AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010
ISSN: 1979 – 8245X
Keberhasilan Okulasi Bibit Rambutan dengan Keberhasilan Okulasi Bibit Rambutan dengan Pemberian Pupuk Urea Oleh: Burlian Hasani Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa takaran pupuk Urea terhadap keberhasilan okulasi bibit rambutan. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Gandus Palembang. Waktu pelaksanaannya dimulai pada bulan Juli 2008 sampai bulan Oktober 2008. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan yang diulang 6 kali, dengan beberapa takaran pupuk urea yang disusun sebagai berikut: A = 0,0 gram; B = 2,5 gram; C = 5,0 gram; D = 7,5 gram; E = 10,0 gram. Berdasarkan analisis statistika perlakukan urea lima gram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan urea 10 gram dalam persentase keberhasilan okulasi. Perlakuan lima gram juga berbeda sangat nyata dengan kontrol, dan waktu pembentukan payung daun. Sedangkan jumlah daun menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan urea 10 gram dan kontrol perlakuan C (urea lima gram) secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih baik. Key words: Rambutan, pupuk, okulasi, RAK
PENDAHULUAN Rambutan (Nephelium lappaeceum L.) meruapakan salah satu jenis buah-buahan yang hasilnya cukup baik untuk dikembangkan, buah rambutan sangat digemari masyarakat karena rasanya lezat dan bernilai gizi tinggi (Soeseno, 1985). Adapun nilai gizi yang dikandung dalam 100 gram buah rambutan segar diantaranya: kalori 54 gram; putih telur :1 gram; lemak 0,1 gram; zat asam arang 12,3 gram; zat kapur 0,028 gram; vitamin C 3,55 gram; dan air 28,87 gram. (Departemen Pertanian, 1985). Penanaman rambutan oleh petani-petani di Indonesia masih ditemukan hambatanhambatan diantaranya, kurang adanya peremajaan tanaman, cara bercocok tanam belum melaksanakan Panca Usaha Tani, dan kurang mendapat penyuluhan di bidang Hortikultura (Departemen Pertanian, 1985). Rambutan merupakan buah-buahan tahunan, apabila ditanam dari biji lazimnya baru berbuah pada umur 8 tahun sampai 10 tahun. Apabila menanam rambutan dari biji maka hasilnya ada tiga kemungkinan pertama pohon yang dihasilkan adalah pohon betina, dan baru berbuah kalau didekatnya ada pohon jantan, kedua pohon jantan saja yang selamanya tidak akan berbuah dan ketiga pohon yang berumah satu (Tohir, 1983).
Dosen Tetap Prodi Agronomi FP UNPAL
Burlian Hasani, Hal; 8 – 13
8
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010
ISSN: 1979 – 8245X
Untuk menanam rambutan dengan hasil yang lebih pasti sebaiknya menggunkan biobit yang berasal dari perbanyakan vegetatif yang sering dipakai petani-petani rambutan sekarang adalah cara okulasi (Ochse, Soul, Dijkman dan Wehlburg, 1961; serta Soeseno, 1985). Menurut Sunaryono dan Rismunandar (1981), tanaman yang akan diokulasi ini mempunyai syarat, sudah berkulit yang mudah mengelupas agar pengelupasan kulit batang tidak merusak kambium, antara batang atas dan batang bawah harus mempunayi hubungan botani yang terdekat, batang atas dan batang bawah harus dalam pertumbuhan yang aktif. Salah satu usaha untuk merawat dan merangsang pertumbuhan tanaman adalah dengan melakukan pemupukan (Sunarto,1987). Nitrogen salah satu pupuk makro yang dapat merangsang pertumbuhan vegetatif dari tanaman, pupuk yang mengandung nitrogen cukup tinggi adalah Urea dengan kandungan nitrogennya (N) 45 persen yang diserap tanman dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan ion NO3- (Lingga, 1986). Beradasarkan penelitian Nazalyus, (1985), pemupukan untuk bibit tanaman duku yang baik adalah lima gram Urea setiap pohon. Kenyataan di lapangan bahwa sebelum di okulasi, tanaman diberi pupuk nitrogen dengan dosis satu sendok makan atau lima gram Urea setiap pohon. Maksud dengan pemberian pupuk tersebut adalah agar kulit batang bawah mudah terkelupas, apabila hal ini terjadi maka antara mata okulasi dan batang bawah mudah bertaut, sehingga tingkat keberhasilan okulasi akan lebih tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilaksanakan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa takaran pupuk Urea yang dapat meningkatkan keberhasilan okulasi bibit rambutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa takaran pupuk Urea terhadap keberhasilan okulasi bibit rambutan. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Gandus Palembang. Waktu pelaksanaannya dimulai pada bulan Juli 2008 sampai bulan Oktober 2008. Bahan –bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rambutan varitas Sinyonya umur 12 bulan sebagai batang bawah dan rambutan varietas lebak bulus sebagai mata okulasi, urea, inseksisida bayrusil. Sedangkan alat alat yang dipergunakan label, tali plastik, pisau okulasi , gunting tanaman, mistar dan jangka sorong. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan yang diulang 6 kali, dengan beberapa takaran pupuk urea yang disusun sebagai berikut: A = 0,0 gram B = 2,5 gram C = 5,0 gram D = 7,5 gram E = 10,0 gram
Burlian Hasani, Hal; 8 – 13
9
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010
ISSN: 1979 – 8245X
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1.
1.
Persentase entres yang bertaut Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa persentase entres yang bertaut menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, dibandingkan perlakuan lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk membentuk payung daun. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa Waktu yang dibutuhkan untuk membentuk payung daun. menunjukkan perbedaan yang sangat nyata , dibandingkan perlakuan lainnya, ditunjukkan oleh Tabel berikut: Perlakuan Rata-rata BNJ 0,05= 1,81 BNJ 0,01 = 2,29 A 10,4 a A D 9,6 ab AB E 9,4 ab AB B 8,6 ab AB C 7,4 b B Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa perlakuan C (Urea 5,0 gram) menunjukkan waktu untuk membentuk payung daun tercepat yaitu rata rata 7,4 hari. 3. Jumlah Daun Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa Jumlah daun.tunas okulasi bibit rambutan menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan perlakuan lainnya, ditunjukkan oleh Tabel berikut: Perlakuan Rata-rata BNJ 0,05= 4,07 BNJ 0,01 = 5,21 E 18,5 a A D 18,1 ab A C 17,6 ab A B 14,8 ab A A 14,4 b A Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa perlakuan E (Urea 10 gram) menunjukkan jumlah daun tunas okulasi terbanyak yaitu rata rata 18,5 helai. 4. Tinggi Tunas Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa tinggi tunas okulasi bibit rambutan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dibandingkan perlakuan lainnya ditunjukkan oleh Tabel berikut:
Burlian Hasani, Hal; 8 – 13
10
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010
ISSN: 1979 – 8245X
Perlakuan A B C D E
Rata-rata 16,9 19,1 19,2 18,9 17,8
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa perlakuan C (Urea 5 gram) menunjukkan tinggi tunas okulasi terbaik yaitu rata rata 19,2 cm. 5. Persentase keberhasilan okulasi bibit rambutan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa persentase keberhasilan okulasi bibit rambutan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, dibandingkan perlakuan lainnya, ditunjukkan oleh Tabel berikut: Perlakuan Rata-rata BNJ 0,05= 8,04 BNJ 0,01 = 10,19 C 44,4 a A D 35,8 b AB B 34,6 b AB E 31,9 b B A 31,8 b B Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa perlakuan C (Urea 5,0 gram) menunjukkan persentase keberhasilan okulasi bibit rambutan terbanyak yaitu 44,4 %. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa persentase entres yang bertaut terlihat bahwa perlakuan A (kontrol) atau tanpa pemberian Nitrogen menunjukkan persentase tertinggi (58,4 %), keadaan ini diduga nitrogen yang diserap tanaman digunakan untuk pertumbuhan bagianbagian meristem yang berada di atas mata okulasi, maka nitrogen banyak terdapat pada meristem apikal, karena pada saat terjadinya proses pertautan batang bawah yang berada di atas mata okulasi belum mengalami pemotongan. Apabila ditinjau secara histologis proses pertautan identik dengan proses penutupan luka dimana callus berfungsi mempersatukan entres dan batang bawah dalam proses pertautan. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwijoseputro (1985) bahwa nitrogen banyak terdapat dalam meristem apikal karena hasil assimilasi nitrogen akan dikirim kebagian-bagian meristem titik tumbuh melalui floem. Selanjutnya Sebajang (1961) menjelaskan proses pertautan entres dengan batang bawah akan terbentuk tenunan callus yang berasal dari kambium. Setelah callus terbentuk maka terjadilah persambungan kambium, kemudian diikuti oleh persambungan jaringan pembuluh. Waktu pembentukan payung daun dan persentase keberhasilan okulasi menunjukkan perbedaan yang nyata, hal ini diduga peranan nitrogen dalam pertumbuhanm vegetatif
Burlian Hasani, Hal; 8 – 13
11
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010
ISSN: 1979 – 8245X
tanaman akan mempengaruhi differensiasi sel. Kambium akan berdifferensiasi membentuk sel-sel baru dimana dibutuhkan energi yang berupa karbohidrat. Untuk membentuk energi maka tanaman memerlukan unsur hara. Dalam hal ini bahwa perlakuan C (Urea 5 gram) sudah menunjukkan hasil yang optimum di dalam pembentukan payung daun dan persentase keberhasilan okulasi. Kebutuhan unsur hara tanaman berbeda sesuai spesies tanaman serta jenis dan kandungan hara. Sejalan dengan pendapat Soegiman (1982), apabila tanaman seudah mencapai batas optimum dalam suplai pupuk, maka pemberian pupuk yang berlebihan akan berpengaruh tidak efektif lagi terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil analisis statistika menunjukkan perlakuan E (10 gram) berbeda nyata dengan perlakuan A (kontrol = tanpa pemberian N) terhadap jumlah daun, begitu juga jumlah tunas liar secara tabulasi menghasilkan tunas liar yang lebih banyak pada perlakuan E (10 gram). Hal ini disebabkan pemberian urea yang lebih tinggi akan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman, maka pembentukan daun akan lebih banyak terdapat pada perlakuan E. Sesuai dengan pendapat Soegiman (1982), bahwa karbohidrat akan lebih banyak digunakan akibat pemberian nitrogen yang lebih tinggi. Ion nitrat dan amonium yang diabsorbsi oleh akar akan ditranslokasikan ke daun dengan cepat melalui aliran transpirasi dimana asimilasi ke dalam asam amino terjadi. Selanjutnya dijelaskan oleh Sri-Setiaty (1979) bahwa, pemberian pupuk nitrogen dalam jumlah besar akan mendominan pertumbuhan vegetatif diantaranya pertambahan jumlah daun. Perlakuan beberapa takaran pupuk urea tidak berbeda nyata terhadap diameter tunas dan tinggi tunas, namun secara tabulasi perlakuan D (Urea 7,5 gram) menunjukkan hasil yang lebih baik, sdangkan tinggi tunas pada perlakuan C (urea 5 gram) menujukkan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Keadaan ini sejalan dengan pendapat Soegiman (1982) bahwa, apabila suplai pupuk telah mencapai batas optimum yang diperlukan maka pemberian pupuk yang berlebihan atau tidak dipupuk maka tidak akan berpengaruh efektif lagi terhadap pertumbuhan tanaman. PENUTUP Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan analisis statistika perlakukan Urea lima gram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan urea 10 gram dalam persentase keberhasilan okulasi. Perlakuan lima gram juga berbeda sangat nyata dengan kontrol, dan waktu pembentukan payung daun. Sedangkan jumlah daun menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan urea 10 gram dan kontrol. 2. Perlakuan C (Urea lima gram) secara keseluruhan menunjukkan hasil yang lebih baik. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan menggunakan beberapa takaran pupuk urea dengan waktu pemberian yang berbeda.
Burlian Hasani, Hal; 8 – 13
12
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010
ISSN: 1979 – 8245X
DAFTAR PUSTAKA Bagnall – Oakeley H, Conroy C, Faiz A, Gunawan A,Gouyon A, Penot E, Liangsutthissagon S, Nguyen HD and C. Anwar. 1997. Imperata managementstrategies used in smallholder rubber-based f system. Agroforestry System 36:83-104. Garrity DP et al. 1997. The Imperata grasslands of tripocal Asia: area, distribution and typology. Agroforestry Systems 36: 3-29. Hairiah K et al. 2000. Reclamation of Imperata Grassland using Agroforestry. Lecture Note 5. ICRAF. http://www.icraf.cgiar.org/sea. Kang BT. 1989. Nutrient management for sustained crop production in the humid and subhumid tropic. In Van der Heide (ed) Proc. Int. Symp. Nutrient management for food crop production in tropical farming system. IB-DLO and Unibraw :3-28. Tjitrosemito S and M Soerjani. 1991. Alang-alang grassland and land management aspects. In M. Sambas Sabarnurdin et al. (ed). Forestation of alang-alang (Imperata cylindrica Beauv. var Koenigii Benth) grassland: lesson from South Kalimantan. p. 10-36. Purnomosidhi P, van Noordwijk M and S Rahayu. 1998. Shade-based Imperata control in the establishment of agroforestry system (field survey report).98 Van Noordwijk M. 1997. Agroforesty as reclamation pathway for imperata grassland use by Smallholders. In Proc. Panel Discussion on Management of Imperata Control and Transfer of Technology for Smallholder Rubber Farming System. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet Indonesia. pp 2-10. Van Noordwijk M and Rudjiman. 1997. Peltophorum dasyrhachis (Miquel) Kurz. In Faridah Hanum I & van der Maesen LJG (Eds.): Plant Resources of South-East Asia No. 11. Auxiliary Plants. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia. pp. 207-209. http://www.icraf.cgiar.org.
Burlian Hasani, Hal; 8 – 13
13