1 NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM ALQUR’AN (Suatu Kajian Surah al-Ma’un) M. Amir HM. ABSTRACT Al-Qur’an as asource of Islamic educational value is always oriented to the formation and development of the whole human race. Therefore, the values of education in al-Qur’an, especially in the Surat al-Ma’u>n, are understood as a process of developing one’s intelligence to understand the natural environment, man and his God. It is also understood as a process of humanization, i.e. a process to make ones behavior and activities truly humane, that is having fine characteristic, ethic, and aesthetic. The command to respect orphans, to feed the poors, to concentrate and be discipline in carrying out an activity, including praying, to avoid the attitude of riya’, as well as to provide assistance to others, requires an education prosses with appropriate methods, for axample, drill method, habituation, mauizhah (warning, and advice), and tarheeb threat. The implementation should be running continuously, without restrictions on time and space, gender and status of a person, in accordance with the meaning of lifelong learning. Thus, education is something that should really build up in a person as an attempt to increase his intelligence, good intelligence, including emotional intelligence as well as spiritual intelligence. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan dan al-Qur’an A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Manusia sejak lahir telah dibekali potensi untuk berilmu pengetahuan, yakni; pendengaran, penglihatan dan hati (pikiran). perkembangan
Potensi itu berkembang seiring dengan
kebutuhan umat manusia sebagai khalifah Allah swt. untuk mengatur dan
menata kehidupan di bumi demi kemaslahatan di akhirat. Salah satu upayah untuk mengembangkan potensi tersebut adalah pendidikan, baik pendidikan formal,
informal
maupun non formal. Karena itu, pada dasarnya pendidikan tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan manusia ( long live education). Tanpa pendidikan manusia tidak keilmuan dan intelektualisme,1
dapat memiliki etos
yang merupakan modal dasar untuk berkontribusi
maksimal dalam kehidupannya, baik dalam hubungan vertikal dangan Allah swt., 1 Intelektualisme dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan mendayagunakan nalar atau akal dalam memahami atau mengambil suatu keputusan (tindakan), juga berkaitan erat dengan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Longman, Dictionary of Contemparary English, New Edition (England: Longman Group, 1989), h. 457.
2
maupun hubungan horizontal dengan sesama umat manusia serta makhluk lain. 2 Itulah sebabnya sepanjang sejarah peradaban manusia, pendidikan telah memainkan peranan penting dalam pembentukan perilaku (akhlak) individu
dan masyarakat. Dari perspektif
individu, pendidikan merupakan upaya aktualisasi dan optimalisasi potensi dasar yang dimiliki oleh merupakan
setiap proses
manusia. kulturisasi,
Sedangkan yakni
dari perspektif masyarakat,
sosialisasi
nilai-nilai
ilmu
pendidikan
pengetahuan
dan
keterampilan yang berkembang pada suatu masyarakat. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu upaya yang harus dibangun dengan
sungguh-sungguh
kecerdasan
intelektual,
untuk
meningkatkan
kecerdasan
emosional
kecerdasan serta
umat
kecerdasan
manusia, spiritual.
baik Ketiga
kecerdasan ini dapat teraktualisasi dengan baik apa bila para pendidik menggali dan menyelami nilai-nilai pendidikan dalam al-Qur’an3
yang merupakan sumber azasi
pendidikan Islam, yang didalamnya tidak hanya mengutamakan
proses belajar mengajar
yang berfungsi sebagai alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan alih metode (transfer methodology), tetapi juga alih nilai (transfer of value). Karena itu, kita tidak mungkin berbicara tentang pendidikan Islam tanpa menjadikan al-Qur’an sebagai rujukannya, karena nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan elemen dasar bagi pendidikan.4 Menurut Muhammad al-Faisal, al-Qur’an merupakan dasar atau
2 Tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental agar menjadi manusia yang terbina potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah swt. Lihat Samsul Nizan dan Muhammad Syaifuddin, Isu-Isu Kontemporer Tantang Pendidikan Islam (Cet. I: Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 130 3 Salah satu kandungan al-Qur’an adalah memberi wawasan dan memotivasi umat manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam semesta termasuk umat manusia sebagai manifestasi kekuasaan Allah swt. Dari hasil pengkajian dan penelitian fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman ini, al-Qur’an berperan sebagai motivator bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya. Lihat Said Agil Husain al Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai al-Qur’an Dalam Sistem Pendidikan Islam (Cet. II: Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005 4 Lihat Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory: A Qur’anic Outlook (Makkah alMukarramah Umm al-Qura> University, 1982), h. 22
3
landasan umum pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat motivasi serta insfirasi bagi ilmu pengetahuan.5 Al-Qur’an sebagai sumber nilai pendidikan Islam, selalu berorientasi kepada pembentukan dan pengembangan umat manusia seutuhnya, dan berlaku sepanjang zaman, yakni bahwa al-Qur’an tidak hanya petunjuk
dalam suatu periode atau waktu
tertentu, melainkan menjadi pentunjuk yang universal
dan eksis bagi setiap zaman dan
tempat. Isyarat al-Qur’an tentang nilai-nilai pendidikan dan kebenarannya menjadi salah satu kemu’jizatan al-Qur’an yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam upaya menggali
nilai-nilai pendidikan, untuk diaktualisasikan dalam kehidupan
umat manusia. Pada garis besarnya nilai-nilai pendidikan al-Qur’an meliputi nilai kebenaran metafisis, saintis dan moral yang seharusnya memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, muncul beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, yakni; apa yang dimaksud nilai-nilai pendidikan dalam alQur’an?, dan bagaimana nilai- nilai pendidikan yang terdapat dalam surat al Ma>’u>n? 3. Metode penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis,
yakni memaparkan apa adanya
berdasarkan sumber-sumber rujukan yang ada disertai analisis yang mendalam sehingga memberi pemahaman yang aktual dan akuntabilitas. Karena itu, sumber datanya berasal dari telaah kepustakaan (library research) yang terdiri atas data primer yakni kitab-kitab tafsir dan buku-buku pendidikan. Sedangkan data skunder berasal dari sumber lain yang
5 Lihat Muhammad al-Faisal, “The Glorius Qur’an is the Foundation of Islamic Education” dalam Muhammad al-Naquib al-Attas, Aims and Objectivis op Islamic Education (Jeddah: King Abdul Azis University, 1979) h. 126
4
ada relevansinya dengan pembahasan untuk keperluan analisis. Kemudian interpretasi data tersebut diolah dengan menggunakan metode kualitatif serta di analisis dengan conteks analisis (analisis isi) dengan menggunakan pendekatan paedagogik. 4. Kerangka Teori Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, nilai berarti antara lain 1. sifat-sifat (halhal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, 2. sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya; seperti etika yang merupakan nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran;
nilai yang berkaitan dengan benar dan
salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat. Nilai keagamaan yang bersifat suci sehingga
menjadi
pedoman
bagi
tingkah
laku
keagamaan
warga
masyarakat
bersangkutan.6 Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika, yang sering disebut dengan filsafat nilai, yang objek kajiannya adalah masalah moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Karena itulah sumber nilai yang paling shahih, termasuk nilai-nilai pendidikan
adalah al-Qur’an,
karena ajaran al Quran bersifat mutlak dan universal. 7 Al-Qur’an
yang
dimaksudkan
dalam
tulisan
ini
adalah
sesuatu
yang
diwahyukan kepada Muhammad saw. Melalui perantaraan malaikat Jibril QS. An Najm (53): 4-5, sebagai obat dan rahmah QS. Al Isra' (17): 82, sebagai peringatan QS. Al Qalam (68): 52, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman QS. Al A'raf (7): 203, sebagai peraturan yang benar QS. Al Ra'd (13): 37. bagi kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dengan batasan
al-
Qur’an seperti ini, pembahasan yang dilakukan tidak bermaksud menguji kebenaran yang terkandung
dalam al-Qur’an,
tetapi berusaha
untuk
merumuskan
konsep-konsep
pendidikan dengan menggunakan berbagai analisis yang dapat dipahami dari ungkapan6 Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga (Cet. II: Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 783. 7 Lihat Said Agil Husain al Munawwar, op. cit., h. 3.
5
ungkapan al-Qur’an, sesuai dengan metodologi, khususnya nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam surat al-Ma’u>n. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam surat al-Ma’u>n tersebut, dapat dipahami sebagai proses pengembangan intelegensi seseorang untuk memahami alam lingkungan, manusia dan Tuhannya. Selain itu, juga merupakan proses humanisasi, yakni proses agar seluruh sikap dan tingkah laku manusia serta berbagai aktivitas seseorang benar-benar bersifat manusiawi. Karena itu, penelusuran nilai-nilai pendidikan
dalam al-Qur’an, tidak terkecuali
surat al-Ma’u>n menjadi penting, karena setidaknya akan ditemukan konsep-konsep pendidikan yang tidak sebatas pada proses pembelajaran yang berorientasi pada penciptaan, pengembangan manusia secara intelektual, tetapi lebih dari itu, pendidikan juga seharusnya berorientasi pada pembentukan manusia yang berwatak, beretika, dan berestetika. B. PEMBAHASAN Kajian terhadap nilai-nilai pendidikan dalam al-Qur’an menjadi sesuatu yang amat penting,
karena
selain memberikan pencerahan akal pikiran manusia, juga
pencerahan qalbu, yang sensungguhnya menjadi kebutuhan manusia dalam membangun generasi yang berkualitas, karena al-Qur’an selain berfungsi sebagai petunjuk (hudan), juga sebagai penerang jalan (bayyinat). Surat al-Ma’u>n (107) merupakan surat yang tergolong qasru al-Tiwal (surat pendek) hanya terdiri dari 7 (tujuh) ayat. Namun di dalamnya terdapat beberapa penjelasan yang seharusnya dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan seharihari, terutama dari segi nilai-nilai pendidikannya yang meliputi: 1. ( يـــدع الـيــتــيــمmenghardik anak yatim) yadu’u adalah fi’il muda>ri’ dari fi’il ma>di da’aa yang berakar kata dari huruf dal dan a’in berarti menolak atau mengusir dengan
6
keras-keras8 Kata yatim berasal dari kata yatama yang berarti diremehkan di kalangan sesama manusia karena tidak memiliki ayah9 , juga berarti menjadi yatim10 , tidak beribu atau tidak berayah11 Dengan demikian yang dimaksud dengan menghardik anak yatim adalah melakukan tindakan yang bermuarah kepada penganiayaan, gangguan dan sikap tidak terpuji terhadap anak yatim12 yang menyebabkan mereka tidak merasa enak atau nyaman dalam kehidupannya. Mereka yang melakukan tindakan seperti ini, termasuk orang-orang yang mendustakan agama, yakni mereka yang menolak dan
menghardik anak yatim
dengan keras. Apabila anak yatim meminta kepadanya sesuatu, mereka bersikap sombong dan takabbur13 Sikap seperti ini telah ditunjukkan oleh orang-orang terdahulu seperti sikap yang ditonjolkan oleh Abu Sufyan atau abu Jahal, al-‘Ash Ibn Walid, bahkan menurut M. Quraish Shihab kelakuan mereka itu yang menyebabkan turunnya surah al Ma’un ayat 2 tersebut. Ketika mereka hampir setiap minggu menyembelih unta, tetapi suatu ketika, ada anak yatim datang meminta sedikit dari daging untanya, mereka tidak memberikan sedikit pun bahkan mereka menghardik dan mengusirnya 14 . Kalau sikap kekikiran dan kebanggaan seperti itu terkadang muncul, bahkan boleh jadi melekat pada seseorang, maka salah satu upaya preventif adalah melalui pendekatan pendidikan. Karena pendidikan merupakan suatu usaha untuk merubah sikap, bahkan kecerdasan seseorang dari yang tidak baik menjadi baik dan dari yang baik menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan amanat pasal 31 UUD 1945 dan perubahannya, yakni (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) Pemerintah 8 Ahmad
Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984) 437. 9 Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al- lugah jilid VI (Baitur dal alJil, 1999), h. 154 10 Ahmad Warson Munawwir, op. cit.,, h. 1696. 11 Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1277. 12 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, volume 15 (Cet. VI; Ciputat Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 547. 13 Lihat Ahmad Mustafa al-Maragy, tafsir al-Maragy, juz 30 (Cet. I; Mesir: Mushtafa al-Babiy al-Halabiy , 1946), h. 248 14 Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., h. 545.
7
mengusahakan
dan
menyelenggarakan
suatu
sistem
pendidikan
nasional
yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.15 Upaya memperbaiki kebiasaan seseorang dari sikap yang tidak baik seperti menghardik anak yatim, menjadi sikap yang baik yakni menjadi peramah dan penyayang terhadap anak yatim, memerlukan proses yang panjang, salah satunya adalah melalui pendidikan yang merupakan wahana yang paling strategis untuk mengembangkan fitrah16 yang terdapat dalam diri manusia yakni siap menerima kebenaran dan pengetahuan serta berakhlak muliah. 2.
( وال يـحــض عـلي طـعـام المـســكـينdan tidak mendorong memberi makan orang miskin)
Term yahudhdhu adalah fi’il mudari’ berasal dari fi’il madi hadhdha yang berakar kata dari huruf ha dan dha yang berarti mendorong atau menganjurkan17 Hal ini mengandung pengertian bahwa demikian pentingnya memberi makan kepada orang miskin, bahkan bukan saja memberi makan secara langsung, tetapi memotivasi orang lain memberi makanan juga menjadi kewajiban18 . Menurut M. Quraish Shihab bahwa mereka yang tidak memiliki kemampuan memberikan sesuatu kepada orang yang butuh, setidaknya mereka berkewajiban menjadi penganjur atau pemotivasi kepada mereka yang memiliki kemampuan. Peranan ini dapat saja dilakukan oleh siapa pun, selama mereka merasakan penderitaan orang lain.19 Kalau hanya menghimbau orang lain memberi makan kepada fakir miskin mereka tidak mampu melakukan, apalagi kalau mereka sendiri yang harus memberi makan.20 Itulah sebabnya dalam pendidikan bahwa sebelum mendidik orang lain, maka yang lebih utama dulu melewati pendidikan adalah mereka yang akan 15 Sekretariat
Negara RI., UUD 1945 Hasil Amandemen (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 25. dan komdisi penciptaan manusia, Lihat M. Taufik, Kreativitas Baru pendidikan Islam, (Cet. I; Mataram: Lembaga Pengkajian-Publikasi Islam &Masyarakat (LEPPIM) IAIN Mataram, 2012), h. 80. 17 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 295. 18 Mahmud al-Alusy al-Bagdady, Ruh alMmaany fiFtafsir al-Qur’an al-“adhim wa al-Sab’u al al- mastany (Bairut-Libanon: Dar al Fikri, t.th.), 435-36 19 Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., h. 547. 20 Lihat Ahmad Mustafa al-Maragy, op. cit., h 249.. 16 Dasar
8
mengajar atau mendidik, sebelum memerintahkan orang lain atau anak didiknya beretika dalam
berinteraksi dengan sesama makhluk lain, tertutama sesama manusia, maka
seharusnya pendidiklah yang terlebih dahulu memperaktekkan nilai eteka yang baik. Karena itu, wajarlah kalau dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama apabila tidak memperhatikan kepentingan atau kebutuhan orang-orang miskin, terutama dari segi makanan, sebab makanan sumber kesehatan, apabila kesehatan tidak prima, akan berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah kepada Allah swt. Itulah sebabnya bagi mereka yang mampu, dituntut agar mengeluarkan sebagian dari harta yang mereka miliki, kemudian membagikannya
kepada orang-orang yang
membutuhkan termasuk orang-orang miskin. Dalam Islam setiap harta yang dimiliki seseorang, terdapat hak-hak orang-orang yang meminta atau tidak meminta (QS. Al Ma’arij/70: 24-25. Kepedulian masyarakat dalam hal ini yang memiliki kemampuan terhadap orang-orang
miskin menjadi sangat penting, karena mereka bersentuhan langsung
dengan masyarakat miskin di mana mereka berada. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa term yang
menunjukkan tentang perlunya masyarat peduli terhadap kemaslahatan orang-
orang miskin dengan memberikan bantuan material. Pemberian bantuan kepada seseorang ada yang bersifat anjuran (sunnat), dan ada yang bersifat wajib. Yang bersifat anjuran sepereti infak dan sedekah. Infak berarti membelanjakan harta dan semacamnya pada jalan yang diridai oleh Allah swt. Infak pada dasarnya adalah pemberian yang bersumber dari orang yang mampu kepada orang yang lemah. Sedangkan sedekah adalah pemberian sesuatu kepada yang berhak menerimanya di luar kewajiban zakat harta dan zakat fitrih.
Karena itu, pemberian yang bersifat
sedekah tidak selamanya berasal dari orang yang mampu kepada orang yang lemah, tetapi boleh jadi pemberian itu
ditujukan kepada orang yang lebih tinggi atau lebih
mapan dibanding dengan orang yang memberi, seperti guru atau orang yang dihomati dan dikagumi.
9
Sedangkan yang bersifat wajib adalah zakat, baik zakat harta yang bertujuan untuk membersihkan harta, maupun zakat fitrih yang bertujuan untuk membersihkan jiwa.
(spiritual)
seseorang.
Juga
termasuk
pemberian
wajib
bagi mereka yang
menunaikan nazar. Agar pelaksanaan pemberian zakat, infak dan sedekah terwujud dengan baik, diperlukan adanya kesadaran yang didasari dengan iman yang kuat dari mereka yang mempunyai kelapangan rezeki. Tanpa
kedua hal itu, hampir dapat dipastikan bahwa
pemberian zakat, infak dan sedekah tidak mungkin dapat berjalan dengan baik. Sebagai contoh adalah sesuatu yang tidak mungkin diketahui jumlah kekayaan seseorang, apa lagi mengetahui jumlah
yang
wajar
dikeluarkan,
kalau
bukan
kesadaran
dari yang
bersangkutan. Sebagai manusia biasa, kesadaran terhadap pentingnya mengeluarkan sebagian hartanya kepada orang yang berhak, termasuk orang miskin, terkadang baru muncul kalau selalu mendapat dorongan atau motivasi dari orang lain. Itulah sebabnya
ayat
ketiga surat al-Ma’un tersebut, penekanannya lebih terarah kepada mereka yang tidak memberi motivasi membantu orang-orang miskin. Dengan demikian, salah satu fungsi pendidikan adalah memotivasi manusia agar memiliki kesadaran untuk memperhatikan atau peduli terhadap kebutuhan orang lain termasuk kebutuhan orang-orang miskin, sehinggi nantinya sikap seperti ini menjadi bagian yang tak terpishkan dalam kehidupan mereka 3. الـذيـن هـم عـن الـصـالتـهـم ســاهـون
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya). Term
sa>hu>n berasal dari kata saha> yang berarti lupa.21 Menurut M. Quraish Shihab bahwa ayat tersebut merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai atau lupa dalam sahatnya, yakni lalai tentang esensi makna dan tujuan shalat.22 Sedangkan menurut al21 Ahmad
Warson Munawwir, op. cit., h. 720 sebabnya kalimat tersebut tidak berbunyi dengan في صـالتهمdidahului dengan harf jar في , karena sekiranya demikian bentuknya, maka yang dimaksud lalai dalam shalatnya adalah mereka yang tidak khusyu dalam shalatnya, lupa jumlah rakaat shalatnya, atau hatinya menuju kepada sesuatu selain shalatnya. Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., h. 550. 22 Itulah
10
Maragy mereka yang melakukan shalat hanya dari segi lahiriyanya saja, tetapi tidak ada yang berbekas dalam jiwanya sedikit pun, tidak menghayati apa yang diucapkan mulutnya, sehingga shalatnya tidak berbekas atau berpengaruh terhadap tingkah lakunya, dan pada akhirnya tidak memperoleh hasil dari tujuan shalat yang dikerjakannya itu. Ia ruku’ dan sujud tetapi hatinya kosong dari apa yang diucapkan lidahnya. Ia takbir tetapi hatinya tidak mengerti makna sebuah takbir. Shalatnya hanya mencerminkan sebagai gerakan rutinitas semata, tidak ada penghayatan dalam shalatnya, sehingga ia tidak dapat menikmati pengaruh atau hasil dari tujuan shalat.23 Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud sa>hu>n adalah menunda pelaksanaan shalat sehingga lewat waktunya atau menunda pelaksanaan shalat dari permulaan waktu.24 Dari keterangan di atas, dipahami bahwa yang dimaksud lalai dalam shalatnya, bukan berarti tidak melaksanakan shalat, hanya saja dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya, misalanya ketika shalat hanya jasmanianya yang melakukan shalat dalam arti berdiri, ruku’ dan sujud, tetapi tidak ada perasaan dalam jiwanya bahwa dia dalam keadaan shalat. Akibanya banyak di antara orang-orang yang shalat seperti itu, lupa apa yang dibaca, lupa jumlah rakaat shalatnya, bahkan setelah shalat mereka tidak mengingat apa yang telah dilakukan itu. Keadaan seperti ini, sudah pasti tidak akan merasakan indahnya sebuah shalat, sehingga tidak bakal merasakan tujuan dan manfaat shalat dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Mereka inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw. lupa dalam shalatnya. Bagi mereka yang tergolong lalai (lupa) dalam shalatnya akan mendapat siksaan api neraka seperti yang dialami oleh mereka yang tidak mau taat kepada Allah swt. seperti Fir’aun dan Qarun dsb. sebagaimana Sabda Rasululah saw.
23 Lihat
Ahmad Mustafa al-Maragy, op. cit., h 249-250 al-Fida>I Isma>il ibn Katsir al-Qurasyy sal-Dimisyqy , Tafsir al-Qur’an al-Az}i>m, juz I, ( t.tp: Dar al-Fikri: t.th), h. 555. 24 Abi>
11
عـن عـبـد اللــه بن عـمـرو عـن الـنـبي صـل اللــه عـلـيـه وسـلم انـه ذ كـر الـصـالة يـومـا فـقـال مـن حـافـظ عـلـيـها كانـت لـه نـورا وبـرهانـا ونـجـاة مـن الـنـار يـوم الـقـيـا مـة ومـن لم يـحـافـظ عـلـيـهـا لم تـكـن لـه نـورا وال نـجـاة 25 )احـمــــد
وال بـرهـانـا وكـ ان يـوم الـقـيـامـة مـع قـارون وفـرعـون وهـامـان وابـي بـن خـلــف (رواه
Terjemahnya: Dari Abdillah bin Umar dari Nabi saw. bahwa pada suatu hari beliau mengingat shalat, lalu beliau bersabda barang siapa memelihara shalat maka dia memperoleh cahaya, keterangan dan kebebasan dari api neraka, dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka tidak akan memperoleh cahaya, kebebasan dari api neraka dan keterangan. pada hari kemudian dia bersama dengan Qarun, Firaun, Haman serta ubayyi bin khalf (HR. Ahmad) Dari hadis tersebut, dipahami bahwa untuk memperoleh manfaat dari shalat, hendaknya dilakukan dengan penuh konsentrasi, sehingga segala yang berkaitan dengan shalat dapat dilaksanakan dengan sempurna, baik dari segi jumlah rakaat, bacaan maupun ingatan kepada Allah swt. Karena kalau tidak demikian adanya, maka sia-sialah pelaksanaan shalat tersebut, bahkan boleh jadi mendapat siksaan di hari kemudian seperti halnya orang-orang yang tidak melaksanakan shalat., atau orang-orang durhaka. Agar seseorang dapat berkonsenterasi dalam shalatnya, selain dia harus memiliki pengetahuan yang berkaitan
dengan shalat, terutama bacaan-bacaannya, juga secara
psikologi harus terbiasa memusatkan perhatiannya kepada yang disembah (Allah swt), setidaknya mengingat bahwa dirinya sedang shalat. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan latihan dalam arti selalu mengulangulangi, baik dari segi bacaannya, maupun cara berkonsentrasi penuh. Itulah sebab dalam metode pendidikan Islam dikenal dengan metode drill
( Latihan) dimaksudkan untuk
memperoleh ketangkasan atau keterampilan terhadap apa yang dipelajari,26 termasuk keterampilan dalam melaksanakan shalat. Menurut Zakiyah Darajat seperti yang dikutip oleh Armai Arief, Latihan dimaksudkan agar pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat
25 Hadis tersebut di atas, dikutip dari program al-Bayan (program hadis al-Kutub al-Tis’ah) dalam Sunan al-Darimy, kitab al Riqaq, bab fi muhafazdati ala al-Shalat, nomor hadis 2605. 26 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Cet. V: Jakarta: Radar Jaya Offset, 2008), h. 317.
12
menjadi milik peserta didik dan dikuasai sepenuhnya. 27 Karena itu, seseorang yang telah terlatih berkonsentrasi dalam shalatnya, tentu akan menjadi kebiasaan baginya,
sehingga
shalat yang dilakukan itu sempurna dan akan berdampak terhadap kesempurnaan pahala yang akan diperolehnya. 4.
الـذين هـم يـراءون
(orang-orang yang berbuat riya). Term yura>u>na adalah fi’il
mudari’ dari fi’il ma>di raa> , berakar kata dari hurf ra, hamzah dan ya yang berarti al nazharu bi al-‘aini yakni melihat dengan mata.28 Dari akar kata yang sama lahir kata riya> yang berarti memperlihatkan dirinya yakni seseorang yang melakukan pekerjaan dengan motivasi agar dilihat orang lain29 , sehingga jika tidak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Juga dapat berarti bahwa ketika seseorang melakukan sesuatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan orang lain untuk mendapatkan pujian. Dari akar kata itu pula diartikan sebagai “melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata,
tetapi untuk
mencari pujian dan
popularitas”30 Menurut Al-Mara>gi>, yang dimaksud riya> adalah seseorang yang melakukan ibadah tetapi pada dasarnya hanya menginginkan keduniaan, misalnya ingin mempertahankan popularitasnya di kalangan masyarakat. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa pelaku riya> terdiri beberapa bagian, yakin; a.
Berprilaku yang baik karena menginginkan kedudukan dan pujian dari orang lain,
b.
Berpakaian sederhana dan kasar, karena ingin dikatakan sebagai orang sederhana, menjauhi dunia (zuhud),
c.
Berpura-pura membenci dunia, dan seolah-olah menyesal kalau ada sesuatu yang bernilai positif, tetapi dia tidak melaksanakannya,
27 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I: Jakarta: Ciputat Pres, 2002), h. 174. 28 Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, op. cit., jilid II, h. 472 29 Lihat Muhammad Husain al-Thabathabay, al-Mizan fi tafsir al-Qur’an, Jilid 20 (BairutLibanon: Muassasah li al Thibaa, 1991), h. 426 30 Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., h. 551
13
d.
Memamerkan ibadah yang dilakukan seperti shalat dan sedekah, bahkan dia rajin beribadah karena ingin dilihat orang lain31 . Dengan demikian, riya> adalah suatu sikap yang pada dasarnya tidak pantas
dimiliki oleh seseorang, karena sekalipun dalam kepentingan sesaat dapat berdampak positif atau memberi keuntungan bagi yang bersangkutan, tetapi pada hakikatnya untuk kepentingan jangka panjang pasti akan meruginya dirinya sendiri. Setidaknya mereka tidak dapat
melaksanakan ibadah secara kontinu, dan yang paling merugikan, bahwa
mereka tidak akan mendapatkan pahala dari Allah swt. Karena itu, ayat tersebut mengandung makna
mauizhah
(peringatan dan
nasehat). Menurut Ramayulis mauizhah termasuk salah satu metode pendidikan alQur’an32 yang berarti bahwa setiap orang yang beramal hendaknya menghindarkan dirinya dari sikap riya, yang merupakan sikap yang sangat dibenci oleh Allah swt. Sehingga orang yang beramal karena ingin dilihat orang lain, tidak akan mendapatkan pahala di hari kemudian,
bahkan Allah swt. memerintahkan agar pergi menerima pahala
ibadahnya kepada siapa dimaksudkan ketika mereka beramal. 5. ( ويـمـنـعـون الـمــاعـونdan enggan (memberikan) bantuan). Term ma>’u>n adalah bentuk maf’u>l dari fi’il ma>di
أعــانyang berarti membantu dengan bantuan yang jelas, baik
dengan alat-alat maupun pasilitas yang memudahkan mencapai sesuatu yang diharapkan, misalnya memberi zakat, harta benda alat-alat rumah tangga, air dan keperluan seharihari33 . Juga dapat berarti sesuatu yang dibutuhkan baik orang-orang miskin maupun yang kaya, seperti panci, timba, kapak (pacul) dan sebagainya. 34 Apabila term tersebut dirangkai dengan yamna’u>na mengandung pengertian bahwa mereka menghalang-halangai atau enggan memberikan sesuatu kepada orang lain. Karena itulah Al-Mara>gi> menafsirkan ayat tersebut dengan menekankan kepada 31 Lihat
Ahmad Mustafa al-Maragy, op. cit., h 249 Ramayulis, op. cit., h. 262 33 Lihat M. Quraish Shihab, luc. cit. 34 Lihat Ahmad Mustafa al-Maragy, luc. cit 32 Lihat
14
pelakunya yakni mereka (orang kikir) tidak mau meberikan sesuatu yang dibutuhkan kaum miskin, sekalipun kebutuhan itu adalah kebutuhan sehari-hari seperti alat untuk memasak seperti panci dan alat untuk memperoleh kayu bakar
seperti kapak. Bagi
mereka yang kikir pada dasarnya tidak memiliki ciri-ciri yang benar-benar percaya kepada agama, karena orang-orang yang beragama memiliki sifat-sifat adil, belas kasihan suka beramal kebajikan untuk kepentingan orang lain. Sedangkan orang kikir selalu meremehkan orang lemah, tidak peduli dengan pendirian orang lain, egois dalm hal harta benda dan bangga dengan kekuatan yang dimilikinya serta tidak mau memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan pertolongannya.35 M. Quraish Shihab lebih cederung memahami pengertian al-ma>’u
dengan
itu, ayat tersebut menggambarkan betapa
kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuan yang sifatnya lebih besar, hal-hal yang kecil pun mereka enggang mengelurkannya 36 .Al-Qurtubi> mengartikan term alma>’u>n kepada dua belas macam, di antaranya adalah mereka enggan mengelurkan zakat dan meberikan sesuatu yang bermanfaat secara langsung kepada mereka yang butuh seperti panci, api, gelas, air dan pakaian sehari-hari. Termasuk dikategorikan enggan memberikan bantuan bagi mereka yang tidak
memberi contoh serta tidak
menyampaikan kepada orang lain tentang pentingnya memiliki sifat ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt.37 Sungguh sangat kikirlah seseorang kalau sekiranya mempunyai kelebihan apa lagi yang sifatnya kebutuhan sehari-sehari tidak mau memberikan bantuan kepada orang lain. Itulah sebabnya Allah swt. pada ayat lain menjelaskan tentang kejelekan sifat kikir, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ali ‘Imra>n/3: 180
35
Lihat Ibid., h. 250-251 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 551. 37 Lihat Abi> Ahmad bin Abi> Bakar al-Qurt{ubi>, al-Ja>mi’ al-Ahka>m al-Qur’an wa alMubayyin lima> tad{ammanahu min al-Sunnat wa ayyi al-Furqa>n (Cet. I; Bairut-Libanon: Muassasah alRisalah, 2006), h. 514-517. 36 Lihat
15
Terjemahnya: Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya. mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (dilehernya) pada hari kiamat . . . 38 Ayat tersebut menunjukan tentang larangan bersifat kikir. Hal ini dipahami dari penggunaan lam al-nahyi pada permulaan ayat, sekalipun tidak bergandengan langsung dengan kata yabekhalu>na yang berarti kikir. Ini berarti bahwa demikian jeleknya sifat kikir itu, karena mengirah saja orang lain bersikap kikir, tidak dibolehkan apalagi kalau memang sudak menjadi orang kikir. M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa adalah tidak wajar sesorang yang mendapatkan anugrah dari Allah swt. seperti harta, ilmu maupun tenaga enggang memberikan kepada orang lain, sehingga mereka tergolong orang-orang kikir. Apa yang mereka kikirkan itu, misalanya harta akan dikalungkan dilehernya pada hari kemudian, sehingga semua orang mengetahui keburukan sifatnya. 39 Keterangan tersebut memberikan peringatan, bahwa demikian jeleknya sifat kikir, bukan saja dampaknya kepada mereka yang tidak mendapatkan bantuan sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga bagi mereka yang mempunyai kelebihan harta, yang tidak mau mengeluarkan sebagian dari hartanya melalui dengan
zakat, infak dan
sedekah (ZIS), karena di hari kemudian mereka pikul dengan dikalungkan di lehernya
38 Departemen
Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (PT. Karya Toha Putra: Semarang,
2002), h. 94. 39 Lihat
M. Quraish Shihab, op. cit., h. 293.
16
harta yang mereka telah kumpulkan dan banggakan di dunia. Bahkan boleh jadi tidak hanya di akhirat mereka rasakan akibat kekikirannya itu, tetapi di dunia pun mereka telah rasakan. Misalnya, hartanya hilang, terbakar atau setidaknya tidak berberkah, karena adanya hak orang lain yang bercampur dengan hartanya. Dengan demikian, ayat tersebut mengandung makna tarhib (ancaman karena dosa yang dilakukan). Menurut Ramyulis tarhib adalah satu metode pendidikan menurut alQuran40 Dalam arti bahwa setiap orang sejatinya tidak melakukan perbuatan seperti yang termaktub dalam ayat tersebut, karena mereka yang melakukannya akan mendapatkan ganjaran yang demikian hebatnya di hari kemudian. C. PENUTUP Dari uraian terdahulu, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai-nilai pendidikan dalam al-Qur’an yang dimaksudkan dalam tulisan ini, adalah nilai-nilai pendidikan yang merupakan analisis dari ayat-ayat al-Qur’an, baik secara langsung (bil lafdhi)
maupun memerlukan penafsiran atau analisis (bil ma’nawi)
seperti yang terdapat dalam surat al-Ma>’u>n. Karena itu, mengkaji nilai-nilai pendidikan
dalam al-Qur’an, setidaknya akan ditemukan konsep-konsep pendidikan
yang tidak sebatas pada proses pembelajaran yang berorientasi pada penciptaan, pengembangan manusia secara intelektual, tetapi lebih dari itu, pendidikan juga berorientasi pada pembentukan manusia yang berwatak, beretika, dan berestetika. 2. Nilai-nilai pendidikan dalam surat al-Ma>’u>n adalah; a. Perlunya ada keinginan dan upaya menghindari sikap menghardik anak yatin. Karena sikap itu merupakan sesuatu yang menyebabkan hilangnya kesadaran tentang potensi diri seseorang sebagai makhluk sosial yang saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Salah satu usaha adalah melalui pendidikan, yang bertujuan untuk merubah sikap seseorang dari yang tidak baik menjadi baik.
40 Lihat
Ramayulis, op. cit., h. 263.
17
b. Kesadara memberi makanan kepada mereka yang membutuhkan atau setidaknya memotivasi orang lain memiliki kesadaran peduli terhadap kebutuhan fakir miskin merupakan sesuatu yang diperlukan, bahkan menjadi kewajiban
bagi mereka yang
mampu. c. Konsenterasi dan kedisiplinan ketika melakukan suatu aktivitas menjadi salah satu syarat memperoleh hasil maksimal, termasuk ketika melaksanakan shalat. d. Sikap riya’ dalam beribadah adalah sesuatu sikap yang harus dihindari, karena selain tidak mendapatkan pahala dari Allah swt., juga menjadikan yang bersangkutan tidak dapat beramal secara kontinu. Mereka baru beramal kalau ada orang lain melihatnya. e. Kepeduli terhadap sesama umat manusia menjadi penting, terutama dalam kebutuhan sehari-hari, baik materi maupun yang bukan materi. Tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak memerlukan bantuan dari orang lain, tidak terkecuali bagi mereka yang mapan hidupnya. Karena itu,
sikap tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain,
merupakan salah satu sikap tercela dan harus dihindari, bahkan mereka yang bersikap seperti itu, dikategorikan sebagai pendusta agama. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory: A Qur’anic Outlook (Makkah alMukarramah Umm al-Qura> University, 1982 Ahmad bin Faris bin Zakariya, Abi al-Husain, Mu’jam maqayis al- lugah, jilid VI, Baitur Dar al-Jil, 1999 Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Cet. I: Jakarta: Ciputat Pres, 2002 al-Bagdady, Mahmud al-Alusy, Ruh al-Maany fiTafsir al-Qur’an al-“adhim wa al-Sab’u al al- mastany, Bairut-Libanon: Dar al Fikri, t.th. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Cet. II: Jakarta: Balai Pustaka, 2002 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra: Semarang, 2002 al-Faisal, Muhammad, “The Glorius Qur’an is the Foundation of Islamic Feducation” dalam Muhammad al-Naquib al-Attas, Aims and Objectivis op Islamic Education (Jeddah: King Abdul Azis University, 1979
18 Longman, Dictionary of Contemparary English, New Edition (England: Longman Group, 1989 al-Maragy, Ahmad Mustafa, tafsir al-Maragy, juz 30. Cet. I; Mesir: Mushtafa al-Babiy al-Halabiy , 1946 al Munawwar, Said Agil Husain, Aktualisasi Nilai-Nilai al-Qur’an Dalam Sistem Pendidikan Islam . Cet. II: Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005 Taufik, M. Kreativitas Baru pendidikan Isla. Cet. I; Mataram: Lembaga PengkajianPublikasi Islam &Masyarakat (LEPPIM) IAIN Mataram, 2012 Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984 Nizan, Samsul dan Muhammad Syaifuddin, Isu-Isu Kontemporer Tantang Pendidikan Islam. Cet. I: Jakarta: Kalam Mulia, 2010 Program al-Bayan (program hadis al-Kutub al-Tis’ah) dalam Sunan al-Darimy, kitab al Riqaq, bab fi muhafazdati ala al-Shalat, nomor hadis 2605 al-Qurasyy sal-Dimisyqy, Abi> al-Fida>I Isma>il ibn Katsir , Tafsir al-Qur’an alAz}i>m, juz I, t.tp: Dar al-Fikri: t.th al-Qurt{ubi, Abi> Ahmad bin Abi> Bakar >, al-Ja>mi’ al-Ahka>m al-Qur’an wa alMubayyin lima> tad{ammanahu min al-Sunnat wa ayyi al-Furqa>n. Cet. I; Bairut-Libanon: Muassasah al-Risalah, 2006), h. 514-517. Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Cet. V: Jakarta: Radar Jaya Offset, 2008 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, volume 15 (Cet. VI; Ciputat Jakarta: Lentera Hati, 2006 Sekretariat Negara RI., UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Sinar Grafika, 2002 al-Thabathabay, Muhammad Husain, al-Mizan fi tafsir al-Qur’an, Jilid 20 BairutLibanon: Muassasah li al Thibaa, 1991.
19
Abstrak Al-Qur’an sebagai sumber nilai pendidikan Islam, selalu berorientasi kepada pembentukan dan pengembangan umat manusia seutuhnya.
Karena itu,
nilai-nilai
pendidikan dalam al-Qur’an khususnya surat al-Ma>’u>n selain dipahami sebagai suatu proses pengembangan intelegensi seseorang untuk memahami alam lingkungan, manusia dan Tuhannya, juga sebagai proses humanisasi, yakni sebauh proses agar seluruh tingkah laku serta berbagai aktivitas seseorang benar-benar bersifat manusia, yakni berwatak, beretika dan berestetika. Perintah
menghargai anak
berkosentrasi serta
diliplin
yatim,
memberi makan
dalam melaksanakan
suatu
kepada
fakir
miskin,
aktivitas termasuk
shalat,
menghindari sikap riya’, serta memberi bantuan kepada orang lain, memerlukan suatu proses
pendidikan disertai dengan metode yang tepat, mislanya; metode drill (latihan),
pembniasaan,
mauizhah
(peringatan
dan
nasehat),
serata
tarhib
ancaman.
Pelaksanaannya harus berjalan terus menerus, tidak mengenal runag dan waktu, jenis kelamin serta status seseorang, sebagi aplikasi dari makna long live education. Dengan
20
demikian, pendidikan merupakan sesuatu yang harus terbangaun dengan sungguhsungguh pada diri seseorang sebagai uapaya untuk meningkaktan kecerdasannya, baik kecerdasan intlekstual, kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual.
.