KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS
MUSLIMIN S
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Muslimin S NIM A351120021
RINGKASAN MUSLIMIN S. Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus. Dibimbing oleh NINA MARYANA dan SWASTIKO PRIYAMBODO. Tikus berperan penting sebagai hama di lingkungan pertanian sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis, demikian juga pada kesehatan manusia dan hewan di perkotaan. Pada tubuh tikus terdapat arthropoda yang dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit yang hidup pada tubuh tikus mempunyai hubungan yang erat dengan inangnya. Ektoparasit menyukai inang tertentu, inang pilihan, atau inang kesukaan. Pada tubuh tikus ditemukan berbagai jenis ektoparasit yaitu kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Seringkali ektoparasit tersebut ditemukan pada waktu yang bersamaan dan dikenal sebagai poliparasit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keanekaragaman ektoparasit pada berbagai spesies tikus dan habitatnya. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baru tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang, baik untuk pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Penangkapan tikus dilakukan pada habitat rumah, kebun, sawah, dan got (saluran air). Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup tikus dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Tikus yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi tikus. Ektoparasit diambil dari tubuh tikus yang tertangkap dan dijadikan sebagai sampel, kemudian dilakukan identifikasi terhadap ektoparasit. Keanekaragaman ektoparasit dianalisis dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver. Analisis kesamaan dilakukan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antara tikus dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus. Analisis dilanjutkan dengan uji-t (α = 0.05). Sebanyak 87 ekor tikus tertangkap selama penelitian di empat habitat tikus yang berbeda. Jenis tikus diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Sebanyak 2 548 individu ektoparasit yang ditemukan pada tubuh tikus terdiri dari lima spesies ektoparasit yaitu, Hoplopluera pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae). H. pacifica dan P. spinulosa ditemukan lebih banyak dari pada ektoparasit lainnya. Pada tubuh tikus yang ditangkap, H. pacifica ditemukan sebanyak 1 383 individu (1 001 jantan dan 382 betina), P. spinulosa sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina). H. pacifica mempunyai ciri-ciri antara lain berukuran sedang sampai besar dengan bentuk tubuh agak membulat. Lempeng paratergal (paratergal plate)
membesar dan pada bagian posterior melebar atau masing-masing sisi memiliki cuping. Lempeng sternal (sternal plate) pada abdomen ruas ke-3 memanjang sampai pada lempeng paratergal dan memiliki dua pasang seta yang kokoh pada lempeng sternal. Bentuk lempeng sternal pada toraks meruncing pada bagian posterior. P. spinulosa mempunyai ciri-ciri tubuh berukuran kecil sampai sedang dan berbentuk langsing. Tiap sisi dari lempeng sternal pada abdomen tidak pernah mencapai sisi dari lempeng paratergal dan tidak terdapat seta yang kokoh pada lempeng sternal. Lempeng sternal toraks berbentuk pentagonal. Ciri-ciri yang dimiliki X. cheopis antara lain yaitu tidak memiliki pronotal combs dan genal combs. Setiap ruas abdomen memiliki satu baris seta. Ketiga ruas toraks mempunyai panjang yang sama dengan abdomen ruas pertama. Terdapat seta (ocular bristle) yang kokoh dekat mata. L. nuttalli mempunyai ciri-ciri antara lain ukuran tubuh sedang berbentuk oval. Lempeng anal terpisah dari lempeng genito-ventral, sisi bagian anterior lurus dengan anterior lateral. L. echidninus memiliki ciri-ciri antara lain tubuh berukuran besar hingga mencapai 2 mm pada tungau betina. Lempeng anal berhubungan dengan lempeng genito-ventral. Lempeng anal membulat pada bagian depan dan mencapai bagian cekungan dari lempeng genito-ventral. Prevalensi rata-rata infestasi semua spesies ektoparasit pada tubuh tikus sebesar 76.75%. Pravalensi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebesar 88.9%, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada ketiga spesies tikus lainnya. Tingkat persentase prevalensi ektoparasit pada masing-masing tikus relatif tinggi. Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit relatif tinggi pada tikus betina dari spesies R. rattus diardii yaitu 0.525. Berdasarkan hasil uji-t pada taraf 5% semua indeks keanekaragaman pada empat spesies tikus tidak berbeda secara nyata. Kata kunci: Hoplopleura pacifica, Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Rattus, Xenopsylla cheopis
SUMMARY MUSLIMIN S. The Diversity of Ectoparasites on Some Species of Rats. Supervised by NINA MARYANA and SWASTIKO PRIYAMBODO. The rats are pests in agricultural environment which cause economic losses and harm for human and animal health in urban areas. The rats were parasitized by ectoparasitic arthropods which have a close relationship with rats as their specific host. Various types of ectoparasites (polyparasites) such as lice, mites, fleas, and ticks, are frequently found in the rat's body at the same time. The aim of this research was to observe the diversity of ectoparasites on different species of rats on their habitats. The research will be useful as new information about the specifications of the host and the tolerance of ectoparasites on the host's environmentfor controlling ectoparasites as borne diseases or pests. This research will also be used by the further scientific researcher as a reference. The rats were captured in four habitats such as house, garden, rice field, and water sewage by using live traps with bait of dried fish, chicken bones, and sweet potato. The rats were put into a labeled plastic bag, then taken to laboratory to be identified. The ectoparasite sampels were collected from the bodies of rats that were caughtand identified. The ectoparasite diversity index was analyzed by using existing diversity formula from Shannon-Weaver. The similarity analysis was conducted to know the difference or similarity of various composition of ectoparasites by comparing quantity and diversity of ectoparasites on each group of rats using t-test (α = 5%). There were 87 rats caught from all the habitats (house, garden, rice field, and sewage water). The four rat species trapped from four habitats were Rattus rattus diardii, R. tiomanicus, R. argentiventer, and R. norvegicus. The total number of 2 548 ectoparasites were collected from the rats of Hoplopluera pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst and L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae). H. pacifica were collected as many as 1.383 consist of 1 001 males and 382 females), P. spinulosa species were 685 (155 male and 530 female), L. echidninus were 290 (91 male and 199 female), L. nuttalli were 174 (61 male and 113 female), and X. cheopis were 16 (9 male and 7 female). H. pacifica was in medium to large size and rounded. Posterior margins of paratergal plates were broad or with pointed lobe on each side. First sternite of the third abdominal segment was extended laterally with its corresponding paratergal plate, this sternite bearing two groups of two or three stout setae. Sternal plate of thorax was usually pointed posterior. P. spinulosa was slim small to medium size. First sternite of the third abdominal segment was never articulating with paratergal plate. Sternal plate of thorax was usually pointed posterior or truncate, which were always associated with a huge enlargement of the first antennal segment. The third to fifth paratergal plates were only dorsal apical angle produced into a point.
X. cheopis with out pronotal and genal combs. Front margin of head rounded. Ocular bristle in front of eye present. Three thoracic tergites together was longer than first abdominal tergite. L. nuttalli was medium size in average of 0.5-1 mm length, oval, separated anal plate from genito-ventral plate, and straight anterior margin almost with definite anterior-lateral corners. The characteristics of L. echidninus were large size in average of 1-2 mm length, oval, anal plate being contiguous with the genito-ventral plate, anterior margin rounded and fittet into a strong concavity in genito-ventral plate. The average prevalence of ectoparasite species of the rats captured revealed that species of R. norvegicus were predominant (88.9%) followed by R. rattus diardii (88.75%), R. argentiventer (83.35%), and R. tiomanicus (46%). Diversity index of ectoparasites on the bodies of R. rattus diardii was predominant (0.525). Statistical analysis with t-tests (α = 5%) of all index diversity between male and female rodents infested with ectoparasites was not significantly different. Keywords: Hoplopleura pacifica, Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Rattus, Xenopsylla cheopis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS
MUSLIMIN S
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Susi Soviana, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. Tesis ini adalah laporan hasil penelitian dengan judul “Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Ir Nina Maryana, MSi sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sepe Nada dan Ibunda Datti dan saudara-saudaraku yang kucintai disampaikan terima kasih yang dalam karena berkat doa dan dukungan merekalah penulis dapat melaksanakan penulisan tesis. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman dari Program Studi Entomologi 2012, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis, mulai dari pendanaan sampai kepada pelaksanaan penelitian dan selesainya studi magister penulis. Kepada Bapak Muh. Mansyur dan Bapak Tedi, terima kasih atas semua bantuan dan fasilitas pelaksanaan penelitian. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan dunia pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Saran dan kritik sangat diharapkan dalam perbaikan tesis ini.
Bogor, Januari 2015 Muslimin S
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
vi vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis
1 1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ektoparasit dengan Tikus Spesies Tikus Jenis Ektoparasit pada Tikus
3 3 3 5
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Analisis Data
10 10 10 11 14
HASIL DAN PEMBAHASAN Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Habitat Tikus Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Spesies Tikus Karakter Spesies Ektoparasit Indeks Keanekaragaman Spesies Ektoparasit pada Tubuh Tikus
15 15 16 17 18 20 22 33
SIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
36
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit pada empat habitat penangkapan Jumlah individu masing-masing spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan habitat tempat penangkapan dan jenis kelamin tikus Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan spesies dan jenis kelamin tikus Perbandingan spesies H. pacifica dan P. spinulosa dari hasil penelitian Perbandingan spesies tungau L. nuttalli dan L. echidninus dari hasil penelitian Indeks keanekaragaman ektoparasit pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus
15 18 19 21 26 32 33
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Morfologi Hoplopleura pacifica Morfologi Polyplax spinulosa Morfologi Xenopsylla cheopis Morfologi Laelaps echidninus Morfologi Ixodes sp. Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga Perangkap hidup tikus Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus Hoplopleura pacifica Polyplax spinulosa Xenopsylla cheopis Alat reproduksi Xenopsylla spp. Laelaps nuttalli Laelaps echidninus
6 6 7 8 9 10 11 17 23 25 27 28 29 31
PENDAHULUAN Latar Belakang Tikus berperan penting sebagai hama di lingkungan pertanian dan perkotaan yang menyebabkan kerugian secara ekonomis. Tikus tersebut beserta ektoparasitnya juga berperan dalam kesehatan manusia dan hewan (Walsh et al. 1993; Mayer et al. 1995; Singleton et al. 2003). Arthropoda ektoparasit pada hewan pengerat merupakan vektor penting dari mikroorganisme patogen dan parasit zoonosis seperti leptospirosis yang dapat berakibat fatal bagi manusia (Singleton et al. 2003), sehingga selalu menjadi perhatian kalangan peneliti secara luas. Hasil-hasil penelitian telah banyak dilaporkan dari kawasan tropik misalnya dari Thailand oleh Johnson (1959), India oleh Mitchell (1966), Malaysia oleh Lim (1970), dan Myanmar oleh King (1980). Di Indonesia penelitian pada ektoparasit tikus telah dilakukan oleh Thompson (1938), Lim et al. (1980), Williams et al. (1980), Hartini (1985), Kadarsan et al. (1986), dan Ristiyanto et al. (2004). Ektoparasit pada hewan pengerat berdasarkan tempat hidupnya terdapat di permukaan luar tubuh inang, termasuk di ruang telinga luar (Ristiyanto et al. 2004). Kelompok parasit ini juga meliputi parasit yang sifatnya tidak menetap pada tubuh inang, tetapi datang dan pergi di tubuh inang. Seperti parasit lainnya, ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan, atau inang kesukaan. Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melalui fenomena adaptasi, baik adaptasi morfologis maupun biologis yang kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis ektoparasit tersebut, kemudian diturunkan kepada keturunannya. Menurut teori heterogenitas, ektoparasit dan inang adalah dua individu yang berbeda jenis dan asal usulnya (Brotowidjoyo 1987). Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu untuk kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut hanya terdapat kelompok ektoparasit yang sejenis. Paramasvaran et al. (2009), mengungkapkan bahwa ektoparasit pada hewan pengerat diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama yaitu, Phthiraptera (kutu), Siphonaptera (pinjal), Acariformes (tungau), dan Parasitiformes (caplak). Hasil penelitian Ristiyanto et al. (2004) menunjukkan bahwa kelompok tungau dan kutu menyukai dan menetap di punggung dan perut, caplak di leher, larva tungau di dalam ruang telinga dan pangkal ekor, sedangkan pinjal terdistribusi di seluruh tubuh, kecuali ekor. Menurut Brotowidjoyo (1987), bila pada satu inang misalnya tikus ditemukan berbagai jenis ektoparasit pada waktu yang bersamaan, maka hal tersebut dikenal sebagai poliparasit. Parasitisme seperti ini biasanya disebabkan oleh adanya lingkungan inang yang serasi dengan ektoparasit tersebut. Ektoparasit pada hewan pengerat secara umum memiliki hubungan yang erat dengan berbagai jenis tikus sebagai inangnya. Perpaduan kuantitas dan kelimpahan relatif ektoparasit pada berbagai jenis tikus merupakan suatu indikator keanekaragaman jenis ektoparasit yang dapat menggambarkan spesifikasi inang terhadap jenis-jenis ektoparasit dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inangnya. Informasi tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang sangat berguna, baik untuk pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Namun penelitian keanekaragaman ektoparasit pada beberapa
2 spesies tikus dan habitatnya di wilayah Indonesia masih sangat jarang. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk mengungkap data tentang keanekaragaman ektoparasit pada berbagai spesies tikus di habitat yang berbeda. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keanekaragaman ektoparasit pada beberapa spesies tikus dari berbagai habitat. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baru tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang. Selanjutnya dapat digunakan dalam pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Jenis tikus dan habitatnya juga berpengaruh pada kelimpahan keanekaragaman spesies ektoparasit. Pengetahuan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya mengelola habitat atau lingkungan untuk mengurangi populasi tikus dan ektoparasitnya. Hipotesis Hipotesis yang diajukan adalah ditemukan keanekaragaman ektoparasit pada tubuh tikus yang berbeda berdasarkan spesies tikus dan habitatnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ektoparasit dengan Tikus Interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Interaksi bisa dikelompokkan berdasarkan untung dan rugi antara spesies-spesies yang berinteraksi (Diba 2009). Prawasti (2011) mengungkapkan bahwa salah satu cara mengkategorikan keragaman interaksi antar individu adalah dengan mengamati pengaruh suatu individu terhadap kehidupan individu lain. Pada kasus parasitisme, suatu individu parasit diuntungkan oleh interaksi yang terjadi dan individu yang lain (inang) dirugikan. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup, parasit tidak membunuh inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan bahwa parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan serta perlindungan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran ektoparasit pada tubuh tikus dipengaruhi oleh lingkungan meliputi habitat dan lingkungan tikus serta kesediaan makanan yang cukup bagi tikus untuk menunjang kehidupan ektoparasit. Newey et al. (2005) menyatakan bahwa inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada inangnya saja. Parasit selain mengganggu kehidupan inang, juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi inang. Tikus merupakan inang yang cocok bagi beberapa spesies ektoparasit seperti kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Tikus dapat terinfestasi oleh ektoparasit karena adanya interaksi fisik inang; interaksi dapat berupa kontak seksual, perkelahian atau karena hidup bersama dalam satu sarang (Rivera et al. 2003 dalam Prawasti 2011). Brown et al. (1995) melaporkan bahwa aktivitas seksual menaikkan resiko inang tertular ektoparasit. Kadarsan et al. (1986) mengemukakan bahwa kelompok kutu menetap pada bagian tubuh tertentu seperti kepala dan punggung, pinjal ditemukan dekat dengan inang, baik rambut-rambut maupun sarang inang, sedangkan tungau menyukai daerah punggung dan perut. Prevalensi merupakan persentase spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Prevalensi berhubungan dengan habitat dan penyebaran inang (Pramiati 2002). Diba (2009) mengungkapkan bahwa intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi inang. Prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi. Prevalensi infestasi tungau pada inang tidak selalu berkorelasi positif dengan intensitas infestasi (Prawasti 2011). Spesies Tikus Tikus adalah satwa liar yang sangat sering berhubungan dengan kehidupan manusia. Keberadaan tikus di muka bumi sudah jauh lebih tua daripada usia peradaban manusia. Kehidupan tikus (untuk jenis tertentu) sudah sangat tergantung pada kehidupan manusia. Dengan demikian, tikus merupakan hewan liar yang sudah sangat beradaptasi dengan kehidupan manusia. Hubungan antara tikus dengan manusia seringkali bersifat parasit, tikus mendapat keuntungan sedangkan manusia sebaliknya, atau kleptoparasitik yaitu tikus memarasit manusia dengan mencuri sumberdaya yang berharga. Tikus sering menimbulkan
4 gangguan dalam bidang pertanian, peternakan, permukiman, dan kesehatan (Priyambodo 2006). Tikus termasuk ke dalam Ordo Rodentia, Subordo Myormorpha, Famili Muridae. Famili Muridae merupakan famili yang dominan dari Ordo Rodentia. Anggota famili ini mempunyai daya reproduksi yang tinggi, pemakan segala macam makanan (omnivorus) dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang dibuat oleh manusia. Anggota Genus Rattus yang diidentifikasi di Indonesia sebanyak 32 spesies, sedangkan di Jawa hanya ditemukan 5 spesies. Jenis tikus yang sering ditemukan di habitat lingkungan manusia adalah Rattus rattus diardii, R. tiomanicus, R. argentiventer, dan R. norvegicus (Suyanto 2006). Rattus rattus diardii Temminck, 1844 R. rattus diardii memiliki tekstur rambut agak kasar, warna permukaan bawah tubuh coklat kemerahan sampai abu-abu kehitaman, permukaan atas tubuh coklat kekuningan, bentuk hidung kerucut, bentuk tubuh silindris (Priyambodo 2006; Suyanto 2006). Tikus rumah ini mempunyai bobot tubuh 60-300 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 220-460 mm, panjang kepala dan badan 100210 mm, panjang ekor 120-250 mm, kaki belakang 30-37 mm, lebar daun telinga 19-23 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 2+3 = 10 (dua pasang di bagian dada dan tiga pasang di perut) (Priyambodo 2006). Tikus ini banyak dijumpai di rumah bagian atap, kamar, dapur, gudang, dan kadang-kadang juga ditemukan di kebun sekitar rumah. R. rattus diardii mempunyai penyebaran geografi di seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit. Selain itu, spesies ini juga merupakan rodens komensial yang artinya berbagi meja, yaitu hewan yang sudah beradaptasi dengan baik pada aktivitas manusia, serta menggantungkan hidupnya (pakan dan tempat tinggal) pada kehidupan manusia (Priyambodo 2006). Rattus tiomanicus Miller, 1900 R. tiomanicus memiliki tekstur rambut agak kasar, warna permukaan bawah tubuh putih bersih, adakalanya putih kehitaman, permukaan atas tubuh coklat, hitam kekuningan, bentuk hidung kerucut, bentuk tubuh silindris, ekor seragam dan umumnya panjang, meskipun adakalanya pendek. Tikus pohon ini mempunyai bobot tubuh 55-300 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 310-450 mm, panjang kepala dan badan 130-200 mm, panjang ekor 180-250 mm, kaki belakang 32-39 mm, lebar daun telinga 20-23 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 2+3 = 10. Habitat tikus ini adalah perkebunan, hutan sekunder, semak belukar, dan pekarangan (Priyambodo 2006). Menurut Priyambodo (2006), R. tiomanicus termasuk hewan arboreal (tetumbuhan), yaitu hewan yang pandai memanjat, yang dicirikan dengan ekor yang relatif panjang, serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan permukaannya kasar. Kaki depan tikus dilengkapi dengan cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat untuk menjaga keseimbangan pada saat memanjat.
5
Rattus argentiventer Robinson & Kloss, 1916 R. argentiventer memiliki ukuran sedang, ekor pendek, warna permukaan bawah tubuh putih perak, permukaan atas tubuh campuran coklat dan kuning (Suyanto 2006; Taggart et al. 2000). Tikus sawah ini mempunyai bobot tubuh 70300 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 240-370 mm, panjang kepala dan badan 130-210 mm, panjang ekor 110-160 mm, kaki belakang 32-39 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 3+3 = 12. Menurut (Priyambodo 2006), tikus ini banyak dijumpai di pertanaman padi dan tebu pada ketinggian <1.500 m dpl. R. argentiventer termasuk hewan terestrial (tanah), yaitu hewan yang pandai menggali tanah, yang dicirikan dengan ekor yang relatif pendek terhadap kepala dan badan. Kaki jenis tikus ini memiliki tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus (Priyambodo 2006). Rattus norvegicus Berkenhout, 1769 R. norvegicus termasuk tikus berukuran besar, tekstur rambut kasar dan agak panjang, warna rambut bagian dorsal coklat hitam kelabu dan ventral coklat kelabu, warna rambut pada ekor bagian ventral lebih terang daripada bagian dorsal, rambut punggung halus, rambut di bagian posterior pendek dan halus, bentuk hidung kerucut terpotong, bentuk tubuh silindris agak membesar ke belakang dan berekor pendek (Priyambodo 2006; Suyanto 2006). Tikus got ini mempunyai bobot tubuh 150-600 g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor 310-460 mm, panjang kepala dan badan 150-250 mm, panjang ekor 160-210 mm, kaki belakang 40-47 mm, lebar daun telinga 18-24 mm, lebar sepasang gigi pengerat 3.5 mm dan mempunyai rumus puting susu 3+3 = 12. Tikus ini banyak dijumpai di seluran air/got di daerah permukiman kota dan pasar (Priyambodo 2006). R. norvegicus termasuk tikus yang menghuni selokan (got), baik selokan kecil yang berada di sekitar perumahan, maupun selokan besar yang berada di bawah tanah di daerah perkotaan. Jika jenis ini tidak ada di suatu wilayah, maka tikus rumah yang menggantikannya (Priyambodo 2006). Jenis Ektoparasit pada Tikus Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari permukaan tubuh inangnya. Ektoparasit yang dapat menginfestasi berbagai jenis tikus meliputi: 1) Kutu (lice); Polyplax spinulosa dan Hoplopleura pacifica, 2) Pinjal (flea); Xenopsylla cheopis, 3) Tungau (mite); Laelaps echidninus, 4) Caplak (tick); Ixodes sp. (Hartini 1985; Kadarsan et al. 1986). Sebagai hewan parasit, kutu, pinjal, tungau, dan caplak dapat menularkan berbagai macam organisme penyebab penyakit (Haryono et al. 2008). Hoplopleura pacifica Ewing, 1924 H. pacifica (Gambar 1) merupakan kutu dari Subordo Anoplura. Berdasarkan klasifikasinya, H. pacifica tergolong ke dalam Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Phthiraptera, Subordo Anoplura, Famili Hoplopleuridae, Genus Hoplopleura, dan Spesies H. pacifica Ewing (Ewing 1935; Voss 1966). H. pacifica pertama kali ditemukan pada Rattus exulans di
6 a b
c
Gambar 1
Morfologi Hoplopleura pacifica (ventral), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Emerson 2002).
kepulauan Hawaii. H. pacifica adalah parasit umum genus Rattus dan merupakan salah satu kutu yang paling banyak ditemukan di wilayah Asia-Pasifik seperti Laos, Malaya, Filipina, Thailand, dan Vietnam (Voss 1966). Jenis kutu ini mengalami proses metamorfosis tidak sempurna, yaitu telur-nimfa-imago. Seluruh siklus hidupnya terjadi di tubuh induk inang. Telur kutu akan menempel pada rambut-rambut inang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkannya (Haryono et al. 2008). Polyplax spinulosa Burmeister, 1839 P. spinulosa (Gambar 2) (syn. Haematopinus spinulosus Denny, 1842) adalah kutu yang termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Phthiraptera, Subordo Anoplura, Famili Polyplacidae, Genus Polyplax, Spesies P. spinulosa, dan merupakan ektoparasit pada Rattus (Pratt et al. 1966).
a b
c
Gambar 2 Morfologi Polyplax spinulosa (ventral), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Shirazi et al. 2013).
7 P. spinulosa termasuk ke dalam daftar 31 spesies dari Phthiraptera yang baru untuk daerah Eropa (alien spesies) dan dianggap penting bagi keanekaragaman hayati hewan (Kenis & Roques 2010). P. spinulosa merupakan jenis kutu pada tikus yang dapat menyebabkan iritasi, gatal-gatal, anemia, lemah, kehilangan berat badan dan bahkan kematian pada inang karena infeksi yang terlalu parah (Shirazi et al. 2013). Selain itu, kutu ini juga memiliki peran sebagai vektor dari bakteri Haemobartonell sp. Rata-rata siklus hidup kutu ini adalah 13 hari, berukuran kecil, yaitu mulai 1-10 mm, metamorfosis bertahap (paurometabola), tipe alat mulut menusuk dan mengisap (Calaby & Murray 1996; Shirazi et al. 2013). Xenopsylla cheopis Rothschild, 1903 X. cheopis (Gambar 3), secara sistematika pinjal ini termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Siphonaptera, Famili Pulicidae, Genus Xenopsylla, Spesies X. cheopis (Noble & Noble 1989). X. cheopis adalah ektoparasit dari hewan pengerat, terutama dari Genus Rattus, dan merupakan vektor untuk penyakit pes dan murine tifus. Hal ini terjadi ketika pinjal menggigit hewan pengerat yang terinfeksi dan kemudian menggigit manusia. Pinjal tikus oriental terkenal memberikan kontribusi bagi black death (Sekra et al. 2010). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan et al. 1986). Siklus hidup jenis pinjal ini mengalami metamorfosis sempurna yaitu telurlarva-pupa-imago. Larva yang baru menetas tidak memiliki tungkai. X. cheopis mempunyai bentuk tubuh pipih bilateral, berukuran 3 mm. Seluruh tubuh tertutup rambut-rambut, tipe alat mulut berupa penusuk dan pengisap. Tungkai ke-3 berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pada dua pasang tungkai lainnya sehingga memungkinkannya untuk melompat. Lompatannya sangat jauh dan tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuhnya (Haryono et al. 2008). a
Gambar 3
b
c
Morfologi Xenopsylla cheopis, (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Trivedi 2003).
8 Laelaps echidninus Berlese, 1887 L. echidninus (Gambar 4) termasuk kelompok tungau dari Ordo Acariformes, Famili Laelapidae, Genus Laelaps, dan Spesies L. echidninus (Noble & Noble 1989). Kelompok tungau ini berukuran relatif kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7 mm. L. echidninus memiliki gnathosoma terdiri dari epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruas-ruas, kelisera, kornikuli, dan hipostoma berseta yang masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya. Kelisera pada L. echidninus teradaptasi untuk menusuk, mengisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal shield/scutum. L. echidninus memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal tungkai/koksa ke-2 dan ke-3, di sebelah koksa ke-3 atau di antara kelisera. Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan ordo tungau (Haryono et al. 2008). a
b
c d
Gambar 4
Morfologi Laelaps echidninus (ventral), (a) keliseral, (b) peritreme, (c) anus, (d) seta (Abbott et al. 2004).
Ixodes sp. Latreille, 1795 Ixodes sp. (Gambar 5) termasuk kelompok Acarina dari Famili Ixodidae. Di Indonesia genus Ixodes dilaporkan hanya terdiri dari 4 spesies yaitu I. granulatus, I. spinicoxalis, I. werneri, dan I. kopsteini. Tiga spesies pertama adalah parasit pada tikus, sedangkan yang terakhir pada kelelawar (Kadarsan 1983). Caplak adalah ektoparasit pengisap darah pada hewan vertebrata. Memiliki ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh antara 2 sampai 30 mm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang berada di bawah koksa (pangkal tungkai) ke-4. Caplak juga memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma, memiliki oseli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi, dan tritosternum (Haryono et al. 2008).
9 a
b
c
Gambar 5
Morfologi Ixodes sp. (dorsal), (a) gnathosoma, (b) idiosoma, (c) tungkai (Dwibadra 2008).
10
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2013 sampai April 2014. Penangkapan tikus dilakukan di empat habitat yang berbeda, yaitu rumah, sawah, kebun, dan saluran air (got). Lokasi penangkapan tikus tersaji pada Gambar 6. Identifikasi jenis tikus dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi morfologi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor.
Gambar 6 Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga Ket: Kecamatan Sukamandi, Kabupaten Subang. Kecamatan Dramaga (Cibanteng, Situ Burung, dan Daerah sekitar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) Kabupaten Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, alkohol (50, 80, 95, dan 100%), KOH 10%, canada balsam/entelan, larutan hoyer, chloroform, ikan kering, tulang ayam, ubi jalar, kertas label, dan tikus serta ektoparasit hasil tangkapan. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkap tikus, kantung plastik, sikat, sisir, nampan putih, pinset, jarum, botol koleksi, gelas obyek, gelas penutup, mikroskop compound OLYMPUS CX21, kamera Dino-eye AM4234, dan penggaris.
11 Metode Penangkapan Tikus Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup (live trap) tikus (Gambar 7) dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Penangkapan dilakukan di habitat rumah, sawah, kebun, dan got. Perangkap hidup tikus dipasang pada sore hari pukul 15.00-17.30 WIB kemudian diambil keesokan harinya pukul 06.00-08.00 WIB. Hewan yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik ukuran 30 cm x 40 cm, kemudian diberi label (tanggal, habitat, dan kode lokasi), selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diamati.
A
B
C
Gambar 7 Perangkap hidup (live trap) tikus, A. Multiple trap untuk tikus di habitat sawah, B. Multiple trap untuk tikus di habitat rumah, dan C. Single trap untuk tikus di habitat got dan rumah.
12 Identifikasi Tikus Identifikasi terhadap tikus dilakukan dengan mengamati dan mengukur karakter kualitatif dan kuantitatif morfologi tikus. Acuan yang digunakan adalah kunci deskripsi yang dikembangkan oleh Cunningham dan Moors (1996), Priyambodo (2006), dan Suyanto (2006). Dalam pengamatan karakter kualitatif morfologi tikus, yang perlu diperhatikan adalah warna. Warna yang diamati pada tikus adalah warna rambut. Pengamatan terhadap warna dapat dibagi dua yaitu warna dorsal dan ventral. Untuk warna dorsal juga dibagi dua yaitu warna badan dan ekor, demikian juga untuk bagian ventralnya. Bentuk hidung (moncong) tikus secara umum terbagi menjadi dua yaitu kerucut terpotong yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan kerucut yang biasanya terdapat pada tikus berukuran sedang dan kecil. Bentuk badan tikus secara umum juga terbagi dua yaitu silindris membesar ke belakang yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan silindris yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran sedang dan kecil. Tekstur rambut berkolerasi dengan ukuran tubuhnya. Tikus yang berukuran besar mempunyai tekstur rambut yang kasar dan ukuran rambut yang panjang. Tikus yang berukuran kecil mempunyai tekstur rambut yang lembut/halus dan ukuran rambut pendek. Tikus berukuran sedang berada di antaranya. Dalam Pengamatan karakter kuantitatif morfologi tikus, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bobot tubuh (weight = W). Pengukuran bobot tubuh ini dilakukan pada saat tikus tidak aktif, yaitu dalam keadaan mati atau dibius. Bobot tubuh dinyatakan dalam satuan gram (g). Ukuran panjang kepala dan badan (head and body = HB). Satuan pengukuran yang digunakan adalah millimeter (mm). Pengukuran ini dilakukan pada tikus dalam keadaan terlentang, dimulai dari ujung hidung (moncong) sampai pangkal ekor yang biasanya ditandai dengan adanya lubang anus. Ukuran panjang ekor (tail = T) dimulai dari pangkal ekor (lubang anus) sampai ujung ekor, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran panjang total (total length = TL) merupakan penjumlahan dari ukuran panjang kepala dan badan ditambah panjang ekor. Ukuran lebar daun telinga (ear = E) adalah ukuran dari lubang telinga sampai ujung daun telinga yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Pengukuran panjang telapak kaki belakang (hind foot = HF) dilakukan dari tumit sampai ujung kuku yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran lebar sepasang gigi pengerat rahang atas (incicors = I) adalah ukuran lebar bagian tengah dari sepasang gigi pengerat, dinyatakan dalam satuan mm. Jumlah puting susu (mammary formula = MF) ditentukan dengan menghitung jumlah putting susu di bagian dada (pektoral) dan di bagian perut (inguinal), dinyatakan dalam satuan pasang. Pengambilan Sampel Ektoparasit Tikus yang berada di dalam kantung plastik dimatikan dengan menggunakan chloroform. Tikus yang sudah mati disikat rambut-rambut tubuhnya di atas nampan putih, lalu diperiksa telinga, hidung, dan pangkal ekornya. Ektoparasit yang terjatuh di nampan diambil dengan pinset, sedangkan ektoparasit yang menempel di telinga, hidung, dan pangkal ekor diambil dengan jarum atau pinset. Ektoparasit kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi alkohol 70% dan diberi label (kode lokasi dan nomor inang).
13 Pembuatan Preparat Ektoparasit Pembuatan preparat slide ektoparasit yang berdinding tubuh lunak seperti kutu mengacu pada Krantz (1978). Ektoparasit dipanaskan di dalam alkohol 95% selama 3 menit, kemudian bagian abdomen ditusuk. Spesimen dipanaskan di dalam KOH 10% hingga transparan, dan isi tubuh dibuang. Spesimen kemudian dicuci dengan akuades sebanyak 2 kali, direndam di dalam alkohol berturut-turut yaitu dimulai dari konsentrasi 50, 80, 95% dan selanjutnya alkohol absolut (100%) masing-masing selama 10 menit. Tahap selanjutnya mounting dengan media canada balsam atau entelan. Ektoparasit diletakkan secara hati-hati di atas gelas obyek yang sudah diberi media. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga bagian ventral menghadap ke bawah, tungkai terentang. Dengan jarum halus, ektoparasit tersebut ditekan secara perlahan-lahan sampai ke dasar kaca objek dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian preparat dikeringkan di atas elemen pengering selama 4-7 hari. Pembuatan preparat slide untuk ektoparasit yang berdinding tubuh keras seperti pinjal, mengacuh pada Bahmanyar dan Cavanaugh (1976). Spesimen direndam di dalam larutan KOH 10% selama 24 jam. Selanjutnya spesimen dipindahkan ke dalam akuades selama 5 menit, kemudian ke dalam asam asetat selama 30 menit. Pinjal yang telah terlihat transparan diambil dan diletakkan di atas kaca objek. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga terlihat bagian lateral, tungkai mengarah ke bawah dan kepala ke sebelah kiri. Spesimen kemudian ditetesi canada balsam secukupnya dan ditutup kaca penutup. Preparat kemudian dikeringkan di atas elemen pengering selama 10-14 hari. Identifikasi Ektoparasit Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop kompoun OLYMPUS CX21 dengan kamera Dino-eye AM4234 yang dihubungkan langsung dengan komputer. Identifikasi mengacu pada kunci identifikasi yang disusun oleh Ewing (1935), Jordan (1957), Baker dan Wharton (1960), Pratt et al. (1966), Voss (1966), Boror et al. (1996), dan Montasser (2006). Perhitungan dan Pengamatan Terhadap Ektoprasit dan Tikus Perhitungan dan pengamatan dilakukan untuk mengetahui: 1 Jumlah individu setiap spesies tikus yang tertangkap di setiap habitat penangkapan. 2 Jumlah tikus yang diinfestasi ektoparasit. 3 Jumlah setiap spesies ektoparasit yang mengenfestasi setiap individu tikus. 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada setiap spesies tikus berdasarkan jenis kelamin tikus. 5 Spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Perhitungan Prevalensi Ektoparasit Prevalensi atau frekuensi kejadian adalah besarnya persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit dari tikus sampel yang diperiksa. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
14
Prevalensi =
Jumlah tikus yang terserang
× 100%
Jumlah tikus yang diperiksa Analisis Data Analisis keanekaragaman ektoparasit dihitung dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver (Magnussen & Boyle 1995). Analisis kesamaan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antar tikus dilakukan dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus menggunakan uji-t (α = 0.05). ∑ Keterangan : Hᵢ : Indeks keanekaragaman S : Jumlah total jenis ektoparasit sampel Pᵢ : Jumlah individu per jenis ektoparasit per ekor spesies tikus dibagi jumlah total individu jenis ektoparasit per ekor spesies tikus sampel.
15
HASIL DAN PEMBAHASAN Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit Selama penelitian, telah ditangkap sebanyak 87 ekor tikus dari 4 habitat yang berbeda (rumah, sawah, kebun, dan got). Spesies tikus yang tertangkap diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Persentase infestasi ektoparasit dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit pada empat habitat penangkapan Jumlah tikus tertangkap Persentase terinfestasi Jenis (ekor) ektoparasit (%) Jenis tikus kelamin R S K G S K G R R. rattus Jantan 10 0 0 0 90.0 0 0 0 diardii Betina 15 1 0 0 86.7 100 0 0 R. argentiventer
Jantan Betina
0 0
5 15
0 0
0 0
0 0
80
0 0
0 0
54.5
0
27.3
0
86.7 R. tiomanicus
Jantan
0
5
11
0
0 60.0
Betina R. norvegicus
Jantan Betina
0 0 0
3 0 0
11 0 0
0 2 9
0 0 0
66.7 0 0
0 0
100 77.8
Ket. R: Rumah, S: Sawah, K: Kebun, G: Got.
R. rattus diardii yang tertangkap sebanyak 26 ekor terdiri dari 10 jantan dan 16 betina. Bobot R. rattus diardii berkisar antara 76.41 sampai 151.65 g. Tikus jantan relatif lebih banyak terinfestasi ektoparasit (90.0%) dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Tingkat persentase infestasi ektoparasit pada R. rattus diardii lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketiga spesies tikus lainnya. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa pada habitat rumah di Jawa Tengah jumlah persentase R. rattus diardii terinfestasi ektoparasit sebanyak 96.2% dengan tingkat infestasi pinjal sebanyak 63.3%. Kadarsan el at. (1986) melaporkan pola kandungan parasit pada tikus yaitu, perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit yang cara penularannya melalui kontak. R. argentiventer yang tertangkap sebanyak 20 ekor (5 jantan dan 15 betina). Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih rendah (80.0%) jika dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Bobot R. argentiventer berkisar antara 52.29 sampai 184.48 g. Persentase infestasi ektoparasit pada R. argentiventer pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan Paramasvaran et al. (2009). Paramasvaran et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat persentase infestasi tungau sebesar 22.6% dan caplak sebesar 6.45%. Persentase
16 infestasi ektoparasit pada R. argentiventer jantan maupun betina tidak terlalu berbeda, hal ini dapat terjadi karena kedua jenis kelamin tikus ini memiliki daya jelajah yang hampir sama yaitu, sarang sebagai tempat berlindung dan sawah sebagai tempat untuk mencari sumber makanan. R. tiomanicus terperangkap di dua habitat yang berbeda yaitu di habitat sawah dan kebun. Di sawah ditangkap sebanyak 8 ekor (5 jantan dan 3 betina) dengan pola infestasi berturut-turut yaitu 60.0% dan 66.7%. R. tiomanicus yang tertangkap di habitat kebun sebanyak 22 ekor (11 jantan dan 11 betina) dengan pola infestasi berurut-turut yaitu 54.5% dan 27.3% lebih rendah dibandingkan dengan tikus pohon yang tertangkap di habitat sawah. Bobot R. tiomanicus berkisar antara 72.9 sampai 202.28 g. R. tiomanicus jantan pada habitat kebun memiliki persentase infestasi ektoparasit yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit dengan cara penularan melalui kontak. Kadarsan el at. (1986) melaporkan bahwa perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Mobilitas tikus memegang peranan cukup penting dan menentukan pola infestasi parasit. R. tiomanicus diketahui mempunyai habitat yang lebih luas daripada tikus lainnya. R. norvegicus yang tertangkap sebanyak 11 ekor (2 jantan dan 9 betina). Bobot R. norvegicus berkisar antara 68.2 sampai 185.45 g. Semua jenis tikus got yang tertangkap masih tergolong pradewasa. Hal ini ditandai dari ukuran, bobot, dan morfologi tikus yang belum berkembang sempurna seperti rambut-rambut pada tubuh tikus masih jarang dan pendek, dan pada tikus betina belum muncul puting susu. Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan tikus betina (77.8%). Persentase infestasi ektoparasit pada R. norvegicus cukup tinggi, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wen-Ge et al. (2009) bahwa tingkat persentase infestasi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebanyak 71% dengan persentase infestasi spesies P. spinulosa mencapai 97.26%. Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus Prevalensi infestasi ektoparasit ditentukan pada empat spesies tikus dari empat habitat penangkapan. Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit (Gambar 8). Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit. Pada tikus jantan, prevalensi infestasi ektoparasit pada R. norvegicus paling tinggi (100%) dan terendah dijumpai pada R. tiomanicus (56.3%). Pada tikus betina, prevalensi infestasi tertinggi dijumpai pada R. rattus diardii (87.5%) dan terendah pada R. tiomanicus (35.7%). Tingkat prevalensi infestasi ektoparasit pada tikus jantan lebih tinggi diduga karena daya jelajah tikus jantan lebih luas dibandingkan dengan tikus betina, sehingga peluangnya lebih besar terinfestasi ektoparasit. Menurut Hadi et al. (1982), tikus yang mempunyai pergerakan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dalam upaya mencari makan, tempat berlindung dan bersarang
17 cenderung banyak terinfestasi beragam parasit. Tikus ini dapat terinfestasi secara alami, yaitu ektoprasit yang menempel pada tumbuhan, tanah, dan tanah berair 120 100 Prevalensi (%)
100
90
87.5 80
86.7 77.8
80 60 40
56.3 35.7
20 0 Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina R. rattus diardii R. argentiventer R. tiomanicus Gambar 8
R. norvegicus
Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tio-manicus, dan R. norvegicus
(sawah dan rawa-rawa), maupun terinfestasi parasit karena mempertahankan kehidupannya (survival), seperti persentuhan dan perkelahian. Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus Lima spesies ektoparasit yang ditemukan menginfestasi empat spesies tikus selama penelitian tergolong ke dalam tiga ordo. Kelima spesies ektoparasit tersebut adalah Hoplopleura pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera, Anoplura: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae) (Tabel 2). Ada hubungan antara jenis kelamin tikus dengan tingkat populasi spesies ektoparasit pada tubuh tikus. Hal ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009) bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok ektoparasit (kutu, pinjal, tungau, dan caplak) yang ditemukan pada tubuh tikus di empat habitat yang berbeda yaitu perkotaan, hutan, sawah, dan pesisir pantai. Jumlah individu ektoparasit yang ditemukan sebanyak 2 548. H. pacifica pada tikus jantan dan betina ditemukan sebanyak 1 001 dan 382 (1383 individu). P. spinulosa ditemukan sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina). Kadarsan et al. (1986) melaporkan ada tiga kelompok ektoparasit pada tubuh tikus yang terdiri dari Anoplura, Siphonaptera, dan Mesostigmata. Paramasvaran et al. (2009) melaporkan setidaknya ada 10 spesies ektoparasit yang bias ditemukan pada tubuh tikus yang meliputi; H. pacifica, P.
18 spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, L. echidninus, Ornithonyssus bacoti Hirst (Acariformes: Macronyssidae), Ascoschoengastia indica Hirst, Leptotrombidium Tabel 2 Jumlah individu masing-masing spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus Jumlah individu spesies ektoparasit Jenis Jenis tikus H. P. X. L. L. Sub kelamin pacifica spinulosa cheopis nuttalli echidninus Total R. rattus Jantan 922 143 4 3 67 1 139 diardii 878 Betina 224 490 5 17 142 R. argentiventer
Jantan Betina
16 140
5 32
0 0
39 54
13 41
73 267
R. tiomanicus
Jantan Betina
45 8
6 0
5 2
15 7
11 11
82 28
R. norvegicus
Jantan Betina Jantan Betina
18 10 1 001 382
1 8 155 530
0 0 9 7
4 35 61 113
0 5 91 199
23 58 1 317 1 231
Total
deliense Nagayo, dan Walchiella oudemansi Womersley (Acariformes: Trombiculidae) serta Amblyomma sp. Neumann (Acarina: Ixodidae). Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Habitat Tikus Intensitas infestasi masing-masing spesies ektoparasit (H. pacifica, P. spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, dan L. echidninus) pada tubuh tikus berdasarkan habitat penangkapan (rumah, sawah, kebun, dan got) tertera pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada perbedaan infestasi spesies ektoparasit pada habitat rumah, sawah, dan kebun jika dibandingkan dengan pola infestasi berdasarkan spesies tikus. Habitat Rumah Sebanyak 25 tikus yang tertangkap di habitat rumah hanya terdiri dari tikus rumah (R. rattus diardii). Tikus betina (15 ekor) yang tertangkap di habitat rumah lebih banyak dibandingkan dengan tikus jantan (10 ekor). H. pacifica pada tikus betina memiliki infestasi yang jauh lebih tinggi (86.7%) jika dibandingkan dengan spesies-spesies ektoparasit lainnya. Infestasi ektoparasit terendah terjadi pada L. nuttalli yaitu 13.3%. Hal ini terjadi karena seluruh aktivitas dari anggota Anoplura berada pada tubuh tikus. Empat spesies ektoparasit pada tikus rumah (P. spinulosa, X. cheopis, L. nuttalli, dan L. echidninus) memiliki pola infestasi yang lebih tinggi pada tikus jantan dengan persentase berturut-turut 60%, 40%, 30%, dan 80% jika dibandingkan pada persentase infestasi pada tikus betina masing-masing 46.7%, 20%, 13%, dan 73.3%. Hal ini terjadi karena mobilitas tikus jantan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tikus betina. Habitat Sawah
19 Pada habitat sawah, tikus yang tertangkap terdiri dari 3 jenis tikus yaitu R. argentiventer (5 ekor jantan dan 15 ekor betina), R. tiomanicus (5 ekor jantan dan Tabel 3 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan habitat tempat penangkapan dan jenis kelamin tikus (%) Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit (%) Jenis Jumlah Habitat kelamin tikus H. P. X. L. L. Pacifica spinulosa cheopis nuttalli echidninus Rumah Jantan 10 6 (60) 6 (60) 4 (40) 3 (30) 8 (80) Betina 15 13 7 (46.7) 3 (20) 2 11 (73.3) (86.7) (13.3) Sawah Jantan 10 7 (70) 5 (50) 0 (0) 5 (50) 5 (50) Betina 19 12 8 (42.1) 0 (0) 7 7 (36.8) (63.2) (36.8) Kebun Jantan 11 0 (0) 0 (0) 2 3 5 (45.5) (18.2) (27.3) Betina 11 0 (0) 0 (0) 1 (9.1) 0 (0) 3 (27.3) Got
Total
Jantan
2
Betina
9
Jantan
33
Betina
54
2 (100) 2 (22.2) 15 (45.5) 27 (50)
1 (50)
0 (0)
3 (33.3)
0 (0)
12 (36.4) 18 (33.3)
6 (18.2) 4 (7.4)
2 (100) 4 (44.4) 13 (39.4) 13 (24.1)
0 (0) 1 (11.1) 18 (54.5) 22 (40.7)
(angka di dalam kurung): persentase infestasi spesies ektoparasit dinyatakan dalam satuan %
3 betina), dan R. rattus diardii (1 ekor betina) (Tabel 1). Penangkapan berbagai jenis tikus di habitat sawah dapat terjadi karena saat penelitian tanaman padi memasuki fase generatif, sehingga habitat sawah menyediakan sumber pakan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan habitat tikus lainnya. Persentase terinfestasi ektoparasit pada tubuh tikus di habitat sawah memperlihatkan bahwa tikus jantan jauh lebih rentan terinfestasi ektoparasit dibandingkan tikus betina. H. pacifica (70%) adalah ektoparasit yang dominan ditemukan pada tikus jantan diikuti oleh P. spinilosa, L. nuttalli, dan L. echidninus yang memiliki persentase infestasi yang sama (50%). Pada tikus betina H. pacifica (63.2%) juga memperlihatkan nilai infestasi yang tinggi diikuti oleh P. spinulosa (42.1%), L. nuttalli (36.8%), dan L. echidninus (36.8%). Di habitat sawah tidak ditemukan X. cheopis baik pada tikus jantan maupun tikus betina. Menurut Hartini (1985), Fenomena ini kemungkinan terjadi karena prevalensi ektoparasit kelompok ini diduga erat berhubungan dengan habitat yang harus sesuai untuk kelangsungan hidupnya. Habitat Kebun Sebanyak 22 ekor tikus (11 jantan dan 11 betina) yang tertangkap di habitat kebun semuanya adalah R. tiomanicus. Baik H. pacifica dan P. spinulosa tidak ditemukan pada R. tiomanicus di habitat ini dan berbeda dari ketiga habitat
20 lainnya. Hal ini bisa terjadi karena anggota Anoplura merupakan ektoparasit yang umumnya diketahui melakukan aktivitas hidup pada tubuh inang yang dekat dengan aktivitas manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramasvaran et al. (2009). Dari total 51 tikus yang diperiksa, 45.1% terinfestasi oleh tungau dan 35.3% oleh caplak, akan tetapi tidak ditemukan anggota Anoplura pada tikus di habitat hutan. Penangkapan 22 ekor R. tiomanicus dilakukan di dua tempat yaitu habitat yang jauh dan dekat dengan permukiman warga. Sebanyak 13 ekor ditangkap di habitat jauh dari permukiman dan 9 ekor di dekat permukiman warga. Dari 13 ekor tikus yang diperiksa dari habitat jauh dari permukiman tidak ditemukan ektoparasit. Hal ini berbeda pada R. tiomanicus yang tertangkap dekat dengan permukiman dan yang tertangkap pada habitat sawah (Tabel 1). Survei ektoparasit pada tikus di hutan yang dilakukan oleh Chulan et al. (2005) menunjukkan bahwa beberapa spesies hewan pengerat yang diperiksa ditemukan spesies ektoparasit yang berbeda dari tungau, caplak, kutu, dan pinjal, tetapi tidak ditemukan ektoparasit dari Anoplura dan Siphonaptera. Habitat Got (Saluran Air) Hasil tangkapan tikus got (R. norvegicus) sebanyak 11 ekor tikus (2 jantan dan 9 betina). Hasil pemeriksaan kedua tikus jantan memperlihatkan bahwa ditemukan tiga spesies ektoparasit ditubuhnya yang terdiri dari H. pacifica, P. spinulosa, dan L. nuttalli dengan persentase terinfestasi berturut-turut 100%, 50%, dan 100%. Pada tikus betina, dari hasil pemeriksaan 9 ekor tikus didapatkan empat spesies ektoparasit yaitu H. pacifica, P. spunulosa, L. nuttalli, dan L. echidninus dengan masing-masing persentase terinfestasi berturut-turut 22.2%, 33.3%, 44.4%, dan 11.1%. Ektoparasit dari spesies X. cheopis tidak ditemukan sama sekali pada R. norvegicus baik pada tikus jantan maupun tikus betina. Hal ini kemungkinan terjadi karena tikus yang diperiksa (jantan maupun betina) masih berumur pra dewasa. Mobilitas tikus relatif belum maksimal dan rambut rambut pada tubuhnya belum memenuhi standar untuk tempat hidup ektoparasit ini. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa X. cheopis merupakan ektoparasit yang sifatnya kosmopolitan dan tidak terlalu terikat pada jenis-jenis tikus inang tertentu. Prevalensi X. cheopis pada tikus dewasa lebih tinggi dari pada tikus muda. Demikian juga pada tikus dewasa betina (31.7%) lebih tinggi dari pada tikus jantan (Hartini 1985). Paramasvaran et al. (2009) mengungkapkan bahwa tidak ditemukannya pinjal pada tikus sampel mungkin karena tingkat infestasi rendah atau lingkungan tidak cocok untuk kelangsungan hidup pinjal. Temuan hewan pengerat perkotaan terutama R. rattus diardii dan R. norvegicus yang terinfestasi dengan pinjal jarang dilaporkan dalam literatur. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa X. cheopis jarang ditemukan di daerah ladang pada ketinggian lebih dari 1 000 meter di atas permukaan laut. Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Spesies Tikus Intensitas infestasi spesies ektoparasit L. echidninus pada tikus jantan memiliki pola infestasi yang lebih tinggi yaitu 54.5% dibandingkan dengan intensitas infestasi spesies ektoparasit lainnya (Tabel 4). Spesies X. cheopis
21 memiliki intensitas infestasi yang jauh lebih rendah baik pada tikus jantan maupun tikus betina dibandingkan keempat spesies ektoparasit lainnya. Rendahnya intensitas infestasi X. cheopis diduga karena lingkungan habitat penangkapan tikus kurang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Selain faktor habitat tempat penangkapan tikus dan lingkungan yang kurang mendukung, juga diduga karena siklus hidup dan perilaku X. cheopis yang berbeda dengan ektoparasit lainnya. Pada fase telur, larva, dan pupa X. cheopis hidup bebas di luar tubuh inang dan setelah memasuki fase dewasa pinjal ini aktif mencari inang. Noble dan Noble (1989) menduga bahwa sebagian besar pinjal jantan mati Tabel 4 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan spesies dan jenis kelamin tikus (%) Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit (%) Jenis Jenis Jumlah tikusᵇ kelamin tikus H. P. X. L. L. pacifica spinulosa cheopis nuttalli echidninus Rr Jantan 10 6 (60) 6 (60) 4 (40) 3 (30) 8 (80) Betina 16 14 (87.5) 8 (50) 3 2 10 (62.5) (18.8) (12.5) Ra Jantan 5 4 (80) 3 (60) 0 (0) 3 (60) 3 (60) Betina 15 10 (66.7) 7 (46.7) 0 (0) 6 (40) 6 (40) Rt
Rn
Total
Jantan
16
3 (18.8)
2 (12.5)
5 (31.3) 1 (7.1)
7 (43.8)
0 (0)
2 (12.5) 1 (7.1)
Betina
14
1 (7.1)
Jantan
2
2 (100)
1 (50)
0 (0)
0 (0)
9
2 (22.2)
3 (33.3)
0 (0)
Jantan
33
15 (45.5)
12 (36.4)
Betina
54
27 (50)
18 (33.3)
2 (100) 4 (44.4) 13 (39.4) 13 (24.1)
Betina
6 (18.2) 4 (7.4)
4 (28.6)
1 (11.1) 18 (54.5) 22 (40.7)
ª (angka di dalam kurung): persentase infestasi spesies ektoparasit dinyatakan dalam satuan %. ᵇ Rr: R. rattus diardii, Ra: R. argentiventer, Rt: R. tiomanicus, Rn: R. norvegicus
segera setelah kopulasi. Perubahan musiman terhadap cuaca mempengaruhi jumlah telur yang diletakkan dan stadium larva. Kelembaban bagi larva merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kelangsungan hidupnya. Masing-masing kelompok ektoparasit menunjukkan pola infestasi yang berbedabeda. Yang menarik adalah sifat dan bentuk hubungan yang terjalin antara masing-masing kelompok ektoparasit dengan tikus. Ordo Phthiraptera H. pacifica dan P. spinulosa dari Subordo Anoplura adalah ektoparasit yang paling sering ditemukan pada tubuh tikus. Hopkins (1949 dalam Hartini 1985) menyatakan bahwa kedua jenis ektoparasit ini memiliki sifat kosmopolitan dengan penyebaran yang sangat luas di setiap inangnya. Pada penelitian ini tingkat
22 prevalensi infestasi H. pacifica dan P. spinulosa pada tikus jantan berturut-turut 45.5% dan 36.4%, sedangkan pada tikus betina berturut-turut 50% dan 33.3%. Tingkat infestasi dari kedua anggota Anoplura ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009), yaitu rata-rata tingkat infestasi Anoplura pada empat habitat penangkapan tikus sekitar 11.9% dan pada habitat hutan serta sawah tidak ditemukan Anoplura. H. pacifica dan P. spinulosa tidak ditemukan pada tubuh R. tiomanicus di habitat kebun, akan tetapi kedua spesies ini ditemukan di tubuh R. tiomanicus pada habitat sawah kecuali P. spinulosa pada tikus betina. Hartini (1985) mengungkapkan bahwa komposisi kandungan ektoparasit pada tubuh tikus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada jenis inang dan perbedaan habitat inang. Ada kemungkinan terjadi perpindahan silang ektoparasit di setiap jenis tikus.
Ordo Siphonaptera Tingkat infestasi X. cheopis pada tikus jantan (18.2%) lebih besar dibandingkan pada tikus betina (7.4%). Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009), yaitu tingkat rata-rata infestasi pinjal pada tiga spesies tikus (R. rattus diardii, R. norvegicus, dan R. exulans) di empat habitat penangkapan yang berbeda sekitar 12,4%. Ristiyanto et al. (2004) melaporkan hal yang berbeda, yaitu jumlah total X. cheopis yang berhasil diperoleh sebanyak 69 individu pada 121 ekor tikus yang tertangkap atau sekitar 57.02%. Diperolehnya X. cheopis dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan keempat jenis ektoparasit lainnya serta hanya ditemukan pada R. rattus diardii dan R. tiomanicus menjadi hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan Lim et al. (1980) bahwa X. cheopis ditemukan dengan mudah pada R. tiomanicus di tempat-tempat pada ketinggian 1 000 m di atas permukaan laut. Hadi et al. (1982) mengungkapkan bahwa X. cheopis dapat dijumpai pada berbagai jenis Rattus. Ordo Acariformes Persentase Infestasi Mesostigmata dari spesies L. nuttalli dan L. echidninus pada tikus relatif tinggi pada tikus jantan berturut-turut yaitu (39.4%) dan (54.5%) dibanding dengan tikus betina dengan infestasi masing-masing (24.1%) dan (40.7%). Hal ini diduga disebabkan tikus jantan lebih aktif mobilitasnya (pergerakannya) dibandingkan dengan tikus betina, sehingga kemungkinan adanya kontak dengan individu lain lebih besar. Hartini (1985) mengungkapkan bahwa kelompok Akarina dan Anoplura sangat bergantung pada cara pergerakan inang untuk mendapatkan induk sebagai inang baru. Karakter Spesies Ektoparasit Spesies ektoparasit yang diperoleh dari tubuh tikus memiliki beberapa karakter yang spesifik. Karakter penting lima spesies ektoparasit yang dijumpai selama pengamatan diuraikan sebagai berikut. Hoplopleura pacifica Ewing, 1924
23 H. pacifica (Gambar 9) memiliki panjang 1.2 mm dan lebar 0.5 mm, dengan antena 5 ruas. Pasangan tungkai pertama lebih kecil dibandingkan dengan pasangan tungkai ke-2 dan ke-3. Pasangan tungkai mempunyai kuku pencakar yang besar. H. pacifica memiliki lempeng paratergal pada satu ruas di abdomen, umumnya panjang, atau setidaknya setengah dari lempeng sternum. Sternit pertama pada abdomen ruas ke-3 memanjang secara lateral mencapai lempeng paratergal. Lempeng sternum pada abdomen ke-3 dengan dua pasang seta yang kokoh. Bagian tepi posterior pada lempeng paratergal ke-3 sampai ke-5 melebar atau dengan cuping tajam pada masing-masing sisi. Lempeng paratergal ke-4 dan ke-5 dengan cuping melebar pada bagian tepi posterior. Lempeng paratergal ke-4 dan ke-5 mempunyai seta lebih besar pada bagian tepi posterior. Abdomen mempunyai seta di beberapa membran antara lempeng sternal dan paratergal. Lempeng paratergal ke-2 dan ke-3 mempunyai sepasang seta yang panjangnya sampai pada ujung atau melebihi cuping masing-masing paratergal. Lempeng paratergal ke-4 sampai ke-6 mempunyai satu seta panjang mencapai cuping,
A
B
Gambar 9
C
Hoplopleura pacifica, A. Tubuh tampak ventral (betina), (a) kepala, (b) lempeng sternal, (c) spirakel, (d) lempeng paratergal. B. Kepala
24 dan toraks tampak ventral, (a) sternit pertama pada abdomen ruas pertama, (b) dua pasang seta pada sternit pertama pada abdomen ruas ke-3. C. Jantan tampak ventral, (a) seta pada membran antara lempeng sternal dan paratergal, (b) genetalia jantan. sedangkan pasangan seta lainnya berukuran kecil dan pendek. Lempeng paratergal ke-7 sampai ke-8 mempunyai sepasang seta yang memanjang. Menurut Voss (1966), baik jantan maupun betina H. pacifica memiliki karakteristik seta yang mirip pedang pada abdomen bagian ventral dan memiliki seta lateral pada abdomen bagian sternal dan sampai pada ruas ke 5-7. Betina dengan sternit ruas ke-8 berbentuk segitiga tumpul dan kurang tersklerotisasi. Gonopods pada betina dengan 3 seta. Jantan dengan sternit ruas ke-8 lebih pendek, tetapi dengan seta yang seperti pada betina. Genetalia seperti yang digambarkan (Gambar 9) dengan plat basal memiliki titik median mengarah ke posterior. H. pacifica tergolong kutu pengisap yang mengalami proses metamorfosis yang tidak sempurna (telur-nimfa-imago). Seluruh siklus hidup terjadi di tubuh inang. Telur menempel pada rambut-rambut inang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkan dewasanya. Telur biasanya menetas menjadi nimfa dalam waktu 1-3 minggu (rata-rata 12 hari). Setelah mengalami tiga kali ekdisis (pergantian kulit) nimfa berkembang menjadi dewasa dan mencapai matang seksual dalam waktu 1-3 hari. H. pacifica termasuk golongan Insekta yang mempunyai inang spesifik yaitu Rattus (Haryono et al. 2008). H. pacifica tergolong serangga ektoparasit yang biasanya ditemukan pada hewan pengerat terutama genus Rattus. Kutu ini seringkali ditemukan hanya pada daerah bagian kepala, punggung, dan kadang-kadang di badan tikus. Menurut Ristiyanto et al. (2004) dan Dwibadra (2008), kutu seringkali ditemukan hanya pada bagian tubuh tertentu dari inangnya terutama bagian punggung dan perut. Kutu mengisap cairan tubuh termasuk darah inang. Polyplax spinulosa Burmeister, 1839 Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. spinulosa (Gambar 10) mempunyai panjang tubuh 1.48 mm dan lebar 0.42 mm, berwarna kuning kecoklatan. P. spinulosa memiliki kepala dengan sepasang antena beruas 5, bagian ujung antena meruncing. P. spinulosa tidak memiliki oceli. Pada bagian toraks terdapat lempeng sternal yang berkembang dan selalu ada. Bentuk lempeng sternal meruncing pada bagian posterior. Terdapat tiga pasang tungkai dengan kuku yang berbentuk seperti capit pada bagian ujung tungkai. Tungkai pertama berukuran lebih kecil dan berbentuk silinder, masing-masing dengan kuku yang tajam. Tungkai ke-2 dan tungkai ke-3 berukuran hampir sama. Abdomen P. spinulosa berbentuk memanjang dan menyerupai kerucut. Bagian abdomen mempunyai tujuh pasang lempeng paratergal yang berukuran kecil pada setiap sisi dan tersklerotisasi dengan baik. Terdapat 5 samapi 6 spirakel pada lempeng paratergal. P. spinulosa memiliki 7-13 keping dorsal. Sternit pertama pada abdomen ruas ke3 tidak pernah mencapai lempeng paratergal. Lempeng paratergal ke-4 dengan sepasang seta yang pendek atau ukurannya sama. Lempeng paratergal ke-3 sampai ke-5 dengan satu bagian sudut apikal pada dorsal yang meruncing.
25 Durden dan Webb (1999) mengungkapkan bahwa P. spinulosa memiliki tubuh yang ramping, berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Pada bagian kepala umumnya memiliki bentuk yang ramping dan lebih sempit dibandingkan dengan toraks. Menurut Adiyati (2011), P. spinulosa memiliki tiga pasang tungkai dengan kuku yang digunakan untuk mencengkeram rambut inang. Di bagian toraks terdapat lempeng sternal yang berbentuk pentagonal. Abdomen pada dewasa berwarna kecoklatan dan memiliki 11 ruas yang ditutupi seta. P. Spinulosa betina umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan. Betina memiliki dua pasang gonopod yang berfungsi untuk memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut maupun kulit tikus. Organ genital jantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah dari abdomen. P. spinulosa termasuk Subordo Anoplura bermetamorfosis tidak sempurna, yaitu perkembangbiakan yang memiliki fase hidup telur, nimfa, dan dewasa. Fase nimfa menyerupai fase dewasa. P. spinulosa betina termasuk hewan ovipar. Kutu betina dapat bertelur sampai 300 butir selama hidupnya. Sebagian besar telurnya
A
B
C
26 Gambar 10
Polyplax spinulosa, A. Tubuh tampak ventral (betina), (a) kepala, (b) tungkai pertama, (c) lempeng sternal, (d) lempeng paratergal ke4, (e) spirakel. B. Kepala dan toraks tampak ventral, (a) sepasang seta pada toraks. C. Jantan tampak ventral, (a) ruas abdomen, (b) genetalia jantan.
diletakkan pada rambut inang. Telur-telur pada kutu memiliki operkulum yang merupakan tempat untuk keluarnya nimfa. Operkulum berbentuk kerucut dengan pori-pori di sepanjang sisinya. Pada bagian atas operkulum terdapat lubang kecil yang diselimuti oleh kutikula tipis berfungsi untuk tempat respirasi embrio yang sedang berkembang (Adiyati 2011). Pada suhu 30 °C telur menetas dalam waktu 8-9 hari dan kutu-kutu ini dapat hidup kira-kira 3 hari dalam keadaan tidak makan. P. spinulosa lebih senang hidup pada suhu 29 sampai 30 °C dan selalu menghindari setiap perubahan kelembaban (Noble & Noble 1989). Pada tahap nimfa, terdapat tiga instar dan nimfa ketiga akan berubah menjadi dewasa. Umumnya tahap ini berlangsung selama empat sampai lima belas hari, masingmasing instar selama tiga sampai delapan hari dan lama hidup dewasa mencapai 35 hari. Pada kondisi yang optimal, kutu ini dapat menghasilkan 10-12 generasi per tahun, namun jarang terjadi pada keadaan alami. Siklus hidup P. spinulosa berkisar antara 14-21 hari (Taylor et al. 2007). P. spinulosa adalah kutu pengisap dengan inang yang spesifik (host specific) yaitu R. norvegicus, R. rattus, R. pyctoris, R. nitidus, R. argentiventer, R. tanezumi, R. exulans, dan Bandicota indica. Ektoparasit ini juga kadang-kadang ditemukan pada hewan pengerat lainnya, seperti tikus rawa beras (Oryzomys palustris) di Amerika Utara. P. asiatica dan P. spinulosa, ditemukan pada tikus besar (B. indica), dan tikus rumah di Asia, R. tanezumi. P. spinulosa biasanya tidak dapat hidup jauh dari inangnya lebih dari empat jam. P. spinulosa menghabiskan seluruh hidupnya pada tubuh inangnya. Menurut Dwibadra (2008), P. spinulosa dapat berkembang dengan baik pada tubuh tikus. Baik H. pacifica maupun P. spinulosa yang ditemukan pada tubuh tikus memiliki karakter spesifik dari masing-masing spesies. Perbedaan karakter dari kedua spesies (H. pacifica dan P. spinulosa) tersebut tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan spesies H. pacifica dan P. spinulosa dari hasil penelitian Pengamatan H. pacifica P. spinulosa Ukuran dan bentuk tubuh Sedang sampai besar dan Sedang dan ramping. agak membulat. Lempeng paratergal
III-V berukuran besar dan pada bagian tepi posterior melebar atau dengan cuping yang meluas pada masing-masing sisi.
III-V berukuran sedang dan pada bagian tepi posterior menyempit atau dengan cu-ping hanya pada salah satu sisi saja.
Lempeng sternal bagian posterior pada toraks
Meruncing.
Meruncing membentuk pentagonal.
Lempeng sternal pada abdomen ruas ke-3
Memanjang sampai pada lempeng paratergal dan
Tidak pernah sampai pada lempeng paratergal
27 terdapat dua pasang seta yang kokoh pada lempeng sternal.
dan ti-dak terdapat seta yang ko-koh pada lempeng sternal.
Xenopsylla cheopis Rothschild, 1903 Berdasarkan hasil penelitian, X. cheopis (Gambar 11) merupakan pinjal dengan panjang tubuh 2.17 mm dan lebar 0.84 mm, tidak memiliki genal combs maupun pronotal combs. Margin bagian depan pada kepala membulat. Terdapat seta pada bagian depan mata. Kepala sempit, karakteristik ini digunakan untuk membedakan X. cheopis dengan pinjal lainnya. Antena pinjal terletak di dalam antennae fossal. Antennae fossal membagi kepala menjadi bagian anterior dan posterior. Mulutnya digunakan untuk mengeluarkan air liur atau sebagian darah dari hasil cerna dan untuk menghisap darah inangnya. Toraks terdiri dari tiga ruas yang termodifikasi, tungkai panjang, tungkai belakang adalah organ utama untuk melompat. Ruas ke-3 toraks hampir sama panjang dengan ruas abdomen pertama. Taylor et al. (2007) mengungkapkan bahwa pada kepala X. cheopis terdapat ocular bristle (seta dekat mata). Menurut Noble dan Noble (1989), antena pada pinjal jantan hampir selalu lebih panjang dari pada yang betina. Tubuh pinjal
A
C
Gambar 11
B
D
Xenopsylla cheopis, A. Tubuh tampak lateral, B. Seta dekat mata (ocular bristle), C. Ruas terminal betina, spermateka, D. Ruas terminal jantan, alat penjepit.
jantan mempunyai ujung posterior seperti tombak yang mengarah ke atas, sedangkan tubuh yang betina berakhir bulat (Gambar 12).
28 X. cheopis tergolong serangga yang mengalami proses metamorfosis sempurna. Siklus hidup pinjal terdiri atas 4 tahapan (telur-larva-pupa-imago). Pinjal betina bertelur 20-28 telur/hari. Selama hidupnya seekor pinjal bisa menghasilkan telur hingga 300-1 000 butir. Telur biasanya jatuh dari tubuh tikus dan menetas menjadi larva di retakan lantai atau celah sarang. Setelah keluar dari telur, larva akan menghindar dari sinar ke daerah yang gelap sekitar rumah dan makan dari kotoran pinjal dewasa (darah kering yang dikeluarkan dari pinjal dewasa). Larva akan tumbuh, ganti kulit dua kali dan membentuk pupa di tempat mereka berkembang. Lama tahap pupa rata-rata 8 sampai 9 hari. Pupa adalah fase yang paling tahan dalam lingkungan kurang menguntungkan dan dapat terus tidak aktif sampai satu tahun. Pertumbuhan larva menjadi pupa kemudian berkembang jadi pinjal dewasa bervariasi antara 12-84 hari. Di daerah beriklim subtropis, ledakan populasi biasanya terjadi 5 sampai 6 minggu setelah cuaca mulai hangat tergantung pada kondisi cuaca (Taylor et al. 2007). Kematian larva X. cheopis akan mencapai 60-70% jika suhu sekitar 12 °C. X. cheopis imago keluar dari pupa pada saat lingkungan hangat, adanya getaran dan karbon dioksida yang menandakan adanya inang di sekitarnya. Pinjal kemudian akan meloncat ke inang dan melakukan kopulasi pada tubuh inang. Siklus hidup X.cheopis yang terpendek 3-4 minggu. Umur rata-rata pinjal sekitar
29
A
B
Gambar 12
Alat reproduksi Xenopsylla spp. A. Struktur penjepit pada pinjal jantan, B. Spermateka pada pinjal betina (Pratt et al. 1966).
6 minggu, tetapi pada kondisi tertentu dapat berumur hingga 1 tahun. Lama hidup pinjal dewasa jika tidak makan sekitar 38 hari (Taylor et al. 2007). X. cheopis adalah parasit dari hewan pengerat, terutama dari Genus Rattus. Inang tetap dari pinjal ini adalah hewan pengerat, primata dan kadang-kadang manusia. Tetapi yang paling umum, inang dari pinjal ini adalah pada tikus besar (B. indica). X. cheopis biasanya dijumpai pada daerah tropika dan subtropika karena sesuai untuk kelangsungan hidupnya. X. cheopis jarang ditemukan di daerah dingin. X. cheopis menyukai bersembunyi dicelah-celah rambut, bulu hewan, tempat berpasir, dan di celah retakan dinding. Ristiyanto et al. (2004) mengungkapkan bahwa pinjal bersifat parasit di permukaan tubuh inangnya (ektoparasit). Pinjal menyukai inang yang berambut seperti mamalia Ordo Monotremata, Marsupialia, Insektivora, Chiroptera, Edentata, Pholidota, Lagomorpha, Rodentia, Carnivora, Hyracoidea, dan Artiodactyla, tetapi jarang
30 ditemukan pada mamalia Ordo Dermoptera, Primata, Tubulidentata, Proboscidia, atau Perissodactyla. Laelaps nuttalli Hirst, 1915 L. nuttalli (Gambar 13) merupakan tungau yang berukuran kecil sampai sedang dengan panjang 0.5-1 mm dan lebar 0.6 mm. Ruas terakhir tungkai pertama tanpa cekungan (organ haller). Sistem respirasi dengan spirakel yang membuka di setiap sisi lateral sampai ujung dasar pada pasangan tungkai k-3.
A
B
Gambar 13 Laelaps nuttalli, A. Tubuh tampak ventral, (a) gnathosoma, (b) podosoma, (c) opisthosoma, (d) idiosoma. B. Bagian posterior tubuh tampak ventral, (a) peritreme, (b) spirakel, (c) lempeng genito-ventral, (d) lempeng anal.
31 Spirakel silinder berbentuk ramping seperti pipa memanjang sampai dasar lateral pasangan tungkai ke-2. Lubang anus terapit oleh tiga seta pada lempeng anal, satu di setiap sisi dan satu seta pada bagian bawah lubang anal. Lubang anal terletak di dekat tepi bagian atas dari lempeng anal. Lempeng dorsal hampir menutupi seluruh permukaan tungau. Lempeng genito-ventral meluas ke posterior sampai koksa tungkai ke-4. Pada lempeng genito-ventral terdapat empat pasang seta, lempeng anal panjang dan melebar. Lempeng anal terpisah dari lempeng genitoventral, sisi bagian anterior lurus dengan anterior lateral. Menurut Montasser (2006), L. nuttalli berukuran sedang, berbentuk oval, dan tubuh hampir ditutupi oleh pahatan dorsal perisai. Panjang tubuh 0.6027 mm dan lebar 0.3869 mm. Dorsal perisai pada bagian posterior berbentuk bulat. Dorsal perisai dengan panjang 0.546 mm dan lebar 0.3027 mm, terdiri dari 40 pasang seta, 22 pasang pada podosoma dan 18 pasang pada opisthosoma. Sebagian besar seta sederhana dan ramping dengan rusuk membujur halus. Sebagian besar seta panjang berukuran 0.05-0.06 mm, sementara seta pendek berukuran 0.02 mm. L. nuttalli tergolong tungau yang bersifat parasitik yang pada umumnya mempunyai struktur khusus misalnya tonjolan seperti cakar yang sangat besar pada pasangan tungkai pertama. Cakar pada sepasang tungkai pertama bermanfaat untuk mencengkram rambut inangnya. Prawasti (2011) mengungkapkan bahwa tempat tungau pada tubuh inang spesifik pada beberapa spesies tungau. Bentuk, struktur, dan ukuran keliseral pada gnathosoma sangat berpengaruh pada pola tempat tungau pada inang. L. nuttalli termasuk Subordo Mesostigmata dengan siklus hidup dimulai dari telur kemudian menjadi larva (bertungkai enam), nimfa (bertungkai delapan) dan akhirnya menjadi dewasa. Siklus hidup terjadi sekitar delapan sampai empat minggu (Noble & Noble 1989). L. nuttalli adalah spesies tungau dari famili Laelapidae yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di tubuh inang. Thompson (1938), melaporkan bahwa L. nuttalli dapat dijumpai secara luas pada berbagai spesies Rattus. Laelaps echidninus Berlese, 1887 L. echidninus (Gambar 14) memiliki panjang sekitar 1-2 mm dan lebar 0.84 mm. L. echidninus memiliki karakter hampir sama dengan L. nuttalli seperti pada ruas terakhir tungkai pertama, sistem respirasi, bentuk spirakel, lubang anus, dan lempeng dorsal. Perbedaan dengan L. nuttalli, L. echidninus memiliki lempeng anal berhubungan (tidak terpisah) dengan lempeng genito-ventral. Lempeng anal membulat pada bagian depan dan mencapai bagian cekungan dari lempeng genitoventral. Adiyati (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran L. echidninus bertubuh membulat, memiliki mata tunggal, tubuh berukuran 1 mm, berwarna coklat, berbentuk oval, dan terbagi menjadi dua bagian yaitu gnathosoma dan idiosoma. Gnathosoma merupakan bagian anterior yang mengandung alat mulut sedangkan idiosoma merupakan bagian posterior setelah gnathosoma. Di bagian gnathosoma terdapat sepasang pedipalpus dan kelisera. Pedipalpus terletak di lateral dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan kelisera. Kelisera pada L. echidninus berukuran kecil namun sangat kuat. Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai
32
A
B
Gambar 14 Laelaps echidninus, A. Tubuh tampak dorsal, (a) palpus, (b) kelisera, (c) seta. B. Opisthosoma tampak ventral, (a) lempeng genito-ventral, (b) seta pada lempeng genito-ventral, (c) lempeng anal, (d) seta pada lempeng anal. dorsal. Abdomen hampir ditutupi sepenuhnya dengan seta yang terlihat menyebar rata, berukuran kecil, meruncing dan terdapat keping genitalia yang berbentuk konkaf. L. echidninus dewasa memiliki empat pasang tungkai yang panjang, sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang tungkai. Stigmata terletak di bagian lateral di antara tungkai ke-3 dan ke-4. Montasser (2006) menyatakan bahwa L. echidninus betina memiliki panjang rata-rata kurang lebih 1 mm dan lebar 0.69 mm dengan bentuk yang oval hingga bulat dan berwarna merah kecoklatan. Dorsal perisai berukuran 0.885 mm dengan lebar 0.6 mm. L. echidninus memiliki 40 pasang seta, 22 pada podosoma dan 18 pasang pada opisthosoma. Terdapat seta kasar tetapi tidak terlihat begitu jelas. L. echidninus jantan memiliki rata-rata panjang sekitar 0.88 mm. Seta koksa berbentuk filiform dan semua seta tarsal lonjong runcing. Peritreme terletak lebih
33 ke depan mendekati koksa ke-2. Seluruh seta pada anal terlihat tipis dengan bentuk meruncing. L. echidninus tergolong parasit yang biasa terdapat pada hewan pengerat terutama tikus. L. echidninus termasuk ke dalam Ordo Acarariformes dan Famili Laelapidae. Foreyt (2001) menyatakan bahwa L. echidninus merupakan satu di antara jenis ektoparasit yang tersebar di wilayah tropis. Tungau ini tersebar di seluruh dunia, memiliki ukuran tubuh sedang yaitu 1 mm dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Taylor et al. (2007) melaporkan bahwa L. echidninus termasuk tungau yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di tubuh inangnya. Pada tubuh tikus spesies tungau ini biasanya ditemukan pada fase dewasa dan nimfa serta beberapa di antaranya dapat ditemukan pada fase larva. L. echidninus memiliki siklus hidup yang terdiri dari telur, larva, protonimfa, trinimfa dan dewasa. Dalam siklus hidupnya, seekor tungau betina dapat menghasilkan ratusan hingga ribuan telur. Telur-telur menetas menjadi larva dan sebagian besar berperan sebagai ektoparasit pada inangnya. L. echidninus betina merupakan tungau yang berkembang biak secara ovivar. Tungau betina akan memproduksi hexapod larva, terkadang larva tersebut parthenogenesis. Larva tungau tidak makan, namun berganti kulit (molting) sampai fase pertama dari nimfa pada 10 - 13 jam. Perubahan menjadi nimfa fase kedua berlangsung dalam kurun waktu hingga sebelas hari. Dalam kurun waktu tiga sampai sembilan hari akan berubah menjadi fase dewasa. Seluruh siklus hidup memerlukan waktu kurang lebih dua puluh hari. Tungau betina dapat hidup selama dua sampai tiga bulan jika makan, namun hanya mampu bertahan kurang lebih satu minggu tanpa adanya makanan (Taylor et al. 2007). L. echidninus umum ditemukan pada jenis tikus (Rattus). Inang alaminya adalah cotton rats dan tikus-tikus liar lainnya. Hal ini disebabkan kondisi sarang tikus yang tidak bersih maupun infestasi melalui bagian bawah sarang yang terinfestasi oleh L. echidninus. Tungau akan makan pada malam hari dengan cara melukai kulit inang kemudian menghisap darah inang tersebut melalui kulit yang telah luka. Selain menghisap darah, L. echidninus juga memakan sekresi lakrimal dan eksudat serous inangnya. Kadangkala tungau juga memakan larva mereka sendiri (Taylor et al. 2007). Baik L. nuttalli maupun L. echidninus tergolong ke dalam famili Laelapidae. Perbedaan karakter spesifik antara kedua spesies diuraikan pada (Tabel 6). Tabel 6 Perbandingan spesies tungau L. nuttalli penelitian Pengamatan L. nuttalli Ukuran dan bentuk Sedang berbentuk oval. tubuh Panjang 0.5-1 mm dan lebar 0.6 mm. Lempeng anal
Terpisah dari lempeng genito-ventral, lempeng anal pada bagian depan sejajar dengan anterior lateral.
dan L. echidninus dari hasil L. echidninus Besar berbentuk oval. Panjang 1-2 mm dan lebar 0.84 mm. Berhubungan (tidak terpisah) dengan lempeng genito-ven-tral, lempeng anal membulat pada bagian depan dan masuk ke bagian
34 cekungan dari lem-peng genito-ventral. Indeks Keanekaragaman Spesies Ektoparasit pada Tubuh Tikus Indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada tubuh masing-masing spesies tikus memperlihatkan kecenderungan yang sama kecuali pada spesies R. tiomanicus (Tabel 7). R. rattus diardii berjenis kelamin betina pada habitat rumah memiliki indeks keanekaragaman relatif lebih tinggi (0.525) jika dibandingkan dengan tikus jantan (0.275). R. rattus diardii betina yang tertangkap pada habitat sawah mempunyai nilai indeks keanekaragaman relatif lebih rendah (0.079) jika dibandingkan dengan tikus jantan dan betina yang tertangkap di habitat rumah. Indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada tubuh masing-masing spesies tikus memperlihatkan kecenderungan yang relatif sama kecuali pada spesies R. rattus diardii yang tertangkap di habitat sawah. Ristiyanto et al. (2004) melaporkan bahwa tikus R. rattus diardii betina pada habitat rumah mempunyai nilai indeks keanekaragaman relatif lebih tinggi (1.75) bila dibandingkan dengan tikus jantan (1.48). Hal tersebut juga tercermin dari penelitian ini yang memperlihatkan bahwa di habitat rumah indeks keanekaragaman tikus betina relatif lebih tinggi. Tabel 7 Indeks keanekaragaman ektoparasit pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus Indeks keanekaragaman Spesies tikus Jenis kelamin Rumah Sawah Hutan Got R. rattus diardii Jantan 0.275a Betina 0.525a 0.079a R. argentiventer Jantan 0.503a Betina 0.523a R. tiomanicus Jantan 0.341a 0.463a Betina 0.446a 0.217a R. norvegicus Jantan 0.275a Betina 0.474a ªAngka-angka dalam semua kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (Uji T, α = 0,05)
R. argentiventer memiliki indeks keanekaragaman pada tikus betina 0.523 dan jantan 0.503. Nilai kedua indeks keanekaragaman ektoparasit pada tubuh tikus R. argentiventer jantan dan betina tidak memperlihatkan selisih yang relatif berbeda. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena aktivitas kedua jenis kelamin tikus ini tidak berbeda yaitu hanya sebatas sarang dan sawah sebagai tempat sumber makanan yang cukup tersedia. R. tiomanicus pada habitat kebun memperlihatkan indeks keanekaragaman yang relatif berbeda dibandingkan ketiga spesies tikus lainnya. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terjadi pada tikus jantan (0.463) dibandingkan pada tikus betina (0.217). R. tiomanicus berjenis kelamin betina yang tertangkap pada habitat sawah memiliki indeks yang relatif lebih tinggi (0.446) jika dibandingkan dengan tikus jantan (0.341). Kadarsan et al. (1986) melaporkan bahwa rata-rata indeks parasit R. tiomanicus berjenis kelamin jantan sebesar 1.43 dan tikus betina
35 sebesar 1.00 pada periode penangkapan ke-dua. Pada penelitian ini, nilai indeks keanekaragaman pada tikus jantan di habitat kebun relatif lebih tinggi dari pada betina diduga karena aktivitas atau daya jelajah tikus jantan lebih luas dibandingkan dengan tikus betina. R. norvegicus memperlihatkan nilai indeks keanekaragaman yang relatif lebih tinggi pada tikus betina (0.474) dibandingkan dengan tikus jantan (0.275). Rata-rata indeks keanekaragaman ektoparasit pada R. norvegicus (jantan dan betina) sejalan dengan yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009). Paramasvaran et al. (2009) melaporkan bahwa indeks keanekaragaman ektoparasit pada tubuh R. norvegicus di daerah perkotaan sebesar 0.32. Hasil uji-t pada taraf 5% memperlihatkan bahwa kuantitas masing-masing spesies ektoparasit pada tubuh tikus berdasarkan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan secara nyata (p>0.05). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ristiyanto et al. (2004) yang melaporkan bahwa hasil uji Chi square pada taraf α = 0.05 terhadap indeks keanekaragaman ektoparasit pada tikus rumah (R. tanezumi) dan tikus polinesia (R. exulans) tidak berbeda secara statistik. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa penyebaran individu spesies ektoparasit pada masing-masing spesies tikus R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus yang tertangkap di empat habitat penangkapan (rumah, sawah, kebun, dan got) relatif merata. Kesamaan indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada keempat spesies tikus tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik di masingmasing habitat penangkapan tikus, terutama faktor suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang relatif sama. Noble dan Noble (1989) mengungkapkan bahwa distribusi parasit dan inangnya secara langsung atau tidak langsung sangat ditentukan oleh iklim dan cuaca.
36
SIMPULAN Ektoparasit yang menginfestasi tikus R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus adalah ektoprasit dari spesies Hoplopleura pacifica (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopdylla cheopis (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli dan Laelaps echidninus (Acariformes: Laelapidae). H. pacifica berukuran sedang sampai besar dengan bentuk tubuh agak membulat. P. spinulosa berukuran sedang dengan bentuk tubuh langsing. X. cheopis tidak memiliki pronotal dan genal combs. L. echidninus dan L. nuttalli dengan bentuk lempeng genito-ventral dan anal berbeda. Prevalensi infestasi ektoparasit pada tikus jantan tertinggi pada R. norvegicus (100%) dan terendah dijumpai pada R. tiomanicus (56.3%). Pada tikus betina, prevalensi infestasi tertinggi pada R. rattus diardii (87.5%) dan terendah pada R. tiomanicus (35.7%). Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit tertinggi terjadi pada R. rattus diardii betina yaitu 0.525. Berdasarkan hasil uji-t semua indeks keanekaragaman pada empat spesies tikus tidak berbeda secara nyata.
37
DAFTAR PUSTAKA Abbott, Smith, Serville. 2004. Laelaps echidninus Berlese. Last Updated: 11 Novenber, 2004. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 16]; 138-4294. Tersedia pada: http://www.ces.csiro.au/aicn/system/c_138.htm. Adiyati PN. 2011. Ragam ektoparasit pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bahmanyar M, Cavanaugh DC. 1976. Plague Manual. Geneva (US): World Health Organization. Baker GW, Wharton GW. 1960. An Introduction to Acarology. New York (US): The Macmillan Company. Boror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono, Penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Study of Insect. Ed ke-6. Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta (ID): Media Sarana Press. Brown SG, Kwan S, Shero S. 1995. The parasitic theory of sexual reproduction: parasitism in unisexual and bisexual geckos. Proc Soc Lond. 260:317-320. Calaby JH, Murray MD. 1996. Phthiraptera. Di dalam: Naumann ID, Carne PB, Lawrence JF, Nielsen ES, Spradbery JP, Taylor RW, Whitten MJ, Littlejohn MJ, editor. The Insects of Australia. Volume I. Australia (AU): Melbourne University Press. hlm 421-428. Chulan B, Mariana A, Ho TM, Mohd KB. 2005. Preliminary survey of ectoprasites of small mammals in Kuala Selangor Nature Park. J Trop Biomed. 22(2):243-247. Cunningham DM, Moors PJ. 1996. Guide to the Identification and Collection of New Zealand Rodents Third Edition. New Zealand (NZ): Department of Conservation Wellington. Diba DF. 2009. Prevalensi intensitas infestasi endoparasit berdasarkan hasil analisis feses kura-kura air tawar (Cuora amboinensis) di perairan Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Durden LA, Webb JP. 1999. Abrocomaphthirus hoplai, a new genus and species of sucking louse from Chile and its relevance to zoogeography. J Medic and Veter Ent. 13:447-452. Dwibadra D. 2008. Tungau, caplak, kutu, dan pinjal. Fauna Indonesia. Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI. 8(2):29-33. Emerson KC. 2002. Hoplopleura pacifica. Specimens from Emerson Entomology Museum, Stillwater Oklahoma. Urn Isid Sid Zoology qla ac uk id:862 [Internet]. [diunduh 2013 Feb 20]. Tersedia pada: http://sid.zoology.gla.ac.uk/upload/view.php/filename=860.tif&size=700&h eight=525&width=700. Ewing HE. 1935. The taxonomy of the Anoplura Genera Polyplax and Eremophthirius, including the description of new species. J Bio Societ. 48:201-210.
38 Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology 5th ed. Amerika Serikat (US): Iowa State University Press. Hadi TR, Nalim S, Wasito S, Purnomo. 1982. A survey on small mammals and their parasites in Batam Island, Riau, Indonesia. Bull Pene Kes. 10(1):2-6. Hartini S. 1985. Pola infestasi parasit Arthropod pada tikus di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur. Ber Biol. 3(3):108-110. Haryono, Suwito A, Irham M, Dewi K, Nugraha RT. 2008. Tungau, caplak, kutu, pinjal. Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor. Masyarakat Zoologi Indonesia. Fauna Indonesia. 8(2):29-33. Johnson PT. 1959. The rodent-infesting Anoplura (Sucking Lice) of Thailand, with remarks on some related species. Proc US Nat Mus. 110:569-598. Jordan K. 1957. A Classification of the Siphonaptera of South America. The Entomological Society of Washigton. Washigton (US): National Museum. Kadarsan S. 1983. Kaetotaksi larva caplak Marga Ixodes (Acarina: Ixodidae). Lembaga Biologi Nasional, LIPI, Bogor. Ber Biol. 2(1): 136-139. Kadarsan S, Purwaningsih E, Hartini S, Budiarti, Saim A. 1986. Pola kandungan parasit pada tikus-tikus di Kebun Raya Bogor. Museum Zoologicum Bogoriense, LPN-LIPI, Bogor. Ber Biol. 3(4):173-177. Kenis M, Roques A. 2010. Lice and fleas (Phthiraptera and Siphonaptera). chapter 13.4. In: Roques A et al. (Eds) Alien terrestrial arthropods of Europe. Bio Risk. 4(1): 833–849. doi: 10.3897/biorisk.4.65. King RE. 1980. The Hoplopleurid lice (Anoplura: Hoplopleuridae) of commensal small mammals in Rangoon, Burma. Health Stud Ind. 11(2):240-244. Krantz GW. 1978. A Manual of Acarology, 2nd ed. Corvalis (US): Oregon State University. Kusumamihardja S. 1988. Parasit dan parasitisme pada hewan ternak dan hewan piaraan di Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lim BL. 1970. Distribution, relative abundance, food habits and parasite patterns of giant rats (Rattus) in West Malaysia. J Mammals. 51:730-740. Lim BL, Halim S, Hadi TR, Bang YH. 1980. A study of small mammals in the Ciloto field station area, West Java, Indonesia with special reference to vectors of plaque and scrub typhus. Southeast Asean. J Trop Med Public Health. 5(2):236-340. Magnussen S, Boyle TJB. 1995. Estimating sample size for inference about the Shannon-Weaver and the Simpson indices of spesies diversity. J For Eco Manag. 78(1995):71-84. Mayer AN, Shankster A, Langton SD, Jakes G. 1995. National commensal rodent survey. Emerg Infec Dis. 4(4):529–537. Mitchell CJ. 1966. Ectoparasites from mammals in Kanha National Park, Madya Pradesh, India and their potential disease relationship. J Med Entom. 3(2):113-124. Montasser AA. 2006. The spiny rat mite Echinolaelaps echidninus (Berlese, 1887) (Dermanyssoidea: Laelapidae): redescription of the female with emphasis on its gnathosoma, sense organs, peritreme and pulvilli. J Zoolog Res. 2(1):1-13. ISSN 1811-9778. Newey S, Shawc DJ, Kirby A, Montietha P, Hudson PJ, Thirgoog SJ. 2005. Prevalence, intensity and aggregation of intestinal parasites in mountain
39 hares and their potential impact on population dynamics. Internat J Parasit. 35 (2005) 367–373. Noble ER, Noble GR. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Wardiarto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta (ID): Penerbit Gadjah Mada Universtity Press. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites. Ed ke-5. Paramasvaran S, Sani RA, Hassan L, Krishnasamy M, Jeffery J, Oothuman P Salleh I, Lim KH, Sumarni MG, Santhana RL. 2009. Ectoparasite fauna of rodents and shrews from four habitats in Kuala Lumpur and the states of Selangor and Negeri Sembilan, Malaysia and its public health significance. J Trop Biomed. 26(3):303–311. Pramiati I. 2002. Cacing ektoparasit pada kura-kura air tawar (Cuora amboinensis) di Daerah Banten [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pratt HD, Fritz RF, Stojanovich CJ. 1966. Anoplura: Pictorial key to species on domestic rats in Southern United States. Di dalam: [CDC] Communicable Disease Center, editor. Pictorial Keys Arthropods, Reptiles, Birds and Mammals of Public Health Significance. United States (US). hlm 66-91. Prawasti TS. 2011. Distribusi dan keanekaragaman tungau ektoparasit pada cicak di Indonesia [tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor. Priyambodo S. 2006. Tikus. Di dalam: Sigit SH, Hadi UK, editor. Hama Permukiman Indonesia. Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Hlm 195-258. Ristiyanto, Damar TB, Farida DH, Notosoedarmo S. 2004. Keanekaragaman ektoparasit pada tikus rumah Rattus tenezumi dan tikus polinesia Rattus exulans di daerah enzootik pes lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. J Eko Kes. 3(2):90-97. Sekra A, Irwin J, Reeve P. 2010. Urban rickettsiosis in the Waikato region of New Zealand. The New Zealand. J New Zealand med Ass. 23(1315):72-74. Shirazi S, Bahadori F, Mostafaei TS, Ronaghi H. 2013. First report of Polyplax sp. in a Persian Squirrel (Scuirus anomalus) in Tabriz, Northwest of Iran Turkiye. J Parazitol Derg. 37:299-301. Singleton GR, Hinds L, Krebs C, Spratt D. 2003. Rats, mice and people: Rodent Bio and Manag. Australian Centre for International Agricultural Research Canberra. 96(564):8-10. Suyanto A. 2006. Rodent di Jawa. Bogor (ID): Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia. Taggart D, Jim R, Cecilia M, Sally P, Raz M, George M, Henry C, William B. 2000. An Enigmatic Native Rat, Rattus sp., of the north Kimberley, W.A. Liberty Olds. Australia (AUS), School of Medical Sciences, University of Adelaide, SA 5005, Australia. Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Blackwell Publishing. United State of America. Thompson GB. 1938. An ectoparasites census of some Javanese rats. J Anim Eco. 7(2):328-332. Trivedi J. 2003. Xenopsylla cheopis. Animal diversity web. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 19]. Tersedia pada: http://eol.org/pages/704445/details.
40 Turner RW, Martoprawiro S, Padmowirjono S. 2012. Dynamics of the PLAGUE transmission cycle in Central Java (Ecology of mammalian hosts with special reference to Rattus exulans). Health Studies Indonesia. 1(3):42-73. Voss WJ. 1966. A lectotype designation for Hoplopleura pacifica Ewing (Anoplura: Hoplopleuridae) Bishop Museum, Honolulu, Hawaii. J Pacicific Insects 8(1):29-32. Walsh JF, Molyneux DH, Birley MH. 1993. Deforestation: Effects on vector borne diseases. J Parasit. 106:55-75. Wen-Ge D, Xian-Guo G, Xing-Yuan M, Ti-Jun Q, Dian W. 2009. Ectoparasite communities of Rattus norvegicus (Rodentia: Muridae) in the surrounding areas of Erhai Lake in Yunnan, China. J Ent Sinica. 52(3):290-295. Williams JE, Hudson BH, Turner RW, Saroso JS, Cavanaugh DC. 1980. Plague in Central Java, Indonesia. Bull World Health Organization. 58(3):459-460.
41
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Enrekang, Sulawesi Selatan pada Tanggal 29 Oktober 1988 sebagi putra keenam dari delapan bersaudara pasangan Bapak Sepe Nada dan Ibu Datti. Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan di SMU Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang, lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan lulus tahun 2010. Penulis bekerja sebagai staf dosen di Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendidikan pascasarjana yang ditempuh oleh penulis saat ini didukung oleh Kementrian Pendidikan melalui Beasiswa BPPS DIKTI.