KEADILAN DISTRIBUSI MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER DALAM PERSPEKTIF EKONOMI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.E.Sy)
Oleh: WAHYU HIDAYAT NIM. 207046100615
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011
KEADILAN DISTRIBUSI MENURUT ASGHAR ALI ENGINEER DALAM PERSPEKTIF EKONOMI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh: WAHYU HIDAYAT NIM. 207046100615
Di Bawah bimbingan
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. NIP. 19601171985051001
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Keadilan Distribusi Menurut Asghar Ali Engineer Dalam Perspektif Ekonomi Indonesia, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat.
Jakarta, 25 Maret 2011 Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag NIP. 196404121994031004
Sekretaris
: Moch. Syafii, SE. I
Pembimbing I : Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. NIP. 19601171985051001 Penguji I
: Prof. Dr. Masykuri Abdillah NIP. 195812221989031001
Penguji II
: Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag NIP. 196404121994031004
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, atas segala rahmat dan hidayat-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Syariah. Shalawat serta salam tercurah kepadajunjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya. Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberi bantuan baik berupa saran, sapaan moril, kritik membangun, dorongan, semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, selaku Ketua Koordinator Teknis Program (Non Reguler) yang telah membantu penulis memberikan masukan dan arahan dalam hal administrasi. 3. Kakak Mufida, SHi dan Kakak Syafi’i, SEi yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan dalam hal-hal administrasi serta memberikan masukan-
i
masukan serta saran yang membantu penulis selama mengerjakan penulisan skripsi. 4. Ibu Dr. Azizah, MA, selaku pembimbing I dan Bapak Djaka Badranaya, S.Ag.,ME, selaku pembimbing II atas segala jasanya memberikan bimbingan dengan kesabaran dan keikhlasan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Azharuddin Lathif, MA, selaku penasihat akademik yang telah membantu penulis dalam merumuskan judul skripsi. 6. Seluruh Staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunyakepada penulis. 7. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Syariah dan perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh keluarga tercinta, Ayahanda Legiman dan Ibunda Titi Alawiah yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada ananda, Kakakku Emi Yati yang telah memberikan banyak inspirasi sehingga skripsi ini dapat cepat terselesaikan dan Adikku Ricky Yacob yang selalu memberikan dukungan dan suport selama proses pengerjaan skripsi ini serta Anissa Amalia yang selalu mensuport dan mendoakan selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung. 9. Senior-senior yang saya hormati, Jeddy octora Lausu (BOS) yang selalu membantu mengerjakan tugas-tugas dan selalu memberikan petuah-petuah emas
ii
dalam setiap permasalahan, Rivaldi Pragola yang telah banyak menghibur selama berlangsungnya skripsi ini, Rahman Shidiq yang memberikan masukan-masukan berharga dalam proses penulisan skripsi, Rofi’udin dan Aray yang telah banyak memberikan saran dan masukan-masukan yang sangat berguna dalam pengerjaan skripsi ini dan senior-senior lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. 10. Tema-teman seperjuangan, Dico Adhya yang telah sama-sama berjuang dari semester 1 hingga selesainyaa skripsi ini, Arif Sholeh (Om JHON) yang telah memberikan ide-ide serta saran-saran yang brilian dalam skripsi ini, Hafidz juliansyah (Bang Jul) dan teman-teman angkatan 2007 umumnya serta temanteman di PS B 07 NR khususnya yang telah memberikan atmosfer yang positif dalam suasana belajar di dalam kelas. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penyelesaian skripsi ini, baik yang telah penulis sebut di atas
maupun yang
tidakdapat penulis sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan Allah SWT membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Amin.
Ciputat, 05 Maret 2011 M
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah .................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
5
D. Tinjauan dan Kajian Terdahulu .........................................................
6
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ..........................................
7
F. Sistematika Penulisan .......................................................................
8
LANDASAN TEORI A. Keadilan Sosial.................................................................................. 10 B. Prinsip-Prinsip Keadilan Sosial ........................................................ 12 C. Dalil-Dalil Keadilan .......................................................................... 20
BAB III
BIOGRAFI A. Riwayat Hidup .................................................................................. 29 B. Karya-Karya ...................................................................................... 34
iv
BAB IV
PEMIKIRAN DAN ANALISA A. Konsep Keadilan dalam Islam ......................................................... 36 B. Islam dan Tantangan Kemiskinan .................................................... 47 C. Relevansi Pemikiran Ali Asghar Terhadap Keindonesiaan ............. 64
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 72 B. Saran ................................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kita sedang hidup dalam suatu masyarakat industri yang fondasi dasarnya adalah ekonomi. Disini jelas, ekonomi memainkan peran yang sangat penting sehingga tidak mungkin ada kemajuan atau pembangunan tanpa mengadopsi dengan baik kebijakan-kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menelaah resep-resep Islam mengenai persoalan ini. Kita harus bisa menafsirkan dengan kreatif prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin tertentu yang telah digariskan islam berkaitan dengan problem sosial-ekonomi karena hal itu akan membantu kita menyingkirkan kesulitan-kesulitan dizaman industri ini. Akan tetapi, satu kata perhatian sangat layak dikemukakan disini. Al-qur’an, sumber prinsipil ajaran islam, merupakan kitab keagamaan yang utama, dan bukan buku ilmu fisika atau ilmu sosial. Ia memberikan garis pedoman yang luas mengenai aspek-aspek spiritual dan materiil. Ia juga memberikan kepada kita konsep tentang masyarakat. Dengan bantuan konsep tentang masyarakat dan garis pedoman kita yang luas ini kita bisa menyimpulkan petunjuk ketuhanan, jika perlu dengan menyusun dan memformulasikan.kembali beberapa konsep yang secara sah telah diterima oleh para pakar teologi pada aman-zaman sebelumnya.
1
2
Ajaran-ajaran Al-qur’an mempunyai relevansi kontekstual sekaligus transdental. Islam lahir dalam lingkungan perdagangan Mekah dan karena itu didalam konteks sosial-ekonomi ini, ia menekankan kebijakan-kebijakan perdagangan dan kemudian menempatkan posisi seorang pedagang yang jujur setelah nabi syuhada yang mati dijalan Allah. Pada saat yang sama, ia menghukum berat para pedagang dan saudagar-saudagar yang melakukan praktek tidak jujur dan berusaha memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak adil. Hal yang menarik adalah mengenai relevansi dari konsep dasar ekonomi islam tersebut terhadap berbagai perubahan kondisi sosio ekonomi masyarakat Islam saat ini termasuk perekonomian mayoritas umat muslim di Indonesia. Kondisi dimana masih terdapat kecurangan maupun eksploitasi dalam strukturnya dari masyarakat industri maupun pemerintah sebagai penentu kebijakan ekonomi nasional. Ali Ashgar Engineer sebagai salah satu pemikir sekaligus pemikir ekonomi Islam memiliki konsep tersendiri mengenai masalah kebijakan ekonomi dan keadilan distribusi. Dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, beliau menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi hendaknya melahirkan keuntungan bagi semua pihak bukan hanya orang-orang yang memiliki kuasa terhadap harta.Sehingga tidak ada lagi bentuk penyimpangan seperti penimbunan harta maupun eksploitasi. Solusi terhadap masalah ini adalah adanya keadilan distribusi.1
1
Santoso, listiyono, epistemologi kiri, (penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta), 2003.hal.297
3
Ketika dunia sedang tertidur, ia dengan mata terbuka lebar menulis buku, artikel,
kolom,
mengonsep
memorandum
tenteng
hak-hak
sipil,
atau
merancanakan langkah selanjutnya melawan pimpinan bohras. Banyak orang yang terlantar dan hidup terkatung-katung dalam ketidak pastian disebabkan meletusnya kerusuhan kota yang mengerikan yang telah menggugahnya untuk mendengar jeritan kesengsaraan keluarga-keluarga yang diserang, berbicara dengan para polisi,merekam para kesaksian para aktivis politikdan sosial,serta merinci pengalaman-pengalaman dalam mingguan politik dan eknomi Bombay. Sangat banyak figure kota dalam ulasannya tentang berbagai kerusuhan komunal pada masa pasca kemerdekaan India. Memulai sebagai seorang pembela perubahan dan perbaikan diantara kekuasaan bohras pada akhir tahun 1970-an, Asghar mempertahankan langkah hidupnya dengan menggunakan dua ruangan kecil apartemen yang diperlengkapi perabot yang sangat terbatas untuk melakukan kegiatan intelektualnya. Inisiatifinisiatif reformisnya muncul karena ia telah dianiaya dan disrang secara fisik dalam kampanye-kampanye publiknya melawan komunalisme. Banyak dari citacitanya yang masih belum terpenuhi , yaitu agenda reformasinya yang belum sepenuhnya membebaskan daerahnya dari keterkungkungngan, meskipn ia memunyai waktu dan terdorong pula oleh tindakan-tindakan yang melampaui batas yang telah dilakuka oleh imam besar Bohras. Bagi Asghar, para cendekiawan Muslim telah bersikap kurang tangap dalam merespon misinya2.
2
Santoso, listiyono, epistemologi kiri, (penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta), 2003.hal.297-298
4
Meskipun Asghar harus melintasi kerasnya hidup sebagai seorang pembela sendirian, namun ia tetap bersikukuh memutuskan dirri untuk memerangi obskurantisme, intoleransi, dan kemunafikan religius. Selama hampir dua dekade, ia bergulat dalam pergerakan. Eksistansinya betul-betul menggaggu status quo dan merupakan ancaman bagi kemapanan Muslim, politik dan agama. Keprihatinan dan kegelisahan Asghar mendorongnya untuk menggugat segala bentuk kemapanan yang menindas dan membodohi kaum yang lemah, sekalipun harus berhadapan dengan pemimpin teras spiritual. Semangat revolusioner Asghar cenderung bersifat praktis daripada teoritis. Hal itu tampak dari gugatan epistemologi-liberatifnya yang terdapat dalam hampir seluruh karyanya. Atas dasar pemaparan di atas, maka peneliti bermaksud menuangkan pemikiran dari Asghar Ali Engineer ke dalam skripsi dengan judul “KEADILAN DISTRIBUSI
MENURUT
ASGHAR
ALI
ENGINEER
DALAM
PERSPEKTIF EKONOMI INDONESIA”
B. Pembatasan dan perumusan masalah Karena masalah dalam ekonomi sangat luas cakupannya maka penulis membatasi skripsi ini hanya dalam masalah keadilan distribusi. Adapun rumusan yang akan menjadi konsentrasi pembahasan penulisan ini adalah: 1. Bagaimana pandangan Asghar mengenai penimbunan kekayaan dan eksploitasi umat dalam ekonomi?
5
2. Bagaimana Asghar melihat masalah keadilan ditribusi sebagai faktor utama untuk menghilangkan penimbunan kekayaan dan eksploitasi umat dalam ekonomi? 3. Bagaimana keadilan distribusi menurut Asghar Ali Engineer dalam perspektif ekonomi di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Setelah menyelesaikan skripsi ini, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Penelitian a. Untuk lebih memeahami konsep keadilan distribusi dalam ekonomi islam. b. Untuk mengetahui bagaimana dampak penimbunan kekayaan dan eksploitasi umat terhadap perekonomian. c. Untuk memperkaya khasanah keilmuan ekonomi Islam 2. Manfaat Penelitian Bagi peneliti: diharapkan dapat menambah dan memberikan pengetahuan tentang kesejahtraan sosial dan faktor-faktor pendukungnya. Bagi Akademisi: Semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para akademisi untuk memperkaya wawasan keilmuan mereka dan dapat berdampak positif bagi pemikran-pemikiran mereka.
6
Bagi Masyarakat: Skripsi ini dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang keadilan distribusi untuk meningkatkan kesejahteraaan masyarakat.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu 1. Pada tahun 2006 telah ditulis skripsi oleh Daniel Firman, mahasiswa jurusan muamalat EKONOMI
jurusan
perbankan
MUHAMMAD
syariah BAQIR
yang
berjudul
ASH-SADR
“PEMIKIRAN
yang
didalamnya
membahas secara rinci bagaimana seorang Muhammad Baqir Ash-Sadr melihat masalah-masalah ekonomi. 2. Pada tahun 2010 telah dituls skripsi oleh Rian Maulana, mahasiswa prodi muamalat
dengan
judul
“KONSEP
DISTRIBUSI
MENURUT
MOHAMMAD BAQIR ASH-SADR”. Pada skripsi ini membahas pemikiran seorang BaqirAsh-Sadr pada masalah ekonomi akan tetapi leih dikhususkan kepada konsep keadila distribusinya. Dengan mengacu pada dua karya ilmiah diatas, penulis memiliki perbedaan dalam kajian penulisan karya ilmiah yang dimana penulis akan membahas konsep-konsep ekonomi khususya tentang konsep keadilan distribusi dalam pandangan Asghar Ali Engineer.
7
E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang menggambarkan suatu gejala, data-data, dan informasi yang berdasarkan pada fakta yang diperoleh dari lapangan. Metode ini adalah metode kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari fenomena yang ditulis. 2. Sifat Data Data pada penelitian ini bersifat kualitatif dan historis. Data kualitatif didasarkan pada isi atau mutu suatu fakta, sedangkan data historis didasarkan pada pengalaman masa lalu sampai sekarang yang menggambarkan secara keseluruhan kebenaran kejadian atau fakta yang sampai sekarang masih diterapkan/dipakai. 3. Data (Sumber dan Teknik Pengumpulan) a. Sumber data Sebagai sumber data primer dalam penulisan ini adalah buku karangan terjemahan ”Islam and its relevance to our age” yang berkaitan dengan konsep pemikiran orsinil Asghar Ali Engineer. Sedangkan sumber data yang bersifat sekunder penulis mengambil dari buku-buku, surat kabar, majalah, karya ilmiah yang tentunya berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini
8
b. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan dengan menggunakan studi dokumenter yaitu kajian pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang ilmu pengetahuan, yang diantaranya meneliti, memahami, menganalisa data-data yang berkaitan dengan pembahasan ini 4. Pedoman Penulisan Pedoman penulisan skripsi ini menggunakan buku “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Press, 2007”.
F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini didesain secara sederhana dengan mengacu pada buku “pedoman penulisan karya ilmiah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Dan secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yaitu : BAB I
Pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kajian terdahulu, metodologi penulisan serta sistematika penulisan
BAB II
Definisi dan teori tentang keadilan, dalil-dalil tentang keadilan dan sistem ekonomi islam.
9
BAB III
Pembahasan biografi, riwayat hidup dan karya-karyanya Asghar Ali engineer.
BAB IV
Pembahasan mengenai pemikiran Asghar Ali Engineer mengenai keadilan distribusi dalam perspektif ekonomi di Indonesia dan
BAB V
Penutup, dalam bab ini, terdiri kesimpulan dan rekomendasi tentang pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Keadilan Sosial Islam adalah agama yang ajarannya sangat komprehensif (kaffah). Sebab, Islam mempunyai konsep yang mendasar dalam kehidupan manusia. Konsep itu adalah aturan tentang hubungan manusia dengan Allah (hablun minallah), hubungan manusia dengan manusia (hablun minannas), dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Islam diturunkan oleh Allah kepada Muhammad Saw. sebagai rahmat bagi semesta alam dan menjadi pendobrak ketidakadilan sosialekonomi. Ajaran-ajaran moral al-Qur’an itu merupakan bentuk reformasi sosial Islam mengenai keadilan yang pada dasarnya berusaha meningkatkan posisi dan memperkuat kondisi kaum lemah agar menjadi lebih baik. Keberpihakannya kepada kaum lemah (tertindas) sebagai perwujudan dari perjuangan menegakkan keadilan sosial ditunjukkan melalui praktek sosial Muhammad Saw. dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya keadilan ini dalam pandangan Islam dapat dilihat dari pencapaian ketaqwaan dengan menegakkan keadilan sosial.1 Guna mendapatkan gambaran yang jelas dan mempermudah pemahaman mengenai keadilan ini, terlebih dahulu akan didefinisikan sebagai berikut: Kata “adil” dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa arab. Kata ini adalah serapan dari kata „adl dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai justice, yang artinya sama 1
Al-Qur’an, 5: 8
10
11
dengan yang dimaksud oleh kata adil, dalam bahasa Indonesia. Namun, dalam AlQur’an, pengertian adil atau justice tidak selamanya menggunakan kata al-„adl, melainkan juga menggunakan sinonimnya, yaitu al qisth.2 Kata adil atau keadilan mempunyai arti yang luas. Dengan demikian, keadilan dapat dipahami secara logis dengan menengok ke dalam nilai “keadilan” yang secara universal. Misalnya bisa dilihat dari segi kehidupan sosial, politik, ekonomi atau yang lainnya. Sehingga kata adil memiliki definisi yang bervariatif. Teorisasi keadilan sosial erat kaitannya dengan gerakan-gerakan sosial yang khususnya marak selama tahun-tahun 1950-an dan 1960-an, yang mengusung berbagai agenda, sejak dari hak-hak sipil, antirasis, perdamaian, hingga emansipasi perempuan. Seiring dengan berkembangnya agenda yang diperjuangkan, istilah keadilan social pun menjadi istilah payung bagi ide-ide progresif tentang hak-hak asasi manusia, kesetaraan, pluralisme, demokrasi, dan sebagainya. Demikian pula, istilah ini bersiafat netral ideologis karena bias diklaim oleh kalangan
manapun, baik yang paling kiri, paling kanan, atau
moderat sekalipun, selama masih bertujuan melakukan perubahan social. Karena luasnya spectrum keadilan social, istilah tersebut sering diperdebatkan dan dipertarungkan oleh berbagai kelompok dan ideologi. Hal ini wajar karena sosial lahir dalam rahim masyarakat dengan ideologi, nilai-nilai dan
2
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, cet. II, 2002, hlm. 369. lebih lanjut, Dawam menyatakan bahwa katayang artinya “keadilan” („adl maupun qisth) itu mula-mula diturunkan dalam al-Qur’an, Surat al-A’rof 7:29, 159, 181. Kata adl dalam al-Qur’an disebut sebanyak 14 kali sedangkan kata qisth sebanyak 15 kali.
12
pandanganyang beragam. Di samping itu, keadilan sosial acap diadopsi dari kepentingan politik yang berbeda-beda, dan sering pula dihubungkan dengan peran Negara, pasar, dan individu. Karena itu, masing-masing masyarakat bias jadi memiliki pendekatan dan gagasan yang berbeda tentang “sebuah masyarakat yang lebih adil”. Hal demikian pula yang ditegaskan Rawls bahwa persoalan menentukan prinsip-prinsip keadilan social dipengaruhi oleh interpretasi atas situasi-situasi dimana individu dan masyarakat tersebut berada. Di samping itu, argument mengapa prinsip keadilan social tersebut yang dipilih juga menjadi poin penting dalam sebuah teori keadilan. Walaupun secara tegas memberikan ruang bagi interprestasi terhadap keadilan sosial, Rawls memberikan bahasan mendalam tentang prinsip-prinsip umum yang menurutnya bertolak dari prinsip fairness.
B. Prinsip-Prinsip Keadilan Sosial Keadilan sebagai fairness merupakan konsep yang diajukan Rawls untuk mengkritik teori kontrak sosial yang selama ini berkembang. Rawls menyatakan bahwa dalam kontrak sosial, orang dengan status sosial, kelas, dan keadaan ekonomi yang berbeda harus masuk ke dalam sebuah kontrak social tanpa pernah mengetahui bagaimana menjalankannya. Situasi inilah yang disebut Rawls sebagai tidak fair. Karena itu, menurutnya seseorang hendaknya diberi kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa yang menjadi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, dia mengetahui situasi dan
13
posisinya, apa yang harus dipilih, serta bagaimana harus meraih kehidupan yang baik sesuai dengan konsepsinya sendiri. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Dalam kaitan ini, Rawls mengajukan dua prinsip keadilan social yang harus dijamin oleh pranata-pranata social yang menurutnya menyusun struktur dasar masyarakat. Kedua prinsip ini diterapkan untuk mengatur perumusan hakhak dan kewajiban, serta distribusi keuntungan dan beban social dan ekonomi dalam masyarakat. Prisip pertama, setiap orang berhak memperoleh kebebasankebebasan dasar yang setara sebagaimana yang diperoleh orang lain. Kebebasankebebasan dasar yang setara ini mencakup kebebasan berpolitik, kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan berpikir dan kesadaran diri, kebebasan dari penindasan psikologis maupun penyiksaan fisik, serta kebebasan memiliki
14
kekayaan sendiri. Prinsip kedua, ketidaksetaraan ekonomi dan social yang terjadi dalam masyarakat harus dikelola sedemikian rupa untuk keuntungan semua, di satu sisi, dan setiap orang mendapat akses yang sama terhadap jabatan dan kedudukan dalam masyarakat di sisi lain. Strategi yang demikian ini harus ditempuh guna menghindari terjadinya ketidakadilan yang lebih besar. Dengan demikian, prinsip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orangorang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. Rawls menyadari bahwa kebebasan tidak bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh berbagai keterbatasan manusia, baik alamiah ataupun historis. Karena itu, di masyarakat terdapat sekelompok orang yang karena sebab alamiah, cacat misalnya, memiliki kebebasan yang kurang luas dibandingkan dengan mereka yang normal. Guna memperkuat prinsip kebebasan untuk semua, maka pranata-pranata sosial harus dibuat guna memberikan perhatian yang besar kepada kelompok yang kurang beruntung ini. Sementara itu, dalam proses memperkuat
15
system kebebasan ini, kelompok-kelompok yang kurang luas kebebeasannyaharus menerima keadaan kebebasan yang tidak setara tersebut. Rawls juga berpendapat bahwa demi memperoleh keuntungan yang maksimal, efisiensi dalam distribusi sosial-ekonomi seringkali didahulukan, sedangkan prinsip konpensasi terhadap kelompok kurang mampu dinomorduakan. Ini tidak boleh terjadi sebagaimana tidak dibolehkannya prinsip perbedaan dalam masyarakat mengalahkan prinsip kesempatan yang sama. Karena itu,
bila
terdapat kesekpatan yang tidak setara dilapangan, maka harus ada upaya yang sistematis
untuk
terus
meningkatkan
peluang
mereka
yang
terbatas
kesempatannya. Demikian pula dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang menunda kesenangannya dengan cara bersusah payah menabung untuk masa depan generasi yang akan datang. Prinsip keadilan sosial mengharuskan adanya upaya mengurangi beban mereka yang menanggung penderitaan menabung tersebut. Kedua prinsip diatas sama-sama penting, namun demikian prinsip kebebasan harus dijadikan semacam pengawal prinsip kedua, sehingga jangan sampai menekan pada distribusi yang merata mengorbankan prinsip-prinsip kebebasan. Karena itu Rawls merumuskan kedua prinsip tersebut dalam ungkapan lain yang disebut “maslahat utama” (the primary goods). “maslahat utama” ini mencakup kebebasan dan kesempatan (liberty and opportunity), pendapatan dan kekayaan (income n welth), dan basis sosial harga diri (sosial basis of self respect). Ketiga maslahat utama ini hendaknya didistribusikan secara adil dalam
16
masyarakat. Apabila terjadi ketidakadilan, kompensasi harus diberikan untuk keuntungan orang banyak, khususnya kelompok yang paling tidak berdaya. Dari uraian diatas dapat pula dipahami bahwa keadilan sosial merupakan sebuah proses. Keadilan yang sempurna dalam arti sama sekali tidak ada ketidakadilan memang sesuatu yang mustahil dicapai. Karenanya masyarakat yang adil adalah masyarakat yang selalu berada dalam proses menjadi lebih adil dalam distribusi kesempatan dan kekuasaan terhadap berbagai bidang : sosial, ekonomi, dan politik. Berkaitan dengan ini, penting untuk digaris bawahi bahwa kedua prinsip yang dirumuskan Rawls dimaksudkan sebagai landasan bagi institusi-institusi sosial utama dalam memainkan perannya sebagai penjamin keadilan dalam masyarakat. Para tokoh islam lainnya mengemukakan definisi yang bervariatif yang diantara lain : 1. Aristoteles; berpendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
17
2. Imam Ali r.a.; menafsirkan keadilan itu sebagai inshaf “kejujuran”. Sedangkan Ibnu Athiyyah menafsirkan keadilan dengan seluruh akidah dan syari’at
yang diwajibkan dalam menunaikan amanat,
meninggalkan
kezaliman, jujur dan memberikan hal.3 3. Ibnu Arabi; yang mengatakan bahwa keadilan antara hamba dan Rabbnya adalah mendahulukan hak Allah atas kepentingan dirinya. Mementingkan ridha Allah dari dorongan nafsunya. Serta menjauhi yang dilarang dan melakukan yang diperintahkan.4 4. Sa’id Ibnu Jubair (Theolog Faqih awal Madinah) mendefinisikan “keadilan” sebagaimana konsep keadilan dalam al-Qur’an dengan memiliki empat5 arti: a. Al-„Adl dalam penilaian dalam memutuskan perkara (al-hukm), selaras dengan perintah Allah: “…dan ketika kamu menilai (memutuskan perkara) di antara manusia, nilailah dengan adil”. (QS. 4: 61). b. Al-„Adl dalam berkata-kata, sebagaimana terkandung dalam perintah Allah: “….dan ketika kamu berbicara, adillah”. (QS. 6: 153). c. Al-„Adl dalam arti tebusan (al-fidyah), seperti dipahami dalam firman Allah: “… dan ingatlah suatu hari ketika tidak ada jiwa yang dapat menolong yang lain, dan tidak ada timbalan („adl) yang akan diterima 3
Ali Abdul Hakim Mahmud, Fikih Responsibilities Tanggungjawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 239. 4
Ali Abdul Hakim Mahmud, Fikih Responsibilities Tanggungjawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 239. 5
Abdul Aziz A. Sachedina, “The just Ruler in Shi’ite Islam”, terj. Ilyas Hasan, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi‟ah, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 202-203.
18
darinya (jiwa itu), juga tidak ada perantara yang akan bermanfaat baginya”. (QS. 2: 113). d. Al-„Adl dalam arti mempersamakan dengan Allah (al-isyrak), seperti tersirat dalam firman Allah: “… orang-orang kafir menisbahkan kesamaan-kesamaan (ya‟dilun) kepada Tuhan mereka”. (QS. 6: 1). 5. Murtadha Muthahhari; memandang bahwa kata “adil atau keadilan” digunakan dalam empat6 hal : a. Yang dimaksud dengan adil adalah keadaan sesuatu yang seimbang. Keadilan dengan pengertian “proporsional” dan “seimbang” termasuk keniscayaan yang menyimpulkan bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Dari konsekuensi ilmu-Nya yang komprehensif dan dengan kebijakan-Nya yang menyeluruh. b. Keadilan dimaknai sebagai persamaan dan meniadakan pembedaan apapun. Artinya adanya keharusan memandang setiap sesuatu dan setiap orang dengan pandangan yang sama. c. Keadilan
diartikan
sebagai
pemeliharaan
hak-hak
individu
dan
memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. d. Keadilan dimaksudkan untuk memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi dan tidak mencegah kelanjutan eksistensi untuk melakukan transformasi. Keadilan Tuhan menurut pandangan ini dimaknai sebagai suatu yang eksis
6
Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 54-58.
19
(maujud) mengambil perwujudan dan kesempurnaannya dalam kadar yang menjadi haknya dan sejalan dengan kemungkinan yang dapat dipenuhi. 6. Yusuf Qardhawi; Keadilan didefinisikan sebagai keseimbangan antar individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara suatu masyarakat dan masyarakat lainnya. 7 7. Ibnu Arabi; yang mengatakan bahwa keadilan antara hamba dan Rabbnya adalah mendahulukan hak Allah atas kepentingan dirinya. Mementingkan ridha Allah dari dorongan nafsunya. Serta menjauhi yang dilarang dan melakukan yang diperintahkan.8 8. Syafi’i Antonio; memandang keadilan dalam Islam memiliki implikasi 2 hal9 sebagai berikut : a. Keadilan Sosial; Islam menekankan bahwa umat manusia sebagai suatu keluarga. Karena itu, semua anggota keluarga mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada kemanusiaan.
7
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm.
228. 8
Ali Abdul Hakim Mahmud, Fikih Responsibilities Tanggungjawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 239. 9
hlm. 14.
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001,
20
b. b. Keadilan Ekonomi; Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa perimbangan tersebut, keadilan sosial menjadi kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat.
C. Dalil-dalil Tentang Keadilan Dasar hukum keadilan dalam Islam adalah bersumber dari Al-Qur’an maupun al-Hadits. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan keadilan, diantaranya sebagai berikut: Firman Allah dalam Surat Al-A’raf ayat 29 :
Artinya: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan (qisth).” Dan Katakanlah “Luruskan mukamu disetiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada awalnya, demikian pulalah kamu akan kembali kepada-Nya”. (QS. Al-A’raf : 29).10 Pada ayat 29 surat Al-A’raf menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah:
10
228.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm.
21
Pertama, mengkonsentrasikan perhatian dalam shalat kepada Allah dan kedua, mengikhlaskan ketaatan kepada Nya. “Meluruskan wajah kepada Allah” dalam shalat maksudnya adalah tidak menyangkutkan perhatian kepada sesuatu yang lain, yang berarti syirik. Maksud lain keadilan pada ayat di atas adalah taat secara ikhlas kepada Allah.11 Dalam penegakan hukum dan peradilan, keberadaan saksi sangat penting. Menjadi saksi karena Allah mempunyai pengertian yang luas, tidak terbatas pada lingkungan lembaga pengadilan, tapi juga lembaga-lembaga lain dalam berbagai bidang-bidang kehidupan. Kesaksian yang sebenarnya juga mencakup berbagai aktivitas perlawanan publik terhadap segala bentuk penyimpangan dan kezaliman, dengan mengungkapkan fakta yang benar melalui saluran yang tersedia.12 Penyimpangan tersebut antara lain dapat berbentuk Arogansi kekuasaan, ketidakadilan, penindasan terhadap kaum lemah (dhuafa), pengekangan terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi kulit, bangsa atau jenis kelamin, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan akan mengarah pada struktur sosio-ekonomi yang menindas.
11
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,., hlm. 370. Dawam menambahkan bahwa ketaatan yang ikhlas ini diartikannya sebagai mendasarkan diri dan berorientasi kepada Allah: berbuat sesuatu karena diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan sesuatu karena larangan allah. 12
Ali Zawawi dan Saifullah Ma’shum, Penjelasan Al-Qur‟an tentang Sosial, Ekonomi, dan Politik, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, hlm. 65-66.
22
Allah berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat 135:
Artinya: Wahai orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan fakta atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa’: 135)13 Firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 8:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 8). Dalam ayat 8 surat Al-Maidah, dinyatakan bahwa adil itu adalah suatu sifat yang dekat kepada taqwa. Adil adalah salah satu unsur taqwa, karena dalam taqwa terkandung pengertian tentang kemampuan memilih antara yang baik dan 13
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 144-145
23
buruk dengan pertimbangan-pertimbangan yang adil. Dalam kesaksian, seseorang dituntut bersikap adil menerangkan apa yang sebenarnya tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat atau kerabat. Ayat ini senafas dengan surat an-Nisa’ ayat 135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri atau kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur. Salah satu dimensi keadilan adalah keseimbangan. Dalam Surat al-Isra’ ayat 35 :
Artinya: Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang setimbang. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (bagi yang lain). (QS. al- Isra’:35).14 Keadilan dalam ayat 35 surat al-Isra’, digambarkan dengan cara orang menimbang, misalnya menimbang emas atau perak. Timbangan yang benar adalah timbangan yang ukurannya benar, yaitu seimbang antara yang di sebelah kiri dan di sebelah kanan. Karena itu, lambang keadilan adalah gambar seorang dewi yang sedang menimbang dengan menutup matanya, yang menggambarkan ketidakberpihakan kepada salah satu di antara yang dipertimbangkan. 14
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 429.
24
Artinya: Dan Syu‟aib berseru: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (QS. Hud : 85).15 Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Syu’aib a.s menjelaskan kepada kaumnya tentang hal-hal yang harus mereka lakukan dalam soal takaran dan timbangan setelah lebih dahulu melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan. Kewajiban itu ialah supaya kaumnya menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil tanpa menguranginya. Setelah Syu’aib a.s melarang kaumnya mengurangi takaran dan timbangan, kemudian ia melarang kaumnya lagi dari segala macam perbuatan yang sifatnya mengurangi hak-hak orang lain baik jenis yang ditakar dan yang ditimbang maupun yang dihitung. 16 Selanjutnya, dalam ayat 26 surat Shad, Allah menegaskan tentang bagaimana seharusnya sikap seorang penguasa :
15
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 341.
16
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 559
25
Artinya: Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (atas masalah-masalah yang timbul) diantara manusia itu dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah itu akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (QS. Shad : 26).17 Berdasarkan petunjuk Allah, seorang penguasa itu haruslah yang adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Esensi dan asas pemerintahan itu adalah keadilan. Dalam ayat itu, Al-Qur’an memakai istilah al-Haqq tentang keadilan. Yang dimaksud dengan al-Haqq itu dalam kasus pemerintahan adalah keadilan. Karena unsur utama keadilan adalah al Haqq (kebenaran).18 Adapun Hadits yang memerintahkan untuk bersikap adil, atau mendorong untuk bersikap dengan keadilan atau juga menjadikannya sebagai bagian dari sifat-sifat kaum mukminin, diantaranya adalah sebagai berikut: Imam Muslim, Nasa’i dan Ahmad meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Umar r.a., ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Orang-orang yang berbuat adil pada hari kiamat akan berdiri di mimbar-mimbar dari cahaya disisi ar-Rahman, dan kedua tangan Nya adalah kanan, yaitu mereka yang berlaku adil dalam memberi putusan hukum, dalam keluarga dan atas orang yang dipimpin.19 17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 736.
18
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur‟an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, hlm. 383 19
hlm. 187.
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut Libanon: Dar Al-Fikr, t.th,
26
Imam Nasa’i meriwayatkan dengan sanad dari Nu’man bin Basyir r.a., ia mengatakan Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Berlaku adillah di antara anak-anak kalian, Berlaku adillah di antara anak-anak kalian.20 Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Tidak ada pemimpin atas sepuluh orang kecuali pada hari kiamat nanti ia akan datang dengan tangan terikat, hingga di buka ikatan itu oleh keadilannya atau dijerumuskan oleh kecurangannya.21 Imam Nasai meriwayatkan dengan sanad dari jabir ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
Artinya: Dari Jabir bahwa seorang wanita Bani Mahzum mencuri kemudian di bawah kehadapan Nabi Saw lalu dia memohon pengampunan kepada Ummu Salamah. Nabi Saw bersabda: “Seandainya Fatimah puteri
20
Jalaluddin Assuyuthi, Sunan An-Nasa‟i, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th, hlm. 262. 21
Al-baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubro, Juz X, Makkah al-Mukarromah, Maktabah al-Baz, 1994 / 1414 H, hlm. 96.
27
Muhammad (mencuri) pasti aku akan memotong tangannya, kemudian dipotonglah tangan wanita tersebut.22 Imam Muslim meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Imam itu adalah perisai yang dipertahankan (dibela) dibelakangnya, dan berlindung dengannya, maka jika ia memerintahkan dengan takwa dan adil, maka itu menjadi pahala baginya, dan jika ia memerintahkan bukan dengannya maka ia mendapatkan dosanya.23 Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad dari Abi Sa’id r.a., berkata Nabi Muhammad bersabda:
Artinya: Jihad yang paling besar adalah berkata adil di depan pemimpin yang curang.24 Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
22
Jalaluddin Assuyuthi, Sunan An-Nasa‟i, Juz V, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th, hlm. 71. 23
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Beirut Libanon: Dar Al-Fikr, t.th,
hlm. 195. 24
72.
Abi Isa Muhammad, Sunan At-Turmudzi, Juz IV, Beirut, Libanon Dar Al-Fikr, t.th, hlm.
28
Artinya: Jika seorang laki-laki mempunyai dua orang istri dan ia tidak berlaku adil di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan satu sisi tubuhnya miring.25 Hadits-Hadits nabi itu menguatkan bahwa keadilan adalah tujuan manusia dalam seluruh cakupan kepemimpinan dan pemerintahan, dan mereka yang memegang suatu kepemimpinan, juga bagi setiap muslim dan seluruh suami yang memiliki lebih dari satu istri.
25
72.
Abi Isa Muhammad, Sunan At-Turmudzi, Juz IV, Beirut, Libanon Dar Al-Fikr, t.th, hlm.
BAB III BIOGRAFI ASGHAR ALI ENGINEER
A. Riwayat hidup Asghar Ali Engineer Asghar Ali Engineer adalah pemikir dari india,1 merupakan satu dari sekian banyak nama penulis muslim yang cukup produktif dan ia menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Inggris dengan bagus. Ia dianggap banyak memberi inspirasi bagi sebuah gerakan pembebasan dan penyadaran masyarakat tertindas (mustad’afin) berhadapan dengan kaum penindas (mustakbirin). Di kalangan aktivis gerakan feminis muslim pun nama Engineer juga bisa disejajarkan dengan nama-nama aktivis feminis muslim lainnya, seperti Fatima Mernisi, Amina Wadud Muhsin, dan yang lainnya.2 Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam keluarga muslim yang taat pada 10 Maret 1939 di Salumba, Rajasthan, dekat Udiapur, dimana Sheikh Qurban Husain, ayahnya, menjadi seorang amil (pegawai yang bekerja di Masjid yang mengelola semacam zakat) pada waktu itu. Asghar telah diberi pelajaran mengenai tafsir al qur’an (komentar atau penjelasan tentang firman tuhan), ta’wil (makna ayat al qur’an yang tersembunyi), fiqh (yurisprudensi), dan hadist (perkataan nabi). Sewaktu belajar tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, fiqh, dan hadist, ia
1
Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hal. 297
2
Arif Zamhari, Islam dan Kesadaran Historis: Analisi Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, dalam Pemikiran-pemikiran Revolusioner, Averroes Press, Malang; 2003, hal. 173-174.
29
30
juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya.3 Ayahnya, Syekh Qurbain Husain adalah seorang alim yang mengabdi kepada pemimpin keagamaan Bohra. Ia dikenal sebagai orang yang punya sikap liberal, terbuka dan sabar. Sikap open minded seperti ini menjadikannya kerap kali terlibat diskusi dan berbagai pengalaman keagamaan dengan pemeluk agama lain, misalnya dengan seorang Hindu Brahma. Dalam lingkungan sosial keagamaan seperti itulah Engineer dibesarkan. Asghar juga belajar bahasa arab dari ayahnya, dan selanjutnya ia menekuni serta mengembangkan sendiri. Ia telah diajarkan seluruh karya utama dari Fatimi Da’wah oleh Sayedna Hatim, Sayedna Qadi nu’man,
Sayedna
Muayyad Shirazi, Sayedna Hamiduddin Kirmani, Sayedna Hatim al-Razi, Sayedna Jafar Mansyur al-Yaman dan sebagainya. Asghar juga mendapatkan pendidikan secular, disamping pendidikan agama. Ia adalah lulusan teknik sipil dari Indore (M.P) dengan tanda kehormatan, serta mengabdi selama dua puluh tahun sebagai seorang insinyur di Koperasi Kota Praja Bombay dan kemudian mengundurkan diri secara sukarela untuk menerjunkan dirinya kedalam gerakan reformasi Bohra. Ia mulai memainkan 3
Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, hal. 299
31
dalam gerakan reformasi dari tahun 1972, ketika terjadi pemberontakan di Udiapur. Asghar telah menulis beberapa artikel tentang gerakan reformasi dibeberapa koran India terkemuka seperti The Times of India, Indian express, Statesman, Telegraph, The Hindu dan sebagainya. Ia terpilih dengan suara bulat sebagai Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Dawoodi Bohra dalam konfrensi pertamanya di Udiapur pada tahun 1977. Ia mencurahkan waktu dan pikirannya demi urusan besar pada waktu itu, yaitu gerakan reformasi dan menginternasionalisasi-kan gerakan reformasi, baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramah-ceramahnya. Asghar juga menghasilkan karya atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunial dan komunialisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961. Karyanya ini dipertimbangkan sebagai pelopor dan telah diakui oleh Universitas Calcutta yang kemudian menganugerahkan gelar kehormatan (D.Lit) padanya pada bulan februari 1983.4 Asghar diakui sebagai seorang sarjana Islam terkemuka dan di undanguntuk koferensi-koferensi international tentang Islam oleh berbagai pihak, baik oleh pemerintah maupun universitas. Asghar juga memberi kuliah di beberapa universitas terkemuka di Amerika, Kanada, Indonesia, Malaysia, Jerman, Prancis, Thailand, Pakistan, Sri Langka, Yaman, Meksiko, Lebanon, Mesir, Jepang, Uzbekistan, Rusia, dan sebagainya. Ia juga mengajar di seluruh universitas di India. 4
Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, hal. 300
32
Asghar telah menerima beberapa penghargaan atas karyanya tentang pemahaman interrelegius. Ia pernah mendapatkan Penghargaan Harmony antaragama oleh Pemimpin Baru, Komite, dan Chennai. Ia yakin dengan menunjukan rasa hormat yang sama kepada semua agama dan mempertimbangkan keyakinan beragama sebagai yang sangat penting bagi kehidupan yang bermakna. Bagaimanapun, ia tidak meyakini secara buta dalam menerima dogma-dogma yang diwariskan oleh masa silam. Ia percaya dengan selalu memikirkan ulang (rethinking) isu-isu dan mereinterprestasikan Islam untuk menjaganya dalam konteks waktu yang senantiasa berubah. Menurut pendapatnya, inilah kewajiban kita untuk mendapatkan pelajaran Islam dan merefleksikannya secara lebih mendalam ketimbang hanya membebek secara buta.5 Dia juga dianugerahi penghargaan Hakim Khan Sur untuk integrasi nasional oleh Maharana Mewar Foundation, Udaipur, Rajasthan. Pada Hari Republik India, Asghar juga di beri penghargaan National Communal Harmony Award pada tahun 1997 oleh pemerintah India dalam pengakuannya atas karya Asghar dalam mempromosikan harmoni komunal kepada dunia. Asghar adalah seorang pemikir sekaligus aktivis, dan pemimpin salah satu kelompok Syi’ah Islama’iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay, India. Dengan keilmuan yang dimilikinya, Asghar ingin menerapkan gagasan-gagasannya. Ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung konservatif dan mempertahankan kemapanan. 5
Listiono Santoso, Epistimologi Kiri, hal. 301
33
Agar dapat menyingkap latar belakang keagamaan Asghar menjadi lebih jelas, maka penting untuk mengenal terlebih dahulu kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh imam sebagai pengganti nabi yang dijuluki Amir al-Mu’minin. Mereka mengenal dua puluh satu orang imam. Maulana Abu al-Qasim al –Thayyib adalah imam mereka yang terakhir yang menghilang pada tahun 526 H. Tapi mereka percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para da’i (dari perkataan itu berasal ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan imam terakhir itu. Untuk diakui sebagai seorang da’i tidaklah mudah. Ia harus memiliki sembilan puluh empat kulifikasi yang diringkas dalam empat hal pokok, yaitu kualifikasi : (1) pendidikan; (2) administrative; (3) moral dan teoritikal; serta (4) keluarga dan kepribadian. Da’i juga harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar sendiri adalah seorang da’i. Dengan memahami posisi ini, tidak heran mengapa Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benarbenar religius akan sensitive terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang religius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut religius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang religius, adalah seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahanperubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.
34
B. Karya-karyanya Asghar juga merupakan penulis produktif, ia telah menerbitkan lebih dari 48 buku tentang Islam, Masalah Muslim, Hak Perempuan Muslim, Masalah Komunal dan Etnis di India dan Asia Selatan. Asghar juga telah menerbitkan berbagai artikel penelitian yang berlaku di harian nasional terkemuka di India seperti: Times of India, India Express, The Hindu, The Hindustan Times, Daily Telegraph, dan jurnal-jurnal seperti The Ekonomi dan Politik Mingguan, Frontline, The Illustrated Mingguan dan lain sebagainya. Secara garis besar, karya-karya Engineer dapat dikategorikan ke dalam empat bidang: (1) tentang teologi pembebasan; (2) tentang gender; (3) tentang komunalisme; (4) tentang Islam secara umum. Karya-karya Engineer ada yang berwujud buku, artikel dan tulisan lain di media massa. Beberapa karya Engineer yang penting untuk dibaca antara lain: 1. Islam and Revolution, (New Delhi: Ajanta Publication, 1984) 2. Islam and Relevance to our age, (Kuala Lumpur: Ikraq, 1987) 3. The Origin and Development of Islam (london: sangam book, 1987) 4. Status of Women in Islam (new delhi: ajanta Publication, 1987) 5. The Shah Bano Controversy, ed, Asghar Ali Engineer, (Hyderabad: Orient Longman Limited, 1987) 6. Justice, Women, and Communal Harmony in Islam, (new Delhi: Indian Council of social science research, 1989)
35
7. Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publisher Private limited, 1990) 8. The Rights of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992) 9. Islam and Pluralism (Mumbay: Institute of Islamic Studies, 1999) 10. Islam-The Ultimate Vision, (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999) k. The Qur’an, Women and Modern Society (New Delhi: Sterling Publishers Private limited, 1999) 11. Reconstruction of Islamic Thought (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999) 12. What I Believe (Mumbai: Institute of Islamic Studies, 1999)
BAB IV PEMIKIRAN DAN ANALISA ASGHAR ALI ENGINEER
A. Konsep Keadilan dalam Islam Islam pada awalnya lebih dari sekedar gerakan religius, Islam juga merupakan gerakan ekonomi.1 Islam dengan kitab sucinya, Al-Qur‟an, sangat menentang stuktur sosial yang tidak adil dan menindas yang secara umum melingkupi kota mekah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam, dan juga kotakota lainnya diseluruh dunia. Bagi orang yang memperhatikan Al-Qur‟an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok. Al-Qur‟an mengajarkan kepada umat Islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan, “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan,”2. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau masyarakat tidak boleh menjadikan orang yang beriman sampai berbuat tidak adil, “Hai orangorang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada taqwa…”3 Dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, Asghar Ali Engineer menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi hendaknya melahirkan keuntungan bagi 1
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hal. 57
2
Al-Qur‟an 16:91
3
Al-Qur‟an 5:8
36
37
semua pihak bukan hanya orang-orang yang memiliki kuasa terhadap harta.Sehingga tidak ada lagi bentuk penyimpangan seperti penimbunan harta maupun eksploitasi. Solusi terhadap masalah ini adalah adanya keadilan distribusi.4 Kita lihat bahwa Allah menyuruh berbuat adil dan kebaikan, juga disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dilarang berbuat tidak adil meskipun terhadap musuhnya, dan agar tetap memegang keadilan, serta lebih dari itu AlQur‟an menyatakan bahwa keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa Al-qur‟an menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari taqwa. Dengan kata lain, taqwa di dalam Islam bukan hanya konsep ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi. Sangat disayangkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggalan nabi, yakni pemerinahan dinastik, menghancurkan stuktur sosial yang adil yang sangat ditekankan dalam Islam dan kemudian segera membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, namun sekarang yang tinggal hanyalah sebuah kerangka yang kosong (empty shell).5 Pemerintahan Umayyah dan Abbasiah yang menindas benar-benar mencampakkan konsep keadilan Islam dan mereduksi taqwa menjadi sekedar konsep ritualistik. Orang yang dianggap sholeh adalah mereka yang mengerjakan sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji, namun kesholehannya dijauhkan 4
Santoso, listiyono, epistemologi kiri, (penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta), 2003.hal.297
5
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 58
38
dari masalah keadilan sosio-politik dan sosio-ekonomi. Dalam sejarah Islam, berkuasanya pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang disuarakan dengan keras, dan protesnya itu didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur‟an yang menekankan pentingnya keadilan. Selama kekhalifahan Ustman, khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi pada segelintir orang, dan seiring dengan itu Islam mulai kehilangan semanga, karena para pemimpinnya terlelap oleh kemakmuran. Melihat hal ini seorang sahabat Nabi yang sangat jujur dan terhormat, Abu Dharr, memprotes kebijakan Ustman tersebut. Protesnya itu didasarkan pada ayat Al-Qur‟an yang secara tegas mengancam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan. Disebutkan, “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya dijalan Allah, beritahulah mereka tentang siksaan yang pedih menyakitkan. Pada hari itu, emas dan perak mereka dipanaskan dalam api neraka, dibakar dengan dahi-dahi mereka, sisi-sisi dan punggungnya. Dikatakan kepada mereka, „inilah harta yang kamu timbun bagi dirimu. Maka rasakan olehmu harta yang kamu simpan itu.‟”6 Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur‟an adalah ‘adl dan qist’. Adl dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengetian yang identik dengan sawiyyat.7 Kata itu juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (leveling). Penyamarataan dan 6
7
Al-Qur‟an 9: 34-35
Lihat Al-Munjid yang disusun oleh Lawis Ma‟luf (Beirut,1937) dalam kata adl halaman 491, dan juga A Diictionary of Modern Written Arabic, diedit oleh J. Million Cowan (New York, 1976: 506).
39
kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, dan juga keadilan, kejujuran dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Dan qistas, kata turunan lainnya berarti keseimbangan berat. Sehingga kedua kata di dalam Al-Qur‟an yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ‘adl dan qist, mengandung makna distribusi yang merata termasuk distribusi materi dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial. Ayat tersebut diatas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian sama.
Artinya: “apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”8
8
Al-Qur‟an, 59: 7
40
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar9 dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".10 `Al-Qur‟an juga mengecam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti iniakan membawa kepada kehancuran. “Dan bila Kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orangorang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh,11 namun mereka melanggar perintah itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu kamipun membinasakannya.”12 Al-Qur‟an bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda dan anak-anak yatim), namun juga menentang kemewahan dan tindakan yang menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak orang miskin yang membutuhkannya). 9
Keduanya
merupakan
tindakan
jahat,
dan
mereka
Segala minuman yang memabukkan.
10
Al-Qur‟an, 2: 219
11
Kata yang digunakan dalam Al-Qur‟an adalah mitrib yang berarti orang yang hidup dalam kemudahan dan kemewahan dalam segala hal. Juga digunakan kata mutrifin bahwa mereka melampaui batas dan memperturutkan nafsunya dalam perbuatan yang amoral. 12
Al-Qur‟an, 17: 16
41
mengganggu keseimbangan sosial (sosial balance), sehingga terjadi bencana. Maka keadilan di dalam Al-Qur‟an bukan hanya berarti norma hokum (rule of law), namun juga berarti keadilan yang distributif (karena hukum, kata Socrates, seringkali hanya dapat dijaga, bila kekayaan sosial (sosial wealth) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah kepada kehancuran masyarakat secara total. Jika orang mengkaji Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, maka pasti akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek berbeda. Menurut Al-Qur‟an, hanya apa yang telah diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakannya.”13 Dengan ungkapan yang pendek itu, seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertahanan dalam Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al-Qur‟an bukanlah sebuah esai tentang ekonomi yang bersifat kesukuan, feudal atau kapitalistik. Al-Qur‟an berisikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai (value-oriented declarations). Al-Qur‟an tidak menetapkan satu dogma ekonomi. Sehingga Al-Qur‟an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian, 13
Al-Qur‟an, 23: 84
42
manusia diperingati agar jangan sampai memperkuat suatu stuktur yang menindas dan mengeksploitasi.14 Nabi sangat memperhatikan berbagai malpraktek perdagangan dan perniagaan. Malpraktek ini satu demi satu dihapuskan oleh Nabi melalui dakwah kepada sahabat-sahabatnya. Satu prinsip utama yang jelas adalah penolakan yang tegas terhadap spekulasi. Sebenarnya, sangat banyak masalah dalam masyarakat industrial atau niaga yang berasal dari praktek-prektek spekulatif yang membuka jalan untuk meraih keuntungan dengan cepat. Semua praktek spekulatif telah dilarang dengan tegas didalam Islam. Dilarang menjual buah yang belum masak yang belum dipetik, karena belum diketahui berapa jumlahnya. Sama juga orang tidak boleh menjual bayi hewan yang masih dalam kandungan, karena kesehatan kondisinya tidak diketahui, demikian juga induknya.15 Islam juga melarang jual beli yang takarannya dikurangi atau dilebihkan.16 Nabi juga melarang penimbunan barang untuk menaikan harga. Nabi pernah berkata kepada Hazrat „Umar bahwa siapa saja yang menimbun barang, Allah mengutuknya dan barangnya itu berhak diambil darinya dan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga biasa.17 Kemudian menurut Ibn Taymiyya berkata, “Nabi melarang orang kota yang mengetahui harga pasar untuk menjadi 14 Asghar Ali Engineer, ”Islam and Liberation Theology”, terj. Agung Prihantoro, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, hlm. 59-60. 15
Bulugh al-Muram yang disusun oleh Aamah Hajar Asqatani (Banaras, 1982) hal, 223
16
Dalam buku Imam Malik, Muwatta’ (Delhi, 1975) hal, 536
17
Dalam buku Imam Malik, Muwatta’ , hal, 551
43
agen dari orang luar kota yang ingin membeli barang-berang, karena dia mengetahui bahwa diperlukannya barang tersebut sehingga memungkinkan dia menaikan harga seenaknya. Nabi juga melarang penjualan barang yang belum diketahui oleh pembelinya karena akan menimbulkan eksploitasi, termasuk barter antara hasil pertanian atau logam dalam ukuran sama, misalnya dengan emas atau perak. Hanya emas yang bisa ditukar dalam ukuran yang sama dengan emas, dan perak dengan perak, atau gandum dengan gandum, dan sebagainya. Barter barang yang tidak sejenis dinamakan riba, karena mengarah pada eksploitasi. 18 Larangan untuk semua praktek ini sangat dikenal dalam Islam, dan riba betul-betul dikecam dalam kitab suci Al-Qur‟an.19 Banyak pemikir Islam yang menganggap riba bukan hanya berarti bunga, namun secara umum juga bermakna eksploitasi. Semua praktek yang mengarah kepada eksploitasi sesama manusia, termasuk industri dan perniagaan yang tidak adil, dianggap riba. Sesungguhnya dalam masyarakat industrial modern, semua praktek monopoli, kartel dan pengawasan multinasional terhadap pasar harus diperlakukan sebagai riba. Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial, bahwa penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh multi Negara. Sistem ekonomi seperti ini hanya akan mengakibatkan kerugian. 18
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 68
19
Al-Qur‟an, 2: 275-276, 278.
44
Namun demikian, sayangnya para ulama tradisional dengan bodohnya terantuk pada konsep riba yang masih tradisional dan tidak mau tahu dengan istilah-istilah mekanis ekonomi industrial modern yang mencengkram berjuta-juta orang dan praktek-prektek multinasional yang eksploitatif betul-betul merampok negaranegara dunia ketiga. Sebenarnya sekarang ini seluruh sistem perekonomian dunia Islam berada dalam cengkeraman perusahaan multinasional Amerika, mungkin kecuali Iran. Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya (mereka jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari perekonomian modern), mewarisi system ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi tradisional. Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ketiga. Hanya pemikir yang demikian inilah yang dapat menangkap semangat dan tujuan Islam yang sebenarnya untuk menciptakan system ekonomi yang tidak eksploitatif. Sekali lagi agar tidak salah tangkap terhadap dimensi religius dari masalah ini, Ibn Taymiyya menjelaskan bahwa keadilan dan suatu bentuk kerja sama dengan kejahatan masih lebih baik daripada apa yang disebutnya tirani yang saleh (pious tyranny). Kehidupan manusia di duniayang diatur dengan keadilan dan kerja sama dengan kejahatan masih lebih baik daripada tirani yang saleh. Inilah mengapa dikatakan bahwa Allah menghargai Negara yang adil meskipun kafir (ma’al kufr), namun tidak demikian dengan Negara yang tidak adil meskipun
45
muslim. Juga disebutkan bahwa dunia dapat bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namu tidak dengan ketidakadilan dan Islam. Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih cepat mendapatkan balasan kecuali menindas orang lain dan memutuskan tali persaudaraan.” Bagi para penindas, hukuman langsung ditimpakan di dunia, dan mungkin akan dimaafkan dan mendap[atkan ampunan kelak di akhirat.20 Berikut ini argumentasi Ibn Taymiyya, “Keadilan itu adalah suatu tatanan yang universal. Anehnya, kehidupan di dunia yang berlangsung adil, pemimpinnya justru tidak mendapatkan pahala di akhirat kelak.” Namun, sebagian besar ulama yang mendapatkan keuntungan dari kemapanan justru sebaliknya , memperoleh pahala di akhirat. Mereka mengikuti pemerintahan yang tiran, meskipun mereka orang yang saleh. Bagi mereka, taqwa itu dipahami secara konvensional dan ritualistik, serta lebih penting daripada keadilan, padahal nabi sendiri memberikan penekanan yang lebih pada keadilan. Ironisnya, justru prinsip keadilan itu berada di tangan para ulama sendiri. Sejarah Islam mengatakan kepada kita dengan bukti yang cukup bahwa ulama berada dalam satu pihak dengan kemapanan yang menindas atas nama Islam. Hal ini tidak baik, suatu semangat Islam yang buruk. Allah memberikan keputusan jelas kepada mereka, “Dan mereka yang memutuskan perkara tidk menurut kehendak Allah, merekalah orang-orang
20
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 68-69
46
kafir…merekalah durjana…merkalah orang yang membangkang!”.21 Allah juga memerintahkan kepada nabi untuk “memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah turuti hawa nafsu mereka. Dan hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkanmu dari sebagian apa yang Allah turunkan kepadamu…”22 Al-Qur‟an secara jelas memerintahkan kepada nabi untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka. Sesungguhnya, syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan adalah mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan seseorang menjadi eksploitator, tiran dan penindas. Al-Qur‟an mensyaratkan ketundukan untuk berlaku adil meskipun bertentangan dengan kepentingannya sendiri, orang tuanya, kerabatnya, orang kaya yang berpengaruh dan untuk tidak menurutkan hawa nafsunya.23 Al-Qur‟an juga memperingatkan mereka yang merusak keadilan akan diberi balasan yang mengerikan.24 Keadilan bukanlah peraturan yang didasarkan pada kepentingan orang yang kaya dan berpengaruh. Keadilan, sesuai dengan Al-Qur‟an tidak dapat diperoleh dengan mengikuti aturan mereka. Dan dalam menghadapi tirani yang kuat, kaum muslim dibenarkan untuk melakukan jihad. Keadilan lebih diutamakan daripada Islam formal, tidak ada orang yang benar-benar tunduk kepada Allah tanpa benar-benar
21
Al-Qur‟an 5: 44-47.
22
Al-Qur‟an, 5: 49.
23
Al-Qur‟an, 4: 135.
24
Al-Qur‟an, 3: 21.
47
memperdulikan keadilan. Sebenarnya di dalam Islam, ada penekanan yang lebih pada keadilan, bahkan daripada pada cinta, karena peduli pada keadilan sebenarnya adalah peduli pada kemanusiaan.25
B. Islam dan Tantangan Kemiskinan Agama menurut bahasa aslinya (bahasa latin) berarti kesadaran dan kesalehan di satu sisi, dan menghubungkan atau mengikat di sisi lain. Dengan kata lain, agama didefinisikan sebagai seperangkat doktrin spiritual dan metafisika yang mengikat orang yang memeluknya. Agama, selama bertahuntahun juga menjadi system pengertian (signification), sistem symbol dan sistem ibadah yang menyediakan sense of identity yang mendalam bagi penganutnya untuk menghadapi hidup di dunia yang kompleks ini sebagai sebuah tantangan eksistensial.26 Dalam sejarah kehidupan manusia, sebenarnya agama menjadi wadah pencarian hidup, kebenaran dan kepastian yang hakiki. Namun demikian, sisi negatifnya dari proses pencarian kebenaran tersebut seringkali kehilangan dinamikanyadan mengkristal menjadi dogma-dogma yang tidak bisa dirubah. Kemudian dogma-dogma ini dilengkapi dengan rangkaian ibadah yang menjadi „pelipur lara‟ dan rasa kepatuhan simbolik (a senses of syimbolic fulfillment) bagi orang-orang yang beriman.27
25
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 70
26
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 87
27
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 88
48
Jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari
sekedar
pelipur
lara
dan
tempat
berkeluh
kesah,
agama
harus
mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang telah using yang dengan sendirinya memilki mekanisme sosio-legal dan politik-ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak khusus dan kekuasaan „kasta yang tinggi‟ dan kelas atas. Ketika membahas mengenai Islam dan tantangan kemiskinan, perlu dipahami pendekatan yang dipakai Al-Qur‟an dalam membahas masalah-masalah tertentu yang berkaitan dengan tema tersebut. Nabi-nabi yang disebutkan di dalam Al-Qur‟an, sebagaimana dikemukakan oleh sang pemikir Islam Iran, Ali Shari‟ati, berasal dari kalangan masyarakat biasa, bukan bagian dari kelompok kemapanan atau pemimpin yang berkuasa (kecuali Nabi Daud dan Sulaiman). Kitab suci AlQur‟an dengan jelas menyebutkan,
Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”28
28
Al-Qur‟an, 62: 2
49
Jelaslah, Al-Qur‟an menyatakan bahwa Tuhan mnegutus Nabi-nabi itu berdiri di tengah-tengah masyarakat dan tidak pernah mengidentifikasi diri dengan penguasa atau dengan kelas yang berkuasa. Pendekatan yang dipakai Al-Qur‟an adalah dengan menggambarkan para penguasa, pimpinan dan mereka yang diatas sebagai mustakbirin (sombong, mabuk kekuasaan), dan menyebut rakyat jelata atau masyarakat awam dengan mustad’afin (lemah dan tertindas). Nabi-nabi Tuhan selalu berasal dari golongan masyarakat lemah dan berjuang demi membebaskan mereka dari cengkraman para penindas. Nabi Musa melawan raja fir‟aun yang kuat untuk membebaskan bangsa Israel yang tertindas karenanya. Raja Fir‟aun disebut mustakbirin (penindas yang sombong) dan bangsa Israel mustad’afin. Semua kelas yang berkuasa mendukung Fir‟aun dalam menghadapi Nabi Musa, seperti yang dinyatakan Al-Qur‟an, “Berkatalah para pemuka kaum Fir‟aun, „apakah kau biarkan
Musa
dan
kaumnya
berbuat
kerusakan
di
muka
bumi
dan
meninggalkanmu dan tuhan-tuhanku?‟ Fir‟aun menjawab, „kita akan membunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan anak-anak perempuan mereka hidup. Sehingga kita akan lebih berkuasa dari mereka‟”29 Al-Qur‟an dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri di pihak golongan masyarakat lemah dalam menghadapi para penindas. Al-Qur‟an menyesalkan, bahkan menegur orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya. Peringatan itu berbunyi, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan 29
Al-Qur‟an, 7: 127
50
membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang bekata, „Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu.‟”30 Teologi Qur‟ani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan, namun juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi orang-orang jahat ini dan untuk menyelamatkan golongan yang lemah dan tertindas sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas. Selanjutnya, Al-Qur‟an juga menegaskan janji Allah untuk mengangkat golongan yang lemah dan tertindas sebagai pemimpin berkuasa. Dalam surat Al-Qashash, 28: 5 disebutkan, “Kami ingin member karunia kepada mereka yang tertindas di atas bumi, menjadikan mereka pemimpin dan pewaris.”31 Al-Qur‟an juga mengatakan bahwa tidak akan ada kota yang dapat bertahan, jika di dalamnya berlangsung ketidakadilan dan eksploitasi, “Berapa banyak kota-kota yang telah Kami hancurkan yang penduduknya berbuat kejahatan, sehingga runtuh berantakan, dan betapa banyak mata air yang ditinggalkan dan puri-puri yang tinggi menjulang kami binasakan.”32 Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur‟an yang secara keras mengecam penindasan dan
30
Al-Qur‟an 4: 75
31
Al-Qur‟an, 28: 5
32
Al-Qur‟an, 22: 45
51
ketidakadilan. Dalam sunnah dikatakan bahwa Nabi menempatkan kekafiran itu itu lebih rendah satu tingkat di bawah penindasan dan ketidakadilan.33 Al-Qur‟an juga dengan tegas mengecam penumpukan harta kekayaan dan sifat sombong. Dikatakan, “Celakalah orang yang menyebarkan fitnah dan mengumpat, yang mengumpulkan kekayaan dan penimbunannya, yang mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Ia akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu? Ialah api Allah yang dinyalakan, yang merasuk ke dalam hati, menutupi mereka seperti kubah dengan tiang-tiang yang menjulang.”34 Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan membangun stuktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam sturktur sosial yang seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan dibidang sosial, ekonomi, hukum dan politik. Al-Qur‟an sangat menekankan keadilan dan menggunakan istilah ‘adl dan qist35 untuk membangun stuktur sosial tersebut di atas. Istilah lain adalah ‘adl dan ihsan (keadilan dan kebaikan) yang dipakai untuk mengungkapkan pentingnya keadilan ekonomi. Keadilan itu juga harus ada dalam transaksi ekonomi. “Supaya kamu jangan melampaui batas timbangan. Tegakkan
33
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 92
34
Al-Qur‟an, 104: 1-4
35
Asghar Ali Engineer, ”Islam and Liberation Theology”, terj. Agung Prihantoro, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, hlm. 59-60.
52
neraca dengan keadilan dan jangan kamu kurangi sukatannya.”36 Keadilan dan keseimbangan ekonomi ini diperlukan, karena dengan demikian berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal dan seterusnya dapat terpenuhi, sehingga kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan. Al-Qur‟an menyeru kepada orang-orang yang beriman agar menghindari pemborosan. “Hai Bani Adam! Bawalah perhiasanmu kapan saja dan dimana sajakamu sembahyang. Makan dan minumlah. Tapi jangan berlebih-lebihan.”37 Kita ketahui bahwa masyarakat kapitalis barat sekarang ini, yang didasarkan pada stuktur yang menindas dan eksploitatif, hidup makmur dengan merampas sumbersumber ekonomi dunia ke tiga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka yang sangat banyak dan dengan standar hidup yang tidak masuk akal serta sangat tinggi, dengan mengorbankan penderitaan masyarakat Afrika, dan Asia dan Amerika Latin. Budaya konsumtif dan suka pamer ala barat merupakan bencana besar bagi kemiskinan dunia. Sebaliknya, ekonomi sosialis yang dapat menjamin kebutuhan pokok masyarakat, menghambat konsumerisme dan suka pamer. Ekonomi sosialis menekankan pada produksi barang-barang untuk mencukupi kebutuhan pokok, bukannya produksi barang-barang mewah. Melihat masalah ekonomi dunia yang kompleks sekarang ini, keadilan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan hanya dapat diciptakan bila konsep keadilan tidak hanya dipahami dalam bidang ekonomi, namun juga dalam bidang 36
Al-Qur‟an 55: 8-9
37
Al-Qur‟an 7: 31
53
sosial dan hukum. Mengkaji konsep keadilam Qur‟ani yang sebanarnya sangat lengkap. Setelah mengatakan , ”Tuhanku memerintahkan berbuat adil”,38 Alqur‟an melanjutkan dengan, “Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan sebagai saksi dari Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau orang tuamu, atau kerabatmu, baik ia kaya maupun miskin, karena Allah akan melindungi keduanya. Janganlah ikuti hawa nafsu, supaya kamu tidak menyimpang dari kebenaran…”39 System kapitalisme modern sangat eksploitatif, sehingga menimbulkan struktur sosio-ekonomi yang tidak adil. Dalam struktur seperti ini tidak akan ada keadilan sosial, ekonomi dan politik, khususnya yang disebutkan dalam AlQur‟an. Bahkan seandainya peraturan politik yang ada tidak selaras dengan kepentingan kelas yang berkuasa dalam masyarakat Marxian, dan tidak selaras dengan kepentingan masyarakat banyak dalam masyarakat modern-demokratis, kita tetap saja sulit untuk menolak hegemonikelas kapitalis dan praktek-praktek yang eksploitatif. Bentuk bentuk eksploitasi sesama manusia sudah menjadi ketidakadilan yang parah dan tidak sesuai dengan doktrin keadilan dalam Islam. Masyarakat barat sebagai masyarakat kapitalis yang mengeksploitasi dunia ketiga melanggengkan kejahatan tersebut dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan generasi berikutnya yang akan kehilangan sumber-sumber kekayaan yang tidak dapat diciptakan lagi karena telah dihabiskan oleh generasi 38
Al-Qur‟an, 7: 29
39
Al-Qur‟an, 4: 135
54
sebelumnya secara besar-besaran. Generasi yang akan datang sangat sulit untuk memenangkan perang melawan kemiskinan ini jika jerat-jerat kapitalisme masih tetap mengikatnya. Nabi Muhammad SAW membenci kemiskinan dan kelaparan. Ada banyak hadist yang membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Hadist yang diriwayatkan oleh Nissi berbunyi, “Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan dan kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari keadaan teraniaya dan perilaku aniaya terhadap orang lain.” Ini merupakan hadist nabi yang perlu diperhatika, karena berkaitan dengan kemiskinan, kekurangan, kehinaan, penindasan, sikap saling membantu dan bekerja sama. Nabi dengan mengucap doa tersebut berarti mewajibkan semua umat Islam untuk memerangi kemiskinan. Hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud berbunyi,m “Ya Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari kufr dan kemiskinan.” Tidak salah kalau kufr dan faqr keduanya sama-sama dikecam. Hadist lain yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Tabrani berbunyi, “Kemiskinan mengakibatkan kekafiran.” Semua hadist yang dipaparkan tadi mewajibkan umat untuk menyatakan perang terhadap kemiskinan. Kemiskinan itu sama celanya dengan kekafiran, dan karena seorang muslim harus memerangi kufr, berarti ia juga harus memerangi kemiskinan. Membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran. Paham atau system yang berusaha mengekalkan kemiskinan, kelaparan, dan kekurangan, harus dilawan karena akan mengarah kepada feodalisme atau
55
kapitalisme. Sehingga perang melawan kemiskinan merupakan bagian integral dari keyakinan Islam.40 Islam adalah sebuah agama, dan agama dalam pengertian umum utamanya dipahami sebagai narasumber masalah-masalah spiritual. Namun demikian, sejarah Islam menapaki jalan yang berbeda. Islam yang dilahirkan di Arab bukan hanya membicarakan masalah spiritual, namun juga banyak masalah-masalah lain. Islam lahir sebagai tanggapan atas suatu kondisi historis dan adanya kebutuhan akan petunjuk hidup yang komprehensif dalam bidang religio-kultural dan sosio-ekonomi. Lebih dari itu, perkembangan sejarah Islam selanjutnya semakin mengokohkan keterlibatan Islam dalam berbagai bidang yang kemudian diperlakukan bukan hanya sebagai bagian integral dari doktrin Islam, namun juga nyaris dianggap sebagai hal yang suci. Para fuqoha dalam merespon kebutuhan masyarakat Islam yang terus berkembang menetapkan aturan-aturan berkenaan dengan bidang-bidang yang baru, termasuk bidang agricultural dan perdagangan dengan mengacu pada sunnah nabi, ijtihad, dan perdagangan, serta tentu saja berpedoman pada ayat-ayat Al-Qur‟an. Telah menjadi perdebatan bagi para sarjana Islam, apakah Islam itu mendukung industrialisasi atau tidak. Ada banyak pendapat tentang masalah ini. Beberapa sarjana berpendapat tanpa memberikan bukti nyata bahwa Islam lebih banyak menghambat daripada mendukung industrialisasi, apalagi modernisasi. Pendapat mereka ini tampaknya tidak tepat. Agama, apakah Islam, Hindu, 40
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 99-100
56
Kristen, Yahudi atau Budha tidak dapat dikatakan menjadi penghambat medernisasi
atau
industrialisasi.
Anggota
masyarakat
yang
terbelakang
mempunyai pandangan agama yang juga terbelakang dan menafsirkannya dalam pengertian teologi tradisional. Pada akhirnya yang menentukan bagaimana orang memandang
agama
atau
system
pengetahuan
lainnya
adalah
kondisi
lingkungannya.41 Perlu dicatat bahwa agama tidak bisa dipungkiri telah menjadi sebuah kekuatan tersendiri dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap cara berpikir sebagian besar masyarakat. Kenyataan ini sulit diingkari oleh para pengamat sosial, dan yang perlu digarisbawahi dengan tebal adalah agama selalu dan terus menjadi kekuatan yang amat besar di Negara-negara sedang berkembang. Tetapi ini tidak berarti bahwa seluruh masyarakat di Negara-negara sedang berkembang ini mempunyai pandangan yang sama terhadap agama. Masyarakat yang berada di bawah system kapitalis seringkali tingkat perkembangannya tidak sama dan penafsiran
atau
pemahaman
terhadap
agama
tergantung
pada
tingkat
perkembangan dan kebutuhannya. Jika masyarakat merasa perlu melaksanakan industrialisasi, agama akan ditafsirkan kembali sesuai dengannya. Jika masyarakat tidak memiliki keinginan untuk melakukan perubahan dan merasa diuntungkan dengan keadaannya kini, maka agama juga tidak perlu diubah penafsirannya. Dengan kata lain, keadaan statis akan menghasilkan pandangan agama yang statis pula. 41
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 118-119
57
Setelah mengupas perkembangan kapitalisme dan industrialisasi dalam masyarakat Islam, kini kita perlu membahas kebijakan yang dikeluarkan Negaranegara Islam berkenaan dengan kapitalisme dan industrialisasi. Banyak ahli Islam dan ulama ketika mendiskusikan kebijakan industrial dalam masyarakat Islam cenderung berpendapat bahwa kebijakan industrial dalam masyarakat Islam dapat dilakukan jika syarat-syarat seperti larangan diproduksinya minuman keras dan terciptanya system ekonomi yang bebas bunga dapat dipenuhi. Ini merupakan pandangan yang sangat dangkal dan pendekatan seperti itu mengingkari masalahmasalah yang berat dan kompleks sebagai akibat dari kapitalisme industrial.42 Industrialisasi tidak dapat dijalankan dengan kerangka berpikir kapitalisme yang tanpa kendali. Keadilan sosial dan eksploitasi tidak dapat menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan akumulasi modal. AlQur‟an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari keuntungan dengan cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebihan) demi tujuan-tujuan sosial. Keuntungan yang adil didasarkan pada tukar-menukar komoditi harus dibedakan dari keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Ekonomi perdagangan didasarkan pada tukar-menukar barang, sedangkan ekonomi industrial pada produksi barang.43 Al-Qur‟an memberikan konsep ekonomi perdagangan yang terjadi pada saat turunnya Al-Qur‟an. Jika kita akan menerapkan 42
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 126
43
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 127
kebijakan ekonomi
58
industrial yang berlandaskan Al-Qur‟an dan sunnah maka kita harus dapat mengaplikasikan konsep ini secara kreatif dalam system ekonomi industrial. Perlu diingat bahwa larangan terhadap diadakannyaruba secara integral terkait dengaan konsep ‘adl dan ihsan. Dalam pengertian ini, riba lebih dari sekedar bunga. Kebanyakan ulama dan kaum Islam modernis mengartikan riba sebagai bunga, tidak lebih dari itu. Mereka memperjuangkan penghapusan bunga bank dan membuat bank yang bebas bunga. Prof. Fazlur Rahman berpendapat44 “Apa yang dimaksud dengan riba bukanlah bunga bank, namun bunga dalam pengertian hutang yang harus dikembalikan dalam jumlah dua kali lipat dengan jangka waktu tertentu, dan ini eksploitasi yang sangat dilarang oleh Al-Qur‟an”. Namun kedua pandangan tersebut tidak sepenuhnya mewakili semangat Al-Qur‟an yang sebenarnya. Konsep riba harus dilihat dalam pandangan Al-Qur‟an tentang keadilan distributif ‘adl dan ihsan yang menguntungkan golongan masyarakat lemah. Sedangkan penghapusan bunga bank tidak sampai tujuan ini. Menurut semangat Al-Qur‟an, riba harus dimaknai bukan hanya sebagai bunga, namun dimaknai sebagai eksploitasi secara umum. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa Al-Qur‟an menggunakan bahasa yang sangat keras dalam mengutuk riba. Dalam sebuah ayat tentang riba disebutkan,
44
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 128
59
Artinya : “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba45 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.46 Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu47 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.48 Dan dalam ayat selanjutnya disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orangorang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.49
45
] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. 46
orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
47
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
48
Al-Qur‟an, 2: 275
49
Al-Qur‟an, 2: 278-279
60
Kita lihat bahwa Al-Qur‟an mengajarkan perdagangan yang jujur dan mengecam riba yang ditafsirkan sebagai bunga dan eksploitasi dalam segala bentuknya.
Al-Qur‟an
menyatakan
perang
kepada
mereka
yang
tidak
menghentikan riba dan seharusnya membuat kita berpikir serius tentang implikasi dari ayat-ayat tentang pelarangan riba. Pada dasarnya Al-Qur‟an berpihak pada masyarakat yang berkeadilan dan segala yang menggangu terwujudnya masyarakat yang seperti ini diperhatikan secara serius oleh Al-Qur‟an. Bukan hanya bunga perbankan yang secara umum dikecam ulama dan sejumlah kaum muslim modernis, namun juga seluruh praktek yang eksploitatif, termasuk keuntungan yang diperoleh dengan cara yang tidak adil yang dikecam Al-Qur‟an dengan istilah riba.50 Dalam ekonomi industrial, profit lebih eksploitatif daripada bunga. Namun sekarang ini, di Negara-negara Islam yang diprotes hanyalah bunga, sedangkan profit dihalalkan. Islamisasi ekonomi hanya dilaksanakan dengan membuat bank tanpa bunga, sementara praktek-praktek eksploitasi lainnya masih terus berlangsung. Kebijakan ekonomi industrial yang Islami seperti diatas tidak dapat melihat persoalan dengan hati jernih. Kebijakan itu hanya akan mendukung kelas yang sedang berkuasa yang sebenarnya bertanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan sosial yang terus-menerus. Sebuah kebijakan industrial yang Islami mestinya tidak hanya berkonsentrasi pada penghapusan bunga perbankan, 50
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 129
61
sementara membiarkan terjadinya distorsi ekonomi dan tidak menyentuh kepentingan-kepentingan pribadi yang sangat berpengaruh. Seharusnya kebijakan itu juga memberantas seluruh praktek eksploitasi, termasuik profit, yang bertentangan dengan konsep keadilan sosial dalam Al-Qur‟an dan merugikan golongan masyarakat lemah. Sebuah kebijakan industrial yang Islami seharusnya mempunyai tujuan ganda, yakni pertumbuhan dan keadilan sosial. Tetapi tidak cukup mengukur pertumbuhan rata-rata ini hanya dalam istilah ekonomi saja. Menurut kebijakan yang Islami juga ditekankan produksi barang-barang yang diperlukan oleh kelas pekerja dan buruh kasar serta golongan ekonomi lemah lainnya.51 Hal ini membawa pada pertanyaan penting yang lain, yakni bagaimana kebebasan usaha-usaha yang bersifat pribadi. Sektor swasta tidak menunjukan adanya kepentingan pribadi terlalu banyak dalam perusahaan-perusahaan barangbarang karena keuntungan yang diperoleh rendah. Kebijakan industrial yang Islami harusnya mendorong sector swasta untuk berinvesstasi di waliayahwilayah yang tidak begitu menguntungkan, atau pada industry-industri yang komit terhadap terciptanya keadilan sosial. Dalam Islam, mewujudkan keadilan sosial itu lebih penting daripada menciptakan kebebasan pada pemodal untuk mencari keuntungan. Imam Ibn Taymiyyah merangkum semua uraian ini dalam prisipnya yang terkenal bahwa kepentinga umum mendahului kepentingan pribadi. 51
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 130
62
Masyarakat industrial Islam tidak akan mendukung apa yang disebut dengan konsumerisme. Ekonomi kapitalis barat sekarang ini pada dasarnya berlandaskan konsumerisme dan industry persenjataan yang canggih. Istilah yang paling tepat adalah military-industrial complex. Kebijakan industrial yang Islami tidak cukup hanya melarang industry minuman keras, namun juga melarang seluruh perindustrian yang didasarkan pada penciptaan kebutuhan yang artificial yang menekan public untuk mengkonsumsinya. Kebutuhan yang artificial ini bukan hanya mendistorsi perekonomian yang bertentangan dengan kepentingan golongan ekonomi lemah, namun juga mengarah pada eksploitasi Negara-negara lain yang juga tidak berkeadilan.52 Ekonomi kapitalis barat dapat bertahan karena mengeksploitasi Negaranegara lain. Kebijakan industrial yang Islami harus dengan tegas mengekang periklanan yang menjadi bagian integral dari ekonomi kapitalis. Periklanan diijinkan jika sebagai agan informasi, bukan sebagai agen untuk menciptakan kebutuhan yang artificial dalam rangka mengeruk keuntungan secara kapitalis tanpa mengindahkan etika. Periklanan harus diarahkan dengan prinsip-prinsip etika tertentu.53 Islam juga tidak setuju dengan military-industrial complex. Senjata boleh diproduksi untuk kepentingan pertahanan, bukan untuk menjadi penyangga ekonomi atau menambah keuntungan yang berlipat ganda bagi perusahaannya, yang berati secara langsung mensponsori adanya perang. Islam adalah agama 52
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 131
53
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 130-131
63
damai dan hanya mengijinkan perang yang bersifat defensive. Islam tidak memperbolehkan perdagangan yang dapat menyebabkan kematian. Jadi bisnis senjata seharusnya diharamkan. Dalam masalah perang, Al-Qu‟an mengatakan, “Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangimu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”54 Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa Al-Qur‟an tidak mengijinkan perang sebagai agresi. Sehingga tidak ada tempat untuk mnegembangkan military-industrial complex dalam ekonomi Islam. Kita dapat menyimpulkan bahwa kebijakan industrial yang Islami tidak dapat didasarkan pada niat mencari keuntungan semata, sebagaimana yang terjadi dalam ekonomi kapitalis barat. Dasarnya adalah menciptakan keadilan sosial dengan memberantas seluruh bentuk eksploitasi. Tidak perlu ragu-ragu untuk mendorong tumbuhnya sector swasta, atau mungkin malah menghapuskannya jika memang diperlukan dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Harus diperhitungkan pengaturan produksi agar menguntungkan golongan masyarakat lemah selama meraka masih ada. Islam tidak mengijinkan periklanan yang tidak mengindahkan etika. Iklan hanya diperbolehkan jika ditujukan untuk memberikan informasi yang menguntungkan konsumen. Islam menempatkan perusahaan yang memproduksi barang-barang untuk kebutuhan pokok pada prioritas tertinggi dan sangat keras melarang konsumerisme yang tidak berorintasi pada kepentingan sosial.55
54 55
Al-Qur‟an, 2: 190 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 132
64
C. Relevansi Pemikiran Ali Asghar Terhadap Keindonesiaan Konsep taqwa menurut Ali Asghar di dalam Islam bukan hanya konsep ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi. Baginya Al-Qur‟an mengajarkan bahwa keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok.56 Dalam UUD 1945 bab kesejahteraan sosial, dapat kita simpulkan bahwa kesejahteraan sosial menyangkut pemenuhan kebutuhan materiil yang harus diatur dalam organisasi dan sistem ekonomi yang berdasarkan asas kekeluargaan. Hal ini mempunyai kaitan antara keadilan sosial dan kesejahteran sosial. Keadilan sosial adalah suatu keadaan dimana seluruh rakyat merasa aman dan tentram karena aturan-aturan main dalam hubungan-hubungan ekonomi yang berdasarkan prinsip-prinsip etik dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sarana materiil yang harus dipenuhi untuk mencapai rasa aman dan tentram yang disebut keadilan sosial. Dua hal ini menyangkut pasal 33 dan 34 dalam UUD 1945. 57 Menurut Ali Asghar syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan adalah mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan seseorang menjadi eksploitator, tiran dan penindas. Oleh karena itu dalam masyarakat pancasila roda ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, yaitu harga melalui sistem pasar dengan sekaligus ada “pengontrolan” sosial atau pengawasan oleh 56
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 58
57
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila. hal. 228
65
masyarakat dan pedoman moral oleh seluruh bangsa yang bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa.58 Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial, bahwa penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh multi Negara. Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya (mereka jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari perekonomian modern), mewarisi sistem ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi tradisional. Indonesia yang notabene berpaham Pancasila mempunyai pandangan negara menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi tertentu bukanlah demi ”penguasaan” itu sendiri, melainkan karena penguasaan itu dipandang menjamin perlindungan kepentingan orang banyak.59 Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ketiga. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah kepada kehancuran 58
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan. hal. 39
59
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, hal. 52
66
masyarakat secara total. Dalam Islam, mewujudkan keadilan sosial itu lebih penting daripada menciptakan kebebasan pada pemodal untuk mencari keuntungan. Pasal 33 UD 1945 mengatur tentang penguasaan bumi, air dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Hal ini demi kemakmuran rakyat secara maksimal dan menghindari eksploitasi alam yang berlebihan.60 Dalam kenyataannya, jaminan perlindungan kepentingan orang banyak, dan peningkatan kemakmuran rakyat secara makmur itulah, yang masih sering dipertanyakan pemenuhannya. Ini dapat ditunjukkan oleh pelayanan yang tidak efisien dari aneka rupa usaha negara disatu pihak, dan kurang adilnya distribusi pendapatan dan kekayaan nasional di pihak lain.61 Industrialisasi
tidak
dapat
dijalankan
dengan
kerangka
berpikir
kapitalisme yang tanpa kendali. Keadilan sosial dan eksploitasi tidak dapat menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan pada eksploitasi dan akumulasi modal. Al-Qur‟an mengajarkan praktek dagang yang jujur dan mencari keuntungan dengan cara yang adil (bukan mencari keuntungan secara berlebihan) demi tujuan-tujuan sosial. Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan membangun stuktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam sturktur sosial yang 60
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, hal. 52
61
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,hal. 158
67
seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan dibidang sosial, ekonomi, hukum dan politik. Negara sebagai regulator perekonomian harus menentang monopoli hal ini selaras dengan Q.S. Al Hasyr ayat 7. Mekanisme pasar dalam Pancasila adalah pasar yang anti free-fight liberalism yang telah melahirkan monopoli yang merugikan masyarakat. Pasar Indonesia adalah pasar yang menekankan pada asas kekeluargaan, yaitu asas kerjasama yang tidak saling merugikan.62 Kebijakan industrial yang Islami tidak dapat didasarkan pada niat mencari keuntungan semata, sebagaimana yang terjadi dalam ekonomi kapitalis barat. Dasarnya adalah menciptakan keadilan sosial dengan memberantas seluruh bentuk eksploitasi. Tidak perlu ragu-ragu untuk mendorong tumbuhnya sector swasta, atau mungkin malah menghapuskannya jika memang diperlukan dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Demokrasi ekonomi Indonesia menekankan pada pentingnya masalah kemakmuran rakyat: kemakmuran bagi semua orang. Pasal 33 dan pasal 34 UUD 1945 telah memililh dan menentukan sistem ekonomi seperti dijelaskan oleh ayatayatnya. UUD 1945 juga telah menetapkan prioritasnya, yaitu membangun langsung manusianya melalui pasal 27 (ayat 2) bahwa: “Tiap-tiap warga Negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaa.” 63
62
63
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan,hal. 68
Sri Edi Swasono, Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Indonesia: Pemikiran ke Arah Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal.166.
68
Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Perkataan disusun artinya “direstruktur”. Seorang strukturalis pasti mengerti arti “disusun” dalam konteks restrukturisasi ekonomi, merubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, menghilangkan subordinasi ekonomi (yang tidak emancipatory) dan menggantinya
dengan
demokrasi
ekonomi
(yang
participatory
dan
emancipatory).64 Politik kemakmuran masyarakat paling tidak harus diarahkan kepada dan dapat menjawab tiga hal pokok berikut ini: (1) bagaimana meningkatkan lepangan kerja dan mengurangi pengangguran, (2) bagaimana mengurangi ketidakmerataan untuk mencapai keadilan sosial, (3) bagaimana kemiskinan untuk mencapai keadaan yang lebih adil dan makmur.65 Jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari
sekedar
pelipur
lara
dan
tempat
berkeluh
kesah,
agama
harus
mentransformasikan diri menjadi alat yang canggih untuk melakukan perubahan sosial, menjadi sebuah agen yang secara aktif melakukan perubahan terhadap tatanan sosial yang telah usang yang dengan sendirinya memilki mekanisme
64
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 24 desember 2010 dari http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_9.htm 65
Sri Edi Swasono, Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Indonesia: Pemikiran ke Arah Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 167.
69
sosio-legal dan politik-ekonomi yang digunakan untuk mempertahankan hak-hak khusus dan kekuasaan „kasta yang tinggi‟ dan kelas atas.66 Dalam perumusan dan pelaksanaan suatu teori maupun dalam penyusunan suatu strategi pembangunan nasional, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari asas politik ekonomi yang dianut. Hal ini telah tercantum dalam UUD 1945 khususnya pasal 33 dan penjelasannya yaitu demokrasi ekonomi. Biarpun hal itu sebenarnya dapat juga dianggap lebih menyangkut tata penyelenggaraan atau instrumentasi suatu strategi.67 Berdasarkan pengalaman usaha pembangunan dimasa lampau dan dengan memberi perhatian terhadap perkembangan pemikiran tentang teori maupun strategi pembangunan di dunia, maka di Indonesia terdapat perkembangan teori dasar pembangunan nasional yang merangkum keserasian berbagai pendekatan dengan penerapan terhadap kondisi dengan potensi dan prospek Indonesia dengan memperhatikan perspektif tahapan-tahapannya dan terutama kepada dasar negara dan filsafat bangsa Pancasila.68 Sejak permulaan tahun 1970-an, kebangkitan kehidupan beragama di Asia Barat menggoncang dunia. Kebangkitan yang oleh media massa barat dicap sebagai „Fundamentalisme Islam‟ talah menjadi perhatian dunia. Namun
66
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 126
67
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja A.R, Teori & Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hal. 92 68
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja Nasional, hal 92
A.R, Teori & Strategi Pembangunan
70
demikian, meraka memandang kebangkitan Islam dengan sangat negative. Kebangkitan Islam ini juga dianggap sebagai fanatisme keagamaan atau „watak Islam yang sesungguhnya‟. Semua persepsi tersebut keliru, karena fenomena ini tidak menunjukkan watak Islam yang muncul secara tiba-tiba atau pun fanatisme keagamaan yang misterius. Tidak ada fenomenal sosoal yang dapat dikenali atau dijelaskan tanpa dilacak akar sosialnya. Sebuah fenomena yang bersifat transcendental seperti fenomena keagamaan ini bukannya tanpa akar sosial. Akan tetapi, sebuah system berpikir, betapapun transdentalnya, tentu berkaitan dengan masalah sosial dan system keagamaan, betapapun erat hubungannya dengan spiritualitas, bukannya tidak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan struktur sosial yang mendahuluinya.69 Slogan Islam fundamentalis yang terkenal adalah perbankan yang bebas bunga. Slogan ini digunakan secara sangat efektif oleh kelas-kelas eksploitator, ironisnya untuk mengekalkan eksploitasi terhadap ekonomi masyarakat. Seluruh konsep Islamisasi ekonomi direduksi menjadi sekedar menciptakan bank tanpa bunga dan mencegah pembuatan serta penjualan minuma keras. Kitab suci AlQur‟an sangat menentang riba yang ditafsirkan sebagai bunga bank. Al-Qur‟an mengatakan, “Orang-orang yang mengambil riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan 69
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 135-136
71
jual beli dan mengharamkan riba.”70 Selanjutnya, Allah berfirman, “Allah mengharamkan riba dan menganjurkan shadaqah.”71 Al-Qur‟an sangat keras dalam mencela riba yang secara tradisional ditafsirkan dengan bunga. Akan tetapi, para ekonom Muslim modern, walaupun menafsirkan riba juga sebagai bunga, berpendapat bahwa penghapusan bunga tidak akan membantu menciptakan ekonomi yang bebas eksploitasi. Sebaliknya, membuat bank tanpa bunga dalam system ekonomi kapitalis yang rentan inflasi ini, mengarah pada eksploitasi yang lebih besar terhadap penabung kecil dan memberikan keuntungan kepada orang-orang kaya yang meminjam uang dari bank tanpa bunga atau bebas biaya untuk semakin memperkaya dirinya. Inflasi itu mengurangi nilai mata uang yang tidak menghasilkan bunga dalam perbankan yang bebas bunga dan disinilah penabung kecil kehilangan uangnya. Dengan demikian, didalam ekonomi kapitalis yang rentan inflasi, Negara-negara yang sudah maju pun tetap saja mudah terkena inflasi, terlebih Negara yang sedang berkembang.72
70
Al-Qur‟an, 2: 275
71
Al-Qur‟an, 2: 276
72
Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 141
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisa yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai jawaban dari perumusan masalah yang ditentukan. Kesimpulan tersebut penulis uraikan sebagai berikut : 1. Asghgar Ali memandang penimbunan kekayaan merupakan suatu hal yang menggangu jalannya roda perekonomian dan menimubulkan eksploitasi umat manusia dalam kegiatan ekonomi sebab penumpukan kekayaan pada segelintir orang menimbulkan kekayaan absolut dan kemiskinan absolut. 2. Keadilan distribusi sebagai alat untuk menghilangkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang melalui efektifitas pengolahan zakat agar terjaadi pemerataan pendapatan sehingga menghilangkan kemiskinan absolut. Kemudian untuk mengatasi eksploitasi umat dalam ekonomi melalui penghapusan riba, riba bukan hanya sekedar bunga melainkan eksploitasi sesama manusia termasuk industri dan periagaan yang tidak adil dianggap riba. 3. Konsep taqwa menurut Asghar Ali bukan hanya sebuah konsep ritualistik, namun juga integral terkait kewadilan sopsial dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 BAB Kesejahteraan sosial menyangkut kebutuhan materil
72
73
yang harus diatur dalam organisasi dan system ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan dengan berlandaskan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan sosial adalah nlai yang menduduki posisi penting dalam pemikiran system ekonomi Islam. Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif. Asghar Ali belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme.
B. Saran Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya penulis memiliki beberapa saran : 1. Untuk pembaca sebaiknya melihat pemikiran Asghar Ali Engineer secara konprehensif sebab Asghar Ali Engineer merupakan seorang sosiolog bukan ekonom murni yang menyebabkan ia selalu berpikir kritis sesuai keadaan yang dialami.
74
2. Untuk semua pihak yang berkonsentrasi pada bidang perekonomian hendaknya mampu meneladani kepribadian Rasulullah pada setiap aspek kehidupan dalam langkah dan waktu. Maksudnya bahwa sendi-sendi keislaman yang berkaitan dengan keadilan ekonomi sudah berjalan sejak lama sampai sekarang harus tetap berjalan. 3. Untuk mahasiswa, seyogyanya bersemangat progresif untuk terus mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Asghar Ali Engineer kepada kita. 4. Untuk civitas akademika UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA hendaknya menggali lebih dalam pemikiran Asghar Ali Engineer yang bersifat progresif revolusioner dalam memihak masyarakat lemah menuju masyarakat yang berkeadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, PT. Dana Bakti: jogyakarta 1997 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: Karim Bussines Consulting,2001). Al-qu’an al-karim Engginer, Asghar Ali, 1984, Islam and Its Our Age, Bombay:I.I.S. ______________________, terjemahan Islam and Its Our Age, Jogjakarta:LKIS, 2007, jilid 2. Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), cet.I. h.12. Santoso, Listiyono dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Pres, 2003), cet. Ke-1 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), cet. Ke-1. Yusuf al-Qardhawi, Peran Nilai Dalam Perekonomian Islam, Didin Hafidudin (penterjemah), (Jakarta:Robbani Press,1977), cet ke-1