Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana dalam Buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta Arip Purwanto1, Widhyasmaramurti2 1,2
Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
Email:
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini membahas aspek-aspek keindahan geguritan karya Triman Laksana yang terdiri atas lima judul, yaitu Kaca Pengilon, Babahan Sanga, Laut, Kayon, dan Asbak , yang diambil dari antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Teori yang digunakan adalah kajian stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf. Stilistika merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji suatu karya sastra dengan cara menganalisis bahasa yang digunakan. Kajian Stilistika yang digunakan meliputi lima aspek, yaitu gaya bunyi, gaya kata, gaya kalimat, bahasa figuratif dan citraan.. Pada akhir penelitian, dapat diketahui bahwa keindahan kebahasaan geguritan karya Triman Laksana muncul melalui pemilihan kata-kata yang khas. Hal ini terlihat dari penggunaan judul yang bermakna denotatif, akan tetapi makna geguritan yang mendalam muncul setelah dikaitkan dengan isi geguritan yang menggunakan kata-kata konotatif.
The Language Aesthetics of Triman Laksana’s Poetries in Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Abstract The topic of this research discusses about the aesthetics aspects of Triman Laksana‟s poetries. Five poetries which were analyzed by stylistic theory in this research were taken from antology book with a title Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. The aanalysis is based on Ali Imron Al-Ma‟ruf stylistic theory which analyzes literature from five aspects: the style of sounds, words, sentences, figurative language used and imageries that occur in each of the poetry. The result of this research shows significant characteristics of the unique words that were chosen All of the words that were used dan written for the title are having denotative meaning while, the words that are used in the poetries‟ contents are mostly having connotative meaning. Keyword: The language aesthetics of poetry, Triman Laksana.
Pendahuluan Geguritan merupakan jenis puisi Jawa modern yang muncul pada “akhir dasawarsa duapuluhan abad ke-20” (Karsono, 2001: 42). Berbeda dengan puisi-puisi Jawa tradisional yang masih terikat kuat dengan aturan-aturan metrum, geguritan merupakan puisi Jawa yang lebih bebas dan sudah tidak terikat oleh aturan-aturan metrum seperti pada puisi-puisi Jawa tradisional
sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari aspek keindahan yang ingin dimunculkan oleh pengarang geguritan. Penjelasan di atas senada dengan pernyataan bahwa sebagai bentuk karya sastra, dalam hal ini puisi Jawa, geguritan tentu mempunyai keindahan yang muncul, misalnya melalui pemilihan kata yang digunakan. Geguritan banyak dimuat di dalam majalah-majalah berbahasa Jawa, seperti Kejawen,
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Djoko Lodhang, Jaya Baya, Pagagan, dan Panjebar Semangat. Majalah-majalah tersebut menyediakan ruang khusus bagi penulis-penulis puisi, khususnya geguritan, untuk dapat menulis dan menyebarkan karya-karyanya yang pada akhirnya karya-karya yang dihasilkan dapat dikenal dan dinikmati oleh masyarakat luas. Seiring dengan perkembangan puisi, khususnya geguritan, banyak buku yang menjadi ruang ekspresi bagi penulis geguritan yang telah diterbitkan, sebagai contoh, buku antologi1 puisi yang berjudul Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak disusun oleh Danu Priyo Prabowo dan diterbitkan pada tahun 1997 oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Dalam Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak terdapat sepuluh penulis geguritan dan sepuluh pengarang cerkak2 dengan gaya penulisan yang berbeda-beda, tetapi hanya memuat dua jenis karya sastra, yaitu geguritan dan cerkak. Selain itu, penulis juga menemukan buku antologi lain yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Buku ini berjudul Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta disusun oleh Linus Suryadi AG serta Danu Priyo Prabowo, dan diterbitkan pada tahun 1995 atau dua tahun sebelum buku antologi Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak diterbitkan. Penelitian ini menggunakan buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai sumber geguritan yang akan diteliti. Ada dua pertimbangan mengapa antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai acuan data utama. Pertama, antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan antologi yang cukup lengkap, dengan berisi setidaknya empat genre karya sastra, yaitu geguritan, cerita cekak, macapat dan siteran. Kedua, pengarang geguritan dalam buku ini lebih banyak dari buku Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak. Dibandingkan buku Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak yang hanya memuat sepuluh pengarang geguritan, dalam buku antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta, tercatat ada sebelas pengarang geguritan, sepuluh penulis cerita cekak, sepuluh penulis macapat dan lima grup penulis siteran. Jumlah pengarang geguritan yang lebih banyak dalam buku antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi pertimbangan penulis untuk memilih antologi ini 1
Antologi adalah kumpulan karya sastra pilihan (baik puisi maupun prosa) dari seorang atau beberapa pengarang (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 43). 2 Cerkak merupakan singkatan dari cerita cekak. Cerkak adalah cerita pendek (cerpen) yang mengisahkan sebuah cerita atau suatu peristiwa tertentu.
karena lebih leluasa untuk menentukan salah satu penyair yang akan digunakan sebagai sumber data. Dari sekian banyak penyair dan pengarang yang ada di dalam buku antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta, penulis akan mengambil karya dari salah satu penyairnya, yaitu Triman Laksana. Triman Laksana merupakan seorang penyair dengan latar belakang budaya Jawa dan merupakan lulusan SMA. Triman Laksana secara aktif menulis dan menghasilkan karya sastra berupa geguritan dan banyak menghasilkan puisi berbahasa Indonesia. Banyak karya Triman Laksana yang berbahasa Jawa dan Indonesia dimuat dalam antologi Momentum (kumpulan puisi 30 penyair Yogyakarta), Langit Biru Langit Merah, Satu, Alif Lam Mim, Rembulan Padhang ing Ngayogyakarta (FKY IV, 1992), Pangilon (FKY VI, 1994). Dari berbagai antologi yang disebutkan, dapat dikatakan bahwa Triman Laksana merupakan penyair yang secara produktif menghasilkan karya sastra, baik berbentuk puisi berbahasa Indonesia maupun geguritan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan penulis untuk meneliti dan menganalisis karya-karya yang dihasilkan oleh Triman Laksana. Akan tetapi, dalam menganalisis karya sastra --seperti menganalisis geguritan Triman Laksana-- hal utama yang perlu diperhatikan adalah unsur-unsur pembangun sastra. Kata, kalimat, bait, dan sebagainya merupakan struktur yang membangun sastra. Untuk dapat menemukan struktur-struktur yang membangun sastra, perlu digunakan kajian yang tepat sebagai acuan untuk analisis. Kajian stilistika merupakan acuan yang dipilih untuk menganalisis geguritan-geguritan karya Triman Laksana karena stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa (Sudjiman, 1993: 3). Dapat ditarik kesimpulan bahwa stilistika merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji suatu karya sastra dengan cara menganalisis bahasa yang digunakan, mengingat bahasa merupakan medium utama dalam karya sastra. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Al-Ma‟ruf (2009: 12), bahwa stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi dan keunikan bahasa. Pendapat Al-Ma‟ruf inilah yang akan digunakan penulis sebagai acuan teori dalam menganalisis geguritan karya Triman Laksana. Hal ini karena Triman Laksana memiliki kekhasan dalam keindahan kebahasaan yang muncul dalam geguritan-geguritannya. Oleh sebab itu, penelitian
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
ini mengkaji keindahan kebahasaan pada geguritangeguritan karya Triman Laksana. Permasalahan Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana keindahan kebahasaan membangun geguritan Triman Laksana dalam buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta? Tujuan Penelitian Sebagaimana yang tercermin dalam permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk menemukan keindahan kebahasaan yang membangun geguritan Triman Laksana dalam buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui keindahan kebahasaan diharapkan dapat dilihat ciri khas dari geguritangeguritan karya Triman Laksana. Sumber Data Penulis menggunakan geguritan karya Triman Laksana yang berasal dari buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta disunting oleh Linus Suryadi AG dan Danu Priyo Prabowo, kemudian diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 1995. Buku antologi ini berisi beberapa bentuk karya sastra beserta beberapa penyair dan pengarang. Penulis memilih geguritan sebagai bahan penelitiannya, khususnya geguritan karya Triman Laksana. Geguritan karya Triman Laksana dalam buku antologi tersebut terdapat sepuluh judul yaitu: (1) kaca pengilon; (2) mutiara putih; (3) babahan sanga; (4) laut; (5) kayon; (6) kamar isolasi; (7) kidunge Arjuna ing Bharatayuda kanggo Adipati Karna; (8) merapi November 22; (9) ana ngisor gendera; dan (10) asbak. Akan tetapi, penulis akan mempersempit penelitian menjadi lima judul saja yang akan dijadikan sebagai objek penelitian, yaitu (1) kaca pengilon; (2) babahan sanga; (3) laut; (4) kayon; dan (5) asbak. Pemilihan lima judul tersebut didasarkan atas asumsi penulis bahwa kelima judul geguritan karya Triman Laksana yang dipilih, menggunakan ragam kata denotatif dan konotatif yang kental antara judul dengan isi geguritan, sehingga menimbulkan multiinterpretasi mengenai makna geguritan. Kemudian, untuk lima judul lain yang tidak diteliti atau tidak digunakan sebagai objek penelitian, karena kata-kata yang dimunculkan lebih dominan menggunakan katakata yang secara leksikal sudah diketahui maknanya, sehingga makna puisi secara keseluruhan dapat diketahui dengan jelas.
Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitik, yaitu menganalisis data melalui teori yang digunakan dalam penelitian ini. Langkah kerja yang dilakukan diawali dengan pengumpulan data yaitu penentuan geguritan yang akan diteliti yang berasal dari buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Langkah kedua yaitu melakukan pengklasifikasian data, dan langkah ketiga melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan menggunakan teori yang telah ditentukan, yaitu teori stilistika. Langkah kerja yang terakhir adalah kesimpulan yang menjawab pertanyaan yang telah diajukan pada permasalahan yaitu untuk menemukan aspek keindahan bahasa pada geguritan Triman Laksana. Kerangka Teoritis Aspek keindahan karya sastra dapat ditinjau melalui dua segi, yaitu segi bahasa dan segi keindahan itu sendiri (Ratna, 2007: 112). Pada karya sastra, khususnya puisi atau geguritan, segi bahasa menjadi perhatian khusus yang dibahas. Melalui analisis terhadap kebahasan inilah akan tampak aspek keindahan pada puisi atau geguritan yang difokuskan sebagai objek kajian dalam skripsi ini. Bahasa merupakan medium utama karya sastra yang bersifat diskursif, artinya tidak bersambungan (Ratna, 2007: 144). Dengan kata lain, bahasa harus dibaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, demikian seterusnya, sehingga akan ditemukan makna secara keseluruhan. Pada sisi lain, pada huruf, kata, dan kalimat sudah terkandung aspek keindahan, akan tetapi keindahan tersebut tentu belum mewakili makna keseluruhan yang dimaksudkan. Oleh karena itu, makna secara keseluruhan dari sebuah puisi atau geguritan dapat diketahui setelah dilakukan analisis yang tepat dan jelas pula. Penelitian ini membahas analisis keindahan kebahasaan yang dilakukan terhadap geguritan karya Triman Laksana dalam buku antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk menemukan aspek keindahan kebahasaan dan makna secara keseluruhan dari geguritan karya Triman Laksana tersebut, maka akan dilakukan analisis dengan menggunakan teori stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf yang meliputi lima aspek yaitu (1) Gaya Bunyi (Fonem); (2) Gaya Kata (Diksi); (3) Gaya Kalimat (Sintaksis); (4) Bahasa Figuratif (Figurative Language); dan (5) Citraan. Gaya Bunyi dapat berkait erat dengan rima atau guru lagu yang muncul dalam puisi. Peran bunyi dalam suatu puisi sangat penting karena menimbulkan efek dan kesan tertentu. Gaya Kata
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
dalam suatu puisi dapat dilihat dari penggunaan kata-kata dalam puisi. Penggunaan kata-kata konotatif dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda dari makna yang seharusnya dari penggunaan kata konotatif tersebut, sehingga dapat ditemukan aspek keindahan yang muncul. Gaya Kalimat berkaitan dengan penggunaan kalimat dalam puisi. Kalimatkalimat dalam baris puisi umumnya menggunakan kalimat yang singkat dan padat, tetapi masih dapat menggambarkan apa yang dimaksudkan oleh penyair. Bahasa Figuratif (Figurative Language) berkaitan dengan bahasa kias yang dimunculkan dalam puisi. Bahasa figuratif digunakan oleh penyair untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung atau melalui kata-kata yang sebenarnya berbeda makna secara leksikalnya. Dengan kata lain, dengan pemunculan bahasa kias pembaca diajak menginterpretasikan puisi secara lebih mendalam, tidak terbatas pada makna leksikal dari kata-kata yang dimunculkan. Citraan atau imaji dalam karya sastra khususnya puisi berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif. Citraan merupakan penggambaran yang dilakukan oleh penyair untuk mempengaruhi pembaca agar terbawa dan ikut merasakan serta menghayati maksud dari apa yang ingin disampaikan penyair melalui puisi yang diciptakannya. Oleh sebab itu, fungsi citraan dalam puisi lebih untuk menghidupkan imaji-imaji yang ada dalam pikiran pembaca. Kelima aspek inilah yang juga merupakan unsur pembangun keindahan kebahasaan pada geguritan karya Triman Laksana seperti yang dapat dilihat pada bagian analisis penelitian. Analisis Penelitian 1. Judul geguritan: Kaca Pengilon Pada geguritan ini, gaya bunyi tampak pada penggunaan guru lagu yang dominan, misalnya penggunaan akhiran bunyi /u/ dan /a/. Akan tetapi, keindahan kebahasaan pada geguritan Kaca Pengilon yang tampak signifikan, muncul melalui gaya kata yang dimunculkan. Pada gaya kata, terlihat bahwa judul Kaca Pengilon yang memiliki makna leksikal „cermin‟ merupakan kata dengan makna denotatif yang mengacu kepada benda berupa kaca satu arah yang umumnya dipergunakan untuk melihat diri sendiri. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan isi geguritan, judul tersebut bermakna konotatif karena penggunaan kosakata tokoh-tokoh pewayangan yang sebenarnya bukan mengacu pada nama tokoh pewayangan, melainkan sifat tokoh-tokoh pewayangan yang dimunculkan. Hal inilah yang dapat dilihat bahwa aspek keindahan muncul melalui penggunaan gaya kata. Kemudian, melalui gaya kalimatnya, geguritan Kaca Pengilon menggunakan kalimat
singkat dan pendek, tetapi dapat menyampaikan pesan yang diinginkan oleh penyair. Walaupun gaya kalimat geguritan ini sama seperti gaya kalimat puisi pada umumnya, tetapi unsur keindahan bahasa juga muncul melalui bahasa figuratif yang dominan dalam bentuk pemunculan majas metonimia. Majas metonimia, majas yang menggunakan sebuah objek yang berdekatan dengan objek yang dimaksudkan. Majas ini digunakan oleh Triman Laksana, melalui penggunaan kosakata tokoh pewayangan yaitu tokoh Bethara Kala, Dasamuka, Dursasana, dan Bisma. Kosakata Bethara Kala, Dasamuka dan Dursasana dalam geguritan ini memiliki makna konotatif karena mengacu kepada sifat dari tokoh pewayangan tersebut yang menggambarkan sifat buruk manusia, sedangkan kosakata Bisma digunakan untuk menggambarkan sifat yang baik. Maka dapat dilihat bahwa latar belakang penyair dengan pengetahuan budaya Jawanya tidak bisa lepas dari dimunculkan melalui penggunaan majas metonimia, aspek keindahan muncul secara asosiatif yang karena tidak secara langsung disampaikan, melainkan melalui gambaran karakter tokoh pewayangan Jawa. Pada bagian citraan, Dalam geguritan Kaca Pengilon ini, muncul pada penggunaan majas-majas metonimia. Penyair memanfaatkan citraan visual pada pada pertama hingga keempat melalui penggunaan majas metonimia. Penggambaran diri penyair dilukiskan dengan menghidupkan imaji visual dalam diri pembaca melalui pemilihan kata-kata maupun kalimat yang dimunculkan dalam geguritan, misalnya pemunculan kata kaca pengilon, penggambaran melalui sosok Bethara Kala, Dursasana, Dasamuka, dan Bisma yang semuanya mengacu pada makna konotatif, tidak hanya terbatas pada makna leksikal semata. 2.
Judul geguritan: Babahan Sanga
Geguritan ini tidak memiliki unsur pembangun yang dominan dari segi gaya bunyi, dan gaya kalimat. Hal ini karena gaya bunyi hanya menampilkan purwakanthi seperti pada marang tlatah kasoran jangkah (gatra 4 pada 3), sedangkan untuk gaya kalimat, kekhasan hanya dimunculkan melalui penggunaan tanda baca titik (.) sebagai pemotong kalimat. Keindahan kebahasaan geguritan Babahan Sanga muncul melalui gaya kata, bahasa figuratif dan citraan. Pada gaya kata, keindahan kembali muncul melalui hubungan antara judul Babahan Sanga yang bermakna denotatif, dan hubungannya dengan pilihan kata-kata bermakna konotatif yang memiliki makna tambahan yang muncul secara tersirat sebagai „sembilan lubang‟ yang merepresentasikan sembilan nafsu dalam hidup manusia. Keindahan pilihan kata yang muncul dalam isi geguritan dapat lebih dipahami melalui unsur bahasa figuratif, di mana aspek keindahan tampak melalui penggunaan
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
majas majas metonimia seperti pada contoh (a) berikut. (a) kumandhang swara-swara angin (gatra 1 pada 1) tansah milut kabeh ukara (gatra 2 pada 1) kanggo ganda-ganda bacin (gatra 3 pada 1) marani endi titisane kebak lelimengan (gatra 5 pada 1) reresik sakabehing rereged (gatra 3 pada 4) Lima gatra geguritan di atas merupakan majas metonimia karena sebenarnya yang ingin digambarkan melalui kalimat tersebut adalah indera yang ada pada manusia. Kata yang dicetak tebal menjadi tanda yang dapat digunakan sebagai kata kunci bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan majas metonimia. Kata kumandhang swara-swara „gaung suara-suara‟ berkaitan dengan indera telinga, kata milut kabeh ukara „merangkai semua kata‟ berkaitan dengan indera mulut, ganda-ganda bacin „bau-bau yang tidak sedap‟ berkaitan dengan indera penciuman atau hidung, lelimengan „sangat gelap‟ berhubungan dengan indera penglihatan atau mata, dan rereged „kotoran‟ berkaitan dengan lubang pembuangan atau dubur. Hal tersebut menunjukkan karakter Triman Laksana sebagai tipe seorang penyair yang ingin menyampaikan pesan melalui sesuatu perumpamaan. Melalui geguritan ini, Triman Laksana berusaha bermain kata-kata untuk menarik perhatian dan kekritisan pembaca dalam memahami karyanya. Kemudian untuk citraan, sesuai dengan arti Babahan Sanga, yaitu „sembilan lubang‟, Triman Laksana berusaha untuk menggambarkan sembilan lubang nafsu dalam diri manusia yang harus dijaga dan dimanfaatkan sesuai dengan yang seharusnya. Kesembilan lubang tersebut adalah mata (2 buah), telinga (2 buah), lubang hidung (2 buah), mulut, kemaluan, dan dubur atau anus. Geguritan Babahan Sanga juga merupakan bentuk realisasi Triman Laksana untuk menyampaikan konsep budaya Jawa yang dia mengerti dan pahami dalam bentuk puisi modern. Konsep budaya Jawa tersebut mengacu pada pesan bahwa masyarakat Jawa mempercayai bahwa dalam tubuh manusia terdapat sembilan lubang. Sembilan lubang tersebut mempunyai peranan masing-masing bagi manusia sehingga manusia tidak boleh menyalahgunakan peranan sembilan lubang tersebut bagi kehidupannya, agar manusia terhindar dari segala macam musibah. Sembilan lubang pada tubuh manusia tersebut oleh masyarakat Jawa kemudian dikenal dengan istilah Babahan Sanga yang dapat diartikan sembilan jalan atau sembilan lubang.
3.
Judul Geguritan: Laut
Pada geguritan Laut, keindahan kebahasaan yang membangun geguritan secara umum sama dengan 2 geguritan sebelumnya. Dalam hal ini, gaya bunyi, dan gaya kalimat bukanlah unsur yang dominan karena dalam gaya bunyi tidak tampak adanya pemanfaatan guru lagu dan purwakanthi yang dominan, sedangkan pada gaya kalimat terlihat bahwa kalimat dalam geguritan Laut hanya menampilkan bentuk satu kalimat dalam beberapa baris. Akan tetapi gaya kata, bahasa figuratif dan citraan merupakan unsur pembangun yang dominan menunjukkan keindahan kebahasaan. Pada gaya kata, geguritan Laut menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan keadaan di laut, namun makna geguritan secara keseluruhan tidak sekedar menceritakan kehidupan laut, melainkan menggambarkan mengenai kehidupan manusia di dari hidup hingga wafatnya, yaitu kehidupan manusia selama hidup di dunia maupun nanti setelah manusia tersebut meninggal dunia. Pada dasarnya pemilihan kata yang dilakukan oleh Triman Laksana berhubungan dengan laut, sesuai dengan judulnya. Akan tetapi makna secara keseluruhan dari geguritan tersebut tentu berbeda dengan yang sekedar diketahui dari makna kata satu persatu. Hal ini menunjukkan bahwa kata-kata yang digunakan dalam geguritan Laut bersifat konotatif secara makna, yang tentu saja kembali menunjukkan aspek keindahan geguritan melalui kekuatan permainan kata-kata konotatif yang membuat pembaca harus memiliki kekritisan dan pemahaman yang dalam agar dapat memahami geguritan ini. Selanjutnya, pada bagian bahasa figuratif, Triman Laksana kembali memunculkan majas untuk membangun geguritannya. Majas yang dimunculkan adalah majas personifikasi, yaitu majas yang menyamakan benda mati seolah-olah dapat hidup layaknya manusia. Penulis menggunakan majas personifikasi untuk menghubungkan antara konsep budaya Jawa dengan pemahaman religi. Terlebih karena geguritan ini memiliki pengaruh religi yang kuat yang tergambar dalam bagian citraan. Pada citraan, Triman Laksana menggunakan tema religi sangat kuat di mana Triman Laksana mempercayai bahwa kehidupan setelah di dunia pasti ada, yaitu kehidupan akhirat dan Triman juga mempercayai bahwa segala hal yang dilakukan manusia di dalam dunia baik maupun buruk pasti akan dipertanggungjawabkan oleh manusia tersebut dan akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang telah diperbuat. Akan tetapi, kesempatan untuk memperbaiki kesalahan pasti masih tetap ada bagi yang ingin mengubah kehidupan yang lebih baik lagi. Makna yang muncul pada citraan menunjukkan bahwa geguritan Laut membutuhkan pemahaman dari para pembaca sehingga mereka
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
dapat memahami makna dari kata-kata konotatif maupun majas yang dimunculkan pada setiap padapada geguritan ini.
4.
Judul Geguritan: Kayon
Pada geguritan Kayon, gaya bunyi, dikatakan tidak mendominasi keindahan kebahasaan karena tidak tampak pemanfaatan guru lagu yang dominan. Keindahan kebahasaan geguritan Kayon muncul melalui gaya kata, gaya kalimat, bahasa figuratif dan citraan. Pada gaya kata, keindahan kebahasaan dimunculkan melalui hubungan antara judul, Kayon yang bermakna denotatif dengan arti leksikal „pepohonan‟; dengan kata-kata pada bagian isi yang memiliki makna yang lebih luas. Geguritan ini menunjukkan bahwa kata-kata yang digunakan bukan mengacu kepada pepohonan, melainkan memiliki makna yang lebih luas sebagai ajaran/noma yan patut dilaksanakan di tengah kehidupan manusia. Oleh sebab itu, geguritan ini kental dengan kata-kata bemakna konotatif. Pada gaya kalimat, geguritan Kayon menggunakan tanda baca untuk memenggal sebuah kalimat, baik berupa titik (.), maupun koma (,), seperti pada contoh (b). (b) dadi winih suci. nyuburake tetanduran yekti (gatra 4 pada 1) budi kang nggantung ana angkasa. dudu ngayawara (gatra 5 pada 1) ilang tanpa enggok. diedohake laku tama (gatra 6 pada 2) kandheg patrem, ing telenging bumi (gatra 1 pada 2) wektu terus lumaku, ngebaki lemah-lemah (gatra 2 pada 1) ringkih, ana tetese waspa tanpa krana (gatra 4 pada 2) Melalui penggunaan kalimat manasuka yang memanfaatkan tanda baca titik dan koma sebagai pemenggal kalimat. Dapat dikatakan bahwa keindahan kebahasaan muncul karena kalimat yang digunakan bersifat manasuka, yaitu tanda baca titik (.) yang biasanya diletakkan pada akhir kalimat, tetapi pada geguritan Kayon, penggunaan tanda baca titik atau koma (,) diletakkan sebagai pemenggal kalimat. Selain aspek gaya kalimat, keindahan dalam geguritan Kayon juga tampak pada aspek bahasa figuratif. Seperti halnya pada 3 geguritan sebelumnya Triman Laksana menggunakan penggunaan majas, kali ini Triman Laksana juga menggunakan majas metafora, yaitu majas yang menyatakan suatu hal dengan menggunakan suatu perumpamaan tertentu (Becker dalam Pradopo, 2009: 61). Majas metafora tampak pada kalimat wong wadon gampang udhar tapihe,
yang menggambarkan bahwa perempuan zaman sekarang sangat susah atau tidak mau untuk menjaga kehormatannya sendiri. Terakhir, unsur pembangun geguritan Kayon yang menunjukkan keindahan kebahasaan muncul melalui citraan. Pada geguritan Kayon, citraan digunakan oleh Triman Laksana untuk memperkenalkan dan menanamkan konsep berpikir orang Jawa mengenai ajaran tingkah laku. Manusia pada dasarnya telah ditanamkan norma-norma kepatutan, kesopanan dan tingkah laku yang baik melalui pengajaran-pengajaran orang tua maupun pengalaman pribadi. Akan tetapi, norma-norma yang baik tersebut akan berkurang atau hilang jika manusia tidak dapat menjaga dengan baik. Meskipun pengaruh-pengaruh zaman sangat besar, manusia perlu menjaga norma-norma yang ada di dalam hatinya dengan baik agar tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Katakata konotatif yang muncul dalam geguritan Kayon menimbulkan pembayangan imajinatif (citraan) terhadap makna geguritan. Kayon, jika dikaitkan dengan budaya Jawa, merupakan gunungan yang digunakan pada pementasan wayang. Pada akhir pementasan wayang selalu ditandai dengan istilah tancep kayon „menancapkan gunungan‟, yang mempunyai arti bahwa pertunjukan telah selesai. Hal ini juga berhubungan dengan kehidupan manusia bahwa pada akhirnya kehidupan manusia di dunia akan ada batas akhirnya, yaitu manusia pasti akan meninggal. Keadaan seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Triman Laksana dalam geguritan Kayon ini. Seperti halnya geguritan-geguritan yang lain, geguritan Kayon juga memiliki kedalaman makna yang membutuhkan kekritisan dan pemahaman dari pembaca. Melalui geguritan ini, Triman Laksana ingin menyampaikan bahwa zaman sangat berpengaruh terhadap perubahan budi pekerti manusia. Akan tetapi, manusia sudah selayaknya untuk menjaga budi pekerti dengan baik. 5.
Judul Geguritan: Asbak
Keindahan kebahasaan geguritan Asbak tampak pada hampir semua aspek kajian stilistika yang digunakan sebagai acuan analisis, khususnya pada aspek gaya kata, gaya kalimat, bahasa figuratif, dan citraan, kecuali gaya bunyi yang hanya memanfaatkan beberapa purwakanthi dan guru lagu yang beragam. Pada gaya kata, terlihat bahwa judul merupakan kata yang bermakna denotatif atau sebenarnya yaitu berkaitan dengan asbak atau tempat pembuangan abu dan puntung rokok. Akan tetapi, setelah dikaitkan dengan isi geguritan, maka judul kemudian beralih makna menjadi konotatif karena kosakata asbak digunakan
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Triman Laksana untuk menggambarkan kehidupan manusia di dunia yang hanya sementara, akan ada akhirnya dan akan kembali kepada Sang Pencipta, seperti keadaan rokok yang pada akhirnya akan habis dan menjadi abu. Penggunaan kata yang erat antara makna denotatif dan konotatif ini merupakan unsur pembangun geguritan yang khas yang menunjukkan keindahan geguritan karya Triman Laksana. Pada bagian gaya kalimat, aspek keindahan muncul melalui penggunaan struktur kalimat yang tidak wajar, yaitu lebih bersifat manasuka karena menggunakan tanda baca koma sebagai pemotong kalimat, yang tampak pada contoh (c) di bawah ini. (c) tetep madhep mantep, tanpa swala mbuktekake sasawangan kang nuspra, anak pandelengan (gatra 3 dan 7 pada 1) ngebaki bunderane Gusti, meneri badan sapata kepara isih tekan jumedhule, kebak sanepa. (gatra 2 dan 6 pada 2) Hal ini menunjukkan bahwa Triman Laksana sebagai seorang penyair memanfaatkan licentia peotica3 dalam menciptakan karya geguritan. Aspek keindahan berikutnya muncul melalui bahasa figuratif. Keindahan muncul melalui penggunaan kata majemuk yang dominan, yaitu terdapat tiga kata majemuk: madhep mantep (gatra 3 pada 1) Kata madhep mantep berasal dari kata madhep yang berarti menghadap dan mantep yang berarti serius. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa diartikan satu persatu karena merupakan satu kesatuan makna yang berarti tegar. badan sapata (gatra 2 pada 2)
jantra baya (gatra 4 pada 2) kata jantra baya berasal dari kata jantra yang berarti roda dan kata baya yang berarti bahaya. Seperti dua kata sebelumnya, kata jantra baya juga tidak dapat diartikan satu persatu melainkan merupakan satu kesatuan arti yaitu cobaan atau halangan. Kesimpulan dari pembahasan bahasa figuratif di atas adalah bahwa beberapa kata majemuk yang muncul pada geguritan Asbak selain digunakan sebagai pilihan kata konotatif juga digunakan untuk menambah efek estetis geguritan karena kata-kata madhep mantep, badan sapata, dan jantra baya tidak harus diartikan satu persatu makna kata leksikalnya. Aspek keindahan yang terakhir muncul melalui citraan. Pada bagian citraan, geguritan Asbak menggambarkan tentang manusia yang pada nantinya akan berakhir dan akan ada kehidupan akhirat. Pada kehidupan akhirat inilah nantinya manusia akan menanggung segala perbuatan yang baik dan buruk yang telah dilakukan di dalam kehidupan sebelumnya, yaitu kehidupan dunia. Pada dasarnya kehidupan di dalam dunia penuh dengan rahasia dan manusia harus mencari jawaban atas rahasia-rahasia tersebut. Hal itu dilakukan agar manusia tidak tersesat ke dalam keburukan. Selain itu, dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan di dunia nanti di dalam kehidupan akhirat. Geguritan Asbak karya Triman Laksana ini mempunyai tema religi tentang kehidupan manusia di dunia dan akhirat, serta hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pembayangan imajinatif tersebut muncul setelah pembaca dapat menganalisis dan memahami pemilihan kata maupun makna konotatif kata yang ada secara keseluruhan di dalam geguritan. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dilihat bahwa Triman Laksana memiliki keindahan kebahasaan yang khas, yang dominan pada unsur gaya kata, bahasa figuratif, dan citraan. Untuk gaya kalimat, tidak terlalu dominan, dan pada unsur gaya bunyi, sangat tidak dominan. Secara ringkas, hasil analisis ini akan ditampilkan dalam Tabel 1 berikut ini.
kata badan sapata tersebut berasal dari kata badan yang berarti tubuh dan kata sapata yang berarti sumpah. Kata badan sapata juga merupakan satu kesatuan makna yang berarti garis hidup manusia. 3
Licentia poetica merupakan kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari bentuk atau aturan konvensional, tidak mengikuti aturan ketatabahasaan baku, untuk mencapai efek yang dikehendaki oleh sastrawan (Sudjiman, 1993: 18).
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Tabel 1. Analisis Lima Geguritan karya Triman Laksana. Kaca Pengilon Gaya Bunyi Gaya Kata
Babahan Sanga
Laut
Kayon
Asbak
Pemanfaatan Pemanfaatan guru lagu purwakanthi Menggunakan Menggunakan kosakata kosakata tokoh wayang bermakna denotatif dan konotatif yang Muncul kuat reduplikasi yang Muncul merupakan reduplikasi bentuk jamak yang merupakan bentuk jamak Satu kalimat Satu kalimat terdiri atas lebih terdiri atas dari satu baris lebih dari satu baris. Menggunakan tanda baca titik (.) sebagai pemotong kalimat
Pemanfaatan Pemanfaatan purwakanthi purwakanthi Menggunakan Menggunakan kosakata kosakata bermakna bermakna denotatif dan denotatif dan konotatif yang konotatif yang kuat kuat Muncul Muncul reduplikasi reduplikasi yang yang merupakan merupakan bentuk jamak bentuk jamak Satu kalimat Satu kalimat terdiri atas lebih terdiri atas lebih dari satu baris dari satu baris.Mengguna kan tanda baca titik (.) dan koma (,) sebagai pemotong kalimat
Bahasa Figuratif
Muncul majas metonimia
Muncul majas metonimia
Muncul majas personifikasi
Muncul metafora
Citraan
Pengaruh budaya Jawa melalui pemunculan kosakata tokohtokoh wayang
Pengaruh budaya Jawa melalui penggambaran konsep sembilan lubang pada tubuh manusia
Pengaruh religi dalam hubungannya dengan kehidupan manusia dari hidup hingga meninggal
Pengaruh ajaran budaya Jawa dalam hubungannya dengan normanorma kehidupan (kesopanan dan kepatutan) yang harus dijaga
Gaya Kalimat
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa geguritan karya Triman Laksana: 1.
2.
Dalam gaya bunyi, tidak dominan karena gaya bunyi hanya muncul melalui penggunaan purwakanthi-purwakanthi. Hal ini disebabkan Triman Laksana tidak menyukai penggunaan permainan bunyi dalam rangka menciptakan keindahan geguritan. Dalam gaya kata (diksi), walaupun tidak disebutkan dalam analisis, namun tampak dalam geguritan bahwa Triman Laksana kerap menggunakan gaya kata yang bersifat reduplikasi, dengan memunculkan
3.
majas
Pemanfaatan purwakanthi Menggunakan kosakata bermakna denotatif dan konotatif yang kuat Muncul reduplikasi yang merupakan bentuk jamak Satu kalimat terdiri atas lebih dari satu baris. Menggunaka n tanda baca koma (,) sebagai pemotong kalimat Muncul penggunaan kata majemuk Pengaruh religi dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan
beberapa kata yang mengalami pengulangan dalam bentuk jamak. Hal tersebut disebabkan Triman Laksana ingin menampilkan efek estetis melalui penekanan kata-kata tersebut. Selain itu, geguritan karya Triman Laksana dominan menggunakan kata denotatif untuk judul geguritan, tetapi akan memunculkan katakata konotatif yang kental bila dikaitkan dengan isi geguritan. Dalam gaya kalimat, geguritan Triman Laksana cenderung memiliki gaya kalimat seperti geguritan pada umumnya, yaitu satu kalimat terdiri atas beberapa baris atau gatra. Penggunaan gaya kalimat yang
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
4.
5.
lain adalah dengan memanfaatkan tanda baca titik (.) dan koma (,) sebagai pemotong kalimat. Hal ini tentu mempunyai tujuan untuk menampilkan kesan keindahan pada geguritan tersebut. Dalam bahasa figuratif, geguritan Triman Laksana dominan menggunakan majasmajas yang dapat menunjukkan pemakaian bahasa kias dalam geguritan. Majas-majas tersebut digunakan Triman Laksana untuk menambah efek keindahan dalam geguritan, karena melalui penggunaan majas, Triman Laksana bebas mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan. Dalam citraan, geguritan Triman Laksana banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa. Selain itu, religi dan hubungan manusia dengan Tuhan juga sangat kental dalam geguritan-geguritan karya Triman Laksana. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Triman Laksana untuk menampilkan aspek keindahan melalui pesan makna yang mendalam dari setiap geguritan karya Triman Laksana.
Kesimpulan Keindahan kebahasaan yang membangun geguritan karya Triman Laksana dapat ditemukan melalui analisis stilistika yang telah dilakukan. Keindahan kebahasaan dapat diketahui melalui analisis terhadap 5 aspek yaitu (1) bunyi yang dimunculkan, (2) pemilihan kata-kata yang digunakan, (3) kalimat yang muncul, (4) bahasa figuratif/kias yang muncul, serta (5) citraan; di mana kelima aspek tersebut merupakan unsur-unsur stilistika yang dianalisis dalam penelitian skripsi ini. Pada lima geguritan karya Triman Laksana yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa keindahan kebahasaan yang membangun geguritangeguritan tersebut sangat kuat pada penggunaan kata-kata yang khas dan berkarakter, bahasa figuratif dan citraan yang memancing kekritisan dan pemahaman pembaca. Penggunaan kata-kata yang khas dan berkarakter, misalnya pada geguritan karya Triman Laksana terlihat bahwa secara umum judul geguritan merupakan kata yang bersifat leksikal dan mempunyai makna denotatif, akan tetapi setelah dikaitkan dengan isi dari geguritan, maka akan muncul kata-kata bermakna konotatif. Kemudian, pada bagian bahasa figuratif, Triman Laksana merupakan penyair yang menyukai penggunaan majas-majas karena Triman Laksana merupakan tipe penyair yang senang bermain katakata, sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan apa yang ingin disampaikan. Selain itu, pada citraan, keindahan geguritan muncul karena menggunakan kata-kata bermakna konotatif yang
tidak dapat secara langsung ditemukan maknanya oleh pembaca, sehingga menuntut imajinatif pembaca geguritan tersebut. Aspek keindahan pada geguritan Triman Laksana juga dipengaruhi budaya Jawa yang kuat karena Triman Laksana sebagai penyair ternyata menggunakan pengaruh konsep-konsep berpikir orang Jawa dalam menciptakan geguritannya. Selain pengaruh budaya Jawa tersebut beberapa geguritan juga menggunakan tema religi sebagai pendukung atas pengaruh konsep budaya Jawa tersebut. Dengan mengetahui keindahan kebahasaan geguritan yang telah disebutkan, diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai geguritan, khususnya geguritan karya Triman Laksana. Daftar Referensi Al-Ma‟ruf, Ali Imron. (2009). Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Solo: Cakra Books Solo. Aminuddin.
(1995). Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Darnawi, Soesatyo. (1964). Pengantar Puisi Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Keraf, Gorys. (1985). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia. Kushartanti, dkk. (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Luxemburg, Jan Van, dkk. (1989). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Pradopo, Rachmat Djoko. (2009). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Prabowo, Danu Priyo. (1995). Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Saputra, Karsono H. (2001). Puisi Jawa: Struktur dan Estetika. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sudaryanto. (1992). Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Sudjiman, Panuti. (1993). Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Teeuw, A. (1991). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tim Senawangi. (1999). Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta: Senawangi.
Kamus Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters‟ Uitgevers-Maatschappij N.V. Prawiroatmodjo, S. (1994). Bausastra Indonesia. Jakarta: CV. Masagung.
Jawa
Lampiran 1.
Geguritan Kaca Pengilon
KACA PENGILON
CERMIN
Kuwi dudu ragaku
Itu bukan ragaku
nanging iku, ragane bethara kala
tapi itu, raga Bethara kala
kuwi dudu raiku
itu bukan wajahku
nanging iku, raine dasamuka
tapi itu, wajah Dasamuka
kuwi dudu jiwaku
itu bukan jiwaku
nanging jiwane dursasana
tapi jiwa Dursasana
kuwi dudu aku, dudu aku
itu bukan aku, bukan aku
kang kepengin dadi bisma
yang ingin menjadi Bisma
2.
Geguritan Babahan Sanga “BABAHAN SANGA”4
BABAHAN SANGA kumandhang swara-swara angin
gaung suara-suara angin
tansah milut kabeh ukara
merangkai semua ucapan
kanggo ganda-ganda bacin. marang kahanan
untuk semerbak bau tak sedap. kepada keadaan
diemplok ana pinggiring jagad
dimangsa di ujung dunia
marani endi kang didama. iki tandha
menuju kepada yang dikehendaki. ini simbol
lingga, yoni padha tetembangan ana m,buri
lingga, yoni bersahutan di belakang
4
Babahan sanga berasal dari kata babahan yang berarti lubang dan sanga yang berarti sembilan. Dalam konsep budaya Jawa, babahan sanga mengacu pada sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia (Poerwadarminta, 1939: 23 dan 544).
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
wus ora maclu kudu ditata ana tatanan
sudah tak pelak harus ditata pada tatanan
mung mbujung nepsu-nepsu angkasa
hanya memburu nafsu-nafsu angkasa
marang tlatah kasoran jangkah
kepada tempat jalan yang salah
apa iki kang arane donyaning kuwalik ?
apa ini yang dinamakan dunia terbalik ?
3.
Geguritan Laut LAUT
LAUT
obahing warna-warna biru
gerakan warna-warna biru
padha nyawiji ana jagad netra
menyatu dalam satu pandangan
ngebaki rancage tatanan wektu
memenuhi akhir tatanan waktu
diluru kanthi nlesih-nlesih laku
dicari dengan mencermati perjalanan hidup
kang saya suwe nyedhaki paturon
yang semakin lama mendekati peristirahatan
bakal dietungi mbaka siji
akan dihitung satu demi satu
endi kang perlu dicathet
mana yang perlu dicatat
lembaran-lembaran, ing plataran amba
lembaran-lembaran, di tempat luas
bareng ambruke napas-napas pungkasan
bersama rubuhnya nafas-nafas terakhir
ombak-ombak wis obah
ombak-ombak telah bergerak
nututi playune angin-angin gisik
mengikuti lari angin-angin pesisir
menehi pratandha, menawa dalan isih ana
memberi tanda, akan jalan masih ada
pangkonan iki tansah dawa
pangkuan ini sangat panjang
mapagage laku-laku kang kebak salah
menjemput langkah-langkah yang salah
diaras kanthi setiti bareng wengi
dijamah dengan cermat bersama malam
banyu-banyu panguripan isih dipepetri
air-air penghidupan masih terawat
kari dina-dina kang kebak wewadi
menyisakan hari-hari yang penuh misteri
laut-laut manungsa
lautan manusia
mbujung raga kang ilang
memburu raga yang hilang
ana anggane dhewe-dhewe
pada tubuh masing-masing
ing sajroning nepsu kadonyan
dalam nafsu duniawi
dina iki, dina isih padha
hari ini, hari masih sama
mlayoni dina-dina kang kalah
lari dari hari-hari yang kalah
padha karo laku-laku kebak gegambaran janji
tak ubahnya langkah-langkah yang penuh janji-janji
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
ngrungkebi dalan siji: ana laut pangapura
4.
merangkul satu jalan: pada laut pengampunan
Geguritan Kayon KAYON
PEPOHONAN
landhep banget gunting iku nugel
sungguh tajam gunting itu memotong
wektu terus lumaku, ngebaki lemah-lemah
waktu terus berlalu, memenuhi tanah-tanah
kang kudu dijangkah ana tengah-tengahe
yang harus dilalui di tengah-tengah
dadi winih suci. nyuburake tetanduran yekti
menjadi benih suci. menyuburkan tanaman kebenaran
budi kang nggantung ana angkasa. dudu ngayawara
akal yang menggantung di angkasa. bukan kebohongan
bakal tuwuh ukara-ukara pungkasan, ditanem kenceng
akan tumbuh ucapan-ucapan terakhir, ditanam kuat
bareng lakune jaman. isih tetep kudu ana
seiring berlalunya zaman. masih tetap ada
kandheg patrem, ing telenging bumi
terhenti sejenak, pada dasar bumi
bareng pekerti kang wis lingsir
bersama perangai yang telah menepi
wong wadon gampang udhar tapihe
wanita mudah terlepas busananya
ringkih, ana tetese waspa tanpa krana
rapuh, ada tetes air mata tanpa sebab
ditulisi anane kagliwang jaman
diukir adanya perubahan zaman
ilang tanpa enggok. diedohake laku tama
musnah tanpa jejak. dijauhkan dari langkah utama
yaitu kayon-kayon ing ati. apa kudu mangkono?
yaitu pepohonan dalam hati. apa harus demikian?
5.
Geguritan Asbak ASBAK
ASBAK
ana pojok-pojok dalan kekarepan
pada sudut-sudut jalan keinginan
pasrah marang pepethene Gusti
pasrah kepada takdir Illahi
tetep madhep mantep, tanpa swala
tetap tegar, tanpa kesombongan
njaga raga kanggo tetenger iki
menjaga raga untuk pertanda ini
manawa urip bakal ana pungkasane
bahwa hidup akan ada akhir
jagad kang amba disangga ana bunderan siji
dunia luas disangga dalam satu lubang
mbuktekake sasawangan kang nuspra, anak pandelengan membuktikan pemandangan tanpa guna, anak penglihatan sunar-sunar bakal bali antarane wektu
cahaya terang akan kembali seiring waktu
awu wus jumedhul bareng enteking mawa
abu telah muncul seiring habisnya bara
ngebaki bunderane Gusti, meneri badan sapata
memenuhi lingkaran Tuhan, seperti garis hidup
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
dikanthi-kanthi kenceng ana epek-epek urip nasib
ditemani kuat pada telapak kehidupan nasib
ngenteni tekane jantra baya dadi barang tetenger
menanti datangnya penanda
disangga ijenan marang pundhak loro
disangga sendirian dengan dua pundak
kepara isih tekan jumedhule, kebak sanepa terbagi
masih sampai munculnya, penuh perumpamaan
apa arep entek?
akankah habis?
cobaan
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
menjadi
barang