KEBIJAKAN PENAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG PASAR MODAL 1 Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H.,M.Hum 2
Abstract In this development era, especially economic development in Capital Market, corporation is an important element in realising various legal acts, including crime by corporation and its victim. Therefore, the UUPM (Capital Market Act) reform should make the corporation as legal subject that can be imposed criminal sanction based on UUPM. Inaddition, it is so necessary to reform the criminal sanction provisions in accordance with the legal subject development.
A. PENDAHULUAN Undang-undang No. 8 Tahun 1995 yang diundangkan pada tanggal 10 Nopember 1995 dengan Lembaran Negara Tahun 1995 No. 64, dan mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1996, didasarkan atas suatu pertimbangan, antara lain: bahwa Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat, di samping itu agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Legal spirit yang tercermin dalam konsideran tersebut menunjukkan, bahwa dalam rangka untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UDD 1945, maka pembangunan di bidang hukum perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk melindungi berbagai kepentingan dari
praktik curang yang dilakukan oleh mereka yang ingin mendapatkan
keuntungan dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Dengan dasar itu, maka undang-undang yang bergerak di bidang bursa sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Undang-undang 1 2
Disampai sebagai masukan kepada Tim Legislasi DPR-RI tanggal 17 Desember 2002 di Universitas Jember. Ketua Jurusan/bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember.
1
Darurat tentang Bursa sebagai Undang-undang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Karena itu perlu diganti dengan undang-undang yang baru, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Namun, dalam perkembangan berikutnya, ternyata UUPM yang ketika itu sudah dianggap sesuai dan relevan, saat ini sudah dipikirkan lagi untuk dirubah dengan alasan yang sama seperti ketika dibuatnya UUPM tersebut. Terjadinya serangkaian perubahan itu menunjukkan, bahwa suatu produk hukum yang dibuat akan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Dalam kaitan ini relevan dikemukakan tulisan Satjipto Rahardjo (1986: 27) yang menyatakan: hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan. Lebih lanjut dikemukakan, hukum bukanlah bangunan sosial yang statis melainkan bisa berubah dan perubahan itu terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakatnya. Kebijakan untuk melakukan reorientasi atau reevaluasi terhadap UUPM yang berlaku saat ini, seharusnya juga diarahkan kepada ketentuan pidananya dan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam upaya guna perbaikan untuk UUPM yang akan datang. Saat ini pihak DPR-RI dan Pemerintah tengah mengkaji perubahan dimaksud, akan tetapi apabila memperhatikan “MATRIK PERSANDINGAN RANCANGAN PERUBAHAN UUPM USULAN BADAN LEGISLASI DPR & PEMERINTAH” (untuk selanjutnya penulis sebut saja dengan “Matrik”), maka apa yang telah kemukakan di atas, tidaklah termasuk yang harus untuk ditinjau kembali. Barangkali hal itu dianggap masih tetap relevan. Menurut penulis, baik yang menyangkut ketentuan pidana yang tercantum dalam Bab XV UUPM mulai dari Pasal 103 sampai dengan Pasal 110 sudah seharusnya dilakukan peninjauan kembali. Demikian juga dengan subjek hukum berupa korporasi, sudah seharusnya diatur sebagai subjek hukum pidana, karena mengingat perkembangan kejahatan, termasuk kejahatan ekonomi di bidang Pasar Modal. Di mana pelakunya juga dapat dilakukan oleh korporasi. Mengacu kepada ketentuan Pasal 23 UUPM yang berbunyi: Pihak adalah orang perseorangan, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. Usulan perubahan dari Badan Legislasi DPR: Pihak adalah orang perseorangan, badan usaha, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi termasuk
2
Reksa Dana. Sedangkan Usulan dari Pemerintah: Pihak adalah orang perseorangan, badan usaha, badan hukum, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi. Usulan-usulan tersebut belum mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Karena itu menurut penulis, untuk UUPM yang akan datang sudah seharusnya mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam salah satu pasalnya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana berdasarkan UUPM yang akan datang. Bertitik tolak dari subjek hukum “korporasi” itu, berikut ini penulis akan menguraikan baik dari segi sistem pertanggungjawaban pidananya, kebijakan yang sudah terimplementasi dalam hukum pidana positif dan dalam RUU tentang KUHP 1999-2000, maupun kebijakan penal untuk UUPM ke depan.
B. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Persoalan seputar pengakuan atas korporasi sebagai subjek hukum pidana, yang selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka apabila membandingkan dengan hukum pidana Inggris, di mana berdasarkan the case law pada awalnya hukum kebiasaan Ingris tidak dapat menerima anggapan bahwa korporasi dapat melakukan kejahatan. Alasannya, antara lain: mensyaratkan adanya unsur kesalahan, jelas bertentangan dengan korporasi, sebab mencari kesalahan dalam kasus korporasi, sama halnya dengan mencari hantu dalam mesin. Jadi, merupakan suatu hal yang tidak mungkin. Di samping itu, tuntutan terhadap korporasi tidak dapat diselesaikan dengan persyaratan procedural yang kaku, yaitu seperti membawa terdakwa korporasi ke depan pengadilan (John C. Coffee, Jr., 1983: 253). Namun
demikian,
hambatan-hambatan
tersebut dalam
kenyataannya
tidak
menghalangi dapat dipertanggungjawabkannya korporasi secara pidana. Hal itu berkaitan dengan meluasnya proses industrialisasi di Inggris dalam pertengahan abad XIX, pengadilan Inggris dihadapkan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kereta api (railroads). Dengan adanya kasus tersebut, akhirnya diakui bahwa badan hukum dapat dituntut atas suatu tindak pidana. Berikutnya, bagaimanakah dengan Indonesia? Di Indonesia, kebijakan penal (penal policy) yang menyangkut korporasi sebagai subjek hukum pidana terdapat perbedaan dalam hukum pidana positif, yaitu seperti dalam KUHP (WvS), korporasi bukan merupakan subjek hukum pidana, demikian juga dengan perundang-undangan administrasi yang bersanksi 3
pidana, seperti UUPM. Namun di luar KUHP, seperti antara lain UUTPE dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahkan dalam RUU tentang KUHP 1999-2000 korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum pidana. Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana, karena sebagaimana telah ditegaskan dalam Penjelasan Umum Buku Kesatu angka 2 RUU tentang KUHP tahun 19992000: mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula manusia hukum (juridical person) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham, bahwa korporasi adalah subjek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya atau hanya pengurusnya saja. Berdasarkan penjelasan RUU di atas, berarti sudah barang tentu korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, berbeda dengan apabila pelakunya adalah manusia. Perbedaan itu disebabkan oleh sifat dari korporasi itu sendiri yang berbeda dengan manusia. Untuk memulai diskusi mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal responsibility) ini, terlebih dahulu perlu mengacu kepada doktrin dasar dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan, adalah pelaku, yaitu orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu, akan tetapi tidak selalu demikian, karena masih bergantung pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pembuat undang-undang (kebijakan legislatif). Di samping itu, Moeljatno (1980: 104) menulis bahwa meskipun orang telah melakukan tindak pidana, tapi si pelaku belum tentu dapat dipidana sebagaimana yang diancamkan dalam hukum pidana, karena juga masih tergantung: apakah dalam melakukan tindak pidana itu dia mempunyai kesalahan. 4
Mengenai doktrin dasar tersebut tidak menjadi persoalan dalam hukum pidana (KUHP) kita yang akan datang, karena dalam Rancangan KUHP sampai dengan yang terbaru (tahun 1999-2000) telah dengan tegas mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidananya. Implementasi dari legal spirit yang dituangkan dalam Penjelasan Umum Buku Kesatu itu, telah tercermin dalam Paragraf 7 yang mengatur mengenai Korporasi mulai Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 RUU tentang KUHP. Pasal 44 menyebutkan: Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana. Selanjutnya, dalam Pasal 45 dinyatakan: Jika tindak pidana dilakukan oleh atau untuk korporasi, penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Ketentuan Pasal 45 ini jelas sekali kriterianya tentang siapa saja yang dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 46, mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut: a) pengurus korporasi sebagai pembuat dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab; b) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab; dan c) korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja. Kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sebagaimana diatur dalam RUU tentang KUHP, sudah jelas kriterianya, baik yang menyangkut kapan suatu korporasi dapat dinyatakan sebagai pelaku atau telah melakukan tindak pidana maupun yang menyangkut pengertian kapan korporasi dikatakan melakukan tindak pidana, serta kepada siapa saja seharusnya pidana dapat dijatuhkan. Namun demikian, masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain dari subjek tindak pidana, yang dapat dibedakan dari siapa yang melakukan tindak pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Di atas telah dikemukakan, meskipun pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang yang telah melakukan tindak pidana, akan tetapi masih harus dibuktikan lagi, apakah pada waktu melakukan tindak pidana itu, si pelaku mempunyai kesalahan. Perlunya unsur kesalahan ini berkaitan dengan asas dalam hukum pidana, yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, yaitu sebagai refleksi dari upaya perlindungan terhadap individu (offender). 5
Asas kesalahan atau asas culpabilitas ini, merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, karena merupakan suatu hal yang mustahil jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Apabila ini sampai dilakukan, jelas telah melanggar hak asasi manusia, dalam hal ini orang yang didakwa melakukan kejahatan. Karena itu, ada ungkapan: lebih baik melepas sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Ungkapan ini besar sekali maknanya bila dikaitkan dengan upaya perlindungan terhadap si pelaku dari tindakan yang sewenang-wenang. Persoalannya, apakah dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi, masih relevan mengkaitkan dengan doktrin tentang pandangan dualistik dalam hukum pidana, yang memisahkan antara perbuatan dan kesalahan sebagaimana telah ditulis oleh Moeljatno di atas tadi. Hal ini penting dikemukakan, karena meskipun korporasi dan manusia alamiah samasama sebagai subjek hukum pidana, akan tetapi berbeda dari segi hakikatnya. Dengan perbedaan itu, tentunya juga berbeda dalam mengaktualisasikan suatu doktrin yang selama ini sudah diakui dan dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia. Pada prinsipnya asas kesalahan yang merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana tetap diikuti, tapi dalam hal-hal tertentu (kasuistis sifatnya) dapat menyimpang dari yang umum, yaitu sebagai upaya untuk membangun keseimbangan antara perlindungan terhadap individu (offender) dan perlindungan terhadap kepentingan korban. Di Belanda, sebagaimana yang ditulis oleh J.J.M. van Dijk, H.I. Sagel-Grande, L.G. Toornvliet (1999: 316) bahwa terjadi kesulitan dalam menerapkn hukum pidana terhadap kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Kesulitan tersebut, terletak pada saat pembuktian atas praktek curang dan tercela korporasi, di samping juga sulit dalam mengalihkan kepada pemikul tanggung jawab. Sebagai contoh, dikemukakan: Direktur Bank Slavenburg, dalam perkara banding telah dibebaskan, karena kurangnya alat bukti. Permasalahan yang muncul kemudian, adalah timbulnya rasa frustasi di kalangan polisi dan jaksa, sebab untuk menyiapkan perkara pidana semacam itu, sangat memerlukan tenaga yang banyak. Adanya pembebasan seperti itu, tentu saja membuat jengkel dan keputus-asaan polisi dan jaksa. Untuk selanjutnya, insan penegak hukum ini mengambil sikap menahan diri dalam menangani perkara serupa. Apa yang terjadi di Belanda tersebut, merupakan pelajaran yang baik bagi kita di Indonesia, suatu kebijakan yang terlalu berpegang pada asas kesalahan saja tapa 6
memodifikasikannya dengan asas lainnya seperti strict liability untuk kasus-kasus tertentu, maka akan hanya membuat kemunduran hukum pidana. Demikian juga dengan aparat penegak hukumnya. Akibat selanjutnya adalah terabaikannya perlindungan terhadap korban, baik potensial maupun aktual. Indonesia, kendati secara historis ada keterkaitan dengan Belanda, akan tetapi dalam pengembangan hukum pidana ke depan, tidak lagi semata-mata berorientasi pada sistem hukum pidana seperti yang dianut di Belanda (civil law system). Hal itu dilakukan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah dalam
upaya untuk
membangun
keseimbangan antara sistem hukum yang secara tradisional dianut selama ini dengan sistem hukum lainnya, yaitu seperti common law system, sehingga dalam menghadapi perkembangan kejahatan di bidang ekonomi, termasuk pasar modal, maka hukum pidana akan dapat berfungsi sebagai salah satu sarana untuk melindungi berbagai kepentingan yang dirugikan akibat dari kejahatan tersebut. Selanjutnya, apa yang telah dilakukan oleh Indonesia sebagaimana tercermin dalam RUU tentang KUHP 1999-2000 adalah sejalan dengan yang ditulis oleh Packer (1968: 13), issue strict
liability
atau pertanggungjawaban
tanpa kesalahan, merupakan
suatu
pengembangan yang penting dalam hukum pidana abad ini, baik melalui pengundangan oleh pembentuk undang-undang atau melalui interpretasi oleh pengadilan untuk melarang perbuatan tertentu tanpa memperhatikan kesalahan seseorang. Di negara-negara Anglo Saxon, perkecualian untuk tidak mencantumkan unsur kesalahan dalam mempertanggungjawabkan pelaku kejahatan, termasuk korporasi, adalah menggunakan doktrin strict liability dan vicarious liability. Menurut Peter Gillies (1990: 7879) pertanggungjawaban pidana dikatakan menjadi strict apabila perbuatan yang telah dilakukan tidak lagi memperhatikan adanya kesalahan seseorang. Karena itu, seseorang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan, yaitu seperti adanya unsur kesengajaan (consisting in intention). Lebih lanjut Gillies menulis, konsep strict liability tersebut disusun sebagai perkecualian terhadap asas common law. Karena, berdasarkan doktrin common law suatu kejahatan mensyaratkan adanya mens rea di hampir semua kasus sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana (criminal liability). Selanjutnya, mengenai vicarious liability, Gillies menulis bahwa vicarious liability dalam hukum pidana dapat digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana 7
kepada seseorang dalam kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran atau sekurang-kurangnya ada unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Contoh dari bentuk pertanggungjawaban ini, adalah hubungan antara karyawan dan pimpinan (employeremployee situation). Atau dengan kata lain, vicarious liability berarti pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (liability for the acts of another person) (Russel Heaton, 1998: 404). Berdasarkan kedua doktrin pertanggungjawaban pidana di atas, maka bagaimana dengan hukum pidana kita yang akan datang? Apakah sudah berorientasi pada bentuk pertanggungjawaban pidana seperti ini?. Dalam RUU tentang KUHP tahun 1999-2000, Pasal 32 ayat (2) dan (3) masing-masing berbunyi: Pasal 32 seseorang
ayat (2): Dalam hal tertentu,
dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang
lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) ini, merupakan perwujudan atau implementasi dari diadopsinya asas vicarious liability sebagaimana yang dianut oleh negara-negara yang berdasarkan pada common law, yaitu seperti Inggris. Dengan diadopsinya kedua doktrin pertanggungjawaban pidana tersebut, maka apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana ekonomi di bidang pasar modal, akan besar sekali pengaruhnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dimaksud,
dan sekaligus akan menciptakan adanya perlindungan terhadap pihak yang
dirugikan (korban) akibat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Oleh karena itu, untuk UUPM yang akan datang, dalam ketentuan pidananya sudah seharusnya berorientasi kepada kedua doktrin pertanggungjawaban pidana itu.
C. PIDANA DAN PEMIDANAAN Berikutnya yang menjadi pertanyaan, pidana apakah yang paling tepat dikenakan terhadap korporasi. Pertanyaan ini penting dikemukakan, karena sebagaimana Rekomendasi Economic and Social Council yang menyatakan bahwa mengingat perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon situasi yang berubah dan
realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus
berlangsung dan pengalaman
yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan control
8
terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus diberikan sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana (UN. Economic and Social Council, Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992. Recommendations No. 2, hal. 3). Sehubungan dengan itu, Muladi (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 24 Pebruari 1990: 6-7) menulis bahwa hukum pidana sebagai bagian dari sistem yang lebih luas tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem yang lebih besar, di antaranya adalah sistem ekonomi. Keterlibatan hukum pidana selain dapat bersifat otonom, juga dapat bersifat sebagai pelengkap terhadap hukum lain, misalnya hukum administrasi. Dikaitkan dengan UUPM, yang merupakan perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana, maka kedudukan hukum pidana menurut Muladi adalah sebagai penunjang penegakan norma yang berada dalam hukum administrasi tersebut. Kendati kedudukannya sebagai penunjang, akan tetapi dalam hal-hal tertentu lanjut Muladi, hukum pidana dapat juga lebih fungsional daripada sekedar hanya berfungsi subsidiair. Alasannya, karena mengingat kepentingan hukum yang dilindungi sangat besar, yakni sistem ekonomi suatu bangsa (miring tebal, pen.). Meskipun begitu, Muladi mengingatkan bahwa penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium harus dilakukan dengan hati-hati dan selektif, yaitu dengan mempertimbangkan, baik kondisi objektif (yang berkaitan dengan perbuatan) maupun hal-hal subjektif (yang berkaitan dengan pelaku), kerugian yang ditimbulkan, kesan masyarakat terhadap tindak pidana yang bersangkutan, serta tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Sesuai dengan konteks tulisan ini, maka penggunaan hukum pidana sebagai salah satu sarana untuk melindungi berbagai kepentingan yang telah dirugikan akibat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, pada prinsipnya tetap berpijak pada asas ultimum remedium, akan tetapi dalam hal-hal tertentu sudah saatnya dipertimbangkan penggunaan hukum pidana sebagai primum remedium. Dalam hubungan ini, Harry V. Ball dan Lawrence M. Friedman (1970: 318-319) menulis bahwa apabila berbicara mengenai penggunaan sanksi pidana, pikiran kita akan tertuju pada lebih dari satu arti istilah yang digunakan, yaitu seperti perbedaan antara: a) penetapan sanksi pidana oleh pembentuk undang-undang; dan b) penerapannya oleh aparat penegak hukum. Pada pengertian yang pertama, hukum dapat dikatakan menggunakan sanksi 9
apabila pembentuk undang-undang yang menggunakannya. Sedangkan pada pengertian yang kedua, sanksi digunakan apabila secara nyata diterapkan. Selanjutnya, apa yang kita maksudkan dengan istilah sanksi pidana itu? Undang-undang yang ditujukan pada peraturan ekonomi sering menyediakan berbagai alternatif sanksi, yaitu seperti ganti kerugian, denda yang bernilai uang, perampasan barang-barang, pencabutan izin usaha, pidana penjara, pidana bersyarat dengan ancaman denda atau penjara jika pidana bersyarat itu dilanggar. Kesemua sanksi tersebut, umumnya dianggap sebagai sanksi pidana. Sehubungan dengan bermacam jenis sanksi tersebut, bagaimanapun juga sanksi denda atau penebusan dengan uang, sudah digunakan secara luas sebagai sanksi. Karena itu menurut Harry V. Ball dan Lawrence M. Friedman mempertanyakan apakah sanksi yang bernilai uang atau denda itu merupakan sanksi yang tepat dikenakan terhadap organisasi bisnis (business organization), merupakan pertanyaan yang tidak relevan lagi untuk diperdebatkan, apalagi dengan menanyakan apakah sanksi pidana denda termasuk dalam lingkup hukum perdata ataukah hukum pidana. Karena pada dasarnya, sanksi itu adalah sanksi pidana. Hukum pidana sebagaimana ditulis oleh Walker (1969: 17-36) pada intinya mempunyai tujuan untuk melindungi individu (pelaku) dan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan yang demikian ini, apabila dikaitkan dengan perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang Pasar Modal, maka aspek korban masih belum terlihat, dalam arti untuk perlindungan terhadap actual victims, dan pada umumnya pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi masih sangat manusiawi apabila dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi. Oleh karena itu, wajar jika Clinard dan Yeager (1980: 316) menulis bahwa pada umumnya sudah banyak yang mengkritik hukuman terhadap korporasi, terlalu lunak. Tindakan administratif seperti peringatan dan kesepakatan dalam perjanjian sering digunakan tanpa persyaratan tindakan yang sifatnya penjatuhan sanksi. Demikian juga dengan tindakan dari aspek hukum perdata dan hukum pidana, seringkali tidak digunakan. Selain itu, hukuman denda yang dijatuhkan kepada korporasi relatif sangat kecil dibandingkan dengan asset dan keuntungan yang diperoleh korporasi dari hasil kejahatannya. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat menghendaki agar korporasi dijatuhi pidana yang setimpal sesuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh kejahatannya. Di 10
dalam UUPM, ancaman pidana yang disediakan sudah cukup tinggi, yaitu untuk denda berkisar antara satu miliar sampai lima belas miliar, sedangkan pidana penjaranya berkisar antara satu tahun sampai dengan sepuluh tahun tahun. Namun, ancaman pidana yang dirumuskan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum pidana saat ini, di mana dalam merumuskan sanksi pidananya tidak menganut pola minimal-maksimal. Jadi, apa yang dirumuskan dalam UUPM masih berorientasi pada pola rumusan KUHP yang berlaku saat ini. Di samping itu, ancaman pidana yang tersedia hanya pidana denda, kurungan dan pidana penjara. Jadi, yang dicantumkan hanya terbatas pada pidana pokok. Padahal, jika ancaman pidana itu hendak ditujukan kepada korporasi, maka di samping pidana denda yang merupakan kelompok jenis pidana pokok, seharusnya diatur pula alternatif jenis sanksi lainnya, misalnya seperti pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 7 UUTPE dan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, tindakan tata-tertib (Pasal 8 UUTPE), dan tindakan tata-tertib sementara sebagaimana diatur Pasal 27 dan Pasal 28 UUTPE. Peninjauan kembali terhadap tahap aplikasi dari kebijakan legislatif selama ini, penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mencari alternatif yang terbaik bagi kebijakan hukum pidana yang akan datang. Kerja dari politik hukum pidana, memang tidak berhenti setelah undang-undang dibuat, ia terus bekerja dan mengamati segala kekurangan dan kelebihannya, guna penyempurnaan lebih lanjut.
D. KEBIJAKAN PENAL DALAM UUPM YANG AKAN DATANG Sebelum menguraikan mengenai kebijakan penal untuk UUPM yang akan datang, terlebih dahulu perlu dikemukakan kebijakan penal dalam UUPM yang sedang berlaku saat ini, yaitu sebagaimana yang diformulasikan dalam Bab XV yang memuat ketentuan Pidana mulai dari Pasal 103 sampai dengan Pasal 110. Pasal 103 ayat (1) memuat ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah bagi setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal-pasal: 6; 13; 18; 30; 34; 43; 48; 50; dan 64. Ayat (2) mengancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah bagi setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 32 UUPM. 11
Selanjutnya, Pasal 104 mengancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah bagi setiap pihak yang melanggar ketentuan Pasalpasal: 90; 91; 92; 93; 95; 96; 97 ayat (1); dan 98. Dalam Pasal 105 mengancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah terhadap manajer investasi dan atau pihak terafiliasinya. Pasal 106 (1) mengancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima belas miliar rupiah terhadap pihak yang melanggar ketentuan Pasal 70; (2) mengancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah terhadap pihak yang melanggar ketentuan Pasal 73. Pasal 107 mengancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah terhadap pihak yang melakukan penipuan dan sejenisnya. Pasal 108 ketentuan pidana penjara atau kurungan dan denda yang diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 107 berlaku pula terhadap pihak, baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran pasal-pasal tersebut. Pasal 109 mengancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah terhadap pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan diatur dalam Pasal 100. Kemudian, Pasal 110 mengkualifikasi ketentuan dalam Pasal 103 ayat (2), Pasal 105 dan Pasal 109 sebagai pelanggaran. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 103 ayat (1), Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 sebagai kejahatan. Berdasarkan ketentuan tersebut, kebijakan penal yang terimplementasi masih bersifat konservatif, yaitu denda dan penjara. Di samping itu,
pola ancaman pidanya masih
berorientasi pada pola maksimal dan bukan minimal-maksimal. Dibandingkan antara lain dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 selain mengatur mengenai pidana pejara dan pidana denda, juga mengatur mengenai pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang ini. Namun demikian, suatu hal perlu dikritisi sehubungan dengan ketentuan Pasal 18 di atas, yaitu jika pembayaran uang pengganti yang telah ditentukan dalam Pasal 18 huruf b tidak dibayar paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2), harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) ini, akan dapat memaksa terpidana untuk membayar kewajibannya itu. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika terpidana 12
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti itu? Dalam hal demikian, pembentuk undang-undang telah memasang rambu-rambu melalui Pasal 18 ayat (3), yaitu terpidana akan dijatuhi pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika pelakunya korporasi? Dalam hal ini, ketentuan Pasal 18 ayat (3) tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, jika pelakunya adalah korporasi. Karena, merupakan suatu hal yang mustahil korporasi dapat dijatuhi pidana penjara. Kemudian, bagaimana dengan RUU tentang KUHP sebagai ius constituendum. Dalam RUU tentang KUHP, ketentuan pidananya terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pembagian pidana pokok dan tambahan ini sama dengan KUHP. Namun yang berbeda jenis pidananya, baik yang termasuk dalam kelompok pidana pokok maupun pidana tambahan. Ketentuan baru yang tercantum dalam pidana pokok adalah pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, serta pidana denda dengan sistem kategorisasi. Sedangkan jenis pidana yang termasuk dalam kelompok pidana tambahan, selain yang sudah diatur dalam Pasal 10 huruf b KUHP, ditambah dengan ketentuan baru, yaitu: pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat. Oleh karena dalam RUU tentang KUHP telah mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka jenis-jenis pidana tertentu, baik yang tercantum dalam kelompok pidana pokok maupun pidana tambahan ada yang diorientasikan kepada korporasi, yaitu seperti pidana denda, jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun sampai dengan 15 tahun, maka pidana dendanya paling tinggi adalah denda Kategori V atau sama dengan Rp 30.000.000,-- atau jika tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana dendanya paling tinggi adalah denda Kategori VI, atau sama dengan Rp 300.000.000,--
Ketentuan pidana denda untuk korporasi dapat
dijatuhkan paling sedikit denda Kategori IV atau sama dengan Rp 7.500.000,-Berikutnya, dalam penjatuhan pidana tambahan jika terpidana adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah segala hak yang diperoleh korporasi, misalnya hak untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu. Namun demikian, hak-hak yang dapat dicabut senantiasa dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Hal ini
13
dimaksudkan untuk mencapai salah satu dari tujuan pemidanaan, khususnya demi pengayoman atau perlindungan masyarakat. Dihubungkan dengan pemikiran Barda Nawawi Arief (1984: 132-133) bahwa dalam menghadapi perkembangan delik-delik baru, perlu dipikirkan alternatif pidana lain yang sesuai dengan hakikat permasalahannya, misalnya yang berhubungan dengan korporasi. Untuk itu, memilih dan menetapkan pidana apa yang paling tepat, merupakan hal yang sangat penting dalam politik hukum pidana. Dengan adanya berbagai alternatif jenis sanksi sebagaimana telah disebutkan di atas tadi, maka kecuali pidana penjara dan pidana kurungan, selebihnya adalah sesuai bila diterapkan kepada korporasi sebagai pelaku kejahatan ekonomi di bidang Pasar Modal. Kaitannya dengan pidana denda tersebut, sebelumnya para ahli kriminologi sebagaimana ditulis oleh Harry V. Ball dan Lawrence M. Friedman (1977: 320) pada umumnya menyetujui menggunakan denda sebagai sanksi atas pelanggaran hukum pidana, sebab dengan denda berarti keuntungan yang telah diperoleh oleh si pelaku (business organization) akan menjadi hilang (karena didenda). Pidana yang demikian ini (denda) akan dapat mencegah perolehan keuntungan melalui kejahatan. Namun, apa yang ditulis oleh Harry V. Ball dan Lawrence M. Friedman tersebut, berbeda dengan Mardjono Reksodiputro. Menurut Reksodiputro (1997: 143) ancaman pidana yang tinggi dengan tujuan agar perusahaan merasakan kerugian atas perbuatannya itu, dan secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap para pemegang saham, karena keuntungan perusahaan akan berkurang. Meskipun begitu, apabila pencantuman ancaman pidana yang tinggi didasarkan atas asumsi bahwa perusahaan memang sangat berorientasi pada keuntungan berupa uang dan para pemegang saham merasakan kerugian akan mempengaruhi perusahaan untuk tidak lagi melakukan pelanggaran hukum pidana, maka asumsi yang demikian itu tidak akan banyak artinya bagi perusahaan besar atau yang bersifat konglomerasi. Karena itu, Reksodiputro sampai pada kesimpulan bahwa denda yang tinggi belum tentu mampu menghalangi perusahaan melakukan kejahatan, karena para pemegang sahamnya menafsirkan hal itu sebagai risiko yang harus diambil untuk memperoleh keuntungan yang besar. Selain itu, dikaitkan dengan penggajian para manajer profesional perusahaan, denda yang tinggi itu pun tidak ada pengaruhnya karena semuanya telah diatur dalam kontrak. Melihat kondisi seperti itu, Reksodiputro mempertanyakan: apakah dengan 14
memidana manusia pelaku (pengurus/manajer yang bertanggung jawab) akan lebih membantu pencegahan kejahatan? Jawaban yang diberikan pun nampak masih ragu-ragu. Keraguan itu didasarkan atas kenyataan bahwa mereka yang mempunyai kuasa ekonomi dan dekat dengan mereka yang mempunyai kuasa politik sering terlihat dengan jelas di sini. Sejalan dengan pandangan Reksodiputro, Balakrishnan (1973: 48) menulis bahwa memang pidana denda itu sesuai diterapkan terhadap perusahaan atau korporasi, karena korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara, akan tetapi hal itu saja (denda) masih belum cukup. Karena, sanksi yang berupa pidana denda tidak akan pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman hanyalah di atas kertas. Untuk itu, perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola korporasi itu dilakukan oleh negara. Alternatif yang diusulkan oleh Balakrishnan tersebut, di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam UUTPE Bab IV tentang Tindakan-tindakan Tata-tertib Sementara, di antaranya Pasal 27 dan 28 UUTPE. Dengan demikian, alternatif sanksi selain pidana denda, baik yang dikemukakan oleh Reksodiputro maupun Balakrishnan di atas, sebenarnya didasarkan atas keraguan akan kemampuan sanksi berupa pidana denda itu apabila dikenakan kepada perusahaan atau korporasi, terlebih jika korporasi itu sifatnya giant corporation. Di dalam UUPM sebagaimana yang dicantumkan dalam Bab XIV memuat ketentuan tentang Sanksi Administratif yang merupakan kewenangan dari Bapepam (dalam Matrik, Bapepam diganti dengan OPMI singkatan dari Otoritas Pasar Modal Indonesia) meliputi: peringatan tertulis; denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha; pencabutan izin usaha; dan pembatalan persetujuan; dan pembatalan pendaftaran. Kewenangan OPMI untuk menjatuhkan sanksi administratif tersebut, menurut penulis perlu dikaji ulang. Untuk sanksi yang sifatnya tidak akan berdampak luas (ingat kasus likuidasi 16 Bank Umum Swasta Nasional tanggal 1 Nopember 1997), maka masih relevan jika dilakukan oleh OPMI, yang meliputi: peringatan tertulis; pembatalan persetujuan; pembatalan kegiatan usaha; pembatalan persetujuan; dan pembatalan pendaftaran. Selebihnya perlu diintegrasikan menjadi sanksi pidana (administrative penal law). Penggunaan hukum pidana administratif ini, selain sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab
15
negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin komplek, juga sebagai pendukung norma hukum administrative (Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991: 179).
E. PENUTUP Mengingat kemajuan dalam bidang perdagangan dan perekonomian, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) saja, tetapi dapat diperluas kepada manusia hukum yang lazim disebut korporasi. Pengakuan bahwa korporasi adalah subjek hukum pidana, karena suatu tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi. Ini berarti, korporasi dapat mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya, di samping masih dimungkinkan pertanggungjawaban pidananya dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja. Dalam era pembangunan ini, khususnya pembangunan ekonomi di bidang pasar modal, korporasi merupakan unsur penting dalam melakukan berbagai perbuatan hukum. Demikian juga dengan kejahatan yang dilakukan serta korban yang ditimbulkannya. Karena itu, untuk perubahan UUPM sudah seharusnya menjadikan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dijatuhi pidana berdasarkan UUPM. Selain itu, ketentuan pidananya pun perlu diperbaharui disesuaikan dengan perkembangan subjek hukum dimaksud..
16
Daftar Pustaka Balakrishnan, 1973, Reform of Criminal in India Some Aspects, Dalam Resource Material Series No. 6, UNAFEI, Fuchu, Tokyo, Japan, Oktober. Ball, Harry V. and Lawrence M. Friedman, 1970, Criminal Sanctions for Economic Offenses, Dalam Norman Johnston, Leonard Savitz, Marvin E. Wolfgang, (ED), The Sociology of Punishment and Correction, Second Edition, New York: John Wiley & Sons, Inc. Ball, Harry V. and Lawrence M. Friedman, 1977, The Use of Criminal Sacntions in the Enforcement of Economic Legislation: A Sociological View, Dalam Gilbert Geis and Robert F. Meier, (ED), White-collar Crime: Offenses in Business, Politics, and the Professions, New York: The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. Clinard, Marshall B. and Peter C. Yeager, 1980, Corporate Crime, New York: The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. Coffee, Jr., John C., 1983, Corporate Criminal Responsibility, Dalam Sanford H. Kadish, (ED), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume I, New York: The Free Press. Gillies, Peter, 1990, Criminal Law, Second Edition, Sydney: The Law Book Company Limited. Heaton, Russel, 1998, Criminal Law, Cases & Naterials, Blackstone Press Limited.
Second Edition, London:
Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung. Moeljatno, 1980, Azas-azas Hukum Pidana. Nawawi Arief, Barda, 1984, Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delik-delik Khusus Dalam Masyarakat Modern, Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni. Packer, Herbert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, University Press.
Stanford: Stanford
Reksodiputro, Mardjono, 1997, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Buku Kesatu, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 119-123; Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Buku Kelima, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia. van Dijk, J.J.M., H.I. Sagel-Grande, dan L.G. Toornvliet, 1999, Kriminologi Aktual, Alih Bahasa oleh P. Soemitro, Surakarta: Sebelas Maret University Press.
17
Walker, Nigel, 1969, Sentencing in a Rational Society, England: Penguin Books. Non Textbook United Nations, Economic and Social Council, Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992, Addendum: Report of the Ad Hoc Expert Group Meeting on Strategies to Deal with Transnational Crime, Smolenice, 27-31 Mei 1991, Recommendations No. 2, hal. 3: In view of the political and economic changes taking place in many countries, including the newly emerging “market economies”, new laws and regulations should be developed so as to be able to anticipate and respond to changing situations and emerging economic realities. Exchanges of information on, and experiences with, economic crime and its control by criminal sanctions should be intensified. Due consideration should be given to regulatory mechanisms as essential complements to penal sanctions. Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 24 Pebruari 1990, hal. 6-7.
18