Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek1
Pengantar
Kebijakan
otonomi daerah telah menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi dan kabupaten. Tapi sayangnya dari sekian banyak Perda yang dihasilkan tersebut cenderung dibuat dengan cara yang kurang melibatkan publik dan tidak transparan. Sehingga tidak jarang terjadi penolakan terhadap peraturan yang dibuat. Sebagai contoh, di Sumatera Barat publiknya bereaksi keras terhadap Perda tentang APBD Propinsi Sumbar karena banyaknya tunjangan untuk DPRD yang tidak masuk akal dan di-mark up. Begitu pula di Jakarta, publik menjadi berang ketika APBD DKI Jakarta memberikan uang kopi kepada gubernur sebesar 90 juta. Bahkan kalangan pengusaha yang terhimpun dalam KADIN menyampaikan keluhan kepada presiden bahwa terdapat 1.006 Perda yang bermasalah dan memberatkan dunia usaha.2 Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak Perda yang bermasalah dan merugikan bagi publiknya. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa hal itu timbul karena beberapa faktor, di antaranya: instrumen hukum yang ada kurang mendukung untuk melibatkan publik, struktur atau institusi pembuat kebijakan yang kurang siap dikarenakan sumber daya manusia yang ada tidak memadai, dan budaya atau perilaku eksekutif dan legislatif daerah yang masih bercorak orde baru.
Tata Cara Penyusunan Perda yang Elitis
Hampir
sama dengan proses pembuatan undang-undang, proses pembuatan Perda juga dapat muncul melalui dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (pemda) dan atas usulan legislatif (DPRD). Selama kebijakan otonomi bergulir –- yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah -instrumen hukum dari pemerintah pusat yang dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun peraturan di tingkat daerah terbatas pada PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Dalam prakteknya, Tulisan ini sebagian besar, terutama yang berkenaan dengan PP No 1 Tahun 2001 dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 dikutip dari Manual PHR oleh Q-Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar,Komite HAM Kaltim, LP2S, YBH Bantaya, ptPPMA, HuMa.
1
2
Media Indonesia, 24 November 2001
http://www.huma.or.id
2
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek
karena lazimnya prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur dalam tata tertib DPRD –- yang penyusunannya mengacu pada PP No. 21 Tahun 2001 -- maka usulan rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001. Sedangkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan sebagai pedoman penyusunan rancangan Perda atas usulan pemda. Tata tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001, kenyataannya tatib yang disusun oleh DPRD – yang dituangkan dalam keputusan DPRD – malah menyerupai PP No. 1 Tahun 2001. Itu sebabnya dari segi isi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar tatib di seluruh kabupaten/kota, kecuali untuk hal yang sifatnya penyesuaian. Misalnya persyaratan jumlah minimal anggota untuk bisa mengajukan usulan. Sebagai contoh, tatib DPRD Kota Balikpapan hanya mensyaratkan sekurang-kurangnya empat orang yang terdiri dari lebih satu fraksi, sementara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kertanegara menpersyaratkan minimal lima orang yang berasal dari lebih satu fraksi. Padahal dilihat dari isinya, dalam PP No. 1 Tahun 2001 boleh dikatakan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan sangat sempit. Ironisnya, tatip DPRD justru menutup diri sama sekali dan tidak mengagendakan konsultasi publik dan cenderung elitis. Lain halnya dengan Raperda usulan DPRD, prosedur penyusunan Raperda usulan pemda saat ini diatur melalui Kepmendagri No. 23 Tahun 2001. Pada bagian mengingatnya kepmendagri ini mencantumkan Keppres No. 188 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, namun demikian kepmendagri ini tidak dapat dikatakan sebagai aturan pelaksanaan dari keppres tersebut. Hal ini tidak lain dikarenakan Keppres No. 188 Tahun 1998 hanya diperuntukkan untuk penyusunan UU, tidak untuk Perda atau peraturan yang lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencantuman Keppres No. 188 Tahun 1998 merupakan suatu kekeliruan meskipun dari segi materi kepmendagri ini merupakan dari Keppres tersebut. Dilihat dari segi isinya, kepmendagri No. 23 Tahun 2001 pun belum memberikan peluang yang banyak kepada publik untuk berpartisipasi dalam penyusunan Raperda. Apabila dibuat ke dalam bentuk diagram, urutan pembuatan kebijakan daerah berdasarkan kedua peraturan tersebut dapat terlihat seperti di bawah ini:
http://www.huma.or.id
3
A. Diagram Usulan DPRD Berdasarkan PP. No. 1 Tahun 2001 2. Usul disampaikan kepada Pimpinan DPRD dalam bentuk rancangan disertai penjelasan secara tertulis
1. Usul dari Anggota DPRD
4. Tanggapan Anggota DPRD lainnya, Kepala Daerah terhadap usulan
7. Tanggapan dari pengusul
13. Rapat Paripurna menyetujui Raperda yang dituangkan dalam Keputusan DPRD
5. Dalam Rapat Paripurna pengusul menjelaskan atas usulan
6. Setelah mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah, usulan disampaikan Pimpinan DPRD pada Rapat Paripurna
8. Keputusan DPRD untuk menerima atau menolak usul menjadi usulan DPRD
12. Sambutan Kepala Daerah atas Raperda yang hendak disetujui
3. Sekretariat DPRD memberi nomor pokok terhadap usulan
9. Pembahasan Raperda oleh komisi/rapat gabungan komisi/pansus bersama pejabat yang ditunjuk oelh kepala daerah
11. Pendapat akhir Fraksi-fraksi dalam Rapat Paripurna
10. Laporan hasil pembahasan oleh Pimpinan Pansus dalam Rapat Paripurna
14. Pengesahan dan Pengundangan
B. Usulan Pemda Berdasarkan KepMendagri No. 23 Tahun 2001 1. Pimpinan unit kerja memprakarsai penyusunan Raperda
5. Penyusunan dan pembahasan Raperda oleh bagian hukum atau Tim antar unit kerja
6. Penyampaian hasil pembahasan kepada kepada Sekretaris Daerah melalui Bagian Hukum yang selanjutnya diajukan kepada Kepala Daerah untuk disetujui
11. Pengesahan dan Pengundangan Perda
http://www.huma.or.id
2. Usulan yang dilampiri pokok-pokok pikiran diajukan kepada sekretaris daerah untuk diadakan sinkronisasi dan harmonisasi yang ditugaskan pada bagian hukum
4. pembahasan draft awal oleh unit kerja yang melibatkan bagian hukum dan unit kerja terkait
7. Sekretaris Daerah menyampaikan Raperda kepada DPRD
10. Raperda yang disetujui selanjutnya ditetapkan oleh keputusan DPRD
3. Setelah mendapat persetujuan dari Sekretaris Daerah, unit kerja menyiapkan draft awal
8. Sidang pembahasan raperda oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah bersama DPRD
9. Rapat Paripurna DPRD untuk menyetujui hasil pembahasan dengan mengagendakan penjelasan resmi dari pemda terhadap Raperda
4
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek
Mesin Copy Paste
Sesuai
dengan dasar kewenangan penyusunan Perda, perancang Perda adalah aparat pemda dan anggota DPRD. Dalam pembuatan peraturan setidak-tidak pihak-pihak tersebut mengerti dasar-dasar teknik pembuatan peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang sering timbul di tingkat perancangan Perda adalah aparat yang berwenang kurang memiliki kemampuan mengenai mekanisme pembuatan perundang-undangan. Sebagai contoh, aparat bagian hukum Pemda Kabupaten Merangin mengakui bahwa kemampuan drafting DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif masih sangat terbatas sehingga tidak dapat dihindari jika eksekutiflah yang kemudian menjadi mesin penyusun Perda-perda yang ada di Merangin. Selain itu sejak tahun 2001, dari ± 42 Perda yang telah dihasilkan Kabupaten Merangin, belum satu pun yang merupakan hasil inisiatif DPRD. Ini terjadi karena kesalahan persepsi oleh anggota DPRD Merangin mengenai hak inisiatif seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi B DPRD, inisiatif penyusunan peraturan perundangundangan diartikan hanya sebagai memunculkan ide saja, dan selanjutnya ide tersebut diserahkan kepada eksekutif untuk ditindaklanjuti menjadi Perda.3 Kenyataan ini mengindikasikan bahwa institusi yang ada sebagai pihak yang berwenang menyusun Perda, masih kurang memadai untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas. Sayangnya kekurangmampuan menciptakan produk hukum yang berkualitas itu tidak diimbangi dengan pelibatan publik untuk berperan aktif. Tidak heran jika produk-produk yang dihasilkan di tiap-tiap daerah agak mirip bahkan tak jauh beda dari segi isi karena praktek copy paste yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan yang lain. Hampir seluruh kabupaten di Indonesia memiliki Perda mengenai pemerintah daerah yang tidak mempunyai perbedaan signifikan satu dengan yang lain. Jumlahnya selalu sama, berkisar antara 11 – 13 buah, demikian pula dengan judul-judul yang digunakan.
Perilaku Lama Oleh Pemain Lama
Corak
pelaksanaan otonomi daerah, yang berimbas pada proses pembuatan kebijakan daerah, dalam realitanya lebih diartikan sebagai politik bagi-bagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta dijadikan peluang bagi elitelit politik lokal untuk membangun kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal, maka perhatian terhadap publik tidak jauh beda ketika rezim orde baru berkuasa. Masih bertahtanya pandangan kolot bagian hukum pemda turut menyumbang pada upaya pelanggengan proses pembuatan kebijakan daerah yang anti terhadap partisipasi publik. Rakyat masih tetap dianggap sebatas penyampai aspirasi, sementara tugas untuk menuangkannya dalam bentuk kebijakan daerah masih Contoh ini diambil dari Laporan Kunjungan Lapangan Jambi, 24 Oktober – 04 November 2002, Titi Anggraini dan Reny Rawasita, IHSA.
3
http://www.huma.or.id
5
menjadi wewenang pemda dan DPRD semata. Selain itu, birokrasi lama yang penuh liku masih tetap bertahan karena memang kenyataannya SDM yang ada merupakan pemain lama yang terbiasa dengan pola lama. Akibatnya, acap kali peraturan pusat yang sifatnya pedoman oleh aparat daerah diterjemahkan sebagai instruksi sehingga tidak perlu aneh jika produk hukum yang dihasilkan cenderung seragam. Sifat seragam produk yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut mengindikasikan bahwa proses penentuan obyek atau materi yang hendak diatur dalam Perda tidak berangkat dari identifikasi kebutuhan nyata masyarakat. Dampak yang timbul kemudian adalah munculnya konflik-konflik baru ketimbang menyelesaikan permasalahan lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu penataan ulang terhadap peraturan yang mengatur mengenai pembuatan kebijakan daerah untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi publik.
Inisiatif Datang Dari Pihak Lain
Seperti diuraikan di muka, usulan Raperda dapat diinisiasi oleh pemda dan DPRD dengan aturan main yang berbeda. Berdasarkan PP No. 1 Tahun 2001, Penyusunan Raperda hasil usulan DPRD diawali oleh pengajuan usulan oleh sejumlah anggota yang terdiri atas lebih dari satu fraksi. Usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD dalam bentuk Raperda, disertai penjelasannya. Usul tersebut kemudian diberi nomor pokok oleh sekretariat DPRD. Setelah itu disampaikan oleh pimpinan DPRD pada rapat paripurna setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah (pamus)4. Sedangkan penyusunan Raperda hasil usulan pemda, menurut Kepmendagri No. 23 Tahun 2001, unit kerja dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah dapat mengambil prakarsa untuk menyusun Raperda. Usulan Raperda tersebut dimintakan persetujuannya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah. Sebelum diajukan kepada kepala daerah, sekretaris daerah melalui bagian hukum bisa melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Permohonan persetujuan dilampiri dengan pokok-pokok pikiran atau konsepsi pengaturan, yang memuat: (1) latar belakang, maksud dan tujuan pengaturan; (2) dasar hukum; (3) materi yang diatur, dan (4) keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain. Dalam tahap ini tidak ada suatu kewajiban untuk melibatkan publik dalam tahap usulan. Keterlibatan publik dalam tahap usulan lebih dikarenakan peran aktif masyarakat yang kadang didampingi oleh ornop. Sebagai contoh, misalnya usulan terhadap pembuatan Perda Kabupaten Wonosobo No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) –- hasil usulan DPRD -- berangkat dari pendekatan aktif Lembaga Arupa dan ornop Pamus adalah salah satu alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Salah satu pamus adalah menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD
4
http://www.huma.or.id
6
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek
lainnya kepada DPRD Wonosobo untuk mengagendakan pembuatan Perda demi menjawab permasalahan pengelolaan hutan di Wonosobo. Keterlibatan publik dalam penyusunan Perda ini juga tidak lepas dari niat baik anggota DPRD menjawab aspirasi yang ada. Bahkan dalam kasus Perda Wonosobo, keterlibatan publik juga sampai pada penyusunan/drafting Raperda. Di Kutai Barat, inisiasi pembuatan Perda No. 18 Tahun 2002 Tentang Kehutanan Kabupaten Kutai Barat datang dari masyarakat bersama pemda. Pemda dalam hal ini betul-betul melibatkan publik dengan membentuk tim peyusun yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pembangunan Kehutanan Daerah (KK-PKD) yang terdiri atas anggota perwakilan dinas-dinas pemda, ornop, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.
Penyusunan/Drafting Rancangan Peraturan Daerah
Berdasarkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001, drafting Raperda dilakukan setelah Kepala daerah memberikan persetujuan terhadap usulan Raperda dan diteruskan dengan pemberitahuan kepada bagian hukum dan dinas/lembaga teknis daerah oleh sekretaris daerah. Untuk membantu menyusun Raperda tersebut, pemrakarsa dapat membentuk Tim Asistensi antar Dinas/lembaga teknis daerah atau disebut juga Tim Unit Kerja, yang diketuai langsung oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah untuk menyusun Raperda tersebut. Kepala Bagian Hukum secara otomatis akan bertindak sebagai sekretaris di dalam Tim tersebut. Pembentukan tim ini selambat-lambatnya 21 hari sejak dikeluarkannya surat sekda mengenai pemberitahuan persetujuan prakarsa. Sebelumnya, sekda sendiri yang langsung mengajukan pembentukan tim asistensi kepala seluruh pimpinan dinas/lembaga teknis daerah yang terkait, selambat-lambatnya 7 hari sejak Raperda disetujui oleh kepala daerah. Pimpinan dinas/lembaga teknis daerah menunjuk orang yang akan duduk di dalam tim asistensi. Usulan nama dari masing-masing dinas/lembaga teknsi daerah paling lambat 7 hari terhitung sejak sekda mengajukan permintaan. Secara berkala, ketua tim asistensi akan melaporkan perkembangan pembahasan kepada sekda dan pimpinan dinas/lembaga terkait daerah. Setelah selesai menuntaskan tugasnya, tim asistensi melaporkan hasil perumusan akhir Raperda kepada sekda dan pimpinan dinas/lembaga teknis daerah, disertai penjelasan. Selanjutnya sekretaris daerah mengajukan Raperda tersebut kepada kepala daerah, sekaligus menyipakan Nota Penyampaian kepala daerah kepada DPRD. Pada proses penyusunan Raperda yang merupakan usulan dari DPRD, menurut PP No. 1 Tahun 2001, drafting Raperda baru dapat dimulai setelah rapat paripurna DPRD memutuskan menerima dan menetapkan usulan menjadi usulan DPRD, pembahasan lebih lanjut atas usulan tersebut dilakukan oleh komisi/rapat gabungan komisi/panitia khusus. Dalam hal pembahasan diserahkan kepada http://www.huma.or.id
7
pansus, pimpinan DPRD membentuk pansus. Komisi adalah salah atau alat kelengapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Salah satu tugas komisi adalah melakukan pembahasan terhadap Perda dan rancangan keputusan DPRD. Sama seperti pamus dan komisi, pansus juga merupakan alat kelengkapan DPRD yang dibentuk pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan dari pamus. Tetapi, tidak seperti pamus dan komisi yang bersifat tetap, pansus bersifat sementara. Pansus dibentuk untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas tertentu dengan kemungkinan diperpendek atau diperpanjang jangka waktunya. Komisi/rapat Gabungan Komisi/Pansus yang ditugasi untuk membahas Raperda tersebut -- lewat pimpinannya -- memberikan penjelasan kepada seluruh anggota DPRD dalam rapat paripurna. Dalam rapat tersebut, kepala daerah memberikan pendapat yang kemudian dijawab oleh pimpinan komisi/rapat gabungan komisi/pansus. Sebelumnya, Raperda tersebut -- disertai penjelasannya -- disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara tertulis, melalui sekretaris daerah. Pada tahap drafting, keterlibatan publik juga tergantung pada niat baik dan kesadaran pemda maupun DPRD untuk membuka ruang bagi pihak yang berkepentingan terhadap Raperda yang akan disusun untuk dapat terlibat. Namun demikian, niatan ini juga dipengaruhi oleh minimnya kemampuan legal drafting dan substansi para anggota DPRD. Keterlibatan masyarakat dan ornop juga tergantung pada pendekatan yang dilakukan mereka kepada pemda dan anggota DPRD. Sebagai contoh, penyusunan Perda Kutai Barat tentang Pemerintahan Desa difasilitasi secara aktif oleh ornop SHK Kaltim. Dalam hal ini SHK tidak hanya memfasilitasi publik untuk terlibat tetapi dipercaya untuk menyusun draft awal bersama masyarakat. Dalam penyusunan Raperda Wonosobo juga demikian, Arupa dan ornop lainnya malah diberi kepercayaan untuk menyusun draft. Di Sumatera Barat, hal yang sama terjadi pada tahap penyusunan Raperda provinsi tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat, publik yang tergabung dalam Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) ikut menjadi anggota tim penyusun Raperda. Meskipun masyarakat (wakil LKAAM) yang terlibat dalam drafting Raperda tersebut telah memberikan masukan dan pemikiran terkait dengan substansi Raperda yang sedang disusun, namun kenyataannya pendapat dan pemikirannya tidak digubris oleh oleh pihak eksekutif.5
Pembahasan Raperda oleh DPRD dan Eksekutif
Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Raperda yang merupakan inisiatif pemda akan dibahas dalam suatu rapat paripurna yang mengagendakan 5
Media Indonesia, Ranperda Tanah Ulayat Lebih Pentingkan Investor, 21 Februari 2003.
http://www.huma.or.id
8
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek
penyampaian nota penyampaian dari kepala daerah. Isi nota tersebut adalah sifat penyelesaian Raperda, cara penanganan atau pembahasannya dan pejabat yang ditugasi untuk mewakili pemda dalam pembahasan Raperda dengan komisi/pansus DPRD. Dalam hal pembahasan tersandung pada hal-hal prinsipil, pejabat yang ditunjuk dapat melaporkan kepada kepala daerah dengan disertai saran pemecahan yang diperlukan. Setelah melewati putaran rapat-rapat di komisi/pansus, DPRD kemudian mengadakan rapat paripurna untuk menyetujui Raperda tersebut. Dalam rapat paripurna ini, didengarkan juga penjelasan resmi pemda terhadap Raperda tersebut. Reperda yang telah disetujui tersebut kemudian ditetapkan melalui keputusan DPRD. Berikutnya, kepala daerah menetapkannya dengan cara membubuhi tanda tangan dan Cap Jabatan. Sebelumnya, bagian hukum memberikan nomor kepada Raperda tersebut. Rangkaian penyusunan kemudian ditutup dengan diundangkannya Perda tersebut ke dalam lembaran daerah serta memberitahukannya kepada Mendagri dan Otda. Sedangkan pada Raperda yang merupakan usulan/inisiasi dari DPRD, pembahasan bersama eksekutif akan mulai dilakukan setelah Raperda tersebut -disertai penjelasannya -- disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah secara tertulis, melalui sekretaris daerah. Selanjutnya sekretaris daerah melaporkannya kepada kepala daerah disertai saran mengenai pejabat yang akan ditugasi untuk mengkoordinasikan pembahasannya dengan pimpinan Dinas/Lemabaga Teknis daerah yang terkait. Selanjutnya, sekretaris daerah menyampaikan Raperda kepada Unit Kerja dan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah yang ditugaskan oleh kepala daerah untuk mengkoordinasikan pembahasannya. Unit kerja yang dibebani untuk mengkoordinasikan pembahasan tersebut membentuk Tim Asistensi yang diberi tugas untuk membahas dan menyiapkan pemdapat, pertimbangan, serta saran penyempurnaan yang diperlukan. Untuk mengerjakan tugas tersebut, Tim Asistensi Teknis diberi waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal pembentukannya dan melaporkan hasil tugasnya kepada Unit kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasan. Bila diperlukan, Tim Asistensi Teknis tersebut bisa juga membantu kepala daerah dalam rapat-rapat pembahasan dengan DPRD. Dalam menjalankan tugasnya, Tim Aistensi Teknis bersekretariat di kantor Bagian Hukum. Pejabat atau Unit Kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasan tersebut berkewajiban mengkonsultasikan Raperda—berikut pendapat, pertimbangan serta penyempurnaan yang diajukan oleh Tim Asistensi Teknis—dengan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah terkait. Pejabat tersebut juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan melaporkan seluruh proses konsultasi selambat-lambatnya 21 hari sejak tanggal dikeluarkannya surat sekretaris daerah mengenai penyampaian Raperda kepada Unit Kerja dan Pimpinan Dinas/Lembaga Teknis Daerah terkait.
http://www.huma.or.id
9
Kepala Daerah kembali menyampaikan Reperda kepada DPRD dengan Nota Penyampaian yang berisikan penerimaan untuk membahas lebih lanjut Raperda atau tidak menerimanya disertai alasan-alasannya. Dalam hal pembahasan Raperda diterima untuk dilanjutkan, kepala daerah sekaligus menunjuk pejabat yang mewakilinya dalam pembahasan selanjutnya. Komisi/Rapat Gabungan Komisi/Pansus selanjutnya mengadakan rapatrapat pembahasan dengan pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah daerah. Apabila rapat pemabahasan telah selesai, komisi/rapat gabungan komisi/pansus kemudian menyempurnakan Raperda tersebut untuk kemudian disampaikan dalam rapat paripurna. Dalam rapat ini, selain memberikan kesempatan kepada pimpinan komisi/rapat gabungan komisi/pansus untuk melaporkan Raperda yang sudah disempurnakan, juga didengarkan pendapat akhir dari fraksi-fraksi dan sambutan dari kepala daerah. Rapat paripurna dilanjutkan dengan agenda menyetujui Raperda. Persetujuan atas Raperda tersebut ditetapkan dengan Keputusan DPRD. Selanjutnya Raperda tersebut ditetapkan menjadi Raperda oleh kepala daerah dengan cara mendatanganinya dan membubuhkan Cap Jabatan, setelah terlebih dahulu diberi nomor oleh Bagian Hukum. Perda yang telah dinomori, ditandatangani dan dicap jabatan tersebut kemudian diserahkan kepada sekretaris daerah untuk diundangkan dalam lembaran daerah dan dikirimkan kepada Mendagri dan Otda selambat-lambatnya 15 hari setelah tanggal penetapan, disertai dengan risalah rapat pembahasan. Dalam praktek pembahasan Raperda PSDHBM Wonosobo di DPRD, untuk menambah masukan, DPRD Wonosobo sering mengadakan hearing keada anggota masyarakat sebagai petani hutan, akademisi, ornop, dan pihak lain yang berkepentingan. Karena dinilai berlarut, masyarakat juga sesekali mengadakan aksi untuk mendesak anggota DPRD menuntaskan pembahasannya degan segera. Sekali lagi, keterlibatan publik dalam proses pembahasan lebih banyak tergantung pada sikap proaktif anggota DPRD untuk menampung aspirasi dari masyarakat. Jika hanya mendasarkan pada peraturan, sesungguhnya peraturan yang ada tidak mewajibkan publik untuk dimintai pendapat mengenai Raperda yang sedang dibahas. Walaupun masyarakat sudah dilibatkan terkadang apa yang disampaikan masyarakat tidak diperlakukan sebagai aspirasi yang dijadikan bahan pertimbangan, malah keterlibatan masyarakat hanya diperlakukan sebagai excuse belaka. Kejadian ini dapat dibuktikan seperti pembahasan Raperda di Sumatera Barat tentang Pemafaatan Tanah Ulayat di mana aspirasi publik tidak diprioritaskan.
http://www.huma.or.id
10
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek
Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah
Secara sederhananya, tahapan penyusunan peraturan daerah dapat dilihat dalam diagram berikut: C. Usulan DPRD berdasarkan Keputusan DPRD Kab. Sanggau No 11 Tahun 2001 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kab. Sanggau 1. usulan DPRD
2. Penyampaian usulan kepada seluruh anggota DPRD oleh Pimpinan DPRD
5. Pembicaraan Tingkat II Pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda dalam Rapat Paripurna
2. pembicaraan tingkat I: Penjelasan pimpinan komisi/pimpinan rapat gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus atas nama DPRD terhadap raperda dalam rapat i
4. Rapat fraksi
6. Pembicaraan tingkat III Pembahasan dalam rapat komisi/rapat gabungan komisi atau rapat pansus yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
7. Pembicaraaan Tahap IV: Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dan pemberian kesempatan Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan
8. Penetapan Peraturan Daerah Hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah Persetujuan DPRD ditetapkan dalam keputusan DPRD
D. Usulan Pemerintah Daerah Berdasarkan Keputusan DPRD Kab. Sanggau No. 11 Tahun 2001 tentang Peraturan Tata Tertib DPRD Kab. Sanggau. 1. Usulan Pemda
2. Penyampaian usulan kepada seluruh anggota DPRD oleh Pimpinan DPRD
6. Pembicaraan Tingkat III Pembahasan dalam Rapat Komisi/Rapat Gabungan Komisi atau Rapat Pansus yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
7. Pembicaraaan Tahap IV: Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna dan pemberian kesempatan kepada Kepala Daerah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan
http://www.huma.or.id
3. Pembicaraan Tingkat I Penjelasan Kepala Daerah dalam rapat Paripurna
5. Pembicaraan Tingkat II: Pandangan umum Fraksifraksi dalam Rapat Paripurna Dan jawaban Kepala Daerah terhadap pandangan umum Fraksi-fraksi
4. Rapat fraksi
8. Penetapan Peraturan Daerah Hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah. Persetujuan DPRD ditetapkan dalam Keputusan DPRD
11
Penutup
Mengacu
pada kenyataan penyusunan Raperda yang dilakukan selama ini, pelibatan publik masih belum merupakan suatu keharusan. Jika pun ada pelibatan publik, hal tersebut cenderung hasil dari pendekatan dan terkadang ‘tekanan’ dari publik – baik itu ornop maupun masyarakat yang berkepentingan langsung terhadap peraturan tersebut. Namun demikian, dalam pelibatan publik ini masih belum ada jaminan bahwa apa yang menjadi aspirasi masyarakat akan tertulis dalam produk final Perda. Penyusunan peraturan daerah lebih menekankan pada proses teknisnya saja dan bukan pada substansi yang akan disusun ataupun kepentingan apa yang dibawa oleh Perda tersebut. Pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan malah tidak diikutkan. Hal ini pada akhirnya tidak jarang melahirkan konflik pada pihak dimana peraturan tersebut nantinya akan diterapkan. Rendahnya peran serta dalam penyusunan peraturan pada dasarnya lebih disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai itu kurang memberi kesempatan pada publik (bahkan nyaris tak ada). Kemampuan yang minim dan elitisme pembuat peraturan di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang partisipasi bagi publik. Selain itu, birokrasi model lama masih mendominasi sehingga proses penyusunan peraturan yang seharusnya dimungkinkan untukmelibatkan publik malah menjadi tertutup.
ZZYY
http://www.huma.or.id
12