KEDUDUKAN NOTARIS SELAMA MENJADI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh: Mohd. Ghazali Rais B4B008181
PEMBIMBING Mochammad Dja’is, SH., CN.,M.Hum
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2010
KEDUDUKAN NOTARIS SELAMA MENJADI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Disusun Oleh:
Mohd. Ghazali Rais B4B008181
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 14 Juni 2010……………………..
Tesis ini telah diterima Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Pembimbing,
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro
Mochammad Dja’is, SH., CN.,M.Hum. NIP. 19531028 197802 1 001
H. Kashadi, S.H., M.H. NIP. 19540624 198203 1 001
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini, Nama : MOHD. GHAZALI RAIS, dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut: 1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi/lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam Daftar Pustaka. 2. Tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro dengan sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan akademik/ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang,
Juni 2010
Yang menyatakan,
(MOHD. GHAZALI RAIS)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuhu, Puji syukur, Penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Tak lupa salawat beriring salam Penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan judul: “KEDUDUKAN NOTARIS SELAMA MENJADI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT”. Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar
Magister
Kenotariatan
(Mkn)
pada
Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, Penulis yakin tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena terbatasnya ilmu pengetahuan, waktu, tenaga, pikiran serta literatur bacaan yang dikuasai oleh penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Segala bantuan, budi baik dan uluran tangan berbagai pihak pula yang telah penulis terima baik dalam studi maupun dari tahap persiapan sampai tesis terwujud tidak mungkin disebutkan seluruhnya. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, Ms. Med. SP, And, selaku Rektor Universitas Diponegoro Semarang. 2. Bapak Prof. Dr. Y. Warella, MPA, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. 3. Bapak Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 4. Bapak H. Kashadi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. 5. Bapak Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S., selaku Sekretaris Bidang Akademik Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 6. Bapak Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Bidang Keuangan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 7. Bapak Mochammad Dja’is, S.H., CN., M.Hum., selaku Pembimbing yang dengan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan
pengarahan,
masukan-masukan
serta
kritik
yang
membangun dalam penulisan tesis ini. 8. Tim Reviewer Usulan Penelitian serta Tim Penguji Tesis yang telah meluangkan waktu untuk menilai kelayakan Usulan Penelitian Penulis dan bersedia menguji tesis dalam rangka meraih gelar Magister Kenotariatan (Mkn) pada Studi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
9. Kepada para responden dan para pihak yang telah memberikan masukan guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini. 10. Kepala Staff dan Karyawan Administrasi Pengajaran pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang yang telah membantu selama penulis mengikuti perkuliahan. Penulis
menyadari
kekurangan
tesis
ini,
maka
dengan
kerendahan hati Penulis menerima masukan yang bermanfaat dari pembaca sekalian untuk memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu hukum.
Semarang, Juni 2010
(Mohd.
Ghazali
Rais) B4B008181
ABSTRAK Kedudukan Notaris Selama Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Seorang notaris yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, wajib cuti atau berhenti. Tujuan penelitian mengetahui status hukum dan pertanggung jawaban atas akta-akta yang dibuat sebelum notaris menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sifat penelitian yuridis normatif, yang dilakukan di perpustakaan dan lapangan dengan alat pengumpul bahan hukum studi dokumen dan wawancara notaris di Semarang Berdasarkan analisis kualitatif diketahui terdapat 2 (dua) peraturan yang mengatur notaris menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pertama menurut Pasal 17 huruf d juncto Pasal 11 UUJN, notaris diwajibkan mengajukan cuti, kedua menurut Pasal 50 ayat (1) huruf l, notaris diwajibkan berhenti. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, maka seorang notaris yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat wajib cuti. Selama menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, notaris menunjuk notaris pengganti, dan notaris bertanggung jawab atas aktaakta yang dibuat sebelum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kata kunci: Notaris, DPR, cuti, pertanggungjawaban.
ABSTRACT Public Notary Position When Become As Legislative Member A notary becomes Legislative Assembly is obliged to leave his/her duty or resign. Research purpose is to know legal status and responsibility on deed were made by notary before he/she becomes Legislative Assembly. The research characteristic is normative juridical, conducted in the library research and field research by means of legal material and notary interview in Semarang. Based on qualitative analysis is recognized that there are two rules regulating notary to become Legislative Assembly member, first according to Section 17 letter d juncto Section 11 UUJN, notary is obliged to submit a furlough, second, according to Section 50 article (1) letter I notary is obliged to resign. Based on lex specialis derogat legi generali principle, so a notary who become a Legislative Assembly member is obliged to leave his/her duty. While he/she is a member of Legislative Assembly, notary appoint a successor and notary has responsible on its official documents were made before he/she becomes Legislative Assembly. Keywords: Notary, Legislative Assembly, furlough, responsibility
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i HALAMAN PENGUJIAN ................................................................................... ii PERNYATAAN ................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT .................................................................................................... viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Permasalahan .............................................................. 13 C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 14 D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 14 E. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 15 F. Metode Penelitian ......................................................................... 24 G. Sistematika penulisan ................................................................... 27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Notaris ............................................... 29 1. Pengertian Notaris .................................................................... 29 2. Karakter Jabatan Notaris .......................................................... 36 B. Ruang Lingkup Jabatan Notaris ................................................... 41 1. Tugas dan Kewenangan Notaris .............................................. 41 2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Notaris ................................. 48 C. Hak yang Dimiliki Notaris .............................................................. 56 1. Hak Ingkar Notaris .................................................................... 56 2. Hak Cuti .................................................................................... 59 3. Honorarium ............................................................................... 60 D. Tinjauan Umum Mengenai Dewan Perwakilan Rakyat ................ 62 1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat ..................................... 62 2. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat ............................................ 66
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Status Hukum Seorang Notaris yang Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat .......................................................................... 69 B. Pertanggung Jawaban Terhadap Akta yang Dibuat Oleh Notaris Sebelum Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat .................. 88
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................... 132 B. Saran ............................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
:
Surat Keterangan Penelitian dari Notaris Suyanto, SH di Semarang
Lampran 2
:
Surat Keterangan Penelitian dari Notaris Ngadino, SH., M.H di Semarang
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut. Pada perkembangannya, suku-suku tersebut memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan negara kota Yunani. Dewan ini sudah menampakkan 3 (tiga) kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi
daerah-daerah.
Kesamaan
dengan
Indonesia
sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah.1 Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di 1
www. Google search “Pemisahan Kekuasaan”. co.id
lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda yaitu, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan yudikatif adalah lembaga yang
mengawasi
jalannya
pemerintahan
dan
negara
secara
keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.2 Dengan terpisahnya 3 (tiga) kewenangan di 3 (tiga) lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika ditiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan. Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Dimasa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (yang selanjutnya disingkat DPR) (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme
2
Miriam Budiardjo, Dasar‐dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2001), hal 23
pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.3 Dalam setiap lima tahun sekali, Negara Indonesia memiliki suatu pesta akbar yang mana pesertanya adalah seluruh rakyat Indonesia yang peduli terhadap keadaan bangsanya. Pesta akbar yang menghabiskan biaya yang sangat besar tersebut dinamakan pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu). Pemilu merupakan intrumen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan.4 Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik. Pada pokoknya mereka yang akan maju mewakili partai politik tertentu tersebut pasti memiliki sebuah kepentingan akan dari dirinya dan golongannya. Jadi pemilu adalah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan (parlemen). Salah satu kelompok yang berminat akan duduk sebagai anggota dewan di parlemen tersebut adalah profesi notaris. Disamping memperjuangkan kepentingan partai, para notaris yang duduk di parlemen juga memiliki kepentingan terhadap profesinya tersebut. Perkembangan lembaga notaris di Indonesia, mulai masuk pada permulaan abad ke 17. Menurut Jan Pieterszoon Coen di Jacatra 3 4
www. Google search “Fungsi – fungsi kekuasaan legislatif”.co.id Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, 1983), hal 328.
(sekarang Jakarta) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang perlu mengangkat seorang notaris, yang disebut Notarium Publicum. 5 Sejak tanggal 27 Agustus 1620 diangkat notaris pertama di Indonesia yaitu Melchior Kerchem, sebagai sekretaris College Van Schepenen (urusan perkapalan kota) di Jakarta untuk merangkap sebagai notaris yang berkedudukan di Jakarta. Tugas dari Melchior Kerchem sebagai notaris dalam surat pengangkatannya, yaitu melayani dan melakukan semua surat libel (Smaadschrift) yang bahasa Indonesianya yaitu tulisan menghina/menista, surat wasiat di bawah tangan, persiapan penerangan, akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat, dan akta-akta lainnya dan ketentuanketentuan yang perlu Dati kotapraja. 6 Setelah pengangkatan notaris pertama jumlah notaris di Indonesia kian berkembang dan pada tahun 1650 di Batavia hanya ada dua orang notaris yang diangkat. Menurut kenyatannya para notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan didalam menjalankan jabatannya, karena notaris pada masa itu adalah pegawai dari Oost Ind compagnie. Bahkan tahun 1632 dikeluarkan plakat yang berisi ketentuan bahwa notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat aktaakta transport, jual beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari gubernur jenderal dan 5 6
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris,(Jakarta: Erlangga, 1983), hal 15 Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), hal 37
daden van indie dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Namun dalam prakteknya ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh pejabatpejabat atau notaris yang bersangkutan. Maksud dan tujuan membawa lembaga kenotariatan ke Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan akan alat bukti autentik
yang sangat dibutuhkan untuk menggunakan hal dan
kepentingan yang timbul karena adanya transaksi dagang yang mereka lakukan. Lembaga kenotariatan di Indonesia pada waktu itu belum dikenal dan meluas ke kota-kota kecil bahkan desa-desa hal ini dikarenakan sebelum perang dunia ke 2 (dua) hampir seluruh notaris yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah berkebangsaan Belanda. Sedangkan yang berkebangsaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya lagi pula mereka mempunyai kedudukan di kota-kota besar sedangkan orang-orang Indonesia berada di daerah-daerah. Di samping itu tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat Indonesia pada waktu itu suatu masyarakat bersifat primordial yang masih berpegang teguh pada hukum adat serta kaidah-kaidah religius, lebih-lebih lagi para pengasuh dari lembaga notiariat itu lebih menitik beratkan orientasinya pada hukum barat. Semua itu merupakan faktor-faktor penghambat yang tidak menguntungkan bagi perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat dan secara luas dikalangan masyarakat yang justru harus dilayaninya.
Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendai adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi diantara mereka suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar
gezag)
mengharuskan
untuk
sedemikian
dimana atau
dan
apabila
dikehendaki
undang-undang
oleh
masyarakat
membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan autentik. Saat ini notaris dikenal sebagai orang yang melayani masyarakat untuk membuat akta atau dokumen-dokumen yang autentik. Akan tetapi, tugas ini sedikit berbeda dengan yang dilakoni para notaris pada awal kemunculannya. Saat kejayaan bangsa Romawi, tidak hanya ada kelompok gladiator di sana, tetapi juga hidup sekelompok orang yang disebut notarius. Berbicara mengenai notaris, berarti kita bicara mengenai autentisitas dokumen. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan orang berkunjung ke notaris. Pengakuan akan sifat autentisitas dokumen tersebut tidak datang secara serta merta, tetapi pengakuan baru muncul pada abad ke-13 (tiga belas), sekian ratus tahun setelah kemunculan jabatan notaris. Beberapa ratus tahun kemudian barulah muncul peraturan yang disebut ventosewet.7
7
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris,(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009), hal 23
Di Indonesia, notaris bertidak sebagai pelayan masyarakat. Hal ini karena notaris adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan dokumen-dokumen legal yang sah. Meskipun status notaris sebagai pelayan masyarakat, jangan berpikiran bahwa notaris menggunakan pakaian yang sederhana. Justru sebaliknya, notaris mengenakan pakaian yang resmi dan ekslusif guna menunjukkan profesionalisme dan keseriusan mereka. Sebagai seorang dengan jabatan notaris sudah seharusnya orang tersebut dalam menjalankan jabatannya lebih “diistimewakan” kedudukannya dalam hukum dibandingkan dengan orang lain, namun seorang notaris di luar jabatannya adalah orang yang memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang lain (equality before the law).8 Tentu saja ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang notaris, tidak mungkin seorang notaris dapat berpraktek tanpa memiliki kemampuan memadai. Latar belakang pendidikan hukum merupakan sebuah keniscayaan. Setelah lulus dari fakultas hukum, seorang calon notaris wajib mengikuti kuliah bidang kenotariatan atau menempuh pendidikan Strata 2 (dua) hukum bidang kenotariatan. Tidak cukup berbekal pendidikan formil saja untuk menjadi profesi notaris di Indonesia, dimana syarat menjadi calon notaris
di
Indonesia
secara
umum
8
www.Google search “Harkat dan Martabat Notaris”.co.id
adalah
orang
yang
berkewarganegaraan Indonesia. Karena seorang notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara untuk mewakili negara dalam pembuatan akta-akta autentik yang dibuat berisi hal-hal yang sifatnya rahasia. Tentu akan berbahaya, jika jabatan ini dipegang oleh seorang warga negara asing. Bisa–bisa rahasia negeri ini jatuh ke tangan negara lain.9 Menjadi notaris yang baik dituntut untuk memiliki kedewasaan yang
matang.
Menurut
kitab
undang-undang
hukum
perdata
(selanjutnya disingkat KUHPerdata) bahwa usia dewasa seseorang adalah 21 (duapuluh satu) tahun, tetapi seseorang untuk dapat menjadi notaris berdasarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN) haruslah berusia 27 (dua puluh tujuh) tahun. Di Indonesia para notaris berhimpun dalam sebuah wadah perkumpulan
yang
bernama
Ikatan
Notaris
Indonesia
(yang
selanjutnya disingkat INI). INI merupakan perkumpulan notaris yang legal dan sudah berbadan hukum sesuai SK Menteri Kehakiman Replubik
Indonesia
tanggal
23
Januari
1995
Nomor
C2-
10221.HT.01.06.10 Berkaitan mengenai pemilu yang disinggung penulis di atas. Sering kali pemilu untuk memilih wakil rakyat di DPR dan pemimpin pemerintahan, diistilahkan sebagai pesta demokrasi oleh rakyat. 9
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op. Cit., hal 30 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan., Op.Cit., hal 31
10
Sebagaimana maknanya, yaitu pesta rakyat, maka semua orang berkepentingan dan berhak merayakan “pesta” tersebut. Namun, karena ini berkaitan dengan sistem kenegaraan, maka muncul pula hak dan kewajiban.11 Semua elemen masyarakat tentunya memiliki kewajiban dan hak yang sama, dimata hukum negara. Pada pokoknya mereka yang akan mewakili elemen masyarakat tertentu, pasti terikat pada ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia. Contohnya seseorang
notaris, sebagai seorang warga negara tentunya ia
memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun, sebagai jabatan notaris ia terikat oleh ketentuan perundangan yaitu UUJN. Notaris dalam menggunakan haknya untuk bisa duduk mewakili masyarakat sebagai anggota dewan, juga diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Pewakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat Undangundang Pemilu) pasal 50 ayat (1) huruf l, dikatakan, mereka harus membuat pernyataan bersedia untuk tidak berpraktek sebagai notaris dan pejabat pembuat akta tanah (yang selanjutnya disingkat PPAT). Juga disebutkan, tidak melakukan penyediaan barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang
11
RENVOI. edisi tujuhpuluh dua. JURNAL RENVOI MEDIATAMA. 2009. hal 20
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR. Selain undang-undang Pemilu, sebagai notaris, tentunya mereka juga terikat dengan ketentuan perundangan yang mengatur jabatan notaris yaitu UUJN, khususnya pasal 17 huruf d menyatakan “ notaris dilarang merangkap sebagai pejabat negara”. Dalam ketentuan UUJN, apabila notaris yang terpilih menjadi anggota dewan, diwajibkan mengambil cuti.12 Selama menjalankan tugas jabatannya, notaris berhak untuk cuti, yang dapat diambil setelah menjalankan tugas jabatan selama 2 (dua) tahun. Jumlah keseluruhan cuti yang diambil notaris tidak lebih dari 12 (duabelas) tahun. Sesuai dengan karakter jabatan notaris yaitu harus
berkesinambungan
selama
notaris
masih
dalam
masa
jabatannya, maka notaris yang bersangkutan wajib menunjuk notaris pengganti.13 Mengenai cuti ini perlu diberikan tafsiran tersendiri, yaitu cuti yang diajukan oleh seorang notaris karena yang bersangkutan diangkat menjadi pejabat negara. Dalam kaitan ini perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai pejabat negara, dalam Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dalam Bab I tentang
12 13
Ibid, hal 21 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hal 102
ketentuan umum, Pasal 1 angka 4, menyebutkan adanya pejabat negara, dan pasal 11 ayat (1), bahwa pejabat negara terdiri atas : a) Presiden dan Wakil Presiden b) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Perwakilan Rakyat. c) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan. e) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung. f) Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan. g) Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri. h) Kepala Perwakilan Replubik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh. i) Gubernur dan Wakil Gubernur j) Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan k) Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.14 Melihat ketentuan mengenai siapa saja yang disebut dengan pejabat Negara diatas, tidak dijumpai lembaga Dewan Perwakilan Daerah (yang selanjutnya disingkat DPD) dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah (yang selanjutnya disingkat DPRD). Berarti kedua lembaga tersebut tidak termasuk sebagai pejabat negara, dan meskipun penulis menggunakan undang-undang pemilu sebagai dasar 14
Ibid., hal 103
hukum mengenai jabatan notaris yang rangkap jabatan sebagai pejabat negara. Dalam penelitian nantinya penulis lebih khusus membahas mengenai jabatan notaris yang terpilih menjadi anggota DPR. UUJN juga mengatur untuk notaris yang diangkat menjadi pejabat negara. Jika notaris merangkap dengan jabatan Negara, hal ini merupakan alasan untuk memberhentikan sementara notaris dari jabatannya, pasal 8 ayat (1) huruf e UUJN. Jika seorang notaris akan diangkat menjadi pejabat negara maka wajib mengambil cuti selama memangku jabatan sebagai pejabat negara, pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, dan wajib mengangkat notaris pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai notaris. ketentuan semacam ini untuk tetap menjaga kesinambungan jabatan notaris.15 Adanya
dua
peraturan
perundang-undangan
yang
kedudukannya sejajar namun memiliki dua perbedaan yang mendasar di salah satu pasalnya mengenai rangkap jabatan. Jadi aksioma (pernyataan
yang
dapat
diterima
sebagai
kebenaran
tanpa
pembuktian) hukumnya, mana yang harus diutamakan. Untuk itulah penulis tertarik meneliti mengenai jabatan notaris yang menjadi anggota dewan (lembaga legislatif berdasarkan trias politika), apakah 15
Ibid., hal 105
harus berhenti yang menurut kamus Bahasa Indonesia yang berarti tidak berpraktek (berdasarkan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undangundang Pemilu), Atau hanya dengan cuti saja (berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUJN). Melihat latar belakang di atas, maka penulis mengambil judul dalam
tulisan
ini
adalah
“KEDUDUKAN
NOTARIS
SELAMA
MENJADI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana status hukum seorang notaris yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, apakah harus cuti atau tidak berpraktek? 2. Siapa yang bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh notaris sebelum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat?
C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari rumusan permasalahan di atas adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada tersebut. Tujuan penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui status hukum notaris yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat notaris sebelum terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis/Akademis Khasanah ilmu pengetahuan penulis dan memberi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya, khususnya dibidang kenotariatan untuk mengetahui status hukum yang harus dilakukan oleh seorang notaris yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukan untuk para notaris yang terlibat langsung dalam peranannya sebagai pejabat umum yang terpilih menjadi pejabat negara. b. Sebagai bahan masukan untuk para pembuat Undang-undang tentang Jabatan Notaris dan Undang-undang Pemilu, khususnya mengenai larangan rangkap jabatan menjadi pejabat negara.
E. Kerangka Pemikiran NOTARIS MENJADI PEJABAT NEGARA
Pasal 11 ayat (1) Undang‐ undang Jabatan Notaris
Pasal 50 ayat (1) hurul l UU Pemilu
Notaris mengajukan cuti
Notaris berhenti / tidak berpraktek
1. Bagaimana status hukum seorang notaris yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, apakah cuti atau tidak berpraktek 2. Siapa yang bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh notaris sebelum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam teori pemisahan kekuasaan (separation of power) pada Lex Speciali Derogate Legi Generali lembaga negara terdapat 3 (tiga) bentuk umum yang diterapkan oleh berbagai sistim ketatanegaraan di dunia, yaitu eksekutif sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan; legislatif sebagai lembaga pembentuk
undang-undang,
serta
yudikatif
sebagai
lembaga
pemegang kekuasaan peradilan. Ivor Jenning berpendapat bahwa terdapat dua pola separation of power, yaitu: 16 Pertama, separation of power dalam arti material, dimana terdapatnya pemisahan kekuasaan antar lembaga negara secara tegas. Dalam pemahaman material tersebut eksekutif tidak dapat memasuki kewenangan yang menjadi kekuasaan legislatif dan begitu juga sebaliknya legislatif tidak dapat memasuki kewenangan yang merupakan bagian eksekutif. Kedua, separation of power dalam arti formal yaitu konsep pembagian kekuasaan dimana eksekutif dapat memasuki 16
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas‐asas Hukum Tatanegara, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1983), hal 122
wewenang legislatif atau sebaliknya, bahkan eksekutif mampu mencampuri kewenangan peradilan. Pemisahan kekuasaan pada model ini tidak tegas dipertahankan dalam praktis hanya dicantumkan dalam ketentuan formal. Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro berpendapat bahwa model pertama yang dalam bahasa C.F. Strong disebut sebagai pemisahan kekuasaan secara ekstrim 17 , tidak mungkin diterapkan dalam sistim ketatanegaraan di dunia saat ini, dimana umumnya eksekutif telah menjadi bagian dalam proses pembentukan perundangundangan. Strong berpendapat upaya memisahkan kekuasaan secara ekstrim tersebut tidak dapat dilakukan dikarenakan urusan suatu kenegaraan sangatlah kompleks dalam kondisi modern sehingga masing-masing bidang kekuasaan negara tidak dapat berdiri sendiri dengan supremasi yang terbebas dari campur tangan pihak lain. Pandangan tersebut diperkuat oleh doktrin H.J. Laski bahwa; “pemisahan kekuasaan tidak berarti keseimbangan yang sama di antara kekuasaan”. 18 Abu Daud Busro berpendapat bahwa untuk wilayah Yudikatif, paham pertama tetap masih digunakan agar terlindunginya keputusan peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain.19 Namun pada kenyataannya, menurut Strong, hal yang sama juga terjadi pada ranah peradilan. Campur tangan terhadap lembaga yudikatif dilakukan oleh 17
C.F. Strong, Konstitusi‐Konstitusi Politik Modern‐Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk‐Bentuk Konstitusi Dunia,(Bandung: Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusamedia, 2004), hal 91‐92 18 Ibid, hal 93 19 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Loc.Cit.
eksekutif maupun legislatif, misalnya dalam hal pemberian grasi atau penangguhan hukuman mati.20 Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil disebut Strong sebagai separation of power dalam arti sempit. Oleh karenannya jika meninjau pemisahan kekuasaan dalam arti luas, maka semua negara konstitusional modern menurut Strong telah menerapkan prinsipprinsip pemisahan kekuasaan pada kewenangan lembaga-lembaga negaranya.21 Indonesia sebagai negara yang meletakan prinsip-prinsip modern tersebut dalam konstitusinya juga melakukan pemisahan kekuasaan luas terbatas tersebut, terutama pasca amandemen UUD 1945. Menurut Moh. Mahfud MD, dalam disertasinya menyebutkan bahwa: 22 Tidak sedikit dari para mahasiswa hukum yang heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti dipahami dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai
penjamin
kepastian
hukum,
penegak
hak-hak
masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenangwenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti 20
C.F. Strong, Loc.cit. Ibid. hal 389. 22 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, hal 1 21
dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak
diwarnai
oleh
kepentingan-kepentingan
politik
pemegang kekuasaan dominan. Mereka bertanya: mengapa hal itu harus terjadi?. Ternyata hukum tidak seteril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan
pelaksanaan
hukum
sehingga
muncul
juga
pertanyaan
berikutnya tentang subsistem antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum,
jenis
sistem
politik
yang
bagaimana
yang
dapat
melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan
hukum
(legal
policy)
yang
akan
atau
telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. Untuk menghadapi anggapan tersebut sebagai wujud kegalauan Machfud, kita harus dari sekarang mengedepankan subsistem hukum yang memiliki konsentrasi yang lebih besar daripada politik. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum. Salah satu cara untuk mengedepankan hukum adalah bagaimana menegakkan suatu undang-undang yang didahului dengan memberikan pemahaman yang baik dan mendalam tentang
substansi
undang-undang,
salah
satunya,
melalui
sosialisasi kepada masyarakat, terutama kepada pelaksana undangundang. Dalam bagian ini, dibahas mengenai larangan notaris yang ditentukan dalam Pasal 17 huruf d UUJN yang berisi “merangkap jabatan sebagai pejabat negara”. Menurut pasal ini memberi konsekuensi yuridis bahwasanya seorang notaris dilarang rangkap jabatannya, salah satunya menjadi pejabat negara. Apabila seorang notaris yang terpilih menjadi pejabat negara, maka notaris tersebut oleh undang-undang wajib mengajukan cuti.
Mengenai cuti diatur dalam UUJN, dimana cuti yang diajukan oleh notaris diberikan oleh tiga institusi. Apabila cuti tersebut sampai dengan enam bulan lamanya, maka yang berwenang adalah Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya disingkat MPD), apabila cutinya jangka waktu enam bulan hingga satu tahun maka yang berwenang Majelis Pengawas Wilayah (selanjutnya disingkat MPW), sedangkan cuti selama diatas setahun maka institusi yang berwenang memberi cuti ialah
Majelis
Pengawas
Pusat
(selanjutnya
disingkat
MPP).
Pengambilan cuti yang diajukan notaris paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya, dan selama masa jabatan notaris jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas tahun). Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara wajib mengambil cuti dan menunjuk notaris pengganti, dan permohonan cuti tersebut diajukan kepada MPP. Dengan alasan tertentu Majelis Pengawas Notaris dapat menolak permohonan cuti yang diajukan notaris yang menjadi pejabat negara. Dalam hal cuti yang diajukan oleh notaris tersebut diatas, maka notaris wajib menunjuk notaris pengganti berdasarkan Pasal 1 angka 3 UUJN, yang berisi: “notaris pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai notaris untuk menggantikan notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris.”
Notaris pengganti sifatnya sementara saja, sehingga dapat disebut menjalankan tugas jabatan notaris dari notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatan sebagai notaris.23 Seorang notaris yang terpilih menjadi pejabat negara maka wajib mengambil cuti selama memangku jabatan sebagai pejabat negara (Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN), dan wajib mengangkat notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai notaris (Pasal 11 ayat (3) juncto (6) UUJN). Ketentuan semacam ini untuk tetap menjaga kesinambungan jabatan notaris.24 Dengan demikian serta merta seorang notaris dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Jika notaris melanggar ketentuan tersebut (artinya tidak mengambil cuti) akan dijatuhi sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUJN. Jika ditinjau atau dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Disebutkan dalam Pasal 12 huruf l Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, 23
Habib Adjie., Op. Cit., hal 43 www.Habibadji.com, Habib Adjie, Notaris Sebagai Pejabat Negara.
24
pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik. Apabila notaris tidak menunjuk notaris pengganti, maka MPD menunjuk notaris lain untuk menerima protokol notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan notaris yang diangkat menjadi pejabat negara. Selain UUJN, mengenai larangan notaris yang menjadi pejabat negara juga diatur didalam Undang-undang Pemilu pasal 50 ayat (1) huruf l mengenai Persyaratan Calon Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berisi : “bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyediaan barang dan jasa yang behubungan dengan keuangan Negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan” Pengertian tidak berpraktik diatas didalam Kamus Bahasa Indonesia berarti “tidak bekerja”. Kerja dalam dunia hukum notaris adalah “menjabat”. Yang berarti notaris tersebut berhenti sejak terpilih menjadi pejabat negara. Dalam undang-undang pemilu juga tidak mengenal dengan adanya notaris pengganti.
Dari uraian diatas, terdapat dua undang-undang yang memiliki perbedaan mendasar terhadap notaris yang menjadi pejabat negara. Dalam kenyataanya, sekarang para notaris yang terpilih menjadi pejabat negara mengacu pada UUJN dan mengesampingkan Undangundang Pemilu. Dan perlu diingat juga bahwa notaris kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dipergunakan parameter berupa asas perundang-undangan, yaitu: Lex Speciali Derogate Legi Generali, yang berarti perundang-undangan yang khusus
menyisihkan
perundang-undangan
yang
umum.
Dalam
mengimplementasikan asas ini syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu tingkat tingkat perundang-undangan yang sama.25
F. METODE PENELITIAN Guna memperoleh data yang konkrit sebagai bahan dalam usulan penelitian tesis maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan 25
Habib Adji, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT di Indonesia, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2009), hal 19
Metode penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, karena secara yuridis penelitian didasarkan pada pendekatan terhadap asas-asas dan aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan Undang-undang Jabatan Notaris dan Undang-undang Pemilihan Umum, juga
normatif
melalui
pendekatan lewat aturan-aturan hukum antara lain dalam bentuk peraturan
pelaksanaan
dari
undang-undang
yang
berkaitan
terhadap masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata. Dengan
menggunakan
pendekatan
yuridis
normatif
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh asas-asas hukum, penemuan hukum terhadap suatu permasalahan tertentu dengan bertumpu pada data sekunder. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif adalah mencakup tentang asas-asas hukum, sistematika
hukum,
sejarah
hukum,
sinkronisasi
hukum,
perbandingan hukum.26 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi menggambarkan
penelitian suatu
adalah
peraturan
deskriptif
analitis,
yaitu
perundang-undangan
yang
berlaku, dikaitkan dengan teori hukum dan praktek hukum positif yang menyangkut permasalahan, selanjutnya akan dianalisis sebagai jawaban atas permasalahan yang selama ini terjadi. 26
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal 14‐15
3. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penulisan tesis ini meliputi data sekunder, data sekunder adalah data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari perpustakaan dan koleksi pustaka pribadi penulis, yang
dilakukan dengan cara studi pustaka atau literatur. Data
sekunder terdiri dari: a. Bahan-bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari: A. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; B. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari: 1) Buku-buku karya para sarjana. 2) Karya-karya ilmiah. 3) Bahan-bahan hukum tersier berupa kamus, ensiklopedia, dan literatur perkuliahan. 4. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif normatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara
sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis. Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib datam penulisan
laporan penelitian ilmiah. Setelah
analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan mengambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.27
G. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, dimana masingmasing bab memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Gambaran yang lebih jelas mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika berikut: Bab I
Pendahuluan dipaparkan uraian mengenai latar belakang
penelitian,
rumusan
masalah,
tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi 27
H.B. Sutopo. Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, (Surakarta: UNS Press. 1998), hal 37.
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan dilanjutkan dengan sistematika penulisan. Bab II
Tinjauan pustaka, yang berisikan Tinjauan Umum Mengenai Notaris, Ruang Lingkup Jabatan Notaris, Hak
yang
Dimiliki
Notaris,
Tinjauan
Umum
Mengenai Dewan Perwakilan Rakyat. Bab III
Hasil Penelitian dan Pembahasan, mengacu pada Bab II yang berisikan Status Hukum Seorang Notaris yang Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pertanggung Jawaban Terhadap Akta yang Dibuat Oleh Notaris
Sebelum Menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Bab IV
Bab penutup yang di dalamnya berisikan Simpulan dan Saran.
Selanjutnya dalam penulisan hukum ini dicantumkan juga daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang mendukung penjabaran penulisan hukum yang didapat dari hasil penelitian penulis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Notaris 1. Pengertian Notaris Istilah notaris pada dasarnya berasal dari perkataan “notaris” (Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga pendapat mengatakan bahwa nama notaris itu berkata dari perkataan “nota literaria”, berarti tanda (letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan.28 Di Negara Anglo Saxon, notary public (notaris) hanya menjadi legislator saja dari tandatangan mereka yang membuat perjanjian, sedangkan perjanjiannya sendiri dibuat oleh lawyer (pengacara). Notaris saat itu memerlukan pengetahuan tentang hukum yang mendalam karena mereka tidak hanya berkewajiban mengesahkan tandatangan belaka melainkan juga menyusun katanya dan memberikan pendapat apabila diperlukan sebelum membuat akta. Ketentuan dalam Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia, menyebutkan bahwa: “Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil 28
R. Soegondo, Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali, 1982), hal 13
dan dianggkat untuk membuat akta-akta dan kontrakkontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan,menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.”29 Menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
notaris
mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.30 Seorang notaris menurut pendapat Tan Thong Kie yaitu: “Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang notaris masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.31 Lebih lanjut mengenai seorang notaris, Tan Thong Kie menjalankan sebagai berikut: “Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) member jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak 29
G.H.S. Lumban Toping, Op. cit., hal 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke‐3, 1990), hal 667 31 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba‐Serbi Praktek Notaris, Buku I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hal 157 30
memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan dating. Kalau seorang Advokad membelah hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.”32 Pasal 1 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa notaris adalah: “pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan keweenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini.” Memperhatikan uraian Pasal 1 UUJN, dapat dijelaskan bahwa notaris adalah: a. Pejabat umum b. Berwenang membuat akta c. Autentik d. Ditentukan oleh Undang-undang Dalam Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri, selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat menjadi notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. warga negara Indonesia b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun d. sehat jasmani dan rohani e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan 32
Ibid, hal 162
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undangundang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.
Menurut Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. 33 Di dalam tugasnya sehari-hari ia menetapkan hukum dalam aktanya sebagai akta autentik yang merupakan alat bukti yang kuat sehingga memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. Sebagai salah satu pejabat umum, notaris mempunyai peranan penting dalam menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta autentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Notaris merupakan pengemban profesi luhur yang memiliki 4 (empat) ciri-ciri pokok. Pertama, bekerja secara bertanggung jawab, dapat dilihat dari mutu dan dampak pekerjaan. Kedua, menciptakan keadilan, dalam arti tidak memihak dan bekerja dengan tidak melanggar hak pihak manapun. Ketiga, bekerja tanpa pamrih demi
33
H.R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, (Jakarta : IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, 1998), hal 484
kepentingan klien dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama anggota profesi dan organisasi profesinya.34 Profesi notaris disebut juga sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya adalah benar.35 Sebagai pejabat umum, notaris diangkat oleh negara dan bekerja juga untuk kepentingan negara. Namun demikian notaris bukanlah pegawai negeri, sebab notaris tidak menerima gaji dari negara, melainkan hanya menerima honorarium atau fee dari klien. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, akan tetapi notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi
tetapi
juga
para
konsumennya,
yaitu
masyarakat
pengguna jasa notaris.36
34
Http//Adln.Lib.unair.ac.id, Lanny Kusumawati, Tanggung Jawab Jabatan Notaris. Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana,(Semarang : CV. Agung, 1991), hal 4 36 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 34 35
Salah
satu
fungsi
negara
yaitu
dapat
memeberikan
pelayanan umum kepada rakyatnya. Pemisahan atau pembagian kekuasaan negara seperti yang tertuang pada bab I, khususnya eksekutif dengan tugas untuk melayani kepentingan umum dalam bidang hukum publik. Eksekutif ini biasanya disebuit dengan pemerintah. Dalam hukum administrasi mereka yang mengisi posisi eksekutif atau pemerintah disebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara. Tidak semua pelayanan umum tersebut dapat dilakukan
oleh
eksekutif
berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan yang mengatur jabatan-jabatan eksekutif. Jika eksekutif sebagai pejabat tata usaha negara mengeluarkan suatu keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final ternyata merugikan orangperorangan atau badan hukum perdata lainnya, maka yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan keputusan tersebut ke pengadilan tata usaha negara atau jika ada terlebih dapat menempuh banding atau keberatan. Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yaitu negara memeberikan kesempatan kepada rakyat untuk memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang berkaitan dalam hukum perdata, untuk keperluan tersebut diberikan kepada pejabat umum yang dijabat oleh notaris. Dengan kontruksi seperti itu bahwa notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan rakyat memerlukan bukti atau
dokumen hukum berbentuk akta autentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang sempurna. Ketentuan umum dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris selain menjelaskan mengenai pengertian notaris, juga menjelaskan pengertian mengenai pejabat sementara notaris, notaris pengganti, dan notaris pengganti khusus. Adapun pengertian tersebut diatas: Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai notaris untuk
menjalankan
jabatan
notaris
yang
meninggal
dunia,
diberhentikan, atau diberhentikan sementara. (Pasal 1 ayat (2) UUJN), sedangkan Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai notaris untuk menggantikan notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris (Pasal 1 ayat (3) UUJN), notaris pengganti sifatnya hanya sementara saja, sehingga dapat disebut menjalankan tugas jabatan notaris dari notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatan sebagai notaris. Ketentuan pasal ini untuk menjaga kesinambungan jabatan notaris sepanjang kewenangan notaris masih melekat pada notaris yang digantikan.37 Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana 37
Habib Adji, Hukum Notaris Ondonesia, Op. Cit., hal 43
disebutkan dalam surat penetapannya sebagai notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya seorang notaris, sedangkan notaris yang bersangkutan menurut ketentuan undang-undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud. (Pasal 1 ayat (4) UUJN). Pengaturan Notaris Pengganti Khusus ini perlu dikaitkan dengan tempat kedudukan notaris dan wilayah jabatan notaris. 2. Karakter Jabatan Notaris a. Jabatan Menurut arti dalam kamus, bahwa jabatan berarti pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi.38 Arti jabatan seperti ini dalam arti yang umum, untuk setiap bidang pekerjaan (tugas) yang sengaja dibuat untuk keperluan yang bersangkutan baik dan pemerintahan maupun organisasi yang dapat diubah sesuai dengan keperluan. Istilah atau sebutan jabatan merupakan suatu istilah yang dipergunakan sebagai fungsi atau tugas ataupun wilayah kerja dalam pemerintahan.39 Menurut E. Utrech, bahwa: Jabatan (ambt) ialah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum).40
38
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hal 392 Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hal 159 40 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Cetakan Keenam Ichtiar, 1963), hal 159 39
Jabatan merupakan subyek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban. Oleh Hukum Tatanegara kekuasaan tidak diberikan kepada pejabat, tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan).41 Sebagai subyek hukum yaitu badan hukum, maka jabatan itu dapat menjamin kontinuitet hak dan kewajiban. Pejabat (yang menduduki jabatan) selalu berganti-ganti, sedangkan jabatan terus menerus. b. Pejabat Dalam kosakata bahasa Indonesia, ada istilah Penjabat (pakai huruf n) dan Pejabat (tanpa huruf n). Istilah atau kata penjabat maupun pejabat dari segi arti kata mempunyai arti atau pengertian yang berbeda. Penjabat dapat diartikan sebagai pemegang jabatan orang lain untuk sementara.42 Sedangkan pejabat sebagai pegawai pemerintahan yang memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan. Suatu jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban dapat
berjalan
oleh
manusia
atau
subjek
hukum.
Yang
menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh jabatan ialah pejabat. Jabatan bertindak dengan perantara pejabatnya.43 41
Ibid Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hal 392 43 E. Utrecht, Op. Cit., hal 124‐125 42
Hubungan antara jabatan dengan penjabat, bagaikan 2 (dua) sisi mata uang. Pada satu sisi bahwa jabatan bersifat tetap (lingkungan pekerjaan tetap), sisi yang lain bahwa jabatan dapat berjalan oleh manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sehingga yang mengisi atau menjalankan jabatan disebut pejabat. c. Pejabat Umum Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (yang selanjutnya disingkat PJN) dan Pasal 1868 KUHPerdata. Pasal 1 PJN menyebutkan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan membuat grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Pasal 1868 KUHAPerdata menyebutkan: Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Berdasarkan
ketentuan
tersebut
diatas,
notaris
dikualifikasikan sebagai pejabat umum, tapi kualifikasi notaris sebagai pejabat umum, tidak hanya untuk notaris saja. Karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT) juga diberi kulifikasi sebagai pejabat umum dan pejabat lelang.pemberian kualifikasi sebagi pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada notaris, bertolak belakang dari makna pejabat umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan pejabat lelang hanya untuk lelang saja.44 Dengan demikian notaris berperan melaksankan sebagian tugas negara dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat dihadapan atau oleh notaris, dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN. d. Jabatan Notaris
44
Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hal 15
Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat yang telah merasa dilayani oleh notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada notaris (Pasal 36 UUJN).
B. Ruang Lingkup Jabatan Notaris 1. Tugas Dan Kewenangan Notaris Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai
pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.45 Pasal 1 UUJN tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas notaris. Menurut Lumban Tobing, bahwa selain untuk membuat akta-akta autentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasihat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihakpihak yang bersangkutan.46 Sedangkan menurut Setiawan, inti dari tugas notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan diantara para pihak yang bersengketa.47 Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu Acte. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana yang menganut pendapat pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain Pitlo mengartikan akta sebagai berikut: “surat yang ditandatangani,
45
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hal 13‐14 46 Lumban Tobing, Op. Cit, hal 37 47 Setiawan Wawwan, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam konggress INI di Jakarta, 1995), hal 2
diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat”. 48 Sudikno Mertokusumo berpendapat, akta adalah surat yang dasar dari suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuatan.49 Pendapat yang mengartikan akta sebagai perbuatan hukum adalah pendapat Subekti yang mengartikan Pasal 108 KUHPerdata bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan perbuatan hukum.50 Menguatkan pendapat yang kedua Acte atau akta dalam arti luas merupakan perbuatan hukum (recht handeling), suatu tulisan yang dibuat untuk dipahami sebagai bukti perbuatan hukum.51 Terlihat bahwa notaris tidak memihak, akan tetapi mandiri dan bukan sebagai bagian dari salah satu pihak. Ia tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan undang-undang yang berlaku bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat dihadapannya.
48
Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta: Internusa, 1986), hal 52 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1979), hal 106 50 Subekti , Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT Pradnya Paramitra, 1980), hal 29 51 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal 25 49
J. M. Polak dalam Roesnastiti Prayitno pernah menyatakan dalam salah satu pidatonya, bahwa fungsi notaris ada 4, yaitu: 1. Selaku “pejabat” ia membuat akta-akta autentik; 2. Selaku “hakim” ia memberi perantara dalam menyelesaikan waris diantara para ahli waris; 3. Selaku “penyuluh hukum” dan “pemberi bantuan hukum” ia memberikan penerangan agar para pihak menyadari hak-hak dan kewajibannya masing-masing berdasarkan; 4. Selaku “entrepreneur” atau “pengusaha” ia mempertahankan kliennya agar supaya dapat membiayai usahanya.52 Tugas pokok dari notaris ialah membuat akta-akta autentik. Adapun akta autentik itu menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
memberikan
kepada
pihak-pihak
yang
membuatnya suatu pembuktian sempurna. Di sinilah letak arti penting bagi seorang notaris, bahwa notaris karena undang-undang diberi wewenang membuat suatu alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta autentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada pembuktian sebaliknya. Tugas notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu,
52
Roesnantiti Prayitno, Tugas dan Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, (Jakarta : Media Notariat INI, 1989), hal 179
sehingga merupakan suatu akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.53 Menurut Than
Thong
Kie,
para
notaris
mempunyai
persamaan dalam pekerjaan dengan para advokat, persamaan yang dimaksud adalah: “keduanya menuangkan suatu kejadian di bidang ekonomi dalam suatu bentuk hukum, memberi nasihat kepada pelanggan dan mengharapkan mendapat kepercayaan dari mereka. Tetapi ada perbedaan prinsip, yaitu: 1. Seorang notaris memberikan pelayanan kepada semua pihak, advokad kepada satu pihak. Seorang notaris harus berusaha menyelesaikan suatu persoalan, sehingga semua pihak puas; advokad hanya berusaha memuaskan satu pihak. Kalaupun dalam hal ini tercapai suatu consensus, pada dasarnya ia hanya memperhatikan kepentingan pelanggannya. 2. Pekerjaan seorang notaris adalah untuk mencegah terjadinya suatu persoalan antara pihak-pihak, sedangkan seorang advokat menyelesaikan suatu persoalan yang sudah terjadi”.54 Wewenang (atau sering pula ditulis dengan
istilah
kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundangundangn yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana 53 54
Tan Thong Kie, Op. Cit., hal. 159 Ibid, hal 169
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan
yang
mengatur
jabatan
pejabat
yang
bersangkutan. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat.55 Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.
Dan
Mandat
pemindahan
sebenarnya
wewenang,
tapi
bukan
karena
pengalihan
yang
atau
berkompeten
berhalangan.56 Berdasarkan UUJN, maka notaris sebagai pejabat umum memperoleh
wewenang
secara
Atribusi.
Karena
wewenang
tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh notaris bukan berasal dari suatu lembaga. Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi: 55 56
Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hal 77 Ibid, hal 77‐78
a) Kewenangan Umum Notaris; b) Kewenangan Khusus Notaris; c) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian. Kewenangan umum notaris menurut undang-undang ini diatur dalam Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. Sehubungan dengan kewenangan notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, maka dalam Pasal 15 ayat (2) dijelaskan bahwa notaris berwenang pula: a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d) Melakukan pengesahan kecocokan foto copy dengan surat aslinya; e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau g) Membuat akta risalah lelang. Jabatan
notaris
juga
memiliki
larangan
didalam
menjalankan jabatannya. Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh notaris, jika larangan ini
dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Pasal 17 UUJN menyebutkan, notaris dilarang: a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alas an yang sah; c. merangkap sebagai pegawai negeri; d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat; f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan notaris; h. menjadi notaris pengganti; atau i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris. 2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Notaris Undang-undang No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur tentang kewajiban yang harus dijalankan oleh notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16: 1) Dalam menjalankan jabatannya notaris berkewajiban:
a) bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum; b) membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c) mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alas an untuk menolaknya; e) merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f) menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g) membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau diterimanya surat berharga; h) membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; i) mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Wasiat, yaitu departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k) Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l) Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; m) Menerima magang calon Notaris. 2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. 3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta: a) pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b) penawaran pembayaran tunai; c) protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d) akta kuasa;
e) keterangan kepemilikan; atau f) akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan berlaku untuk semua”. 5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap. 6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri. 7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf I tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.
Sesuai ketentuan didalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 19 UUJN, seorang notaris wajib untuk mempunyai tempat kedudukan dan tempat tinggal yang sebenarnya dan tetap mengadakan kantor dan menyimpan aktanya di tempat-tempat kedudukan yang ditunjuk baginya. Selain itu, seorang notaris wajib membuat daftar surat wasiat dan memberitahukan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya
kepada
yang
berkepentingan.
Kewajiban notaris lainnya adalah memberikan laporan setiap pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang dilakukan dihadapan mereka kepada Balai Harta Peninggalan.
Notaris juga wajib mencatat akta-akta dibawah tangan yang disahkan dan menyampaikan salinan yang sebenarnya diakui sah dari repertorium dan daftar-daftar lainnya dari akta-akta yang dibuat dihadapannya selama tahun yang lampau. Sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b UUJN, jika selama tahun yang lampau tidak ada pembuatan akta oleh notaris maka notaris yang bersangkutan dalam jangka waktu yang sama wajib menyampaikan sesuatu keterangan mengenai hal tersebut. Notaris juga wajib memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada mereka yang membutuhkan dan yang bersangkutan menyatakan ketidakmampuannya menurut cara yang disebutkan didalam Pasal 875 KUH Perdata, sebagaimana bunyi Pasal 37 UUJN yang menyebutkan: Notaris wajib memberikan jasa hukum dibidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya dituntut untuk dapat bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan yang pasti Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab tersebut dapat diartikan sebagai kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Pertanggung jawaban merupakan tindakan member penjelasan yang dapat dibenarkan baik secara moral ataupun secara hukum.57 57
Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal 49
Pengertian tanggung jawab notaris adalah kesediaan dasariah seorang notaris untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ketentuan yang berlaku sebagaimana tertuang dalam UUJN Pasal 16 ayat (1) dan Kode Etik Notaris. Notaris dapat menjalankan tugas dan jabatannya harus bertanggung jawab, artinya: 1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya. 2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ngada. Notaris menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. 3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.58 Tanggung
jawab
hukum
seorang
notaris
dalam
menjalankan jabatannya digolongkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Tanggung jawab hukum perdata yaitu apabila notaris melakukan kesalahan
karena
ingkar
janji
sebagaimana
yang
telah
58
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya BAkti, Cetakan ke III 2006), hal 93
ditentukan dalam ketentuan Pasal 1365 KUHP Perdata. Terhadap kesalahan tersebut telah menimbulkan kerugian pihak klien atau pihak lain. 2. Tanggung jawab pidana bilamana notaris telah melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain. Norma moral yang merupakan ukuran bagi notaris untuk menentukan benar salahnya atau baik buruknya tindakan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya berkaitan erat dengan tanggung jawab etis seorang notaris. Tanggung jawab ini meliputi 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Apabila tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan kemampuan akal budinya berfungsi secara normal. 2. Apabila
seorang
notaris
melakukan
pelanggaran
dengan
kemauan bebas. 3. Terdapat suatu kesengajaan dengan maksud jahat yang dilakukan notaris. Tanggung jawab notaris dari segi etika meliputi ketaatan terhadap sumpah jabatan notaris dalam hal ini merupakan landasan
bagi
kode
etik
profesi.
Sumpah
jabatan
notaris
merupakan dasar bagi berlakunya kode etik profesi bagi mereka yang mengucapkannya, yaitu yang diatur dalam Pasal 4 UUJN.
Tanggung jawab notaris juga terdapat dalam Pasal 65 UUJN yang menentukan bahwa: “Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol Notaris diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol.” Protokol
Notaris
adalah
kumpulan
dokumen
yang
merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris. Pasal 1 ayat (13) UUJN. Protokol tersebut wajib dirawat dan disimpan dengan baik oleh notaris yang bersangkutan atau oleh notaris pemegang protokol, dan akan tetap berlaku selama sepanjang jabatan notaris masih tetap diperlukan oleh negara. protokol notaris terdiri dari : 1. Bundel minuta akta. 2. Daftar akta (Repertorium). 3. Buku daftar untuk surat di bawah tangan yang disahkan dan ditandatangani dihadapan Notaris (legalisasi). 4. Buku daftar untuk surat di bawah tangan yang dibukukan (waarmeking). 5. Buku daftar Protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga. 6. Buku daftar wasiat. 7. Daftar klaper untuk para penghadap. 8. Daftar klaper untuk surat di bawah tangan yang disahkan dan ditandatangani dihadapan Notaris. 9. Daftar klaper untuk surat di bawah tangan yang di bukukan. 10. Daftar surat lain yang diwajibkan oleh UUJN. Dalam hal ini pembuat Pasal 65 UUJN menilai bahwa : 1. Mereka yang diangkat sebagai notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris dianggap sebagai menjalankan tugas pribadi seumur hidup, sehingga tanpa batas waktu pertanggungjawaban.
2. Pertanggungjawaban notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris dianggap melekat kemana pun dan di mana pun mantan notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris berada.59
Setiap orang yang mengemban atau memangku jabatan tertentu dalam bidang apapun sebagai pelaksanaan dari suatu struktur negara, pemerintah atau organisasi mempunyai batasan. Ada batasan dari segi wewenang, ada juga dari segi waktu, artinya sampai batas waktu kapan jabatan yang diemban oleh seseorang harus berakhir. Dan produk dari suatu jabatan, misalnya, surat keputusan yang dibuat dan ditandatangani oleh pemangku suatu jabatan, maka surat keputusan tersebut harus sesuai dengan wewenang
yang
dimiliki
oleh
jabatan
tersebut
dan
surat
keputusannya akan tetap berlaku (mengikat) meskipun pejabat yang menjabat suatu jabatan sudah tidak menjabat lagi. Oleh karena itu, setiap jabatan apa pun mempunyai batasan waktu pertanggungjawabannya, yaitu sepanjang yang bersangkutan menjabat oleh karena apabila jabatan yang dipangku seseorang
telah
habis,
yang
bersangkutan
berhenti
pula
pertanggungjawabannya dalam jabatan yang pernah dipangkunya. Khusus untuk notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris pertanggungjawabannya tersebut 59
Habib Adji, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Op. Cit., hal 43‐44
mempunyai batas sesuai dengan tempat dan kedudukan wilayah jabatan. Berdasarkan konsep jabatan seperti tersebut, notaris sebagai suatu jabatan (sehingga aturan hukum mengenai notaris, yaitu UUJN, bukan undang-undang profesi notaris dan bukan undang-undang profesi jabatan notaris) mempunyai batasan dari segi wewenangnya, yaitu sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. C. Hak yang Dimiliki Notaris 1. Hak Ingkar Notaris Dasar filosofi hak ingkar bagi jabatan-jabatan kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat, agar apabila seseorang yang berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi seseorang
kepercayaan
untuk
mendapatkan
bantuan
yang
dibutuhkannya di bidang yuridis, medis atau kerohanian dengan keyakinan bahwa ia akan mendapat nasehat-nasehat, tanpa yang demikian itu akan merugikan baginya. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 16 UUJN yang menyatakan bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut.
Menurut symposium hak ingkar notaris diselenggarakan oleh Komisariat Ikatan Notaris Jawa Timur tanggal 11 Desember 1982, hak ingkar notaris bukan hanya merupakan hak namun merupakan kewajiban karena apabila dilanggar akan terkena sanksi.60 Senada dengan pendapat tersebut adalah pendapat G.H.S Lumban Tobing, dengan mendasarkan pada pendapat Pitlo dan Asser.61 Ruang Lingkup Hak Ingkar Notaris, yaitu : 1.) Yang Wajib Dirahasiakan Notaris. Berdasarkan bunyi sumpah jabatan notaris, maka yang wajib dirahasiakan adalah terbatas pada isi akta-akta (Peraturan Jabatan Notaris) yang selanjutnya perluas menjadi isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan (UUJN). Sebelum berlaku UUJN, pada masa berlakunya Peraturan Jabatan Notaris, yang wajib dirahasiakan hanya meliputi “isi akta” saja. Namun kini telah disempurnakan oleh UUJN yang juga
memasukkan
keterangan
yang
diperoleh
dalam
pelaksanaan jabatan selain isi akta sebagai hal-hal yang wajib dirahasiakan oleh notaris. 2.) Pihak terkait dengan Hak Ingkar Notaris. 60
A.Kohar, Hak Ingkar Notaris Disimposiumkan, tulisan dalam Notaris Berkomunikasi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1984), hal 157 61 Lumban Tobing, Op. Cit., hal 124‐126
Notaris sebagai pejabat kepercayaan, wajib merahasiakan semua yang diberitahukan kepadanya selaku notaris. Kewajiban tersebut tidak hanya wajib dilaksanakan oleh notaris namun juga oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan notaris, antara lain karyawan kantor notaris. Hak ingkar menurut Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris adalah hak untuk tidak berbicara sekaligus merupakan kewajiban untuk tidak berbicara. Pengecualian
dari
kewajiban untuk
tidak
berbicara
dan
merupakan suatu kewajiban dijamin dan diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dikecualikan terhadap mereka karena pekerjaan, harkat dan martabatnya atau jabatannya diwajibkan untuk menyimpan rahasia jabatan. Namun hak ingkar ini dengan berlakunya Pasal 66 UUJN tidak lagi memberikan hak ingkar yang absolute, karena dengan berlakunya Pasal 66 UUJN, notaris tetap dapat dan wajib memberikan
keterangan
berdasarkan
pengetahuannya
mengenai akta-akta yang pernah dibuatnya dengan persetujuan dari
MPD
selaku
lembaga
yang
berwenang
memberikan ijin pemeriksaan terhadap notaris.
2. Hak Cuti
didalam
Selama menjalankan tugas jabatannya, notaris berhak mengajukan cuti, yang dapat diambil setelah menjalankan tugas jabatan selama 2 (dua) tahun (Pasal 25 ayat (3) UUJN). Jumlah keseluruhan cuti yang diambil notaris tidak lebih dari 12 (dua belas) tahun (Pasal 26 ayat (3) UUJN). Sesuai dengan karakter jabatan notaris, yaitu harus berkesinambungan selama notaris masih dalam masa jabatannya, maka notaris yang bersangkutan wajib menunjuk notaris pengganti.62 Permohonan cuti sebagaimana dimaksud di atas diajukan kepada pejabat yang berwenang, berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUJN menyebutkan: a. Majelis Pengawas Daerah, dalam hal jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 (enam) bulan; b. Majelis Pengawas Wilayah, dalam hal jangka waktu cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun; atau c. Majelis Penagawas Pusat, dalam jangka waktu cuti lebih dari 1 (satu) tahun. Mengenai cuti perlu diberikan tafsiran tersendiri, yaitu cuti yang diajukan oleh seorang notaris karena yang bersangkutan diangkat menjadi pejabat negara. Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian, menyebutkan pejabat negara adalah pimpinan dan anggota 62
Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., hal 102
lembaga tertinggi dan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-udang. UUJN juga mengatur untuk notaris yang diangkat menjadi pejabat negara. Jika notaris merangkap dengan jabatan negara, hal ini merupakan alasan untuk memberhentikan sementara notaris dari jabatannya. Selain UUJN, mengenai cuti notaris yang rangkap jabatan menjadi pejabat negara juga diatur dalam Pasal 36-39 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Replubik Indonesia Nomor M.01.HT.03.01 Tahun 2006, Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, dan Pemberhentian Notaris. 3. Honorarium Honorarium berasal dari kata latin honor kehormatan,
kemuliaan,
tanda
yang artinya
hormat/penghargaan.
Semula
mengandung pengertian balas jasa para nasabah atau klien kepada dokter, akuntan, pengacara dan notaris. Kemudian pengertian itu meluass menjadi uang imbalan atau jasa hasil pekerjaanseseorang yang tidak berupa gaji tetap. Umpamanya, honorarium
untuk
pengarang,
penerjemah,
illustrator,
atau
konsultan. 63 Honorarium hanya diberikan kepada mereka yang menjalankan tugas jabatan berdasarkan peraturan perundang 63
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hal 312
undangan, sedangkan sucses fee diberikan kepada mereka yang menjalakan profesi. Notaris selama menjalankan tugas jabatannya, meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak mendapat gaji dari pemerintah atau uang pensiun dari pemerintah, sehingga honorarium yang diterima notaris sebagai pendapatan pribadi notaris yang bersangkutan.64 Notaris berhak menerima honorarium atas hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya. Besarnya honorarium yang diterima oleh notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya. (Pasal 36 ayat (1) dan (2) UUJN. Honorarium itu hak notaris, artinya orang yang telah membutuhkan jasa notaris wajib membayar honorarium notaris, meskipun demikian notaris berkewajiban pula untuk membantu secara cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu memberikan honorarium kepada notaris. (Pasal 37 UUJN).
D. Tinjauan Umum Mengenai Dewan Perwakilan Rakyat 1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat
64
Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hal 108
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Dasar 45. DPR merupakan lembaga tinggi negara yang juga bagian dari lembaga tinggi MPR, berdasarkan Pasal 2 Undangundang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Dengan rumusan seperti itu dapat dikatakan bahwa DPR yang dipilih melalui pemilu memiliki fungsi yang mencakup tiga hal pokok, yaitu : legislasi, anggaran dan pengawasan, dan memiliki hak yaitu: interpelasi, angket dan menyatakan pendapat.65 Pengertian legislasi ialah yang membuat/pembuat undangundang. 66 Hak interpelasi adalah permintaan keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah dibidang tertentu oleh badan anggota legislatif.67 Sedangkan hak angket menurut kamus hukum ialah: daftar pertanyaan tertulis mengenai masalah tertentu dengan ruang untuk jawaban bagi setiap pertanyaan, pemeriksaan saksi-saksi di persidangan perkara perdata, baik yang diajukan oleh penggugat maupun oleh tergugat. 65
Sebastian Salang, M. Djadijono, I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan,( Jakarta: PT. Penebar Swadaya, 2009), hal 95 66 Sudarsono, Kamus Hukum, Op. Cit., hal 245 67 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., hal 336
Lembaga tinggi DPR juga memiliki hak istimewa yang disebut hak imunitas, yaitu pada prinsipnya hak imunitas, yang dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan hak kekebalan, secara konstitusional telah diatur keberadaannya dalam Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dinyatakan bahwa selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Dalam pengaturan yang lebih tegas dapat dilihat dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau saat ini masyarakat biasa menyebutnya Undang-Undang
MD3.
Dalam
ayat
(2)
ketentuan
dimaksud
dinyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan kewenangan DPR. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa selama
seorang
anggota
DPR
mengemukakan
pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis sepanjang dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR serta berkaitan erat dengan fungsi serta tugas dan
kewenangan DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan, dan inilah yang selanjutnya disebut hak imunitas. Pasal 68 Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD juga menegaskan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dengan sebutan seperti itu, kedudukan DPR sama dengan presiden. Tetapi sifat dan kedudukan seperti ini tidak berlaku untuk DPRD. Meskipun DPRD provinsi maupun kabupaten dan kota adalah lembaga perwakilan rakyat di daerah yang para anggota dipilih melalui pemilu (sama dengan DPR-RI), tetapi dalam Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD dinyatakan bahwa: 1) DPRD provinsi adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan
sebagai
unsur
penyelenggara
pemerintahan
daerah provinsi. (Pasal 291 Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD) 2) DPRD kabupaten/kota adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota. (Pasal 342 Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD) Perlu
dipahami
pula
bahwa
yang
disebut
dengan
pemerintahan itu berbeda dengan pemerintah. Istilah pemerintahan menunjuk suatu system dengan banyak lembaga sedangkan istilah pemerintah
menunjuk
suatu
badan
tertentu
dalam
system
pemerintahan. Menurut Ramlan Surbakti, pemerintahan adalah segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan dasar negara demi tercapainya tujuan negara.68 Sejak tanggal 10 Agustus 2002 yang merupakan perubahan ke IV terhadap UUD 1945, tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi atau tinggi negara, misalnya dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Sususunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah,
menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disingkat MPR) sebagai lembaga negara. Dalam aturan hukum tersebut menentukan mereka yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi negara/tertinggi negara sebagaimana tersebut di atas dikualifikasikan sebagai pejabat negara. Pengertian ini menunjuk kepada orang (subjek) hukum yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi/tertinggi negara. Penyebutan sebagai pejabat negara yang secara otonom memperoleh wewenangnya: 69 1. Berdasarkan atau mengacu kepada aturan hukum yang mengatur jabatan tersebut. 68
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hal 167‐169 69 Habib Adji, Hukum Notaris Indonesia, Op. Cit., hal 104
2. Secara hierarkis bukan bawahan pejabat negara yang lainnya. Wewenang seperti ini disebut sebagai Desentralisasi, yiatu wewenang itu secara hierarkis tidak berada di bawah suatu kekuasaan yang lebih tinggi. Wewenang Dekonsentrasi merupakan wewenang yang dapat dilaksanakan oleh mereka (para pegawai) yang secara hierarkis masih pegawai rendahan yang memiliki wewenang itu sesuai dengan atau menurut undang-undang.70 2. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Fungsi-fungsi pokok DPR mencakup 4 (empat) hal, yaitu: fungsi legilasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan serta fungsi representatif
(penyerap,
penampung
dan
penyalur
aspirasi
masyarakat).71 a. Fungsi legilasi adalah fungsi merancang, membahas dan memutuskan regulasi. Fungsi pokok DPR di bidang legilasi ini diberikan oleh Pasal 20 UUD 1945 hasil amandemen pertama. Namun fungsi ini harus dilaksanakan bersama-sama dengan presiden karena setiap undang-undang yang dikeluarkan dalam Negara Kesatuan Replubik Indonesia (NKRI) harus mendapat persetujuan bersama DPR dan presiden. (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945).
70
Phiiliphus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002), hal 72 71 Sebastian Salang, M. Djadijono, I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Op. Cit., hal 153
b. Fungsi Anggaran bagi DPR diamanatkan oleh Pasal 23 UUD 1945, yang menegaskan; 1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2) Rancangan
undang-undang
anggaran
pendapatan
dan
belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan memperhatikan pertimbangan DPD. c. Fungsi
Pengawasan
pelaksanaan
UUD
mencakup
1945,
pengawasan
Undang-undang
dan
terhadap peraturan
pelaksanaannya serta pelaksanaan kebijakan pemerintah. Namun aspek pengawasan terhadap pelaksanaan UUD 1945 itu dihilangkan oleh Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Meski ditiadakan, tetapi setiap anggota DPR diwajibkan melaksanakan UUD 1945 dan menaati peraturan perundangundangan. d. Fungsi Representasi, dalam posisi sebagai representasi rakyat itulah maka mereka sudah seharusnya menjadi penyerap, penampung, dan pemerjuang aspirasi rakyat sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkan pada saat pelantikan.72 72
Ibid, hal 189
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Status Hukum Seorang Notaris yang Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Notaris sebagai pejabat umum memiliki peranan yang sentral dalam menegakkan hukum di Indonesia, karena selain kuantitas notaris yang begitu besar, notaris dikenal masuk kelompok elit di Indonesia. Seorang yang menjabat sebagai notaris sangat diharamkan untuk berpihak kepada salah satu pihak saja, dengan kata lain seorang notaris diwajibkan pada posisi yang netral dan mencari solusi yang terbaik terhadap klien nya. Menurut Tan Thong Kie, mengatakan bahwa notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang notaris masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.73 Tan Thong Kie juga menuliskan dalam bukunya bahwa setiap masyarakat
membutuhkan
seseorang
(figur)
yang
keterangan-
keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda 73
Tan Thong Kie, Op. Cit., hal 157
tangannya serta segelnya (capnya) member jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya dihari-hari yang akan datang. Kalau seorang advokad membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu. Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh negara, baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandate. Melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan yang dibenarkan oleh hukum (Beleidsregel).74 Pejabat umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta autentik, dan notaris sebagai pejabat umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta autentik. Oleh karena itu notaris sudah pasti pejabat umum, tetapi pejabat umum belum tentu notaris, karena pejabat umum dapat disandang pula oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) atau pejabat lelang. Perkembangan dunia lembaga kenotariatan di Indonesia berkembang sangat pesat, dimana seorang notaris tidak hanya atau 74
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal 15
sekedar mencatat, melegalisasi dan membuat akta bagi para pihak yang memerlukan saja. Notaris yang saat ini diatur di dalam UUJN sejak tahun 2004, memiliki kepentingan-kepentingan dari kelanjutan jabatannya sebagai pejabat umum. Sehingga membuat seorang notaris mencalonkan diri menjadi anggota dewan (legislatif) guna memperjuangkan kepentingan dari jabatannya sebagai pejabat publik. Tepatnya pada Tahun 2009 lalu banyak notaris yang mencalonkan diri menjadi anggota dewan baik itu di pusat maupun di daerah, dimana banyak akan dilakukan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden. Khusus untuk anggota legislatif (DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi dan DPR serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD), banyak dari kalangan notaris dan PPAT melalui partai politik tertentu yang “mengadu peruntungan” untuk turut serta merebut satu kursi legislatif tersebut. Saya sebutkan “mengadu peruntungan” mungkin untuk melakukan reposisi kedudukan dari notaris/PPAT sebagai Pejabat Umum atau Pejabat Publik ke Pejabat Negara, ataupun memang terpanggil untuk berkiprah dalam dunia politik, sehingga bisa berbuat lebih banyak untuk
rakyat,
dibandingkan
dengan
notaris
yang
seringkali
mengedepankan ego pribadinya daripada melayani masyarakat. Apapun alasannya sah-sah saja, dan tidak perlu dipersoalkan, karena semuanya akan kembali kepada yang menjalaninya.
Masalah rangkap jabatan pernah menjadi perdebatan serius dalam jagad perpolitikan nasional. Muaranya adalah penolakan bagi seseorang yang menduduki posisi ganda, entah itu diposisi eksekutif maupun legislatif dan disaat yang sama dianya memimpin partai politik. Sebab, dipandang bahwa tidak etis dua jabatan dipimpin atau dikendalikan oleh satu orang. Selain sangat berpotensi terjadinya benturan kepentingan yang bisa saja merugikan kepentingan yang sifatnya lebih besar, juga diyakini masih banyak anak bangsa yang bisa menduduki jabatan tersebut. Sekali lagi, model rangkap jabatan yang paling disorot adalah dalam bentuk jabatan eksekutif dan legislatif. Perdebatan yang cukup panjang mengenai rangkap jabatan seperti yang penulis singgung diatas adalah tentang rangkap jabatan notaris yang menjadi pejabat negara. Secara umum tidak ada perdebatan mengenai dilarangnya rangkap jabatan notaris dengan pejabat negara apabila dilihat dari UUJN saja, dimana berdasarkan UUJN dalam Pasal 17 huruf d juncto Pasal 11 ayat (1) mengenai larangan notaris yang merangkap jabatan sebagai pejabat negara dan apabila notaris tersebut terpilih menjadi pejabat negara maka notaris tersebut wajib mengambil cuti selama menjabat sebagai pejabat negara tersebut. Permasalahan perdebatan muncul setelah adanya undangundang Pemilu tahun 2008, dimana dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l,
yang mengatakan bahwa mereka yang mau mencalonkan menjadi anggota DPR (pejabat negara) harus membuat pernyataan bersedia untuk tidak berpraktek sebagai notaris. Artinya notaris yang terpilih menjadi anggota DPR tidak boleh membuka kantornya dengan kata lain tidak berpraktek. Pada satu sisi undang-undang Pemilu menghendaki agar anggota DPR, dilarang sama sekali menjalani jabatannya sebagai notaris dan bahkan dilarang membuka kantor notaris nya selama ia menjadi
anggota
DPR,
karena
kekhawatiran
terjadinya
penyalahgunaan dalam praktek notaris ketika seseorang menjadi pejabat negara. Disamping itu dikhawatirkan tidak terkonsentrasinya anggota DPR untuk menjalani kedua tugas profesi yang berat itu pada waktu yang bersamaan. Mengenai larangan terhadap notaris, lebih tepatnya lagi mengenai larangan rangkap jabatan yang dimaksud penulis ialah notaris dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara. Seperti yang terdapat dalam Pasal 17 huruf d UUJN. Apabila notaris tersebut terpilih menjadi pejabat negara, maka notaris tersebut diwajibkan mengajukan cuti (Pasal 11 ayat (1) UUJN) kepada MPP sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) huruf c UUJN. Yaitu mengenai permohonan cuti notaris yang jangka waktunya lebih dari 1 (satu) tahun. Mengingat masa jabatan pejabat negara ialah 5 (lima) tahun.
Dalam aturan hukum menentukan mereka yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi negara/tertinggi negara sebagaimana tersebut di atas dikualifikasikan sebagai pejabat negara. Pengertian ini menunjuk kepada orang (subjek) hukum yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi/tertinggi negara. Kedudukan sebagai pejabat negara tidak hanya dapat diisi atau dipangku oleh mereka yang berkarir dalam pemerintahan (sebagai pegawai negeri), kedudukan tersebut dapat diisi pula oleh mereka yang berjuang melalui sarana partai politik atau juga oleh mereka yang tidak merintis karir sebagai pegawai negeri atau melalui partai politik, tapi melalui cara lain, misalnya dalam pengangkatan Hakim Agung yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), disamping menerima calon yang berasal hakim karir, juga menerima mereka yang bukan berasal dari hakim karir. Jabatan seperti itu dapat disebut sebagai Jabatan Politik. Disebut sebagai Jabatan Politik bukan saja dari cara meraihnya, tapi sebagai jabatan yang strategis dalam pengambilan kebijakan atau keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pejabat negara yang dimaksud penulis dalam karya tulis nya disini adalah anggota DPR, penulis tidak menyebut pejabat negara disebut dengan istilah yang lebih umum seperti anggota dewan atau anggota legislatif karena yang termasuk lembaga legislatif ialah lembaga yang membuat peraturan-peraturan baik di daerah maupun pusat. Contoh lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),
lembaga DPRD tidak termasuk pejabat Negara karena selain tidak termasuk dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kepegawaian, mengenai lembaga yang termasuk pejabat Negara. DPRD Menurut UndangUndang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD Kota berhak meminta pejabat negara tingkat Kota, pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. DPRD termasuk lembaga legislatif, tetapi DPRD bukanlah pejabat negara. Maka notaris yang merangkap sebagai pejabat negara dimaksud dalam karya tulis ini ialah DPR. Notaris Suyanto di Semarang, dikesibukannya sebagai notaris yang kebetulan pada saat diwawancarai sedanga ramai klien, diminta penulis berkomentar mengenai rangkap jabatan di atas. Menurut beliau, apabila anda tanya masalah status hukum terhadap notaris yang menjadi anggota DPR, apakah harus cuti atau berhenti. Sebagai MPD (Suyanto juga menjabat sebagai anggota MPD), maka saya harus tunduk terhadap UUJN sabagai hukum formil yang mengatur tentang jabatan notaris, yaitu notaris tersebut diwajibkan mengajukan cuti kepada MPP dan menunjuk notaris pengganti selama menjabat menjadi anggota dewan. Sesuai Pasal 11 ayat (1 dan 2) UUJN. Namun Notaris Suyanto yang juga sebagai dosen pengampu mata kuliah Peraturan Jabatan Notaris dan Pembuata Akta Umum
(PAU) di Universitas Diponegoro mempunyai pendapat pribadi, yaitu notaris tersebut haruslah berhenti. Menurut pendapat Notaris Suyanto, dengan hanya cuti berarti kantornya notaris tersebut masih tetap buka, dimana kantornya terdapat notaris pengganti yang ditunjuk oleh notaris yang terpilih menjadi anggota DPR. Dengan kata lain, yang cuti hanya jabatanya saja, sedangkan orangnya tetap sebagai notaris. Jadi notaris tersebut tidak hanya mengajukan cuti kepada majelis pengawas, namun berhenti dari jabatannya sebagai notaris. Seminggu sebelum penulis mewawancarai Notaris Suyanto, terlebih dahulu mewawancarai notaris lain yaitu Notaris Ngadino di Semarang. Di kantornya, penulis minta pendapatnya terhadap notaris yang
terpilih
menjadi
anggota
DPR,
apakah
hanya
dengan
mengajukan cuti kepada MPP atau tidak berpraktek berdasarkan Undang-undang Pemilu. Notaris Ngadino berpendapat, di Indonesia terdapat salah satu sumber dari segala peraturan yang ada, atau disebut juga Groundnorm. Sumber peraturan itu digunakan sebagai acuan terhadap peraturan perundang-undang di bawahnya. Sumber peraturan yang dimaksud setelah Pancasila yaitu Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945, menurut Notaris Ngadino bersifat fleksibel, mengapa yang di bawahnya tidak fleksibel. Dengan kata lain mana undang-undang yang dipakai dalam menyikapi persoalan
rangkap jabatan tidak usah dibikin permasalahan yang panjang dan rumit, selama tidak menyimpang dari UUD 1945 itu sendiri. Sama halnya dengan Notaris Suyanto, Notaris Ngadino juga punya pendapat pribadi soal notaris yang menjadi anggota DPR, bukan maksud merendahakan kredibilitas sesama rekan notaris. Namun, seharusnya rekan notaris harus memilih salah satu. Dengan hanya cuti berarti notaris yang menjadi anggota DPR tetap sebagai pejabat umum, hanya saja dia tidak dapat menanda tangani akta, kata beliau. Di samping itu hanya dengan mengajukan cuti, ditakutkan akan mengurangi eksistensi dari seorang notaris yang menjabat juga menjadi anggota DPR. Menjadi dilematis, ketika memiliki pendapat menurut hati nurani dan kenyataan di lapangan bertentangan dengan sistem atau peraturan yang berlaku. Sama hal nya dengan kedua pendapat notaris diatas, mereka memiliki pendapat pribadi yang sama mengenai notaris yang menjadi DPR haruslah berhenti. Kedua nya juga berpendapat bahwasanya notaris yang menjadi anggota DPR apabila hanya mengajukan cuti, berarti notaris tersebut hanya tidak dapat membuat akta dan menandatanganinya, namun notaris tersebut tetap saja menjabat sebagai pejabat umum. Penulis menyimpulkan dari kedua pendapat notaris di atas, yaitu dengan masih terpajangnya papan nama dan terbukanya kantor notaris yang cuti selama menjadi anggota DPR, maka notaris masih
menerima klien. Bedanya notaris penerima protokol yang melayani, namun notaris penunjuk masih mendapatkan honor dari klien notaris pengganti. Mengenai honor, menurut Notaris Suyanto biasanya dilakukan sesuai kesepakatan antara notaris penunjuk dengan notaris pengganti. Mengenai notaris harus berhenti dari jabatannya apabila terpilih menjadi DPR juga diungkapkan Notaris Habib Adji yang kedudukan kerjanya di Kota Surabaya. Habib Adji mengatakan bahwasanya aturan hukum yang mengatur kedudukan notaris yang menjadi anggota DPR tersebut secara substansi sangat berbeda. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Untuk notaris wajib mengangkat notaris pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai notaris (Pasal 11 ayat (3) juncto (6) UUJN), sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu, notaris dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris. Jika menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Untuk Notaris wajib mengangkat notaris pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) jo (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa notaris yang bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya
dan namanya dipakai oleh notaris pengganti, artinya papan namanya sebagai notaris tetap ada (dipasang) atau tidak diturunkan. Berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undangundang Pemilu, notaris dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris sama sekali, artinya kalaulah notaris yang menjadi anggota legistif tersebut dengan memakai notaris penggganti masih dikategorikan praktek atau menjalankan tugas jabatannya, maka menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu dilarang praktek, dengan kata lain notaris yang bersangkutan bukan lagi harus cuti, tapi harus mengundurkan diri atau berhenti tetap sebagai notaris dan menyerahkan protokolnya kepada notaris lain dan menurunkan papan namanya dan menutup kantornya. Karena mengundurkan diri, maka dengan konsekuensi hukum, jika setelah menjalankan tugas sebagai anggota legislatif, akan praktek kembali sebagai notaris, maka kepada yang bersangkutan akan dikategorikan sebagai notaris baru yang harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai notaris baru, misalnya harus melihat formasi pengangkatan notaris, dengan kata lain tidak lain tidak diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakukan khusus kepada yang bersangkutan. Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai di atas tidak sejalan, yaitu menurut menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) jo ayat (3) dan (6) UUJN) cukup cuti saja, dan setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat Keputusan (SK-nya) untuk
menjalani tugas jabatan sebagai notaris, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu, notaris dilarang berpraktek. Dengan menggunakan Asas Preferensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu harus ditempatkan sebagai aturan hukum yang khusus (lex spesialis), yang mengatur secara khusus mengenai persyaratan sebagai anggota legislatif, maka notaris yang terpilih sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai notaris.75 Winanto Wiryomartani, wakil ketua Majelis Pengawas Pusat juga mengatakan hal sama dengan para notaris diatas. Bahwa notaris yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif harus lah berhenti. Dalam UUJN telah diatur soal rangkap jabatan. Apabila notaris rangkap jabatan lain, ini diatur dalam mekanisme mengenai cuti. Dikatakan bahwa cuti diberikan oleh tiga institusi. Apabila cuti itu sampai dengan 6 (enam) bulan lamanya, itu jadi kewenangan MPD. Untuk jangka waktu 6 bulan hingga 1 tahun, kewenangan MPW, dan di atas satu tahun, menjadi kewenangan MPPN. Terpenting, cuti tidak bisa dipilah-pilah. Maksudnya, seorang menjadi pejabat negara, misalnya jadi bupati, gubernur, dan lainnya dia memiliki cuti 5 (lima) tahun. Itu harus diambil sekaligus. Dalam penjabarannya tidak dikenal perpanjangan cuti, maksudnya si A cuti 3 75
www.habibadji.”Notaris Menjadi Pejabat Negara”.com
(tiga) bulan dari MPD, kemudian memperpanjang masa cuti 2 (dua) bulan lagi. Itu tidak bisa, karena dalam UUJN setiap cuti dibuat dalam satu berita acara serah terima dan yang menerima notaris pengganti harus diambil sumpah. Jadi, dalam hal itu, rentang waktunya sudah jelas, protokolnya jelas. Cuti paling lama dalam masa jabatan notaris, hanya diperbolehkan selama 12 (dua belas) tahun. Undang-undang Pemilu dikatakan bahwa notaris yang menjadi caleg, harus berhenti. Sedangkan dalam UUJN diperbolehkan untuk mengambil cuti. Dengan adanya dua peraturan perundangan ini, harus ditinjau sejauh mana pemahamannya itu, karena ada dua perbedaan yang
mendasar.
Jadi
aksioma
hukumnya,
mana
yang
harus
diutamakan kalau ada 2 (dua) undang-undang yang mengatur hal yang sama. Aksioma hukum, tentulah undang-undang yang terakhir yang berlaku. Artinya notaris harus berhenti. Setiap permasalahan selalu ada pro dan kontra. Mengenai permasalahan rangkap jabatan oleh notaris, berbeda lagi menurut pendapat Lumassia. Seorang notaris yang kedudukan kerjanya di Jakarta Pusat ini memiliki sudut pandang yang berbeda dengan rekanrekan notaris di atas. Menurut dia, yang menjadi polemik sebenarnya hanya mengenai pemaknaan kata “untuk tidak berpraktek”, yang diartikan sebagai berhenti atau cuti. Sesuai Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu, khusus untuk notaris, dinyatakan bersedia untuk tidak berpraktek.
Tidak berpraktek itu, bukannya harus berhenti, tetapi untuk jabatan notaris adalah cuti. Karena lembaganya ada dan diatur pula adanya notaris pengganti. Dalam hal ini apa perbedaannya dengan notaris yang sakit atau jalan ke luar negeri, menurut komentar Lumassia di dalam majalah
Renvoi
edisi
yang
sama
dengan
komentar
Winanto
Wiryomartani di atas. Notaris yang keluar negeri aja bisa mengajukan cuti, dan itu dimungkinkan dalam UUJN. Sedangkan menjabat sebagai anggota dewan mengemban jabatan mulia dan akan memperjuangkan profesi permanennya (notaris), serta secara keilmuan bisa memberikan kontribusi yang berkualitas untuk kepentingan negara. Jabatan notaris ada karena undang-undang dan peraturan, sedangkan undang-undang dan peraturan tersebut dibuat dan digodog dilembaga tersebut. Untuk itu menurut Lumassia notaris perlu menjadi bagian dari lembaga ini. Seharusnya, kalau melihat latar belakangnya seperti itu, rekan-rekan seprofesi bersikap bijak dan berwawasan jauh kedepan. Setidaknya dengan meberi support atau dukungan kepada rekan-rekannya yang menjadi caleg. Bukannnya malah membangun opini yang kurang baik, menurut Notaris Lumassia. Jadi di sini tidak secara eksplisit menyebutkan rangkap jabatan sebagai anggota dewan. Harus dibedakan, dalam Undang-undang Pemilu tidak ada yang menyatakan harus berhenti, tetapi tidak boleh berpraktek. “Tidak boleh berpraktek” dan “berhenti” harus dibedakan.
Seperti halnya pegawai negeri yang terlibat dalam sebuah kasus, atau dalam proses hukum, tidak otomatis berhenti. Tapi di non jobkan. Mengenai notaris tidak berpraktek itu harus diartikan, tidak membuat akta. Bukan SK-nya dicabut. Berbeda dengan pegawai negeri, TNI dan lainnya, yang harus mengundurkan diri dan tidak bisa ditarik lagi. Pendapat dari Notaris Lumassia juga didukung oleh pakar hukum dan juga guru besar Universitas Gajah Mada Bambang Poernomo memiliki sudut pandang tersndiri mengenai permasalah ini dengan mengatakan, gunakanlah undang-undang yang menguntukan. Jabatan notaris itu, hukumnya termasuk lex specialist. Jadi kalau mereka mencalonkan diri sebagai anggota dewan harus mengingat peraturan tentang profesi notaris, dalam hal ini UUJN. Kalau notaris ini memasuki jabatan lain dan sifatnya sementara, maka notaris tersebut bisa cuti. Lain halnya, kalau jabatan itu permanen atau tetap, maka notaris tersebut harus melepaskan jabatannya sebagai notaris. Berdasarkan asas umum, contohnya Pasal 1 ayat (2) KUH Perdata,
kalau
ada
dua
peraturan,
satu
diantaranya
yang
menguntungkan, itu yang dipilih. Maksudnya menguntungkan notaris yang bersangkutan. Kalau ada anggota notaris yang menjadi anggota dewan tentunya sangat baik. Karena anggota dewan itu harus berbobot. Dari sisi pendidikan, notaris itu sudah mendukung. Bambang Poernomo sepakat saja, yang penting nanti bisa kembali
secara otomatis ataupun diproses kembali menjabat sebagai notaris. Jadi tidak diberhentikan secara permanen. Kalau sesudah menjadi anggota dewan terus luntang-lantung, kan ya tidak baik. Itu namanya bukan hukum yang baik, ujarnya. Setelah mengkaji dan memperhatikan pendapat para ahli, penulis berpendapat atas permasalahan di atas. Bahwa seorang notaris yang terpilih menjadi anggota DPR tidak harus berhenti berdasarkan merupakan
Undang-undang sebuah
jabatan
Pemilu. yang
Karena diangkat
jabatan oleh
notaris
pemerintah
berdasarkan UUJN. Jadi notaris dalam menjalankan jabatannya tunduk dengan UUJN. Soal rangkap jabatan juga sangat jelas diatur dalam UUJN, yaitu Pasal 17 huruf d juncto Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3). Mengenai larangan notaris merangkap jabatan sebagai pejabat negara dan wajib mengangkat notaris pengganti yang akan menerima protokolnya, setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai pejabat negara, maka notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai notaris. Hal ini guna menjaga kesinambungan jabatan notaris. Sehingga UUJN merupakan lex specialist, sedangkan Undang-undang Pemilu lex generali. Dari keempat notaris yang berkomentar menurut pendapat pribadi di atas, cuman satu yang berbeda pendapat soal kelangsungan sesama rekan notaris yang terpilih menjadi anggota DPR. Pada kenyataannya saat ini notaris yang duduk di Senayan mengaju kepada
UUJN, berarti hanya mengajukan cuti. Tindakan yang dilakukan notaris tidak melanggar hukum, juga sangat tidak mungkin seorang notaris mempertaruhkankedudukan jabatannya yang sudah diperoleh karena menjadi anggota DPR yang sifatnya tidak permanen. Tugas
notaris
sebagai
pejabat
umum
ialah
melayani
masyarakat yang berkepentingan. Sebagai pelayan, tentunya sangat mulia tugas yang dipikul oleh notaris. Dengan mengacu terhadap UUJN yang notabene sebuah peraturan yang mengatur akan jabatannya,
menurut
penulis
tidak
melanggar
hukum
apabila
mengesampingkan Undang-undang pemilu soal rangkap jabatan. Dan juga tidak adda pihak yang dirugikan apabila notaris yang menjadi anggota DPR mengajukan cuti, dengan kata lain tidak berhenti. Tujuan utama dari hukum itu ada ialah kepastian hukum, keadilan bagi sebagian besar masyarakat, dan yang terakhir member manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Hukum diciptakan bukan untuk memperburuk keadaan, melainkan memberikan ketiga poin dari tujuan hukum di atas. Indonesia merupakan sebuah negara hukum, namun menurut Satjipto Rahardjo, guru besar Unversitas Diponegoro berpendapat yaitu sudah enampuluh tahun lebih bangsa Indonesia bernegara hukum, tetapi sesudah negara itu berdiri pada tahun 1945, ternyata masih banyak hal yang perlu diperjelas dan dimantapkan. Negara hukum Indonesia tidak statis dan merupakan sebuah bangunan yang selesai sejak dilahirkan. Risalah ini menjawab dengan
mengatakan, kita bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagia dalam negara hukum Indonesia. 76 Penulis juga bermaksud menyinggung lembaga legislatif, baik yang berada di Senayan maupun di Daerah. Sehubungan dengan teori yang dikemukakan pak Cip (panggilan akrab Prof. Satjipto Rahardjo) mengenai negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, maka sepatutnya lembaga legislatif sebagai organ negara yang fungsinya membuat peraturan perundangan membahagiakan rakyatnya. Dengan kata lain, agar tidak membuat peraturan yang dapat menimbulakan masalah baru, seperti hal nya masalah rangkap jabatan terhadap notaris yang diatur dalam UUJN dan Undang-undang Pemilu namun berlawanan isi nya. Pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, DPR juga harus menganut pula prinsip-prinsip seperti berikut : 1) Jelas, dalam arti sederhana, singkat, dan tidak berbelit-belit serta tidak menimbulkan makna ganda atau menimbulkan banyak penafsiran; 2) Teliti, dalam arti perlu secara rinci menjelaskan perintah, larangan atau kebolehan. Maksudnya adalah agar pihak yang dituju dapat mengetahui secara tepat hal-hal yang diperintahkan, dilarang, atau diperbolehkan; dan 76
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), hal 107
3) Konsisten, dalam arti menggunakan satu kata untuk menyatakan maksud yang sama.77 Berdasarkan prinsip-prinsip dalam membuat undang-undang di atas diterapkan, maka permasalahan mengenai rangkap jabatan di atas tidak menjadi polemik yang berkepanjangan bagi notaris yang menjadi anggota DPR.
B. Pertanggung Jawaban Terhadap Akta yang Dibuat Oleh Notaris Sebelum Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kehadiran notaris karena dikehendaki oleh masyarakat umum, sebagaimana UUJN mengisyaratkannya demikian. Oleh karena itu, keberadaan notaris dan pengangkatannya oleh penguasa yang berwenang untuk itu berdasarkan undang-undang, bukan untuk kepentingan pribadi dari orang yang diangkat sebagai notaris tadi, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang harus dilayani olehnya. Salah satu tugas utama dari seorang notaris ialah membuat alat bukti tertulis dan autentik yang diminta oleh masyarakat sebagai perwujudan adanya perbuatan hukum dan digunakan sebagai alat bukti yang dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum dari yang berkepentingan. 77
Rival Gulam, Bivitri Susanti, Manual Perancangan Peraturan Untuk Transformasi Sosial, (Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2005), hal 56
Keberadaan
akta
autentik,
baik
karena
undang-undang
mengharuskannya alat bukti untuk perbuatan tertentu itu (dengan diancam kebatalan jika tidak dibuat dengan) akta autentik. Atau karena pihak-pihak yang berkepentingan, menghendakinya agar perbuatan hukum mereka itu dituangkan dan diwujudkan dalam bentuk akta autentik. Namun, baik karena memenuhi perintah undang-undang maupun
karena
permintaan
para
pihak
yang
berkepentingan,
terwujudnya akta autentik, mutlak itu adalah kehendak dan merupakan (bukti) perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan. Bukan perbuatan hukum pejabat umum. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan
dengan
kebenaran
materiil
suatu
akta,
Nico
membedakannya menjadi empat poin, yakni: 78 1) Tanggung jawab
notaris secara perdata terhadap kebenaran
materiil terhadap akta yang dibuatnya 2) Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya 3) Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya 4) Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.
78
Lihat Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center For Documentation and Studies of Business Law, 2003)
Dapat
dibayangkan
seandainya
dokumen-dokumen
yang
tercatat di negara memiliki banyak kesalahan, maka akan banyak orang yang dirugikan. Disitulah peran daripada seorang notaris. Dia memiliki kewenangan untuk melakukan pengesahan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan. Tindakan ini dilakukan sebagai proses untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam pemberian tanggal dan keaslian tanda tangan dari pihak yang membuat akta. Kebutuhan akan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin dihindarkan. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah dan pemerintah sebagai organ negara mengangkat juga untuk kepentingan masyarakat luas. Jasa yang diberikan oleh notaris terkait
erat
dengan
persoalan
keparcayaan,
artinya
negara
memberikan kepercayaan yang besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian kepercayaan kepada notaris berarti notaris tersebut tidak mau telah dapat dikatakan memikul pula tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab secara hukum maupun moral. Masyarakat saat ini memiliki paradigma, bahwasanya dengan memiliki akta tertulis yang dibuat oleh notaris. Maka memiliki alat bukti yang kuat dimata hukum. Apabila dikaitkan dengan permasalah mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh notaris sebelum menjadi anggota DPR, dan karena terbentur oleh
suatu peraturan yang mengakibatkan akta yang dibuat, dinyatakan batal demi hukum apabila notaris yang terpilih menjadi DPR tidak berhenti dari jabatan notaris nya berdasarkan Undang-undang Pemilu. Masyarakat awam tidak memahami akan hal ini, tentunya masyarakat yang membutuhkan jasa dari notaris tersebut dirugikan. Permasalahan di atas merupakan kesimpulan penulis atas statement dari Notaris Habib Adji melalui salah satu situs jaringan sosial, menurut beliau dengan jawabannya yang singkat mengatakan, akta yang dibuat oleh notaris pengganti batal demi hukum. Karena seharusnya notaris tersebut tidak menujuk notaris pengganti melainkan herus berhenti. Kesimpulan dari pernyataan ini berarti, notaris harus menutup kantornya selama menajadi anggota DPR, sehingga tidak ada akta yang keluar dari kantornya. Notaris Habib Adji menjelaskan bahwa Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu, notaris dilarang berpraktek. Dengan menggunakan Asas Preferensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Pemilu harus ditempatkan sebagai aturan hukum yang khusus (lex spesialis), yang mengatur secara khusus mengenai persyaratan sebagai anggota legislatif, maka notaris yang terpilih sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai notaris. Jika ternyata ada notaris yang terpilih sebagai anggota legislatif tersebut tidak mengundurkan diri sebagai notaris, tapi malah mengangkat notaris
pengganti, maka tindakan notaris tersebut dikategorikan sebagai tindakan
atau
perbuatan
diluar
wewenang
atau
sudah
tidak
mempunyai kewenangan lagi, sehingga akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan bukan lagi sebagai akta autentik.79 Pernyataan dari Habib Adji sedikit melenceng dari pertanyaan yang diajukan oleh penulis dalam situs jaringan social, setelah berdiskusi dengan Notaris Suyanto akan hal pernyataan Notaris Habib Adji, pak Yanto mengatakan bahwa yang dimaksud pak Habib ialah akta yang dibuat oleh notaris pengganti. Kalau soal akta yang dibuat oleh notaris sebelum menjabat sebagai anggota DPR, tetap menjadi tanggung jawab notaris yang membuat apabila dikemudian hari timbul akibat hukum. Mengenai siapa yang bertanggung jawab atas akta yang timbul permasalahan pada saat notaris yang membuat, sedang menjalani cuti. Notaris Ngadino memiliki pendapat yang berbeda dari Notaris Habib Adji. Menurut beliau yang bertanggung jawab ialah notaris pengganti, karena pada saat penunjukkan notaris pengganti, maka protokol notaris yang terpilih menjadi anggota DPR diserahkan kepada notaris pengganti.
79
www.habibadji.”Notaris Menjadi Pejabat Negara”.com
Penulis berpendapat, meski protokol sudah diberikan kepada notaris
pengganti,
namun
apabila
dikemudian
hari
muncul
permasalahan terhadap akta-akta yang termasuk dalam protokol notaris.
Bukanlah
notaris
pengganti
yang
bertanggung
jawab,
melainkan notaris yang membuat. Dalam UUJN Pasal 65 diatur mengenai tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya. Berarti, meski notaris pengganti ditunjuk oleh notaris yang hendak cuti dan telah ditetapkan penunjukkannya oleh majelis pengawas. Bukan notaris penggantilah yang bertanggung jawab, namun notaris pengganti tidak serta merta lepas tanggung jawab apabila ada para pihak yang datang ke kantornya, sehubungan dengan adanya akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh notaris penunjuk. Notaris pengganti tetap wajib memberikan pelayanan terhadap para pihak yang berkepentingan dan membantu memberikan solusi yang terbaik. Berbeda dengan menurut Notaris Suyanto, ujar beliau yang bertanggung jawab ialah notaris yang membuat akta. Karena seorang notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya hingga seumur hidup.
Jangankan hanya karena cuti dan protokolnya
diserahkan notaris pengganti lalu notaris, seorang notaris harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan hukum atas jabatannya, baik secara moril maupun hukum.
Pada waktu memberikan kuliah di kampus, beliau juga tidak henti-hentinya mengingatkan mahasiswa jika kelak menjadi seorang notaris, jangan sampai berurusan dengan hukum karena akta yang di buatnya. Baik itu karena unsur kesengajaan maupun ketidaktahuan. Kunci dalam membuat akta autentik ialah berpedoman pada UUJN dan peraturan lainnya yang mengatur mengenai akta, maka notaris terhindar dari jeratan hukum. Penulis sependapat dengan Notaris Suyanto. Dimana seorang notaris memikul sebuah tanggung jawab yang besar terhadap akta yang dibuatnya hinnga seumur hidup (cakap hukum). Dengan kata lain, apabila timbul akibat hukum terhadap suatu akta maka yang bertanggung jawab atas akta ialah notaris yang membuatnya, meskipun notaris sedang cuti menjadi anggota DPR. Dasar hukumnya Pasal 65 UUJN, yaitu notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat sementara notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris.
Notaris yang menjadi anggota DPR, tidak dapat menolak diperiksa baik oleh majelis pengawas maupun penyidik berkaitan dengan akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum dengan alasan memiliki kekebalan atau hak imunitas. Pengertian dari hak imunitas yang dimiliki DPR itu sendiri dalam bahasa Indonesia disebut
juga dengan hak kekebalan, secara konstitusional telah diatur keberadaannya dalam Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dinyatakan bahwa Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Dalam pengaturan yang lebih tegas dapat dilihat dalam Pasal 196 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau saat ini masyarakat biasa menyebutnya UndangUndang MD3. Dalam ayat (2) ketentuan dimaksud dinyatakan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan kewenangan DPR. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa selama
seorang
anggota
DPR
mengemukakan
pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis sepanjang dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR serta berkaitan erat dengan fungsi serta tugas dan kewenangan DPR tidak dapat dituntut didepan pengadilan, dan inilah yang selanjutnya disebut hak imunitas. Tidak bisa dijadikan alasan bagi notaris yang menjadi anggota DPR menolak diperiksa, dengan menggunakan hak imunitas sebagai
DPR terhadap perbuatan hukumnya pada saat menjadi notaris. Karena hak imunitas berlaku terhadap fungsinya sebagai DPR. Kesimpulannya, seorang yang menjabat sebagai notaris dalam menjalankan tugas jabatannya haruslah sebagai berikut : 1) Amanah:
dapat
dipercaya
melaksanakan
tugasnya
yaitu
melaksanakan perintah dari para pihak/orang yang menghendaki notaris untuk menuangkan maksud dan keinginannya dalam suatu akta dan para pihak membubuhkan tanda tangannya pada akhir akta. 2) Jujur: tidak berbohong atau menutup-nutupi segala sesuatunya. 3) Seksama: yaitu berhati-hati dan teliti dalam menyusun redaksi akta agar tidak merugikan para pihak. 4) Mandiri: notaris memutuskan sendiri akta yang dibuat itu bersruktur hukum yang tepat serta dapat memberikan penyuluhan hukum kepada klien. 5) Tak berpihak: netral, tidak memihak pada satu pihak. 6) Menjaga sikap, tingkah laku dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab sebagai notaris. 7) Menjaga sikap dan tingkah laku: maksudnya harus mempunyai sifat profesional baik dalam atau di luar kantor. 8) Menjalankan
kewajiban
sesuai
dengan
kode
etik
profesi,
kehormatan, martabat dan tanggung jawab sebagai notaris:
menjaga kehormatan martabat profesi notaris, termasuk tidak menjelekkan sesama kolega notaris atau perang tarif. 9) Akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan. Merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh, maksudnya notaris harus mendengarkan keterangan dan keinginan klien sebelum menuangkannya dalam bentuk akta. Notaris berkewajiban untuk merahasiakan seluruh isi akta dan seluruh keterangan yang didengarnya. Hal ini berkaitan dengan “hak ingkar” yaitu hak yang dimiliki oleh notaris, notaris berhak untuk tidak menjawab pertanyaan hakim bila terjadi masalah atas akta notariil yang dibuatnya. Keterangan/kesaksian yang diberikan oelh notaris adalah sesuai dengan yang dituangkannya dalam akta tersebut. Hak ini gugur apabila berhadapan dengan undang-undang tindak pidana korupsi (pasal 16 UUJN). 10) Tidak memberikan janji atau mejanjikan sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun.
yaitu berkaitan dengan hal pemberian uang untuk
pengangkatan di wilayah tertentu.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Notaris yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, berdasarkan Pasal 17 huruf d UUJN mengenai larangan rangkap jabatan menjadi pejabat negara. Maka notaris wajib mengajukan cuti, dan menunjuk notaris pengganti (Pasal 11 ayat (1-3) UUJN). 2. Notaris yang membuat akta bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, meskipun notaris yang membuat akta sedang cuti selama menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sudah ditunjuknya notaris pengganti sebagai penerima protokol notaris. Dasar hukumnya Pasal 65 UUJN.
B. Saran Ditujukan kepada lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat agar merubah Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pemilihan Umum, mengenai kalimat tidak berpraktek, diganti dengan kalimat cuti.
Sehingga tidak
bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, mengenai cuti bagi notaris yang yang diangkat menjadi pejabat negara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke III 2006) Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press, 2009) Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-asas Hukum Tatanegara, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1983)
A.Kohar, Hak Ingkar Notaris Disimposiumkan, tulisan dalam Notaris Berkomunikasi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1984)
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern-Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, (Bandung: Penerbit Nuansa dan Penerbit Nusamedia, 2004) E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Cetakan Keenam Ichtiar, 1963) G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983) Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008) ___________,Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009) ___________,Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2008) ___________,Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009) H.B. Sutopo. Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, (Surakarta : UNS Press. 1998) H.R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, (Jakarta: IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, 1998) Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009) Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1981)
Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana,(Semarang: CV. Agung, 1991) Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2001) Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum UI, 1983) Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta: Internusa, 1986) Phiiliphus
M.
Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002)
R. Soegondo, Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali, 1982) Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992) Roesnantiti Prayitno, Tugas dan Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, (Jakarta: Media Notariat INI, 1989) Sajtipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009) Sebastian Salang, M. Djadijono, I Made Leo Wiratma, TA. Legowo, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta: PT. Penebar Swadaya, 2009) Setiawan Wawwan, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam konggress INI di Jakarta, 1995) Sidharta, Moralitas Profesi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006) Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985) Subekti , Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT Pradnya Paramitra, 1980) Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007) Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1979)
Sebuah
Pengantar,
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, 1990)
DAFTAR PERATURAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
SUMBER LAIN
Majalah Renvoi. edisi MEDIATAMA. 2009
tujuhpuluh
dua
(Mei).
JURNAL
Website : www.Google search “Fungsi – fungsi kekuasaan legislatif”.co.id www.Google search “Harkat dan Martabat Notaris”.co.id
RENVOI
www.Google search “ Pemisahan Kekuasaan”. co.id www.habibadji.com Http//Adln.Lib.unair.ac.id, Lanny Kusumawati, Tanggung Jawab Jabatan Notaris.