KEARIFAN LOKAL JAGAD CILIK JAGAD GEDHE SEBAGAI DOKTRIN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Liza Dwi Ratna Dewi Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur Email:
[email protected]
ABSTRACT The thought about jagad cilik jagad gedhe is a local wisdom in Javanese Culture. Javanese is one of the tribes existed in Indonesia. According to our ancestors harmonizing was supposed to exist in both jagad. If something wrong in jagad cilik, the same thing must happend in jagad gedhe. (Ekopriyono, 2005: 7 ). This research aim to reject the hegemony of western teories of development that have not proven to directing the world on equitabel and sustaible development. This research explaining how local wisdom about harmonizing jagad cilik - jagad gedhe (microcosmos – macrocosmos) was proven as the doctrine of communication development and proven guidelines for sustainable development. Research metode is case study, with holistic multi case, which take multi cases on Indonesia development. Discussion result indicated that override local wisdom about harmonizing jagad cilik- jagad gedhe lead to disaster and didn’t prove significant result of national welfare. Using local wisdom jagad cilikjagad gedhe as the communication strategy and development guideline have been strongly proven in supporting in incresing social welfare and guarantee sustainable development in Indonesia. Key words: jagad cilik – jagad gedhe, local wisdom, sustainable development
ABSTRAK Ajaran tentang “jagad cilik jagad gedhe” merupakan salah satu kearifan lokal yang ada dalam budaya Jawa. Menurut nenek moyang suku Jawa, harmonisasi seharusnya ada di kedua jagad itu. Keduanya saling berkaitan. “Kalau dalam jagad cilik terjadi sesuatu yang tidak beres, bisa tidak beres pula jagad gedhe”. (Ekopriyono, 2005:7). Penelitian ini bertujuan menolak hegemoni teori-teori Barat dalam pembangunan dunia yang terbukti tidak mengarahkan dunia pada pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tulisan ini memaparkan bagaimana kearifan lokal timur “jagad cilik-jagad gedhe” terbukti merupakan doktrin bagi pembangunan berkelanjutan di masa lampau. Sebaliknya pelanggaran terhadap kearifan lokal “jagad cilik– jagad gedhe” membawa bencana pada kehidupan manusia di masa kini. Dengan keterbatasan literatur yang ada tentang komunikasi pembangunan dengan perspektif timur, maka tulisan ini menggunakan kearifan lokal itu sendiri sebagai “teori” yang seharusnya digunakan dalam komunikasi pembangunan. Metode yang digunakan adalah studi kasus, dengan desain multi kasus holistik, yaitu sebuah studi kasus yang mencakup berbagai kasus pembangunan pada Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
146
unit analisis tunggal yaitu negara Indonesia. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa: Penyimpangan kearifan lokal “jagad cilik jagad gedhe” terbukti tidak menunjukkan hasil pembangunan yang signifikan dan tidak menjamin pembangunan berkelanjutan. Sedangkan strategi Pembangunan yang berpedoman pada kearifan lokal “jagad cilik-jagad gedhe” terbukti membawa kemakmuran masyarakat Indonesia. Dengan demikian dapat disimpulkan harmonisasi jagad cilik jagad gedhe merupakan strategi komunikasi dan teori, yang terbukti sahih dalam mendukung kemakmuran masyarakat Indonesia. Dengan demikian kearifan lokal “jagad cilik–jagad gedhe” dapat dijadikan pedoman pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Kata kunci: jagad cilik-jagad gedhe, kearifan lokal, pembangunan berkelanjutan
PENDAHULUAN Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama Januari 2014 terjadi 182 bencana di Indonesia. Kerugian yang ditimbulkan adalah: 137 orang meninggal, 1,1 juta jiwa mengungsi, 1.234 rumah rusak berat, 273 rumah rusak sedang, 2.586 rumah rusak ringan, kerusakan infrastruktur, lahan pertanian. Bila dihitung dengan rupiah, jumlahnya sekitar Rp. 30 trilyun. Ancaman bencana alam terutama banjir dan longsor akan berlanjut hingga Maret 2014 sesuai pola curah hujan di Indonesia. (antaranews.com, 28 Januari 2014). Walaupun Indonesia dilewati dua rangkaian gunung berapi, namun bencana alam di Indonesia tidak didominasi oleh letusan gunung. Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purno Nugroho mengatakan bahwa 80% diakibatkan oleh ulah manusia, atau faktor antropogenik dan degradasi lingkungan. “Manusia menyumbang kerusakan alam, akibatnya bencana alam di Indonesia merupakan keniscayaan”. (metronews.com 18 Januari 2014).
Sedangkan pada 1 Januari hingga 31 Mei 2013 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melakukan pendataan bencana ekologis atau bencana akibat kerusakan lingkungan di seluruh Indonesia. Hasilnya: selama kurun waktu tersebut terjadi 776 kali bencana, dan bencana terjadi di 34 propinsi se–Indonesia. Dari semua bencana tersebut, banjir mendominasi sebanyak 579 kali, diikuti tanah longsor 129 kali, banjir rob 36 kali, banjir longsor 26 kali, banjir lahar dingin 3 kali dan banjir luapan lahar dingin 3 kali. (satuharapan.com, 5 Juni 2013). Data tersebut menunjukkan bagaimana pun kerja keras manusia untuk melakukan usaha pembangunan atau peningkatan kesejahteraan, bila kerusakan alam terjadi dan bencana alam melanda maka apa yang telah dilakukan akan sia-sia. Bahkan kerusakan alam akan menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan berkelanjutan. Maka patut dipertanyakan apakah pembangunan yang dilaksanakan saat ini dapat mensejahterakan manusia, dan mengapa demikian?
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
147
Dalam menciptakan kesejahteraan sosial, nenek moyang kita memiliki kearifan lokal yang disebut Jagad Cilik Jagad Gedhe. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana aplikasi kearifan lokal “jagad cilik-jagad gedhe” sebagai strategi komunikasi pembangunan berkelanjutan di Indonesia?
HDI dibagi dalam 4 kategori, seperti pada tabel berikut:
KERANGKA PEMIKIRAN Salah satu pemikiran ilmiah popular yang dijadikan strategi komunikasi, strategi pembangunan dan indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, termasuk Indonesia, adalah Human Development Index (HDI). Indeks ini dikembangkan tahun 1990 oleh pemenang nobel Indoa Amartya Sen dan seorang ekonom Pakistan Mahbub ul Haq, serta dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics. HDI menjadi populer karena HDI digunakan The United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengukur pencapaian pembangunan di 187 negara. Komponen yang diatur dalam HDI adalah: 1. Income (pendapatan per kapita) 2. Expectation of life (angka harapan hidup) 3. Years of scholly (pendidikan) 4. Eliteration rate (tingkat buta huruf)
Negara 1 – 47 maju 48 – 94 Negara berkemban 95 – g 141 Negara 142 Low terbelakang 187 • Koalisi perempuan Indonesia, diakses 13 Februari 2014 Dalam kajian akademis teoriteori perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga ada beberapa kategori yang dapat dibedakan pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Perbedaan antara Teori Moderenisasi Klasik dan Teori Moderenisasi Baru Teori Teori Moderenisasi Moderenisa Klasik si Baru
Tabel 1 Kategori Kesejahteraan Negara berdasarkan Human Development Index Kategor Kelompok Uruta i n Very High High Medium
Tradi si
Meto de Kajia
Sebagai Penghalang Pembanguna n Abstrak dan konstruksi tipologi
Faktor Positif Pembangun an Studi kasus dan analisa sejarah
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
148
n Arah Pemb angun an
Garis lurus dan menggunaka n USA sebagai model Tidak memperhatik an
Berarah dan bermodel banyak
Fakto Lebih r memperhati Ekste kan rn dan Konfl ik Sumber: Suwarsono dan Alvin So (2000) diolah. Hal yang harus disadari bahwa dalam konsep perubahan sosial dan pembangunan di tingkat global selalu terjadi pertarungan wacana, pertarungan teori, yang pada akhirnya menjadi pertarungan ideologi. Pertarungan teori yang mengarah pada hegemoni juga terjadi pada Ilmu Komunikasi. Saat ini hampir semua teori komunikasi berasal dari ilmuwan Barat, sehingga penelitian ini pun memiliki keterbatasan literatur dalam membahas sebuah riset dengan perspektif timur yang memenuhi kriteria teori “ilmiah” ala barat. Tabel berikut menunjukkan bahwa pendekatan barat dan pendekatan timur dalam berteori adalah berbeda. Sementara kriteria “ilmiah” masih disusun dalam perspektif barat. Tabel 3 Perbedaan Pendekatan Terhadap Komunikasi Barat dan Timur
Perspektif Barat Timur Diri Menekan Menekankan (self) kan pada pada tanggung individua jawab lisme, berbalasan yaitu antara individu orang dan dipertim masyarakat. bangkan Memandang aktif hasil dalam komunikasi pencapai sebagai an sesuatu yang tujuantidak tujuan direncanakan pribadi. dan merupakan konsekuensi alami dari suatu peristiwa. Lingkun Menekan Menekankan gan kan pada pada (nature) upaya harmonisasi mengont dengan rol lingkungan / lingkung situasi. an atau situasi alam. Space & Mengang Dunia gap dianggap Time dunia sebagai suatu dapat unit tunggal, dibagi, yang saling terkoneksi dan yaitu barat saling sebagai tergantung pusat, sebagai wilayah keseluruhan. Elemen
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
149
Space & Time
lain yang menduku ng dianggap berada di pinggira n dan sisanya sebagai di luar perbatasa n atau di pinggira n. Memberi perhatian pada pengukur an bagianbagian dan tidak menginte grasikan nya ke dalam suatu proses yang disatuka n. Ada kepastian waktu atau batasan waktu jelas (bounded time).
Cenderung memfokuskan pada keseluruhan dan kesatuan.
Waktu bersifat tidak terbatas (infinite time).
Teori dibangun dari suatu sistem yang mencakup aksiologi (values), epistimologi (pengetahuan), dan ontologi (metafisik) yang semuanya menjadi bagian-bagian penting dari kegiatan berteori. Lambanglambang verbal, khususnya ujaran, tidak cukup mendapat perhatian dan dipandang secara skeptis. Relasi Hubunga Hubugnan Personal n atau bersifat lebih relasi rumit, karena muncul melibatkan di antara posisi sosial dua atau tentang peran, lebih status, dan individu. kekuasaan. Sumber: Gunaratne (2009), Littlejohn & Foss (1999), Kriyantono (2014). Knowled ge
Bersifat atomism e / bagian yang terpisahpisah dari kecil membent uk yang besar, dan deduktif. Didomin asi oleh bahasa.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
150
Seperti tampak pada tabel di atas, bangsa Indonesia juga telah memiliki knowledge berupa teori yang dibangun dari suatu sistem yang mencakup values, pengetahuan dan metafisik dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk doktrin komunikasi pembangunan di dalamnya. Pemikir-pemikir Timur yang biasanya juga orang bijaksana menggunakan jargon-jargon, pepatah-pepatah yang mudah dikomunikasikan kepada banyak orang. Hasil pemikiran nenek moyang ini disebut kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya, dimana secara etimologi, “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah”, yang tak lain adalah bentuk jamak dari budhi. Budaya diartikan sebagai: hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal manusia. Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. (1990:10). Richard E. Porter dan Larry A. Samovar, mendefinisikan budaya sebagai “tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok”. (Deddy Mulyana, 2006: 18). Budaya nenek moyang kita banyak berwujud ungkapan tradisional disebut kearifan
lokal. Cervantes mendefinisikan “ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang”. (Endraswara, 2005:20). Disebut wisdom karena selain unsur pengetahuan yang telah terbukti, dalam teori ini juga mengandung nilai-nilai budi luhur yang bila dijalankan akan membawa keselamatan dan kesejahteraan manusia sampai ke anak cucu. Dengan demikian local wisdom tidak hanya mengandung kecerdasan intelektual (pengetahuan) saja, tetapi juga kecerdasan emosional bagi tata kehidupan masyarakat dan kecerdasan spiritual yang menunjukkan martabat manusia. (Djaetun HS, 2012: 254). Salah satu kearifan lokal yang dijadikan strategi komunikasi sekaligus teori dalam tulisan ini adalah harmonisasi jagad cilik - jagad gedhe, yaitu ajaran tentang jagad yang ada pada diri setiap individu manusia dan jagad dalam arti alam semesta ini. Menurut nenek moyang kita, harmonisasi seharusnya ada di kedua jagad itu. Keduanya saling berkaitan. “Kalau dalam jagad cilik terjadi sesuatu yang tidak beres, bisa tidak beres pula jagad gedhe”. (Ekopriyono, 2005:7). Dalam hubungan manusia (jagad cilik) dan alam (jagad gedhe), nenek moyang kita memiliki konsep yang disebut: kosmis, magis dan klasifikatoris. Kosmis artinya alam semesta merupakan susunan yang teratur rapi (harmoni) dan bergerak sesuai hukumhukum yang tidak dapat dilawan manusia. Manusia harus selalu berhubungan dengan alam, karena diri
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
151
manusia adalah bagian kecil dari alam itu sendiri. Apabila salah satu unsur menyimpang dari hukum tersebut, maka harmoni alam akan rusak. Magis terarti suatu peristiwa dapat terjadi pada manusia adalah karena pengaruh alam semesta. Atau sebaliknya, suatu peristiwa dapat terjadi pada alam karena pengaruh manusia. Klasifikatoris artinya tatanan kehidupan yang teratur rapi, kejelasan fungsi dan kedudukan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam semesta dan Tuhan. Ini berkaitan dengan pandangan bahwa alam semesta pada prinsipnya tertata rapi, serasi dan harmonis, seiring dan selaras dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. (Darmoko, 2002). METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kasus. “Studi Kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai bagaimana aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas) atau suatu program atau situasi sosial” (Deddy Mulyana, 2002: 201). Sedangkan studi kasus menurut Robert K. Yin merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “how” atau “why” bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitian terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.
Empat tipe desain studi kasus, yaitu: 1. Desain kasus tunggal holistik; 2. Desain kasus terjalin tunggal; 3. Desain multikasus holistik; dan 4. Desain multikasus terjalin. Penjelasan untuk keempat tipe desain yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Desain kasus tunggal holistik, yaitu sebuah studi kasus tunggal menyeluruh mencakup unit analisis tunggal atau fokus pada satu unit analisis secara keseluruhan kasus. 2. Desain kasus tunggal terjalin, yaitu sebuah studi kasus tunggal mungkin mencakup lebih dari satu unit analisis 3. Desain multi kasus holistik, yaitu sebuah studi kasus multi kasus yang mencakup pada unit analisis tunggal atau fokus pada satu unit analisis secara keseluruhan kasus. 4. Desain multikasus terjalin yaitu sebuah studi kasus multi kasus yang mencakup lebih dari satu unit analisis (K Yin. 2006: 46) Kasus yang diambil adalah Kasus Pembangunan di Indonesia. Sebagai sebuah studi makro, maka datadata yang digunakan merupakan data sekunder. Dengan demikian Penelitian ini merupakan studi literatur. Penelitian dilakukan Januari–Februari 2014.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
152
HASIL PENELITIAN Human Development Index (HDI) yang ditetapkan United Nation Development Programme (UNDP) bukan merupakan satu-satunya penentu kebijakan negara Indonesia. Namun HDI merupakan wacana dominan yang sangat menentukan arah kebijakan negara Indonesia. UNDP berhasil mengkampanyekan HDI sebagai ukuran keberhasilan pembangunan suatu Negara pada tahun 1990. Dari 187 negara yang diukur peringkat HDI nya, Indonesia ada pada kisaran 108–124, sehingga terkategorikan sebagai Negara berkembang. Tabel 4 Perkembangan Peringkat HDI Indonesia Tahun Peringka n HDI Indonesi a
•
200 9 111
201 0 108
2011 124
201 2 124
2013 121
Dari berbagai sumber
Selama 24 tahun, sejak HDI diberlakukan hingga hari ini, Indonesia tidak berhasil naik kelas dalam kategori HDI. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, mencari solusi agar keluar dari “Middle Income Trap” pada tahun 2030. (Darajati, 2014). Dengan kata lain pemerintah sadar ini adalah sebuah jebakan, tetapi lompatan besar keluar dari jebakan ini belum tampak. Bila
dilihat dari 4 komponen pengukuran HDI, maka pendapatan perkapita Indonesia adalah: Tabel 5 Pendapatan Nasional PerKapita Indonesia Dalam US $
Pendap atan Nasion al Per Kapita Indones ia
2009
201 0
201 1
201 2
20,731, 425.57
23,7 59,8 18.7 7
27,2 98,8 11.5 7
30,5 16,6 70.7 3
Dari berbagai sumber Guna mengejar peringkat HDI, pemerintah mengambil strategi jalan pintas. Berusaha meningkatkan pendapatan perkapita dengan melakukan ekspolitasi alam. Dengan wacana mengejar HDI, eksploitasi alam dilakukan dan tidak menghiraukan doktrin kearifan lokal tentang harmonisasi jagad cilik-jagad gedhe. Akibatnya berbagai kerusakan alam terjadi di Indonesia. Antara lain adalah data dari situs mongabay.co.id seperti berikut:
Tabel 6
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
153
www.mongabay.co.id, 14 Februari 2014.
diakses
Pendapatan lain yang digenjot adalah industri. Tentang industri ini ditampilkan untuk menunjukkan bahwa doktrin komunikasi pembangunan harmonisasi jagad cilik-jagad gedhe kembali dilupakan. Akibatnya antara lain dapat dilihat pada angka-angka pencemaran lingkungan yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2008 memastikan 62 sungai di Indonesia mengalami pencemaran lingkungan yang sangat parah. Pencemaran disebabkan dari limbah industri besar, industri rumah tangga dan penutupan lahan. Untuk mengembalikannya diperlukan waktu 15–20 tahun. (okezone.com, diakses 21 Februari 2014). Masih menurut Kementerian Lingkungan Hidup, 30% dari 52 sungai yang cemar sedang meningkat menjadi cemar berat pada tahun 2012. (tempo.com, diakses 21 Februari 2014). Setelah wacana HDI didengungkan sekian lama dan belum juga Indonesia berhasil naik peringkat, dampak kerusakan lingkungan sudah menampakkan akibatnya. Untuk Indonesia, “24% APBN digunakan untuk membayar angsuran hutang dan bunga, sehingga tinggal 76% untuk biaya pembangunan. Dengan rusaknya lingkungan, sisa anggaran digunakan untuk membiayai dampak dan korban bencana alam, yang berarti bukan suatu investasi, dengan kata lain
pembangunan Indonesia bukan merupakan pembangunan berkelanjutan.” (Suparmoko, 2014). Indonesia berada dalam “middle trap income” selama 24 tahun, dan jebakan itu tampak makin dalam. Bila kita melihat pada kajian akademis teori-teori perubahan sosial dan pembangunan dunia ketiga, seharusnya kita berpikir apakah strategi yang kita pilih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat. Bila tidak, bahkan membawa bencana, maka refleksi harus dilakukan. Dapat dikatakan bahwa strategi pembangunan yang menyimpang dari kearifan lokal “jagad cilik–jagad gedhe” terbukti tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat. Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2011 disebutkan pada Bab I Pendahuluan bahwa: Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sebagai penopang sistem kehidupan. Paradigma umum yang berkembang saat ini lebih menempatkan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup sebagai sumber daya ekonomis daripada sumber daya ekologis. Pada tataran global, isu pembangunan berkelanjutan sebenarnya muncul di tingkat global pada tahun 1992 saat berlangsung United Conference on Environment and Development (UNCED) yang menghadilkan deklarasi Rio dan
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
154
Agenda 21. Isu ini makin menguat pada Kovensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim tahun 1997. (Yusran, 2014). Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Yang harus disadari adalah bahwa memperbaiki lingkungan membutuhkan waktu 15–20 tahun, dan belum tentu bisa kembali seperti semula. Misalnya ada spesies hewan atau tumbuhan tertentu yang sudah terlanjur punah, maka perbaikan lingkungan tidak bisa mengembalikan kepunahan tersebut. Tampak bahwa kepentingan ekonomi masih dipertahankan. Konsep pembangunan berkelanjutan harusnya adalah menjaga kelestarian lingkungan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan keadilan sosial. Apabila pemenuhan kebutuhan ekonomi dan keadilan sosial sudah melebihi daya dukung lingkungan atau menyebabkan penurunan kualitas alam, maka itu harus dihentikan dan dikaji ulang. Bagi warganegara Indonesia, melakukan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang
menurunkan kualitas alam merupakan perampasan hak asasi anak cucu. Alam bukan milik generasi sekarang yang kemudian diwariskan ke anak cucu. Alam adalah karunia Tuhan yang menjadi hak setiap generasi. Undangundang Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warganegara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pada masa lalu nenek moyang kita melakukan pembangunan ekonomi dengan sektor andalan pertanian dan perdagangan yang bermodal kondisi alam dan posisi geografis yang strategis. Guna meningkatkan angka pendidikan dan melek huruf, maka dilakukan pembangunan gedunggedung sekolah. Angka keberhasilan diukur dengan “jumlah” lulusan, serta mata pelajaran pengetahuan tentang lingkungan sangat sedikit. Tentang bagaimana pendidikan memberikan pengetahuan tentang lingkungan dapat kita lihat pada tabel berikut:
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
155
Sumber Informasi Brosur / leaflet Suat kabar Majalah / Tabloid Radio Televisi Aparat Desa Guru Tomas / Toga Penyuluhan Teman Anggota Keluarga Famili lain Lainnya Total Responden
Sumatera 1,7
Jawa 0,4
Regional Bali – Nusa Kalimantan Tenggara 0,4 0,1
Indonesia
10,6 1,8
8,2 0,7
7,7 1,9
6,2 0,9
9,4 1,0
9,7 2,5
8,7 1,5
3,5 45,1 16,4 1,6 2,1
1,7 53,7 8,0 0,6 5,6
9,2 33,1 15,6 5,9 7,2
0,9 60,9 3,8 0,6 0,0
3,1 34,5 12,1 0,3 10,4
3,3 45,2 10,0 6,0 8,3
3,9 45,2 11,3 2,7 6,0
5,6 5,6 4,7
9,5 9,5 2,0
8,5 8,5 2,6
1,3 1,3 12,3
3,9 3,9 7,3
6,3 6,3 1,7
7,0 7,0 3,7
1,1 0,2 1.587
0,6 1,5 3.015
0,3 1,3 2.015
2,8 0,1 682
2,9 0,3 1.143
0,7 1,5 1.739
1,1 1,0 10.181
Sulawesi 0,4
Maluku Papua 2,1
0,9
Tabel 7 Sumber Informasi Mengenai Lingkungan Hidup Tahun 2012 Sumber: Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012 Seperti disebutkan pada penjelasan terdahulu, bahwa suku Jawa memiliki perilaku sadar lingkungan yang disebut kearifan “jagad cilik – jagad gedhe”. Yang dimaksud jagad cilik adalah manusia. Sedangkan yang dimaksud jagad gedhe adalah alam. Hubungan harmonis antara kedua jagad harus ada. Kunci dari harmonisasi adalah jagad cilik, atau dengan kata lain rumus utama dari teori ini adalah “Kalau dalam jagad cilik terjadi sesuatu yang tidak beres, bisa tidak beres pula jagad gedhe”. (Ekopriyono, 2005:7). Manusia disebut jagad cilik karena kekuatan manusia yang kecil. Alam disebut jagad gedhe karena kekuatan alam yang besar. Perbuatan manusia yang kecil akan dibalas dengan
perbuatan alam yang besar. Kebaikan manusia yang kecil akan diberi ganjaran yang besar oleh alam. Kejahatan manusia yang kecil akan diberi hukuman yang besar oleh alam. Sebagai sesbuah strategi komunikasi lingkungan, kearifan ini dapat diterapkan pada level mikro yaitu hubungan seseorang dengan alam maupun makro yaitu masyarakat dengan alam. Pada level mikro bisa dicontohkan bila kita menanam sebuah biji mangga dan memperlakukannya dengan baik, maka dalam perjalanan waktu alam akan memberi kita begitu banyak buah mangga. Bila kita memelihara sepasang ayam dan memperlakukannya dengan baik, maka dalam perjalanan waktu alam akan
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
156
memberi kita banyak ayam. Mangga dan telur ayam atau daging ayam itu akan memberi kita kemakmuran. Sedangkan salah satu contoh dalam level makro tentang pembuktian kearifan lokal jagad cilik jagad gedhe adalah hubungan masyarakat dan Sungai Brantas. Sungai Brantas adalah sungai terpanjang kedua di pulau Jawa setelah Sungai Bengawan Solo. Salah satu dari 40 sungai yang ada di Pulau Jawa ini memiliki panjang 320 km, berhulu di desa Sumber Brantas, kota Batu dan mengular hingga bermuara di Sidoarajo dan Surabaya. (Koranjakarta.com, diakses 18 September 2013). Dalam situs yang sama disebutkan bahwa sekitar 6.000 tahun silam, di daerah aliran Sungai Brantas di Mojokerto, Jawa Timur dipilih sebagai daerah hunian manusia purba Homo Sapiens. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, karangan MC Rickleft tahun 1995 disebutkan bahwa lembah sungai ini pernah dijadikan pusat-pusat kerajaan besar seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit. Ketika Kerajaan Medang (Mataram Kuno) terkena letusan Gunung Merapi dahsyat tahun 929, Mpu Sindok, raja Mataram ketika itu, juga memindahkan kerajaannya ke tepi Sungai Brantas, yang sekarang dikenal sebagai daerah Jombang. Tentunya ini bukan tanpa alasan. Daerah aliran sungan (DAS) Brantas adalah lumbung aneka pertanian dan perkebunan bernilai tinggi. Sumbersumber air di sepanjang DAS Brantas
juga tidak pernah kering sepanjang tahun. Selama berabad-abad kesuburan di daerah aliran sungai (DAS) Brantas tidak pernah surut. Zat hara tanah yang diberikan oleh lapisan atas tanah (top soil) mengandung abu vulkanik yang dimutahkan oleh Gunung Kelud. Lalu apakah dengan memegang kearifan lokal kita menjadi tidak bisa “go internasional”? Dalam buku Malang Tempo Doeloe (2006) karangan Dukut Imam Widodo di lembah sungai Brantas seluruh kekuatan politik, keamanan dan ekonomi dikendalikan. Di delta (hilir) sungai Brantas didirikan pelabuhan internasional untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Sriwijaya, Malaka, India, Campa dan lain-lain. Kerajaan yang berada di pedalaman menggunakan Sungai Brantas sebagai jalur transportasi utamanya. Ini adalah fakta bahwa Sungai Brantas telah melahirkan peradaban tinggi yang merupakan budaya legendaris. Oleh karenanya Widodo menyebut Sungai Brantas adalah sungai kebudayaan. (geonaskoran-jakarta.com, 27 Januari 2013). Sejarah mencatat bahwa kerajaan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas merupakan negara maju dan makmur. Kerajaan Medang pada abad ke-8 telah mengenal keping uang emas dan perak dalam perdagangannya. Menurut catatan Wang Ta Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada jaman Majapahit sekitar tahun 1300 adalah lada, garam, kain dan burung kakak tua. Sedangkan komoditas importnya adalah
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
157
mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik dan barang besi. Catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321 menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. Selain ekspor-impor, pelabuhan-pelabuhan Majapahit di delta Brantas (daerah Surabaya sekarang) juga berperan penting dalam mendatangkan devisa negara. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah Maluku yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting. Pajak khusus dikenakan pada orang asing, kebanyakan Tiongkok dan India, yang menetap semi-permanen. (Wikipedia, diakses 21 Februari 2014). Dalam perjalanan waktu kemudian, kota-kota yang berada di sepanjang DAS sungai Brantas telah berkembang seluas 12.000 km2 atau seperempat luas provinsi Jawa Timur. Dari wilayah ini 60% produksi padi Jawa Timur dihasilkan. Selain kebutuhan air minum masyarakat kotakota kerajaan yang sejak dahulu ada di DAS Brantas, saat ini aliran sungai pun digunakan untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik. (geonaskoran-jakarta.com, 27 Januari 2013) Bila 1 sungai, yaitu Sungai Brantas memiliki reputasi sedemikian besar dalam mensuplai kesejahteraan masyarakat Jawa, maka bila hubungan harmonis jagad cilik (masyarakat) dan 40 sungai sebagai salah satu berwujudan jagad gedhe atau alam yang berada di Jawa terjaga, maka secara
matematis masyarakat Jawa ini akan sejahtera. Demikian juga dengan Indonesia yang memiliki 240 sungai. Dari data dan fakta inilah seharusnya kita berpegang pada strategi pembangunan sekaligus strategi komunikasi warisan nenek moyang atau kearifan lokal dalam memperlakukan sungai sebagai salah satu bagian alam. Dalam kearifan hubungan manusia (jagad cilik) dan alam (jagad gedhe), nenek moyang kita memiliki 3 kearifan turunan yang disebut konsep: kosmis, magis dan klasifikatoris. Kosmis artinya alam semesta merupakan susunan yang teratur rapi (harmoni) dan bergerak sesuai hukumhukum yang tidak dapat dilawan manusia. Manusia harus selalu berhubungan dengan alam, karena diri manusia adalah bagian kecil dari alam itu sendiri. Apabila salah satu unsur menyimpang dari hukum tersebut, maka harmoni alam akan rusak. Dalam kasus hubungan manusia (jagad cilik) dan sungai sebagai salah satu unsur alam (jagad gedhe) telah terjadi pelanggaran kearifan ini. Manusia membuang limbah industri dan limbah rumah tangga. Akibatnya bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim panas tidak dapat dilawan manusia. Magis terarti suatu peristiwa dapat terjadi pada manusia adalah karena pengaruh alam semesta. Atau sebaliknya, suatu peristiwa dapat terjadi pada alam karena pengaruh manusia. Manusia yang membuang limbahlimbah ke sungai menjadi pengungsi, kehilangan harta benda, sakit dan
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
158
sebagainya karena kemarahan alam. Alam yang marah dan mendatangkan bencana adalah karena perilaku manusia. Jadi tidak bisa kita mengatakan bahwa orang terkena banjir karena “nasib”. Juga pengusaha yang mengalami kebangkrutan karena bahan baku industri yang berasal dari alam sudah semakin langka atau tidak ada. Klasifikatoris artinya tatanan kehidupan yang teratur rapi, kejelasan fungsi dan kedudukan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam semesta dan Tuhan. Ini berkaitan dengan pandangan bahwa alam semesta pada prinsipnya tertata rapi, serasi dan harmonis, seiring dan selaras dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.
Fungsi dan kedudukan manusia dalam hubungan dengan alam adalah pengendali tatanan kehidupan, pengatur kehidupan dan penjaga harmonisasi kehidupan seluruh alam. Fungsi manusia, fungsi semua jenis hewan, fungsi semua jenis tumbuhan sudah diatur oleh alam. Rumus teori ini tidak bisa dilanggar. Bagaimana kondisi jagad cilik atau manusia Indonesia saat ini dapat dilihat pada hasil Survei Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 pada 6 ekoregion dan hasilnya dipublikasikan tahun 2013 menghasilkan data sebagai berikut:
Tabel 7 Indeks Perilaku Peduli Lingkungan 2012
Jawa Sumatera Bali - NTT Kalimantan Sulawesi MalukuPapua Nasional
Perilaku Peduli Lingkungan Perilaku Perilaku Perilaku Pemanfaatan Pemanfaatan penyumbang Air Bersih bahan bakar emisi karbon
Perilaku Konsumsi Energi
Perilaku Menbuang Sampah
Perilaku Hidup Sehat
0,79 0,97 0,94 0,63 0,99 0,90
0,68 0,66 0,59 0,63 0,65 0,59
0,43 0,40 0,39 0,37 0,40 0,44
0,33 0,32 0,24 0,28 0,25 0,21
0,61 0,62 0,60 0,61 0,58 0,53
0,67 0,64 0,69 0,62 0,65 0,64
Indeks perilaku peduli lingkung an 0,60 0,60 0,57 0,52 0,59 0,55
0,84
0,64
0,41
0,28
0,59
0,66
0,57
Sumber: Survey Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan, 2012 Indeks perduli lingkungan idealnya adalah 1. Sehingga angka 0,57 jauh dari ideal. Survei ini dilakukan karena selama ini upaya yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup adalah
mengukur kualitas lingkungan di Indonesia dilakukan dengan tiga indikator utama, yaitu kualitas udara, kualitas air sungai, dan kualitas lahan. Ketiga indikator ini merupakan
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
159
indikator fisik alam. Belum ada pengukuran non fisik yaitu perilaku manusia. Namun saat ini masyarakat dunia menyadari bahwa perilaku manusia merupakan faktor yang menentukan (determinan) terhadap baik buruknya kualitas lingkungan. Perilaku manusia adalah penentu kualitas air dan udara. Perilaku manusia tersebut berupa: konsumsi makanan, pakaian, perumahan, dan transportasi. Hubungan antara perilaku manusia dengan kualitas lingkungan hidup signifikan sebagai suatu sistem ekologis. Dengan moderenisasi, hubungan antara manusia dengan lingkungan cenderung manusia lebih dominan dan eksploitatif. Dampaknya adalah terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan oleh perilaku eksploitatif tidak terkendali. Sebenarnya kalau para pemikir kebijakan negara baru menyadari sekarang bahwa manusia adalah faktor determinan terhadap kualitas lingkungan adalah sebuah kemunduran. Karena teori itu sudah ditemukan oleh nenek-moyang kita dalam kearifan lokal jagad cilik jagad gedhe. Inilah salah satu bukti bahwa nenek moyang kita memiliki peradaban yang tinggi. Memiliki teori-teori sahih yang diwariskan kepada kita sebagai suatu budaya yang harus menjadi pedoman hidup bila kita ingin melakukan perbaikan kualitas hidup manusia (pembangunan) secara berkelanjutan. Sampai sekarang kearifan lokal terbukti sahih membawa Indonesia dan kerajaan-kerajaan Nusantara pada kesejahteraan dibanding strategi, teori
atau rumusan yang “diimport” negaranegara luar. Dengan kondisi jagad cilik seperti yang ditunjukkan di atas maka kondisi jagad gedhe adalah seperti data yang ada pada bagian pendahuluan, yaitu monitoring WALHI yang menunjukkan pada 1 Januari hingga 31 Mei 2013 bencana ekologis atau bencana akibat kerusakan lingkungan di seluruh Indonesia sebanyak 776 kali bencana di 34 propinsi se – Indonesia. Dari semua bencana tersebut, banjir mendominasi sebanyak 579 kali, diikuti tanah longsor 129 kali, banjir rob 36 kali, banjir longsor 26 kali, banjir lahar dingin 3 kali dan banjir luapan lahar dingin 3 kali. (satuharapan.com, 5 Juni 2013). Untuk Januari 2014 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata 182 kejadian bencana alam di banyak kota Indonesia, kerugian harta benda mencapai trilyunan rupiah, 137 orang meninggal, 1,1 juta orang mengungsi. Tidak mempertahankankan kearifan lokal jagad cilik jagad gedhe berarti tidak mempertahankan kehidupan alam termasuk kehidupan manusia di dalamnya. Di Indonesia banyak kearifan lokal yang berwujud lisan karena budaya cetak baru memasuki Indonesia sekitar abad ke-20. “Karena bentuknya yang lisan, maka kisah-kisah hikmah atau sumber informasi hanya dipegang oleh seorang yang mempunyai posisi khusus dalam masyarakat”. (Sihabuddin, 2014) Oleh karenanya usaha penggalian dan penyusunan kembali kearifan lokal
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
160
merupakan upaya akademis yang sangat diperlukan bagi keselamatan kehidupan dan pertahanan hidup suatu bangsa secara berkelanjutan. KESIMPULAN Saat ini strategi pembangunan dan doktrin komunikasi pembangunan manusia Indonesia dilakukan untuk mengejar HDI dan menyimpang dari kearifan lokal jagad cilik – jagad gedhe. Penyimpangan kearifan lokal jagad cilik jagad gedhe terbukti menimbulkan bencana. Kearifan Lokal jagad cilik
jagad gedhe merupakan pedoman pembangunan dan doktrin komunikasi pembangunan yang terbukti sahih di masa lalu dalam mensejahterakan masyarakat. Bila pengelola negara Indonesia ingin memakmurkan rakyatnya, sebaiknya memengang kearifan lokal jagad cilik-jagad gedhe yang telah terbukti merupakan rumus sahih dalam perjalanan peradapan bangsa. Banyak cara melakukan pembangunan ekonomi dengan tetap memegang rumus-rumus sahih kearifan lokal.
Daftar Pustaka
Darajati,
Wahyuningsih, 2014. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Nasional: Rancangan Teknokratik RPJMN 2015 – 2019. Disampaikan pada seminar “Menggali Potensi Potensi Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Universitas Budi Luhur, Jakarta.
Darmoko.2002. Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka. Tinjauan Sosiokultural, Masyarakat Jawa. Jurnal Makara, Jurnal Sosial Humaniora,Depok. Volume 6, Nomor 1, 2002 Djaetun, HS. Budi Luhur, Sebuah Autobiografi Spriritual. Jakarta, Yayasan Pendidikan Budi Luhur Cakti, 2012.
Ekopriyono, Adi. The Spirit of Pluralism. Menggali NilaiNilai Kehidupan, Mencapai Kearifan. Jakarta, Elex Media Komputindo, 2005. Endraswara, Suwardi. Tradisi Lisan Jawa. Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta: Narasi, 2005. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Rineka Cipta, 1990. Kriyantono, Rachmat. Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal. Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2014. Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002.
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
161
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antar Budaya. Bandung, Rosda, 2006. Sihabudin, Ahmad. 2013. Literasi Media Dengan Memberdayakan Kearifan Lokal. Jurnal Communication, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta Volume 4, Nomor 2, 2013 Suparmoko. 2014. Pembangunan Berkelanjutan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Suatu Tantangan Dasawarsa III, Abad 21. Makalah pada seminar “Menggali Potensi Potensi Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Universitas Budi Luhur, Jakarta. Suwarsono dan Alvin Y.So. Perubahan Sosial Dan Pembangunan. Jakarta, LP3ES, 2000, h. 57 dan 108 Survei
Perilaku Masyarakat Peduli Lingkungan. 2013. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Mudzakir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006. Yusran. 2014. Peran Kajian Hubungan Internasional Terhadap Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup. Makalah pada seminar “Menggali Potensi Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Universitas Budi Luhur, Jakarta. Sumber Internet http://Antaranews.com/2014/01/28/137tewas-dan-1,1-juta-mengungsi-akibatbencana-selama-januari-2014 http://digilib.its.ac.id/pembuatansistem-informasi-situs-purbakalaberbasis-webgis-studi-kasus-deltabrantas-22672.html http://geonas-koranjakarta.com/2013/09/18/sungai brantas/ http://koalisiperempuan.co.id/2014/02/1 3/human-development-index http://metronews.com/2014/01/18/BNP B:-80%-bencana-di-indonesia-akibatkerusakan-alam http://mongabay.co.id/2014/02/04
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011. Undang-Undang Lingkungan Hidup Negara Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009. Yin, Robert K. Studi Kasus, Desain dan Metode. Penerjemah M. Djaudi
http://republika.co.id/2014/01/29/kerugi an-akibat-bencana-mencapai-trilyunanrupiah http://SATUHARAPAN.COM/2013/06/ 05/Walhi:-tahun-2013-bencana-akibatkerusakan-lingkungan-terjadi-di-semuaprovinsi
Avant Garde | Jurnal Ilmu Komunikasi VOL 3 NO.2 Desember 2015 |
162