65
KEARIFAN LOKAL DALAM EKONOMI ISLAM (Studi Atas Aplikasi al-Urf Sebagai Dasar Adopsi) Abdul Hakim (Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya) Abstract: any economy activity should always be based on the Islamic legal sources of Islamic economy. This means that in the ijtihad of an economic phenomenon must not conflict with the principles of Islamic economy. These principles should be used as a rule in economic activity. Applications' urf has been shown to serve as a basis for finding common ground between economic activities that is indigenous to the economy practice that Islamic base. Local wisdom and shahih'urf has proven has meeting point very clear, because the local wisdomis local ideas (local) and behaviors that are thoughtful, full of wisdom, good value, which is embedded and followed by members of the community. Thus al-urfthen can be used as a justification, or standard determination, that in general aeconomy local wisdom is relevant to the legal and economic principles of Islam. Kata Kunci : Kearifan lokal, Ekonomi Islam, Aplikasi al-Urf
Pendahuluan Ekonomi Islam di Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan yang pesat dan berkesinambungan. Kemajuan tersebut meliputi berbagai dimensi seperti kajian akademis di Perguruan Tinggi, maupun praktik operasioanl pada lembaga-lembaga perekonomian. Keadaan tersebut diharapkan terus melebar dalam berbagai aspek, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti produksi, konsumsi, distribusi, upah, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, perindustrian dan sebagainya.1 Dalam perkembangan tersebut, agar tetap mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diperlukan regulasi yang memadai, inovasi produk dan strategi pengembangan, inovasi strategi marketing, serta merespon secara akomodatif terhadap bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syari‟ah dalam operasionalnya. Perkembangan tersebut juga diharapkan berimplikasi secara signifikan kepada masyarakat Indonesia agar terus tertarik dan beraktivitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam baik di perkotaan maupun di pedesaan. Hal hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana supaya terjadi proses sinergitas serta partisipasi ekonomi syariah dari dan untuk semua golongan masyarakat beserta seperangkat nilai-nilai dan paradigma lokal yang inherent di dalamnya. Terkait aspek ini, sering dilupakan bagaimana sinergi prinsip ekonomi syariah dengan pranata dan kearifan masyarakat yang telah ada. Sebagai bagian dari proses belajar, perlu kiranya para penggiat syariah „kembali pulang ke desa‟ dengan melihat seperangkat pranata sosial ekonomi dan kearifan lokalnya. Pada kenyataannya banyak sekali serpihan prinsip dan praktek ekonomi Islami yang sudah terlembagakan baik dalam kehidupan berkeluarga maupun masyarakat. Secara khusus kondisi geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki beragam sistem adat kebudayaan nusantara. Sistem dan perilaku ekonomi masyarakat Indonesia menarik untuk ditelusuri eksistensi dan relevansinya, Apakah sistem ekonomi adat
1
Pengembangan Keilmuan Baru Ekonomi Islam, dalam Sharing, Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, Edisi 43 Tahun IV Juli 2010, 48.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
66
kebudayaan nusantara tersebut merupakan bentuk kearifan local dan sejauh mana relevansinya dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam sendiri. Oleh karena itu eksplorasi terhadap kekayaan luhur sistem ekonomi adat budaya bangsa tersebut, sangat perlu untuk dilakukan, sekaligus sebagai upaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait dengan keniscayaan adanya perubahan masyarakat dalam berperilaku ekonomi. Sistem ekonomi adat budaya nusantara dapat merupakan bentuk kearifan lokal yang menjadi salah satu asset bangsa Indonesia yang pluralistik. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi salah satu metode pengembangan ekonomi Islam di Indonesia. Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan. Tujuan utama syari‟at Islam sendiri (termasuk didalamnya aspek hukum) adalah untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan akan terealisir dengan komitmen tersebut. Di antara prinsip-prinsip ataupun sumber-sumber hukum ekonomi Islam, maka konsep al-‟Urf merupakan sumber hukum ekonomi Islam yang potensial dijadikan sebagai dasar untuk mencari titik temu antara aktivitas ekonomi yang merupakan kearifan lokal dengan ekonomi Islam. Metode al-‟urf ini, sangat diharapkan dapat menjadi dasar solusi terhadap berbagai macam problematika kehidupan. Pada gilirannya syari‟at (hukum) Islam diharapkan dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Kearifan Lokal Pengertian Istilah kearifan lokal (local wisdom) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosa kata yang sedang familiar akhir-akhir ini. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia I. Markus Willy P. M.Dikkie Darsyah dan Mieke Ch.2 Local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat atau kearifan lokal) dapat dipahami sebagai, gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya .3 Pengertian lain yang lebih terperinci tentang kearifan lokal adalah, kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai keyakinan manusia atau firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. 4 Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. 5 Sementara Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya 2
I. Markus Willy P., M.Dikkie Darsyah, dan Mieke Ch, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, (Surabaya: Arloka, 1966), 201, 403 3 Sartini, Menggali Kearifan Lokal, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2, 111 4 I Ketut Gobyah,Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www. balipos.co.id, diakses pada 17/1/2014 5 Wahbab Zuhaili, Idarat al-Waqaf al-Khairi, (Pengurusan wakaf Kebajikan), (Damsyiq: Dar al-Maktabi, 1998).
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
67
daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.6 Ciri-cirinya adalah: 1. Mampu bertahan terhadap budaya luar 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar 3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli 4. Mempunyai kemampuan mengendalikan 5. Mmpu memberi arah pada perkembangan budaya. Kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. 7 Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. 8 Kearifan lokal dimaknai juga sebagai adat yang memiliki kearifan atau al-„addah alma‟rifah, yang dilawankan dengan al-„addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. 9 Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terdapat unsur pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan di semua aspek kehidupan termasuk ekonomi, yang dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Ketentuan umum yang selama ini menjadi standar bersama sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum. Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan substansi yang dimiliki dari nilai kearifan 6
Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), 40-41 Ketut Gobyah dalam, Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/12/2013, 8 S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id 9 Sartini, “Menggali…”, hlm. 112. Lihat juga ”Penjelasan Tentang „Urf” dalam Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 7
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
68
tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitarnya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama. 10 Bentuk-bentuk kearifan Lokal Bidang Ekonomi Di Indonesia terdapat banyak kearifan lokal di bidang ekonomi yang telah diimplementasikan oleh masyarakat maupun upaya pengembangan ekonomi Islam yang bisa dilakukan oleh lembaga keuangan syari‟ah. Sebagai contoh dalam praktik bagi hasil. Praktikpraktik bagi hasil dalam komunitas-komunitas adat ditentukan oleh prinsip-prinsip ekonomi yang dianut masing-masing komunitas adat. Pada komunitas lokal di pegunungan Tengger yang sudah mengalami proses “individualisasi” kepemilikan tanah selama ratusan tahun, menunjukkan bahwa sistem bagi hasil yang terjadi umumnya adalah antara keluarga pemilik tanah dengan penyewa/pemakai, walaupun biasanya memiliki hubungan kekerabatan sehingga pengaturannya relatif mengambil bentuk-bentuk yang lunak. 11 Petani yang menggarap tanah orang lain sedikitnya mendapatkan 50% dari panenan (maro/paron), dan seringkali lebih, bahkan sampai 75% (rongpertelon). Di dataran rendah di Jawa, pengaturan bagi hasil ini jauh lebih keras karena bukan didasarkan pada “kekerabatan”, tetapi “patronase” atau “kerjasama antara dua kelas yang berbeda dalam masyarakat”. Dalam hal ini Orang Tengger di gunung memperlihatkan respon terhadap kepentingan-kepentingan yang lebih luas dari sekedar maksimalisasi pasar sematamata. Bagi mereka penyewa tidak menjadi lebih tinggi statusnya dari pemilik tanah. Pemilik tanah yang menyediakan tanah kadang-kadang juga turut dalam penanaman atau saat panen (bukan kewajiban, tetapi lebih sebagai kemurahan hati). Penyewa/penggarap bertanggungjawab dalam penyediaan bibit dan pekerja yang diperlukan. Penyewa dan pemilik tanah samasama berpartisipasi dalam pengadaan pupuk. Di dalam konsep ekonomi Islam praktik bagi hasil seperti ini disebut sebagai bagi hasil dengan prinsip Al-Muzara‟ah (Harvest-Yield Profit Sharing). Selain itu pada masyarakat adat manggarai terdapat berbagai aktivitas ekonomi lokal seperti: 1. Celong adalah sistem pinjam barang/tanah atau semacam sewa kendaraan (kuda/kerbau untuk kepentingan pengolahan sawah). Pembayaran celong bisa berupa turut serta mengerjakan sawah si pemilik ternak atau kendaraan atau turut membantu mengerjakan atau dengan memberikan hasil pertanian setelah panen. Varian pembayaran atau kontraprestasinya cukup banyak. Konsep celong ini selalu bermakna bahwa, pada akhir masa celong barang akan dikembalikan dalam keadaan seperti semula. Konsep celong tersebut sama dengan ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. 12 2. Sida adalah sistem pembagian beban ekonomi (uang atau barang), dimana saudara lelaki membagikannya secara merata kepada saudari perempuan dalam satu ayah atau satu kakek atau satu buyut atau antara anak rona dengan anak wina. Anak ronaberarti adalah keluarga dari mana istri berasal berdasarkan hubungan darah sedangkan anak wina adalah keluarga suami yang mengawini perempuan. Dalam adat manggarai, dalam diri orang selalu memiliki posisi ganda sebagai anak rona dananak wina sekaligus. Tergantung kepada dengan siapa seseorang menyebut diri sebagai anak rona dan anak wina. Konsep seperti 10
http://miqbalirfany.wordpress.com/2013/04/25/ekonomi-syariah-dan-kearifan-lokal Abdon Nababan, Menemukan Jalan Baru Kemandirian Ekonomi Indonesia, dalam makalah untuk pengantar diskusi terbatas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, 5 Juli 2009, 2. 12 Muhammad Rawas Qal‟aji, Mu‟jam Lughat al-fuqaha, (Beirut: Darun Nafs 1985), 183 11
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
69
ini di dalam ekonomi Islam disebut sebagai sistem kepemilikan berdasarkan pembagian harta warisan.13 3. Ngende adalah suatu perbuatan ekonomi dimana orang yang mengalami kekurangan sesuatu dengan membawa barang tertentu kepada orang yang memiliki kemampuan ekonomi lebih baik dalam hubungan darah maupun hubungan perkawinan atau hubungan pada umumnya untuk dimintakan diberikan suatu barang. Sebagai contoh orang yang tidak memiliki beras lalu membawa jagung untuk dimintakan diberikan beras. Dalam masyarakat adat jual beli dilangsungkan dengan cara saling menukarkan harta dengan harta. Cara penentuan apakah antara barang yang ditukar tersebut memiliki nilai yang sebanding tergantung kepada kebiasaan masyarakat adat tersebut. Jual beli seperti ini disebut dengan barter atau al-Muqayyadah.14 4. Cimpa adalah suatu pemberian secara cuma-cuma tanpa ada harapan akan imbalan secara langsung, namun diharapkan nanti suatu waktu si pemberi juga diberikan oleh orang yang menerima cimpaan jika ada. Cimpa bisa disamakan dengan konsephibah.15 atau pemberian cuma-cuma. Sedangkan contoh kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah: 16 1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati. 2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. 3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana„ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. 4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. 5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. 6. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig. Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaankebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal 13
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Intermasa, 1997), 307 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Cetakan Pertama, J(akarta: PT. Intermasa,.1997), 828. 15. Ibid, 540. 16 Agustinus Dawarja, Sistem Ekonomi Adat Manggarai Nusantara, dikutip dari http://rayhanasadira.blogspot.com/2009/06/sistem-ekonomi-adat-manggarai-nusantara.html, diakses pada tanggal 9 Februari 2014 14
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
70
akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilainilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. 17 Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut. Contoh lain lagi upaya implementasi ekonomi berbasis kearifan lokal adalah, pemberdayaan lembaga koperasi. Koperasi merupakan instrumen ekonomi yang dapat menjadi sarana yang baik untuk membangun masyarakat. Sebab koperasi dapat menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah, artinya masyarakat cenderung mudah untuk mengimplementasikannya dalam dunia nyata. Selain itu, instrumen tersebut lebih tahan terhadap keadaan ekonomi apapun, karena dalam pelaksanaannya koperasi melakukan kegiatannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam yang bertujuan pada mashlahah yang mengutamakan kepentingan bersama. Melalui konsep kearifan lokal, koperasi syari‟ah yang dibentuk nantinya akan melakukan kegiatan dan program-programnya sesuai dengan potensi alam dan lingkungan di sekitar koperasi syari‟ah berada. Misalnya, sebuah koperasi syari‟ah yang dibangun di daerah A, melakukan kegiatan koperasinya berupa kegiatan produksi dan pembiayaan (simpan-pinjam). Kegiatan pembiayaan dilakukan sebagai pendanaan bagi para anggota yang ingin melakukan kegiatan usaha (wirausaha). Dana tersebut merupakan dana bergulir yang wajib dikembalikan dengan sistem bagi hasil yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (koperasi syari‟ah sebagai lembaga pemberi dana dan anggota koperasi yang melakukan proyek usaha). Koperasi syari‟ah yang ada harus mengarahkan calon wirausahawan baru untuk melakukan usahanya sesuai dengan potensi kekayaan alam dan lingkungan di wilayah tersebut. Misalnya, daerah A memiliki potensi pertanian, perkebunan dan buah-buahan serta budidaya perikanan laut yang merupakan potensi dominan yang ada di daerah tersebut. Oleh karena itu wirausahawan diarahkan untuk bisa memanfaatkan potensi tersebut secara kreatif. Sebelumnya, pihak pengurus koperasi juga harus sudah melakukan kegiatan pembinaan terhadap seluruh anggotanya terkait hal-hal yang berkaitan dengan fokus kerja mereka, yaitu program-program berbasis kearifan lokal. 18 Selain itu, kegiatan koperasi syari‟ah yang berkaitan dengan penyediaan bahan baku produksi juga harus dapat memanfaatkan kearifan lokal yang ada. Misalnya dalam penyediaan alat-alat pertanian, mesin-mesin pertanian, alat-alat perikanan, peternakan dan bahan-bahan baku produksi lainnya yang bisa mendukung pengembangan operasional koperasi berbasis kearifan lokal. Dalam penanggulangan kemiskinanpun program-program lembaga keuangan syari‟ah baik perbankan, non perbankan, maupun lembaga keuangan publik Islam, dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk berupaya mencari alternatif kebijakan yang sesuai dengan kondisi spesifik lokal, serta menggali dan memahami kearifan penduduk lokal dalam hubungannya dengan upaya preventif menanggulangi kemiskinan.
17
E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. diakses 20 Januari 2014. 18 http://www.facebook.com/groups/millennial/doc/326812007400401.diakses tanggal 2 Februari 2014.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
71
Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat dengan perkembangan pendekatan kualitatif-partisipatoris.19 Kebutuhan kalori adalah pendekatan objektif, sedangkan kemiskinan subjektif lebih menekankan pemahaman pada konsep kemiskinan dari sudut pandang masyarakat miskin. Dengan menggali dan mengembangkan kearifan lokal, kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi (relieving) tetapi juga dapat dihindari (preventing) karena lestarinya sumberdaya bagi generasi berikutnya. Kearifan lokal mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, kearifan lokal seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan anti kemiskinan.20 Masih banyak contoh kearifan lokal di bidang ekonomi yang bisa dieksplorasi dalam upaya pengembangan keilmuan dan praktik ekonomi Islam di Indonesia. Kearifan lokal sama sekali tidak bisa diperoleh melalui suatu pendidikan formal dan informal tetapi hanya bisa dipahami dari suatu pengalaman yang panjang melalui suatu pengamatan langsung. Kearifan lokal lahir dari learning by experience yang tetap dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kegunaan utama kearifan lokal adalah menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan kelestarian sumberdaya alam. Pada ranah inilah ekonomi Islam dapat bersinergi dalam upaya merespon perkembangan masyarakat terkait dengan aspek ekonomi. Upaya toleransi ekonomi Islam terhadap kearifan lokal tersebutlah, yang menjadikan perkembangan umat Islam begitu dinamis dan dialektis dalam catatan sejarah di masa kini maupun masa yang akan datang. Al-‘Urf Pengertian al-‘Urf Secara etimologi kata Urf berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan, istilah al-urf berarti: “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan” Istilah Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-„adah (adat istiadat). Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefenisikan dengan: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tampa adanya hubungan rasional” Defenisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulangulang menurut hukun akal, tidak dinamakan adat. Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau permasalahan yang menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adapun urf menurut ulama ushul fiqih adalah: “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan” Berdasarkan defenisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (Guru Besar Fiqih Islam Unifersitas Amman, Yordania) mengatakan bahwa urf merupakan baigian dari adat, karena adat lebih umum dari urf. Suatu urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu, dan urf bukanlah kebiasaan 19
Marcus J. Pattinama, ”Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat)” dalam MAKARA Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009, 1-12. 20 Soerjani, M. Krisis Kearifan Kita. Dalam Kompas, Kamis 20 Oktober 2005
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
72
alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman. 21 Masih dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul memberi definisi yang sama terhadap „Uruf dan 'Adat, sebagaimana definisi yang diberikan oleh Wahbah Zuhaily berikut ini:
َ أّ لفظ تعبرفْا اطالق, ُْ هب اعتبدٍ الٌبس ّسبرّا عليَ هي كل فعل شبع بيٌِن: العزف , ُّْ بوعٌى العبدة الجوبعيّت, َ ّال يتببدر غيزٍ عٌد سوبع, على هعٌى خبص ال تألفَ اللغت .ّقد شول ُذا التعزيف العزف العولي ّالعزف القْلي Uruf adalah kebiasaan manusia yang dilakukan secara terus menerus sehingga perbuatan tersebut menjadi populer di kalangan mereka, atau mengartikan suatu lafaz dengan pengertian khusus meskipun makna asli dari lafaz yang dimaksud berlainan.22 Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain. Istilah „urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-„adah (adat istiadat). Adat adalah sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar. Adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Tetapi para ulama‟ ushul fiqih membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannyasebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Menurut musthafa ahmad al-zarqa‟ (Guru Besar Fiqh Islam di Uuniversitas „Amman, Yordania), mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf. Contoh : Di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan qabul. Macam- macam ‘Urf Para ulama‟ ushul fiqih membagi „urf kepada tiga macam : 1. Dari segi objeknya dibagi menjadi dua a. Al-„urf al-lafdzi ( kebiasaan yang menyangkut ungkapan ) Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Contoh : ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu kilogram “, pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. b. Al-„urf al-„amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan ) Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam 21 22
Musthafa Ahmad Az-Zarqa‟, Al-Madkhal al-Fiqh al-Am, Juz II, (Damaskus : Mathba‟ah Thorbin, 1968), 840 Wahbah al- Zuhaili, Ushul al-Fiqh Wa Madaris al-Bahs Fih, (Suriah: Dar Maktabi, 2000).
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
73
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Contoh lain sepereti kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang di beli itu di antarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. 2. Dari segi cakupannya „urf dibagi menjadi dua yaitu : a. Al-„urf al-„am ( kebiasaan yang bersifat umum ) Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Contoh : kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram. b. Al-„urf al-khas ( kebiasaan yang bersifat khusus ) Adalah kebiasaan yang berlaku didaerah dan masyarakat tertentu. Contoh di kalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat yang lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. 3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟ „urf di bagi menjadi dua yaitu : a. Al-„urf al-shahihah ( kebiasaan yang dianggap sah ) Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash ( ayat atau hadist ), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa madharat kepada mereka. Contoh : dalam masa pertunangan pihak lakilaki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. b. Al-„urf al-fasidah ( kebiasaan yang dianggap rusak ) Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟. Contoh : dalam “penyuapan “ . untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang mengenai urusannya. 23 Syarat-Syarat ‘Urf Para ulama ushul menyatakan bahwa sutau „urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara‟ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut: 1. „Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu „urf dalam bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus. 2. „Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya. 3. „Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara „urf yang berlaku adalah si penjuallah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam kasus seperti „urf tidak berlaku. 4. „Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. „Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara‟ karena
23
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), (Jakarta: Kencana, 2007), 80. Lihat pula, Imam Musbikin, Qawa‟id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 94.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
74
kehujjahan „urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. 24 Kedudukan ‘urf sebagai dalil syara’ Pada dasarnya, semua „ulama menyepakati kedudukan al-„urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara‟. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan al-„urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah. Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur‟an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Para ulama‟ ushul fiqih sepakat bahwa „urf al-shahih, yaitu „urf yang tidak bertentangan dengan syara‟, baik yang menyangkut „urf al-„am dan „urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan „urf al-lafdzi dan „urf „amali, dapat di jadikan hujjah dalam manetapkan hukum syara‟. Adapun kehujjahan „urf sebagai dalil syara‟, didasarkan atas argumen-argumen berikut ini. a. Firman Allah pada surat al-A‟raf (7) : 199
خذالعفْ ّأهز ببلعزف ّأعزض عي الجبُليي “ jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. Malalui ayat diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma‟ruf . sedangkan yang di sebut ma‟ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan yang di bimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam. b. Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah , Abdullah Bin Mas‟ud
يئ فوبراٍ الوسلوْى حسٌب فِْ عٌد هللا حسي ّهبراٍ الوسلوْى سيئب فِْ عٌد هللا س ة “Sesuatu yang di nilai baik oleh kaum muslumin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”. (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Riwayat Abdullah bin Mas‟ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syari‟at islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaiknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan seharihari. Padahal, dalam pada itu, Allah berfirman pada al-Qur‟an surat al-Ma‟idah: 6
.هب يزيد هللا ليجعل عليكن هي حزج ّلكي يزيد ليطِزكن ّليتن ًعوتَ عليكن لعلكن تشكزّى “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur”. c. Pada dasarnya, syari‟at Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-qur‟an dan sunnah rosulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al- mudharabah). Praktik seperti ini sudah
24
Burhanudin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), 263. Lihat pula Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul FIqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 129-130
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
75
berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam. 25 Dalam perkembangannya Imam Malik juga membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda dalam menentukan hukumnya, tergantung pada adat mereka. Imam syafi‟I ketika berada di Mesir, mengubah sebagian hukum yang di tetapkan ketika beliau berada di Baghdad karena perbadan adat. Oleh kerena itu iya memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama. (Qaul Qadim dan Qaul jadid). Berdasarkan kenyataan ini, para ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan. Hukum yang didasarkan oleh urf itu dapat berubah-ubah menurut perubahan zaman. Dengan demikian para fuqaha berkata “perselisihan itu di sebabkan oleh perubahan masa bukan perselisihan hujah dan bukti”. Oleh karena itu, para ulama mengamalakn urf dalam menetapkan hukum dengan syarat: a. Adat atau urf itu mengandung maslahat dan dapat diterima oleh akal. Syarat ini adalah yang bersifat tetap dalam ufr sahih yang dapat diterima secara umum. Contohnya, ada suatu kebiasaan, istri yang ditinggal mati oleh suaminya maka ia tidak akan kawin lagi untuk seterusnya meskipun ia masih muda belia. Mungkin ini dinilai baik untuk satu adat daerah tertentu namun tidak dapat diterima oleh akal sehat. b. Adat itu tidak bertentaangan dengan dalil syara‟. Contohnya kebiasan menghormati orang tua dengan mencium kedua tanganya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa urf adalah bukan sumber hukum yang berdiri sendiri. Ia harus ada sandaran atau bpendukungnya baik dalam bentuk ijma maupun maslahat. Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkan maka secara tidak langsung telah terjadi ijma meskipun dalam bentuk sukati. Adat itu diterima oleh orang karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai adat berarti tidak menerima kemaslahatan. Para ulama telah sepakat tentang keharusan untuk mengambil sesuatu yang bernilai maslahat meskipun itu tidak ada nasnya. Terdapat perbedaan para ulama terhadap kehujahan urf. Menurut Al-Tayyib Khudari alSayyid, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi.26 Menurutnya mazhab yang banyak menggunakan urf sebagai landasan hukum adalah ulama Hanafiyah dan Malikiyah dan selanjutnya Ulama Syafeiiyah. Pada perinsipnya mazhab-mazhab besar fiqih ini sepakat menerima adat istiadat sebagai dasar pembentukan hukum meski terdapat unsur-unsur perbedaan diantara mereka, sehingga urf dimasukan kedalam sumber hukum yang diperselisihkan. 27 Kaidah-Kaidah Fiqih Tentang ‘Urf Ada beberapa kaidah Fiqhiyyah yang dapat dikatakan berhubungan dengan „urf. di antaranya adalah: 1. Adat itu adalah hukum ( ) العبدة هحكوت 2. Apa yang ditetapkan oleh syara‟ secara umum tidak ada ketentuan yang rinci di dalamnya dan juga tidak ada dalam bahasa maka ia dikembalikan kepada „urf ( )هب ّرد بَ الشزع هطلقب ّ ال ضببط لَ فيَ ّ ال فى اللغت يزجع فيَ إلى العزف Abdul Hamid Hakim mendasarkan dua kaidah atas ayat:
( ّ أهز ببلعزف ّ اعزض عي الجبُليي199 :) األعزاف Suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf serta berpalinglah dari orang bodoh. 3. Tidak dingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat 25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009) Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, 153-158 27 Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul FIqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 129-130. 26
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
76
()ال يٌكز تغيز األحكبم بتغيز األسهٌت ّ األهكٌت 4. Yang baik itu jadi „urf seperti yang disyaratkan jadi syarat () الوعزّف عزفب كبلوشزّط شزطب 5. Yang ditetapkan melalui „urf seperti yang ditetapkan melalui nash ( )الثببت ببلعزف كبلثببت ببلٌبص Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang dietapkan melalui Alquran dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui „urf itu sendiri. 28 Permasalahan Urf Urf yang berlaku di tengah-tengah msyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan pertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh merincinya sebagai berikut: 1. Pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus. Apabila pertentangan urf dengan nash yang bersifat khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman jahiliyyah dalam megadopsi anak, dimana anak yang di adopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima. 2. Pertentangan urf dengan nash yang bersifat umum. Menurut Musthafa ahmad Al-Zarqa‟, apabila urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara urf al-lafzhi dengan urf al-„amali, apabila urf tersebut adalah urf al-lafzhi, maka urf tersebut bias diterima. Sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas urf al-lafzhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidaka ada indikator yang menunjukkan nash umum itu tidak dapat di khususkan olehh urf. Misalnya: kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya. 3. Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan urf tersebut. Apabila suatu urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqih sepakat menyatakan urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan ) maupun yang bersifat amali (praktik), sekalipun urf tersebut bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hokum syara‟, karena keberadaan urf ini muncul ketika nash syara‟ telah menentukan hokum secara umum. Aplikasi ‘Urf dan Implikasi Perubahannya Hukum-hukum yang berdasarkan „urf itu sendiri dapat berubah menurut perubahan „urf pada suatu masa atau perubahan lingkungan. Oleh para fuqaha‟ mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan „urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya. Sebagai contoh di dalam mazhab Syafi‟i dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi‟i. Hal ini disebabkan perbedaan „urf di lingkungan tempat tinggal Imam Syafi‟I sendiri. Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan : Suatu hukum dapat berubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan lingkungan.
28
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), 142
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
77
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku serta ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini terjadi pada hukum yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan dalil qath‟i yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, pengharaman riba, dan sebagainya. Hukum yang dapat berubah karena „urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifatsifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak. Secara lebih rinci, berikut adalah praktek-praktek ‟Urf dalam masing-masing mahzab: ‘Urf Dalam Fiqih Imam Madzhab a. Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan. b. Bolehnya jual beli buah yang masih di pohon karena ‟urf. c. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lahan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian. d. Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang. e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya Dalam Fiqh Maliki a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample b. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ‟urf jika terjadi perselisihan Dalam Fiqih Fiqh Syafi’i a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan b. Akad sewa atas alat transportasi c. Akad sewa atas ternak d. Akad istishna. 29 Dalam Fiqh Hanbali a. Jual beli mu‟thah Para ulama sepakat bahwa „urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ‟urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ‟urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ‟Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
29
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, 375
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
78
Imam Syafi‟i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan „urf. Tentu saja „urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah. Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ‟Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut: “Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.30 Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut: “Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”. Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat. Jumhur ulama tidak membolehkan ‟Urf Khash. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat „urf tertentu maka akad dan mu‟amalah yang terjadi padanya akan mengikuti „urf tersebut. Relevansi Kearifan Lokal Terhadap al-Urf Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi suatu keputusan hukum. Demikian pula adat kebiasan juga memberikan bantuan dan bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum dari Al-Quran dan Sunnah. Misalnya untuk memastikan, besarnya perbedaan antara harga pasar dengan harga aktual dalam suatu transaksi khusus, didasarkan pada praktik perdagangan dan masyarakat yang terlibat dalam transaksi serupa. Ulama Fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka dasarkan atasnya tidak sudah ada lagi. Misalnya, zaman terdahulu gandum dan jelai diukur dalam istilah Mudd dan Sha‟ (dua pengukuran kapasitas benda). Tapi, sekarang gandum dan jelai itu diukur beratnya secara umum. Jadi, perhitungan apapun, apakah untuk dagang, pembayaran ushr, sedekah, atau kafarat, semuanya dilakukan dalam bentuk satuan berat yang umum dipakai. „Urf juga memiliki peranan dalam penentuan suatu riba al-fadl. Riba al-Fadl adalah suatu kelebihan yang dihasilkan melalui kriteria syariah (yaitu pengukuran atau berat). Dalam hukum Islam klasik, jika dua pihak menukar satu mudd gandum dengan dua mudd gandum, mereka dikatakan telah melakukan Riba al-Fadl. Tapi sekarang, sejak gandum diukur dengan berat, maka Riba al-Fadl akan terjadi hanya ketika, katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg. gandum. Seperti itulah ulam fiqh menerjemahkan kriteria syariah dalam defenisi di atas berkenan dengan pengukuran kapasitas. Pada masa lalu, jual-beli hak-hak yang abstrak dan harta yang tidak berwujud dilarang oleh ulama fiqh. Namun sekarang, praktik perdagangan telah berubah. Hak-hak yang abstrak dan tidak berwujud seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain, diberlakukan sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan. Ulama Fiqh modern telah menetapkan bahwa hak-hak ini dapat dijual dan dibeli seperti harta berwujud lainnya. 30
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqh (Kuwait : Dar al-qalam, 1978), 89
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
79
Setelah mengkaji secara cermat terhadap dasar-dasar penggunaan al-Urf sebagai salah satu landasan penentuan hukum dalam Islam, juga setelah memperhatikan bagaimana contoh dan kriteria dari suatu tradisi atau adat yang dianggap sebagai bentuk kearifan local, selanjutnya dapat dianalisis relevansi antara keduanya. Urf yang dapat dipakai sebagai dasar penentuan hukum adalah urf shahihah. „Urf shahih merupakan kebiasaan (adat) yang dinilai baik, bijaksana, yang merupakan hasil dari serangkaian tindakan sosial yang berulang-ulang dan terus mengalami penguatan, pengakuan akal sehat dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariat. „Urf shahih secara alamiah lahir karena secara sunnatullah terdapat banyak realita dan problematika spesifik di lingkungan lokal yang tidak atau sukar dicari solusinya secara global. Para ulama pun telah bersepakat pengambilan hukum melalui proses ijtihad harus memelihara „urf shahih yang ada di masyarakat. Nilai utama yang menjadi dasar al-urf adalah kemaslahatan. Maslahah dianggap sebagai kondisi kebaikan yang sesuai dengan fitrah manusia dan ruh tujuan hukum ketentuan tuhan. Sementara itu kearifan lokal atau kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. 31 Kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena Harus tetap dicermati bahwa apa yang disebut sebagai kearifan local tersebut haruslah tetap steril dari unsure kemusyrikan, yaitu tiadanya pelanggaran terhadap ketauhidan kepada Allah. Demikian pula harus steril dari nilai penistaan terhadap ajaran Rasulullah. Dengan demikian dapat djustifikasi bahwa urf shahihah adalah identik dengan kearifan local yang bebas kemusyrikan dan penistaan terhadap ajaran rasulullah. Dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa kearifan local yang sehat dapat dinamakan sebagai urf shahihah, sehingga dapat dipertahankan dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang ekonomi. Titik temu atau kesamaan antara keduanya adalah bahwa keduanya yang sama-sama mengusung dan mengandung nilai maslahah yang merupakan intisari dari ajaran Islam. Penutup Kajian di atas mempertegas bahwa setiap aktivitas ekonomi Islam haruslah selalu berlandaskan kepada sumber-sumber hukum ekonomi Islam. Artinya dalam berijtihad terhadap suatu fenomena perekonomian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Prinsip-prinsip ini harus dijadikan sebagai aturan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat. Di antara sumber-sumber hukum ekonomi Islam adalah Al Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, Fatwa Sahabat Nabi, Qiyas, Istihsan, ‟Urf, Mashalih Mursalah, Sadd adz-dzara‟i, Istishhab dan Syar‟u man qablana. Dari sumber-sumber tersebut maka aplikasi ‟Urf telah terbukti 31
Marcus J. Pattinama, ”Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal..., 1-12 AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
80
dapat dijadikan sebagai dasar untuk mencari titik temu antara aktivitas ekonomi yang merupakan kearifan lokal dengan praktek ekonomi yang bersendikan Islam. Kearifan lokal dan ‟urf shahih terbukti mempunyai titik temu yang sangat jelas, karena kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat (local) dan perilaku yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Demikian pula ‟urf, yaitu, segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Dengan demikian al-Urf untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai justifikasi, ataupun standar penentuan, bahwa secara umum suatu kearifan lokal bidang ekonomi telah relevan dengan hukum dan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Perkembangan umat Islam yang begitu dinamis dan dialektis hanya akan dapat terwujud jika toleransi ekonomi Islam terhadap kearifan lokal dapat terus dijaga dan diupayakan sehingga tercipta sinergi di antara keduanya. Bahkan setelah memperhatikan perspektif ini, arah paradigma yang berlaku bisa dilakukan sebaliknya, yaitu bagaimana kearifan lokal masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi terhadap pengembangan aktifitas ekonomi syariah di Indonesia. Daftar Rujukan A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Jakarta: Kencana, 2007. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Kencana. Cet. IV, 2011 Abdon Nababan, Menemukan Jalan Baru Kemandirian Ekonomi Indonesia, dalam makalah untuk pengantar diskusi terbatas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Jakarta, 2009. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Intermasa, 1997. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana. Cet. 6, 2001. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII, 2002 Agustinus Dawarja, Sistem Ekonomi Adat Manggarai Nusantara, dikutip dari http://rayhanasadira.blogspot.com/2009/06/sistem-ekonomi-adat-manggarainusantara.html Ahmad bin Muhammad al-Zarqa. Syarh al-Qawa‟id al-Fiqhiyah. Beirut: al-Qalam.1988. Ahmad Zaki Yamani. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House. 1388.H. Ali Haidar, Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam. Beirut: Maktabah al-Nahdhah. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa‟id Fiqh. Kudus: Menara Kudus. Burhanudin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, h. 263. Lihat pula Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul FIqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.129-130 E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. diakses tgl 20 Januari 2014 Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al‟Arabi. http://miqbalirfany.wordpress.com/2013/04/25/ekonomi-syariah-dan-kearifan-lokal http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-129.html http://www.facebook.com/groups/millennial/doc/326812007400401.diakses tanggal 2 Februari 2014.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
81
Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.). Bandung: Pustaka. I Ketut Gobyah,Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www. balipos.co.id, diakses pada 17/1/2014 Ibnu Nujaim, Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim. 1985. al-Asybah wa al-Naqza‟ir. Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah. Imam Musbikin, Qawa‟id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 Jalaluddin Abdurrahman, Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Mazdhab Syafi‟i, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986 Ketut Gobyah dalam, Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/12/2013, Marcus J. Pattinama, ”Pengentasan Kemiskinan Dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat)” dalam MAKARA Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009. Markus Willy P., M.Dikkie Darsyah, dan Mieke Ch, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia Inggris, Surabaya: Arloka, 1966 Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Ciputat: Logos Publishing House, 1996 Muhammad Rawas Qal‟aji, Mu‟jam Lughat al-fuqaha, Beirut: Darun Nafs 1985. Musthafa Ahmad Az-Zarqa‟, Al-Madkhal al-Fiqh al-Am, Juz II, Damaskus : Mathba‟ah Thorbin, 1968 Pengembangan Keilmuan Baru Ekonomi Islam, dalam Sharing, Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah, Edisi 43 Tahun IV Juli 2010, Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010 Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul FIqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.129-130 S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id Sartini, “Menggali…”, hlm. 112. Lihat juga ”Penjelasan Tentang „Urf” dalam Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 Sartini, Menggali Kearifan Lokal, dalam Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37 No. 2. Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet. Ke-3 Soerjani, M. Krisis Kearifan Kita. Dalam Kompas, Kamis 20 Oktober 2005 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Surabaya, Karya Agung, 2006 Wahbab Zuhaili, Idarat al-Waqaf al-Khairi, (Pengurusan wakaf Kebajikan), Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998. Wahbah al- Zuhaili, Ushul al-Fiqh Wa Madaris al-Bahs Fih, Suriah: Dar Maktabi, 2000
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014