KEKERASAN DALAM DEMOKRASI MENURUT SLAVOJ ZIZEK (Yohanes Antonius Lelaona) Dewasa ini kekerasan demi kekerasan masih menguasai kehidupan masyarakat kita, bahkan kian merebak, seperti yang terjadi pada Rabu 14 April 2010 yang lalu antara Satpol PP dan warga di Koja, Jakarta Utara. Dari kerusuhan tersebut sekurang-kurangnya tiga orang anggota Satpol PP yang meninggal dunia. Lebih dari 134 orang luka-luka. Bahkan, beberapa di antaranya berada dalam kondisi kritis!1 Kekerasan ternyata masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa ini. Sampai detik ini pelbagai konflik yang berpotensi menimbulkan kekerasan tetap berlangsung. Fenomena kekerasan bahkan menjadi semacam infotainment, jadi hiburan yang hampir setiap hari disuguhkan dalam berita-berita di televisi dan dalam berbagai tajuk. Kekerasan mewajah dalam bentuk tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, dan antarwarga kampung. Kekerasan juga menyusup di panggung politik, sehingga Sidang Paripurna DPR, forum terhormat perwakilan rakyat pun tak luput dari aksi kekerasan. Mengherankan, mengapa di negara yang sangat menjunjung tinggi nilai demokrasi ini selalu segala persoalan berujung pada kekerasan? Apa yang menjadi akar dari kekerasan tersebut? Bagaimana fenomena kekerasan yang terjadi saat ini dalam hidup kita? Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang kerap terjadi saat ini? Apa solusi yang bisa ditawarkan dalam menanggulangi maraknya kekerasan ini? Tulisan ini hendak mengantar kita pada konsepsi pemikiran Slavoj Zizek mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dewasa ini. Dengan mengikuti alur pemikiran Slavoj Zizek dan sedikit meminjam pemikiran Hannah Arendt, tulisan ini berisikan penelusuran fenomena kekerasan manusia, akar-akarnya, bentuk-bentuk kekerasan, dan upaya meretas budaya kekerasan. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan bahwa kekerasan bukanlah kodrat dari manusia. Namun bukan mustahil bahwa kekerasan dapat dilakukan oleh manusia yang berada di sekitar kita. Tulisan ini akan di bagi tiga bagian yaitu pertama, pengantar. Kedua, akan dijelaskan sejarah dan makna demokrasi dalam kehidupan bersama, fenomena, dan akar kekerasan serta bentuk-bentuk kekerasan. Ketiga, penutup berisi mengenai beberapa upaya meretas budaya kekerasan dan kesimpulan.
1
Aloys Budi Purnomo, Meretas Budaya Kekerasan dalam Opini Kompas, Jakarta: Kompas edisi Jumat 16 April 2010, hlm. 6. 24
Sejarah dan Makna Demokrasi Demokrasi sesungguhnya bekerja dalam logika pengecualian, tengok saja dalam sejarah demokrasi purba yang terdapat di Athena dan Romawi. Di sana demokrasi bukan sekadar geografi pikiran, melainkan juga raga. Artinya secara ragawi terdapat golongan yang tidak termasuk ke dalam lingkungan demos. Mereka adalah anak-anak, budak, dan perempuan. Sedangkan yang termasuk demos adalah kaum laki-laki. Kemudian tradisi pengecualian yang ada dibenahi oleh demokrasi representasional yang berkembang di Eropa pada abad ke-16.2 Demokrasi ini tidak lagi memisahkan, tetapi justru mengapit sebanyak mungkin suara pelbagai kelompok kepentingan. Demokrasi sebagai tradisi model pemerintahan mulai disusupi tradisi lain yang dikembangkan oleh para filsuf Eropa dengan menekankan tradisi kebebasan. Dengan demikian kebebasan manusia mulai menjadi tema utama dalam demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai penjaga abadi kebebasan dasar manusia. Pertemuan antara demokrasi dan kebebasan ini akhirnya menghasilkan pergeseran dari prosedural ke moral. Dalam berdemokrasi koersi ditekan ke titik nol dan yang menjadi pusat demokrasi adalah pandangan yang melihat bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai subjek moral yang setara. Karena itu, hukum cinta kasih harus diutamakan dalam kehidupan berdemokrasi. Di sisi lain, demokrasi juga memperoleh keabsahan sebagai pengawal agung kebebasan manusia. Dalam sistem demokrasi setiap orang diberi kebebasan untuk berpendapat, tetapi mengapa justru di negara yang menganut sistem demokrasi ini, kekerasan antarsesama manusia yang melanggar hak asasi manusia begitu sering kali terjadi dalam kehidupan? Bagian berikutnya akan disajikan aneka fenomena dan akar dari kekerasan tersebut. Fenomena dan Akar Kekerasan Hati kita miris, sedih, pedih, dan prihatin menyaksikan tayangan berita bentrokan antara Satpol PP dan warga di Koja, Jakarta Utara pada Rabu 14 April 2010 lalu. Bentrok ini ingin menggambarkan bahwa kekerasan sudah menjadi bagian hidup manusia dewasa ini. “Kekerasan di Sekitar Kita” itulah salah satu judul tajuk rencana yang pernah termuat dalam salah satu koran nasional dalam menanggapi situasi bangsa ini yang hampir setiap hari diwarnai berbagai aksi kekerasan. 2
M. Fadjroel Rachman, Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat, Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan, Jakarta: Koekoesan, 2007, hlm. 1. 25
Dari judul tulisan ini, penulis melihat ada dua nuansa dari realitas kehidupan yang ingin ditampilkan lewat judul tersebut. Pertama, rasa putus asa atas realitas praktik kekerasan sebagai bagian dari keseharian kehidupan di negara yang menganut paham demokrasi ini. Kedua, optimisme kemampuan mengubah kekerasan menjadi non-kekerasan. Rasa putus asa timbul oleh kenyataan kekerasan menjadi „jalan ke luar‟ setiap persoalan, dan menjadi pilihan pertama. Belum selesai soal kekerasan di jalan raya yang semakin sadis, terkuaknya geng-geng pelajar yang berperilaku preman, dan berunjuk rasa dengan aroma kekerasan fisik. Kini muncul lagi kekerasan yang terjadi antara warga dan aparat keamanan di Koja, Tanjung Priok. Mengherankan, mengapa bentrok yang melibatkan aparat keamanan tidak diselesaikan secara bijaksana, tetapi justru memuncak pada aksi kekerasan yang lebih besar? Mengapa manusia justru cenderung melakukan kekerasan? Di sini penulis akan menjelaskan persoalan ini dengan meminjam konsepsi pemikiran Filsuf wanita keturunan Yahudi Hannah Arendt. Menurut Hannah Arendt akar kekerasan yang terjadi pada manusia terletak pada kerinduan manusia untuk menemukan rasa kepastian dan identitas.3 Kekerasan adalah jalan pintas pencarian identitas dan semacam representasi krisis spiritual manusia. Ketika menjadi massal, dari sisi jumlah pelaku dan akibat yang ditimbulkan, praktik kekerasan ibarat wabah penyakit sebab dengan gampang akan merambah sebagai jalan ke luar dalam menyelesaikan persoalan. Ibarat penyakit masyarakat atau “sampar” dalam versi Albert Camus, dalam arti ini masyarakat bersangkutan menderita sakit. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sekarang ini kita sudah terserang sampar kekerasan yang mewajah dalam berbagai bentuk dan tali-temali menjadi lingkaran kekerasan. Kekerasan terekspresikan baik yang bersifat personal-pribadi dan sosial kemasyarakatan. Lingkaran sampar kekerasan merebak secara sistematikstruktural, secara politis, ekonomis, kultural, bahkan religius! Menarik kekerasan justru menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masa kini. Kekerasan merupakan noda dari sistem demokrasi. Meminjam ungkapan Romo Mangunwijaya, kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk kebodohan!4 Di samping itu, bangsa kita ini perlu rendah hati mengakui bahwa kita akrab dengan sejarah kekerasan. Kosa kata amok yang diadopsi ke bahasa asing lahir dari dua verba bahasa Indonesia.5 Bangsa kita menderita 3 4 5
Hannah Arendt, On Violence, New York: A Harvest Book, 1970, hlm. 59-61. Aloys Budi Purnomo, Loc. Cit. Yudi Latif, Menyemai Karakter Bangsa, Jakarta: Kompas, 2009, hlm. xxii. 26
sakit yang akut semacam kerinduan akan penegasan identitas diri akibat krisis spiritual manusia. Kekerasan mewarnai keseharian, tidak hanya dalam bentuk kejahatan fisik sehari-hari yang gampang terjadi di sudutsudut kota besar seperti Jakarta, tetapi juga profesi lain “yang terhormat”, seperti politisi, termasuk dengan gampangnya menggunakan okol-kekerasan daripada nalar dalam menyelesaikan persoalan.6 Pemassalan kekerasan menjadi lengkaplah ketika terjadi proses peradilan serba “seolah-olah” yang sebenarnya tidak lebih dari wajah lain praktik kekerasan. Kekuatan hukum melemah. Pendeknya, hukum tidak lagi melindungi warga negara yang lemah, tetapi justru menjadi tameng bagi kaum elite politik. Padahal hanya melalui hukum yang adil dan bijaksana, demokrasi bisa bekerja secara berkeadaban. Tanpanya, hukum sangat rentan untuk dijadikan sarana bagi kelompok-kelompok elite untuk menindas kaum lemah yang tidak berdaya di depan hukum. Dimensi tanggung jawab kemanusiaan hilang dalam kehidupan sehari-hari. Semua akhirnya akan berujung pada yang kuat-nekat menang, yang lemah-tahu diri/waras kalah. Inilah sesungguhnya gambaran fenomena kekerasan yang dialami bangsa kita saat ini. Kekerasan yang menghilangkan nilai hati nurani manusiawi, dan hanya mengedepankan kepentingan diri sendiri dalam kehidupan bersama, serta melihat sesama hanya sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Selanjutnya, bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang sering terjadi? Bentuk Kekerasan Kekerasan terekspresikan baik yang bersifat personal-pribadi dan sosial-kemasyarakatan. Praktik kekerasan merebak secara sistemikstruktural, dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, kultural, bahkan keagamaan dewasa ini! Hal ini dilihat juga oleh Slavoj Zizek. Menurut Slavoj Zizek praktik kekerasan sangat dominan dalam kehidupan seharihari.7 Ia menjelaskan ada tiga bentuk kekerasan yang dapat terjadi dalam aneka proses sosial, politik, dan ekonomi, termasuk proses demokratisasi seperti di negara kita saat ini. Tiga bentuk kekerasan tersebut yakni: Pertama, kekerasan subjek (subjective violence),8 yaitu kekerasan yang dilakukan oleh agen-agen sosial, politik, ekonomi tertentu, baik kekerasan fisik dan nonfisik. Bentuk kekerasan ini bisa berupa pemaksaan, intimidasi, ancaman, gertakan, atau teror terhadap aktor-aktor lain di dalam 6 7 8
Yasraf Amir Piliang, Transpolitika, Bandung: Jalasutra, 2005, hlm. 84. Rex Butler, Slavoj Zizek Live Theory, New York: Continum, 2005, hlm. 130. Slavoj Zizek, The Ticklish Subject, London & New York: Verso, 2000, hlm. 45. 27
medan sosial, politik, dan ekonomi.9 Kekerasan macam ini tampak dalam aneka wacana, debat, atau tindakan elite-elite politik maupun massa politik di gedung parlemen, kampus, atau ruang publik lainnya. Kedua, kekerasan simbol (symbolic violence),10 yaitu kekerasan pada tingkat bahasa dan simbol, sebagai konsekuensi perayaan individualisme dalam politik. Inilah penggunaan bahasa dan simbol yang merendahkan, menghina, dan menyakitkan berdasarkan ukuran kesantunan sosial. Bahasa dan simbol itu tidak merusak tubuh atau fisik, tetapi melukai hati, menghancurkan keluhuran dan harga diri manusia.11 Kekerasan simbolik macam ini dilakukan oleh elite-elite politik di ruang sidang, atau pun oleh massa rakyat di ruang-ruang demontrasi jalanan. Ketiga, kekerasan sistem (systemic violence),12 yaitu kekerasan yang bersifat sistemik, yang merusak tatanan paling dalam, esensial, atau fundamental dari sistem sosial, kultural, atau spiritual. Misalnya; kebebasan berpendapat individualistik yang diusung di dalam sistem demokrasi (liberal) telah merongrong tatanan dan sistem etika sosial yang ada yang berbasis komunal. Semangat individualistik dan narsisme yang dirayakan oleh demokrasi liberal merongrong sistem persaudaraan dan asketisme yang dibawa oleh ajaran agama. Sistem demokrasi yang dibangun dengan model kekerasan hanya akan menggiring kita bersama pada sebuah kontradiksi kultural (cultural contradiction of democracy).13 Lantas, apa solusi yang pantas ditawarkan jika melihat situasi bangsa kita saat ini? Di bagian selanjutnya penulis akan memaparkan beberapa upaya meretas kekerasan yang baik untuk dipraktikkan dalam kehidupan bersama. Meretas Budaya Kekerasan Merebaknya budaya kekerasan akhir-akhir ini harus segera dicari solusinya, terlebih dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama. Di negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, menyelesaikan konflik dengan cara-cara represif, melalui tindak kekerasan, justru akan melanggar hak-hak asasi mansuia dan prinsip demokrasi itu sendiri. Sejauh ini banyak cara yang telah diusahakan bersama, namun terkadang tidak membuahkan hasil maksimal. Kita tidak boleh putus asa dalam melawan budaya 9 10 11 12 13
Robertus Robert, Manusia Politik, Jakarta: Marjin Kiri, 2010, hlm. 106. Slavoj Zizek and Glyn Daly, Conversation with Zizek, Cambridge: Polity Press, 2004, hlm. 121. Yasraf Amir Piliang, op. cit., hlm. 201. Slavoj Zizek and Glyn Daly, Ibid. Yasraf Amir Piliang, Hipermoralitas Mengadili Bayang-Bayang, Jogjakarta: Belukar, 2003, hlm. 118. 28
kekerasan. Jalan damai, nonkekerasan perlu kita kedepankan kembali, terutama dalam menyelesaikan konflik-konflik sosial yang ada. Adapun upaya jalan damai telah banyak ditawarkan dan dipraktikkan oleh tokohtokoh dunia seperti Mahatma Gandhi dan Dalai Lama. Cara-cara nonkekerasan perlu diperkenalkan kepada pemerintah dan masyarakat yang dicekam pelbagai konflik sosial, yang dirundung nafsu memenangi perang lewat kekerasan. Konkretnya, diperkenalkan terus pembiasaan yang merupakan salah satu trik marketing bahwa kekerasan bukan satu-satunya jalan keluar menyelesaikan masalah. Praktik kekerasan pada dasarnya merugikan manusia secara individual dan sosial. Nonkekerasan dibudayakan lewat perilaku di segala bidang dengan tetap perlunya teladan yang dimulai dari penegak hukum yang adil untuk semua warga tanpa pandang bulu. Suatu langkah awal yang sungguh konkret dalam meretas kekerasan. Dengan kata lain, cara preventif sebaliknya kita sarankan ditempuh bersama dengan upaya kuratif, yakni dengan membongkar akar masalah sekaligus memperbaikinya. Akar masalah itu tidak saja dipicu oleh habitat kehidupan yang beraroma perjuangan hidup-mati, tetapi juga kondisi keterpinggiran. Selain itu, diperlukan juga keberanian untuk membuang mentalitas dualisme “kita-mereka” (manicheanisme)14 demi meretas budaya kekerasan yang mudah terjadi. Mentalitas manicheanisme cenderung memecahbelahkan masyarakat menjadi musuh yang saling berhadapan, bahkan terhadap yang lain saling mengibliskan!15 Ujung-ujungnya, sikap ini akan melahirkan perilaku otoriter, represif, rasis, dan hanya akan memicu konflik dan perang. Meretas budaya kekerasan berarti pula berani berkeputusan untuk hidup berdamai dengan orang lain bahkan orang yang kita benci! Inilah yang patut kita serukan di tengah-tengah situasi bangsa kita yang mudah terbawa emosi yang berujung pada kekerasan ini. Kesimpulan Demokrasi selama ini dipercaya sebagai jalan pencerahan (Aufklarung) dan emansipasi sosial. Namun kini, demokrasi di Indonesia justru diwarnai dengan budaya kekerasan. Demokratisasi yang berlangsung dibangun dengan tindakan penggusuran, perusakan, peminggiran, dan penghancuran yang membawa korban jiwa. Bila situasi ini terus berlanjut, 14
15
Ajaran yang memuat suatu paduan dualisme Zarathustra Persia dengan unsurunsur gnostik dan unsur-unsur Kristiani. Dalam kerangka kekerasan yang terjadi dilihat dari oposisi kita-mereka. Bdk Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 562. Aloys Budi Purnomo, Loc.Cit. 29
dapatkah kita membangun kembali spirit demokrasi yang sebenarnya? Bila tidak, proses demokratisasi hanya akan menggiring pada budaya-budaya kekerasan. Kekerasan yang sering kali terjadi mengakibatkan kita kehilangan spontanitas dan rasa empati terhadap sesama. Ketika mengalami seperti ini kita tidak mampu lagi berpikir dan menilai secara kritis situasi. Kita hanya taat terhadap perintah, terhadap otoritas yang lebih tinggi dari diri kita. Pada akhirnya kita tidak berani bertatapan dengan kedirian kita sendiri. Sehingga kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jika sudah demikian kita akan menganggap bahwa kekerasan adalah tindakan yang wajar di negara demokrasi. Tetapi semoga saja bangsa Indonesia bisa belajar dari pengalaman, bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan persoalan, melainkan justru melahirkan dendam dan duka bagi masa depan demokratisasi bangsa kita . Daftar Pustaka Arendt, Hannah. On Violence. New York: A Harvest Book. 1970. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996. Butler, Rex. Slavoj Zizek Live Theory. New YorK. Continum. 2005. Latif, Yudi. Menyemai Karakter Bangsa. Jakarta: Kompas. 2009. Piliang, Yasraf Amir. Transpolitika. Bandung: Jalasutra. 2005. -------------------------. Hipermoralitas Mengadili Bayang-Bayang. Yogyakarta: Belukar. 2003. Purnomo, Aloys Budi. Meretas Budaya Kekerasan dalam Opini Kompas. Jakarta: Kompas edisi Jumat 16 April 2010. Rachman, M. Fadjroel. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat Tentang Kebebasan, Demokrasi dan Negara Kesejahteraan. Jakarta: Koekoesan. 2007. Robert, Robertus. Manusia Politik. Jakarta: Marjin Kiri. 2010. Zizek, Slavoj. The Ticklish Subject. London & New York. 2000. Zizek, Slavoj and Glyn Daly. Conversation with Zizek. Cambridge: Polity Press. 2004.
30