www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XV, Nomor 2 : 57 - 65
ISSN 0216-1877
KEDUDUKAN FORMANIFERA DALAM RANTAI MAKANAN oleh RICKY ROSITASARI
1)
ABSTRACT THE ROLE OF THE FORAMINIFERA ON THE MARINE FOOD CHAIN. As an element of the marine food chain, foraminifera has a very complex role. Apparently foraminifera may be microherbivor, microcarnivor or omnivor. Each level of this chain is depend strictly to the other, a significant change in one group will have a profound effect on the entire system. The detail role of foraminifera on the marine food chain will be discussed in this article.
PENDAHULUAN
Setiap mahluk hidup memiliki kedudukan tersendiri dalam urutan rantai makanan. Foraminifera sebagai salah satu komponen tropik ekosistem bahari memiliki peran yang cukup rumit, karena cara hidup dan tingkah lakunya yang unik. Salah satu keunikannya adalah perangkat pencernaannya yang sederhana yaitu secara ekstraseluler. Foraminifera mampu hidup sebagai mikroherbivora, mikrokarnivora atau omnivora. Selain sebagai hewan pemangsa, foraminifera juga merupakan mangsa bagi beberapa jenis organisme lain seperti teripang, bulu babi, dan moluska. Lebih jauh lagi beberapa peneliti telah berhasil menemukan beberapa jenis organisme parasit pada foraminifera. Kedudukan foraminifera sebagai salah satu elemen rantai makanan dalam ekosistem bahari disusun dalam suatu diagram
(Gambar 1) oleh lipps & Valentine (HAQ & BOERSMA 1984). Setiap komponen yang terdapat dalam rantai ini memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap komponen yang lain. Dengan demikian apabila terjadi suatu perubahan pada salah satu dari komponen tersebut maka akan menimbulkan dampak yang cukup berarti terhadap sistem secara keseluruhan. FORAMINIFERA SEBAGAI PEMANGSA
Dalam memenuhi kebutuhannya akan nutrisi, foraminifera memilih beberapa jenis algae bersel tunggal seperti dinoflagellata dan diatom sebagai makanannya. Selain itu jenis-jenis diantara mereka sendiripun banyak dimanfaatkan sebagai mangsa, terutama jenis-jenis yang bercangkang gampingan. Dari hasil beberapa penelitian diketahui bahwa sebagian besar foraminifera yang bercangkang gampingan mati karena dimangsa.
57
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Diagram skematis yang memperlihatkan peranan foraminifera dalam rantai makanan ekosistem bahari menurut lipps & Valentine (dalam HAQ & BOERSMA 1984).
58
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Jenis makanan lain yang disukai oleh foraminifera adalah jenis-jenis krustasea kecil seperti Copepoda. Haliphysema tumanowiczii BOWERBANK adalah salah satu jenis foraminifera pemakan bangkai yang telah ditemukan oleh Hedley (MURRAY 1973). Walaupun bangkai diatom, krustasea dan serpihan-serpihan algae disukai oleh jenis ini, namun diatom hidup merupakan makanan utamanya. Beberapa peneliti menduga bahwa foraminifera yang tidak selektif dalam memilih material pembangun cangkangnya, merupakan foraminifera yang tidak selektif pula dalam memilih jenis makanannya. Makanan foraminifera tergantung pada mintakat hidupnya (MURRAY 1973). Foraminifera yang hidup pada mintakat fotik memilih algae bersel tunggal sebagai makanannya, sedangkan foraminifera yang hidup di bawah mintakat fotik mendapat makanan dari pemangsaan, sisi-sisa organisme lain atau bakteri. Foraminifera menangkap makanannya dengan menggunakan kaki semu. Pada jenis-jenis foraminifera yang memiliki mulut besar, makanan ditarik dengan menggunakan kaki semu kemudian langsung dimasukkan ke dalam mulut. Pada jenis-jenis yang memiliki mulut kecil seperti Elphidium crispum LINNE, makanan ditarik oleh kaki semu, kemudian diselubungi oleh substansi penempel (adhesive) yang dihasilkan oleh vakuola yang terdapat di dalam kaki-kaki semunya. Zat-zat makanan dihisap dan diangkut oleh gerakan bergelombang kaki semu menuju endoplasma (HAYNESS 1981). Jaring-jaring kaki semu yang dapat bergerak bebas merupakan penjaring makanan yang sangat efektif untuk menangkap makanan dalam bentuk suspensi (Sheenan & Banner dalam MURRAY 1973). Kaki semu pada Astrorhiza limicola SANDAHL dilaporkan oleh Buchanan & Hedley memiliki dua macam kondisi fisiologis
(MURRAY 1973). Pada kondisi tertentu kaki semu ini tidak melekat pada partikelpartikel yang dilewatinya, tetapi pada kondisi lain akan menempel pada setiap objek yang disentuhnya. Kondisi terakhir merupakan keadaan yang biasa terjadi pada saat foraminifera makan. Namun demikian belum pernah ada penelitian yang menunjukkan bahwa foraminifera membunuh mangsanya dengan menggunakan racun. Tingkah laku foraminifera sebagai organisme karnivora telah diteliti oleh Christiansen (MURRAY (1973). Jenis yang diamati adalah Spiculosiphon radiata CHRISTIANSEN yang masih muda. Mula-mula jenis ini mendekati foraminifera kecil (Nonion)y kemudian melekatkan diri pada cangkang mangsanya selama 22 menit. lima hari kemudian dilakukan pemeriksaan dengan pewarnaan, ternyata cangkang Nonion tidak mengandung protoplasma lagi. Peneliti lain telah mengamati tingkah laku foraminifera pada saat memangsa beberapa jenis krustasea seperti Cumaneans, Carpelids dan Artemia serta binatang laut kecil. Pada saat foraminifera berhasil menangkap mangsanya, hewan-hewan yang tertangkap akan meronta dan mencoba melepaskan diri, tetapi gagal dan akhirnya mereka diam karena kelelahan.
FORAMINIFERA SEBAGAI MANGSA
Jumlah pemangsa foraminifera sangat banyak. Hampir semua jenis organisme invertebrata merupakan pemangsa foraminifera. Fragmen-fragmen cangkang foraminifera banyak ditemukan pada saluran pencernaan hewan bentonik, tetapi belum cukup bukti untuk menyebutkan apakah foraminifera tersebut sengaja dimakan atau tidak. Predator atau parasit yang akan mengambil protoplasma foraminifera biasanya akan mem-
59
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
ka di Teluk Narrangansett, Massachusetts (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959). Berdasarkan penelitiannya tersebut Said menduga bahwa menurunnya populasi foraminifera adalah akibat pemangsaan oleh moluska yang mencari makanan di dasar perairan. Hal yang sama juga di laporkan oleh Christiansen yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab rendahnya populasi foraminifera di Oslo Fjord adalah banyaknya organisme pemangsa foraminifera seperti moluska, poly chaeta dan krustasea (MURRAY 1973). Tabel 1 memperlihatkan daftar jenis pemangsa pada foraminifera.
buat lubang pada cangkang foraminifera. Lubang-lubang ini dibuat karena sulit bagi organisme predator atau parasit untuk masuk melalui mulut foraminifera, karena mulut foraminifera berstruktur rumit. Gastropoda, hewan-hewan karang serta nematoda merupakan jenis-jenis organisme yang sering ditemukan sebagai predator foraminifera, terutama di perairan tropis yang dangkal. Banyaknya jumlah predator pada foraminifera merupakan penyebab utama berkurangnya populasi foraminifera pada suatu perairan. Saidova berhasil mendapatkan korelasi negatip antara foraminifera dan molus-
60
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Dari hasil penelitian Myers, diketahui bahwa algae simbion lebih banyak ditemukan pada foraminifera yang berdinding cangkang transparan (hyalin) seperti Penerolis, Sorites dan Marginopora (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959). Mengenai hubungan simbiose antara algae dan foraminifera ini, Haynes berpendapat bahwa dinding transparan ini berfungsi sebagai rumah kaca bagi algae yang memungkinkan terjadinya peningkatan pertumbuhan algae (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959). Hubungan yang terdapat dalam simbiose ini adalah saling menguntungkan. Alga simbion menyediakan oksigen untuk foraminifera dan mengkonsumsi karbon dioksida yang dibuang oleh foraminifera. Selain itu algae simbion juga berperan dalam proses trasportasi senyawa-senyawa nitrogen yang merupakan bahan buangan foraminifera. Alldredge & Jones telah menemukan 3 jenis dinoflagellata yang menempel pada permukaan cangkang foraminifera planktonik dari jenis Hastigerina pelagica (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959). Berdasarkan penelitian ini mereka berpendapat bahwa foraminifera menyediakan sumber makanan dari hasil buangannya, memberi perlindungan, membantu dalam penyebaran, meningkatkan daya apung dan membantu pergerakan selama stadium vegetatif pada dinoflgellata. Menurut Dietz-Elbrachter, foraminifera dari jenis Heterostegina depressa tidak dapat tumbuh dengan mengambil makanan lain, kecuali bahan makanan yang disediakan oleh algae simbion (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959). Peneliti lain berhasil mengetahui jumlah pengambilan makanan maksimal pada Archaias angulatus terjadi pada saat zooxanthellae terdapat dalam cangkangnya, dan mendapat sinar matahari yang cukup. Oleh karena itu pada foraminifera yang hidup bersimbiosis terlihat adanya ketergantungan terhadap sinar matahari.
Pemangsaan pada foraminifera bentonik di perairan dalam telah diteliti oleh Saidova (BOLTOVSKOY & WRIGHT (1950). Dia menemukan sejumlah besar foraminifera planktonik dan bentonik dalam saluran pencernaan berbagai jenis echinoid dan holothurian yang hidup pada kedalaman 3000 dan 9300 meter. Namun demikian dia tidak menemukan foraminifera planktonik pada sedimen di daerah tersebut. Cangkang-cangkang foraminifera terawetkan dengan baik di dalam tubuh pemangsa tersebut. Cangkang foraminifera yang terdapat di dalam saluran pencernaan awal, masih mengandung protoplasma. Pada saat cangkang-cangkang itu sampai pada saluran pencernaan akhir, protoplasma sudah tidak ada lagi di dalam cangkang tersebut. Dari hasil pengamatan ini Saidova berpendapat bahwa cairan gastrik pada saluran pencernaan hewan pemangsa dapat menghancurkan protoplasma foraminifera, tetapi tidak dapat menghancurkan cangkang. Dari penelitiannya ini, dia menyimpulkan bahwa foraminifera bentonik merupakan komponen makanan yang penting bagi banyak organisme perairan dalam.
SIMBIOSIS Alga bersel tunggal yang hidup dalam cangkang foraminifera pertama kali diamati secara teliti oleh Winter (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959). Jenis yang diamati adalah Peneroplis yang dikontaminasikan dengan zooxanthellae dalam biakan. Setelah terjadi kontak antara kedua organisme tersebut, cangkang foraminifera diperiksa. Ternyata di dalam cangkang Peneroplis yang berukuran besar terdapat 100.000 individu simbion. Di dalam cangkang foraminifera planktonik dari jenis Globigerina dan Orbulina, Rhumbler telah menemukan zooxanthellae (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959) (Gambar 2a).
61
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
62
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Sinar matahari ini diperlukan oleh algae untuk bertofosintesis. Ketergantungan inilah yang menyebabkan adanya kecenderungan pada algae untuk bersimbiose dengan foraminifera planktonik yang hidup di lapisan permukaan. Oleh sebab itu sangat jarang ditemukan foraminifera yang hidup di mintakat eufotik bersimbiose dengan algae. Jenis-jenis yang bersimbiose, biasanya hidup di perairan dangkal. Dari hasil beberapa pengamatan diketahui bahwa kondisi jenisjenis foraminifera akan lebih baik bila bersimbiose dengan alga. Sampai saat ini telah diketahui terdapat 18 jenis foraminifera bentonik dan 11 foraminifera planktonik yang hidup bersimbiose dengan alga. Individu algae yang bersimbiose dengan foraminifera akan menurunkan sifat simbiose ini kepada keturunannya selama proses perkembangbiakan (Rotiger dalam BOLTOVSKOY & WRGIHT 1959). Keistimewaan yang lain pada algae simbion ini adalah kemampuannya untuk bergerak dengan sangat leluasa pada duri-duri Hastigerina pelagica dan gelembung-gelembung Globigerina conglobatus yang sangat berbahaya bagi hewan-hewan mangsa foraminifera. Bentuk simbiose antara foraminifera dengan rumput laut seperti Corallina officinalis dan Thalassia testudium telah dilaporkan oleh Hedley dan Dommasnes (dalam BOLTOVSKOY et al 1976). Dalam simbiose ini foraminifera berperan sebagai organisme epibion dan rumput laut sebagai substrat (Gambar 3). Hubungan yang lebih khusus antara satu jenis rumput laut dengan jenis tertentu dari foraminifera belum pernah diteliti secara lebih mendalam. Namun demikian Behn & Grekulinski; Murray & Boltovskoy (BOLTOVSKOY et al 1976) yang telah mengadakan studi perbandingan dalam jumlah populasi pada beberapa bio-
top, meyimpulkan bahwa populasi terbesar selalu terdapat biotop rumput laut. Salah satu penyebab padatnya populasi dan tingginya keanekaragaman foraminifera pada biotop rumput laut disebabkan karena rumput laut sebagai substrat memberikan perlindungan yang baik pada foraminifera (BOLTOVSKOY et al 1976). Hal itu pula yang menyebabkan rumput laut dari jenis Corallina officinalis sangat disukai oleh foraminifera sebagai substrat, karena tumbuhan ini kokoh (kaku) dan memiliki banyak cabang. Jenis organisme epibion lain yang hidup bersama dengan Foraminifera adalah cacing turbellaria. Orang yang pertama menemukan kokon turbellaria pada cangkang Nonion dan Elphidium ialah Ehrenberg (dalam BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959) (Gambar 2b). Menurut BOLTOVSKOY & WRIGHT (1959) turbellaria menggunakan cangkang foraminifera sebagai substrat untuk melekatkan kokonnya yang berisi cacing muda. Apabila cangkang foraminifera ini telah kosong, kokon masih akan menempel sampai arus atau gelombang melepaskannya. Kokon yang menempel pada foraminifera hidup akan terbalut oleh kamar-kamar baru yang dibentuk oleh foraminifera tersebut. Pada saat pembentukan cangkang foraminifera telah menutupi kokon secara menyeluruh, maka cangkang yang terbentuk disekitar tempat menempelnya kokon akan terlihat bergelombang (tidak halus). Namun apabila kokon yang menempelkan tubuhnya dengan menggunakan pedikel (pedicle) ini terlepas dari cangkang foraminifera, akan terlihat lekukan kasar pada dinding cangkang tersebut. Walaupun BOLTOVSKOY menduga bahwa turbellaria merupakan organisme epibion pada foraminifera, namun karena pada satu cangkang dapat ditempeli beberapa kokon, maka dengan sendirinya akti-
63
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
64
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
sit inilah yang menyebabkan jenis Fissurina marginata sangat jarang ditemukan sebagai fosil. Jamur parasit pada foraminifera telah ditemukan oleh Adshead (BOLTOVSKOY & WRIGHT 1959), jamur ini menempel pada kaki semu foraminifera planktonik. Dari hasil pengamatannya dia berpendapat bahwa jamur ini sudah beradaptasi kepada inangnya dengan sangat baik, serta dapat tumbuh dengan sangat lambat namun mampu mengosongkan isi protoplasma. Penelitian tentang pengaruh musim terhadap tingkah laku parasitik ini belum pernah diteliti, tetapi BOLTOVSKOY et al (1976) menduga bahwa pada musim dingin hewan parasit akan lebih banyak terdapat dalam tubuh foraminifera.
fitas foraminifera akan terganggu. Aktivitas tersebut diantaranya adalah proses pergerak-an yang terhambat dan pembentukan kamar baru yang membutuhkan bahan lebih ba-nyak. PARASIT Le Calvez (BOLTOVSKOY & WRIGGHT 1959) telah menemukan luka berbentuk spiral yang disebabkan oleh nematoda parasit pada cangkang foraminifera. Cacing ini hidup di dalam sitoplasma Rotorbinella turbinata dan Iridia lucida. Dia juga telah menemukan amoeba Vahkamphia discorbini sebagai parasit pada Diiscorbis mediterranensis. Selain itu dia juga menemukan beberapa macam protozoa lain yang hidup dalam sitoplasma foraminifera, namun organisme parasit tersebut tidak memiliki kedudukan sistematik yang jelas. Parasit bagi foraminifera dapat berasal dari bangsanya sendiri seperti yang telah dieksperimenkan oleh Le Calvez. Dia mengamati prilaku Fissurina marginata yang ber-peran sebagai ektoparasit pada Discorbis vilardeboanus. Organisma parasit ini akan menggarukkan kaki semunya pada protoplasma organisme inang, kemudian mengambil partikel-partikel makanan dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Foraminifera parasit akan meninggalkan inangnya selama waktu reproduksi, kemudian anak foraminifera tersebut akan mencari inang yang baru. Jenisjenis parasit biasanya sangat tergantung pada inangnya, sehingga bila jenis tersebut tidak mendapatkan inang maka organisme ini akan mati. Dari penelitiannya ini, Le Calvez menyimpulkan bahwa pola hidup yang para-
DAFTAR PUSTAKA BOLTOVSKOY. E. and WRIGHT. 1959. Recent foraminifera. Dr. Junk b.v. Publisher. The Haqgue : 1 - 645. BOLTOVSKOY. E., H. LENA & A. ASEN-SI. 1976. Algae as a substrate for foraminifera in the Puerto Deseado area (Patagonia). /. Mar. Biol. Ass. India. 18 (1) : 140-148. HAQ, B.U. and A. BOERSMA. 1984. Introduction to marine micropaleontology. Elsevier Biomedical. New York : 5 — 77. HAYNESS, J.R. 1981. Foraminifera. Macmillan Publishers, LTD. London : 15 -54. MURRAY, J.W. 1973. Distribution and ecology of living benthic foraminifera. Crane, Russak and Co, Inc. New York : 1 - 274.
65
Oseana, Volume XV No. 2, 1990