KECERNAAN NUTRIEN DAN NERACA NITROGEN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG MENDAPAT PAKAN BLOK MENGANDUNG EKSTRAK METANOL LERAK (Sapindus rarak)
SKRIPSI ALDILLA SALIMAH
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i
RINGKASAN ALDILLA SALIMAH. D24053849. 2010. Kecernaan Nutrien dan Neraca Nitrogen Sapi Peranakan Ongole yang Mendapat Pakan Blok Mengandung Ekstrak Metanol Lerak (Sapindus rarak). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Pembimbing Anggota : Sri Suharti, S.Pt. MSi Kecernaan pakan pada ruminansia sangat dipengaruhi oleh populasi mikroba yang ada di dalam rumen terutama protozoa dan bakteri. Protozoa mempunyai sifat memangsa bakteri oleh karena itu perlu dilakukan defaunasi (penghambatan pertumbuhan) sehingga populasi bakteri dapat meningkat. Sapindus rarak atau lebih dikenal dengan sebutan lerak merupakan salah satu tanaman yang berfungsi sebagai agen defaunasi karena mengandung saponin. Buah lerak yang diekstrak dengan metanol mengandung saponin hingga 81,47%. Sebagai agen defaunasi saponin diharapkan dapat meningkatkan populasi bakteri di rumen dan meningkatkan aliran nitrogen ke duodenum sehingga sumber protein mikroba meningkatkan. Di saluran pasca rumen, saponin meningkatkan permeabilitas membran diusus sehingga meningkatkan proses penyerapan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan ekstrak metanol lerak (EML) dalam pakan blok terhadap kecernaan nutrien dan neraca nitrogen secara in vivo pada sapi Peranakan Ongole. Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai September 2008. Pemeliharaan ternak berlokasi di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan yaitu 12 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) jantan dengan kisaran bobot badan awal sebesar 152,15±11,9 kg yang dipelihara pada kandang individu selama 64 hari dengan masa adaptasi pakan selama 2 minggu. Perlakuan yang diberikan yaitu P1 sebagai ransum kontrol (49% rumput lapang, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 (P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum); dan P3 (P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum). Ekstrak metanol lerak pada P2 dan P3 disuplementasi dalam pakan blok. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dengan 4 ulangan. Data dianalisis dengan menggunakan analysis of covariance (ANCOVA) dengan satu covariate yaitu bobot badan awal dan apabila terlihat perbedaan yang nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi bahan kering, kecernaan nutrien, neraca nitrogen, pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan efisiensi ransum. Hasil analisis sidik peragam menunjukkan pemberian ekstrak metanol lerak dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi bahan kering, kecernaan nutrien (bahan kering, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar), neraca nitrogen, PBBH dan efisiensi ransum. Kata-kata kunci: Sapi Peranakan Ongole, Sapindus rarak, Saponin, Kecernaan, Neraca Nitrogen
ii
ABSTRACT Nutrient Digestibility and Nitrogen Balance of Ongole Crossbreed Cattle offered Block Supplemented with Methanol Extract of Sapindus rarak A. Salimah, D. A. Astuti and S. Suharti Saponins are secondary metabolites compounds produced by some tropical plant which have capability to partially inhibit the growth of protozoa in the rumen. Sapindus rarak is one of plant that containing a high saponin. The objective of the research was to study the effect of different level of methanol extract of Sapindus rarak (MS) in a feedblock on nutrient digestibility and nitrogen balance of twelve Ongole Crossbreed Cattles. The initial body weight of animals were 152.15±11.9 kg. The experimental design was completely randomized design. The animals were divided into three treatments with four replications randomly. The treatments were: P1 as a control diets contained 49% mixgrass, 50% concentrates and 1% feedblock; P2 was P1 which contained 0.03% MS from total ration in feedblock; and P3 was P1 which contained 0.08% MS from total ration in feedblock. The parameters measured were feed intake, nutrient digestibility, nitrogen balance, average daily gain and feed efficiency ratio. Data were analyzed by Analysis of Covariance and significant differences among treatments were tested by Duncan‘s Multiple Range Test. The results showed that MS as a feedblock had no significant effect (P>0.05) on feed intake, nutrient digestibility, nitrogen balance, daily feed gain and feed efficiency ratio. Keywords: Ongole Crossbreed Cattle, Sapindus rarak, Saponin, Digestibility, Nitrogen Balance
iii
KECERNAAN NUTRIEN DAN NERACA NITROGEN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG MENDAPAT PAKAN BLOK MENGANDUNG EKSTRAK METANOL LERAK (Sapindus rarak)
ALDILLA SALIMAH D24053849
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 iv
Judul Skripsi : Kecernaan Nutrien dan Neraca Nitrogen Sapi Peranakan Ongole yang Mendapat Pakan Blok Mengandung Ekstrak Metanol Lerak (Sapindus rarak) Nama
: Aldilla Salimah
NIM
: D24053849
Menyetujui:
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. NIP. 19611005 198503 2 001
Sri Suharti, S.Pt. MSi. NIP. 19741012 200501 2 002
Menyetujui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr. NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 15 Januari 2010
Tanggal Lulus: v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1987 dari pasangan Bapak Amrinuddin Ilham dan Ibu Usni Musniah. Penulis merupakan anak keempat dari 4 bersaudara. Pendidikan taman kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1993 di TK Islam Al-Ihsan Jakarta, pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Pegangsaan Dua 05 Pagi Jakarta, pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 123 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 13 Tanjung Priok, Jakarta Utara. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), terdaftar pada program mayor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2006 dengan minor Ilmu Pengolahan Daging, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani jenjang pendidikan penulis aktif di Klub Basket Putri SLTPN 123, ekstrakurikuler Pusat Dokumentasi dan Informasi di SMAN 13 Tj. Priok tahun ajaran 2003-2004, Staf Public Relation BEM Fakultas Peternakan 20062007, Sie Konsumsi pada rangkaian acara BLOKA-D 2007, Sie Acara Jurnalistic Fair (JF) BEM KM 2008, Panitia Seminar Pakan Nasional pada Rangkaian Acara DFarm Festival BEM-D 2008 dan Staf Himasiter (Himpunan Profesi Mahasiswa Nutrisi Ternak) 2007-2008, Fakultas Peternakan serta Kepanitian Pelatihan Film Dokumenter, 6-11 Juli 2009.
vi
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim Alhamdulillahi rabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia, hidayah dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar dan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul ”Kecernaan Nutrien dan Neraca Nitrogen Sapi Peranakan Ongole yang Mendapat Pakan Blok Mengandung Ekstrak Metanol Lerak (Sapindus rarak)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai manfaat ekstrak metanol lerak (EML) yang disuplemetasi dalam pakan blok dalam mempengaruhi kecernaan pakan dan neraca nitrogen pada sapi potong yang mendapat sumber hijauan yang tinggi. Saponin yang terkandung dalam buah lerak memiliki potensi untuk meningkatkan kecenaan sumber pakan hijauan dengan cara mendefaunasi protozoa sehingga populasi bakteri meningkat. Jumlah bakteri yang meningkat menjadikan asupan protein mikroba sebagai pasokan nutrien bagi induk semang turut meningkat. Penggunaan lerak sebagai sumber saponin alami dapat menjadi alternatif pengganti bahan agen defaunasi sintetik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia peternakan. Amin. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Bogor, 15 Januari 2010 Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................. Tujuan ...............................................................................................
1 1
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
2
Sapi Peranakan Ongole ...................................................................... Lerak (Sapindus rarak) ...................................................................... Saponin .............................................................................................. Konsumsi ........................................................................................... Pakan Blok ......................................................................................... Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia ............................................. Pencernaan Fermentatif pada Ternak Ruminansia ............................ Pengaruh Saponin pada Sistem Rumen ............................................. Kecernaan Ransum ........................................................................... Retensi Nitrogen ................................................................................ Pertambahan Bobot Badan ................................................................. Efisiensi Ransum ...............................................................................
2 4 5 7 7 9 10 12 13 14 15 15
METODE .......................................................................................................
17
Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................. Ternak dan Kandang .............................................................. Ransum .................................................................................. Rancangan .......................................................................................... Perlakuan ................................................................................ Model ..................................................................................... Peubah yang Diamati ............................................................. Analisis Data .......................................................................... Prosedur .............................................................................................
17 17 17 17 18 18 18 19 20 20
viii
Ekstraksi Metanol Lerak ........................................................ Pembuatan Pakan Blok .......................................................... Pemeliharaan .......................................................................... Pengukuran Kecernaan Nutrien ............................................. Analisa Proksimat dan Nitrogen ............................................
20 20 21 22 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
24
Konsumsi Ekstrak Metanol Lerak (EML) ......................................... Konsumsi Bahan Kering Ransum ...................................................... Kecernaan Nutrien ............................................................................. Neraca Nitrogen ................................................................................. Nitrogen Feses ....................................................................... Katabolisme Nitrogen Urin .................................................... Retensi Nitrogen .................................................................... Pertambahan Bobot Badan Harian ..................................................... Efisiensi Ransum ...............................................................................
24 25 27 30 31 31 32 33 34
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
35
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
35 35
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
37
LAMPIRAN ...................................................................................................
42
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan Nutrien Penyusun Ransum Kontrol ...............................
17
2. Kandungan Nutrien Ransum tiap Perlakuan ………….……….…...
18
3. Rataan Nilai Konsumsi Pakan Blok, Ekstrak Metanol Lerak dan Saponin dalam Bahan Kering ............................................................
24
4. Rataan Nilai Konsumsi Bahan Kering Ransum Sapi yang Mendapat Ekstrak Metanol Lerak ……………….…………………
26
5. Rataan Nilai Konsumsi Protein Kasar, Lemak Kasar dan Serat Kasar dalam Bahan Kering ……………………………………........
27
6. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering, Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar ...............................................................................
28
7. Rataan Nilai Konsumsi Nitrogen, Nitrogen Feses, Katabolisme Nitrogen Urin dan Retensi Nitrogen .................................................
30
8. Rataan Nilai Pertambahan Bobot Badan Harian dan Efisiensi Ransum ..............................................................................................
34
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Sapi Peranakan Ongole .....................................................................
3
2. Buah Lerak dan Pohon Lerak ...........................................................
4
3. Sintesis VFA oleh Mikroorganisme di Rumen ………..…….......…
11
4. Serbuk Ekstrak Metanol Lerak .........................................................
21
5. Pakan Blok …………………………………………………………
21
6. Sapi Dipelihara dalam Kandang Individu ….....................................
22
7. Pakan Blok Diberikan dengan Cara Digantung ……………………
22
8. Proses Pengumpulan Feses dan Urin ................................................
23
9. Cara Sapi Mengkonsumsi Pakan Blok ………………………..........
25
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Ancova Konsumsi Pakan Blok ………………….............................
43
2. Ancova Konsumsi Bahan Kering ……………….............................
43
3. Ancova Kecernaan Bahan Kering ....................................................
43
4. Ancova Kecernaan Protein Kasar .....................................................
44
5. Ancova Kecernaan Lemak Kasar .....................................................
44
6. Ancova Kecernaan Serat Kasar ........................................................
44
7. Ancova Konsumsi Nitrogen .............................................................
45
8. Ancova Nitrogen Feses ....................................................................
45
9. Ancova Katabolisme Nitrogen Urin ……..……...............................
45
10. Ancova Retensi Nitrogen .................................................................
46
11. Ancova Pertambahan Bobot Badan Harian ......................................
46
12. Ancova Efisiensi Ransum ................................................................
46
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Peranakan Ongole (PO) di Indonesia biasa dimanfaatkan sebagai ternak pedaging karena memiliki daya adaptasi di lingkungan tropis dan laju pertumbuhan yang cukup baik. Sapi PO juga memiliki kemampuan menyesuaikan dengan pakan yang berkualitas rendah dan jumlah hijauan yang tinggi. Pemberian pakan hijauan berkualitas rendah dengan proporsi yang tinggi akan mengurangi tingkat kecernaan dalam sistem rumen. Tingkat kecernaan pakan pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh populasi mikroorganisme yang ada di dalam rumen. Adanya mikroorganisme seperti protozoa dan bakteri akan membantu proses pencernaan pakan secara fermentatif di dalam rumen (Wilson et al., 1998). Protozoa mempunyai sifat memangsa sebagian bakteri (Damron, 2006) yang menyebabkan populasi bakteri dapat berkurang. Sutardi (1999) menyatakan bahwa proses fermentasi di rumen akan dapat berjalan tanpa banyak gangguan apabila tanpa ada protozoa. Teknologi defaunasi sering dilakukan untuk mengendalikan populasi protozoa di rumen sehingga pertumbuhan bakteri dapat dioptimalkan. Adanya efek yang merugikan dalam penggunaan bahan kimia (sintetik) sebagai agen defaunasi memicu berkembangnya pemanfaatan tanaman yang mengandung saponin sebagai bahan alternatif untuk menekan populasi protozoa dalam rumen. Saponin merupakan senyawa sekunder tanaman yang dapat dijadikan agen defaunasi alami. Keseluruhan buah lerak (Sapindus rarak) yang diekstraksi dengan metanol mengandung saponin yang cukup tinggi yaitu mencapai 81,47% (Astuti et al., 2008). Penggunaan buah lerak dalam ransum pada ternak memiliki kendala yaitu rasanya yang pahit dapat menurunkan konsumsi ransum (Astuti et al., 2009). Untuk itu, perlu disiasati manajemen pemberiannya agar lebih palatabel, yaitu dapat melalui suplementasi dalam pakan blok yang mengandung molases. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk pakan blok terhadap konsumsi bahan kering, kecernaan nutrien, neraca nitrogen, pertambahan bobot badan harian dan efisiensi ransum pada sapi Peranakan Ongole (PO). 1
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Peranakan Ongole Sapi Ongole merupakan keturunan sapi liar Bos indicus yang berhasil dijinakkkan di India. Sapi Ongole termasuk ke dalam bangsa Zebu yang merupakan kumpulan dari bangsa-bangsa sapi yang tersebar luas di India dan Pakistan (Mariam, 1994). Sapi Peranakan Ongole (PO) di Indonesia adalah hasil Ongolisasi sejak awal abad ke-19 yang merupakan hasil persilangan antara sapi pejantan Ongole murni dengan sapi Jawa betina secara grading up (Sarwono dan Arianto, 2003). Secara ilmiah, klasifikasi jenis Bos indicus (Kusna, 1996) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Anak filum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Bangsa
: Artiodactyla
Anak bangsa
: Ruminansia
Infra bangsa
: Pecora
Suku
: Bovidae
Anak suku
: Bovinae
Marga
: Bos
Jenis
: Bos indicus
Ciri khas sapi PO adalah warna bulu putih atau abu-abu dengan campuran hitam, bertubuh besar, bergumba besar, bergelambir pada bagian leher dan permukaan kulit yang luas untuk melakukan penguapan pada saat suhu lingkungan meningkat, kaki panjang dan tanduk pendek kadang-kadang hanya berupa bungkul kecil saja (Mariam, 1994). Ciri khas lainnya yaitu berpunuk besar dan berleher pendek. Kulit berwarna kuning dengan bulu putih atau putih kehitaman. Kulit di sekeliling mata, bulu mata, moncong, kuku, dan bulu cambuk pada ujung ekor berwarna hitam. Mata besar dengan sorot yang tenang. Tanduk pendek dan tanduk pada sapi betina berukuran lebih panjang dibanding dengan sapi jantan. Telinga panjang dan menggantung (Sarwono dan Arianto, 2003). Sapi PO mempunyai karakteristik sebagai ternak kerja yang baik, bertenaga kuat, ukuran badannya besar dan tahan panas (Prayugo, 2003). Sugeng (2002) menambahkan bahwa sapi Ongole dan PO tahan lapar dan haus serta daya adaptasi 2
tinggi pada lingkungan tropis. Kusna (1996) menambahkan bahwa sapi PO dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang berkualitas rendah. Keunggulan lain yang dimiliki oleh sapi PO yaitu tahan terhadap gigitan nyamuk dan caplak, disamping itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Astutik, 2004). Sapi PO dapat bertahan hidup dalam kandang lebih lama, bahkan ketika dikurung secara terus menerus. Adapun gambar sapi PO dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO dapat hidup di daerah iklim tropis dan kering seperti pada daerah asalnya (Madras Utara, India), yaitu pada suhu 17,9–40,40C dengan curah hujan tahunan 762–889 mm. Sapi PO dapat mulai digunakan sebagai sapi kerja pada umur 18-24 bulan. Pada umur dewasa sapi ini mempunyai berat badan sekitar 313,53±62,03 kg (Mariam, 1994). Sarwono dan Arianto (2003) menyatakan bahwa Sapi Ongole lambat dewasa dengan bobot saat lahirnya antara 20-25 kg. Sapi tersebut akan masak kelamin pada umur 24-30 bulan. Jenis sapi ini akan mencapai dewasa pada umur 4-5 tahun dengan bobot rata-rata sapi jantan antara 400-559 kg dan sapi betina 300-400 kg. Bobot maksimum sapi jantan dewasa 600 kg dan sapi betina dewasa 400 kg. Sapi PO menghasilkan daging yang cukup memadai. Adapun persentase karkas berkisar antara 45-58% dan perbandingan antara tulang dan daging adalah 1:4,23.
3
Lerak (Sapindus rarak) Tanaman tropis di Indonesia yang mengandung saponin dalam jumlah tinggi salah satu diantaranya adalah Sapindus rarak atau lebih dikenal dengan pohon lerak (Thalib, 2004). Lerak tergolong dalam famili Sapindaceae yang berbentuk pohon dengan tinggi mencapai 20-30 meter yang berasal dari Asia Tenggara. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik pada hampir segala jenis tanah dan keadaan iklim dari daratan rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 450 m sampai 1500 m dari permukaan laut. Perkembangbiakan lerak pada umumnya dilakukan melalui penanaman biji, sedangkan perbanyakan dengan stek tidak menunjukkan hasil yang memuaskan (Afriastini, 1990). Daun lerak bertangkai panjang dan merupakan daun majemuk menyirip yang terdiri dari anak-anak daun berbentuk bundar memanjang dengan ukuran panjang 4,5–15,5 cm dan lebar 1,5–4,0 cm. Daun muda umumnya berbulu halus dan bila umurnya meningkat bulu ini gugur dan warna daun menjadi hijau pucat. Ibu tulang daun sebelah bawah agak menonjol dan berwarna coklat. Pada ujung-ujung tangkainya terdapat karangan bunga berupa malai yang bergagang panjang (15-35 cm). Bunga berwarna kuning muda, berkelamin tunggal dan satu rumah, terdiri dari lima helai daun kelopak dengan panjang 2-3,5 mm, empat helai daun mahkota dan delapan buah benang sari. Bakal buah berlekuk tiga dengan satu bakal biji pada setiap ruang. Buah yang dihasilkan bulat mirip bola dengan diameter 2-2,5 cm, berminyak dan sedikit berkerut. Buah muda berwarna hijau dan buah tua berwarna coklat kehitaman (Heyne, 1987).
Gambar 2. Buah Lerak (kiri) dan Pohon Lerak (kanan)
4
Daging buah pada lerak banyak mengandung air, mempunyai rasa pahit dan beracun. Tiap buah mempunyai satu biji yang berkulit keras berwarna hitam mengkilat dengan diameter kurang lebih 1 cm (Backer dan Brink, 1965). Menurut Heyne (1987) buah lerak terdiri dari 75 persen daging buah dan 25 persen biji, pada bagian daging buah banyak terkandung senyawa saponin yang merupakan racun yang cukup kuat, buah dan pohon lerak dapat dilihat pada Gambar 2. Kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoida, di samping itu kulit buah juga mengandung alkaloida dan polifenol, sedangkan kulit batang dan daunnya mengandung tanin. Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah senyawa–senyawa dari golongan saponin, sesquiterpen, alkaloid dan steroid, sedangkan kandungan senyawa yang negatif diantaranya adalah antrakinon, tanin, fenol, flavonoid dan minyak atsiri (Sunaryadi, 1999; Wina et al., 2005a) Spesies tanaman Sapindus lainnya terdapat dibeberapa negara seperti Sapindus saponaria di Amerika Selatan dan Tengah, S. emarginatus di India dan Thailand, S. drummonii di Amerika Utara dan S. delavayi di Cina (Wina et al., 2005b). Pengujian secara kualitatif daging buah lerak mengindikasikan cukup aman diberikan pada ternak (Sunaryadi, 1999). Saponin Saponin merupakan suatu glikosida yang terdiri atas gula sebagai bagian glikon yang terikat pada sapogenin atau genin (fraksi non gula) yang merupakan bagian aglikonnya (Harborne, 1996; Makkar, 1991). Glikosida adalah suatu persenyawaan antara karbohidrat dan residu non karbohidrat pada molekul yang sama. Residu karbohidrat terikat oleh ikatan rantai acetal pada rantai atom karbon 1 dengan residu non karbohidrat atau aglikonnya (komponen non gula). Saponin didefinisikan sebagai senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dalam air dan dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah sehingga dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis darah. Saponin diambil dari kata latin sapo yang berarti sabun. Fungsi dalam tumbuhan tidak diketahui, diduga sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuhan yang dapat berguna untuk melindungi tumbuhan tersebut dari predator (Robinson, 1995).
5
Sifat-sifat saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah) dan tidak beracun bagi hewan berdarah panas (Firmansyah, 2005). Berdasarkan sifatsifat tersebut, senyawa saponin mempunyai kegunaan yang sangat luas antara lain sebagai detergen, pembentuk busa pada alat pemadam kebakaran, pembentuk busa pada industri sampo dan digunakan dalam industri farmasi serta dalam bidang fotografi (Prihatman, 2008). Widowati (2007) menyatakan bahwa saponin adalah senyawa surfaktan yang bersifat imunostimulator dan antikarsinogenik. Saponin dapat meningkatkan penyerapan gizi dalam usus karena dalam konsentrasi rendah dapat meningkatkan permeabilitas sel-sel mukosa usus (Tarmudji, 2004). Senyawa saponin dalam dosis yang cukup tinggi dapat menekan dan menurunkan sistem kekebalan sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan (Cheeke, 2000). Saponin memiliki diversifikasi struktur yang luas dan senyawa-senyawa saponin tertentu dengan sifat surfaktan dapat menyebabkan lisis pada dinding sel protozoa, sehingga dapat digunakan untuk defaunasi protozoa. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Berdasarkan struktur kimia, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu glycosal steroid, steroid alkaloid dan saponin triterpenoid (Wina et al., 2005b). Buah lerak dalam bentuk hasil ekstraksi dengan metanol telah dilaporkan mengandung saponin dengan kadar lebih tinggi daripada buahnya yang tanpa diekstrak (Thalib, 2004). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Astuti et al. (2008) yang menyatakan bahwa keseluruhan buah lerak yang diekstrak dengan metanol 70% mengandung saponin yang cukup tinggi yaitu mencapai 81,47% berbeda dengan lerak yang hanya dalam bentuk tepung yang hanya mengandung 3,87% saponin, sedangkan jika diesktrak dengan air mengandung 8,20% saponin. Menurut Sunaryadi (1999) kandungan saponin total hasil ekstraksi tanaman lerak banyak terdapat dibagian daging buah yaitu sekitar 48,87%. Buah lerak yang diekstraksi dengan metanol mengandung saponin dengan kadar dua kali lebih tinggi daripada buahnya yang tanpa diekstrak yakni 15% (Thalib, 2004). Penelitian ini menggunakan keseluruhan buah lerak yang diekstrak dengan metanol. Tingginya
6
kandungan saponin yang diekstrak dengan metanol terkait dengan sifat metanol yang bipolar yang menjadikan saponin terekstrak sempurna. Konsumsi Voluntary feed intake (tingkat konsumsi) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Konsumsi ransum merupakan faktor yang penting untuk menentukan kehidupan pokok dan produksi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi ransum maka akan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum guna memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak. Hasil penelitian Astuti et al. (2009) melaporkan bahwa sapi PO yang diberi tepung dari daging buah Sapindus rarak pada taraf 2,5% dan 5% dari konsentrat tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum. Wina et al. (2006) menambahkan bahwa suplementasi ekstrak daging buah S. rarak pada ransum domba tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada ruminansia yaitu faktor makanan, faktor hewan dan faktor lingkungan (Parakkasi, 1999). Faktor makanan antara lain yaitu bentuk, komposisi nutrien, rasa dan tekstur. Faktor hewan antara lain yaitu bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen. Sedangkan faktor lingkungan antara lain yaitu suhu dan kelembaban udara. McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan juga mempengaruhi konsumsi ransum. Kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat akan meningkatkan konsumsi ransum. Pakan Blok Pakan blok pada ruminansia merupakan pakan suplemen yang biasanya tersusun dari molases, pollard, urea, kapur, mineral mix dan garam dapur yang dikemas dalam bentuk blok yang pembuatannya disesuaikan dengan formula yang diinginkan (BATAN, 2005). Bagi ternak ruminansia pakan blok berfungsi untuk mensuplai mineral untuk memenuhi kebutuhan mineral bagi ternak ruminansia. Molases dalam pakan blok berfungsi sebagai perekat, sumber energi, memiliki rasa yang manis dan aroma wangi serta meningkatkan palatabilitas suatu pakan yang mengandung rasa (pahit) dan aroma tertentu (Parakkasi, 1999). Selain itu, molases juga berperan sebagai carrier Non Protein Nitrogen (NPN) seperti urea sehingga memudahkan aktivitas fermentasi mikroba (Utomo, 2004). Parakkasi 7
(1999) menambahkan bahwa urea merupakan sumber NPN bagi ternak ruminansia, namun penggunaan urea sebagai sumber NPN harus disertai dengan pemberian karbohidrat mudah larut seperti molasses dan pollard. Urea dalam proses fermentasi rumen akan diuraikan oleh enzim urease menjadi NH3 dan CO2, selanjutnya NH3 akan digunakan untuk membentuk asam amino (protein mikroba). Salah satu pembatas dalam penggunaan urea adalah kecepatan perubahannya menjadi NH3 yang empat kali lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan penggunaan NH3 menjadi sel mikroba (Utomo, 2004). Pollard yang terdapat dalam blok berfungsi sebagai bahan pengisi karena sifatnya yang voluminous dan sebagai sumber karbohidrat mudah larut, disamping itu pollard juga mengandung mangan dan kaya akan vitamin B terutama B1 dan B komplek yang sangat penting, akan tetapi mengandung sedikit asam amino essensial (Parakkasi, 1999). Mineral dalam pakan blok dibutuhkan oleh ternak karena tubuh ternak tidak dapat mensintesis mineral sehingga diperoleh melalui pakan. Mineral memberikan fungsi yang banyak bagi tubuh ternak diantaranya berperan dalam pembentukan tulang, gigi dan hemoglobin, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh; mempertahankan tekanan osmotik sel jika diperlukan untuk transfer nutrien melalui membran sel, menjaga kontraksi otot dan menjaga fungsi normal syaraf (Campbell et al., 2003). Garam dapur dan kapur juga digunakan dalam pembuatan pakan blok. Selain menambah rasa, garam mensuplai sumber sodium dan klorida (Herlina, 2003). Garam juga berfungsi sebagai pengawet dimana garam dapat menekan aktivitas enzim glikolitik dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Hal tersebut dapat terjadi karena sifat garam yang higroskopis (Yulisti, 2000). Kapur dalam pakan blok sebagai sumber kalsium dan menekan peningkatan kadar air (Syamsu, 1997). Kapur adalah istilah untuk berbagai bahan kalsium, baik CaO atau kapur tohor, maupun kalsium hidroksida atau kapur mati, sedangkan kapur tulis (CaCO3) sering dinamakan kapur berasam arang (Shadily, 1983). Kapur tohor diperoleh dengan memanaskan karang kapur, batu kapur atau batu pualam. Selain itu, kapur juga berfungsi untuk menekan pertumbuhan kapang (Syamsu, 1997).
8
Sistem Pencernaan Ruminansia Ternak ruminansia sangat penting bagi manusia karena ternak tersebut dapat mengubah pakan serat yang dimakannya menjadi hasil produksi seperti daging, susu dan bulu (wool, mohair) tanpa harus secara langsung sumber pakannya berkompetisi dengan manusia. Jalur pencernaan ruminansia diawali melalui mulut, faring, esophagus, perut, usus halus, sekum, usus besar, rektum dan dieksresikan melalui anus (Campbell et al., 2003). Saliva pada sapi tidak mengandung enzim pemecah karbohidrat, oleh karena itu pencernaan pakan berawal pada enzim pencernaan yang dihasilkan oleh mikroba rumen (Cunningham et al., 2005). Pencernaan pada perut depan terdiri dari rumen, retikulum dan omasum yang bersifat fermentatif karena adanya mikroba rumen, sedangkan perut belakang yaitu abomasum yang sistem pencernaannya bersifat hidrolitis karena adanya enzim-enzim induk semang (Banerjee, 1978). Bagian yang terbesar pada perut ruminansia dewasa adalah rumen (perut handuk), yang terletak di sisi kiri abdominal. Selanjutnya dibagian depan rumen terdapat bagian yang lebih kecil yang disebut retikulum (perut sarang lebah). Bagian yang ketiga adalah omasum (perut berlapis/buku) yang terletak disebelah kanan rumen dan retikulum. Sedangkan, bagian terakhir adalah abomasum yang terletak di sisi kiri bawah omasum dan meluas ke bagian belakang melewati sisi kanan dari rumen. Abomasum dapat disamakan dengan perut pada ternak non ruminansia oleh karena itu biasanya disebut sebagai perut sejati (Frandson, 1992). Pembentukan sistem pencernaan ruminansia berlangsung secara bertahap. Saat sapi dan domba baru lahir perutnya berfungsi seperti halnya ternak non ruminansia karena 3 bagian perut pertama yaitu rumen, retikulum dan omasum memiliki ukuran yang relatif kecil dibanding abomasum. Seiring bertambahnya umur, ukuran rumen pun mulai membesar, tumbuh dengan dengan cepat dan secara bertahap mulai berfungsi dibanding abomasum (Cunningham et al., 2005). Karakteristik ternak ruminansia dalam memakan hijauan yaitu dengan sedikit mengunyah kemudian langsung menelan. Setelah kapasitas lambung tercukupi ternak berhenti memakan dan mencari tempat yang nyaman untuk merebahkan diri yang kemudian proses ruminasi dimulai (Campbell et al., 2003). Proses ruminasi meliputi regurgitasi, resalivasi, remastikasi dan penelanan kembali dari materi ingesta rumen pertama. Kontraksi rumen menggerakan massa pakan (bolus) menuju kardia (untuk
9
keluar melewati esophagus) dan bergerak secara peristaltik menuju mulut. Kemudian bolus di kunyah kembali dan di salivasi dengan lebih lambat. Proses ruminasi berlangsung 8 jam per hari, sodium bicarbonate yang terdapat dalam saliva berfungsi untuk menjaga pH rumen agar tetap netral (Cunningham et al., 2005). Pencernaan Fermentatif pada Ruminansia Pencernaan fermentatif pada ruminansia dapat terjadi oleh karena adanya mikroorganisme. Mikrorganisme rumen dan induk semang (ternak) hidup secara simbiosis. Di rumen terdapat empat jenis mikroorganisme anaerob, yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya seperti virus (Damron, 2006). Keberadaan mikrooganisme untuk mencerna pakan menjadi partikel nutrien yang lebih sederhana merupakan keuntungan bagi ternak. Pemberian pakan pada ruminansia menjadi lebih kompleks karena pemberian pakan mencakup pemberian pakan pada mikroorganisme dan juga induk semang. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme rumen diantaranya adalah suhu yang hangat (39oC), kelembaban dan nutrien pakan yang cukup, pH yang sesuai (sekitar 6,8-7), kondisi anaerob, kapasitas buffer, tekanan osmotik dan potensial oksidasi reduksi (Dehority, 2004). Populasi bakteri yang terdapat di dalam cairan rumen jumlahnya mencapai 109-1010 sel/ml cairan rumen dan populasi mikoorganisme terbesar kedua di cairan rumen adalah protozoa yang populasinya mencapai 106 sel/ml cairan rumen (McDonald et al., 2002). Mikroba protozoa kurang mampu mensintesa asam amino dan vitamin B kompleks sehingga diperoleh dengan jalan memangsa bakteri (Arora, 1989). Oleh karena ukuran protozoa yang lebih besar dari bakteri dan cenderung tetap berada di rumen, sifat protozoa memangsa bakteri menjadi suatu masalah karena dapat mengakibatkan penurunan populasi yang drastis dari bakteri. Untuk itu perlu dilakukan defaunasi (pemindahan protozoa dari rumen). Mikroorganisme di rumen berperan untuk: mengubah sebagian besar pati dan selulosa menjadi asam lemak terbang sebagai sumber energi; mengubah protein dan nitrogen bukan protein menjadi protein bakteri dan protozoa yang digunakan sebagai sumber protein yang mengandung asam amino esensial untuk induk semang; dan mensintesis vitamin K dan semua vitamin B (Cunningham et al., 2005).
10
Pakan dicerna secara fermentatif menghasilkan asam lemak terbang (sebagai produk akhir yang utama), NH3, sel mikroba, gas metan, CO2 dan air. Gas metan akan dikeluarkan dengan cara eruktasi dan VFA diserap melalui dinding rumen. Sel mikroba bersama dengan komponen makanan yang tidak terdegradasi, masuk ke abomasum dan usus halus yang kemudian dicerna oleh enzim yang disekresikan oleh ternak inang (McDonald et al., 2002). Beberapa pakan dicerna dengan cepat dan adapula yang lambat. Mikroorganisme berperan sebagai pencerna karbohidrat (seperti gula, pati dan selulose) dan protein. Asam lemak terbang yang diproduksi di rumen yaitu asetat, propionat, butirat, isobutirat, valerat dan isovalerat. Perbandingan di dalam rumen berkisar pada 50-70% asetat, 17-21% propionat, 14-20% butirat, valerat dan format hanya terbentuk dalam jumlah kecil (Schlegel, 1994). Pembentukan asam lemak terbang dari pakan sumber karbohidrat dapat dilihat pada Gambar 3. Sedangkan, protein dalam rumen oleh enzim proteolisis mikroorganisme rumen banyak dipecah menjadi amonia dan asam organik. Mikroorganisme kemudian menggunakan amonia tersebut untuk menghasilkan asam amino yang kemudian dipergunakan untuk pembentukan sel bakteri itu sendiri (Damron, 2006). Selulosa
Pati Amilase
Selulase Selobiosa
Maltosa Glukosa 2 ATP 2 NAD+ 2 NADH Piruvat
Asam Laktat 4 NADH 4 NAD+ Propionat
2 NAD+ 2 NADH CO2 CH4 Asetil Co-A NADH NAD+ Asetat
Butirat
Gambar 3. Sintesis VFA oleh Mikroorganisme di Rumen (Damron, 2006) Mikroba protozoa akan menghasilkan gas NH3 di dalam rumen ternak. Apabila teknik defaunasi diterapkan maka akan terjadi penurunan kadar NH3,
11
sehingga perlu adanya penambahan urea (Sutardi, 1999). Pencernaan lemak dari pakan tidak banyak diubah melalui proses fermentasi. Pemberian lemak dalam level tinggi sesungguhnya buruk untuk mikroba dan menurunkan kemampuan mikroorganisme secara keseluruhan dalam melakukan fungsinya. Asam lemak terbang yang dihasilkan dalam rumen memberikan sumbangan sebanyak 50-70% dari total energi yang dibutuhkan induk semang (ternak). Sel bakteri menyediakan 5-10% energi untuk induk semang dan pakan yang dicerna secara enzimatis sekitar 20-30% (Damron, 2006). Produksi gas dalam sistem rumen dihasilkan dari proses fermentasi asetat, propionat dan butirat. Dalam sehari gas yang terbentuk dari seekor sapi sekitar 900 liter. Berdasarkan volumenya gas tersebut tersusun dari 65% karbon dioksida (CO2), 27% metan (CH4), 7% nitrogen (N) dan 0,18% hidrogen (H2) serta gas H2S (Schlegel, 1994). Pengaruh Saponin pada Sistem Rumen Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Lerak yang mengandung saponin dapat menurunkan aktifitas protozoa sebagai predator bagi bakteri sehingga populasi bakteri dapat optimal dan meningkatkan sintesis protein mikroba rumen ke duodenum (Suparjo, 2008). Kandungan tanin yang terdapat dalam lerak dapat berikatan dengan protein sehingga menurunkan fermentasi protein dalam rumen (Wang et al., 2000). Saponin mampu membunuh atau melisiskan protozoa dengan membentuk ikatan yang kompleks dengan sterol yang terdapat pada permukaan membran protozoa (Wallace et al., 2002). Suparjo (2008) menambahkan bahwa saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa) tetapi tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena dinding membran bakteri berupa polisakarida yang berikatan dengan protein (peptidoglikan). Bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan
12
saponin selain itu bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut dengan menghilangkan rantai karbohidrat dari saponin. Akhir-akhir ini sudah mulai berkembang pemanfaatan tanaman yang mengandung
saponin
sebagai
alternatif
penggunaan
bahan-bahan
kimia
industri/sintetik untuk menekan populasi protozoa dalam rumen (Thalib, 2004). Secara kimia saponin memiliki diversifikasi struktur yang luas dan senyawa-senyawa saponin tertentu dengan sifat surfaktannya dapat menyebabkan terjadinya lisis pada dinding sel protozoa, dengan demikian dapat digunakan untuk defaunasi protozoa. Penggunaannya sebagai defaunator protozoa rumen dilaporkan sangat efektif. Makkar dan Becker (1997) membuktikan bahwa saponin dari tanaman Quillaja saponaria berada dalam keadaan stabil di dalam rumen selama 6 jam tanpa kehilangan aktifitas anti protozoa. Thalib (2004) menambahkan bahwa ekstrak buah Sapindus rarak digunakan untuk menghambat produksi gas CH4 dan efektifitasnya sebagai inhibitor metanogenesis. Kecernaan Ransum Kecernaan ransum adalah suatu pengukuran untuk mengetahui kemampuan sistem pencernaan ternak dalam merubah nutrien pakan menjadi komponen kimia sederhana sehingga mudah diserap (Damron, 2006). Selain itu, Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa kecernaan adalah persentase pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan yang kemudian dapat diserap tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum diantaranya adalah suhu lingkungan, laju alir pakan saat melewati sistem pencernaan, bentuk fisik pakan dan komposisi nutrien pakan (Campbell et al., 2003). McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan juga dipengaruhi oleh komposisi rasio ransum antara hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pengetahuan akan faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum sangatlah penting sebagai strategi dalam meningkatkan efisiensi konversi ransum. Teknik defaunasi dengan penggunaan bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien ransum yang tinggi angka kecernaannya (Sutardi, 1999). Selain itu, adanya saponin sebagai agen defaunasi dapat menurunkan nilai kecernaan protein di rumen (Suparjo, 2008). Saponin dari tanaman Sapindus
13
saponaria dapat menurunkan kecernaan ADF, NDF dan selulosa secara in vitro pada sistem fermentasi (Hess et al., 2004). Namun secara umum, saponin tidak mempengaruhi nilai kecernaan secara total. Pengaruh dari saponin terhadap ternak sangat bervariasi karena faktor-faktor tertentu diantaranya jenis tanaman yang digunakan, ternak ruminansia, jumlah kandungan saponin dan ransum yang dikonsumsi (Wina et al., 2005b). Retensi Nitrogen Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein adalah menghitung nilai neraca nitrogen (Crampton dan Harris, 1969). Llyod et al. (1978) menyatakan bahwa neraca nitrogen merupakan cerminan proses penyimpanan atau pengurangan protein dalam tubuh yang dapat memberikan ukuran kecernaan protein. Neraca nitrogen merupakan intensitas total dari proses anabolisme dan katabolisme nitrogen yang dapat digambarkan melalui persamaan RN=KN(NU+NF); dimana RN= retensi nitrogen, KN= konsumsi nitrogen, NU= katabolisme nitrogen urin dam NF= nitrogen feses. Jadi, retensi nitrogen merupakan selisih dari konsumsi nitrogen dengan ekskresi nitrogen melalui urin dan feses (Maynard dan Loosli, 1969). Nitrogen yang keluar melalui urin antara lain berupa keratin, amonia, asam amino dan urea. Sebagian besar nitrogen urin berasal dari urea yang dibentuk di hati, kemudian difiltrasi oleh ginjal dan keluar melalui urin. Kehilangan nitrogen melalui urin merupakan hasil proses metabolisme jaringan tubuh yang disebut endogenous urinary nitrogen (Banerjee, 1980). Kadar nitrogen melalui urin jumlahnya bervariasi tergantung pada tingkat konsumsi nitrogen, tingkat protein ransum, koefisien cerna protein, tingkat energi ransum, bentuk fisik dan macam bahan makanan dan penyerapan nitrogen di dalam tubuh ternak (Wohlt et al., 1976). Nitrogen feses antara lain berasal dari protein makanan yang tidak tercerna, nitrogen endogenous yang terdiri dari enzim-enzim pencernaan dan cairan lainnya yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sel-sel mukosa yang terkikis mengandung protein dan mikroba saluran pencernaan yang akan keluar bersama fraksi feses (Parakkasi, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran nitrogen melalui feses adalah bobot badan, konsumsi bahan kering, kandungan serat kasar, energi dan protein ransum (Yan et al., 2007). Penelitian Hess et al. (2004)
14
membuktikan bahwa buah S. saponaria tidak meningkatkan retensi nitrogen. Eugene et al. (2002, 2004) juga menyimpulkan bahwa adanya defaunasi dalam mempengaruhi retensi nitrogen bergantung dari pakan. Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan adalah suatu proses peningkatan dalam struktur jaringan seperti tulang, otot dan organ serta deposit lemak jaringan adipose serta bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum lahir dan sesudah lahir sampai mencapai tubuh dewasa (Parakkasi, 1999). Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan yang dilakukan dengan cara penimbangan. Menurut Azis (1993), pertambahan bobot badan sangat bergantung dari jenis sapi. Nilai PBBH normal untuk sapi Peranakan Ongole berkisar antara 0,4-0,8 kg/e/h. Penggunaan saponin dapat meningkatkan pertumbuhan diduga oleh karena meningkatkan protein by-pass dan meningkatkan penyerapan nutrien di usus (Suparjo, 2008). Neraca nitrogen dapat bernilai negatif, positif atau nol yang tercermin dari bobot badan ternak. Apabila neraca nitrogen positif maka ternak tersebut akan meningkat bobot badannya, karena terjadi penambahan pada tenunan urat dagingnya (Crampton dan Harris, 1969). Begitupula sebaliknya, jika neraca nitrogen negatif maka ternak akan menurun bobot badannya karena adanya penggunaan protein tubuh untuk mencukupi kebutuhan hidup ternak. Sedangkan apabila neraca nitrogen bernilai nol maka bobot badan ternak tetap. Walaupun sesungguhnya nilai tersebut tidak sepenuhnya benar karena nitrogen yang keluar sebagai bulu, kulit dan kuku tidak diperhitungkan oleh karena nilainya yang relatif kecil Papas (1977). Efisiensi Ransum Efisiensi ransum adalah perbandingan antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Card dan Nesbeim (1972) menyatakan bahwa nilai efisiensi penggunaan pakan menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram pakan. Efisiensi ransum merupakan kebalikan dari konversi pakan, semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka jumlah pakan yang diperlukan untuk dapat menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan penambahan serat kasar 15
dalam ransum akan menurunkan bobot badan. Efisiensi ransum dapat ditingkatkan dengan menambahkan lemak dalam ransum tetapi akan berakibat pada penurunan konsumsi ransum. Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan efisiensi karena lemak dalam ransum tersebut akan dideposisi dalam tubuh sehingga akan meningkatkan bobot badan. Pemberian bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan kesehatan ternak (Suparjo, 2008).
16
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai September 2008. Pemeliharaan ternak berlokasi di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisa kandungan nutrien pakan, feses dan urin dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak dan Kandang Sebagai hewan penelitian digunakan 12 ekor sapi Peranakan Ongole (PO) jantan yang berasal dari Wonosari, Jawa Tengah dengan bobot badan awal sebesar 152,15±11,9 kg. Pemeliharaan ternak dilakukan selama 64 hari yang didahului masa adaptasi pakan selama dua minggu. Ternak dikandangkan dalam kandang individu yang setiap unit kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Ransum Ransum penelitian berupa ransum kontrol yang terdiri dari rumput lapang, konsentrat dan pakan blok. Komposisi konsentrat terdiri dari bungkil kedelai, bungkil kelapa, onggok, pollard, molases, DCP (Dicalcium Phosphate), NaCl dan kapur. Komposisi pakan blok yaitu pollard, tetes, urea, kapur, garam, mineral mix, air dan ekstrak metanol lerak (EML). Kandungan nutrien penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 1 dan kandungan nutrien ransum tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Kandungan Nutrien Penyusun Ransum Kontrol* Nutrien Abu Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar Beta-N
Rumput Lapang
Konsentrat
Pakan Blok
----------------------------- % BK ----------------------------9,37 6,60 41,89 8,98 19,07 21,53 1,03 3,00 0,74 37,67 12,20 4,00 42,95 59,13 31,84
Keterangan: BK = bahan kering; Ransum kontrol terdiri dari 49% rumput lapang, 50% konsentrat dan 1% pakan blok *Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2008)
17
Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum tiap Perlakuan Nutrien Abu Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar Beta-N TDN
P1*
P2*
P3*
----------------------------- % BK -----------------------------8,35 8,28 8,39 14,17 14,17 14,13 2,01 2,02 2,00 24,55 24,54 24,65 50,92 50,99 50,83 62,87
62,89
62,77
Keterangan: BK = bahan kering; P1 = ransum kontrol (49% rumput lapang, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 = P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum; P3 = P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum; EML disuplementasikan dalam pakan blok *) Perhitungan dari hasil analisis masing-masing bahan
Ransum disusun mengacu pada standar kandungan nutrien ransum untuk sapi potong yang disarankan oleh SNI (2005) dengan nilai dalam bahan kering untuk protein kasar sebesar 13% dan TDN sebesar 70%. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan Perlakuan pada penelitian ini mengacu pada penelitian tahun pertama dengan menggunakan keseluruhan buah lerak yang diberikan dalam bentuk tepung yang dicampurkan dalam pakan konsentrat sapi potong (PO) pada taraf 2,5% dan 5%. Berdasarkan hasil terbaik pada pemberian tepung lerak taraf 2,5% dari konsentrat maka kandungan saponin yang terdapat dalam tepung lerak tersebut dikonversikan dalam bentuk ekstrak yang kemudian digunakan sebagai perlakuan P3 pada penelitian ini. Lerak yang digunakan pada penelitian ini merupakan keseluruhan buah lerak yang diekstrak dengan metanol 70%. Proses ekstraksi dilakukan untuk mengkonsentrasikan dosis saponin. Pada perlakuan P2 dilakukan penurunan dosis saponin menjadi setengah dari perlakuan P3. Persentase ekstrak metanol lerak yang terdapat dalam pakan blok pada perlakuan P2 sebesar 3,56% dan pada P3 sebesar 7,24%. Jika dibandingkan ke dalam ransum maka pesentase EML pada perlakuan P2 sebesar 0,03% dan pada perlakuan P3 sebesar 0,08%.
18
Perlakuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : P1 = ransum kontrol (49% hijauan, 50% konsentrat dan 1% pakan blok) P2 = P1 yang mengandung 0,03% ekstrak metanol lerak dari total ransum P3 = P1 yang mengandung 0,08% ekstrak metanol lerak dari total ransum Ekstrak metanol lerak pada P2 dan P3 disuplementasikan ke dalam pakan blok Model Model matematis yang digunakan adalah model ANCOVA dengan satu covariate dengan persamaan sebagai berikut (Montgomery, 2001):
Dimana: yij = nilai peubah respon pada perlakuan ke-i dan observasi ke-j xij = nilai covariate pada observasi yang bersesuaian dengan yij µ
= rataan umum
i
= pengaruh perlakuan ke-i
β
= koefisien regresi linier
ij = random eror Peubah yang diamati 1.
Konsumsi Ransum (kg/e/h) Konsumsi ransum dihitung dari selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum keesok pagi harinya.
2.
Konsumsi Saponin dalam Pakan Blok (g/e)
3.
Kecernaan Nutrien Kecernaan nutrien diperoleh dari selisih konsumsi nutrien dengan nutrien feses dibagi konsumsi nutrien dikalikan seratus persen. Kecernaan nutrien yang dihitung yaitu bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar.
4.
Pengukuran neraca nitrogen (McDonald et al., 2002) Neraca nitrogen dihitung dengan cara: a. Konsumsi Nitrogen = Konsumsi Bahan Kering x % Nitrogen Feses b. Nitrogen Feses (N Feses) = Jumlah Feses x % BK Feses x % Nitrogen Feses c. Katabolisme Nitrogen Urin = Jumlah Urin x % Nitrogen Urin
19
d. Retensi Nitrogen = Konsumsi N – N Feses – Katabolisme N 5.
Pertambahan Bobot Badan Harian (kg/e/h) Pertambahan bobot badan harian dihitung dengan membagi pertambahan bobot badan selama pemeliharaan dalam satuan kilogram dengan lama pemeliharaan dalam satuan hari.
6.
Efisiensi Ransum Efisiensi ransum dapat diperoleh dengan cara menghitung pertambahan bobot badan harian dibagi dengan konsumsi bahan kering ransum harian.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis peragam (Analysis Covariance) dengan satu covariate yakni bobot badan awal dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Montgomery, 2001). Prosedur Ekstraksi Metanol Lerak Buah lerak didatangkan dari daerah Purwodadi, Jawa Tengah. Bagian dari buah lerak yang digunakan pada penelitian ini meliputi daging buah dan biji. Sebelum digiling buah lerak dibersihkan dan dikeringanginkan selama 30-36 jam, lalu dioven pada suhu 60oC kemudian digiling kembali sehingga menghasilkan tepung. Tepung lerak yang diperoleh diekstraksi dengan pelarut metanol 70% untuk mendapatkan senyawa bioaktif. Ekstraksi dilakukan melalui teknik perendaman (maserasi) selama ≥24 jam dengan perbandingan antara tepung lerak dan metanol yaitu 1:4. Larutan yang diperoleh kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring. Endapan yang dihasilkan direndam kembali dengan perbandingan yang sama dan
disaring.
Cairan
yang
diperoleh
dari
kedua
penyaringan
dicampur
(dihomogenkan) dan dievaporasi kemudian dikeringbekukan dengan freeze drier. Pembuatan Pakan Blok Pembuatan pakan blok dilakukan dengan mencampur bahan-bahan mikro terlebih dahulu yaitu urea, garam, EML dan mineral mix. Selanjutnya pollard dicampur dengan campuran tersebut, lalu ditambahkan molases dan air. Penambahan kapur dilakukan terakhir kemudian dicetak menggunakan mesin pres dan ditimbang.
20
Gambar 4. Serbuk Ekstrak Metanol Lerak
Gambar 5. Pakan Blok Pemeliharaan Ternak dipelihara dalam kandang individu. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pada pukul 06.00-09.00 WIB dan 13.00-16.00 WIB. Air minum diberikan secara ad libitum dan pakan blok diberikan dengan cara digantung di depan sapi. Ketinggian dari pakan blok yang digantung disesuaikan dengan jangkauan dari tiap individu sapi.
21
Gambar 6. Sapi Dipelihara dalam Kandang Individu
Gambar 7. Pakan Blok Diberikan dengan Cara Digantung Pengukuran Kecernaan Nutrien (McDonald et al., 2002) Pengumpulan (koleksi) feses dan urin dilakukan selama 5 hari berturut-turut pada minggu terakhir pemeliharaan yang bertujuan untuk mengetahui kandungan nitrogen yang keluar melalui urin dan feses. Saat koleksi ternak menggunakan hernet sehingga urin tidak bercampur dengan feses. Koleksi feses diambil selama 24 jam dimulai pada pagi hari sampai keesokan pagi harinya. Feses yang terkumpul ditimbang dan diaduk (dihomogenkan) untuk diambil sebagai sampel sebanyak ±100 22
gram kemudian dijemur kurang lebih satu hari. Setelah kering feses dimasukkan ke dalam kantong kertas yang diberi label untuk dilakukan analisa. Analisa kecernaan dimulai dengan cara menimbang feses sebelum dan sesudah feses dikeringkan dalam oven 60oC. Feses dihomogenkan per lima hari perlakuan lalu dihaluskan dengan mortar kemudian diambil 5% untuk selanjutnya dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan nutrien feses.
Gambar 8. Proses Pengumpulan Feses dan Urin Produksi urin tiap individu ternak ditampung pada dirijen yang sebelumnya telah ditambahkan larutan H2SO4 0,1 N yang berfungsi untuk mengikat nitrogen urin. H2SO4 yang ditambakan sebanyak 1% dari total urin tiap individu ternak. Volume urin yang dihasilkan ternak diukur kemudian diaduk (dihomogenkan) untuk diambil sebagai sampel sebanyak ±200 ml. Sampel yang telah terkumpul disimpan dalam botol tertutup dan disimpan di freezer sampai siap untuk dianalisis. Analisis Proksimat dan Nitrogen (AOAC, 2005) Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan nutrien dari masing-masing bahan pakan dan feses, meliputi kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar. Sampel urin dianalisis untuk mengetahui kandungan nitrogennya.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ekstrak Metanol Lerak (EML) Lerak yang digunakan pada penelitian ini merupakan keseluruhan buah lerak yang diekstrak dengan metanol 70% sehinga menghasilkan 81,47% saponin. Proses ekstraksi dilakukan bertujuan untuk mengkonsentrasikan senyawa saponin. Dosis saponin yang hampir sama antara tepung lerak dengan lerak hasil ekstraksi memberikan pengaruh yang berbeda. Pengaruh saponin pada buah lerak yang telah diekstrak jauh lebih tinggi dibandingkan pemberian saponin yang terkandung dalam bentuk tepung (Thalib, 2004). Pengaruh saponin yang lebih rendah pada lerak berbentuk serbuk disebabkan oleh karena saponin dalam bentuk serbuk lerak relatif berada dalam keadaan yang tidak bebas karena masih terikat secara fisik dengan senyawa-senyawa lain. Hasil sidik peragam menunjukkan bahwa suplementasi EML dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi pakan blok. Kisaran konsumsi pakan blok, EML dan saponin oleh ternak selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Nilai Konsumsi Pakan Blok, Ekstrak Metanol Lerak, dan Saponin dalam Bahan Kering Konsumsi
P1
P2
P3
------------------- g per ekor per hari --------------------Pakan Blok
61,56±12,07
54,81±26,77
70,10±19,98
Ekstrak Metanol Lerak*
0
1,96±0,96
5,08±1,45
Saponin**
0
1,60±0,78
4,13±1,18
Keterangan: P1 = ransum kontrol (49% rumput lapang, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 = P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum; P3 = P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum; EML disuplementasi dalam pakan blok *perhitungan EML berdasarkan persentase EML dalam pakan blok yaitu sebesar 3,56% pada P2 dan sebesar 7,24% pada P3 **perhitungan saponin berdasarkan persentase saponin yaitu 81,47% dalam EML Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi pakan blok
Konsumsi pakan blok akan berpengaruh pada jumlah EML dan saponin yang masuk ke dalam tubuh ternak. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada pakan blok yang disuplementasi 0,08% EML dari total ransum, ternak mengkonsumsi EML dan saponin sebesar 2,6 kali lebih banyak dibandingkan pada pakan blok yang disuplementasi 0,03% EML dari total ransum. Peningkatan konsumsi EML tersebut 24
membuktikan bahwa pakan blok yang mengandung EML pada taraf 0,08% dari total ransum masih dapat ditolerir oleh ternak. Walaupun kandungan saponin dari lerak memiliki rasa pahit (Firmansyah, 2005). Hal tersebut diduga oleh karena rasa manis dari molasses yang dapat meningkatkan palatabilitas suatu pakan sehingga mampu meredam rasa pahit dari lerak. Hasil pemberian EML dalam pakan blok yang di dalamnya terdapat molases ternyata cukup disukai oleh ternak dan dapat mengatasi rasa pahit dari lerak.
Gambar 9. Cara Sapi Mengkonsumsi Pakan Blok Adapun hal yang mempengaruhi individu ternak dalam mengkonsumsi pakan blok yakni perbedaan tingkat kesukaan (palatabilitas) tiap ternak. Church dan Pond (1988) melaporkan bahwa palatabilitas suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa dan tekstur. Selain itu, konsumsi pakan blok diduga juga dipengaruhi oleh status mineral dari tiap individu ternak. Ternak yang telah tercukupi status mineralnya maka frekuensi menjilat pakan blok akan menurun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas dari pemberian EML dalam pakan blok sangat bergantung pada frekuensi individu ternak dalam menjilat pakan blok. Konsumsi Bahan Kering Ransum Hasil sidik peragam menunjukkan bahwa suplementasi EML dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Kisaran konsumsi bahan kering ransum dapat dilihat pada Tabel 4. 25
Hasil penelitian Astuti et al. (2009) melaporkan bahwa sapi PO yang diberi tepung dari keseluruhan buah lerak pada taraf 2,5% dan 5% dari konsentrat tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum. Hal yang sama dinyatakan Abreu et al. (2004), dimana suplementasi Sapindus saponaria sebanyak 8 g BK/kg bobot badan metabolis yang mengandung 12% saponin dalam bahan kering tidak nyata menurunkan konsumsi ransum basal pada jenis domba Afrika dewasa berbulu. Wina et al. (2006) menambahkan bahwa suplementasi ekstrak daging buah S. rarak yang diberikan setiap tiga kali sehari dalam ransum domba pada taraf 0,48 dan 0,72 g/kg bobot badan tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum. Tabel 4. Rataan Nilai Konsumsi Bahan Kering Ransum Sapi yang Mendapat Ekstrak Metanol Lerak Peubah
P1
P2
P3
--------------------- kg per ekor per hari ----------------------Konsumsi
4,80±0,36
4,60±0,40
4,69±0,34
- Rumput Lapang
2,34±0,16
2,24±0,21
2,30±0,16
- Konsentrat
2,40±0,20
2,31±0,19
2,32±0,19
- Pakan Blok
0,06±0,01
0,05±0,03
0,07±0,02
Keterangan: P1 = ransum kontrol (49% hijauan, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 = P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum; P3 = P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum; EML disuplementasi dalam bentuk pakan blok Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum
Konsumsi bahan kering ransum pada penelitian ini setara dengan kisaran 3,06-3,13% dari bobot hidup ternak. Nilai tersebut mendekati kebutuhan bahan kering ransum sapi pedaging yang tercantum dalam NRC (1984) yaitu 3% BK dari bobot hidup ternak dan menurut Cunningham et al. (2005) yaitu berkisar antara 2,53,5% dari bobot hidup ternak. Konsumsi bahan kering ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bobot badan, bentuk ransum, kandungan nutrien ransum, status fisiologis dan kapasitas rumen (Parakkasi, 1999). Selain itu, McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan dan laju digesta juga turut mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Konsumsi nutrien yang dibutuhkan ternak tergantung pada bobot badan dan kecepatan laju pertumbuhannya. Nilai konsumsi protein kasar, lemak kasar dan serat kasar pada penelitian ini diduga telah mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak sehingga memungkinkan ternak untuk tumbuh dan berproduksi. Hal tersebut dapat 26
tercermin dari bobot badan ternak yang bertambah. Nilai konsumsi protein kasar, lemak kasar dan serat kasar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Nilai Konsumsi Protein Kasar, Lemak Kasar, dan Serat Kasar dalam Bahan Kering Peubah
P1
P2
P3
------------------ g per ekor per hari --------------------Konsumsi Ransum - Protein Kasar
681,39±53,57
653,41±54,60
663,84±47,84
- Lemak Kasar
96,42±7,72
92,59±7,84
93,58±7,11
1177,14±84,41
1127,56±103,07
1153,07±82,06
- Serat Kasar
Keterangan: P1 = ransum kontrol (49% hijauan, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 = P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum; P3 = P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum; EML disuplementasi dalam bentuk pakan blok Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum
Kecernaan Nutrien Hasil sidik peragam menunjukkan bahwa suplementasi EML dalam pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi kecernaan bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hristov et al. (1999) dan Oeliwinski et al. (2004) yang menyatakan penambahan Yucca schidigera yang mengandung saponin pada pakan sapi betina dara, domba dan sapi perah tidak nyata mempengaruhi kecernaan ransum secara total. Sebaliknya, Abreu et al. (2004) melaporkan bahwa penggunaan saponin yang terkandung dalam S. saponaria menurunkan kecernaan nutrien. Rataan nilai kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Kecernaan nutrien merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas dari pakan. Kecernaan nutrien diartikan juga sebagai bagian dari konsumsi nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses dan diasumsikan diabsorbsi oleh tubuh ternak (Payne dan Wilson, 1999). Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang nutrien yang dapat dimanfaatkan untuk produktivitas ternak. Nilai rataan kecernaan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 65,18%69,16%. Nilai tersebut masih berada diatas nilai kecernaan bahan kering yang normal menurut Preston dan Leng (1987) yaitu berkisar antara 55%-65%. Sedangkan, Bakrie (1996) menyatakan bahwa nilai kecernaan di daerah iklim tropis berkisar antara 27
40%-65%. Penelitian sapi PO yang diberi tepung dari keseluruhan buah Sapindus rarak pada taraf 2,5% dan 5% dari konsentrat menghasilkan nilai kecernaan bahan kering berkisar antara 65,28%-68,99%; kecernaan protein kasar berkisar antara 68,01%-81,54%; dan kecernaan serat kasar berkisar antara 47,10%-63,91% (Astuti et al., 2009). Penambahan 0,03% dan 0,08% EML dari total ransum menghasilkan variasi nilai kecernaan nutrien. Saponin yang dikonsumsi sebanyak 2,6 kali lebih besar pada perlakuan pakan blok yang mengandung 0,08% EML dari total ransum jelas memperlihatkan penurunan nilai kecernaan walaupun tidak berbeda nyata. Namun, nilai kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar pada pakan blok yang mengandung 0,03% EML dari total ransum menunjukkan hasil yang cenderung lebih baik dibanding perlakuan lainnya (Tabel 6). Tabel 6. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering, Protein Kasar, Serat Kasar dan Lemak Kasar Peubah
P1
P2
P3
---------------------------- % ----------------------------Kecernaan Bahan Kering
66,02±5,24
69,16±3,78
65,18±1,64
Kecernaan Protein Kasar
79,33±1,46
81,01±4,00
78,68±5,54
Kecernaan Lemak Kasar
72,29±5,01
79,74±4,54
70,74±8,30
Kecernaan Serat Kasar
52,76±7,69
57,99±5,59
51,59±2,64
Keterangan: P1 = ransum kontrol (49% hijauan, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 = P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum; P3 = P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar
Adanya perubahan populasi mikroba rumen akan mempengaruhi kecernaan ransum pada ternak. Thalib et al. (1996) menyatakan bahwa kandungan saponin dari ekstrak metanol buah S. rarak meningkatkan bakteri selulolitik pada ternak domba namun tidak nyata mempengaruhi kecernaan bahan kering ranum. Hess et al. (2003) menyatakan bahwa penambahan S. saponaria dalam ransum dapat menurunkan protozoa hingga 54%. Sejalan dengan hasil tersebut, Wina et al. (2005) menyatakan bahwa penambahan S. rarak secara in vitro pada cairan rumen sapi nyata menurunkan populasi protozoa. Pengaruh yang diharapkan terjadi di rumen ternak jika ditambahkan pakan yang mengandung saponin yakni bersifat kontinu dalam
28
mendefaunasi protozoa secara parsial dan meningkatkan populasi bakteri sehingga kecernaan pakan meningkat. Terciptanya kondisi dimana populasi mikroba yang berimbang antara protozoa dan bakteri dapat membantu proses pencernaan fermentatif pakan (Wilson et al., 1998). Penggunaan lerak sebagai imbuhan pakan dalam ransum ternak ruminansia dapat menurunkan nilai kecernaan protein kasar. Hal tersebut diduga oleh karena kandungan tanin yang terdapat di lerak. Tanin merupakan polyphenol yang bersifat fungistatik dan memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan protein. Di rumen saponin dapat membentuk kompleks protein-saponin yang sedikit tercerna (Suparjo, 2008). Selain itu Wang et a.l (2000) menyatakan bahwa bakteri selulolitik lebih rentan terhadap saponin. Di organ pasca rumen, saponin juga mampu menurunkan nilai kecernaan lemak kasar karena saponin mampu menurunkan konsentrasi kolesterol serum darah dengan mengikat dan mencegah absorbsi kolesterol karena adanya interaksi saponin-kolesterol yang merupakan kompleks yang tidak larut (Suparjo, 2008). Ramirez et al. (1998) melaporkan bahwa sapi pedaging yang diberi ransum mengandung saponin dari ekstrak tanaman Y. schidigera tidak nyata mempengaruhi nilai kecernaan lemak di rumen dan di pasca rumen pada ternak. Suplementasi saponin dalam pakan dapat menurunkan populasi protozoa di rumen. Penurunan jumlah protozoa tersebut dapat menurunkan aktifitas enzim fibrolitik yang disintesis oleh protozoa (Makkar dan Becker, 1997). Hal ini diduga menjadi penyebab nilai kecernaan serat di rumen dapat menurun. Namun, nilai kecernaan serat dapat meningkat kembali oleh karena penurunan populasi protozoa dapat meningkatkan populasi bakteri. Menurut Jouany (1991), protozoa memangsa bakteri di rumen secara selektif sehingga proses defaunasi hanya meningkatkan bakteri yang biasa dimangsa protozoa. Populasi bakteri yang meningkat ternyata keberadaannya di rumen tidak tetap, tidak seperti protozoa yang dapat menempel pada dinding rumen dan memiliki ukuran yang lebih besar. Bakteri dapat lolos bersama partikel pakan menuju pencernaan pasca rumen (Damron, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum diantaranya adalah laju alir pakan saat melewati sistem pencernaan, bentuk fisik pakan dan komposisi nutrien pakan (Campbell et al., 2003). Saponin triterpenoid yang terdapat di lerak merupakan bahan pembentuk buih di dalam rumen. Laju aliran fase cair isi rumen
29
dipengaruhi oleh konsentrasi buih di dalam rumen dimana konsentrasi buih yang tinggi dapat menurunkan laju aliran isi rumen (Suparjo, 2008). Semakin lambat laju aliran pakan maka nilai kecernaan semakin tinggi. McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan juga dipengaruhi oleh komposisi rasio ransum antara hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Seperti pada pakan hijauan yang mempunyai kandungan serat kasar tinggi sehingga akan lebih sukar dicerna dibandingkan pakan konsentrat (Anggorodi, 1994). Neraca Nitrogen Hasil sidik peragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstraksi metanol lerak dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi nitrogen, nitrogen feses, katabolisme nitrogen urin dan retensi nitrogen pada sapi PO. Rataan nilai konsumsi nitrogen, nitrogen feses, katabolisme nitrogen urin dan retensi nitrogen dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Konsumsi Nitrogen, Nitrogen Feses, Katabolisme Nitrogen Urin, dan Retensi Nitrogen Peubah
P1
P2
P3
------------------ g per ekor per hari -----------------Konsumsi Nitrogen
109,02±8,57
104,55±8,74
106,21±7,65
Nitrogen Feses
22,55±2,60
19,95±4,84
22,82±6,84
Katabolisme Nitrogen Urin
34,98±9,96
38,37±5,72
37,28±0,78
Retensi Nitrogen
51,49±9,41
46,22±6,54
46,12±4,92
Keterangan: P1= ransum kontrol (49% hijauan, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2= P1 yang mengandung 0,03% EML; P3= P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum; EML disuplementasi dalam bentuk pakan blok Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi konsumsi nitrogen, nitrogen feses, katabolisme nitrogen urin dan retensi nitrogen
Protein pakan dan protein mikroba rumen merupakan sumber utama protein bagi ternak ruminansia (induk semang). Penambahan EML pada penelitian ini menghasilkan nilai konsumsi nitrogen yang lebih rendah dibanding kontrol. Abreu et al. (2004) dan Hess et al. (2004) menyatakaan bahwa penambahan buah S. saponaria pada domba dapat meningkatkan aliran nitrogen mikroba ke duodenum. Hasil yang berbeda dilaporkan Wina et al. (2006) yang menyatakan penambahan saponin dari S. rarak yang diberikan setiap tiga kali sehari dalam ransum domba pada taraf 0,48 dan
30
0,72 g/kg bobot badan tidak nyata meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba. Meningkatnya sumber utama protein bagi ternak merupakan pengaruh saponin yang baik. Di organ pasca rumen, saponin berfungsi meningkatkan permeabilitas sel mukosa usus. Namun, asupan saponin yang berlebihan dapat merusak struktur dan meningkatkan turnover sel mukosa usus halus yang menyebabkan peningkatan kehilangan energi dan protein (Suparjo, 2008). Nitrogen Feses Penambahan EML dalam pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum mengekskresikan nitrogen feses yang tidak berbeda nyata. Hess et al. (2004) melaporkan bahwa buah S. saponaria yang mengandung saponin tidak meningkatkan ekskresi nitrogen feses. Hasil yang sama dilaporkan Wina et al., (2004) yang menyatakan bahwa penambahan ekstrak daging buah S. rarak yang diberikan setiap tiga kali sehari dalam ransum domba pada taraf 0,48 dan 0,72 g/kg bobot badan tidak nyata meningkatkan jumlah nitrogen feses yang diekskresi. Feses yang dikeluarkan oleh ternak erat kaitannya dengan nilai kecernaan nutrien pakan terutama serat hjauan (Yan et al., 2007). Konsumsi serat hijauan dapat meningkatkan ekskresi enzim-enzim pencernaan, mengikis sel-sel mukosa usus dan mikroba saluran pencernaan yang mengandung protein atau yang disebut sebagai nitrogen endogenous (Parakkasi, 1999). Ternak yang mengkonsumsi hijauan yang tinggi dapat mengakibatkan ekskresi nitrogen fesesnya meningkat karena adanya sumbangan dari nitrogen endogenous. Semakin tinggi nilai kecernaan nutrien pakan maka akan tercermin pada jumlah feses yang semakin rendah. Hal ini dapat terjadi karena sistem pencernaan merubah nutrien pakan menjadi komponen kimia sederhana sehingga mudah diserap. Sisa dari nutrien pakan yang tidak tercerna dan tidak terserap akan keluar melalui feses. Adapun faktor lain yang mempengaruhi jumlah nitrogen feses yang dieskresi adalah bobot hidup ternak dan konsumsi nitrogen (Yan et al., 2007). Katabolisme Nitrogen Urin Katabolisme nitrogen urin merupakan produk metabolisme nutrien pakan yang tidak dimanfaatkan oleh tubuh. Penambahan EML dalam pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum menghasilkan nilai katabolisme urin yang tidak berbeda nyata. Pengaruh saponin yang terkandung dalam EML yaitu dapat 31
memudahkan masuknya substansi yang dalam kondisi normal tidak dapat diserap oleh membran mukosa usus halus (Suparjo, 2008). Substansi ini secara homeostatis akan dikeluarkan melalui proses urinasi. Selain itu, saponin dapat menggangu penyerapan mineral dan vitamin dalam tubuh. Saponin juga dapat meningkatkan ekskresi Fe dan Mg di urin dan menurunkan Ca dan Zn di plasma (Suparjo, 2008). Fakta lain disampaikan, bahwa nilai katabolisme urin yang meningkat diduga juga disebabkan oleh karena di usus halus (duodenum), saponin terserap dan ditranspor menuju liver melalui portal vein (Flaoyen et al., 1997, 2002; Meagher et al., 2001). Di liver, saponin terkonjugasi oleh glucuronide dan kemudian dieskresikan melewati garam empedu. Hal ini terbukti karena telah ditemukan adanya saponin glucuronide di liver dan empedu pada domba yang menderita penyakit photosensitization yang disebabkan oleh saponin (Flaoyen et al., 1997; Meagher et al., 2001). Dari liver kemudian menuju ginjal dan dikeluarkan melalui urin. Penelitian ini menunjukkan bahwa ternak yang mendapat suplementasi EML mengekskresikan nitrogen melalui feses dan urin sebesar 35,10%-36,70% dari jumlah nitrogen yang dikonsumsi. Sedangkan, ternak yang tidak mendapat suplementasi EML membuang nitrogen sebesar 32,08% dari jumlah nitrogen yang dikonsumsi (Tabel 7). Retensi Nitrogen Penambahan EML dalam pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata mempengaruhi nilai retensi nitrogen. Retensi nitrogen yang dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah katabolisme urin. Penelitian Hess et al. (2004) membuktikan bahwa 100 mg buah S. Saponaria/g bahan kering ransum tidak nyata meningkatkan retensi nitrogen. Eugene et al. (2002, 2004) menyimpulkan bahwa proses defaunasi dalam mempengaruhi retensi nitrogen pada ternak bergantung dari jenis pakan yang dikonsumsi. Nilai retensi nitrogen pada penelitian ini berkisar antara 46,12-51,49 g/e/h. Penelitian Yan et al. (2007) pada sapi potong yang diberi silase hijauan memiliki nilai retensi nitrogen sebesar 37±18,6 g/e/h. Neraca nitrogen yang dihasilkan pada penelitian ini bernilai positif, artinya nilai nitrogen yang masuk lebih tinggi dibanding nilai nitrogen yang keluar. Neraca nitrogen yang bernilai positif
32
menandakan bahwa ada protein yang ditimbun dalam tubuh. Protein tersebut tidak hanya dipergunakan untuk hidup pokok tetapi dapat juga untuk produksi dan pertumbuhan protein jaringan tubuh yang tercermin antara lain melalui pertambahan bobot badan (McDonald et al., 2002). Wahyu et al. (1976) menyatakan bahwa neraca nitrogen yang meningkat tidak selalu disertai dengan peningkatan pertambahan bobot badan jika energi dalam ransum rendah. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Hasil sidik peragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P0>0,05) mempengaruhi pertambahan bobot badan harian pada ternak. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Pertambahan bobot badan dapat diartikan kemampuan untuk mengubah zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging (Tillman et al., 1991). Penambahan EML pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum menghasilkan nilai PBBH yang berkisar antara 0,74-0,87 kg/e/h (Tabel 8). Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian Astutik et al. (2004) yaitu PBBH sebesar 0,75 kg/e/h pada sapi PO yang diberi pakan berbasis jerami padi. Sedangkan, Astuti et al. (2009) melaporkan bahwa pada ransum sapi PO yang dicampurkan tepung lerak pada taraf 2,5% dan 5% dari konsentrat memiliki PBBH sekitar 0,780,93 kg/e/h. Menurut Azis (1993), pertambahan bobot badan sangat bergantung dari jenis sapi. Nilai PBBH yang normal untuk sapi PO, sapi Bali dan sapi Brahman berturut-turut adalah berkisar antara 0,4-0,8; 0,35-0,5; dan 0,91-1,36 kg/e/h. Pertambahan bobot badan ternak dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya konsumsi ransum, jenis ternak, umur, genetik, kondisi lingkungan dan tata laksana (NRC, 1984). Tanin yang masih terdapat dalam lerak dapat menurunkan fermentasi protein dalam rumen (Wang et al., 2000). Saponin dalam lerak dapat meningkatkan jumlah bakteri rumen sehingga sintesis protein mikroba dari rumen ke usus meningkat. Asupan nitrogen dari pakan dan sintesis protein mikroba digunakan oleh induk semang (ternak) untuk hidup pokok dan produksi seperti meningkatkan tenunan urat daging sehingga bobot badan ternak bertambah.
33
Tabel 8. Rataan Nilai Pertambahan Bobot Badan Harian dan Efisiensi Ransum Peubah
P1
P2
P3
PBBH (kg/e/h)
0,87±0,09
0,74±0,05
0,86±0,07
Efisiensi Ransum
0,18±0,03
0,16±0,02
0,18±0,01
Keterangan: P1 = ransum kontrol (49% hijauan, 50% konsentrat dan 1% pakan blok); P2 = P1 yang mengandung 0,03% EML dari total ransum; P3 = P1 yang mengandung 0,08% EML dari total ransum; EML disuplementasi dalam bentuk pakan blok Perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi PBBH dan efisiensi ransum
Efisiensi Ransum Hasil sidik peragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi efisiensi ransum pada ternak. Penambahan EML pada penelitian ini berkisar antara 0,16-0,18 (Tabel 8), yang artinya setiap 1 kg bahan kering ransum menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,16-0,18 kg. Penelitian pada ransum sapi PO yang dicampurkan tepung lerak pada taraf 2,5% dan 5% dari konsentrat memiliki nilai efisiensi ransum sebesar 0,13-0,16 (Astuti et al., 2009). Nilai efisiensi ransum yang semakin tinggi menunjukkan bahwa ransum yang dikonsumsi semakin sedikit untuk menjadi hasil produk pada ternak diantaranya pertambahan bobot badan. Efisiensi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan (Campbell, 2003). Hasil sidik peragam pada penelitian ini menunjukkan bahwa suplemetasi EML dalam bentuk pakan blok pada taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi perlakuan EML pada semua peubah yang diamati. Hal ini dapat terjadi diduga oleh karena sampel ulangan yang sedikit dan keragaman dari data yang tinggi.
34
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian ekstrak metanol lerak dalam bentuk pakan blok pada sapi PO dengan taraf 0,03% dan 0,08% dari total ransum belum dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum, kecernaan nutrien, neraca nitrogen, pertambahan bobot badan harian dan efisiensi ransum. Konsumsi EML pada taraf 0,08% dari total konsumsi ransum yaitu sebesar 5,08±1,45 g/e/h masih belum mempengaruhi nilai kecernaan nutrien dan neraca nitrogen pada sapi PO. Saran Pemberian ekstrak metanol lerak sebagai suplemen kurang efektif jika diberikan dalam bentuk pakan blok karena pakan blok yang diterima ternak mengandung mineral yang akan mempengaruhi frekuensi ternak dalam menjilat terkait status mineral individu ternak. Pemberian EML dapat ditingkatkan dosisnya namun diberikan dalam jangka pendek. Ekstrak metanol lerak sebaiknya diberikan tercampur merata dalam konsentrat atau dienkapsulasi.
35
UCAPAN TERIMA KASIH Bismillahhirrahmannirrahim Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Ibu, Bapak, Kakak atas kasih sayang, doa yang tiada henti, motivasi dan selalu menguatkan penulis dalam menghadapi segalanya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. dan Sri Suharti, S. Pt. MSi. selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dalam mengarahkan, membimbing dan memberi motivasi selama penelitian sampai penulisan skripsi ini terselesaikan. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Ir. Lilis Khotidjah, MS selaku dosen pembahas seminar dan dosen penguji sidang, Dr. Ir. Rudi Priyanto selaku dosen penguji dan Ir. Dwi Margi Suci, MS yang telah banyak memberi saran dan masukan kepada penulis. Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Pak Djajat, Pak Edi, Bu Yani dan Bu Dian yang telah membantu selama proses penelitian di lapang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sepenelitian Fransiska atas kerjasama, pengertian dan kesabarannya dalam membantu penelitian. Arisma, Ratna, Ratih, Mulya, Leo, Ka Joko, Elfian, Nia dan teman-teman INTP 42 lainnya, terima kasih atas kebersamaan, dukungan dan kekompakannya. Teman-teman kos Nabila Anggrek (Eni, Ka Tila, Lola) terimakasih atas persahabatan dan doanya selama ini. Terakhir penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah selalu membalas amal baiknya dan semoga skripsi ini bermanfaat Amin. Bogor, Januari 2010 Penulis
36
DAFTAR PUSTAKA Abreu, A. J. E. Carulla, C. E. Lascano, T. E. Diaz, M. Kreuzer and H. D. Hess. 2004. Effect of Sapindus saponaria fruits on rumen fermentation and duodenal nitrogen flow of sheep fed a tropical grass diet with and without legume. J. Anim. Sci. 82: 1392-1400. Afriastini, J. J. 1990. Daftar Nama Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Edisi Kedua. Gramedia, Jakarta. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia. Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis. 17th Edition. AOAC, Arlington. VA. Astuti, D. A., E. Wina, B. Haryanto dan S. Suharti. 2008. Suplementasi lerak berbentuk pakan blok untuk meningkatkan produksi dan kualitas daging sapi potong serta pengaruhnya terhadap keseimbangan mikroba rumen. Laporan Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi. Bogor. Astuti, D. A., E. Wina, B. Haryanto dan S. Suharti. 2009. Performa dan profil darah sapi peranakan ongole yang diberi pakan mengandung lerak (Sapindus rarak De Candole). Media Peternakan 32 (1): 1-80. Astutik, S. I. B., M. Arifin dan W. S. Dilaga. 2004. Respon produksi sapi peranakan Ongole berbasis pakan jerami padi terhadap berbagai formula urea molases blok. In: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Azis, M. A. 1993. Agroindustri Sapi Potong: Prospek dalam Pengembangan pada PJPT II. Bangkit, Jakarta. Backer, C. A. and B. V. D. Brink Jr. 1965. Flora of Java. 2nd Edition. N. V. P. Noordhoff, Groningen, Nederland. Badan Tenaga Atom Nasional. 2005. Urea molasses multinutrient block (UMMB). http://www.infonuklir.com/Tips/atomos_ummb.htm. [30 Mei 2005]. Bakrie, B., J. Hogan, J. B. Liang, A. M. M. Tareque and R. C. Upadhyay. 1996. Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics. Canbera. Banerjee, G. C. 1978. Animal Nutrition. Oxford and IBH Pub. Co., New Delhi. Banerjee, G. C. 1980. Animal Husbandry. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi, Bombay, Calcuta. Campbell, J. R., M. Douglas Kenealy and Karen L. Campbell. 2003. Animal Sciences. 4th Edition. McGraw-Hill, New York. Card, I. E. and M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Edition. Lea and Febinger Philadelphia, New York. Cheeke, P. R. 2000. Actual and potential applications of Yucca schidigera and Quillaja saponaria saponins in human and animal nutrition. J. Anim. Sci. 77: 1-10.
37
Church, D. C and W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. O & B Books, Oregon, United States of America. Crampton, E. W. and L. E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. 2nd Edition. W. H. Freeman and Co., San Fransisco. Cunningham, M., Mickey A. Latour and Duane Acker. 2005. Animal Science and Industry. Prentice Hal, New Jersey. Damron, W. S. 2006. Introduction to Animal Science. Prentice Hall, Ohio. Dehority, B. A. 2004. Rumen Microbiology. Nottingham University Press, Nottingham. Eugene, M., H. Archimede, J. L. Weisbecker, F. Pommier, F. Nipeu and D. Sauvant. 2002. Effect of defaunation on digestion of fresh Digitaria decumbens grass and growth of lambs. PhD thesis. Institute National Agronomique. ParisGrignon, France. Eugene, M., H. Achimede, B. Michalet-Doreau and G. Fonty. 2004. Effect of defaunation on digestion of mixed diet (fresh Digitaria decumbens grass and concentrate) at four protein to energy ration. Anim. Res. 53: 111-125. Firmansyah, I. 2005. Deduksi parsial struktur saponin akar tanaman akar kuning. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, Bogor. Flaoyen, A. and A. L. Wilkins. 1997. Metabolism of saponins from Narthecium assifragum-a plant implicated in the aetiology of alveld, a hepatogenous photosensitization of sheep. Vet. Res. Commun. 21: 335-345. Flaoyen, A., A. L. Wilkins and Sandvik. 2002. Rumen metabolism in sheep of saponins from Yucca schidigera. Vet. Res. Commun. 26: 159-169. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. 4th Edition. Terjemahan: Ir. B. Srigano, Koen Praseno. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Terjemahan: K. Padmawinata. ITB Press, Bandung. Herlina. 2003. Kelenturan fenotipik sifat reproduksi mencit sebagai respon terhadap air minum dengan kadar garam yang berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hess, H. D., R. A. Beuret, M. Lo tscher, I. K. Hindrichsen, A. Machmuller, J. E. Carulla, C. E. Lascano and M. Kreuzer. 2004. Rumen fermentation, methanogenesis and nitrogen utilization of sheep receiving tropical grass hayconcentrate diets offered with Sapindus saponaria fruits and Cratylia argentea foliage. J. Anim. Sci. 79: 177-189. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. 3rd Edition. Terjemahan: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sarana Jaya, Jakarta. Hristov, A. N., A. McAllister, F. H. Van Herk, K. J. Cheng, C. J. Newbold and P. R. Cheeke. 1999. Effect of Yucca schidigera on rumen fermentation and nutrient digestion in heifers. J. Anim. Sci. 77: 2554-2563. 38
Kusna, D. S. 1996. Konsumsi, daya cerna ransum dan respon fisiologis sapi Peranakan Ongole yang dipelihara pada temperature lingkungan berbeda. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta, Jakarta. Jouany, J. P. 1991. Defaunation of the rumen. In: Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. INRA: 239-261. Makkar, H. P. S. 1991. Antinutritional factors in animal feedstuffs-mode of actions. J. Anim. Sci. 6: 88-94. Makkar, H. P. S. and K. Becker. 1997. Degradation of quillaja saponins by mixed culture of rumen microbes. Lett. in Appl. Microbiol. 25: 243-245. Mariam, T. 1994. Perbedaan pertambahan bobot badan, konsumsi dan efisiensi pakan antara sapi jantan PO dengan Fries Holland dalam kondisi peternakan rakyat. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Sumedang, Sumedang. Maynard, L. A. and J. K. Loosli. 1969. Animal Nutrition. 4th Edition. Mc Graw-Hill Book Co. Inc., New York. McDonald, P., R. Edwards and J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition, New York. Meagher, L. P., B. L. Smith and A. L. Wilkins. 2001. Metabolism of diosgeninderived saponins: Implication for hepatogenous photosensitization diseases in ruminants. Anim. Feed Sci. Tech. 91: 157-170. Montgomery, D. C. 2001. Design and Analysis of Experiments. 5th Edition. John Willey&Sons Inc., New York. National Research Council. 1984. Nutrient Requirements of Beef Cattle. 6th Edition. National Academy Press, Washington. Oeliwinski, B. J., M. Kreuzer, F. Sutter, H. R. Wettstein and A. Machmuller. 2004. Performance, body nitrogen conversion and nitrogen emission from manure of dairy cows fed diets supplemented with different plant extracts. J. Anim. Feed Sci. 13: 73-91. Papas, A. 1977. Protein requirement of chios sheep during maintenance. J. Anim. Sci. 44: 665-671. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Payne, W. J. A. and R. T. Willson. 1999. An Introduction to Animal Husbandry in The Tropics. 5th Edition. University Press, Cambridge. Prayugo, S. E., Purbowati dan S. Dartosukarno. 2003. Penampilan sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang dipelihara secara intensif. Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier, Ciawi, Bogor. Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Sources in Tropics. Penabul Book, Armidale.
39
Prihatman, T. T. 2008. Saponin untuk pembasmi http://www.nganjukwaritek.com [16 Desember 2008].
hama
udang.
Ramirez, J. E., E. G. Alvarez, W. Chai, M. F. Montano and R. A. Zinn. 1998. Influence of saponins on fatty acid digestion in steers fed a high-fat finishing diet. Proceeding West. Sect. Am. Social Animal Sci. 49: 297-300. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah K. Padmawinata. ITB Press, Bandung. Sarwono, B. dan H. B. Arianto. 2003. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya, Jakarta. Schlegel, H. G. 1994. Mikrobiologi Umum. Terjemahan: T. Baskoro. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Shadily, H. 1983. Ensiklopedia Indonesia 3. Ikhtiar Baru, Jakarta. Standar Nasional Indonesia. 2005. Pakan konsentrat-bagian 2: sapi potong. SNI 3148. http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/unduh/10249. [13 Desember 2009]. Sugeng, B. 2002. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta. Sunaryadi. 1999. Ekstraksi dan isolasi buah lerak (Sapindus rarak) serta pengujian daya defaunasinya. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suparjo. 2008. Saponin, peran dan pengaruhnya bagi ternak dan manusia. laboratorium makanan ternak. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. http //: www.google.com [29 Desember 2008]. Sutardi, H. 1999. Peningkatan efisiensi penggunaan pakan. Proceeding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Departemen Pertanian. Syamsu, J. A. 1997. Upaya meningkatkan daya simpan dedak padi dengan penambahan zeolit dan kapur selama periode penyimpanan. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarmudji. 2004. Manfaat gel lidah buaya untuk unggas. http://www.disnakjabar.go.id [8 November 2007]. Thalib, A., Y. Widiawat, H. Hamid, D. Suherman and M. Sabrani. 1996. The effects of saponin from Sapindus rarak fruit on rumen microbes and performance of sheep. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 2: 17-20. Thalib. 2004. Uji efektivitas saponin buah sapindus rarak sebagai inhibitor metanogenesis secara in vitro. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 9(3). Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Praworokusumo dan S. Lebdosoekjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Utomo, R. S. 2004. Pengaruh garam, ekstrak Yucca schidigera dan kapur terhadap pelepasan NH3 dari suplemen protein berbasis urea (Supro-BU). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
40
Wallace, R. J., N. R. McEwan, F. M. McIntosh, B. Teferedegne and C. J. Newbold. 2002. Natural products as manipulators of rumen fermentation. AsianAustralian J. Anim. Sci. 15: 1458-1468. Wahyu, J., S. Sugandi dan S. Salim. 1976. Pengaruh retensi nitrogen hubungannya dengan tingkat energi dan protein ransum. Buletin Makanan Ternak II (9): 55-63. Wang, Y., T. A. McAllister, L. J. Yanke, Z. J. Xu, P. R. Cheeke and K. J. Cheng. 2000. In vitro effects of steroidal saponins from Yucca schidigera extract on rumen microbial synthesis and ruminal fermentation. J. Sci. Food Agric. 80: 2114-2122. Widowati, L. 2007. Timun teman sate. http://www.beritaiptek.com/zberitaberitaiptek-2007-06-09-Antimikroba-dari-tumbuhan-(bagian-kedua).shtml [8 November 2007]. Wilson, R. C., T. R. Overton and J. H. Clark. 1998. Effects of Yucca schidigera extract and soluble protein on performance of cows and concentrations or urea nitrogen in plasma and milk. J. Dairy Sci. 81: 1022-1027. Wina, E., S. Muetzel, E. Hoffman and K. Becker. 2004. Saponin containing methanol extract of Sapindus rarak improves sheep performance without affecting digestibility. Deutscher Tropentag, Rural Poverty Reducton through Research for Development and Transformation, Berlin. Wina, E., S. Muetzel, E. Hoffmann, H. P. S. Makkar and K. Becker. 2005a. Saponins containing methanol extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation, microbial activity and microbial community structure in vitro. J. Anim. Feed Sci. and Technology 121: 159-174. Wina, E., S. Muezel, E. Hoffman, H.P.S. Makkar and K. Becker. 2005b. The impact of saponin-containing plant materials on ruminant production–A Review. J. Agricultural and Food Chemistry 53: 8093–8015. Wina, E., S. Muetzel and K. Becker. 2006. Effects of daily and interval feeding of Sapindus rarak saponins on protozoa, rumen fermentation parameters and digestibility in sheep. Asian-Australian J. Anim. Sci. 19 (11): 1580-1587. Wohlt, J. E., C. J. Snofgfen, W. H. Hoover, L. L. Johnson and C. K. Walher. 1976. Nitrogen metabolism in wethers affected by dietary protein solubility and amino acid profile. J. Anim. Sci. 42: 1280-1288. Yan, T., J. P. Frost, T. W. J. Keady, R. E. Agnew and C. S. Mayne. 2007. Prediction of nitrogen excretion in feces and urin of beef cattle offered diets. J. Anim. Sci. 85: 1982-1989. Yulisti, M. 2000. Pengaruh konsentrasi garam dan lama penjemuran terhadap mutu produk fermentasi usus teripang pasir. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
41
LAMPIRAN
42
Hasil Pengolahan Data Menggunakan SPSS 15.0 Lampiran 1. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Konsumsi Pakan Blok Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
Model Koreksi
889,06
3
296,35
0,399
0,758
Intersep
678,70
1
678,70
0,914
0,367
BB Awal
42,11
1
42,11
0,057
0,818
Perlakuan
825,14
2
412,57
0,555
0,594tn
Eror
5942,64
8
742,83
Total
79689,00
12
6831,90
11
Total Koreksi
a R Squared = .130 (Adjusted R Squared = -.196) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 2. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Konsumsi Bahan Kering Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
Model Koreksi
1,007(a)
3
0,336
9,647
0,005
Intersep
0,049
1
0,049
1,419
0,268
BB Awal
0,924
1
0,924
26,574
0,001
Perlakuan
0,022
2
0,011
0,310
0,742tn
Eror
0,278
8
0,035
266,365
12
1,285
11
Total Total Koreksi
a R Squared = .783 (Adjusted R Squared = .702) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 3. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Kecernaan Bahan Kering Sumber Model Koreksi Intersep
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
37,536(a)
3
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
12,512
0,763
0,546
233,379
1
233,379
14,227
0,005
BB Awal
2,281
1
2,281
0,139
0,719
Perlakuan
36,271
2
18,135
1,106
0,377tn
131,235
8
16,404
53699,619
12
168,770
11
Eror Total Total Koreksi
a R Squared = .222 (Adjusted R Squared = -.069) Keterangan: tn) tidak nyata
43
Lampiran 4. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Kecernaan Protein Kasar Sumber Model Koreksi
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
32,814(a)
3
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
10,938
0,699
0,579
Intersep
606,284
1
606,284
38,739
0,000
BB Awal
21,296
1
21,296
1,361
0,277
Perlakuan
11,440
2
5,720
0,366
0,705tn
125,203
8
15,650
76332,098
12
158,017
11
Eror Total Total Koreksi
a R Squared = .208 (Adjusted R Squared = -.089) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 5. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Kecernaan Lemak Kasar Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
Model Koreksi
198,628(a)
3
66,209
1,604
0,263
Intersep
225,305
1
225,305
5,458
0,048
BB Awal
13,390
1
13,390
0,324
0,585
Perlakuan
191,614
2
95,807
2,321
0,160tn
Eror
330,260
8
41,283
66701,974
12
528,888
11
Total Total Koreksi
a R Squared = .376 (Adjusted R Squared = .141) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 6. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Kecernaan Serat Kasar Sumber Model Koreksi
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
106,185(a)
3
35,395
1,015
0,435
Intercept
99,412
1
99,412
2,852
0,130
BB_Awal
13,222
1
13,222
0,379
0,555
Perlakuan
97,710
2
48,855
1,402
0,301tn
278,861
8
34,858
35521,915
12
385,046
11
Eror Total Total Koreksi
a R Squared = .276 (Adjusted R Squared = .004) Keterangan: tn) tidak nyata
44
Lampiran 7. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Konsumsi Nitrogen Sumber
Jumlah Kuadrat
Model Koreksi
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
3
172,746
518,239(a)
F
Signifikansi
9,348
0,005
Intersep
24,957
1
24,957
1,351
0,279
BB Awal
477,280
1
477,280
25,827
0,001
Perlakuan
8,047
2
4,024
0,218
0,809tn
147,837
8
18,480
137013,873
12
666,076
11
Eror Total Total Koreksi
a R Squared = .778 (Adjusted R Squared = .695) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 8. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Nitrogen Feses Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
F
Signifikansi
109,285(a)
3
36,428
1,020
0,433
Intersep
9,784
1
9,784
0,274
0,615
BB Awal
2,989
1
2,989
0,084
0,780
Perlakuan
95,808
2
47,904
1,342
0,314tn
Eror
285,609
8
35,701
Total
4869,793
12
394,893
11
Model Koreksi
Total Koreksi
Kuadrat Tengah
a R Squared = .277 (Adjusted R Squared = .006) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 9. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Katabolisme Nitrogen Urin Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
102,493(a)
3
Intersep
0,184
BB Awal Perlakuan
Model Koreksi
Eror Total Total Koreksi
F
Signifikansi
34,164
0,856
0,502
1
0,184
0,005
0,948
78,510
1
78,510
1,968
0,198
45,630
2
22,815
0,572
0,586tn
39,898
319,181
8
16740,336
12
421,673
11
Kuadrat Tengah
a R Squared = .243 (Adjusted R Squared = -.041) Keterangan: tn) tidak nyata
45
Lampiran 10. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Retensi Nitrogen Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
Model Koreksi
88,450(a)
3
29,483
0,520
0,680
Intersep
71,512
1
71,512
1,261
0,294
BB Awal
12,957
1
12,957
0,228
0,645
Perlakuan
57,653
2
28,826
0,508
0,620tn
453,666
8
56,708
28121,998
12
542,116
11
Eror Total Total Koreksi
a R Squared = .163 (Adjusted R Squared = -.151) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 11. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Pertambahan Bobot Badan Harian Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
Model Koreksi
0,040(a)
2
0,200
4,144
0,053
Intersep
8,151
1
8,151
1679,658
0,000
Perlakuan
0,040
2
0,020
4,144
Eror
0,044
9
0,005
Total
8,235
12
Total Koreksi
0,084
11
0,053tn
a R Squared = .479 (Adjusted R Squared = .364) Keterangan: tn) tidak nyata
Lampiran 12. Hasil Analisa Sidik Peragam (Ancova) Efisiensi Ransum Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Signifikansi
Model Koreksi
0,005(a)
3
0,002
7,413
0,011
Intersep
0,011
1
0,011
50,314
0,000
BB Awal
0,004
1
0,004
16,551
0,004
Perlakuan
0,002
2
0,001
4,047
0,610tn
Eror
0,002
8
0,000
Total
0,381
12
Total Koreksi
0,006
11
a R Squared = .706 (Adjusted R Squared = .596) Keterangan: tn) tidak nyata
46