KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KLITHIKAN STUDI KASUS DI PASAR KLITIDKAN PAKUNCEN KOTA YOGYAKARTA TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Administrasi Publik
diajukan oleh Dwi Ariyani Hardiyanti 21788/PS/MAP/06
kepada PROGRAM PASCA SARJANA ·uNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2008
Tesis Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan Studi Kasus di Pasar Klithikan Pakuncen Kota Yogyakarta Dipersiapkan Jan disusun oleh
Dwi Ariyani Hardiyanti Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 22 Nopember 2008
Susunan Dewan Penguji Pembimbing Utama
Anggota Dewan Penguji Lain
__..-:'
Dr. Erwan Agus Purwanto Pembimbing Pendamping I
r. Agus Heruanto Hadna
~~ Dr. Gabriel Lele
Pembimbing Pendamping II
Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Tanggal 12 Desember 2008
Pengelola Program StudfMagister Administrasi Publik UGM
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Y ogyakarta, 22 Agustus 2008
Dwi Ariyani Hardiyanti
ll1
LEMBARPERSEMBAHAN ALHAMDULILLAH segala puji bagi Allah itulah yang selayaknya penulis selalu ucapkan setelah selesainya penulisan tesis ini. Tiada yang layak dipuji dengan selesainya tesis ini karena Allah yang memudahkan semua urusan. Namun penulis tidak melupakan kebaikan yang telah diberikan oleh : 1. Suami tercinta, Edi Sunarto, S.E. dengan berbagai kesibukannya masih menyempatkan memberikan bantuan terutama semangat bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Anak - anakku yang tercinta telah memberikan wama dinamika pada penyelesaian Tesis ini. Maafkan Umi untuk Mas Muadz dan Mbak Rahma yang selama liburan kemarin tidak sempat menikmati liburan denganUmi (padahal waktu itu, kesempatan kita bertemu di rumah selama tinggal di asrama) karena sibuk menyelesaikan Tesis. Mas Yasir, Mas Arif, Mbak Dila, Mas Fahmi yang kadang Umi minta untuk membantu menyelesaikan tesis ini dengan menjaga Adik Afi. Dan calon adik bayi yang selalu mengikuti Umi kemanapun Iangkah kaki menyelesaikan tesis ini dan lahir semasa revisi tesis ini diselesaikan, anakku Arnani Hafiyan Syahida. Tak lupa peran pembantuku Bu de Waginah dan Mbak Rini yang banyak menyelesaikan tugas domestik sehingga penulis leluasa mencari berbagai bahan penulisan di luar rumah. 3. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Erwan Agus Purwanto yang cukup sabar mengahdapi mahasiswa seperti penulis ini dengan banyak kendala dalam menyelesaikan tesis.Semoga Allah memudahkan urusan kita semua.
lV
4. Dosen Penguji Dr. Gabriel Lele dan Dr. Agus Heruanto Hadna yang telah rnernberikan arti sebuah tesis ini dan saran untuk perbaikannya dengan tenggang waktu yang rnencukupi. 5. Sernua Pengelola MAP dan Pusdiklatren Bappenas yang telah rnernberikan kesernpatan penulis rnendapatkan Bea Siswa Cost Sharing Tipe IV dan ternan- ternan Angkatan Bappenas II MAP UGM yang telah lebih dulu rnenyelesaikan tugas belajar rnereka. 6. Mbak Ovi dan Mbak Sum yang telah sabar rnernbantu rnencarikan bahanbahan perpustakaan. Terirnakasih dan sernoga rnenjadi arnal sholehnya yang terbaik. 7. Sahabatku Yuyun Tri Widowati dan ternan-ternan Konsentrasi Manajernen Aset dan Penilaian Properti MEP UGM dirnana penulis sebagai rnahasiswa
seat in, yang selalu rnernberikan sernangat untuk segera rnenyelesaikan Tesis llll.
8.
Sernua pihak yang telah rnernbantu dalarn penyelesaian tesis ini dan belurn penulis sebut sernoga rnenjadi arnal sholeh dan diberi pahala oleh ALLAH.
Akhimya, sernoga tesis ini bermanfaat untuk sernua pihak yang rnernbutuhkan dalarn rangka perbaikan pelayanan kepada rnasyarakat. Arnin.
Penulis
v
KEBIJAKAN RELOKASI PEDAGANG KLITHIKAN STUD I KASUS DI P ASAR KLITHIKAN P AKUNCEN KOTA YOGYAKARTA
TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Administrasi Publik
diajukan oleh Dwi Ariyani Hardiyanti 21788/PS/MAP/06
kepada PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2008
Tesis
-
Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan Studi Kasus di Pasar Klithikan Pakuncen Kota Yogyakarta Dipersiapkan Jan disusun oleh
Dwi Ariyani Hardiyanti Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 22 Nopember 2008
Susunan Dewan Penguji Pembimbing Utama
Dr. Erwan Agus Purwanto Pembimbing Pendamping I
Anggota Dewan Penguji Lain
__.,-:-
r. Agus Heruanto Hadna
fiJ& Dr. Gabriel Lele
Pembimbing Pendamping II
Tesis ini telah diterima scbagai salah satu pcrsyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Pengelola Program Stud(Magistcr Administrasi Publik UGM
ABSTRACT The objectives of this research are mainly to explain the process of relocation formulation policy for flea market in Pasar Klithikan Pakuncen. There are several facts supporting the success of the policy execution including participants taking roles in the program as well as the efforts the Yogyakarta Government took to avoid violence during the relocation process. The research methods used is descriptive qualitative in regarding the flea market relocation formulation policy taken by the Yogyakarta Government. Data used for the research are primary data taken through in-depth interviews with the actors concerning the policy both from executives and legislatives as well as the objects of the policy represented by IMPLA W as the actor supporting the policy implementation. Apart from primary data, a set of secondary data is also used in form of planning document that provides information. Apperently, the common view of carrying pole by the local government always was considered as a problem that ought to throw away as it caused ruin the beauty of the city, disturb order of civil sociaty, out of order the traffic lights, make a troubled sociality and make a new place dirtiness sociality. This view of point would different how the policy about carrying pole was made by the Municipality/local government. The formulatin policy prosesses did not always planned carefully, sometimes formulation policy was done as the situasional and konditional that forced them in a hurry to make an action in order there was not further impact. In the case of Second hand Carrying Pole Relocation Study Cases Arrangement Carrying Pole in Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta it showed many factors that push why the policy was finally done/executed by the Yogyakarta Municipality. The city development, the carrying pole development, the success relocation experience of Shopping Centre and civil sociaty pressure from the community that was harm as the existing of carrying pole that more harmful to disturb order of civil sociaty that forced the Major of Yogyakarta to be distinct to make a secondhand carrying pole relocation to ex Pasar Hewan Kuncen. The actors who involved in the formulation policy was prominent executives that later was guarded by the legeslatives and also involved the community of Carrying Pole Assosiation that was supported by the IMPLA W as Non Government Organization which aimed to help the trader in order the policy could absorb their aspiration. The preventif action which The Yogyakarta Local Government took to avoid the conflict was doing the intensively dialogs every time, every moment that needed in the way following what they wanted as long as the government finance sufficiently. Key words: relocation, community of trader, dialogs.
XI
DAFTAR lSI
Halaman Judul ............................................................................................................... i Halaman Pengesahan .................................................................................................... ii Lembar Pernyataan ...................................................................................................... iii LEMBAR PERSEMBA HAN .................................................................................... iv DAFTAR lSI vi DAFTAR T ABEL ...................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... ix x INTISARI ABSTRACT xi BAB I . PENDAHUL UAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Rumus an Masalah ................................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 9 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 10 1.5. Kerangka Penulisan .............................................................................. 10 BAB II. LANDA SAN TEORI ................................................................................. 12 2.1 Sektor Informal ................................................................................... 13 2.1.1 Konsep Sektor Informal.. ........................................................ 14 2.1.2 Karakteristik Sektor Informal ................................................. 16 2.1.3 Sektor Informal dan Pengembangannya ................................. 19 2.2 Kebijakan Publik ................................................................................. 22 2.2.1 Konsep Kebijakan Publik ....................................................... 24 2.2.2 Pendekatan Kebijakan ............................................................ 27 2.2.3 Proses Kebijakan Publik ......................................................... 32 2.3 Kebijakan Publik Terkait Sektor Informal. ......................................... 36 BAB III. METODOLO GI PENELITIA N .............................................................. 40 3.1 Pengantar ............................................................................................ 40 3.2 Jenis dan Pendekatan Penelitian ......................................................... 40 3.3. Lokasi Penelitian ................................................................................. 41 3.4 Sumber Data ....................................................................................... 42 3.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 43 3.6 Teknik Analisa Data ........................................................................... 44 BAB IV. KOTA YOGYAKAR TA, KEADAAN WILAYAH DAN PEREKONO MIAN ............................................................................ 47
Vl
4.1. Sejarah Singkat Kota Yogyakarta dan Perkembangannya ................... 47 4.2. Visi dan Misi serta Skala Prioritas Kota Yogyakarta ........................... 51 4.1.1. Visi Kota Yogyakarta ............................................................... 52 4.1.2. Misi Kota Yogyakarta ............................................................... 53 4.1.3. Skala Prioritas Pembangunan Kota Yogyakarta 2002 -2006 .... 55 Kota Yogyakarta ........................................................... 56 Perekonomian 4.3. 4.4. Sejarah Pasar Klithikan ......................................................................... 59 4.4.1. Klithikan di Jalan Mangkubumi ............................................... 59 4.4.2. Klithikan di Alun-alun Selatan ................................................. 60 4.4.3. Klithikan di Jalan Asem Gede .................................................. 61 BAB V. PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN ....................................................... 62 5.1. Permasalahan ........................................................................................ 62 5.2. Penyusunan PERDA 26/2002 dan SK- SK Walikota ....................... 68 5.3. Pendekatan, Pengalaman Relokasi dan Altematif Kebijakan ............. 75 5.4. Media Massa dalam Perumusan Kebijakan ........................................ 87 5.5. Legislatif dalam Perumusan Kebijakan .............................................. 88 5.6. Komunitas dalam Perumusan Kebijakan ............................................ 93 BAB VI. IDENTIFIKASI AKTOR YANG TERLIBAT .......................................... 98 6.1. Walikota dan Wakil Walikota .............................................................. 98 6.2. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ......................................... 103 6.3. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi ................................ 107 6.4. Dinas Pengelolaan Pasar ..................................................................... 108 6.5. Lembaga Legislatif ............................................................................. 110 6.6. LSM "IMPLAW" (Indonesian Monitoring Procedure of Law) ...... 113 BAB VII. STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK .................................................. 117 7.1. Penyamaan Cara Pandang ................................................................. 118 7.2. Pembentukan Tim-Tim Pendukung Relokasi ................................. 119 7.3. Dialog Formal dan Non Formal.. ...................................................... 124 7.4. Mengadakan MoU ............................................................................ 134 BAB VIII. PENUTUP .............................................................................................. 137 Kesimpulan ....................................................................................... 137 8.1. Saran untuk Pembelajaran ................................................................ 139 8.2. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... i
Vll
DAFTAR TABEL Tabel 1. Angka Pengangguran di Indonesia ................................................................. 1 Tabel 2 Penurunan Angka Pengangguran Terbuka .................................................... 2 Tabel 3 Peta PKL di Yogyakarta ................................................................................ 3 Tabel 4 Perbedaan Karakteristik Sektor Formal dan Sektor Informal.. .................... 18 Tabel 5 Pendekatan Teori Sektor informal menurut beberapa ahli .......................... 21 Tabel 7. Struktur Perekonornian Kota Yogyakarta Tahun 2003 - 2006 .................... 57 Tabel 8. Permasalahan yang dihadapi ........................................................................ 67 Tabel 9. Ringkasan Peraturan PKL ............................................................................ 74 Tabel 10 Rapat Persiapan Pra Relokasi ...................................................................... 85 Tabel 11 Matriks Peran Aktor dalam Perumusan Masalah ........................................ 96 Tabel 12. Inventarisasi Ketugasan Tim .................................................................... 119 Tabel 13 Tata Kala Sosialisasi .................................................................................. 122 Tabel 14 Persentase Tingkat Pendidikan PKL ........................................................ 125 Tabel 15 Matriks Pandangan Pertemuan di Rumah Pribadi Walikota ..................... 127
Vlll
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Proses Perumusan Kebijakan .................................................................... 30 Gambar 2 Tata Kala Regulasi PKL ............................................................................ 72 Gambar 3. Perumusan Masalah .................................................................................. 95 Gambar 4 Pendesak dan Pencetus Relokasi ............................................................. 102 Gambar 5 Proses Perencanaan Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan ................. 107
lX
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana proses perumusan kebijakan Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Pakucen berlangsung dan mengapa kebijakan relokasi dapat dilaksanakan dengan baik? Siapa saja yang berperan dalam proses relokasi atau penataan pedagang klithikan di pasar Pakuncen Baru Kota Yogyakarta. Apa usaha antisipasi yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta sehingga pelaksanaan tidak terjadi gejolak yang mengarah kepada kekerasan? Metode penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif untuk mencoba mendiskripsikan bagaimana perumusan masalah kebijakan relokasi pedagang klithikan diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diambil dari hasil wawancara mendalam (depth inteview ) terhadap pelaku kebijakan (eksekutif dan legeslatit) dan objek kebijakan yang diwakili IMPLA W sebagai aktor penguat Paguyuban Pedagang Klithikan dan data sekunder berupa dokumen yang dapat memberikan informasi. Pedagang kaki lima dianggap oleh Pemerintah Daerah selalu menimbulkan masalah yang harus segera disingkirkan karena merusak keindahan Kota, mengganggu ketertiban masyarakat, menyebabkan kemacetan lalu lintas, menimbulkan masalah kerawanan sosial dan kantong baru kekumuhan kota. Cara pandang inilah yang akan membedakan bagaimana kebijakan tentang pedagang kaki lima dibuat oleh pemerintah. Proses perumusan kebijakan tidak selalu direncanakan dengan seksama, kadang perumusan kebijakan itu dilakukan karena kondisi situasional yang menuntut untuk segera ada tindakan agar tidak terjadi dampak yang lebih besar lagi. Pada tesis Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan Studi Kasus Penataan Pedagang di Pasar Klithikan Pakuncen Kota Yogyakarta terlihat banyak faktor yang mendorong mengapa kebijakan itu akhimya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogayakarta. Perkembangan kota, perkembangan PKL klithikan, pengalaman keberhasilan relokasi shopping dan desakan komunitas yang dirugikan memaksa Walikota untuk tegas melakukan relokasi pedagang klithikan di eks Pasar Hewan Kuncen. Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan ini terutama adalah eksekutif yang dikawal oleh legeslatif dan dengan melibatkan komunitas Paguyuban pedagang klithikan yang diperkuat oleh IMPLAW sebagai LSM yang membantu pedagang agar proses kebijakan dapat menyerap aspirasi mereka. Tindakan preventif yang dilakukan Pemerintah Kota Y ogyakarta untuk menghindari konflik adalah dengan melakukan dialog yang intensif setiap saat dan setiap kondisi yang dibutuhkan dengan cara mengemong para pedagang klithikan dan memenuhi apa yang menjadi tuntutan mereka sesuai dengan kemampuan APBD.
Kata kunci : relokasi , paguyuban pedagang, dialog.
X
ABSTRACT The objectives of this research are mainly to explain the process of relocation formulation policy for flea market in Pasar Klithikan Pakuncen. There are several facts supporting the success of the policy execution including participants taking roles in the program as well as the efforts the Yogyakarta Government took to avoid violence during the relocation process. The research methods used is descriptive qualitative in regarding the flea market relocation formulation policy taken by the Yogyakarta Government. Data used for the research are primary data taken through in-depth interviews with the actors concerning the policy both from executives and legislatives as well as the objects of the policy represented by IMPLA W as the actor supporting the policy implementation. Apart from primary data, a set of secondary data is also used in form of planning document that provides information. Apperently, the common view of carrying pole by the local government always was considered as a problem that ought to throw away as it caused ruin the beauty of the city, disturb order of civil sociaty, out of order the traffic lights, make a troubled sociality and make a new place dirtiness sociality. This view of point would different how the policy about carrying pole was made by the Municipality/local government. The formulatin policy prosesses did not always planned carefully, sometimes formulation policy was done as the situasional and konditional that forced them in a hurry to make an action in order there was not further impact. In the case of Second hand Carrying Pole Relocation Study Cases Arrangement Carrying Pole in Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta it showed many factors that push why the policy was finally done/executed by the Yogyakarta Municipality. The city development, the carrying pole development, the success relocation experience of Shopping Centre and civil sociaty pressure from the community that was harm as the existing of carrying pole that more harmful to disturb order of civil sociaty that forced the Major of Yogyakarta to be distinct to make a secondhand carrying pole relocation to ex Pasar Hewan Kuncen. The actors who involved in the formulation policy was prominent executives that later was guarded by the legeslatives and also involved the community of Carrying Pole Assosiation that was supported by the IMPLA W as Non Government Organization which aimed to help the trader in order the policy could absorb their aspiration. The preventif action which The Yogyakarta Local Government took to avoid the conflict was doing the intensively dialogs every time, every moment that needed in the way following what they wanted as long as the government finance sufficiently. Key words : relocation, community of trader, dialogs.
XI
BABI.PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan yang terjadi selain dituntut meningkatkan produksi
nasional, juga dituntut pengurangan pengangguran. Perluasan kesempatan kerja merupakan kebutuhan yang mendesak sehingga perlu untuk mampu mendorong pertumbuhan ekonorni dan mempercepat penciptaan lapangan kerja. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan di sektor formal semakin sulit diperoleh, hal ini mernicu pertumbuhan sektor informal. Pertumbuhan sektor informal seadanya untuk
meningkat cepat karena dengan modal kemauan dan modal
membuka usaha di lahan yang lain. Apalagi ditambah pertumbuhan sektor formal yang sangat terbatas aksesnya. Pertumbuhan pesat sektor informal ini diperkirakan masih akan berlanjut. Salah satu argumen logisnya, prospek penciptaan lapangan kerja yang masih suram di sektor formal. Sebagaimana tersirat dalam Tabel 1. pertambahan pengangguran selalu meningkat cukup signifikan. Tabel 1. Angka Pengangguran di Indonesia Keterangan
Jumlah Pengangguran Tahun 5,18 jutajiwa 1997 6,07 jutajiwa 1998 8,09 jutajiwa 1999 8,44 jutajiwa 2000 9,01 jutajiwa 2001 9,13 jutajiwa 2002 9,53 jutajiwa 2003 10,25 jutajiwa 2004 I 0,9 juta jiwa 2005 Sumber: Hartat1 (2006)
-
40,1 juta termasuk setengah pengangguran.
1
Jika setengah penganggur (mereka yang bekeija kurang dari 35 jam seminggu) dimasukkan, angka pengangguran saat ini mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari total angkatan keija (106,9 juta orang). Meskipun berbagai program Pemerintah dilakukan untuk mengurangi angka pengangguran ini tetapi hal itu tidak sebanding dengan peningkatan jurnlah angkatan kerja yang ada setiap tahun. Usaha pengurangan pengangguran yang telah dilakukan Pemerintah terlihat dalam Tabel 2. Target pengurangan pengangguran adalah sebagai berikut: Tabel 2 Penurunan Angka Pengangguran Terbuka Tahun 2004 2009
Target Penurunan Angka Pen_gang81.lran 10,25 juta jiwa 5,8 jutajiwa Sumber : Hartat1 (2006)
Keterangan 9,9 % dari angkatan kerja 5,1 % dari angkatan kerja
Oleh karena itu, dapat diperkirakan angka pengangguran masih akan meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang ada tidak memadai, bahkan untuk sekadar mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja baru sebesar 2 juta - 2,5 juta per tahun sekalipun. Angka pengangguran yang besar ini telah mempengaruhi perkembangan sektor informal untuk menciptakan lapangan keija bagi mereka sendiri. Persoalan sektor informal selalu menghantui semua pemerintah kota maupun kabupaten. Hal ini tidak lepas dari proses urbanisasi dan migrasi penduduk karena pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Pendatang selalu berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan mendapatkan pekerjaan formal di daerah yang
2
didatangi. Kenyataan yang ada, mereka selalu menemukan mimpi kosong dan harus berhadapan dengan kenyataan untuk menyambung hidup. Sektor informal ini biasanya dikaitkan dengan pedagang kaki lima sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi sektor informal. Pedagang kaki lima banyak disoroti karena masalah tempat kegiatan mereka berusaha. Pada umurnnya mereka menempati daerah yang ramai dilewati orang tetapi justru tempat itu dilarang untuk berdagang I berusaha. Namun di sisi lain kegiatan kelompok ini merupakan penyerapan tenaga kerja terutama berpendidikan rendah, penyerapan pendapatan daerah melalui retribusi daerah dan menunjang program pemerintah tentang penyaluran berbagai hasil industri produksi dalam negeri. Pengusaha informal sebagian besar merupakan usaha pokok untuk menghidupi keluarganya. Hal ini membuktikan betapa berperannya sektor informal dalam mendukung penyerapan tenaga kerja dan sebagai usaha peningkatan kesejahteraan keluarga. Sektor informal berkembang dengan cepat di Kota Y ogyakarta; tidak hanya di daerah dekat pasar dan sepanjang pertokoan, tetapi di setiap jengkal trotoir yang masih belum ada yang memanfaatkan. Jumlah dan persentase PKL berijin dan membayar retribusi terlihat dalam Tabel 3. Tabel 3 Peta PKL di Yogyakarta Kriteria
Jumlah
PKL di Kota Yogyakarta
5.525 tersebar di 14 Kecamatan
PKL berijin
15,13%
PKL yang membayar retribusi
36,17%
PKL yang tidak membayar retribusi
63,83%
Sumber : Stud1 FS Eks Pasar Hewan (2005)
3
Dari Tabel 3. terlihat PKL yang belum membayar retribusi hampir 2/3 dari keseluruhan PKL. Adanya penataan, dan pembinaan dan pengaturan sektor informal akan meingkatkan PAD dan akan tercipta lingkungan kota yang baik dan tertib. Hal ini merupakan solusi
yang ditempuh Pemerintah Daerah untuk mengatasi
pertumbuhan sektor informal yang bertambah pesat. Sebaliknya dalam pandangan Pemerintah Daerah pada umumnya, PKL selalu dianggap menimbulkan masalah sehingga harus segera disingkirkan karena merusak keindahan Kota, mengganggu ketertiban masyarakat, menyebabkan kemacetan lalu lintas, menimbulkan masalah kerawanan sosial dan kantong baru kekumuhan kota. Jarang pihak Pemerintah Daerah memandang positif keberadaan Pedagang Kaki lima (PKL), misalnya sebagai obyek wisata yang berpotensi mendatangkan devisa atau meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, menyerap tenaga kerja atau mengurangi pengangguran sementara, serta melihat kreativitas masyarakat dalam menghadapi kesulitan ekonomi dan bertahan hidup dalam masa yang serba sulit ini. Cara pandang inilah yang akan membedakan bagaimana kebijakan tentang pedagang kaki lima dibuat oleh pemerintah. Cara pandang ini juga akan mempengaruhi nilai dan sikap aktor pengambil kebijakan dalam merumuskan masalah tentang pedagang kaki lima dan bagaimana solusi yang memuaskan semua pihak dan dapat diterima dengan ada konsekwensi-konsekwensi yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan tentang pedagang kaki lima.
4
Kemampuan penghasilan PKL juga menjadi pertimbangan dalam penjualan lapak dilokasi yang baru.Usaha atau kegiatan yang dapat mendukung penguatan modal bagi pedagang klithikan tersebut perlu dipertimbangkan Kasus relokasi diberbagai tempat memperlihatkan bagaimana implementasi kebijakan penataan dan pembinaan PKL dipengaruhi berbagai faktor internal dan eksternal. Dari studi-studi kasus berbagi kota,seperti Kasus Penataan PKL di Kedungdoro dan Pasar Kembang Surabaya ( Hamzah, 2005), Kasus Relokasi PKL Jalan Gadjah Mada Sidoaijo (Ester, 2006), Studi Kasus PKL di Jalan Kapasari Surabaya (Bihombing,-), Kasus Simpang Dago Bandung (Aproudicky,-)
dapat
diamati bahwa keberhasilan kebijakan tentang pedagang kaki lima dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1) Faktor Internal : a) Perilaku pedagang kaki lima dan karakteristik ruang PKL b) Perilaku konsumen c) Pemahaman PKL tentang kebijakan yang ditempuh pemerintah terkait dengan sosialisasi, koordinasi dan komunikasi. 2) Faktor Eksternal : a) Dukungan publik dan pejabat atas kebijakan relokasi. b) lklim dialog yang diciptakan oleh pemerintah. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan otonorni daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
5
masyarakat,
pemerataan
dan
keadilan,
serta
memperhatikan
potensi
dan
keanekaragaman daerah. Pemerintah Kota Yogyakarta merupakan organisasi wakil pemerintah pusat yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Organisasi ini merupakan kumpulan perangkat daerah yang berfungsi pengatur mekanismemekanisme formal sehingga berfungsi. Fungsi dari perangkat tersebut diharapkan oleh seluruh stakeholder menjadi terwujudnya pelayanan kepada masyarakat kota Yogyakarta khususnya dan seluruh warga yang terkait dengan Kota Yogyakarta. Penataan pedagang klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen dilandasi oleh perencanaan Pembangunan Pasar Klithikan Kota Y ogyakarta di Ex Pasar Hewan Kuncen dipicu oleh pertama, perkembangan Kota Y ogyakarta yang secara makro berpengaruh pada keberadaan pasar hewan kuncen di tengah pusat kota (0,5 km barat Malioboro) yang
sangat tidak strategis untuk perkembangan ke depan Kota
Yogyakarta. Juga dimaksudkan untuk lebih mendukung pertumbuhan wilayah Selatan - Barat Kota Yogyakarta sebagai magnet yang dapat menyerap keramaian dan menjadikan daya tarik pengembangan wilayah.
Kedua, keberadaan Pasar Hewan di tengah pemukiman yang padat, sangat tidak sesuai dengan kondisi kesehatan dan sosial masyarakat dan lingkungan kota sehingga perlu reorientasi dan relokasi. Pasar tersebut menyebabkan limbah bau bagi pemukiman padat di sekitar pasar. Obyek layanan pasar juga sebagian besar bukan warga Kota Y ogyakarta. Retribusi yang di dapat tidak sebanding dengan biaya pemeliharaan fisik pasar serta gaji pegawai yang dikeluarkan. Lokasi pasar hewan
6
yang tidak secara langsung melayani masyarakat sudah direncanakan di pinggiran kota agar lebih mendekatkan subyek maupun obyek pelaku pasar hewan tersebut. Ketiga, perencanaan Pasar Klithikan juga dimaksudkan untuk mencipatakan
ikon wisata altematif dan tujuan wisata baru di bagian barat kota Yogyakarta sekaligus untuk menampung pedagang klithikan dalam kondisi yang lebih representatif dan terpusat. Hal ini dimaksudkan agar konsentrasi kegiatan skala kota menjadi lebih merata. Keempat, keberadaan pedagang klithikan disepanjang jalan Mangkubumi,
Alun-alun Selatan, sepanjang jalan Diponegoro dan utara Tugu Yogyakarta dan masih tersebar di berbagai tempat juga merupakan pemandangan yang tidak mendukung program Yogyakarta Berhati Nyaman. Untuk itu diadakan program penataan pedagang klithikan. Keberadaan pedagang kaki lima sudah dilindungi dengan Perda Nomor 26 tahun 2002 tentang penataan pedagang kaki lima, dan lokasi yang diperbolehkan dipakai untuk usaha pedagang kaki lima. Perda ini diterbitkan dengan tujuan untuk mewujudkan lingkungan Kota Yogyakarta yang rapi, bersih, indah, sehat dan nyaman. Namun, dalam perkembangnannya, keberadaan mereka justru mengganggu ketertiban dan kepentingan umum. Hal ini terlihat di pusat-pusat PKL di Kranggan, Jalan Tamansari, Jalan Asem Gede, Jalan Mangkubumi. Keberadaan pedagang kaki lima mulai menimbulkan gangguan bagi kepentingan umum, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, keamanan dan kenyamanan.
7
Persoalan Pedagang Kaki Lima I Pedagang Klithikan di Kota Yogyakarta menyebabkan Pemerintah berpikir bagaimana menata Kota Yogyakarta agar tidak terkesan kumuh bahkan kalau dapat menjadikan mereka sebagai ikon lain dari wisata kota. Maka muncullah kebijakan relokasi pasar klithikan untuk ditempatkan di Eks Pasar Hewan Pakuncen. Penataan pedagang kaki lima di berbagai kota dan daerah yang sering kita lihat di televisi maupun kita baca dalam media massa selalu terjadi bentrokan antara pedagang dengan aparat yang mengaturnya. Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri sudah berulangkali melakukan penataan, seperti penataan pedagang Sayur dan Buah Shopping Center di Pasar Giwangan (2004 ), Penataan Pedagang di Kios Parkir Senopati (2005),dan Rencana Penataan Pedagang Klithikan Jalan Mangkubumi, Asem Gede dan di Alun-alun Kidul sejak tahun 2004 yang baru terlaksana pada tahun 2007. Terjadi proses tarik ulur berbagai kepentingan yang mewakili golongan masing-masing untuk meneruskan relokasi atau menundanya. Bahkan muncul Paguyuban Pedagang tandingan yang tidak sejalan dengan aspirasi yang mereka salurkan lewat Paguyuban yang lama. Pada akhirnya disusunlah kebijakan relokasi tersebut dan menarik untuk mengkaji bagaimana proses kebijakan tersebut dirumuskan dalam Rumusan Masalah sebagai sub bagian ini.
1.2
Rumusan Masalah Persoalan relokasi biasanya selalu menimbulkan konflik kekerasan antara
Pemerintah dan masyarakat yang merasa digusur. Hal tersebut tidak terlihat dalam
8
kasus relokasi pedagang klithikan yang tersebar di Jalan Mangkuburni, Alun-alun Kidul dan mempunyai lapak dagangan di Asem Gede di Kota Yogyakarta. Hal ini menarik untuk diteliti Bagaimana proses perumusan kebijakan Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Pakucen diambil, yang diturunkan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana formulasi penyusunan kebijakan sehingga relokasi dapat dilaksanakan tanpa ada kekerasan antara aparat dengan pedagang? 2) Siapa saja yang berperan dalam proses relokasi atau penataan pedagang klithikan di pasar Pakuncen Barn Kota Yogyakarta 3) Bagaimana
strategi
manajemen
konflik
yang
dilakukan
Pemerintah Kota Yogyakarta sehingga pelaksanaan tidak terjadi gejolak yang mengarah kepada kekerasan? 1.3
Tujuan Penelitian Peneliti berharap dalam penelitian akan menemukan : 1. Mengetahui kebijakan relokasi pedagang klithikan diformulasikan. 2. Mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan. 3. Mengetahui usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengantisipasi konflik yang akan muncul sehubungan kebijakan relokasi pedagang klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen .
9
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian adalah sehagai hahan masukan hagi : 1) Teijadi kejelasan hagaimana proses Kehijakan Relokasi Pedagang Klithikan di Pasar Pakuncen dirumuskan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta haik oleh eksekutif ,oleh legeslatif atau stake holder yang lain. 2) Melihat aktor-aktor yang berperan dalam perumusan kebijakan tersehut dan hagaimana interaksi masing-masing aktor dengan kepentingannya masing-masing. 3) Dapat helajar hagaimana mengantisipasi segala sesuatu yang terkait dengan penolakan dari pedagang yang menolak relokasi dan menyelesaikan dengan haik pelaksanaan kehijakan tersehut.
1.5. Kerangka Penulisan
Dalam penelitian ini penulisan disusun dalam heherapa Bah. Bah I akan memhahas Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian serta Kerangka Penulisan. Bah II herisi Landasan Teori yang akan menjadi acuana dalam pemhahasan basil penelitian. Pada Bah ini akan dihahas tentang Sektor Informal, Kehijakan Puhlik, dan Kehijakan Puhlik Terkait dengan Sektor Informal. Selanjutnya, dalam Bah III akan dihahas Metodoligi Penelitian yang menjadi dasar proses penelitian yang dilakukan penulis. Dalam Bah IV akan dihahas Kota
10
Yogyakarta terkait keadaan Sejarah Singkat dan Perekonomian. Sedangkan Bab V akan dibahas Proses Perumusan. Pada Bab VI ldentifikasi Aktor yang Terlibat, dan Bab VII. akan membahas Manajemen Konflik. Penelitian ini akan ditutup dengan Kesimpulan dan Saran untuk Pembelaj aran yang tertuang dalam Bab VIII. Diharapkan pembaca dapat membayangkan seperti apa penulisan penelitian ini dengan adanya kerangka penulisan.
11
BAB II. LANDASAN TEORI Pada Bab ini penulis akan membahas Landasan Teori yang akan menjadi dasar dalam pembahasan hasil penelitian. Landasan teori di Bab ini akan membahas tentang Sektor Informal yang akan membedah Konsep Sektor Informal, Karakteristik Sektor informal serta Pengembangan Sektor Informal pada Sub Bab Pertama. Pada Sub Bab Kedua akan dibahas tentang Kebijakan Publik yang diyraikan menjadi Konsep Kebijakan Publik, Pendekatan Kebijakan Publik dan Proses Kebijakan Publik. Sedangkan pada Sub Bab Terakhir akan membahas Landasan Teori tentang Kebijakan Publik terkait Sektor Informal. Pola perdagangan sektor informal memiliki karakter yang spesifik baik dari aspek jenis komoditinya maupun tata cara dan suasana jual belinya, bahkan pernilihan lokasinya. Di dalam berbagai literatur, konsep sektor informal digunakan silih berganti dengan konsep aktivitas informal (informal activity),kesempatan kerja yang dicipatakan sendiri (self-employment), ekonomi di bawah tanah (underground
economy), ekonorni pasar gelap (black market economy), ekonorni bayangan (shadow economy),dan kerja sampingan (casual work). Fenomena pedagang klithikan merupakan bagian dari sektor informal yang selalu bertambah setiap tahun. Hal ini dapat menimbulkan masalah bagi ketertiban dan kenyamanan lingkungan di mana mereka berdagang. Keberadaan mereka merupakan masalah bagi masyarakat lain yang merasa hak-haknya terampas dengan
12
keberadaan mereka. Kebijakan Pemerintah Kota menyangkut relokasi pedagang klithikan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut agar bermanfaat bagi pemerintah daerah, pemerintah Kota dan bagi semua pihak yang menginginkan keindahan, kenyamanan dan ketertiban Kota dapat tercipta. Untuk itu mengetahui konsep, karakteristik dan bagaimana pengembangan sektor informal akan membantu memahami kebijakan yang akan diambil oleh aktor pengambil kebijakan. Selanjutnya mengetahui bagaimana kebijakan publik secara ideal seharusnya dirumuskan dan selanjutnya diimplemtasikan serta bagaimana proses kebijakan diformulasikan akan memudahkan kita mendapatkan gambaran yang seharusnya dari Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen Y ogyakarta.
2.1
Sektor Informal Swasono (1986,33) menuliskan timbulnya istilah sektor informal adalah
akibat adanya dualisme dalam kegiatan ekonorni pada negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, India, Brasil, Kenya, Ghana, dan negara lainnya. Di daerah perkotaan pada negara -negara tersebut terdapat suatu aktifitas ekonorni yang tidak terorganisir dan tidak terjangkau oleh kebijaksanaan ekonorni pemerintah. Kegiatan ekonorni inilah yang kemudian disebut sektor informal. Bidang usaha perdagangan dalam sektor informal merupakan bidang yang penting karena bidang ini mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Sumbangan bidang perdagangan ini sangat besar bagi kemajuan sektor jasa di
13
Indonesia terutama.di Kota Yogyakarta. Usaha dagang pedagang kaki lima merupakan sub bidang usaha yang penting dalam bidang perdagangan karena kemampuan menyerap tenaga kerja dan sekaligus memberi kehidupan yang layak bagi sejurnlah besar penduduk.
2.1.1
Konsep Sektor Informal Pakar ilmu sosial Mazumdar (1976;656) dalam (Subarsono, 1998:84),
mendiskripsikan sektor informal sebagai sektor yang tidak terproteksi/terlindungi (unprotected) dan sektor formal sebagai sektor yang terproteksi (protected). Untuk itu
Pemerintah Kota Yogyakarta dengan rencana Relokasi Pedagang Klithikan akan menjadikan mereka berdagang pada sektor formal yang telah disediakan lahan di pasar Pakuncen, dengan status pedagang formal yang mempunyai status pedagang resrni dan tidak akan digusur karena melanggar perda PKL dimana hanya daerah tertentu yang dapat digunakan sebagai lahan dagang mereka. Mereka juga akan disediakan kredit dengan bunga lunak, modal pelatihan dan tempat usaha yang cukup representatif. Hal itu senada yang dikatakan De Soto (2006) bahwa persoalan di negara berkembang yang menyebabkan ketertinggalan adalah tertutupnya mata pemerintahan terhadap peraturan dan aturan main yang akomodatif untuk mendorong perkembangan dan kemajuan sektor informal. Terlihat dari definisi di atas bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta tidak menutup mata terhadap keberadaan PKL serta berusaha mendorong perkembangan
14
dan kemajuan PKL terutama pada Kebijakan Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta. Sethuraman (1988) dalam Hidayat (1988:10) mendefinisikan sektor informal sebagai berikut : "Sektor informal terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya itu sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor modal fisik, faktor pengetahuan, dan faktor ketrampilan" Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal. Pemerintah daerah biasa memandang pedagang kaki lima atau sektor informal secara keseluruhan sebagai hal yang harus disingkirkan, dibuang jauh-jauh dari pusat kota karean akan menimbulkan kemacetan lalu lintas, menciptakan kekumuhan dan suasana tidak tertib dan tidak nyaman. Namun benarkah cara pandang seperti tersebut? Pola kegiatan ekonorni perkotaan yang sifatnya kapitalistik cenderung menciptakan persaingan yang tidak seimbang terhadap usaha-usaha yang berskala kecil, dan umurnnya dilakukan oleh masyarakat golongan ekonorni lemah. Ketidak seimbangan ini akan menjadi lebih besar lagi apabila dikaitkan dengan sangat terbatasnya sumberdaya yang dirniliki (harta benda, ketrampilan, permodalan, dan informasi) serta terbatasnya pilihan bagi mereka dalam sistem ekonomi kapitalistik. Hal ini merupakan faktor penunjang bagi masyarakat untuk memilih sektor informal sebagai alternatif lapangan kerjanya.
15
Ketidak samaan pandangan pada persoalan: sampai dimana sektor informal mempunya1 kaitan dengan sektor lainnya dalam ekonomi. Pemerintah Kota Yogyakarta memandang bahwa sektor informal dapat dijadikan ikon pariwisata seperti kota besar lain di Bangkok, London dan beberapa kota di Bali. Selain itu untuk memajukan perekonomian rakyat yang merupakan altematif keterbatasan Pemerintah menyediakan lapangan kerja sektor formal. Pada sub bah bagian berikut akan membahas karakteristik sektor informal. Karakteristik yang khas sektor informal akan mempengaruhi kebijakan yang akan ditempuh oleh Pemerintah Kota. Sehingga mengetahui karakteristik sektor informal akan membantu memahami proses perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan.
2.1.2
Karakteristik Sektor Informal Hidayat (1978,7) mengemukakan bahwa penelitian sektor informal di
Indonesia telah menghasilkan sebelas ciri pokok yang bersifat kualitatif sebagai berikut: 1)
Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas/kelembagaan yang tersedia di sektor formal.
2)
Pada umurnnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.
3)
Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.
4)
Pada umurnnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai sektor ini.
16
5)
Unit usaha mudah keluar dan masuk dari sub sektor ke lain sub sektor.
6)
Teknologi yang dipergunakan bersifat primitif.
7)
Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.
8)
Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
9)
Pada umumnya unit usaha termasuk golongan "one-man-enterprise" dan kalau mengeijakan buruh berasal dari keluarga.
10)
Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan tidak resmi.
11) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota!desa
berpenghasilan
rendah
dan
kadang-kadang
juga
yang
berpengalaman menengah. Karakteristik yang khusus dari sektor informal tersebut diatas harus dikenali oleh
Pemerintah
Kota
sehingga
setiap
kebijakan
yang
diambil
sudah
mempertimbangkan hal - hal tersebut. Dengan demikian antisipasi sudah mulai dipikirkan sejak perumusan kebijakan dibahas untuk dijadikan landasan kebijakan publik. Perbedaan karakteristik sektor informal dengan sektor formal juga perlu diketahui sehingga dalam pengambilan kebijakan dapat memprioritaskan pada penanganan sektor informal yang kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah
17
maupun Pusat. Pengambil kebijakan dapat fokus pada sektor informal jika itu yang menjadi prioritas kebijakan. Perbedaan Karakteristik Sektor Informal dan Sektor Formal:sebagaimana terlihat tabel di bawah ini. Tabel4 Perbedaan Karakteristik Sektor Formal dan Sektor Informal Karakteristik
Sektor Formal
Sektor Informal
Modal Teknologi Organisasi Kredit
Relatif mudah diperoleh Padat modal Birokrasi Dari lembaga keuangan resmi
Serikat buruh Bantuan Pemerintah
Sangat berperan Penting untuk kelangsungan us aha One-way-traffic untuk kepentingan sektor formal San gay tergantung dati perlindungan pemerintah atau impor Jumlah besar dan kualitas baik
Sukar diperoleh Padat karya Menyerupai organisasi keluarga Dari lembaga keuangan tidak resmi Tidak berperan Tidak ada
Hubungan dengan desa Si fat wiraswasta(berdikari)
Persediaan barang
Hubungan kelja majikan buruh Berdasarkan kontrak kelja Sumber : H1dayat ( 1978:9)
Saling menguntungkan Berdikari
Jumlah kecil dan kualitas berubah-ubah. Berdasarkan asas saling percaya
Potensi sektor informal dalam Pembangunan Ekonorni ada dua pendapat yang berlainan, yaitu golongan transisi dan golongan struktural (Hidayat : 1978). Pendapat lama atau go Iongan transisi (teori Harmoni, dalam Swasono ( 1986 : 30)) menganggap bahwa eksistensi sektor informal itu hanya sementara karena di kemudian hari akan hilang dengan sendirinya kalau pembangunan ekonorni telah berjalan dengan mantap. Pendapat golongan struktural (pendekatan Marxis, dalam Swasono (1986: 29)) melihat sektor informal itu sebagai akibat adanya berbagai hambatan struktural
18
dalam proses pembangunan. Menurut pandangan ini, kegiatan yang tidak efisien dan berskala kecil dari sektor informal adalah akibat struktur ekonomi yang menitik beratkan kebijaksanaan yang tertuju kepada pembinaan sektor formal. Pendapat golongan transisi senada dengan pemikiran Walikota Yogyakarta yang berfokus untuk mengembangkan Kota Yogyakarta dengan pembangunan yang berfokus pada usaha jasa kelompok besar. Bila usaha jasa kelompok besar maju maka usaha kecil akan terangkat dan menjadi besar pula sehingga usaha kecil akan lenyap dengan sendirinya. Hal yang tidak menguntungkan ini mempunyai pengaruh terhadap tidak prioritasnya penanganan sektor informal dan kebijakan pengembangan sektor informal. Pada masa awal jabatan Walikota Herry Zudianto- Wakil Walikota Syukri Fadholi (2002 - 2006) prioritas pengembangan Kota Yogyakarta adalah usaha ekonorni besar. Baru pada masa akhir jabatan kebijakan tentang ekonorni skala kecil termasuk sektor informal baru disentuh.
2.1.3
Sektor Informal dan Pengembangannya Skala prioritas pengembangan Kota Yogyakarta yang berpihak kepada Usaha
Skala Makro telah menjadikan pengembangan sektor informal baru diperhatikan setelah ujung akhir masa jabatan Walikota Herry Zudianto. Republika 9 Maret (2004), Program penataan PKL mulai intensif dilakukan sejak tahun 2004. Bahkan konflik penataan muncul karena pedagang merasa terancam kehidupannya. Dalam aksi 'Warga Yogyakarta Menuntut Keadilan, Tolak Penggusuran', oleh PKL Angkringan Malioboro,dll. Mereka menolak diadakan penataan karena penghasilan mereka menurun dengan kepindahan ke lokasi baru.
19
Pekerja sektor informal timbul dari fluktuasi perekonomian yang untuk berbagai kasus, juga diwamai oleh faktor-faktor sosial, budaya. Namun aspek ekonomi dan sosial budaya yang secara langsung mempengaruhi berbeda dari kasus ke kasus, serta dari daerah ke daerah lainnya. Sebagai satu unit usaha ekonomis, sektor informal mempunyai berbagai altematif pengembangan. Pengembangan yang mungkin dilakukan bergantung dari faktor-faktor penyebabnya. Tokman (1978) dari Swasono ( 1986,45) mencoba memetakan beberapa pola pandangan ilmuwan yang membahas tentang sektor informal dan kebijaksanaan yang bisa dilakukan terhadap pembinaan dan pengembangan sektor informal sebagaiman tertuang dalam Tabel 5. Pendekatan Teori Sektor Informal menurut beberapa ahli.
Pengembangan sektor informal dalam ketentuan konsep pembangunan adalah pengembangan sektor informal menjadi satu kekuatan yang mampu mengarahkan diri dari penekanan kekuatan ekonomi atau politik serta mampu memperbaharui perilaku hubungan yang lebih adil dengan sektor lain dan mandiri sebagaimana ditulis Swasono (1986,47). Weeks ( 1975) dalam Burgers (1985:15), menyebutkan bahwa yang membuat perbedaan antara informal dan formal adalah pemerintah sehingga pemerintah memperlakukan kedua sektor tersebut berbeda dengan mengembangkan perlindungan dan dukungan kewirausahaan kepada sektor formal sedang pada sektor informal dibiarkan bergerak di luar sistem.
20
Tabel 5 Pendekatan Teori Sektor informal menurut beberapa ahli
Pada otonom
Pada integrasi
kondisi
Pendekatan hubungan lunak
Pendekatan atasan-bawahan
Ilmuwan
Ilmuwan
ILO (1972) Oshime ( 1971) Sethuraman (1975) Hart (1970) Frakenhoff (1976)
Situasi Secara ekonomi efisien 2. bisa memperoleh lebih nilai bilamana diinvestasikan secara kembali tepat. 3. Tipe investasi tidak pada tercatat perhitungan pendapatan nasional.
I.
I. Pertukaran barang secara vertikal memberikan 2. yang pelayanan penting di negarayang negara kekurangan pelayanan dasar. 3. lntegrasi tersebut teljadi secara lunak karena kebanyakan ekspor adalah ekspor dan perdagangan dalam pelayanan yang negeri merupakan pelengkap terhadap secara produksi hanya formal oleh terpengaruh peningkatan perubahan teknologi. Sumber : Swasono ( 1986, 45) kondisi
Weeks ( I 971 ) McGee (1973&1974) Webb (1974) Hart (1970)
21
Quijano (1974
Bose (1974) Gerry (1974) Bicnefedd dan Godfrey (1975) McGee (1973) Marulanda(1976) Ley ( 1973) Mexicopreudprea I (1975) Frankenhoff (1976)
Situasi Terkait pada ekonomi intemasional, beroperasi melalui: adanya Tidak I. kesempatan untuk pada masuk sumber-sumber produksi dan pasar produksi. Pengembangan 2. pada tergantung besarnya nilai lebih dari tenaga kelja (buruh) yang tidak bisa diserap oleh ekonomi sektor lain. Beroperasi atas dasar: I. Ketergantungan pada sumber-sumber pengadaan dan pasar produksinya bagi serta ketergantungan pada harga. 2. Dikuasai oleh sektor di luarnya.
Pandangan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk pengembangan sektor informal dengan pendekatan hubungan yang lunak dimana secara ekonomi efisien dan akan memperoleh nilai lebih hila diinvestasikan kembali secara tepat. Pacta era otonorni derah di mana peran serta masyarakat harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan publik kita akan melihat bagaimana kebijakan publik tentang relokasi pedagang klithikan dirumuskan. Cara pandang pelaku kebijakan terhadap sektor informal akan mempengaruhi kebijakan yang akan diambil. Apakah hal itu merupakan hambatan dalam pembangunan kota atau merupakan sebagian solusi dari masalah yang komplek di perkotaan. Kebijakan yang dapat ditempuh dapat berupa regulasi, struktural maupun pembinaan. Hal ini akan dibahsa dalam Kebijakan Publik Terkait Sektor Informal di bagian akhir Bab ini. Sebelurnnya penulis akan membahas tentang Kebijakan Publik dari Konsep, Pendekatan dan Prosesnya.
2.2
Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikeijakan oleh Pemerintah
dengan melihat berbagai persoalan yang ada di lapangan dan berusaha mengatasi melalui peraturan yang memiliki kekuatan hukum dalam rangka mewujudkan citacita kehidupan bersama yang lebih baik. Persoalan sektor informal di kota besar selalu menjadi agenda penting yang harus diselesaikan dengan bijak supaya tidak teijadi benturan kepentingan antara Pemerintah sebagai regulator dan pedagang kaki
22
lima sebagai obyek regulasi. Kejelian Pemerintah melihat permasalahan dan merumuskan masalah akan berpengaruh terhadap kebijakan yang akan diambil terkait dengan keberadaan sektor informal terutama pedagang kaki lima. Wibawa (2004:283) menuliskan PKL adalah dilema. Di dalamnya tersimpan konflik kepentingan, nilai, ideologi atau apapun penyebutannya. Sudah menjadi karakter dari setiap masyarakat, bahwa di dalamnya ada dan berkembang nilai dan kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaaan ini bisa dipertemukan atau disinergikan sehingga menjadi kekuatan progresif yang positif, tapi sebaliknya dapat pula menjadi benih konflik (seringkali fisik) yang bersifat reduktif terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat. Menurut hampir semua ilmuwan, tidak ada cara yang lebih mujarab dalam mengelola konflik itu daripada demokrasi : Semua pihak harus dipertemukan di sebuah meja bundar, dalam posisi yang sama dan sukarela (tidak
ada
keterpaksaan
dan
pemaksaan),
untuk
berdebat
dan
meraih
kompromi.Setelah itu kompromi harus dipatuhi, dan setiap pelanggaran kompromi harus dijatuhi hukuman secara imbang dan adil. Dengan kata lain, setelah kompromi dicapai haruslah diikuti dengan penegakan hukum. Permasalahan kebijakan publik sendiri akhimya berkaitan dengan keputusan seperti apa yang seharusnya tepat untuk ditetapkan sebagi bentuk perwujudan kebijakan yang ideal. Peran strategis dalam kebijakan yang ideal mengacu pada tiga ukuran:
23
1) Tujuan yang ditetapkan: memberdayakan masyarakat agar mampu mencapai keinginannya secara individual tanpa menggantungkan sepenuhnya kepada pemerintah. 2) Mengacu pada konteks tantangan saat ini dan yang akan datang sehingga melahirkan kebijakan yang lebih kokoh dan representatif. 3) Sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang dimiliki sehingga sesuai dengan prinsip manajemen yaitu optimalisasi sumberdaya. Pertanyaan yang muncul dari landasan teori di atas adalah sudahkah kebijakan publik itu mengakomodir semua sifat dari kebijakan ideal tersebut. Untuk itu menarik sekali untuk melihat bagaimana konsep kebijakan publik dapat dirumuskan sebagai pegangan dalam eksekusi kebijakan publik tersebut. Kita akan mengamati apakah proses kebijakan publik relokasi pedagang klithikan ke Pasar Klithikan Pakuncen sudah sesuai dengan konsep Kebijakan Publik yang ada, pendekatan yang digunakan serta bagaimana proses itu terbentuk secara formal atau secara riil. 2.2.1
Konsep Kebijakan Publik Secara etimologi, istilah kebijakan datang dari Yunani, Sansekerta, dan Latin.
Akar kata dalam bahasa Latin menjadi Politea (Negara) dan akhimya ke dalam bahasa Inggris Pertengahan Policie, berkenaan dengan pengendalian masalahmasalah publik atau adrninistrasi . Asal kata policy sama dengan kata lainnya police dan politiks (Dunn, 2003 : 49 ). Istilah Policy (kebijakan) seringkali penggunaannya
24
saling dipertukarkan dengan istilah-istilah seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan -ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar (Wahab,1990:11-12). Menurut Anderson (2003:2) kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud, yang ditetapkan oleh seseorang aktor atau sejurnlah aktor dalam mengatasi masalah atau persoalan. Kemudian menurut Lasswell dan Kaplan (1970:71 ), " ...policy as a projected program of goods, value and practises", artinya kebijakan itu menyangkut suatu program atau proyek, yang didalarnnya mengandung tujuan-tujuan, nilai dan tindakan praktis atau implementasinya. Sedangkan Thomas R. Dye (1972:1) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Jadi pilihan pemerintah membiarkan suatu masalah masyarakat atau juga dapat dikatakan kebijakan publik, tetapi hal ini dapat berdampak negatif pada masyarakat. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone (Winamo,2002: 15) bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai "hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya". Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Sedangkan Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai "serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensikonsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tertentu.
25
Dwidjowijoto (2003, 60-61) menuliskan kebijakan publik merupakan kontrak sosial antara penguasa dengan rakyat. Kebijakan Publik dibuat antara legislatif dan eksekutif jika tingkat kompleksitas permasalahan yang tidak mungkin dilakukan legeslatif sendiri. Kebijakan publik lebih sering dibuat oleh eksekutif saja. Dwidjowijoto (2003 :73) menyebutkan bahwa tahapan kebijakan publik yang pertama harus terdapat isu/masalah publik. Isu tersebut harus bersifat strategis, mendasar dan menyangkut banyak orang I kemaslahatan bersama. Isu tersebut akan menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik atau membuat hukum terkait isu tersebut. Tahap selanjutnya kebijakan itu dilaksanakandan dievaluasi. Namun dalam penelitian ini, hanya proses perumusan saja yang dibahas dalam pembahasan. Wibawa
( 1994: 5)
menuliskan
bahwa
proses
pembuatsan
kebijakan
berlangsung berbeda-beda tidak saja antar-sistem politik melainkan juga dalam sistem politik yang sama. Perbedaan antarsistem politik sudah jelas adanya. Sementara itu, dalam sebuah sistem politik, suatu kebijakan mungkin dibuat melalui proses yang berbeda dengan kebijakan yang lain, walaupun aturan mainnya yang legalkonstitusional sebenamya sama. Oleh karena itulah maka sebagian orang lebih suka menjelaskan proses pembuatan kebijakan tidak dari sudut formalnya melainkan dari sudut proses riilnya. Wibawa ( 1994: 13) menuliskan bahwa setiap sistem, termasuk sistem politik, hanya ada jika di dalarnnya berlangsung antar-hubungan yang saling bergantung dan mempengaruhi dari beberapa komponen atau unsumya. Adapun komponen-
26
komponen dari sistem politik atau sistem kebijakan adalah : tindakan (action), pelaku (actors),dan orientasi nilai (value orientation). Sementara itu antar hubungan dari keseluruhan komponen tersebut berproses secara resiprokal sehingga membentuk pola sistemik sebagai berikut : input-proses-output-feedback. 2.2.2
Pendekatan Kebijakan
Pendekatan sosiologis seperti ditulis Parson (2005: 97) menyebutkan bahwa problem adalah "fakta" dan bisa diukur dan ditangani secara "ilmiah": menganalisis sebab berarti memecahkan masalah. Problem sosial adalah sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan mereka yang menyimpang dari ekspektasi perilaku normal dapat dipakai untuk mendefinisikan apa-apa yang bisa diterima dan yang tidak - yang baik dan yang buruk. Persoalannya adalah bagaimana cara menjaga agar tingkat penyimpangan itu berada dalam skala yang tidak sampai mengancam ketertiban sosial. Dalam hal ini bagaimana keadaan pedagang klithikan dikelolan sehingga tidak menjadi ancaman sosial bagi masyarakat sekitar di mana mereka berdagang. McCombs dan Shaw, 1976 dalam Parson (2005:115) menuliskan bahwa media berperan penting dalam menentukan agenda. Media mempengaruhi pandangan publik terhadap isu yang dianggap penting. Semakin besar perhatian yang diberikan kepada sebuah isu, semakin besar kemungkinan publik menganggapnya sebagai agenda penting, dan sebaliknya. Pemerintah Kota menyadari hal itu sehingga dalam pelaksanaan relokasi pedagang klithikan peran media dimanfaatkan untuk membuat isu relokasi sebagai agenda penting. Cara pemerintah menangani dan menghadapi isu
27
merupakan faktor kunci dalam membentuk basis legitimasi di dalam sistem politik. Dari legitimasi itu, tindakan bisa muncul. Karena itu isu hams mendapatkan perhatian publik, legitimasi dan perhatian pemerintah agar isu itu memunculkan tindakan publik. Pendekatan gaya kebijakan merupakan kontribusi penting untuk alat analisis kebijakan karena pendekatan ini memberikan kerangka yang sederhana tapi efektif untuk membandingkan komunitas-komunitas kebijakan baik itu di dalam maupun di luar maupun diantara sistem-sistem politik. Namun sebaliknya kurang menyakinkan untuk menjelaskan apa yang dilakukan Pemerintah dan apa efek tindakan itu (Parson, 2005 :190). Model kelompok sebagaimana ditulis Wibawa (1994:9) merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan yang di dalarnnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negosiasi, dan kompromi. Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing di
antara kelompok-kelompok yang
berpengaruh dikelola dengan cara ini. Masih dari Wibawa, sebagai hasil persaingan antara kelompok kepentingan, kebijakan negara pada hakekatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentinagn masing-masing pada suatu waktu. Agar supaya pertarungan ini tidak bersifat merusak, maka sistem
28
politik berkewajiban untuk mengarahkan konflik kelompok. Cara yang bisa ditempuh adalah: 1) Menetapkan
aturan
mam
bagi
kelompok-kelompok
yang
memperjuangkan kepentingan mereka 2) Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan 3) Menuangkan kompromi-kompromi tersebut sebagai kebijakan publik 4) Melaksanakan apa yang telah dikompromikan tersebut. Kebijakan juga diartikan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu, seraya mencari peluangpeluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan, sebagaimana diungkapkan Frederick dalam Wahab (1991:13). Dalam pengertian ini usulan kebijakan tidak hanya berasal dari pembuat kebijakan (pemerintah) tetapi dari kelompok yang ingin agar statusnya diperhatikan seperti halnya keberadaan pedagang klithikan yang merasa tidak aman dan nyaman berdagang di lokasi yang sudah dilarang dalam Perda 26/2002 tentang Penataan PK5. Bila diringkas kurang lebih proses perumusan kebijakan seperti tergambar dari bagan berikut.
29
lsu di masyarakat (masalah, aspirasi,dll)
o) Kebijakan baru dan masalah baru
IT)
Pemerintah menangkap isu kebijakan dan membentuk tim perumus Kebijakan publik
Merumusk an naskah akademik
IT)
~
IT)
Merumusk an draf kebijakan
Diskusi publik
B
c4
Diskusi An tar Din as terkait
Sumber: Dwidjowijoto (2006 :Ill) Gambar 1. Proses Perumusan Kebijakan
Menurut Carrol dan Johnson (1990: 16) dalam Wayne Parson (2005) menyebutkan dalam setiap kebijakan sangat perlu menyusun kerangka kebijakan yang berguna untuk studi empiris yaitu : •
Recognation : Pengenalan yaitu siapa yang mengetahui persoalan? Apa yang harus terjadi untuk hal ini agar bisa dilabeli sebagai sebuah problem keputusan?
•
Formulation : Perumusan yaitu siapa yang terlibat dalam pendefinisian problem? Bagaimana ia dibedakan dari problem yang lain? Apa tujuannya dan tujuan yang mana yang muncul?
•
Alternative Generation : Penciptaan alternatif yaitu darimana alternatif berasal? Mengapa penyaringan alternatif berhenti?
30
•
Information research : Penggalian informasi yaitu seberapa banyak informasi dikumpulkan dan oleh siapa? Apa jenis informasi yang dicari? Bagaimana menggunakannya ?
•
Evaluation /Choice : Apa jenis penilaian yang dipakai? Dipakain oleh siapa? Apa jenis pengetahuan yang digunakan? Asumsi apa yang dibuat?
•
Action/Feedback : Apa yang terjadi setelah keputusan diambil? Siapa yang mendapat umpan balik (feedback)? Dari proses uraian di atas penulis hanya akan menfokuskan pada proses
perumusan kebijakan. Bagaimana isu itu muncul, bagaimana perumusan kebijakan dibuat dan manajemen konflik yang dilakukan pemerintah sehingga relokasi tidak terjadi kekerasan antara aparat dengan pedagang yang akan penulis bahas dalam penelitian ini. Setiap kebijakan seharusnya menggunakan pendekatan manajemen sehingga tercipta peningkatan efisiensi, efektivitas dan perbaikan perekonomian sektor publik dengan menggunakan teknik-teknik yang pernah dianggap sebagai teknik yang cocok bagi sektor yang dihadapi. Pemerintah Kota Yogyakarta belajar dari pengalaman relokasi yang pemah dilaksanakan sehingga menyusun manajemen yang lebih baik untuk mengantisipasi penolakan kebijakan yang dibuat. Tindak lanjut dari suatu kebijakan juga dipikirkan agar kebijakan tersebut tidak dipandang sebagai kebijakan yang setengah hati.
31
Kebijakan mungkin sukses pacta level simbolik, tetapi gagal dalam prakteknya. Hal ini terlihat dalam relokasi pedagang buah dan sayur dari Shopping Center ke Pasar Giwangan. Secara fisik mereka telah direlokasi tetapi dalam praktek ekonomi, mereka terpuruk dan bahkan tersingkir karena kalah bersaing dengan pelaku baru. LSM mendesak dan memikirkan agar relokasi pedagang klithikan yang akan diformalkan tidak seperti dulu lagi. Kita tidak boleh terjebak dalam simbol. Kita harus lebih mengutamakan nilai peningkatan pendapatan yang akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
2.2.3
Proses Kebijakan Publik Memahami proses dan prospek kebijakan publik adalah sebagai berikut
1.
Perumusan masalah yang menghasilkan penyusunan agenda
2.
Forecasting yang akan menghasilkan formulasi kebijakan
3.
Rekomendasi kebijakan yang hasilnya berupa adopsi kebijakan.
4.
Monitoring kebijakan yang merupakan implementasi kebijakan
5.
Evaluasi kebijakan yang merupakan penilaian kebijakan.
Dalam penelitian ini difokuskan pacta point 1. sampai dengan point 2. Adapun tahapan agenda setting merupakan tahapan penting dalam kebijakan publik yang merupakan syarat untuk menjadi kebijakan. Sedangkan dalam tahapan formulasi merupakan perumusan altematif kebijakan dalam mengatasi masalah dan menyajikan kemungkinan masalah I kendala yang akan terjadi dalam pencapaian di masa akan datang. Dalam hal ini manajemen konflik masuk dalam tahap ini.
32
Winamo (2002, 100) menuliskan bahwa dalam membicarakan perumusan kebijakan publik adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan. Dalam tahap ini maka mengetahui siapa yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik merupakan sesuatu yang esensial. Hal ini karena siapa aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik akan menetukan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan. Bagaimana masalah publik didefinisikan akan sangat bergantung pada siapa yang merumuskan kebij akan tersebut dan pada akhimya, akan menetukan bagaimana kebijakan publik tersebut dirumuskan. Menurut Wahab (1990 :29) sedikitnya ada empat golongan atau tipe aktor yang terlibat yakni : golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis. Golongan reformis mempunyai ciri-ciri utama dalam melakukan pilihan altematif kebijaksanaan mereka selalu menempuh metode dengan langkah-langkah berikut : 1) mengidentifikasi masalah; 2) merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu; 3) mengidentifikasikan semua altematif kebijakan; 4) meramalkan
atau
mempredeksikan
akibat-akibat
dari
tiap
altematif;
5)
membandingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan; 6) dan memilih altematif terbaik. Golongan teknis umurnnya menunjukkan rasa antusiasme dan rasa percaya diri yang tinggi apabila mereka diminta untuk bekerja dalam batas-batas pendidikan
33
dan keahliannya, namun cenderung enggan untuk melakukan pertimbanganpertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas keahliannya. Golongan inkrementalis meragukan bahwa sifat yang komprehensif dan serba rasional itu merupakan sesuatu yang mungkin dalam dunia yang amat penuh dengan ketidak
sempumaan.
Golongan
ini
memandang
tahap-tahap
perkembangan
kebijaksanaan dan implementasi sebagai suatu rangkaian proses penyesuaian yang terns menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat maupun yang berjangka panjang) dari suatu tindakan. Kebijakan apapun bagi golongan ini akan dilihat sebagai perubahan yang terjadi sedikit derni sedikit (gradual changes). Golongan reforrnis (Pembaharu) mengakui akan terbatasnya informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses kebijakan, sekalipun berbeda dalam cara menarik kesimpulan.
Golongan ini sependapat dengan David Easton yang
menyebutkan bahwa kita harus menerima sebagai kebenaran akan perlunya mengarahkan diri kita langsung pada persoalan-persoalan yang berlangsung hari ini untuk memperoleh jawaban singkat dan cepat dengan memanfaatkan perangkat analisis serta teori-teori mutakhir yang tersedia, betapapun tidak memadainya perangkat analisis dan teori-teori tersebut. Dengan demikian, tekanan perhatian adalah tindakan sekarang, karena urgensi persoalan yang dihadapi. Bagaimana Pemerintah Kota Yogyakarta mendefinisikan persoalan kebijakan sektor informal yang pada akhimya muncul kebijakan Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen dengan berbagai aktor yang terlibat serta kepentingan
34
dan nilai yang diperjuangkan sebagaimana tertulis di atas bahwa unsur kebijakan adalah aktor, nilai dan kepentingan yang ada. "Belajar dari pengalaman" adalah moto yang harus menjadi semangat setiap lembaga untuk dapat melayani lebih baik sebagaimana diungkapkan Karl Popper dan Model Rekayasanya sedikit demi sedikit.Dijelaskan oleh Popper bahwa kemajuan sosial bukanlah akibat dari perubahan besar atau total, tetapi sebagai akaibat dari siklus trial and error sebagaimana yang telah dilaksanakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menangani Reloksi Pedagang dari Shopping Center ke Pasar Giwangan (2004) dan Relokasi RPH di Ngampilan ke RPH Giwangan (2005) yang masih ada sedikit konflik. Hal senada diungkapkan oleh Roscie Pound (Popper, 1969:4, 69, 83) dalam Parson (2005 : 50) dengan "Rekayasa sosial sedikit demi sedikit " atau disebut
piecemeal social engineering. Popper percaya bahwa masyarakat liberal (masyarakat terbuka) merupakan masyarakat dimana argumen dan penyesuaian rasional bisa menyediakan metoda pemerintahan ketimbang skema uthopian yang menurut Proper berdasarkan catatan sejarah merupakan masyarakat yang tragis dan penuh kekerasan. Karena itu pembuat kebijakan sebagai pemecah masalah ilmiah harus diberi semangat eksperimen, keterbukaan dan kritik. Metoda belajar dari pengalaman selangkah demi selangkah ala properian merupakan teori keputusan yang menekankan sifat "iteratif' dari pendekatan trial and error. Pemerintah Kota Yogyakarta banyak belajar dari pengalaman relokasi yang telah dilakukan dan membuat antisipasi agar konflik tidak muncul atau dapat dikendalikan.
35
2.3
Kebijakan Publik Terkait Sektor Informal
Subarsono ( 2006:91) menyebutkan kebijakan altematif terhadap sektor informal menumt McGee dan Yeung (1977) ada tiga model yaitu kebijakan relokasi, kebijakan stmktural, dan kebijakan edukatif. Kebijakan relokasi didesain untuk mengatur pola lingkungan yang pantas bagi beroperasinya sektor informal di perkotaan. Contoh yang jelas bagi kebijakan ini adalah sektor informal dilarang beroperasi di suatu tempat tertentu atau pernindahan sektor informal dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain seperti yang terjadi pada pedagang klithikan di Jalan Mangkubumi, Alun-alun Kidul dan Asem Gedhe direlokasi ke Pasar Pakuncen agar lebih tertata dan akan menjadi icon wisata bam di daerah bagian barat Kota Yogyakarta. Hal ini sejalan dengan PERDA 26/2002 tentang Penataan PKL yang mulai intensif dilakukan sejak tahun 2003. Dalam PERDA tersebut hanya daerah tertentu yang boleh untuk usaha PKL dan hams mempunyai ijin dari Pejabat yang ditunjuk. Sedangkan kebijakan struktural adalah adanya regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi mang gerak mereka atau aturan-aturan yang mengikat sesuai keberadaan mereka. Seperti Kebijakan Makro terkait ekonomi makro dan stmktur keadilan ekonorni nasional, Kebijakan Proteksi Ekonomi yang cendemng melidungi sektor formal sehingga perkembangan sektor informal tidak terkendali, Kebij akan Ekonorni Kerakyatan yang mempakan cara tercepat dan termudah untuk menciptakan pekerjaan bagi orang rniskin, serta Kebijakan Formalisasi Sektor
36
Informal yang bermaksud memberikan status legal terhadap aset yang dimiliki pelaku usaha sektor informal merupakan contoh dari kebijakan regulasi. Adapun kebijakan edukatif dilakukan dengan adanya pelatihan manajemen, peningkatan skill atau metoda pengolahan produksi yang lebih modem ataupun pengorganisasian lembaga sektor informal agar lebih dapat eksis dan adanya peningkatan pendapatan. Pembinaan dan pelatihan skill dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mendukung pengembangan sektor informal. Hidayat (1978:66) menuliskan relevansi pengembangan sektor informal sesua1 dengan strategi pembangunan yaitu sebagai penyerapan tenaga kelja, menaikkan taraf hidup golongan ekonomi lemah, menampung migran di kota dan memberi kontribusi pendapatan regional. Sayangnya unit usaha sektor informal tidak tercatat dalam lembaga yang bertugas mengumpulkan data karena tidak berijin. Hal ini berakibat bila ada bantuan pemerintah yang bertujuan membantu golongan ini tidak dapat terjangkau. Sehingga proses mempertinggi kesempatan kelja dan percepatan perataan pendapatan keluarga terhambat. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Burger. Burger (1985:14) menuliskan " one of the most serious errors in dealing with the informal sector , partly related also its definition, is the assumption that, because it is possible to talk about the informal, it is also possible to formulate and implement policies toward the sector as whole. This reification of the concept obscures the essential diversity of the activities that it encompasses, and leads to almost certain failure, whatever the state policy objectives". Persepsi tentang sektor informal akan mempengaruhi bagaimana kebijakan tentang sektor ini dirumuskan. Kesalahan dalam mendefinisikan dan interpretasi
37
tentang sektor ini akan berdampak pada implementasi kebijakan yang diterapkan. Kemungkinan kesalahan pemerintah daerah dalam menata sektor informal yang di dalarnnya kebanyakan pedagang kaki lima adalah anggapan mereka sebagai hambatan yang harus disingkirkan.
Etika bukan hanya sekedar memperbincangkan
masalah baik buruk tetapi lebih pada keharusan setiap individu untuk bertanggung jawab atas apa yang diperbuat. Secara etis kebijakan sektor informal memperlihatkan adanya usaha untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam bidang ekonomi agar mereka dapat meningkatkan pendapatan. Pemerintah Kota Yogyakarta menyadari keterbatasan dalam menyediakan lapangan kerja sektor formal sehingga kebijakan sektor informal menjadi perhatian khusus pada masa akhir jabatan Walikota Herry Zudianto periode (2002-2006). Pemberian bantuan kredit lunak kepada kelompok usaha kecil , pemberian pinjaman tenda untuk PKL, pemberian gerobak jualan bekerja sama dengan pihak ketiga serta kebijakan relokasi pedagang klithikan ke Pasar Klithikan Pakuncen. Seluruh kebijakan tersebut tidak asal dibuat tetapi dirancang berkesinambungan untuk kualitas pelayanan yang lebih baik. Dari Landasan Teori di atas diharapkan menjadi dasar pemahaman dalam menunjang keberhasilan suatu kebijakan. Sehingga penulis akan mudah dalam pembahasan baik mengenai identifikasi aktor yang terlibat, bagaimana komunikasi serta mekanisme ''feed back" yang berlangsung serta dinamisasi proses yang berkesinambungan dalam suatu struktur. Untuk itu Metodologi Penelitian yang akan diuraikan pada Bab III akan membatasi penelitian ini sehingga fokus dari
38
Pembahasan akan tercapai dan analisa yang didapatkan berdasarkan metodologi penelitian dalam Bab III berikut ini.
39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengantar Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, dan menganalisis tentang studi kasus kebijakan relokasi pedagang klithikan. Pada umumnya kebijakan relokasi selalu ditengarai dengan penolakan atau benturan fisik antara pedagang dengan aparat. Namun yang terjadi di relokasi pedagang klithikan adalah lain. Inilah yang ingin digali penulis. Hal apa yang menjadikan kasus ini lain dengan yang terjadi di daerah lain. Dengan demikian akan dapat dideskripsikan studi kasus relokasi pedagang klithikan ini sehingga dapat menjadi acuan bagi pemerintah kota dengan kebijakan relokasi yang akan datang pada khususnya dan bagi pemerintah daerah lain yang dapat mengambil pelajaran dari studi kasus ini.
3.2 Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, pendekatan yang digunakan adalah studi kasus ( case study ) dalam hal ini kasusnya adalah Relokasi Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen Kota Y ogyakarta yang cukup sukses tanpa kekerasan fisik meskipun pada awalnya terjadi penolakan, terutama pedagang yang tersebar di jalan Mangkubumi, namun tidak ada penolakan pada pedagang di Jalan Asem Gedhe dan Alun-alun Kidul yang akan direlokasi. Singarimbun dan Effendi (1995:4-5:4-5) menuliskan bahwa pendekatan deskriptif
dapat
diartikan
sebagai
pendekatan
40
yang
dilakukan
dengan
mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Hal tersebut dicoba dengan merumuskan konsep mengenai fenomena yang diteliti, sehingga akan mendekati proses penelitian yang dinamis. Metoda pendekatan deskriptif kualitatif merupakan sebuah proses investigasi. Secara bertahap berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengelompokkan objek studi. Peneliti memasuki dunia informan dengan melakukan interaksi terns menerus dengan informan dan mencari sudut pandang informan (Creswell dalam Patilima, 2004:67) Dengan demikian, penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran interaksi dan kelompok. Hasilnya nanti didapat pemahaman secara mendalam pula (Patilima, 2004: 67) Dengan mengacu pada tujuan penelitian yang berusaha menjelaskan bagaimana perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, maka dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan secara rinci dan menyeluruh bagaiman formulasi perumusan kebijakan sehingga relokasi dapat dilaksanakan dengan baik, siapa yang berperan dalam proses relokasi dan usaha antisipasi apa yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta.
3.3.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta dan sumber
informasi berasal dari
baik eksekutif, legeslatif maupun stake holders lain yang
41
terlibat dalam perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan dan sangat terkait dengan perkembangan situasi politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi. IMPLA W merupakan salah satu stake holders yang terlibat dalam memberi perkuatan pemberdayaan bagi pedagang klithikan yang menjadi nara sumber mewakili pedagang.
3.4 Sumber Data Penelitian ini pada hakekatnya lebih menekankan pada metoda deskriptif kualitatif dengan cara interpretasi terhadap data, fakta dan informasi yang telah dikumpulkan melalui pemahaman intelektual dan pengalaman empiris. Sumber data dalam penelitian terbagi dalam 2 bagian yaitu : 1. Data primer, dapat diperoleh secara langsung di lapangan melalui pengamatan dan wawancara. Penelitian ini menggunakan wawancara terbuka dengan menggunakan panduan wawancara agar tidak keluar dari topik dan masalah penelitian. Pemilihan informan secara purposive dilakukan mengingat tujuan penelitian ini hanya studi kasus. Unsur Pemerintah yang dijadikan sebagai informan adalah: a) Walikota I Wakil Walikota Kota Yogyakarta b) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Yogyakarta. c) Kepala Dinas Perdagangan Industri dan Koperasi Kota Yogyakarta
42
d) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta Sedangkan unsur selain Pemerintah adalah : Stakeholder lain yang Klithikan.
terkait dengan Relokasi
Pedagang
Dalam hal ini peneliti hanya mengambil dari
IMPLAW yang merupakan LSM yang menjadi mediator bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Paguyuban Pedagang Klithikan di tiga komunitas (Alun-alun Selatan, Jalan Asem Gede. Dan Jalan Mangkubumi). 2. Data Sekunder, data diperoleh melalui studi dokumentasi dan kepustakaan.(research library) serta kliping yang terkait dengan relokasi pedagang kaki lima serta laporan penelitian yang sudah ada dari sumber-sumber resmi yang dapat dipertanggungjawabkan.
3.5 Teknik Pengumpulan Data Sehubungan dengan penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara mendalam (in depth interview) atau interview bebas.Teknik wawancara itu sendiri merupakan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Peneliti mengeksplorasi data dari informan untuk memperoleh informasi atau data yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Selain
teknik wawancara,
studi dokumentasi
akan
dilakukan
untuk
memperoleh data tertulis dari berbagai dokumen relokasi dari berbagai sumber dinas atau instansi terkait yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti undang-
43
undang, peraturan pemerintah, kajian-kajian dari pemerintah, surat kabar, laporan rapat ( notulen rapat ) dan laporan penelitian. Data dokumentasi umumnya berbentuk verbal, yakni dalam bentuk tulisan, catatan ataupun uraian tentang suatu hal. 3.6 Teknik Analisa Data Penelitian ini menempatkan analisa data kualitatif sebagai penjelas dari data kuantitatif yang bersifat sederhana melalui data yang dapat diperoleh dari penelitian. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang dilakukan secara simultan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data "kasar" yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Teknik analisa dalam penelitian ini adalah : I. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan relokasi dirumuskan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan dasar-dasar pertimbangan yang melatar belakanginya. 2. Untuk mengetahui siapa saja yang berperan dalam proses relokasi atau penataan pedagang klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen.
44
3. Untuk mengetahui bentuk strategi yang dilakukan pemerintah Kota Yogayakarta sehingga pelaksanaan tidak teijadi gejolak yang mengarah kepada kekerasan. Sehingga akan melakukan analisa secara mendalam dan mendetail. Tahap ini merupakan pemberian makna atas data, baik yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara serta dari penelusuran dokumen. Analisis digunakan untuk memahami hubungan dan konsep dalam data sehingga tercipta hubungan yang dapat dikembangkan dan dievaluasi. Untuk memberikan gambaran stapa aktor yang terlibat dalam perumusan masalah, penulis akan mencari informasi di Instansi - Instansi yang terlibat dalam proses perumusan masalah, antara lain : a) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah b) Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi c) Dinas Pengelolaan Pasar d) Dinas Pemukimana dan Prasarana Wilayah e) Badan Pengelolaan Barang Daerah dan Instansi lain sesuai kebutuhan dari hasil wawancara sebelurnnya. Dari masing - masing Instansi tersebut akan didapatkan aktor - aktor yang terlibat dalam proses perumusan. Dengan cara mewancarai (indepth interview) terhadap aktor - aktor tersebut akan diperoleh data sejauh mana keterlibatan aktor dalam dalam proses perumusan, pandangan dan nilai - nilai serta kepentingan yang diperjuangkan.
45
Untuk data proses bagaimana perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta dibuat, penulis menggunakan data primer berupa pandangan, pendapat, nilai dan kepercayaan dari hasil wawancara informan.
Sedangkan untuk mencari tahu usaha-usaha apa yang dilakukan
Pemerintah dalam mengantisipasi gejolak yang muncul selain menggunakan data primer dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan juga menggunakan data sekunder berupa catatan hasil rapat, kliping koran dan dokumen perencanaan atau hasil Feasibility Study yang terkait dengan relokasi pedagang klithikan. Seluruh hasil analisis disusun secara diskriptif sistematis untuk menghasilkan kesimpulan dan saran. Untuk
lebih
memudahkan
memahami
kebijakan
yang
diambil
oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta, pada bab berikut ini akan dibahas terkait dengan Sejarah Singkat, Keadaan Wilayah serta Perekonornian Kota Yogyakarta. Karena hal tersebut pasti menjadi dasar landasan pertimbangan setiap kebijakan yang akan ditempuh.
46
BAB IV. KOTA YOGYAKARTA, KEADAAN WILAYAH DAN PEREKONOMIAN Pada BAB ini penulis akan menguraikan sejarah singkat, keadaan wilayah dan keadaan perekonomian Kota Yogyakarta . Hal ini penting karena akan mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Peran Visi dan Misi serta Skala Prioritas Pembangunan juga akan mempengaruhi kebijakankebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam studi kasus Relokasi Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen ini maka semua hal yang disebutkan di atas berpengaruh pada proses perumusan kebijakan tersebut. Pada Sub - sub Bah berikut akan diuraikan Sejarah singkat Kota Yogyakarta yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Kota Yogyakarta, Visi - Misi dan Skala Prioritas Pembangunan yang merupakan ruh organisasi Pemerintah Kota Yogyakarta, Geografi dan Demografi yang merupakan potensi dan keterbatasan Pemerintah Kota Yogyakarta serta Perekonomian Kota Yogyakarta yang menjadi orientasi utama dalam pengembangan wilayah Kota Yogyakarta. 4.1. Sejarah Singkat Kota Yogyakarta dan Perkembangannya Kota Yogyakarta yang dulunya bemama Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I ( Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini berdasarkan Perjanjian Giyanti ( 1755 ) yang membagi dua Kerajaan Surakarta - Yogyakarta. Pendirian Kota dirancang sebagai Kota lstana
47
Kerajaan atau Kuthanegara atau Negeri dengan mendirikan pusat pemukiman di luar Kraton yang sekaligus menjadi warga Yogyakarta pada masa awal. Konsep pembangunan Negeri dengan sumbu lokasi bangunan yang menghubungkan Parangkusumo - Panggung - Krapyak - Kraton - Tugu disebut "Poros Imaginer" menjadi awal arah pertumbuhan kota yang disusul dengan arah Timur - Barat ketika jaringan transportasi berkembang sejak abad ke - 19 (Handayani, 2007:22) Sekarang, Kota Yogyakarta memiliki beberapa predikat, antara lain sebagai Kota Peijuangan, Kota Pelajar, Kota Budaya, dan Kota Wisata. Apabila kota Yogyakarta dikembangkan sesuai dengan predikat-predikat tersebut serta dikelola dengan baik, diharapkan akan berdampak positifpada kesejahteraan masyarakatnya. Sebagai
Kota
Budaya,
Yogyakarta
adalah
kota
yang
memiliki
keanekaragaman seni dan budaya yang sampai saat ini masih tetap hidup di tengahtengah masyarakat. Keunggulan tersebut menjadikan Kota Yogyakarta banyak dikunjungi
wisatawan.
Pengembangan
kepariwisataan
di
Kota
Yogyakarta
mengedepankan konsep pariwisata yang berbudaya mengingat begitu besamya potensi budaya. Selain itu, potensi obyek wisata, sarana prasarana yang memadai, serta letak geografis yang strategis merupakan aset yang jika dikelola secara baik dapat mendukung keberadaan Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata yang terkemuka. Kepariwisataan di Kota Yogyakarta merupakan salah satu lokomotif perekonomian daerah, sehingga potensi dan peluang pariwisata senantiasa terns
48
dikembangkan dan ditingkatkan keberadaannya. Titik berat pengembangan potensi dan peluang pariwisata adalah pada pariwisata yang berbasis budaya. Salah satu inovasi yang dilakukkan adalah menciptakan pusat wisata khusus sehubungan dengan pedagang klithikan. Maka dibangunlah Pasar Klithikan Pakuncen yang akan menjadi ikon wisata pusat barang antik dan barang bekas berkualitas. Selain sebagai ikon wisata, pembangunan tersebut bertujuan sebagai penataan pedagang klithikan serta untuk meningkatkan status legal bagi pedagang yang tadinya tidak legal karena berdagang di tempat yang di larang peraturan. Dengan keberadaan Pasar Klithikan Pakuncen akan membantu mengembangkan potensi kawasan di Pakuncen.( Sambutan Walikota dalam Tasyakuran Pembukaan Pasar Klithikan Pakuncen pada tanggal I 011-2007). Pasar Klithikan dimasukkan dalam daftar Obyek Wisata. Berkembangnya kepariwisataan di Kota Yogyakarta akan berperan besar dalam menentukan PAD yang diterima Pemerintah Kota Yogyakarta karena 31% dari PAD Kota Yogyakarta merupakan PAD yang diperoleh dari sektor pariwisata. Dalam rangka melaksanakan berbagai program pengembangan sektor informal yang berbasis pada ekonomi kerakyatan maka kerjasama antara 3 (tiga) stakeholder yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting. Keterkaitan Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai fasilitator dan motivator sektor swasta dan masyarakat untuk dapat secara sinergi melakukan kegiatankegiatan yang berorientasi pada pengembangan sektor informal.
49
Dalam Penyusunan Feasibility Study (FS) Eks Pasar Hewan, 2005 disebutkan bahwa dinamika perkembangan Kota Yogyakarta bisa dilihat dari fungsi primer dan fungsi sekunder yang merupakan sekumpulan kegiatan yang berlaku dalam perkotaan. Keduanya berlaku sebagai faktor yang harus dikenali kegiatannya dalam menggerakkan peri kehidupan di perkotaan. Fungsi Kota Yogyakarta primer menurut hasil Feasibility Study (FS) Eks Pasar Hewan ( 2005) adalah : a. Sebagai pusat dari kedudukan dan kegiatan administrasi pemerintahan serta politik untuk Provinsi DIY dan pemerintahan daerah Kota Yogyakarta. b. Sebagai pusat orientasi kehidupan sosial budaya yang mencakup tataran wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah adrninistrasi. c. Sebagai pusat kegiatan perekonornian regional dari daerah-daerah yang mendukungnya (hiterland). d. Sebagai simpul komunikasi regional, dan e. Sebagai satuan fisik infrastruktural yang terkait dengan pertukaran jaringan regionalnya. Sedangkan untuk fungsi sekunder dari Kota Yogyakarta dapat dikenali dengan melihat: a. Sebagai wadah kegiatan ekonorni dan politik yang bersifat lokal. b. Sebagai wadah kehidupan sosial budaya masyarakat setempat c. Sebagai wadah kegiatan ekonomi skala lokal untuk mendukung keberadaan rumah tangga masyarakat.
50
d. Sebagai wadah satuan fisik infrastruktural lokal, tempat tinggal, tempat bekeija, dan tempat pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, tempat ibadah dan lokasi hiburan. Sehingga perkembangan Kota Yogyakarta dapat mempertimbangkan fungsi kota yang disebutkan di atas. Hal itu menjadi tujuan bagi kebijakan Penataan Pedagang Klithikan yang akan ditempatkan di Pasar Klithikan Pakuncen. Secara historis pusat Kota Yogyakarta berorientasi di sekitar poros Kraton Tugu dan jaringan jalan arah barat- timur yang melalui Tugu dan Kraton. Malioboro yang terletak pada poros tersebut merupakan salah satu pusat motor penggerak pertumbuhan. Proyeksi pertumbuhan tergambar dalam visi yang akan dicapai dengan rnisi yang dilaksanakan secara makro. Sehingga memaharni visi dan rnisi serta yang menjadi skala prioritas Pemerintah Kota Yogyakarta akan membantu mengetahui bagaimana kebijakan relokasiu dapat beijalan dengan baik sebagaimana pembahasan di bawah ini. 4.2. Visi dan Misi serta Skala Prioritas Kota Yogyakarta Visi dan Misi Kota Yogyakarta sangat mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Terkait dengan sektor informal sesungguhnya Pemerintah Kota Yogyakarta sudah berpihak kepada Pembinaan Sektor Informal. Hal itu terlihat dalam program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam memajukan sektor informal. relokasi pedagang klithikan ke eks Pasar Hewan Kuncen merupakan usaha
51
Pemerintah Kota Yogyakarta untuk melaksanakan skala prioritas pembangunan terkait dengan pengembangan sektor pariwisata dan pengembangan sektor jasa. Otonorni Daerah yang dilaksanakan Pemerintah Pusat mempengaruhi bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah sebagaimana disebutkan Bapak Heru (Ka KPPD yang dulu menjabat Kabid Ekonorni dan Sosial Bappeda Kota) "Hal lain yang mempengaruhi proses perencanaan suatu kebijakan adalah otonorni daerah yang melahirkan Pemilihan Kepala Daerah yang mempunyai visi dan rnisi tersendiri. Visi dan Misi Kepala Daerah ini akhimya digunakan sebagai dasar perencanaan oleh Bappeda. Padahal setiap Pemerintah Daerah sudah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Jangka Menengah dan Jangka Pendek. Berkaitan hal ini banyak kemudian perencanaan - perencanaan yang tidak dapat dilaksanakan. Bahkan perencanaan yang mendadak harus diadakan seperti yang terj adi pada Relokasi Pedagang Klithikan." ( Hasil wawancara tanggal 17 September 2008). Secara lebih rinci akan dipaparkan Visi dan Misi dan Skala Prioritas yang akan ditangani oleh Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai berikut.
4.1.1. Visi Kota Yogyakarta Visi suatu lembaga sangat mempengaruhi kinerja dari lembaga tersebut. Dalam RENSTRADA 2002 -2006
telah disusun visi untuk kurun waktu lima tahun
mendatang adalah sebagai berikut : "TeiWUjudnya hasil pembangunan dalam rangka menuju Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang berkualitas, pariwisata yang berbudaya, perturnbuhan dan pelayanan jasa yang prima, terciptanya masyarakat madani dan ramah lingkungan yang didukung oleh prinsip-prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsibilitas, konsensus/kornitmen, keadilan, kredibilitas, efektif dan efisien, akuntabilitas dan mempunyai wawasan ke depan" (PERDA 15/2002)
52
Dari visi tersebut terlihat Pemerintah Kota Yogyakarta ingin meningkatkan pariwisata dan pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima dengan prinsip partisipasi dan mempunyai wawasan ke depan. Hal ini terkait dengan program Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen Kota Yogyakarta. Pemerintah mempunyai keinginan untuk menambah ikon pariwisata dengan memajukan dan memusatkan pedagang klithikan dalam satu area. Maka terpilihlah Eks Pasar Hewan Kuncen sebagai tempat relokasi I penataan pedagang klithikan yang tersebar di Jalan Asem Gede, Alun-alun Selatan dan di Jalan Mangkubumi.
4.1.2. Misi Kota Yogyakarta Untuk mewujudkan visi RENSTRADA yang dirumuskan di atas dan mendasarkan pada kondisi, potensi dan kendala yang ada, maka misi Pemerintah Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut : 1) Mengembangkan sistem Pemerintahan Kota Yogyakarta berdasarkan prinsipprinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik untuk dapat melaksanakan
peningkatan pelaksanaan
pendidikan,
pariwisata,
pusat
pertumbuhan dan pelayanan jasa dan ramah lingkungan dengan didukung peran serta segenap komponen masyarakat. 2) Menciptakan birokrasi pemerintah yang mampu menjadi fasilitator, inovator, motivator dan mediator yang handal di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara.
53
3) Menjadikan aparat daerah sebagai regulator yang adil dalam penegakan hukum tanpa pandang bulu. 4) Menjadikan Pemerintah Daerah mampu mewujudkan pemulihan dan ketahanan ekonorni daerah. 5) Mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan pemberdayaan masyarakat. 6) Menjadikan kelembagaan dan aparatur daerah yang mampu menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai fihak dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Daerah. 7) Mewujudkan
keterpaduan
dan
pemanfaatan
potensi
daerah
untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. 8) Menyempurnakan sistem informasi pelayanan kepada masyarakat yang sederhana, jelas dan pasti, aman, terbuka, efisien, ekonornis, adil dan merata serta tepat waktu sesuai standar pelayanan dan didukung keikutsertaan masyarakat. Misi tersebut menggambarkan upaya Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai regulator dalam hal Penataan Pedagang dengan membuat PERDA 26/2002 dan petunjuk pelaksanaan PERDA tersebut. Pemerintah berusaha untuk menjadikan birokrasi yang mampu menjadi fasilitator, inovator, mediator dan motivator yang handal dalam kehidupan bermasyarakat. Kasus relokasi pedagang klithikan ini menuntut birokrasi dengan kriteria sebagaimana disebutkan di atas. Skala prioritas pengembangan kawasan Kota Yogyakarta juga mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga mengetahui skala prioritas Pembangunan Kota Yogyakarta dapat membantu kita memaharni kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
54
4.1.3. Skala Prioritas Pembangunan Kota Yogyakarta 2002 -2006 Pembangunan Kota Yogyakarta berdasarkan skala prioritas yang telah disusun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Adapun skala prioritas Pemerintah Kota Yogaykarta dalam RENSTRADA 2002 - 2006 sebagai berikut : 1) Meningkatkan Pendidikan, Pengembangan Pariwisata, Pusat Pertumbuhan dan Pelayanan J as a serta Pelestarian Lingkungan Hid up 2) Meningkatkan Kesatuan Bangsa dan Kerukunan Sosial 3) Mewujudkan Supremasi Hukum dan Pemerintahan yang Baik dan Bersih 4) Meningkatkan Kegiatan Ekonomi Daerah dan Jasa 5) Meningkatkan kesejahteraan Rakyat 6) Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan dan Aparatur Daerah 7) Meningkatkan Kapasitas Potensi Daerah 8) Meningkatkan Pelayanan Kepada Masyarakat. Dari skala prioritas terlihat bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta akan meningkatkan pengembangan
pariwisata
dengan
mengoptimalkan
potensi
wisata
serta
mengembangkan pusat pertumbuhan dan pelayanan jasa sebagai motor penggerak pertumbuhan dan pelayanan jasa dengan menetapkan pemanfaatan kawasan-kawasan dan pengembangan pusat-pusat saluran distribusi jasa dan perdagangan. Prioritas tersebut sesuai dengan program Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen dari lokasi di Jalan Asem Gede, Alun-alun Kidul dan di Jalan Mangkubumi.
55
Kawasan Pakuncen termasuk kawasan selatan - barat wilayah Yogyakarta yang akan dikembangkan sebagai pusat perdagangan barang bekas berkualitas dan barang antik dengan dibangunnya Pasar Klithikan Pakuncen. Pemerintah Kota Yogyakarta yakin bahwa Pembangunan Pasar Klithikan Pakuncen akan menyedot pariwisata dan menjadikan wilayah sekitar berkembang sebagaimana wilayah UtaraTimur yang berkembang sejak berdirinya Kota Yogyakarta. Keadaan wilayah dan kependudukan Kota Yogyakarta juga mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta karena hal itu merupakan potensi dan keterbatasan yang dimiliki.
Mengetahui keadaan wilayah dan
Kependudukan Kota Yogyakarta akan memudahkan kita memahami kebijakan yang telah diambil Pemerintah Kota terkait dengan Kebijakan Penataan Pedagang Klithikan.
4.3. Perekonomian Kota Yogyakarta
Pada beberapa tahun terakhir perekonomian di Indonesia belum menunjukkan pemulihan yang berarti setelah tetjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998, yang juga berimbas ke daerah. Kondisi tersebut, di
Kota Yogyakarta diperberat dengan
tetjadinya bencana gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006. Beberapa indikator ekonomi yang mendukung kondisi tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi yang belum optimal, tingkat pengangguran yang masih tinggi dan investasi yang belum maksimal ( Rencana Aksi Daerah Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Daerah, 2007).
56
Struktur
perekonomian
daerah
mencerminkan
sektor-sektor
yang
dominan/unggulan/strategis dalam perkembangan perekonomian daerah. Sektor unggulan tersebut dapat diketahui dari sumbangan sembilan sektor usaha dalam PDRB terhadap keseluruhan nilai PDRB, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 6. Struktur Perekonomian Kota Yogyakarta Tahun 2003-2006 Lapangan Usaha
Tahun 2003
2004
2005
2006
I.
Pertanian
0,7
0,6
0,5
0,5
2.
Pertambangan dan Penggalian
0,0
0,0
0,0
0,0
3.
lndustri Pengolahan
12,5
12, I
II ,8
11,3
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
1,4
1,4
1,4
1,3
5.
Ban gun an
6,5
6,9
7,0
7,6
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
25,2
25,2
25,5
25,8
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
16,7
18,2
18,2
18,4
8.
Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
14,3
14,0
14,3
13,5
9.
Jasa-jasa
22,7
21,8
21,3
21,7
100,0
100,0
100,0
100,0
Jumlah
Sumber : RAD Pertumbuhan Perekonom1an Kota Yogyakarta (Bappeda, 2007)
Berdasarkan data tersebut di atas, maka struktur perekonomian Kota Yogyakarta adalah sektor lapangan usaha yang berkaitan dengan jasa. Sektor unggulan pertama adalah Perdagangan, Hotel dan Restoran, selama empat tahun sumbangannya pada PDRB sebesar 25%. Sektor unggulan selanjutnya adalah Jasajasa, yang memberikan sumbangan pada PDRB sebesar 21% selama kurun waktu empat tahun. Sektor yang berkaitan dengan jasa tersebut apabila lebih dicermati ditarik oleh dua lokomotif utama dalam perkembangannya. Kedua lokomotif tersebut adalah pariwisata dan pendidikan.
57
Usaha yang dilakukan Pedagang Kaki Lima merupakan usaha Mikro dan Kecil yang belum masuk dalam hitungan diatas, karena mereka masih masuk sektor informal. Pemerintah Kota Yogyakarta berharap dengan relokasi status mereka akan menjadi formal dan akan menyumbangkan pada pertumbuhan perekonornian di Kota Yogyakarta. Sehingga Pemerintah Kota Yogyakarta serius mengagendakan relokasi pedagang klithikan agar mereka bisa masuk ke sektor formal yang akan disediakan fasilitas yang memadai. Harapan Pemerintah Kota Yogyakarta, pedagang klithikan akan meningkat kesejahteraannya setelah relokasi dilaksanakan. Penanganan sektor informal ada dua macam yaitu: secara langsung dengan pengaturan dan penyediaan alokasi ruang publik di perkotaan untuk lapisan pelaksanaan informal tersebut. Cara langsung ini, pemerintah daerah yang paling pantas melakukannya karena dia yang paling tahu persoalan yang dihadapi. Sebaiknya tidak sekedar "dibersihkan" karena hal itu harus dihindari. Jurnlah pedagang informal akan menciut hila struktur birokrasi, pemerintah dan kegiatan ekonorni berjalan selaras karena akan masuk ke sektor formal. Untuk sementara bagaimana menyediakan aset ruang publik; termasuk pasar tradisional untuk menampung pelaku usaha kecil. Sedangkan kebijakan tidak langsung adalah kebijakan ekonorni makro, pertumbuhan lapangan kerja yang luas dan produktif serta pengentasan sektor informal dengan kebijakan ekonorni makro yang memang butuh waktu yang lama. Keadaan ekonorni ini sangat mempengaruhi bagaimana kebijakan tentang sektor informal diambil, khususnya penataan PKL. Relokasi pedagang klithikan di
58
Jalan Mangkubumi, Jalan Asem Gede dan di Alun-alun Selatan merupakan implikasi dari keadaan perekonomian Kota Yogyakarta. Sebagai kota yang menjadi tujuan mengadu nasib bagi wilayah sekitar DIY dan Jawa Tengah sudah dapat dipastikan sektor informal berkembang sangat pesat. Dinamisasi penataan PKL sangat mewamai kegiatan birokrasi karena mereka tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Sangat menarik untuk dapat mengetahui bagaimana dinamisasi kebijakan relokasi dilihat dari aktor, nilai dan kepentingan yang diusung. Keadaan wilayah, visi dan misi serta skala prioritas dan keadaan perekonomian di Kota Yogyakarta sangat berkaitan erat dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah. Luas wilayah yang kecil dan sangat padat menuntut kejelian Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengembangkan wilayah - wilayah yang belum maksimal berkembang seperti wilayah Selatan - Barat bagian Kota. Perencanaan pembangunan Pasar Klithikan Pakuncen dan Penataan Pedagang Klithikan yang tersebar di Jalan Mangkubumi, Jalan Asem Gede dan di Alun-alun Kidul diharapkan akan memacu pertumbuhan wilayah tersebut sebagai ikon wisata baru.
4.4. Sejarah Pasar Klithikan 4.4.1. Klithikan di Jalan Mangkubumi Perdagangan
klithikan
dari
perempatan
Tugu
dan
sepanJang
Jalan
Mangkubumi mulai marak sejak terjadi krisis Moneter 1997 -1998. Mula - mula penduduk sekitar yang berdagang klithikan, tetapi karena kalah bersaing dan modal
59
yang terbatas sehingga lahan dijual kepada pendatang. Pendatang yang bermodal besar kemudian tidak hanya menjual barang bekas tetapi juga barang baru. Perparkiran kendaraan memakai badan memakai badan j alan sehingga mengganggu pengguna jalan lain apalagi ditambah arus lalu lintas yang melawan satu arah yang telah ditetapkan. Tanggapan pedagang atas rencana relokasi ke Pasar Pakuncen pada umumnya menolak, mengingat kenyamanan yang telah didapatkan dengan berdagang di trotoar jalan Mangkubumi. 4.4.2. Klithikan di Alun-alun Selatan
Ramainya pedagang klithikan yang menjual barang-barang bekas onderdil dan perabot rumah tangga sejak pagi hingga petang dimulai sejak krisis moneter 1997 1998. Pedagang mempunyai Paguyuban bemama Ngesti Rahayu yang beranggotakan 125 orang dan sampai saat relokasi masih ada dengan kegiatan pertemuan arisan. Tanggapan pedagang dapat menerima dan memahami kebijakan relokasi tetapi dibutuhkan legalitas dari Kraton yang dianggap merestui keberadaan pedagang di Alun-alun Kidul. Harapan pedagang atas rencana pemindahan adalah apromosi lokasi baru dan penataan lokasi berdagang di Pasar Pakuncen. Promosi dilakukan setahun sebelum pemindahan kepada pengunjung dengan melalui media massa. Harapan agar ada katagori yang jelas antara barang dagangan apabila dicampur dengan pedagang dari jalan Mangkubumi.
60
4.4.3. Klithikan di Jalan Asem Gede Pada umurnnya pedagang di lokasi ini merupakan pedagang klithikan yang dimulai sejak 1993. Dagangan digelar dari pukul8.30- 15.00 WIB, sedangkan waktu ramai pukul 09.00- 10.00 WIB. Organisasi informal dengan adanya pertemuan dan iuran yang dilaksanakan. Penghasilan rata -rata Rp. 20 - 30 ribu I hari. Jumlah pedagang mencapai 300 orang. Harapan pedagang pada umumnya berharap berdagang siang hari dan tidak mau dicampur dengan pedagang dari Jalan Mangkubumi karena klhawatir akan mematikan pasaran mereka. Artinya mereka dapat menerima relokasi ke Pasar Pakuncen nantinya. Memang sejak awal yang banyak tidak setuju dengan relokasi adalah pedagang dari jalan Mangkubumi. Tetapi dengan pendekatan yang intensif maka kelompok yang kontra makin sedikit jumlahnya. Pada Bab V berikut ini akan dibahas bagaimana Proses Perumusan Kebijakan berlangsung.
61
BAB V. PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN Pada BAB VI ini penulis ingin menjawab pertanyaan kedua yang ada dalam perumusan masalah. Yaitu bagaimana perumusan kebijakan relokasi dibuat. Pada bab ini akan dibagi dalam beberapa sub bab yang akan menganalisa tentang permasalahan yang dihadapi, penyusunan PERDA dan SK walikota yang menjadi payung hukum kebijakan, dan pendekatan, pengalaman relokasi dan altematif kebijakan serta peran - peran aktor yang terlibat dalam perumusan masalah. 5.1. Permasalahan Proses perumusan
kebijakan
relokasi
pedagang klithikan
merupakan
serangkaian kegiatan dan peristiwa yang saling terkait sehubungan dengan perkembangan Kota Yogyakarta, tuntutan masyarakat komunitas di lokasi pedagang klithikan beijualan dan pengembangan sektor pariwisata. Perkembangan Kota Y ogyakarta tidak dapat dilepaskan dari persoalan Rencana Tata Ruang Wilayah Yogyakarta sebagaimana hasil wawancara dengan Ir. Sudarsono, Ka Bid Tata Ruang Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta menuturkan: "Pertimbangan Walikota terhadap keberadaan Pasar Hewan Kuncen di tengah Kota sangat tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan Kota dan sangat mengganggu kesehatan lingkungan di sekitar Pasar tersebut. Hal lain yang menunjang adalah bahwa Tata Ruang Kota Yogyakarta bersifat fleksibel. Artinya Pemerintah Kota tidak mau Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah diatur secara rigid atau kaku. Hal ini disebabkan perkembangan Kota yang sangat dinarnis dan perlu wadah agar perkembangan tersebut nantinya sesuai
62
dengan keadaan dan kondisi yang ada saat itu. Hal ini memang tidak sesuai dengan Undang-undang 26 tahun 2007 tentang penataan Ruang dan aturan dalam RTRW yang harus mengatur tentang : a. b. c.
Kawasan-kawasan Rawan Bencana; Indikasi Program Lima Tahunan Penetapan Kawasan Strategis" (Hasil wawancara 20 Agustus 2008 )
Sejalan dengan itu muncul pernikiran bahwa keberadaan Pasar Hewan Kuncen di tengah Kota sudah tidak sesuai dengan perkembangan Kota Yogayakarta sebagai Kota Pariwisata. Pemikiran Pasar Hewan Kuncen untuk dikeijasamakan untuk hotel berbintang dan memindahkan lokasi pasar Hewan ke pinggir Kota untuk mendekati subyek dan obyek pelaku dengan
proses Keijasama Pemerintah Tingkat II
Kartomantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul). Pemerintah melihat keberadaan Pasar Hewan tidak sesuai dengan Perkembangan Kota. Hal di atas berbeda dengan pendapat
Bapak Sugeng (selaku Kabag TU
Disperindakop) yang tidak setuju kalau Kartamantul menyelesaikan kepindahan Pasar Hewan ke Sleman menyebutkan : "Pemindahan pasar Hewan ke Gamping tidak melalui Kartamantul tetapi langsung dengan Disperindakop Sleman yang menangani Pasar Hewan Gamping tersebut. Pasar Hewan direlokasi ke Kompleks Pasar Giwangan yang berdekatan dengan Pasar Induk Buah dan Sayur Giwangan. Realita di lapangan bahwa perkembangan Kota Yogayakarta sangat pes at ke arah utara dan timur. Sedangkan arah selatan dan barat belum ada magnet yang cukup dapat menggerakkan roda perekonornian sehingga mendorong perkembangan Kota Yogyakarta ke arah selatan dan barat. Pemikiran ini bertujuan untuk menciptakan perkembangan Kota Yogyakarta yang merata ke segala penjuru. Namun usaha itu terhenti di tengah jalan karena ada gempa burni yang cukup dahsyat melanda Kota Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Prioritas Pemerintah saat itu untuk mengatasi pasca gempa dan memulihkan kondisi perekonomian Kota Yogyakarta. " (Hasil wawancara tanggal 2 September 2008).
63
Hal yang lain disampaikan oleh Eddy Muhammad (Kepala Sub Dinas Penerangan Jalan Dinas Kimpraswil pada 2004-2007) di Badan Pengelolaan Barang Daerah selaku Ka Sub Bid Perencanaan Tekins diperoleh informasi bahwa : "Konsep penataan pedagang klithikan bermula dari Pemerintah Propinsi (2004) dalam hal ini dilakukan oleh Sub Dinas Cipta Karya Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Propinsi DIY yang merencanakan menata Alun-alun Selatan termasuk di dalamnya pedagang klithikan yang ada di lokasi tersebut. Perencanaan Kawasan Alun-alun Kidul menuntut pernidahan pedagang klithikan yang berada di Alun-alun Kidul tersebut. Pemerintah Kota Yogyakarta melihat bahwa keberadaan pedagang klithikan tidak hanya berada di Alun-alun Kidul saja tetapi tersebar di Asem Gede dan Jalan Mangkuburni." ( Hasil wawancara pada tanggal 6 Agustus 2008 ). Jelaslah bahwa alasan utama adanya penataan pedagang klithikan karena Pemerintahn Propinsi akan mengatur pedagang klithikan yang berada di Alun-alun Kidul. Pemerintah Kota dirninta untuk memindahkan pedagang tersebut. Berkaitan dengan keberatan warga sekitar lokasi usaha PKL klithikan yang merasa terganggu dengan keberadaan PKL klithikan, diungkapkan oleh Eddy M berikut ini : "Realita yang ada perkembangan pedagang klithikan di Jalan Mangkuburni sudah membuat tidak nyaman masyarakat penghuni Toko di Jalan Mangkuburni yang juga pembayar pajak besar di Yogyakarta yang merasa tidak aman jika keluar dari tokonya lebih dari jam lima sore (pukul 17.00 ). Pedagang klithikan sudah mulai menggelar dagangannya, kondisi di depan toko mereka ramai dengan pedagang dan pengunjung yang mulai berdatangan dan kesemrawutan parkir di jalur lambat maupun sebagaian jalur cepat." (Hasil wawancara pada tanggal6 Agustus 2008 ). Penghuni Toko bahkan memberi surat kuasa kepada suatu lembaga LSM untuk menyalurkan aspirasi mereka ke Pemerintah Kota. Mereka merasa sebagai
64
pembayar pajak yang besar keberadaannya di kalahkan dengan PKL yang tidak membayar pajak. Terkait dengan keberatan warga sekitar jalan Asem Gede dan Jalan Mangkubumi terhadap keberadaan PKL klithikan, Bernas 27 April (2004) menuliskan: "Berdasarkan hasil rap at bersama antara Paguyuban R W dengan LPMK Sosromenduran telah melakukan kesepakatan bersama yang intinya menyetujui relokasi PKL. Jika pertumbuhan PKL tidak dibina dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar dan Kota Yogyakarta. Ketua LPMK, drg Ristamaji berharap relokasi dan penertiban PKL membuat citra kota Yogyakarta di mata wisatawan semakin meningkat dan berdampak positifterhadap penambahan kunjungan wisata." Kompas 18 Oktober (2004) menuliskan : "Ide merelokasi klithikan dalam satu kawasan di Yogyakarta berawal dari keresahan masyarakat karena merasa dirugikan oleh keberadaan para pedagang klithikan yang semakin banyak di sepanjang Jalan Mangkubumi, yaitu dari ujung perempatan Tugu hingga gang Gowongan Kidul. Masyarakat mengeluhkan masalah sampah, kepadatan jalan, serta kesemrawutan parkir, keindahan di sana. Jalur ke luar masuk kendaraan masyarakat setempat terganggu oleh kesibukan transaksi klithikan."
Kedaulatan Rakyat 21 Oktober (2004) menuliskan: "Keberadaaan pedagang klithikan di Jalan Mangkubumi dinilai warga setempat sudah mulai mengganggu, sehingga meminta Pemkot untuk merelokasi. Salah satu lokasi untuk pedagang klithikan adalah eks Terminal Terban. Hal ini terungkap pada dialog antara Pemkot dan LPMK Gowongan dan Cokrodiningratan, sesepuh Pedagang Klithikan dan Perwakilan dari Kecamatan Jetis, Selasa malam (19110)." Pemerintah Kota kemudian mengkaitkan dengan keberadaan pedagang klithikan yang berada di Jalan Mangkubumi sebagai garis imaginer dari arah Merapi, Tugu dan Kraton Yogyakarta. Maka muncul ide mengembalikan Jalan Mangkubumi
65
sebagai bagian fasad Malioboro yang harus ditata kembali. Penataan Mangkubumi bertujuan
mengembalikan fungsinya sebagai bagian fasad Malioboro dengan
perencanaan penataan PJU dengan lampu so rot cahaya putih yang menggambarkan garis imajiner yang dimaksud ( untuk penerangan jalan di wilayah lain Kota Yogyakarta menggunakan PJU dengan lampu kuning). Namun realisasi program tersebut baru dianggarkan pada akhir tahun 2006 yang dilanjutkan dengan DED Fasad Mangkubumi dan pelaksanaan Fisik Pemasangan Lampu Sorot Cahaya Putih dengan Lampu antik cabang Tiga di sepanjang JL Mangkubumi menerus sampai dengan 11 Malioboro, JL Ahmad Yani sampai dengan Alun-Alun Utara. Tujuan Penataan Fasad Jalan Mangkubumi bertujuan agar ada kesinambungan bentuk fasad dari Malioboro yang terdiri dari 3 kelompok bentuk yaitu : lorong seperti pada jalan Malioboro, terbuka dan over stek. Bersamaan dengan hal itu, Dinas Lingkungan Hidup melaksanakan program Penataan Taman yang bermaksud agar pedagang yang sudah direlokasi tidak kembali ke lokasi semula. Sementara Dinas Perhubungan melaksanakan Program Penataan Parkir di Jalan Mangkubumi. Untuk sektor Timur jalan Mangkubumi diperuntukkan pedagang kuliner dengan parkimya sedangkan sektor Barat 1alan Mangkubumi dibebaskan dari Pedagang Kaki Lima dan Perparkiran. Sedangkan Bappeda dengan program Pergola yang direncanakan sepanjang jalan Mangkubumi sampai dengan Malioboro - Jalan Jendral Ahmad Yani. Cahaya putih yang direncanakan akan menerangi kegelapan di Jalan Mangkubumi karena lingkungan Jalan Mangkubumi terasa gelap dibandingkan dengan lingkungan lain di sepanjang jalan Malioboro dan
66
Jalan A Yani. Pada tahun 2008 pelaksanaan pemasangan lampu ini berlanjut di Jalan Malioboro. Proses formulasi kebijakan merupakan proses bottom up dengan adanya tuntutan-tuntutan dari LSM yang mendapat surat kuasa dari komunitas penghuni Toko di Jalan Mangkuburni dimana usaha PKL berlangsung, Komunitas Dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan pemindahan pedagang klithikan merupakan serangkaian peristiwa yang berawal dari tuntutan warga sekitar lokasi pedagang klithikan,
Perencanaan
Pemerintah
Propinsi
DIY,
program
Pernkot
untuk
mengembalikan Historis Garis Imajiner dan Perkembangan Kota yang menuntut kepindahan Pasar Hewan Kuncen serta optimalisasi Eks Pasar Hewan. Perumusan kebijakan yang " problem oriented" berusaha menyelesaikan apa yang dianggap menjadi masalah. Untuk itu menemukan apa yang menjadi inti permasalahan adalah hal yang penting dalam perumusan masalah. Kalau penulis berusaha memetakan masalah adalah sebagai berikut: Tabel 7. Permasalahan yang dihadapi No I. 2.
Masalah Urn urn Rincian
3.
Strategi I Inti
Aksi Relokasi Pedagang Klithikan Perkembangan Kota Yogyakarta Penataan Mangkubumi &Malioboro sebagai bagian garis imajiner Keberadaan Pasar Hewan Kuncen yang tidak menyehatkan Kota Optimalisasi Pasar Terban Ex Terminal Colt Penataan Parkir di badan jalan Mangkubumi dan Lalu lintas Penguatan sektor Pariwisata Penguatan sektor informal
67
5.2.
Penyusunan PERDA 26/2002 dan SK - SK Walikota
Kebijakan relokasi pedagang temyata merupakan peijalanan panjang dialogdialog yang telah dilaksanakan antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Komunitas Pedagang Kaki Lima. Walikota Syukri Fadholi mengadakan inspeksi mendadak ke sejumlah lokasi PKL dan mengadakan dialog langsung. Pemerintah akan menindak tegas enam bulan ke depan karena telah dilaksanakan sosialisasi, pembinaan dan penataan terkait pelaksanaan PERDA 26/2002. (Bernas, 25 Juli 2003). Menurut Benny sebagai Kasie Perdagangan Disperindakop Kota menuturkan : "Kebijakan penataan PKL merupakan win-win solution antara mengakomodir kepentingan pedagang dan memberikan hak pada pej alan kaki akan fungsi trotoir sebagaimana tertuang dalam UU 1411992 yang menyebutkan fungsi utama trotoir adalah untuk pejalan kaki. Hal ini dapat diartikan bahwa trotoir dapat difungsikan untuk hal lain seperti : pemberdayaan ekonorni kerakyatan untuk PKL dengan dibatasi koridor-koridor tertentu. Koridor tersebut adalah regulasi seperti PERDA 26/2002 dan petunjuk pelaksanaannya sampai dengan PERWAL 45/2007. Adanya SK Camat yang mengatur titik-titik trotoir yang diperbolehkan dimanfaatkan oleh PKL dengan metoda zero growth yaitu tidak memberi ijin tambahan bagi PKL barn merupakan koridor lain yang dimaksud". (Hasil wawancara 12-8-2008) Pelaksanaan penataan PKL dimulai dengan dibuatnya PERDA 26/2002 yang telah disahkan oleh DPRD Kota dan ditindak lanjuti dengan pembuatan Surat Keputusan Walikota untuk pelaksanaan PERDA tersebut. "Dalam proses pembuatan aturan hukum ini, pedagang disentuh tentang keberadaan mereka. Posisi mereka yang rata-rata pendatang dari daerah di sekitar Kota Yogyakarta. Bagaimana rezeki itu sebenamya diatur oleh yang Maha Kuasa sehingga usaha kita bagaimana mencari rezeki dengan tidak mendzolirni orang lain. Pemerintah Kota Y ogyakarta berfungsi untuk mengatur dan membuat regulasi hukum berkewajiban melindungi seluruh
68
warga di Kota Yogyakarta dan menata lingkungan Kota Yogyakarta sehingga tercipta lingkungan yang nyaman, aman, tertib dan bersih sebagaimana slogan Pemerintah kota YOGYAKARTA BERHATI NY AMAN (Bersih sehat indah dan nyaman)". (Hasil wawancara dengan Sukimo, S.H. pada tanggal 13 Agustus 2008).
Dialog ini
berlangsung formal
maupun non
formal
dengan waktu
menyesuaikan keadaan situasional. Proses dialog berlangsung siang baik di kantor Kalurahan ataupun Kecamatan maupun malam dengan cara lesehan di sekitar para pedagang menggelar dagangan mereka setelah proses jual beli berakhir. Setelah kesadaran akan posisi mereka tergugah dan terbentuk, mereka diajak berdialog untuk membuat aturan mereka sendiri yang terbaik seperti apa. Ketika mereka dirninta untuk membuat aturan yang sesuai dengan keinginan mereka, mereka meminta agar draft dibuat oleh Pemerintah Kota Yogyakarta karena mereka merasa tidak mampu. Proses dialog tetjadi lagi dengan pembahasan draft yang sudah dibuat oleh Pemerintah Kota Yogayakarta (Bagian Hukum dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi). Proses ini merupakan pendekatan sosiologis psikologis sebagaimana diinginkan Pemerintah agar tidak ada penyimpangan setelah ada aturan yang disepakati bersama. "Proses pembuatan aturan hukum ini bermula dari rancangan Perda nomor 26 tahun 2002 yang masih belum menyentuh kawasan klithikan jalan Mangkubumi. Artinya, pada awal pembuatan PERDA tentang Penataan Pedagang Kaki Lima kawasan Jalan Mangkumi masih wilayah abu-abu Secara bertahap kemudian aturan di jalan Mangkubumi- Jalan Ahmad Yani (termasuk Malioboro) mulai diatur secara rigid sesuai dengan perkembangan fisik dan situasional yang ada.( Hasil wawancara dengan Bapak Sukimo, S.H. tanggal 13 Agustus 2008.)"
69
Keterlibatan
obyek
kebijakan
dalam
perumusan
kebijakan
sangat
mempengaruhi proses implementasi kebijakan tersebut. Pemerintah Kota Yogyakarta menyadari hal itu. Sejak awal perumusan, aturan-aturan yang akan mendukung kebijakan relokasi pedagang klithikan sudah melibatkan komunitas pedagang klithikan. Mereka diajak serta dalam proses perumusan. Antara lain dengan diajak study banding ke daerah lain yang telah sukses maupun tidak sukses dalam melaksanakan penataan pedagang. Menurut Wuryanto (Staf Dinperindakop sampai dengan akhir 2007 dan sekarang Kasie Trantib Kalurahan Suryatmajan berdasarkan "Untuk melibatkan PKL dalam menyusun Petunjuk Pelaksanaan PERDA 26/2002 mereka diajak Study Banding ke Surabaya dan Bali selama 5 hari. Adapun Pengurus PKL yang diajak adalah Pengurus PKL Wilayah Lempuyangan, PKM (Paguyuban Kawasan Malioboro) serta PPKLY (Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta). Hal ini sangat membesarkan hati mereka karena mereka merasa diperhatikan oleh Pemerintah. Hal ini merupakan sumbangan psikologis yang memudahkan para PKL berpartisipasi menyusun Petunjuk Pelaksanaan PERDA tentang PKL. Adapun study banding di Surabaya untuk melihat bagaimana hila PKL ditata dengan kekerasan oleh Pernkot Surabaya karena tidak mau/melawan ketika dilaksanakan kebijakn relokasi. Sedangkan keberadaan PKL di Bali untuk melihat PKL yang ditata Pemerintah Bali dan suksesnya pedagang karena penataan tersebut." ( Hasil wawancara tanggal 28-8-2008). Dari basil studi banding tersebut proses dialog penyusunan PERDA Penataan PKL dan dilanjutkan SK- SK Walikota yang menjadi pedoman pelaksanaan PERDA berj alan lancar. Wuryanto menambahkan: "Peran Tim Penataan PKL yang beranggotakan Dinperindakop, Dinas Ketertiban, Bagian Hukum dan Camat di tiga wilayah ( Danurejan, Gedongtengen dan Gondomanan) merupakan ujung tombak Pemerintah Kota
70
Yogyakarta dalam rangka Penataan PKL. Kegiatan Tim dimulai dengan perumusan bersama dengan Paguyuban untuk membuat petunjuk pelaksanaan PERDA 26/2002 dengan cara berembug dengan wakil dari pedagang dari Paguyuban. Karena Paguyuban merasa tidak mampu membuat draft tersebut sehingga memberi kuasa kepada Tim Pemerintah untuk membuat draft tersebut. Pertemuan berikutnya membahas draft yang dibuat Pemerintah Kota dan memberi tambahan atau pengurangan sesuai aspirasi masyarakat pedagang kaki lima. Akhimya SK Walikota 88/2003 ditanda tangani pada tanggal 1 desember 2003. Setelah itu Tim Penataan PKL mulai intensif sosialisasi bekerja sama dengan wilayah Kecamatan masing-masing. Pada tahun 2004 sosialisasi Tahap II juga dilaksanakan di wilayah lain yang belum teijangkau pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penyusunan SK Walikota 84/2004 tentang PKL Berkendaraan dan SK Walikota 10/2004 tentang PKL Malioboro- Jalan A Yani dengan menggunakan metoda yang sama seperti yang lalu.SK Walikota 119/2004 mulai mengerucut mengatur tentang PKL Kawasan Khusus Malioboro-Jalan A Yani. SK terakhir ini kemudian diubah dengan PERWAL 115/2005 yang secara ketat mengatur keberadaan PKL Klithikan di Jalan Mangkubumi. PERWAL inilah yang mengantarkan pada relokasi pedagang klithikan ke Pasar Pakuncen." ( Hasil wawancara tanggal 28-8-2008). Kedaulatan Rakyat 16 Mei (2004) menuliskan "Masalah PERDA PKL sudah ditetapkan temyata masih menyimpan kontroversi. Forum LSM menyakini proses pembuatan PERDA PKL dulu kurang partisipatif dan tidak mengakomodir berbagai pihak." Usaha Pemerintah untuk melibatkan masyarakat, dalam hal ini komunitas PKL masih menuai protes sebagaimana diungkap Kedaulatan Rakyat 16 Mei (2004). Bagaimana komunitas yang diwakili PKL wilayah Lempuyangan, PKM (Paguyuban Kawasan Malioboro), serta PPKLY (Persatuan Pedagang Kaki Lima Yogyakarta) yang telah diajak Studi Banding ke Surabaya dan Bali belum dianggap mewakili partisipasi dari komunitas PKL. Kalau dilihat dari luas wilayah 14 kecamatan se Kota Yogyakarta,
memang
keterwakilan
yang
mereka
harapkan
belurn
dapat
mengakomodir keinginan dan kebutuhan mereka sebagai PKL. Inilah usaha
71
penyederhanaan partisipatif masyarakat dalam penyusunan kebijakan. Hal ini mengingat keterbatasan Pemerintah Kota melayani tuntutan pemenuhan kebutuhan PKL yang sangat beragam dan upaya penghematan energi ketika partisipasi yang terlibat dapat terwakili.
PERDA NOMOR 26 TAHUN 2002
SK WLKT 88 I 2003 Petunjuk Pelaksanaan PERDA 26/2002
SK WLKT 10/2004 PKL MalioboroJl A Yani
SK WLKT 84/2004 PKL berkendaraan
.J_L SK WLKT 38 I 2004 Perbh Lamp 1 SK WLKT 88/2003
PERWAL 141 I 2005 Perbh Kedua SK WLKT 88/2003
SK WLKT 119/2004 PKL kawasan khusus Malioboro- Jl A Yani
PERWAL 115/2004 Perbh SK WLKT
119/2004
PER W AL 45/2007 Petnjk Pelaksanaan PERDA 26/ 2002 SK KADINPERINDAKOP 57/2007 GOL JNS TMP USAHA & JNS DAGANGAN
SK CAMA T TH 2007 GOL JNS TMP USAHA & JNS DAGANGAN
Gam bar 2 Tata Kala Regulasi PKL
72
Kedaulatan Rakyat 25 Mei ( 2004 ) menuliskan : "Pemkot sudah selesai menata pedagang angkringan di Malioboro, termasuk tendanisasi. Pada pertemuan terakhir, pedagang angkringan bisa memahami langkah penataan Pemkot dan ada bukti otentiknya", kata Syukri Fadholi. Demo anti penggusuran dan menolak pemberlakuan PERDA 26/2002 di halaman DPRD (24/5) ditemui Wakil Ketua I Ir. Sukardiyani, M.M. yang menemui pendemo mengatakan bila memang PERDA 26/2002 menyengsarakan rakyat, bisa ditinjau kembali. Tetapi Pemkot tidak bisa begitu saja mencabut PERDA karena pada dasamya Pemkot diberi amanah untuk mengawal PERDA agar dilaksanakan begitu juga SK Walikota untuk panataan PKL merupakan tindak lanjut dari PERDA, demikian Syukri menambahkan. Konsistensi Pemerintah Kota dalam Penataan PKL sudah terlihat dengan serangkaian kegiatan penertiban PKL yang berusaha di pinggir jalan yang dilarang untuk usaha PKL. Penataan Angkringan Malioboro (Maret 2004), Penataan Lesehan Malioboro (Mei 2004), Penataan Pedagang Alun-Alun Utara (Juni 2004), Penataan Malioboro terkait dengan ketinggian dasaran (Juli 2004). Bernas 22 Juni ( 2004) menuliskan : "Wawali mengatakan : Penataan ini bukan berarti melarang tetapi mengatur agar terlihat rapi."
73
Tabel 8. Ringkasan Peraturan PKL NO.
PERATURAN
TENTANG
I
PERDA 26/2002
Penataan PKL
2
SK Walikota 88/2003
Petunjuk pelaksanaan PERDA 26/2002
3
SK Walikota 38/2004
4
SK Walikota 84/2004
5
SK Walikota I 0/2004
6
SK Walikota 119/2004
7
SK Walikota 115/2005
8
Peraturan Walikota 141 I 2005 Peraturan Walikota 45/2007
Perubahan Lampi ran Walikota I SK 88/2003 PKL Berkendaraan Motor Penataan PKL di Jl. Malioboro - Jl. A. Yani Penataan PKL Kawasan Khusus Jl. Malioboro - Jl. A. Yani Penataan PKL Kawasan Khusus Jl. Malioboro - Jl. A. Yani Perubahan kedua SK Walikota 88/2003 Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah 26/2002
9
HAL YANG DIA TUR Kegiatan usaha PKL dapat dilakukan di Kota Yogyakarta dan wajib memiliki ijin penggunaan Iokasi dan Kartu Identitas dari Walikota/ Pejabat yang berwenang. Lokas diijinkan yang PKL, Tata cara Pengajuan ijin, Ukuran dan Bentuk Peralatan Usaha, Waktu Kegiatan, Golongan , Jenis Tempat Usaha. Ada perubahan Lokasi yang kemudian dilarang untuk PKL PKL yang khusus berkemdaraan motor. Sisi barat Malioboro - A. Yani tidak boleh untuk PKL Angkringan Pariwisata Pengembangan Khusus menata kawasan
secara
Larangan Kegiatan usaha di Jl. Pasar Kern bang, Jl Abu Bakar Ali, Jl. Perwakilan, Jl Dagen, Jl. Beskalan dan depan prasasti/tetenger. Larangan berdagang pada lingkungan sekolah, tempat beribadah, perempatan. Jumlah pedagang yang menempati lahan berijin tidak bertambah jumlahnya. ljin bagi pedagang di jalan Mangkubumi sd 30 Oktober 2007 dan tidak dapat diperpanjang. Sejak tanggal 31 Oktober 2007 sisi barat Jalan Mangkubumi dilarang untuk PKL.
SK Walikota yang ada lebih dipertegas dengan SK Kadisperindakop dan SK Camat yang mengatur lokasi-lokasi yang diijinkan untuk usaha PKL. Adanya kebijakan tidak akan ada ijin baru bagi PKL kecuali tempat yang sudah ditinggalkan PKL terdahulu berdasarkan Surat Keputusan sebagai berikut:
74
Surat Keputusan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Yogyakarta Nomor 57 Tahun 2007 tentang Penetapan Golongan Jenis Tempat Usaha dan Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima Kota Yogyakarta. 1. Surat Keputusan Camat tentang Penetapan Golongan Jenis Tempat Usaha dan Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima di Kecamatan yang mengatur titik lokasi yang diijinkan untuk berjualan di lokasi masing-masing Kecamatan. Kewenangan ini dikonsultasikan dengan Disperindakop oleh Kecamatan supaya tercipta sinergi dalam pengaturan pedagang kaki lima. Koordinasi berlangsung hila ada masalah di lapangan. Penyusunan PERDA 26/2002 dan SK-SK Walikota ( Gambar 4. Tata Kala Regulasi PKL ) yang menjadi pelaksanaan PERDA memudahkan Pemerintah Kota untuk menata PKL selanjutnya. Peraturan- peraturan ini telah menjadi alat legitimasi terhadap penataan - penataan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota. Sehingga arah kebijakan relokasi pedagang klithikan makin jelas karena punya landasan hukum yang menetap, meskipun prates terhadap pelaksanaan PERDA 26/2002 terus berlanjut. Adapun ringakasan peraturan yang telah disusun dapat diringkas sebagai Tabel 10.
5.3. Pendekatan , Pengalaman Relokasi dan Alternatif Kebijakan Keberhasilan relokasi dilihat dari tidak adanya kekerasan atau benturan fisik antara aparat dengan yang direlokasi, pemah dilaksanakan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Hal ini membuat aktor Sukimo,
S.H., diberi amanah untuk
melaksanakan relokasi yang lain. Hal yang menarik dari proses Penataan Pedagang
75
Klithikan adalah konsep pendekatan
kemanusiaan. Pemerintah Kota Yogyakarta
tidak menggunakan istilah "relokasi" atau "penggusuran" tetapi penataan untuk menghindari konflik. "Pendekatan kemanusiaan di sini diartikan sebagai seni dalam kepemimpinan yang situasional melihat kondisi di lapangan, silaturahmi, pendekatan dengan guyonan (senda gurau). Proses yang disentuh terlebih dulu hati dari objek kebijakan. Hal ini diterapkan dalam proses dialog dalam rangka penataan pedagang klithikan. Konsep ini sebagaimana kultur Jawa mengajarkan untuk memanusiakan manusia. Pepatah J awa mangku ( mendudukkan orang dalam pangkuan kita) maka orang itu akan mati (menuruti akan kemauan kita)". (Dari hasil wawancara dengan Bapak Sukimo, S.H. selaku Kepala Disperindakop (2003 - 2006) dan sekarang menjabat sebagai Kepala Badan Informasi Daerah Kota Yogyakarta pada tanggal 13 Agustus 2008 ). Komunikasi yang terjalin dalam proses perumusan kebijakan merupakan pendekatan sosiologis dengan proses dialog-dialog yang memanusiakan manusia (manusiawi). Pedagang klithikan diundang oleh Pemkot dengan disaksikan legislatif untuk membahas persoalan yang dihadapi PKL. Pemerintah juga mensosialisasikan tujuan pelaksanaan penataan pedagang klithikan dengan cara : 1.
Mempercepat realisasi Relokasi yang sudah mundur dua kali karena keterbatasan anggaran dan proses pentahapan anggaran dan pentahapan perencanaan.
2.
Tujuan memberikan status kepada PKL dengan masuknya mereka ke pasar atau formalosasi pedagang.
3.
Memaksimalkan potensi PKL sebagai penarik wisatawan hila dapat menjadi ikon wisata barang khusus klithikan.
76
Dari hasil wawancara dengan Bapak Wuryanto pada tanggal 11 September 2008 diperoleh keterangan dan dari catatan notulen rapat bahwa pelaksanaan pernmusan relokasi dilakukan secara intensif sejak 2006 dengan agenda sosialisasi atau pendekatan dialog yang intensif untuk menjajagi kondisi pedagang. Mereka diundang dalam rangka dialog eksekutif, DPRD dan Komunitas Klithikan ( 3 kelompok yaitu Jalan Asem Gede, Alun-alun Kidul dan Jalan Mangkubumi) di Ruang Utama Atas Balaikota yang intinya kelompok Pedagang Klithikan Asem Gede, Alunalun kidul dan Mangkuburni Independent (pro relokasi) mendesak Pemerintah serius melaksanakan relokasi karena pelaksanaan mundur terns. Sedang dengan kelompok Roldi Cs (kelompok Mangkuburni yang kontra) tetap dilaksanakan dialog untuk mengajak berpikir supaya mau direlokasi. "Pedagang kemudian diajak berpikir untuk kebaikan mereka sendiri oleh Pemerintah Kota dengan mengadakan pertemuan antara Pemerintah Kota dengan Pedagang Klithikan. Dari notulen rapat Pertemuan Wakil Walikota dengan Pengurus PKL Kelompok: Mangkubumi, Asem Gede dan Alun-alun Kidul pada tanggal 16 Januari 2006 diperoleh hasil catatan bernpa pemikiran tentang relokasi pedagang klithikan di jalan Mangkubumi, jalan asem Gede dan Alun-alun Kidul dilatar belakangi oleh : a. Aspek legalitas yaitu bahwa keberadaan PKL klithikan di lokasi barn nantinya akan mempunyai status hukum. Mereka sebagai pedagang pasar yang mempunyai Bukti Kartu Pedagang dan akan mempunyai tempat yang tidak digusur. b. Aspek Pemberdayaan yaitu bahwa dengan dilakukan relokasi ke ex Pasar hewan Kuncen, Pemkot akan mernfasilitasi PKL klithikan sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dalam aktifitas usaha. c. Aspek Wisata yaitu bahwa dalam jangka waktu ke depan dengan tersentralisasinya keberadaan PKL Klithikan pada satu lokasi diharapkan sebagai salah satu icon wisata belanja di Kota Yogyakarta." (Hasil wawancara dengan Bp. Wuryanto pada tanggal 11 September 2008)
77
Peran Pemerintah adalah untuk membuat kebijakan umum. Sedangkan kebijakan khusus tergantung bagaimana proses komunikasi dijalankan. Secara prosedural, norma-norma birokrasi ditempuh untuk menghasilkan kebijakan yang ideal. Namun secara riil kadang dinamisasi masyarakat yang cepat menyebabkan Pemerintah hams menghormati tuntutan masyarakat dengan memenuhi aspirasi mereka. Sehingga terkesan kebijakan yang ada "by accident". Proses relokasi pedagang klithikan ini merupakan laboratorium sosial yang mempunyai biaya tinggi pada model pertama tetapi murah pada model berikutnya. Hal ini terbukti dengan relokasi pedagang Taman Sari ke Beringharjo Lantai III (2008 ) dan Pedagang depan SD Pujokusuman (2008) tanpa gejolak sama sekali. Aman (Ka. Disperindakop 2007 - sekarang) menambahkan bahwa proses relokasi pedagang klithikan menghasilkan MoU antara
Pemerintah
dengan
Komunitas pedagang klithikan yang diperkuat oleh IMPLA W (Indonesian Monitoring Procedur of Law, sebuah LSM Hukum): "Pertama dengan membentuk model kesepakatan bersama dalam bentuk tertulis supaya ada pengikat yang jelas antara hak dan kewajiban. Semacam MoU antara Pemerintah dengan Komunitas Pedagang. Kedua, adanya lembaga dari masyarakat yang digunakan untuk menjembatani menstrukturkan bahasa masing - masing pihak. Di sinilah IMPLA W berperan. Ketiga, adanya sentuhan psikologis dari aparat Pernkot untuk menempatkan sebagai pelayan dan figur pribadi lebih ditonjolkan. Yang terakhir ini terkait pertemuan komunitas di rumah pribadi Walikota" (Hasil wawancara tanggal 13 November 2008) Dengan pendekatan sebagaimana diungkapkan di atas maka pembahasan antara Pemerintah dengan komunitas pedagang lebih cair. Pemerintah Kota tidak menempatkan objek regulasi berbeda, tetapi mempunyai tingkat ketokohan yang
78
sama bukan tingkat kelembagaan. Kedua belah pihak saling memahami proses yang berlangsung dan kepercayaan adanya keperpihakan pada masyarakat. Bila ada perubahan-perubahan
yang teijadi merupakan bagian dalam menangkap potensi
secara maksimal. Dalam proses pembuatan kebijakan ada beberapa unsur yang harus diperhatikan yaitu: rasa tanggungjawab, resiko, inisiatif dan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi.Berkaitan dengan tanggung jawab, resiko dan inisiatif, Aman (Kadisperindakop 2007 - sekarang) mengungkapkan : "Harus ada yang mau jadi driver untuk kebijakan tersebut. Sejak awal dia sudah mewakafkan dirinya untuk menjadi driver dengan segala resiko. Mungkin dia akan ditanyakan kedudukan sebagai apa kog mengatur lembaga!instansi lain. Dia harus ikhlas" (Hasil wawancara tanggal 15 November 2008).
Kesulitan dalam proses perumusan yang dihadapi adalah informasi yang tidak lengkap. Hal ini sudah diantisipasi dengan menyebar informan untuk mencari informasi terlebih dulu oleh staf dari Dinas Pengelolaan Pasar. Dengan adanya informan yang disebar dalam masing-masing komunitas maka Pemerintah Kota mendapat gambaran peta penerimaan PKL terhadap rencana relokasi. Temuan ini kemudian didiskusikan dalam rapat koordinasi antara Disperindakop, Dilopas dan Camat dan atau Lurah setempat. Rapat tersebut juga membahas langkah-langkah antisipatif agar penolakan dapat berubah menjadi menerima dengan cara kompromi dan negosiasi.
79
Dalam proses perumusan kebijakan yang baik tidak terdapat bukti yang memberikan gambaran kesimpulan, keinginan-keinginan yang berbeda satu sama lain karena
Pemerintah Kota dapat menyakinkan dan menyatukan keinginan para
pedagang dengan menyatukan cara pandang bahwa mereka mempunyai potensi yang bisa dikembangkan dengan cara meletakkan mereka pada bidang yang benar. Hal ini senada dengan ungkapan dari Aman,: "Desakan dari pemerhati ekonorni perkotaan agar potensi yang ada pada pasar klithikan di Jalan Mangkuburni lebih dapat dioptimalkan dengan memberi lahan yang sesuai dengan mereka. Sehingga Pernkot berani membangun infrastruktur senilai kurang lebih 7 Milyard untuk Pasar Klithikan Pakuncen". (Hasil wawancara tanggal 15 November 2008).
Komprorni yang terjadi seperti dalam pertemuan di rumah pribadi Herry Zudianto dan negosiasi dengan MoU yang memuat kewajiban dan hak Pernkot dengan PKL. Menurut Ka. Sie Perdagangan Sub Din Perindustrian dan Perdagangan Disperindakop : "Munculnya kelompok yang pro dan kontra relokasi disebabkan mereka khawatir. Hal tersebut diketahui setelah terjadi dialog yang intensif. Kekhawatiran mereka adalah : 1. Di tempat yang baru belum ada pembeli 2. Tidak dikenal karen jauh dari keramaian. 3. Tidak lengkapnya sarana dan prasarana yang disediakan pada Pasar yang baru. Dengan adanya kekhawatiran tersebut maka disepakati jalan tengah berupa : 1. Subsidi masa transisi 1 rninggu pertama dengan bantuan uang Rp. 40.000,- I hari. 2. Subsidi masa transisi selama 1 bulan setelah itu, berupa bantuan uang sebesar Rp. 20.000,-/ hari. 3. Selama masa transisi diadakan promosi dengan berbagai pentas kesenian dan musik untuk menarik perhatian masyarakat dan mengenalkan keberadaan Pasar Klithikan Pakuncen.
80
Dialog selain bertujuan untuk memantapkan ketetapan hati para pedagang juga mengakomodir keinginan mereka bagaimana bentuk kepindahan mereka ke Pasar yang baru. Akhimya mereka pindah dengan cara mereka sendiri sesuai kesepakatan bersama." (Hasil wawancara dengan Benecdict (Benny) pada Selasa, 12 Agustus 2008) Model kebijakan campuran pendekatan kelompok dan pendekatan sosiologis yang paling sesuai dengan proses relokasi pedagang klithikan sebagaimana tergambar dalam Gambar 2. Proses perumusan kebijakan ini merupakan upaya menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negosiasi dan komprorni. Meskipun pada awal perencanaan, ada juga pengusaha barang antik yang akan ditempatkan pada lahan komersial. Namun karena Pemkot dipanggil Ombusdmen dan dirnintai keterangan dan dihimbau agar pedagang klithikan jangan hanya dijadikan asesoris kebijakan maka rencana komersialisasi laban dihilangkan. Hal ini juga sejalan dengan perkembangan data yang membengkak sehingga perencanaan awal pedagang yang akan ditempatkan ( 500 -an pedagang) dengan hasil akhir pendaftaran pedagang (700 -an pedagang). Kesulitan lain yang dihadapi dalam proses perumusan kebijakan adalah proses yang sulit dipahami. Dalam hal ini Pemerintah Kota memerlukan suatu lembaga masyarakat yang mampu menjadi jembatan struktur komunikasi sehingga kedua belah pihak saling memberi dan menerima. Dengan adanya bantuan LSM semacam IMPLA W yang telah melakukan penguatan kepada pedagang maka proses mudah dipaharni kedua belah pihak. Hal ini senada dengan pendapat Aman:
81
" Kesadaran akan kemampuan untuk membantu dari LSM, pemahaman bahwa Pemkot memihak kepada rakyat serta kepercayaan bahwa Pemkot akan memberikan penghormatan dalam memenuhi tuntutan masyarakat sangat membantu dalam proses perumusan kebijakan dalam Penataan Pedagang Klithikan" (Hasil wawancara tanggal 15 November 2008).
Terkait dengan altematif kebijakan relokasi pedagang klithikan diilharni dengan berbagai pengalaman relokasi yang pemah dilaksanakan Pemerintah Kota. Pengalaman relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta telah menjadi pelajaran yang berharga. Inilah yang menjadi feedback yang terintegral sehingga mengurangi kesulitan yang mungkin muncul dalam proses perumusan kebijakan. Pada tahun 2004 proses relokasi Pedagang Buah dan Sayur di Shopping Center ke Pasar Buah dan Sayur Giwangan sudah selesai. "Lembaga Swadaya Masyarakat (belakangan diketahui bemama IMPLA W) mencium bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta memecah belah komunitas di wilayah Shopping sebelum proses relokasi sehingga proses dialog tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Rencana dialog adalah dengan mendatangi masing-masing kelompok dan menegosiasi keberatan masing-masing yang mempunyai latar belakang berbeda. Meskipun proses ini ada banyak gejolak, tetapi Pemerintah Kota Yogyakarta mendapat banyak pelaj aran dari proses tersebut dan menjadikan konsep relokasi selanjutnya berganti." (Hasil wawancara dengan Sukimo, S.H. pada tanggal 13 Agustus 2008). Bersamaan dengan proses relokasi pedagang buah dan sayur di Shopping Center; Pasar Terban dan Terminal Colt sudah tidak berfungsi. Bappeda membuat Studi Kelayakan Peningkatan Fungsi Pasar (Pasar Terban, Pasar Giwangan, Pasar Hewan Pakuncen dan Pasar Reksobayan). Hasil Studi Kelayakan menyebutkan relokasi pedagang klithikan ke Pasar Terban tidak mencukupi luas lahan serta pengaturan ruang yang dibutuhkan dengan data pedagang klithikan yang ada pada
82
waktu itu. Masyarakat sekitar wilayah Pasar Terban juga menolak relokasi tersebut karena masyarakat khawatir wilayah mereka menjadi tidak aman karena mereka tahu bahwa pasar klithikan juga merupakan pasar abu-abu. Rencana relokasi pedagang klithikan di Pasar Terban hanya tinggal wacana dan tidakjadi direalisir. Terkait dengan kepindahan pedagang Klithikan ke Eks Sub Terminal Terban, Kliping KR tanggal 22 Oktober 2004 menuliskan : "Lokasi Eks Terminal Terban dinilai cukup memadai, karena areal parkir cukup luas. Nantinya akan diberi penerangan yang memadai supaya representatif', kata Syukri. Ke depan, Syukri menambahkan sesuai perkembangan Kota, pedagang klithikan akan dipindahkan ke Eks Pasar Hewan Kuncen. Ini mengingat pada tahun 2006 Pasar Hewan Kuncen dipindah ke Giwangan." Namun rencana kepindahan pedagang klithikan ke Pasar Terban tetap hanya tinggal rencana karena secara teknis tidak mencukupi jurnlah pedagang yang akan ditampung disamping penolakan warga dari wilayah sekitar Pasar Terban. Tahun 2005 Penataan Pedagang di Parkir Senopati untuk PKL sekitar wilayah Kilometer No! dengan dibangunnya Kios Taman Parkir Senopati yang dapat
menampung 63 Pedagang Kaki Lima yang terdata di wilayah depan Taman Pintar, Depan Kantor Pos Besar, Depan Gereja, Depan Kantor Bank Indonesia dan lingkungan Taman Parkir Senopati. Proses ini lebih mudah dan lebih mulus karena metode pendekatan dialog baik formal maupun non formal, siang dan malam secara intensif dilakukan. Proses ini dapat berjalan dengan baik dan menjadikan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menjadikan konsep relokasi selanjutnya.
83
Konsep Penataan berikutnya adalah wilayah Poncowinatan sebagai wisata Kaki Lima dan Kuliner. Namun masyarakat sekitar keberatan karena takut kenyamanan mereka akan terganggu dengan aktifitas malam yang akan berlangsung. Sebenarnya pedagang klithikan juga akan ditata di tempat ini juga. Konsep ini tidak jadi direalisir. Kliping KR tanggal 21 Oktober 2004 menuliskan, : "Kadisperindakop, Sukirno mengatakan melalui Wakil Walikota Syukri Fadholi, memberikan solusi dengan memindahkan pedagang klithikan ke daerah Poncowinatan. Namun usulan tersebut tidak disetujui warga meskipun fasilitas jalan di Poncowinatan diperbaiki dan diberi fasilitas penerangan yang memadai dan keberadaan pedagang akan diatur rapi. Menurut ketua LPMK Kelurahan Cokrodiningratan, penolakan warga Poncowinatan didasari pengalaman masa lalu, pernah ada konsep seperti itu, namun kenyataan peraturan-peraturan banyak dilanggar oleh pedagang." Persiapan untuk melaksanakan relokasi yang mundur dari jadwal yang telah ditetapkan pada akhir 2006 karena pelaksanaan fisik Pembangunan Pasar dari dana yang diberikan tahun 2006 belum dapat menyelesaikan seluruh RAB (Rencana Anggaran Biaya) dari perencanaan yang ada. Penyelesaian 100 % dari kontrak yang adan belum menyelesaikan 100 % dari perencanaan. Hal inilah yang membuat pelaksanaan relokasi menjadi memanas. Para pedagang menyangka mereka sebagai obyek kebijakan telah dijadikan mainan Pemerintah Kota yang dapat me-mark up proyek sehingga
hampir saja kepercayaan kepada Pemerintah Kota pun pudar.
Bahkan hal itu sampai dengan penyidikan di Kejaksaan kepada seluruh pengelola kegiatan Pembangunan Pasar Klithikan. Setelah ada jarninan bahwa pembangunan fisik dapat diselesaikan pada pertengahan Agustus maka proses pembahasan intensif
84
mulai laksanakan sejak Januari 2007 dengan berbagai rapat mulai intensif dilaksanakan sebagai mana tabel berikut: Tabel 9 Rapat Persiapan Pra Relokasi No. I
Tanggal 25-1-2007
Pukul 22.00
2
29-1-2007
22.00
3
4-2-2007
20.00
4
12-2-2007
22.00
5
16-2-2007
22.00
6
7-3-2007
22.00
7
8-3-2007
14.00
Hasil Rapat I. Membuat Tata Kala pertemuan Intensif 2. Membuat kriteria relokasi (KTA, Kippem) 3. Monitoring di lapangan yang diinginkan pedagang klithikan. Rumah Ka. I. Melanjutkan penyusunan Kriteria yang direlokasi. Dinperindakop 2. Kriteria lebih detail KTP/CI luar kota ttp Prop DIY. I. Penyelesaian fisik Pasar Kuncen Rumah Ka. September 2007. Dinperindakop 2. Selama pembangunan fisik blm selesai diadakan sosialisasi di 4 kelompok( masing-masing Kelompok) 3. Menyusun program setelah di relokasi yang baru. 4. Hasil-hasil dialog informal ada masukan agar ada pengaturan dan manajemen yang intensif dari Dinlopas. Sigit I. Peindakop, Dinlopas Tim 7 dari Rumah Alkid setuju akhir Oktobe rrelokasi (Pengurus dilaksanakan. ALKID) 2. Pengurus ALkid diminta untuk tidak men am bah KT A baru. 3. Pen gurus dan Anggota ALKID diminta untuk menjaga kondisi dari gangguan luar. I. Dapat Menjadwalkan pertemuan Rumah Ka. dengan comunitas Dinperindakop 2. Roldi Cs dan comunitas Parkir agar ada koordinasi dankejelasan untuk bisa pindah ke Pasar Pakuncen. dengan pertemuan 3. Sebelum melapor ke agar comunitas Wa1ikota. I. Ego,S.H. dan Komunitas AI kid Rumah Ka. menyusun agenda velja dan Dinperindakop 2. Persiapan presentasi ke Wa1ikota renacana ten tang Room I. Koordinasi Ops re1okasi dengan Tim KOta dan Tim Ba1aikota
Tempat Rumah Ka. Dinperindakop
85
2.
8
10-3-2007
14.00
9
12-3-2007
19.00
Ops Room Balaikota Ops Room Balaikota
1. 2. 1.
2. 3.
Pembangunan Pasar Klithikan. Menyusun Rencana Keija berupa Pra Relokasi, Relokasi, dan Pasca Relokasi. Koordinasi Instansi terkait Meyusun ketugasan Tim. lnventarisasi Ketugasan Tim masing-masing Dinas bisa diterima hanya sedikit perbaikan. Menyusun teknis tata kala. Agenda pertemuan intern Eksekutif.
Din as Pengelolaan Pasar Sumber: Has1l wawancara dengan Bapak Wuryanto pada tanggal 11-9-2008. 10
19-9-2007
22.00
Proses sosialisasi diatas merupakan sejalan dengan rnisi Pemerintah Kota Yogyakarta menciptakan birokrasi pemerintah yang mampu menjadi fasilitator, inovator, motivator dan mediator yang handal di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan
bemegara.
implementasi dari
Proses
misi tersebut.
relokasi
pedagang
klithikan
merupakan
Peristiwa relokasi tersebut menjadi bukti
kemampuan birokrasi berperan sebagai fasilitator, inovator dan mediator yang handal di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Dari basil penelitian terlihat bahwa konsep perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan merupakan desakan situasional dalam rangka penghormatan dalam memenuhi tuntutan masyarakat yang mendorong Pemerintah untuk segera membuat kebijakan agar tidak timbul kerusakan yang lebih parah. Kemacetan lalu lintas, kenyamanan tinggal komunitas serta perpakiran yang tidak teratur akan menjadi lebih parah bila kebijakan relokasi tidak ditempuh.
86
5.4. Media Massa dalam Perumusan Kebijakan
Media massa dan TV mempunyai kapasitas untuk membuat suatu isu menjadi perhatian utama publik dan dalam melakukannya, media massa memasukkan problem yang berada di luar agenda kebijakan ke dalam arena politik. Dalam masyarakat demokratik, media massa berperan membuat problem menjadi "terlihat" (Parson, 2005:111). Peran media massa memang sangat mempengaruhi bagaimana kebijakan publik bisa diterima masyarakat. Ketika media massa dapat "dikuasai" atau berpihak pada satu pihak maka akan terjadi distorsi kebijakan publik tersebut dan energi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan tersebut jelas lebih banyak yang harus dibutuhkan. Pada kasus relokasi pedagang klithikan media massa memberikan berita yang seimbang antara Paguyuban dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini tidak lepas dari peran Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi yang menjadi leading sektor "proyek" ini dalam menjalin komunikasi dengan para pencari berita dari berbagai media massa. Pertemuan dengan para jumalis diadakan oleh Pemerintah Kota dalam rangka sosialisasi dan pembentukan opini tentang relokasi Pedagang Klithikan tersebut sebagai berikut : " Kita mengumpulkan para wartawan dalam rangka mensosialisasikan perkembangan yang ada. Bila ada berita yang tidak menguntungkan Pemerintah Kota Yogyakarta, maka pemberitaan yang seimbang akan diberikan sebagai press rea/ease untuk dimuat sebagai counter berita yang ada" ( Hasil wawancara dengan Benny Kasie Perdagangan Disperindakop pada tanggal12 Agustus 2008).
87
Menurut Wuryanto (Kasie Trantib Kalurahan Suryatmajan yang waktu relokasi menj adi staff Dinperindakop ), pada tanggal 19 September 2007 diadakan rapat di Dinlopas pada pukul 22.00 yang dihadiri Tim Dinlopas, Tim Dinperindakop dan Ego,S.H.(staf IMPLAW yang mendapat kuasa sebagai wakil dari komunitas pedagang klithikan ) menyimpulkan bahwa : "Akan dibuat opini media massa bergiliran untuk masing-masing Kelompok (Asem gede, Alun-alun Kidul, Mangkubumi yang pro (kelompok independent) dan Mangkubumi yang kontra (kelompok Roldi Cs.) untuk dapat dimuat di KR sejak Senin, tanggal 26 September 2007. Rapat tersebut berakhir lebih dari jam 02.00 dini hari". ( Hasil wawancara hari Kamis, 11 September 2008) Hal inilah yang menjadikan pemberitaan di media massa seimbang antara versi Pemerintah dan versi Pedagang yang diberi dukungan oleh LSM IMPLA W yang mendampinginya.Agenda kebijakan sangat dipengaruhi oleh opini dan kekuatan publik yang
t~rcipta.
Fakta memperlihatkan bahwa opini diukur dan diperlakukan
dengan penuh perhatian oleh Pembuat kebijakan dengan mengadakan counter yang dibutuhkan.
5.5.
Legislatif dalam Perumusan Kebijakan
Ide utama relokasi pedagang klithikan berasal dari Eksekutif dan Dewan diajak setelah diadakan pemaparan serta pentahapan proses penganggaran. Masukan yang terkait dengan relokasi dari Dewan agar kebijakan tersebut dilaksanakan tanpa ada konflik atau gejolak dan sebisa mungkin diselesaikan dengan dialog.
88
Pada masa perumusan masalah "Dewan digrudug PKL yang tidak mau relokasi di Pasar Pakuncen" ( KR , Jum'at 23 September 2005) Dewan menerima para PKL dan disimpulkan bahwa pedagang yang mau pindah silahkan pindah yang tidak mau silahkan tetap beijualan karena di sana tidak ada larangan, demikian menurut Nur Umam. Menurut Umam, "perselingkuhan " Walikota dengan Pedagang Kaki Lima yang tidak mau direlokasi teijadi ketika ada pertemuan antara Perwakilan Pedagang dengan Walikota di Rumah Pribadi Walikota di Golo.Setelah pertemuan tersebut para pedagang yang menolak relokasi menjadi mau untuk dipindah . (Hasil Wawancara dengan Drs Nur Umam, M.M.pada hari Kamis tanggal 4 September 2008 Anggota Komisi II DPRD Kota Yogyakarta.) Pada masa mendekati pelaksanaan relokasi, pedagang yang masih menolak dengan kebijakan relokasi meminta dukungan kepada anggota Dewan agar mereka dilindungi. Anggota Dewan waktu itu masih terkotak-kotak pasca PILKADA. Ada dua kubu koalisi Dewan yaitu Merah Putih dan Masyarakat Kota Gotong Royong. Koalisi Merah Putih yang masih menyisakan sentimen kekalahan berupaya untuk membantu PKL yang menolak relokasi dengan kesdiaan menjadi pelindung bagi PKL yang belum dapat menerima kebijakan relokasi. Namun kenyataannya, PKL masih juga menjalin hubungan dialog dengan Walikota di rumah pribadinya. Pada akhimya tidak ada pedagang yang menolak relokasi. Tentu saja hal ini membuat Anggota Dewan yang sudah bersiap-siap melindungi PKL dengan berjaga pada malam sebelum pelaksanaan relokasi menjadi tiada berguna. Tidak ada nilai politis yang diperoleh.
89
Kejelasan konsep relokasi menjadi tuntutan dewan sebagaimana diungkap Suwarto, menurut anggota dewan dari PDIP Perjuangan ini, : "Proses perumusan kebijakan yang memakan waktu 2 -3 tahun mempengaruhi perkembangan relokasi. Hal ini terkait dengan keterbatasan anggaran sehingga Pembangunan Fisik Pasar tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran. Perkembangan data juga membengkak karena banyak orang yang ingin memanfaatkan fasilitas relokasi untuk mendapatkan lapak berjualan. Namun, lapak-lapak tersebut hanya dijual kepada orang lain karena tidak mempunyai jiwa bisnis dan tidak kuat mental menghadapi persaingan yang harus dihadapi. Selain hal tersebut, penyebab penambahan data adalah karena adanya konflik di Paguyuban Pedagang Klithikan Jalan Mangkuburni maka masing-masing kelompok mengembangkan sayapnya untuk menambah jurnlah anggotanya untuk menggalang kekuatan." Masih menurut Suwarto, "Konsep relokasi yang harus diperhatikan adalah peran Paguyuban agar dimaksimalkan tidak hanya modal yang diberikan tetapi yang lebih utama pembinaan mental pedagang sehingga dapat bersaing dengan sehat. Sekarang ini kebanyakan pedagang membeli dagangan dari Pasar Beringharjo kemudian dijual di klithikan. Pembeli klithikan yang tahu harga di Pakuncen lebih mahal tidak jadi membeli di sana. Mereka hanya membandingkan harga dan tidak menjadi pengunjung potensial karena kondisi yang diciptkan pedagang yang kurang kreatif mencari barang dagangannya. Menurut Sinar (Ketua Kornisi II DPRD Kota Yogyakarta, hasil wawancara pada tanggal 15 September 2008) "Konsep relokasi berasal dari eksekutif yang dalam proses pembahasan Dewan dilibatkan sampai dengan terealisirnya kebijakan tersebut. Menurutnya, konsep kebijakan relatif memadai kepentingan-kepentingan dan aspirasi dari wilayah lokasi lama (Asem Gede, Alun-alun Kidul dan Jalan Mangkuburni) yang merasa terganggu dengan makin meluas dan ramainya pedagang klithikan berjualan di sana. Parkir terkait dengan keberadaan Pasar klithikan makin tidak terkendali dan sulit ditertibkan. Hal ini sangat mengganggu masyarakat umum dan kepentingan umum menjadi terabaikan."
90
Dari hasil wawancara di atas dapat dipastikan bahwa ide dan konsep relokasi berasal dari eksekutif. Pihak legislatif hanya mengawal kebijakan tersebut karena sudah merupakan tuntutan publik yang merasakan dirugikan dengan makin ramainya dan tidak terkendali perparkiran di lokasi lama pedagang klithikan. Terkait dengan pro dan kontra relokasi Anggota Dewan selaku Ketua Fraksi Partai Demokrat sekaligus Ketua Kornisi III ini menambahkan : "Kebij akan pemerintah sebaik apapun pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Tidak ada kebijakan yang memuaskan semua pihak. Dewan setuju dengan relokasi karena sesuai dengan konsep pemberdayaan ekonorni pedagang ( ekonorni kerakyatan). Persoalan pentahapan anggaran karena keterbatasan dana yang tersedia dan skala prioritas program kegiatan dan tidak terpengaruh dengan kejadian gempa burni yang teijadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006. Pada saat yang bersamaan mendapat bantuan Dana Ad Hoc yang diprioritaskan menyelesaikan rene ana relokasi tersebut. "(Hasil wawancara dengan Sinar pada tanggal 15 September 2008) Dari hasil penelitian terlihat bahwa anggota dewan pada intinya sangat mendukung relokasi meskipun mereka berkomentar berbagai makna. Bagi Fraksi PDIP Peijuangan, PKS dan Partai Demokrat yang sangat dekat dengan komunitas "wong cilik" sangat perhatian terhadap relokasi pedagang dan menginginkan perbaikan kehidupan bagi mereka serta menginginkan agar relokasi berlangsung dengan baik. Sepanjang masih bisa dimusyawarahkan agar ditempuh dengan jalan dialog. Dewan berpesan agar eksekutif dapat menghindari gejolak dan cara-cara kekerasan. Pelaksanaan relokasi pedagang klithikan di Eks Pasar Hewan disebabkan karena perkembangan Kota tidak memungkinkan lagi mendukung keberadaan pasar hewan Kuncen di tengah Kota. Dengan bekeija sama dengan Kabupaten Sleman
91
maka keberadaan Pasar Hewan Kuncen dipindahkan. Pemanfaatan eks Pasar Hewan Kuncen ada banyak usulan seperti untuk Hotel, Mall, Perpustakaan Daerah dan akhimya untuk Pasar barang Antik termasuk Pedagang Klithikan. Yang pokok intinya bertujuan mengembangkan wilayah kota sektor Selatan dan Barat. Keramaian Kota dapat tersebar tidak hanya di sektor Utara dan Timur. "Karena prosedur yang diajukan oleh eksekutif sudah sesuai prosedur yang berlaku seperti sudah melalui penyusunan Feasibelity Study, kemudian Penyusunan Detail Engineering Design (DED) dan ditenderkan dengan proses sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak ada penyelewengan maupun penyimpangan, maka dewan terutama Komisi III yang membawahi Pembangunan dan Pengawasan Fisik dapat menyetujui dan mendukung upaya relokasi tersebut. Terlebih semua tahap-tahap tersebut sudah tercantum dalam APBD yang telah disetujui dengan disahkannya PERDA mengenai pengesahan APBD. Komisi III dapat mengawal pelaksanaan fisik dengan pantauan yang ketat karena pelaksanaan relokasi direncanakan bulan Oktober 2007 sedangkan pelaksanaan fisik dimulai tahun 2006." (Hasil wawancara dengan Ketua Komisi III DP RD Kota Yogyakarta: Bp Drs. Suhartono, S.T.)
Kedaulatan Rakyat 13 Juni ( 2007) dengan judul "Relokasi Klithikan ,Jangan untuk Kepentingan Sesaat" menuliskan bahwa: "Komisi II DPRD Kota Yogyakarta mendengarkan pemaparan tentang rencana relokasi pedagang klithikan dan secara prinsip Pimpinan Dewan mendukung agar segera dilakukan pertemuan tripartit secepatnya, demikian selaku ketua Dewan Kota. Sedangkan dikatakan Arif Noor Hartanto masukan dari Pethikbumi (Paguyuban Pedagang Klithikan Mangkubumi) agar relokasi harus mencerminkan as as manfaat dan keadilan bagi semua pihak." (KR 23 Juni 2007 ).
Pada masa adopsi, Komisi II sudah mengingatkan Pemerintah Kota untuk memperhatikan masalah lahan parkir yang tidak memenuhi untuk pengunjung dan pedagang. Komisi II juga mengingatkan agar lapak yang tersedia untuk semua
92
pedagang. Masalah menangani Parkir agar ada asas keadilan sehingga kesej ahteraan terasa untuk semua elemen di Pasar Klithikan Pakuncen. (Hasil Wawancara dengan Drs Nur Umam, M.M.pada hari Kamis tanggal 4 September 2008 Anggota Komisi II DPRD Kota Yogyakarta.) Pada Rapat tanggal 19 September 2007 (hasil wawancara dengan Bp Wuryanto, 12-9-2008) para anggota paguyuban untuk dapat menyalurkan aspirasinya ke DPRD per paguyuban dengan dikawal oleh IMPLAW.
5.6.
Komunitas dalam Perumusan Kebijakan Peran komunitas pedagang klithikan lebih banyak terwakili oleh LSM yang
sangat peduli dengan relokasi yaitu IMPLA W (Indonesian Monotoring Procedure of Law ). Keterlibatan IMPLAW dalam relokasi di Pemerintah Kota Yogyakarta sudah diawali sejak Relokasi Shopping Center ke Pasar lnduk Giwangan yang kurang berhasil penangananya pasca relokasi. IMPLA W sebagai LSM yang anti penggusuran Shopping ingin agar relokasi klithikan tersebut nantinya tidak mengulang kesalahan masa lampau yang berhasil secara fisik ( tanpa ada gejolak penolakan dan kekerasan fisik antara aparat dengan pedagang yang dipindahkan) memindahkan pedagang tetapi tindak lanjut dari relokasi atau pemenuhan janji-janji setelah relokasi tidak direalisir oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini Dinas Pengelolaan Pasar. Usaha yang dilakukan IMPLA W kepada Paguyuban dengan menawarkan kerjasama penguatan dan bantuan advise hukum (advokasi) agar relokasi nantinya bisa terwujud tidak hanya menyentuh nilai fisik saja tetapi juga sukses secara
93
ekonomi. Akhimya IMPLA W ditunjuk sebagai pendamping dalam proses adopsi kebijakan relokasi pedagang klithikan. Kelompok tiga lokasi pedagang klithikan membentuk TIM 12 yang beranggotakan wakil dari masing-masing kelompok 4 orang yang mewakili aspirasi paguyuban pedagang klithikan. Proses penguatan dengan mengadakan diskusi ke kelompok-kelompok pedagang sehingga tercipta satu persepsi untuk kesuksesan relokasi dengan membentuk TIM 12 yang akan mewakili mereka dalam penyampaian aspirasi kepada Pemerintah Kota Yogyakarta terkait dengan proses relokasi sehingga berhasil setelah relokasi.Tim ini dapat solid dan tidak mudah terpecah belah karena IMPLA W berusaha menciptakan suasana tersebut. Tim ini juga mengkaji semua data-data yang masuk, menyampaikan hak-hak mereka terkait dengan aspek legalitas, pemeberdayaan dan pemasaran yang menjadi konsep relokasi Pemerintah Kota Yogyakarta. Dari uraian di atas dapat dibuat hagan ringkasan proses perumusan sebagai berikut:
94
lsu Kebijakan -Perkembng Pdg Klithikan -Pengembangan Kt YK - Pengembangan Pariwisata - Penrtiban Parkir - Desakan Pemerhati Kota u/ menertibkan PKL -Garis Imajiner
Perumusan Masalah Merelokasi pedagang klithikan di Eks Pasar Hewan Kuncen sbg pengembangan Kota wil Sel- Barat dan ikon wisata barang antic dan barang bekas.
Gambar 3. Perumusan Masalah
Ternyata perumusan kebijakan persepsi Pemerintah merupakan desakan keadaan masalah yang harus diselesaikan. Apabila masalah yang timbul tersebut tidak diselesaikan maka Pemkot akan lebih banyak menanggung persoalan yang akan mengikutinya. Desakaan itu berasal dari komunitas untuk menertibkan PKL, desakan dari Pemerhati ekonomi Kota yang ingin potensi pedagang klithikan diberi ruang untuk berkembang secara formal, desakan perapihan parkir di wilayah pedagang klithikan berusaha dan pemanfaatan dan perkembangan wilayah selatan dan barat Kota Yogyakartta serta pemanfaatan Pasar Hewan yang sudah dipindahkan ke Giwangan. Apabila masalah yang timbul tersebut tidak diselesaikan maka Pemkot akan lebih banyak menanggung persoalan yang akan mengikutinya. Seperti perkembangan jumlah pedagang klithikan yang bertambah pesat, kenyamanan penghuni sekitar pedagang klithikan berusaha dan masalah keruwetan lalu lintas yang
95
membahayakan pengguna publik lainnya. Kebijakan Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen merupakan solusi yang tepat untuk penguatan sektor informal. Ringkasan antara aktor dan peran dalam perumusan masalah disajikan dalam Tabel. 11. TabellO Matriks Peran Aktor dalam Perumusan Masalah No.
Aktor
Peran
Proses
Hasil
I
Walikota
Mengakomodir aspirasi masyarkat
dari keinginan Memenuhi berbagai kelompok masyarakat
Perintah untuk merelokasi pedagang klithikan
2
Eksekutif Bappeda
Menyiapkan dokumen perencanaan sebuah kebijakan Melaksanakan pra relokasi s/d pasca relokasi
Melengkapi kebutuhan tahapan kebijakan agar dapat diterima oleh legeslatif
Dokumen Feasibility Studi, Rancang Bangun
pra konsep Menyiapkan relokasi, pelaksanaan dan pasca relokasi.
Membantu di pelaksanaan lapangan Menampung aspirasi masyarakat yang pro dan kontra relokasi Advokasi, penguatan, sosialisasi
Data awal, data pertengahan dan data akhir, sosialisasi, mobilisasi pertemuan Memfasilitasi komunitas dengan eksekutif, terhadap pembelaan kepentingan pedagamg
berbagai Sosialisasi perpindahan komunitas, pedagang, pembinaan pasca relokasi Pelaksanaan pendaftaran, lotre penempatan dan pelaksanaan relokasi Dapat menyetujui kebijakan relokasi asal tidak terjadi kekerasan
3
Disperindakop
4
Dinlopas
5
Leges Iatif
6
IMPLAW
7
Media Massa
pengkondisian kebijakan
komunikasi Menjembatani dengan Pemerintah sehingga pemahaman memudahkan terhadap permasalahan bersama terkait dengan relokasi yang berita Pemberian seimbang
MoU dengan Pemerintah Kota terkait hak dan kewajiban dengan an tara Pemkot Komunitas Pedagang memihak yang Berita keduanya dan saling counter seimbang.
Pada Bab VI berikut ini akan dibahas Aktor - aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen. Tentunya masing - masing aktor yang terlibat mempunyai nilai dan kepentingan yang
96
berbeda. Akan menarik mengenali aktor yang terlibat serta nilai dan kepentingan yang mereka usung.
97
BAB VI. IDENTIFIKASI AKTOR YANG TERLIBAT Setiap kebijakan selalu diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu. Penataan Pedagang Klithikan merupakan kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kebijakan ini telah diusulkan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Aspirasi masyarakat yang tertuang dalam Nota kesepakatan antara Pemerintah Kota dengan DPRD Kota tentang kebijakan umurn APBD Kota Tahun Anggaran 2006 menyebutkan adanya perkembangan perekonornian dan dinamika masyarakat sangat berpengaruh pada adanya perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur perkotaan yang berkesinambungan dan terintegrasi. Pembangunan Pasar Klithikan Pakuncen merupakan salah satu dalam mewujudkan aspirasi tersebut. Dengan penataan pedagang klithikan di pasar baru tersebut, peningkatan pengembangan ekonorni yang berbasis kerakyatan dan terlaksananya penumbuhan pusat perdagangan komoditas khusus sebagai kebijakan umum dalam Nota Kesepahaman dapat terwujud. Melihat masing-masing peran aktor dan nilai serta kepentingan yang mereka perjuangkan akan diuraikan dalam sub bab berikut ini.
6.1. Walikota dan Wakil Walikota
Sangat menarik untuk mengetahui aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen Yogyakarta. Proyek pembangunan fisik yang memakan waktu dua tahun anggaran yaitu tahun
98
2006- 2007 (hanya untuk fisik saja). Sedangkan non fisik dimulai dengan disahkan PERDA 26/2002 beserta SK Walikota yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Perda tersebut. Dari aktor yang terlibat akan terlihat nilai dan kepentingan yang dibawanya. Walikota Yogyakarta sebagai kepala daerah mempunyai tanggung jawab untuk mernimpin Kota Yogyakarta agar tercipta pelayanan yang prima kepada seluruh warga tanpa terkecuali. Peran strategis ini menuntut Walikota untuk dapat memenuhui tuntutan warganya. Aspirasi yang berkembang harus segera ditindak lanjuti. Berkaitan dengan kasus relokasi pedagang klithikan terlihat bahwa peran Walikota untuk mengarahkan kebijakan yang akan diambil adalah dorninan. Pergantian sosok Walikota Yogyakarta sangat mempengaruhi bagaimana kebijakan tersebut diambil. Pada masa 1994-1998 dan 1998- 2002 Walikota R. Widagdo (mantan TNI) maka hampir seluruh kebijakan berupa pemaksaan. Namun pada era Herry Zudianto (wiraswasta) maka kebijakan bersifat "enteurpreunership ". Hasil wawancara dengan Bapak Endro Wibisono (Pernimpin Kegiatan Pembangunan Eks Pasar Hewan Kuncen tahun 2006 dan 2007) memperoleh gambaran bagaimana aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan. "Pelaksanaan kebijakan di Pemerintah Kota Yogyakarta selalu bersifat "pemaksaan" Karena ide awal selalu dari Pemerintah dan jarang melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan semasa Walikota R. Widagdo (19941998 dan1998 -2002)." (Hasi wawancara tanggal26- 8-2008)
99
Setelah mendapatkan gambaran awal akan kesediaan adanya penataan pedagang maka harus ada dukungan dari legislatif. Karena bila legeslatif tidak mendukung program Walikota maka anggaran untuk itu tidak akan disetujui. "Langkah berikutnya adalah menyakinkan legeslatif bahwa perlu mengangkat harkat dan martabat mereka dengan relokasi gratis. Sehingga penyusunan tahapan relokasi dibuat agar anggaran beijalan sesuai rencana." (Wawancara dengan Endro Wibisono, S.T. selaku PPTK Pembangunan Pasar Klithikan, pada tanggal 26-8-2008) Hal di atas senada dengan saran yang ada dalam FS Eks Pasar Hewan yang menyebutkan tentang kemampuan penghasilan PKL yang terbatas. Kemampuan penghasilan PKL juga menjadi pertimbangan dalam penjualan lapak dilokasi yang baru. Sehingga pengambil kebij akan harus dapat menyakinkan anggota dewan agar pedagang klithikan dapat ditempatkan di pasar tersebut tanpa dipungut biaya pembangunan fisik. Pemberian lapak secara gratis juga merupakan langkah antisipasi agar para pedagang tidak menolak direlokasi. Bila mereka diwajibkan untuk membeli tempat beijualan pasti akan keberatan karena keterbatasan penghasilan dan modal yang dirniliki. Seiring dengan itu perkembangan pedagang klithikan makin ramai dan menimbulkan masalah ketidak nyamanan bagi penduduk di wilayah mereka berusaha dan ketidaktertiban lalu lintas. Dalam acara Selamat Pagi Yogyakarta Walikota Menyapa banyak masukan dari pemerhati Kota Yogyakarta tentang kesemrawutan di Jalan Mangkuburni dan usulan dari Unit Pelayanan Informasi Kota (UPIK) melalui
100
sms (short massege sender) yang masuk untuk menata Jalan Mangkubumi sehingga tidak terkesan kumuh, padat dan tidak teratur. Ide pertama kali relokasi pedagang klithikan di Jalan Mangkuburni berasal dari ide Walikota yang mendapat desakan dari berbagai pihak sebagaimana tergambar dari sketsa Gambar 2. Pendesak dan Pencetus Relokasi. Usulan pertama untuk relokasi pedagang klithikan adalah dari desakan masyarakat komunitas di sekitar Jalan Mangkuburni yang merasa tidak aman dan nyaman dengan perkembangan pedagang klithikan yang menggunakan lahan tempat beijualan pada trotoir. Pejalan kaki merasa haknya terenggut dengan keberadaan pedagang klithikan tersebut. Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak Heru selaku Kabid Ekonorni dan Sosial Bapppeda (... - 2004) "Dalam hal ini perencanaan Pasar Klithikan baru proses pencarian altematif Penggunaan Ex Pasar Hewan Kuncen, masyarakat sudah mendesak agar segera diadakan penataan pedagang klithikan di Jalan Mangkuburni yang kondisinya sudah sangat mengganggu komunitas sekitamya. Walikota sebagai driver memerintahkan agar penggunaan Ex Pasar Hewan Kuncen untuk penataan pedagang klithikan dari tiga lokasi yang menjadi titik rawan perkembangan selanjutnya. Bappeda kemudian menyusun kelengkapan dokumen yang menjadi syarat sebuah perencanaan fisik relokasi. (Hasil wawancara tanggal 17 September 2008)." Bersamaan dengan itu Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta lewat Dinas Kimpraswil sub din Cipta Karya mengadakan Penataan Fisik dan Perencanaan Kawasan Malioboro dan Alun-alun Kidul. Hal terakhir inilah yang mendorong Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menata pedagang klithikan yang berada di Jalan Mangkuburni, Jalan Asem Gede dan yang berada di Alun-alun Kidul. Tentu saja Walikota tidak melaksanakan sendiri apa yang menjadi kebijakan
101
Pemerintah Kota Y ogyakarta. Bappeda sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memikirkan bagaimana kelengkapan suatu kebijakan dan agar kebijakan tersebut dapat disahkan oleh legislatif. Pada akhirnya kebijakan tersebut dapat dilaksanakan karena mendapat anggaran yang disetujui oleh Dewan Kota.
Eksekutif sbg pelaksana
Gam bar 4 Pendesak dan Pencetus Relokasi
102
6.2. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Aktor utama yang mentetjemahkan perintah Walikota biasanya adalah Bappeda Kota. Pada prinsipnya Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Bappeda akan menyiapkan dokumen perencanaan untuk setiap kebijakan yang akan diambil. Pada proses ini penyusunan Studi Kelayakan selalu menjadi urutan pertama terhadap usulan kebijakan yang akan dilaksanakan. Dari penelitian yang penulis lakukan temyata penyiapan dokumen pertama yang dilakukan adalah dokumen UKLIUPL (tahun 2004 oleh Dinas Lingkungan Hid up) baru kemudian muncul FS Rancang Bangun Aset Daerah (Ex Pasar Hew an Kuncen) pada tahun 2005 oleh Bappeda. Kemudian disusul FS Rancang Bangun Ex Pasar Hewan pada perubahan anggaran tahun 2005 oleh Dinas Tata Kota dan Bangunan. Pada tahun 2006 dibuat OED dan pelaksanaan pembangunan fisik oleh Badan Pengelolaan Barang Daerah karena Dinas Tata Kota dan Bangunan yang dulu menangani pembangunan fisik bangunan sudah dibubarkan menyesuaikan PP 8/2003. Terlihat di sini peran Bappeda menyiapkan urutan usulan kebijakan sesuai alur aturan hukum yang berlaku sehingga nantinya dapat diterima oleh Legislatif. Perumusan kebijakan tidak luput dari pengaruh proses otonomi daerah yang memberikan keleluasaan Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan sesuai kondisi, tuntutan dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Inovasi dan tuntutan kebutuhan yang mendadak dapat muncul karena ada persoalan yang harus
103
diatasi. Keadaan perkembangan perkotaan dan perkembangan jumlah pedagang klithikan serta keinginan untuk memajukan perekonomian yang berpihak kepada rakyat menjadi latar belakang dari perumusan kebijakan relokasi pedagang klithikan. Menurut Bapak Heru (sekarang Kepala Kantor Pelayanan Pajak Daerah sejak Januari 2004, sebelurnnya sebagai kepala Bidang Sosial Ekonomi Bappeda Kota): "Pada kebiasaannya proses penyiapan dokumen perencanaan dilakukan dengan target efektivitas ekonomi. Proses penyiapan dokumen digeneralisir dan dokumen hanya dimodifikasi sedikit. Pada saat itu Pasar Klithikan belum muncul. Perkembangan yang terjadi menyebabkan Rencana Pembangunan Pasar Klithikan muncul belakanagan. Secara situasional Pasar Hewan Kuncen sudah dipindahkan ke Sleman. Bappeda menyiapkan dokumen perencanaan untuk penggunaan Ex Pasar Hewan Kuncen dengan menyesuaikan kondisi geopolitik. Pada saat itu (2003/2004) Pemerintah Pusat melalui Departemen Koperasi menunjuk suatu NGO untuk menyalurkan dana pemberdayaan dengan sumber dana pinjaman intemasional dengan metode "cost recovery" yaitu pendapatan dari proyek digunakan untuk pengembalian hutang. Program ini bertujuan untuk meningkatkann fungsi pasar. Maka dibuatlah Feasibelity Study tentang empat pasar (Giwangan, Terban, Legi dan Kuncen) yang potensial untuk meraih dana tersebut." ( Hasil wawancara tanggal 17 September 2008) Walikota belum menaruh perhatian dengan pemberdayaan masyarakat miskin
("wong cilik '') waktu itu. Prioritas Herry Zudianto selaku Walikota adalah membangun Yogyakarta agar maju sehingga secara otomatis orang miskin akan hilang. Prioritas seperti Pembangunan Taman Pintar senilai 25 Milyard dari dana APBN dan APBD Propinsi serta APBD Kota, Pembangunan Bursa Agrobisnis di Dongkelan, Pembangunan Bursa lkan Higienis di Giwangan yang semua dana APBN yang bemilai besar. Akhimya NGO tersebut mengincar Kota/ Daerah lain karena Pemerintah Kota Y ogyakarta lamb at memberi respon sedangkan target anggaran ada
104
batasnya. Studi Kelayakan untuk persiapan meraih dana
dari NGO inilah yang
dimodifikasi untuk UPLIUKL Rencana Pembangunan Pasar Kuncen. "Yang jelas pada saat itu program-program yang dilakukan Bappeda kebanyakan jaringan pengaman kemiskinan. Apabila Bappeda mempunyai inisiatif untuk mengembangkan wilayah tertentu, kemudian disusun Studi Kelayakan yang kadang memunculkan saran diluar yang direncanakan. Contoh Pasar Terban direncanakan pusat onderdil untuk Y ogyakarta wilayah utara yang juga akan melayani masyarakat Sleman. Diadakan pusat onderdil tersbut agar orang Sleman tidak perlu menyebrang sampai Gondomanan.Tetapi hasil FS menyarankan altematif lain karena lingkungan dominan di sekitar Pasar Terban adalah sekolah. Atau contoh Pasar Reksobayan yang diminta oleh Investor untuk dijadikan pasar buah modem tetapi Pemerintah bersikukuh untuk bergandengan dengan investor Barangbarang elekktronik yang sampai saat ini masih sepi pengunjung."(Hasil wawancara dengan Bapak Heru pada tanggal 17 September 2008)
Tentang cara kerja Bappeda dalam mempersiapkan perencanaan setiap kebijakan masih berorientasi pada proyek. Setelah proyek selesai dokumen perencanaan tidak
ada
tindak
lanjutnya.
Sehubungan
hal
tersebut
Heru
menambahkan : "Pola pikir Bappeda masih berorientasi pada proyek. Artinya, pekerjan perencanaan yang dilaksanakan hanya untuk mengejar Program yang ditawarkan Pemerintah Pusat. Bila dana penelitian sudah diraih, tindak lanjut dari hasil penelitian tidak dipikirkan lagi. Banyak keputusan perencanaan berdasarkan kondisi saat itu yang dominan menuntut harus dijadikan prioritas. Boleh dikatakan perencanaan " by accident" dilakukan Bappeda karena sejak Otonomi Daerah Buku Biru Bappeda sudah tidak lagi menjadi acuan. Perencanaan Daerah lebih menyesuaikan keadaan daerah masing-masing." (Wawancara tanggal 17 September 2008)
Sedangkan menurut Ir. Daryanto (Kabid Fisik Bapppeda Kota tahun 2004 2006, Ka BPBD sejak 2006- sekarang ).
105
"Selaku kapala bidang fisik waktu itu, saya tidak mau menerima kebijakan relokasi Pedagang Klithikan sebelum semua kelengkapan dokumen yang menjadi syarat sudah ada. Sehingga proses pentahapan anggaran dibuat di Bappeda untuk mengejar kekurangan 2 ( dua ) dokumen dengan instansi BPBD dan BPKD pada awal tahun anggaran dengan anggaran mumi disusun FS Rancang Bangun Asset Daerah (Ex Pasar Hewan Kuncen) dan pada akhir tahun ada pernbahan anggaran maka diusulkan FS Rancang Bangun Ex Pasar Hewan" (Hasil wawancara pada tanggal 2 September 2008). Berkaitan dengan tahap perencanaan sejak tahun 2004 dan barn terlaksana pada tahun 2007 tidak lepas dari proses PILKADA yang berlangsung tahun 2006. Teijadi proses tarik ulur yang rentan terhadap masalh politik dan sosial. Adanya janjijanji pemerintah terhadap kelompok yang menerima dan menolak serta netral terhadap relokasi. Bappeda sebagai think tank pemerintah terkotak-kotak dalam bidang fisik, bidang ekonomi dan bidang sosial masyarakat. Bidang ekonomi dan bidang sosial masyarakat menangani Peraturan Walikota PKL agar ada legalisasi sementara bidang fisik menunggu perkembangan dengan menyusun Studi Kelayakan Pembangunan Pasar Klithikan. Pandangan bahwa pedagang klithikan mempunya1 potensi yang perlu dikembangkan maka perlu solusi untuk mencarikan tempat yang strategis. Perlu payung hukum, proses pernmusan agar dapat diterima legislatif dan pembenahan fisik yang sesuai dengan Tata Ruang Kota mernpakan tugas Bappeda waktu itu untuk mensukseskan kebijakan relokasi pedagang klithikan. Jadi dari wawancara di atas, diperoleh keterangan bahwa proses perencanaan Pasar Klithikan Pakuncen mernpakan proses ekonomis dengan memanfaatkan dokumen yang sudah ada. Barn kemudian dilengkapi dengan apa yang seharnsnya
106
menjadi syarat suatu kelengkapan kebijakan sebagaimana tergambar dalam Gambar.S Proses Perencanaan Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan berikut ini.
Penyusunan FS Peningkatan Fungsi Pasar ( salah satunya Kuncen) Relokasi Shopping 2004
j_
J.
UKLIUPL Pembangunan Pasar Kuncen 2004
I. 2.
Penyusunan FS eks Pasar Kuncen : Rancang Bangun Aset Daerah (2005, APBD Murni) Rancang Bangun Eks Pasar Hewan Kuncen (2005 akhir, APBD Perubahan)
Tender Pembuatan OED, Tender Pembangunan Fisik, Pelaksanaan Fisik yang belum seluruh dana tercukupi, 2006. Realisasi Relokasi Pedagang Klithikan Soft Opening 11-11-07 Grand Opening 10-12-07
Penggunaan sisa dana lelang 2007 dan Pembangunan Tahap II 2007
Gam bar 5 Proses Perencanaan Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan
6.3. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Aktor lain yang terlibat dalam perumusan kebijakan ini adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindakop) Kota sebagai sektor
107
terdepan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi membina Pedagang Kaki Lima. Inventarisasi ketugasan kemudian disusun oleh Disperindakop. Pengalaman relokasi sukses yang pemah dilaksanakan oleh suatu Instansi telah
menjadikan
aktor
yang
terlibat
diminta
kembali
untuk
mengulangi
kesuksesannya pada Instansi lain. Bapak Sukimo, S.H. dulu selaku Ka Dinsos telah berhasil melaksanakan relokasi Sanggrahan yang merupakan lokalisasi WTS. Beliau kemudian dipindah ke Disperindakop untuk menangani penataan pedagang kaki lima. Dari
hasil
wawancara dengan Bapak Sukimo
S.H.
selaku Kepala
Disperindakop (2003 - 2006) di kantomya yang sekarang menjabat sebagai Kepala Badan Informasi Daerah Kota Yogyakarta menuturkan : "Proses penutupan lokalisasi WTS Sanggarahan yang ditutup Dinas Sosial pada tahun 1998 telah mengawali Pemerintah Kota Yogyakarta dengan relokasi-relokasi yang lain. Penutupan ini telah menjadi contoh bagi Pemda lain karena berlangsung tanpa gejolak. Pada waktu itu saya sebagai Kepala Dinas Sosial melakukan sosialisasi sendiri dengan terjun ke lapangan, bergaul dengan para WTS dan melakukan dialog dengan induk semang mereka untuk memberi kesadaran akan jati diri mereka dan mau untuk direhabilitasi. Wilayah Sanggrahan pada waktu itu akan di bangun untuk Komplek Terminal Terpadu tahun 1999." ( Hasil wawancara pada tanggal13 Agustus 2008) Proses inilah yang diterapkan oleh Bp Sukimo ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi untuk melakukan penataan Pedagang Kaki Lima di wilayah Kota Yogyakarta. 6.4. Dinas Pengelolaan Pasar
Dinas Pengelolaan Pasar ( Dinlopas ) adalah Dinas yang akan menangani pedagang pasca relokasi. Dinlopas diberi tugas untuk mencari data terkait dengan
108
PKL yang akan ditata di Pasar Klithikan Pakuncen. Sehingga Dinas ini dilibatkan sejak pendataan awal agar paham dengan kondisi pedagang yang akan ditata. Dengan cara menyebar beberapa pegawai di lokasi di mana pedagang klithikan terbiasa betjualan, Dinlopas menggali informasi dan menyusun langkah-langkah untuk dialog atau persiapan sosialisasi. Hal itu senada dengan yang diungkapkan dari Bapak Ir. Totok Sudiarto,M.M. (Kasi Pengembangan Pasar Dinlopas,) : "Sebelum rapat-rapat yang bersifat formal untuk sosialisasi kebijakan, Dinas Pengelolaan Pasar menyebar stafnya untuk mencari informasi perkembangan dan apa yang kira-kira akan menjadi tuntutan pedagang. Kemudian secara intern akan diadakan rapat formal untuk mengantisipasi keadaan sebelum dilakukan rapat dengan komunitas". ( Hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2008 ). Peran aktor ini dengan ujung tombak Kepala Dinlopas, dalam perumusan kebijakan dengan cara intensif melakukan dialog non formal dengan pedagang sesuai situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Pendekatan yang manusiawi dilakukan untuk dapat menangkap keinginan para pedagang. Pada akhimya pedagang secara prinsip dapat menerima dan setuju untuk direlokasi. Wawancara dengan Ir. Totok Sudiarto,M.M. Kasie Pengembangan dan Pemasaran
dan
Bp
Kartono,
Kasie
Data pada
Dinas
Pengelolaan
Pasar
menceriterakan bahwa "Sejak awal tahun 2006 sudah diadakan sosialisasi pedagang klithikan di wilayah masing-masing beketjasama dengan Kecamatan di lokasi pedagang klithikan berada yaitu Kecamatan Jetis untuk pedagang di Jalan Mangkubumi dan Kecamatan Kraton untuk pedagang yang berada di J alan Asem Gede dan di Alun-alun Kidul. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan konsep penataan pedagang yang rencana akan di pusatkan di Eks Pasar Hewan dengan
109
pengelompokan pedagang menjadi kelompok pedagang HP, onderdil, klithikan dan pakaian serta penyusunan Blok dan Penempatan. Hal yang sering teijadi dengan relokasi adalah perubahan data yang teijadi beberapa kali antara versi Tim 12 dari perwakilan Gabungan ketiga lokasi pedagang Klithikan dengan Tim Pemerintah Kota Yogyakarta. Setelah dilakukan eros cek dan persesuaian data dengan verifikasi di lapangan yang dilakukan siang, malam hari selama beberapa hari berturut-turut yang menyebabkan beberapa staf dari Tim Pemerintah Kota Y ogyakarta sempat tidak pulang ke rumah selama dua hari. Hal tersebut dilakukan agar masalah data segara selesai dan tuntas sehingga dapat menjadi pegangan bagi penataan akhir dan penempatan pedagang klithikan di lokasi Pasar Klithikan Pakuncen. Pedagang yang menolak relokasi akhimya mendapat lokasi di belakang. Hal ini menyebabkan mereka hingga saat ini merasa bahwa Pemerintah Kota belum maksimal memajukan mereka karena dagangan tetap sepi. Menurut mereka pengunjung kebanyakan hanya melihat-lihat tidak ada potensi yang membeli. Padahal dari Dinas Pengelolaan Pasar tercatat sehari pengunjung 10.000 orang. Bila diasumsikan yang potensial 40 % maka 4.000 pengujung akan berbelanja tersebar pada lebih kurang 718 pedagang. Ratarata pedagang mempunyai pengunjung yang potensial lebih dari 5 orang. Selama ini pula retribusi yang dikenakan hanya Rp. 450,00 per hari dengan listrik gratis masih dari Dinas Pengelolaan Pasar. Pedagang akan diminta memasang listrik sendiri secara bertahap nantinya bila kondusi sudah kondusif. Bagi pedagang yang tukang keluh maka kondisi semacam ini tetap kurang bisa disyukuri. Memang penyakit mental ( muatan spritual ) perlu mendapat pembinaan yang rutin dari dinas Pengeloalaan Pasar." 6.5. Lembaga Legislatif Legislatif terlibat dalam penerimaan pedagang yang melakukan demo menolak ataupun menerima relokasi. Para anggota Legislatif pada prinsipnya dapat memahami kekhawatiran PKL Klithikan yang belum memahami konsep kebijakan yang ditawarkan Pemerintah Kota Yogyakarta. Semua kelompok yang menyalurkan aspirasinya ditanggapi seimbang oleh para anggota legeslatif terutama Komisi II yang membidangi perekonomian.
110
Ide utama relokasi pedagang klithikan berasal dari Eksekutif dan Dewan diajak setelah diadakan pemaparan serta pentahapan proses penganggaran. Masukan yang terkait dengan relokasi dari Dewan agar kebijakan tersebut dilaksanakan tanpa ada konflik atau gejolak dan sebisa mungkin diselesaikan dengan dialog. Menurut Nur Umam (anggota Komisi II DPRD Kota dari fraksi PKS, hasil wawancara pada tanggal 4 September 2008) : "Mengenai konsep relokasi pedagang klithikan dari Pemerintah Kota dalam hal ini oleh eksekutif sangat prematur karena hanya mengejar bantuan APBN Ad Hoc senilai Rp. 5 Milyar pada tahun 2006. Sebenarnya Komisi II sudah mengusulkan pada Pemerintah untuk menata pedagang klithikan pada masa awal periode jabatan yaitu pada tahun 2004. Pada waktu itu jurnlah pedagang klithikan barn berjurnlah puluhan. Tetapi selalu saja Pemerintah itu terlambat untuk mengatasi segala sesuatu. Barn kalau ada masalah kemudian segara diadakan penataan pedagang kaki lima. Sementara keadaan yang ada sekarang ini belum ditangani oleh Pemerintah Kota adalah PKL di Alun-alun Utara belum ada yang berijin." Peran anggota Dewan dalam Kebijakan Penataan Pedagang Klithikan di Pasar Klithikan Pakuncen diakui oleh Ketua Komisi II, Bapak Sinar sebagai berikut : "Konsep relokasi berasal dari eksekutif yang dalam proses pembahasan Dewan dilibatkan sampai dengan terealisirnya kebijakan tersebut. Konsep kebijakan relatif memadai kepentingan - kepentingan dan aspirasi dari wilayah lokasi lama yaitu : Asem Gedhe, Alun-alun Kidul dan Jalan Mangkubumi yang merasa terganggu dengan makin meluas dan ramainya pedagang klithikan berjualan di sana. Parkir dari kegiatan usaha PKL klithikan makin tidak terkendali dan sulit ditertibkan. Hal ini sangat mengganggu masyarakat umum dan kepentingan umum menjadi terabaikan". ( Hasil wawancara tanggal 15 september 2008 ). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Drs.Suhartono, S.T (selaku ketua Komisi III DPRD Kota) terkait dengan ide awal relokasi sebagai berikut :
111
"Sesungguhnya yang mempunyai ide relokasi adalah eksekutif yang kemudian di-ekspose ke Dewan. Karena prosedur yang diajukan oleh eksekutif sudah sesuai prosedur yang berlaku seperti sudah melalui penyusunan Feasibelity Study, kemudian Penyusunan Detail Engineering Design (DED) dan ditenderkan dengan proses sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak ada penyelewengan maupun penyimpangan, maka dewan terutama Komisi III yang membawahi Pembangunan dan Pengawasan Fisik dapat menyetujui dan mendukung upaya relokasi tersebut. Terlebih semua tahap-tahap tersebut sudah tercantum dalam APBD yang telah disetujui dengan disahkannya PERDA mengenai pengesahan APBD. Komisi III dapat mengawal pelaksanaan fisik dengan pantauan yang ketat karena pelaksanaan relokasi direncanakan bulan Oktober 2007 sedangkan pelaksanaan fisik dimulai tahun 2006." (Hasil wawancara tanggal 9 Agustus 2008.) Menurut Suwarto (Anggota Komisi II DPRD hasil wawancara pada tanggal 15 September 2007) "Pemerintah Kota Yogyakarta selalu terlambat menangani PKL. Mengapa ketika mereka masih beijumlah sedikit tidak ditertibkan ? Ketika permasalahan sudah kompleks yang dihadapi baru Pemerintah melakukan tindakan yang membutuhkan biaya yang besar. Inisiatif awal relokasi klithikan berasal dari eksekutif. Dewan hanya meminta klasifikasi klithikan yang dimaksud dengan jelas supaya tidak ada bias dalam pelaksanaan relokasi nantinya. Sejak awal masa pengabdian Dewan tahun 2004, kita sudah meminta agar ada penataan PKL."
Peran lembaga legislatif yang bisa menerima kebijakan tersebut karena sudah sesuai dengan aturan yang berlaku seperti adanya Studi Kelayakan, adanya Rancang Bangun, DED dan pelaksanaan fisik yang tidak ada penyelewengan. Jelaslah bahwa ide dan konsep relokasi berasal dari eksekutif. Pihak legeslatif hanya mengawal kebijakan tersebut karena sudah menjadi tuntutan publik yang merasa dirugikan dengan makin ramainya dan tidak terkendali perparkiran di lokasi lama.
112
6.6.
LSM "IMPLAW" ( Indonesian Monitoring Procedure of Law) IMPLA W ( Indonesian Monitoring Procedure of Law ) merupakan Lembaga
Swadaya Masyarakat yang sudah terlibat dalam proses - proses relokasi di Kota Yogyakarta. Menurut Direktur IMPLAW Ir. Chaniago Iseda, S.H. sewaktu relokasi pedagang Shopping Center ke Pasar Giwangan mereka terlibat dalam aliansi LSM Anti Penggusuran. Waktu itu mereka menentang proses relokasi karena Pemerintah semena-mena melakukan penataan pedagang tanpa melihat dampak yang tetjadi pada pedagang. Dampak yang dirasakan pedagang hasil relokasi tersebut adalah kejayaan ekonorni mereka yang menurun drastis pasca relokasi. Untuk itu, IMPLA W melibatkan diri dalam proses relokasi pedagang klithikan dengan jalan memberi penguatan organisasi pada masing-masing komunitas pedagang klithikan di Jalan Asem Gede, Alun- alun Kodul dan di Jalan Mangkuburni. Dan meminta Pemerintah agar ada jaminan perbaikan kehidupan pasca relokasi nantinya. Usaha yang dilakukan IMPLAW kepada Paguyuban Pedagang Klithikan adalah dengan menawarkan ketjasama penguatan dan advise hukum ( Advokasi ) agar relokasi nantinya tidak hanya menyentuh perpindahan fisik saja, namun juga sukses secara ekonorni. Akhirnya IMPLA W ditunjuk sebagai pendamping dalam proses adopsi kebijakan relokasi pedagang klithikan. Pembentukan TIM 12 yang beranggotakan masmg - masmg 4 (empat ) anggota dari komunitas pedagang klithikan di Jalan Asem Gede, Alun-alun Kidul dan di Jalan Mangkuburni merupakan tindak lanjut dari pendekatan yang dilakukan
113
IMPLA W. Pada setiap kesempatan dialog atau negosiasi dengan Pemerintah Kota maka TIM 12 inilah wakil pedagang dengan didampingi oleh IMPLAW. Tim 12 ini solid dan tidak mudah terpecah belah karena IMPLAW berusaha menciptakan suasana tersebut. Tim 12 ini juga mengkaji semua data - data yang masuk, menyampaikan hak - hak mereka sehubungan dengan aspek legalitas, pemberdayaan dan pemasaran yang menjadi konsep relokasi Pemerintah Kota Yogyakarta. IMPLA W juga menganalisa pedagang yang mau pindah dan pedagang yang tidak mau pindah serta memikirkan nasib pedagang yang tidak mau pindah. Bagaimana kehidupan mereka bila relokasi sudah terlaksananya. Untungnya, semua pedagang yang tergabung seluruhnya mau untuk direlokasi tanpa kecuali. Dari hasil analisa terlihat aktor yang terlibat dalam proses perumusan masalah. Walikota sebagai pencetus ide yang didesak oleh berbagai kelompok kepentingan seperti Pemerhati Ekonomi Kota, Komunitas penduduk di wilayah pedagang klithikan berkegiatan, perkembangan kota dan desakan legeslatif agar ada penataan PKL sejak awal periode mereka menjabat yaitu tahun 2004. Kemudian hal ini diteijemahkan oleh Bappeda dan dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi dibantu Dinas Pengelolaan Pasar. Peran stakeholder seperti IMPLA W dalam penguatan komunitas dalam proses perumusan kebijakan sebagai objek regulasi I relokasi. Peran legislatif bisa menerima kebijakan tersebut karena sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku seperti adanya Studi Kelayakan,
114
Rancang Bangun, Detail Engineering Design (DED), dan pelaksanaan fisik yang tidak ada penyimpangan. Peran Bappeda sebagai mesm pemikir Pemerintah Kota dalam menteijemahkan perintah Walikota untuk kegiatan relokasi ditindak lanjuti dengan melakukan koordinasi antar Instansi yang ada di lingkungan Pemerintah Kota. Pembagian tugas sesuai Tugas Pokok dan Fungsi masing-masing Instansi dilaksanakan dengan koordinasi dipimpin oleh Bappeda. Proses perumusan kebijakan berlangsung sejak 2003 dalam bentuk wacanawacana yang digulirkan melalui media massa. Pada tahun 2004 proses dialog intensif mulai dilaksanakan dengan bersamaan perencanaan program-program yang akan dilaksanakan untuk mendukung terlaksananya relokasi pedagang klithikan. Persetujuan atau kesepakatan antar Instansi yang paling berarti teijadi pada masalah besaran anggaran pada masing-masing Instnsi. Pada dasamya Pemerinth Kota sudah mempunyai pedoman besaran anggaran masing-masing Instansi sesuai skala prioritas yan ada. Bila ada tambahan pada Instansi lain maka ada penguran pada tempat yang lain. Pada kasus relokasi pedagang klithikan ini Dinas Ketertiban menganggarkan tambahan untuk usaha antisipasi kekerasan yang teijadi. Tentu saja hal ini harus ada Instansi yang mau dikurangi, Dinperindakop akhimya mau dikurangi besaran anggarannya untuk menutupi tambahan anggaran di Dinas Ketertiban. Tujuannya agar relokasi segera dapat dilaksanakan.
115
Dari peran aktor diatas dapat disimpulkan bahwa golongan aktor yang berperan adalah tipe reformis. Dengan keterbatasan informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam proses kebijakan mereka harus mengambil keputusan untuk mengatasi persoalan-persoalan dengan singkat dan cepat dengan memanfaatkkan pengalaman-pengalaman yang pernah dilakukan para aktor di pemerintahan. Dengan dernikian tekanan perhatian adalah tindakan sekarang karena urgensi persoalan yang dihadapi. Dari pengalaman aktor yang terlibat kemudian muncul manajemen konflik agar relokasi dapat berjalan dengan baik tanpa ada kekerasan atau benturan fisik antara aparat dengan pedagang. Selanjutnya akan penulis analisa bagaimana strategi Manajemen Konflik sehingga relokasi tanpa ada kekerasan antara aparat dengan pedagang klithikan pada Bab VII berikut ini.
116
BAB VII. STRATEGI MANAJEMEN KONFLIK Dalam setiap kebijakan pasti ada yang pro dan kontra. Kebijakan memang tidak dapat memuaskan semua pihak tetapi merupakan pendekatan yang terbaik yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan adanya masalah. Cara konflik diperluas dan dikelola adalah saat konflik antara dua kelompok atau lebih terhadap suatu persoalan prosedural yang berkaitan dengan distribusi posisi dan sumber daya. Tujuan politik pencegahan adalah meniadakan konflik dengan mereduksi tingkat ketegangan dalam masyarakat. Pencapaian tujuan politik pencegahan tidak terlalu tergantung pada perubahan dalam organisasional, tetapi lebih bergantung pada perbaikan metoda dan pendidikan untuk administrator sosial dan ilmuwan sosial ( Lasswell,( 1930:203) dalam Parson (2005). Adapun usaha-usaha yang telah dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam manajemen konflik merupakan usaha yang berdasarkan pengalaman dari relokasi - relokasi yang pemah dilaksanakan. Adanya perbaikan metoda dengan pendekatan sosiologis melalui penyamaan cara pandang terhadap masalah relokasi, pembentukan Tim pendukung kebijakan, dialog-dialog baik formal maupun non formal,
serta mengadakan kesepakatan (MoU) yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Berikut ini akan diuraikan
bagaimana strategi manaJemen
konflik dikelola Pemerintah Kota dalam Relokasi Pedagang Klithikan.
117
7.1. Penyamaan Cara Pandang
Jalinan komunikasi yang aktif diadakan antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan pedagang klithikan. Menurut Endro Wibisono: "Kalau diistilahkan, komunikasi yang terjalin dengan komunitas klithikan di J alan Mangkuburni seperti pembicaraan orang tua dengan ABG yang memang sulit diajak komunikasi karena punya pandangan yang berbeda. Proses penyamaan pandangan ini dilakukan secara intensif sehingga persepsi yang dibangun punya kesamaan untuk menciptakan Yogyakarta Berhati Nyaman untuk seluruh warga. Komunikasi ini dilakukan dengan mengungkapkan realita dan bagaimana penataan yang seharusnya dilakukan kepada para pedagang kaki lima klithikan." (Wawancara tanggal 26-08-2008).
Kedaulatan Rakyat 29 Oktober ( 2007 ) dengan judul "Relokasi Pedagang Klithikan "Perlu komunikasi dan Persamaan Persepsi" menuliskan
"Ketua IMPLAW (Indonesian Monitoring Procedure of Law) Ir. Chaniago Iseda, S.H. dan salah satu penasehat TIM 12 , Inung Nurzani, S.Sos. rninggu (28/1 0/2007) melakukan komunikasi yang intensif. Pada intinya pedagang dapat memaharni kebijakan Walikota Yogyakarta terkait dengan relokasi. Chaniago berpendapat proses panjang pembicaraan relokasi hampir membuahkan basil. Sedangkan Koordinator LSM Pemerhati Kebijakan Kota berpendapat bahwa Pemerintah Kota sudah berusaha mengakomodir kepentingan semua pedagang klithikan (KR 29 Oktober 2007)." Pemerintah
sangat terbantu dengan usaha penyamaan cara pandang dari
keterlibatan IMPLA W dalam mendampingi komunitas pedagang. Hal ini merupakan kontribusi yang besar bagi terciptanya komunikasi yang seimbang.
IMPLA W
sebagai perantara komunikasi akan membantu kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima. Bagaimana niat baik Pemerintah untuk menata pedagang dapat disamakan persepsinya dengan pedagang klithikan yang sudah lama dan maju dalam usaha mereka di tempat lama.
118
7.2. Pembentukan Tim -Tim Pendukung Relokasi Hal ini juga didukung dengan koordinasi yang baik antar instansi dengan dibentuknya Tim Besar yang anggotanya terdiri dari berbagai Instansi yang terkait seperti Tim Promosi, Tim Penertiban dan Tim Operasional. Pada masa adopsi kebijakan untuk membantu kelancaran Penataan Pedagang Kaki lima ke Pasar Klithikan Pakuncen telah disusun Tim Sosialisasi dan Relokasi pedagang Kaki Lima Klithikan Jalan Mangkubumi, Jalan Asem Gede dan Alun-alun Selatan (Keputusan Walikota Yogyakarta 150/KEP/ 2007) dan Tim Koordinasi Penataan Pedagang Kaki Lima Kota Yogyakarta ( Keputusan Walikota Yogyakarta 396/KEP/2007) yang bertugas sebagaimana tersusun dalam Tabel 12. lnventarisasi Ketugasan Tim Pra Relokasi, Relokasi dan Pasca Relokasi. Tabel 11. Inventarisasi Ketugasan Tim No I
Tim Ketua!Wakil Ketua
Ketugasan Mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan program keija dan tata kala serta target yang akan dicapai; Mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan masing-masing bidang; Melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Walikota.
I.
2. 3.
Anggota
4.
5.
2
Sekretaris
I.
2.
3
Bidang Fisik
I.
•
•
Menyiapkan bahan!kebutuhan administrasi koordinasi serta pendokumentasikan pelaksanaan kegiatan tim; melaksanakan tugas-tugas lain terkait dengan persiapan' pelaksanaan,dan pasca relokasi. Pra Relokasi : melaksanakan Merencanakan dan pembangunan fisik ex pasar he wan Kuncen. Merencanakan konsep pemanfaatan lokasi
4. 5.
I.
2. 3. 4. 5.
Asisten Pemab ngunan Setda Kota Yogya karta. Ka. Bappe da. Ka Dinperindakop Staf Dinperindakop
Ka BPBD Unsur BPBD Unsur Bappeda Unsur Kimpraswil UnsurBPKD
119
lama yang ditinggalkan pedagang; 6. Melaksanakan tugas-tugas lain yang 7. 8. diberikan oleh Ketua/wakil Ketua. 2. Pelaksanaan Relokasi • Menyediakan sarana transportasi angkutan untuk membantu relokasi; • Persiapan Pembangunan fisik di lokasi lama; • Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Ketua/wakil Ketua. 3. Pasca relokasi : Melaksanakan pembangunan fisik di lokasi lama • Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Ketua/wakil Ketua. 1. 1. Pra Relokasi • Menyusun konsep teknis pelaksanaan 2. relokasi • Melakukan koordinasi ,sosi ali sasi dengan 3. warga 4. komunitas pedagang dan 5. masyarakat terkait; Melakukan cross check data pedagang, dan 6. warga masyarakat terkait. • Melakukan cross check data pedagang, seleksi pedagang, lotre pedagang • Merencanakan penataan lokasi pedagang (zoning,penomoran, modul) • Menyusun produk hukum terkait dengan penataan pedagang kaki lima di lokasi lama dan pengelolaan pasare baru; • Merencanakan pos pelayanan relokasi Merencanakan dan melaksanakan publikasi; • Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh oleh Ketua/wakil Ketua 2. Relokasi Melakukan penataan pedagang di lokasi baru; • Melaksnakan • Melaksanakan tugas -tugas lain yang diberikan oleh Ketua/wakil Ketua 3. Pasca Relokasi Melakukan promosi pasar baru; • Merencanakan dan melaksanakan kegiatan pendampingan pemberdayaan serta pedagang. • Melaksanakan tugas -tugas lain yang diberikan oleh Ketua/wakil Ketua 1. Pra relokasi 1. 2. pos melaksanakan Merencanakan dan •
•
Unsur DLH Unsur Dinhub Unsur Kec. Jts,Kec GT, Kec.KT.
•
4
Bidang Pedagang
Bin a
•
Unsur Dinperindakop Unsur dinlopas Unsur Dinhub Unsur Bag Hukum Unsur Bag. keijasama Unsur Kec. Jt,Kec.KT,Kec. WB
•
•
•
5
Bidang Pengamanan
Unsur Dintib Unsur Dinlopas
120
pengamanan relokasi Melaksanakan tugas -tugas lain yang diberikan oleh Ketualwakil Ketua 2. Pelaksanaan Relokasi • Melaksanakan pengamanan baik di lokasi lama maupun lokasi baru. • Melaksanakan tugas -tugas lain yang diberikan oleh Ketualwakil Ketua. 3. Pasca Relokasi • Melanjutkan pengamanan di lokasi lama. • Melaksanakan pengamanan di lokasi baru. • Melaksanakan tugas -tugas lain yang diberikan oleh Ketualwakil Ketua. Merencanakan dan melaksanakan agenda seremonial relokasi.
3.
•
6
Bidang Acara
4.
Unsur Kec. JT, Kec. GT, dan Kec.WB. Kapolsek JT, Kapolsek KT, Kapolsek WB.
Koordinator Bagian Protokol Setda Kota
YK. I. 2. 3.
4.
7
Bidang Parkir
Bin a
I.
Para relokasi Merencanakan konsep penataan parkir baik di lokasi lama maupun baru. • Melaksanakan koordinasi dan sosialisasi kepada komunitas parkir • Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Ketualwakil ketua. 2. Relokasi Melaksanakan penataan parkir baik di lokasi lama maupun baru. • Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh ketualwakil ketua. 3. Pasca relokasi • Melaksanakan pemantauan atas penataan parkir baik di lokasi lama maupun di lokasi baru. • Melaksanakan tugas -tugas lain yang diberikan oleh Ketualwakil Ketua
•
I. 2. 3. 4. 5.
Unsur Bag. Protokol. Unsur Dinperindakop Unsur Dinlopas Unsur Dinhub. Unsur Dinhub Unsur Dintib Unsur Perindakop Unsur Dinlopas Unsur Kec. JT, Kec. GT, Kec. WB.
•
Untuk
memudahkan
relokasi
telah
disusun
tatakala
sosialisi
agar
memudahkan penerimaan relokasi kepada seluruh kelompok pedagang dan berbagai komunitas wilayah sebagaimana Tabel.13. Jadwal Sosialisasi berikut:
121
Tabel 12 Tata Kala Sosialisasi No. I 2. 3 4 5 6.
7 8
9 10 II 12 13 14
15
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
KEGIATAN Sosialisasi Asem Gede Penandatangan MOU/ Pemyataan Pemkot Sosialisasi ALKID Sosialisasi Masyarakat Pakuncen Sosialisasi PPHP!Parkir Sosi ali sasi Pedagang Pakuncen dan Pembentukan Paguyuban Pasar Pakuncen Checking Lokasi/ Koord Keamanan Pembuatan pap an petunjuk kepindahan klithikan dan papan Iarangan Penggarisan lahan dan penomoran lahan Sosialisasi Parkir Mangkubumi Pendataan Mangkubumi Klarifikasi data Mangkubumi dengan Independent Klarifikasi data Mangkubumi dengan Pethikbumi Pembuatan Pendaftaran, Blanko Lintingan Lotre dan Kartu Hasil Lotere (KHL) Klarifikasi data Mangkubumi bersama-sama Independent dan Petikbumi Penyelesaian Perwal Pasar Klithikan Sosialisasi Mangkubumi Pok 1-2 Sosialisasi Mangkubumi Pok 3 Sosialisasi Mangkubumi Pok 4 Sosialisasi Mangkubumi Pok 5 Sosialisasi Mangkubumi Pok 6 Sosialisasi Mangkubumi Pok 7-8 Pendaftaran
WAKTU Jum'at, 28-9-07 pk 14.00 Sabtu, 29-9-07 pk 16.00
KETERANGAN KEC. Jetis Dinlopas
Sen in, 01-1 0-07 pk 16.00 Selasa,02-I 0-07 pk 16.00 Rabu, 03-10-07 ~k 16.00 Kamis, 04-10-07 pk 16.00
KEC. Kraton Kel Pakuncen Ex. Pasar Pakuncen Kel. Pakuncen
Jum'at, 05-10-07 pk 16.00 Jum'at, 05-10-07
Dinlopas Kimpraswil
Jum'at, 05 s/d 10-10-07
Eks pasar Hewan
Sabtu, 06-10-07 pk 16.00 Sabtu, 06-10-07 pk 18.00 Sen in, 08-10-07 pk 16.00
Kec. Jetis Kec. Jetis Dinlopas
Selasa, 09-10-07 pk 16.00
Dinlopas
Rabu,
Dinlopas
I 0-10-07
Rabu, I 0-10-07 pk 16.00 (jika memungkinkan)
Dinlopas
Rabu, 10-10-07 pk 14.00 Senin, 22-10-07 pk 14.00 Selasa, 23-10-07 pk 14.00 Rabu , 24-10-07 pk I 0.00 Rabu , 24-10-07pk 14.00 Kamis, 25-10-07 pk 10.00 Kamis, 25-10-07 pk 14.00 Jum'at, 26 s/d 27 Okt 07 Pk 09.00 s/d 15.00 WIB Minggu, 28-10-07 pk Sen in, 29-1 0-07 pk 09.00 Selasa, 30-1 0-07 pk 09.00 Rabu, 31-10-07 pk 19.00 Kamis, 01-11-07 pk 10.00 Sa btu, I 0-11-07
Dinlopas Kec. Jetis Kec. Jetis Kec. Jetis Kec. Jetis Kec. Jetis Kec. Jetis Masing-masing Kecamatan Sehari semalam Pasar Pakuncen Pasar Pakuncen Pasar Pakuncen Pasar Pakuncen Pasar Pakuncen
Zoning lahan Undian/Lotere lahan Penempatan Upacara Peresmian I Gran Opening Penyerahan subsidi transisi Pembentukan Paguyuban pasar klithikan definitif sekaligus penyusunan EfOgramnya. Sumber : Dmpenndakop (2007) has1l wawancara dengan Bp Wuryanto 11-09-2008.
122
Wawancara dengan Ir. Totok Sudiarto,M.M. Kasie Pengembangan dan Pemasaran dan
Bp Kartono,
Kasie Data pada Dinas
Pengelolaan Pasar
menceriterakan bahwa "Sejak awal tahun 2006 sudah diadakan sosialisasi pedagang klithikan di wilayah masing-masing bekeijasama dengan Kecamatan di lokasi pedagang klithikan berada yaitu Kecamatan Jetis untuk pedagang di Jalan Mangkubumi dan Kecamatan Kraton untuk pedagang yang berada di Jalan Asem Gede dan di Alun-alun Kidul. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan konsep penataan pedagang yang rencana akan di pusatkan di Eks Pasar Hewan dengan pengelompokan pedagang menjadi kelompok pedagang HP, onderdil, klithikan dan pakaian serta penyusunan Blok dan Penempatan. Hal yang sering teijadi dengan relokasi adalah perubahan data yang teijadi beberapa kali antara versi Tim 12 dari perwakilan Gabungan ketiga lokasi pedagang Klithikan dengan Tim Pemerintah Kota Yogyakarta. Setelah dilakukan eros cek dan persesuaian data dengan verifikasi di lapangan yang dilakukan siang, malam hari selama beberapa hari berturut-turut yang menyebabkan beberapa staf dari Tim Pemerintah Kota Yogyakarta sempat tidak pulang ke rumah selama dua hari. Hal tersebut dilakukan agar masalah data segara selesai dan tuntas sehingga dapat menjadi pegangan bagi penataan akhir dan penempatan pedagang klithikan di lokasi Pasar Klithikan Pakuncen. Pedagang yang menolak relokasi akhimya mendapat lokasi di belakang. Hal ini menyebabkan mereka hingga saat ini merasa bahwa Pemerintah Kota belum maksimal memajukan mereka karena dagangan tetap sepi. Menurut mereka pengunjung kebanyakan hanya melihat-lihat tidak ada potensi yang membeli. Padahal dari Dinas Pengelolaan Pasar tercatat sehari pengunjung 10.000 orang. Bila diasumsikan yang potensial 40 % maka 4.000 pengujung akan berbelanja tersebar pada lebih kurang 718 pedagang. Ratarata pedagang mempunyai pengunjung yang potensial lebih dari 5 orang. Selama ini pula retribusi yang dikenakan hanya Rp. 450,00 per hari dengan listrik gratis masih dari Dinas Pengelolaan Pasar. Pedagang akan diminta memasang listrik sendiri secara bertahap nantinya hila kondusi sudah kondusif. Bagi pedagang yang tukang keluh maka kondisi semacam ini tetap kurang bisa disyukuri. Memang penyakit mental ( muatan spritual ) perlu mendapat pembinaan yang rutin dari Dinas Pengeloalaan Pasar." Hasil wawancara dengan Benicdik : "Masing-masing anggota Tim relokasi dalam melaksanakan program tidak perlu formal. Terutama Tim Kecil yang terdiri anggota dari Disperindakop, Dinlopas dan Kewilayahan hanya dihubungi per telpon jam 03.00 dini hari
123
untuk koordinasi di lapangan maka mereka siap. Mungkin Tim ini tidak lengkap yang hadir tetapi yang penting ada perwakilan. Pada mulanya mereka stress dengan pola ketja yang non formal. Tapi lama kelamaan sudah terbiasa. "(hasil wawancara tanggal 12 -8-2008 ).
7.3.
Dialog Formal dan Non Formal Pada masa Walikota R.Widagdo (1998 -2002) masalah pasar klithikan di
1alan Mangkubumi sudah menj adi pemikiran tetapi masih gamang kalau berhadapan
dengan komunitas tersebut. Sehingga hanya berupa wacana-wacana saja. Pemerintah Kota Yogyakarta pada waktu itu masih mengukur kekuatan dan menyadari belum cukup mampu berhadapan dengan komunitas PKL Klithikan dan juga belum menjadi prioritas kebijakan. "Pada masa Walikota Herry Zuhdianto dan Wakil Walikota Syukri Fadoli (2002- 2006) maka wacana dan pendekatan-pendekatan dialog mulai intensif diadakan dan mulai menyusun konsep Perencanaan Tata Ruang. Penyusunan konsep mulai melibatkan masyarakat untuk menyusun RUTRK Umbulharjo dengan melibatkan masyarakat tetapi selama diskusi intensif 3 (tiga) bulan tidak menghasilkan apa-apa. Akhimya penyusunan RUTRK tidak melibatkan masyarakat hanya mensosialisasikan hasil yang sudah dibuat kepada masyarakat. "(Wawancara dengan Endro W., 26-08-2008) Temyata untuk membuat kebijakan yang melibatkan masyarakat Pemerintah Kota Yogyakarta kurang sabar dengan berbagai permintaan yang beragam. Sehingga ditempuh untuk melibatkan dalam sosialisasi saja setelah peraturan jadi. Dari hasil Studi Kelayakan yang dilakukan Bappeda Kota Yogyakarta diperoleh masukan bahwa tingkat pendidikan PKL cukup tinggi ( SMA ke atas lebih dari 50 %, di mana tingkat kemampuan berpikir secara dewasa dapat diandalkan ) sehingga disarankan agar pada proses pendekatan kebij akan dengan cara patriarki
124
atau dialog dengan mendatangkan para ahli I pakar yang menguasai masalah sektor informal. Pemerintah sangat memperhatikan hal ini karena dianggap sangat menentukan keberhasilan proses relokasi PKL klithikan. Tabel 13 Persentase Tingkat Pendidikan PKL Tingkat Pendidikan PKL
Persentase (%)
Diploma/ Satjana
5,7
SMA
48,2
SMP
20,6
so
25,5
Sumber : Stud1 FS Eks Pasar Hewan (2005)
Data tingkat pendidikan PKL akan mempengaruhi bagaimana kebijakan disosialisasikan dan diimplementasikan. Tingkat pendidikan pedagang yang relatif tinggi memerlukan pendekatan yang dialogis dan patemalistik dalam melakukan implementasi relokasi atau penataan. Latar belakang pendidikan mayoritas pedagang klithikan menjadi pertimbangan pemerintah kota dalam menyusun langkah-langkah relokasi yang akan ditempuh. Akan lebih banyak pakar ahli yang akan dilibatkan dalam mengkondisikan perencanaan relokasi yang akan dilaksanakan (laporan akhir FS eks pasar hewan, IV -35). Dialog yang sudah betjalan baik terancam gagal dalam perumusan masalah karena
adanya
kecurigaan
sebagian
komunitas
Pedagang
Klithikan
Jalan
Mangkubumi (Pethik Bumi) bahwa ada penyusup yang masuk organisasi mereka. Sehingga pada pergantian Pengurus Pethik Bumi arah pembicaraan berubah. "Dalam proses pendekatan tersebut Pengurus Paguyuban Pasar Klithikan Mangkubumi (Pethik Bumi) tetjadi pergantian pengurus. Pengurus lama Sdr Bambang yang profesi PNS mempunyai kerja sampingan sebagai pedagang
125
dicurigai mempunyai hubungan khusus dengan Pemerintah Kota. Proses pergantian pengurus ini menghambat perumusan kebijakan selanjutnya karena kebanyakan mereka menolak relokasi dan akan mem-PTUN-kan Pemerintah Kota Yogyakarta." (wawancara dengan Endro W., 26-08-2008) Hal inilah yang menyebabkan demo anti pengusuran terjadi. Proses dialog terns berlangsung sehingga Pemerintah mempunyai gambaran akan sebagian besar PKL klithikan dapat menerima relokasi. Rencana pedagang yang akan di relokasi adalah PKL klithikan yang berasal dari Jalan Asem Gede dan Alun-alun Kidul yang tidak keberatan di relokasi dan di Jalan Mangkubumi yang pro dan kontra dengan relokasi. IMPLA W juga mendampingi TIM 12 menghadap Walikota di rumah pribadi yang terletak di desa Golo, kecamatan Umbulhrujo karena sebagai Pemimpin tertinggi di Kota Yogyakarta, Herry Zudianto siap mendengarkan aspirasi rakyat di mana dan kapan saja. IMPLAW menyarankan agar dialog semakin intensif dilakukan oleh Pemerintah terutama oleh Walikota sendiri. Hal ini secara psikologis akan menjadi point penting karena rakyat merasa diperhatikan oleh orang yang dipilihnya. Tujuan Perwakilan Paguyuban menemui orang nomor satu di Yogyakarta ini agar kekurangan-kekurangan relokasi yang terjadi di Shopping Center tidak terjadi lagi pada relokasi klithikan. Mereka juga menginginkan jarninan bahwa janji tersebut akan dipenuhi. Ringkasan berbagai pandangan terkait dengan peristiwa pertemuan di Golo disajikan dalam tabel 15. Matriks Pandangan Pertemuan di Rumah Pribadi Walikota. Dialog inilah yang menjadi titik awal kesepakatan relokasi. Pendekatan sosiologis dan juga pendekatan kekuasan sekaligus dilaksanakan. Dalam hal pendekatan sosiologis, Pemerintah menempatkan tokoh Walikota sebagai pribadi yang berpengaruh berhadapan dengan wakil Komunitas yang dianggap tokoh oleh
126
lingkungannya. Masing-masing mempunyai tanggung jawab untuk membawa massanya ke dalam kesepakatan yang telah dibuat sejak awal sosialisasi. Tabel 14 Matriks Pandangan Pertemuan di Rumah Pribadi Walikota NO I
NAMA/JABA TAN Eddy Muhammad/ Ka Sub Din PJU Din Kimpraswil
Staf
2
Wuryanto/ disperindakop
3
Nur Umarn/Komisi II DPRD Kota
4
Aman Yuriadidjaja/ Ka Disperindakop
5
IMPLAW/ LSM
PENDAPAT KET. Merupakan pertemuan an tara Pemkot dengan Hasil Komunitas untuk menan tang konsep masing- wawancara 6 masing. Pemerintah mempunyai kewajiban Agustus 2008 menata dan mengatur semua warga, komunitas berhak menolak relokasi dan memPTUN kan Pemkot. Pertemuan antara komunitas pedagang dengan Hasil Walikota sebagai penanggung jawab tertinggi wawancara relokasi yang bisa dipegang janjinya. Menemui di II September rumah pribadi dan bukan dirumah dinasnya untuk 2008 mendapatkan jaminan dari orang nomor I di Yogyakarta an tara Walikota Hasil Merupakan perselingkuhan tadinya dengan Pedagang yang minta wawancara 4 perlindungan kepada Dewan karena tidak mau September direlokasi. Padahal Dewan sudah menyiapkan diri 2008 menjadi bemper bagi pedagang yang tidak mau direlokasi untuk mencarikan solusi yang terbaik. Pertemuan yang mengedapankan ketokohan dan Hasil bukan lembaga untuk saling memahami dengan wawancara 15 cara memberi dan menerima. Menuntut agar November ketokohan masing-masing dapat bertanggung 2008 jawab secara moral. Sebagai Pemimpin tertinggi Kota Yogyakarta Hasil Herry siap menerima/mendengarkan aspirasi wawancara 16 rakyat di mana dan kapan saja. Komunitas dengan September perwakilan Tim 12 meminta agar kekurangan pada 2008 waktu relokasi Shoping Center tidak terjadi pada relokasi pedagang klithikan.
Pendekatan kekuasaan dikedepankan karena Pemerintah berhak untuk membuat aturan agar masyarakat tertib. Aturan - aturan tentang PKL telah dibuat dengan melibatkan perwakilan komunitas pedagang sebagai alat bukti peran partisipatif masyarakat. Apabila komunitas mau mem-PTUN-kan Pemerintah maka hal itu tidak masalah bagi Pemerintah karena proses pembuatan kebijakan sudah
127
melibatkan masyarakat. Sedangkan komunitas pedagang jika menolak relokasi maka mereka melanggar aturan larangan berdagang di Jalan Mangkubumi, Jalan Asem Gede dan di wilayah Alun-alun Kidul. Dalam waktu tiga bulan IMPLAW mendampingi diskusi 22 kali untuk persiapan rapat membuat kesepakatan-kesepakatan dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Pelaksanaan diskusi tetjadi di Rumah Dinas sebanyak 3 kali, di Rumah Dinas sebanyak 1 kali, di Perindakop 3 kali dan sisanya di Dinas Pengelolaan Pasar. Proses pendekatan makin intensif setelah Endro Wibisono diangkat sebagai Pemimpin Kegiatan Pembangunan Eks Pasar Hewan Kuncen. Usulan APBD untuk · pembangunan Eks Pasar Hewan Kuncen ditolak oleh Dewan (Legislatif) karena skala prioritas masih pada penanganan pasca gempa. Untungnya ada tawaran Dana Ad Hoc APBN untuk pemerintah Kota Yogyakarta sehingga pada tahun 2006 itu juga disusun DED (Detail Engineering Design) beserta kelengkapan untuk proses lelang. Pendekatan makin intensif dengan pendekatan teknis tetapi komunitas tidak paham. Persoalan muncul setelah pelaksanaan Relokasi yang direncanakan akhir 2006 mundur karena menurut pertimbangan teknis, pelaksanaan fisik yang belum sempuma 100 % akan mengganggu pedagang hila relokasi dilaksanakan saat itu. Hal ini akan lebih baik ( meminimalkan gejolak yang mungkin timbul hila pada masa awal penyesuaian keadaaan di lokasi bam ada gangguan pelaksanaan pekerjaan fisik yang bel urn jadi ) hila relokasi pedagang dilaksanakan setelah keseluruhan peketjaan fisik selesai. Pada waktu itu pekerjaan canopi depan belum dilaksanakan karena pentahapan pembiayaan.
128
Pihak pedagang melihat hal itu menganggap bahwa Pemerintah tidak serius menyelesaikan tahap relokasi. Bahkan untuk penyempumaan fisik, Pemerintah merninta tambahan anggaran lagi. Sebenamya hal itu merupakan pentahapan pelaksanaan fisik karena keterbatasan APBD Kota, namun pedagang sudah tidak mau tahu dengan pentahapan dan menganggap itu pemborosan dan pembengkakan ( mark up ) anggaran.
Pedagang tetap melihat bahwa anggaran Pembangunan Pasar
Klithikan tahun 2006 hanya dihambur-hamburkan dan PKL dijadikan alasan untuk membuat anggaran tidak efisien. Kejadian yang sesungguhnya dari Rencana Anggaran Biaya (RAB) perencanaan memang dibutuhkan dana 7,5 Milyard namun anggaran dibuat bertahap karena keterbatasan APBD tahun 2006. Pelaksanaan fisik tahun 2006 telah selesai 100% menurut kontrak yang ada tetapi bel urn menyelesaikan seluruh perencanaan yang telah dihitung. Pelaksanaan penyelesaian fisik disangupi oleh BPBD yang menangani fisik selesai akhir agustus 2007. Adapun persiapan teknis sebagai usaha antisipasi adalah berikut : I.
2.
Latar Belakang Relokasi : a. Pengembangan potensi PKL Klithikan pada tempat yang representatif. b. Pengembangan pasar klithikan sebagai icon wisata belanja. Tata kala relokasi a. Pembangunan fisik sampai dengan 17 Oktober 2007 Bentuk lahan dasaran berupa los • Jumlah modul607 • Keluasan masing-masing modul 2 x I ,5 m2 • Masing-masing modul dilengkapi fasilitas tempat penyimpangan barang • b. Pemantapan data : 27 Agustus sampai dengan I 0 September 2007 Dilakukan dengan cara petugas terjun ke lapangan menyampaikan blanko yang harus diisi oleh masing-masing PKL. Pemantapan data ini dilakukan untuk menemukan jenis dagangan guna menetukan zoning di pasar klithikan Pakuncen dan untuk mengetahui jumlah yang sebenamya dari PKL klithikan ynag kan direlokasi. c. Sosialisasi lanjutan II sampai dengan 30 September 2007
129
SosiaJisasi Janjutan diJakukan terhadap seJuruh PKL kJithikan dan masyarakt Jingkungan sekitamya dengan materi aspek teknis reJokasi. Tempat sosiaJisasi akan menggunakan pendopo Kecamatan masing-masing wiJayah. d. Pendaftaran caJon pedagang pasar kJithikan pakuncen muJai tanggaJ I sampai dengan 6 Oktober 2007 bertempat di posko relokasi I Pendopo Kecamatan masing-masing wilayah, dengan syarat-syarat sebagai berikut : • Tercatat dalam data tim relokasi berdasarkan hasil pemantapan data • Mengisi blanko Permohonan sebagai pedagang pasar • Foto copi KTP I lembar • Pas foto 3 x 4 2 Iembar • Harus datang sendiri I tidak boJeh diwakiJkan. Setiap pendaftar akan diberi tanda bukti pendaftaran yang digunakan sebagai tanda bukti untuk mengikuti pengundian I Jotere Jahan dasaran. e. Penataan dan penomoran lahan dasaran muJai I sampai dengan 6 Oktober 2007. Setiap lahan dasaran diberi batas berupa garis dan diberi nomor untuk menandai masing-masing modul yang kana didapat oleh caJon pedagang. f. Zoning lahan dasaran tanggal 22 sampai dengan 23 Oktober 2007 • Zoning lahan dasaran digunakan untuk menentukan pengelompokan dagangan sejenis pada suatu blok tertentu untuk memberikan kemudahan kepada caJon pembeJi dalam mencari barang yang diperJukan serta untuk kerapihan dan keindahan daJam penataan pasar. • Penentuan zoning dilakukan bersama-sama antara tim relokasi dengan pedagang yang diwakiJi oleh pengurus paguyuban. g. Pengundian I lotere nomor lahan dasaran I modul mulai 24 sampai dengan 26 Oktober 2007. • Pengundian I lotere dilakukan untuk menentukan tempat lahan dasaran yang akan dipakai oleh pedagang. • Setelah pengundian masing-masing caJon pedagang akan mendapatkan Kartu Hasil Lotere (KHL) sebagai Kartu Bukti Pedagang (KBP) sementara. Dengan kepemilikan KHL setiap PKL berhak untuk menempati Jahan dasaran di pasar klithikan Pakuncen. • Pengundian diJakukan bersama-sama antara tim reJokasi dengan pedagang yang diwakili oJeh pengurus paguyuban. h. Penempatan pedagang pasar tangga1 31 Oktober 2007. Penempatan pedagang diawaJi dengan pengajian dan wayangan serta prosesi upacara pemberangkatan dari masing-masing lokasi. 3. Kelas Pasar dan jam buka tutup pasar kJithikan Pakuncen a. Kelas Pasar Klithikan Pakuncen ditetapkan sebagai pasar klas III. b. Jam buka tutup pasar ditetapkan J8 jam (I ,5 hari )nterhitung dari jam 05.00 sld 23.00 WIB. 4. Penetapan sebagai pedagang pasar a. Penetapan sebagai pedagang pasar dibuktikan dengan diterbitkannya kartu bukti pedagang pasar (KBP). b. Rincian biaya untuk mendapatkan KBP adalah sebagai berikut : Biaya Pelimpahan Hak penggunaan lahan : 3 m2 x 360 hr x Rp. I 00,- = I 08.000,- ditambah biaya administrasi cetak kartu = Rp. 2.000,- . Jumlah total Rp. II 0.000,c. Untuk menjadi pedagang pasar sekaligus mendapatkan lahan dasaran, tidak ada biaya lainnya, kecuali baiya tersebut diatas. 5. Besaran retribusi pasar a. Besaran retribusi untuk jenis dagangan kJithikan dan barang bekas sebesar RP. JOO,Imeter2/hari sehingga setiap pedagang membayar retribuis setiap hari sebesar Juas lahan
130
6.
dasaran dikalikan 1,5 hari dikalikan Rp. 100,- atau 2 x I ,5 x 1,5 x Rp. 100,- = Rp. 450,- I hari. b. Selama 6 (enam) bulan pedagang dibebaskan dari kewajiban membayar retribusi. Pemberdayaan pedagang pasar klithikan Pakuncen a. Pemberdayaan dalam bentuk subsidi pada masa transisi diupayakan sebesar Rp. 40.000,-1 hari selama 7 hari. b. Pemberdayaan dalam bentuk subsidi masa adaptasi. Diupayakan sebesar Rp. 20.000,- I hari selama 30 hari . c. Pemberdayaan dalam bentuk pelatihan manajemen usa dan pelatihan teknis.
(Sumber dokumen dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota.) Bersamaan kegiatan pembangunan fisik berlangsung, sosialisasi kewilayahan juga beijalan intensif, yang menjelaskan bahwa sebentar lagi akan ada Pembangunan Fisik yang cukup besar dan mungkin dilakukan lembur serta keramaian yang mungkin nanti teijadi selama pelaksanaan pembangunan fisik. Sosialisasi ke pedagang juga makin intensif setalah H. M. Fadli diangkat menjadi Kepala Dinas Pengelolaan Pasar yang definitif (sebelumnya hanya pelaksana tugas Kepala Dinas) beijanji akan menuntaskan usaha relokasi pasar klithikan di Jalan Mangkuburni ke Eks Pasar Hewan Pakuncen. Koordinasi yang teijadi di lapangan dijelaskan oleh Eddy Muhammad: "Koordinasi merupakan tindakan langsung di lapangan dari sisi penyiapan lahan yang akan ditempati. Hal ini karena pekerjaan pembangunan fisik gedung bersamaan dengan tuntutan wilayah Kuncen yang merninta agar sarana dan prasarana lingkungan diperbaiki seperti jalan lingkungan agar diaspal atau diconblok. Lokasi yang ditinggalkan langsung diberikan tanaman dalam pot-pot besar untuk penghijauan Kota, bersamaan aksi propinsi untuk menata Alun-alun Selatan dan Penataan Malioboro serta Parkir Ngabean. Malam harinya lampu sorot putih yang menggambarkan Garis Lurus Imajiner di Jalan Mangkuburni mulai menyala." Aksi Pengamanan juga dilaksanakan untuk beijaga-jaga kalau ada perlawanan dari pedagang yang menolak. Sedangkan para pedagang masih ada yang menunggu perkembangan untuk berjualan di lokasi tersebut. Adanya pemberlakuan SK Walikota 45/2008 yang berisi antara lain: larangan bagi pedagang kaki lima berjualan di Jalan Mangkubumi." (Hasil wawancara tanggal I Desember 2008).
131
Berkaitan dengan pertemuan informal (pertemuan di rumah pribadi Herry Zudianto di Golo Umbulharjo) antara Walikota dengan paguyuban yang akan mem PTUN kan Pemerintah Kota terkait dengan relokasi tersebut adalah upaya untuk menantang konsep dari Pemerintah dengan Paguyuban yang menolak relokasi (menurut pengamatan Pemerintah Kota Yogyakarta yang menolak relokasi hanya minoritas dan ditunggangi pihak lain yang ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu). Menurut Wuryanto : "Pertemuan antara komunitas pedagang dengan Walikota sebagai penanggung jawab tertinggi relokasi yang bisa dipegang janjinya. Mereka menemui Walikota di rumah pribadinya bukan di Rumah Dinas. Para pedagang ingin kepastian jaminan pelaksanaan relokasi tidak akan menyengsarakan mereka. Jaminan bahwa mereka bukan bulan-bulanan kebijakan. Akhimyan dibuat kesepakatan pedagang dan Pemkot bahwa mereka tidak keberatan untuk ditata di Pasar Klithikan Pakuncen." (Hasil wawancara tanggal 11-9-2007). Hal senada diungkapkan oleh Edy Muhammad yang hadir dalam pertemuan di Golo tersebut yang menyebutkan bahwa pertemuan tersebut merupakan adu konsep antara pemerintah dengan pedagang yang tidak mau direlokasi.
"Pemerintah siap melayani tuntutan Paguyuban yang menolak relokasi karena mempunyai prinsip membela komunitas masyarakat lebih luas yang dirugikan dengan keberadaan PKL di Lingkungan Jalan Mangkubuni. Pedagang klithikan di Asem Gede dan Alun-alun kidul cenderung menerima relokasi asal ada kejelasan jaminan masa depan yang lebih baik. Pemerintah juga yakin dengan kejelasan program dan kejelassan hukum bagi pedagang klithikan akan makin banyak yang pro dengan relokasi tersebut."(Hasil wawancara dengan Eddy Muhammad pada tanggal 6 Agustus 2008).
Keberhasilan relokasi tidak lepas dari matangnya konsep rencana yang dipindah, rencana yang dituju yang sudah pasti dan konsep fisik yang jelas. Setelah
132
konsep matang kemudian usaha yang ditempuh Pemerintah adalah sosialisasi yang merupakan wacana relokasi di Pasar Terban pada tahun 2004 dimulai dengan dialog oleh Wakil Walikota waktu itu H.Syukri Fadholi dengan Paguyuban Pedagang Klithikan. Hal yang melatar belakangi kesuksesan Tim Relokasi Pemerintah Kota Yogyakarta adalah: "Suksesnya relokasi karena beberapa hal berikut : 1. Anggota Tim bekeija maksimal dan terkoordinasi dengan baik sehingga menghasilkan keija yang bagus. 2. Anggota Tim berorientasi tugas dan kepuasan keija sehingga mereka semampu sekuat tenaga untuk dapat menghasilkan pelayanan kepada masyarakat. 3. Orientasi utama anggota Tim adalah target utama yaitu kesuksesan program yang dilaksanakan. Tidak hanya pada saat relokasi tetapi bagaimana pasca relokasi keberlangsungan dinamika perdaganagan mereka juga dipikirkan. Usaha-usaha dilakukan untuk menunjang kegiatan Pasca relokasi seperti mengadakan promosi, konsep pemasaran yang dikeijkan bersama, penyebaran brosur ke hotel-hotel, dan pemasangan pap an penunjuk arah." (hasil wawancara dengan Eddy Muhammad pada tanggal 6 Agustus 2008).
Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa usaha - usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kota sangat banyak. Usaha- usaha tersebut, baik teknis (rencana relokasi yang matang dan sosialisasi berbagai komunitas) maupun non teknis (pendekatan formal dan non formal yang manusiawi, penghormatan pemenuhan tuntutan masyarakat, adanya LSM yang membantu menstrukturkan komunikasi yang teijadi) sebagaimana tertulis dalam sebagian kesimpulan dan saran. Bab Penutup ini diberikan agar penelitian ini dapat menjadi acuan atau contoh dalam relokasi di Kota Yogyakarta sendiri maupun daerah lain yang ingin mengambil pelajaran.
133
7.4. Mengadakan MoU Berdasarkan pengalaman Relokasi Shopping Center yang dipandang IMPLAW sukses secara fisik (memindahkan pedagang dari lokasi lama ke lokasi barn tanpa ada kekerasan fisik antara aparat dengan pedagang) tetapi gagal secara ekonomi karena banyak pelaku usaha yang gulung tikar setelah relokasi berlangsung. Pemain-pemain barn bermunculan dan mengakibatkan pelaku lama tersingkirkan. Untuk itu IMPLA W berharap hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta agar relokasi dapat berhasil adalah : 1.
Pemerintah harns memenuhi janji-janji yang disampaikan pada waktu sosialisasi relokasi agar keberhasilan relokasi tidak hanya secara fisik sudah dapat memindahkan pedagang. Yang lebih utama adalah pasca relokasi
apakah
pedagang
dapat
meningkatkan
minimal
mempertahankan hidupnya. 2. Aspek pemasaran yang perlu diperhatikan adalah proses pengenalan antara masyarakat dengan pedagang. Artinya banyak masyarakat yang belum mengenal keberadaan Pasar Klithikan Pakuncen sehingga pengunjung bel urn maksimal. 3. Pedagang agar dibolehkan meningkatkan pemberdayaan ekonomi dengan bekerjasama dengan pedagang lain karena jam buka praktek di sana 1,5 hari. Mungkin pedagang pemegang hak lapak hanya berdagang pagi atau sore saja, sedangkan stsa waktu buka dapat dikerj asamakan kepada pihak lain. 4. Herry Zudianto sebagai Walikota tadinya berjanji akan menjadi manajer di Pasar Klithikan Pakuncen agar dapat maju. Tetapi kondisi sekarang banyak kepentingan yang bermain di sana sehingga takut
134
kalau wibawanya sebagai Walikota dilecehkan oleh anggota DPRD yang banyak bermain di sana.
Aman (Ka. Disperindakop 2007 - sekarang) menambahkan bahwa proses relokasi pedagang klithikan menghasilkan MoU antara Komunitas pedagang klithikan
yang diperkuat oleh
Pemerintah
dengan
IMPLA W (Indonesian
Monitoring Procedur of Law, sebuah LSM Hukum): "Pertama dengan membentuk model kesepakatan bersama dalam bentuk tertulis supaya ada pengikat yang jelas antara hak dan kewajiban. Semacam MoU antara Pemerintah dengan Komunitas Pedagang. Kedua, adanya lembaga dari masyarakat yang digunakan untuk menjembatani menstrukturkan bahasa masing - masing pihak. Di sinilah IMPLAW berperan. Ketiga, adanya sentuhan psikologis dari aparat Pemkot untuk menempatkan sebagai pelayan dan figur pribadi lebih ditonjolkan. Yang terakhir ini terkait pertemuan komunitas di rumah pribadi Walikota" (Hasil wawancara tanggal 13 November 2008) Pengambilan
kebijakan
yang
telah
dilaksanakan
Pemerintah
Kota
Yogyakarta telah mengacu pada pengambilan kebijakan yang ideal yaitu dengan pertama, tujuan memberdayakan masyarakat, dalam hal ini komunitas klithikan, agar
mampu mencapai keinginan secara individual tanpa menggantungkan sepenuhnya pada Pemerintah setelah mereka secara formal direlokasi. Kedua, kebijakan mengacu pada tantangan saat ini dan yang akan datang dengan dipikirkannya usaha-usaha untuk mengenalkan Pasar Klitikan Pakuncen secara lokal, nasional maupun intemasional dengan memasukkan pada paket wisata yang dapat dikunjungi. Ketiga, kebijakan disesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki sehingga sesuai dengan prinsip manajemen optimalisasi sumberdaya. Meskipun tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan pedagang klithikan di tempat yang baru cukup beragam dan banyak selama hal itu untuk optimalisasi sumberdaya dan sesuai dengan kemampuan anggaran maka hal itu tidak masalah bagi Pemerintah Kota Yogyakarta selama tujuan
135
relokasi dapat berjalan dengan baik. Jadi pertanyaan dalam kerangka teori bahwa kebijakan sudah mengakomodir semua sifat ideal tersebut di atas.
136
BAB VIII. PENUTUP 8.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian didapat kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses relokasi pedagang klithikan dari Jalan Mangkubumi, Asem Gede dan Alun-alun Kidul merupakan proses yang diilhami relokasi sebelurnnya dengan melakukan pendekatan dialog yang manusiawi sehingga perumusan masalah tidak mengalami persoalan yang berarti. Dengan diskusi yang intensif dan pendekatan yang menyentuh hati kemanusiaannya, maka Pemerintah Kota Yogyakarta sudah dapat mengatasi masalah yang terkait dengan penolakan pedagang. Hal itu merupakan penyelesaian pelaksanaan kebijakan tersebut. 2. Proses perumusan sendiri beijalan cukup ideal dengan melibatkan sebanyak mungkin legeslatif,
stakeholder Pemerintah paguyuban
dan
Kota Y ogyakarta
media-massa
seperti
eksekutif,
sebagai jembatan
sosialisasi
perumusan kebijakan. Dapat dipahami bahwa kebijakan relokasi pedagang klithikan yang sudah direncanakan sejak tahun 2004, baru terlaksana pada tahun 2007 dengan alasan utama untuk meningkatkan kesejahteraan pedagang dengan peningkatan pelayanan jasa dan memajukan sektor pariwisata dengan adanya Pasar Khusus Barang Klithikan. 3. Tahapan dalam perumusan masalah dengan didahului pembuatan aturan hukum seperti PERDA 26/2002 dan KEPUTUSAN WALIKOTA 88/2003,
137
38/2004, 10/2004, 119/2004, 84/2004
serta PERATURAN WALIKOTA
141/2005, 115/2004, 45/2007 merupakan tahapan yang efektif untuk pembuatan kebijakan karena merupakan payung hukum untuk semua pelaku kebijakan. 4. Proses tahapan penganggaran dalam pra rencana (penyusunan Studi Kelayakan dan Dokumen Usaha Pengelolaan Lingkungan dan Usaha Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) dan pelaksanaan fisik terkait dengan keterbatasan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) dan skala proritas
Pembangunan
sesua1
dengan
Rencana
Strategis
Daerah
(RENSTRADA) 2002 - 2006. 5. Anggota Tim bekeija maksimal dan terkoordinasi dengan baik sehingga menghasilkan keija yang bagus dan berorientasi tugas serta kepuasan keija sehingga mereka semampu sekuat tenaga untuk dapat menghasilkan pelayanan kepada masyarakat. 6. Orientasi utama anggota Tim adalah target utama yaitu kesuksesan program yang dilaksanakan. Tidak hanya pada saat relokasi tetapi bagaimana pasca relokasi keberlangsungan dinamika perdagangan mereka juga dipikirkan. Usaha-usaha dilakukan untuk menunjang kegiatan Pasca relokasi seperti mengadakan promosi, konsep pemasaran yang dikerjkan bersama, penyebaran brosur ke hotel-hotel, dan pemasangan papan penunjuk arah.
138
7. Dengan pendekatan yang manusiawi serta didukung payung hukum yang sudah dipunyai maka relokasi pedagang klithikan dapat berlangsung dengan tanpa gejolak yang berarti.
8.2.
Saran untuk Pembelajaran
Adapun saran yang dapat diberikan agar relokasi pedagang klithikan ini dapat menjadi pelajaran semua pihak adalah: 1. Pada proses perumusan agar Pemerintah melibatkan sebanyak mungkin stake
holder yang memang seharusnya terlibat dalam proses perumusan tersebut dan bersabar
dalam
menanggap1
keterlibatan
aktor-aktor
tersebut
dan
mengakomodir kebutuhan mereka sesuai kemampuan APBD yang ada sehingga tercipta win win solution. 2. Dalam merumuskan masalah, Pemerintah harus sudah mempunyai kejelasan konsep yang akan dijalankan sehubungan dengan relokasi pedagang meliputi: •
Konsep tempat yang kan ditinggalkan agar pedagang tidak kembali ke tempat lama
•
Konsep tempat yang kan dituju dengan fasilitas yang memadai dan pembinaan pasca relokasi
•
Siapa yang kan dipindahkan agar data tidak berkembang sesuai yang direncanakan.
3. Usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah Kota harus secara konsisten dilaksanakan berdasarkan kornitmen untuk mensukseskan tujuan relokasi.
139
4. Perlu didukung dengan koordinasi (formal maupun non formal) yang baik dengan mengedepankan tujuan kebijakan yang akan dicapai. 5. Dokumentasi dan notulen atau rekaman kerja seharusnya direkam secara khusus sehingga hasil yang diperoleh dapat menjadi pelajaran bagi daerah lain.
140
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James A., 2003, Public Policymaking, Fifth Edition, Houghton Mifflin Company, Boston. Aproudicky, Dian Sulu, Studi Kasus Simpang Dago, Kajian Jaktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Bandung, ITB Bandung. Awaludin, Budi, 2007, Kebijakan Monorail Provinsi DKI Jakarta, Tesis Pasca Satjana Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Bihamding, Hariawan, Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Eksistensi Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Jl. Kapasari-Surabaya), Tesis, S2 Perancangan Kota ITS, http://digilib. its.ac.id/detil.php?id= 1298. Burger,W. At all: 1985, The Informal Sector: Concept, Issues and Policies, Institute of Social Studies Advisory Service. Damayanti, Dian, 2004, Sistem Perkotaan di Jogjakarta terencana dengan Baikkah?, Kliping Radar Yogya, Sabtu 3 Januari 2004. De Soto, Hernando, 2006, Meluruskan Banyak Pandangan Salah Kaprah, Caninews.com.lnc. Dunn, William N., 2005, Pengantar Ana/isis Kebijakan Publik Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Dye, Thomas R., 1972, Understanding Public Policy, Prentice-Hall, Cliftsl, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Dwidjowijoto, Riant Nugroho, 2002, Ana/isis Kebijakan, P.T. Elex Media Komputindo, Jakarta. Dwidjowijoto, Riant Nugroho 2003, Kebijakan Publik, Implementasi, dan Evaluasi, P.T. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Formulasi,
Dwidjowijoto, Riant Nugroho, 2006, Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi, P.T. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Ester, 2006, Pengarahan Lokasi Pedagang Kaki Lima sebagai Dasar Pertimbangan Kebijakan Pemerintah Sidoarjo (Studi Kasus: Jl. Gadjah Mada), ITS Digital Library, 2006-1-22. Hamzah, Yusuf, Implementasi SK Walikota Surabaya No. 3Tahun 2005Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima : Studi Kasus tentang Penataan PKL di Kedungdoro dan Pasar Kembang Berdasarkan SK Walikota Surabaya No. 3 Tahun 2005, Tesis Universitas Airlangga. Handayaningsih, Tri, 2007, Skripsi : Geger Klithikan Mangkubumi: Studi Tentang Proses Relokasi dan Konjlik Komunitas Klithikan di Yogyakarta, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Hartati, Sri, 2006, Dilema Sektor Informal, Fokus Berita Utama Kompas, Sabtu, 16 April2006, Jakarta. Hidayat, 1978, Pengembangan Sektor Informal Dalam Pembangunan Nasional : Masalah dan Prospek, Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hidayat, 1978, Peranan Sektor Informal dalam Struktur Perekonomian D.!. Jogjakarta, Kertas Kerja Hasil Widyawisata Dosen Sesko ABRI Bagian Darat Ke D.I.Jogjakarta pada tanggal 21-28 Mei 1978, Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hidayat , 1988, Posisi dan Peranan Strategis Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia,Makalah Seminar "Mobilitas Penduduk dan Sektor Informal di Indonesia", PAU Studi Sosial UGM. Imawan, Riswanda, 2000, Metode Penelitian Sosial, Program Studi Ilmu Politik, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Yogyakarta. Miles, Mattew B dan A Michael Huberman, 1992, Ana/isis Data Kualitatif, U I Press, 1akarta. Mubyarto, 2004, Reformasi, Teori Ekonomi, dan Kemiskinan, Jumal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 19, No.2,2004, 107-119 Nasruddin, 2007,Tesis: Implementasi Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Pasca Tsunami di Banda Aceh. ,MAP UGM, Yogyakarta.
11
Parsons, Wayne, 2005, Public Policy Kebijakan, Kencana, Jakarta.
Pengantar Teori & Praktek Ana/isis
Patilima, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Alfabeda, Bandung. -, 1987, Penelitian Pengembangan Kawasan Pedagang Kaki Lima di Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi DIY dan Fakultas Teknik UGM. Singarimbun dan Effendi, Sofian, 1989, Metode Penelitian Survey, Edisi Revisi, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Subarsono, Drs. AG, M.Si,M.A.,2006, Ana/isis Kebijakan Publik,Konsep, Teori dan Aplikasi, pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Seminar "Mencari Format Ekonomi Kerakyatan" , keijasama "IDEA" dan "GATRA", Yogyakarta. Swasono, Sri-Edi, dkk, 1986, Studi Kebijakan Sektor Informal, Laporan Penelitian untuk Menteri Koordinator EKUIN, Kerjasama antara Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia dan Lembaga Studi Pembangunan Jakarta. Wahab,Solichin Abdul,M.A., 1990, Ana/isis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, PT Bumi Aksara, Jakarta Warsito,Drs.S.U.,dkk, 2001" Manajemen Otonomi Daerah, Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru." Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik Proses dan Analisis.Interrnedia, Jakarta. Wibawa, Samodra. 2004, Reformasi Administrasi Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. Wikipedia Indonesia, 2008, Pedagang Kaki Lima, Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia , http://id. wikipedia.or/wiki/Pedagang_kaki _lima. -, 2007, Formalisasi Sektor Informal, Writing By Heart.htm. Capturing Idea, Bringging to The Reality, Ombudsman, 18 November 2007.
lll
-, 2005, Laporan Akhir Kegiatan Rancang Bangun Aset Daerah, Pekerjaan: Feasibility Studi (FS) Eks Pasar Kuncen, C.V. AKA, Yogyakarta -, 2005, Laporan Akhir Rancang Bangun Eks Pasar Hewan Kuncen 2005, P.T. Cipta Nindita Buana, Yogyakarta. -, 2004, Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Rencana Pembangunan Pasar Kuncen, Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Pemkot Yogyakarta. -, 2007, Rencana Aksi Daerah (RAD) Pemerintah Kota Yogyakarta, Bappeda Kota Yogyakarta. PERA TURAN-PERATURAN
PERDA KOTA YOGYAKARTA NOMOR 15 TAHUN 2002 tentang Rencana Stratejik Daerah Tahun 2002-2006 PERDA KOTA YOGY AKART A NOMOR 26 T AHUN 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Kliping- kliping Kedaulatan Rakyat, Bernas, Republika dan Kompas.
lV
•
.
I
UNIVERSITAS GADJAH MADA SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
Nomor : 283.4/UGMIMAPIIIV08 : Permohonan·Pembimbing Tesis Hal Lamp. : -
Yogyakarta, 2 April 2008
Kepada Yth.
Dr. Erwan Agus Purwanto · Program MAP Universitas Gadjah Mada
Dengan hormat, Pengelola Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (MAP UGM) Y ogyakarta mohon kesediaan Bapak I lbu untuk menjadi Dosen Pembimbing mahasiswa MAP UGM Kelas Khusus Bappenas II atas nama: Nama Mahasiswa Nomor Mahasiswa Judul Proposal
Dwi Ariyani Hardiyanti, Jr 21788/PS/MAP/06 Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan (Studi Kasus di Pasar Pakuncen Baru Kota Yogyakarta)
Mahasiswa tersebut akan segera menghubungi Bapak I lbu dengan membawa pra-proposalnya. Proses pembimbingan selanjutnya kami serahkan sepenuhnya kepada Bapakllbu. Atas kesediaan dan keij asama yang baik kami mengucapkan terima kasih.
Pengelola Program MAP UGM
Tembusan : Mahasiswa ybs
J!. Prof . Dr. ·'S<>=·dpo. Se!dp, Yogyakarta 55281, Te!epon : (027 4) 563825, 588234. 6492117 ;,! '< . (0274) 589655. e-mail:sakret@map. ugm.ac.id
CARA
AGENDA SETTING
DATA
1
SUMBER
MENDAPATKAN
DATA
DATA
3
2
4
INDIKATOR
INSTRUMEN WA WANCARA
5
6
PENYUSUNAN
Proses
Pemerintah
Wawancara
Aktor pencetus ide
Bagaimana agenda masalah disusun?
AGENDA
penyusunan
DPRD
Kliping
Aktor pendukung ide
Siapakah aktor yang terlibat dalam penyusufim .
agenda
Stakeholder
Dokumen FS
Aktor penentang ide
agenda? Adakah aktor lain yang mendukung ide? Adakah ator yang menentang ide?
Nilai ekonomi
Pendekatan apa yang dipakai dalam menyusun agenda? (akuntasi sistem sosial, eksperimentasi sosial, pemeriksaan sosial,sintesis riset-praktek) Cara pandang terhadap persoalan sektor informal '. bagaimana? '
Apakah ada grand design/ planning untuk penataan pedagang kaki lima? Apakah tujuan relokasi untuk kepentingan rakyat (pedagang) atau pengusaha (pemilik toko di jl Mangkubumui) ? Apakah tujuan utama relokasi uMuk keadilan dan kesejahteraan rakyat? Waktu
Bagaimana proses dialog muncufnya ide gagasan relokasi di Pasar Pakuncen?
Pernah terdenganr relokasi di rencanakan di Pasar terban, benarkah? Apakah relokasi ini mendesak, atau dapat atau
program
jangka
waktu
peran
media
masa
dalam
ditangguhkan panjang? Media massa
Bagaimana
penyususnan agenda apakah membantu, membuat distorsi informasi atau netral ? Hukum
Apakah Perda PKL efektif menata keberadaan PKL? Apakah relokasi menjadi solusi terhadap masalah PKL? Apakah RTRW selalu menjadi pertimbangan /alasan relokasi?
Dukungan politik
Bagaimanakah proses riil penyusunan agenda relokasi pasar klithikan? Siapakah aktor yang terlibat dalam penyusunan agenda kebijakan? Bagaimana
publik
menanggapi
relokasi
pedagang klithikan? Apakah relokasi ini hanya kepentingan golongan
tertentu? Apakah dukungan politik untuk menarik simpati agar berkuasa kembali? FORMULAS I
Proses
Pemerintah
W awancara
KEBIJAKAN
formulasi
(Bappeda,
Kliping
kebijakan
BPBD,
Dinas
Dokumen FS
Aktor yang terlibat
Bagaimana formulasi kebijakan dirumuskan? Adakah altematif kebijakan?
Kriteria utama kebijakan
Kriteria utama dalam
Perindakop,
formulasi
kebijakan?
(efektifitas,efisiensi,
Dinas
kecukupan,perataan,responsivitas,ketepatan.)
Pengelolaan
PKL sudah ada perencanaan yang terintegratif?
Sumber Daya
Pasar)
kebijakan
formulasi
Adakah
DPRD Stakeholder
pembinaan/pengaturan PKL selain relokasi?
Paguyuban
Apakah koordinasi antar instansi untuk kebijakan
Pedagang
berjalan lancar? Bagaimana
alokasi
waktu
untuk
formulasi
apakah mencukupi, berlarut-larut atau tergantung situasi dan kondisi. IMPLEMENT ASI I Proses KEBIJAKAN
Implementasi
Pemerintah
Wawancara
Aktor dan Objek kebijakan
Sudahkah kelompok sasaran dapat merasakan
(Dinas
Kliping
Kendala-kendala
manfaat kebijakan?
Perindakop, Din as
Bantuan
Pengelolaan Pasar,
Bagian
Kerjasama) DPRD
Kendal-kendala promos1
jaringan pemasaran
yang
dihadapi
dalm
dan I implementasi kebijakan? Adakah promosi dan jaringan pemasaran yang dibuat Pemerintah Kota ? Sudahkah promosi dan jaringan pemasaran
tersebut membantu meningkatkan pendapatan
Stakeholder Paguyuban
Tujuan
Pedagang
kebijakan
dan
sasaran
1
pedagang ? Apakah tujuan dan sasaran kebijakan sudah sesuai? Apakah program-program yang terkait dengan relokasi yang dijalankan dapat meningkatkan kualitas PKL? Manfaat atau nilai yang diperoleh? Apakah kebijakan sesuai dengan keinginan pedagang klithikan? Apakah benar ada larangan bagi pedagang klithikan untuk mengganti jenis dagangan? Apakah
Bantuan modal
keterbatasan
akan
dasaran
mempengaruhi omzet pedagang? Adakah
bantuan
modal
yang
diberikan
pemerintah dan sudah memanfaatkannya? Apakah yang sudah memanfaarkan bantuan modal tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupan mereka?
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
PETA INFORMASI TATA RUANG KECAMATAN WIROBRAJAN LEGENDA
, .....I
.
- ·- ·- ·- .. - ·· - .. - .. -
®
Batas Kota Batas Kecamatan Jalan Sungai
I
BLOK KAWASAN JALAN MAGELANG
. I I
(Sebelah Utara Jalan RE.
I
I CD I
Kawasan Budidaya Penuh, Ekonomi, Sosial, Budaya Perdagangan dan Jasa F.1 . lntensltas Pemanfaatan Ruang Tlnggi (Ruas)}
TB KDB KLB
LT 40-100 101 -200 201-400 401 -1000 > 1000
KABUPATEN BANTUL
r--w
LT
LT
j
I@
~
' ~,- .. _ ~- ~ ... ~
I
. ,, '.\
.I
,,.... . . -.. - '
·"
[ill]
.
I
TB KDB KLB
I
1
I '·
II
16 18 24 26 32
80 80 80 80 80
16 24 35 39 48
TB KDB KLB
LT 40-100 101-200 201-400 401 -1000 > 1000
,.
.......,_.....;. J
08 08 08 08 08
Kawasan Budidaya Penuh, Ekonomi, Soslal, Budaya Perumahan lntensitas Pemanfaatan Ruang Sedang (Biok)
I
, '-
I
80 80 80 80 80
Kawasan Budldaya Penuh, Ekonomi, Sosial, Budaya Perdagangan dan Jasa F.1. lntensitas Pemanfaatan Ruang Tlnggi (Ruas) 40 - 100 101 -200 201-400 401 -1000 > 1000
I
I
12 12 12 12 12
(Sebelah Selatan Jalan RE. Martadinata)
I
I
TB KDB KLB 16 70 1 4 16 70 1 4 16 70 1 4 16 70 1 4 16 70 1 4
BLOK KAWASAN JALAN BANTUL
LT
I
24 30 32 36 4,8
TB KDB KLB
40-100 101 -200 201-400 401 -1000 > 1000
I
80 80 80 80 80
Kawasan Penyangga Alam Sempadan Sungai Perumahan lntensitas Pemanfaatan Ruang Sedang
I
I
18 20 24 26 32
Kawasan Budidaya Penuh, Ekonoml, Sosial, Budaya Perumahan lntensitas Pemanfaatan Ruang Sedang (Biok) 40-100 101 -200 201 -400 401 -1000 > 1000
I ®I
Martadina~)
16 16 16 16 16
75 75 75 75 75
15 15 15 15 1.5
I
' ... ·,
I
I
I ®ul
Kawasen Budidaya Penuh, Ekonomi, Sosial, Budaya Perkantoran dan Jasa F.2.1 . lntensitas Pemanfaatan Ruang Sedang (Biok)
LT
\
. II .I I
TB KDB KLB
40-100 101 -200 201-400 401 -1000 > 1000
\
,.
[ill]
'. ' \
16 16 16 18 20
75 75 75 75 75
1 ·5 15 15 225 2,8
Kawasan Penyangga Alam Sempadan Sungai Peru mahan lntensitas Pemanfaatan Ruang Sedang
TB KDB KLB
LT 40-100 101 -200 201-400 401 -1000 > 1000
12 12 12 16 16
70 70 70 70 70
07 07 07 14 1,4
KETERANGANTABEL:
LT TB KDB KLB
Luas Tanah (m2) Tlnggl Bangunan (m) Koefisien Daasr Bangunan (%) Koefislen Lantai Bangunan
GARIS SEMPADAN BANGUNAN (GSB) Notasl:~
............ . ........ 1/
~'
I
I
=
18 Ruang Mllik Jalan/ Rumlja (m) 4 = Jarek Bangunan dari Pagar/ Batas Rumlja (m)
I
KABUPATEN BANTUL
,.
·,f '
. I I
~
I
I
1
UTARA
+
SKALA
---1:3.400
0
136m
340m
SUMBER: - Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1994 - Keputusan Wallkota Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2002
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
BADAN PERENCANAAN DAERAH (BAPEDA) Telepon
Kepatihan. DanureJan. Yogyakarta - 55213 (027-1) 589583. 5621311 (Psw 209-219, 243-247) Fax WP.hs1te llttp //www bapeda@pemda-diy go id E·rna1l baped<
[email protected]~iy.go.id
(0274) 586712
SURAT KETERANGAN /IJIN Nomor 070 I 455 ~ Membaca Sural Mengingat
MAP- UGM Yogynkalia Nom<'! 2 01/UGM/MAP/SurJey/08 Tanggal : 06 Agus~us 2008 Pcrihal ljin Penelitian Kepulus;m Menleri D;)I;:Jm Nr)qeri No G1 T;1hun 1983 tent;mg Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian d<.n Pengembangan di Lingkungan Departemen Oalam Negeri
2.
Keputusan Gubernur Daerah 1-;timewa Yogyakartd No. 38/1 2/2004 tentang Pemberian lzin Penelilian di Prnvinsi Oaerah lsfi,newa Yogyakarta.
Diijinkan kepada Nama
OWl ARIYANI HARDlYANTI
Alamat lnstansi
Jl. Prof. Or. Sardjito, Sekip - Yogyakarta
Judul
KEBIJAKAN RELOKASI PEOAGAN
Lokasi
Kota Yogyakalia
Waktunya
Mulai tanggal
1.
2. 3. 4.
5. 6.
No. Mhs./NIM :21788/PS/MAP/06
06 Agustus 2008 s/d 06 Nopember 2008
Terlebih dahu:u menemui I melaporkan diri Kepada Petabat Pemerintr~h setempat ( Bupati I Walikota) untuk mend apat petunjuk seperlunya; Wajib menjaga tala tertib dan mentaati ketentuiln-kelentu;:m yang berlaku setempat; Wajib memberi laporan hasil penelitiannya kepada Gubernur Kepala Daerah lstimewa Yogyakarta ( Cq. Kepala Bad an Perencanaan Oaerah Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta); ljin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat menggar.ggu kestabilan Pemerintah dan hanya diperlukan untuk keperluan ilmiah; Sural ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjan~an bila diperlukan; Sural ijin ini dapat dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan - ketentuan tersebut di alas.
Tembusan Kepada Yth. : 1. Gubemur Daerah lstimewa Yogyakarta ( Sebagai Lapora1 ) 2. Watikota Yogyakarta Cq. Kadis Perizinan. 3. Ka. Pengelola Prodi MAP-UGM; 4. Ybs.
Dikeluarkan di Pada tanggal
Yogyakarta 06 Agustus 2008
PEMERINTAH '
I
DINAS PERIZII\JAN Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55165 Telepon 514448, 515865, 515866, 562682 EMAIL:
[email protected] EMAIL INTRANET:
[email protected]
SURAT IZIN NOMOR
07011651 4331134
Dasar
Sural izin I Rekomendasi dari Gubernur Kepala Daerah lstimewa Yogyakarta Nomor : 070/4555 Tanggal :06/08/2008
Mengingat
1. Peraturan Daerah Kola Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 tenlang Pembenlukan Susunan Orgao1isasi dan Tala Kerja Dinas Pcri.:inan Kola Yogyakarta; 2. Peraturan Walikola Yogyakarta Nomor 187 Tahun 2005 tenlang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kola Yogyakarta; 3. Peraturan Walikota Yogyakarta Nornor 09 Tailun 200"/ tentang Pelayanan Perlzlnan pada Pemerintah Kola Yogyakarta; 4. Peraturan Walikola Yogyakarta Nomor 14 Tahun 2007 tenlang Perubahan Peraturan Walikola Yogyakarta Nomor 187 lahun 2005 lenlang Penjabaran F•Jngsi dan Tugas Dinas Perizinan Kola Yogyakarta; 5. Peraluran Walikota Yogyakarta Nomor 29 Tahur. 2007 lenlang Pemberian lzin Penefitian, Praklek Kerja Lapangan dan Kuliah Kerja Nyala di Wilayah Kota Yogyakarta; 6. Keputusan Gubernur Daerah lsli•newa Yogyakarta Nomor: 3811.212004 lentang Pemberian iziniRekomendasi PenelilianiPendalaan/SLorvei/KKNIPKL di Daerah lslimewa Yogyakarta.
Diijinkan Kepada
Nama : OWl ARIYANI HARDIYANTI NO MHS I NIM :217881PSIMAPI06 : Mahasiswa PPs - UGM Yogyakarta Pekerjaan Ala mat : Jl. Prof. Dr. Sardjilo, Sekip, Yogyaka1ta Penanggungjawab Dr. Erwan Agus Purwanto Keperluan Melakuk<m Penelilian dengan judul Prorosal : KEBIJAKAN RELOKASI PEOAGANG KLITHIKAN STUDI KASUS 01 PASAR PAKUNCEN BARU KOTA YOGYAKARTA
LokasiiResponden Waktu Lampiran Dengan Ketentuan
Kota Yogyakarta 0610812008 Sampai 0611112008 Proposal dan Daftar Pertanyaan 1. Wajib Memberi Laporan hasil Penelilian kepada Walikota Yogyakarta (Cq. Dinas Perizinan Kola Yogyakarta) 2. Wajib Menjaga Tata lertib dan menlaali ketentuan-kelentuan yang berlaku setempat 3. lzin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertenlu yang dapal mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya diperlukan unluk keperluan ilmiah 4. Surat izin ini sewaktu-waktu dapat dibalalkan apabila lidak dipenuhinya ketentuan -ketenluan tersebut diatas Kemudian diharap para Pejabat Pemerinlah setempal dapat memberi bantuan seperlunya Dikeluar'
~{~~gg~a_l_:________
Tandatangan Pemegang lzin
)~
OWl ARIYANI HARDIYANTI
1
,, lI r--
Yth. 1. Walikota Yogyakarta(sebagai laporan) 2. Ka. BAPEDA Prop. DIY 3. Ka. BAPPEDA Kota Yogyakarta 4. Ka. BID Kota Yogyakarta 5. Ka. BPKD Kola Yogyakarta 6. Ka. BPBD i
Bag. Dalbang Setda Kota Yogyakarta Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta Dinas Perindagkop Kola Yogyakarta Dinas Kimpraswil Kola Yk. 11. Ybs
Ka. Bag: r~ta Usaha
_!.('
L'j
~
''')"'\·\\~\ L • \· '
0
Tembusan Kepada :
f.1-~pala Oinas Perizinan
Ill
\: ~-··· .·, '·- . '
)
•· \. - ·
..
I
Drs. HARDONO NJP 490023260
I.
·. ~- .' <~ ' ·ii:... \ i ,·
',_'
-.-~.":·:.
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
DINAS PENGELOLAA N PASAR Jln. Pabringan No. 1 Telp. 515871, 561510 Fax. 561510
YOGYAKARTA SMS 08122780001; 2740 E-MAIL
pasar@Jogja go.1d. up1k @jogja.go.id, E-MAIL INTR
SlJRAT KETERANGAN Nomor. 070 I 575
Yang bertandatangan dibc1wah ini mcncrangkan bahwa : Nama NOMHS/N,M Fakultas Pada Alamat Maksud
Lokasi I Responden Waktu Rekomendasi
DWI J\RIY J\NI IIJ\RDIY ANTI 217881PSIMAPI06 Mahasiswa PPs- lJGM Universitas Gajah Mada Y(,nakarta Jl. Prof. Dr. Sardjito, Sekip, vogyakatta Melakukan kegiatan Penclitian dengan judul Proposal Kebijakan Rclokasi Pcdagang Klithikan Studi Kasus di Pasar Pakuncen Bartl Kota Yogyakmta Din as Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta Dari 06-08-2008 s/d OS-I 1-20m~ Sural Kcterangan I lzi'l dari Dinas Pcrizinan Kota Yogyakarta Nomor 070 I 1651, tanggal 07-08-2008
Demikian surat ini c.isampaikan untuk dipcrgunakan scbagaimana mcstinya
Tembusan Yth : Ka.Sub Bag KPE Dinas Pengclolaan Pa<;ar Kola Yogyakarta
I
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
SEKRETARI AT DAERAH JL. KENARI NO. 56 TELP. 514448, 515865,515866, Fax. 520332 KODE POS 55165
YOUYAKARTA
EMAIL: [email protected]: EMAIL INTERNET: [email protected] HOTLINE SMS: 081 2278 0001,2740; HOTLINE TEI.P (0274) 555242; HOTLINE EMAIL: [email protected]
PROGRAM PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN DAN PEMBERDA YAAN PEDAGANG KLITHIKAN PASAR PAKUNCEN Dalam rangka pelaksanaan program pengcmbangan dan pemberdaywm pedagang klithikan Pasar Pakuncen pasca relokasi pedagang kakilima klithikan .!alan Mangkubumi sisi Burnt, Jalan As.:m Gede/ Jalan Poncowinatan dan Alun-Alun Kidul. Pcmcrintah Kota Yogyakarta akWl mcngwnbil langkah-langkah sebagai herikut :
1.
Menyediakan lantai dasaran. dalam los dengnn ukuran : panjang 2 meter dan Iebar 1,5 m.:ter kepada masing-masing pedagang tanpa dipungut biaya apapun selain biaya pelimpahan hak penggunaan lantai dasaran dalam los dengan pcrhitungan 3 m 2 x 360 hari x Rp. I 00,- sebesar Rp. 108.000,2. Menerbitkan Kartu Bukti Pedagang Pasar (KBP) dengan dikenakan biaya administrasi dan ganti ongkos cetak sebesar Rp. 2.000,- dan biaya meterai sebcsar Rp. 6.000,3. Menetapkan jam buka tutup pasar klithikan Pakuncen mulai rukul 05.00 Wib sampai dengan puku123.00 Wib (1,5 hari). 4. Mer.etapkan besaran retribusi pasar bagi pedagang klithikan Pasar Pakuncen sesuai ketentuan yang berlaku bagi pasar wnwn klas Ill dcngan jenis dagangan golongan D sebagaimana termak.tub dalam Peraturan Daerah Kotarnadya Duerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1992 tentang Retribusi Pasar dengan perhitungan Rp. 100,- x 3 m2 x 1,5 hari = Rp. 450,5. Membebasla.m dari kewajiban membayar rctrihusi pasar selama 6 (enam) bulan pertama kepada masing-masing pedagang. 6. Memberikan bantuan masa transisi sebesar Rp. 40.000,-/ hari selama 7 (tujuh) hari kepada masing-masing pedagang.. 7. Memberikan bantuan masa adaptasi sebesar Rp. 20.000,-/ hari selama 30 (tiga puluh) hari kepada masing-masing pedagang. 8. Memberikan pelatihan manajemen usaha dan pelatihan teknis kepada masing~masing pedagang. 9. Memberikan dukungan untuk kepentingan promosi Pasar Klithikan Pakuncen. 10. Memberikan bantuan penguatan modal berupa pinjaman lunak bergulir dengan syarat membentuk Koperasi Pedagang Pasar Klithikan Pakuncen. 11. Memberikan kemudahan akses pinjarnan modal usaha kepada Bank yang ditw~uk. 12. Memberikan jarninan pengamanan tidak adanya pasar tumpah di dalarn dan di kawasan Pasar Klithikan Pakunccn. 13. M~:mberikanjaminan bahwa di lokasi lama y:mg ditingg.Ukan tidak digunakan untuk ak.tivitas pedagang kakilima klithikan baru.