Kebebasan Pers Terancam RUU KUHP 2013 ? Oleh Otto Ismail Jumat, 26 Juli 2013 23:34
Kinerja Pers yang selama ini dilindungi oleh UU No. 40/1999 Tentang Pers terancam oleh RUU KUHP 2013. Hal itu mengemuka dalam Lokakarya Kebebasan Berekspresi dalam RUU KUHP yang diadakan LPDS Dr. Soetomo (Lembaga Pers Dr. Soetomo) Jakarta dalam rangka menyambut HUT ke-25 di Jakarta (15-19/7).
Para nara sumber yaitu Dr. Wahidin Adams, S.H.,M.A (Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI) mewakili Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Dr. Artidjo Alkostar, SH,LLM Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI.
Dr. Wahidin menjabarkan perbedaan antara KUHP dan RUU KUHP 2013. KUHP terdiri dari 49 Bab, Buku I : 9 Bab, Buku II : 31 Bab, Buku III : 9 Bab. KUHP : 3 Buku, Buku I : Ketentuan Umum, Buku II : Kejahatan, Buku III : pelanggaran.
RUU KUHP 2013 terdiri dari 766 Pasal. RUU KUHP : 44 Bab, Buku I : 6 Bab, Bab II : 38 Bab. RUU KUHP : 2 Buku, Buku I : Ketentuan Umum, Buku II : 38 Bab. RUU KUHP : 2 Buku. Buku I :Ketentuan Umum, Buku II : Tindak Pidana.
Ia memaparkan kebebasan pers di Indonesia yakni Penjelasan Pasal 4 (1) UU No. 4/1999 bahwa kebebasan pers dalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.Sementara itu, Pasal 5 (1) UU No. 40/1999 tentang Pers “Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. UUDNRI Tahun 1945 Pasal 28 J ayat (2) merupakan pasal kunci dari seluruh pengaturan dan pelaksanaan HAM di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2-3/PUU-V/2007 tidak memutlakkan HAM.
Mengacu kepada Konvensi Kebebasan Informasi di Roma, Italia, tahun 1985 Dirjen mengatakan secara substansial dapat dibatasi jika terkait dengan keamanan nasional dan
1/6
Kebebasan Pers Terancam RUU KUHP 2013 ? Oleh Otto Ismail Jumat, 26 Juli 2013 23:34
ketertiban umum; pemidanaan terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama; delik hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan; serangan terhadap pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik blasphemy (hujatan atau firnah); delik susila, kesehatan dan moral; hak-hak, kehormatan, dan pencemaran nama baik seseorang yang umumnya memuat delik penghinaan; delik yang berkaitan dengan pengadilan, contempt of court.
Secara umum, rumusan pengaturan yang akan bersinggungan dengan kegiatan Pers dalam RUU KUHP diatur sebagai delik materiil, sehingga mensyaratkan akibat dapat dikenakan pidana.
Pasal-pasal RUU KUHP 2013 yang berpotensi dinilai sebagai Delik Pers sebagai berikut : Pasal 265 dan Pasal 266 : Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden). Pasal 271 dan Pasal 272 : Penghinaan terhadap Kepala Negara/Wakil Kepala Negara sahabat, wakil negara sahabat yang bertugas di negara RI. Pasal 284 dan Pasal 285 : Penghinaan terhadap Pemerintah yang sah dan berkaibat terjadinya keonaran dalam masyarakat. Pasal 288 dan pasal 289 : Penghasutan dengan lisan/tulisan untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.
Pasal 407 dan pasal 408 : Melakukan pemaksaan dengan kekerasan terhadap pegawai negeri untuk melakukan perbuatan dalam jabatannya yang sah. Pasal 537 tentang pencemaran nama baik, Pasal 538-539 (fitnah), Pasal 540-541 (penghinaan ringan), Pasal 542-543 (pengaduan fitnah), Pasal 544 (persangkaan palsu), Pasal 545 (pencemaran orang mati) dan lain-lain.
Reaksi lumayan “keras” muncul dari Sabam Leo Batubara (Mantan Wakil Ketua Dewan Pers). Ia menilai, RUU KUHP 2013 lebih mengancam kebebasan Pers jika dibandingkan dengan KUHP buatan Belanda yang berlaku di Indonesia sejak 1917 berdasarkan UU No.1/1946 jo No 73/1950. Maksud KUHP tersebut ialah meredam pandangan kritis pribumi yang terjajah dan menghukum pribumi yang berani mengkritik kebijakan kolonial Belanda.
RUU KUHP 2013 dikirimkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin ke DPR dengan “menghidupkan” pasal-pasal yang efektif membungkam kebebasan Pers (Pasal 284,285,288,289,405 dan 406). Berdasarkan RUU tersebut, karya jurnalistik adalah kejahatan (Pasal 308, 537 (1), dan 538 (1)). Jika RUU KUHP mengharuskan Pers hanya memasok berita
2/6
Kebebasan Pers Terancam RUU KUHP 2013 ? Oleh Otto Ismail Jumat, 26 Juli 2013 23:34
yang bersifat pasti dan harus dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, yakni dugaan tindak korupsi, maka karya jurnalistik yang selama ini dilindungi oleh UU Pers adalah karya kejahatan.
Pejabat, politisi, dan pengusaha yang menjadi sorotan investigasi Pers berkaitan dengan dugaan tindak korupsi dapat mengadukan Pers yang bersangkutan sebagai melanggar Pasal 307 (1), 308 atau 405.
Mantan Ketua Dewan Pers (2000-2003) Atmakusumah Astraatmadja menanggapi presentasi Dr. Wahidin memaparkan sejumlah negara sudah menghapuskan tuntutan pidana terhadap wartawan berkaitan dengan pencemaran nama baik yaitu Kroasia, Kosta Rika-Mahkamah HAM Antar Amerika, Mesir, Republik Afrika Tengah, Ethiopia, Togo, Ghana (Afrika), Maroko, Macedonia, Filipina, Honduras, Argentina, Meksiko, Paraguay, Guatemala, Timor Leste. Jepang dan Meksiko mengakui hak tolak Wartawan untuk tidak mengungkapkan identitas nara sumber anonim dan konfidensial (rahasia).
Ia mengutip tulisan Artidjo Alkostar “Menggugat Ideologi Hukum RUU KUHP” (Kompas, 12 Agustus 2005) yang isinya antara lain Pasal-pasal RUU KUHP berideologi kolonial, otoritarian, feodal, fasis harus diganti dengan hukum yang berwatak kemerdekaan, egalitarian, dan demokrasi kerakyatan. Salah satu ciri Pemerintah yang otoriter ialah menggunakan hukum pidana dan penegakan hukum untuk membungkam kelompok kritis. Mahasiswa, intelektual, tokoh agama, pers, LSM pada era Orde Baru yang dianggap vokaloleh penguasa diadili dengan menggunakan hukum pidana (KUHP dan UU Subversi) yang postulat moralnya otoritarian dan anti demokrasi. Tidak mustahil RUU KUHP dapat menyeret perjalanan bangsa ke arah yang salah. Pembicara sesi kedua yaitu Dr. Artidjo Alkostar, SH,LLM Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI. Ia menyambut baik kebebasan berekspresi melalui pers guna mencegah munculnya praktek ketidak-adilan dalam dunia politik, ekonomi dan hukum. Bahkan, menurutnya pers mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Atas dasar UU Pers, ia menambahkan hal ini adalah kebutuhan asasi dalam suatu negara demokrasi. UU Pers No. 40 Tahun 1999 berlandaskan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945. Indonesia telah meratifikasi Statuta Roma dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pasal 19 dari Covenant tersebut tertulis setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan, kebebasan untuk mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tulisan, atau cetakan dalam
3/6
Kebebasan Pers Terancam RUU KUHP 2013 ? Oleh Otto Ismail Jumat, 26 Juli 2013 23:34
bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri.
Namun, ia mengingatkan pada ayat 2 pasal tersebut ada kewajiban dan tanggung-jawab khusus yaitu menghormati hak-hak dan nama baik orang lain. Melindungi keamanan nasional atau kesusilaan umum.
RUU KUHP Pasal 264 mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden “Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui diketahui atau lebih diketahui umum, dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV”.
Kekuasaan politik yang diemban oleh Presiden dan Wakil Presiden bersifat sementara. Sementara itu, membuktikan unsur “menghina” memiliki penafsiran yang luas dan bisa menimbulkan beda penafsiran dari sudut pandang penguasa dan masyarakat yang melakukan ekspresi dalam rangka hak konstitusionalnya dalam negara demokrasi.
Hal lainnya ialah apa yang disiarkan media bukan maksud dari media untuk melakukan penghinaan, tetapi hal itu menjadi kenyataan dalam realita masyarakat. Ia mencontohkan , ketika masyarakat membawa hewan atau peraga dianggap penguasa menghina Presiden atau Wapres. Pasal 284 RUU KUHP 2013 “Setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 285 RUU KUHP 2013 “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
4/6
Kebebasan Pers Terancam RUU KUHP 2013 ? Oleh Otto Ismail Jumat, 26 Juli 2013 23:34
Ia menilai, proses pembuktian unsur penghinaan tersebut terlalu luas, sehingga dapat membelenggu hak berekspresi karena penafsiran subyektif pemegang kekuasaan pemerintah terhadap frasa penghinaan dapat diarahkan kepada orang atau kelompok kritis atau siapa saja yang dianggap menghina pemegang kekuasaan. Kata Pemerintah menuntut penjelasan siapa saja yang dimaksud dengan Pemerintah tersebut (Pusat atau Daerah, Red) ?.
Pasal 307 RUU KUHP 2013 Ayat (1) “Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitaan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak kategori III. Ayat (2) Setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak kategori II”.
Pasal 308 Ayat (1) “Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap yang mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Ketentuan tersebut diatas sama seperti Pasal 171 KUHP buatan Belanda dan sudah dihapus dengan UU No. 1 Tahun 1946. Bahkan, pencantuman Pasal 307 dan Pasal 308 RUU KUHP mengambil klise dari Pasal 171 KUHP.
Saat ini sudah ada UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang memuat koreksi dan hak jawab. Pada UUD 1945 telah ditambahkan Pasal-Pasal tentang HAM (Pasal 28 A sda 28 J), UU HAM UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 12 Tahun 2005 ICCPR.
Dalam prakteknya, ia mengakui tidak mudah untuk membuktikan hubungan kausalitas antara pemberitaan yang dianggap tidak pasti, berlebihan atau tidak lengkap dan patut dapat menyangka.
Lokakarya ini diisi dengan tema-tema yang menarik lainnya yaitu “Dilema Berbahasa Pada Media Siber” (15/7) dengan nara sumber Arifin Asydhad (praktisi media siber www.detik.com), Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed (pakar bahasa), Uni Lubis (pengamat media siber, Redaktur AN TV).
5/6
Kebebasan Pers Terancam RUU KUHP 2013 ? Oleh Otto Ismail Jumat, 26 Juli 2013 23:34
“Pelanggaran Etika Pers dan Dampaknya Bagi Masyarakat” (16/7) para nara sumber yaitu Dr. Komariah E. Sapardjaja (Hakim Agung, pengamat Pers), Mayor Jenderal (Purn) TNI Abdul Muhyi Effendie (mantan Gubernur Maluku Utara), Atmakusumah Astraatmadja (mantan Ketua Dewan Pers).
Kamis (18/7) acara diisi dengan topik “Peliputan Daerah Konflik”. Para nara sumber terdiri dari Desi Fitriani (wartawan senior Metro TV), Atmakusumah Astraatmadja, BNPB (Badan Penanggulangan Bencana). Jumat (19/7) membahas tema “Peliputan Perempuan dan Anak” dengan nara sumber Astrid Dionisio (Child Protection Specialist Unicef), Maria Hartiningsih (wartawati senior KOMPAS), Maria D. Andriana (wartawati senior LKBN Antara).
Puncak acara HUT ke-25 LPDS Dr. Soetomo dilaksanakan dengan menggelar”Mengenang dan peluncuran Buku Karya terakhir pendiri LPDS Dr. Soetomo (Alm) D.H. Assegaff”. Karya beliau berjudul “Zaman Keemasan Soeharto”. Acara penting ini juga dihadiri oleh Bagir Manan (mantan Ketua MA) dan kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers. Ketua Dewan Pers dalam sambutan singkatnya mengatakan, wartawan jangan menjadikan kebebasan pers sebagai “mahkota”. Namun, wartawan harus bekerja secara profesional, siap menghadapi tantangan zaman. Ia yakin bahwa tidak akan ada kebebasan pers tanpa demokrasi. Sebaliknya tidak ada demokrasi tanpa kebebasan pers. Peluncuran buku diisi dengan kesan-kesan rekan-rekan, mantan siswa Alm. D.H. Assegaf baik melalui media video dan kehadiran langsung di lokasi. Selamat dan Sukses ! [Frans]
6/6