Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING MELALUI PENGEMBANGAN WANATERNAK BERKELANJUTAN Meat Self-Sufficiency Policy through Sustainable Silvopasture Development Subarudi Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Silvopasture program, a combination between forestry and livestock bussineses, should be supported by all stakeholders in relation to nation self-sufficient of meat. Ministry of Forestry has allocated a forest area of 435.680 ha for silvopasture development. Due to a limited data and information related to silvopature, a policy review on sustainable silvopasture developement at national level is required. This policy review was to analyse the policy on silvopasture development. Result of the review shown that term of wanaternak is suitable for Indonesian term of silvopasture for its easy understanding. Condition and performance of national livestock is significantly decreasing and causes a extended self sufficient meat period from 2010 into 2014 so that it requires technical improvement with a political economy approach. Sustainable silvopasture development should be continously realized for poverty reduction of community living at surrounding forest area and for supporting self suffcient meat through a bussiness license on forest area utilization (IUPKH). Strategi to achieve the self sufficient meat 2014 are: (i) silvopasture developent at HKm, HD and HTR area of 5 million ha, (ii) incentive implementation, (iii) easy process of license and facilitation, (iv) moratorium on abroad livestock investment, (v) lesson learned from foreign cooperation project on livestock management, and (vi) sustainable silvopasture development. Keywords:
policy, silvopasture, community forest, village forest, and community plantation forest ABSTRAK
Program wanaternak, kombinasi usaha kehutanan dan peternakan, perlu mendapat dukungan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perwujudan program swasembada daging nasional. Kementerian Kehutanan sudah menyetujui pengalokasian kawasan hutannya seluas 435.680 ha untuk pengembangan usaha wanaternak. Mengingat keterbatasan data dan informasi dalam pelaksanaan program wanaternak tersebut, maka kajian kebijakan pengembangan wanaternak nasional ini dibutuhkan terkait dengan upaya sosialisasi pengelolaan wanaternak yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kebijakan pengembangan wanaternak nasional. Hasil penelitian menujukkan bahwa istilah wanaternak adalah padanan yang tepat untuk silvopasture untuk memudahkan pemahaman arti dan maknanya kepada para pemangku kepentingannya. Kondisi dan kinerja peternakan nasional sedang terpuruk yang menyebabkan penundaan program swasembada daging yang awalnya ditargetkan tahun 2010 diundur menjadi tahun 2014 sehingga diperlukan pembenahan secara teknis dengan pendekatan ekonomi politik. Pengembangan wanaternak berkelanjutan perlu terus direalisasikan dalam rangka
549
Subarudi
pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan mendukung swasembada daging melalui ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH). Strategi mewujudkan swasembada daging 2014 dapat dilakukan melalui: (i) pengembangan wanaternak di HKm, HD dan HTR seluas 5 juta ha, (ii) pemberian insentif, (iii) pemberian kemudahan perijinan dan fasilitas, (iv) penghentian sementara investasi peternakan di luar negeri, (v) prioritas untuk koperasi desa, (vi) pembelajaran dari proyek kerjasama luar negeri di bidang peternakan, dan (vii) pengembangan wanaternak berkelanjutan. Kata kunci: kebijakan, wanaternak, hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat
PENDAHULUAN
Berita terkait dengan rencana pembelian lahan peternakan 1,5 juta hektar di wilayah Northern Australia menimbulkan pro dan kontra atas kebijakan yang diambil oleh Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, dalam upaya mencari solusi atas karut marut sektor peternakan nasional. Pro dan kontra atas kebijakan tersebut tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Australia sendiri (Alford, 2013). Argumentasi yang pro terhadap pembelian lahan peternakan tersebut adalah sebagai upaya mengekspansi bisnis biasa BUMN di bidang peternakan di luar negeri mengingat tingkat keuntungan yang menjanjikan di masa depan seiring dengan peningkatan kebutuhan daging dan kelas menengah di Indonesia. Sedangkan argumentasi yang kontra terhadap pembelian lahan tersebut adalah lahan di Indonesia masih luas dan banyak yang sesuai dengan sistem peternakan skala besar sehingga rencana pembelian tersebut dianggap mencederai konsep ketahanan pangan nasional dan hanya menguntungkan negara Australia yang memang sudah maju dengan teknologi peternakannya. Saat ini argumentasi yang kontra terhadap pembelian lahan peternakan mendapat dukungan dari pernyataan Menteri Azas Tani dan Agroindustri, Malaysia bahwa Malaysia sangat berminat untuk investasi di bidang pertanian dan peternakan di Indonesia terutama untuk produksi padi, jangung dan ternak sapi. Hal ini didasari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara yang potensial untuk berinvestasi di bidang pertanian dan peternakan karena tanahnya subur dan wilayahnya juga sangat luas. Pernyataan tersebut dibicarakan saat Menteri Malaysia tersebut bertemu dengan Menteri Pertanian RI di Kuala Lumpur, Kamis, 26 September 2013 dalam acara ASEAN Ministers Agriculture and Forestry Meeting (Kelana, 2013). Sebenarnya persoalan kecukupan dan ketahanan pangan, kecukupan sandang dan papan, peningkatan penghasilan, penciptaan lapangan kerja, dan menjaga lingkungan merupakan Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat kampanye pilpres di bidang kesejahteraan masyarakat dan perlu ditindak lanjuti oleh para Menteri Kabinet Bersatu II secara konsisten dan konsekuen (AgroIndonesia, 2009). Namun realisasi janji tersebut jauh panggang dari api dan
550
Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
hanya dijadikan komoditas politik sebagai penarik suara rakyat pada saat kampanye. Kondisi yang hampir sama terjadi pada program hutan untuk pengentasan kemiskinan (forest for poor) yang masih berjalan tanpa makna karena kenyataan yang ada menunjukkan bahwa hampir sebagian besar masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan masih tetap miskin. Data Direktorat Bina Sosial menunjukkan bahwa jumlah desa yang ada di sekitar hutan sebanyak 19.410 desa dengan jumlah sebanyak 48,8 juta jiwa. dan sekitar 10,2 juta jiwa dikatagorikan sebagai masyarakat miskin (Badan Planologi Kehutanan, 2009). Namun ketika Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sudah berupaya meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dengan menerapkan kebijakan silvopasture (wanaternak) dengan pemberian bantuan sapi yang didasari hasil penelitian ACIAR bahwa pendapatan masyarakat petani dengan ternak di Sumbawa meningkat sekitar (50200%) dibandingkan dengan pendapatan petani tanpa ternak (Partners, 2009). Akhirnya pemberian sapi tersebut menjadi temuan dalam audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena tugas pengadaan dan pembelian sapi bukan menjadi tugas pokok dan fungsi Kemenhut. Oleh karena itu, kajian tentang kebijakan pengembangan wanaternak yang berkelanjutan sangat dibutuhkan dalam upaya mewujudkan program swasembada daging nasional. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dan arah kebijakan tidak saja bagi Kemenhut, tetapi juga bagi Kementerian Pertanian (Kementan) dalam pengembangan wanaternak yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (i) memberikan pengertian yang tepat untuk silvopature; (ii) memberikan gambaran kinerja sektor peternakan nasional; (iii) memberikan informasi terkait penerapan kebijakan wanaternak oleh Kemenhut; dan (iv) menyusun strategi mewujudkan swasembada daging tahun 2014.
METODOLOGI PENELITIAN
Fokus dan Waktu Penelitian Penelitian tentang kebijakan pengembangan wanaternak nasional difokuskan di wilayah kawasan hutan untuk program pemberdayaan masyarakat seperti hutan kemasyarakatan (Hkm), hutan desa (HD), dan hutan tanaman rakyat (HTR) selama 3 bulan (5 Juni - 5 Agustus 2013) dengan penekanan kepada konsep pengembangan wanaternak yang berkelanjutan dan kriteria dan indikator kawasan hutan yang cocok untuk kegiatan pengembangan wanaternak di seluruh nusantara. Informasi diatas dilengkapi dengan data dan informasi terbaru terkait dengan perkembangan sektor peternakan nasional.
Metode Penelitian Penelitian kebijakan ini menggunakan metode sintesis terfokus (a focused synthesis method). Burton (1979) dalam Danim (2000) menyatakan bahwa metode 551
Subarudi
sintesa terfokus dapat dilakukan sebagai berikut: (i) membahas literatur terbaru yang tersedia dan dikaitkan dengan masalah-masalah utama atau fokus penelitian; (ii) tukar menukar pengalaman penelitian di lapangan; dan (iii) mendiskusikan dengan orang-orang yang berkompeten di bidangnya sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Literatur/ Publikasi Diskusi dengan experts terkait isu wanaternak
Pengalaman peneliti
Rekomendasi untuk memecahkan masalah wanaternak
Peneliti
Gambar 1. Mekanisme Kerja dalam Metoda Sintesis Terfokus (Modifikasi dari Burton (1979))
Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan sebagian besar adalah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi lingkup Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian (Dirjen Peternakan) serta literatur dan publikasi serta surat kabar yang relevan terhadap topik penelitian yang dilakukan. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara dengan para ahli di bidang wanaternak. Data yang telah terkumpul ditabulasikan dan dianalisis sesuai dengan keperluannya. Kemudian dilakukan analisis deskriptif terhadap data dan informasi yang sudah diolah tersebut untuk menjawab tujuan penelitian ini.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengertian Silvopasture Secara umum silvopasture diartikan sebagai kegiatan kombinasi antara kegiatan kehutanan dan peternakan dalam suatu kawasan hutan atau luasan lahan (Sugiharto, 2009). Subarudi (2010) menyarankan istilah yang tepat untuk silvopasture adalah wanaternak selain untuk memudahkan masyarakat awam dalam memahami arti dan makna silvopasture, istilah ini sejalan dengan penggunaan istilah lainnya yang sudah lebih dulu dikenal, di antaranya wanatani (istilah untuk agroforestry).
552
Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
Istilah wanaternak belum masuk dalam Kamus Rimbawan yang disusun oleh Winarto (2006) yang ada di kamus tersebut istilah wanatani. Subarudi (2010) memberikan definisi wanaternak sebagai hasil modifikasi dari pengertian wanatani, yaitu: sistem penanaman hutan dengan jenis tanaman pakan ternak yang ditanam sebagai tanaman pencampur dengan memanfaatkan ruang tumbuh yang belum terkena naungan dan hasil akhirnya tetap berupa tanaman kayu-kayuan. Penggunaan istilah wanaternak dirasakan sangat tepat untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terkait dengan istilah silvopasture karena istilah di bidang lainnya yang menggunakan padanan kata wana sudah lazim digunakan seperti wanafarma (istilah untuk forest medicine), wanariset (istilah untuk research forest), dan wanawisata (istilah untuk recreation forest).
Gambaran Sektor Peternakan Nasional Hadi dan Ilham (2002) menyatakan bahwa konsumsi daging sapi perkapita rata-rata meningkat dari 0,31 kg pada tahun 1990 menjadi 0,62 kg pada tahun 1996. Proyeksi impor ternak bakalan dan daging sapi masing-masing akan mencapai 446.225 ekor dan 23.520 ton. Data Ditjen Peternakan tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah ternak sapi di Indonesia mencapai 11,3 juta ekor atau meningkat 4,5 persen dibandingkan populasi tahun 2006 yang hanya sekitar 10,8 juta ekor. Tahun 2008 peningkatan populasi sama dengan tahun 2007, sehingga populasi ternak mencapai 12,3 juta ekor (Jamalzen, 2009). Sektor peternakan tidak dapat dipisahkan dari sektor induknya yaitu sektor pertanian. Hasil evaluasi kinerja sektor pertanian menunjukkan bahwa sektor peternakan hingga tahun 2008 masih memberikan nilai selisih ekspor dan impor yang cukup tinggi, yaitu sekitar (-) 1,204 miliar USD sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Kinerja Ekspor dan Impor Sektor Pertanian Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4.
SubSektor Tanaman Pangan Hortikultura Peternakan Perkebunan Jumlah
Ekspor (US$ Miliar) 0,349 0,434 1,148 27,370 29,301
Impor (US$ Miliar) 3,527 0,926 2,352 4,536 11,361
Selisih (US$ Miliar) -3,178 -0,492 -1,204 22,834 19,940
Sumber: Hafsah (2009); diolah.
Tabel 1 menunjukkan bahwa kinerja sektor peternakan masih rendah yang ditandai dengan defisit (negatif) antara total nilai ekspor dan impornya sehingga menempatkan subsektor peternakan berada diurutan ketiga (setelah perkebunan dan hortikultura) dalam kontribusinya terhadap keseluruhan kinerja sektor pertanian.
553
Subarudi
Defisit nilai ekspor dan impor di subsektor peternakan masih terus berlangsung hingga tahun 2013 karena dipicu oleh kenaikan harga daging sapi yang di luar batas kewajaran. Menurut Permana (2013) harga daging sapi yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh: (i) kebijakan Kementan yang mengurangi kuota impor untuk mendukung swasembada daging tahun 2014. Kuota impor tahun 2010 dipangkas dari 120.000 ton menjadi 50.000 ton. Tahun 2011 kuota impor dipangkas lagi menjadi 25.000 ton. Sementara pasokan daging dari dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan nasional. Sejak itu harga daging sapi melambung menjadi Rp 80.000-90.000 per kg dari harga normal sebesar Rp 65.000 per kg; (ii) kekurangan sarana dan prasarana transportasi khusus untuk distribusi hewan dan daging. Daerah surplus hewan tetapi minim fasilitas transportasi akan meningkatkan biaya distribusi mahal dan berdampak kepada harga daging; (iii) para oknum pengusaha besar yang menahan pasokan daging sapi juga turut berkontribusi terhadap kenaikan harga daging; dan (iv) ketidak sinkronan antara data Kementerian Perdagangan (sisi demand) dan Kementan (sisi supply) terkait kebutuhan daging sapi nasional. Data sementara BPS hasil rekapitulasi jumlah ternak pemutakhiran (Blok Sensus) untuk Sensus Pertanian (SP) 2013 sampai awal Juni 2013 menyebutkan populasi sapi potong hanya 13,3 juta ekor. Dibandingkan dengan sensus sapi 2011, jumlah ini berkurang 19,52 persen yang ditengarai sebagai akibat dari pemotongan sapi secara besar-besaran karena harga daging sapi yang bertahan relatif tinggi. Harga daging sapi yang tinggi tersebut juga memacu PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) untuk memiliki peternakan sapi di Australia pada akhir Januari 2014 melalui akuisisi peternakan sapi yang merupakan anggota asosiasi peternakan sapi Australia sehingga akuisisi ini secara otomatis PT RNI masuk dalam asosiasi peternakan tersebut. Akuisisi yang menelan biaya sekitar Rp 350 milyar ini bertujuan untuk mengamankan kebutuhan daging di dalam negeri dan mempermudah PT RNI memperoleh sapi yang diinginkan. Jika akuisisi ini terealisasi, maka RNI akan rutin mengimpor sebanyak 10.000 ekor sapi per bulan (Tribun Kaltim, 01/10/2013). Informasi terbaru menyatakan bahwa sebelum PT RNI mengakuisisi peternakan di Australia ternyata ada perusahaan Indonesia, Japfa Santori Australia Pty Ltd yang telah membuka peternakan seluas 150.000 ha di Australia (Kompas, 5/10/2013). Akuisisi perusahaan peternakan di Australia oleh PT RNI kemungkinan besar dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk membuka kran impor sapi indukan untuk meningkatkan peternakan dalam negeri dan mendukung program peningkatan daging nasional dalam jangka menengah karena Indonesia masih kekurangan sekitar 1 juta ekor sapi indukan. Sejumlah perusahaan swasta dan BUMN menyatakan sudah berminat untuk usaha di bidang peternakan sapi, walaupun syaratnya harus memiliki jumlah kandang dan pakan yang cukup (Kompas, 30/09/2013). Jika dicermati secara kritis, memang ada untung ruginya dengan akuisisi peternakan di Australia. Keuntungannya adalah profit marjin yang besar dari impor daging sapi (harga Rp 28.000/kg di Australia, dijual di Indonesia Rp 90.000/kg) 554
Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
akan masuk ke BUMN, tidak seperti selama ini diambil oleh swasta. Harga daging memang dapat dikendalikan jika BUMN yang menjadi importir. Melihat keuntungan yang besar, pihak swasta lain juga akan melakukan hal yang sama sehingga harga daging cukup kompetitif. Kerugiannya adalah PT RNI tidak hanya mengelola peternakan sapi saja, tetapi juga bertindak sebagai brooker impor sapi sehingga progam pengembangan sapi dalam negeri pasti mati suri karena tidak mampu berkompetisi dengan sapi impor. Persoalan impor sapi dan dagingnya adalah terkait dengan persoalan politik ekonomi yang menjadi pendorong utama terjadi kekisruhan dalam impor daging sapi yang akhirnya membawa konsekuensi hukum. Pengungkapan adanya praktek KKN atau simbio-mutualisme antara partai politik dengan pengusaha impor oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) patut disyukuri karena menjadi bahan pembelajaran berharga terkait dengan manipulasi data kebutuhan daging, tingkat keuntungan dari importir sekitar 300 persen, izin impor jadi bancakan bagi partai politik sebagai sumber dana murah dan mudah bagi kiprah politiknya. Mantan Presiden, Megawati, mengkritik kebijakan impor dalam mengupayakan ketahanan pangan. Indonesia harus mengupayakan kedaulatan pangan seperti yang dicita-citakan Presiden pertama RI, Soekarno. Kedaulatan pangan dimaknai sebagai kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri yang diyakini akan membawa implikasi pada kedaulatan sebuah bangsa. Pemerintah harus mampu memotivasi dan membantu petani untuk mencapai kedaulatan pangan dan kesejahteraan (Kompas, 30/10/2013). Menurut Welirang (2013) semua kebijakan pangan masih berkutat pada urusan “politisasi pangan” dan belum bergerak menuju ketahanan pangan, apalagi kemerdekaan pangan. Informasi terkini yang diperoleh dari pasar hewan Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah tanggl 29 September 2013 menyebutkan bahwa terbatasnya persediaan di tingkat peternak dan tingginya harga daging menyebabkan harga sapi mengalami peningkatan antara Rp 1 juta – Rp 3 juta per ekor dibandingkan tahun lalu (Bisnis Indonesia, 30/09/2013). Kenaikan harga sapi di tingkat petani menjadi berita yang menggembirakan bagi para pengusaha importir sapi di Negeri Kesatuan Republik Impor (NKRI) ini, tanpa peduli masyarakat kecil yang jadi korbannya.
Kebijakan Wanaternak di Kementerian Kehutanan Program hutan untuk pengentasan kemiskinan sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1970-an sejak diadakan seminar nasional tentang hutan untuk kesejahteraan masyarakat dan hingga kini masih terus bergulir dengan berbagai program lainnya. Namun program tersebut dilaksanakan tanpa keberadaan suatu konsep yang utuh dan seringkali prinsip kesinambungannya cenderung diabaikan sehingga program pengentasan kemiskinan dipandang hanya sebatas proyek “charity” belaka (Subarudi, 2000). Terakhir program hutan untuk pengentasan kemiskinan diangkat kepermukaan kembali oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui program 555
Subarudi
wanaternak (silvopasture) dengan mengalokasikan kawasan hutan produksi seluas 240.000 hektar untuk dijadikan kawasan peternakan dengan target populasi ternak sekitar 600.000 ekor sapi. Kawasan hutan tersebut rencananya akan diberikan kepada pengusaha peternakan baik skala kecil maupun besar di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk memanfaatkan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan (IUPKH) tersebut. Khusus kelompok tani akan diberikan sekitar 50 hektar untuk setiap unit usaha wanaternak (Kompas, 01/09/2009). Pelaksanaan program wanaternak yang diluncurkan Kemenhut melalui HPH sapi dengan mengalokasikan lahan seluas 435.680 ha dengan perincian Lampung (51.680 ha), NTB (60.000 ha), NTT (68.000 ha) dan Kalimantan Selatan (256.000 ha). Target yang telah ditetapkan alokasi lahan untuk wanaternak hingga tahun 2014 (Tabel 2) seluas 240.000 ha (Sugiharto, 2009). Tabel 2. Proyeksi Kebutuhan Lahan Wanaternak Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Luas areal efektif wanaternak (ha) 10.000 15.000 20.000 30.000 45.000 120.000
Luas areal IUPKH (ha) 20.000 30.000 40.000 60.000 90.000 240.000
Jumlah Sapi (ekor) 50.000 75.000 100.000 150.000 225.000 600.000
Sumber: Sugiharto (2009)
Tabel 2 menunjukkan bahwa Kemenhut serius untuk mengembangkan wanaternak sebagai langkah yang tepat dan strategis karena wanaternak ini sejalan dengan skema pemanfaatan lahan hutan secara sinergis dengan kepentingan peternakan sehingga tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap impor daging dapat dikurangi. Program wanaternak ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi Kemenhut, tetapi program yang sudah lama ditinggalkan, sekarang dihidupkan kembali dalam rangka mencapai swasembada daging tahun 2014 dan pengelolaan hutan lestari melalui IUPKH dan pemanfaatan hasil hutan non kayu (daun sebagai pakan ternak) (AgroIndonesia, 2009). Program ini diharapkan mampu: (i) berkontribusi tehadap subsektor peternakan dalam mengurangi nilai impor produknya; (ii) mendukung 2 bidang (pembangunan peternakan dan pengolahan hasil perternakan) dari 10 kluster industri ungguluan seperti tercantum dalam Visi 2030 dan Road Map Kadin; dan (iii) meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Program wanaternak ini sebenarnya sudah sejalan dengan kebijakan Departemen Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/PD.400/9/2009 yang sudah mengucurkan skema kredit usaha perternakan melalui pemberian bibit sapi unggul dan kemudian bibit sapi yang sudah dilahirkan akan digulirkan kembali untuk kelompok-kelompok tani lainnya. 556
Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
Namun hingga saat ini, Kemenhut belum memiliki acuan yang tepat dan lengkap terkait dengan pengembangan wanaternak, penentuan kriteria dan indikator hutan yang sesuai untuk program wanaternak tersebut dan rumusan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan program wanaternak tersebut. Upaya mewujudkan program swasembada daging tahun 2014 dapat dipercepat melalui kerjasama antara Kementan dan Kemenhut dalam pengembangan wanaternak, dimana Kemenhut menyediakan lahan hutan yang sudah dikelola masyarakat misalnya hutan kemasyarakatan target seluas 2 juta ha dan realisasinya baru 183.013 ha (9%), hutan desa target seluas 0,5 juta ha dan realisasinya baru 82.610 ha (17%), dan hutan tanaman rakyat target seluas 2,5 juta ha dan realisasinya baru 166.594 ha (7%) untuk dijadikan usaha pengembangan sapi dengan cara kandang dan Kementan menyediakan ternak sapinya. Upaya lain dalam mewujudkan swasembada daging adalah pengusaha peternakan besar dapat mengajukan IUPKH kepada Kementerian Kehutanan untuk usaha peternakan “ranch” sebagaimana Kemenhut telah mengalokasikan kawasan hutan seluas 435.680 ha untuk pengembangan wanaternak. Subarudi (2010) telah menyusun kriteria dan indikator kawasan hutan yang tepat untuk wanaternak seperti: (i) kawasan hutan yang tidak dibebani hak, (ii) merupakan 3 hutan eks HPH dengan potensi dibawah 20 m /ha, (iii) dekat dengan lokasi desa dan sumber konflik, dan (iv) perlu disinergikan dengan prioritas pembangunan sektor peternakan di daerah tujuan alokasi. Jika kebijakan wanaternak diterapkan dengan serius di kawasan HKm, HD, dan HTR dan di kawasan hutan dengan IUPKH maka dapat dipastikan Indonesia akan mencapai swasembada daging dan kemungkinan menjadi eksportir sapi potensial. Hal ini sejalan dengan pendapat Pramonosidi (2009) yang menyatakan bahwa model peternakan sapi dan pertanian terpadu akan dapat mencukupi kebutuhan daging sapi di dalam negeri dan bahkan bisa mengeskpor sapi ke luar negeri.
Strategi Mewujudkan Swasembada Daging Tahun 2014 Strategi jitu untuk mewujudkan swasembada daging nasional dapat dilakukan melalui: (i) pengembangan wanaternak di HKm, HD dan HTR, (ii) pemberian insentif bagi pemda yang serius mewujudkan program swasembada daging di wilayahnya, (iii) pemberian kemudahan perijinan dan fasilitas bagi perusahaan besar untuk pengembangan usaha peternakan di dalam negeri, (iv) penghentian sementara BUMN lain yang berinvestasi peternakan di luar negeri, (v) pengembangan wanaternak oleh koperasi desa, (vi) pembelajaran dari proyekproyek kerjasama luar negeri di bidang peternakan, dan (vii) pengembangan wanaternak yang berkelanjutan. Pengembangan wanaternak di HKm, HD dan HTR sangat potensial dan prospektif mengingat luasan areal untuk ketiga program tersebut mencapai 5 juta ha dan punya banyak alternatif untuk ditanami tanaman pakan ternak terbaik sehingga hasil usaha peternakannya dijamin berhasil guna dan berdaya guna. Hal 557
Subarudi
terpenting yang harus dilakukan adalah pendampingan yang intensif di lokasi HKm, HD, dan HTR tersebut. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan hutan untuk pengentasan kemiskinan (forest for poverty reduction) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (forest for prosperity) petani yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, dan sekaligus mengurangi proporsi impor sapi dan daging nasional yang cukup tinggi. Pemberian insentif bagi pemda yang serius mewujudkan program swasembada daging di wilayahnya harus segera diwujudkan dalam upaya mempercepat program swasembada daging nasional. Sebagai contoh, Gubernur NTT akan membangun koordinasi khusus dengan semua Bupati dan Walikota di wilayahnya terkait dengan tekat mengembalikan kejayaan ternaknya. Upaya pengembalian kejayaan ternak NTT ini perlu dilakukan secara simultan dan jangka panjang (misalnya hingga tahun 2025) serta diformulasikan dalam tahapan yang jelas dan terukur terkait dengan persoalan pembibitan sapi, pakan ternak dan ketersediaan air (Kompas, 17/10/2009). Hal ini diwujudkan dengan menaikkan anggaran sektor peternakan tiga kali lipat dari alokasi Rp 3 miliar tahun 2008 menjadi Rp 9 miliar pada tahun 2009 dan 2010 sebagai komitmen pemerintah NTT untuk mengembalikan NTT sebagai sentra produksi ternak sapi nasional (Kompas, 26 September 2009). Pemberian kemudahan perijinan dan fasilitas bagi perusahaan besar untuk mengembangkan usaha peternakan di dalam negeri dapat dilakukan oleh Kementan untuk izin usaha peternakannya dan Kemenhut untuk IPPKHnya. Jika memang diperlukan dapat diberikan sentuhan kebijakan bahwa perusahaan besar peternakan yang bermitra dengan masyarakat akan diprioritaskan untuk diberi izin impor sapi. Tentunya kebijakan ini harus transparan dan akutabel serta perlu diawasi secara ketat oleh para pemangku kepentingannya. Penghentian sementara bagi BUMN lain yang akan berinvestasi usaha peternakan di luar negeri. Kasus PT RNI cukup dijadikan pilot project dan BUMN lainnya harus didorong untuk berusaha peternakan di ranah domestik. Biaya akuisisi yang dikeluarkan PT RNI sebesar Rp 350 milyar (30% dananya dari Kas Perusahaan dan 70% dari perbankan lokal). Sebenarnya uang sebanyak itu dapat dialokasikan untuk kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam kegiatan HKm, HD, dan HTR. Hal ini didukung oleh pernyataan Wakil Mentan, Rusman Heriawan, bahwa sesungguhnya Indonesia sudah memiliki kemampuan pengembangan pembiakan dan peternakan sapi. Pemerintah sudah menghentikan impor sapi penjantan unggul tahun 2012 karena Indonesia sudah mampu membiakkan pejantan unggul melalui Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) yang berada di 8 daerah dengan trah yang berbeda-beda (Kompas, 30/09/2013). Pengembangan wanaternak oleh koperasi desa perlu mendapat dukungan kebijakan, administrasi dan teknisnya dengan mengevaluasi kemampuan usaha dari koperasi desa masing-masing. Hal ini dilakukan dengan mengacu kepada kesuksesan Fonterra, perusahaan eksportir susu terbesar di dunia yang menguasai sepertiga perdagangan susu dunia, merupakan sebuah koperasi yang sahamnya milik sekitar 11.000 peternak di seluruh Selandia Baru. Industri susu ini 558
Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
menghasilkan 25 persen produk ekspor ke 140 negara di dunia dan menyumbang 7,5 persen GDP Selandia Baru (Setyorini, 2009). Pembelajaran dari proyek-proyek kerjasama luar negeri dibidang peternakan dan teknis pengelolaan ternak dapat dilakukan melalui beberapa proyek antara ACIAR (Australian Center for International Agriculture Research), Australia dengan Pemerintah Indonesia (Departemen Pertanian) yang relevan untuk dijadikan acuan, diantaranya: (i) proyek AS2/2004/004: Improving smallholder crop-livestock systems in eastern Indonesia, (ii) SMAR/2006/096: Scalling up herd management strategies in crop-livestock system in Lombok, Indonesia, dan (iii) SMAR/2006/061: Building capacity in the knowledge and adoption of Bali cattle improvement technology in South Sulawesi (Partners, 2009). Di samping itu, saat ini telah tersedia petunjuk teknis inovasi pakan ternak untuk usaha pembibitan sapi potong (Maryono dan Romjali, 2007), mengingat aspek pakan ternak sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan sapi. Pengembangan wanaternak yang berkelanjutan harus didukung oleh semua pihak sebagai komitmen dan aksi bersama untuk mewujudkan program swasembada daging dan sekaligus juga sebagai upaya pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Subarudi (2010) telah memberikan tip untuk pengelolaan wanaternak yang berkelanjutan dengan memperhatikan faktor penentu keberhasilannya, yaitu penyediaan pakan ternak, pemeliharaan kesehatan ternak, dan pemasaran produk-produk wanaternak. Manajemen wanaternak yang sangat penting perlu juga dilakukan melalui kegiatan perencanaan yang baik, pengaturan yang tepat, dan pelaksanaan yang efektif dan efisien, serta pengawasan yang intensif dan tegas dalam pengelolaan wanaternak.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Wanaternak adalah sistem penanaman pepohonan hutan dengan jenis tanaman pakan ternak yang ditanam sebagai tanaman pencampur dengan memanfaatkan ruang tumbuh yang belum terkena naungan dan hasil akhirnya tetap berupa tanaman kayu-kayuan. Penanaman tanaman pakan ternak dilakukan untuk mendukung usaha peternakan dengan sistem kandang atau sistem pelepasliaran (ranch). Kondisi dan kinerja peternakan nasional sedang terpuruk dengan indikasi: (i) tingginya produk impor sapi dan daging, (ii) tingginya harga daging, (iii) invasi bisnis peternakan di luar negeri, (iv) karut marut penentuan kuota impor dan pelaksanaannya, dan (v) pelemahan usaha peternakan domestik. Kelima faktor tersebut menjadi kendala utama dan penyebab dalam perpanjangan waktu pencapaian target swasembada daging dari 2010 menjadi 2014. Pengembangan program wanaternak yang dilakukan oleh Kementrian Kehutanan diwujudkan dalam koridor pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan peranan HKm, HD, dan HTR dalam pengentasan kemiskinan, dan sekaligus 559
Subarudi
mengurangi impor sapi dan daging sapi karena fakta yang ada menunjukkan bahwa kontribusi ternak, misalnya di NTB telah mampu meningkatkan pendapatan petani sekitar 100-300 persen dari pendapatannya tanpa ternak. Strategi mewujudkan swasembada daging nasional dapat dilakukan melalui: (i) pengembangan wanaternak di HKm, HD dan HTR, (ii) pemberian insentif bagi pemda yang serius mewujudkan program swasembada daging di wilayahnya, (iii) pemberian kemudahan perijinan dan fasilitas bagi perusahaan besar untuk mengembangan usaha peternakan di dalam negeri, (iv) penghentian sementara BUMN yang berinvestasi usaha peternakan di luar negeri, (v) pengembangan wanaternak oleh koperasi desa, (vi) pembelajaran dari proyek-proyek kerjasama luar negeri di bidang peternakan, dan (vii) pengembangan wanaternak yang berkelanjutan.
Saran Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan harus lebih erat lagi melakukan kerjasama dalam upaya mewujudkan swasembada daging melalui pengembangan wanaternak yang berkelanjutan pada lokasi-lokasi hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat. Badan Litbang Kehutanan dan Balai Penelitian Ternak perlu bersinergi untuk memberikan iptek dan informasi pengelolaan wanaternak yang berkelanjutan kepada para petani ternak dalam rangka merealisasikan program hutan untuk pengentasan kemiskinan dengan memberikan sumber alternatif pakan ternak dari pohon-pohon kehutanan dan efisiensi sistem wanatani terpadu dengan peternakan. Pemerintah pusat harus memberikan insentif kepada pemda yang memang berkeinginan kuat untuk menjadikan sektor peternakan sebagai sektor unggulan di wilayahnya sebagai upaya mendukung kebijakan swasembada daging. Pemda juga harus mampu memotivasi dan menggerakkan semua SKPDnya untuk mendukung suksesnya pelaksanaan pengembangan wanaternak di wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA AgroIndonesia. 2009. Kredit Baru Swasembada Daging. Koran Mingguan AgroIndonesia, Vol. VI, No. 266, 8-14 September 2009. Alford, P. 2013. No Harm in Jakarta’s Beef Stake. The Australian, Wednesday, September 18, 2013. Canberra. Badan Planologi Kehutanan. 2009. Identifikasi Desa dalam Kawasan Hutan. Pusat Rencana dan Statistik, Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik. Jakarta. Bisnis Indonesia. 2013. Harga Sapi Meningkat. Harian Bisnis Indonesia. Tanggal 30 September 2013, halaman 26. Jakarta.
560
Kebijakan Swasembada Daging Melalui Pengembangan Wanaternak Berkelanjutan
Danim, S. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Cetakan Kedua. Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta. Hadi, P.U., dan Ilham, N. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21 (4): 148-157. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hafsah, M.J. 2009. Membangun Pertanian Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Harian Kompas. Tanggal 24 September 2009. Jakarta. Jamalzen. 2009. Target Peningkatan Populasi Sapi 2,4 Persen. Koran Mingguan AgroIndonesia, Vol. VI, No. 274, 10-16 Nopember 2009. Jakarta. Kelana, I. 2013. Malaysia Minat Investasi Sapi. Harian Republika. Tanggal 30 September 2013, halaman 6. Jakarta Kompas. 2009. Dana Ternak Dinaikkan: Kembalikan NTT Sebagai Sentra Ternak Sapi Nasional. Harian Kompas. Tanggal 26 September 2009. Jakarta. Kompas. 2009. Pemberdayaan: Hutan Produksi Diizinkan Jadi Peternakan. Harian Kompas. Ttanggal 1 September 2009. Jakarta. Kompas. 2009. Peternakan: Gubernur NTT Bangun Koordinasi dengan Bupati. Harian Kompas. Tanggal 17 Oktober 2009. Jakarta. Kompas. 2013. Impor Indukan Sapi Dibuka: Perusahaan Swasta dan BUMN Berminat. Harian Kompas. Tanggal 30 September 2013, halaman 18. Jakarta. Kompas. 2013. Megawati Kritik Impor. Harian Kompas. Tanggal 30 September 2013, halaman 2. Jakarta. Kompas. 2013. Pertemuam Bilateral: Mendag Mendekati Australia dan Amerika Serikat. Harian Kompas. Tanggal 5 Oktober 2013, halaman 18. Jakarta. Maryono dan Romjali,E. 2007. Petunjuk Teknis Inovasi “Pakan Murah” untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Partners. 2009. Enabling More Secure Livelihoods in Uncertain Times. Majalah Partners: In research for Development, March-June 2009. ACIAR, Australian Government. Permana, S.H. 2013. Instrumen Pengendalian Harga Daging Sapi. Info Singkat: Ekonomi dan Kebijakan Publik. Vol V No. 14/II/P3DI/Juli/2013. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretarian DPR RI, Jakarta. Porsiana, A. 2009. Kewirausahaan: Bersinar di Agroindustri Peternakan. Harian Kompas. Tanggal 16 Oktober 2009. Jakarta. Pramonosidi, D. 2009. Tempat Berguru Petani dan Peternak Sapi. Harian Kompas. Tanggal 13 November 2009. Jakarta. Setyorini, I. 2009. Susu: Pilar Ekonomi Selandia Baru. Harian Kompas. Tanggal 9 Oktober 2009. Jakarta. Subarudi. 2000. PMDH: Konsepsi dan Aktualisasi. Info Sosial Ekonomi 1 (1): 25-36. Pusat Penelitian Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor. Subarudi. 2010. Kebijakan Pengembangan Wanaternak Nasional Yang Berkelanjutan. Jurnal Kebijakan Vol.7 No.1, April 2010. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
561
Subarudi
Sugiharto. 2009. Dephut Tawarkan HPH sapi. Koran Mingguan AgroIndonesia, Vol. VI, No. 226, 8-4 September 2009. Jakarta. Tribun Kaltim. 2013. RNI Akan Akuisisi Peternakan Sapi Australia. Harian Tribun Kaltim, tanggal 1 Oktober 2013, halaman 2. Samarinda. Winarto, B. 2006. Kamus Rimbawan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Welirang, F. 2013. Kemerdekaan Pangan. Harian Kompas. Tanggal 22 Agustus 2013, halaman 6. Jakarta,
562