Laporan Kasus
KEBERHASILAN PENGOBATAN KETOKONAZOL PADA SATU KASUS KROMOBLASTOMIKOSIS KRONIS Bagus Haryo Kusumaputra, M. Yulianto Listiawan Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo Surabaya
ABSTRAK Kromoblastomikosis merupakan infeksi mikosis kronis yang sering ditemukan di daerah tropis dan subtropis, akibat implantasi fungal traumatik. Gambaran klinis ditandai oleh lesi nodular verukosa, terutama pada ekstremitas bawah. Penyakit tersebut sulit disembuhkan dan belum ada terapi baku emas. Seorang petani laki-laki berusia 36 tahun datang dengan luka dan kutil pada tungkai kanan. Sejak 12 tahun lalu kutil bertambah banyak dan menyebar dengan lambat mulai dari kaki bagian bawah hingga paha. Satu bulan sebelum rawat inap, kutil pecah menjadi luka. Lesi berupa papul, dan nodus verukosa dan multipel dengan ukuran bervariasi, pada tungkai kanan. Kerokan kulit lesi black dot dengan kalium hidroksida 10% memperlihatkan muriform cell (sclerotic bodies). Pemeriksaan histopatologis menunjukkan proses inflamasi kronis tidak spesifik. Biakan pada media agar Sabouraud dextrose dengan kloramfenikol mendapatkan Phialophora verrucosa. Pasien diobati dengan ketokonazol 200 mg sehari 2 kali, dan memberikan hasil yang baik pada minggu ke 12 tanpa gangguan fungsi hepar. Diagnosis kromoblastomikosis ditegakkan berdasarkan atas riwayat, pemeriksaan fisis, histopatologis dan kultur. Petani yang bekerja tanpa alas kaki merupakan faktor predisposisi. Walaupun hanya sedikit laporan yang berhasil diobati dengan ketokonazol, obat tersebut masih dipertimbangkan sebagai terapi kromoblastomikosis, dengan observasi yang cermat terhadap fungsi hepar. (MDVI 2014; 41/3:119 - 123) Kata kunci: Kromoblastomikosis, ketokonazol, fungsi hepar
ABSTRACT
Korespondensi : Jl . Mayjen Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60285 Telp : (031) 5501609 Fax : (031) 5501709 Email :
[email protected]
Chromoblastomycosis is a chronic mycotic infection, most commonly found following traumatic fungal implantation in the tropics and subtropics, It is characterized by nodular, verrucous lesions, often at the lower extremities. The disease is very difficult to treat and there is no gold standard of treatment. A 36-year-old male farmer, complained of wound and warts on the right leg. The warts were slowly increasing in number and spreading from lower to upper right leg since 12 years before. One month prior to consultation the warts were broken into a wound. On the right leg there were multiple verrucous papules and nodules varying in size. Direct microscopic examination aided with 10% potassium hydroxide on scraped materials from black dot lesions revealed muriform cell (sclerotic bodies). Histopathological examination showed non specific chronic inflammation process. Sabouraud dextrose agar with chloramphenicol culture revealed Phialophora verrucosa. Treatment with ketoconazole 200 mg 2 times daily gave good result in 12 weeks with no abnormality on liver function. Th e d iag nosis of chromo bla sto myc osis was based on history, clinic al fin din g, histolopathology and culture. Barefoot farmer was a predisposing factor. Although there were very few reported cases successfully treated with ketoconazole, this agent can still be considered as a drug choice in chromoblastomycosis, given with precaution for disturbance in liver function. (MDVI 2014; 41/3:119 - 123) Keywords: chromoblastomycosis, ketoconazole, liver function
119
MDVI
Vol. 41 No. 3 Tahun 2014; 119 - 123
PENDAHULUAN Kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur kronis pada kulit dan jaringan subkutan akibat implantasi jamur berpigmen atau dematiaceous pada dermis yang berasal dari lingkungan.1,2 Bila tidak terdiagnosis sejak awal dapat menyebabkan beberapa masalah, misalnya sulitnya penatalaksanaan terapi karena kekambuhan penyakit dan kualitas hidup yang rendah serta kesulitan bekerja pada pasien. Manifestasi klinis berupa lesi nodular, verukosa, sering pada ekstremitas bawah. Organisme penyebab kromoblastomikosis adalah jamur saprofitik yang terdapat pada tanah, kayu, tumbuhan vegetasi, dan lumpur. 3,4,5 Organisme penyebab tersering, antara lain Fonsecaea pedrosoi, F. compacta, Phialophora verrucosa, Cladosporium carrionii and Rhinocladiella aquaspersa.6,7 Penyakit tersebut tersebar di seluruh dunia, tetapi terbanyak ditemukan pada daerah tropis dan subtropis. Prevalensi tertinggi di Amerika Tengah dan Selatan, tetapi juga muncul di Afrika selatan, Asia, dan Australia. Jumlah terbanyak yang pernah dilaporkan berasal Brasil, Costa Rica dan Madagaskar.8,9 Pada penelitian retrospektif terhadap mikosis subkutan yang diobati dirawat inap RSUD Dr. Soetomo tahun 2000-2009, terdapat 6 kasus (18,7%) kromoblastomikosis dari total 32 kasus mikosis subkutan. Pada 4 pasien terdapat riwayat penyakit selama lebih dari 5 tahun, dan 2 pasien kurang dari 5 tahun. 10 Diagnosis kromoblastomikosis berdasarkan manifestasi klinis, adanya sel muriform di jaringan, dan isolasi serta identifikasi organisme penyebab.7 Lesi biasanya muncul beberapa bulan atau tahun sebelum pasien mencari pengobatan dan terdiagnosis.3,9 Kromoblastomikosis sangat sulit untuk disembuhkan. Beberapa regimen pengobatan, misalnya pemanasan lokal, nitrogen cair, eksisi bedah atau antifungal sistemik telah digunakan. Belum ada terapi baku emas dan hasil terapi sangat bervariasi bergantung pada organisme penyebab,
manifestasi klinis dan keparahan penyakit. Beberapa penelitian mengemukakan keunggulan terapi kombinasi, antara obat jamur, cryotherapy, pembedahan dan pemanasan lokal.3,11,12 Namun demikian, hanya sedikit laporan mengenai keberhasilan ketokonazol dalam terapi kromoblastomikosis. Kami melaporkan kasus kromoblastomikosis di tungkai kanan yang disebabkan Phialophora verrucosa, pada seorang laki-laki berusia 36 tahun, yang mendapat perbaikan klinis dengan pengobatan ketokonazol.
LAPORAN KASUS Laki-laki berusia 36 tahun datang dengan keluhan luka dan kutil pada tungkai kanan. Awalnya sekitar 12 tahun lalu terdapat kutil kecil pada telapak kaki kanan. Kutil bertambah banyak dan menyebar dengan lambat dari tungkai bawah hingga tungkai atas. Terkadang kutil terasa gatal tetapi tidak nyeri. Satu bulan sebelum rawat inap, kutil pecah menjadi luka. Terdapat riwayat pembedahan kutil tersebut 10 tahun lalu, awalnya kutil menghilang tetapi muncul kembali setelah beberapa bulan. Pasien adalah seorang petani dan jarang menggunankan alas kaki saat bekerja. Pada pemeriksaan fisis keadaan umum pasien baik, tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 84 kali permenit, suhu tubuh aksila 36,4oC dan frekuensi nafas 20 kali permenit. Tidak terdapat tanda anemia, sianosis, ikterus dan dispnea. Tidak ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan jantung, paru, abdomen dan genitalia. Status dermatologis pada regio femoralis dan genu dekstra terdapat papul dan nodus, hiperkeratotik, verukosa, multipel, ukuran bervariasi, dan sikatrik; pada regio pedis dektra terdapat ulkus berdiameter sekitar 4 x 7 x 0,3 cm, tepi tidak rata, lunak, eksudatif dan terdapat papul dan nodus hiperkeratotik, verukosa multipel dengan ukuran bervariasi. Pemeriksaan darah menunjukkan hemoglobin 14,9 g/ dL, leukosit 8,01x103/µL, trombosit 299x103/µL,laju endap
Gambar 1. Kromoblastomikosis pada tungkai kanan
120
BH Kusumaputra & MY Listiawan
Keberhasilan pengobatan ketokonazol pada kromoblastomikosis kronis
darah 10 mm/jam, serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) 27 U/L, serum glutamic pyruvate transaminase (SGPT) 23 U/L dan albumin 3,6 g/dL. Pemeriksaan urin rutin dalam batas normal. Pada pemeriksaan kerokan kulit lesi black dot dengan kalium hidroksida (KOH) 10% memperlihatkan muriform cell (sclerotic bodies), berwarna coklat dan multisepta. Hasil biakan dari biopsi jaringan pada agar Sabouraud dextrose dengan kloramfenikol menunjukkan koloni gelap yang tumbuh lambat, muncul setelah inkubasi selama 2 minggu. Pemeriksaan hasil kultur dengan pewarnaan Lactophenol cotton blue memperlihatkan flask-shaped phialides, bersepta, dan konidia ovoid pada ujung phialides, yang merupakan ciri Phialophora verrucosa. Pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (LHE) memperlihatkan hiperkeratosis dan akantosis pada epidermis, serta infiltrasi limfosit, sel plasma, eosinofil dengan septa fibrotik pada dermis yang menunjukkan inflamasi kronis non spesifik. Tidak ditemukan elemen jamur dengan pewarnaan periodic acid-Schiff. Pasien diobati dengan ketokonazol 200 mg, 2 kali sehari dan perawatan luka untuk ulkus. Pada minggu ke-12, terdapat respons yang baik dengan pengobatan ketokonazol tersebut. Ulkus menutup menjadi jaringan parut dan papul serta nodus verukosa berkurang secara drastis. Pemeriksaan fungsi hepar mendapatkan hasil normal, yaitu SGOT 14 U/L dan SGPT 9 U/L.
PEMBAHASAN Kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur kronis pada jaringan kulit dan subkutan.13 Pada sebagian besar kasus, kromoblastomikosis muncul pada laki-laki usia 30-60 tahun sedangkan anak jarang terkena.13 Pria 4 kali lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita,dan pekerjaan petani menempati hampir 75% kasus kromoblastomikosis.14 Tiga Gambar 2. Pemeriksaan KOH 10%: sclerotic bodies atau muriform cell
belas kasus kromoblastomikosis di Nepal didapatkan rasio pria dibandingkan dengan wanita adalah 6:1, sebagian besar berusia 21-40 tahun (38,5%), dan 41-60 tahun (38,5%).15 Pria lebih sering terkena kromoblastomikosis diduga karena banyaknya pekerja pria yang berkerja ditempat terbuka sehingga meningkatkan pajanan.3 Pada serial kasus 325 pasien kromoblastomikosis di daerah Amazon di Brasil, 86,1% di antaranya adalah pekerja agrikultur dan 93,2% di antaranya adalah laki-laki.16 Minotto, dkk (2001) pada penelitiannya di Brasil terhadap 100 pasien kromoblastomikosis juga menemukan 72% di antaranya adalah petani dan 78% di antaranya adalah laki-laki.17 Pada laporan kasus ini terdapat riwayat adanya kutil yang tumbuh dengan lambat selama 12 tahun dan pasien sering bekerja di sawah tanpa menggunakan alas kaki, yang merupakan faktor predisposisi pasien tersebut. Kromoblastomikosis berkembang lambat dan progresif. 3,13,14 Minotto dkk. menemukan periode tersingkat sejak awal terjadi hingga kromoblastomikosis terdiagnosis adalah 2 bulan, dan periode terlama adalah 40 tahun. Rerata waktu antara lesi muncul dan terdiagnosis adalah 14 tahun.17 Pada laporan kasus lainnya di Sao Paulo, rerata waktu yang dibutuhkan dari awal terjadi hingga terdiagnosis pada pekerja dipedalaman adalah sekitar 109,33 bulan (sekitar 9 tahun) dengan standard deviasi 93,23 bulan.18 Lesi muncul pada tempat terjadinya trauma minor. Pasien yang terinfeksi biasanya seorang pekerja di lapangan atau yang jarang menggunakan alas kaki. Trauma karena produk kayu dan pajanan tanah menyebabkan implantasi organisme.3,14 Pada kasus ini berdasarkan epidemiologis, riwayat dan durasi penyakit, pasien memiliki risiko tinggi dan dugaan kuat terhadap kromoblastomikosis. Pada pasien ini ditemukan papul dan nodus hiperkeratotik, verukosa, multipel yang tidak nyeri, terdapat hanya pada tungkai kanan. Kromoblastomikosis biasanya mengenai salah satu ekstremitas bawah, khususnya kaki, pergelangan kaki, dan tungkai bagian bawah. Lesi muncul akibat inokulasi langsung dari organisme ke dalam kulit.3,14 Correia dkk (2010) melaporkan dari 27 pasien kromoblastomikosis sebagian besar lesi ditemukan pada tungkai bawah (59,2%), diikuti tungkai atas (29,6%). 18 Pradhan dkk (2007) pada penelitiannya terhadap kasus kromoblastomikosis juga melaporkan, 11 dari 13 pasien lesi terjadi pada ekstremitas bawah.15 Lesi berkembang lambat dan asimptomatik pada hampir seluruh kasus. Dapat timbul gejala bila pruritus dan nyeri, tetapi jarang.3,19 Pada penelitian Chandran dkk (2012) misalnya dari total 35 kasus kromoblastomikosis terdapat 21 kasus bermanifestasi pada tungkai bawah, 11 pada tungkai atas, dan 3 kasus pada badan. Pada 35 kasus, 24 di antaranya asimptomatik, sedangkan 11 kasus terdapat gejala gatal, nyeri atau keduanya.20 Minotto dkk (2001) juga melaporkan 70% kasus kromoblastomikosis asimptomatik. 17 Bentuk klinis lesi kromoblastomikosis bermacam-macam. Pada pasien yang sama dapat ditemukan 2 atau lebih dari lima bentuk klinis lesi kromoblastomikosis.
121
MDVI
Vol. 41 No. 3 Tahun 2014; 119 - 123
Gambar 3. Pemeriksaan biakan. Kiri: Koloni gelap pada media; kanan: Pewarnaan Lactophenol cotton blue:Phialophora verrucosa
5 bentuk lesi tersebut antara lain: (1) lesi nodular dengan permukaan menonjol dan tertutup skuama seperti bunga kol (cauliflower-like scabs); (2) lesi tumor ekstensif; (3) lesi hiperkeratotik verukosa iregular ekstensif; (4) plak kemerahan, datar, bersisik; (5) lesi kulit atrofik dan sikatrik. Bentuk lesi yang paling sering adalah nodular dan hiperkeratotik verukosa.21 Lesi kecil dapat menyerupai common warts.14 Ulkus dapat muncul bila terjadi infeksi sekunder atau jejas pada lesi sebelumnya.7 Penyebaran lesi dapat terjadi karena autoinokulasi akibat garukan atau penyebaran limfatik. Penyebaran hematogen sangat jarang.3 Berdasarkan temuan klinis, kasus ini sesuai dengan kromoblastomikosis tipe nodula dan hiperkeratotik verukosa. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan atas riwayat pasien, temuan klinis histopatologis dan kultur. Berdasarkan kepustakaan, diagnosis kromoblastomikosis ditegakkan berdasarkan lesi kulit yang khas dan adanya muriform cell atau sclerotic bodies pada pemeriksaan histopatologis.3 Penegasan diagnosis secara mikrobiologis sangat penting. Pada kasus ini pemeriksaan KOH 10% pada lesi black dot memperlihatkan muriform cell (sclerotic bodies) berwarna kecoklatan dan multisepta. Chandran dkk (2012) pada serial kasusnya menemukan hasil positif dengan pemeriksaan KOH 10% terhadap muriform cell sebanyak 42,8% dari 35 pasien. Pemeriksaan KOH 10% merupakan teknik pemeriksaan yang murah dan mudah serta tidak membutuhkan peralatan yang canggih. 13 Pemeriksaan histopatologis pada kasus ini memperlihatkan hiperkeratosis dan akantosis di epidermis, infiltrasi imfosit, sel plasma, eosinofil dengan septa fibrotik pada dermis. Pada kromoblastomikosis pemeriksaan histopatologis dari biopsi jaringan akan memperlihatkan hiperplasia pseudoepiteliomatosa dengan parakeratosis, spongiosis, dan terkadang abses. Di dermis terdapat granuloma tuberkuloid atau supuratif dengan limfosit, sel plasma, neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel raksasa multinukleus.
122
Fibrosis muncul pada kasus yang lama.19,21 Identifikasi yang tepat terhadap pertumbuhan fjamur dibutuhkan untuk memastikan diagnosis kromoblastomikosis. Kultur pada kasus kromoblastomikosis membutuhkan media yang mengandung antibiotik, misalnya media agar Sabouraud's dextrose dengan kloramfenikol dan sikloheksimid, karena kontaminasi bakteri sering terjadi.3 Biakan jamur akan menunjukkan koloni gelap, tumbuh lambat dan bertumpukan. 14 Biakan jamur pada kasus ini memperlihatkan koloni gelap yang tumbuh lambat yang tampak setelah inkubasi selama 2 minggu. Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan spesies Phialophora verrucosa. Hasil kultur pada kasus ini menegaskan diagnosis kromoblastomikosis. Pada satu laporan kasus, hasil biakan positif didapatkan pada 88,5% dari 31 kasus kromoblastomikosis.20 Terapi yang digunakan pada kasus ini adalah ketokonazol 200 mg sehari 2 kali. Lesi kromoblastomikosis sangat sulit disembuhkan, sehingga menjadi tantangan dalam Gambar 4. Pemeriksaan jaringan dengan HE, pembesaran100x
BH Kusumaputra & MY Listiawan
Keberhasilan pengobatan ketokonazol pada kromoblastomikosis kronis
pengobatan.11,14 Terapi diberikan biasanya karena alasan estetik atau fungsional, tetapi terapi juga dibutuhkan untuk mencegah komplikasi. Respons klinis berkisar 10-80%, bergantung pada tahap penyakit. Pada pasien dengan lesi yang ekstensif, rasio kesembuhan sangat rendah dan tidak jarang terjadi kekambuhan.3 Pada beberapa serial kasus, hanya 30% pasien sembuh dan hampir 60% mengalami perbaikan.14 Sampai saat ini belum ada terapi baku emas kromoblastomikosis, tetapi terdapat beberapa pilihan terapi misalnya antijamur sistemik tunggal atau dikombinasikan cara lain yaitu, pembedahan, pemanasan lokal, atau dengan nitrogen cair.11 Modalitas terapi kromoblastomikosis sulit dievaluasi karena sedikitnya laporan kasus, variasi dalam tahap penyakit, dan kurangnya penelitian mengenai terapi kromoblastomikosis secara acak.3 Secara umum terapi antijamur kromoblastomikosis jarang berhasil dan dibutuhkan waktu terapi yang lama. Antijamur sistemik juga dapat digunakan pada lesi di area fleksor di mana krioterapi tidak dapat dilakukan.3 Senyawa azol memiliki kerja invitro maupun invivo pada jamur dematiaceous, termasuk kromoblastomikosis. Prinsip mekanisme kerjanya dengan menghambat 14-demethylase dan pembentukan lanosterol menjadi ergosterol, suatu komponen vital pada membran sel.11 Pada satu kepustakaan dikatakan bahwa ketokonazol oral tidak memiliki efek yang bermakna pada pengobatan kromoblastomikosis. Monoterapi dengan ketokonazol memberikan perbaikan pada 32-47% kasus. 19 Kepustakaan lain tidak merekomendasikan ketokonazol untuk terapi kromoblastomikosis karena efek toksisitas pada hepar dan endokrin. 11 Walaupun hanya sedikit kasus yang melaporkan keberhasilan ketokonazol, namun pada kasus ini terdapat perkembangan yang baik selama 12 minggu dan tidak ditemukan kelainan pada fungsi hepar saat minggu ke 16 terapi. Kromoblastomikosis walaupun jarang harus dipertimbangkan sebagai salah satu diagnosis banding lesi kulit kronis pada daerah tropis. Ketokonazol masih dapat dipertimbangkan sebagai terapi kromoblastomikosis dengan observasi yang ketat terhadap fungsi hepar.
DAFTAR PUSTAKA 1. Hay RJ. Deep Fungal Infection. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: The McGraw-Hill Companies; 2011. h. 2315-6. 2. Hay RJ, RCP. Fungal infections. Clin Dermatol. 2006; 24: 201-12.
3. Baddley JW and Dismukes WE. Chromoblastomycosis. Dalam: Kauffman CA, Pappas PG, Sobel JD, Dismukes WE, penyunting. Essential of Clinical Mycology. Edisi ke-2. New York: Springer Science-Business Media; 2011. h. 427-31. 4. Rivitti EA, Aoki V. Deep Fungal Infections in Tropical Countries. Clin Dermatol 1999; 17: 171-90. 5. Lupi O, Trying SK, McGinnis MR. Tropical dermatology: Fungal tropical diseases. J Am Acad Dermatol. 2005; 53 (6): 938-9. 6. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. Oxford United Kingdom: Blackwell Publishing; 2010. h. 36.75-6. 7. Matsumoto T. Chromoblastomycosis and phaeohyphomycosis. Dalam: Guerrant RL, Walker DH, and Weller PF. Tropical Infectious Diseases. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 898-902 8. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection, Diagnosis and Management. Edisi ke-3. Oxford United Kingdom: Blackwell Publishing; 2003. h. 288-92. 9. Queiroz-Telles F, McGinnis MR, Salkin I, Graybill JR. Subcutaneous mycoses. Infect Dis Clin N Am. 2003; 17: 59-85. 10. Prasetyo AD dan Suyoso S. Penelitian retrospektif: mikosis subkutis di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2000-2009 (periode 10 tahun). Surabaya: Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin April. 2011; 23 (1): 17-24. 11. Esterre P and Queiroz-Telles F. Management of chromoblastomycosis: novel perspectives. Curr Opin Infect Dis. 2006; 19:148-152. 12. Doherty CB, Doherty SD, Rosen T. Thermotherapy in dermatologic infections. J Am Acad Dermatol. 2010; 62: 917-8. 13. Ameen M. Chromoblastomycosis: clinical presentation and management. Clin Exper Dermatol. 2009; 34: 849-854 14. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews' Diseases of The Skin Clinical Dermatology. Edisi ke-11. Philadelphia: Elsevier Inc; 2011. h. 313-4 15. Pradhan SV, Taiwar OP, Gosh A, Swami RM, KC Shiva Raj, Gupta S. Chromoblatomycosis in Nepal: a Study of 13 cases. Indian J Dermatoly, Venerol, and Leprol. 2007; 73: 176-8. 16. Silva JP, De Souza W, Rozental S. Chromoblastomycosis: a retrospective study of 325 cases on Amazonic Region (Brazil). Mycopathologia. 1998;143:171-5 17. Minotto R, Bernardi CDV, Mallmann LF, Edelweiss MIA, Scroferneker ML, Chromoblastomycosis: A review of 100 cases in the state of Rio Grande do Sul, Brazil. J Am Acad Dermatol. 2001;44:585-92. 18. Correia RTM, Valente NYS, Criado PR, Martins JEC. Chromoblastomycosis: report of 27 cases and review of medical literature. An Bras Dermatol. 2010; 85(4): 448-54. 19. Torres-Guerrero E, Isa-Isa R, Isa M, Arenas R. Chromoblastomycosis. Clin Dermatol. 2012; 30: 403-8. 20. Chandran V, Sadanandan SM, Sobhanakumari. Chromoblastomycosis in Kerala, India. Indian J Dermatol, Venerol, and Leprol. 2012; 78: 728-33. 21. Martínez RL, Tovar LJM. Chromoblastomycosis. Clin Dermatol. 2007; 25: 188-94.
123