KEBIASAAN JAJAN ANAK SEKOLAH DASAR DI SD 036, SD 070 DAN SD MUHAMMADIYAH 5 KOTA PEKANBARU
EFRI ANGRYANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRACT EFRI ANGRYANI. Habit Of Eating Snacks Among Primary School Children In SD 036, SD 070 And SD Muhamaddiyah 5 In Pekanbaru. Supervised by M. RIZAL M. DAMANIK and SRI ANNA MARLIYATI
The purpose of this study was to examine the habits of eating snacks among the school children at SD 036, SD 070 and SD Muhammadiyah 5 in the town of Pekanbaru. This was a cross sectional study with the subjects of 108 children in Grades 4 and 5(10-12 years). The data on the habit of eating snacks were collected by using a 2x24 hour Food Recall and Food Frequency (FFQ), processed using Nutrisurvey, Microsoft Excel 2007 and analyzed using the Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0 for Windows. The Spearman correlation results indicated there was a significant positive relationship between parent’s (mother and father) education and the number of major foods and beverages, while on the food frequency mother’s education had a significant and positive correlation with the main meal snacks and beverages. The Spearman correlation results also showed a significant negative relationship between mother’s education and the habit of eating snacks (number of snack types and frequency) and between father and mother's education and fruit snack habit (number of snack types and frequency). Further, the Spearman correlation results indicated that there was a significant positive relationship between family income and the habit of eating snacks (the number of minor snack types and snack frequency), and on the fruit snacks there was a significant positive correlation between family income and the number of snack types, while on the beverage snacks there was a significant negative correlation between the amount of snack pocket money and the snack habit (number of snack types and frequency). The amount of snack pocket money and the number of major food snack types were positively and significantly related, and on beverage snacks there was also a positive and significant correlation between the amount of snack pocket money and the snack habit (number of snack types and frequency). Keywords: Number of snack types, snack frequency
RINGKASAN EFRI ANGRYANI. Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 Kota Pekanbaru. Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK dan SRI ANNA MARLIYATI Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kebiasaan jajan anak sekolah dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 kota Pekanbaru. Tujuan khususnya antara lain:1) Mengidentifikasi karakteristik individu siswa. 2) Mengidentifikasi keadaan sosial ekonomi keluarga siswa. 3) Mengidentifikasi kebiasaan jajan dari segi jenis jajanan, dan jumlah jajanan. 4) Menganalisis kontribusi makanan jajanan terhadap angka kecukupan gizi (AKG) siswa. 5) Menganalisis hubungan karakteristik siswa, dan karakteristik keluarga siswa dengan kebiasaan jajan siswa (jumlah jenis dan frekuensi jajan). Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional. Pemilihan lokasi sekolah dasar dilakukan secara Startified random sampling berdasarkan kriteria tingkatan sosial ekonomi siswa yaitu tinggi, menengah, dan rendah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2012. Populasi dari penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas 4 dan 5 dengan jumlah contoh untuk digunakan dalam penelitian adalah 108 orang, termasuk estimasi drop out (36 siswa dari masingmasing SD). Proses pengolahan data terdiri dari editing, coding, scoring, entry data cleaning dan analisis data. Data yang diperoleh dengan metode survey kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis dalam bentuk deskriptif meliputi persentase dan rata-rata serta menggunakan statistik inferensia yang meliputi uji korelasi Pearson, dan uji korelasi Rank Spearmen yang menggunakan program Microsoft Excell 2010, Nutrisurvey 2007. Siswa yang menjadi contoh pada penelitian ini adalah siswa kelas 4 dan 5 SD yang berumur 9 hingga 12 tahun. Sebagian besar siswa ketiga SD mempunyai besar uang saku dengan kategori sedang (Rp.2018-Rp.11077) dengan rata-rata uang saku sebesar Rp.6547,-. Siswa yang mempunyai besar uang saku dengan katagori tinggi (>Rp.11077) mempunyai persentase sebesar 36,1% pada SD 1 dan SD 2 sebesar 5,6% dengan rata-rata uang saku sebesar Rp.15.000,-. Pada SD 3 tidak terdapat siswa yang memiliki uang saku dengan kategori tinggi. Tingkat pendidikan orangtua siswa sebagian besar siswa di SD 1 mempunyai ayah dengan pendidikan terakhir sarjana (58,3%), pada SD 2 adalah SMA 58,3% dan pada SD 3 adalah SMP 50%. Sebagian besar siswa di SD 1 mempunyai ibu dengan tingkat pendidikan terakhir sarjana (33,3%), pada SD 2 adalah SMA (52,8%) dan pada SD 3 adalah SMP (44,4%). Pekerjaan ayah pada SD 1 adalah pegawai negeri sipil (PNS) (41,7%), pada SD 2 dan SD 3 adalah wiraswasta masing-masing (33,3%) dan (55,6%). Pekerjaan ibu SD 1 adalah pegawai negeri sipil (PNS) (41,7%), pada SD 2 dan SD 3 adalah ibu rumah tangga (IRT) masing-masing 75% dan 50%. Rata-rata besar keluarga per SD termasuk dalam kategori sedang (5-7). Berdasarkan pendapatan keluarga pada SD 1, SD 2 dan SD 3 tingkat pendapatan keluarga termasuk dalam kategori tidak miskin (>Rp326.670). Tingkat pengetahuan pada kategori kurang (<60%) yaitu sebesar 30,6% pada SD 1, 44,4% di SD 2 dan 33,3% pada SD 3. Pada kategori sedang (6080%) yaitu 52,8% di SD 1, 47,2% di SD 2 dan 58,3% di SD 3. Pada kategori baik (>80%) sebesar 16,7% di SD 1, 8,3% di SD 2 dan SD 3. Sebagian besar sarana yang digunakan penjaja makanan pada masing-masing sekolah adalah kantin di
dalam lingkungan sekolah. Seluruh siswa memilih jajanan berupa makanan utama sebanyak <2 jenis per minggu pada ketiga sekolah. Makanan cemilan sebanyak 4-5 jenis per minggu. Pada kelompok SD 1 dan SD 2 sebagian besar siswa memilih jajanan kelompok minuman sebanyak 4-5 jenis, sedangkan pada kelompok SD 3 sebanyak 75% membeli 2-3 jenis minuman per minggu. Pada kelompok SD 1 seluruh siswa memilih jajanan buah <2 jenis, sedangkan pada kelompok SD 2 dan SD 3 sebagian besar memilih jajanan kelompok buah sebanyak 2-3 jenis per minggu. Sebanyak 80,6% siswa pada kelompok SD 1dan SD 2, dan 63,9% siswa pada kelompok SD 3 memiliki frekuensi jajan makanan utama <3 kali dalam seminggu. Seluruh siswa di ketiga SD jajan makanan cemilan dan minuman dengan frekuensi sebanyak >11 kali per minggu, sedangkan Seluruh siswa pada kelompok SD 1, 63,9% pada SD 2, dan 55,6% siswa pada kelompok SD 3 jajan buah dengan frekuensi <3 kali. Rata-rata dari ketiga SD, makanan jajanan dapat memberikan kontribusi energi sebesar 15,2%, protein 10%, kalsium 16,5%, zat besi 11,1%, vitamin A 20,6%, dan vitamin C 21,6% terhadap angka kecukupan gizi (AKG). Rata –rata asupan energi, protein, zat besi, kalsium, vitamin A dan vitamin C dari makanan jajanan pada SD 1 lebih tinggi dibandingkan dengan SD 2 dan SD 3. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah (r=0,228; p<0,05) dan tingkat pendidikan ibu (r=0.312; p<0,01) berhubungan signifikan positif dengan jumlah jenis jajanan makanan utama yang dibeli disekolah, sedangkan pada jenis makanan cemilan 2-3 jenis dan 4-5 jenis. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan ayah tidak berhubungan dengan jumlah jenis jajanan cemilan (r=-0,071; p>0,05), dan tingkat pendidikan ibu berhubungan signifikan negatif (r=-0,194; p<0,05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah (r=0,380; p<0,01) dan tingkat pendidikan ibu (r=0,344; p<0,01) berhubungan signifikan positif dengan jumlah jenis jajanan minuman dan pada jajanan buah siswa cenderung memilih jumlah jenis jajan <2 jenis buah perminggu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan ayah (r=-0,565; p<0,01) dan pendidikan ibu (r=0,564; p<0,01) berhubungan signifikan negatif dengan jumlah jenis jajanan buah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r=-0,060; p>0,05) antara pendapatan keluarga dengan jumlah jenis jajanan yang biasa dibeli siswa per minggu. korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif (r=0,220; p<0,01) antara pendapatan keluarga dengan jumlah jenis jajanan cemilan yang biasa dibeli siswa per minggu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendapatan keluarga berhubungan signifikan negatif (r=-0,195; p<0,01) dengan jumlah jenis jajanan minuman. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan signifikan positif (r=0,375; p<0,05) dengan jumlah jenis jajanan yang biasa dibeli siswa per minggu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan yang positif (r=0,227; p<0,05) antara besar uang jajan dengan jumlah jenis jajanan makanan utama. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar uang jajan berhubungan signifikan negatif(r=-0,190; p<0,05) dengan jumlah jenis cemilan, Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar uang jajan berhubungan signifikan positif (r=0,264; p<0,05) dengan jumlah jenis jajanan minuman. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar uang jajanberhubungan signifikan negatif (r=-0,533; p<0,01) dengan jumlah jenis jajanan buah.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah tidak berhubungan signifikan (r=0,176; p>0,05) dan tingkat pendidikan ibu (r=0.283; p<0,01) berhubungan signifikan positif dengan frekuensi jajan makanan utama yang dibeli disekolah, sedangkan pada frekuensi jajan cemilan, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan ayah tidak berhubungan dengan frekuensi jajan cemilan (r=-0,071; p>0,05), sedangkan tingkat pendidikan ibu berhubungan signifikan negatif (r=-0,194; p<0,05) dan pada frekuenisi jajan minuman, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah(r=0,380; p<0,01) dan tingkat pendidikan ibu (r=0,344; p<0,01) berhubungan signifikan positif dengan frekuensi jajan minuman, serta frekuensi jajan buah, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan ayah (r=-0,321; p<0,01) dan pendidikan ibu (r=-0,327; p<0,01) berhubungan signifikan negatif dengan jumlah jenis jajanan buah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r=-0,037; p>0,05) antara pendapatan keluarga dengan jumlah jenis jajanan yang biasa dibeli siswa per minggu. Pada frekuensi jajan makanan cemilan, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif (r=0,220; p<0,05) antara pendapatan keluarga dengan jumlah jenis jajanan cemilan yang biasa dibeli siswa per minggu sedangkan pada frekuensi jajan minuman, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendapatan keluarga berhubungan signifikan negatif (r=-0,195; p<0,01) dengan jumlah jenis jajanan minuman dan pada frekuensi jajan buah, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak berhubungan signifikan (r=0,073; p>0,05) dengan frekuensi jajanan yang biasa dibeli siswa per minggu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan (r=0,162; p>0,05) antara besar uang jajan dengan frekuensi jajan makanan utama, sedangkan pada frekuensi jajan makanan cemilan, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar uang jajan berhubungan signifikan negatif (r=-0,190; p<0,05) dengan frekuensi jajan. Pada frekuensi jajan minuman, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar uang jajan berhubungan signifikan positif (r=0,264; p<0,01) dengan frekuensi jajan dan pada frekuensi jajan buah, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar uang jajan berhubungan signifikan negatif(r=-0,290; p<0,05) dengan frekuensi jajan.
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 Kota Pekanbaru adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor,
Mei 2013
Efri Angryani NIM: I14104036
3
KEBIASAAN JAJAN ANAK SEKOLAH DASAR DI SD 036, SD 070 DAN SD MUHAMMADIYAH 5 KOTA PEKANBARU
EFRI ANGRYANI
Skripsi sebagai salah syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
4
Judul
:Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 Kota Pekanbaru Nama : Efri Angryani NIM : I114104036
Disetujui oleh:
drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Pembimbing I
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si Pembimbing II
Diketahui oleh :
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
5
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pekanbaru pada tanggal 13 Juni 1988. Penulis adalah putri dari pasangan Erman Zen, MP dan Asmarita. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1992 pada Sekolah Taman Kanak-kanak Aisyah di Pekanbaru dan lulus pada tahun 1993, dan melanjutkan ke Sekolah Dasar 014 pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 13 Pekanbaru dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Pekanbaru jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima di Program Diploma III Politeknik Kesehatan Pekanbaru – Riau, pada Program Studi Gizi. Penulis melakukan Internship Dietetik di RSAB Adam Malik, Medan – Sumatra Utara, Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru, dan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kecamatan Kampar, Desa Deli Makmur, Kampar. Pada tahun 2009 penulis menyelesaikan pendidikan D3 dan mendapatkan gelar sebagai Ahli Madya Gizi (AMG). Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Program Pendidikan Sarjana Alih Jenis Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur ujian mandiri pada tahun 2010. Selama kuliah di Program Alih Jenis, penulis pernah menjadi panitia dalam kegiatan Seminar Pangan dan Gizi Nasional “FIT FESTIVAL”.
6
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Kebiasaan Jajanan Anak Sekolah Dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 Kota Pekanbaru” dengan baik. Penyusunan skripsi penelitian ini merupakan syarat bagi penulis guna memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD selaku Dosen Pembimbing Akademik serta Dosen Pembimbing Skripsi, dan Ibu Dr. Ir. Sri Anna M, M. Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. Ibu Tiurma Sinaga, Bsc, MFSA selaku Pemandu seminar atas kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. 3. Pihak Sekolah Dasar Negeri 036 dan 070 serta SD Muhammadiyah 5 Pekanbaru yang menjadi objek penelitian. 4. Kedua orang tua Erman Zen, MP dan Asmarita, serta abang dan kakakku Aulia Afrian, ST dan dr. Rahilla Ermariza yang senantiasa memberikan doa, dukungan baik moril maupun materi dansemangat dengan penuh kasih sayang. 5. Prof (EM). Dr. Ir. H. Achmad Satari sebagai orang tua wali yang senantiasa memberikan dukungan dan saran. 6. Desma Harmaidi, SE serta sahabatku khususnya Amrina Rosyada, S.Gz, Rachmat Maulana, S. Gz dan teman-teman pembahas yang telah membantu dalam penyempurnaan skripsi ini. 7. Teman-teman seperjuangan alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatanke-4 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan, dukungan dan doa selama penyusunan proposal penelitian ini. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua. Bogor, Mei 2013
Penulis
7
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, baik dari segi kesehatan maupun tingkat kecerdasannya. Menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas banyak faktor yang harus diperhatikan, antara lain faktor pangan (gizi), kesehatan, pendidikan, informasi, dan jasa pelayanan lainnya. Salah satu masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas SDM adalah masalah gizi. Masalah gizi pada hakikatnya adalah dampak negatif dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dan konsumsi zat-zat gizi, terutama energi, protein dan lemak (Soekirman 1994). Kualitas SDM yang menjadi penggerak pembangunan dimasa yang akan datang ditentukan oleh bagaimana pengembangan SDM saat ini, termasuk pada usia
sekolah.
Pembentukan
kualitas
mempengaruhi kualitasnya pada saat
SDM
sejak
masa
sekolah
akan
mereka mencapai usia produktif
(Andarwulan et al. 2009). Dengan demikian, kualitas anak sekolah penting untuk diperhatikan karena pada masa ini merupakan masa pertumbuhan anak dan sangat pentingnya peranan zat gizi serta keamanan makanan yang dikonsumsi disekolahnya. Anak sebagai aset SDM dan generasi penerus perlu diperhatikan kehidupannya. Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Kecukupan gizi sangat mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas kerja manusia. Banyak aspek yang berpengaruh terhadap status gizi antara lain aspek pola pangan, sosial budaya dan pengaruh konsumsi pangan (Suhardjo 2003). Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena anak usia tersebut merupakan generasi penerus bangsa. Tumbuh berkembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan zat gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Banyak sekali masalah yang ditimbulkan dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto 2008).Sebagaimana generasi penerus tentunya harus selalu dipertahankan bahkan ditingkatkan dari segi kesehatan maupun tingkat kecerdasannya, sebagai golongan dalam masyarakat
8
yang berada dalam masa peralihan antara lingkungan rumah dengan lingkungan sekolah dan masyarakat luas (Winarno 2004). Dalam masa peralihan ini biasanya terjadi perubahan kebiasaan pada siswa sekolah, seperti kebiasaan jajan di luar yang dapat mempengaruhi konsumsi siswa tersebut. Seringnya siswa jajan akan mengakibatkan siswa tidak mau lagi makan nasi di rumah ataupun jika mau jumlah porsi yang dihabiskan sedikit sekali (Moehji 2003). Pada umumnya siswa – siswi belum bisa memilih jajanan yang sehat dan aman sehingga orangtua selalu memperhatikan bahan– bahan yang digunakan dalam suatu produk (Nuraini 2007). Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan. Suhardjo (1989)
menyebutkan
bahwa
kebiasaan
jajan
merupakan
istilah
untuk
menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan, jenis makanan jajanan, kepercayaan terhadap makanan jajanan, kebiasaan terhadap makanan jajanan, dan cara pemilihan jajanan. Menurut Khomsan (2002) masalah gizi pada anak sekolah adalah seringnya jajan di sekolah sedangkan di rumah tidak mau makan. Hal ini terjadi karena jajan terlalu sering, selain itu kurangnya nafsu makan dirumah, namun banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga justru mengancam kesehatan anak. Kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan sangat popular dikalangan anak-anak sekolah. Kebiasaan jajan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan. Banyak faktor yang menyebabkan kesukaan jajan menjadi kebiasaan yang universal. Kegemaran anak-anak akan makanan yang manis, gurih, dan berwarna menarik sering kali dimanfaatkan oleh para penjual makanan untuk menarik anak-anak. Kadangkala produk yang ditawarkan bukan makanan yang menyehatkan, malah membahayakan kesehatan dan tidak menyehatkan bagi tubuh karena miskin zat gizi dan mengandung bahan yang berbahaya bagi tubuh (Siswanti 2004). Menurut Rosa (2011) tingkat keamanan pangan dan pengetahuan tentang jajanan sehat pada anak sekolah yang masih buruk, sebagaimana hasil temuan diatas jika tidak ditanggulangi akan memperparah masalah rendahnya status gizi anak sekolah. Apalagi dampak mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia berbahaya berlebihan secara terus menerus baru akan terlihat dalam jangka panjang. Rendahnya status gizi anak-anak sekolah akan menyebabkan
9
mereka terkena penyakit infeksi, hal ini akan berdampak terhadap angka ketidakhadiran anak-anak di sekolah yang cukup tinggi, kemampuan belajar dan hasil belajar yang buruk karena sakit. Hal ini akan berdampak kepada kualitas SDM Indonesia pada masa yang akan datang. Data KLB keracunan pangan yang dihimpun oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) dari 26 balai POM di seluruh indonesia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 21,38% kasus terjadi di lingkungan siswa SD, paling banyak adalah kasus keracunan Penganan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) sekitar 75,53% (Andarwulan et al. 2008). Harga makanan jajanan yang murah dan beragamnya jenis makanan jajanan yang menarik dan ditawarkan oleh pedagang makanan jajanan di sekolah menuntut siswa SD sebaiknya lebih selektif dalam memilih makanan jajanan. Adanya keberadaan Penganan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) sangat mengancam generasi muda tanah air, khususnya di Pekanbaru saat ini. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Pekanbaru memperkirakan lebih dari 40 persen jajanan sekolah terindikasi merupakan makanan berbahaya yang mengandung unsur kimiawi yang membahayakan tubuh manusia. Mengingat peran makanan jajanan yang penting dan berpengaruh terhadap pemenuhan energi dan zat gizi, serta pertumbuhan siswa SD, maka penting untuk mengetahui kebiasaan jajanan anak sekolah dasar di kota Pekanbaru serta faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh. Dipilihnya siswa SD pada penelitian ini dikarenakan siswa sekolah dasar yang berusia 6 – 12 tahun banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Aktifitas yang tinggi ini yang menyebabkan mereka cepat merasa lapar sehingga mendorong mereka untuk membeli jajanan yang ada di sekitarnya (Nuraini 2007). Kesukaan akan jajan merupakan kebiasaan yang universal pada anak – anak. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji kebiasaan jajan anak sekolah dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 kota Pekanbaru.
10
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi karakteristik individu siswa yaitu umur, jenis kelamin pengetahuan gizi dan keamanan pangan.
2.
Mengidentifikasi keadaan sosial ekonomi keluarga siswa.
3.
Mengidentifikasi kebiasaan jajan dari segi jenis jajanan, dan jumlah jajanan.
4.
Menganalisis kontribusi makanan jajanan terhadap angka kecukupan gizi (AKG) siswa.
5.
Menganalisis hubungan karakteristik siswa, dan karakteristik keluarga siswa dengan kebiasaan jajan siswa (jumlah jenis dan frekuensi jajan). Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum
mengenai kebiasaan jajan siswa sekolah dasar di Kota Pekanbaru. Bagi orang tua diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kebiasaan jajan siswa, faktor-faktor yang berhubungan dan berpengaruh, serta seberapa besar kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi sehari dan kecukupan gizi siswa, diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau rekomendasi dalam upaya memperbaiki atau mengembangkan pola konsumsi yang bergizi seimbang sehingga orang tua dapat lebih cermat dalam menentukan makanan jajanan yang tepat untuk dikonsumsi anaknya. Pihak sekolah dapat mempergunakan penelitian ini secara khusus dalam memperbaiki kualitas makanan jajanan yang dijual di lingkungan sekolah baik pada penjual di kantin sekolah maupun penjual menetap di luar sekolah Pemerintah dan instansi terkait dapat memberikan informasi tentang kebiasaan jajan anak sekolah dasar di SD 036, SD 070 dan SD Muhammadiyah 5 kota Pekanbaru. Anak di Kota Pekanbaru, serta sebagai rekomendasi untuk pengembangan pola konsumsi bergizi seimbang melalui pendidikan gizi seimbang. Hipotesis H0 : Karakteristik sosial ekonomi keluarga, serta pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa tidak berhubungan dengan jumlah jenis dan frekuensi jajan. H1 :
Karakteristik sosial ekonomi keluarga, serta pengetahuan gizi dan keamanan pangan siswa berhubungan dengan jumlah jenis dan frekuensi jajan.
11
TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar Anak sekolah dasar adalah anak yang berusia 7-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orang tua. Biasanya pertumbuhan anak putri lebih cepat dari pada putra. Kebutuhan gizi anak sebagian besar digunakan untuk aktivitas pembentukan dan pemeliharaan jaringan. Karakteristik anak sekolah meliputi: 1).Pertumbuhan tidak secepat bayi. 2). Gigi merupakan gigi susu yang tidak permanen (tanggal). 3). Lebih aktif memilih makanan yang disukai. 4). Kebutuhan energi tinggi karena aktivitas meningkat. 5). Pertumbuhan lambat. 6). Pertumbuhan meningkat lagi pada masa praremaja. Anak sekolah biasanya banyak memiliki aktivitas bermain yang menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. Untuk mengatasinya harus mengontrol waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat cukup (Moehji 2003). Perkembangan kognitif, psikososial, interpersonal, psikoseksual, moral, dan spiritual sudah mulai menunjukkan kematangan secara khusus, pada masa ini anak banyak mengembangkan kemampuan interaksi sosial, belajar tentang nilai moral dan budaya dari lingkungan keluarga serta mulai mencoba mengambil bagian dari keluarga atau berperan. Selain itu juga terjadi perkembangan konsep diri, ketrampilan membaca, menulis serta berhitung, dan belajar menghargai di sekolah. Tahapan perkembangan anak menurut teori perkembangan Piaget dalam Hidayat (2004) dibagi menjadi 4 tahapan sebagai berikut: 1). Tahap sensori motor (usia 0 – 2 tahun. 2).Tahap pra operasional (usia 2 – 7 tahun). 3). Tahap kongkrit (usia 7 – 11 tahun). 4). Tahap formal operasional (lebih dari usia 11 tahun) Berdasarkan tahapan tersebut, maka anak usia 7 – 11 tahun berada pada tahapan perkembangan kongkrit dimana pada tahap ini anak sudah mulai memandang realistis dari dunianya serta mempunyai anggapan yang sama dengan orang lain, sifat egosentrik anak sudah mulai hilang sebab anak mempunyai pengertian tentang keterbatasan diri sendiri. Sifat pikiran anak sudah mempunyai dua pandangan (reversibilitas). Reversibilitas merupakan cara memandang dari arah yang berlawanan atau berkebalikan. Sifat realistik anak belum sampai ke dalam pikiran dalam membuat konsep atau hipotesa. Anak-
12
anak lebih mudah dididik pada usia Sekolah Dasar dibandingkan dengan anak usia sebelum atau sesudahnya. Anak-anak usia Sekolah Dasar perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena berada pada masa pertumbuhan yang cepat dan sangat aktif. Karena itu, mereka membutuhkan makanan yang memenuhi
kebutuhan
gizi
baik
dari
segi
kuantitas
maupun
kualitas
(Wirakusumah & Pranadji 1989). Selain itu, anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian lebih dalam hal pembinaan dan pengembangan mengenai cara-cara berpengetahuan, bersikap, dan bertindak dalam pemilihan makanan, baik selama mereka berada di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Masalah Gizi Anak Sekolah Dasar Masalah gizi (malnutrition) adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah pangan antara lain menyangkut ketersediaan pangan dan kerawanan konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh kemiskinan, rendahnya pendidikan dan adat/kepercayaan yang terkait dengan tabu makanan. Sementara, permasalahan gizi tidak hanya terbatas pada kondisi kekurangan gizi saja melainkan tercakup pula kondisi kelebihan gizi. Di beberapa daerah pada sekelompok masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar, masalah kesehatan masyarakat utama justru dipicu dengan adanya kelebihan gizi, meledaknya kejadian obesitas di beberapa daerah di Indonesia akan mendatangkan masalah baru yang mempunyai konsekuensi yang serius bagi pembangunan bangsa Indonesia khususnya di bidang kesehatan. Dengan kata lain, masih tingginya prevalensi kurang gizi di beberapa daerah dan meningkatnya prevalensi obesitas yang dramatis di beberapa daerah yang lain akan menambah beban yang lebih komplek dan harus dibayar mahal oleh bangsa Indonesia dalam upaya pembangunan bidang kesehatan, sumber daya manusia dan ekonomi (Hadi 2005). Kebutuhan Makanan pada Anak Sekolah Awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah, dengan demikian anak-anak mulai masuk ke dalam dunia baru, dimana dia mulai banyak berhubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan dengan suasana dan lingkungan baru dalam kehidupannya. Hal ini tentu saja banyak mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pengalaman-pengalaman baru,
13
kegembiraan di sekolah, rasa takut terlambat tiba di sekolah, menyebabkan anak-anak ini sering menyimpang dari kebiasaan waktu makan yang sudah diberikan kepada mereka (Moehji 2003). Adanya aktivitas yang tinggi mulai dari sekolah, kursus, mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan mempersiapkan pekerjaan untuk esok harinya, membuat stamina anak cepat menurun kalau tidak ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas. Agar stamina anak usia sekolah tetap fit selama mengikuti kegiatan di sekolah maupun kegiatan ekstra kurikuler, maka saran utama dari segi gizi adalah jangan meninggalkan sarapan pagi. Ada berbagai alasan yang seringkali menyebabkan anak-anak tidak sarapan pagi. Ada yang merasa waktu sangat terbatas karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat bangun pagi, atau tidak ada selera untuk sarapan pagi (Khomsan 2003). Pentingnya mengkonsumsi makanan selingan selama di sekolah adalah agar kadar gula tetap terkontrol baik, sehingga konsentrasi terhadap pelajaran dan aktivitas lainnya dapat tetap dilaksanakan. Kandungan zat gizi makanan selingan ditinjau dari besarnya kandungan energi dan protein sebesar 300 kkal dan 5 gram protein. Adanya aktivitas yang tinggi mulai dari sekolah, kursus, mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan mempersiapkan pekerjaan untuk esok harinya, membuat stamina anak cepat menurun kalau tidak ditunjang dengan intake pangan dan gizi yang cukup dan berkualitas. Agar stamina anak usia sekolah tetap fit selama mengikuti kegiatan di sekolah maupun kegiatan ekstra kurikuler (Khomsan 2003). Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat, terutama penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-15 tahun, Kebutuhan gizi anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Adapun jumlah energi dan zat gizi yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi bagi anak umur 7-15 tahun. Menurut Depkes RI (1991) jumlah energi dan protein yang diharapkan dapat disumbangkan terhadap kebutuhan gizi anak sekitar 10-15%, jadi untuk energi sekitar 200-300 kkal, dan protein sekitar 3-5 gram. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2005) tentang makanan jajanan di SDN 1 Pamijen Sukaraja, menunjukkan bahwa sebagian besar makanan jajanan yang dijual belum memenuhi nilai gizi yang diharapkan. Makanan yang dianggap sebagai
14
makanan berat, seperti: bubur nasi dan bubur sum-sum, berat perporsi hanya 2040 gram, dengan nilai energi 32-59 kkal, dan protein 0.3-0.98, sedangkan makanan semi basah seperti: cilok, mendoan, bakwan, timus goreng, dan sosis goreng, berat per porsi hanya 5-30 gram, dengan nilai energi 0-95 kkal, dan protein 0- 3.2 gram. Tentu saja hal ini masih jauh dari nilai gizi yang diharapkan dapat disumbangkan dari makanan jajanan. Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata –rata yang dianjurkan (per orang per hari) Anak umur 7 -15 tahun. Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Golongan umur
Protein (gr) 45 50 60
Ca (mg)
Fe (mg)
7 – 9 tahun 10 – 12 tahun 13 - 15 tahun
Energi (Kal) 1800 2050 2400
600 1000 1000
10 13 19
Vitamin A (RE) 500 600 600
10 – 12 tahun 13 - 15 tahun
2050 2350
50 57
1000 1000
20 26
600 600
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004. KebiasaanJajanan Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, dan memakan makanan. Adat istiadat menentukan kebiasaan seseorang terhadap makanan (Suhardjo 1989). Latar belakang sosial budaya mempengaruhi pemilihan jenis pangan melalui dua cara yaitu informasi mengenai gizi dan kebiasaan. Kebiasaan terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan kebiasaan ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Pengukuran terhadap kebiasaan pangan dilakukan dengan menggunakan skala, dimana responden ditanya untuk dapat mengindikasikan seberapa besar dia menyukai pangan berdasarkan kriteria. Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi sangat tidak suka, tidak suka, netral, suka, dan sangat suka. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka maupun tidak suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya terhadap makanan,
yang
akan
memberikan
pengaruh
yang
kuat
pada
angka
kebiasaannya (Sanjur 1982). Kebiasaan memainkan suatu peran penting di dalam menjelaskan pola makanan anak-anak, sebagaimana kaitannya dengan penerimaan makanan (Birch & Fischer 1998). Riset menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan pilihan makanan mereka seiring dengan pertumbuhan mereka dan paparan
15
terhadap berbagai karakteristik makanan, antara lain tekstur, rasa dan bumbu (Birch
1999).
Skinner,
et
al.
(1998)
menambahkan
anak-anak
juga
mempelajarinya dari model atau contoh dalam keluarga, orang tua dan saudara kandung, serta dari apa yang mereka alami di rumah, di sekolah bersama temanteman mereka. Kebiasaan jajanan adalah pemilihan satu makanan terhadap makanan lain. Pada anak-anak kebiasaan pangan kebanyakan dipengaruhi oleh kegemaran pribadi, uang dan pengetahuan mereka tidak diterapkan dalam pemilihan pangan. Maka apa yang dipilih oleh seorang anak untuk dimakan pada umumnya apa yang ia sukai dan apa yang ia inginkan. Kebiasaan pangan berkembang sangat awal, bahkan sejak dalam kandungan tergantung pada diet ibu (Anonim 2008). Berbagai macam pilihan (kebiasaan) makanan merupakan hasil interaksi dari kondisi-kondisi saling mempengaruhi yang berbeda, apa yang dipilih seorang anak untuk dimakan atau apa yang membuat makanan menjadi bagian dari konsumsi anak sehari-hari adalah kumpulan atau hasil interaksi dari beberapa faktor, antara lain: keturunan (genetik), budaya, serta status sosial dan ekonomi. Hal Ini merupakan suatu titik kritis sebab pilihan makanan dapat mempunyai konsekuensi kekal, artinya pilihan makanan dibentuk sejak dini dan akan tetap berlaku untuk mempengaruhi kebiasaan makanannya saat dewasa; sehingga apa yang dipelajari seorang anak pada tahun awal kehidupannya dapat membangun berbagai macam pilihan makanan pada saat dewasa. Inilah alasan kenapa
membentuk
pilihan
makanan
sejak
dini
dalam
hidup
dapat
mempengaruhi kesehatan suatu generasi untuk seumur hidup mereka (Anonim 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebiasaan Pangan Anak Bass,
Wakelfield
dan
Kolasa
(1980)
dalam
Pradnyawati
(1997)
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan jajanan yaitu; 1) ketersediaan jajanan di sekolah dasar, 2) pembelian makanan jajanan mencerminkan hubungan kekeluargaan dan budaya, 3) rasa makanan, tekstur, dan tempat. Selain itu, menurut Soesanto (1988) diacu dalam Pradnyawati (1997), pengalaman seseorang yang menjadi landasan dalam membeli makanan tertentu yang disukainya bersumber pada beberapa faktor antara lain enak, menyenangkan, tidak membosankan, berharga murah, mudah didapat.
16
Karakteristik Siswa Anak pada masa kelas tinggi memiliki kemampuan konkrit-operasional yang mampu untuk berpikir secara sistematik terhadap objek konkrit. Anak sudah bisa mengambil kesimpulan dari suatu pertanyaan (Harlock 1997). Masa sekolah merupakan saat yang tepat untuk memberikan pengetahuan tentang makanan yang sehat dan bergizi serta untuk mendorong tumbuhnya kebiasaan makan yang baik (Khapipah 2000). Besar Uang Jajan Uang jajan merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu sperti keperluan harian, mingguan atau bulanan. Perolehan uang jajan sering menjadi suatu kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dibelinya (napitu 1994). Besar uang jajan anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin besar uang jajan yang diberikan oleh orang tua, semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin maupun di luar sekolah (Andarwulan et al 2008). Makanan Jajanan Menurut Irianto (2007) makanan jajanan adalah makanan yang banyak ditemukan dipinggir jalan yang dijajakan dalam berbagai bentuk, warna, rasa serta ukuran sehingga menarik minat dan perhatian org untuk membelinya. Makanan yang sehat, selain segar dan bersih juga tidak boleh mengandung bahan kimia yang berbahaya yakni bahan pewarna, bahan pemanis, bahan pengawet, bahan pengenyal, bahan penambah rasa. Selain masalah gizi, keamanan pangan juga merupakan masalah yang penting bagi anak – anak sekolah. Makanan yang tidak bersih dan tidak aman dapat menimbulkan keracunan dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan penyakit. Kantin atau warung sekolah merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan diluar sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan – pesan kesehatan dan dapat menentukan prilaku makan siswa sehari – hari melalui penyedian makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai pengganti makan pagi dan makan siang dirumah serta cemilan dan minuman yang sehat, aman dan bergizi (Nuraida 2009). Menurut penelitian (Nuraida et al 2009) jenis makanan yang biasa dijual dikantin sekolah dibagi empat kelompok: a). Makanan sepinggan, merupakan
17
makanan utama yang dapat disiapkan dirumah terlebih dahulu atau disiapkan dikantin. Seperti gado – gado, nasi uduk, siomay, mie ayam, lontong sayur dan lain – lain. b). Makanan camilan, adalah makanan yang dikonsumsi diantara dua waktu makan terdiri: 1) makanan camilan basah: pisah goreng, lumpia, lemper, risoles dan lain – lain. 2) makan camilan kering: kripik, biskuit, kue kering, dan lain – lain. c). Minuman, kelompok minuman yang biasanya dijual di kantin: 1) air putih baik dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri. 2) minuman ringan dalam kemasan misalnya teh, minuman sari buah, minuman berkarbonisasi dan lain – lain atau yang disiapkan sendiri oleh kantin misalnya sirup, teh. 3) minuman campur seperti es buah, es campur, es doger dan lain – lain. d). Buah, merupakan salah satu jenis makanan sumber vitamin dan mineral yang penting untuk anak usia sekolah. Buah – buahan sebaiknya dikonsumsi setiap hari, buah – buahan dapat dijual dalam bentuk : 1) utuh misalnya pisang, jambu, jeruk dan lain – lain. 2) kupas dan potong misalnya pepaya, nenas, melon, mangga dan lain – lain. Hasil penelitian secara nasional oleh Andarwulan et al (2009) menunjukkan bahwa pangan jajanan yang paling banyak dijual di lingkungan sekolah adalah kelompok makanan ringan (54,1%), dibandingkan kelompok minuman (26,0%) dan makanan utama (2,0%). Untuk rata – rata konsumsi jajan siswa adalah 455 gr/kap/hari yang mengandung 1220 kkal dan protein sebesar 27,4 gr. Makanan jajanan dapat menyumbang 31,5 % energi dan protein 34,4% dari konsumsi pangan harian. Berdasarkan konsumsi pangan harian, diperoleh tingkat konsumsi energi sebesar 71,4 % dan tingkat konsumsi protein 65,8%. Data ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan harian siswa masih dibawah kecukupan yang dianjurkan. Hasil pengawasan pangan jajanan anak sekolah tahun 2005 yang dilakukan oleh 18 balai besar/ Balai BOM dengan cakupan pengambilan sampel makanan jajanan anak sekolah seluruhnya 861 sampel yang diperiksa/diuji, yang memenuhi syarat sebanyak 517 sampel (60.04%), dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 344 sampel (39.96%). Sedangkan pada tahun 2006 hasil pengawasan PJAS oleh Badan POM menunjukan bahwa dari 2.903 sampel yang diambil dari 478 SD di 26 ibukota propinsi di Indonesia sebesar 50.6% sampel yang memenuhi syarat (MS) dan 49.4% tidak memenuhi syarat (TMS).
18
Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan Pengetahuan ( knowledge ) merupakan hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang melakukan penginderaan suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmojo 2003). Adanya pengetahuan gizi yang baik merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap dan perilaku seseorang terhadap makanan. Selain itu, pengetahuan gizi mempunyai peranan penting untuk dapat membuat manusia hidup sejahtera dan berkualitas. Semakin banyak pengetahuan gizinya semakin diperhitungkan jenis dan kualitas makanan yang dipilih dikonsumsinya (Soediaoetama 2008). Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : 1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi. 3) Ilmu gizi memberikan
fakta-fakta
yang
perlu
sehingga
penduduk
dapat
belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi. Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Sebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Supriasa 2003). Keterbatasan apapun yang diakibatkan kemiskinan dan kekurangan pangan, kecuali pada keadaan genting tertentu, penggunaan yang lebih baik dari pangan yang tersedia dapat dilakukan penduduk yang memahami bagaimana mempergunakannya untuk membantu peningkatan status gizi (Suhardjo 2003) Menurut Baliwati (2004), pengkategorian tingkat pengetahuan gizi adalah: a). Baik : > 80% jawaban benar. b). Cukup : 60 – 80% jawaban benar. c). Kurang: < 60% jawaban benar Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya berpengaruh kepada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati,
19
Damanhuri, dan Fachrurozi 1995). Pranadji (1995) menambahkan bahwa pengetahuan mengenai jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsi pada diri anak-anak sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan terhadap makanan yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah maupun dirumah. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan anak-anak, diantaranya tiga faktor yang paling penting adalah ketersediaan pangan, pola sosial, dan faktor-faktor pribadi. Khomsan (2000) menyatakan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan penting yang menentukan konsumsi jajanannya. Individu yang berpengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengetahuan sehingga konsumsi jajanan yang mencukupi lebih terjamin. Pengetahuan gizi diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan dan terdapat kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari aspek kehidupan (Pranadji 1988). Lebih lanjut Pranadji menjelaskan bahwa materi yang dipelajari dalam pendidikan informal meliputi keterampilan, pengetahuan, sikap, nilai dan cara hidup pada umumnya dan dikategorikan baik secara sosial maupun ekonomis misalnya pergaulan di lingkungan keluarga, teman maupun di masyarakat. Kebiasaan konsumsi jajanan dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi (Variyam & Blayblock 1998). Menurut Sajogjo yang diacu dalam Marud (2008) faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan makan keluarga. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Menurut Suhardjo (1989), pada umumnya jika pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis pangan akan membaik. Pendapatan
berhubungan
dengan
tingkat
kesejahteraan
keluarga.
Keluarga dengan pendapatan terbatas, besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan oleh tubuh. Dengan demikian, kondisi ini menyebabkan keanekaragaman bahan makanan
20
kurang terjamin, karena dengan keterbatasan uang itu menyebabkan tidak banyaknya pemilihan dalam hal makanan (Madihah 2002 dalam Ulfah 2008). Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Menurut Hartog et al. (1995) karakteristik sosial ekonomi keluarga di negara berkembang dikategorikan ke dalam tiga kelas yaitu: tinggi, menengah dan bawah. Pendidikan Orang Tua Suhardjo
(1989),
pada
umumnya
pendidikan
seseorang
akan
mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih jajanan makanan dengan harga yang relatif murah namun memiliki kandungan gizi yang tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orang tua yang tingkat pendidikannya rendah (Atmarita 2004). Pekerjaan Orang tua Pendapatan merupakan salah satu faktor penentu dalam kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin besar pula peluang memilih pangan yang baik. Pendapatan keluarga mempengaruhi pengeluaran keluarga untuk pangan. Menurut Harper, Deaton, dan Diskel (1986) pada umunya jika pendapatan naik, maka jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi akan membaik. Soekirman (2000) dan Hartog (1995) menyatakan bahwa berdasarkan hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin kecil. Sebaliknya apabila pendapatan menurun, makan porsi yang dibelanjakan untuk pangan akan semakin meningkat. Peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Apabila tingkat pendapatan perkapita lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan padat energi, yakni padi-padian. Apabila pendapatan meningkat pola konsumsi pangan akan makin beragam, umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan akan lebih bernilai gizi tinggi. Peningkatan pendapatan lebih lanjut tidak hanya akan
21
meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih mahal, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi pangan di luar rumah (Soekirman 2000). Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumber daya yang sama. Menurut Sanjur (1982), banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam hubungannya dengan pengeluaran pangan rumah tangga. Peningkatan jumlah keluarga menurunkan konsumsi pangan hewani dan pangan sumber karbohidrat akan diganti dengan pangan yang harganya lebih murah atau dalam porsi yang lebih kecil (Hartog et al.1995). Menurut Suhardjo (1989) bahwa ada hunbungan yang sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Julah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Konsumsi Pangan Pengertian Konsumsi Pangan Pangan merupakan kebutuhan yang utama manusia. Kebutuhan pangan perlu diupayakan ketersediaanya dalam jumlah yang cukup, layak dan aman untuk dikonsumsi serta mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (Khomsan 2002). Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Berdasarkan aspek gizi, tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk mendapatkan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi merupakan zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan agar tubuh dapat melalukan kegiatan baik internal maupun eksternal, aktivitas dan pemeliharaan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992). Faktor-faktor yang mempengruhi konsumsi pangan antara lain adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan dan pengetahuan gizi (Harper, Daeton dan Diskel 1986).
22
Pengukuran Konsumsi Pangan Menurut Supariasa et al.(2001) status gizi masyarakat secara tidak lansung dapat diketahui melalui pengukuran konsumsi pangan. Jenis data yang akan dihasilkan melalui survey konsumsi pangan ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif dapat diketahui jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk jenis data ini adalah metode recall 24 jam, food record, dan weighing food. Secara kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara memperoleh pangan dengan menggunakan metode (Food frequency Questionaire)dan dietary history. Metode recall 24 jam Metode recall 24 jam digunakan untuk estimasi jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelum wawancara dilakukan. Melalui metode ini dapat diketahui besarnya porsi pangan berdasarkan Ukuran Rumah Tangga (URT) dan dikonversi kedalam ukuran metrik (gram) (Riyadi 2004; Supariasa et al.2001). Metode recall 24 jam digunakan karena mudah dilaksanakan dan dapat memberikan gambaran intake makanan sehari-hari. Namun metode ini juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya
sangat
kecenderungan
untuk
bergantung
pada
mengurangi
atau
daya
ingat
responden,
menambahkan
adanya
makanan
yang
dikonsumsi (The falt slope syndrome), dan membutuhkan enumerator yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai masyarakat. Metode Frekuensi Makan (Food frequency Questionaire). Metode Food frequency Questionaire dikenal sebagai frekuensi makan, sehingga pola konsumsi pangan seseorang dapat diketahui. Kuisoner terdiri dar daftar jenis pangan dan frekuensi konsumsi pangan (Riyadi 2004). Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertententu seperti hari, minggu, bulan dan tahun. Metode frekuensi makan dapat membantu untuk menjelaskan kebiasaan makan atau jajan siswa. Penilaian Konsumsi Pangan Pengukuran konsumsi pangan dilakukan untuk mengetahui status gizi masyarakat secara tidak langsung, sedangkan untuk mengetahui tingkat konsumsi gizi seseorang atau sekelompok orang dilakukan melalui penilaian
23
konsumsi pangan. Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) penilaian konsumsi pangan adalah perbandingan antara kandungan gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya. Prinsip dari penilaian konsumsi pangan berdasarkan pada tiga jenis data, yaitu data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan dan data kecukupan gizi. Penilaian terhadap kandungan gizi dari beragam pangan merupakan jumlah dari masing-masing zat gizi pangan komponennya. Penilaian konsumsi pangan biasanya dilakukan terhadap makanan yang dikonsumsi dengan satuan per orang per hari dan merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam dan makanan selingan dalam kurun 24 jam. Pengumpulan data konsumsi pangan sebaiknya dicatat dalam bentuk pangan olahannya. Hal ini terkait dengan hilangnya beberapa zat gizi akibat cara pengolahan. Penilaian untuk mengetahui tingakat konsumsi gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi gizi aktual dengan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen. Tingkat konsumsi gizi di rumuskan sebagai berikut : TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan: TKGi
= Tingkat konsumsi zat gizi i (%)
Ki
= Konsumsi zat gizi i
AKGi = Kecukupan zat gizi i yang dianjurkan (Hardinsyah dan Briawan 1994) Kecukupan Energi dan Zat Gizi Siswa Sekolah Dasar Data kecukupan gizi seseorang atau sekelompok orang ditentukan berdasarkan umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis dilihat berdasarkan Angka Kecukupan Gizi ( AKG) yang dianjurkan. AKG digunakan sebagai dasar perencanaan dan penilaian konsumsi makanan intake makanan bagi orang agar terhindar dari kelebihan maupun kekurangan gizi untuk mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal. Penggunaan AKG untuk penilaian konsumsi pangan individu
perlu
disesuaikan
dengan
kondisi
aktual
seseorang.
Misalnya
penyesuaian berat badan dan tingkat kegiatan untuk penetapan angka kecukupan energi dan protein (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kecukupan Energi Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan yang diperlukan
24
untuk menutupi pengeluaran energi seseorang apabila mempunyai komposisi dan ukuran tubuh dengan tingkat aktifitas sesuai dengan kesehatan jangka panjang dan yang memungkinkan pemeliharaan aktifitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi (Almatsier 2003). Perhitungan Angka Kecukupan Energi Individu (AKEI) bagi anak-anak dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengeluaran energi, informasi tentang alokasi waktu kegiatan dan jumlah pengeluaran energi untuk setiap kegiatan bagi anak-anak. Namun informasi ini sangat sulit, sehingga komisi ahli sepakat menambah nilai konsumsi anak-anak. Penambahan ini dimaksudkan untuk mencapai AKEI yang layak bagi kegiatan fisik anak-anak. Apabila informasi tentang jenis kelamin dapat diperoleh, maka dapat dibedakan menurut jenis kelamin. Angka kecukupan energi rata-rata yang dianjurkan untuk umur 7-9 tahun dengan berat badan dan tinggi badan ideal, 25kg dan 120cm adalah 1800 kkal. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk anak umur 10-12 tahun adalah 2050 kkal, anak laki-laki dengan berat badan dan tinggi badan ideal 35 dan 138cm sedangkan perempuan 38kg dan 145cm (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kecukupan Protein Protein merupakan zat pembangun atau pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh seperti penagtur serta mempertahankan daya tahan tubuh terhadap penyakit tertentu. Oleh karena itu protein sangat berguna bagi tubuh. Secara umum ada tiga metode menaksir kebutuhan protein tubuh yaitu metode faktorial, metode keseimbangan nitrogen, dan metode estimasi konsumsi protein dari makanan untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Angka kecukupan protein rata-rata yang dianjurkan untuk anak umur 7-9 tahun dengan berat badan dan tinggi badan ideal, 25kg dan 120cm adalah 45 gr. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk anak umur 10-12 tahun adalah 50 gr, anak laki-laki dengan berat badan dan tinggi badan ideal 35 dan 138cm sedangkan perempuan 38kg dan 145cm (Hardinsyah & Tambunan 2004). Kalsium Menurut Winarno (2002), tubuh kita mengandung lebih banyak kalsium dari pada mineral lain. Peranan kalsium dalam tubuh umumnya dapat dibagi dua, yaitu membantu pembentukan tulang dan gigi serta mengukur proses biologis dalam tubuh. Kebutuhan kalsium terbesar terjadi pada masa pertumbuhan. Penyerapan kalsium sangat bervariasi tergantung umur dan kondisi badan.
25
Kalsium dicerna dan diserap pada masa kanak-kanak atau pertumbuhan sekitar 50-70%, sedangkan pada saat dewasa hanya sekitar 10-40% yang diserap. Anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang memerlukan pembentukan tulang yang lebih banyak dari pada orang yang sudah tua (WNPG VIII 2004). Zat Besi Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Kekurangan zat besi menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai dengan kulit pucat, lemah/letih dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen. Anemia menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan kognitif, selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh (WNPG VIII 2004). Menurut Muhilal & Akmal (2007), zat besi adalah satu unsur paling penting dalam proses pembentukan sel darah merah. Kekurangan zat besi secara berkelanjutan dapat menimbulkan penyakit kurang darah atau anemia gizi besi yang ditandai dengan letih, lesu, pucat, mudah mengantuk serta kurang konsentrasi belajar. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang pada masa pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi berpengaruh negetif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi neurotransmitter (pengantar saraf). Akibatnya daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu (Almatsier 2004). Vitamin A Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan kareton terutama di dalam pangan nabati. Pangan sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu dan mentega. Sumber Karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buahbuahan yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak dan jeruk. Minyak kelapa sawit yang berwarna merah kaya akan karoten (Almatsier 2004). Vitamin C Vitamin C adalah vitamin yang terpopuler jika dibandingkan dengan vitamin yang lain. fungsi utama vitamin C adalah untuk pembentukan protein kolagen melalui proses hidroksilasi. Vitamin ini juga berfungsi sebagai agen pereduksi sehingga dapat meningkatkan absorbsi Fe non (Sudiarti dan Utari 2007).
26
KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah dari konsumsi makanannya baik dalam jumlah pangan maupun jenis pangan yang dikonsumsinya. Kebiasaan makan adalah acara individu atau kelompok individu dalam memilih pangan yang dikonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologi dan sosial budaya. Kebiasaan makan bukanlah merupakan bawaan sejak lahir. Banyak faktor yang mempengaruhi kebiasaan jajan seseorang, antara lain karakteristik individu meliputi jenis kelamin dan pengetahuan gizi yang dimiliki seseorang, karakteristik makanan yaitu terdiri dari rasa, aroma, dan tekstur. Selain itu, kebiasaan makan pada anak-anak khususnya juga dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga terutama terkait kondisi sosial ekonomi keluarga yang mempengaruhi kebiasaan jajan anak-anak, diantaranya pendapatan keluarga dan juga besar keluarga, sedangkan di lingkungan sekolah kebiasaan jajan anak banyak dipengaruhi oleh teman sebaya. Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan, jenis makanan jajanan, kepercayaan terhadap makanan jajanan, kebiasaan terhadap makanan jajanan, preferensi terhadap makanan jajanan, dan cara pemilihan jajanan (Suhardjo 2003). Makanan jajanan adalah hal yang sangat digemari oleh semua kelompok umur terutama anak – anak. Karakteristik individu (umur, jenis kelamin, besar uang saku, tingkatan kelas) dan karakteristik keluarga itu sendiri (besar keluarga, pekerjaan
orangtua
dan
pendidikan
orang
tua
siswa)
mempengaruhi
pengetahuan anak. Pendidikan orang tua akan mempengaruhi tinggi rendahnya pekerjaan
dari
orang
tua
siswa
tersebut,
pekerjaan
orang
tua
akan
mempengaruhi pendapatan yang tercermin dalam besar kecilnya uang saku yang dterima oleh siswa, selain itu uang saku yang diterima juga dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah angggota keluarga. Bertambahnya anggota keluarga juga akan menyebabkan jumlah dan makanan yang dikonsumsi anak berkurang. Orang tua akan mempengaruhi jumlah dan mutu konsumsi makanan jajanan anak karena pada saat usia sekolah orang tua masih sangat berperan dalam menentukan makanan anak.
27
Pengetahuan siswa akan menentukan makanan jajanan yang baik dan yang tidak bagi tubuh untuk dikonsumsi. Semakin baik pengetahuan siswa harapannya akan mempengaruhi dalam mengkonsumsi makanan jajanan yang baik untuk tubuhnya. Pengetahuan gizi siswa memiliki hubungan dengan karakteristik dari siswa yang akan diteliti. Tingginya frekuensi anak mengkonsusmi makanan jajanan secara tidak lansung dapat mempengaruhi konsumsi pangan anak di karenakan anak lebih menyukai jajanan dari pada makanan yang di rumah. Kurangnya praktek keamanan pangan penjaja Penganan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di lingkungan
sekolah,
dikarenakan
kurang
perhatian
pihak
sekolah
dan
kemungkinan masih kurangnya akses informasi mengenai gizi dan keamanan pangan. Wilayah sekolah serta mutu sekolah juga sangat menentukan kualitas penjaja PJAS di lingkungan sekolah.
28
Karakteristik siswa Umur siswa Jenis kelamin Kelas Besar uang saku Pengetahuan Gizi dan keamanan pangan jajanan
Karakteristik keluarga Pekerjaan orang tua Pendidikan orang tua Besar keluarga Pendapatan keluarga
Kebiasaan jajan Jenis jajanan Jumlah dan frekuensi jajan Konsumsi jajanan Ketersediaan Makanan Jajanan di Lingkungan Sekolah Karakteristik jajanan
Kebiasaan makan
Status Gizi Keterangan : Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang di analisis
: Hubungan yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian KebiasaanJajan Anak Sekolah Dasar di Kota pekanbaru.
29
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode survey dengan desain cross sectionl study yaitu mengumpulkan informasi dengan pengamatan terhadap variabel dependen dan independen yang dilakukan sekaligus pada suatu saat (point time approach) dan secara langsung di tiga SD Negeri di Kota Pekanbaru dengan tingkat sosial ekonomi tinggi, ekonomi menengah dan ekonomi rendah. Adapun ketiga sekolah tersebut SD Negeri 036 , SD Negeri 070 dan SDSwasta 5 Muhammadiyah .Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2012. Penentuan lokasi pada penelitian ini diambil secara startified random sampling, yaitu sekolah dasar yang berada di wilayah kota Pekanbaru dan berdasarkan kriteria tingkatan sosial ekonomi siswa yaitu tinggi, menengah, dan rendah dengan asumsi dapat menggambarkan kondisi kebiasaan jajan anak sekolah dasar di SD 036, SD 070 dan SD muhammadiyah 5 serta pertimbangan kesediaan sekolah dan memenuhi kriteria penelitian. Jumlah dan cara pengambilan contoh Populasi dari penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas 4 dan 5 SD Negeri 036 , SD Negeri 070 dan SD Swasta 5 Muhammadiyah. Pemilihan siswa kelas 4 dan 5 dikarenakan pertimbangan siswa telah mampu menerima arahan dalam pengisian kuisoner, selain itu Hidayat (2004) menyatakan bahwa siswa kelas 4 dan 5 berada pada tahapan perkembangan yang sama yaitu masa formal operasional (11 tahun – dewasa). Pada tahap tersebut siswa telah mencapai kemampuan untuk berpikir sistematis terhadap hal – hal yang abstrak dan hipotesis, selain itu anak sudah bisa mengambil kesimpulan dari suatu pertanyaan. Jumlah contoh minimal ditentukan berdasarkan rumus ukuran contoh minimal untuk pendugaan proporsi (Umar 2005), yaitu: n = p q (z(1α/2) /e)2 = (0.5) (1-0.5) (1.96/0.1)2 = 96.04 Keterangan: n = Jumlah contoh minimal p = Perkiraan proporsi (jika tidak ada, maka p = 0.5) q = 1-p z = Nilai pada distribusi normal (pada α=0.05, z (1α/2)=1.96) e = Kesalahan maksimal yang dapat diterima.
30
Pada α = 0.05 dan e = 0,1 maka jumlah contoh minimal yang dibutuhkan adalah sebanyak 96 contoh. Berdasarkan jumlah contoh minimal tersebut diambil 96 contoh dalam penelitian ini. Untuk mengantisipasi kemungkinan drop out maka jumlah contoh di tambahkan 11 persen menjadi 108 Contoh penelitian ini adalah sebagian murid laki-laki dan perempuan kelas 4 dan 5 SD sebanyak 36orang di masing-masing sekolah dasar. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil penggalian informasi dari contoh yang dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Kuesioner menggali informasi tentang karakteristik individu ( umur, jenis kelamin dan besar uang saku), pengetahuan gizi tentang makanan jajanan siswa, kebiasaan jajan siswa (frekuensi jajan dan jumlah jenis makanan jajanan) dan konsumsi jajanan siswa (recall 2x24 jam). Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga dan besar keluarga. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran umum lokasi penelitian, data mengenai siswa yang diperoleh dari sekolah dasar yang bersangkutan. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis data Primer
Variabel Karakteristik siswa Umur Jenis Kelamin Besar Uang Saku dan Alokasinya
Wawancara menggunakan kuisoner
Pengetahuan Gizi Siswa Tentang Makanan
Wawancara menggunakan kuisoner
Kebiasaan makan jajanan Frekuensi jajan Jumlah dan jenis Makanan Jajanan
Wawancara menggunakan kuisoner semi FFQ (food frequency questionaire)
Ketersediaan makanan jajanan di sekolah
Sekunder
Cara Pengumpulan Data
Profil sekolah
Pengamatan dan wawancara dengan penjual makanan jajanan di sekolah Kantor kepala sekolah
31
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data ke komputer, cleaning dan analisis data. Data dianalisis dengan metode deskriptif dan infrensia. Seluruh data dientry ke dalam komputer dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS ver. 16 for Windows untuk penarikan kesimpulan. Pengkategorian beberapa variabel dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Data dan pengolahan data No.
Variabel
1.
Jenis kelamin
2.
Besar uang jajan
3.
Pendidikan
4.
5.
pekerjaan
Kategori
keterangan
Laki – laki Perempuan kurang dari Rp (<x-1sd) Rp (x-1sd sampai x+1sd) Lebih dari Rp(>x+1sd)
Ketentuan peneliti Thoha 2003
Tidak Sekolah SD SMP SMA Diploma (D3) S1, S2, S3 PNS/TNI/POLRI Swasta Petani/Buruh Tani Wiraswasta Lainnya
Syafitri (2010)
Syafitri (2010)
Pendapatan keluarga (Rp/Kap/Bln)
Miskin (