Health Technology Assessment Indonesia
KB pada Periode Menyusui [Hasil kajian HTA tahun 2009]
Dirjen Bina Pelayanan Medik KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
PANEL AHLI 1.
Dr. Seno Adjie, SpOG (K) Perhimpunan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Subbagian Obstetri Sosial, Departemen Obstetri dan Ginekologi, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
2.
Dr. Tyas Priyatini, SpOG (K) Perhimpunan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Subbagian Obstetri Sosial, Departemen Obstetri dan Ginekologi, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
KONTRIBUTOR 1.
Dr. Wicaksono BKKBN
2.
Dr. Poppy Irawati BKKBN
3.
Dr. Prastowo Subdit KB, Binkesmas, Kementrian Kesehatan RI
UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN INDONESIA 1.
Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua I
2.
Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Ketua II
3.
Dr. K Mohammad Akib, SpRad, MARS Anggota
4.
Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn Anggota
5.
Drg. Anwarul Amin, MARS Anggota
6.
Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota
7.
Dr. Ady Thomas Anggota
8.
Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes Anggota
9.
Dr. Titiek Resmisari Anggota
2
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010 10. Dr. Henny Adriani Puspitasari Anggota 11. Dr. Maria Gita Dwi Wahyuni Anggota
3
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, jumlah penduduk Indonesia tercatat sebesar 225.642.124 jiwa, dengan tingkat kepadatan 118 jiwa per km2 yaitu mengalami peningkatan dibandingkan jumlah penduduk tahun 2002-2003. Angka Kematian Wanita (AKI) menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 dilaporkan sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab utama yang secara langsung menyebabkan kematian wanita maternal adalah perdarahan (28%), keracunan Kehamilan (24%), infeksi (11 %), komplikasi nifas (8%), persalinan macet/lama (5%), keguguran (5%). Risiko ini akan meningkat apabila wanita hamil masuk ke dalam golongan 4 T yaitu (1) Terlalu muda melahirkan (<20 th), 0.3%; (2) Terlalu sering melahirkan (>3 anak), 37%; (3) Terlalu rapat jarak melahirkan (< 2th), 9.4%; dan (4) Terlalu tua untuk melahirkan (>35 th), 13.9%.Selain meningkatkan mortalitas dan morbiditas wanita, jarak antarkehamilan yang dekat juga menyebabkan persalinan preterm dan bayi berat lahir rendah (prematuritas) yang merupakan penyebab ke-2 kematian neonatus usia 0-6 hari (32.4%).1 Diperkirakan jumlah kelahiran di Indonesia sekitar 4.500.000 tiap tahun (Riskesdas 2007) dengan 760.000 (17%) dari jumlah tersebut merupakan kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan.2 Pada masa menyusui, seringkali wanita mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD/unwanted pregnancy) pada interval yang dekat dengan kehamilan sebelumnya karena kembalinya menstruasi dan terjadinya ovulasi sulit untuk diperkirakan. Hal tersebut dikarenakan lamanya masa anovulasi pada periode pascapersalinan tergantung dari banyak faktor di antaranya: pola pemberian ASI, variasi biologis, nutrisi, geografi, budaya dan faktor sosioekonomi.3 Suatu studi melaporkan bahwa interval kehamilan 5 bulan atau kurang memiliki risiko yang lebih tinggi dalam hal kematian maternal (OR 2.54; 95% IK 1.22-5.38), perdarahan trimester ketiga (1.73; 1.42-2.24), ketuban pecah dini (1.72; 1.53-1.93), endometritis puerpueral (1.33; 1.22-1.45) dan anemia (1.30; 1.18-1.43) dibandingkan wanita dengan interval kehamilan 18-23 bulan.4 Selain itu, studi kasus-kontrol yang dilakukan oleh Al-Jasmi, dkk (2002) menunjukkan bahwa jarak antar kehamilan kuartil 1 (2.8-8.9 bulan) dan kuartil 2 (9-15.9 bulan) merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm dengan Adjusted Odds Ratio berturutturut 8.2 (95% IK 3.5-19.2) dan 5.4 (95%IK 2.4-12.6).5 Persalinan preterm dan bayi berat lahir rendah yang merupakan dua penyebab tersering kematian pada neonatus.6 Kontrasepsi merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengatur jarak kehamilan. Sampai saat ini, para ahli masih memperdebatkan kapan sebaiknya kontrasepsi dimulai dan metode kontrasepsi yang sesuai pada wanita menyusui. Pemberian ASI sendiri dapat menjadi metode kontrasepsi yang efektif, yang dikenal sebagai Metode Amenorea Laktasi (MAL). Terdapat metode kontrasepsi lain yang dapat efektif dalam mencegah kehamilan pada periode menyusui diantaranya metode barrier, hormonal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) serta sterilisasi. Tidak semua metode sesuai untuk digunakan pada periode menyusui, seperti kontrasepsi kombinasi yang dikatakan oleh beberapa studi memberikan efek yang tidak
4
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
menguntungkan pada proses laktasi dibandingkan dengan progestin. Literatur yang tersedia sampai saat ini masih menunjukkan hasil yang bervariasi dan inkonsisten. Untuk itu, Health Technology Assessment melakukan pengkajian terhadap waktu dan metode penggunaan kontrasepsi yang tepat pada periode menyusui guna memberikan rekomendasi kepada pemerintah, praktisi klinis dan instansi terkait dalam mengambil kebijakan yang efektif, efisien dengan tetap mempertimbangkan aspek etikolegal dan sosiokultural. 1.2 Tujuan Tujuan Umum : Mengatur jarak kehamilan melalui penggunaan kontrasepsi yang tepat pada periode menyusui. Tujuan Khusus : a. Terwujudnya rekomendasi waktu yang tepat bagi wanita menyusui untuk menggunakan kontrasepsi. b. Terwujudnya rekomendasi mengenai metode kontrasepsi yang tepat bagi wanita menyusui. c. Terwujudnya rekomendasi mengenai keamanan dan efektivitas alat kontrasepsi pada wanita menyusui.
5
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB II METODOLOGI PENILAIAN
2.1 Strategi Penelusuran Kepustakaan Penelusuran artikel dilakukan melalui The Cochrane library, PubMed, Popline, gfmer, New England Journal of Medicine, British Medical Journal. Informasi juga didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh World Health Organization (WHO), PATH, National Guidelines Clearinghouse (NGC), The Academy of Breastfeeding Medicine dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Kata kunci yang digunakan adalah contraception OR contraceptive OR “family planning” AND lactation OR postpartum OR breastfeeding. 2.2 Penggolongan literatur Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence-based medicine, ditentukan level of evidence dan tingkat rekomendasi. Level of evidence dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research. Tingkat pembuktian (Level of evidence): Ia. Ib. IIa. IIb. IIIa. IIIb. IV.
Meta-analysis of randomized clinical controlled trials Minimal satu randomized clinical controlled trials Minimal satu non-randomized clinical controlled trials Cohort dan Case control studies Cross-sectional studies Case series dan case report Konsensus dan pendapat ahli
Tingkat rekomendasi : A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb atau IV
6
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB III KONDISI PASCAPERSALINAN
3.1 Fisiologi wanita pascapersalinan Wanita menyusui Selama kehamilan, kadar prolaktin mengalami peningkatan, terjadi perangsangan terhadap pertumbuhan payudara dan kelenjar mammae. Peningkatan kadar prolaktin berhubungan dengan disfungsi ovulasi dan infertilitas. Pada proses laktasi, hal tersebut berperan penting dalam menunda kembalinya ovulasi setelah persalinan.7 Estrogen dan progesteron memiliki efek hambatan terhadap prolaktin pada payudara. Setelah persalinan, prolaktin bertindak sebagai hormon utama yang mendukung produksi ASI, terjadi penurunan kadar estrogen dan progesteron beserta efek inhibitornya terhadap prolaktin secara bermakna. Refleks isap bayi akan merangsang prolaktin dan mempertahankan produksi ASI. Pembesaran payudara dan sekresi ASI secara penuh mulai terjadi pada hari ketiga hingga keempat pasca pesalinan ketika estrogen dan progesteron benar-benar telah hilang dari sirkulasi wanita. Berdasarkan teori, kontrasepsi hormonal khususnya yang mengandung estrogen dapat mengganggu laktasi melalui efek inhibitornya terhadap prolaktin yang bertanggung jawab terhadap produksi ASI.8 Kembalinya siklus menstruasi setelah persalinan merupakan salah satu indikator kembalinya kemampuan reproduksi, tetapi terjadinya mentruasi tidak selalu berarti terjadi ovulasi. Monitor terjadinya ovulasi dapat dilakukan dengan ultrasonografi. Ovulasi ditandai dengan folikel yang berukuran lebih dari 1.8 cm dan akumulasi cairan di kavum uterorektal. Suatu studi pada 101 wanita menyusui, menunjukkan bahwa 53 wanita (52.5%) dengan diameter folikel > 1.8 cm mengalami menstruasi pada hari ke 138±84, mengalami ovulasi pertama kali dalam 155±45 hari pascapersalinan dan mengalami kenaikan suhu basal tubuh 613 hari setelahnya. Sedangkan 48 wanita dengan diameter folikel ≤ 1.7 cm mengalami menstruasi kembali dalam 293±88 hari. Waktu kembalinya menstruasi juga berkorelasi dengan pemberian makanan pengganti ASI pada bayi (r=0.5554, p<0.01) dan waktu terjadinya ovulasi pertama kali pascapersalinan (r=0.4764, p<0.01).9 Wanita tidak menyusui Pada wanita yang memilih untuk tidak menyusui, kadar gonadotropin tetap rendah selama 2-3 minggu pertama masa nifas dan kembali ke normal pada minggu ke-3 dan ke-5 saat kadar prolaktin mengalami penurunan di bawah kadar normal.8 Rerata waktu terjadinya ovulasi pertama kali pada wanita AS adalah 45±3.8 hari (rentang 25-72 hari). Sebagai tambahan, 2/3 wanita menyusui dan tidak menyusui mengalami ovulasi sebelum terjadinya perdarahan pertama. Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan pemakaian kontrasepsi dan waktu dimulainya pemakaian kontrasepsi sebelum kembalinya menstruasi.10 Kondisi Hiperkoagulabilitas Pascapersalinan Faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan dan memulai kontrasepsi pascapersalinan adalah adanya kondisi hiperkoagulabel yang meningkatkan risiko tromboemboli vena 2 minggu setelah persalinan. Penggunaan kontrasepsi yang mengandung
7
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
estrogen tidak direkomendasikan pada periode ini, karena penggunaan estrogen dapat menyebabkan eksaserbasi risiko tromboemboli.7 3.2 Terminologi Kontrasepsi Pascapersalinan Menurut WHO, penggunaan kontrasepsi pada masa pascapersalinan dibagi menjadi dua yaitu wanita pascapersalinan yang menyusui dan wanita pascapersalinan yang tidak menyusui. Masa menyusui yang dimaksud adalah masa pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan penelitian berbasis populasi dan literatur kedokteran lainnya, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan sejak persalinan merupakan cara paling optimal untuk memberikan makanan kepada bayi. Setelah 6 bulan menyusui secara ASI eksklusif, bayi dapat mulai mengkonsumsi makanan tambahan selain tetap mendapat ASI sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih. ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi, ASI menyediakan seluruh energi dan nutrisi yang diperlukan bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. Pemberian ASI setelah 6 bulan pascakelahiran mencukupi lebih dari setengah kebutuhan nutrisi bayi pada setengah tahun kedua, serta menyediakan lebih dari sepertiga kebutuhan nutrisinya selama tahun kedua kehidupan.11 WHO dan UNICEF telah merumuskan rekomendasi mengenai pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pascapersalinan bagi ibu menyusui, yaitu sebagai berikut : Proses menyusui bayi pertama kali dilakukan oleh ibu dalam 1 jam pertama pascapersalinan, atau lazim dikenal sebagai inisiasi menyusui dini (IMD); Proses menyusui ASI eksklusif berarti bayi mendapat asupan nutrisi hanya dari ASI selama 6 bulan pertama pascakelahiran, tanpa pemberian makanan atau minuman tambahan apapun (tidak terkecuali air putih); Ibu memberikan ASI sesuai kebutuhan/semau bayi (on demand) yaitu sesegera mungkin ketika bayi minta disusui, siang dan malam; Tidak diperkenankan pemakaian botol susu, dot atau kempeng.11 Pemberian ASI eksklusif mengharuskan bayi disusui secara on demand (menurut kebutuhan bayi) dengan bayi dibiarkan mengisap sampai bayi sendiri yang melepaskan isapannya. Saat menyusui, bayi dibiarkan menyelesaikan mengisap dari satu payudara sebelum memberikan payudara lain, supaya bayi mendapat cukup banyak susu akhir (hind milk). Bayi hanya membutuhkan sedikit ASI dari payudara berikut atau sama sekali tidak memerlukan lagi. Ibu dapat memulai dengan memberikan payudara lain saat menyusui berikutnya sehingga kedua payudara memproduksi banyak ASI. Waktu antara 2 pengosongan payudara tidak lebih dari 4 jam.12 American Academy of Pediatrics/AAP (1997) merekomendasikan frekuensi menyusui perhari (24 jam) sebanyak 8-12 kali dengan durasi menyusui selama 10-15 menit untuk tiap payudara. Pada minggu pertama pascakelahiran, meskipun bayi tidak memberi tanda ingin menyusu, bayi tetap rutin diberi ASI setiap 4 jam setelah menyusui terakhir. Tidak diperbolehkan suplementasi makanan dan minuman apapun, kecuali obat-obatan atas indikasi medis.13 Menyusui bayi akan menstimulasi perkembangan sistem sensorik dan kognitif, serta melindungi bayi dari penyakit infeksi dan penyakit kronik. Pemberian ASI eksklusif menurunkan mortalitas bayi terhadap penyakit diare atau pneumonia, serta mempercepat masa penyembuhan. Dampak ini dapat diukur pada sumber daya masyarakat miskin dan kaya.14 8
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Menyusui berkontribusi terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu, membantu dalam pengaturan jarak kehamilan, menurunkan risiko terhadap kanker ovarium dan kanker payudara, meningkatkan sumber daya keluarga dan negara, serta merupakan metode pemberian makan yang aman terhadap bayi dan lingkungan.11 Dalam hal pemilihan metode kontrasepsi pascapersalinan yang tepat, saat pemakaian kontrasepsi pada wanita menyusui dapat dibagi menjadi 3 yaitu: <6 minggu, ≥6 minggu s.d. <6 bulan dan ≥6 bulan pascapersalinan. Sedangkan periode pemasangan kontrasepsi pada wanita yang tidak menyusui dapat dibagi menjadi 2 yaitu periode <21 hari dan ≥ 21 hari.11 3.3 Farmakologi obat pada wanita menyusui Literatur yang ada saat ini merekomendasikan bahwa ASI harus diberikan kepada bayi baru lahir jika tidak ada kontraindikasi pemberiannya. Pemberian ASI berhubungan dengan penurunan mortalitas dan morbiditas serta perkembangan kognitif bayi baru lahir. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat menyusui, wanita terkadang membutuhkan obat-obatan termasuk di antaranya kontrasepsi hormonal. Obat-obatan ini harus diberikan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap ASI dan juga pertumbuhan bayi.15 Paparan obat terhadap bayi baru lahir melalui air susu, tergantung dari dua hal yaitu jumlah obat yang diekskresikan di air susu dan risiko bagi bayi pada jumlah ekskresi tersebut. Jumlah obat yang diekskresikan di air susu tergantung dari karakteristik obat seperti ikatan protein plasma, ionisasi, derajat lipofilik, berat molekul dan kinetik.15
9
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB IV KONTRASEPSI PERIODE MENYUSUI
4.1 Kontrasepsi Progestin 4.1.1 Kontrasepsi pil progestin (minipil) Sh. Khaghani, et al (2004) melakukan studi nonrandomized controlled trial pada 140 wanita menyusui. Kelompok I terdiri dari 51 wanita menggunakan kontrasepsi progestin (pil progestin 0.5 mg: 45 orang, DMPA injeksi 150 mg:6 orang) dan kelompok II terdiri dari 89 wanita menggunakan kontrasepsi nonhormonal (AKDR:47 orang, kondom:20 orang, sterilisasi dan abstinensia:11 orang), dimulai 6 minggu pascapersalinan. Setelah 26 minggu, dibandingkan komponen ASI pada kedua kelompok tersebut dan tidak didapatkan perbedaan bermakna pada konsentrasi protein, sodium, kalsium, fosfor dan potasium dalam susu. Trigliserida pada kelompok hormonal lebih tinggi (504.54 ± 213.48) daripada kelompok nonhormonal (p<0.05) sedangkan magnesium pada kelompok nonhormonal lebih tinggi (4.07±1.42) daripada kelompok hormonal (p<0.05).16 Penggunaan kontrasepsi progestin tidak menunjukkan perbedaan volum ASI, pertumbuhan bayi dan komposisi ASI dibandingkan dengan plasebo selama 14 hari pertama pascapersalinan. (Velazquez 1976) Pil progestin (progestin-only minipills) atau yang lebih dikenal luas sebagai minipil bekerja sebagai metode kontrasepsi dengan melepaskan hormon progestin dalam dosis rendah. Terdapat bukti kuat tentang rendahnya efek terhadap produksi ASI serta pertumbuhan dan perkembangan neonatus. Bahkan pada beberapa kasus, justru terjadi peningkatan volum produksi ASI. Sebaliknya, kontrasepsi hormonal kombinasi akan menurunkan kuantitas produksi serta menyebabkan perubahan pada komposisi ASI. Minipil menyebabkan perubahan kecil dalam komposisi ASI melalui transfer steroid dari plasma ke ASI dalam jumlah sedikit, namun biasanya sangat rendah bahkan tidak dapat dideteksi dalam tubuh neonatus setelah pemakaian minipil dalam beberapa hari oleh wanita menyusui.17 Minipil tidak memengaruhi volum ASI maupun komposisinya, serta tidak menyebabkan efek jangka panjang terhadap bayi. Idealnya, wanita yang memberikan ASI eksklusif dapat memulai pemakaian minipil pada 6 minggu pascapersalinan.18,19 Penggunaan metode amenorea laktasi saja selama 6 minggu awal pascapersalinan akan menurunkan paparan hormon eksogen terhadap bayi dan menurunkan insidens perdarahan ireguler pascapersalinan. Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari pascapersalinan.19 Berkurangnya kadar progesteron secara drastis pascapersalinan memicu inisiasi laktogenesis, sehingga dipikirkan bahwa progesteron perlu mencapai kadar basal sebelum memulai pemakaian kontrasepsi pil progestin. Oleh karena itu, penggunaan metode kontrasepsi ini sebaiknya ditunda setidaknya sampai 3 hari pascapersalinan.20 4.1.2 Kontrasepsi suntikan progestin Terdapat 2 jenis kontrasepsi suntikan yang hanya mengandung progestin, yaitu : (1) Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depoprovera), mengandung 150 mg DMPA yang diberikan setiap 3 bulan/90 hari dengan cara disuntik intramuskular (di daerah bokong); (2) 10
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Depo Noretisteron Enantat (Depo Noristerat), yang mengandung 200 mg Noretindron Enantat, diberikan setiap 2 bulan dengan cara disuntik intramuskular. Pemberian kontrasepsi suntikan Noristerat untuk 3 injeksi setelah injeksi pertama diberikan setiap 8 minggu, kemudian injeksi kelima dan seterusnya diberikan setiap 12 minggu. Suntikan dapat diberikan 2 minggu sebelum jadwal, atau 2 minggu setelah jadwal asalkan tidak terjadi kehamilan.12 Pengaruh progestin injeksi terhadap laktasi telah diteliti efektif untuk mengontrol kesuburan pascapersalinan pada wanita menyusui (M.Karim et al, 1971). Penggunaan norethisterone ethanate/NET EN (200 mg/84 hari) dan depot medroxyprogesterone acetate/DMPA (150 mg/3 bulan) yang dimulai pada masa nifas dan diikuti selama 3 bulan, menunjukkan tidak terdapat penurunan volum ASI yang diukur produksinya per 3 jam setiap harinya. Secara statistik, berat badan bayi mengalami peningkatan dibanding kelompok kontrol. Penggunaan progestin injeksi / DMPA pada minggu pertama (7 hari pascapersalinan) dan minggu keenam (42 hari pascapersalinan) pascapersalinan terbukti tidak menimbulkan efek negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi. Efek samping yang muncul hanya amenore – yang normal terjadi pada periode ini – sehingga tidak menimbulkan masalah bagi para wanita. Penggunaan progestin injeksi akan mencegah kehamilan selama setidaknya 11 bulan pascainjeksi. Kehamilan kembali cenderung terjadi jika injeksi selanjutnya tertunda dalam 5 bulan pascainjeksi terakhir.21 The Cochrane Library melakukan kajian sistematik terhadap 2 studi RCT mengenai perbandingan efek jangka panjang penggunaan DMPA dan NET EN terhadap kenaikan berat badan dan penurunan tekanan darah. Hasil kajian menyatakan setelah penggunaan 12 bulan, pada kelompok NET EN kenaikan berat badan 0.37 kg lebih rendah daripada kelompok DMPA – meskipun hasil ini tidak signifikan secara statistik (95% IK -0.33–1.07; p=0.30). Studi WHO selama 24 bulan menyatakan kenaikan berat badan tidak berbeda bermakna diantara keduanya (-1.39–1.39; 1.00). Rerata perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik dalam 12 bulan tidak berbeda bermakna.22 Dalam banyak studi, penggunaan DMPA sebagai kontrasepsi jangka panjang dikaitkan dengan penurunan densitas mineral tulang/DMT (bone mineral density/BMD) akibat status hipoestrogenik. Efek tersebut bersifat reversibel setelah penghentian penggunaan DMPA. Kaunitz (2006) menyatakan bahwa penghentian penggunaan DMPA selama 96 minggu akan memulihkan DMT (95% IK -0.2% pada panggul; -1.19% pada tulang sakrum).23 Perhatian utama terhadap penggunaan DMPA pada remaja menyangkut peningkatan risiko osteoporosis. Hal ini dicetuskan oleh kondisi hipoestrogen akibat penggunaan DMPA pada remaja pascamenarch yang memengaruhi formasi massa tulang, memicu osteopenia dan mengakibatkan osteoporosis (Cromer, 1996). Beksinska (2005) menyatakan penggunaan DMPA sejak remaja dapat meningkatkan kecenderungan osteoporosis dan fraktur pada usia selanjutnya karena belum tercapainya massa puncak tulang (DMT tertinggi), yang pada 90% wanita terjadi pada usia 18 tahun, kemudian pada usia 18-30 tahun akan terjadi penambahan 10% terakhir dari DMT maksimal. Pada usia diatas 30 tahun, massa tulang akan terus berkurang akibat tingginya proses resorbsi tulang. Pengaruh penggunaan DMPA jangka panjang terhadap kejadian fraktur osteoporosis belum terbukti.24 Penelitian lain menyatakan hilangnya massa tulang pada wanita yang menggunakan DMPA pada usia < 20 tahun dan pada pemakaian jangka lama. Studi cross sectional ini menunjukkan DMT yang rendah pada seluruh tulang pada remaja wanita. (Cundy 1998; 11
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Scholes 1999). Oleh karena itu, penggunaan DMPA pada wanita usia menarch sampai dengan 18 tahun memerlukan pemantauan khusus.24 Kajian sistematik oleh the Cochrane Library terhadap 13 RCT menyatakan bahwa penggunaan DMPA jangka panjang (> 2 tahun) akan menurunkan DMT sebesar 5-10%.22 Scholes (2002) menyatakan penggunaan DMPA jangka pendek (12 bulan) ataupun jangka panjang (> 2 tahun) akan berpengaruh pada penurunan densitas mineral tulang lumbal.25 Cromer et al (1994) meneliti perbandingan antara pemberian terapi estrogen dengan plasebo selama 2 tahun penggunaan DMPA yang terbukti memperkecil penurunan DMT (2.8% dan -1.8% pada tulang sakrum; 4.7% dan -5.1% pada tulang paha; P<0.001). The US Food and Drug Administration/FDA (2004) menganjurkan penggunaan DMPA tidak lebih dari 2 tahun terkait efek DMPA terhadap penurunan DMT, kecuali tidak terdapat pilihan kontrasepsi lain bagi wanita tersebut. Selain itu, direkomendasikan pula suplementasi harian kalsium sebanyak 1.300 mg dan 400 IU vitamin D selama penggunaan DMPA. Penggunaan DMPA > 2 tahun dipertimbangkan untuk disertai dengan terapi estrogen (estrogen oral 0.625 mg/hari, estradiol oral 1 mg/hari, estradiol transdermal 0.05 mg atau estrogen injeksi 150 mg/12 minggu).24 Akan tetapi, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama penggunaan DMPA bagi wanita usia 18-45 tahun (WHO 2006;ACOG 2008).24 Pemeriksaan DMT tidak direkomendasikan untuk dikerjakan sebagai prosedur rutin bagi wanita pengguna DMPA jangka panjang.26 Mengenai kemungkinan DMPA memicu keganasan, sejumlah penelitian menyatakan bahwa penggunaan jangka panjang DMPA tidak signifikan dalam meningkatkan risiko kanker payudara atau kanker serviks, dan memiliki efek proteksi terhadap kanker ovarium. Bukti-bukti menyatakan remaja wanita yang menggunakan kontrasepsi, termasuk DMPA, tidak mengalami peningkatan risiko kanker payudara dalam ≥ 10 tahun setelah penghentian penggunaan. Kajian sistematik WHO (1993) menyatakan bahwa kontrasepsi tersebut tidak signifikan dalam meningkatkan kadar serum growth hormone. Terdapat 2 penelitian kasus kontrol yang menemukan hasil bermakna tentang risiko kanker payudara setelah penggunaan DMPA yaitu tidak terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA terhadap peningkatan risiko kanker payudara (Tabel 1). Penelitian WHO (1991) menghitung risiko relatif (RR) terhadap kanker payudara pada wanita setelah penggunaan DMPA selama ≥ 3 tahun sebesar 0.93 (95% IK 0.62-1.41). Penelitian New Zealand (1989) menyatakan RR sebesar 1.2 (0.59-2.2) pada penggunaan DMPA ≥ 6 tahun.27 Tabel 1. Penelitian kasus kontrol WHO dan New Zealand (Hasil 95% IK dan RR) Deskripsi
Rentang usia (tahun)
Jumlah subyek penelitian
27
Kasus
Kontrol
Subyek kontrol yang pernah menggunakan DMPA (%)
RR (95% IK)
a
New Zealand: penelitian berbasis populasi
25-54
891
1.864
13.5
1.0 (0.8-1.3)
WHO: penelitian berbasis RS
< 63
869
11.890
12.2
1.21 (0.96-1.52)
b
12
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Kedua penelitian tersebut menemukan pula hubungan bermakna antara wanita yang pernah menggunakan DMPA dengan peningkatan risiko terdiagnosis kanker payudara sebelum usia 35 tahun. Tetapi, tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko terdiagnosis kanker payudara pada usia > 35 tahun (Tabel 2).27 Tabel 2. Estimasi RR dan 95% IK terhadap wanita yang pernah menggunakan DMPA dengan usia 27 terdiagnosis kanker payudara dan usia penggunaan DMPA pertama kali Deskripsi penelitian
New Zealand
WHO
Usia saat pertama kali terdiagnosis
Usia saat pertama kali menggunakan DMPA
Tahun
Tahun
RR (95% IK)
RR (95% IK) a,b
a
25-34
2.0 (1.0-3.8)
< 25
1.5 (0.85-2.6) )
35-44
0.94 (0.65-1.4)
25-29
0.79 (0.50-1.3)
45-54
0.95 (0.63-1.4)
≥ 30
1.1 (0.75-1.5)
< 25
1.32 (0.81-2.17)
≥ 25
1.21 (0.96-1.53)
< 35
1.40 (0.88-2.22)
35-44
1.08 (0.75-1.55)
≥ 45
1.01 (0.68-1.51)
c
c
Berdasarkan penelitian tersebut, terdapat hubungan antara risiko kanker payudara dengan durasi penggunaan DMPA. RR tertinggi terkait dengan penggunaan ≤ 48 bulan oleh wanita muda (Tabel 3) dan hal ini menjelaskan peningkatan risiko terdiagnosis kanker payudara sebelum usia 35 tahun. Tingginya temuan ini kemungkinan besar disebabkan dapat dideteksinya kanker secara dini, bukan karena munculnya kanker akibat penggunaan alat kontrasepsi. 27 Tabel 3. Estimasi RR dan 95% IK terhadap kanker payudara pada wanita yang pernah menggunakan DMPA 27 dengan durasi penggunaan Deskripsi penelitian New Zealand
WHO
Saat penggunaan yang pertama kali
Saat penggunaan yang terakhir kali
Bulan
Bulan
RR (95% IK)
< 60
1.6 (1.0-2.5)
OR (95% IK) a
a
< 60
1.7 (0.88-3.4 )
60-119
1.2 (0.76-1.9)
60-119
0.99 (0.65-1.5)
120-179
0.92 (0.64-1.3)
≥ 120
0.78 (0.53-1.2)
≥ 180
0.73 (0.39-1.4)
≤ 48
2.02 (1.35-3.01)
Saat ini
1.65 (1.08-2.52)
49-96
1.24 (0.81-1.90)
≤ 12
1.17 (0.53-2.56)
97-156
0.90 (0.60-1.36)
13-36
1.28 (0.74-2.20)
b
b
13
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
≥ 157
1.04 (0.68-1.58)
37-84
1.09 (0.68-1.75)
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan estrogen dengan progestin dapat meningkatkan risiko kanker payudara, dibandingkan penggunaan estrogen saja (Tabel 4) Tabel 4. Perbandingan risiko kanker payudara pada pengguaan estrogen dengan progestin, dibanding 28 estrogen saja
Penelitian
Kasus kanker payudara
RR Durasi E saja a (dalam tahun)
Kenaikan RR pertahun
Durasi E dan a P(dalam tahun)
1.2 (10.3 average 1.4 (3.6 average mean person per mean person per year) year)
E saja
b
2082
Ross, et al (2000)
1897
0.93 (> 10)
1.79 (> 10)
The Nurses Health Study (2000)
2035
1.1 (> 10)
1.58 (> 10)
3.3% (±0.84%)
9.0 (±2.5%)
Swedish case control study (1999)
3345
2.7 (> 10)
2.95 (> 10)
3% (-2 sampai 8%)
7% (2-11%)
Newcomb, et al (1995)
3130
0.81 (>5)
1.06 (>5)
tidak dihitung
tidak dihitung
1.2%
8% (2-16%)
c
Schairer, et al (2000)
d
1% (0.2-3%)
E dan P
d
7.6% e
d
e
.
Terdapat sebuah randomized double-blind trial tahun 1988 di Thailand yang membandingkan volum ASI dan komposisinya, serta pertumbuhan bayi dalam interval 3-4 minggu sampai 6 bulan pada 4 kelompok yang berbeda. Kelompok tersebut yaitu 1) akseptor kontrasepsi oral kombinasi dosis rendah yang mengandung 30 μg etinil estradiol dan 150 μg levonorgestrel (N=86); 2) minipil yang mengandung 75 μg dl-norgestrel (N=85); 3) akseptor kontrasepsi nonhormonal atau tanpa kontrasepsi (N=111) sebagai kelompok kontrol; 4) akseptor DMPA (N=59) sebagai pembanding – total sampel penelitian adalah 341 orang. Seluruh sampel merupakan wanita sehat yang melahirkan normal, bayi mereka lahir dengan berat normal dan tumbuh kembang selama masa neonatusnya baik. ASI yang diproduksi wanita diperah secara berkala dan diukur volumnya. Hasil penelitian tersebut menyatakan selama 6 minggu pascapersalinan penggunaan kontrasepsi oral kombinasi menurunkan secara signifikan produksi ASI dan kandungan total energi dalam ASI, selain itu mengubah komposisi ASI. Setelah 18 minggu penggunaan kontrasepsi kombinasi oral menyebabkan penurunan ASI sebanyak 41,9%, sedangkan penggunaan minipil menurunkan 12% dan 6,1% pada kelompok kontrol. Pada kelompok akseptor DMPA, tidak terdapat perubahan pada volum ASI dan hanya 14
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
sedikit terjadi perubahan komposisi ASI yang bervariasi antarsampel. Tidak terdapat perbedaan pada berat badan bayi atau ketebalan lemak serta tidak ditemukan kegagalan menaikkan berat badan. Studi ini menyatakan DMPA aman digunakan pada populasi dengan syarat status gizi wanita dan bayi baik.29,30 Sama dengan kontrasepsi progestin lainnya, DMPA tidak meningkatkan risiko trombosis puerperal sehingga teorinya, suntikan DMPA dapat diberikan pertama kali dalam hari ke-3 pascapersalinan. Namun penggunaan semacam ini dikatakan mendahului kebutuhan untuk kontrasepsi, selain juga meningkatkan risiko perdarahan pascapersalinan menjadi memanjang dan lebih banyak. Dalam prakteknya, suntikan pertama DMPA akan ditunda hingga minggu kelima sampai keenam pascapersalinan untuk wanita menyusui. Sedangkan bagi wanita yang tidak menyusui, suntikan pertama tidak boleh ditunda terlalu lama, biasanya sekitar hari ke-21 pascapersalinan.3 Penggunaan DMPA akan menunda kembalinya fertilitas sehingga tidak dianjurkan untuk wanita yang menginginkan kehamilan kembali dalam 2 tahun.23 Namun, DMPA justru terpilih bagi wanita usia muda yang berisiko mengalami kehamilan kembali dalam jarak terlalu dekat.31 4.1.3 Kontrasepsi Implan Implan termasuk salah satu alat kontrasepsi yang aman dipakai pada masa laktasi. Terdapat 3 jenis implan yang tersedia di Indonesia, yaitu (1) Norplant, dengan lama kerja 5 tahun, yang terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga (panjang 3.4 cm; 2.4 mm) berisi 36 mg levonorgestrel; (2) Implanon, dengan lama kerja 3 tahun, yang terdiri dari 1 batang putih lentur (panjang ± 40 mm; 2 mm) berisi 68 mg 3-keto-desogestrel; (3) Jadena dan Indoplant, dengan lama kerja 3 tahun, yang terdiri dari 2 batang berisi 75 mg levonorgestrel.12 Implan Indoplant cukup aman dan efektif dalam mencegah kehamilan, sebanding dengan implan Norplant. Efek samping dan keluhan pemakai Indoplant dan Norplant antara lain masalah perdarahan, pusing dan sakit kepala – semuanya masih dalam batas normal dan umumnya terjadi dalam 6 bulan pertama pemakaian. Angka kehamilan pada bulan ke-36 untuk kelompok Indoplant 0.7 per 100 wanita, sedangkan pada kelompok Norplant tidak ditemukan kehamilan.32 Karena tidak mengandung hormon estrogen, maka kontrasepsi implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan dapat digunakan selama laktasi, minimal 4 minggu pascapersalinan.33,34 Norplant sangat efektif, dengan tingkat kegagalan 0.1 per 100 wanita pada penggunaan 12 bulan pertama (Sivin et al., 1998; Croxatto, 2000). Diaz (2002) menyatakan tidak terdapat efek kontrasepsi implan yang mengganggu durasi menyusui, volum dan komposisi ASI, serta pertumbuhan bayi. Levonorgestrel, etonorgestrel dan nestorone terukur dalam ASI, sementara levonorgestrel terukur dalam serum bayi yang menerima ASI. Perkiraan dosis harian yang diterima bayi yang menerima ASI eksklusif dari ibu pengguna implan sama dengan dosis pil progestin (satuan nanogram), dan lebih kecil daripada dosis suntikan progestin (satuan mikrogram). Hasil pengukuran ASI yang diberikan kepada bayi dalam sebulan setelah penggunaan, dapat diukur besarnya kadar steroid yang diterima bayi perhari yaitu 90-100 ng levonorgestrel (Norplant), 75-120 ng etonorgestrel (Implanon), serta 50 ng dan 110 ng Nestorone (implan Nestorone dan Elcometrine).
15
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Penggunaan Norplant tidak menyebabkan turnover dan densitas tulang selama laktasi. Norplant dan Implanon melepaskan progestin aktif sementara Nestorone dan Elcometrine melepaskan progestin dalam bentuk inaktif. Nestorone merupakan implan yang lebih direkomendasikan pada periode menyusui sebab kandungan steroid di dalamnya mengalami inaktivasi oleh metabolisme lintas pertama hati (Massai et al, 2001). 4.1.4 AKDR dengan Progestin (AKDR levonorgestrel) Jenis AKDR yang mengandung hormon steroid adalah Prigestase yang mengandung progesteron dan Mirena yang mengandung levonorgestrel.12 Shaamash (2005) membandingkan insersi 6-8 minggu pascapersalinan antara Mirena dengan IUD CuT-380A pada wanita menyusui. Dikatakan bahwa penggunaan Mirena sampai bayi berusia 1 tahun efektif dan tidak mengganggu proses laktasi pada wanita menyusui, serta tidak mengganggu tumbuh kembang bayi. AKDR Levonorgestrel merupakan perpaduan antara kontrasepsi hormonal, sejenis dengan kontrasepsi injeksi, dengan AKDR. Didalamnya terkandung hormon levonorgestrel yang dilepaskan 20 µg perhari. Penggunaan AKDR Levonorgestrel memiliki keuntungan mengurangi perdarahan bahkan mengakibatkan amenore jangka panjang. Efek ini bersifat reversibel.35 Dalam setahun pertama pascapelepasan AKDR, fertilitas akan kembali dan 90% wanita akan mengalami kehamilan.36 Gambar 1 menampilkan karakteristik AKDR Levonorgestrel.
Gambar 1. AKDR Levonorgestrel Sumber : http://www.fhi.org/en/RH/Pubs/Network/v16_2/res_Levonorgestrel20IUD.htm
AKDR Levonorgestrel efektif digunakan selama 5 tahun. Bentuknya menyerupai AKDR copper Nova-T namun tanpa mengandung copper. Komponen vertikalnya mengandung 52 mg 16
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
hormon levonorgestrel sintetis. Penelitian menunjukkan bahwa bagian ini masih mengandung 40% penyusun steroid aslinya setelah 5 tahun. Karena efek kontrasepsi jangka panjang inilah, para ahli mempertimbangkan pemakaiannya sebagai alternatif dari sterilisasi pada wanita.35 AKDR Levonorgestrel tidak direkomendasikan untuk wanita menyusui pada insersi dini pascaplasenta sampai 48 jam pascapersalinan, ataupun insersi pada kurang dari 4 minggu pascapersalinan.11 4.2 Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) sering direkomendasikan kepada wanita menyusui sebagai metode kontrasepsi karena lebih efektif dibandingkan metode lain dalam hal pengaruh terhadap laktasi atau efektivitas dalam mencegah kehamilan. Banyak studi yang menunjukkan bahwa AKDR tidak memiliki efek terhadap durasi menyusui dan kualitas serta kuantitas ASI.37 Terdapat berbagai macam AKDR di seluruh dunia, termasuk inert devices, AKDR yang mengandung tembaga (copper-bearing IUDs) dan pelepas hormon progestin. Ahli kedokteran sudah tidak merekomendasikan penggunaan AKDR inert dan AKDR pelepas tembaga yang lama (T 200 dan Copper 7). AKDR yang umum dipakai di seluruh dunia adalah CuT-380A. Suatu studi randomisasi melaporkan bahwa tingkat kehamilan kumulatif pada pemakaian CuT380A adalah 2.2 per 100 wanita setelah 12 tahun penggunaan. Tingkat kegagalan yang terjadi pada tahun pertama adalah di bawah 1% sedangkan tingkat kehamilan yang terjadi hampir sama dengan metode sterilisasi.38 Terdapat 2 jenis AKDR yang beredar di Indonesia, yaitu AKDR CuT-380A dan NOVA T (Schering). Namun, AKDR CuT-380A masih merupakan jenis AKDR yang dipakai di pusatpusat pelayanan primer seluruh Indonesia, termasuk di puskesmas. AKDR CuT-380A memiliki efektivitas yang tinggi sebagai alat kontrasepsi, dengan 0.6-0.8 kehamilan/100 perempuan dalam 1 tahun pertama penggunaan. AKDR ini dapat digunakan sebagai metode kontrasepsi jangka panjang (proteksi selama 10 tahun dan tidak perlu diganti), serta tidak ada efek samping hormonal sehingga tidak memengaruhi kualitas dan volume ASI pada wanita menyusui. AKDR ini dapat dipasang segera setelah melahirkan.12 Efek samping penggunaan AKDR copper adalah peningkatan insidens perdarahan menstruasi yang panjang dan berat, kram serta perdarahan bercak (spotting) pada bulan pertama pemakaian. Pertimbangan lain adalah terjadinya ekspulsi dan penyakit radang panggul. Tingkat ekspulsi dikatakan berhubungan dengan waktu insersi serta banyak ditemui pada wanita muda dan nulipara.38 Pada wanita yang memiliki keterbatasan akses ke pelayanan medis, saat persalinan dapat menjadi kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi, khususnya insersi AKDR. Dibandingkan dengan sterilisasi, penggunaan AKDR lebih sederhana, relatif murah dan memiliki tingkat reversibilitas yang tinggi. Selain itu, insersi dini pascapersalinan mengurangi ketidaknyamanan serta perdarahan akibat insersi dapat tersamarkan oleh lokia.39 4.2.1 AKDR pascaplasenta The Cochrane Library melakukan kajian sistematik terhadap 8 RCT mengenai insersi AKDR pascaplasenta (didefinisikan sebagai insersi AKDR dalam waktu 10 menit setelah 17
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
pelepasan plasenta). Kajian tersebut menunjukkan hasil AKDR T Cu 200 memiliki tingkat ekspulsi yang lebih rendah pada metode insersi dini pascaplasenbta dibandingkan Delta Loop, Lippes Loop D, Delta T dan T Cu 220C (Tabel 5).40 Tabel 5. Tingkat ekspulsi berbagai tipe AKDR Tipe kontrasepsi Delta loop Lippes loop D Delta T T Cu 220C T Cu 200
Teknik pemasangan tangan inserter
Lama pengamatan (bulan)
Tingkat ekspulsi
6 6 6 6 12 12
15.7/100 21.5/100 11.6/100 11.5/100 9.0 8.1
tangan inserter
12 12
35.8 35.2
Progestasert
Sumber: Cochrane Database of Systematic Reviews 2001;2.
Cole (1984) melakukan randomisasi terhadap 1300 wanita dengan hasil yang menunjukkan bahwa insersi AKDR dini pascapersalinan adalah aman dan efektif. Namun demikian, tingkat ekspulsi spontan lebih tinggi dibandingkan insersi beberapa waktu setelah persalinan. Tindak lanjut lebih awal dikombinasikan dengan pemeriksaan mandiri terhadap benang sangat penting untuk mendeteksi ekspulsi spontan.41 Sejumlah studi terhadap AKDR CuT-380A menunjukkan bahwa alat kontrasepsi ini efektif dan nyaman untuk insersi dini pascaplasenta. Xu J, et al (1999) membandingkan tingkat ekspulsi pascainsersi dini pascaplasenta AKDR CuT-380A menggunakan tangan dan ring forceps setelah observasi 36 bulan (Tabel 6). Tidak terdapat kejadian perforasi uterus, infeksi atau perpanjangan periode lokia dari 384 subyek studi. Terdapat 67 kasus ekspulsi. Tabel 6. Perbandingan tingkat ekspulsi per 100 wanita pada insersi dini pascaplasenta AKDR CuT-380A Cara pemasangan Insersi dengan tangan (manual)
6 13.3
Insersi dengan ring forceps
12.70
Tingkat ekspulsi sesuai lama observasi (bulan) 12 24 13.55 15.78 17.23
17.77
36 16.90 18.34
Insersi AKDR dini pascapersalinan, dilakukan dalam 48 jam pertama pascapersalinan. Jika 48 jam pascapersalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau lebih pascapersalinan.42,43 Sebuah studi terbesar insersi AKDR pascaplasenta (Summer;Network;1984) terhadap 3.791 wanita pascapersalinan menyimpulkan bahwa (1) insersi AKDR dikerjakan dalam 10 menit setelah ekspulsi plasenta; (2) jika insersi dikerjakan dalam 10 menit pascapersalinan, tidak meningkatkan risiko infeksi ataupun perforasi uterus; (3) metode insersi lebih penting daripada jenis AKDR, kejadian ekspulsi adalah 6-37/1.000 akseptor dalam 6 bulan dan pemasangan AKDR pada fundus merupakan hal penting; (4) tingkat ekspulsi yang lebih tinggi
18
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
dibandingkan insersi AKDR 4 minggu pascapersalinan, namun metode kontrasepsi ini masih dapat diterima.44 Sebuah studi menemukan bahwa setelah 6 bulan pemasangan AKDR, tingkat ekspulsi kumulatif dari insersi AKDR pascaplasenta sebesar 9% sementara insersi AKDR dalam 24-48 jam pascapersalinan sebesar 37%.45 Insersi AKDR pascaplasenta dan pascapersalinan merupakan metode kontrasepsi yang efisien serta aman karena kecilnya insidens infeksi, masalah perdarahan dan perforasi uterus. Kejadian ekspulsi dipengaruhi oleh waktu melakukan insersi, jenis AKDR serta teknik insersi AKDR. Tingkat ekspulsi AKDR copper T : 7-15/100 akseptor dalam 6 bulan (insersi dilakukan oleh tenaga medis terlatih dan berpengalaman). Ekspulsi dikurangi dengan memasang AKDR tepat pada bagian teratas fundus uterus. Kejadian kehamilan yang tidak dikehendaki pascainsersi AKDR pascaplasenta adalah 2.0-2.8/100 akseptor dalam 24 bulan (insersi dengan AKDR copper terbaru, teknik insersi benar, dilakukan edukasi pascainsersi AKDR dan follow up baik). Teknik insersi untuk insersi AKDR pascaplasenta memakai teknik manual atau dengan ring forceps sementara untuk insersi AKDR pascapersalinan (10 menit-48 jam pascapersalinan) dengan ring forceps. 46 Kesulitan pemasangan AKDR pascaplasenta disebabkan penyempitan kanalis servikalis pascapersalinan akibat kontraksi kuat uterus pascainjeksi oksitosin (1 menit setelah bayi lahir). Sementara itu, insersi pascapersalinan sesar dilakukan tanpa menjahitkan AKDR pada dinding uterus (AKDR hanya diletakkan dalam fundus uterus) sehingga tingkat ekspulsinya sama atau lebih tinggi daripada insersi pascapersalinan pervaginam. Pada insersi pascapersalinan sesar, benang dijahitkan pada dinding uterus melalui lubang insisi segmen bawah uterus sehingga sangat sulit dan biasanya tidak mencapai fundus (hanya sampai pada dinding korpus anterior). Hal ini menimbulkan komplikasi pemasangan AKDR pascaplasenta yaitu dismenore / nyeri pelvis.47 Tjahjanto H. (2009) menemukan teknik inovasi dalam pemasangan AKDR pascaplasenta untuk persalinan pervaginam maupun sesar. Pemasangan AKDR persalinan pervaginam menggunakan cara berupa teknik push and push. Teknik ini dilakukan menggunakan kombinasi inserter dan ring forceps/ klem ovarium, sehingga : dapat menempatkan AKDR setinggi mungkin sampai fundus uterus, klem ovarium dapat digunakan untuk mengarahkan insersi AKDR, maka insersi dapat dilakukan pada uterus yang sudah dalam keadaan kontraksi sehingga dapat dipasang segera setelah plasenta lahir (dalam 10 menit pertama) ataupun lebih 10 menit setelah plasenta lahir, penggunaan tabung inserter akan melindungi batang tengah AKDR dari jepitan klem ovarium, dan pendorong dapat mempertahankan posisi AKDR sewaktu inserter ditarik. Dengan teknik baru ini diharapkan tingkat ekspulsi dapat diturunkan sebab pemasangan AKDR dapat mencapai bagian teratas fundus uterus. Kelebihan lainnya yaitu komplikasi nyeri/rasa tidak nyaman saat insersi tidak ada/sangat rendah. Dengan demikian, alat kontrasepsi telah terpasang saat pemulangan wanita pascapersalinan.47 Pemasangan AKDR pascapersalinan sesar dilakukan dengan menggunakan teknik hang up/hanging kemudian membuat simpul pada lengan AKDR menggunakan simpul jangkar/anchor knot. Teknik ini dilakukan dengan menempatkan benang terserap lambat (chromic catgut) melalui penembusan dinding luar fundus uterus menggunakan jarum lurus. 19
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Setelah benang berada dalam kavum uterus, kemudian ditarik keluar melalui lubang insisi segmen bawah uterus. Kemudian benang disimpulkan dengan simpul jangkar pada tengah/percabangan lengan horizontal-vertikal AKDR sehingga AKDR tergantung seimbang dan fleksibel pada benang tersebut. Selanjutnya pangkal benang di luar uterus ditarik sehingga AKDR terpasang dan terfiksasi pada dinding fundus uterus.47 Teknik tersebut dapat menekan kejadian ekspulsi dan kejadian dislokasi, serta dapat menekan kejadian nyeri pelviks maupun dismenore yang sering timbul pada teknik penjahitan yang telah dilaksanakan selama ini.47 Kontrol dilakukan dengan USG seminggu kemudian dan sebulan setelah kontrol pertama atau sekitar 6 minggu pascapersalinan. Pada kunjungan kedua, dilakukan USG dan pemeriksaan dengan spekulum, yang dapat diikuti dengan pemotongan benang AKDR jika perlu.47 4.2.2 AKDR 4 minggu pascapersalinan Pemasangan AKDR Copper T aman dilakukan 4 minggu pascapersalinan, namun pemasangan AKDR jenis lainnya memerlukan penundaan sampai 6 minggu pascapersalinan. Terdapat berbagai jenis AKDR lain (Gambar 2). Hal tersebut dikarenakan tingginya kejadian ekspulsi pada AKDR noncopper yang dipasang dengan teknik push insertion.46,48 Farr G dan Riverra R (1992) menyatakan proses insersi AKDR copper T 380A pada wanita menyusui tidak menimbulkan nyeri, serta mengakibatkan lebih sedikit perdarahan dan nyeri dibandingkan pada wanita yang tidak menyusui.49 Tingkat ekspulsi setelah 12 bulan pemasangan AKDR sebesar 6%.50 Tabel 7 menunjukkan perbandingan tingkat ekspulsi AKDR menurut waktu dilakukannya insersi. Tabel 7. Perbandingan tingkat ekspulsi pada insersi AKDR
Waktu insersi AKDR
Definisi
,45,51
Tingkat ekspulsi
Insersi dini pascaplasenta
Insersi dalam 10 menit setelah pelepasan plasenta
9.5-12.5%
Insersi segera pascapersalinan
> 10 menit – 48 jam pascapersalinan
25-37%
Insersi tunda pascapersalinan
>48 jam – 4 minggu pascapersalinan
TIDAK DIREKOMENDASIKAN
Perpanjangan interval pascapersalinan
> 4 minggu pascapersalinan
3-13%
Observasi
Ideal : tingkat ekspulsi yang rendah Masih aman
Meningkatkan risiko perforasi dan ekspulsi Aman
20
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Gambar 2. Macam-macam AKDR yang tersedia di luar Amerika serikat Sumber: The Academy of Breastfeeding Medicine
4.3 Metode Amenorea Laktasi (MAL) Metode amenorea laktasi (MAL) didefinisikan sebagai penggunaan proses pemberian ASI sebagai metode kontrasepsi bagi wanita yang masih belum mengalami menstruasi (amenorea) dan tidak memberikan suplementasi makanan dan minuman apapun kepada bayinya hingga usia 6 bulan pascapersalinan. Metode ini memberikan perlindungan lebih dari 98% terhadap terjadinya kehamilan pada 6 bulan pertama pascapersalinan.52 Terdapat tiga kriteria yang didefinisikan sebagai periode dimana risiko terjadinya kehamilan adalah paling 21
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
rendah (Gambar 1). Apabila semua jawaban dari ketiga pertanyaan pada algoritma adalah tidak, maka MAL dapat digunakan. Bila salah satu jawaban adalah ya, maka dianjurkan untuk menggunakan metode kontrasepsi lainnya. Tiga kriteria tersebut adalah: amenorea, pemberian ASI eksklusif dan proteksi terbatas pada 6 bulan pertama pascapersalinan, semua kriteria ini harus dipenuhi untuk memastikan proteksi yang adekuat dari kehamilan yang tidak direncanakan (unplanned pregnancy).53,54 MAL dapat dipakai sebagai alat kontrasepsi bila ibu menyusui secara penuh (full breastfeeding) artinya bayi hanya mendapat asupan ASI saja; lebih efektif jika pemberian ASI ≥ 8 kali perhari, ibu belum haid (amenore) dan usia bayi < 6 bulan. MAL memiliki efektivitas yang tinggi (keberhasilan 98% pada enam bulan pertama pascapersalinan). Beberapa catatan dari konsensus Bellagio (1988) untuk mencapai efektivitas 98%, yaitu:12 Ibu harus menyusui secara penuh atau hampir penuh (hanya sesekali diberi 1-2 teguk air/minuman pada upacara adat/agama); Perdarahan sebelum 56 hari pascapersalinan dapat diabaikan (belum dianggap haid); Bayi menghisap secara langsung; Menyusui dimulai dari setengah sampai 1 jam setelah bayi lahir; Kolostrum diberikan kepada bayi; Pola menyusui on demand (menyusui setiap saat bayi membutuhkan) dan dari kedua payudara; Sering menyusui selama 24 jam termasuk malam hari; Hindari jarak menyusui > 4 jam.
54
Gambar 3. Algoritma MAL Sumber : Labbok M, Cooney K, Coly S. Guidelines: Breasfeeding, Family Planning, LAM. Washington DC. Institute for Reproduction Health. 1994
22
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
MAL dapat diaplikasikan pada semua wanita tanpa persyaratan medis tertentu dan hingga saat ini tidak ada dokumentasi yang menunjukkan akibat negatif MAL pada kesehatan wanita. Pada MAL, wanita tetap menyusui untuk menyediakan kebutuhan nutrisi bayi dan memberikan perlindungan terhadap penyakit. Namun ada beberapa kondisi yang mempengaruhi proses pemberian ASI dan juga mempengaruhi durasi amenorea, sehingga menjadikannya suatu pilihan yang kurang bermanfaat untuk tujuan keluarga berencana.11 Pada studi observasional yang dilakukan oleh Diaz (1988) dengan wanita pengguna AKDR sebagai kelompok kontrol, didapatkan tingkat kehamilan kumulatif setelah 6 bulan sebesar 2.45 dengan penggunaan definisi standar berakhirnya amenorea. Definisi standar yang dimaksud tidak mengikutsertakan terjadinya perdarahan sebelum 56 hari pascapersalinan sebagai tanda berakhirnya amenorea. Sedangkan tingkat kehamilan kumulatif dengan menggunakan definisi kedua yang mengikutsertakan segala perdarahan sebagai tanda berakhirnya amenorea menunjukkan tingkat kehamilan kumulatif sebesar 0.45. Studi yang dilakukan oleh Peres (1991) menunjukkan bahwa dengan menggunakan definisi standar berakhirnya amenorea, tingkat kehamilan kumulatif sebesar 0.45 pada penggunaan MAL.52 Dalam studinya, Diaz juga menyampaikan bahwa tidak terdapat perbedaan waktu kembalinya menstruasi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada wanita yang menyusui penuh, 52% tidak mengalami menstruasi dalam 6 bulan. Sedangkan Peres menyatakan bahwa 56% wanita yang mengasuh bayinya secara penuh, tetap amenorea dalam 6 bulan dibandingkan 22% pada kelompok kontrol.52 Kajian sistematik The Cochrane Library, menyimpulkan bahwa wanita yang menyusui penuh akan tetap amenorea pada 6 bulan pertama pascapersalinan bergantung pada masa laktasi. Menurut kajian ini, amenorea didefinisikan sebagai tidak ditemukan kehilangan darah selama sedikitnya 10 hari setelah perdarahan pascapersalinan. Saat berakhirnya amenorea tidak dapat diprediksikan. Negara-negara yang memiliki kesulitan akses terhadap kontrasepsi, dapat menggunakan MAL pada bulan pertama setelah persalinan dan akan lebih bijaksana apabila motivasi wanita untuk menggunakan metode kontrasepsi lain juga ikut ditingkatkan. Selama menyusui, metode AKDR menjadi pilihan dan pil progestin atau metode barier dapat digunakan sebagai alternatif.52 Saat MAL dirasakan sudah tidak dapat lagi diaplikasikan atau kapanpun wanita menyusui menginginkan metode kontrasepsi yang lain maka dapat dilakukan transisi metode lainnya dapat dipertimbangkan dengan tetap memperhatikan konsekuensinya terhadap kesuksesan pemberian ASI. Pilihan pertama adalah metode yang tidak mengganggu laktasi. Beberapa studi menyatakan kontrasepsi progestin tidak memberikan masalah pada proses laktasi sedangkan estrogen diketahui mengurangi jumlah ASI. 4.4 Kontrasepsi Kombinasi Oral Dosis Rendah Cochrane melakukan sebuah kajian sistematik dari beberapa RCT mengenai efek kontrasepsi hormonal, nonhormonal dan progestin terhadap volume ASI, inisiasi menyusui, kelangsungan dan durasi menyusui serta pertumbuhan bayi. Studi ini menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti yang cukup untuk mendukung bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal memiliki efek terhadap kuantitas serta kualitas ASI tetapi studi ini meyakinkan bahwa pemakaian kontrasepsi hormonal tidak memberikan efek yang buruk pada pertumbuhan dan perkembangan bayi.55 23
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Penggunaan kontrasepsi oral menyebabkan efek inhibitor pada volume ASI dan durasi laktasi pada 25 wanita dari 50 subjek penelitian yang dilakukan oleh Miller (1970). Sementara Semm (1966) menyatakan bahwa kontrasepsi kombinasi oral tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada volume ASI, inisiasi laktasi, atau pertumbuhan bayi selama 10 hari pertama postpartum dibandingkan dengan plasebo.WHO menemukan penurunan bermakna volume ASI pada penggunaan kontrasepsi kombinasi oral dibandingkan dengan kelompok progestin. Volume ASI pada 12-24 minggu pada pengguna kontrasepsi kombinasi adalah 51 ml dan 41 ml, dibandingkan dengan 72 ml dan 65 ml pada pengguna kontrasepsi progestin. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal komposisi ASI, pertumbuhan bayi dan komposisi biokimia ASI. Volume ASI pada pemakai kontrasepsi kombinasi mengalami penurunan rata-rata 42% sedangkan pemakai kontrasepsi progestin sebesar 12%.55 WHO di dalam Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use merekomendasikan kepada wanita menyusui untuk tidak menggunakan Kontrasepsi kombinasi oral pada 6 minggu pertama pascapersalinan.11 4.5 Kontrasepsi Kombinasi Injeksi, Patch, Cincin (Ring) Kontrasepsi yang mengandung kombinasi estrogen dan progesteron dalam bentuk injeksi, patch maupun ring dapat digunakan oleh wanita menyusui setelah ≥ 6 bulan pascapersalinan. Namun, pada wanita menyusui hingga 6 bulan pascapersalinan, metode ini tidak direkomendasikan oleh WHO karena dikatakan dapat mengurangi kuantitas ASI, penurunan durasi laktasi dan kemungkinan dapat mengganggu pertumbuhan bayi.11 4.5.1 Kontrasepsi Kombinasi Injeksi Kontrasepsi kombinasi injeksi menyebabkan terjadinya pelepasan estrogen dan progestin alamiah serta bekerja dengan cara menghambat ovulasi. Kontrasepsi tersebut dikatakan lebih fisiologis dan potensinya lebih rendah daripada estrogen sintetis yang terdapat di dalam kontrasepsi kombinasi oral sehingga efek samping akibat penggunaannya lebih jarang dirasakan oleh pengguna. Studi menunjukkan bahwa kontrasepsi kombinasi injeksi menimbulkan efek lebih sedikit pada tekanan darah, hemostasis dan koagulasi, metabolism lipid dan fungsi hati dibandingkan dengan oral. Tetapi efek dari paparan hormonal tidak dapat segera dihilangkan pada saat kontrasepsi dihentikan. Formulasi kontrasepsi kombinasi injeksi diberikan dengan interval 4 minggu. Sediaan yang tersedia adalah sebagai berikut: 11 1) Cyclofem = Medroksiprogesterone asetat 25 mg dan estradiol cypionate 5 mg 2) Mesigyna = Norethisterone enantat 50 mg dan estradiol valerat 5 mg Jenis suntikan kombinasi yang tersedia di Indonesia adalah Cyclofem (injeksi sebulan sekali) dan Cyclogeston – keduanya berisi medroksiprogesterone asetat 25 mg dan estradiol sipionat 5 mg. 4.5.2 Kontrasepsi Transdermal (Patch) Pada tahun 2002, FDA menyetujui penggunaan patch kontrasepsi kombinasi (Ortho Evra) yang melepaskan 20 mcg etinil estradiol dan 150 mcg norelgestromin per hari. Patch kontrasepsi ini berukuran 20 cm2 dengan bentuk seperti plester tipis yang terdiri dari 3 lapisan yaitu: lapisan pelindung luar, lapisan tengah berperekat yang mengandung medikasi serta lapisan bening yang dilepaskan ketika pemasangan patch. Patch diaplikasikan setiap minggu
24
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
selama 3 minggu, diikuti dengan waktu bebas patch selama 1 minggu sehingga terjadi perdarahan. 39,41 Lokasi pemasangan patch yang dianjurkan adalah di lengan atas, pantat, perut bagian bawah dan tubuh bagian atas (tidak termasuk payudara). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Abrams, dkk (2002), absorpsi norelgestromin dan etinil estradiol selama aplikasi patch di pantat, lengan dan batang tubuh adalah ekuivalen (rasio rerata AUC dan Css 90%IK 0.8-1.2) sedangkan absorpsi pada pemasangan di abdomen 20% lebih kecil daripada tiga lokasi lainnya.41
Gambar 4. Lokasi pemasangan patch kontrasepsi transdermal Sumber: http://www.myortho360.com/myortho360/evra/application_sites.html
Mekanisme kerja kontrasepsi transdermal adalah melalui inhibisi ovulasi. Angka kegagalan berdasarkan Indeks Pearl menunjukkan bahwa kegagalan pada kelompok kontrasepsi transdermal lebih rendah secara numerik daripada kontrasepsi oral (1.24 dan 0.99, berturut-turut) walaupun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0.57 dan p=0.80).56 Pada studi RCT yang membandingkan pemakaian kontrasepsi transdermal dan oral, mengindikasikan probabilitas kehamilan selama 6 siklus lebih rendah pada kontrasepsi transdermal (95% IK 0.0-1.2) daripada kontrasepsi oral (95% IK 0.2-2.1). Probabilitas kehamilan selama 13 siklus pada kontrasepsi transdermal (95% IK 0.0-2.7) juga lebih rendah daripada kontrasepsi oral (95% IK 0.2-3.4). Namun demikian, breakthrough bleeding pada siklus 1 dan 2 kelompok kontrasepsi transdermal lebih tinggi daripada kelompok oral. Amenorea terjadi pada 0.1% pengguna patch dan 0.2% pengguna kontrasepsi oral. Efek samping yang paling sering menyebabkan penghentian pemakaian adalah sakit kepala, reaksi lokal pada tempat pemasangan, mual, dismenorea dan rasa tidak nyaman pada payudara lebih sering dialami oleh pengguna patch transdemal. Akhirnya, studi ini menunjukkan bahwa perlekatan patch tampaknya dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya penggantian patch karena pelepasan total sebanyak 1.8% sedangkan karena pelepasan parsial adalah 2.8%.56 4.5.3 Kontrasepsi Cincin (Vaginal Ring) Kontrasepsi cincin bekerja sebagaimana pil kombinasi oral, tetapi penggunaan setiap hari oleh pasien tidak dibutuhkan. Cincin ini dipasang di dalam vagina selama 3 minggu dan akan melepaskan etinil estradiol dengan kadar 15 mcg per hari serta etonogestrel dengan kadar 120 mcg per hari. Bila cincin terlepas dari vagina selama lebih dari 3 jam maka diperlukan 25
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
kontrasepsi tambahan selama 7 hari hingga cincin dipasang kembali. Setelah tiga minggu, cincin dilepaskan selama 1 minggu baru kemudian dilakukan pemasangan cincin yang baru.Withdrawal bleeding terjadi pada saat cincin dilepaskan.57 Pada studi yang dilakukan selama 1 tahun oleh Dieben et al (2002) dilaporkan bahwa tingkat kegagalan penggunaan kontrasepsi cincin berdasarkan Indeks Pearl pada kelompok subjek yang menerima perlakuan adalah 1.18 dan pada kelompok subjek yang mematuhi protokol sebanyak 0.77. Sebagian besar subjek menyatakan bahwa pemasangan dan pelepasan kontrasepsi cincin mudah dilakukan dan 90% meggunakan alat secara benar. Reaksi yang umum dilaporkan berkaitan dengan perlakuan adalah sakit kepala (5.8%), vaginitis (5.6%) dan leukorhea (4.8%).58
Gambar 5. Struktur dan cara penggunaan kontrasepsi cincin (vaginal ring) Sumber: http://your-life-asia.com/, www.pharmainfo.net/reviews/
4.6 Kontrasepsi Emergensi Kontrasepsi emergensi didefinisikan sebagai penggunaan obat atau alat sebagai metode darurat untuk mencegah kehamilan setelah hubungan seksual tanpa proteksi. Dari definisi ini didapatkan bahwa metode kontrasepsi digunakan setelah terjadinya hubungan seksual dan sebelum terjadi kehamilan.59 Kontrasepsi emergensi tidak ditujukan untuk penggunaan rutin tetapi dapat mencegah kehamilan apabila pilihan lain gagal atau metode kontrasepsi rutin tidak digunakan.60 Berbagai jenis kontrasepsi emergensi dapat dilihat pada tabel 8. 26
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Tabel 8. Jenis Kontrasepsi Emergensi Jenis alat kontrasepsi emergensi
Dosis
Merk yang tersedia di pasaran AS
Kontrasepsi kombinasi oral
100 µg etinil estradiol dan 0.5 mg levonorgestrel (2 kali perhari/tiap12 jam)
Preven (Gynetics)
Kontrasepsi pil progestin
1.5 mg levonorgestrel (dosis tunggal) atau 0.75 mg (2 kali perhari/tiap12 jam)
Plan B
AKDR copper T
--
ParaGard T 380A (Ortho-McNeil)
Anti progestin
10 mg mifepristone
Tidak tersedia dalam dosis ini
Ovral (Wyeth)
Sumber: http://www.not-2-late.com
4.6.1 Pil Kontrasepsi emergensi pertama kali diperkenalkan oleh Yuzpe, et al (1970) yang dikenal sebagai Regimen Yuzpe. Regimen ini terdiri dari dua dosis kontrasepsi kombinasi oral yang mengandung 100 µg etinill estradiol dan 0.5 mg levonorgestrel atau 1.0 mg progestin norgestrel yang pemberiannya diulang dalam 12 jam dengan dosis pertama diberikan dalam rentang waktu 72 jam pacakoitus. Regimen ini telah mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA) untuk dapat diberikan dengan resep dokter dan dapat menurunkan risiko terjadinya kehamilan.61 Saat ini beberapa regimen dikembangkan sebagai kontrasepsi emergensi yaitu: kontrasepsi kombinasi oral, levonorgestrel (LEVONORGESTREL), antigonadotropin danazol, dan antiprogestin mifepristone (RU486) serta CDB-2914. Metode-metode tersebut direkomendasikan penggunaannya dalam 72 jam pascakoitus walaupun mifepriston dan levonorgestrel telah diujicobakan sampai 120 jam atau 5 hari pascakoitus untuk tujuan penelitian.62 Untuk kontrasepsi emergensi, E. Gainer et al (2007) meneliti pemakaian 1.5 mg levonorgestrel (dosis tunggal atau 2 x 0.75 mg tiap 12-24 jam) dalam 72 jam pascakoitus tanpa proteksi pada wanita menyusui. Pengukuran konsentrasi levonorgestrel dalam plasma dan ASI meningkat dalam 1-4 dan 2-4 jam pascapengobatan (per oral), dengan rasio konsentrasi pada ASI lebih rendah daripada plasma (0.28). Perkiraan paparan Levonorgestrel pada bayi sebesar 1.6 µg pada hari pengobatan (1 µg dalam 8 jam pertama), 0.3 µg pada hari kedua dan 0,2 µg pada hari ketiga. Oleh karena itu, untuk mengurangi paparan terhadap bayi, wanita menyusui sebaiknya berhenti menyusui setidaknya 8 jam (tidak lebih dari 24 jam) pascapengobatan levonorgestrel.63 Tidak terdapat restriksi penggunaan metode kontrasepsi emergensi pada wanita menyusui.64 4.6.2 AKDR Copper Pemakaian AKDR copper sebagai kontrasepsi emergensi dilakukan dalam waktu 5 hari pascakoitus tanpa proteksi. Insersi AKDR copper dapat dilakukan 5 hari pascakoitus selama insersi tersebut tidak terjadi > 5 hari pascaovulasi (jika waktu ovulasi dapat diperkirakan). 27
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Adapun kecil kemungkinan terjadinya kehamilan sebelum hari ke-12 siklus menstruasi. Lebih lanjut, pemakaian AKDR copper harus memenuhi syarat yaitu tidak digunakan dalam keadaan hamil – selain karena dapat meningkatkan risiko infeksi pelviks dan aborsi septik spontan, usia ≥ 20 tahun, sudah pernah melahirkan, serta insersi dini (pascaplasenta) atau pascapersalinan ≥ 4 minggu (untuk menurunkan tingkat ekspulsi).65 Insersi AKDR copper pascakoitus dapat dijadikan pilihan yang dapat dipertimbangkan penggunaannya sampai 5 hari setelah perkiraan waktu ovulasi dan dapat ditinggalkan di dalam uterus sebagai metode kontrasepsi jangka panjang.62 4.6.3 AKDR Levonorgestrel Adapun, penggunaan AKDR Levonorgestrel yang mengandung 52 mg levonorgestrel – tidak direkomendasikan untuk kontrasepsi emergensi. Sejauh ini, dipertimbangkan apabila telah terjadi kehamilan, pemakaian preparat hormonal di dalamnya akan memengaruhi tumbuh kembang janin. Paparan hormonal terhadap janin dapat menyebabkan abnormalitas pada janin – meskipun hal ini belum diketahui secara pasti.65 AKDR levonorgestrel tidak direkomendasikan untuk penggunaan < 4 minggu pascapersalinan (WHO, 2001). 4.7 Metode Barrier Dikenal berbagai alat yang digunakan sebagai alat kontrasepsi dengan metode barrier. Kondom lateks pria dan kondom polyurethane wanita adalah alat kontrasepsi yang berfungsi ganda, selain mencegah kehamilan yang tidak diinginkan juga mencegah terjadinya Infeksi Menular Seksual (IMS).66 Selain itu dikenal pula metode lain seperti diafragma dan spermisida dalam bentuk film, tablet, foam maupun gel. WHO MECC merekomendasikan penggunaan kondom, diafragma dan spermisida pada wanita menyusui ≥ 6 minggu pascapersalinan, sedangkan pada wanita menyusui < 6 minggu penggunaan diafragma tidak diperbolehkan.67 Efektivitas kondom pria maupun wanita dapat dinilai melaui pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA). Konsentrasi PSA pada cairan vagina akan mengalami peningkatan setelah terpapar cairan semen, kemudian kembali di bawah 1 ng.mL dalam 24-48 jam setelah paparan. Sehingga kadar PSA pada cairan vagina dapat mengindikasikan adanya paparan cairan semen. Suatu studi randomized cross over melaporkan bahwa 86/635 (14%) penggunaan kondom pria dan 100/599 (17%) penggunaan kondom wanita positif terhadap PSA. Proporsi dari hasil PSA yang positif tersebut adalah moderate-high postcoital (≥ 22 ng/mL) sebanyak 3.5% pada kondom pria dan 4.5% pada kondom wanita (95%IK 1.6-3.7). Penyebab tingginya kadar PSA yang didapatkan pada penggunaan kondom pria paling sering adalah kerusakan (11%), terlepas total (20%), penggunaan yang tidak teratur dan cara pemakaian salah (7.5%), pelepasan salah (1.3%) dan ditemukan pula pada pemakaian yang benar tanpa masalah apapun (2.7%). Sedangkan pada penggunaan kondom wanita penyebabnya berturut-turut kerusakan (100%), misrouting/salah arah (11%), invaginasi dan terlepas (8%) dan masalah mekanik lainnya (10%).
28
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
4.8 Metode Pengenalan Masa Subur (Fertility Awareness-Based Methods/FAB) Metode KB dengan pengenalan masa subur (FAB) merujuk pada kondisi fisiologis yang tampak seiring dengan fluktuasi hormonal yang terjadi pada siklus menstruasi seorang wanita. Keadaan tersebut dapat memperkirakan waktu terjadinya masa subur. Pengenalan terhadap masa subur dapat menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan melalui abstinensia (tidak berhubungan seksual sama sekali) atau pemakaian pelindung (barrier) ketika berhubungan seksual sepanjang masa subur.68 Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi kesuburan seorang wanita. Jika tidak terjadi pembuahan, sel telur (ovum) akan bertahan hidup dalam 24 jam sehingga memungkinkan sel sperma untuk mencapainya. Sperma memiliki masa hidup yang pendek setelah ejakulasi, terutama bila terpapar lendir serviks pada masa periovulasi. Pada keadaan optimal, sperma mampu bertahan selama 5 hari sehingga terdapat masa subur sepanjang 6 hari yang memungkinkan terjadinya kehamilan pada setiap siklus menstruasi.68 Metode KB dengan melakukan abstinensia pada masa subur lebih dikenal sebagai metode KB alamiah (Natural Family Planning/NFP), namun jika hubungan seksual pada masa subur dilakukan dengan penggunaan barrier maka dikenal sebagai metode FAB dengan barrier.69 FAB terdiri atas Metode lendir serviks atau Metode Ovulasi Billings/MOB (Billings Ovulation Method) dan Metode Simtomtermal (the Symptothermal Method). Dua metode pertama mengandalkan pemantauan terhadap sekresi lendir serviks selama 2 hari sebagai petanda kesuburan. Sementara metode ketiga memadukan pemantauan karakteristik lendir serviks serta pengukuran suhu basal tubuh dengan riwayat siklus menstruasi untuk memperkirakan masa subur (Gambar 6).69 Metode terakhir merupakan pengembangan dari metode sebelumnya yang dinilai kurang efektif karena hanya memakai ritme siklus menstruasi dan pengukuran suhu basal tubuh (Tabel 9).68
69
Gambar 6. Penentuan masa subur menurut the Symptothermal Method (STM) Sumber : Human Reproduction Vol.22, No.5 pp 1310-19, 2007.
29
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Tabel 9. FAB berdasarkan Analisis Life Table Metode FAB
Wanita dengan KTD dalam 1 tahun penggunaan (%) Penggunaan yang lazim
Sistem Kalender • Rhythm • Standard Day Method*
68
Ditambah dengan barrier
Penggunaan Ideal
Wanita yang terus menggunak an selama 1 tahun (%)
Wanita dengan KTD karena berhubungan seksual tanpa proteksi pada masa subur (%)
25 12
5.7
0.1-9 4.8
46
-
-
1
-
-
Pengamatan lendir serviks • TwoDays Methods • Metode Ovulasi э Billings
13.7 10.5-22.3
6.3
3.5 0.5
52.7 30.4-99.5
7.3 15.4
Metode simtomtermal
0.2-2.0
0.45-2.3
0.3
51.7-92.5
8.96
-
-
2
Tidak aplikatif
Tidak aplikatif
Pengukuran suhu basal tubuh
LAM
δ
ς
7.8
Di Indonesia, MOB sudah diterima sebagai salah satu metode KB (Mandiri).12 Terdapat sistem kalender/pantang berkala (Rhythm Method/RM) yang paling banyak digunakan sebelum kemunculan metode KB hormonal. Berdasarkan catatan siklus menstruasi selama 8-12 bulan sebelumnya, dapat diperkirakan lamanya masa subur yang berada pada hari ke 12-19 setiap siklus menstruasi. Adapun tiap siklus diawali dengan hari pertama menstruasi. Lamanya masa subur merupakan hari masa subur ditambah dengan selisih dari siklus terpanjang dan terpendek selama siklus menstruasi 8-12 bulan terakhir. Sebuah meta analisis melaporkan kejadian kehamilan yang tidak direncanakan (unplanned pregnancy) berkisar 15%18,3%. Salah satu metode yang mudah dipakai adalah Standard Day Method (SDM). Metode ini dapat diterapkan pada wanita dengan siklus menstruasi 26-32 hari, dengan patokan masa subur adalah hari ke-8-19. Metode selain SDM adalah the Two Day Method yaitu wanita memantau ada/tidaknya lendir serviks. Jika dalam 2 hari berturut-turut tidak ditemukan lendir yang keluar dari vagina, maka pada hari tersebut, kecil kemungkinan terjadi kehamilan pascakoitus.68 Pada metode pantang berkala untuk kontrasepsi, sanggama dihindari pada masa subur yaitu dekat dengan pertengahan siklus menstruasi atau terdapat tanda-tanda adanya kesuburan yaitu keluarnya lendir encer dari liang vagina. Untuk perhitungan masa subur, dipakai rumus siklus terpanjang dikurangi 11 dan siklus terpendek dikurangi 18. Antara kedua waktu tersebut, sanggama dihindari.12 30
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Metode Suhu Basal – melalui pengukuran peningkatan suhu basal tubuh pada masa subur – merupakan metode lain yang telah lama digunakan. Ovulasi dipicu oleh luteinizing hormone surge yang terkait dengan peningkatan suhu basal tubuh sebesar 0.5- 1°F (0.91.8°C). Pengukuran dengan termometer yang sensitif dapat dilakukan melalui mulut, vagina, atau rektum – dengan catatan dilakukan setiap hari pada tempat yang sama. Suhu basal tubuh diukur pada pagi hari saat bangun tidur pada jam yang sama setiap paginya, sebelum beranjak dari tempat tidur atau beraktivitas. Setidaknya setelah tidur selama 6 jam, maka pengukuran ini akan akurat. Peningkatan suhu basal tubuh terjadi pada fase luteal disebabkan oleh meningkatnya kadar hormon progesteron. Seorang wanita dikatakan mengalami ovulasi jika dalam pemantauan 3 hari berturut-turut terjadi peningkatan suhu basal tubuh (Gambar 7). Kehamilan dicegah melalui abstinensia sejak awal menstruasi sampai 3-4 hari setelah peningkatan suhu basal tubuh. Hari lainnya sampai awal menstruasi berikutnya merupakan masa tidak subur. Meskipun demikian, tidak semua wanita mengalami kenaikan suhu basal ketika ovulasi. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan pengukuran suhuh basal tubuh menjadi tidak akurat, antara lain konsumsi alkohol, kurang tidur/tidur terlalu larut malam, terlalu banyak tidur, perjalanan jauh (travelling), perbedaan zona waktu, kerja giliran (shift work), penyakit dan kelainan ginekologis serta obat-obatan.68
Gambar 7. Variasi suhu basal tubuh pada siklus menstruasi Sumber : http://www.irh.org/resources-SymptothermalMethod.htm
Terdapat studi yang menemukan bahwa pemantauan karakteristik lendir serviks dapat memprediksi dengan akurat waktu terjadinya ovulasi sehingga efektif untuk mencegah kehamilan. WHO menyatakan 93% wanita, tanpa memandang tingkat pendidikannya, dapat mengenali dan membedakan bagaimana sekresi lendir serviks pada masa subur ataupun tidak subur. Metode ini dilakukan dengan mengamati warna, tekstur, dan kemuluran lendir serviks. 31
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Karakteristik lendir serviks pada masa subur adalah jernih/encer, lembab, licin, dan mulur – seringkali dipadankan dengan putih telur. Sedangkan lendir serviks pada masa tidak subur akan berubah cenderung lebih kering, berbau, lengket dan tidak mulur. Menstruasi dianggap sebagai masa subur sebab menstruasi akan menutupi sekresi lendir serviks. Setiap perdarahan atau perubahan lendir serviks yang menginterupsi pola dasar masa tidak subur dianggap potensial menandakan masa subur.68 Wanita yang menggunakan MOB harus dapat mengenali masa subur dengan memantau lendir serviks yang keluar dari vagina, pengamatan dilakukan sepanjang hari dan diambil keputusan pada malam hari. Keseluruhan hasil pengamatan dari hari ke hari terus dicatat sepanjang siklus menstruasi (Gambar 8). Wanita perlu mengenali: (1) Hari-hari kering yaitu setelah darah menstruasi bersih, kebanyakan wanita memiliki 1 sampai beberapa hari tidak terlihat adanya lendir dan daerah vagina terasa kering; (2) Hari-hari subur yaitu saat terobservasi adanya lendir sebelum ovulasi maka wanita dianggap subur, walaupun jenis lendir kental dan lengket. Lendir subur yang basah dan licin mungkin sudah ada di serviks dan hari subur sudah dimulai; (3) Hari puncak adalah hari terakhir adanya lendir paling licin, mulur dan ada perasaan basah. Setelah hari puncak, hindari sanggama untuk 3 hari berikutnya siang dan malam.12 Serviks
Tinggi, lembut, terbuka Rendah, keras, tertutup Gambar 8. Variasi lendir serviks pada siklus menstruasi Sumber : http://www.irh.org/resources-SymptothermalMethod.htm
Metode Simtomtermal merupakan kombinasi pengukuran suhu basal tubuh dengan pemantauan lendir serviks serta riwayat siklus menstruasi untuk mengetahui masa periovulasi. Masa preovulasi merupakan fase tidak subur, sementara masa subur ditandai dengan munculnya lendir serviks pada hari ke-9. Hari-hari subur merupakan hari dengan lendir serviks yang encer (hari ke-12 sampai 14), dengan hari puncak pada hari ke-14. Suhu basal tubuh akan meningkat pada hari ke-16 sebagai tanda ovulasi. Hari pascaovulasi terjadi pada hari ke18 yaitu 3 hari setelah kenaikan suhu basal tubuh setelah hari puncak (Gambar 9).68 Untuk wanita menyusui, terdapat ilustrasi khusus seperti pada gambar 10. Ilustrasi tersebut diperuntukkan bagi wanita menyusui sejak minggu 34-41 pascapersalinan. Jika bayi telah mulai mendapatkan suplementasi, maka frekuensi menyusui akan berkurang. Sebagai petanda kesuburan, wanita menyusui dapat menggunakan metode pemantauan lendir serviks, sementara itu perubahan suhu basal tubuh baru mulai terjadi pada minggu ke-40 pascapersalinan. Masa pascaovulasi dimulai sejak 4 hari setelah peningkatan suhu basal tubuh, masa pascaovulasi ini cukup singkat.
32
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Gambar 9. Ilustrasi siklus menstruasi menurut Metode Simtomtermal Sumber : http://www.fertilityuk.org/nfps7814.html#stchartslug
33
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Gambar 10. Ilustrasi metode simtomtermal pada wanita menyusui Sumber : http://www.fertilityuk.org/nfps7814.html#stchartslug
FAB cenderung jarang dipergunakan karena berbagai alasan, antara lain wanita kesulitan mengenali tanda-tanda masa suburnya sendiri, serta kurang terampilnya tenaga medis untuk memberikan informasi yang diperlukan. Keberhasilan penggunaan metode KB ini dipengaruhi oleh norma-norma yang berkembang di masyarakat tentang perilaku seksual dan seksualitas, keyakinan/agama yang dianut, dan karakteristik individual pasien, serta dukungan pasangan.68 Tabel 10 memaparkan tingkat KTD pada 100 wanita yang menggunakan FAB selama 13 siklus menstruasi.
34
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Tabel 10. Tingkat KTD pada 100 wanita dengan berbagai perilaku seksual pada masa subur Siklus n
%
69
KTD % pertahun*
n
Abstinensia pada masa subur Penggunaan pelindung saat berhubungan seksual pada masa subur Berhubungan seksual tanpa pelindung pada masa subur Berhubungan seksual dengan, dan tanpa pelindung pada masa subur
6.022
34.14
2
0.43
4.375
24.8
2
0.59
2.353
13.34
14
7.46
1.183
6.71
2
2.18
Kontak seksual atau koitus pada masa subur
1.08
6.12
1
1.2
2.625
14.88
1
0.49
17.638
100
22
1.61
Tidak ada dokumentasi hubungan seksual Total
95% IK ** 0.551.55 0.072.13 4.151.23 0.277.65 0.036.50 0.012.72 1.012.43
Keunggulan metode KB ini adalah tidak adanya efek samping yang berisiko terhadap kesehatan, serta murah. Selain itu, metode KB alamiah ini membawa dampak sosial yang luas berupa menurunnya angka kejadian aborsi akibat kehamilan yang tidak dikehendaki, serta menurunnya kejadian perceraian pada populasi umum di Amerika. Hal tersebut merupakan hasil nonrandomized survey di Amerika, namun hasil tersebut tidak cukup valid untuk diterapkan pada populasi umum. Tabel 11 menunjukkan rekomendasi penggunaan FAB dalam praktik.68 Tabel 11. Rekomendasi untuk Praktik
68
Rekomendasi untuk klinisi Metode FAB modern memiliki tingkat KTD yang sama dengan metofe FAB konvensional Pasangan yang memilih FAB memerlukan bantuan tenaga medis untuk edukasi mengenai FAB Frekuensi hubungan seksual tidak menurun pada pasangan yang menggunakan TwoDay Method Wanita yang tinggal berjauhan atau tidak mendapat dukungan pasangan cenderung gagal dalam FAB
Tingkat Rekomendasi
B C B C
35
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB V ANALISIS EKONOMI
Tujuan dari pembahasan analisis ekonomi ini adalah memperkirakan besaran biaya yang dikeluarkan untuk setiap metode KB pada periode menyusui. Perhitungan pembiayaan diharapkan bermanfaat dalam pemilihan metode KB yang paling efektif dan efisien. Pelayanan kontrasepsi untuk ibu menyusui dapat dijalankan sebagai suatu program pemerintah untuk meningkatkan kesehatan wanita sehingga membawa dampak ekonomi signifikan bagi negara (Gambar 11).
70
Gambar 11. Kerangka kerja analisis sistem program KB
Hasil yang diharapkan pada pelayanan KB periode menyusui antara lain mencegah hilangnya waktu produktif ibu karena hamil kembali, mengurangi pertumbuhan penduduk sehingga memangkas biaya pelayanan sosial antara lain biaya antenatal care (ANC), biaya persalinan, biaya komplikasi kehamilan dan persalinan, biaya penguburan ibu mati, biaya penguburan bayi mati, biaya makan dan memelihara bayi dan anak, serta biaya pendidikan.71 Program KB akan menghemat anggaran rumah tangga maupun anggaran pemerintah. Bagi negara dengan banyak penduduk miskin, KB akan memutus mata rantai kemiskinan sebab mengurangi jumlah anak sehingga keluarga lebih mampu memberi makan dan membiayai pendidikan anak. Selain itu, penjarangan kehamilan akan meningkatkan pula survival anak.71 Program KB periode menyusui bertujuan untuk melindungi ibu menyusui dari kemungkinan kehamilan kembali akibat konsepsi. Maka dikenal istilah couple-year of protection (CYP) yaitu indikator yang menghitung jumlah komoditas kontrasepsi dan/atau pelayanan yang dibutuhkan untuk melindungi pasangan dari kehamilan dalam 1 tahun. Indikator ini dapat pula dipakai untuk membandingkan besaran biaya dari masing-masing metode kontrasepsi pada jenis pelayanan kesehatan yang tersedia.70 36
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Sebagai contoh, rumus perhitungan CYP untuk AKDR adalah sebagai berikut :70
Pembiayaan KB periode menyusui akan tergantung dari pilihan metode KB dan waktu penggunaannya, yang terkait dengan durasi pemakaian dan biaya untuk perpanjangan penggunaan metode KB yang dipilih. Terdapat berbagai pilihan metode KB yang memungkinkan wanita untuk menunda kehamilan kembali dengan pilihan penggunaan harian, bulanan ataupun tahunan. Masing-masing memiliki besaran biaya yang berbeda, terkait dengan lamanya proteksi untuk tiap jenis kontrasepsi – dalam hal ini termasuk biaya yang dikeluarkan pada kunjungan ulang untuk pemeriksaan atau tindakan jika ingin melanjutkan penggunaan kontrasepsi (Gambar 12).70
Gambar 12. Ilustrasi perbandingan pembiayaan kontrasepsi
70
Melalui ilustrasi di atas, dapat diuraikan komponen pembiayaan dipandang dari sisi penyedia jasa sebagai biaya langsung dan tak langsung. Biaya langsung merupakan biaya penyediaan jasa kontrasepsi oleh tenaga medis dan alat kontrasepsi yang dipakai. Biaya tidak langsung merupakan biaya penunjang penyediaan jasa, seperti biaya administrasi. Tabel 12 menunjukkan contoh pembiayaan pemasangan AKDR di fasilitas pelayanan kesehatan primer (klinik). Pada pemasangan pertama, dibutuhkan alat dan bahan berupa AKDR, kassa dan sarung tangan steril, dan larutan antiseptik. Biaya jasa yaitu tenaga dokter dan perawat serta tenaga administrasi juga dihitung sebagai pembiayaan yang dibebankan kepada pasien.70 37
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
5.1. Analisis ekonomi penggunaan AKDR Seperti pada ilustrasi gambar 12, penggunaan AKDR memerlukan kunjungan ulang untuk kontrol sebanyak 7 kali dan kunjungan untuk pencabutan AKDR setelah 3.5 tahun. Untuk menghitung besaran biaya penggunaan AKDR selama 3.5 tahun, dapat digunakan pendekatan biaya pada pemasangan AKDR seperti dalam tabel 12 : Tabel 12. Pembiayaan pada pemasangan AKDR Jumlah
Biaya/unit
Total Biaya
AKDR
1
Rp 17.710;
Rp 17.710;
Sarung tangan steril (pasang)
1
Rp 10.000;
Rp 10.000;
Kassa steril (pak)
5
Rp 3.000;
Rp 3.000;
30
Rp 2.500;
Rp 2.500;
Alat dan Bahan
Povidone iodine 10% (cc) Total
Rp 33.210;
Sumber daya manusia
Dokter
Perawat
Resepsionis/sekretaris
Biaya pendaftaran
Rp 10.000;
Biaya konsultasi/pemeriksaan
Rp 50.000;
Biaya tindakan
Rp 100.000;
Rp 20.000;
Total
Rp 150.000;
Rp 20.000;
Rp 10.000; Rp 180.000;
Jika setiap kunjungan kontrol menghabiskan biaya Rp 50.000; (biaya pemeriksaan dokter seperti pada tabel 12,), maka total biaya kontrol adalah Rp 350.000; (7 x Rp 50.000;) untuk 3.5 tahun pemasangan AKDR. Jika biaya pencabutan AKDR sama dengan biaya pemasangannya maka total biaya untuk penggunaan AKDR selama 3.5 tahun adalah sebagai berikut : Biaya pemasangan AKDR : o Alat dan bahan Rp 33.210; o Sumber daya manusia Rp 180.000; Total Biaya kontrol : o Biaya/kali pemeriksaan Rp 50.000; Total (7 x Rp 50.000;) Biaya pencabutan AKDR : o Biaya alat dan bahan (tidak termasuk AKDR) Rp 15.860; o Biaya pemeriksaan Rp 50.000; o Biaya tindakan Rp 120.000; Total Total biaya penggunaan AKDR selama 3.5 tahun
Rp 213.210;
Rp 350.000;
Rp 185.860; + Rp 749.070;
Dengan demikian, dapat dihitung besaran biaya untuk CYP dari penggunaan AKDR sesuai rumus sebagai berikut : CYP AKDR = Rp 749.070; = Rp 214.020; /tahun 3.5 tahun
38
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
5.2. Perbandingan pembiayaan alat kontrasepsi lainnya Untuk membandingkan harga dari berbagai alat kontrasepsi yang tersedia di Indonesia, berikut ditampilkan harga eceran tertinggi (HET) alat-alat kontrasepsi yang beredar di Indonesia sesuai dengan SK Menkes RI tahun 2008 (Tabel 13).72 Tabel 13. Daftar HET obat generik kontrasepsi No.
Nama obat
72
Bentuk sediaan
Harga satuan Kemasan HNA + PPN
1
2
3
4
5
6 7 8
Pil KB I : Ethinylestradiol 0,03 mg + Levonorgestrel 0,15 mg Pil KB II: Lynestrenol 0,5 mg Pil KB III: Desogestrel 0,15 mg + Ethinylestradiol 0,03 mg Obat Suntik KB I: Medroxyprogesteron Acetat 150 mg Obat Suntik KB II: Medroxyprogesteron Acetat 25 mg + Estradiol Cypionate 5 mg Susuk KB I: Etonogestrel 68 mg Susuk KB II: Levonogestrel 75 mg Susuk KB III: Levonogestrel 36 mg
HET
tablet dalam blister
Rp 1.980;
Rp 2.450;
1 blister
tablet dalam blister
Rp 3.135;
Rp 3.918,75;
tablet dalam blister
Rp 3.575;
Rp 4.468,75;
larutan 3 ml / vial
Rp 5.968;
Rp 7.460;
1 vial
larutan 0,5 ml /vial
Rp 4.455;
Rp 5.568,75;
1 vial
implan
Rp 269.840;
Rp 337.300;
1 set 1 implan
implan
Rp 95.579;
Rp 119.473,75;
1 set 2 implan
Implan
Rp 47.234,17;
Rp 59.042,71;
1 set 6 implan
1 blister 1 blister
Untuk membandingkan besaran biaya penggunaan alat kontrasepsi pil KB, obat suntik KB, dan implan maka dapat digunakan pendekatan biaya yang dikeluarkan oleh pasien seperti dalam ilustrasi di bawah ini. 5.2.1. Analisis ekonomi penggunaan kontrasepsi implan Penggunaan implan yang dipaparkan di bawah ini adalah jenis susuk KB II berisi levonorgestrel 75 mg, yang memiliki masa pakai selama 3 tahun. 70
Tabel 14. Pembiayaan pada pemasangan Implan Jumlah Alat dan Bahan Implan Levonogestrel 75 mg Lidokain 2% (2 ml/ampul) Spuit 3 cc Sarung tangan steril (pasang) Kassa steril (pak) Povidone iodine 10% (cc) Total
1 2 1 1 5 30
Biaya/unit
Total Biaya
Rp 119.474; Rp 716; Rp 1.500; Rp 10.000; Rp 3.000; Rp 2.500;
Rp 119.474; Rp 1.432; Rp 1.500; Rp 10.000; Rp 3.000; Rp 2.500; Rp 137.906;
39
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Sumber daya manusia Biaya pendaftaran Biaya konsultasi/pemeriksaan Biaya tindakan Total
Dokter Rp 50.000; Rp 150.000; Rp 200.000;
Perawat
Resepsionis/sekretaris Rp 10.000;
Rp 20.000; Rp 20.000;
Rp 10.000; Rp 230.000;
Pada penggunaan implan selama 3 tahun, maka besaran biaya yang dikeluarkan adalah sebagai berikut : Biaya pemasangan implan : o Alat dan bahan Rp 137.906; o Sumber daya manusia Rp 230.000; Total Biaya kontrol : o Biaya/kali pemeriksaan Rp 50.000; Total (6 x Rp 50.000;) Biaya pencabutan implan : o Biaya alat dan bahan (tidak termasuk implan) Rp 18.432; o Biaya pemeriksaan Rp 50.000; o Biaya tindakan Rp 170.000; Total Total biaya penggunaan implan selama 3 tahun
Rp 367.906;
Rp 300.000;
Rp 238.432; + Rp 906.338;
Dengan demikian, dapat kita hitung CYP dari implan sebagai berikut :
CYP implan = Rp 906.338; = Rp 303.113;/ tahun 3 tahun
5.2.2. Analisis ekonomi penggunaan kontrasepsi pil KB Selanjutnya penggunaan pil KB (minipil) yaitu pil KB I yang berisi etinilestradiol 0,03 mg dan levonorgestrel 0,15 mg. Pil ini diminum setiap hari dan dikemas dalam blister. Untuk penggunaan pil KB pada masa menyusui, diperlukan kunjungan awal dan satu kali lagi kunjungan kontrol pada bulan ke-6. Kontrol tambahan mungkin diperlukan apabila terdapat efek samping yang tidak dapat ditoleransi seperti problem mata (kehilangan penglihatan, atau kabur), atau nyeri kepala hebat. Biaya kunjungan pertama : o Pil KB 1 blister Rp 2.450; o Biaya konsultasi dokter Rp 50.000; o Biaya pendaftaran Rp 10.000; Total Biaya konsumsi pil selama 6 bulan 6 x Rp 2.450; Biaya kontrol pada bulan ke-6 Total biaya penggunaan pil KB selama 6 bulan
Rp 62.450; Rp 14.700; Rp 50.000; Rp 127.150;
40
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Dengan demikian, perhitungan CYP untuk pil KB adalah sebagai berikut : CYP KB = Rp 127.150; = Rp 254.300;/ tahun ½ tahun
5.2.3. Analisis ekonomi penggunaan kontrasepsi suntikan DMPA Sesuai dengan ilustrasi pada gambar 12, diasumsikan penggunaan DMPA selama 1 tahun memerlukan kunjungan ulangan sebanyak 4 kali untuk suntik pertiga bulan. Besaran biaya yang dikeluarkan adalah sebagai berikut : Biaya kunjungan pertama : o DMPA 1 ampul Rp 7.460; o Spuit 3 cc (1 buah) Rp 1.500; o Biaya konsultasi dokter Rp 50.000; o Biaya pendaftaran Rp 10.000; Total Biaya suntik DMPA sampai bulan ke-12 o DMPA ampul (4 x Rp 7.460;) Rp 29.840; o Spuit 3 cc (4 x Rp 1.500;) Rp 6.000; o Biaya konsultasi dokter (4 x Rp 50.000;) Rp 200.000; Total Total biaya penggunaan kontrasepsi suntikan DMPA selama 1 tahun
Rp 68.960;
Rp 235.840; Rp 304.800;
Dengan demikian, perhitungan CYP untuk kontrasepsi suntikan DMPA adalah sebagai berikut : CYP DMPA = Rp 304.800; = Rp 304.800;/ tahun 1 tahun
5.3. Cost benefit analysis program KB Perhitungan cost benefit analysis program KB adalah sebagai berikut : 71 Komponen biaya yang dapat dicegah karena penurunan kehamilan dan kelahiran (benefit): 1. Hilangnya waktu produktif wanita karena hamil Dihitung berdasarkan manfaat kerja wanita tersebut kepada perusahaan selama waktu cuti hamil dan melahirkan (3 bulan). 2. Biaya ANC Dihitung berdasarkan jumlah ANC dalam periode kehamilan yaitu 3 kali pada trimester 1, 6 kali pada trimester 2 dan 12 kali pada trimester 3 (total 21 kali). Biaya perkunjungan tergantung dari fasilitas kesehatan yang dipilih, apakah bidan praktek swasta, puskesmas atau RS (praktek dokter spesialis kandungan). 3. Biaya persalinan Dihitung berdasarkan biaya persalinan di fasilitas kesehatan tempat wanita tersebut melahirkan.
41
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
4. Biaya komplikasi kehamilan dan pe rsalinan (jika ada) Dihitung berdasarkan biaya rawat RS atau biaya berobat akibat komplikasi selama kehamilan atau persalinan. 5. Biaya penguburan wanita mati 6. Biaya penguburan bayi mati 7. Biaya makan dan memelihara bayi dan anak (dihitung sejak bayi lahir sampai usia anak 18 tahun) 8. Biaya pendidikan (dihitung mulai anak masuk sekolah TK sampai dengan SMA) Komponen biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga dan Pemerintah untuk program KB pada periode menyusui (cost): 1. Biaya tetap (overhead program KB) 2. Biaya variabel (alat kontrasepsi, dan lain-lain) Tabel 15 menggambarkan cost/benefit ratio (C/B rasio) di beberapa provinsi Indonesia dan negara asing. Tabel 15 C/B rasio
71
No.
Lokasi
B/C Ratio
Tahun
Catatan
1
DKI
8.2 : 1
1998-2000
AG
2
NAD
3.44 : 1
2001–2005
AG
3
Sumut
2.3 : 1
2001–2003
AG
4
NTB
2.95 : 1
2003-2007
AG
5
UAR
2.5 : 1 4.9 : 1
1971
Zaidan
6
California
2.76 : 1 (sp 2th) 5.33 : 1 (sp 5 th)
2002
Family PACT
Rata-rata
4:1
3.75 tahun
Tabel 16 memaparkan estimasi kasar benefit investasi KB dalam 3-4 tahun di Provinsi Bengkulu, dengan rata-rata B/C rasio adalah 4 artinya investasi 1 juta rupiah untuk program KB akan bernilai 4 juta rupiah dalam 3-4 tahun kemudian.71
42
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Tabel 16. Estimasi kasar benefit investasi KB dalam 3-4 tahun
71
Estimasi kasar benefit investasi KB dalam 3 - 4 tahun Rata-2 B/C Ratio = 4 No Kab/Kota Biaya program KB Benefit 1 Bengkulu Selatan 1,083,964,800 4,335,859,200 2 Rejang Lebong 1,577,224,000 6,308,896,000 3 Bengkulu Utara 1,222,642,000 4,890,568,000 4 Kaur 469,054,000 1,876,216,000 5 Seluma 389,819,000 1,559,276,000 6 Mukomuko 271,070,000 1,084,280,000 7 Lebong 861,690,000 3,446,760,000 8 Kepahiang 449,713,000 1,798,852,000 9 Kota Bengkulu 774,226,000 3,096,904,000 Propinsi 7,099,402,800 28,397,611,200
Data lain mengenai B/C rasio program KB pada beberapa provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta sebesar 8.2 (1997-2000), Sumatra Utara 2.3 (2001-2003), NAD 3.44 (2001-2005), dan NTB 2.95.71 KB juga mengurangi beban biaya akibat pertumbuhan penduduk yang meliputi biaya sektor kesehatan (biaya hamil dan bersalin, serta perawatan anak/balita), biaya penyediaan makanan, biaya pengasuhan anak (waktu dan tenaga), biaya pendidikan, dan penyediaan lapangan pekerjaan. Dampak jangka panjangnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia.71
43
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB VI DISKUSI
Berdasarkan uraian mengenai berbagai alat kontrasepsi di atas, tampak bahwa wanita menyusui memerlukan perlindungan untuk mencegah terjadinya kehamilan kembali dalam jarak waktu yang terlalu dekat. Terdapat berbagai macam metode kontrasepsi yang dapat dipilih, dirangkum dalam tabel 17. Tabel 17. Perbandingan berbagai alat kontrasepsi untuk wanita menyusui
73
Metode kontrasepsi
Angka kegagalan pada pemakaian lazim (%)
Angka kegagalan pada pemakaian ideal (%)
Jangka waktu penggunaan
Efek samping
CYP (dalam rupiah)
MAL pada 6 bulan pertama pascapersalinan (hanya sebelum kembalinya menstruasi)
2
0.5
Setiap 4 jam selama 6 bulan pertama pascapersalinan
-
-
FAB (metode simtomtermal)
25
3
Setiap hari memantau suhu basal tubuh dan lendir serviks
-
-
FAB (sistem kalender/pantang berkala)
25
9
Setiap hari
-
-
Pil progestin/minipil
8
0.3
Setiap hari
Amenorea, perdarahan tidak teratur, problem mata dan nyeri kepala
254.300
DMPA
3
0.3
Suntik setiap 3 bulan
Amenore, spotting, peningkatan/penurunan berat badan
304.800
Implan (Norplant)
0.05
0.05
Efektif untuk 3 tahun
Spotting, berat badan naik/turun, sakit kepala, penglihatan kabur
303.113
AKDR (CuT380A)
0.8
0.6
Efektif untuk 512 tahun
Amenore, perdarahan pervagina yang hebat dan tidak teratur
214.020
44
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
BAB VII REKOMENDASI
45
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
No 1 2 3 3a
3b
3c
3d 3e 4
4a 4b
5 6 7
Rekomendasi HTA Wanita pada periode menyusui direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi KB sebelum terjadi ovulasi pertama kali sekitar 155±45 hari. Bahwa Pemberian ASI Eksklusif menunda terjadinya ovulasi. Metode kontrasepsi progestin tidak mengganggu volume dan kandungan nutrisi ASI. Kontrasepsi pil progestin (progestin-only minipills) dapat mulai diberikan dalam 6 minggu pertama pascapersalinan. Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari (setelah 3 hari) pascapersalinan. Kontrasepsi suntikan progestin / DMPA pada minggu pertama (7 hari) atau minggu keenam (42 hari) pascapersalinan terbukti tidak menimbulkan efek negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi. Penggunaan DMPA jangka panjang (> 2 tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang sebesar 5-10% pertahun. Namun, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama penggunaan DMPA bagi wanita usia 18-45 tahun. Tidak terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko kanker payudara. Kontrasepsi implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa laktasi, minimal 4 minggu pascapersalinan. AKDR pascaplasenta aman dan efektif, tetapi tingkat ekspulsinya lebih tinggi dibandingkan ekspulsi ≥ 4 minggu pascapersalinan. Ekspulsi dapat diturunkan dengan cara melakukan insersi AKDR dalam 10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus, dan dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan berpengalaman. Jika 48 jam pascapersalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau lebih pascapersalinan. AKDR 4 minggu pascapersalinan aman dengan menggunakan AKDR copper T, sedangkan jenis noncopper memerlukan penundaan sampai 6 minggu pascapersalinan. Penggunaan kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pascapersalinan dapat menurunkan volume ASI pada wanita menyusui. Pada negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi, MAL dapat direkomendasikan untuk digunakan. Metode Amenorea Laktasi (MAL) efektif mencegah kehamilan pada wanita menyusui pascapersalinan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: Amenorea Pemberian ASI ekslusif Proteksi terbatas pada 6 bulan pertama
Tingkat Rekomendasi B (IIb) B (IIb) B (IIa) A (Ia)
No referensi 9
A (Ia)
21
A (Ia)
22,24
B (IIb) B (IIa) A (Ia)
27
9 16 18,19,20
33,34 40,41,46
C (IV) C (IV)
42,43
A (Ia) A (Ia) C (IV)
11,55
46,48
52 53,54
46
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
MAL dapat dipertimbangkan penggunaannya pada daerah dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi.
47
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
SYSTEMATIC REVIEWS No
Studi 1. Truitt ST, et al (2003) Diperbaharui 2005
Cochrane Collaboration Combined hormonal versus nonhormonal versus progestinonly contraception in lactation
Metode Systematic review terhadap semua laporan randomized controlled trials (RCT) yang mengenai kombinasi kontrasepsi kombinasi dan/atau kontrase psi progestin pada masa laktasi. Studi yang diikutkan antara tahun 1960 dan 2003.
Hasil Penggunaan kontrasepsi oral menyebabkan efek inhibitor pada volume ASI dan durasi laktasi pada 25 wanita dari 50 subjek penelitian (Miller 1970) Kontrasepsi oral kombinasi tidak menunjukkan perbedaan pada volume ASI, inisiasi laktasi, atau pertumbuhan bayi selama 10 hari pertama postpartum dibandingkan dengan plasebo (Semm 1966) Penggunaan kontrasepsi progestin tidak menunjukkan perbedaan volume ASI, pertumbuhan bayi dan komposisi ASI dibandingkan dengan plasebo selama 14 hari pertama pascapersalinan. (Velazquez 1976) WHO menemukan penurunan bermakna volume ASI pada penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dibandingkan dengan kelompok progestin. Volume ASI pada 12-24 minggu pada pengguna kontrasepsi kombinasi adalah 51 ml dan 41 ml, dibandingkan dengan 72 ml dan 65 ml pada pengguna kontrasepsi progestin. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal komposisi ASI, pertumbuhan bayi dan komposisi biokimia ASI. volume AsI pada pemakai kontrasepsi kombinasi mengalami penurunan ratarata 42% sedangkan pemakai kontrasepsi progestin sebesar 12%.
Studi yang ada belum menunjukkan bukti yang kuat untuk memberikan rekomendasi berbasis bukti berkaitan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal untuk wanita menyusui. 2. Van der Wijden C, Brown J, Kleijnen J (2003). Diperbaharui tahun 2008.
Pencarian literatur dilakukan melalui MEDLINE 1966 hingga 2008; EMBASE 1988 hingga 2008; daftar pustaka studi, buku yang berhubungan dengan MAL, abstrak yang dipublikasikan dari konferensi
48
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
Cochrane Database of Systematic Review. Lactational amenorea for family planning. 3. Grimes DA, et al (2001)
Cochrane Collaboration Immediate postpartum insertion of intrauterine devices
reproduksi dan pemberian ASI, email dengan koordinator studi . Kajian dilakukan terhadap wanita yang menggunakan MAL dibandingkan kontrol yaitu wanita yang baru saja melahirkan dan menyusui. Kajian sistematik terhadap 8 randomized controlled trials dengan minimal 1 kelompok insersi Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) yang didefinisikan sebagai dalam 10 menit setelah pelepasan plasenta. Studi yang diikutkan adalah antara tahun 1966 dan 2001.
Membandingkan penggunaan Delta Loop dengan Lippes loop D pada 1300 wanita melaporkan bahwa tingkat ekspulsi pada kelompok Delta Loop dalam 6 bulan lebih rendah (15.7/100 wanita) dibandingkan kelompok Lippes loop D (21.5/100 wanita). Tingkat kelanjutan dalam 6 bulan berturut-turut 73.8 dan 78.5 per 100 wanita (Cole 1984) Membandingkan penggunaan Delta T dengan TCu 220C pada 1400 wanita melaporkan bahwa tingkat ekspulsi pada kelompok Delta T dalam 6 adalah 11.6/100 wanita sedangkan kelompok T Cu 220C adalah 11.5/100 wanita). Tingkat kelanjutan dalam 6 bulan adalah 81.8 per 100 wanita dan tidak ada perbedaan bermakna dalam cara insersinya.(Cole 1984) T Cu 200 dilaporkan memiliki tingkat ekspulsi dalam 12 bulan lebih rendah yaitu 9.0 (insersi dengan tangan) dan 8.1 (insersi forceps) dibandingkan dengan progestasert yaitu 35.8 (tangan) dan 35.2 (forceps). Tingkat kelanjutan T Cu 200 dalam 12 bulan adalah 86.3 (tangan dan 86.1 (forceps) sedangkan progestasert berturut-turut 59.9 dan 57.2. (Lanvin 1983) Tingkat ekspulsi 12 bulan pada T Cu 200 lebih rendah (19.9) dibandingkan threeyear progesterone device/IPCS-52 (39.0) dengan insersi tangan sedangkan insersi dengan forceps berturut-turut 10.3 dan 14.2. Tingkat kelanjutan dalam 12 bulan untuk T Cu 200:73.8 (tangan) dan 84.9 (forceps) sedangkan untuk IPCS-52: 57.3 (tangan) dan 77.1 (forceps). Tingkat ekspulsi setelah 36 bulan TCu 200: 19.9 (tangan) dan 13.1 (forceps) sedangkan IPCS-52: 39.0 9tangan) dan
49
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
24.2 (forceps). Tingkat ekspulsi dalam 12 bulan pada 100 wanita: 41.3 (Nova-T PP), 44.1 (Lippes Loop) dan 34.8 (Copper 7); tingkat kehamilan dalam 12 bulan berturutturut: 5.6, 12.1 dan 7.2 per 100 wanita; tingkat kelanjutan dalam 12 bulan berturut-turut: 53.1, 60.1 dan 47.7 per 100 wanita. Tingkat ekspulsi dalam 12 bulan pada insersi segera MLCu 250 adalah 9.9/100 wanita sedangkan Tingkat kelanjutan dalam 12 bulan: 77.3 dan 77.2. (Thiery 1980)
50
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
PENELITIAN PRIMER No
Studi CondeAgudelo et al (2000)
Desain studi Cross sectional
LoE* 3A
Pasien Data dari 456.889 wanita yang melahirkan bayi tunggal
2
Al-Jasmi et al (2002)
Kasus kontrol
2B
128 kasus dan 128 kontrol
3
Sh. Khaghani, et al (2004)
Nonrandomized Controlled trial
2A
140 wanita menyusui, 51 orang menggunakan kontrasepsi progestin (pil progestin 0.5 mg: 45, DMPA injeksi 150 mg:6) dan 89 menggunakan kontrasepsi nonhormonal (AKDR:47 , kondom:20, sterilisasi dan
1
Acta Medica Iranica, 42(3): 213217; 2004
Hasil Wanita dengan jarak antar kehamilan ≤5 bulan memiliki risiko kematian maternal (OR 2.54; 95% IK 1.22-5.38), perdarahan trimester ketiga (1.73; 1.42-2.24), ketuban pecah dini (1.72; 1.53-1.93), endometritis puerperal (1.33; 1.22-1.45) dan anemia (1.30; 1.181.43) yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang jarak antar kehamilannya 18-23 bulan. Wanita dengan jarak antar kehamilan > 59 bulan memiliki risiko lebih tinggi terhadap preeklamsia (1.83; 1.72-1.94) dan eklamsia (1.80; 1.38-2.32). Jarak antar kehamilan kuartil 1 (2.8-8.9 bulan) dan kuartil 2 (9-15.9 bulan) merupakan faktor risiko terjadinya persalinan preterm dengan Adjusted Odds Ratio berturut-turut 8.2 (95% IK 3.5-19.2) dan 5.4 (95%IK 2.4-12.6). Komponen ASI dibandingkan pada kedua kelompok setelah 26 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada konsentrasi protein, sodium, kalsium, fosfor dan potassium dalam susu Trigliserida pada
Keterangan
51
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
4
5
Tilley IB (2008) Unpublishe d literature Abrams LS, et al. (2002)
MarieClaude Audet et al.
kelompok hormonal lebih tinggi (504.54 ± 213.48) daripada kelompok nonhormonal (p<0.05) Magnesium pada kelompok nonhormonal lebih tinggi (4.07 ± 1.42) daripada kelompok hormonal (p<0.05) Kontrasepsi dengan progestin (pil dan DMPA) tidak memiliki efek buruk pada komposisi ASI dan merupakan kontrasepsi yang efektif selama menyusui.
Rerata konsentrasi serum progestin norelgestromin (NGMN) dan etinil estradiol (EE) tetap berada dalam rentang rujukan (0.6-1.2 ng/ml dan 25-75 pg/ml) selama periode 7 hari pemakaian. Absorpsi NGMN dan EE selama aplikasi patch di pantat, lengan dan batang tubuh adalah ekuivalen (rasio rerata AUC dan Css 90%IK 0.8-1.2) Absorpsi pada pemasangan di abdomen 20% lebih kecil daripada tiga lokasi lainnya. Reaksi simpang yang umum ditemui adalah mual, reaksi lokal di tempat pemasangan dan sakit kepala. Angka kegagalan berdasarkan Indeks Pearl menunjukkan
Cross sectional
3B
Kasus-kontrol (cross over)
2B
37 wanita usia 2045 tahun dirandomisasi dalam 1 dari 4 kelompok perlakuan (sesuai lokasi pemasangan patch), patch digunakan selama 7 hari dengan periode washout 1 bulan antar perlakuan. Sampel darah diambil sebelum dan beberapa periode hingga 240 jam setelah pemakaian patch.
Randomized Controlled Trial
1
1417 wanita dewasa dilakukan randomisasi untuk mendapatkan
Br J Clin Pharmacol, 53, 141-146
6
abstinensia:11), dimulai 6 minggu pasca persalinan
52
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
JAMA,2001; 285(18):234 7-2354
kontrasepsi transdermal (n=812) dan kontrasepsi oral (n=605) selama 6 atau 13 siklus. Dinilai angka kegagalannya dengan Pearl Index. Juga dinilai: probabilitas kehamilan, control siklus, kepatuhan, perlekatan patch dan efek simpang.
bahwa kegagalan pada kelompok kontrasepsi transdermal lebih rendah secara numerik daripada kontrasepsi oral (1.24 dan 0.99, berturut-turut) walaupun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0.57 dan p=0.80). Analisis life-table mengindikasikan probabilitas kehamilan selama 6 siklus lebih rendah pada kontrasepsi transdermal (95%IK 0.0-1.2) daripada kontrasepsi oral (95% IK 0.2-2.1). Probabilitas kehamilan selama 13 siklus pada kontrasepsi transdermal (95% IK 0.0-2.7) juga lebih rendah daripada kontrasepsi oral (95%IK 0.2-3.4) Pada siklus 1 dan 2, breakthrough bleeding pada kelompok kontrasepsi transdermal lebih tinggi daripada kelompok oral, tetapi pada siklus selanjutnya tidak didapatkan perbedaan bermakna. Amenorea terjadi pada 0.1% pengguna patch dan 0.2% pengguna kontrasepsi oral. Rerata proporsi masing-masing pengguna kontrasepsi yang menunjukkan kepatuhan sempurna adalah 88.2% pada
53
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
7
Dieben TOM, et al (2002) Obstet Gynecol 2002, 100 (3): 585-593
Kohort (?)
2322 mendapatkan perlakuan pemasangan kontrasepsi cincin. Analisis efektivitas dilakukan pada populasi intent-totreat (semua subyek yang menerima perlakuan) dan populasi perprotocol (semua wanita yang mendapat perlakuan dan tidak melanggar terhadap protocol studi)
kontrasepsi transdermal dan 77.7% pada kontrasepsi oral. Patch yang digantikan karena pelepasan total adalah 1.8% sedangkan karena pelepasan parsial adalah 2.8%. Efek simpang yang paling sering menyebabkan penghentian pemakaian adalah sakit kepala, reaksi lokal pada tempat pemasangan, mual, dismenorhea dan rasa tidak nyaman pada payudara. Terjadi 21 kehamilan pada kelompok intent-totreat selama 23,298 siklus, menghasilkan Indeks Pearl sebesar 1.18 (95% IK 0.731.80).Tingkat kehamilan kumulatif selama perlakuan (diturunkan dari analisis life-table adalah 1.18% (95% IK 0.68-1.69) Pada kelompok per-protocol, Indeks Pearl sebesar 0.77 (95% IK 0.24-1.41) Pada kelompok per-protocol, rerata insidens terjadinya withdrawal bleeding 98.5%, insidens irregular bleeding 5.5% per siklus. Selama 1 tahun, reaksi simpang dilaporkan oleh 1522 subjek (65.5%). Reaksi yang umum dilaporkan berkaitan dengan perlakuan adalah sakit kepala (5.8%), vaginitis (5.6%) dan leukorhea (4.8%). Berdasarkan
54
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
jawaban kuesioner, hamper semua responden menyatakan bahwa kontrasepsi cincin mudah diinsersikan dan dilepaskan. *Level of Evidence
55
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
CLINICAL PRACTICE GUIDELINES No
Organisasi
Metodologi
1
National Guidelines Clearinghouse (NGC),2006.
Jenis literatur yang mendukung rekomendasi ini tidak disebutkan secara spesifik. Rekomendasi diputuskan berdasarkan kajian komprehensif terhadap literatur yang ada. Apabila literatur yang ada tidak dapat disimpulkan hasilnya, maka rekomendasi diberikan berdasarkan konsensus para ahli.
The Academy breastfeeding medicine, 2005.
of
World Health Organization, 2008
Medical eligibility criteria for contraceptive use
Metode pilihan pertama: Metode Amenorea laktasi (MAL), KB alamiah, Metode barrier, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Metode pilihan kedua: Metode pil progestin Metode pilihan ketiga: Kontrasepsi yang mengandung estrogen
Contraception during breastfeeding 2
Rekomendasi
Menggunakan system identifikasi bukti literature baru dengan basis berkelanjutan (the Continuous Identification of Research Evidence/CIRE system, www.infoforhealth.org/cire/cire_pub.pl), Kajian sistematik dilakukan untuk menilai literature atas rekomendasinya. Untuk melakukan kajian sistematik, digunakan system CIRE, Pubmed dan The Cochrane Library dari tahun 1966 hingga Januari 2008.
1) Kontrasepsi oral kombinasi: a) < 6 minggu postpartum: 4 b) > 6 minggu s.d. < 6 bulan postpartum: 3 c) > 6 bulan postpartum: 2 2) Kontrasepsi injeksi kombinasi, Patch, Ring: a) < 6 minggu postpartum: 4, 4, 4
Keterangan 1 = tidak ada restriksi terhadap penggunaan metode kontrasepsi
b) > 6 minggu s.d. < 6 bulan postpartum :3, 3, 3 c) > 6 bulan postpartum: 2, 2, 2
2 = kondisi yang keuntungan penggunaan metode secara umum melebihi risiko secara teori maupun risiko yang sudah terbukti 3 = kondisi yang menunjukkan bahwa risiko yang terbukti melebihi keuntungan
3) AKDR-Cu/AKDR Levonorgestrel: a) < 48 jam termasuk insersi segera setelah plasenta lahir: 1,1(tidak menyusui)/-,3 (menyusui)
4 = kondisi yang menunjukkan risiko yang tidak dapat diterima akibat penggunaan metode kontrasepsi.
b) > 48 jam s.d. <4 minggu: 3, 3
Untuk intervensi bedah dan FAB:
d) Sepsis purpureal: 4, 4
A (accept) = tidak ada alasan medik untuk menolak sterilisasi pada kondisi ini.
4) Pil progestin:
C (caution) = prosedur ini secara normal dilakukan pada fasilitas rutin dengan persiapan dan perhatian ekstra. D (delay) = prosedur ditunda hingga kondisi dievaluasi dan atau dikoreksi. Metode alternative harus disediakan.
c) > 4 minggu: 1, 1
a) < 6 minggu postpartum: 3 3 3 b) > 6 minggu s.d. < 6 bulan postpartum 111 c) > 6 bulan postpartum 1 1 1 5) Kontrasepsi emergensi: 1
56
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
S (special) = prosedur ini harus dilakukan pada fasilitas dengan tim dan peralatan yang menyediakan layanan anestesi umum dan bantuan hidup lainnya.
6) Metode barrier: a) < 6 minggu postpartum : 1 1 NA b) > 6 minggu postpartum 1 1 1 Catatan: difragma dan cap tidak sesuai diberikan hingga terjadi involusi uterus sempurna. 7) Metode Fertility Awareness Based (FAB): a) < 6 minggu postpartum: D D b) > 6 minggu postpartum: C D c) Setelah mulai menstruasi: C C 8) Intervensi bedah: A
57
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
DAFTAR PUSTAKA
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22
23 24
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007. Guttmacher Institute. Aborsi di Indonesia. Seri 2008, No.2.p 1-6. Evans Annie. Postpartum contraception. Women’s Health Medicine 2005; 2:5.23-6. Conde-Agudelo A, Belizan JM. Maternal morbidity and mortality associated with interpregnancy interval: cross sectional study. Br Med J 2000; 321:1255-9. (LoE 3A) Al-Jasmi F, Al-Mansoor F, Alsheiba A, Carter AO, Carter TP, Hossain, MM. Effect of interpregnancy interval on risk of spontaneous preterm birth in Emirati* women, United Arab Emirates. Bulletin WHO 2002; 80: 871-875. (LoE 2B) Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI.Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Depkes RI. 2008. Hulman, L, Kaunitz, A. Postpartum contraception. Glob. libr. women's med. (ISSN: 1756-2228) 2008; DOI 10.3843/GLOWM.10383 th Speroff L, Fritz MA. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7 edition. Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins, 2004. Wei L, Yi Q. Relation of supplementary feeding to resumptions of menstruation and ovulation in lactating postpartum women. Chin Med J 2007; 120(10):868-870. Campbell OM, Gray RH. Characteristics and determinants of postpartum ovarian function in women in the United States. Am J Obstet Gynecol 1993;169:55 th WHO. Medical eligibility criteria for contraceptive use. 4 edition. Geneva: 2009 (LoE 4) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Edisi 2. Jakarta, 2008. American Academy of Pediatrics Work Group on Breastfeeding. Breastfeeding and the Use of Human Milk. Pediatrics Vol. 100 No. 6 December 1997. Kramer M et al Promotion of Breastfeeding Intervention Trial (PROBIT): A randomized trial in the Republic of Belarus. Journal of the American Medical Association, 2001, 285 (4): 413-420 Ito, S. Drug therapy for breast-feeding women. NEJM 2000; 343:2. Diunduh dari: URL:http//www.nejm.org// Khaghani Sh, Ardestani N, Baheiraei A , Ghazizadeh Sh, Pasalar. Effect of progestin-only contraceptives on human milk composition. Acta Medica Iranica 2004; 42(3): 213-217 Frasser IS.A review of the use of progestin-only minipills for contraception during lactation. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed. Diakses tanggal 15 Desember 2009. International Planned Parenthood Federation (IPPF) International Medical Advisory Panel (IMAP). New IPPF statement on breastfeeding, fertility and post-partum contraception Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed. Diakses tanggal 15 Desember 2009. Kelsey JJ.Hormonal Contraception and Lactation. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed. Diakses tanggal 15 Desember 2009. Kennedy KL, Short RV, Tully MR. Premature introduction of progestin-only contraceptive methods during lactation. Contraception. 1997 Jun;55(6):334-50. M. Karim, et al. Injected Progestin and Lactation. BMJ 1971; 1: 200-203. Drapper BH, et al. Depot medroxyprogesterone versus Norethisterone oenanthate for long-acting progestogenic contraception. Cochrane Database of Systematic Reviews 2006;3. Art. No.: CD005214. DOI: 10.1002/14651858.CD005214.pub2. Kaunitz A M. Injectable depot medroxyprogesterone acetate contraception – an update for U.S. clinicians. Int J Fertil Women’s Med 1998; 43: 73–83. Lopez LM, Grimes DA, Schulz KF, Curtis KM. Steroidal contraceptives: effect on bone fractures in women. Cochrane Database of Systematic Reviews 2009;2. Art. No.: CD006033. DOI: 10.1002/14651858.CD006033.pub3.
58
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
25 26
27 28 29
30
31 32
33 34
35 36 37 38 39 40
41
42 43 44
Scholes D, LaCroix AZ, Ichikawa LE, et al. Injectable hormone contraception and bone density: results from a prospective study. Epidemiology 2002;13:581–7. Black A, Ad Hoc DMPA Committee of the Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada. Canadian contraception consensus--update on Depot Medroxyprogesterone Acetate (DMPA). J Obstet Gynaecol Can 2006 Apr;28(4):305-8. WHO Memorandums. Depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) and cancer: Memorandum from a WHO meeting. Buletin of the World Health Organization, 71 (6): 669-76 (1993). Santen RJ. Risk of breast cancer with progestins: critical assessment of current data. Steroids 68 (2003) 953–964. doi:10.1016/S0039-128X(03)00138-7. Anonim. Effects of hormonal contraceptives on breast milk composition and infant growth. World Health Organization (WHO) Task Force on Oral Contraceptives. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed. Diakses tanggal 15 Desember 2009. Tankeyoon M, et al. Effects of hormonal contraceptives on milk volume and infant growth. WHO Special Programme of Research, Development and Research Training in Human Reproduction Task force on oral contraceptives. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed. Diakses tanggal 15 Desember 2009. Templeman C L, Cook V, Goldsmith L J et al. Postpartum contraceptive use among adolescent mothers. Obstet Gynecol 2000; 95: 770–6. Affandi B, Anggraeni M, Prihyugiarto TY, Asih L. Studi Multisenter Perbandingan Indoplant dan Norplant di Indonesia. Jurnal Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Tahun 1, No.1, 2007. Meirik O, Fraser IS and Arcangues C. Implantable Contraceptives for Women. WHO Consultation on Implantable contraceptives for women (2008). Reinprayoon D, Taneepanichskul S, Bunyavejchevin S, et al. Effects of the etonogestrel-releasing contraceptive implant (Implanon) on parameters of breast feeding compared to those of an intrauterine device. Contraception. 2000;62(5):239-46. Keller S. Contraceptive Update: Levonorgestrel IUD Offers Less Bleeding. Network : Winter 1996, Vol 16:2. Belhadj H, Sivin I, Díaz S, et al. Recovery of fertility after use of the levonorgestrel 20 mcg/d or Copper T 380 Ag intrauterine device. Contraception 1986;34(3):261-67. Shah, Rashmi S. et al. Does Lactation Affect Intrauterine Device Performance? The Journal of Family Welfare 1998; 44(4): 63-65. Soledad Díaz, Olav Meirik. IMAP statement on intrauterine devices: Safety and efficacy of long-term contraceptive methods for women. International Planned Parenthood Federation 2003; 37: 2. PATH. Contraceptive methods in focus: IUDs, Implants, and Oral Contraceptives. Outlook 2004; 21:1. Grimes DA, Schulz KF, Van Vliet HHAAM, Stanwood NL, Lopez LM. Immediate postpartum insertion of intrauterine devices. Cochrane Database of Systematic Reviews 2001;2. Art, No.: CD003036. DOI:10.1002/14651858.CD003036. (LoE 1A) Abrams LS, Skee DM, Natarajan J, Wong FA, Anderson GD. Pharmacokinetics of a contraceptive patch (EvraTM/Ortho Evra TM) containing norelgestromin and ethynilestradiol at four application sites. Br J Clin Pharmacol 2002, 53, 141-6. Anonim. Family Planning, A global handbook for providers (2007). Diunduh dari http://info.k4health.org/globalhandbook/#msword. Diakses tanggal 5 Januari 2010. McIntosh N, Kinzie B, Blouse A, editors. IUD guidelines for family planning service programs. 2nd ed. Baltimore: JHPIEGO, 1993. Anonim. Intrauterine device developments. Network. Summer 1984; 5(4):4-6.
59
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
45
46 47 48
49
50 51
52
53 54 55
56
57 58 59 60 61 62
63 64 65
Chi I-c, Wilkens LR, Rogers S. Expulsions in immediate postpartum insertions of Lippes Loop D and Copper T IUDs and their counterpart Delta devices -- an epidemiological analysis. Contraception 1985;32(2):119-34. O'Hanley K, Huber DH. Postpartum IUDS: keys for success. Contraception. 1992 Apr;45(4):351-61. Tjahjanto H. RSUP Kariadi Dalam Mendukung Revitalisasi PKBRS. [Disampaikan dalam Lomba PERSI AWARD –IHMA 2009]. Curtis KM, Bright PL, eds. Recommendations for Updating Selected Practices in Contraceptive Use: Results of a Technical Meeting, Volume I. (Chapel Hill: Technical Guidance Working Group, U.S. Agency for International Development, 1994) 74. Farr G, Rivera R. Interactions between intrauterine contraceptive device use and breastfeeding status at time of intrauterine contraceptive device insertion: Analysis of TCu-380A acceptors in developing countries. Am J Obstet Gynecol 1992;167(1): 144-51. Sivin I, Greenslade F, Schmidt F, et al. The Copper T 380 Intrauterine Device: A Summary of Scientific Data. (New York: The Population Council, 1992) 15 Chi, I-C. Postpartum IUD insertion: timing, route, lactation, and uterine perforation. In: Bardin CW, Mishell DR Jr., eds.Proceedings from the Fourth International Conference on IUDs. London: Butterworth-Heinemann, 1994: 219–227. Van der Wijden C, Brown J, Kleijnen J. Lactational amenorea for family planning. Cochrane Database of Systematic Reviews 2003, Issue 4. Art. No.: CD001329. DOI: 10.1002/14651858.CD001329. (LoE 1A) Van Look PF. Lactational amenorrhoea method for family planning. BMJ 1996; 313:893-894. The Academy of Breastfeeding Medicine. Clinical protocols #13. Truitt ST, Fraser A, Gallo MF, Lopez LM, Grimes DA, Schulz KF. Combined hormonal versus nonhormonal versus progestin-only contraception in lactation. Cochrane Database of Systematic Reviews 2003, 2. Art. No.: CD003988. DOI:10.1002/14651858.CD003988. Audet MC, Moreau M, Koltun WD, et al. Evaluation of contraceptive efficacy and cycle control of a transdermal contraceptive patch vs an oral contraceptive: a randomized controlled trial. JAMA 2001;285(18):2347-2354 (doi:10.1001/jama.285.18.2347). Diunduh dari: http://jama.amaassn.org/cgi/content/full/285/18/2347 Herndon EJ, Zieman M.New Contraceptive Options. Contraception 2004; 69 (4). Diunduh dari: www.aafp.org/afp Dieben, TOM, Roumen FJME, Apter Dan. Efficacy, cycle control, and user acceptability of a novel combined contraceptive vaginal ring. ACOG 2002; 100(3). (Van Look 1993) (Webb 1995) Westhoff,C. Emergency contraception. N Engl J Med 2003;349:1830-5. (LoE 3B) Cheng L, Gülmezoglu AM, Piaggio GGP, Ezcurra EE, Van Look PPFA. Interventions for emergency contraception. Cochrane Database of Systematic Reviews 2008, Issue 2. Art. No.: CD001324. DOI: 10.1002/14651858.CD001324.pub3. (LoE 1A) Gainer E. et al. Levonorgestrel pharmacokinetics in plasma and milk of lactating women who take 1.5 mg for emergency contraception. Human Reproduction Vol.22, No.6 pp. 1578-84, 2007. Scarpa B, Dunson D, Colombo B. Cervical mucus secretions on the day of intercourse: an accurate marker of highly fertile days. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2006;125:72– 8. Anonim. When can a woman have a copper-bearing IUD inserted? Diunduh dari http://hpe4.anamai.moph.go.th/hpe/data/teenage/ref_09.pdf. Diakses tanggal 5 Januari 2010.
60
Kajian HTA KB pada Periode Menyusui, Juni 2010
66
67
68 69
70 71 72 73
Bahamondes L, Dıaz J, Marchi NM, Castro S, Villarroel M, Macaluso M. Prostate-specific antigen in vaginal fluid after exposure to known amounts of semen and after condom use: comparison of selfcollected and nurse-collected samples. Hum Rep 2008;23(11): 2444–2451. Bigelow J, Dunson D, Stanford J, Ecochard R,Gnoth C, Colombo B. Mucus observations in the fertile window: a better predictor of conception than timing of intercourse. Hum Reprod 2004;19:889– 92. Pallone RS and Bergus GR. Fertility Awareness-Based Methods: Another Option for Family Planning. J Am Board Fam Med 2009;22:147–157 Frank-Herrmann P, et al. The effectiveness of a fertility awareness based method to avoid pregnancy in relation to a couple’s sexual behavior during the fertile time : a prospective longitudinal study. Human Reproduction Vol.22, No.5 pp 1310-19, 2007. Janowitz B and Bratt JH. Methods for costing family planning services. United Nations Population Fund and Family Health International. 1994. ISBN: 0-939704-13-7. Gani A. Program KB dan Pembangunan Bengkulu. Disampaikan pada Seminar Cost Benefit Analysis Program KB, Provinsi Bengkulu, 28 April 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 302/Menkes/SK/III/2008 tentang harga obat generik Trussell, James (2007). "Contraceptive Efficacy". in Hatcher, Robert A., et al.. Contraceptive Technology (19th rev. ed.). New York: Ardent Media. ISBN 0-9664902-0-7. http://www.contraceptivetechnology.org/table.html.
61