiburan dan budaya telah berubah menjadi komoditas bagi dunia industri. Kekerasan kini menjadi semacam industri hiburan yang dikemas, diproduksi ulang, dikonstruksi dan disajikan. Melihat
4/24/2014 10:45:13 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
realitas ini, dapat diasumsikan bahwa ke kerasan mungkin merupakan suatu jalan paling praktis untuk mendapatkan perhatian khalayak serta mencari keuntungan. Namun, hal yang patut diwaspadai adalah efeknya ketika hal tersebut hanya akan membuat suatu masyarakat menjadi rapuh sekaligus rusak. Jika hal ini tetap berlangsung, maka benarlah asumsi awal tadi yaitu bahwa kekerasan merupakan salah satu formula yang ampuh dalam dunia tontonan. Apabila kekerasan sudah lazim menjadi objek konsumsi ataupun objek tontonan, maka tak salah apabila akan muncul suatu masyarakat tontonan. Debord (1994) menuturkan bahwa masyarakat tontonan adalah suatu masyarakat yang di dalamnya setiap sisi kehidupan menjadi komoditas, dan setiap komoditas tersebut menjadi tontonan. Oleh karena itu, tak heran apabila di dalam masyarakat tontonan, kekerasan menjadi objek tontonan itu sendiri. Industri hiburan dapat dikatakan memang sarat dengan “manipulasi” untuk mendatangkan hal yang bersifat ekonomi bahkan melalui hal yang dapat dikatakan buruk sekalipun seperti kekerasan. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Hans Magnus Enzensberger (Dyer, 1992: 25): The electronic media do not owe their irresistible power to any sleight-of-hand but to the elemental power of deep social needs that come through even in the present depraved form of these media.
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, televisi dan film merupakan bagian dari media yang memiliki pengaruh yang demikian besar bagi masyarakatnya (McQuail, 1987). Sementara itu, Abdullah meng ungkapkan secara spesifik bahwa televisi merupakan kekuatan terpenting dewasa ini (2010: 59). Bahkan, televisi dapat berperan sebagai energi pembangun bangsa (Alkhajar, 2011).
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 127
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 127
Televisi membuat kita mampu melihat dan mengetahui berbagai informasi dari berbagai belahan dunia dan menyuguhkannya kepada kita tanpa harus bersusah payah. Selain itu, televisi memiliki salah satu fungsi yang luar biasa yakni: alih budaya (transmission of the culture) atau alih warisan sosial dari satu angkatan ke angkatan berikutnya (transmission of the social heritage from one generation to the next) (Black dan Whitney, 1988). Namun, fungsi yang baik ini akan menjadi berbahaya apabila digunakan tidak secara semestinya, misalnya ketika televisi malah kerap menayangkan muatan ke kerasan. Belum lagi ditambah dengan logika industri yang menempatkan kekerasan sebagai komoditas. Melalui ideologi kapitalisme, kekerasan kerap disuntikkan ke dalam berbagai program acara dalam televisi dengan tujuan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, seperti itulah realitasnya apabila kita ingin meniliknya dalam konteks Indonesia. Berbagai program acara semisal sinetron baik dewasa dan remaja, acara komedi, dan sebagainya kerap sekali mengangkat kekerasan sebagai isi serta menu dengan berbagai kemasan pesan yang dihadirkan kepada khalayak. Alasannya dalam industri hiburan, apapun dapat disajikan tak lain demi meraih keuntungan (Alkhajar, 2014: 7-8). Keith Tester pun mengkritik perihal proses produksi yang senantiasa mempertimbangkan kepentingan material (modal) dan hiburan semata. Ia geram dan menyin dir bahwa kondisi demikian layaknya komersialisasi “sampah” yang berbahaya karena memiliki dampak serius pada kualitas hidup manusia (Tester, 1994). Apabila hal tersebut dibiarkan terus berlangsung maka sejatinya proses dehumanisasi tengah berlangsung secara masif di tengah khalayak masyarakat. Hal ini tentu sangat disayang-
4/24/2014 10:45:13 AM
128
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
kan karena televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi sebagian besar masyarakat. Mulai dari kota hingga pelosok desa, rumah hunian liar, pinggiran kota bahkan masyarakat yang tinggal di bawah jembatan layang (Wirodono, 2005). Tidak berbeda dengan televisi, muatan kekerasan juga kerap menjadi menu dalam berbagai film di Indonesia. Kekerasan dalam kedua media tersebut kerap muncul baik berupa kekerasan secara langsung, tidak langsung, kekerasan visual maupun kekerasan simbolik yang diperankan oleh tokoh-tokoh yang hadir di dalam cerita dari media tersebut. Sudah jamak diketahui bahwa televisi dan film memiliki kelebihan dibandingkan media lainnya dalam hal audio visual sehingga pesan-pesannya, termasuk yang bermuatan kekerasan, begitu mudah ditangkap oleh khalayak pemirsa atau penontonnya. Khususnya mengenai film, Christian Metz menyatakan bahwa kita mampu de ngan mudah memahami film karena media ini telah menjelma menjadi bahasa kehidupan. Film mampu menyampaikan sebuah cerita yang sangat menarik. Metz menegaskan demikian, We understand a film not because we have a knowledge of its system: rather we achieve an understanding of its system because we understand the film put another way its not because the cinema its language that it can tell such fine stories, but rather it has become language because it has told such fine stories (Metz, 1974: 47).
Akan tetapi, realitas yang memuat ke kerasan dan kerap dijadikan komoditas untuk dijual tidak hanya berlaku di Indonesia melainkan berlaku di mancanegara. Sebagai contoh, eksplorasi berupa kengerian serta kekerasan berupa pembunuhan para pelacur London yang dilakukan oleh Jack The Ripper. Sosok ini pun sejatinya masih menjadi misteri namun nyatanya tetap di-
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 128
VOL II, 2014
lakukan upaya komodifikasi untuk membentuknya menjadi semacam komoditas yang laku untuk dijual. Kisah ini diangkat dalam film From Hell (2001) yang disutradarai Albert Hughes dan Allen Hughes (Alkhajar, 2012: 46-47). Hal ini setidaknya membuktikan bahwa logika kapitalisme telah menghegemoni dan menyusup ke berbagai belahan dunia serta sendi kehidupan melalui fenomena globalisasi, yang beberapa kata kuncinya termasuk ekonomi dan budaya. Ferguson mendefinisikan globalisasi sebagai: “both a journey and destination: it signifies an historical process of becoming, as well as an economic and cultural result; that is arrival at the globalized state” (Ferguson, 2002: 239). Efek Kekerasan Media Hal yang dikhawatirkan dari berbagai sajian kekerasan di media adalah terbentuknya suatu pemahaman bahwa kekerasan merupakan hal yang biasa karena semakin se ring kekerasan ditampilkan, maka akan menimbulkan suatu persepsi bahwa kekerasan adalah lumrah, bahkan telah melekat dalam kehidupan masyarakat. Kamla Bhasin (1994) pernah menuturkan bahwa meningkatnya kekerasan dalam media akan membunuh rasa kepékaan (sensibilitas) masyarakat, dan membuat kekerasan itu sendiri menjadi jalan hidup masyarakat. Tak heran, apabila masyarakat kian tak segan untuk memilih cara atau pendekatan kekerasan guna menyelesaikan suatu permasalahan. Bhasin mewanti-wanti sebagai berikut Media have an element of propaganda and use monologue. They are wiping out dialogue, discussion, people’s participation and weakening civil society. People are becoming passive consumers of news and views rather than active citizens. Increasing violence in media is killing people’s sensibilities and making violence a way of life (Bhasin, 1994: 4-7).
4/24/2014 10:45:13 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Apa yang diungkapkan Bhasin di atas terasa tepat dan aktual karena kita tahu bahwa proses mengonsumsi media itu tentu bukan sekadar melihat, menonton atau menyorotkan mata ke media an sich melainkan dalam proses tersebut terkandung berbagai dimensi yang kaya rupa serta warna. Oleh karena itu, penayangan beragam tindak kekerasan dengan berbagai format dan intensitas yang sering tentunya malah dapat menciptakan realitas kekerasan dalam masyarakat. Menurut pandangan teori pembelajaran sosial (social learning theory), seperti model yang diajukan oleh Albert Bandura dari Stanford University dengan eksperimen boneka Bobo pada 1961 (Bandura, dkk. 1961), masyarakat dapat belajar dari apa yang ditampilkan media semisal modus operandi kriminalitas hingga cara-cara anarkis kekerasan dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Kita melihat bagaimana masyarakat melakukan aksi bakar hidup-hidup terhadap pelaku kriminalitas atau memukulinya hingga meninggal dunia. Realitas tersebut sangat memprihatin kan. Namun, tampaknya ideologi keuntung an kerap menjadi pembenaran sebab di manapun media terus-menerus menayangkan serta menyajikan kekerasan melalui isi dan kemasan yang memang menjadi kekuatan utama media. Media lupa bahwa mereka termasuk institusi sosial yang turut berkewajiban memberikan wahana pendidikan terhadap masyarakatnya melalui informasi yang disajikan. Media telah berubah menjadi pencipta kekerasan, bahkan dapat dikatakan sebagai penyebar ke kerasan kepada masyarakat yang menjadi khalayaknya. Hal ini senada dengan apa yang dituturkan Anderson and Bushman (2002) bahwa tayangan kekerasan di media akan memberikan efek yang signifikan
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 129
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 129
bagi masyarakat, terutama berkaitan de ngan peningkatan agresi masyarakat. Bahkan, merujuk kepada Wertham (1968) media tak ubahnya telah menjadi “school of violence”. Sekolah-sekolah ke kerasan ini menampilkan kekerasan secara aktual dan visual dengan telanjang serta vulgar, yang biasanya kerap dilakukan oleh media elektronik. Media yang idealnya menjadi wajah saluran informasi kini telah berubah menjadi saluran pendidik an kekerasan. Jika sudah demikian, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa berbagai wajah kekerasan kini telah disosialisasikan melalui dunia hiburan, film, iklan, lawakan atau dagelan di televisi. Jika tidak segera dilakukan pembenahan, maka dikhawatirkan akan tercipta suatu budaya yang menyeramkan, yakni culture of violence yang di dalamnya kekerasan menjadi “bahasa” sehari-hari. Sekali lagi, ketika bisnis dan modal menjadi ideologi serta logika media maka tak heran akan terjadi penumpulan kepekaan terhadap kekerasan itu sendiri. Kekerasan tidak lagi dianggap sebagai hal yang luar biasa. Storey (2009) pernah mengungkapkan bahwa ideologi menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan serta penyem bunyian realitas tertentu. Ideologi akan memengaruhi teks dan praktik yang dilakukan para pemilik modal untuk memanipulasi kesadaran demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Efek sajian kekerasan ini, di satu sisi, memang menjanjikan keuntungan yang luar biasa besar. Di sisi lain, efek terberatnya adalah menghasilkan masyarakat yang rapuh serta rusak secara bangunan sosial. Efek lanjutannya lambat laun adalah kehancuran sebuah bangsa. Oleh karena itu, bukan saatnya lagi televisi dan film menyajikan tayangan dan tontonan yang kerap hanya menawarkan mimpi, kekerasan serta seks (Alkhajar, 2009: 27).
4/24/2014 10:45:13 AM
130
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Merujuk pada Latif (2010), media pada umumnya kini harus mulai memainkan peranan konstruktif yakni mengarahkan, membimbing serta memengaruhi seseorang ke dalam pemahaman dan proses belajar sosial yang baik, dengan menyediakan acara-acara yang informatif, sehat, menginspirasi dan mencerahkan. Media seharusnya tidak memainkan peranan destruktif dengan menampilkan muatan kekerasan serta berbagai hal lain yang akan menciptakan keburukan di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan media dengan segala daya tarik, daya jangkau serta efektivitasnya mempunyai kekuatan yang maha dahsyat untuk memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Penutup Menampilkan kekerasan dalam media secara membabi-buta tanpa melakukan filterisasi yang baik merupakan tindakan yang harus dihindari, apalagi menjadikan kekerasan sebagai bentuk komoditas untuk dijual ke khalayak sebagai pasar untuk dikonsumsi. Hal terakhir ini jelas-jelas merupakan suatu bentuk pendangkalan kemanusiaan. Tentunya, kita tidak mengharapkan media ikut memproduksi, dan mengawetkan kekerasan di masyarakat melalui berbagai sajiannya. Terlebih, pendidikan literasi media belum memiliki gaung keras di negeri ini. Agenda pendidikan literasi sepertinya belum masif, dan masuk dalam ranah kebijakan yang ada. Oleh karena itu, para pelaku media harus mahir berikhtiar untuk berhenti menampilkan kekerasan baik di tayangan televisi maupun film mengingat keburukan-keburuk annya seperti sudah diuraikan di atas. Para pelaku media tidak boleh malah terjebak memopulerkan kekerasan itu sendiri kepada masyarakat. Hal semacam ini membutuhkan kemauan keras, ditopang dengan
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 130
VOL II, 2014
pelbagai regulasi mengenai isi, dan muatan yang boleh ditayangkan atau tidak, yang sudah jelas dan legitimate. Sudah selayaknya media mematuhi rambu-rambu serta peraturan yang ada demi kehidupan masyarakat yang berkualitas. Media yang berkualitas akan berdampak signifikan bagi terciptanya masyarakat yang berkualitas. Daftar Pustaka Abdullah, I. (2010). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cet. 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alkhajar, E.N.S. (2009). “Televisi, Hiperealitas Remaja dan Media Literacy,” dalam Eka Nada Shofa Alkhajar, et.al. Anomi Media Massa. Surakarta: Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS. _____. (2011). “Televisi dan Energi Pembangun Bangsa,” Komunikasi Massa, 4(1): 107-118. _____. (2012). Manusia-Manusia Paling Misterius di Dunia. Solo: Bukukatta. _____. (2014). Media, Masyarakat dan Realitas Sosial. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Anderson, C.A. dan Bushman, B.J. (2002). “The Effects of Media Violence on Society,” Science, 29 March: 2377-2379. Artikel bisa diakses di < http://w w w. psychology.iastate.edu/faculty/caa/ abstracts/2000-2004/02AB2.pdf>. Bandura, A., Dorothea Ross, dan Sheila A. Ross. (1961). “Transmission of Aggression through Imitation of Aggressive Models,” Journal of Abnormal and Social Psychology, 63, 575-582. Artikel bisa diakses di http://psychclassics.yorku.ca/ Bandura/bobo.htm Barker, C. (2004). The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications. Baudrillard, J. (1983). In the Shadow of Silent Majorities. New York: Semiotext(e).
4/24/2014 10:45:14 AM
Kapitalisme, Industri Hiburan, dan Masyarakat Tontonan
Berger, P. L. dan Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Anchor Books. Bhasin, K. (1994). “Women & Communication Alternatives: Hope for the Next Media Development, Century”. 41(2): 4-7. Black, J. dan Whitney, F.C. (1988). Introduction to Mass Communication. Second Edition. Iowa: Wm. C. Brown Publisher. Chomsky, N. (1997). Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda. New York: Seven Stories Press. Debord, G. (1994). The Society of the Spectacle. New York: Zone Books. Dyer, R. (1992). Only Entertainment. London: Routledge. Ferguson, M. (2002). “The Mythology About Globalization” dalam McQuail, D. (ed.) McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Fiske, J. (1991). “Postmodernism and Television,” dalam Curran, J. dan Gurevitch, M. (eds). Mass Media and Society. London: Edward Arnold. Inglis, F. (1990). Media Theory: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell. Jackman, M.R. (2002). “Violence in Social Life,” Annual Review of Sociology, 28(1): 387-414. Latif, Y. (2010). “Peran Media dalam Pendidikan Karakter,” dalam As’ad Said Ali, et.al. Nasionalisme dan Pembangu-
009-[Eka Nada Shofa] Kekerasan Media.indd 131
EKA NADA SHOFA ALKHAJAR 131
nan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PSP Press. Lury, C. (1996). Consumer Culture. New Brunswick, N.J. : Rutgers University Press. McQuail, D. (1987). Mass CommunicationTheory: An Introduction. London: Sage Publications. Metz, C. (1974). Film Language. New York: Oxford University Press. Mosco, V. (2009). The Political Economy of Communication. Second edition. London: Sage. Salmi, J. (1993). Violence and Democratic Society. London: Zed Books. Sanderson, S.K. (1999). Macrosociology: An Introduction to Human Societies. Fourth Edition. New York: Harper & Row. Storey, J. (2009). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction. Fifth Edition. London: Longman. Strinati, D. (1995). An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge. Sussman, G. (1997). Communication, Technology, and Politics in the Information Age. Thousand Oaks, California: Sage Publication. Tester, K. (1994). Media, Culture and Morality. London: Routledge. Webster’s New World Encyclopedia. (1992). New York: Prentice Hall. Wertham, F. (1968). “School of Violence,” dalam Larsen, O.N. (ed.). Violence and the Mass Media. New York: Harper & Row. Wirodono, S. (2005). Matikan TV-Mu. Yogyakarta: Resist Book.
4/24/2014 10:45:14 AM