Kebijakan Transportasi Publik dalam Perspektif Green Politics (Studi tentang Rencana Pembangunan Monorel-Trem di Surabaya)1 Defrina Sukma Satiti2 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran dan pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam menyusun kebijakan untuk mengatasi dampak ekologi akibat sektor transportasi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Teknik penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposif. Data-data penelitian diperoleh dari hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait, dokumen-dokumen transportasi perkotaan, dan wawancara mendalam. Proses analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan data, dan menganalisis antara dokumen terkait dengan hasil wawancara. Validitas data diuji dengan triangulasi sumber-sumber data. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan adanya dimensi idealisme yang digunakan Pemerintah Kota Surabaya dalam menyusun rencana kebijakan monorel-trem yang tercantum dalam RPJPD Surabaya tahun 2005-2025. Namun, dimensi idealisme itu tidak didukung dengan kebijakankebijakan lainnya yang bisa mengoptimalkan penggunaan angkutan massal monorel-trem, seperti penambahan kilometer panjang jalan, data statistik menunjukkan jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun terus meningkat, simpul-simpul perekonomian berupa pusat bisnis dan perbelanjaan, dan sisi estetika. Sasaran kebijakan angkutan massal monorel-trem adalah pelaku perjalanan kelompok choice dan captive, di mana kelompok choice adalah kalangan menengah ke atas, dan investor. Kebijakan angkutan massal ini tergolong dalam tipe kebijakan reformis, karena hanya berusaha untuk mewadahi kalangan investor dan pengguna kendaraan pribadi terutama mobil. Kata kunci: transportasi publik, green politics, kebijakan Abstract This research is talking about the role and rationality Surabaya City of Government in order to formulate some policies to solve environmental impact by transportation sector. The research method used in this research is qualitative descriptive. The technique of determining the informant is purposive. The data retrieved from previous research about transportation problems, urban transportation documentations, and an in-depth interview. The process of Jurnal ini merupakan hasil penelitian dari skripsi penulis yang berjudul Kebijakan Transportasi Publik dalam Perspektif Green Politics (Studi tentang Rencana Kebijakan Monorel-Trem di Surabaya). Skripsi tersebut dibimbing oleh Ucu Martanto, S.IP., M.A., dan dipertahankan di hadapan komisi penguji sidang yang terdiri dari Dr. Siti Aminah., Dra., M.A. selaku ketua penguji, Wisnu Pramutanto., Drs., M.Si. selaku anggota penguji I, dan Ucu Martanto, S.IP., M.A. selaku anggota penguji II, pada Jumat, 10 Januari 2014 pukul 13.00-15.00. WIB. Skripsi tersebut memperoleh nilai B. 2 Mahasiswa S-1 Ilmu PolitiK Universitas Airlangga, e-mail:
[email protected] 1
1
data analysis done by grouping and combining the data obtained, and also set a series of corresponding among the data. While the data validity is tested through triangulation of data sources so that the data presented is valid data. The results showed that idealism dimension used by Surabaya City of Government in order to formulate public transportation system. They are mentioned on RPJPD Surabaya 2005-2025. But, an idealism dimension isn’t supported by another policies such as increasing road structure, private transportation user, centre of economic growth, and aesthetic side. A target of this policies is choice and captive groups, in which choice groups are rich peoples and investors. This policy is classified to reformist policy, because of it just reducing congestion numbers which caused by private transportation user. Keyword: public transportation, green politics, policy Pendahuluan Persoalan kota keberlanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan transportasi. Transportasi yang baik merupakan jantung dari kota keberlanjutan hingga ke tingkat global (Kenworthy, 2006). Namun, transportasi dapat menimbulkan permasalahan bagi lingkungan, terutama berkaitan dengan emisi karbondioksida. Emisi karbondioksida merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global dan mengancam kehidupan manusia. Sepanjang tiga dekade lalu, karbondioksida dari sarana transportasi telah meningkat daripada penyumbang emisi di sektor lainnya. Terkait dengan transportasi darat, emisi karbondioksida yang dihasilkan di sektor ini meningkat di negaranegara berkembang menyumbang 61% dari seluruh transportasi darat yang ada di dunia. Selain itu, transportasi merupakan salah satu sektor yang sulit diturunkan emisi gas urmah kacanya. Hal ini disebabkan banyaknya sumber-sumber emisi kecil berupa kendaraan bermotor dan pembangunan ekonomi (Dalkmann, dan Brannigan, 2008). Surabaya menjadi pusat perdagangan, pendidikan, maritim, pariwisata terus mengalami perkembangan pesat. Transportasi di Surabaya mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesempatan kerja, dan meningkatnya pendapatan masyarakat.Kebutuhan transportasi publik di Surabaya saat ini dilayani oleh 2.254 unit bus kota (patas dan ekonomi) dengan 19 rute, 8.638 unit mobil angkutan umum, taksi, angguna, dan kereta api Komuter. Keseluruhan akses transportasi publik didukung dengan keberadaan terminal yang strategis, seperti Terminal Joyoboyo, Bratang, Jembatan Merah, Purabaya, dan Oso Wilangon. Sedangkan stasiun kereta api juga terletak di kawasan yang strategis pula di Stasiun Surabaya Gubeng, Semut, Wonokromo, Pasar Turi, dan beberapa shelter kecil sebagai tempat transit kereta api Komuter yang memiliki relasi SurabayaSidoarjo-Porong dan Surabaya-Gresik-Lamongan. Berdasarkan data yang dimiliki Pemkot Surabaya, terdapat 57 rute atau trayek angkutan kota (atau yang lebih dikenal dengan angkot/bemo/mikrolet) yang berjumlah 3.480 unit, bus kota 1.200 unit, dan komuter empat unit (surabaya.go.id, diakses pada 15 September 2013).
2
Transportasi merupakan penyumbang emisi karbondioksida ketiga terbesar Surabaya. Menurut data yang dihimpun oleh Badan Lingkungan Hidup tahun 2011, menyebutkan bahwa 1.827.806 kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil bensin, mobil solar, mikrolet, bus, dan truk) memiliki kekuatan emisi 5.269.460 ton CO2/tahun. Pada tahun 2016, kekuatan emisi diproyeksikan mencapai 8.045.644 ton CO2/tahun (lh.surabaya.go.id, diakses pada 15 September 2013). Pihak pemerintah merupakan regulator, atau dengan kata lain yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dalam konteks persoalan transportasi. Pihak swasta merupakan salah satu pelaku atau pemilik transportasi yang menguasai sektor pendapatan dan penyelenggaraan transportasi, memberikan dampak terhadap lingkungan, dan produsen sekaligus penyedia yang menjual teknologi ramah lingkungan (Aminah, 2006). Masyarakat merupakan warga negara yang menggunakan jasa transportasi dan yang terkena dampak akibat penyelenggaraan transportasi. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka transportasi merupakan persoalan yang bisa diangkat dalam ranah politik. Selain itu, proses politik juga mempertimbangkan apakah persoalan tersebut merupakan prioritas bagi para pembuat kebijakan atau tidak. Apabila rencana pembangunan SAUM yang didukung dengan penerapan jalur kendaraan tidak bermotor merupakan salah satu misi Pemerintah Kota Surabaya untuk mewujudkan sarana prasarana berbasis ekologi, tentu saja kebijakan untuk mengatasi persoalan lingkungan tersebut harus memiliki pertimbangan-pertimbangan ekologi. Bertolak pada latar belakang masalah yang diajukan di atas, maka peneliti merumuskan sebanyak tiga pertanyaan penelitian, yaitu apa sajakah yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana pembangunan monorel-trem di Surabaya; siapa sajakah sasaran rencana pembangunan monorel-trem di Surabaya; dan jenis kebijakan rencana pembangunan monoreltrem di Surabaya. Mengacu pada rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan rencana apa saja yang diterapkan pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi publik di Kota Surabaya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peran dan pertimbangan Pemkot Surabaya dalam memperhatikan dampak lingkungan terkait rencana transportasi publik. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menggambarkan relasi-relasi serta interaksi proses politik terkait dengan penyelenggaraan transportasi publik, khususnya angkutan darat. Segi manfaat praktis penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau pertimbangan bagi institusi-institusi yang memiliki otoritas untuk menangani permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh transportasi publik khususnya angkutan darat di Kota Surabaya. Manfaat akademis yang didapat dari studi ini adalah terkait dengan perkembangan studi Ilmu Politik khususnya yang berkaitan erat dengan politik ekologi pada level kebijakan.
3
Green Politics M.L.J. Wissenburg Permasalahan lingkungan yang terjadi di suatu negara atau kota tentu membutuhkan kebijakan dari pemerintah untuk diatasi. Dalam taksonomi teori politik hijau yang ditulis oleh Marcell Wissenburg, pertanyaan pertama yang muncul adalah kemampuan pemerintah untuk mengatasi persoalan lingkungan dengan menggunakan kebijakan yang dibuatnya (Wissenburg, 2008). Kebijakan yang dihasilkan melalui tindakan politik dianggap mampu mengatasi persoalan lingkungan secara mendasar bergantung pada dimensi-dimensi, seperti materialisme/idealisme, penyebab, equilibrium/evolusi, serta pertimbangan-pertimbangan praktis seperti ketersediaan sumber daya, khususnya dukungan dan legitimasi politik. Motor penggerak dari kebijakan itu berupa dimensi materialisme atau idealisme. Dimensi materialisme dari kebijakan lingkungan adalah kebijakan itu muncul sebagai reaksi atau konsekuensi atas kejadian fisik. Dimensi idealisme dari kebijakan lingkungan adalah kebijakan itu mampu mengubah paradigma, atau manusia semata-mata sebagai instrumen proses ekonomi, ekologi, dan sosial. Pada akhirnya, kebijakan politik hijau didasarkan pada dua jenis, yaitu kebijakan yang tergolong radikal, atau yang tergolong reformis. Wissenburg memaknai kebijakan radikal dan reformis dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Karl Popper yaitu rekayasa utopian (utopian engineering) dan rekayasa sepotong-potong (piece meal engineering). Dua jenis kebijakan itu merupakan dua pendekatan yang berbeda, termasuk dengan cara pemecahan masalahnya. Istilah tersebut pada prinsipnya permasalahan harus diselesaikan secara terpisah, satu per satu, satu setelah yang lainnya selesai, atau dalam kemungkinan terkecil adalah persoalan tersebut diselesaikan dengan lambat. Di sisi lain, rekayasa utopia, mengandaikan adanya pemecahan masalah secara radikal, cepat, lengkap, dan fundamental dengan cermat (Wissenburg, 2008). Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan fakta secara sistematis, faktual, serta hubungan antar-peristiwa yang sedang diselidiki. Dalam penentuan informan digunakan teknik purposive. Selanjutnya berkembang teknik bola salju menggelinding (snowball random sampling), karena pemilihan informan lanjutan bergantung pada penggalian data sebelumnya. Teknik bola salju menggelinding ini digunakan untuk mendapatkan variasi dan kedalaman informasi yang diperoleh atas rekomendasi informan yang didapatkan melalui teknik purposive. Setelah mendapatkan data di lapangan, peneliti mengelompokkan data yang sesuai dengan konsepkonsep yang terdapat di dalam kerangka teoritik yang peneliti gunakan. Data yang telah dikelompokkan, dianalisis dengan menggunakan sudut pandang pertama, yaitu berbentuk naratif interview di mana koding dan analisis data dominan. Pertimbangan Pemerintah Kota Surabaya dalam memilih moda monorel-trem Pilihan angkutan umum merupakan pilihan tentang masa depan kota (Wright dan Fjellstrom, 2002). Dalam menentukan rencana pembangunan tulang punggung angkutan umum massal Pemerintah Kota Surabaya memiliki kriteria-kriteria untuk menentukan jenis transportasi massal yang akan dioperasikan di Surabaya. Transportasi massal yang akan
4
dioperasikan di Surabaya harus memiliki daya tarik bagi masyarakat luas agar beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan massal. Untuk mendukung daya tarik tersebut rencana angkutan massal yang akan diterapkan di Surabaya harus memiliki aksesibilitas wilayah yang luas, harus mempunyai kepastian waktu, memberikan kenyamanan bagi pengguna angkutan massal, dan menjamin rasa aman bagi pengguna angkutan massal. Moda angkutan umum massal harus memiliki aksesibilitas wilayah yang luas. Aksesibilitas wilayah yang luas dimaksudkan agar angkutan umum massal mampu menjangkau seluruh kawasan di Surabaya, mulai dari kawasan perkampungan hingga ke pusat perkotaan. Agar tujuan bisa tercapai, Pemerintah Kota Surabaya membagi tiga jenis angkutan umum massal sesuai wilayah yang akan diaksesnya. Tiga jenis angkutan umum massal tersebut adalah angkutan utama, angkutan cabang, dan angkutan ranting. Moda monorel-trem termasuk dalam angkutan utama, trunk (bus) termasuk dalam angkutan cabang, dan feeder (pengumpan/bus mini/sejenis bison) termasuk dalam angkutan ranting. Pemerintah Kota Surabaya memilih menggunakan moda monorel-trem di Surabaya, selain telah memenuhi seluruh kriteria di atas, juga karena alasan pilihan teknologi berbasis rel sehingga memiliki daya angkut yang lebih banyak, segi estetika, adanya cagar budaya, menghubungkan simpul-simpul perekonomian, dan kondisi koridor yang akan dilalui monorel-trem. Pemerintah Kota Surabaya sangat menginginkan Surabaya memiliki angkutan massal berbasis rel untuk beroperasi di Surabaya dalam rangka mengurangi beban jalan. Sejumlah kebijakan transportasi yang pernah bergaung di Surabaya adalah rencana pembangunan tol tengah kota dan pembangunan BRT (Bus Rapid Transit). Namun hingga saat ini kebijakan tersebut berhenti di tengah jalan. Pemerintah Kota Surabaya yang dipimpin oleh Walikota Tri Rismaharini, yang didukung oleh kalangan teknokrat asal ITS Surabaya berjuang sepenuhnya agar tol tengah tidak dibangun di Surabaya. Dalam penolakan itu, Walikota Surabaya tersebut menghadapi kalangan legislatif daerah hingga pemerintah tingkat nasional. Penolakan itu dilandasi dengan alasan pembangunan tol tengah kota dianggap menambah beban jalan, menambah jumlah kendaraan pribadi, dan mengurangi luas ruang terbuka hijau di Surabaya. Rencana kebijakan angkutan massal BRT juga pernah dikaji oleh pemangku kepentingan di Surabaya. Namun, kebijakan BRT juga berhenti di tengah jalan. Padahal, rencana BRT tersebut telah disetujui dan dianggarkan sebanyak Rp. 100 milyar oleh DPRD Surabaya, dan telah mendapatkan bantuan bus sebanyak 80 unit dari Pemerintah Pusat, namun kebijakan itu berhenti. Rencana pembangunan monorel-trem sebagai tulang punggung angkutan umum massal di Surabaya tidak lepas dari pelbagai pertimbangan. Peneliti mengelompokkan pertimbangan tersebut menjadi tiga jenis, yaitu pilihan teknologi yang berbasis rel dan kondisi jalan, cagar budaya, dan simpul perekonomian. Pemerintah Kota memilih trem untuk mengakomodasi pengguna transportasi di jalur linier utara-selatan dengan alasan daya angkut yang lebih banyak, adanya kawasan cagar budaya, dan simpul perekonomian di daerah Darmo hingga Tunjungan. Mengacu pada Perda RTRW No. 3 tahun 2007, pola pemanfaatan ruang wilayah berupa simpul perekonomian tersebar di kawasan Unit Pengembangan Kawasan VI dan VII, yaitu pusat pertumbuhan yang berada di Wonokromo dan Tunjungan, sehingga itu juga
5
merupakan alasan Pemerintah Kota Surabaya tidak menempatkan trem di jalanan sekitar Diponegoro. Padahal dua kawasan tersebut juga memiliki kepadatan angkutan yang luar biasa terutama di jam-jam sibuk. Area cagar budaya yang terdapat di kawasan Raya Darmo, termasuk pengalaman operasional trem pernah diterapkan pada jaman pemerintahan Hindia Belanda. Dua alasan tersebut menjadi landasan Pemerintah Kota Surabaya untuk mengoperasikan trem pada jalur ini. Pemerintah Kota Surabaya juga berencana untuk mengangkat kembali jalur trem yang ada di kawasan itu. Selain alasan cagar budaya dan historis, kondisi jalan di kawasan linier rute utara-selatan juga tidak memiliki banyak persimpangan seperti di jalur timur-barat atau sebaliknya. Namun alasan untuk tidak meneruskan kebijakan BRT juga tidak tepat. Angkutan massal cepat yang memiliki kriteria kepastian waktu, kenyamanan, dan keamanan sudah seharusnya diterapkan jauh hari sebelum sekarang, dengan alasan kondisi beban jalan yang terlampau berat, persaingan antara angkutan pribadi dan massal yang asimetris, pemenuhan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan fasilitas publik yang memadai, dan yang lebih utama adalah untuk meletakkan tonggak sebagai kota keberlanjutan. Sayangnya, Pemerintah Kota Surabaya lebih memilih menunda untuk mengimplementasikan kebijakan angkutan massal cepat dengan alasan yang tidak bisa disebutkan oleh Kepala Sub-bidang Perhubungan dan Pematusan Bappeko Surabaya, Ganjar Siswo Pramono. Pada akhirnya, muncullah rencana monorel-trem untuk dioperasikan di Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Walikota Tri Rismaharini memang terkesan menggebu-gebu untuk membangun angkutan massal berbasis rel ini di Surabaya, walaupun secara normatif, arah kebijakan RPJPD Surabaya tahun 2010-2014, Pemerintah Kota Surabaya seharusnya telah menyediakan sistem angkutan umum massal yang efektif dan efisien. Pembangunan monorel di jalur timur-barat dilandasi oleh alasan pilihan teknologi, simpul perekonomian, dan cagar budaya. Pemerintah Kota Surabaya menginginkan agar tulang punggung angkutan massal berbasis rel agar daya angkut moda monorel lebih banyak. Moda monorel direncanakan terdiri dari 4 gerbong per satu rangkaian. Simpul perekonomian yang dihubungkan adalah kawasan Surabaya Timur dan Surabaya Barat. Lahan di sisi koridor barattimur Surabaya dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai unit pengembangan pendidikan, permukiman, perbelanjaan, dan bisnis. Selain itu, koridor barat-timur memiliki lebih banyak persimpangan daripada rute linier utara-selatan Surabaya. Kebijakan Transportasi Publik: Rencana Pembangunan Monorel-Trem di Surabaya Kebijakan pembangunan transportasi umum massal di Surabaya yang dibuat oleh pemerintah telah mempertimbangkan dimensi idealisme sebagaimana dalam kerangka teoritik Green Politics level kebijakan oleh Wissenburg. Hal ini sesuai dengan misi Surabaya untuk mewujudkan penataan ruang yang berbasis ekologi serta berorientasi pada prinsip-prinsip berkeadilan dan berkelanjutan. Namun terjadi pergulatan antara dimensi materialisme dan idealisme dalam pembuatan kebijakan transportasi yang dibuat oleh pemerintah. Keadaan empiris tentang jumlah transportasi privat dan massal di Surabaya hingga tahun 2012 masih
6
terlihat adanya ketimpangan. Jumlah angkutan pribadi naik tajam dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan panjang jalan. Sementara itu angkutan umum tidak mengalami kenaikan yang cukup berarti. Pada tahun 2012, jumlah angkutan umum –yang terdiri dari mikrolet dan bus- berjumlah 5.129 unit, sedangkan pada tahun yang sama, jumlah angkutan pribadi –yang terdiri dari 7.128.704 unit sepeda motor, dan 1.259.050 unit mobil pribadi. Sedangkan jumlah panjang jalan dalam kondisi baik (yang jumlahnya sama dengan jumlah panjang jalan yang mampu dilewati roda empat) hingga tahun 2013 yaitu 1.677,05 kilometer. Melalui jawaban wawancara serta analisis data sekunder yang didapatkan peneliti sejauh ini, bahwa aspek materialisme juga dipertimbangkan dalam penyusunan RSAU. Dimensi materialisme kebijakan lingkungan seperti yang diutarakan oleh Marcell Wissenburg ini adalah kebijakan itu muncul sebagai reaksi atau konsekuensi atas kejadian fisik. Kejadian fisik yang dimaksudkan di sini adalah kemacetan yang berakibat pada menumpuknya emisi gas karbondioksida. Dimensi materialisme dalam kerangka teoritik Wissenburg belum dianggap mampu untuk mengatasi permasalahan lingkungan secara keseluruhan. Apabila pemerintah ingin menjadikan kota tersebut beradab, maka tujuan pembuatan kebijakan tersebut adalah mengubah perilaku masyarakat umum untuk beralih dari angkutan pribadi menuju angkutan umum, atau bahkan dari kendaraan bermotor ke kendaraan tidak bermotor. Strategi untuk mewujudkan Surabaya untuk memiliki sarana prasarana berbasis ekologitidak akan terwujud bila pemerintah tidak memberikan pilihan akses transportasi publik yang memadai. Apabila tersedia banyak pilihan akses transportasi publik yang memadai, maka masyarakat akan perlahan-lahan mengurangi perjalanan dengan menggunakan angkutan pribadi. Selain itu, sebagai perwujudan demokrasi yang berusaha untuk memberikan akses kepada semua orang untuk menikmati fasilitas publik, maka seluruh masyarakat berhak mengakses itu tanpa merasa keberatan, termasuk dalam aksesibilitas wilayah. Oleh karena itu, dalam rencana pembangunan monorel-trem yang didukung dengan feeder akan disebar ke titik-titik kawasan pinggiran. Upaya untuk menyebar titik aksesibiltas wilayah feeder ke pinggiran juga dilakukan untuk menghindari penumpukan emisi karbondioksida yang diakibatkan oleh sektor transportasi. Salah satu dimensi yang menentukan keberhasilan kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan lingkungan adalah sasaran atau target kebijakan. Sasaran kebijakan ini adalah masyarakat lokal, yang berarti adalah masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di Surabaya. Dengan adanya sasaran ini, dapat dipastikan bahwa tujuan negara untuk mengubah perilaku masyarakat beralih dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Semua pihak dijadikan sasaran pembangunan transportasi publik oleh Pemerintah Kota Surabaya. Semua pihak tersebut membayar sesuai dengan tarif yang akan ditetapkan berdasarkan survey dan perhitungan. Tarif yang dipatok berdasarkan kemampuan dan kerelaan untuk membayar. Masyarakat yang bermobilisasi melewati kawasan Surabaya barat menuju timur, atau sebaliknya, diakomodasi dengan menggunakan monorel. Dari segi investasi pembangunan dan perawatan infrastruktur, monorel menelan biaya yang jauh lebih banyak daripada trem. Segi
7
kapasitas yang akan diangkut oleh monorel juga tidak sebanyak trem. Padahal di kawasan tersebut, juga terdapat masyarakat yang bermobilisasi dari kawasan barat menuju timur, atau sebaliknya. Penentuan tarif memang masih menjadi pertimbangan, sehingga peneliti belum mendapat data resmi tarif yang akan berlaku bagi penumpang monorel dan trem. Namun, bila tarif yang ditentukan tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat untuk membayar, maka dipastikan moda monorel-trem hanya diperuntukkan untuk mengakomodasi masyarakat menengah ke atas. Berdasarkan survey tarif monorel-trem dengan prinsip WTP/ATP, rata-rata keinginan/kemampuan masyarakat membayar untuk menggunakan monorel-trem adalah Rp. 6.000,00 - Rp. 10.000,00. Pemerintah Kota Surabaya mengakui bahwa untuk memberikan subsidi kepada penumpang monorel-trem sebesar Rp. 20.000,-/penumpang akan memberatkan anggaran pemerintah, sehingga sektor-sektor lainnya akan terbengkalai karena 25% anggaran akan terbebani untuk mensubsidi penumpan monorel-trem. Namun, Pemerintah Kota Surabaya tidak kehilangan akal untuk mencari dukungan finansial untuk memberikan subsidi kepada penumpang monorel-trem. Pemerintah berencana untuk memberikan kompensasi kepada investor yang disebut dengan TOD (Transit Oriented Development). Pemerintah Kota Surabaya berencana mengajak investor untuk menutupi biaya operasional itu, misalnya dengan pemasangan iklan. Rencana operasional monorel-trem yang menghubungkan simpul-simpul perekonomian memang dibangun untuk memenuhi permintaan pasar. Hal ini berkaitan dengan visi Kota Surabaya sebagai kota jasa dan perdagangan. Untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya melancarkan arus mobilisasi mereka dengan membangun moda monorel-trem yang melewati simpul-simpul perekonomian. Simpul-simpul perekonomian yang dimaksud adalah kawasan unit pengembangan Wonokromo yang berpusat di Darmo, dan Tunjungan, dan arah sebaliknya. Untuk menutupi biaya investasi pembangunan monorel-trem yang mahal, maka monorel-trem itu dibangun untuk memenuhi permintaan pasar. Kebijakan politik hijau didasarkan pada dua jenis, yaitu kebijakan yang tergolong radikal, atau yang tergolong reformis. Wissenburg memaknai kebijakan radikal dan reformis dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Karl Popper yaitu rekayasa utopian (utopian engineering) dan rekayasa sepotong-potong (piece meal engineering). Dua jenis kebijakan itu merupakan dua pendekatan yang berbeda, termasuk dengan cara pemecahan masalahnya. Istilah tersebut pada prinsipnya permasalahan harus diselesaikan secara terpisah, satu per satu, satu setelah yang lainnya selesai, atau dalam kemungkinan terkecil adalah persoalan tersebut diselesaikan dengan lambat. Di sisi lain, rekayasa utopia, mengandaikan adanya pemecahan masalah secara radikal, cepat, lengkap, dan fundamental dengan cermat. Kebijakan tergolong radikal apabila dalam kebijakan itu mengandung aspek idealisme, penyelesaiannya tergolong evolusioner, dan mampu mengubah paradigma masyarakat. Kebijakan yang tergolong radikal itu mengandung solusi atau penyelesaian persoalan lingkungan, tidak hanya sepotong-potong saja. Kebijakan yang reformis apabila dalam kebijakan itu mengandung aspek materialisme, penyelesaiannya hanya sepotong-potong, dan
8
hanya sebagai reaksi atas kejadian fisik saja. Kebijakan environmental juga harus meraih dukungan politik agar kebijakan itu berjalan efektif. Pemerintah telah berusaha untuk meletakkan tonggak atas kota keberlanjutan melalui sistem transportasi yang berkelanjutan pula. Rencana pemerintah untuk mewujudkan sarana dan prasarana transportasi yang terpadu yang didasari penataan ruang yang berbasis ekologi memiliki dimensi ekologis di dalamnya. Sayangnya, dimensi ekologis tidak didukung sepenuhnya dengan kebijakan-kebijakan lainnya yang saling berkaitan. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pertambahan panjang jalan dan jumlah angkutan pribadi semakin lama semakin meningkat. Jumlah angkutan pribadi yang setiap harinya memenuhi ruas-ruas jalan di Surabaya menghasilkan polusi udara yang berarti turut serta menyumbang pemanasan global.Untuk mereduksi emisi gas karbondioksida, Pemerintah Kota Surabaya mengupayakan sejumlah kebijakan, yaitu dengan penerapan jalur kendaraan tidak bermotor dan pelaksanaan hari bebas kendaraan bermotor yang dilaksanakan setiap minggu di beberapa titik di Surabaya. Kebijakan untuk menerapkan jalur kendaraan tidak bermotor tidak terlaksana dengan efektif, karena banyak pengendara bermotor yang setiap hari melanggar peraturan lalu lintas dengan mengambil wilayah jalur khusus sepeda dan trotoar yang disediakan untuk para pejalan kaki. Kebijakan yang berjalan tidak sukses itu selalu terjadi setiap hari terutama pada jam-jam sibuk, di mana pengendara saling berebut ruang jalan untuk sampai ke tempat tujuan. Padahal, fenomena seperti itu sangat merugikan pengguna jalan lainnya dan bisa mengakibatkan resiko keamanan dan kenyamanan. Padahal tempat untuk pejalan kaki merupakan prasarana yang penting untuk menciptakan kehidupan kota yang bahagia. Dalam menekan emisi karbondioksida yang nantinya akan berdampak pada pemanasan global, pemerintah harus mengupayakan tiga strategi untuk menekan jumlah emisi itu. Strategi itu adalah hindari, alihkan, dan tingkatkan. Hindari berarti batasi perjalanan atau hindari perjalanan dengan moda kendaraan bermotor. Ganti berarti ganti moda kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Tingkatkan berarti tingkatkan efisiensi energi dari moda transportasi dan teknologi kendaraan bermotor. Kebijakan untuk membatasi perjalanan bukan merupakan hal yang mudah. Pemerintah menetapkan bahwa visi Surabaya sebagai kota jasa dan perdagangan. Sebagai kota jasa dan perdagangan tentu hal itu akan menjadi magnet yang lebih kuat dan mampu menarik warga dari luar Surabaya untuk bekerja maupun berinvestasi di sini. Bisa diprediksi bahwa, apabila Surabaya telah memutuskan sebagai kota jasa dan perdagangan, walaupun telah ditopang oleh angkutan umum massal, jumlah kendaraan pribadi tidak akan begitu banyak berkurang. Terkait dengan strategi untuk mengurangi polusi udara dengan pengurangan emisi karbondioksida, Pemerintah Kota Surabaya tidak melakukan upaya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Pemerintah Kota Surabaya hanya berusaha untuk mengelola penggunaan kendaraan pribadi dengan serangkaian kebijakan terkait, seperti traffic demand management, dan electronic road pricing. Salah satu kritik politik hijau terhadap negara adalah rasionalitas birokrasi. Bagi Scott, rasionalitas birokrasi merupakan rasionalisasi dan standarisasi kompleksitas dan keragaman dalam masyarakat terwujud dalam data-data administratif agar secara mudah digunakan dalam
9
pembuatan kebijakan (Colin Hay,dkk, ed., 2006). Sistem transportasi publik merupakan bentuk modernisasi ekologi dalam masyarakat yang sudah modern. Ulrich Beck menjelaskan bahwa masyarakat yang sudah modern tidak lepas dari resiko-resiko dari rasionalisasi teknologi dan perubahan struktur organisasi dan pekerjaan. Sistem transportasi yang tidak ditata dengan baik akan menimbulkan permasalahan lingkungan yang lebih buruk, seperti polusi udara dan pemanasan global. Permasalahan itu akan sangat berdampak pada kehidupan manusia. Pada konsep modernisasi ekologi, permasalahan lingkungan cenderung diselesaikan dengan pendekatan modernis dan teknokratis, sehingga kebijakan yang berdimensi ekologi hanya sebatas retorika. Namun, kebijakan untuk mengatasi permasalahan lingkungan itu bisa diatasi dengan proses pembuatan kebijakan, restrukturasi ekonomi dan perubahan sosial. Kesimpulan Pertimbangan-pertimbangan dalam rencana kebijakan angkutan umum massal, dalam teori Green Politics level kebijakan ini dikelompokkan dalam dua dimensi, yaitu dimensi materialisme dan dimensi idealisme. Dimensi idealisme tersebut berupa rencana untuk mewujudkan penataan ruang yang berbasis ekologi dan berorientasi pada prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan; rencana untuk menyediakan Sistem Angkutan Umum Massal yang efektif dan efisien dengan didukung penerapan jalur kendaraan tidak bermotor; memilih moda yang berbasis rel dianggap mampu oleh Pemerintah Kota Surabaya untuk menampung pengguna jalan dengan jumlah yang banyak. Dimensi materialisme tersebut berupa data statistik menunjukkan jumlah kendaraan pribadi dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan penambahan panjang jalan itu; Adanya simpul-simpul perekonomian yang menghubungkan pusat-pusat unit pengembangan, seperti pemukiman, pendidikan, perbelanjaan, dan bisnis; adanya cagar budaya dan sisi estetika dari moda transportasi yang mendasari Pemerintah Kota Surabaya untuk memilih monorel-trem di koridor timur-barat (monorel), dan utara-selatan (untuk moda trem). Sasaran rencana kebijakan angkutan umum massal monorel-trem ini adalah kelompok captive dan choice. Kelompok choice yang dimaksud di sini adalah kalangan menengah ke atas yang memiliki kendaraan pribadi untuk bermobilisasi. Pemerintah Kota Surabaya berencana untuk mengurangi pemakaian transportasi pribadi dengan berencana membangun monorel-trem di Surabaya. Simpul-simpul perekonomian yang dihubungkan oleh moda monorel-trem adalah berusaha untuk mewadahi investor, dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya memang sama sekali tidak berwenang untuk membatasi atau melarang penggunaan kendaraan pribadi oleh masyarakat, namun Pemerintah Kota Surabaya memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan untuk mendukung adanya pembangunan monorel-trem ini. Contoh kebijakan yang mendukung adalah traffic demand management dan electronic road pricing yang akan diterapkan pada rute-rute yang dilalui moda monorel-trem dan feeder-trunk. Kebijakan lainnya, yang secara normatif, dianggap mendukung rencana kebijakan monorel-trem ini adalah efektivitas jalur kendaraan tidak bermotor. Namun, kondisi eksisting yang ada bahwa jalur kendaraan tidak bermotor tidak sama sekali efektif karena masih terjadi perebutan ruang, misalnya di jalur sepeda, dan jalur pejalan kaki.
10
Untuk mengubah paradigma masyarakat agar tidak lagi bersikap congkak pada lingkungan, negara harus benar-benar membuat kebijakan yang didasari oleh dimensi idealisme. Bila pemerintah memutuskan untuk mengajak masyarakat bermobilisasi dengan angkutan umum, maka pemerintah harus mengupayakan efektivitas kebijakan terkait lainnya, seperti pemberian ruang yang nyaman bagi jalur kendaraan tidak bermotor, termasuk trotoar untuk pejalan kaki. Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga harus tegas dalam pengendalian jumlah kendaraan bermotor di Surabaya. Pemerintah harus menggunakan alat lain, seperti media massa untuk mempengaruhi perilaku kolektif masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Bagi masyarakat, kesadaran untuk bermobilisasi dengan angkutan umum juga perlu ditingkatkan. Bagaimanapun, adalah hak bagi masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses fasilitas umum dengan adil yang telah disediakan oleh pemerintah dan swasta. Masyarakat pun berhak menuntut agar pelayanan transportasi publik diperbaiki atau bahkan direvitalisasi sepenuhnya. Daftar Pustaka Aminah, Siti, dan Kinasih, Sri Endah. (2006) Hubungan Negara Masyarakat dan Kapitalisme dalam Transportasi Publik. Dalkmann, Holger, dan Charlotte Brannigan. (2005) Transportasi dan Perubahan Iklim. Transportasi Berkelanjutan: Panduan bagi Pembuat Kebijakan di Kota-kota Berkembang. Jerman: GTZ Dobson, Andrew, dan Lucardie, Paul, ed. (2006) The Politics of Nature Explorations in Green Political Theory. Kanada: Routledge. Dryzek, John, dkk. (2003) Green States and Social Movements Environmentalism in the United States, United Kingsom, Germany, and Norway. London: Oxford University Press. Hay, Colin, Lister, Michael, dan Marsh, David, ed. (2006) The State Theories and Issues. New York: Palgrave Macmillan. Kenworthy, Jeffrey R. (2006) The eco-city: ten key transport and planning dimensions for sustainable city development. Perth: Murdoch University. Penalosa, Enrique. (2002) Peran Transportasi dalam Kebijakan Perkembangan Perkotaan. Transportasi Berkelanjutan: Panduan bagi Pembuat Kebijakan di Kota-kota Berkembang. Jerman: GTZ. Wright, Llyod, dan Karl Fjellstrom. (2002) Opsi Angkutan Massal. Transportasi Berkelanjutan: Panduan bagi Pembuat Kebijakan di Kota-kota Berkembang. Jerman: GTZ.
11