KEBIJAKAN PERPUSTAKAAN DALAM MENGHADAPI PERILAKU DESTRUKTIF PEMAKAI PADA PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI Makalah tidak dipublikasikan dan didokumentasikan di UPT Perpustakaan Universitas Negeri Malang
Oleh : Drs. Hari Santoso, S.Sos.
UPT PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS NEGERI MALANG SEPTEMBER 2008
KEBIJAKAN PERPUSTAKAAN DALAM MENGHADAPI PERILAKU DESTRUKTIF PEMAKAI PADA PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI Oleh : Drs. Hari Santoso, S.Sos.1 Pendahuluan Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, perpustakaan perguruan tinggi sering diperhadapkan dengan berbagai masalah yang menyangkut kontak dengan pemakai. Salah satunya adalah perilaku destruktif pemakai dalam pemanfaatan bahan pustaka berupa pencoretan, perobekan, pencurian dan perlakuan pemakai yang tidak semestinya dalam memanfaatkan bahan pustaka serta perusakan terhadap fasilitas perpustakaan yang lain. Perilaku destruktif pemakai bukan saja merusak secara fisik tetapi yang lebih memprihatinkan adalah hilangnya kandungan informasi dari bahan pustaka tersebut. Perilaku destruktif pemakai merupakan wujud dari kurangnya kesadaran, penghargaan dan pemahaman akan pentingnya informasi yang dampaknya bisa merugikan banyak pihak, baik perpustakaan maupun pemakai lain . Bagi perpustakaan adanya perilaku destruktif pemakai menjadikan upaya membangun koleksi perpustakaan menjadi kurang berarti. Oleh karenanya perilaku destruktif pemakai perlu ditangani secara serius agar tidak menggejala pada pemakai lain yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perpustakaan tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Sedangkan bagi pemakai lain perilaku destruktif pemakai berakibat pada hilangnya kesempatan untuk mengakses bahan pustaka. . Keterlambatan dalam mengatasi perilaku destruktif pemakai bukan saja dapat mengurangi minat pemakai yang lain untuk datang ke perpustakaan namun dapat berakibat kepada hal-hal yang sangat krusial yaitu hilangnya kepercayaan pemakai terhadap perpustakaan. Oleh karena itu pihak pimpinan perpustakaan perguruan tinggi perlu mengambil langkah-langkah strategis dalam mengatasi masalah tersebut sehingga upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pemakai dapat terwujud dan perpustakaan dapat menjalankan tugas dan perannya secara optimal. Perilaku destruktif pemakai Untuk memahami konsep atau gambaran perilaku destruktif, tidak bisa dilepaskan dari konsep perilaku normal dan abnormal. Tingkah laku yang normal digambarkan sebagai tingkah laku yang adekuat (serasi, tepat) yang bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. 2 Tingkah laku pribadi yang normal tersebut ialah sikap hidupnya sesuai dengan pola kelompok masyarakat tempat ia berada, sehingga tercapai satu relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan. Pribadi yang normal secara relatif dekat sekali dengan integrasi jasmaniah-rohaniah yang ideal; kehidupan psikisnya kurang lebih stabil sifatnya, tidak banyak memendam konflikkonflik batin; tenang, dan jasmaniahnya sehat selalu. Sedang pribadi yang abnormal 1
2
Penulis adalah Pustakawan Madya Pada UPT Perpustakaan Universitas Negeri Malang Jl. Surabaya No.6 Malang Telp. (0341) 551312 pesawat 308 HP. 081334669885 Kartono, Kartini. 1989. Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung : Mandar Maju.
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
1
relatif jauh dari status integrasi, pada umumnya dihinggapi gangguan mental, atau ada abnormalitas pada mentalnya dan selalu diliputi banyak konflik- konflik batin, miskin jiwanya dan tidak stabil, tanpa perhatian pada lingkungannya, terpisah hidupnya dari masyarakat, selalu gelisah dan takut; dan jasmaninya sering sakit-sakitan. Dipandang dari segi patologis, tingkah laku yang abnormal adalah akibat status kepribadian yang kacau (disordered state). Tingkah laku yang dianggap abnormal oleh standar kehidupan sehari-hari, juga harus diperhatikan latar belakang kebudayaan dimana standar itu muncul.3 Di dalam setiap masyarakat ada spektrum tingkah laku yang luas antara apa yang dianggap normal dan apa yang dianggap abnormal. Tingkah laku dikendalikan oleh norma-norma budaya yang implisit, yang menentukan bagaimana dan kapan tingkah laku itu muncul. Sedangkan latarbelakang budaya memberikan sumbangan kepada perkembangan dan manifestasi dari gangguan mental, kebudayaan memberikan “ label “, “ etiket “, “ nama “ pada tingkah laku abnormal, mengorganisirkan dalam katagori diagnosa (klasifikasi). Kebudayaan menentukan cara mengenali dan menerangkan perilaku abnormal (konseptualisasi dan meaning-giving), suatu kebudayaan membentuk tanggapan/sikap terhadap distress mental dan tingkah laku abnormal.4 Kriteria pribadi yang normal dideskripsikan sebagai berikut : 1. Memiliki perasaan aman (sense of security) yang tepat, 2. Memiliki penilaian diri (self evaluation) dan insight/ wawasan rasional 3. Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat. 4. Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien, 5. Dia memiliki dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat 6. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup 7. Mempunyai tujuan/obyek hidup yang adekuat 8. Memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman hidupnya 9. Ada kesanggupan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya 10. Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan 11. Ada integrasi dalam kepribadiannya 5 Kriteria-kriteria di atas merupakan ukuran ideal yang merupakan standar yang relatif tinggi sifatnya. Seorang yang normal tidak bisa diharapkan memenuhi dengan mutlak kriteria tersebut di atas sebagai akibat keterbatasan kepribadiannya. Namun demikian dia tetap memiliki kesehatan mental yang cukup baik dan bisa digolongkan dalam klas normal. Jika seseorang terlampau jauh menyimpang dari kreteria di atas dan banyaknya segi-segi karakteristiknya yang defisiensi, maka pribadi tersebut digolongkan dalam kelompok abnormal. Gangguan-gangguan dalam kepribadian bersumber dari perkembangan kepribadian yang tidak matang dan menyimpang. Karena mengalami proses perkembangan yang 3
Clerq, Linda De. 1994. Tingkah Laku Abnormal : Dari Sudut Pandang Perkembangan. Jakarta : Gramedia hal.3 4 Ibid hal.5 5 Kartono, Kartini. 1989. Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung : Mandar Maju Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
2
tidak semestinya, individu-individu tertentu memiliki cara memandang, berpikir dan berhubungan dengan dunia sekelilingnya yang bersifat maladaptif. Akibatnya mereka tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dalam kasuskasus tertentu mereka menjadi menderita. Berkaitan dengan perilaku abnormal terutama yang menyangkut gangguan kepribadian dan kejahatan ada tiga kelompok gangguan utama , yaitu : 1. Gangguan Kepribadian Penderita jenis gangguan ini memiliki ciri-ciri berikut a. Hubungan pribadi dengan orang lain terganggu, dalam arti sikap dan perilakunya cenderung merugikan orang lain b. Memandang semua kesulitannya disebabkan oleh nasib buruk atau perbuatan jahat orang lain. Dengan kata lain, penderita gangguan ini tidak pernah memiliki rasa bersalah c. Tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain : bersikap manipulatif atau senang mengakali, mementingkan diri sendiri, tidak punya rasa bersalah, dan tidak mengenal rasa sesal bila merugikan orang lain d. Tidak pernah melepaskan diri dari pola tingkah lakunya yang maladaptif e. Selalu menghindari tanggungjawab atas masalah-masalah yang mereka timbulkan 2. Kepribadian Antisosial (Psikopatik) Para penderita gangguan ini memiliki beberapa ciri berikut : a. Perkembangan moral mereka terhambat b. Mereka tidak mampu mencontoh perbuatan-perbuatan yang diterima masyarakat (socially desirable behaviors) c. Kurang dapat bergaul dan kurang tersosialisasikan dalam arti tidak mampu mengembangkan kesetiaan pada orang,kelompok maupun nilai-nilai sosial yang berlaku sehingga sering terjadi benturan atau konflik dengan masyarakat. Gangguan ini sering disebut pula kepribadian sosiopatik 3. Perilaku Kriminal Perilaku kriminal termasuk ke dalam katagori gangguan kepribadian. Istilah kriminal atau kejahatan sendiri sebenarnya merupakan istilah hukum, tindak kejahatan adalah suatu pelanggaran hukum. Maka apa yang dipandang sebagai kejahatan sesungguhnya sangat bergantung pada hukum atau masyarakat. Sekalipun begitu, tindak kejahatan atau perilaku kriminal digolongkan ke dalam gangguan kepribadian sebab merupakan bentuk perilaku yang melawan kepentingan individu lain maupun masyarakat secara keseluruhan. Perilaku kriminal disamping disebabkan oleh faktor hereditas, biologis juga bisa disebabkan oleh latarbelakang keluarga yang patologis, misalnya keluarga retak, atau karena kepribadian yang patologis, misalnya mencuri karena memberi kenikmatan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku abnormal merupakan tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma tertentu dan dirasa mengganggu Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
3
orang lain atau perorangan. Dengan demikian perilaku destruktif pemakai merupakan perilaku abnormal yang keberadaannya tidak bisa diterima masyarakat pada umumnya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa seseorang berperilaku destruktif ? Tidak bisa dipungkiri bahwa kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh masa lalunya. Perilaku destruktif seseorang tidak lain merupakan bentuk " kenakalan " yang tidak terbentuk dalam waktu seketika. Perkembangan yang dialami sejak masa kanak-kanak juga turut memberikan warna dalam pembentukan kepribadian seseorang termasuk kenakalan anak-anak. Dari aspek ilmu jiwa, maka kelakuankelakuan atau tindakan-tindakan yang menganggu ketenangan dan kepentingan orang lain, dipandang sebagai manifestasi dari gangguan jiwa atau akibat tekanan-tekanan batin yang tidak dapat diungkapkan dengan wajar. Atau dengan perkataan lain bahwa “ kenakalan “ adalah ungkapan dari ketegangan perasaan (tension), kegelisaan dan kecemasan atau tekanan batin (frustration).6 Adakalanya kejahatan yang dilakukan seseorang bukanlah karena ia kekurangan materi, akan tetapi merupakan manifestasi dari rasa tidak puas, kecewa atau rasa tertekan, merasa kurang mendapat perhatian. Disamping ungkapan dari hati yang gelisah, mungkin pula perbuatannya itu untuk minta perhatian atau pembalasan atas tindakan dan perlakuan yang tidak menyenangkan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya “ kenakalan “ , misalnya faktor pendidikan, lingkungan keluarga, ekonomi, masyarakat, sosial politik dan sebagainya. Namun demikian faktor-faktor yang menonjol, yaitu : a. Kurangnya penanaman nilai-nilai agama dalam keluarga Idealnya sejak anak masih kecil orang tua membiasakan si anak pada sifat-sifat dan kebiasaan yang baik, misalnya dibiasakan menghargai hak milik orang lain, dibiasakan berkata terus terang, benar dan jujur, diajar mengatasi kesukarankesukaran yang ringan dengan tenang, diperlakuan adil dan baik, diajar suka menolong, mau memaafkan kesalahan orang, ditanamkan rasa kasih sayang sesama saudara dan sebagainya. Kebiasaan tersebut di atas akan dapat tertanam dengan mudah pada jiwa si anak, apabila orang dewasa di sekitarnya (terutama ibu-bapak) memberikan contoh-contoh dari sifat yang baik itu dalam kehidupan mereka sehari-hari, karena anak-anak lebih cepat meniru dari pada mengerti katakata yang abstrak itu. Namun disadari bahwa banyak orang tua yang tidak mengerti ajaran agama apalagi mengaplikasikan sistem nilai dari agama yang dianutnya, bahkan banyak yang memandang rendah ajaran agama itu, sehingga prosas penanaman nilai-nilai agama kepada si anak praktis tidak pernah dilaksanakan dalam banyak keluarga. Akibatnya hati nurani (super-ego) si anak menjadi lemah karena tidak terbentuk dari nilai-nilai masyarakat atau agama yang diterimanya waktu kecil. Jika hati nuraninya lemah, atau unsur pengontrol dalam diri si anak kosong dari nilai-nilai yang baik, maka sudah barang tentu akan mudah mereka terperosok ke dalam tindakan-tindakan yang tidak baik dan menurutkan apa yang menyenangkannya waktu itu saja, tanpa memikirkan akibat selanjutnya.
6
Daradjat, Zakiah. 1983. Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung.
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
4
b. Kurangnya pengertian orang tua tentang pendidikan Tidak bisa dipungkiri banyak orang tua yang tidak mengerti bagaimana cara mendidik anak. Tidak sedikit orang tua yang beranggapan bahwa apabila si anak sudah terpenuhi kebutuhan jasmaninya, selesai sudah tugas mereka. Dan ada juga yang beranggapan dengan mendidik anak dengan cara keras, akan menjadikannya orang baik dan sebagainya. Orang tua menjadi lupa bahwa sebenarnya setiap orang memiliki dua kebutuhan pokok untuk bisa dipenuhi, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Dalam pendidikan anak sebenarnya yang terpenting adalah keseluruhan perlakuan-perlakuan yang diterima anak dari orang tuanya, dimana dia merasa disayangi, diperhatikan dan diindahkan dalam keluarga. Anak membutuhkan perlakuan yang adil di antara saudara-saudaranya, perasaan aman dan tentram tanpa rasa ketakutan akan dimarahi, diolok atau dibandingbandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain. Apabila kebutuhan tersebut di atas tidak terpenuhi, ia akan memenuhi kebutuhan dengan caranya sendiri dan membawanya ke dalam tindak kenakalan sebagai akibat dari perasaan tertekan karena tidak adanya perhatian orang tua dan ini sebagai hukuman atau pembalasan bagi orang tua. c. Kurang teraturnya pengisian waktu Cara pengisian waktu luang sangat berpengaruh terhadap kelakuan anak. Kebanyakan orang tua kurang memperhatikan cara yang baik untuk mengisi waktu luang bagi anak-anak. Bahkan ada orang tua yang beranggapan bahwa waktu si anak harus diisi dengan sesuatu yang bermanfaat, misalnya belajar, membantu orang tua dan sebagainya. Bermain-main, menyalurkan hobi dianggap membuang waktu. Anak yang diperlakukan seperti ini akan menggerutu, mungkin akan melawan orang tua, membolos dan mungkin akan terganggu emosinya. Jika anak dibiarkan mencarai jalan sendiri untuk mengisi waktu luang tersebut, anak akan mengisinya dengan cara yang menyenangkan hatinya tanpa mempertimbangkan hal baik dan buruk. d. Tidak stabilnya keadaan sosial, politik dan ekonomi Keadaan sosial, politik dan ekonomi yang labil berakibat masyarakat akan goncang dan gelisah yang membawa kepada perasaan panik, bingung, marah, sedih dan sebagainya. Perasaan- perasaan yang tidak menyenangkan itu akan membawa pengaruh yang tidak sedikit atas tindakan dan kelakuan orang. Kegoncangan dan kegelisahan para orang tua atau anggota masyarakat pada umumnya mempengaruhi tindakan dan perlakukan mereka terhadap anak-anak, misalnya mereka akan kurang memperhatikan atau mengacuhkan masalahmasalah khusus yang dihadapi anak-anak mereka. Bahkan mungkin para orang tua akan melampiaskan kegelisahan hatinya dengan memarahi anak-anaknya yang pada akhirnya anak-anak akan mengalami kegoncangan jiwa yang menjurus pada gangguan-gangguan kelakuan, pikiran bahkan kesehatan fisiknya. Dan yang sering terjadi adalah tindakan yang oleh orang dewasa disebut kenakalan. e. Kemerosotan moral dan mental orang dewasa Kemerosotan moral, tingkah laku dan perbuatan-perbuatan orang dewasa yang tidak baik, merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak.Anak-anak dengan mudah mendapatkan contoh dari lingkungan sekitarnya. Bagi si anak adalah lebih Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
5
mudah meniru dari pada berpikir dan berusaha mencari realisasi dari pengertianpengertian yang abstrak. Tindakan orang tua yang kurang mengindahkan kaidah-kaidah moral, suka mengganggu kepentingan orang lain dan sebagainya akan dengan mudah ditiru oleh anak-anak. f. Banyaknya film dan buku-buku bacaan yang tidak baik Film dan buku-buku bacaan yang menggambarkan kejahatan-kejahatan, kelihayan penjahat, kelicikan perampok dan pencuri, bandit dan gelora-gelora jiwa muda, banyak sekali disenangi. Kejahatan, kerusakan moral dan kelicikan pelaku-pelaku dalam cerita-cerita tersebut menarik perhatian orang, terutama anak-anak muda yang pada dasarnya juga ada merasa tekanan-tekanan perasaan, baik dari orangtua/keluarganya maupun dari masayarakat luar. Jiwa yang tertekan akan mencari jalan penyalurannya ke luar. Jika penyaluran yang wajar tidak mungkin, maka cara-cara yang tidak wajar akan terjadi, antara lain ialah mengidentifikasikan (menyamakan) dirinya dengan pelaku-pelaku dalam cerita itu yang cocok dengan dirinya. Bacaan dan film memberikan kesempatan bagi anakanak untuk mengungkapkan rasa hatinya yang terpendam, disamping mempunyai pengaruh merangsang anak-anak untuk mengikuti dan mencontohnya dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya secara tidak disadari mereka telah meniru atau meneladani pahlawan-pahlawan yang tidak bermoral yang terdapat dalam film dan bacaan-bacaan tersebut. Perilaku destruktif pemakai dalam pemanfaatan bahan pustaka yang berwujud perobekan, pencurian dan perusakan bahan pustaka, merupakan bentuk tingkah laku pemakai yang sangat merugikan banyak pihak. Kerugian yang timbul sebagai akibat kejahatan ini dapat berupa kerugian material maupun moral. Kerugian material,adalah timbulnya korban-korban kejahatan (victims), rusak atau musnahnya harta benda (damages) , hilangnya kesempatan pemakai lain untuk mengakses bahan pustaka serta semakin meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan bagi penanggulangan kejahatan tersebut. Sedangkan kerugian moral berupa semakin berkurang atau hilangnya kepercayaan masyarakat pemakai terhadap kinerja perpustakaan. Terjadinya tindak destruktif dalam pemanfaatan bahan pustaka di perpustakaan perguruan tinggi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Lemahnya sistem pengawasan bahan pustaka Pada beberapa perpustakaan sering yang menjadi penyebab tingginya tingkat kerusakan dan hilangnya bahan pustaka adalah lemahnya sistem pengawasan terhadap bahan pustaka. Longgarnya pemeriksaan atau kurang telitinya petugas dalam memeriksa bahan pustaka yang akan dibawa keluar oleh pemakai menjadi penyebab banyaknya buku-buku yang hilang. Demikian juga lemahnya pengawasan terhadap bahan pustaka yang ada di rak menyebabkan pemakai dengan leluasa merobek sebagian isi bahan pustaka atau mencuri bahan pustaka 2. Sistem layanan yang tidak profesional
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
6
Layanan yang berbelit-belit atau rumit dan terlalu birokratis, lamban serta sikap petugas yang kurang simpatik , peraturan perpustakaan yang tidak dilaksanakan secara konsisten, rendahnya kualitas layanan bisa menimbulkan rasa tidak puas dari pemakai. Ketidakpuasan pemakai dapat berakibat pemakai mengambil jalan pintas dengan merusak, merobek dan mencuri bahan pustaka. 3. Kurangnya kesadaran pemakai akan pentingnya pelestarian bahan pustaka. Kurangnya kesadaran pemakai akan pentingnya pelestarian bahan pustaka disebabkan oleh kurangnya penanaman nilai-nilai agama dimana orang tua yang tidak pernah menanamkan nilai-nilai agama kepada anaknya mengakibatkan hati nurani (super-ego) si anak menjadi lemah karena tidak terbentuk dari nilai-nilai masyarakat atau agama yang diterimanya waktu kecil. Jika hati nuraninya lemah, atau unsur pengontrol dalam diri si anak kosong dari nilai-nilai yang baik, maka sudah barang tentu akan mudah mereka terperosok ke dalam tindakan-tindakan yang tidak baik dan menurutkan apa yang menyenangkannya waktu itu saja, tanpa memikirkan akibat selanjutnya. Wujud dari lemahnya unsur pengontrol tersebut antara lain berupa kurangnya kesadaran, penghargaan dan pemahaman akan pentingnya informasi yang dampaknya bisa merugikan baik perpustakaan maupun pemakai lain karena hilangnya kesempatan untuk mengakses bahan pustaka tersebut. 4. Tersumbatnya saluran komunikasi antara perpustakaan dan pemakai Keberhasilan perpustakaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya , ditentukan juga oleh kualitas komunikasi dengan masyarakat pemakainya. Ketidakharmonisan hubungan antara perpustakaan dan pemakai bisa berakibat timbul sikap apriori dari pemakai terhadap perpustakaan yang pada akhirnya bisa mengakibatkan pemakai tidak mempunyai rasa memiliki terhadap sumber daya yang ada perpustakaan. Jika pemakai tidak mendapatkan kepuasan dalam layanan perpustakaan, maka pemakai memiliki kecenderungan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan informasinya termasuk merobek dan mencuri bahan pustaka. Pemakai yang mempunyai hubungan menyenangkan dengan pustakawan/petugas perpustakaan, biasanya mengembangkan sikap positif terhadap sumber daya yang dimilki oleh perpustakaan. Sebaliknya pengalaman yang tidak menyenangkan dari pustakawan/petugas perpustakaan, akan mengarah kepada sikap yang negatif baik kepada perpustakaan secara umum maupun terhadap koleksi yang dimiliki perpustakaan. Strategi dalam mengatasi perilaku destruktif pemakai di perpustakaan perguruan tinggi Bagaimanapun juga perilaku destruktif pemakai dalam pemanfaatan bahan pustaka sangat merugikan perpustakaan, sehingga menghambat upaya perpustakaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Oleh sebab itu perlu ada langkah-langkah kongkret untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya melalui upaya : 1. Membangun kerjasama dengan unsur pimpinan, institusi terkait dan organisasi kemahasiswaan pada tingkat jurusan , fakultas maupun universitas
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
7
Bagaimanapun juga penanganan terhadap perilaku destruktif pemakai tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan harus secara komprehensif dan integratif. Dalam hal ini perpustakaan perlu mendapatkan dukungan dari pimpinan univesitas baik dalam bentuk produk hukum berupa keputusan-keputusan maupun dukungan dana. Demikian juga dengan institusi terkait di lingkungan univeritas , meskipun memiliki fungsi yang berbeda namun masing-masing merupakan bagian yang integral yang saling menunjang dalam mencapai tujuan perguruan tinggi. Kerjasama antar institusi akan memberikan manfaat bagi perpustakaan dalam bentuk dukungan dalam mengatasi perilaku destruktif pemakai. Langkah berikutnya adalah membangun hubungan dengan berbagai organisasi kemahasiswaan baik pada tingkat jurusan, fakultas maupun pada tingkat universitas. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan melibatkan organisasi kemahasiswaan dalam pengembangan program perpustakaan. Diharapkan dengan kerjasama ini mahasiswa timbul rasa memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap kelancaran pelaksanaan kegiatan perpustakaan dalam menjalankan misinya. Bidang-bidang yang memungkinkan mahasiswa terlibat dalam pengembangan perpustakaan meliputi : pemilihan bahan pustaka, pengembangan otomasi perpustakaan, promosi perpustakaan, pendidikan pemakai perpustakaan, pendidikan dan pelatihan, magang, pameran dan kerjasama kemitraan lain yang saling menguntungkan. Adanya kerjasama dengan organisasi kemahasiswaan diharapkan terjadi proses pencerahan terhadap kesadaran pemakai akan pentingnya pelestarian bahan pustaka. Berbagai upaya dalam membangun komunikasi antara perpustakaan dan pemakai diharapkan dapat menimbulkan aspek-aspek yang menyangkut pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan melahirkan tindakan yang konstruktif dari pemakai. 2. Membangun sistem layanan prima yang berorientasi kepada kepuasan pemakai Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu lembaga termasuk perpustakaan agar berhasil dalam persaingan adalah menciptakan dan mempertahankan pemakai sebagai pelanggan.7 Penciptaan kepuasan pelanggan ini pada dasarnya merupakan tujuan organisasi baik yang bergerak dalam bidang bisnis maupun jasa. 8 Dengan terciptanya kepuasan pemakai akan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu : (1) terjalinnya hubungan antara perpustakaan dan pemakain menjadi harmonis, (2) memberikan dasar yang baik bagi pelaksanaan layanan berikutnya (3) terciptanya loyalitas pemakai, (4) membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan perpustakaan, dan (5) reputasi perpustakaan menjadi baik di mata pemakai Kepuasan pemakai bergantung pada kualitas layanan (service quality) yang diberikan oleh perpustakaan yang memasarkan jasa layanan. Kualitas layanan mempunyai peranan yang strategis di masa depan. Hal ini dikarenakan masa yang
7
8
Suyono, Bambang. 2001. Pengaruh Kulitas Layanan Akademik dan Administratif terhadap Kepuasan Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM). Ilmu Pengetahuan Sosial Tahun.35 Nomor 2 Desember 2001. Schnaars, S.P. 1998. Marketing Strategy : Customers and Competitions. Edisi kedua, New York : Free Press.
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
8
akan datang pemakai akan semakin memegang peranan penting bagi keberhasilan perpustakaan. 9 Kualitas layanan (service quality) memiliki korelasi yang signifikan dengan kepuasan pemakai. Bila kualitas layanan yang diberikan sesuai dengan harapan pemakai, maka pemakai akan merasa puas demikian juga sebaliknya bila kualitas layanan yang diberikan tidak sesuai harapan pemakai, maka pemakai akan merasa tidak puas. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu expected service (layanan yang diharapkan) dan perceived service (layanan yang diterima). Dengan demikian kualitas layanan dapat diukur dengan membandingkan antara kualitas layanan yang diharapkan dengan yang diterima dan dirasakan oleh para pemakai. Apabila expected service sesuai dengan perceived service , maka kualitas layanan yang diberikan dirasakan baik dan memuaskan. Sedangkan bila kualitas layanan yang diterima melampaui harapan, maka kualitas layanan dirasakan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya bila kualitas layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas layanan dikatakan jelek dan tidak memuaskan. Dengan demikian ideal dan rendahnya kualitas jasa bergantung pada kemampuan perpustakaan dalam memenuhi harapan pemakai. Pemakai perpustakaan pada dasarnya memiliki suatu harapan kepada perpustakaan dalam bentuk pemenuhan informasi yang bisa didapat dengan cepat, mudah dan akurat. Untuk itu sudah sepatutnya perpustakaan perguruan tinggi memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk bisa menjawab kebutuhan informasi pemakai yang semakin kompleks. Pemanfaatan teknologi informasi untuk pengelolaan perpustakaan dan pengawasan koleksi kiranya menjadi prioritas program pengembangan perpustakaan. Cara-cara tradisional atau konvensional sudah tidak mampu lagi untuk mengatasi perkembangan-perkembangan yang ada. Penataan kondisi fisik perpustakaan perlu dilakukan untuk menimbulkan dampak kognitif atau emosional kepada pemakai, sehingga memberikan kepuasan pada saat mengakses berbagai sumber informasi yang ada di perpustakaan. Demikian juga kuantitas, kualitas, kelengkapan , kemutakhiran dan keragaman bahan pustaka perlu mendapatkan perhatian agar perpustakaan dapat memenuhi kebutuhan pemakai akan informasi. Unsur lain yang juga menjadi penentu keberhasilan perpustakaan dalam memberikan kepuasan kepada pemakai adalah sumberdaya manusia. Sukses tidaknya pelayanan perpustakaan banyak bergantung dari 3 faktor yang pada hakekatnya dapat diprosentasikan sebagai berikut : 5 % bergantung atas fasilitas, 20 % diakibatkan oleh koleksi/bahan pustaka yang ada, dan 75 % sebagai result dari staf perpustakaan yang bersangkutan.10 Oleh sebab itu pustakawan di perpustakaan perguruan tinggi dituntut memiliki persyaratan, yaitu pandai bergaul (komunikatif); mempunyai perhatian, siap melayani dan membantu pemakai; memiliki daya imajinasi yang luas; terampil dalam menjalankan tugasnya; 9
Sutjipto, B.W. 1995. Strategi Manajemen Kualitas Dalam era Globalisasi. Usahawan. Oktober hlm.6-11
10
Trimo, Suyono. 1985. Pedoman Pelaksanaan Perpustakaan. Bandung : Remadja Karya
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
9
mengenal dengan baik siapa yang akan dilayani; pandai menempatkan persoalan atau pertanyaan pengunjung dengan tepat dan cepat; dan mempunyai pengetahuan yang luas tentang dunia perpustakaan dan informasi dan memiliki komptetensi dalam bidangnya. Namun demikian dalam mengatasi perilaku destruktif pemakai bukan berarti tanpa masalah. Ada beberapa kendala yang dialami perpustakaan dalam mengatasi perilaku negatif pemakai, yaitu: (1) sulitnya mengontrol perilaku pemakai; (2) dibutuhkan dana yang cukup besar untuk memanfaatkan teknologi informasi di perpustakaan ; dan (3) dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengubah perilaku destruktif pemakai maupun pustakawan yang tidak profesional. Oleh karena itu penanganan terhadap perilaku destruktif pemakai dalam pemanfaatan bahan pustaka harus mendapatkan prioritas dalam program perpustakaan perguruan tinggi sehingga tujuan dan sasaran perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan pemakai dapat terwujud dan tercipta hubungan yang harmonis antara perpustakaan dengan pemakai. Penutup Untuk bisa menjalankan tugas dan fungsinya, perpustakaan perguruan tinggi berkewajiban menjaga keutuhan koleksinya. Perilaku destruktif pemakai bukan saja merugikan perpustakaan, tetapi juga pemakai perpustakaan yang lain dan oleh sebab itu perlu penanganan yang serius dengan melibatkan semua unsur civitas akademika. Disamping itu perpustakaan juga dituntut untuk meningkatkan kualitas layananannya dengan lebih mengutamakan kepuasan pemakai. Agar lebih efektif dalam penanganan terhadap masalah perilaku destruktif pemakai, perpustakaan harus secara proaktif membangun hubungan dan kerjasama dengan berbagai unsur di lingkungan universitas baik unsur pimpinan, institusi terkait maupun organisasi kemahasiswaan. Demikian juga pemanfaatan teknologi informasi , peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, pengembangan koleksi hendaknya menjadi prioritas program pengembangan perpustakaan sehingga perpustakaan dapat menjalankan misinya dalam memenuhi kebutuhan informasi dari masyarakat pemakainya.
Daftar Pustaka Atmasasmita, Romli.1983. Capita Selecta Kriminologi. Bandung : Armico Clerq, Linda De. 1994. Tingkah Laku Abnormal : Dari Sudut Pandang Perkembangan. Jakarta : Gramedia Daradjat, Zakiah. 1983. Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung. Kartono, Kartini. 1989. Psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung : Mandar Maju. Kotler, Philip. 1975. Marketing for Non Profit Organization. Englewood Cliffs. New Jersey : Prentice-Hall Levitt, T.1987. Marketing Success Throught Differentiation of Anything. Harvard Business Review. Vol.58(7) :107-117 Schnaars, S.P. 1998. Marketing Strategy : Customers and Competitions. Edisi kedua, New York : Free Press. Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
10
Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius. Sutjipto, B.W. 1995. Strategi Manajemen Kualitas Dalam era Globalisasi. Usahawan. Oktober hlm.6-11 Suyono, Bambang. 2001. Pengaruh Kulitas Layanan Akademik dan Administratif terhadap Kepuasan Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM). Ilmu Pengetahuan Sosial Tahun.35 Nomor 2 Desember 2001. Tjiptono, F. 1997. Strategi Pemasaran. Yogyakarta : Penerbit Nadi -----------. 2000. Perspektif Manajemen & Pemasaran Kontemporer. Yogyakarta : Penerbit Nadi Trimo, Suyono. 1985. Pedoman Pelaksanaan Perpustakaan. Bandung : Remadja Karya
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
11
Kebijakan perpustakaan dalam menghadapi perilaku destruktif pemakai pada perpustakaan perguruan tinggi : Drs. Hari Santoso, S.Sos. Artikel Pustakawan Perpustakaan UM tahun 2011
12