Katalog Koleksi Arca Perunggu BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA YOGYAKARTA
1
Katalog Koleksi Arca Perunggu Diterbitkan oleh :
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta Bogem, Kalasan, Yogyakarta Telp (0274) 496019, 496419 Fax (0274) 496019 Email :
[email protected] Web : www.purbakalayogya.com
Tim Penyusun Penanggung Jawab : Dra. Herni Pramastuti
Editor :
Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA.
Pendahuluan :
Prof. Dr. Timbul Haryono, Msc.
Tim Penulis :
Drs. Agus Waluyo Dra. Ari Setyastuti, M.Si. Dra. Wahyu Astuti Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA. Dra. Sri Muryantini R.
Fotografi/Artistik :
Supriyono Joko Prihastomo, S.Kom. Dedy Hariansyah, S.Kom. Jendro Untoro
Pengumpul Data :
Totok Yhuni Lastianto Inggir Suryanto Sudarno Sanny Setiawan
Pelaksana Produksi :
Dra. Y. Indarti Nurwidayati Cetakan I, 1996 Cetakan II, edisi revisi, 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3
Katalog Koleksi Arca Perunggu
SAMBUTAN KEPALA BP3 YOGYAKARTA (EDISI REVISI)
Puja puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga Katalog Koleksi Arca Perunggu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta dapat dilakukan cetak ulang dan diterbitkan kembali. Diterbitkannya buku katalog ini adalah sebagai publikasi hasil revisi dari buku yang telah diterbitkan pada tahun 1996. Mengingat pada revisi saat ini ada kata pendahuluan dan ada beberapa penambahan koleksi arca perunggu yang baru, sehingga perlu penyesuaian. Maksud dan tujuan penerbitan buku revisi ini adalah untuk memberikan informasi secara terbuka, baik untuk masyarakat umum, instansi terkait, kalangan peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pelajar. Diterbitkannya buku katalog ini semoga pembaca dapat mengerti, memahami, menghayati, mengapresiasi, dan bersimpati terhadap warisan budaya bangsa yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Pemahaman itu akhirnya dapat membangkitkan sikap dan tindakan partisipasi dalam upaya pelestarian cagar budaya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada penyusun buku cetakan pertama dan tim revisi untuk cetakan kedua yang telah bersungguh-sungguh mewujudkan diterbitkannya buku ini. Tidak lupa kami harapkan saran dan kritik membangun yang sangat berguna untuk perbaikan dalam penerbitan selanjutnya. Yogyakarta, 24 September 2011 Kepala,
Dra. HERNI PRAMASTUTI NIP. 130367448
4
Kata Pengantar (CETAKAN PERTAMA)
Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya, sehingga buku Katalog Koleksi Arca Perunggu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta dapat diterbitkan. Maksud dari penerbitan buku ini ialah untuk memberikan informasi, baik untuk masyarakat umum, instansi terkait, kalangan peneliti, mahasiswa maupun pelajar. Semoga dengan terbitnya buku ini pembaca dapat mengerti dan lebih menghayati warisan budaya bangsa, dan mempunyai apresiasi terhadap Undang-Undang RI no.5/1992 beserta peraturan pelaksanaannya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penyusun yang telah bersusah payah untuk menyelesaikan buku ini dan tidak lupa kami harapkan saran dan kritik membangun yang sangat berguna demi perbaikan dalam penerbitan-penerbitan selanjutnya.
Yogyakarta, 24 Juli 1996 Penanggung jawab, Kepala, Drs. MOHAMMAD ROMLI NIP. 130367448
5
6
Daftar Isi
KATA PENGANTAR (Cetakan Pertama)
4
SAMBUTAN KEPALA BP3 YOGYAKARTA (Edisi Revisi)
5
DAFTAR ISI
7
I. PENDAHULUAN : Arkeologi Metalurgi dan Kebudayaan Logam di Indonesia
9
II. KOLEKSI ARCA PERUNGGU Balai Pelestarian Peninggaln Purbakala Yogyakarta
23
III. Koleksi Arca Hindu
27
IV. Koleksi Arca Buddha
33
V. Daftar Pustaka
79
VI. Daftar Istilah
86
VI.I. Peta Lokasi Temuan Arca
93
7
8
Pendahuluan : Arkeologi Metalurgi dan Kebudayaan Logam di Indonesia oleh : Prof. Dr. Timbul Haryono, Msc.
9
PENDAHULUAN : ARKEOLOGI METARLURGI DAN KEBUDAYAAN LOGAM DI INDONESIA Metalurgi Metalurgi adalah ilmu yang memperlajari seluk-beluk logam. Arkeologi Metalurgi adalah ilmu arkeologi yang khusus mendalami dan mempelajari tentang logam yang dimanfaatkan oleh masyarakat masa lampau. Dalam istilah yang lain sering disebut sebagai ‘Arkeometalurgi’ (Haryono, 1983). Di dalam sejarah peradaban manusia, metalurgi telah menjadi semacam indikator terhadap kemajuan peradaban suatu bangsa. Sejak terjadinya perubahan teknologi dari teknologi batu ke teknologi logam, kehidupan mausia semakin maju dan berkembang. Penemuan logam merupakan puncak perkembangan ’piroteknologi’ (pyrotechnology) yaitu teknologi penemuan dan pemanfaatan api oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (Wertime, 1973a: 1973b: 875). Meskipun ketika perdaban manusia masih dalam jaman batu mereka telah menemukan api dan memanfaatkannya, namun suhu panas yang dicapai ketika itu belum mampu digunakan untuk pengolahan logam. Oleh karena itu, V. Gordon Childe dalam tulisannya tentang ’The Urban Revolution’ menjelaskan bahwa salah satu kriteria dari peradaban adalah munculnya pengetahuan metalurgi di dalam kehidupan masyarakat (Childe, 1950). Pada awalnya metalurgi adalah ”art” namun dalam perkembangannya kemudian metalurgi menjadi ”science” dalam pengertian bahwa metalurgi lebih berhubungan erat dengan ilmu-ilmu eksata. Sekarang ini metalurgi dapat dipandang sebagai ”art” maupun ”science”. Teknologi memegang pernan yang sangat penting dalam institusi sosial dan politik. Oleh karena itu kebudayaan sebagai suatu sistem terdiri dari subsistem teknologi, subsistem sosiologi, dan subsistem ideologi (White, 1949;1975). Masing-masing subsistem tersebut saling berkaitan (White, 1975:45-18). Di antara ketiganya, subsistem teknologi merupakan aspek yang penting karena dengan memahami teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat maka kita akan dapat pula memahami tingkat perkembangan budaya masyarakat yang bersangkutan (Bjorkman, 1968: 341). Menurut Hammond (1964:25):
10
”Understanding the working of a people’s technology is essential to an accurate comprehension of the rest of that people’s culture. This is not say that nature of technology determines the nature of the other aspects of culture in absolute sense. But it is to say that technology is always important” Teknologi logam merupakan teknologi yang lebih rumit prosesnya dibandingkan dengan teknologi batu. Dengan penguasaan metalurgi dapat dihasilkan berbagai bentuk dan jenis alat (artefak) yang diperlukan manusia. Artefak secara keseluruhan akan merupakan perwujudan subsistem-subsistem kultural yang terdiri dari subsistem tekno-lingkungan, subsistem politik, dan subsistem ideologi (Kesler, 1974:110-112). Perspektif Historis Dilihat dari perspektif historis perkembangan metalurgi di dunia diawali dengan penemuan tembaga alam (yang disebut ’native copper’) yaitu salah satu jenis logam tunggal tanpa campuran dan dapat ditemukan dengan cara mudah tanpa membuat lubang-lubang penambangan.. Artefak dari bahan tembaga alam ang pernah ditemukan adalah yang ditemukan di situs Catal Huyuk di Anatolia dari milenium ke-6 SM dan di situs Sayonu Tepesi, Turki, yang diperkirakan berasal dari sekitar tahun 7000 SM. Bahan tembaga native Di wilayah Asia Barat daya memang banyak ditemukan jenis-jenis ’batu’ seperti tersebut. Penemuan jenis tembaga alam bagi masyarakat prasejarah memang tidak terlalu sulit dan mengherankan. Jenis tembaga native ini mempunyai kenampakan warna hijau gelap keungu-unguan sehingga mudah dikenal oleh para pencari batu. Pengerjaan jenis ’batu’ tersebut pun relatif mudah karena hanya dengan cara pemangkasan dan penempaan berulang-ulang dan tidak pecah seperti itu dalam teknologi batu. Sejak itu pulalah sekitar milenium ke-8 SM sejarah teknologi logam dimulai dan masa itu disebut sebagai ”the Dawn of Metallurgy” (Coghlan, 1975:26). Beberapa temuan arkeologis terus bermunculan di wilayah Asia Baratdaya. Sebuah artefak berupa anting-anting dari bahan tembaga native ditemukan di situs Shannidar, Kurdistan, dan diperkirakan berasal dari milenium ke-9 SM (Coghlan, 1975:40). Kemudian di situs Suberde (Turki) ditemukan artefak berbentuk jarum dan kawat dari bahan tembaga native dari sekitar tahun 6500 SM. Artefak dari bahan tembaga yang berupa pisau, pahat, jarum ditemukan
11
Katalog Koleksi Arca Perunggu
di Beycesultan (Tuki bagian barat). Teknik pembuatannya adalah teknik cetak tunggal (open mould). Di situs Tape Sialk (Iran) juga ditemukan artefak-artefak tembaga dari 5000 SM, dan pada lapisan budaya (lapisan II, ca. 4500 – 4000 SM ditemukan petunjuka tentang pencarian tembaga, pencetakan dengan cetakan trebuka, dan proses annealing. Sementara itu dilaporkan bahwa di situs Kultepe (Azerbaijian) ditemukan adanya petunjuk tentang perubahan teknologi dari penggunaan tembaga alam ke penggunaan tembaga-arsenik dan juga ditunjukkan oleh artefak dari situs Tepe Yahya (Iran selatan) pada sekitar 4500 SM (Beale, 1973:40). Penemuan artefak tembaga dalam jumlah yang cukup banyak terjadi di situs nahal Mishmar (Israel) yang diperkirakan berasal dari milenium ke-4 SM dari jenis tembaga-arsenik. Data-data seperti dikemukakan di muka memberikan gambaran bahwa di bidang metalurgi terjadi perubahan atau perkembangan teknologi yaitu dari penggunaan tembaga alam berubah ke tembaga arsenik serta perubahan teknologi pembuatan artefak dari teknik tempa ke penggunaan teknik cetak. Adapun penggunaan timah untuk pembuatan logam perunggu baru dikenal di sekitar millenium ke-3 SM sebagaimana ditunjukkan oleh artefak dari situs Tepe Yahya dengan kandungan unsur timah 3% (Tylecote dan Mc Kerrell, 1971: 3738). Menurut Tylecote penggunaan perunggu timah di wilayah lembah Eufrat – Tigris baru pada sekitar 3000 – 2500 SM dan di Iran pada 2000 SM. Berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi-metalurgi di Asia Barat Daya diperoleh gambaran bahwa telah terjadi suatu fase-fase perkembangan teknologi secara bertahap yaitu (Wertime, 1973a:879-881): 1. penggunaan terbagi jenis tembaga alam (native copper) dengan teknik tempa, 2. penemuan penggunaan teknik cetak serta peleburan, 3. penemuan logam paduan (perunggu). Fase pertama disebut dengan ’fase monometalik’. Pada fase ini tembaga alam semata-mata diperlukan sebagai alat teknis sebagaimana mereka menggunakan alat batu dan cara pembuatannya juga mirip dengan cara-cara pembuatan alat batu. Mereka belum mengenal bahwa bahan tembaga alam tersebut dapat dipanaskan sehingga menjadi lunak dan memudahkan dalam penempaan. Proses seperti ini, yang dalam metalurgi disebut “annealing”, terjadi setelah melalui pengalaman yang panjang selama ribuan tahun dan dianggapsebagai
12
“the first phase of true metalurgy” (Forbes, 1950). Fase kedua terjadi setelah manusia mengetahui bahwa tembaga alam dapat dilebur menjadi logam cair sehingga dapat dicetak yang menghasilkan bentuk artefak tembaga yang beragam. Setelah itu maka muncul teknologi penambangan bijih tembaga. Perlu dikemukakan bawha karena titik lebur tembaga bijih adalah 1083o C maka suhu panas menjadi penting. Fase berikutnya yang sangat penting dalam metalurgi adalah fase perunggu. Pada fase tersebut diketahui bahwa tembaga dapat dicampur dengan logam lain yang membentuk logam paduan (alloy). Jenis logam lain yang dicampurkan adalah arsenik atau timah. Oleh karena itu logam paduan yang dihasilkan disebut ’perunggu arsenik’ (arsenical bronze) dan ’perunggu-timah’ (tin-broze). Kualitas logam paduan tersebut lebih baik dan lebih kuat jika dibandingkan dengan tembaga. Setelah tahap itu barulah manusia menemukan logam besi. Dengan ditemukannya logam perunggu maka berkembanglah teknik pembuatan benda logam. Secara garis besar teknik pembuatan benda-benda logam dibedakan menajdi: (1) teknik cetak dan (2) teknik tempa. Kebudayaan yang berkembang di Asia Tenggara masih dianggap sebagai hasil pengaruh kebudayaan dari India dan Cina: “Already, therefore, as the mists of prehistory begin to disperse in the light of the first fragmentary historical records shortly after the dawn of the Cristian era, South-East Asia appears in its most characteristic role as the meeting ground of cultural influences from India and China (Fisher, 1964 : 81).” Pendapat seperti tersebut terus saja berlangsung seperti dipertegas oleh G. Coedes (1966 : 13) : “Its is interesting to note that even in prehistoric time the autochtonous people of Indochina seem to have lacking in creative genius and showed little attitude for making progress without stimulus from outside”. Lebih khusus Philip Rawson (1967 : 12) menegaskan bahwa pengetahuan teknologi logam di Asia Tenggara merupakan hasil difusi dari luar yang baru terjadi pada sekitar tahun 800 SM : ”Bronze was imported perhaps about 800 BC into the Neolithic context, and already about 500 BC Indochina showed the cultural division into (Sinizing and Indianizing) cultures based on geographical division, which was to mark its later history. The Dongson culture of Tonkin and Annam took its inspiration from China . . . . ”
13
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Sampai tahun 1970-an pendapat seperti itu masih kuat sebagaimana terlihat dalam pernyataan Grahame Clark (1969: 238): ”Neither Southeast Asia, Indonesia nor the Philippines experience a phase of technology fully comparable with tools continued in general used into the Christian era, a certain number of bronze artifact, named after the rich settlement and cemetery of Dongson in northern Annan, found their way over. These were sometimes accompanied by object made of iron.” Di Thailand penelitian telah menghasilkan adanya kebudayaan logam yang independent dari pengaruh India dan Cina (Solheim, 168; Bayard, 1980 : 191 – 214; Gorman and Charoenwangsa, 1976). Meskipun demikian Grahame Clark (1977:345) masih mempermasalahkan bahwa: ”If metallurgy was flourishing in Thailand by the middle of the fifth millenium, one way ask how it was that the Thai smiths should have marked time for four thousand years and why having gained so great a start technologically on China and India the people of South-East Asia should have fallen so far behind these territories in the race to literate civilization.” Sejak itu terjadilah dua kubu pendapat antara kelompok yang disebut ”Independent Invention Versus Stimulus Diffusion”. Penelitian di Cina sebenarnya sedikit membuka cakrawala baru adanya kemungkinan ’The Cradle of the East’ (Ho, 1975; Barnard dan Sato Tamotsu, 1975; Barnard, 1978). Meskipun demikian bagi ahli metalurgi seperti Cyril Smith tetap tidak percaya adanya ‘Second Independent Nucleation of Metallurgy’ (Smith, 1973: 23): ‘… the idea of making metals from rocks is not easily arrived at and a second independent nucleation of metallurgy in China (or the new world either) seems highly improbable. Penelitian secara intensif dimulai di Thailand sejak tahun 1950-an oleh Karl G. Heider di lembah Kwae Noi (Kanchanabury) yang menemukan kapak perunggu tipe kapak corong dan genta perunggu (Heider, 1957). Kemudian Wilhelm Solheim (1957 : 62) menemukan lagi kapak perunggu dari tipe yang sama di Wang Pho (dekat Ban Kao). Pada tahun 1960 – 1961 sebuah tim penelitian gabungan ‘Thai Danish Prehistoric Expedition’ telah menemukan fragmen gelang perunggu, fragmen nekara, dan artefak dari besi di situs Ongbah (lembah Kwae Yai) (Sorensen, 1962 : 33-36). Pada tahun 1964 sebuah tim peneliti gabungan antara Thailand dan Universitas Hawai telah menemukan sebuah situs yang penting di Desa Ban
14
Nadi (Solheim dan Gorman, 1966). Situs tersebut kemudian lebih terkenal dengan nama Non Nok Tha (Higham, 1989 : 99-106). Ekskavasi situs tersebut pada tahun 1966 dan 1968 membuktikan bahwa situs Non Nok Tha merupakan situs kubur. Meskipun pertanggalan situs ini menjadi bahan perdebatan diantara para ahli (Bayard, 1972; Smith, 1979), Dorn Bayard akhirnya secara relatif membagi kronologi menjadi 3 periode: a. Periode Awal (Early Period) dari sekitar 4500 – 3500 SM. Dalam periode ini ditemukan beberapa fragmen perunggu di lapisan bawah dan sebuah kapak corong di lapisan atas. b. Periode Pertengahan (Middle Period) yang berakhir kurang lebih tahun 200 M. Dalam periode ini selain ditemukan artefak-artefak perunggu juga ditemukan cetakan dari bahan batu (sand stone) kowe. Temuan tersebut membuktikan adanya kegiatan teknis penuangan logam. c. Periode Akhir (Late Period) dari tahun 1000 M-150 tahun yang lalu. Pada periode ini ditemukan artefak besi. Dari hasil ekskavasi situs Non Nok Tha ditemukan 22 gelang perunggu, 4 kapak corong, 6 buah kowi utuh, 5 pasang cetakan tipe cetakan setangkup, dan sejumlah butiran-butiran lelehan logam. Penemuan tersebut cukup membuktikan bahwa di Thailand setidak-tidaknya pada periode awal kebudayaan Non Nok Tha telah ada kegiatan pembuatan artefak perunggu. Bukti-bukti adanya kegiatan penuangan logam secara lokal didukung oleh penemuan situs Ban Chiang yang terletak di sebelah Timur Laut Non Nok Tha. Ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1972, 1973, 1974 dan akhirnya pada tahun 1975 telah menghasilkan sejumlah artefak logam. Meskipun pertanggalan stus ini juga diperdebatkan, Joyce White (1982) membagi kronologi situs Ban Chiang menjadi 3 periode : a. Periode Awal, 3600-1000 SM. Pada periode ini ditemukan artefak perunggu yang diperkirakan berasal dari 2000 SM. b. Periode Pertengahan, 1000-3000 SM, dan c. Periode Akhir, 300-200 SM. Dilihat dari aspek metalurgi penemuan yang terjadi di Thailand mempunyai makna yang sangat penting. Sementara dapat dikatakan bahwa kebudayaan logam masa prasejarah di Thailand telah muncul paling tidak pada tahun 2000 SM. Penelitian arkelogis di Vietnam juga memberikan arti penting terhadap
15
Katalog Koleksi Arca Perunggu
permasalahan kebudayaan logam di Asia Tenggara. Berdasarkan data sementara yang diperoleh, ada bukti yang menunjukkan bahwa sekitar tahun 2000 SM kebudayaan logam (perunggu) telah lahir di Vietnam sebagai berikut : 1. Jaman Perunggu Awal (Ca. 2000 SM) yang disebut sebagai masa budaya Go Bong atau Phung Nguyen Akhir. Masa ini merupakan masa kelahiran metalurgi di Vietnam, meskipun dalam tahap awal penemuan perunggu, alat-alat batu masih dimanfaatkan. 2. Jaman Perunggu Pertengahan (Ca. 1500 SM) yang disebut sebagai masa budaya Dong-Dau. Pada masa ini alat-alat batu mulai diganti oleh alatalat logam. 3. Jaman Perunggu Akhir (Ca. 1000 SM) yaitu masa budaya Go Mun. Masa ini merupakan perkembangan tingkat lanjut dalam teknologi logam. Nekara perunggu mulai muncul dalam masa ini. 4. Jaman perunggu besi atau disebut Budaya Dong Son. Masa ini ditandai oleh munculnya alat-alat dari besi. Ciri-ciri Teknologi Kebudayaan Logam Asia Tenggara Dari segi pertanggalan yang selama ini diperoleh gambaran bahwa masa munculnya logam di Asia Tenggara (dari penemuan di Thailand dan di Vietnam) pada sekitar tahun 2000 SM. Dari aspek kronologis penemuan logam perunggu di Asia Tenggara tidak terlalu jauh terlambat di bandingkan dengan di India. Kebudayaan logam di India pada umumnya dikaitkan dengan kebudayaan Lembah Indus yang diwakili oleh Budaya Harappa (Ca. 2400-1700 SM). Pada fase ini artefak perunggu ditemukan di lapisan atas. Namun demikian dari aspek teknis (terutama segi bahan), pada fase pra-Harappa telah ditemukan artefak dari bahan tembaga (Agrawal, 1984 : 262). Teknik pembuatan yang diterapkan di Harappa adalah teknik cetak langsung dan teknik cire perdue. Suatu fenomena teknologi yang menarik adalah bahwa di Asia Selatan tidak ditemukan alat-alat berbentuk corong. Hasil analisis elemental juga cukup menarik yaitu hampir semua menggunakan bahan tembaga – arsenik dan sangat sedikit ditemukan bukti-bukti campuran timah (Sn). Perlu dikemukakan bahwa sesudah fase budaya Harappa (Ca. 2000-1700 SM), diikuti oleh fase budaya Chalcolitik (Ca. 2000 – 1000 SM). Masing-masing fase budaya tersebut
16
mempunyai aspek teknis (bahan) yang berbeda. Artefak dari budaya Harappa menggunakan campuran timah (Sn) dan arsenik (As); artefak budaya Chalcolitik hanya terdiri dari campuran timah, sedang artefak kelompok Copper Hoard dibuat dari campuran arsenik. Dengan fenomena teknologi seperti tersebut akhirnya Agrawal (1984: 265) menyatakan : ”it is obvious that even in South Asia there are three almost independent metallurgical traditions which were part contemporary”. Berdasarkan analisis artefak logam yang ditemukan di beberapa situs di Asia Tenggara terdapat bukti kuat adanya kegiatan pembuatan logam secara lokal (cottage industry). Ciri-ciri umum yang berhasil disimpulkan dari data yang diperoleh bahwa Asia Tenggara dikenal dengan penggunaan teknik cetak setangkup dan teknik cetak corong merupakan ciri khas khusus Asia Tenggara karena teknik tersebut tidak ditemukan di Cina maupun di India (Bayard, 1980). Di samping itu, dari segi bahan, di Asia Tenggara tidak dikenal penggunaan arsenik sebagai bahan campuran.Suatu kenyataan bahwa, sampai saat ini belum ditemukan situs-situs yang membuktikan adanya tahap eksperimental yakni tahap monometalik sebagai prasarat untuk dapat mengatakan adanya ’indigenous development’ di Asia Tenggara. Bukti-bukti di Vietnam cukup menarik dan memperkuat keberadaan kebudayaan logam prasejarah Asia Tenggara. Pham Minh Huyen (1984:173-177) dapat menyimpulkan adanya fase-fase perkembangan metodologis sebagai berikut : 1. fase penggunaan bijih tembaha oksida, yaitu ditemukannya artefak tembaga murni. Namun sayangnya temuan tersebut tidak jelas konteks stratigrafinya. 2. fase awal perunggu, yaitu merupakan fase ’eksperimental’. Pada fase ini ditemukan artefak dari bahan perunggu – timah (tin – bronze) maupun perunggu timbal (lead – bronze). 3. fase perunggu timah, yaitu pemanfaatan campuran timah menjadi lebih populer karena merupakan campuran yang paling baik. 4. fase penggunaan bijih tembaga sulfita. Pada fase ini teknik mengolah bijih tembaga mulai berkembang sehingga meningkat kualitas perunggu
17
Katalog Koleksi Arca Perunggu
yang dihasilkan. Sebagai akibatnya dikenal ‘perunggu multi-komponen’. 5. fase yang terakhir adalah fase besi. fase ini dimulai sejak tahun ribuan pertama sebelum masehi. Hasil penelitian pertanggalan juga menunjukkan sejak permulaan tahun ribuan ke-2 sampai tahun ribuan pertama, di Vietnam telah ada kematangan dalam teknologi perunggu. Analisis elemental juga menunjukkan bahwa perunggu Vietnam termasuk sebagai perunggu-timah. Hal tersebut sejajar dengan bukti yang ditemukan di Thailand. Semula, ada pendapat bahwa kebudayaan perunggu di Vietnam hanya dikaitkan dengan apa yang kemudian terkenal dengan ‘Kebudayaan Dongson’. R. Von Heine Geldern (1945) mengajukan pendapat bahwa kebudayaan Dongson yang ada di Asia Tenggara dan Indonesia mendapat pengaruh dari kebudayaan perunggu di Eropa Tenggara. Teorinya dimulai dengan adanya migrasi beberapa suku bangsa : Thracia, Lllyria, Cimmeria, Caucasia, dari barat melalui Asia Tengah di Timur, kemudian menyebar menjadi 3 cabang yaitu Cina bagian Barat, ke daerah Ordos diteruskan ke wilayah antar Sungai Hoangho dan Sungai Yangtze dan ke Cina Selatan, dan yang ketiga menyebar ke arah selatan sampai Sungai Yunan. Dari Yunan kemudian ke Kepulauan Indonesia. Menurut Von Heine Geldern kebudayaan Dongson berasal dari abad ke-3 SM. Namun kemudian ia menyimpulkan sekitar abad ke-8 SM. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, dapat dikatakan bahwa keberadaan atau munculnya kebudayaan logam di Vietnam berasal dari dalam wilayah sendiri dan jauh lebih tua pertanggalannya. Dengan demikian kebudayaan Dongson pun tidak harus dikaitkan dengan kebudayaan perunggu Eropa. Di Asia Tenggara, logam telah dikenal pada sekitar tahun 3600 SM seperti ditunjukkan oleh penemuan arkeologis di situs Non Nok Tha dan Ban Chieng (Haryono, 1982). Penelitian arkeometalurgi yang dilaksanakan di Thailand telah menemukan situs Phu Lon di dataran tinggi Khorat yang menunjukan adanya aktivitas penambangan logam tembaga (Pigott dan Natapintu, 1988; Natapintu, 1988; Pigott et al., 1992). Situs tersebut memiliki pertanggalan yang cukup tua yaitu pada awal tahun milenium ke-2 SM dan tahun milenium ke-1 SM dan sama dengan pertanggalan artefak perunggu yang ditemukan di situs Ban Na Di (White, 1988).
18
Dilihat dari aspek teknologi, perunggu Asia Tenggara mempunyai ciri sebagai ’perunggu-timah’, yaitu paduan tembaga dengan timah. Teknik pembuatan artefak yang digunakan adalah cetak a cire perdue dan cetak setangkub yang menggunakan cetakan tipe bivalve mould. Bahan cetakan yang digunakan adalah bahan batu sand stone. Dengan pertanggalan yang cukup tua terhadap munculnya kebudayaan logam di Asia Tenggara seperti tersebut memberikan kemungkinan bahwa kebudayaan logam di wilayah Indonesia merupakan perkembangan dan hasil persebaran dari Asia Tenggara karena pertanggalan keberadaan kebudayaan logam di Indonesia berkembang sesudah kebudayaan logam di Asia Tenggara. Pendapat umum mengatakan bahwa kebudayaan perunggu di Indonesia dipengaruhi oleh kebudayaan perunggu Dongson di Vietnam yang berkembang pada sekitar abad ke-3 SM (Heekeren, 1958). Di Indonesia tidak dikenal jaman tembaga dan jaman perunggu yang berdiri sendiri mendahului jaman besi sebagaimana lazimnya pada perkembangan jaman logam di luar Indonesia. Perkembangan metalurgi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan yang terjadi di Asia Tenggara. Sampai ini pertanggalan absolut terhadap kapan munculnya metalurgi di Indonesia belum diperoleh. Dr. J.L.A. Brandes secara hipotetis pernah mengatakan bahwa jauh sebelum mendapat pengaruh dari kebudayaan India bangsa Indonesia telah memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam bidang metalurgi (Brandes, 1889:152). Pengetahuan metalurgi tersebut adalah salah satu dari 10 unsur kebudayaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia yaitu: wayang, gamelan, ilmu irama puisi, membatik, mengerjakan logam, sistem mata uang, ilmu pelayaran, astronomi, penanaman padi, dan birokrasi pemerintahan. Kemampuan dalam teknologi logam masa prasejarah tersebut merupakan modal utama untuk masa berikutnya yaitu masa Hindu-Budha yang berkembang dari abad V sampai XV M. Hasil-hasil budaya materi benda-benda logam – khususnya benda-benda yang dipergunakan untuk keperluan upacara – dari dimensi bentuk merupakan ekspresi budaya India namun dalam dimensi teknologi merupakan karya asli bangsa Indonesia. Keahlian bidang metalurgi akhirnya menjadi profesi tersendiri sehingga muncul spesialisasi. Di dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan naskah sastra banyak disebut-sebut kelompok profesi tukang logam yaitu ’pande’ atau ’pandai’ sesuai dengan bidangnya masing-masing. Oleh karena itu dikenal adanya pande mas,
19
Katalog Koleksi Arca Perunggu
pandai salaka (perak), pande tamra atau pande tamwaga (tembaha), pande kamsa atau gangsa (perunggu) dan pande wsi. Bahkan spesialisasi pekerjaan bukan atas dasar bahan saja tetapi atas dasar benda yang dihasilkan. Pada masa itu dikenal pande dang (ahli dalam pembuatan bejana atau dandang), pande dadap (ahli di bidang pembuatan perisai), pande kawat (ahli pembuatan kawat), pande singasingan atau apande sisinghen (ahli di bidang pembuatan senjata tajam). Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang diketuai oleh seorang pemimpin disebut dengan istilah ’tuha gusali’ atau ’juru gusali’. Kata ’gusali’ tersebut sekarang menjadi ’besalen’ yaitu tempat pertukarangan logam. Kelompok masyarakat pande logam tersebut di dalam kehidupan sosial termasuk sebagai kelompok sang mangilala drawya haji atau sang maminta drwya haji yaitu para abdi dalam kraton yang tidak mendapatkan daerah lungguh sehingga kehidupan ekonominya tergantung dari gaji yang diambil dari perbendaharaan kerajaan. Spesialisasi dalam bidang teknologi logam yang penuh misteri menyebabkan seorang empu (khususnya pembuat keris) mempunyai kedudukan tersendiri di dalam masyarakat. Ia dianggap mempunyai kekuatan magis (Goris, 1960). Bahkan di Bali para pande besi merupakan klen tersendiri yaitu klen pande; dan mereka memiliki keahliannya berdasarkan keturunan darah. Klen pande di Bali tidak tergabung dalam sistem kasta. Menurut informasi di dalam salah satu babad pande, para pande logam memiliki pengetahuannya tentang pekerjaan logam dari Dewa Api yang berkuasa di selatan. Mereka mempunyai pendeta sendiri untuk memimpin upacara keagamaan (Anom. 1973 : 3 – 4). Namun anehnya di dalam sumber tertulis Slokantara mereka dimasukkan sebagai kelompok masyarakat kelas bawah yang disebut sebagai kelompok candala (Rani, 1957). Golongan candala jumlahnya delapan (asta candala) atau sering disebutkan hanya lima macam. Di dalam naskah lontar Agama-Adigma di Bali dikatakan bahwa yang termasuk golongan asta candala adalah undagi (tukang kayu), amalantěn (tukang cuci pakaian), amahat (tukang pahat), anjun (pembuat gerabah), apande sisinghen (pembuat senjata tajam), anguga (?), anggabag (?), acirigimani (?). Sementara itu di dalam naskah Slokantara : 43 dijelaskan bahwa candala itu jumlahnya lima yaitu surasut (pemahat), krimidaha (pencuci pakaian), pranagha (jagal), kumbhakaraka (pembuat periuk), dan dhatudagdha (pandai emas) (Rani, 1957).
20
Dengan munculnya kelompok masyarakat pande logam spesialisasi pekerjaan yang lain yang berhubungan dengan pekerjaan benda logam muncul juga. Mereka adalah pamanikan (pembuatan batu permata), pasimsim (tukang pembuat cincin), rumban (tukang pemasang batu permata pada perhiasan cincin atau perhiasan jenis lainnya), pangaruhan (tukang emas), dan limus galuh (tukang pembuat permata) (Zoetmulder, 1982). Berbagai teknik pembuatan artefak logam pada masa klasik tampak sekali sudah dikuasai oleh para pande logam. Pembuatan arca pada umumnya menggunakan teknik cetak a cire perdue. Pertama-tama, sebuah model benda yang ingin dihasilkan dibuat dari bahan lilin (tahap positif). Model tersebut kemudian dibalut dengan tanah liat (tahap negatif). Model yang telah terbalut dengan tanah liat tersebut kemudian dibakar. Lilin akan meleleh keluar meninggalkan rongga cetakan (tahap negatif). Selanjutnya ke dalam rongga cetakan dituangkan logam cair. Setelah dingin baru kemudian dipecah untuk mengeluarkan artefak logam hasil cetakan. Barang-barang keperluan rumah tangga dan pertanian umumnya dibuat dengan teknik tempa. Untuk pembuatan barang-barang perhiasan dari bahan emas, para pande emas telah pula menguasai berbagai teknik pembuatan maupun pembuatan dekorasinya. Barang-barang emas dibuat dengan teknik cetak dan teknik tempa. Pande logam masa Jawa Kuno ternyata tidak hanya menguasai pengetahuan teknik saja yang telah dikuasai, tetapi aspek-aspek yang berhubungan dengan makna simbolisk logam juga diketahui. Aspek-aspek simbolik telah mewarnai pandangan para pande terhadap metalurgi (Haryono, 1994). Hal ini dapat dicontohkan misalnya pada artefak arca bimetalik yaitu sebuah arca Siwa yang dibuat dari perak dan lapik arca dibuat dari perunggu dan arca Budha dari emas tetapi lapik arca dan pengiringnya dibuat dari bahan perunggu. Penggabungan dua jenis logam yang berbeda untuk satu artefak seperti tersebut tentunya didasari atas pertimbangan simbolisasi. Secara simbolis menurut tradisi India masing-masing logam mempunyai kedudukan yang berbeda dari yang tinggi sampai yang rendah sebagai berikut : suvarna (emas), rupya (perak), loha (besi), tamra (tembaga, trapu (timah putih), vangaja (seng), sisaka (timah hitam), dan riti (kuningan). Tradisi lain menyatakan ada astalohamaya (8 logam yang penting) ialah : suvara (emas), rajata (perak), tamra (tembaga), paittala (kuningan), kamsya (perunggu), ayasa (besi), saisaka (timah
21
Katalog Koleksi Arca Perunggu
hitam), trapusa (timah putih). Logam emas memiliki kedudukan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan perak karena logam emas memiliki warna yang indah (su-varna) dan juga bersifat ke-surga-an (svar). Emas adalah simbol dari semua yang dianggap superior. Perak mempunyai nilai simbolik meningkatkan kesucian, tembaga dianggap mempunyai daya magis. Berkaitan dengan konsep kosmos maka logam mempunyai kesamaan dengan satelit yaitu emas – Matahari, perak – Bulan, tembaga – Venus, besi – Mars, timah putih – Yupiter, timah hitam – Saturnus (Cirlot, 1962). Sementara itu di Indonesia, keberadaan kebudayaan logam yang berkembang belum ditunjang oleh bukti-bukti arkeologis yang integratif, kebudayaan logam masa prasejarah Indonesia belum menunjukkan adanya tahap-tahap eksperimental secara gradual. Dari aspek bahan belum ditemukan adanya artefak tembaga yang dapat menjadi indikator fase monometalik. Dengan kata lain, fase monometalik tidak dilalui (tidak ada) akan tetapi langsung pada fase polimetalik. Situasi demikian menunjukkan bahwa kebudayaan logam masa prasejarah Indonesia bukan merupakan indigenous development ataupun independent invention, tetapi pengaruh dari luar. Keterkaitan antara kebudayaan logam Indonesia dengan kebudayaan logam Asia Tenggara dibuktikan adanya ciri-ciri teknologis yang mirip, yaitu : perunggu-timah, teknik corong, teknik cetak setangkup. Lagi pula, nekara perunggu yang menjadi ciri kebudayaan perunggu Indonesia, kelahirannya sudah jauh berada di Vietnam. Kekurangan bukti lain adalah belum diperolehnya pertanggalan absolut dalam penelitian logam di Indonesia. Selain itu belum cukup bukti yang integratif untuk memisahkan kebudayaan logam perunggu dengan kebudayaan logam besi sebagai indikator suatu jaman. Oleh karena itu penamaan the Bronze-Iron Age di Indonesia belum bisa dipisahkan menjadi ‘The Bronze Age of Indonesia’ dan ‘The Iron Age of Indonesia’ Kita masih menunggu hasil penelitian selanjutnya.
22
Koleksi Arca Perunggu Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta
23
KOLEKSI ARCA PERUNGGU BALAI PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA YOGYAKARTA
S
alah satu koleksi benda cagar budaya bergerak yang berada di ruang koleksi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala adalah arca perunggu, secara lengkap daftar inventaris koleksi tersebut ada di dalam Buku
Induk Koleksi. Berdasarkan pencatatan sampai dengan 5 September 1995, arca perunggu yang terdaftar dalam buku katalog ini berjumlah 46 (empat puluh enam) buah, satu diantaranya adalah kepala arca. Berdasarkan basil klasifikasi, dapat diketahui bahwa arca-arca tersebut terdiri dari arca Pantheon Buddha, sebanyak 43 (empat puluh tiga) buah, dan Pantheon Hindu sebanyak 3 (tiga) buah. Rincian arca-arca tersebut adalah sebagai berikut: Pantheon Hindu : ∼ Satu arca Siva. ∼ Dua arca Siva Mahadeva. Pantheon Buddha: ∼ Satu arca Bhairava ∼ Satu arca Aksobhya. ∼ Satu arca Ratnasambhava ∼ Dua arca Amitabha. ∼ Satu arca Amogasiddhi. ∼ Dua arca Vairocana dan 1 (satu) Mahavairocana. ∼ Satu arca Locana ∼ Empat arca Avalokitesvara (satu diantaranya berupa kepala) ∼ Dua arca Padmapani. ∼ Dua arca Vajrapani. ∼ Satu arca Vajrabodhisattva Vajrasattva. ∼ Satu arca Manjusri. ∼ Dua arca Bodhisattva. ∼ Dua arca Jambhala. ∼ Satu arca Cunda. ∼ Tujuh belas arca-arca pendamping dari pantheon agama Buddha.
24
Sebagian dari koleksi arca tersebut merupakan temuan lepas dari berbagai tempat. Di samping itu ada juga yang ditemukan berkelompok dalam satu lokasi, yaitu di Dusun Kleben, Surocolo, dan Mayangan. Arca-arca dari Dustin Kleben, Pendowoharjo, Sleman, ditemukan pada tahun 1975 terdiri dari 3 (tiga ) buah arca dari pantheon Buddha, yaitu Mahavairocana, Locana, dan Avalokitesvara. Dilihat dari segi ikonografi maupun ikonometrinya, ketiga arca ini merupakan satu kelompok. Mahavairocana dan Locana merupakan satu pasangan sebagai dhyanibuddha dengan isterinya (Sakti). Sebagai Mahavairocana, Vairocana tidak digambarkan berbusana pendeta yang sederhana seperti umumnya penggambaran dhyanibuddha, namun memakai busana dengan perhisan mewah. la adalah dhyanibuddha pertama yang menempati pusat mandala (zenith), sebagai simbol dari kosmis rupa, dan menggambarkan musim gugur yang dilambangkan dengan warna putih. Mahavairocana dan Locana sebagai satu pasangan digambarkan dengan ciri-ciri yang sama yaitu dengan sikap duduk sattvaparyankasana, kedua tangannya bersikap bodhyagrimudra. Arca dari Dusun Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul, ditemukan pada tahun 1976. Dalam buku ini yang ditampilkan 20 (dua puluh) buah arca, terdiri dari 19 (sembilan belas) buah dari pantheon Buddha, yaitu arca Bodhisattva (Padmapani, Vajrapani) dan 17 (tujuh belas) buah arca pendamping, dan 1 (satu) buah arca Siva dari pantheon Hindu. Beberapa arca pendamping tersebut telah diidentifikasi oleh Prof. DR. Edi Sedyawati, berdasarkan sumber tertulis berupa teks Nispannayogavali. Teks tersebut memuat 26 (dua puluh enam) mandala dan dalam setiap mandala terdapat kelompok dewa pengiring yang terdiri dari lima kelompok, yaitu: ∼ ∼ ∼ ∼ ∼
Kelompok dewa panca indra Kelompok dewa kesenian Kelompok dewa wewangian dan cahaya Kelompok dewa pemikat dan pengikat sebagai penjaga gerbang Kelompok dewa berkepala binatang sebagai penjaga pintu.
Dari kelima kelompok dewa pengiring di atas, kelompok dewa panca indra tidak terdapat di antara temuan dari Surocolo. Namun sejauh ini temuan dari Surocolo belum bisa ditentukan jenis mandalanya secara pasti. Kelompok arca dari Surocolo mempunyai kesamaan dalam penggambaran wajah dan asesorisnya.
25
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Masing-masing arca mengenakan asesoris yang lengkap, yaitu mahkota berupa kiritamakuta, sumping, anting-anting, kalung, kelat bahu, gelang lengan, gelang tangan, ikat dada, ikat pinggang, dan gelang kaki. Memakai kain dari batas perut hingga mata kaki dengan motif yang bervariasi. Wajah masing-masing dewi (kecuali yang berkepala binatang) digambarkan berparas cantik dengan urna di dahinya. Setiap kelompok dewi digambarkan mempunyai bentuk lapik yang berbeda, yaitu kelompok dewi kesenian (pemusik), wewangian, dan cahaya, serta kelompok vajrabodhisattva mempunyai lapik bulat; kelompok dewi kesenian (penari) mempunyai lapik berbentuk bulat kecil; kelompok dewi pemikat dan pengikat, serta kelompok dewi berkepala binatang mempunyai lapik berbentuk oval. Arca dari Dusun Mayangan Trihanggo, Gamping, Sleman, ditemukan di sawah milik bapak Prapto Tukiran. Proses penemuannya terjadi 4 (empat) kali, yaitu pada tanggal 19, 22, 27, dan 29 September 1990 pada saat beberapa orang sedang menggali tanah. Temuan berada di kedalaman satu meter di bawah permukaan tanah. Benda yang ditemukan berupa benda-benda perunggu yang terdiri dari: 10 (sepuluh) buah arca, yaitu arca Aksobhya, Ratnasambhava, Vairocana, Avalokitetvara, Padmapdni, Vajrabodhisattva Vajrasattva, Manjusri, Bodhisattava yang belum diketahui identitasnya, dan dua buah arca Jambhala; serta beberapa benda lainnya di antaranya lampu gantung, centong nasi, cincin, tongkat pendeta, genta, cermin, talam, mangkuk, guci, fragmen gerabah, fragmen besi, dan fragmen rahang. Dari beberapa temuan tersebut di atas, hanya temuan arca Baja yang akan diuraikan secara rinci di dalam buku ini. Deskripsi detil masingmasing arca tersebut di atas akan diuraikan di dalam buku katalog ini secara rinci sesuai dengan kelompok, penggambaran, dan mitologinya.
26
Koleksi Arca Hindu
27
1
SIVA
No. inv. BG. 41 Tinggi 21,3 cm Umbulharjo, Ponjong, Gunungkidul Tempat penyimpanan Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
S
iva adalah salah satu dewa Trimurti dalam agama Hindu. Dewa Trimurti, yaitu Brahma, Visnu, dan Siva, masing-masing sebagai dewa pencipta, pemelihara, dan perusak. Siva digambarkan berdiri dan didampingi manusia kecil yang berdiri di depannya. Lembu, (Nandi) sebagai wahananya digambarkan terletak di depan lapik. Siva memiliki empat tangan, tangan kanan depan bersikap memberi pengajaran (vitarkamudra), tangan kanan belakang memegang trisula, tangan kiri depan memegang kepala mahkluk kecil, tangan kiri belakang memegang tongkat (khatvanga) sebagai lambang pengajaran. Siva mengenakan mahkota berbentuk jatamakuta dengan hiasan berbentuk tengkorak dan bulan sabit (ardhacandrakapala) sebagai lambang kedewataan.
28
BHAIRAVA
4
No.Inv. BG. 49 Tinggi 15.5 cm Sindumartani, Ngemplak, Sleman
B
hairava adalah salah satu aspek demonis dewa Siva, yang lahir dari darah Siva. la biasa dipuja dalam aliran Tantrayana. Arca Bhairava ini hanya digambarkan sebatas perut, dan bagian bawahnya berujung runcing. Pada bagian yang runcing terdapat aksara berhuruf Jawa Kuna berbunyi Hum yang merupakan bimajantra. Adanya bijamantra tersebut menunjukkan bahwa arca Bhairava ini berfungsi sebagai Yantra. Mengenai Bhairava di dalam buku katalog koleksi arca perunggu ini sebetulnya merupakan bagian tangkai dari alat untuk upacara. Alat upacara seperti ini di Nepal, dipakai oleh agama Buddha aliran Vajrayana.
Detail huruf Jawa Kuna berbunyi Hum
29
Katalog Koleksi Arca Perunggu
2
SIVA MAHADEVA
No. inv. BG. 123 Tinggi 11,5 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul Tempat penyimpanan Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
S
iva Mahādeva digambarkan berdiri dengan posisi dua kaki sejajar (samabanga). la bertangan empat, tangan kanan depan memegang tombak (Sakti), tangan kanan belakang membawa tasbih (aksamala), tangan kiri depan membawa kendi tempat air suci (kamandalu), dan tangan kiri belakang membawa alat pengusir lalat (camara). Memakai perhiasan lengkap dan mahkota berbentuk kiritamakuta.
30
SIVA MAHADEVA
3
No. Inv. BG. 771 Tinggi 47 Cm Kricak Kidul, Tegalreja, Yogyakarta
Detail Muka Arca
S
iva Mahadeva digambarkan berdiri di atas Padmasana, dengan sikap samabhanga. Di bawah padmasana terdapat Nandi sebagai wahananya. Di belakang arca terdapat prabha dengan hiasan lidah api. la memakai mahkota Jatamakuta yang dihias dengan bulan sabit dan tengkorak (ardhacandrakapala), bertangan empat, tangan kanan depan memegang trisula, kanan belakang memegang tasbih (aksamala), tangan kiri depan memegang kendi (kamandalu), dan tangan kiri belakang memegang alas pengusir lalat (camara). Ketiga pelupuk matanya dilapisi perak, sedangkan bibirnya dilapisi emas. Sebagai Mahadeva, ia digambarkan mengenakan tali kasta (Upavita) yang berupa ular, serta berpakaian kulit harimau.
31
Katalog Koleksi Arca Perunggu
32
Koleksi Arca Budha
33
5
KEPALA AVALOKITESVARA
No. inv. BG. 27 Tinggi 15 cm Tirtomartani, Kalasan, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Taman Wisata Candi Prambanan Serah terima tanggal :
A
valokitesvara adalah bodhisattva yang menguasai mata angin sebelah barat. la merupakan emanasi dari dhyanibuddha. Dalam pengarcaannya Avalokitesvara selalu digambarkan memakai mahkota berupa pilinan rambut (jatamakuta) yang dihiasi dengan figur amitabha.
34
AMITABHA
6
No. inv. BG. 32 Tinggi 9,5 cm Karangtanjung, Pendowoharjo, Sleman
A
mitabha adalah dhyanibuddha yang menguasai mata angin sebelah barat. la merupakan perwujudan dari anasir kosmis samjna, menggambarkan musim panas dan berwarna merah. Arca ini digambarkan duduk di atas padmasana sikap yogasana, yaitu kaki bersila (paryankasana) dengan sikap tangan samadi (dhyanamudra). Sebagai dhyanibuddha, Amitabha digambarkan memakai busana pendeta, rambut keriting disanggul (usnisa), pada kening terdapat urna, dan bertelinga panjang menggambarkan kebijaksanaan.
35
Katalog Koleksi Arca Perunggu
7
AVALOKITESVARA
No. inv. BG. 33 Tinggi 15,5 cm Kleben, Pendowoharjo, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
A
valokitesvara merupakan ema nasi dari dhyanibuddha Amitabha, sehingga dalam pengar caannya mempunyai ciri khas yaitu figur Amitabha pada mahkota. Ia adalah bodhisattva yang memerintah saat ini, dan juga dikenal dengan nama Padmapani. Avalokitesvara digambarkan duduk di atas padmasana dengan kaki kiri dilipat dan kaki kanan menggantung (lalitasana). Ia bertangan empat, tangan kanan depan dalam sikap memberikan anugerah (varamudra), tangan kanan be-lakang membawa tasbih (aksamala), tangan kiri depan membawa teratai (padma), tangan kiri belakang membawa buku (pustaka) sebagai simbol kebijaksanaan. la memakai busana dan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk jamakuta yang dihias dengan figur amitabha.
36
MAHAVAIROCANA
8
No. inv. BG. 34 Tinggi 15,5 cm Kleben, Pendowoharjo, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
M
ahavairocana digambarkan duduk dalam posisi kedua kaki dilipat, kaki kanan terletak di atas kaki kiri (sattvaparyankasana), sikap tangan melambangkan kebijaksanaan (bodhyagrimudra). la memakai mahkota yang dihiasi dengan untaian mutiara (kiritamakuta), dan perhiasan lain yang lengkap, antara lain anting-anting, sumping, kalung, kelat bahu, gelang tangan, dan gelang kaki. Mengenakan kain dari batas perut hingga mata kaki.
37
Katalog Koleksi Arca Perunggu
9
LOCANA
No. inv. BG. 35 Tinggi 9 cm Kleben, Pendowoharjo, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
L
ocana adalah istri (sakti) dhyanibuddha Vairocana. Arca ini digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap sattvaparyankasana, tangannya bersikap bodyagrimudra. la memakai busana dan perlilasan lengkap dengan mahkota berbentuk jatamakuta. Locana ini merupakan pasangan dari Mahairocana (BG. 34), hal ini ditunjukkan dengan kesamaan bentuk ikonografinya
38
AMOGHASIDDHI
10
No. inv. BG. 107 Tinggi 21,6 cm Glagah, Temon, Kulon Progo
Detail gambar bunga teratai
A
moghasiddhi adalah dhyanibuddha yang menguasai mata angin sebelah utara. la merupakan simbol anasir kosmis samskara atau pemurnian, dan dilambangkan dengan warna hijau yang menggambarkan musim hujan. Amoghasidhi digambarkan dengan sikap tangan kanan memberi perlindungan (abhayamudra), dan pada telapak tangan terdapat gambar bunga teratai, sedangkan tangan kiri memegang jubah yang dipakainya.
39
Katalog Koleksi Arca Perunggu
11
VAJRAPANI
No. inv. BG. 108 Tinggi 18,5 cm Glagah, Temon, Kulon Progo
V
ajrapani ialah bodhisattva yang menguasai mata angin sebelah timur. la digambarkan berdiri dalam sikap kaki kanan lurus sedangkan kaki kiri sedikit ditekuk (alidha), tangan kiri memegang teratai (padma) sedangkan tangan kanan memegang vajra yang merupakan simbol kelamin laki-laki yang berarti intan dan disejajarkan dengan sunyata (nisbi). Di belakang kepala terdapat sirascakra (lambang kedewataan), ia memakai mahkota berupa kiritamakuta.
40
VAJRAPANI
No. inv. BG. 122 Tinggi 10 cm Surocolo, Seloharjo, Bantul
12
Pundong,
V
ajrapani digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap kaki terlipat dengan kaki kanan di atas kaki kiri (sattvaparyankasana). Tangan kanan di depan dada dengan sikap jari telunjuk dan ibu jari, membentuk. lingkaran dan telapak tangan diputar menghadap ke atas (jnanamudra), tangan kiri memegang tangkai padma dan di atasnya terdapat vajra. Memakai pakaian dan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta.
41
Katalog Koleksi Arca Perunggu
13
VAJRARAKSA
No. inv. BG. 124 Tinggi 5,8 cm Surocolo, Seloharjo, Bantul.
A
Pundong,
rca ini digambarkan duduk di atas padmasana, bersikap sattvaparyankasana. Tangan kanan di depan dada dengan sikap telunjuk dan ibu jari membentuk lingkaran (katakahasta/ simhakarnamudra) Tangan kiri di atas pangkuan, atributnya hilang. Vajraraksa adalah salah satu dari enam belas Vajrabodhisattva, dan juga merupakan salah satu dari empat tokoh keluarga karma yang mengelilingi Jina Amoghasidhi (dalam mandala menguasai arah utara)
42
VAJRALOKA
14
No. inv. BG. 126 Tinggi 5,6 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajraloka adalah dewi pelita, atau cahaya yang merupakan salah satu dari empat dewi puja. Dalam mandala dewi ini termasuk kelompok dewi wewangian dan cahaya. Dalam mandala Dharmadhatuvagisvara, dewi ini digambarkan membawa pelita dan manikam. Vajraloka atau Vajradipa digambarkan duduk di atas padmasana, dan bersikap sattvaparyankasana. Tangan kiri membawa pelita kecil, dan tangan kanan bersikap melindungi pelita itu. Kain yang dikenakan semacam motif sidomukti.
43
Katalog Koleksi Arca Perunggu
15
VAJRAGANTHA
No. Inv. BG. 127 Tinggi 8,3 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
Detail motif kain
V
ajragantha merupakan salah satu anggota dari kelompok dewi pemikat dan pengikat. Selain Vajragantha, temuan di Surocolo juga terdapat dewi pengikat dan pemikat yang lain, yaitu Vinayaka, Vajrasphota, Vajranrtya, serta kelompok dewi yang berkepala binatang. Kelompok ini pada dasarnya adalah kelompok dewi penjaga pintu mandala. Dewi ini digambarkan berdiri di atas padmasana. Kaki kanan ditekuk, kaki kiri lurus dan badang condong ke kanan (pratyalidha). Tangan kanan ditekuk di depan dada, memegang vajra dan gantha?, tangan kiri lurus ke arah kanan memegang atribut (sudah patah). Motif kain yang dikenakan menyerupai motif ceplok.
44
HAYASYA
16
No. inv. BG. 128 Tinggi 8,6 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul Detail motif kain
H
ayasya adalah salah satu dari empat dewi penjaga mandala, yang lainnya adalah Sukarasya, Simhasya, dan Svanasya. Dewi ini digambarkan berbadan manusia, tetapi berkepala kuda. Dalam ikonografi perwujudan setengah manusia setengah binatang disebut bentuk anthropomorpik. Dalam manda la Hevajra dan Nairatma, Hayasya, menempati mata angin arah timur. Hayasya digambarkan berdiri di atas padmasana dengan sikap pratyalidha, yaitu tungkai kiri ditekuk. Tangan kanan membawa alas penggertak gajah (angkusa) dan diangkat ke depan, tangan kiri di depan perut memegang kepala babi hutan. Motif kain yang dikenakan semacam motif sidomukti.
45
Katalog Koleksi Arca Perunggu
VAJRASPHOTA
17
No. inv. BG. 129 Tinggi 7,6 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
Detail motif kain
V
ajrasphota adalah salah satu anggota dari kelompok dewi penjaga pintu mandala. Dalam mandala Vajratara, mandala Darmadharvagisvara dan mandala Durgaparisodhana menyatakan bahwa dewi ini tangan kirinya membawa rantai yang bertanda vajra. Vajrasphota digambarkan berdiri dalam sikap kangkang (mandala), badan dan kepala agak diputar ke kanan, tangan kiri membawa cermin dan Ujung rantai (sphota) dari perak, mungkin dahulunya rantai perak tersebut dipegang dengan kedua tangan. Kain yang dikenakan semacam motif ceplok.
46
SUKARASYA
18
No. inv. BG. 130 Tinggi 7,7 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong), Bantul Detail motif kain
S
ukarasya adalah salah satu dari empat penjaga pintu mandala (lihat Hayasya). Seperti halnya Hayasya, Sukarasya juga termasuk salah satu dari penjaga mandala yang berkepala binatang. Sukarasya digambarkan berwajah babi, berdiri dalam sikap alidha (tungkai kanan ditekuk). Tangan kiri memegang vajra, tangan kanan memegang atribut yang tidak diketahui bentuknya (hilang). Motif kain yang dikenakan semacam motif sidomukti.
47
Katalog Koleksi Arca Perunggu
19
VAJRANRTYA
No. inv. BG. 131 Tinggi 7,4 cm Surocolo, Selohario, Pundong, Bantul
V
ajranrtya adalah dewi tari kesuburan (exuberant dance). la termasuk salah satu dewi penjaga mandala, yang menempati arah mata angin timur laut. Vajranrtya digambarkan berdiri di atas padmasana dengan posisi berdiri bertumpu pada kaki kanan (tungkai ditekuk), kaki kiri diangkat tinggi-tinggi ke samping kiri (ksipta). Dalam tari India klasik, sikap seperti ini menggambarkan pelemparan senjata seperti misalnya vajra (petir). Tangan kiri ditekuk di depan dada dan tangan kanan diangkat ke samping kanan dalam sikap seperti akan melempar. Motif kain yang dikenakan semacam motif ceplok.
48
VAJRARAGA
20
No. inv. BG. 132 Tlnggl 5,6 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajraraga merupakan bodhisattva cinta dan termasuk salah satu dari enam belas bodhisattva yang mengelilingi empat jina yang berada di empat kapel yang mengelilingi kapel pusat. Vajraraga termasuk keluarga vajra yang dalam mandala mengelilingi Aksbhya dan berada di kapel sebelah selatan. Vajraraga digambarkan duduk dalam posisi melepas anak panah dan tangan kiri memegang busur. Pakaian dan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta.
49
Katalog Koleksi Arca Perunggu
21
MUKUNDA
No. inv. BG. 133 Tinggi 5,7 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
M
ukunda adalah dewi musik yang memainkan alat musik jenis membrano phone tipe gendang. Dalam mandala vajrasattva dan vajramrta digambarkan berwarna putih (sita). Mukunda digambarkan dalam sikap sattvaparyankasana di atas padmasana, tangan kiri memegang gendang (mukunda) yang diletakkan di atas pangkuan, tangan kanan dalam posisi menabuh alat musik tersebut. Tali selendang diselempangkan pada pundak kiri.
50
VAJRALASI
22
No. inv. BG. 134 Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajralasi adalah penari ge mulai, yang merupakan pa sangan Vajranrtya. Keduanya digambarkan dalam sikap menari serta mempunyai lapik sama, baik bentuk maupun ukurannya. Dalam mandala dewi ini termasuk dalam ke lompok kesenian dan sebagai penjaga pintu mandala.
Vajralasi digambarkan berdiri di atas padmasana, dan dalam sikap tribhanga. Tangan kanan ditekuk ke atas, tangan kiri diletakkan dipinggang, menggambarkan gerakan gemulai sambil memegang bunga teratai yang berada di samping kiri dan diselempangkan sampai pundak kanan. Pakaian berupa kain semacam motif ceplok yang dikena’kan sebatas pinggang sampai mata kaki. Mengenakan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta, yang sudah aus.
51
Katalog Koleksi Arca Perunggu
23
MURAJA
No. inv. BG. 135 Tinggi -8 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
M
uraja adalah dewi pemain musik yang memainkan alas musik jenis membrano phone yaitu tamborin (India: tabla). Dalam mandala vajrasattva dan vajramrta, dewi ini digambarkan berwarna asap (gelap) yang bervariasi antara kelabu, merah tua, dan ungu (dhumra varna). Muraja digambarkan duduk di alas padmasana dalam sikap sattvaparyankasana. Kedua tangannya dalam posisi memainkan tiga buah tamborin yang herada di depannya. Motif kain yang dikenakan Muraja semacam motif ceplok.
52
VAJRAKARMA
24
No. inv. BG. 136 Tinggi 5,6 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajrakarma adalah salah satu dari enam belas vajrabodhisattva dan merupakan salah satu dari empat tokoh keluarga karma yang mengelilingi Amoghasidhi. Digambarkan dalam possisi duduk di atas padmasana dalam sikap sattvaparyankasana. Tangan kanan di depan dada memegang vajra bermata empat (visvavajra), tangan kiri memegang tongkat (khatvanga) yang diletakkan di atas mangkuk tengkorak (kapala). Memakai kain semacam motif sidomukti dan mengenakan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakut.
53
Katalog Koleksi Arca Perunggu
25
VAMSA
No. inv. BG. 137 Tinggi 5,7 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
amsa adalah salah satu dari empat dewi pemusik yang memainkan alas musik jenis aerophone dari bambu yaitu seruling. Tiga yang lainnya adalah Muraja (tamborin/tabla), Mukunda (gendang) dan Vajragiti (vina). Vamsa digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap sattvaparyankasana. Kedua tangannya memainkan seruling yang ujungnya berbentuk vajra. Motif kain yang dikenakannya semacam motif sidomukti.
54
VAJRAGITI
26
No. inv. BG. 138 Tinggi 5,7 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajragiti atau Gita (dewi nyanyian) yang memainkan instrumen berdawai jenis cordo phone (vina/harpa). la sedang memainkan alat musik vina berdawai tujuh yang bagian bawahnya menyerupal makara. Dalam mandala vajramrta, vajragiti digambarkan berwarna kuning. Motif kain yang dikenakannya semacam motif ceplok.
55
Katalog Koleksi Arca Perunggu
27
VAJRADHUPA
No. inv. BG. 139 Tinggi 6 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajradhupa adalah salah satu dari empat dewi wewangian dan juga termasuk dalam kelompok delapan dewi puja, yang berkedudukan di arah tenggara. Dalam mandala, dewi ini termasuk kelompok wewangian dan cahaya. Vajradhupa digambarkan duduk dalam sikap sattvaparyankasana di atas padmasana. Kedua tangannya memegang dupa (Setanggi) yang terletak di sebelah kiri. Kain yang dikenakan Vajradhupa semacam motif ceplok.
56
VAJRABHASA
28
No. inv. BG. 140 Tinggi 5,7 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
ajrabhasa termasuk salah satu dari enam betas vajrabodhisattva. Ia merupakan salah satu dari empat tokoh keluarga lotus yang mengelilingi Amitabha, dan berada di kapel sebelah barat. Vajrabhasa digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap sattvaparyankasana, tangan kanan memegang stupa dan tangan kiri di depan dada. la memakai perhisan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta, serta mengenakan kain semacam motif ceplok.
57
Katalog Koleksi Arca Perunggu
PADMAPANI (AVALOKITESVARA)
29
No. inv. BG. 143 Tinggi 12,7 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
P
admapani digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap sattvaryankasana. Tangan kanan sikap memberi penjelasan (vyakhyana-mudra), tangan kiri memegang bunga teratai. Memakai busana dan perhiasan lengkap, bermahkota kiritamakuta.
58
VINAYAKA
30
No. inv. BG. 144 Tinggi 8,5 cm Surocolo, Seloharjo, Pundong, Bantul
V
inayaka adalah salah satu dewi penjaga mandala. la digambarkan berdiri dengan sikap pratyalidha di atas padmasana, tangan kiri direntangkan ke samping memegang busur dan rambut dari empat kepala manusia. Tangan kanan diangkat ke dekat telinga seolah sedang menarik tali busur.
59
Katalog Koleksi Arca Perunggu
31
VAJRAPANI
No. inv. BG. 465 Tinggi 28 cm Sambisari, Purwomartani, Kalasan, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
V
ajrapani digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap lalitasana. Tangan kanan bersikap memberi anugerah (varamudra), tangan kiri memegang bunga teratai mekar (padma) yang di atasnya terdapat vajra. Vajrapani memakai busana dan perhiasan lengkap dengan mahkota berupa kiritamakuta. Di bawah padmasana terdapat hiasan gajah menggendong singa, ini melambangkan bahwa kejahatan akan selalu dapat dikalahkan oleh kebaikan.
60
BODHISATTVA
32
No. inv. BG. 575 Tinggi 27 cm Watusoko, Argodadi, Sedayu, Bantul
B
odhisattva berdiri dalam sikap samabhanga, tangan kanan bersikap varamudra dan tangan kiri membawa tongkat besi (tomara). Memakai busana yang dikenakan dari batas perut hingga mata kaki. Memakai perhiasan berupa upavita, kelat bahu, dan bermakhota jatamakuta.
61
Katalog Koleksi Arca Perunggu
33
AMITABHA
No. inv. BG. 615 Tinggi 3,5 cm Kalegung, Donokerta, Turi, Sleman
A
rca Amitabha dari Kalegung ini digam-barkan sangat sederhana dan berukuran sangat kecil. la mengenakan busana pendeta, dengan Ujung jubah menjulur diantara kedua kakinya. Duduk di atas padmasana dengan sikap paryankasana, dan tangan bersikap dhyanamudra. Kepala arca ini sudah aus meskipun demikian masih terlihat usnisa dan urna di bagian keningnya.
62
AVALOKITESVARA
34
No. Inventaris : BG. 1103 Tinggi : 31 cm Jetis, Tirtoadi, Mlati, Sleman
A Detail motif kain
valokitesvara digambarkan berdiri dengan sikap tribhanga di atas padmasana tangan kanan bersikap varamudra dan tangan kiri bersikap vitarkamudra. Memakai busana dan perhiasan lengkap, bermahkota jatamakuta. Di belakang kepala terdapat hiasan lingkaran cahaya (sirascakra).
63
Katalog Koleksi Arca Perunggu
35
CUNDA
No. Inv. BG. 1440 Tinggi 12 cm Glagaharjo, Cangkringan, Sleman
C
unda adalah emanasi dari Vajrasattva atau Vairocana, ia merupakan bodhisatva wanita dan termasuk kelompok Dharani. Cunda digambarkan duduk di atas padmasana oval dengan sikap paryankasana. Memakai jatamakuta dengan perhiasan yang lengkap, yaitu anting-anting, lumping, kalung, upavita, kelat bahu, dan gelang tangan. Pandangan mata melihat ke bawah dengan urna di bagian dahinya. Memakai kain dari pinggang hingga mata kaki, semacam motif nitik. Cunda bertangan delapan, empat diantaranya (bagian kiri) sudah patah, tangan kiri bawah tinggal lengan. Kedua tangan paling bawah bersikap dhyanamudra. Tangan kanan kedua (dari bawah) telapak tangannya sudah patah, tangan ketiga membawa jerat (pasa), tangan kanan keempat membawa tasbih (aksamala). Bagian belakang arca kemungkinan dulu ada payungnya (chattra).
64
JAMBHALA
36
No. inv. BG. 1148 Tinggi 12,5 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman
D Detail musang (nakula)
alam agama Buddha, Jambhala merupakan dewa kemakmuran, sedangkan di dalam agama Hindu dewa ini dikenal dengan nama Kubera. Jambhala digam barkan duduk di atas padmasana dengan sikap lalitasana, kaki bertumpu pada pundipundi uang.
Sebagai dewa kemakmuran Jambhala selalu digambarkan berperut besar. Di belakang kepala terdapat prabha yang dilengkapi dengan payung (chattra). Tangan kanan memegang jeruk lemon (jambhara), tangan kiri memegang musang (nakula). Di bawah tempat duduk terdapat pundi-pundi uang sebanyak empat buah. Jambhala memakai busana dan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta.
65
Katalog Koleksi Arca Perunggu
37
AVALOKITESVARA
No. inv. BG. 1149 Tinggi 15 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
A
valokitesvara digambarkan duduk dalam sikap lalitasana, dan di atas padmasana. Di belakang arca terdapat prabha yang dilengkapi dengan payung (chattra). Tangan kanan bersikap memberi anugerah (varamudra), dan tangan kiri memegang tangkai bunga tera tai. Memakai busana dan perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk jatamakuta.
66
JAMBHALA
38
No. inv. BG. 1150 Tinggi 10 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman
J
ambhala digambarkan dalam sikap ardhaparyankasana di atas padmasana. Di belakang kepala terdapat hiasan sirascakra. Tangan kanan memegang buah lemon (Jambhara), Langan kiri memegang pundi-pundi uang. Memakai busana dan perhiasan lengkap dengan mahkota berupa karandamakuta.
67
Katalog Koleksi Arca Perunggu
39
RATNASAMBHAVA
No. inv. BG. 1151 Tinggi 10 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman. Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
R
atnasambhava merupakan pemimpin dari keluarga Ratna (Ratnakula). la adalah dhyanibuddha ke tiga yang menguasai arah mata angin sebelah selatan, dan sebagai perwujudan dari anasir kosmis Vedana (sensasi). la juga menggambarkan musim semi, yang dilambangkan, dengan warna kuning. Ratnasambhava digambarkan duduk dalam sikap paryankasana di atas padmasana. Di belakang arca terdapat prabha dihiasi dengan lidah api serta makaradi bagian bawahnya. Di puncak prabha terdapat payung (chattra). la memakai busana pendeta, bertelinga lebar dan berambut keriting (usnisa), serta terdapat urna di keningnya, seperti dhydnibuddha pada umumnya. Tangan kanan bersikap memberi anugrah (varamudra), tangan kiri di atas pangakuan.
68
VAIROCANA
40
No. inv. BG. 1152 Tinggi : 10 cm Mayangan, Trihanggo, Damping, Sleman
V
airocana digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap paryankasana. Di belakangnya terdapat prabha yang dilengkapi dengan payung (chattra). Kedua tangannya terletak di depan dada, dengan posisi tangan kanan mengatup di atas tangan kiri (bodhyagrimudra). Sebagaimana dhyanibuddha yang lain, la digambarkan mempunyai telinga lebar dan berambut keriting disanggul ke atas (usnisa) serta memakai pakaian pendeta.
69
Katalog Koleksi Arca Perunggu
41
AKSOBHYA
No. inv. BG. 1153 Tinggi 7 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
A
ksobhya adalah dhyanibuddha yang menguasai arah mata angin sebelah timur. la merupakan dhydanibuddha yang kedua, sebagai simbol anasir kosmis vitnana (kesadaran), menggambarkan musim dingin, dan dilambangkan dengan warna biru. Aksobhya digambarkan duduk dalam sikap paryankasana di atas padmasana. Di belakangnya terdapat prabha, sedang bagian chattra sudah hilang. Tangan kanan bersikap bhumisparsamudra, yaitu sikap memanggil bumi sebagai saksi atas kemenangannya terhadap Mara yang akan menggagalkan Gautama dalam mernperoleh kebenaran. Tangan kiri di atas pangkuan.
70
VAJRABODHISATTVA VAJRASATTVA
42
No. inv. BG. 1154 Tinggi 8 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
V
ajrabodhisattva Vajrasattva meru pakan salah satu dari enam belas Vajrabodhisattva yang mengelilingi empat jina (Aksobhya, Ratnasambhava, Amitabha dan Amoghasiddhi) dalam satu lingkaran mandala. Ia digambarkan duduk di atas padmasana berlapik segi delapan dalam sikap sattvaparyankasana. Di belakang kepala terdapat sirascakra, memakai mahkota berbentuk kiritamakuta, dan berbusana mewah serta memakai atribut berupa vajra dan lonceng pendeta (gantha). Selain sebagai Vajrabodhisattva, Vajrasattva juga dikenal sebagai Adi Buddha (Adi Buddha Vajrasattva). Perbedaan keduanya terletak pada sikap duduk. Sebagai Vajrabo dhisattva la digambarkan dalam sikap duduk kaki dilipat dan saling bertumpu (sattvaparyankasana). Sedangkan sebagai Adi Budhha, ia digambarkan duduk dalam sikap kaki dilipat saling menyilang (vajraparyankasana). Sikap duduk semacam ini dianggap sebagai sikap duduk berlian (diamond pose).
71
Katalog Koleksi Arca Perunggu
BODHISATTVA
43
No. inv. BG. 1155 Tinggi 5,8 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
A
rca ini digambarkan duduk dalam sikap santai (maharajalalitasana), lapik arcanya sudah hilang. Dibelakang kepala terdapat sirascakra, dan hiasan bulan sabit (ardhacandra). Tangan kanan di depan dada bersikap varamudra, tangan kiri di atas paha memegang atribut yang sudah tidak jelas, dan memakai busana lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta.
72
MANJUSRI
44
No inv. BG. 1156 Tinggi 13 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
M
anjusri adalah bodhisattva yang tertua, dalam pantheon agama Buddha ia memiliki kedudukan yang tinggi dan dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan kepandaian. Manjusri digambarkan duduk di atas padmasana, dan dalam sikap sattvaparyankasana. Di belakang arca terdapat prabha yang dihias dengan api dan dillengkapi dengan payung (cattra). Ia mempunyai tatanan rambut yang khas yaitu tiga pilinan rambut disusun tinggi (tricira). Biasanya berwajah muda (khumara bhuta), yang ditandai dengan atribut semacam bulan sabit di belakang kepala. Tangan kanan bersikap vajramudra, tangan kiri memegang bunga teratai yang di atasnya terdapat pustaka sebagai lambang ilmu pengetahuan.
73
Katalog Koleksi Arca Perunggu
45
PADMAPANI (AVALOKITESVARA)
No. inv. BG. 1157 Tinggi 13 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman Tempat penyimpanan : Museum Negeri Propinsi DIY “Sonobudoyo” Serah terima tanggal : 14 Maret 2000
P
admapani digambarkan duduk di atas teratai (padma), dan bersikap sattvaparyankasana. Di belakang arca terdapat prabha yang dihias dengan lidah api serta dilengkapi payung (chattra). Tangan kanan bersikap vitarkamudra, tangan kiri memegang bunga teratai setengah mekar (utpala), dan memakai busana serta perhiasan lengkap dengan mahkota berbentuk kiritamakuta.
74
VAIROCANA
46
No. inv. BG. 1376 Tinggi 9 cm Mayangan, Trihanggo, Gamping, Sleman
V
airocana adalah dhyanibuddha yang berada di pusat mandala. la juga merupakan dhyanibuddha yang pertama, sebagai simbol kosmis rupa, dilambangkan dengan warna putih, yang menggambarkan musim gugur. Vairocana digambarkan duduk dalam sikap paryankasana di atas padmasana. Kedua tangannya di depan dada, bersikap memutar roda darma (dharmacakramudra) sebagai lambang pengajaran pertama. Sebagai dhyani-buddha, Vairocana me-makai busana pendeta serta rambut berupa usnisa
75
Katalog Koleksi Arca Perunggu
47
VAIROCANA
No. Inv. BG. 1470b Tinggi : 14,3 cm; L : 6 cm Situs Gampingan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul
V
airocana digambarkan duduk di atas padmasana dalam posisi duduk meditasi sattyaparyankasana sikap tangan dharmacakramudra yang melambangkan perputaran roda dharma atau roda kehidupan. Mata setengah tertutup memandang ujung hidung. Rambut ikal disanggul diatas kepala (ushnisa), terdapat lingkaran di tengah dahi disebut urna, telinga panjang. Di belakangnya terdapat stella (sandaran) dengan hiasan binatang dan lengkunglengkung pada bagian pinggiran dan dilengkapi dengan payung (chattra).
76
VAIROCANA
48
No. Inv. BG. 1470c Tinggi : 12,57 cm; L : 6,9 cm Situs Gampingan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul
V
airocana digambarkan duduk di atas padmasana dalam posisi duduk meditasi sattyaparyankasana (kedua kaki dilipat, kaki kanan di atas kaki kiri), sikap tangan dharmacakramudra yang melambangkan perputaran roda dharma atau roda kehidupan. Mata setengah tertutup memandang ujung hidung. Rambut ikal disanggul diatas kepala (disebut ushnisa), terdapat lingkaran di tengah dahi disebut urna, telinga panjang memakai anting. Di belakangnya terdapat stella (sandaran) dengan hiasan lengkung-lengkung.
77
Katalog Koleksi Arca Perunggu
49
GANESA
No. Inv. BG. 1795 Tinggi : 11,77 cm; L : 9,09 cm Kompleks Candi Prambanan, Prambanan Sleman.
G
anesa digambarkan duduk di atas asana tengkorak dalam posisi duduk utkutikasana (Kedua telapak kaki tertutup), dan mengenakan kain motif batik. Pada arca ganesa ini kedua gading tampak utuh, belalai patah pada bagian ujungnya, telapak tangan kiri belakang juga patah, dan tangan kanan belakang aus. Tangan kanan rusak, tangan kiri depan membawa mondaka (sejenis kue berbentuk bulatan). Pakaian dan perhiasan yang dipakai berupa jatamakuta (mahkota dari pilinan rambut dengan hiasan ardha candrakapala, memakai kundala (anting-anting), keyura (kelat bahu), gelang tangan, gelang kaki, dan upawita berupa ular. Ganesa dalam mitologi agama Hindu dikenal sebagai anak Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang digambarkan berbadan manusia dan berkepala gajah. Ganesa juga dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, kesuburan dan penghancur segala rintangan. Dalam pengarcaan biasanya atribut yang dibawa: di tangan kanan belakang belakang membawa aksamala (tasbih), tangan kiri belakang membawa parasu (kapak perang), tangan kanan depan membawa danta (gading yang patah) dan tangan kiri depan membawa mondaka (sejenis kue). Pakaian dan perhiasan yang dipakai berupa jatamakuta (mahkota dari pilinan rambut dengan hiasan ardha candrakapala, memakai kundala (antinganting), hara (kalung), keyura (kelat bahu), gelang tangan, gelang kaki, upawita berupa ular
78
Daftar Pustaka & Daftar Istilah
79
Katalog Koleksi Arca Perunggu
DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi, dkk.,
1981 Kamus Istilah Arkeologi I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Agrawal, D.P. 1984
“Origin of Mettalurgy in Asia-Mith and Reality”. Dalam Don Bayard (ed.) The Origin of Agriculture, Metallurgy, and The State In Mainland Southeast Asia. Dunedin, New Zeland : University of Otago Studies in Prehistoric Anthropology Vol. 16, 261-268.
Anom, I Gusti Ngurah 1973
Fungsi Genta di Bali. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Bhattacharyya, Benoytosch,
1968 The Indian Buddhist Mukhopadhay.
Iconography.
Calcutta:
Mada
Firma
K.L.
Barnard, Noel 1978
Further Evidence in Support of the hypothesis of indigenous origin of metallurgy in Ancient China. Conference on the Origin of Chinese Civilization. Barkeley : University of California.
Barnard, Noel and Sato Tomatsu 1975
Mettalurgical Remains of Ancient. China. Tokyo : Nichiosa.
Bayard, Don T. 1980
An Early Indigenous bronze Technology in North-East Thailand its implications for the prehistory of East Asia. Dalam H.H.E. Loofs-Wissowa (ed.). Diffusion of Material Culture. Asian and Pacific Archaeology series 9 Honolulu : Social Science Research Institute, 191-214.
Beale, Thomas W. 1973
Early Trade in Highland Iran: A View from a Source Area. World Archaeology V(1) : 133 – 148.
Bjorkman, Judith Kinston
1968 A Sketch of Metal and Metalworkers in the Ancient Near East. Philadelphia : University of Pennsylvania.
80
Brandes, J.L.A.
1889 Een Jayapatra of acte van eene Rechterlijk uitspraak van Saka 849. TBG XXXII : 1-52.
Childe, V.G.
1950 The Urban Revolution. Town Planning Review 21 (1): 3-17
Cirlot, J.E.
1962 A Dictionary of Symbols. London & Henley : Routhledge & Kegan Paul.
Clark, Grahame 1972
World Prehistory in New Outline. London : Cambridge University Press.
1977
World Prehistory in New Perspective. London: Cambridge University Press. Cetakan ke-3.
Coedes, G. 1966
The Making of Southeast Asia. Translated by H.M. Wright, Berkeley : University of California Press.
Coghlan, H.H.
1975 Notes on the Prehistoric Metalurgy of Copper and Bronze in the Old World. Occasional Paper in Technology No. 4 Oxford University Press.
Davidson, Jeremy H.C.S. 1979
Archeology in Northern Vietnam since 1954. Dalam R. B. Smith dan W. Watson (ed.) Early Southeast Asia. Essay in Archaeology History, and Historical Geography. New York/Kuala Lumpur : Oxford University Press
Edi Sedyawati,
1989 Arca-arca ’kecil’ dalain Pantheon Buddha, PIA V. Yogyakarta 4 - 7 Juli 1989.
Edi Sedyawati,
1978 Permasalahan Telaah Ikonografi dan Sumber Jawa Kuna, Majalah Arkeologi I (4).
Fisher, Charles A. 1964
Southeast Asia a Social, Economic and Political Geography. London Metheun and Co. Ltd.
81
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Forbes, R.J.
1950 Metalurgy in Antiquity a Notebook for Archaeologists and Technologists. Leiden : E.J. Briil.
Fontein, Jan; R. Soekmono; Edi Sedyawati,
1990 The Sculpture of Indonesia. New York: Harry N. Abrams, Inc.
Fontein, Jan; R. Soekinono; Satyawati Suleiman,
1972 Kesenian Indonesia Purba. New York: Franklin Book Program.
Goris, R.
1960 The Position of the Blacksmiths. J.L. Swellengrebed (ed.), Bali Studies in Life, Thought and Ritual. Cet.1984. Amsterdam: the Royal Tropical Institute, halm. 289-299.
Gorman, Chester and Charoenwongsa, Pisit. 1976
Ban Chiang : A Mosaic of Impressions From The First Two Years Expedition 18 , 14-26.
Gupte, R.S.,
1972 Iconography of the Hindus Buddhists And Jains. Bombay: D.B. Taraporevala Sons & Co Private, Ltd.
Hammond, Peter B
1964 Cultural and Social Anthropology. New York: The Macmillan Company.
Haryono, Timbul
1982 Ancient Bronze Technology in Northeast Thailand and North Chaina: A Comparative Study. Thesis. Philadelphia: University of Pennsylvania. 1994 Aspek Teknis dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII – X Disertasi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Heekeren, H.R. van
1958 The Bronze-Iron Age of Indonesia. VKI XXII.’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Highman, Charles.
1989 The Archaeology of Mainland Southeast Asia. Cambridge : Cambridge University Press.
82
Ho, Ping-Ti. 1975
The Cradle of The East. Chicago : University of Chicago Press.
Huyen, Pham Minh 1984
Various Phases of The Development of Primitive Metallurgy in Vietnam. Dalam Donn Bayard (ed.). The Origin of Agriculture, Metallurgy and The State in Mainland Southeast Asia. University of Otago Studies in Prehistoric Anthropology Vol. : 16 halm. 173-187
Kempers, A.J. Bernet,
1959 Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J Van Der Peet.
Kessler, Evelyn S.
1974 Anthropology the Humanizing Process. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Liebert, Gosta,
1976 “Iconographic Dictionary of the Indian Religion: Hindhuism - Buddhism - Jainism”, dalam J.E. Van Lahuizen De Leeuw, Studies in South Asian Culture Vol. V. Leiden: E.J. Brill.
Lunsingh Scheurleer, Pauline; Klokke, Marijke J.,
1988 Divine Bronze Ancient Indonesian Bronze from A.D. 600 to 1600, Catalog of the Exhibition Organitation organized in collaboration with the Society of Friends of Asiatic Art Held in the Departement of Asiatic Art. 1Z1jksn1Useui-n, Amsterdam, April 30 - July 31, 1988. Leiden: E.J. Brill.
Natapintu, S.
1988 “Current Research on Ancient Copperbase Metallurgy in Thailand.” P. Charoenwongsa and B. Bronson (eds.) Prehistoric Studies, Papers in Thai Antiquity 1. halm. 107 – 124. Bangkok: Thai Antiquity Working Group.
Rani, Sharada
1957 Slokantara An Old Javanese Didactic Text. International Academy of Indian Culture.
Rawson, Philip 1967
The Art of Southeast Asia. New York : Frederick a Praeger Publisher.
83
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Rao, T. A. G.,
1968 Element of Hindhu Iconography. New Delhi: Motilal Banarsidass.
Rawson, Philip,
1988 The Art of Tantra. London: Thames and Hudson Ltd.
Rawson, Philip,
1991 Tantra: The Indian Cult of Ecstasy. London: Thames and Hudson Ltd.
Sakai, Bliagwant,
1975 Iconography of Minor Hindhu And Buddhist Deities. New Delhi: Abhirav Publications.
Sewan Sutanto, S.K.,
1980 Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian RI.
Smith, C.S. 1973
Smith, R.B. 1979
“Bronze Technology in The East : A Metallurgical Study of Early Thai Bronzes With Same Speculation on The Cultural Transmissions of Technology”. Dalam H. Teich and R. Young (Eds.). Changing Perspective in the History of Science: Essays in Honor of Joseph Needham. London Heinemann, 21-32 “A Comment on The Non Nok Tha Dates.” Dalam R. B. Smith dan W. Watson (eds.) Early Southeast Asia. New York: Oxford University Press.
Solheim II. Wilhelm G. 1957
Thailand. Asian Perspective I : 62
1968
Early Bronze in Northeastern Thailand. Curent Anthropology XI (1): 59-62.
Sorensen, P. 1962
The Thai-Danish Prehistoric Expedition 1961-1962. Folk IV:33-36.
Soenarto, Th. Aq.,
1977 “Temuan Arca-arca Perunggu dari Daerah Bantul”, PIA I. Cibulan.
84
Stutley, Margaret,
1985 The Ilustrated Dictionary of Hindu Iconography. London: Routledge & Kegan Paul.
Timbul Haryono,
1994 Aspek Teknis Dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII -X. Yogyakarta: Desertasi Universitas Gadjah Mada.
Tylecote, R.F. dan McKerrell
1957 “An Examination of Copper Alloy Tool” from Tal-I Yahya, Iran. Bulletin of Historical Metallurgy Group. 5(1) : 37-38.
Wertime, Th. A.
1973a Beginning of Metallurgy: a New Look. Science 182:875-887. 1973b Pyrtechnology: Man’s first industrial use of fire. American Scientist 61:670-680
White, J. C. 1982
Discovery of a Lost Bronze Age Ban Chiang. Philadelphia: The University Museum University of Pennsylvania and Smithsonian Institution
1988 “East Asian Metallurgy: The Southern Tradition. The Beginning of the Use of Metals and Alloys.” Paper from the Second International Conference on the Beginning of the Use of Metals and Alloys, Zengzhou, China, 21-26 Ocktober 1986. Ed. R. Maddin, Cambridge, MA: MIT Press, halm. 1975-181.
White, Leslie A.
1949 The Science of Culture: A Study of Man and Civilization. New York: Grove Press, Inc. 1975 The Concept of Cultural Systems. New York: Columbia University Press.
Zoetmulder, P.J.
1982 Old-Javanese English Dictionary Vol. I-II. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
85
Katalog Koleksi Arca Perunggu
DAFTAR ISTILAH A Abhayamudra Sikap tangan yang melambangkan perdamaian (memberi perlindungan), sikap tangan diangkat sedikit ke atas dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan dan jari diarahkan ke atas. Aksamala Tasbih atau rosario. Alidha : Sikap kaki sepereti orang sedang memanah, kaki kanan dibengkokkan. sedangkan kaki kiri lurus diarahkan agak serong. Angkusa : Alat penggertak gajah. Anthropomorpik : Perwujudan dewa setengah manusia, setengah binatang. Ardhacandrakapala : Bulan sabit di bawah tengkorak pada mahkota dewa Siwa. B Bhijamantra : Kata-kata yang mengandung unsur magis. Bhumisparsamudra: Sikap tangan menyembah bumi, yaitu tangan kiri di atas pangkuan, tangan kanan diletakkan di atas lutut dengan jari menunjuk ke bawah. Sikap tangan kanan ini dihubungkan dengan kejadian pada waktu Sidharta memanggil dewa bumi sebagai saksi sebelum mencapai taraf kebuddhaan.
86
Bodhyagrimudra Sikap tangan yamg melambangkan kebijaksanaan. Kedua tangan di depan dada dengan posisi tangan kanan mengatup di atas tangan kiri. C Camara : Alat pengusir lalat. Chattra : Payung. D Dharmacakramudra : Sikap tangan yang melambangkan “sedang memutar roda dharma’’. sikap tangan ini dihubungkan dengan peristiwa sewaktu Sang Buddha memberikan khotbahnya yang pertama di Sarnath. Dharmadhatu Vaigisvara mandala : Susunan dewa-dewa agama Buddha dengan Manjusri sebagai pimpinannya. Dhyanamudra : Sikap kedua tangan ditumpangkan satu sama lain di atas pangkuan, dengan telapak tangan menghadap ke atas dan jari rapat. G Gentha : Lonceng atau bel pendeta. I Jambhara Jeruk lemon.
87
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Jatamakuta Mahkota berupa pilinan rambut. Jnanamudra : Tangan kanan di depan dada dengan sikap jari telunjuk dan ibu jari membentuk lingkaran serta telapak tangan diputar menghadap ke atas. K Kamandalu : Kendi tempat air suci. Karandhamakuta: Mahkota yang bentuknya seperti ”kuluk”. Khadga : Pedang. Khatvanga : Tongkat yang bagian atasnya berupa tengkorak (kapala), merupakan senjata dewa Siwa. Kiritamakuta : Bentuk tatanan rambut yang menyerupai mahkota. Rambut disusun sedemikian rupa sehingga bagian bawahnya berbentuk bundar dan makin ke atas mengecil dengan hiasan berupa untaian manik-manik atau bunga. Ksipta : Berdiri bertumpu pada kaki kanan (tungkai ditekuk), kaki kiri diangkat tinggi ke samping kiri. Kumarabhuta : Kumara = anak, bhuta = roh dari orang-orang yang kematiannya disebabkan oleh pembunuhan kemudian mengembara sebagai hantu pengganggu manusia, berwajah muda.
88
Kumuda : Teratai putih. L Lalitasana : Sikap duduk santai, satu kaki (biasanya kaki kiri) dilipat di atas tempat duduk, sedangkan kaki lainnya terjulur ke bawah. M Mudra : Sikap tangan yang mempunyai arti dan kekuatan tertentu. N Nakula : Musang. Nispanayogavali : Nama sebuah kitab agama Buddha Mahayana. P Padma : Bunga teratai. Padmasana : 1. Tempat duduk berupa bunga teratai. 2. Sikap duduk dengan cara menyilangkan kedua kaki di atas padma (bersila). Paryankasana : Sikap duduk dengan kaki bersila. Pasa : Jerat. Prabha : Lingkaran cahaya yang terdapat di bagian belakang suatu arca.
89
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Pratyalidha : Sikap berdiri dengan kaki kanan ditekuk, kaki kiri lurus, dan badan condong ke kanan. S Sattvaparyankasana : Binatang sebagai alas duduk. Sikap kaki terlipat dengan kaki kanan di atas kaki kiri. Simhakarnamudra: I Tangan kanan di depan dada dengan sikap telunjuk dan ibu jari membentuk lingkaran. T Tribhanga : Sikap berdiri dengan tubuh sedikit dibengkokkan (meliuk). Trisira : Tiga pilinan rambut yang disusun tinggi. Trisula : Tombak yang Ujungnya bercabang tiga. Tomara : Tongkat besi. U Upavita : Tali kasta. Urna : Semula berati lingkaran rambut (Jw = unyeng-unyeng), diantara kedua alis mata, kemudian menjadi salah satu atribut Buddha yang digambarkan dalam bentuk lingkaran kecil di dahi Buddha.
90
Usnisa : Susunan atau deretan rambut kecil yang mengelilingi dahi. Di dalam ikonografi Hindu kuno yang dipakai untuk menyebut sejenis surban yang digunakan di atas kepala. Di dalam ikonografi Buddha, usnisha semula digunakan untuk menyebut suatu tonjolan di atas kepala yang tertutup lingkaranlingkaran rambut kecil, sebagai simbol pengetahuan dan kesadaran Buddha yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, dan juga merupakan simbol nirwana. Utpala : Teratai biru, teratai setengah mekar. V Vahana : Kendaraan dewa, baik dalam Hindu ataupun Buddha. Vajradhatu ”Dunia yang tetap”, nama salah satu tokoh bentuk perwujudan Vairocana. (tokoh dalam agama Buddha). Vajradhatumandala : Nama sebuah mandala (susunan atau kumpulan dewa-dewa), dengan Vajradhatu sebagai tokoh utamanya. Vajraparyanka : Sikap duduk bersila saling, menyilang di atas asana yang ada vajranya. Varamudra : Sikap tangan yang melambangkan sedang memberi anugerah, yaitu tangan kanan di atas lutut, dan telapak tangan terlentang. Visvavajra : Vajra bermata 4 (empat).
91
Katalog Koleksi Arca Perunggu
Vitarkamudra : Sikap tangan yang melambangkan ”mengajar”, yaitu telapak tangan kanan terbuka dengan jari-jari menghadap ke atas Ujung ibu jari, dengan Ujung ibu jari telunjuk, bertemu sehingga membentuk suatu lingkaran.
Y Yantra : Alat untuk melakukan konsentrasi selama samadi, hanya dikenal dalam aliran Mantrayan. Bentuk Yantra merupakan sebuah lukisan yang menggambarkan bentuk-bentuk geometris, seperti segi tiga, segi empat, dan variasi-variasi dari bentuk segi empat. Yogasana : Sikap duduk dalam posisi samadi.
92
Peta Lokasi Temuan Arca
93
Katalog Koleksi Arca Perunggu
94
95
96