KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL SEKOLAH DALAM KAJIAN MANAJEMEN Y. Yohansyah Arifin Universitas Mulawarman Abstract: The conduct of National Leaving Exam (NLE or Unas) has shed to some extents from which political policy occupies schooling system from state hegemony. Actual implementation on NLE indicates artificial programs to improve actual needs of education quality. Internally, teachers’ competence to develop standardized test remains problematic. Yet, national standard in education has not prepared integral to the demand of quality improvement reflected in the NLE. From financial perspective, NLE indeed produces an excessive budget involving government budget and students’ parents. Otherwise its various drawbacks, NLE is required to improve national education quality, accelerating development programs on the whole eight education standard: contents, process, graduate competence, teacher qualification and staffs, facilities, management, finance, and evaluation. Keywords: national leaving exam, quality, policy.
Sejarah ujian nasional sudah dimulai sejak diberlakukannya Kurikulum 1968. Pada 1945 sd 1970 dikenal sebagai Ujian Negara, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dari 1984 s.d. 2001, Ujian Akhir Nasional (UAN) dari 2001 s.d. 2005, dan Ujian Nasional (UN) dari 2005 sampai sekarang. Secara subtansial, EBTANAS hanya mengujikan lima mata pelajaran pokok di tingkat SD, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK, yaitu: Bahasa Indonesia, PPKN, Bahasa Inggris, IPS, dan Matematika. Tujaun pokok EBTANAS adalah untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar siswa secara nasional, yang diwujudkan dalam bentuk Nilai Ebtanas Murni (NEM). EBTANAS dilaksanakan menggunakan berbagai paket soal yang berbeda tingkat kesukarannya. Penyelenggara EBTANAS sepenuhnya dilakukan oleh sekolah. Kelulusan siswa ditentukan dengan cara mengkombinasikan hasil penilaian yang dilakukan oleh sekolah (ujian sekolah) dan NEM (ujian nasional). Hasil ujian nasional sebenarnya sangat bermanfaat sebagai pengendalian mutu pendidikan secara nasional. Namun dalam pelaksanaan sering muncul berbagai masalah, antara lain: sekolah berlomba mencapai NEM dan tingkat kelulusan yang tinggi melalui berbagai upaya yang kurang terpuji. Motivasi yang dikembangkan oleh sekolah adalah meraih predikat sekolah efektif dengan mencapai NEM setinggitingginya. NEM digunakan sebagai ”ukuran standar pencapaian hasil belajar siswa”, sehingga NEM dimanfaat-gunakan sebagai indikator keberhasilan utama pencapaian mutu pendidikan yang sekaligus dipergunakan sebagai determinan penting untuk meraih predikat sekolah efektif (effective school). Kesemua itu,
22
Y. Yohansyah Arifin, Kebijakan Ujian Nasional Sekolah
23
pada akhirnya akan mengancam reliabilitas, validitas, dan generabilitas hasil ujian nasional. Evaluasi secara nasional diberlakukan kembali oleh Pemerintah untuk memenuhi amanat UU No. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 57 ayat 1 dan 2 serta pasal 58 ayat 1 dan 2. Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan progam pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Lembaga pendidikan diharapkan memiliki standar secara nasional mencakup: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana-prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Pada era globalisasi, semua negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, karena pendidikan diyakini akan menjadi penentu maju-mundurnya peradaban suatu bangsa. Melalui pendidikan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Melalui lembaga pendidikan yang berkualitas akan dihasilkan sumber daya manusia yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Quisumbing (2003) kualitas pendidikan adalah proses yang dinamik, tidak statis, dan bukan berupa produk akhir. Oleh karena itu, peningkatan kualitas harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Tengoklah, bangsa yang concern terhadap dunai pendidikan terbukti selalu ‘memimpin’ dunia. Jepang, Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam yang baru saja merdeka telah jauh mengungguli Indonesia dalam human development indeks. Sejak EBTANAS diterapkan pada 1983, banyak pendapat yang pro dan kontra terhadap sistem evaluasi itu, baik dari cara penyelenggaraannya, aspek yang diuji, bentuk soal, biaya yang digunakan, sampai pada manfaatnya. Pada masa penggunaan Ebtanas, tingkat kelulusan siswa di semua jenjang pendidikan cenderung sangat tinggi. Kelemahan Ebtanas ini dicoba diatasi dengan menggunakan sistem Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak tahun 2000. Hasilnya tetap, mayoritas peserta ujian lulus. Maraknya gejala untuk menyiasati pelaksanaan Unas sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi. Di antaranya adalah pelaksanaan manajemen pendidikan di Indonesia yang terkesan sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Terbukti sejak Orde Baru hingga saat ini proses evaluasi akhir dilaksanakan secara terpusat. Kelulusan siswa yang menjadi hak guru, sejak dulu diambil alih pemerintah. Dalam Pasal 58 ayat (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa, “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memamtau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Membaca pasal tersebut jelas bahwa hak mengevaluasi pendidikan ada pada guru. Sementara itu, pemerintah mengambil alih sistem evaluasi dengan mengadakan Unas. Tentu saja protes keras dari guru, siswa, dan berbagai kalangan LSM mengiringi kontroversi tersebut. Mereka menuntut proses evaluasi dikembalikan kepada ‘habitatnya’ yaitu guru dan sekolah.
24 Pedagogik, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014 Guru merupakan figur yang berada di garis depan dalam meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia. Kerja keras untuk menciptakan generasi muda berkualitas, lagi-lagi harus dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Menurut Soedijarto, Ketua Lembaga Akreditasi Sekolah Nasional Depdiknas, keingingan membentuk manusia seutuhnya dari hasil pendidikan tidak akan tercapai jika Unas dipaksakan. Ketika anak belajar hanya karena akan ada Unas, berarti tujuan anak dalam belajar diametral dengan keinginan pemerintah. Pada sisi lain, pemerintah juga mempunyai dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan Unas misalnya: (1) Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan (SNP) (2) PP tentang Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), (3) Keputusan Presiden No 17 tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 sebagai basis legitimasi hukum bagi setiap kebijakan, termasuk Unas. (2) Peraturan Menteri (Permen) No 1 tahun 2005 tentang pelaksanaan Unas sebagai penjelasannya. Pasal 58 ayat (1) UU No 20 tahun 2003 yang menyebutkan: “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik,” secara jelas dibatasi oleh PP No 19 tahun 2005 dengan pasal 64 ayat (1) yang intinya, Penilaian pendidikan oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir smester, dan ulangan kenaikan kelas. Berdasarkan pasal tersebut jelas peran guru dalam evaluasi berhenti pada ujian kenaikan kelas, tidak sampai pada evaluasi akhir satuan pendidikan. Tabel 1. Dasar Hukum Pelaksanaan Unas oleh Pemerintah UU No 2 tahun 1989 UU No 20 tahun 2003 PP No 19 tahun 2005 Pasal 44 Pasal 35 Pasal 63 (1) Pemerintah dapat Standar pendidikan Penilaian pendidikan pada menyelenggarakan terdiri atas standar isi, jenjang pendidikan dasar penilaian hasil proses, kompetensi dan menengah terdiri atas: belajaar suatu jenis lulusan, tenaga (a) Penilaian hasil belajar dan atau jenjang kependidikan, sarana oleh pendidik pendidikan secara dan prasarana, (b) Penilaian hasil belajar nasional pengelolaan, oleh satuan pendidikan, pembiayaan, dan dan penilaian (c) Penilaian hasil belajar pendidikanyang harus oleh pemerintah ditingkatkan secara berencana dan berkala Pasal 45 Pasal 57 Pasal 66 Secara berkala dan (1) Evaluasi dilakukan Penilaian hasil belajar berkelanjutan dalam rangka sebagaimana dimaksud pemerintah pengendalian mutu dalam pasal 63 ayat (1) butir melakukan penilaian pendidikan secara c bertujuan untuk menilai terhadap kurikulum nasional sebagai bentuk pencapaian kompetensi dan prasarana akuntabilitas lulusan secara nasional pada pendidikan sesuai penyelenggara mata pelajaran tertentu pada
Y. Yohansyah Arifin, Kebijakan Ujian Nasional Sekolah dengan kebutuhan pendidikan dan perkembangan pihak-pihak keadaan
25
kepada kelompok mata pelajaran ilmu penetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional
UNAS DALAM TEORI HEGEMONI NEGARA UU Sisdiknas menyebutkan hak untuk mengevaluasi pendidikan adalah dilakukan guru. Namun, ketika hak itu diambil alih secara paksa oleh pemerintah, guru dengan rela, meskipun berat hati, menyerahkannya. Bahkan, ketika Unas dilaksanakan, guru tanpa menyadari mendukung program itu dengan sepenuh hati. Guru tidak kuasa lagi menolak segala sesuatu yang telah menjadi keputusan politik pemerintah. Kondisi seperti ini disebut oleh Foucault sebagai hubungan kekuasaan. Foucault beranggapan bahwa setiap hubungan sosial selalu merupakan hubungan kekuasaan (hegemoni Kekuasaan). Kekuasaan ada dan terwujud dalam setiap hubungan sosial, Power being the ultimate principle of social reality (Basrowi, 2004:73). Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia ada di mana-mana, menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya menciptakan rezim kebenaran. Dengan demikian, keberlangsungan kekuasaan seolah menjadi tidak disadari lagi. Kita rela melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan tanpa kita sendiri menyadari bahkan kita sedang dikuasai. Jenis kekuasaan seperti ini disebut sebagai kekuasaan kedisiplinan atau disciplinary power. Ia membawa efek kepatuhan kepada guru untuk berada dalam wacana disiplin. Dapat dipahami, ketika guru dengan ikhlas melaksanakan dan menerima Unas sebagai metode evaluasi akhir, sebenarnya guru telah dihegomoni oleh negara. Guru tunduk dan patuh, meskipun kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah bersifat top down. Unas menjadi “Mantra baru penjinak guru.” FAKTOR POLITIS PELAKSANAAN UNAS Perspektif teori hegemoni Negara sekaligus menunjukkan aspek politik turut campur dalam pelaksanaan Unas. Dalam era otonomi sekarang peranan itu semakin tajam terlihat. Secara kualitatif beberapa fakta empiris bias disebutkan di sini. Bagi banyak daerah, keberhasilan pendidikan merupakan prestise yang mahal nilainya. Proyek-proyek otonomi pendidikan dilaksanakan dalam beragam model. Misalnya, Kutai Kartanegara salah satu kabupaten di Kaltim yang tahun 2010 ini memiliki anggaran pendidikan Rp 600 Milyar, telah mencangkan pendidikan gratis sejak 2003. Program ini bisa dianggap yang awal dilaksanakan pemerintah daerah dan kemudian menjadi model yang ditiru di mana-mana. Menyusul program pendidikan gratis adalah insentif guru, sepeda motor untuk guru, laptop untuk guru, zona bebas pekerja anak. Hasil program tersebut memang tidak jelas sampai saat ini, bahkan menimbulkan permasalahan
26 Pedagogik, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014 hukum yang rumit terkait penggunaan anggaran, tetapi model ini telah secara sporadis menjadi pola di mana-mana. Terkait Unas, prestise daerah dan dengan sendirinya pejabatnya, juga akan terangkat dan bahkan bisa menjadi “pola kampanye terselubung” sekolah di wilayahnya mencapai nilai Unas tinggi. Sebaliknya, kegagalan dalam Unas dijadikan indikator kegagalan. Secara politis, kebijakan penyelamatan Unas dilakukan dalam bentuk di antaranta, Kepala Dinas dipecat jika Unas gagal. Kepala Dinas kemudian mengancam Kepala Sekolah yang gagal untuk dipecat, dan Kepala Sekolah “mengancam” guru. Program sekolah kemudian dirancang sedemikian rupa untuk mengejar target tayang. Bimbingan belajar dibuat secara masal dan murid menjalani “pendalaman” mengerjakan soal dan materi Unas. Yang lebih heboh lagi, sekolah-sekolah baik yang maju di pusat kota dan di pedalaman atau pelosok, secara seragam memperoleh nilai Unas yang fantastis. Tingkat kelulusan mencapai 85% sampai 95%. Bahkan sekolah yang gurunya kurang, gedungnya kurang lengkap, tempatnya “jauh di pulau” memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibanding sekolah-sekolah di perkotaan. Sebagai sampel, periksa Tabel 2 untuk profil Unas di Kaltim. Fakta “misterius” ini mengentak pemerintah dan dibuatlah kemudian “proyek pengawasan” Unas yang melibatkan berbagai pihak. Pertama-tama dibuatlah Tim Pengawas Ujian yang melibatkan aparat kepolisian. Kemudian Unas “didelegasikan” ke PTN di setiap wilayah. Semua usaha tersebut tetap tidak memberikan solusi untuk mengatasi persoalan Unas. Persoalan Unas yang sebenarnya ialah ketidaksiapan melaksanakan ujian, sehingga pihak-pihak terkait melakukan ketidakjujuran. Jadi, jika yang diatasi bukan persoalan mendasarnya dari aspek peningkatan standar mutu pendidikan, Unas akan tetap menghasilkan potret yang sama buruknya sampai kapan pun dilaksanakan. Tabel 2. Total persentase ketidaklulusan semua jenjang di Provinsi Kaltim Jenjang
Jumlah Sekolah SMP/MTs 644 SMA IPA 151 SMA IPS 257 SMA Bahasa 11 SMK 109 TOTAL 1172 Sumber: Disdik Provinsi Kaltim, 2008
Jumlah Peserta 44779 8049 12739 304 11406 77277
Tidak Lulus Jumlah % 296 0,661 139 1,727 413 3,242 8 2,63 294 5,578 1150 1,488
Jika uraian di atas ditegaskan, ada tiga pernyataan yang penting untuk dicatat. Pertama, Unas sebenarnya tidak memberi dampak belajar apa-apa. Ada Unas atau tidak hasilnya sama saja. Maksudnya, semua siswa tetap akan banyak yang lulus karena semua elemen sekolah bekerja mengejar target. Bahkan kebijakan politis juga turut bermain sehingga pengaruh Unas semakin kurang jelas.
Y. Yohansyah Arifin, Kebijakan Ujian Nasional Sekolah
27
Kedua, upaya pelaksanaan Unas dengan melibatkan berbagai pihak untuk mengamankan sebenarnya masalah non-evaluasi yang tidak memiliki dampak pada peningkatan kualitas Unas. Permasalahan yang utama ialah keterlaksanaan standar pendidikan yang sesuai dan kesiapan melaksanakan ujian kompetensi secara mandiri. Sepanjang kondisi tersebut belum terpenuhi, Unas tetap akan menjadi baik di permukaan tetapi tidak dalam peningkatan kualitas pendidikan. Ketiga, dalam pelaksanaan pendidikan, perlu pengakuan nasional dan internasional. Unas merupakan salah satu instrumen yang digunakan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan internasional bahwa pendidikan Indonesia setara dengan pendidikan di negara maju. Untuk melaksanakan tujuan tersebut pemerintah telah mengambil hak-hak guru dalam perspektif hegemoni negara. Terlepas dari itu semua, kemampuan guru menguasai evaluasi dan penilaian memang masih kurang. Data pada Tabel 3 menunjukkan kemampuan guru. Secara empiris, perolehan nilai siswa tampak menggembirakan apabila versi soal disusun oleh para guru. Akan tetapi, ketika Unas yang pelaksanaannya dikoordinir pemerintah, perolehan nilai siswa tampak kurang menggembirakan. Hasil nilai siswa mencapai kebalikan dan biasanya mengecewakan. Gejala ini disebabkan oleh ketidaksiapan guru dalam menyusun soal secara baik dan benar. Guru sering gagal merancang, merakit, dan menyusun tes atau ujian sebagaimana dirambukan dalam kisi-kisi yang dijabarkan dari kurikulum. Kemampuan guru untuk menyusun alat evaluasi yang standar mutunya setaraf Unas ternyata belum dimiliki di kalangan sebagian guru. Tabel 3. Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar pada Berbagai Jenjang Pendidikan No 1
2
3
4
Jenjang Sekolah SD Layak Mengajar Semi Layak Mengajar Tidak Layak mengajar SMP Layak Mengajar Semi Layak Mengajar Tidak Layak mengajar SMA Layak Mengajar Semi Layak Mengajar Tidak Layak mengajar SMK Layak Mengajar Semi Layak Mengajar Tidak Layak mengajar
Status Skolah Negeri Swasta 21,07 74,06 4,87
28,94 60,72 10,34
54,12 30,01 15,86
60,99 29,37 9,64
65,29 31,61 3,10
64,73 27,61 7,66
55,49 38,72 5,37
58,26 33,23 8,51
28 Pedagogik, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014 Sumber: Hassan, 2004:5 Data tersebut menunjukkan bahwa usaha untuk memperbaiki mutu prestasi skolastik setiap jenjang pendidikan perlu kebijakan secara komprehensif. Pelatihan, penataran, seminar, lokaka, atau apa pun yang berkaitan dengan temu guru selama ini sering hanya membincangkan ihwal hakikat kurikulum, pendekatan, metode, dan materi esensial yang perlu dipahami. Malah, kadang hanya membicarakan buku pegangan guru, buku pegangan siswa, buku pelengkap atau LKS, hingga ramai-ramai menyusun program dalam rangka menjabarkan kurikulum yang baru diperkenalkan tersebut. Sebaliknya, hal mendasar yang prinsip justru kerap diabaikan adalah bagaimana para guru tidak hanya piawai memberikan materi secara menarik dari buku acuan, tetapi mahir pula dalam merancang dan menyusun tes sesuai keperluan. Jadi, yang penting adalah bagaimana perimbangan itu secara merata diperoleh guru dalam setiap kesempatan yang berkaitan dengan penataran atau kegiatan sejenis. Dengan kata lain, perlu diadakan pelatihan secara terjadwal, terpadu, dan terbimbing tentang: (1) strategi menyusun soal dengan baik, (2) strategi mengujicobakan dan menganalisis soal, dan (3) strategi memperbaiki soal yang telah diujicobakan. Untuk melawan hegemoni negara yang memaksanakan pelaksanaan Unas, upaya menyiapkan atau membentuk kemampuan guru dalam menyusun soal secara terampil perlu menjadi prioritas. Keterampilan ini sangat dituntut agar permintaan akan hak mengevaluasi dikembalikan kepada guru bisa berhasil. Bukan hanya sekedar berdemo menolak Unas. Hal itu tidak menyelesaikan masalah. Melihat kemampuan guru dalam menyusun alat evaluasi yang masih begitu rendah, maka apabila evaluasi akhir di sekolah diserahkan kepada masing-masing sekolah akan menemui berbagai kendala. Pertama, untuk menyusun tes yang valid, reliabel, mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi, mempunyai daya prediksi yang tinggi, sangat sulit dan mahal. Kedua, untuk menghindari kolusi, korupsi, dan nepotisme proses proses evaluasi juga sangat sulit. Berkaitan dengan model pengembangan soal Unas, terdapat beberapa problem yang dihadapi. Pertama, Unas tidak bisa langsung meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun standar nasional sudah ada dan badan standardisasi sudah terbentuk, belum begitu bermanfaat ketika guru-guru yang sangat paham betul dengan kondisi siswanya tidak pernah dilibatkan dalam proses situ. Menurut Tilaar sejak awal pemberlakukan Unas tidak pernah ada niatan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Semua sebagai wujud arogansi kekuasaan yang digenggam pemerintah. “Ujian Nasional bukan untuk kepentingan pendidikan nasional, tetapi untuk kepentingan sakunya. Sekarang ini Unas sangat tergantung pada kong-kalikong Departemen dan DPR.1 Terkesan, pemerintah 1
Hal ini terbukti dengan pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo yang mengatakan bahwa, “Unas ini telah dicapai kesepakatan bersama DPR untuk tetap dilaksanakan.” Kondisi seperti itu juga tidak lepas dari keinginan mantan Wakil Presiden, Yusuf Kalla yang ngotot untuk tetap melaksanakan Unas walau masyarakat terus menentang. “Kalaupun nanti banyak yang tidak lulus (akibat Unas) maka itu konsekwensinya yang harus dibayar. Itu konsekwensi bagi sekolah agar
Y. Yohansyah Arifin, Kebijakan Ujian Nasional Sekolah
29
memberlakukan Unas hanya karena kalkulasi keuntungan proyek pengadaan soal yang dijalankan Depdiknas, lalu memaksakan wacana untuk melakukan Unas di tingkat bawah, sehingga dipahami oleh guru dan murid bahwa Unas adalah harga mati.” Kedua, terjadi disparitas antar daerah. Kondisi sosial-ekonomi antardaerah yang sangat tidak merata, berdampak pada perbedaan mutu pendidikan antardaerah. Banyak sekali terdapat disparitas dan perbedaan mutu pendidikan yang sangat timpang antarsekolah, antardaerah, antarkota dan desa di Indonesia. Ketiga, dari penelitian yang dilakukan oleh Benyamin Bloom, tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan dinilai (diujikan). Karena itu, ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran, akan menjadikan peserta didik selama belajar tiak merasa perlunya melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca novel, tidak perlu latihan mengarang, tidak perlu melakukan kegiatan terus menerus secara berdisiplin dan berbagai kegiatan belajar yang dalam dirinya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap. Sebab, kesemuanya itu tidak akan diujikan. Dampak lebih lanjut adalah munculnya lembaga bimbingan tes yang mengakibatkan tidak lagi menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan. Dalam lembaga Bimbel seolah telah terjadi pengarbitan kemampuan dan penggebirian wawasan anak. Proses pembelajaran ini akan menghasilkan kemampuan kamuflase dan bersifat sementara. Keempat, pemaksaan Unas, meskipun legal dengan adanya SNP, bersifat sangat memboroskan anggaran negara. Bahkan banyak pengamat mengatakan, pelaksanaan Unas, “Hanya buang-buang duit saja.” Tuduhan itu menurut Saepudin (2005) sangat wajar karena tidak ada transparansi dana setelah penyelenggaraan Unas. Ade Irawan, Sekretaris Koalisi Pendidikan yang juga anggota Indonesian Corruption Watch, mengatakan, “Kebijakan Unas sangat tertutup dan sosialisasinya ke masyarakat kurang. Dana besar yang dikelolanya tidak transparan dan tidak partisipatif”. Kelima, Menurut Tilaar, Ujian merupakan bentuk hukuman kepada murid dan sekolah oleh pemerintah. Sebab, ujian yang dilakukan menentukan ‘hidupmati’ siswa dalam pendidikan. Ujian hendaknya bukan menentukan nasib anak, tetapi menolong dan dapat memperkuat anak dalam berproses menjadi siswasiswa yang seutuhnya. Keenam, Unas sangat bertentangan dengan semangat desentralistik yang digembar-gemborkan pemerintah, yaitu desentralisasi kewenangan penilaian pendidikan siswa kepada guru. Unas merupakan keputusan politik yang sangat mengingkari semangat otonomi pendidikan, bukan dijiwai membangun kualitas generasi yang lebih baik. Ketujuh, banyaknya biaya siluman yang dikeluarkan oleh orang tua di desa dan di pelosok-pelosok terpencil. Mereka mengeluarkan biaya siluman demi sekedar anaknya bisa mengikuti Unas. Bahkan menjelang Unas, siswa kelas mau meningkatkan cara mengajar mereka sekaligus konsekwensi bagi anak didik agar mau belajar lebih giat. (Baca lebih lanjut Kompas, 3 Februari 2005)
30 Pedagogik, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014 enam SD, kelas III SMP, dan kelas 3 SMA diharuskan mengikuti pendidikan ekstra, lewat bimbingan belajar yang disediakan sekolah. Kebanyakan siswa sekarang mengejar cara cepat untuk menyelesaikan soal, bukan konsep dari materi pelajaran. Bimbel mendidik anak untuk mengerjakan soal secara instant, bukan pemahaman konsep. Unas yang hanya menuntut penguasaan materi menyebabkan lembaga Bimbel menjadi laku keras. Bahkan banyak pula sekolah yang membuka try out soal ujian, sehingga dengan usaha itu, sekolah bisa mendapatkan pemasukan. Sensitivitas sosial pemerintah pusat terhadap hal itu sama sekali tidak ada. Kedelapan, selain menghasilkan lahan bisnis yang kurang positif dalam mendukung kreativitas berfikir anak, Unas juga telah mengakibatkan guru kurang kreatif dalam mengembangkan bahan ajar dan metode mengajar. Guru lebih banyak menfokuskan perhatian menjelang dilaksanakan Unas. Apalagi guru kelas enam, sembilan dan dua belas, proses pembelajaran lebih didominasi dengan persiapan menghadapi Unas. Anak-anak lebih banyak dihadapkan pada soal-soal ujian terdahulu, ataupun strategi-strategi khusus menghadapi Unas. Strategi pembelajaran semacam ini bukan saja sangat jelek, tetapi juga akan mengakibatkan berkurangnya kreativitas anak. Akibat lebih lanjut, seandainya Unas dihapuskan, mereka yang merasa diuntungkan dengan Unas akan menyelenggarakan evaluasi tandingan, yang bisa dijadikan semacam proyek bisnis oleh oknum-oknum tertentu. Kesembilan, ada kecenderungan orientasi pendidikan bukan pada penguasaan ilmu, namun pada hasil yang tertera pada nilai Unas. Sekolah yang rata-rata nilai Unasnya tinggi adalah sekolah yang berprestasi di mata siswa, guru, kepala sekolah, orang tua, bahkan pemerintah(?). Kesepuluh, ujian nasional belum mampu menjadi pendorong dalam proses penanaman nilai dan pengembangan sikap. Hal itu dapat dipahami karena keampuhan pelajaran matematika dan Bahasa Inggris hanya mampu sebagai indikator kecerdasan peserta didik, tetapi nilai itu belum mampu menjadi indikator keberhasilan penanaman nilai dan pengembangan sikap. Kondisi yang lebih parah lagi ketika diterapkan Unas ulangan, yang terjadi: (1) ada kasus jawaban anak dalam satu kelas sama semua, (2) guru yang mengawasi pelaksanaan Unas meskipun sudah disilang tetap terjadi kong-kalikong untuk membantu siswa, karena sangat terkait dengan beban guru, mutu sekolah, dan nasib anak. Berkaitan dengan kelemahan Unas, masih banyak lagi pendapat ahli yang menyoroti kelemahannya. Antara lain, Suwarno, yang berpendapat bahwa, dengan Unas (1) Proses pembelajaran terbebani dan hanya berorientasi pada Unas, (2) penyelenggaraan Unas menjadi tidak sehat karena banyak polusi, (3) hasil Unas tidak dapat mempengaruhi kualitas lulusan karena banyaknya rekayasa nilai, apalagi untuk Unas ulangan. Selain berbagai kelemahan di atas, Unas juga mempunyai berbagai kelebihan. kelebihan Unas meliputi: (1) terdapat standar nasional sehingga kualitas pendidikan bisa dikontrol, (2) Sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, (3) Mampu menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu, (4) Memotivasi siswa untuk belajar keras, dan menuntut guru
Y. Yohansyah Arifin, Kebijakan Ujian Nasional Sekolah
31
untuk mengajar dengan baik, (5) Mempermudah proses seleksi penerimaan ke sekolah yang lebih tinggi, (6) Sekolah bisa mengklaim kualitas lembaganya dengan melihat nilai Unas yang diperoleh siswa, dan (7) Guru tidak direpotkan dengan penyusunan soal ujian, bahkan mendapat tambahan penghasilan dengan menjadi pengawas, korektor atau tambahan jam untuk mengedril soal-soal menghadapi Unas. SISI EKONOMI UNAS Sebenarnya, hal yang menarik dalam penyelenggaraan Unas adalah besarnya dana yang digunakan. Pada tahun 2004 sebagai contoh. Dana yang disediakan dalam APBN sebesar Rp 259.722.500.000,00. Jumlah tersebut akan membengkak karena pemerintah daerah—provinsi dan kabupaten/kota—juga diwajibkan ikut menyediakan dana dalam APBD. Apabila di Indonesia terdapat 33 provinsi dan 400 kabupaten/kota, maka berapa trilyun jumlah biaya yang dikeluarkan oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelenggarakan Unas tahun ajaran 2003/2004 mengeluarkan dana sebesar Rp 13 milyar. Jika dirata-ratakan satu provinsi mengeluarkan Rp 5 milyar, maka dana yang terkumpul pada tingkat provinsi adalah Rp 165 milyar. Untuk kabupaten/kota diambil contoh kabupaten Tangerang yang mengalokasikan dana sebesar Rp 5,7 milyar. Jika dirata-ratakan setiap kabupaten/kota mengeluarkan dana Rp 2,0 milyar, maka dana Unas untuk tingkat kabupaten/kota bisa mencapai Rp 800 milyar. Selain biaya itu, walau diumumkan tidak ada pungutan, tetapi dalam praktiknya sekolah masih banyak yang memungut biaya untuk penyelenggaraan Unas dari orang tua siswa. Bahkan, banyak sekolah yang memungut jauh hari sebelum Unas dilaksanakan. Berbagai alasan digunakan oleh sekolah seperti untuk biaya les, biaya pemantapan, biaya uji coba, biaya penyelenggaraan Unas pada hari H seperti transportasi atau konsumsi, pengawas sekolah, dan lain-lain Dengan adanya Unas, orang tua juga sering memasukkan anaknya ke lembaga Bimbel. Dengan mengikuti Bimbel jelas menyebabkan pengeluaran orang tua bertambah. Dengan demikian, dibutuhkan biaya yang banyak jika anak ingin bisa belajar cepat dan mampu mengantisipasi soal-soal yang akan diujikan dalam Unas nanti. Hasil penelitian Rogers Pakpahan mengenai penyelenggaraan UAN di Tangerang menyebutkan, siswa dibebankan biaya antara Rp 150 ribu hingga Rp 400 ribu. (http://www. depdiknas. go.id). Jika dirata-ratakan total biaya Unas yang ditanggung orang tua siswa sebesar Rp 100 ribu, dikalikan jumlah peserta Unas sebanyak 3.672.500 siswa, lebih dari 9 trilyun dana dikumpulkan dari masyarakat. Bagi penyusun buku bank soal, penerbit, toko buku, sales, Unas tetap mampu memberi perputaran ekonomi yang jumlahnya tidak sedikit. Jelas tergambar bahwa Unas merupakan sebuah “proyek” dengan dana melimpah. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila banyak pihak yang berkepentingan dan bersama-sama mempertahankannya, mulai dari kepala sekolah, lembaga Bimbel, Dinas Pendidikan, hingga Depdiknas. JALAN KELUAR APA?
32 Pedagogik, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014 Berkaitan dengan banyaknya kelemahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Unas, ada beberapa alternatif jalan keluar yang sudah disampaikan oleh beberapa ahli. Pertama, usul yang dikemukakan oleh Fuad Hasan, mendikbud 19851993, yang menyatakan bahwa untuk mengetahui pencapaian hasil pendidikan di sekolah secara nasional masih ada cara lain selain Ebtanas, yang tidak membutuhkan biaya besar dan birokrasi panjang, misalnya dengan evaluasi sistem sampling. Kedua, usul yang dikemukakan oleh Yahya Muhaimin, Mendiknas era reformasi yang menyatakan bahwa sistem Ebtanas perlu diperbaiki, mulai dari manajemen, pelaksanaan, penyusunan soal, bentuk soal yang tidak lagi pilihan berganda akan tetapi esai. Dengan demikian, Ebtanas benar-benar mampu mengetahui tingkat kecerdasan siswa dan mutu pendidikan sekolah secara nasional, sehingga terwujud pemeraataan mutu pendidikan. Ketiga, usul yang dikemukakan oleh Burhanudin Tola, yang menyatakan bahwa untuk menciptakan equity dalam system evaluasi akhir, tingkat kesulitan soal Unas sebaiknya disesuaikan dengan kualitas pendidikan di daerah. Untuk daerah yang maju prosentase soal dengan tingkat kesulitas tinggi ditambah, dan untuk daerah yang kurang maju dikurangi. Misalnya untuk daerah Jakarta, DIY, atau Indonesia bagian barat, jumlah soal dengan tingkat kesulitan tinggi 30%, sedang 60%, dan mudah 10%. Sebaliknya, untuk Indonesia bagian timur jumlah soal dengan tingkat kesulitan tinggi 10%, sedang 60%, dan mudah 30%. Begitu juga standar kelulusan untuk tiap-tiap daerah tidak perlu sama. Misalnya, secara nasional minimal 4,01. Jakarta boleh menentukan standar kelulusan 6,0, DIY 6,2, Kupang 4,1 dan sebagainya. Keempat, usul yang dikemukakan oleh S. Belen, ahli kurikulum pada Balitbang Diknas, agar evaluasi belajar tahap akhir nasional diganti dengan tes terstandar, suatu bentuk evaluasi yang biasa dilakukan oleh negara-negara maju—seperti Singapura, Australia, dan Inggris—untuk mengukur keberhasilan pembelajaran siswanya. Tes tersebut semacam tes IQ atau tes diagnostik yang bisa diatur akan dilakukan di kelas apa saja, dilaksanakan oleh guru yang sudah mendapat pendidikan untuk menguji kemampuan siswanya. Pola tes tersebut juga bisa untuk mengukur mutu sekolah bersangkutan. Usaha ini sekaligus untuk memberdayakan guru dan sekolah sebagaimana diinginkan manajemen berbasis sekolah. Kelima, usul yang dikemukakan oleh Dali S Naga, yaitu dengan menerapkan model ujian adaptif. Siswa diberi soal ujian dengan taraf kesukaran yang sesuai dengan kemampuan peserta ujian. Soal ujian dikembangkan dengan teori pengukuran modern. Selama taraf kesukaran butir ujian yang diberikan kepada peserta ujian cocok dengan kemampuan peserta ujian, hasil ujian akan memiliki akurasi yang tinggi. Penerapan paradigma ini sulit dan perlu hati-hati, karena apabila taraf kesukaran butir yang diberikan tidak cocok dengan kemampuan peserta ujian, maka hasil ujian akan tidak memiliki akurasi. Keenam, usul yang dikemukakan oleh Djaali, model ujian yang paling cocok adalah UAN yang dilakukan seperti EBTANAS. Ujian (UAN) hanya berhenti pada nilai. Ujian berfungsi untuk mendeteksi siapa yang mampu dan tidak mampu, siapa yang lulus dan tidak lulus, untuk mengetahui di mana
Y. Yohansyah Arifin, Kebijakan Ujian Nasional Sekolah
33
sekolah yang bagus mutunya, dan mana yang tidak. Sedangkan EBTANAS merupakan informasi untuk memperbaiki, ada evaluasi proses, hasil, dan bisa menjadi informasi untuk menentukan suatu kebijakan pendidikan di suatu sekolah. EBTANAS membutuhkan tindak lanjut perbaikan. Ketujuh, usul penulis. Unas tetap dilaksanakan karena dampak positif Unas jauh lebih banyak dari pada negatifnya. Akan tetapi, Unas perlu penyempurnaan berkaitan dengan kualitas soal, obyektivitas penskoran, peningkataan keamanan soal, penyediaan anggaran yang cukup oleh pemerintah sehingga masyarakat tidak terbebani. Begitu juga sarana dan perlengkapan untuk Unas harus dilengkapi. SIMPULAN Terlepas dari pro dan kontra dalam menyikapi penyelenggaraan Unas, ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian bersama dalam rangka penyehatan dan peningkatan mutu pendidikan. Pertama, program peningkatan kualitas pendidikan dirancang berdasarkan informasi tentang kualitas pendidikan saat ini. Penilaian yang bersifat nasional akan memberikan informasi perkembangan pendidikan tiap wilayah, sekolah pada setiap tahun serta hasilnya dapat dibandingkan. Hasil penilaian, sering dipandang sebagai tolok ukur penentuan keberhasilan proses pembelajaran. Kedua, Unas dirasakan banyak kekurangan dan menyusahkan siswa dan guru, tetapi Unas bisa memotivasi siswa untuk belajar keras, dan menuntut guru untuk mengajar dengan baik. Bagi guru Unas merupakan evaluasi negara terhadap hasil kerja guru. Guru banyak yang lebih cemas dari pada siswanya karena merasa diawasi oleh negara untuk melakukan pembelajaran dengan lebih baik. Ketiga, dampak positif Unas lebih banyak daripada negatifnya, sehingga Unas tetap diperlukan dengan penyempurnaan kualitas soal objektivitas penskoran, peningkataan keamanan soal, penyediaan anggaran yang cukup oleh pemerintah sehingga masyarakat tidak terbebani. Keempat, prinsip mengembalikan hak dan kewenangan pada guru dan sekolah untuk menguji siswanya sendiri, tetap harus mengacu pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Sekolah dan guru tetap bertanggungjawab terhadap proses pendidikan mulai dari penerimaan, pembelajaran, pengujian, sampai dengan penentuan kelulusan. Sekolah tetap berhak menyelenggarakan ujian sekolah bagi siswanya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Anastasi, A., 1961, Psychological Testing, New York: The Macmillan Co. Basrowi, 1998, “Equity dalam Sistem Seleksi Masuk Pemda,” Lampung Post, 20 Oktober 1998. Basrowi, 1999, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Yayasan Kampusina Basrowi. 2004. “Keadilan dalam Sistem Seleksi Masuk Perguruan Tinggi,” Kiprah, Vol 16 No 5 Mei 2004. Basrowi, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas, Surabaya: Surabaya Insan Cendekia.
34 Pedagogik, Volume 7, Nomor 1, Januari 2014 Belen. 2002. “Tes Terstandar Diusulkan Menggantikan Ebtanas,” Kompas, 25 Januari 2002. hal 9. Djaali. 2004. “UAN yang EBTANAS Baru Ideal,” dalam Buletin PUSPENDIK, Desember 2004, Hal 36-39. Ebel, R.L dan Frisbie D.A. 1986. Essentials of Educational Measurement, Englewood Clifft, New Jersey: Prentice Hall. Hardjasoemantri, Soenadi. 2004. “Hubungan UAN dan Perguruan tinggi,” dalam Buletin PUSPENDIK, Desember 2004, Hal 9-10. Hassan, Fuad. 2004. “Peraturan Perudang-undangan sebagai Acuan Pelaksanaan Evaluasi hasil Belajar dan Ujian Akhir Satuan Pendidikan,” dalam Buletin PUSPENDIK, Desember 2004, Hal 3-8. Mardapi, Djemari. 2004. Dampak Ujian Akhir Nasional, dalam Buletin PUSPENDIK, Desember 2004, Hal 14-17. Mehrens W.A dan Lehmann, I. J. 1973. Measurement and Evaluation in Education and Psichology, New York: Holt, Rinnehart and Winston. Naga, Dali S. 2004. “Pergeseran Paradigma pada Sistem Ujian,” dalam Buletin PUSPENDIK, Desember 2004, Hal 11-13. Saepudin, Epung. 2005. “UN, Kebijakan yang Dipaksakan,” Transformasi, Edisi 38 Juli 2005, hal 4.