1
KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS Sarpika Datumula* Abstract Substitute heir is the development and progress of Islamic law that is intended to get mashlahah for the system and the structure of inheritance. Compilation of Islamic Law in Indonesia has regulated the substitute heir right share with consideration of a sense of fairness, due to their position is still a close relative (zawil arham) while in the book of classical fiqh, the substitute heir term is unknown because their position has been excluded by ashab furud. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham 1. Pendahuluan Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal dunia yang dikenal dengan pewaris meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan, dengan cara apa kita akan menyelesaikan atau membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris serta hukum apa yang akan diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia, diatur dalam hokum kewarisan. Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendefinisikan hukum kewarisan adalah: Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada Wahyu
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
2
Illahi yang terdapat dalam Alquran dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.1 Dalam buku II Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing.2 Hukum waris Islam pada dasarnya mengatur hal yang sama dengan hukum waris pada umumnya (hukum waris barat dan hukum waris adat), yaitu mengatur tentang pembagian harta peninggalan dari seseorang yang telah meninggal dunia. Dalam hukum Islam, hukum waris mempunyai kedudukan yang amat penting. Hal ini dapat dimengerti karena masalah warisan akan dialami oleh setiap orang, selain itu masalah warisan merupakan suatu masalah yang sangat mudah untuk menimbulkan sengketa atau perselisihan di antara ahli waris atau dengan pihak ketiga. Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalahmasalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Alquran dan Sunnah dengan keterangan yang kongkrit, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma (konsesus) dikalangan ulama dan umat Islam. Salah satu konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Salah satu konsep pembaharuan hukum kewarisan Islam dalam Kompilasai Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa:
1
Idris Djakfar dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 34. 2
Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos. 1999), h. 45.
3
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat di gantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. 2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat 3 Kedua ayat dalam Pasal tersebut telah mengangkat posisi seseorang yang sebelumnya dipandang tidak berhak mendapatkan warisan, untuk kemudian ditempatkan sebagai kelompok ahli waris yang berhak menerima harta warisan setelah diangkat untuk menempati kedudukan orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. Namun ketentuan tersebut tidak secara rinci menetapkan suatu bagian tertentu yang akan diperoleh bagi seorang ahli waris pengganti serta tidak pula menentukan apakah segala atribut yang disandang oleh ahli waris yang diganti itu diturunkan pula pada ahli waris yang menggantikannya, misalnya dalam hal hijab mahjub (dinding mendinding). Selain itu, Pasal tersebut juga tidak menegaskan apakah ketentuan itu berlaku hanya pada ahli waris garis lurus ke bawah (nubuwwah), atau berlaku pula pada ahli waris garis lurus ke atas (ubuwwah), atau berlaku juga pada ahli waris garis ke samping (ukhuwwah). 2. Dasar Hukum Waris Islam Syariat Islam telah menetapkan ketentuan mengenai pewarisan yang sangat baik, bijaksana dan adil. Peraturan yang berkaitan dengan pemindahan harta benda milik seseorang yang ditinggalkan setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya baik ahli waris perempuan maupun ahli waris laki-laki. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu, "Sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih ". Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris. Pengertian hukum waris menurut Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang 3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 8.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
4
yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.”4 Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Kitab suci Alquran telah menjelaskan semua ketentuan hukum mengenai pewarisan dengan keterangan yang luas dan menyeluruh, sehingga tidak seorang pun dari ahli waris yang tidak memperoleh bagian dalam pembagian warisan. Alquran menegaskan secara terperinci ketentuan ahli waris yang disebut furudul-muqaddarah (bagian yang ditentukan), atau bagian ashabah serta orang-orang yang tidak termasuk ahli waris. Adapun Hukumhukum waris tersebut bersumber pada: a. Alquran Alquran merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan faraid tiap-tiap ahli waris,seperti tercantum pada: Q. S. An-Nisa' (4) ayat 7
Terjemahnya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.5 Ayat ini memberi ketegasan bahwa ahli waris laki-laki maupun perempuan mendapat bagian harta peninggalan dari orang tua dan kerabat yang meninggal dunia sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Dan dasar hukum selanjutnya ialah terdapat juga dalam firman Allah swt., dalam surah An-Nisa. Sebagai berikut :
Terjemahnya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) 4
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradya Paramita, 1987), h. 17.
5
Salim Bahreisy, Alquran dan Terjemahan (Surabaya: Sahabat Ilmu, 2001), h. 79.
5
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”6(Q.S. An-Nisa/4 : 33) Ayat ini menurut Hazairin adalah merupakan rahmat yang sebesarbesarnya bagi ummat manusia, jika tidak ada rahmat tersebut, maka apakah lagi dasar hukum yang dapat disalurkan dari Alquran untuk mendirikan hak kewarisan bagi lain-lain aqrabun yang tidak tersebut dalam ayat-ayat kewarisan dalam Alquran seperti paman dan bibi, kakek dan nenek, cucu dan cicit dan seterusnya. b. Hadits Selain terdapat dalam Alquran, ketentuan hukum kewarisan Islam juga terdapat dalam hadist Nabi Muhammad saw.: “Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi S.A.W, ia berkata: Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam Al Qur-an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”. (H.R. Bukhari – Muslim).7 Dari pengertian hadits di atas menunjukan bahwa Agama Islam mengatur cara pewarisan dengan berasaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual. c. Ijma Ijma yaitu kesepakatan kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di dalam Alquran dan Hadits, sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat atau ijma' adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid tentang suatu ketentuan hukum syara' mengenai suatu hal pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw.
6
Ibid., h. 84.
7
Muslim. Sahih Muslim, Jus 2 (Jakarta: Dar Ihya‟al-Kutub al-Arabiyah, 1981), h. 4.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
6
d. Ijtihad Ijtihad yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menyelesaikan dan menjawab persoalanpersoalan yang muncul termasuk di dalamnya tentang persoalan pembagian warisan. “ Misalnya pada pembagian radd dan „aul yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan dengn hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi‟in atau ulama. Sehingga Ijtihad di sini merupakan penerapan hukum bukan untuk pemahaman atau ketentuan yang ada8. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa meskipun hukum kewarisan Islam (faraidh) adalah ketentuan yang dibekukan bagiannya, dalam penerapannya sering dijumpai kasus-kasus yang menyimpang atau tidak sama pesis yang dikehendaki Alquran. Sehingga penyelesaian pembagian warisan, ketentuan baku dalam Alquran dan hadits tetap dipedomani untuk menentukan proporsional atau tidaknya penyelesaian pembagian harta warisan. Di samping sifat hukum waris Islam tersebut diatas, prinsip yang mendasari sistem pewarisan Islam dalam simposium hukum waris nasional tahun 1983 di Jakarta adalah sebagai berikut: 1) Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang untuk mengosongkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat pada orang yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali pembagian hartanya semasa ia masih hidup. 2) Oleh karena pewarisan merupakan aturan hukum maka pewaris tidak boleh meniadakan hak ahli waris atas harta warisan. Sebaliknya ahli warispun berhak atas harta peninggalan tanpa syarat pernyataan secara sukarela atau melalui Putusan Pengadilan (hakim). 3) Pewarisan terbatas dilingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah. 4) Hukum waris Islam cendrung membagikan harta warisan kepada ahli waris dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara perorangan menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak jumlahnya.
8
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.
382.
7
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
5) Perbedaan umur tidak membawa pembedaan dalam hak mewarisi bagi anak-anak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab si anak dalam kehidupan kerabat.9 Hukum Islam merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem perkawinan menentukan sistem keluarga dan sistem keluarga menentukan sistem kewarisan. Begitupun dengan perkawinan, bentuk perkawinan menentukan sistem atau bentuk keluarga dan bentuk keluarga menentukan pengertian keluarga. Pengertian keluarga menentukan kedudukan dalam sistem kewarisan. 3. Siapa Saja Ahli Waris Pengganti Mengacu Kepada pengertian leluhur dan keturunan maka dapat dibedakan ahli waris kedalam dua kelompok, yaitu ahli waris utama pengganti dan ahli waris pengganti. Ahli waris utama pengganti terdiri dari nenek sahih, kakek sahih, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan ahli waris pengganti terdiri dari saudara sekandung/ sebapak dan saudara seibu. a. Ahli waris utama pengganti. 1) Kakek Kakek (ayahnya ayah), adalah seorang yang ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan. Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia saat si cucu meninggal dunia. Bila ayah si cucu masih hidup, maka kakek terhijab, sehingga kita tidak berbicara tentang warisan buat kakek. 2) Nenek Nenek disini adalah ibu dari ayahnya almarhum. Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan ayah. Dalilnya sama seperti kakek. Namun nenek tidak menghijab siapapun. 3) Cucu laki-laki dan cucu perempuan. Cucu yang dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan 9
Imam Sudiyat, Peta Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Simposium hukum Waris Nasional, 1983), h. 9-10.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
8
cucu ini baru berarti manakala almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila almarhum punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya. Bagian yang menjadi hak seorang cucu seperti yang diterima seorang anak laki-laki. Karena kedudukannya memang sebagai pengganti anak lakilaki. Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang telah mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat 2 kali bagian cucu perempuan. Contoh yang sederhana adalah seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris : cucu laki-laki dan anak perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak perempuan tunggal adalah ashabul furudh yang jatahnya sudah ditetapkan. Dalam hal ini anak perempuan mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian yang didapat oleh cucu laki-laki adalah 7/8. Apabila almarhum juga meninggalkan cucu perempuan, maka dia juga mendapat sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki, yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di antara para cucu, dengan ketentuan bahwa cucu perempuan hanya mendapat setengah dari apa yang didapat cucu laki-laki. Atau dengan kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut : Ahli Waris Bagian Anak Perempuan ½ 3/6 Cucu Laki-laki 2/6 Sisa = 1/2 Cucu Perempuan 1/6 a. Ahli Waris Pengganti Saudara seayah-ibu ()أخ شقيق. Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa saja lebih muda (adik). Hal yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah bahwa mereka punya ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah saudara sekandung, karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan istilah saudara seayah dan seibu. Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu
9
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
kepada ahli waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru mendapat jatah warisan. Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya : istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah istri mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian. Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan yang samasama seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali lipat lebih besar. Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4 dan saudarinya mendapat 1/4. 4. Ahli Waris Pengganti menurut KHI dan Kewarisan Islam Ketentuan ahli waris pengganti memang tidak diatur dalam fikih atau kewarisan Islam, sama halnya dengan beberapa ketentuan lainnya seperti wasiat wajibah. Namun Pembaharuan hukum kewarisan Islam melalui Kompilasi Hukum Islam tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa : Munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda kakeknya.10 Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, melainkan hanya 1/3 bagiannya saja. Hal ini dapat dipahami dari pasal 185 ayat (2) dengan mengungkapkan “tidak boleh melebihi‟. Yang secara tidak langsung telah memberi batasan bagian yang 10
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, h. 28.
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
10
diterima. Walaupun demikian, dalam pembaharuan yang terjadi di beberapa negara muslim lainnya seperti Mesir, Tunisia dan Pakistan, dalam konteks ini sang cucu bisa berlaku menghabiskan seluruh warisan ayahnya yang beralih kepadanya karena sang ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Secara tegas dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama tentang azas ahli waris langsung dan azas ahli waris Pengganti. a. Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI. b. Ahli waris Pengganti (plaatvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan pada pasal 174 KHI. Diantara ahli waris pengganti yang disebutkan dalam Buku II adalah : 1) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya. 2) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah dan seibu) mewarisi bagian yang digantikannya. 3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masingmasing berbagi sama. 4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi bagian dari ibu, masingmasing berbagi sama. 5) Paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ayah. 6) Paman dan bibi dari pihak ibu beserta keturunannya mewarisi bagian dari ibu apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu. Selain yang tersebut di atas tidak termasuk ahli waris pengganti. Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan (equal right and equal status) maka ketentuan pasal 185 KHI. yang menegaskan: “Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”,11 kalimat “anaknya” tersebut dapat dipahami bahwa baik keturunan dari anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah meninggal lebih dahulu dari orang tuanya mempunyai kedudukan yang sama. 11
Pemerintah Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.
86.
11
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
Ketentuan ini, dibanding dalam hukum kewarisan Islam terdahulu merupakan perkembangan baru. Dalam hukum kewarisan Islam yang berkembang di Indonesia bahwa keberadaan ahli waris pengganti lebih banyak diposisikan sebagai zawil al-arham, yaitu kerabat yang memiliki hubungan darah, tetapi karena posisinya yang tidak di tentukan untuk menerima bagian maka ia tidak berhak mendapatkannya. Lebih-lebih kalau ahli waris yang menghubungkannya dengan yang telah meninggal itu adalah garis perempuan, maka jadilah ia zawil al-arham. Dalam Alquran yang menjadi dasar hukum penyelesaian warisan bagi ahli waris pengganti didasarkan pada firman Allah surat An-nisa ayat 33 :
Terjemahnya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...12 Mengutip pendapat Hazairin mengenai makna ayat di atas bahwa :” Bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu, dan bagi mendiang aqrabun, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya,13 Lebih lanjut Hazairin menjelaskan bahwa: Mengadakan mawali untuk si Fulan” ialah bahwa bagian si Fulan, yang akan di perolehnya, seandainya dia masih hidup, dari harta peninggalan itu, di bagi-bagikan kepada mawalinya bukan sebagai ahli warisnya tetapi sebagai ahli waris ibu dan atau ayahnya yang meninggalkan harta itu.”14 Dengan demikian, bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti, bukan karena statusnya sebagai ahli waris yang memiliki hubungan langsung dengan si pewaris, tetapi semata-mata karena harta yang diterima itu, sedianya merupakan bagian yang diterima oleh ayah dan ibunya. 5. Penutup 12
Salim Bahreisy, Alquran dan Terjemahan, h. 84.
13
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Alquran dan Hadits (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 27-30. 14
Ibid., h. 29.
12
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
Dari penjelasan diatas diterangkan bahwa ahli waris terbagi menjadi dua macam: 1. Ahli waris utama pengganti dan 2. Ahli waris pengganti. Syarat utama seorang ahli waris pengganti supaya dapat memperoleh warisan adalah, dengan menggantikan ahli waris sebelumnya yang telah meninggal, dan meninggalnya ahli waris adalah hal pokok dalam pembagian harta ahli waris pengganti. Memang terjadi kontroversi antara Hukum adat dan hukum Islam. Karena ketentuan ahli waris pengganti memang tidak diatur dalam kewarisan Islam, sama halnya dengan beberapa ketentuan lainnya seperti wasiat wajibah. ketentuan ahli waris pengganti ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada para ahli waris yang ditinggalkan. Sehingga tercetuslah aturan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disepakati oleh para Ulama dan Perguruan Tinggi berdasarkan Inpres No. 1/1991 yang isinya berupa perintah kepada Menteri Agama untuk menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo. Bahreisy, Salim, 2001, Alquran dan Terjemahan, Surabaya: Sahabat Ilmu. Bisri, Hasan, 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional.Jakarta: Logos. Djakfar, Idris, dan Taufik Yahya. 1995, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. Hazairin, 1982, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Alquran dan Hadits, Jakarta: Tintamas. Muslim, 1981 Sahih Muslim, Jus 2. Jakarta: Dar Ihya‟al-Kutub al-Arabiyah. Pemerintah Indonesia, 2007, Kompilasi Hukum Islam, Bandung. Citra Umbara, Rafiq, Ahmad, 1998, Hukum Islam Di Indonesia Persada.
Jakarta: Raja Grafindo
Soepomo. 1987, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita.
13
Bilancia, Vol. 9, No. 2, Juli-Desember 2015
Sudiyat, Imam, 1983, Peta Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Simposium hukum Waris Nasional. *Sarpika Datumula, S.Ag., M.H. adalah Dosen Universitas AlKhairat Palu