1
2
i
KATA PENGANTAR
Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 menyebutkan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi. Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Kemudian Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 menyebutkan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja, terdiri dari jaminan berupa uang yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua. Sedangkan jaminan berupa pelayanan, yaitu jaminan pemeliharaan kesehatan. Sampai saat ini, program jaminan sosial tenaga kerja pada perusahaan swasta sudah berjalan, namun belum sepenuhnya karena masih bnyak perusahaan-perusahaan yang tidak ikut program jaminan sosial tenaga kerja ini. Hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja, diantaranya adalah tingkat kesadaran para pengusaha belum sepenuhnya melaksanakan program jaminan sosial tenaga kerja, antara lain perusahaan mendaftarkan sebahagian tenaga kerja, daftarkan sebahagian upah dan daftar sebahagian program. Terdapat tunggakan iuran yang macet akibat produksi tidak berjalan, penyelesaian jaminan sering terlambat dan hambatan dari segi pelaksanaan jaminan pemeliharaan kesehatan, serta penegakan hukum belum berjalan. Upaya penyelesaian adalah melakukan koordinasi secara menyeluruh dan kerja sama antara instansi terkait, mengadakan penyuluhan program jaminan sosial tenaga kerja, dan memberikan pelayanan terbaik terhadap pembayaran jaminan langsung ke alamat tenaga kerja. Untuk itu agar pemerintah benar-benar memberikan pengawasan secara langsung terhadap pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja sehingga terasa adanya perlindungan yang mendasar kepada tenaga kerja, dan perlu adanya peningkatan pelayanan yang baik kepada tenaga kerja, baik secara kualitas maupun secara kuantitasnya.
i
BAB I PENDAHULUAN Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam GBHN Republik Indonesia Tahun 1999 - 2004 butir ke-18 (saat ini tidak dipergunakan lagi) menyebutkan mengembangkan ketenaga-kerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang
diarahkan pada peningkatan
pengupahan, penjamin kesejahteraan, perlindungan kerja dan kebebasan berserikat. Dalam menjamin tujuan ke arah masyarakat yang adil makmur dan mandiri yang ditandai dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang makin tinggi dan kelembagaan yang semakin berfungsi efisien dalam mendorong kreativitas dan partisipasi masyarakat dan oleh adanya peningkatan perubahan pembangunan. Dalam
pelaksanaan
tujuan
pembangunan
harus
senantiasa
memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan. Soepomo menyebutkan bahwa hubungan kerja merupakan hubungan artara pekerja dan majikan yang menyebarluaskan hak-hak dan kewajiban pekerja dan majikan. Salah satu kewajiban majikan adalah memberikan
1
perlindungan terhadap pekerja.1 Dalam upaya memberikan perlindungan bagi pekerja, pemerintah telah menyelenggarakan program perlindungan seperti asuransi sosial yang wajib diikuti oleh setiap perusahaan. Hubungan kerja antara majikan dengan pekerja, terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Pasal 1601 a Bab 7A KUH Perdata menyebutkan perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu buruh, (pekerja) mengikatkan diri untuk dibawahi pimpinan pihak lain (majikan), untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah". Maksud uraian di atas mengenai perjanjian kerja yang diatur di dalam Bab 7 a Buku III KUH Perdata tersebut dapat dianggap sebagai hukum pelengkap karena hukum perjanjian dalam KUH Perdata bersifat terbuka berdasarkan Pasal 1233, Pasal 1313 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Hal ini dapat dilihat dari adanya kesepakatan kerja bersama (perjanjian antara pekerja dan majikan). Meningkatnya jumlah pekerja yang hubungan kerjanya berbeda, percepatan industri, pemanfaatan teknologi membawa konsekuensi semakin meningkatnya masalah yang dapat mengganggu stabilitas perusahaan dan stabilitas
nasional
pada
umumnya.
Perhatian
terhadap
peningkatan
kesejahteraan pekerja perlu ditingkatkan, hubungan harmonis antara para pelaku dalam proses yang juga perlu dipelihara
1
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm.
10.
2
Perlindungan kerja yang dimaksud di atas adalah perlindungan terhadap pekerja yang bekerja pada majikan dalam suatu bidang usaha adalah perlindungan sosial terhadap pekerja yang diatur dalam Undangundang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek (UU Jamsostek). Tujuan dari Jamsostek adalah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja yang berarti suatu kewajiban bagi majikan untuk mengikutsertakan pekerja dalam program Jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Dalam upaya memberikan perlindungan bagi pekerja beserta Keluarganya, banyak usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah, salah satunya yang sudah diprogramkan pemerintah adalah jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) merupakan kebutuhan masyarakat yang mendasar karena menyangkut kelangsungan hidup baik bagi pekerja maupun keluarganya. Namun demikian diakui bahwa Jamsostek, saat ini merupakan kebutuhan yang memperoleh prioritas bagi masyarakat, namun pelaksanaannya masih juga belum berjalan seperti yang diharapkan. Pada
hakekatnya
berlangsungnya
arus
program
Jamsostek
penerimaan
memberikan
penghasilan
keluarga
kepastian sebagai
pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang berkurang, di samping sebagai pelayananan akibat peristiwa yang dialami oleh pekerja. Program Jamsostek telah diatur dalam berbagai tingkat peraturan
3
perundang-undangan harus perlu diadakan pendekatan secara yuridis. Pendekatan tersebut sangat perlu karena melalui pendekatan ini "akan dinilai konstitusional dari segala tindakan yang berlaku, apalagi jika konstitusionalismenya telah berkembang secara luas dalam masyarakat politiknya".2 Pendekatan secara yuridis yang dilakukan pengaturannya dapat dilihat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini mengandung makna bahwa setiap orang yang bekerja harus memperoleh penghasilan yang memadai diupayakan adanya suatu perlindungan agar dapat hidup yang layak. Bentuk perlindungan dimaksud pasal tersebut di atas terhadap pekerja adalah: 1. Perlindungan hukum. 2. Perlindungan sosial ekonomi. 3. Perlindungan pisik yang berkaitan dengan keselamatan kerja, kesehatan kerja dan lain sebagainya. Pasal 1 ayat (2) UU Jamsostek menyebutkan "pekerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan wasyarakat". Yang dimaksud majikan atau pengusaha adalah: 1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
2
M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju Jakarta, 1989, hlm.
187.
4
perusahaan milik sendiri. 2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. 3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Setiap pekerja dapat juga mengalami cacat tetap dan total karena sakit atau kecelakaan sehingga tidak bisa bekerja lagi, maka pekerja dan penghasilan juga dihentikan. Pekerja juga dapat menderita sakit mulai dari yang ringan sampai yang berat dan harus mendapat perawatan di rumah sakit. Peristiwa ini memerlukan pembiayaan yang akan menambah beban hidup pekerja, lebih-lebih apabila seorang pekerja tersebut sebagai pencari nafkah mendapat musibah sampai meninggal dunia maka penghasilannya dihentikan
dan
keluarga
yang
ditinggalkan
akan
kehilangan sumber penghasilan. Oleh karena risiko-risiko tersebut di atas akan selalu dihadapi oleh setiap pekerja dan bersifat universal maka hal ini perlu ditanggulangi secara sistematis terencana dan teratur, oleh karena itu perlu diberi perlindungan terhadap pekerja melalui program yang disebut Jamsostek. Jamsostek merupakan suatu upaya untuk menanggulangi risiko-risiko sosial ekonomi tersebut karena mencakup seluruh jenis atau macam lapisan pekerja seperti pekerja tetap, pekerja harian, pekerja borongan dan pekerja kontrak.
5
Demikian
juga
program
yang
dapat
meliputi
seluruh
jenis
perlindungan yang diperlukan oleh pekerja dalam hal menderita sakit, mengalami kecelakaan kerja, baik cacat atau tidak cacat mencapai hari tua dan meninggal dunia. Untuk memberikan perlindungan hukum dan perlindungan sosial ekonomi terhadap pekerja maka diselenggarakan program Jamsostek yang penyelenggaraannya dilaksanakan dengan sistem mekanisme asuransi. Setiap pekerja berhak atas Jamsostek tersebut yang wajib dilakukan oleh setiap perusahaan yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja. Dalam pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) pada perusahaan swasta harus menggunakan prosedur dan proses. Menurut Muhammad Abduh yang disebut prosedur dan proses adalah: Tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh organisasi negara maupun warga masyarakat sebelum keputusan diterbitkan, sedangkan proses hanyalah semata-mata memberikan gambaran kerja dari prosedur itu sendiri. Dengan mengikuti prosedur yang berkenaan dengan keputusan tertentu, maka akibat hukum yang dikehendaki dikeluarkannya suatu keputusan akan semakin tertib.3
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, pada saat masih banyak perusahaan swasta yang belum menjadi peserta Jamsostek dengan alasan-alasan tertentu, sehingga tenaga kerjanya belum didaftarkan menjadi peserta.
3
Muhammad Abduh, ”Prosedure”, Jurnal Ilmiah Hukum Dinamika, No. 11 Tahun ke VII, Medan, 1999, hlm. 1. Lihat juga Muhammad Abduh, Profil hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan dengan Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), FH. USU, Medan, 1988, hlm. 12.
6
BAB II PERUSAHAAN DAN PERJANJIAN PADA HUBUNGAN KERJA
A. Pengertian Perusahaan dan Sistem dalam Organisasi Sosial Perumusan tentang perusahaan dalam dunia keilmuan adalah sebagai berikut: 1. Menurut Pemerintah Belanda; yang pada waktu itu membacakan “memorie van toelichting” rencana undang-undang “Wetboek van Koophandel” di muka Parlemen, menerangkan bahwa yang disebut perusahaan ialah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba (bagi diri sendiri). 2. Menurut Prof. Molengraff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang
dilakukan
secara
terus
menerus,
bertindak
keluar,
untuk
mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barangbarang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjianperjanjian perdagangan. 3. Menurut Polak, baru ada perusahaan bila diperlukan adanya perhitunganperhitungan tentang laba rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu itu dicatat dalam pembukuan.4 Sedangkan pengertian perusahaan dalam arti kata hukum, ialah
4
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1, Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 15-16.
7
perusahaan yang: 1. Wajib membuat catatan-catatan dengan cara sedemikian hingga sewaktu-waktu dari catatan itu dapat diketahui segala hak dan kewajibannya (Pasal 6 KUHD). 2. Wajib menyimpan surat-surat dan kawat-kawat. 3. Dijalankan secara teratur (HR tanggal 25-XI-1925). 4. Memiliki domisili, karena harus didaftarkan, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tertanggal 5 Juni 1958 No.4293/Perind. dan No. 3547b/M.Perdag.5 Dapat juga dikatakan perusahaan adalah unit kegiatan produksi yang mengolah sumber-sumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan agar dapat memuaskan kebutuhan masyarakat.6 Secara yuridis menurut Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
(UUKK)
menyebutkan
perusahaan adalah: a. setiap bentuk yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Perusahaan bertugas mengolah sumber-sumber ekonomi atau sering 5
R. Soerjatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 25. Murti Sumarni dan John Soeprihato, Pengantar Bisnis (Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan), Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 5. 6
8
juga sebut faktor-faktor produksi. Sumber-sumber ekonomi tersebut dapat dikelom-pokkan ke dalam ”4M", yaitu; manusia (men), uang (money), mate ria l (mat e rials) , m etode (methods). Manusia, di sini tidak hanya berperan sebagai tenaga kerja diperusahaan namun juga berperan sebagai konsumen dari produk perusahaan. Pada masa sekarang harus diusahakan agar tenaga kerja ini
betul-betul menjadi teman atau pasangan bagi perusahaan untuk
mencapai tujuan perusahaan, sebab meskipun sudah banyak digunakan mesin-mesin tetapi faktor manusia masih tetap berperan di dalamnya. Perusahaan perlu memperhatikan bagaimana cara mengelola tenaga kerja dengan sebaik-baiknya. Uang atau modal usaha (money), yaitu sejumlah uang atau barang yang dibeli dengan uang tersebut untuk membuat produk yang lain. Barang modal di sini adalah mesin, peralatan pabrik, alat-alat transportasi, dan lainlain. Untuk itu perusahaan harus mengusahakan bagaimana keuangan perusahaan dapat dikelola dengan cermat. Material
(materials),
ini
sangat
berpengaruh
sekali
terhadap
kelancaran proses produksi, sebab merupakan faktor pendukung utama dalam proses produksi. Termasuk di sini adalah bahan baku, bahan pembantu, tanah untuk proses produksi serta bahan lain sebagai penunjang proses produksi. Metode (methods), yaitu merupakan suatu pelaksanaan kerja produktif misalkan pengambilan keputusan, pemberian ide atau inisiatif dan
9
pemikiran yang kesemuanya itu ditujukan agar pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang dapat berjalan lancar. Singkatnya, di dalam metode ini pelaksanaan manajemen dalam perusahaan atau pengelolaan perusahaan. Bagaimana dengan sumber-umber ekonomi yang serba terbatas itu dapat diwujudkan barang/jasa yang dapat memuaskan konsumen serta sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Pada masa sekarang ini pemuasan kebutuhan masyarakat (konsumen) akan dapat tercapai apabila didukung oleh sistem pelayanan yang baik dari pihak perusahaan. Di dalam perusahaan, sumber-sumber ekonomi tersebut diproses agar menjadi barang/jasa yang akan ditujukan untuk memuaskan kebutuhan konsumen sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diterapkannya prinsip ekonomi yaitu dengan pengorbanan tertentu diharapkan dapat diperoleh h asil atau keuntungan maksimum. 7 Adapun yang dimaksud dengan organisasi sosial adalah bersifat umum, baik yang menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, keagamaan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem ialah suatu kesatuan yang menyeluruh dan terorganisasikan, terdiri atas dua atau lebih bagian atau komponen atau sub sistem yang dipisahkan oleh batas yang dapat diidentifikasikan dari supra sistem lingkungan (environmental supra-system) yang lebih luas. Sebenarnya pengertian sistem meliputi spektrum yang sangat luas 7
Ibid., hlm. 5-6.
10
baik dalam kebendaan, alam biologi maupun alam kemasyarakatan. Dalam masyarakat yang kompleks, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, makna ilmu bertendensi semakin menyempit dan lebih spesialistis. Namun pada tahap tertentu dirasa adanya sintesa dan integrasi, sehingga tinjauan analistis suatu bidang dapat dipersatukan dalam teori yang lebih luas dan multi dimensional. Penerapan cara berpikir sistem (system
thinking)
dalam
ilmu
sosial
mengembangkan
konsep
fungsionalisme. Konsep ini menitik beratkan pada orientasi sistem hubungan integratif dari bagian-bagian atau sub sistem dalam kesatuan fungsional yang menyeluruh. Semua aspek kehidupan sosial merupakan jalinan yang kait mengkait dan masyarakat hanya dapat dipahami sebaik-baiknya sebagai sistem yang saling berhubungan. Konsep menyeluruh dalam konteks memasyarakatkan berlawanan
ini
dengan
konsep
elementerisme
yang
menganggap
keseluruhan (total) merupakan penjumlahan dari bagian-bagian yang terpisah. Walaupun pendekatan sistem sudah diterima dalam ilmu sosial misalnya, dalam ilmu manajemen, seringkali model yang dipergunakan masih sering bersifat, tertutup dalam artian model-model tersebut hanya membatasi diri pada beberapa variabel atau beberapa faktor lain terutama yang tidak dapat dikuantifikasikan. Organisasi sosial merupakan sistem yang dinamis, selalu berubah dan menyesuaikan diri terhadap pengaruh-pengaruh intern maupun ekstern
11
dan dalam proses evolusi terus menerus. Sebagai sistem formal, organisasi kemasya-rakatan dipengaruhi oleh struktur intern masyarakat itu sendiri maupun lembaga-lembaga lingkungannya.8 Fungsi dasar didirikannya suatu perusahaan adalah merubah masukan (input) yang berupa sumber daya seperti tenaga kerja, bahan baku, modal, dan sebagainya, menjadi keluaran (output) yang berupa kebutuhan sebagai imbalan bagi berbagai pihak yang terlibat dan berkepentingan di dalam proses perubahan tersebut. Pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadap perusahaan antara lain adalah:9 1. Pekerja atau karyawan yang memberikan jasanya kepada perusahaan dan memperoleh balas jasa10 sesuai dengan kontribusinya. 2. Pemilik modal menanamkan kekayaannya dalam perusahaan dengan harapan akan memperoleh deviden yang memberikan penghasilan dan melindungi kekayaannya dari inflasi. 3. Masyarakat menerima kehadiran perusahaan dengan harapan akan memperoleh berbagai manfaat. 4. Supplier menyediakan bahan baku dan pembantu, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan adanya kepastian pesanan dan pembayaran. 5. Konsumen atau langganan bersedia memberikan dananya kepada perusahaan dengan harapan akan memperoleh barang atau jasa yang 8
Ibid., hlm. 11-12. Sukanto Reksohadiprojo, et.al., Kebijaksanaan Perusahaan (Business Policy) Konsep Dasar dan studi Kasus, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta, 1990, hlm. 39-41. 10 Balas jasa bukan hanya dalam bentuk gaji dan upah, melainkan juga termasuk segala macam bentuk kompensasi yang diberikan, perusahaan sebagai pengganti atas kontribusi, dukungan serta peranan para pekerja, Ibid., hlm. 40. 9
12
dapat memuaskan kebutuhan dan keinginannya, serta mendapat kepastian atau jaminan mengenai kualitas serta harga yang wajar. Tugas pokok perusahaan untuk mengelola mekanisme proses perusahaan tersebut akan gagal atau berhasil sangat tergantung pada bagaimana
perusahaan
memuaskan
pihak-pihak
yang
terlibat
dan
berkepenting-an di atas. Beberapa contoh sumber kegagalan perusahaan: 1. Balas jasa pekerja yang terlalu ditekan serta mengesampingkan kesejahteraan pekerja serta pedoman-pedoman umum yang ada, akan menyebabkan timbulnya keresahan.11 Keresahan dalam arti sempit ditunjukkan oleh sikap apatis, acuh tak acuh dan masa bodoh, sedang keresahan dalam arti luas nampak dengan semakin meningkatnya absensi pekerja, sabotase-sabotase, pengrusakan alat, tuntutan dan pemogokan. Bagaimanapun juga, sempit atau luas, keresahan tetap merupakan suatu hal yang harus diatasi karena kalau tidak maka hal itu akan dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi perusahaan, sehingga pada akhirnya justru perusahaan itu sendiri yang harus menanggung akibatnya. 2. Penghasilan perusahaan yang cenderung semakin menurun yang disebabkan oleh kurang tanggapnya manajemen terhadap perubahan lingkungan, akan mengakibatkan turunnya rate of return perusahaan.
11
Meskipun bahan baku faktor yang dominan ,namun apabila faktor balas jasa ini diadakan, akan menyebabkan berkurangnya dorongan bekerja dan selanjutnya akan menurunkan produktivitasnya (Vrooms’ expextancy model of Motivation). Lihat Sukanto Reksohadiprojo, Loc.Cit.
13
Rate of return yang semakin cenderung menurun dan selalu berada di bawah tingkat bunga yang sedang berlaku, akan mendorong pemilik modal menarik modalnya untuk ditanamkan pada usaha lain yang menghasilkan rate of return lebih tinggi. Hal demikian kemudian akan mengakibatkan manajemen mengalami kesulitan di dalam menghimpun dana yang akan dipergunakan untuk menjalankan usahanya. 3. Pembayaran kepada supplier (pemasok) yang selalu ditunda, oleh karena
sebab-sebab
tertentu,
akan
menyebabkan
menurunnya
kepercayaan, yang dapat berakibat tersendatnya arus bahan baku/bahan pembantu. Tentu saja kerugian yang lebih besar akan timbul bila perusahaan terpaksa harus berhenti atau bekerja sebagian karena kekurangan bahan baku/bahan pembantu. 4. Harga yang ditetapkan terlalu tinggi, misal karena penentuan target keuntungan (profit) yang terlalu berlebihan, ketidak-efisiensi operasi dan lain-lain atau kualitas yang rendah disebabkan oleh penekanan biaya maupun kurang-nya pengawasan, akan menyebabkan hasil yang berupa
barang
atau
jasa
menjadi
tidak
disukai/diminati
oleh
konsumen. Kalau hal demikian terjadi maka akibatnya adalah perusahaan akan mengalami kesulitan
di dalam mendapatkan
kembali dana beserta tambahannya yang sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungannya. Dengan demikian, hakikat perusahaan untuk kepentingan orang banyak (sosial) dan komersial, namun perusahaan karena pendiriannya
14
didasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga di dalam perusahaan tersebut terdapat sejumlah unsur-unsur mekanisme bergeraknya produksi perusahaan atau berjalannya unsur-unsur tersebut, di antaranya ada tenaga kerja dan majikan atau pemilik modal. Maka antara pekerja dengan pemilik modal diawali dengan perjanjian para pihak dan melahirkan pemikiran sebagai hubungan hukum. Untuk lebih jelasnya dapat dikaji terlebih dahulu hukum perjanjian kerja antara majikan dengan pekerja (tenaga kerja) di bawah ini.
B. Perjanjian Pada Umumnya dan Perjanjian Kerja 1. Pengertian perjanjian pada umumnya Perikatan atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau tebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechts-betrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perikatan atau verbintenis adalah hubungan hukumlrechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengan-dung hubungan hukum antara perorangan/person adalah hal-hal
15
yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan
hukumIrechtshandeling.
Tindakan/perbuatan
hukum
yang
dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menim-bulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk
memperoleh
prestasi.
Sedangkan
pihak
yang
lain
itupun
menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban" untuk menunaikan prestasi.12 Kemudian R. Subekti menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.13 Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang atau lebih lainnya. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan -
12 13
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6-7. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1985, hlm. 1.
16
kelemahan tersebut adalah: a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata kerja, "mengikatkan" sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada konsensus antara pihak-pihak. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak
mengandung
suatu
konsensus,
seharusnya
dipakai
kata
persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.14 Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu 14
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 77-78.
17
dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang akan dibicarakan kemudian. Dalam definisi yang dikemukakan di atas, secara jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak. Pihak yang satu setuju dan pihak yang lainnya juga setuju untuk melaksanakan sesuatu, kendati pun pelaksanaan itu datang dari satu pihak, misalnya dalam perjanjian pemberian hadiah (hibah). Dengan perbuatan memberi hadiah itu, pihak yang diberi hadiah setuju untuk menerimanya, jadi ada konsensus yang saling mengikat. Selanjutnya yang dilaksanakan itu terletak dalam lapangan harta kekayaan, yang selalu dapat dinilai dengan uang. Perjanjian melaksanakan perkawinan misalnya, tidak dapat dinilai dengan uang, karena perkawinan itu terletak dalam bidang personel (moral), lagi pula hubungan perkawinan itu bukan hubungan antara debitur dan kreditur. Kewajiban alimentasi (memberi nafkah) terletak dalam bidang moral, walaupun nafkah itu sendiri bisa berupa sejumlah uang. Perjanjian yang dibuat itu dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta) biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis
18
pertanggungan. 2. Unsur-unsur perjanjian Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut di atas tadi, maka unsur-unsur perjanjian itu sebagai berikut ini: a. Ada pihak-pihak. Pihak-pihak ini disebut subyek perjanjian. Subyek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subyek perjanjian ini harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang. b. Ada persetujuan antara pihak-pihak Persetujuan di sini bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya per-setujuan. Persetujuan itu ditujukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran. Ada yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya. Yang ditawarkan dan dirundingkan itu umumnya mengenai syarat-syarat dan mengenai obyek perjanjian. Dengan disetujuinya oleh masing-masing pihak tentang syaratsyarat dan obyek perjanjian itu, maka timbullah persetujuan. Persetujuan ini adalah salah satu syarat sahnya perjanjian. c.
Ada tujuan yang akan dicapai Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh ber-
19
tentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang. d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan Dengan
adanya
persetujuan,
maka
timbullah
kewajiban
untuk
melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh
pihak-pihak
sesuai
dengan
syarat-syarat
perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menye-rahkan barang. Dalam hukum Anglo Saxon (Inggris) prestasi ini disebut dengan istilah "consideration". e. Ada bentuk tertentu Bentuk ini perlu ditentukan, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti, bentuk tertentu itu biasanya berupa akta. Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah cukup, kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta). f.
Ada syarat-syarat tertentu Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihakpihak. Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya, dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya
20
mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya dan lainlain.15 3. Jenis-jenis perjanjian a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban Perjanjian cuma-cuma adalah suatu persetujuan yaitu pihak yang satu memberi keuntungan kepada yang lain tanpa menerima prestasi untuk dirinya sendiri. Perjanjian atas beban adalah suatu persetujuan di mana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain,
dan
kontra
prestasinya
bukan
semata-mata
merupakan
pembatasan atas prestasi yang satu atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri. b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya), sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak saja. Perjanjian timbal balik (sering kali juga disebut perjanjian bilateral) adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepada kedua belah pihak, di mana hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu sama lain. c.
Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah suatu perjanjian di mana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya suatu perjanjian. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian baru terjadi kalau 15
Ibid., hlm. 79-81.
21
barang yang menjadi pokok perjanjian sudah diserahkan.16 d. Perjanjian formal Perjanjian formal yaitu suatu perjanjian yang mensyaratkan penuangan perjanjian dalam suatu bentuk atau disertai dengan formalitas tertentu di samping sepakat. e. Perjanjian bersyarat Perjanjian bersyarat yaitu suatu perjanjian yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi. f.
Perjanjian alternatif (mana suka) Perjanjian alternatif (mana suka) yaitu suatu perjanjian di mana debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebut-kan dalam perjanjian.
g. Perjanjian tanggung menanggung Perjanjian tanggung menanggung yaitu suatu perjanjian di mana terdapat beberapa pihak, baik itu pihak kreditur maupun pihak debitur. Jika beberapa pihak tersebut adalah debitur, maka tiap-tiap debitur tersebut dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Sebaliknya jika beberapa pihak itu adalah kreditur maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. h. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama Perjanjian bernama (benoemde) yaitu perjanjian yang dikenal dengan 16
Ibid., hlm. 90.
22
nama-nama tertentu dan mempunyai pengaturannya secara khusus dalam undang-undang. Seperti perjanjian jual-beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian pemborongan, perjanjian asuransi dan lain sebagainya. Perjanjian tidak bernama adalah suatu perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, atau dengan kata lain ada beberapa perjanjian yang tidak diatur oleh undang-undang tetapi dalam praktek sehari-hari mempunyai sebutan atau nama tertentu. Seperti perjanjian sewa beli, perjanjian fiducia.17 Lahirnya perjanjian tidak bernama ini berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian.18 4. Syarat-syarat sahnya perjanjian Dalam
Pasal
1320
KUH
Perdata
pembuat
undang-undang
memberikan gambaran umum bagaimana suatu perjanjian lahir. Di sana ditentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan orang, agar para pihak bisa secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga. Dengan kata lain syaratnya agar kedua belah pihak yang saling mengadakan janji dapat dikatan telah mengadakan perjanjian menurut hukum. Syarat untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH 17 18
Ibid., hlm. 116. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm.
19.
23
Perdata adalah: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orang yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. 19 Jika perjanjian cacat dari segi objeknya yaitu mengenai segi suatu hal tertentu atau suatu sebab yang halal maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yaitu untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Perjanjian tersebut dinamakan null and void.20 Jika perjanjian cacat dari segi subjeknya atau syarat subjektif dari perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang memberikan sepakat secara tidak bebas atau pihak yang tidak cakap. Jadi
19 20
R. Subekti, Op.Cit., hlm. 18. Ibid., hlm. 21.
24
perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Perjanjian yang demikian biasa disebut vernietigbaar atau voidable.21 Jika semua unsur ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sah perjanjian, maka dapat dipahami sebagai berikut: (a) Syarat ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak meliputi unsur-unsur persetujuan, syarat-syarat tertentu, bentuk tertentu. (b) Syarat kecakapan pihak-pihak meliputi unsur pihak-pihak dalam perjanjian. Syarat-syarat perjanjian (a) dan (b) ini disebut syarat subyektif. Jika syarat subyektif ini tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat dibatalkan. (c) Ada hal tertentu, sebagai pokok perjanjian, sebagai obyek perjanjian, baik berupa benda maupun berupa suatu prestasi tertentu. Obyek itu dapat berwujud dan tidak berwujud. (d) Ada kausa yang halal, yang mendasari perjanjian itu. Ini meliputi unsur tujuan yang akan dicapai. Syarat-syarat perjanjian (c) dan (d) ini disebut syarat obyektif. Apabila syarat obyektif ini tidak dipenuhi, perjanjian itu batal. 22 Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian yang sah itu diakui oleh hukum. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan suatu perikatan perjanjian. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesang-gupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
21 22
Ibid., hlm. 22. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 82.
25
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah
sama artinya.
Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang ditulis. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu lebih banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sesudah dikatakan tadi ada juga sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.23 Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar keamanan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan. Kadang-kadang secara khidmat perikatan ini barulah putus kalau janji itu sudah dipenuhi. 24
23 24
R. Subekti, Loc.Cit. Ibid., hlm. 3.
26
5. Perjanjian kerja Menurut Pasal 1 butir 14 UUKK perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Menurut Iman Soepomo perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu buruh, mengikat diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain, dan majikan yang mengikat diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah.25 Oleh undang-undang, perhubungan kerja termasuk persetujuan atau perjanjian pada umumnya. Hal ini memang benar, sebab pada umumnya seseorang yang melakukan prestasi kerja, dia akan memperoleh ”upah” atau hasil kerja tadi sebagai ”tegenprestasi”. Undang-undang membagi persetujuan kerja ke dalam dua bahagian. Yang pertama disebut persetujuan kerja untuk melakukan satu atau dua kerja. Dan yang kedua persetujuan penerimaan kerja yang lazim juga disebut pemborongan kerja. Persetujuan kerja pada umumnya dapat dirumuskan sebagai berikut; suatu persetujuan antara pekerja/karyawan/buruh atau pemborong/penerima kerja sebagai pihak pertama, mengikat diri untuk menyerahkan tenaganya kepada yang menyuruh lakukan kerja atau pemberi borongan sebagai pihak kedua, guna mendapat upah selama jangka waktu
25
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm. 10.
27
tertentu.26 Dari rumusan pengertian persetujuan kerja di atas, dapat ditarik beberapa elemen yang terkandung di dalam persetujuan kerja tersebut: a. Pengertian menyerahkan tenaga Menyerahkan tenaga (in dient), berarti si pekerja/karyawan/buruh atau pemborong/penerima kerja berada di bawah wewenang dan perintah pemberi kerja/pemberi borongan atau yang menyuruh lakukan kerja. Sehingga nampaknya, hubungan kerja tiada lain dari hubungan wewenang antara yang satu dengan yang lain. b. Mengenai upah Tidak ada seorang pekerja/buruh atau pemborong yang bersedia menyerahkan tenaga/pekerja tanpa mengharapkan upah. Upah adalah kontra prestasi atas prestasi kerja. Besarnya upah dapat mereka sepakati secara tegas akan tetapi bisa juga mengikat secara diam-diam. Upah secara diam-diam ini timbul akibat besarnya upah tidak ditegaskan lebih dulu dalam persetujuan. Karena itu kalau besarnya jumlah upah tidak ditentukan secara tegas, maka untuk menentukan besarnya upah harus berpedoman pada ketentuan Pasal 1601 KUH Perdata yang menegaskan; jika kedua belah pihak tidak menentukan besarnya upah, buruh/karyawan berhak memperoleh upah sebesar upah yang biasa diperjanjikan untuk jenis pekerjaan tadi di sekitar tempat lingkungan pekerjaan. Di samping itu, besarnya upah boleh juga 26
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 245.
28
ditentukan oleh kedua pihak pada masa yang akan datang, sesuai dengan perkembangan usaha tempat si buruh/karyawan bekerja. Atau penentuan besarnya upah bisa juga mereka serahkan kepada pihak ketiga. Pihak ketiga inilah yang akan menetapkan besarnya jumlah upah yang akan diterima. Upah ialah jumlah yang wajib dibayarkan majikan sebagai kontra prestasi. Dengan kata lain, segala pembayaran yang bukan wajib, bukan upah. Oleh karena itu pembayaran uang persen, uang gratifikasi, uang cuti dan sebagainya tidak termasuk upah. Maka ditinjau dari segi hubungan kerja, uang
persen,
uang
cuti
dan
lain-lain,
tidak
mempunyai urgensi apa-apa. Pembayaran yang wajib itulah yang menjadi pokok masalah upah dalam kontrak kerja. Tanpa upah, tidak ada artinya kontrak kerja. c.
Mengenai pengertian selama waktu tertentu Ke dalam pengertian ini termasuk makna jangka waktu yang telah pasti ditentukan, tapi juga jangka waktu yang tidak ditentukan lebih dulu yang digantungkan pada jangka waktu sampai pekerjaan selesai. Jadi pada kerja yang tidak ditentukan jangka waktunya, jangka waktu tertentu dalam hal ini dikaitkan dengan lamanya pekerjaan selesai. Apabila pekerjaan telah selesai, jangka waktu kerja, sama dengan jumlah waktu menyiapkan kerja. Akan halnya mengenai jangka waktu tertentu yang telah dipastikan lebih dulu dalam kontrak kerja, bisa saja untuk jangka waktu satu hari, satu bulan atau satu tahun. Akan tetapi
29
makna jangka waktu tertentu yang telah dipastikan lebih dahulu, bisa juga dihubungkan dengan suatu jangka waktu sesuai dengan tujuan penyelesaian kerja.27 d. Pekerja itu sendirilah yang harus melakukan pekerjaan tersebut Pasal 1601 a KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian pihak yang satu buruh, mengikatkan diri di bawah pimpinan pihak yang lain yaitu majikan, untuk waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Secara singkat dapat dilihat pada
perjanjian kerja ini bersifat
konsensus yang berarti kesepakatan; dengan kata sepakat maka terjadilah persesuaian kehendak serta tidak mensyaratkan harus dalam bentuk tertentu atau secara tertulis. Jika perjanjian tersebut diadakan
secara
tertulis
yaitu
dengan
surat
perjanjian
yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak maka semua biaya dibebankan kepada majikan, baik biaya akta maupun biaya tambahan lainnya. Perjanjian kerja sebaiknya diadakan secara tertulis hal ini dimaksudkan agar tidak merugikan kedua belah pihak dan sekaligus perjanjian itu dapat dilihat serta diketahui dengan jelas dan tegas kehendak dari masing-masing pihak, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti. Sedangkan isi dari perjanjian itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan undang-undang tentang ketertiban umum atau dengan tata susila masyarakat. 27
Ibid., hlm, 246-247.
30
Hubungan kerja pada dasarnya meliputi soal-soal yang berkenaan dengan: 1) Pembuatan perjanjian kerja karena merupakan titik tolok adanya hubungan kerja; 2) Kewajiban buruh melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan, sekaligus merupakan hak majikan atas pekerjaan dari buruh; 3) Kewajiban majikan membayar upah kepada buruh yang merupakan hak buruh atas pekerjaan yang dikerjakan; 4) Berakhirnya hubungan kerja; 5) Perselisihan antara pihak diselesaikan dengan sebaik-baiknya.28 Dengan adanya hubungan kerja kedua belah pihak mempunyai kewajiban dan mempunyai hak. Sehubungan dengan hal ini maka keharusan bagi pekerja menjalankan pekerjaan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam per-janjian kerja dan sesuai dengan petunjuk yang
telah
diberikan
majikan.
Bila
ternyata
pekerja
dengan
kemauannya sendiri tanpa mengindahkan petunjuk dari majikan hal ini telah menyalahi isi dari perjanjian. Di dalam Pasal 1603 KUH Perdata, hal ini merupakan alasan bagi majikan mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya hubungan kerja diputuskan. Apabila pekerja melakukan pekerjaan sesuai dengan petunjuk yang diberikan majikan dan ternyata di dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang
28
Saiful Anwar, Sendi-sendi Hubungan Pekerja Dengan Pengusaha, Fakultas hukum USU, Medan, 1994, hlm. 15.
31
diharapkan maka majikan tidak berhak menyalahkan pekerja dan kerugian ditanggung majikan. Pasal 1603 a KUH Perdata, pekerja yang tinggal di rumah majikan wajib mengikuti aturan-aturan yang berlaku di rumah majikannya. Pasal 1602 KUH Perdata, bahwa upah yang telah ditetapkan menurut jangka waktu harus dibayar sejak saat pekerja mulai bekerja sampai berakhirnya hubungan kerja. Pasal 1602 a ayat (4) KUH Perdata, pekerja yang melakukan pekerjaan tidak mendapat istirahat yang lainnya maka ia berhak mendapatkan upah hari itu ditambah upah lembur atau dua kali lipat dari upahnya sehari. Pekerja/karyawan
yang
telah
menyetujui
hubungan
kerja
harus
melakukan tugasnya "in person". Dia harus mengerjakan sendiri tugasnya. Dia tidak boleh menyuruh orang lain atau orang ketiga menggantikan dirinya, tanpa izin dan persetujuan pihak majikan. Izin demikian bisa saja terjadi secara diam-diam. Ini dapat terjadi sesuai dengan kebiasaan, di mana memang benar-benar diperlukan keahlian dan kemampuan tenaga orang lain, sedang si pekerja tidak sanggup melakukan sendiri. Apalagi dalam pekerjaan yang rumit atau dalam pekerjaan borongan yang sungguh-sungguh memerlukan bantuan pihak ketiga yang ahli. Tentu tidak ada halangan untuk mempergunakan pihak ketiga sebagai pembantu. e. Tujuan hubungan kerja Adapun tujuan hubungan kerja baik yang berupa melakukan kerja dan
32
pemborongan kerja ialah hasil kerja. Hasil kerja inilah yang menjadi “resultant” persetujuan dan hubungan kerja. Letak perbedaan antara penerima/pemborong kerja dengan persetujuan melakukan kerja adalah: 1) Pada pemborongan kerja resultan kerjalah yang diutamakan. 2) Sedang pada kontrak kerja/melakukan kerja, yang diutamakan adalah daya kemampuan kerja si karyawan/buruh mengerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah ditentukan. 3) Pada kontrak kerja upah tidak digantungkan pada resultan hasil kerja. Upah pada kontrak kerja disesuaikan dengan "pelayanan" yang diberikan sesuai dengan perintah kerja yang diberikan untuk diselesaikan si pekerja, seperti supir taksi misalnya. 29 Dengan demikian, tidak selamanya pemborongan kerja dengan kontrak harus terpisah. Pada saat-saat tertentu pemborongan kerja dengan kontrak kerja bisa berjalan bersamaan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1601 c ayat (2) KUH Perdata. Di mana pemborongan kerja disatukan
dengan
beberapa
jenis
persetujuan
kerja.
Sehingga
pemborongan kerja tadi tiada lain dari pada hubungan kontrak kerja.
C. Hubungan Kerja 1. Pengertian hubungan kerja Hubungan kerja merupakan hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha yang menggambarkan hak-hak dan kewajiban tenaga kerja 29
Ibid., hlm. 248.
33
terhadap pengusaha serta hak-hak dan kewajiban pengusaha terhadap tenaga kerja. Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Pada Pasal 1 butir 1, 2, 3, 4, 5 dan 15 UUKK menyebutkan bahwa: a. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. b. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. c. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. d. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. e. Pengusaha adalah: 1) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; 3) orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. f. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hubungan kerja menurut hukum perburuhan adalah hubungan antara pekerja dan majikan yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan. Arbeidsrecht adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara pekerja dengan majikan, antara pekerja dengan pekerja dan antara pekerja dengan pengusaha. 30 Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja hendak menunjukkan kedudukan 30
Imam Soepomo, Op.Cit., hlm. 1.
34
kedua pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban buruh terhadap majikan serta hak-hak dan kewajibankewajiban majikan terhadap buruh. 31 Hubungan kerja ini pada dasarnya adalah hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian di mana pihak kesatu, si buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupan-nya untuk memperkerjakan si buruh dengan membayar upah. Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh buruh dan majikan tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan yang telah dibuat oleh majikan dengan serikat buruh yang ada pada perusahaannya. Demikian pula perjanjian kerja itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha. 32 Pasal 50 UUKK menyebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Adanya hubungan kerja ialah hanya bila ada buruh dan majikannya atau majikan dengan buruhnya. Hubungan antara seorang yang bukan buruh dengan seorang yang bukan majikan, bukanlah hubungan kerja. Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu pejanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain 31
Ibid. Zainal Askin, et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 51. 32
35
(majikan). Majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh itu dengan membayar upah. Sedangkan pada pihak lainnya mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. Di
masyarakat
Indonesia
dikenal
adanya
bermacam-macam
hubungan lain antara dua belah pihak yang dasarnya adalah juga melakukan pekerjaan dengan pembayaran sebagai balas jasa, tetapi tidak dinamakan hubungan kerja. Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal dua macam hubungan: a. Hubungan
antara
seorang
yang
melakukan
sesuatu
atau
beberapa pekerjaan tertentu dengan seorang pihak lainnya. Biasanya diajukan sebagai contoh hubungan antara seorang dokter dengan pasiennya, seorang pengacara dengan kliennya, seorang notaris dengan seorang kliennya dan lain-lain. Hubungan semacam ini yang terjadi setelah adanya perjanjian untuk melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu, dikatakan bukanlah hubungan kerja, karena tidak ada wewenang pada pihak pemberi pekerjaan untuk memimpin dilakukannya pekerjaan itu oleh yang menerima pekerjaan, tiada wewenang memberi petunjuk terutama berkenaan dengan cara melakukan pekerjaan itu kepada pihak yang melakukan pekerjaan, sedang wewenang itu ada pada hubungan kerja. Ketentuan yang mengatur tentang hubungan yang terjadi karena perjanjian untuk melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu, diatur
36
secara sepintas pada Pasal 1601 KUH Perdata. b. Hubungan antara seorang pemborong pekerjaan dengan seorang yang memborongkan pekerjaan.
Hubungan
ini
terjadi
setelah
adanya
perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan di mana pihak kesatu, pemborong pekerjaan, mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu, misalnya mendirikan atau membongkar suatu bangunan, dengan harga tertentu bagi pihak lainnya, yang memborongkan pekerjaan, yang mengikatkan diri untuk memberikan pekerjaan pemborongan itu dengan membayar harganya kepada pihak kesatu. Hubungan ini bukan pula hubungan kerja, karena tidak ada unsur memberi petunjuk dan memimpin pada pihak yang memborongkan. Namun demikian, berlainan dengan perjanjian termaksud pada angka 1, perjanjian pemborongan pekerjaan ini diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab 7A Pasal 1601, 1601 b, 1601 c (2) dan 1604-1617. Bedanya perjanjian pemborongan pekerjaan ini dengan perjanjian melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu, ialah bahwa pada perjanjian pemborongan pekerjaan tujuan yang utama ialah selesainya pembuatan karya yang bersangkutan. Sedangkan pada perjanjian, untuk melakukan satu atau beberapa pekerjaan tertentu, ciri terpenting pada perjanjian ini adalah tanggung jawab dan risiko menjalankan pekerjaan terletak pada si penerima pekerjaan.33 Perjanjian kerja dapat terjadi bersama-sama dengan perjanjian33
Imam Soepomo, Op.Cit., hlm. 2.
37
perjanjian lainnya, misalnya terjadi bersama-sama dengan perjanjian pemberian kuasa atau dengan perjanjian pengangkutan. Dalam hal semacam ini, Pasal 1601 c ayat (1) KUH Perdata menetapkan bahwa aturanaturan mengenai tiap perjanjian tetap berlaku. Jika terdapat pertentangan di antara aturan-aturan itu, maka yang berlaku adalah aturan mengenai perjanjian kerja. Dasar pikiran di sini adalah memberi perlindungan kepada pihak yang lebih lemah ekonominya, terhadap pihak yang lebih kuat ekonominya.34 Dasar 1601c ayat (2) menetapkan selanjutnya bahwa jika suatu perjanjian pemborongan pekerjaan diikuti oleh beberapa perjanjian semacam itu, meskipun tiap kali dengan suatu waktu selang, atau jika pada waktu dibuatnya perjanjian adalah untuk membuat beberapa perjanjian lagi yang semacam, sedemikian rupa sehingga perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan itu kesemuanya dapat dianggap sebagai suatu perjanjian kerja, maka yang berlaku adalah aturan-aturan mengenai perjanjian kerja terhadap tiap perjanjian pemborongan pekerjaan itu sendiri. Ketentuan ini menunjukkan bahwa untuk menetapkan adanya hubungan kerja tidak semata-mata didasarkan pada adanya beberapa perjanjian pemborongan pekerjaan, tetapi pada hubungan antara serentetan perjanjian pemborongan pekerjaan. Hubungan itu mengandung adanya kepemimpinan dari pihak yang memborongkan terhadap si pemborong.
34
Ibid., hlm. 3.
38
2. Perjanjian kerja bersama a. Landasan hukum perjanjian kerja bersama (PKB) Landasan hukum dari PKB adalah undang-undang yang berhubungan dengan PKB serta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya. Sekarang ini undang-undang mengenai PKB yang digunakan adalah UUKK yang diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 135 serta ketentuanketentuan pelaksanaan-nya. b. Pengertian PKB Berdasarkan Pasal 1 butir 21 UUKK menyebutkan bahwa PKB adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/ serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selanjutnya Zainal Asikin, dkk., mengatakan PKB adalah perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau serikat-serikat pekerja yang telah didaftarkan pada Departemen Tenaga Kerja (Kementerian Perburuhan) dengan pengusaha-pengusaha, perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang berbadan hukum yang pada umumnya atau sematamata memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian
39
kerja.35 c.
Fungsi PKB 1) Sebagai pedoman induk mengenai hak dan kewajiban bagi pekerja dan
pengusaha sehingga dapat dihindarkan adanya perbedaan-
perbedaan pendapat yang tidak perlu antara pekerja dan pihak pengusaha; 2) Sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan kelangsungan usaha bagi pengusaha; 3) Merupakan partisipasi pekerja dan penentuan atau perbuatan kebijaksanaan dalam perusahaan.36 d. Tujuan PKB 1) Mempertegas dan memperjelas hak dan kewajiban pekerja atau serikat pekerja dan pengusaha; 2) Memperteguh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis dalam perusahaan; 3) Secara bersama menetapkan syarat-syarat kerja dan keadaan industrial dan atau hubungan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perundang-undangan maupun nilai-nilai syarat-syarat kerja yang sudah diatur dalam perundang-undangan. 4) Mengatur tata cara dan penyelesaian keluh kesah serta perbedaan pendapat antara pekerja atau serikat pekerja dengan pihak
35 36
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., hlm. 205. Ibid., hlm. 206.
40
pengusaha. e. Manfaat PKB 1) Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih mengetahui dan memahami tentang hak dan kewajibannya masing-masing; 2) Mengurangi
timbulnya
perselisihan
industrial
atau
hubungan
ketenaga-kerjaan sehingga dapat menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha; 3) Membantu ketenagakerjaan pekerja dan mendorong semangat dan kegiatan bekerja lebih tekun dan rajin; 4) Pengusaha dapat menyusun rencana-rencana menetapkan labour cost yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya PKB. Perundingan membuat PKB merupakan lembaga bipartit yang sangat efektif di mana kedua belah pihak dapat bertemu dan memper-dulikan kepentingan masing-masing yang hasilnya tanpa banyak campur tangan pihak lain. Dapat menciptakan suasana musyawarah dan kekeluargaan dalam perusahaan. f.
Tata cara pembuatan PKB 1) Perlu persiapan langkah-langkah ke arah yang terwujudnya sikap mental pengetahuan para pelaku yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2) Masing-masing pihak wajib mempersiapkan konsep PKB yang materilnya dalam batas-batas ukuran yang wajar bagi kepentingan kedua belah pihak.
41
3) Terhadap permintaan berunding yang diajukan secara tertulis dalam waktu yang selambat-lambatnya 14 hari terhitung sejak diterimanya permintaan berunding tersebut. 4) Pihak yang mengajukan permintaan berunding harus menyerahkan konsep PKB. PKB selambat-lambatnya sudah selesai ditandatangani dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung dari tanggal dimulainya perundingan. 5) Selama perundingan berlangsung baik pekerja maupun pengusaha tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat menekan atau merugikan kedua belah pihak. 6) Perundingan-perundingan dilakukan dengan iktikad baik, penuh sikap jujur, tulus dan terbuka. 7) Dalam hal tidak tercapai PKB dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka penyelesaiannya melalui tata cara yang telah ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. g. Materi PKB Materi PKB berpedoman pada pola umum PKB dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Departemen Tenaga Kerja Cq. Ditjen Binawas. Sedangkan Pola Khusus PKB (sektoral) dapat berpedoman pada hasilhasil Raker Teknis atau Lokakarya untuk masing-masing sektor dan atau sub sektor.37 PKB dituangkan dalam perjanjian kerja. Kesepakatan kerja yang dibuat 37
Ibid., hlm. 207.
42
secara tertulis biasanya memuat: 1) Macam pekerjaan. 2) Lama perjanjian itu berlaku. 3) Besar upahnya. 4) Waktu cuti dan upah selama cuti. 5) Jika ada besarnya bagian dari keuntungan. 6) Pemberian pensiun. 7) Untuk upah lainnya. Untuk sahnya suatu kesepakatan yang ada dalam perjanjian kerja mempunyai syarat materiil dan formil 1) Syarat materiil a) Dilarang membuat aturan yang mewajibkan majikan hanya menerima atau menolak buruh dari suatu golongan. b) Dilarang membuat aturan yang mewajibkan buruh hanya bekerja pada suatu golongan tertentu. c) Dilarang membuat aturan yang bertentangan dengan undangundang tentang ketertiban umum atau tata susila. 2) Syarat-syarat formil a) Harus tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak di hadapan notaris. b) Harus memuat identitas. c) Perjanjian paling lama dua tahun.
43
PKB atau perjanjian kerja juga memuat/menyebutkan: 1) Kewajiban majikan: a) Upah yang harus dibayar oleh majikan. b) Caranya dan macamnya. c) Ganti kerugian. d) Upah tambahan dan lain-lain. 2) Kewajiban buruh: a) Melakukan pekerjaan dengan baik. b) Sifat dan luasnya pekerjaan. c) Kewajiban melakukan pekerjaan sesuai aturan.
D. Perjanjian Asuransi Pada Umumnya Sarjana-sarjana hukum Belanda terkenal menyebutkan untuk pertanggungan ialah; verzekering dan assurantie. Sedangkan di dalam praktek sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak sekali orang yang memakai istilah asuransi (assurantie). Di dalam bahasa Inggris istilah yang tepat dipakai ialah istilah insurance, seperti juga yang terdapat di dalam Marine Insurance Act of 1906. Di dalam peristilahan verzekering maka penanggung disebut sebagai istilah verzekeraar dan tertanggung disebut dengan istilah verzekerde. Peristilahan ini memang ditemui di dalam W.v.K. Nederland maupun di dalam
W.v.K
Indonesia.
Peristilahan
asuransi
menimbulkan
istilah
assuradeur atau assurador bagi penanggung dan istilah geassureerde atau
44
yang diasuransikan bagi tertang-gung. Peristilahan insurance di dalam bahasa Inggris menimbulkan istilah insurer bagi penanggung dan istilah the insured bagi tertanggung. Tetapi anehnya di dalam pasal-pasal dari Marine Insurance Act of 1906, bagi tertanggung dipakai istilah the assured sedang untuk penanggung the insurer. Peristilahan pertanggungan sebagai terjemahan dari verzekering dari W.v.K. dan dengan demikian untuk verzekeraar pakai istilah penanggung dan untuk verzekerde pakai istilah tertanggung. Sementara ada sarjanasarjana hukum yang memilih dan memakai peristilahan penjamin untuk verzekeraar dan yang dijamin untuk verzekerde. Dalam pengertian pemberian jaminan atau zekerheidstelling yang bersifat pribadi sepertinya di dalam lembaga borgtocht. Maka tetap memakai peristilahan pertanggungan, penanggungan dan tertang-gung.38 Di dalam Pasal 246 KUH Perdata dilukiskan mengenai pertanggungan itu sebagai suatu perjanjian di mana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti. Di dalam definisi itu ada disebut suatu perkataan mengenai perjanjian pertanggungan. Perjanjian ini termasuk perjanjian untung-untungan di dalam KUH Perdata, atau yang disebut 38
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Seksi Hukum Dagang FH UGM, Yogyakarta, 1990, hlm. 6-7.
45
kansovereenkomst, menurut yang ditentukan di dalam Pasal 1774 KUH Perdata. Tetapi ketentuan ini di dalam banyak hal adalah tidak tepat, sebab di dalam kansovereenkomst para pihak secara sengaja dan sadar menjalani suatu kesempatan untung-untungan di mana prestasi secara timbal balik tidak seimbang. Dan perjanjian seperti ini bukan pula termasuk hibah. Undang-undang melarang adanya perjanjian yang sedemikian jika itu merupakan suatu permainan dan perjudian (spel en Weddingschap) dan tidak memberikan perlindungan kepadanya (Pasal 1778 KUH Perdata). Yang dibolehkan ialah hanya mengenai perjanjian pertanggungan dan lijfrente (Pasal 1755-1787 KUH Perdata). Perjanjian pertanggungan itu tidaklah tepat dikatakan suatu kans overeenkomst oleh karena penanggung di dalam mempertimbangkan besarnya risiko yang akan ditanggungnya, dia juga menerima suatu kontraprestasi di dalam bentuk premi dari tertanggung yang seimbang dengan risiko itu. Tetapi secara murni, inipun tidak dapat dikatakan perjanjian timbal balik yang prestatie dan contraprestatienya benar-benar seimbang oleh karena di dalam tiap perjanjian pertanggungan masih mengandung juga kemungkinan-kemungkinan pada pihak-pihak mengenai ketidak seimbangan dari prestasi.39 H. M. N Purwosutjipto, mengatakan bahwa pertanggungan atau asuransi adalah peralihan risiko tertanggung atau sebagai kontra 39
Ibid., hlm. 8.
46
prestasi, tertanggung berkewajiban membayar uang premi kepada penanggung. Risiko ini berujud beban kerugian atas beban pertanggungan terhadap bahaya yang mungkin timbul.40 Kemudian Emmy Pangaribuan Simanjuntak memberikan batasan pertang-gungan sebagai suatu perjanjian, di mana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum pasti.41 Perkataan perjanjian adalah dengan mengikuti rumusan R. Subekti yang menyatakan bahwa perjanjian sudah populer di kalangan rakyat.42 Akibat dari sistem hukum perjanjian yang menganut asas sistem terbuka, maka dalam praktek hubungan hukum di masyarakat ditemui berbagai macam perjanjian dan setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Artinya bahwa perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang. Perjanjian pertanggungan itu adalah sebenarnya suatu perjanjian timbal balik oleh karena kedua pihak yang saling mengikat diri pada sesuatu dan dengan demikian dapat pula sebaliknya dipecahkan jika 40
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Tentang Hukum Dagang, Hukum Pertanggungan, Djambatan, Jakarta, 1986, hlm. 2. 41 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980, Op.Cit., hlm. 22. 42 R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 12.
47
ternyata ada wanprestatie. Di dalam prinsipnya, Pasal 1266 KUH Perdata diperlukan terhadapnya, tapi sesungguhnya pemecahan melalui Pasal 1266 KUH Perdata ini jarang terjadi di dalam praktek, dan para penanggung mengambil jalan lain yang dapat membebaskan dia apabila tertanggung tidak melakukan kewajibannya, misalnya tidak membayar premi.43 Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman mengartikan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.44 Apabila ditinjau dari segi perundang-undangan. Perkataan asuransi adalah suatu perjanjian, sehingga merupakan suatu perbuatan hukum, dikatakan
demikian
karena
dengan
adanya
suatu
perjanjian
akan
menimbulkan hubungan hukum (perikatan) antara tertanggung dengan sipenanggung. Perikatan akan terjadi apabila sekurang-kurangnya ada dua pihak yang mengikat diri sehingga perikatan tersebut baru dikatakan membawa aspek hukum. Perjanjian pertanggungan di dalam pengertian yang murni harus mengandung suatu tujuan bahwa kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh pihak tertanggung akan diganti oleh pihak penanggung. Oleh karena di dalamnya terdapat suatu penggantian kerugian, maka pertanggungan ini disebut pertang-gungan kerugian.
43
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Seri Hukum Dagang Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Seksi Hukum Dagang FH. UGM, Yogyakarta, 1980, hlm. 8. 44 Mariam Darus Badrulzaman, Loc.Cit.
48
Di samping pertanggungan kerugian ini juga dikenal pertanggungan di mana penggantian kerugian yang diberikan oleh penanggung sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu ganti rugi oleh karena orang yang menerima ganti rugi itu tidak menerima ganti rugi yang sungguh-sungguh sesuai dengan kerugian yang dideritanya. Ganti rugi yang diterimanya itu sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang telah disepakati oleh pihak-pihak. Di dalam literatur, pertanggungan ini sering dikenal dengan istilah pertanggungan sejumlah uang (sommen verzekering)
atau
pertanggungan
jumlah
atau
juga
dengan
istilah
pemerintah
telah
persoonslpersonen verzekering atau pertanggungan orang.45 Dalam mengeluarkan
perkembangan
terakhir
Undang-undang
Nomor
Asuransi. Dalam Pasal 1 ayat (1)
bahwa 2
Tahun
1992
tentang
menyatakan asuransi atau
pertanggungan adalah: Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan.46 Beberapa hal atau faktor yang dapat dipakai sebagai faktor yang membedakan
pertanggungan
kerugian
45
dari
pada
pertanggungan
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980, Op.Cit., hlm. 9. Nurmalawaty, “Asuransi Islam di Indonesia” Majalah Hukum. Vol. 5 No 1 Edisi Pebruari, Fakultas Hukum USU, Medan, 2000. hlm. 109. 46
49
sejumlah uang atau pertanggungan orang sebagaimana halnya pada pertanggungan jiwa dan kecelakaan, sebagai berikut: 1. Apabila seseorang mengadakan perjanjian dengan seorang penanggung atau perusahaan pertanggungan jiwa, terhadap premi yang tiap -tiap tahun dibayarkan, nanti kalau ia meninggal dunia yang itu diberikan dalam jumlah tertentu kepada ahli waris yang ditinggalkannya, maka tidak dapat dikatakan bahwa terhadap ahli waris diberikan ganti kerugian. Dalam hal ini mungkin ahli warisnya orang-orang yang berada, sedang semasa hidupnya ia tidak mempunyai hubungan dengan mereka, maka pemberian sejumlah uang itu bagi mereka adalah suatu kemujuran atau rezeki yang tiba-tiba menambah harta kekayaan yang sebenarnya sudah mereka miliki dengan cukup. Lain halnya apabila dialah yang membiayai mereka itu selama hidupnya dan kalau ia meninggal maka ongkos hidup mereka akan terputus, sehingga pemberian sejumlah uang itu untuk waktu terbatas berfungsi sebagai penggantian atas pembiayaan-pembiayaan yang hilang bagi mereka. Dalam pertanggungan kecelakaan, juga demikian halnya. Seorang yang menjadi invalid karena kecelakaan kereta api dan yang berdasarkan suatu perjanjian pertanggungan menerima
sejumlah
uang,
kemungkinan
pada
umumnya
akan
mempunyai kedudukan keuangan yang lebih buruk lagi dari pada sebelum ia menderita kecelakaan itu. Ganti rugi yang diterimanya itu tidak dapat dinilai sama dengan pendapatan-pendapatan yang
50
seharusnya atau mungkin diterimanya seandainya dia tidak invalid . 2. Ternyata bahwa syarat kepentingan yang diharuskan oleh undangundang ada pada pertanggungan kerugian, untuk pertanggungan jiwa adalah kurang disyaratkan pada orang yang menerima sejumlah uang itu. 3. Bahwa peristiwa yang menyebabkan adanya kewajiban membayar pada penanggung itu di dalam pertanggungan jiwa adalah kematian dari tertanggung atau orang ketiga. Sedang kematian itu suatu hal yang sudah pasti akan terjadi. Lain halnya pada pertanggungan kerugian, sebab di sana peristiwa itu adalah suatu kejadian yang menurut pengalaman manusia tidak dapat diharapkan akan terjadi. 47 Untuk sahnya suatu perjanjian asuransi tentu saja harus memenuhi syarat-syarat umum dari sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya (persetujuan). 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Selain itu harus memenuhi beberapa pasal yang melindungi yaitu: 1. Pasal 1321 KUH Perdata yang mengisyaratkan tidak boleh ada kekhilafan. 2. Pasal 1322 KUH Perdata yang mengisyaratkan tidak boleh ada penipuan. 3. Pasal 1323 KUH Perdata yang mengisyaratkan tidak boleh adanya paksaan. 47
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980, Op.Cit., hlm. 10.
51
Jadi untuk sahnya suatu perjanjian, selain harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, juga harus bebas dari kekhilafan, paksaan dan penipuan. Bagaimanapun surat perjanjian yang terjadi karena adanya unsur-unsur tersebut akan menyebab-kan perjanjian yang tidak sempurna, batal demi hukum, atau setidaknya dapat dimintakan pembatalannya. Untuk sahnya suatu perjanjian tersebut ternyata tidak cukup hanya dengan terpenuhinya syarat umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata saja, akan tetapi harus pula memenuhi ketentuan-ketentuan khususnya yang diatur dalam KUH Dagang. Dalam Pasal 250 KUH Dagang menyebutkan;
apabila
seorang
yang
telah
mengadakan
suatu
pertanggungan untuk dirinya sendiri, atau apabila seorang yang untuknya telah
diadakan
suatu
pertanggungan,
pada
saat
diadakannya
pertanggungan itu tidak mempunyai suatu kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan, maka si penanggung tidak diwajibkan ganti rugi. Pasal 250 KUH Dagang di atas, menghendaki bahwa setiap perjanjian asuransi pertanggungan diharuskan adanya suatu kepentingan (insurance interest), sedangkan kepentingan yang dapat dipertanggungkan itu adalah semua kepentingan yang memenuhi Pasal 268 KUH Dagang. Adapun bunyi Pasal 268 KUH Dagang tersebut adalah suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang. Dalam tiap-tiap persetujuan selalu ada dua macam subjek di satu pihak seorang atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk
52
sesuatu dan di lain pihak ada seorang atau badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu sehingga dalam tiap-tiap persetujuan itu selalu ada pihak berwajib dan pihak berhak. Dalam suatu persetujuan timbal balik satu pihak tidak selalu menjadi pihak yang berhak, melainkan dalam sudut lain mempunyai beban kewajiban juga terhadap pihak lain. Dalam perjanjian asuransi menurut definisi yang disebutkan dalam Pasal 246 KUH Dagang tersangkut dua pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan Jamsostek, maka yang bertindak sebagai penanggung adalah PT. Jamsostek (Persero) sedangkan yang bertindak sebagai tertanggung adalah tenaga kerja. Mengenai objek asuransi adalah merupakan kebalikan dari subjeknya. Subjek dari perjanjian merupakan suatu tindakan aktif dan sebaliknya objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subjek. Oleh karena itu, dalam hubungan hukum mengenai perjanjian adalah hal yang diwajibkan kepada pihak yang berkewajiban (debitur) dan yang mempunyai hak (kreditur).
53
BAB III JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Jamsostek Dalam hidupnya, manusia menghadapi ketidakpastian, baik itu ketidakpastian yang sifatnya spekulasi maupun ketidakpastian murni yang selalu menimbulkan kerugian. Ketidakpastian murni inilah yang seringkali disebut dengan risiko. Risiko terdapat dalam berbagai bidang, dan bisa digolongkan dalam dua kelompok utama, yaitu risiko fundamental dan risiko khusus. Risiko fundamental ini sifatnya kolektif dan dirasakan oleh seluruh masyarakat, seperti risiko politis, ekonomis, sosial, hankam dan internasional. Sedangkan risiko khusus, sifatnya lebih individual karena dirasakan oleh perorangan, seperti risiko terhadap harta benda, terhadap diri pribadi, dan terhadap kegagalan usaha. Untuk menghadapi risiko ini tentunya diperlukan suatu instrumen mengurangi timbulnya risiko itu. Instrumen atau alat ini disebut dengan jaminan sosial. Jaminan sosial dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah "social security". lstilah ini untuk pertama kalinya dipakai secara resmi oleh Amerika Serikat dalam suatu undang-undang yang bernama "The Social Security Act of 1935". Kemudian dipakai secara resmi oleh negara New Zealand Tahun 1938 sebelum secara resmi dipakai ILO (International Labour Organization).
54
Menurut ILO social security pada prinsipnya adalah sistem perlindungan yang diberikan oleh pemerintah untuk para warganya, melalui berbagai usaha dalam menghadapi risiko-risiko ekonomi atau sosial yang dapat
mengakibatkan
terhentinya/sangat
berkurangnya
penghasilan. 48
Sedangkan Kennet Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretarit Jenderal International Social Security Association (ISSA) di Jenewa, dalam Regional Trining Seminar ISSA di Jakarta bulan Juni 1980, mengatakan bahwa: Jaminan sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa-peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan/atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak. 49 Sejalan dengan dua pengertian di atas, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 2 ayat (4)-nya menggariskan bahwa jaminan sosial sebagai perwujudan dari sekuritas sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warganegara yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial. Kalau diperhatikan ketiga pengertian di atas, maka nampaknya ketiga pengertian tersebut memberikan pengertian jaminan sosial dengan begitu luas, seakan-akan jaminan sosial itu sendiri telah mencakup bidang 48 49
Zainal Asikin, et.al., Op.Cit., hlm. 78. Ibid., hlm. 79.
55
pencegahan dan pengembangan, bidang pemulihan dan penyembuhan serta bidang pembinaan. Ketiga bidang ini kalau dikaitkan lebih jauh lagi apa yang dinamakan perlindungan buruh, sehingga amat luaslah ruang lingkupnya. Kalau membicarakan jaminan sosial bagi pekerja dengan bertumpu pada definisi di atas, maka yang dimasukkan ke dalam jaminan sosial ini hal-hal yang bersangkutan dengan: 1. Jaminan sosial itu sendiri; 2. Kesehatan kerja, dan 3. Keselamatan dan keamanan kerja. Namun
kenyataannya
menunjukkan,
bahwa
hukum
perburuhan
Indonesia tidak memasukkan kesehatan kerja, keselamatan kerja dan keamanan kerja di dalam konsepsi jaminan sosial, hal ini berarti, bahwa hukum perburuhan Indonesia mendefinisikan jaminan sosial itu secara murni atau secara sempit, seperti yang dikemukakan oleh Iman Soepomo, bahwa jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima pihak buruh dalam hal buruh di luar kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan (income security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan di luar kehendaknya. Pengertian jaminan sosial secara sempit ini lebih dipertegas lagi oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi RI Nomor: PER 03/MEN/1980 yang dalam Pasal 2 ayat (1) menentukan, bahwa program jaminan sosial adalah program yang meliputi jaminan sakit, hamil, bersalin, hari tua pensiun, kecelakaan/cacad dan meninggal dunia bagi tenaga kerja dan/
56
atau keluarganya. Untuk mempermudah pengertian, maka dari uraian di atas dapat dipahamkan bahwa: 1. Jaminan sosial dapat diartikan secara luas dan secara sempit dalam pengertian yang luas jaminan sosial ini meliputi pula usaha-usaha yang berupa: a. Pencegahan dan pengembangan, yaitu di bidang kesehatan, keagamaan, keluarga berencana, pendidikan, bantuan hukum dan lain-lain yang dapat dikelompokkan dalam pelayanan sosial (social security). b. Pemulihan dan penyembuhan, seperti bantuan untuk bencana alam, lanjut usia, yatim piatu, penderita cacad dan berbagai kegunaan yang dapat dikelompokkan dalam pengertian bantuan sosial (social assitence); c. Pembinaan, dalam bentuk perbaikan gizi, perusahaan, transmigrasi, koperasi dan lain-lain yang dapat dikategorikan dalam sarana sosial (social infra structure). Sedangkan dalam pengertian yang sempit jaminan sosial ini meliputi usaha-usaha di bidang perlindungan ketengakerjaan, yang berupa bantuan sosial dan asuransi sosial. 2. Hukum perburuhan Indonesia memberikan pengertian jaminan sosial
57
secara sempit.50 Tenaga kerja sebagai salah satu modal pokok dalam pembangunan perlu dikembangkan daya gunanya, diatur hak dan kewajibannya serta ditingkatkan kesejahteraannya agar dapat berfungsi sebagai subjek dan objek dari pembangunan itu sendiri. Upaya perlindungan tenaga kerja dilakukan melalui aspek perlindungan hukum, perlindungan sosial ekonomi, dan perlindungan fisik yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal tersebut mengingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan industrialisasi serta urbanisasi di Indonesia telah dapat meningkatkan standar hidup rakyat yang pada gilirannya dapat memberikan ketenangan kerja, berdampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin serta produktifitas kerja serta kemajuan perusahaan (industrial harmony and economic devlopment). Perkembangan ini telah memperbesar jumlah tenaga kerja yang hidupnya tergantung dari upah dan jika terjadi risiko sosial yang mengganggu kelangsungan penerimaan upah, antara lain;
sakit,
kecelakaan kerja, kematian, hari tua atau menganggur karena PHK maka akan menimbulkan kesulitan bagi tenaga kerja yang bersangkutan serta keluarganya. Seperti diketahui bahwa salah satu upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi tenaga kerja beserta keluarganya adalah melalui program Jamsostek yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 50
Ibid., hlm. 80.
58
Tahun 1992. Dalam hal ini, Yunus Shamad berpendapat bahwa Jamsostek harus diatur dengan undang-undang karena: 1. Jamsostek yang bersifat wajib akan memberikan hak dan membebani kewajiban. Dalam hal kewajiban akan ada potongan-potongan mengenai upah dan kewajiban lainnya yang untuk itu memang memerlukan peraturan khusus. 2. Perlunya
Jamsostek
dilaksanakan
berdasarkan
undang-undang
sesuai dengan petunjuk Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 yang menyatakan segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lainnya harus ditetapkan dengan undang-undang yaitu dengan persetujuan DPR. Jadi berdasarkan undang-undang ini maka Jamsostek yang bersifat wajib harus dilaksanakan dengan undangundang karena ada pembebanan bagi rakyat yaitu iuran yang harus dibayar oleh pekerja dan pengusaha. 3. Sesuai dengan KUHAP maka kewajiban yang mengandung ancaman sanksi pidana hanya dapat diatur dengan undang-undang karena Jamsostek perlu juga mengatur ancaman pidana maka perlu diatur dengan undang-undang.51 Di dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 disebutkan bahwa:
51
Yunus Shamad, Hubungan Industrial Di Indonesia, Bina Sumber Daya Manusia, Jakarta, 1995, hlm. 316.
59
Jamsostek adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Oleh sebab itu, Jamsostek menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan produktivitas kerja yang sangat penting dalam menunjang industrialisasi dalam tahap pembangunan selanjutnya. Seperti diketahui bahwa industrialisasi mempunyai pengaruh besar terhadap kependudukan dan ketenagakerjaan karena industri biasanya berada di perkotaan sehingga timbullah urbanisasi yang mengakibatkan kota-kota besar dipadati penduduk yang menggantungkan hidupnya pada upah. Dalam pengendalian penduduk serta untuk menciptakan keluarga kecil bahagia sejahtera digalakkanlah program keluarga berencana. Dengan demikian tenaga kerja tidak lagi menggantungkan masa depannya semata-mata pada anak sehingga perlindungan jaminan sosial sangat diperlukan. Lebih-lebih dengan meningkatnya umur harapan hidup karena kemajuan teknologi kedokteran maka tenaga kerja semakin membutuhkan jaminan hari tua. Di sisi lain, penyelenggaraan jaminan sosial yang dilakukan dengan metode pendanaan akan memupuk dana yang tidak kecil jumlahnya sehingga dapat menunjang sumber pembiayaan pembangunan yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Perkembangan dan kemajuan ini terus menumbuhkan industri-industri
60
yang mengandung efek sampingan berupa penggunaan mesin-mesin berbahaya, bahan kimia beracun, mengakibatkan limbah dan polusi, lalu lintas bermotor, dan sebagainya yang menimbulkan risiko-risiko kerja yang perlu ditanggulangi antara lain dengan perlindungan Jamsostek. Jamsostek pada hakikatnya merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam menghadapi risiko-risiko sosial ekonomi tertentu. Program Jamsostek dibiayai dari iuran pengusaha dan tenaga kerja yang penyelenggaraannya dilaksanakan dengan mekanisme asuransi berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992. Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992, yang menyatakan untuk memberikan perlindungan kepada
tenaga
kerja
diselenggarakan
program
Jamsostek
yang
pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi. Apabila Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuanketentuan
Pokok
Mengenai
Tenaga
Kerja
dianalisis
maka
di
dalamnya diatur mengenai perlindungan tenaga kerja dan dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 10 yang berbunyi: Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup: a. Norma keselamatan kerja. b. Norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan. c. Norma kerja. d. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja. Sebagai tindak lanjut untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33
61
Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Sebelum peraturan pemerintah tersebut diterbitkan maka pengaturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya tetap diberlakukan, yaitu Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja yang diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951. Undang-undang tersebut hanya mengatur kecelakaan kerja saja, sedangkan yang belum ada pengaturannya adalah: 1. Jaminan sakit, hamil, dan bersalin. 2. Jaminan hari tua dan meninggal dunia. 3. Jaminan pengangguran. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, meliputi program: 1. Asuransi kecelakaan kerja (AKK). 2. Tabungan hari tua (THT) yang dikaitkan dengan asuransi kematian. Pada
perkembangan
selanjutnya,
ternyata
peraturan-peraturan
tersebut di atas sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan sehingga diterbitkan suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai Jamsostek yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992. Sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 maka diterbitkan
pula
Undang-undang
Nomor
25
Tahun
1997
tentang
Ketenagakerjaan yang mulai efektif berlaku tanggal 1 Oktober 1998, yang telah diganti dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 sejak 23 Maret 2003. Menyangkut Jamsostek ini diatur dengan jelas dalam Pasal 99 UUKK,
62
yang menyatakan: 1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jamsostek. 2. Jamsostek tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 terdapat beberapa pengertian yang berkaitan dengan Jamsostek, yakni sebagai berikut: 1. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 2. Pengusaha adalah: a. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. c. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 3. Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang memperkerjakan tenaga-tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara. 4. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya. 5. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. 6. Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan. 7. Sakit adalah setiap gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
63
pengobatan, dan/atau perawatan. 8. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/ atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. 9. Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri. 10. Badan penyelenggaraan adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program Jamsostek. 11. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan. Adapun dasar hukum dari program Jamsostek adalah: 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek. 3. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang timbul Karena hubungan Kerja. 4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk
Teknis
Pendaftaran
Kepesertaan,
Pembayaran
luran,
Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jamsostek. Selain itu, masalah-masalah medis dalam penetapan besarnya tunjangan kecelakaan kerja dan diagnosis penyakit yang diakibatkan karena hubungan kerja sering timbul sehingga diadakan pengangkatan dokter penasehat di tingkat pusat maupun di tiap-tiap propinsi. Pengangkatan dokter penasehat tersebut adalah berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.40/MEN/1995 tanggal 8 Pebruari 1995 tentang Pengangkatan Dokter Penasehat Sebagaimana Dimaksud Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992.
64
Dalam Amar Keempat Keputusan Menteri tersebut, disebutkan tugas pokok dokter penasehat adalah: 1. Memberikan perimbangan medis kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dan badan penyelenggaraan dalam melaksanakan Undangundang Nomor 3 Tahun 1992 dan penyelenggaraan program Jamsostek sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993. 2. Menentukan akibat medis, dalam hal ada perbedaan pendapat antara pihak yang bersangkutan untuk menentukan kecacatan akibat kecelakaan kerja. 3. Menentukan penyakit yang timbul karena hubungan kerja sesuai Pasal 1 butir 8 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 dengan mempertimbangkan pendapat dari unit kerja yang terkait. 4. Dalam hal-hal tertentu bila dipandang perlu dapat memerintahkan kepada pengusaha untuk memeriksakan ulang bagi tenaga kerja yang kecelakaan, jika tidak ada kepastian atau meragukan hasil pemeriksaan dari dokter yang merawatnya. 5. Mengusulkan kepada Menteri Tenaga Kerja untuk penyempurnaan daftar yang diatur dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 dan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. 6. Tugas-tugas lain yang diatur dalam pedoman pelaksanaan tugas dokter penasehat.
65
B. Sejarah Terbentuknya Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Gerakan jaminan sosial dimulai pada permulaan abad ke-19 di Eropa Barat. Pada waktu itu di negara-negara tersebut sudah berlaku perundangundangan kemiskinan (poor laws) di mana orang-orang miskin dapat memperoleh bantuan dari pemerintah. Peraturan perundangan kemiskinan ini pada mulanya dimaksudkan sebagai alat untuk mencegah terjadinya kelaparan dan keterlantaran sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya gejolak sosial. Namun mengingat pada waktu itu di Eropa Barat terjadi pula proses industrialisasi yang menimbulkan golongan masyarakat baru, yang terdiri dari para buruh dengan upah yang terendah, mengakibatkan perundangan kemiskinan itu dituntut pula agar berlaku bagi mereka. Dengan berlakunya peraturan perundangan kemiskinan tersebut, bagi para kaum buruh di Eropa Barat, maka dimulailah suatu momentum baru yang mendasari prinsip-prinsip jaminan sosial bagi buruh yang peraturan perundangannya baru bisa dibentuk beberapa tahun kemudian. Secara bertahap sampai dengan tahun 1880 terdapat tiga metode yang dipergunakan untuk memberikan perlindungan (jaminan sosial) bagi buruh dari ketelantaran, selanjutnya dapat dilihat uraian berikut. 1. Tabungan kecil Dengan metode tabungan ini prinsip jaminan sosial tidak mencapai sasarannya. Upah buruh/tenaga kerja yang sudah sedemikian kecilnya tidak mungkin akan disisihkan lagi untuk tabungan. Untuk memenuhi
66
kebutuhan mereka sudah dapat dikatakan tidak mencukupi apalagi untuk ditabung. 2. Tanggung jawab pengusaha Metode dengan tanggung jawab pengusaha ini maksudnya adalah membebankan tanggung jawab untuk menanggung buruh yang terkena resiko kerja, sepenuhnya pada pengusaha (employers liability). Metode ini didasarkan atas prinsip, bahwa siapa yang memperkerjakan buruh tentu harus bertangung jawab atas buruh itu, termasuk pula atas kemungkinan keselamatan kerja yang bisa saja dialami oleh buruh ketika berlangsungnya hubungan kerja tersebut. Di
Indonesia metode ini pernah dipergunakan, baik semasa
pemerintah Hindia Belanda berdasarkan KUH Perdata, maupun setelah kemerdekaan berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947. Namun karena tetap dianggap mempunyai kelemahan, maka metode inipun ditinggalkan. Suatu contoh dapat dikemukakan dari KUH Perdata Pasal 1602w. Pasal ini menentukan: a. Si majikan diwajibkan untuk mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, perkakas-perkakas dalam mana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan. b. Jika kewajiban-kewajiban itu tidak dipenuhi, si majikan diwajibkan memberikan ganti kerugian yang karenanya menimpa si buruh dalam melaksanakan pekerjaannya, kecuali apabila dia dapat membuktikan bahwa tidak dipenuhinya kewajiban itu karena keadaan memaksa.
67
Dengan demikian, bahwa buruh yang tertimpa kecelakaan kerja dapat menuntut majikan (yang tentu saja lewat pengadilan) untuk memberikan ganti kerugian. Tuntutan ini dapat dilakukan dengan alasan, bahwa majikan telah melalaikan kewajibannya untuk memelihara alat-alat sehingga buruh tertimpa kecelakaan. Ketentuan Pasal 1602w ini tidak mungkin dapat dilaksanakan karena: a. Buruh kebanyakan berpendidikan minim, sehingga tidak/belum mengenal bagaimana beracara di pengadilan. b. Biaya beracara di pengadilan relatif cukup besar. c. Sulit untuk mendapatkan saksi dari rekan sekerja guna membuktikan kelalaian majikan, karena rekan-rekannya tentu saja tidak akan mau terlibat, takut dipecat oleh majikan. d. Kalaupun buruh nekad menuntut, akan menimbulkan keretakan pada hubungan kerjanya dengan majikan. Demikian pula dengan Undangundang Nomor 33 Tahun 1974 juga mempunyai kelemahan-kelemahan meskipun undang-undang ini telah mengatur prinsip, bahwa setiap pekerjaan pasti menanggung risiko, tanpa perlu lagi membuktikan bahwa risiko itu datangnya dari kelalaian majikan yang tidak mengatur ruangan dan alat-alat kerja dengan baik, namun Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 tetap mempunyai kelemahan-kelemahan seperti: 1) Kemampuan perusahaan untuk memberikan jaminan sosial kepada buruhnya yang terkena risiko kecelakaan adalah tergantung dari besar kecilnya perusahaan tersebut. Bagi perusahaan besar tentu
68
saja akan dapat memberikan ganti kerugian/jaminan sosial yang besar pula. Sebaliknya bagi perusahaan yang kecil, bisa jadi jaminan sosial
yang
diberikannya
tidak
akan
dapat
menanggulangi/
memperingan buruh dari akibat yang ditimbulkan oleh risiko kecelakaan itu. 2) Buruh yang tertimpa kecelakaan tetap harus mengajukan permohonan/klaim penggantian kerugian kepada pengusaha. Ini kadang-kadang dapat menimbulkan rasa tidak enak pada buruh, atau malah karena sifatnya menuntut hak akan dapat menimbulkan keretakan pada hubungan kerja antar majikan dengan buruh yang bersangkutan. Seperti yang telah dikemukakan di atas meskipun metode tanggung jawab pengusaha ini mempunyai beberapa kelemahan namun negara pernah mempergunakan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947. Selanjutnya bagaimana dan dengan cara apa pemberian jaminan sosial itu dilaksanakan akan diuraikan pada sub berikut ini. 52 3. Metode asuransi komersil Untuk meringankan beban tanggung jawab pengusaha dalam menanggung ganti rugi kecelakaan kerja, pada akhir abad ke-19 digunakan metode asuransi. Mula-mula metode ini hanyalah berupa metode yang biasa saja, atau malah bisa dikatakan primitif, di mana anggota masyarakat (buruh) secara periodik dan teratur mengumpulkan uang untuk memberikan 52
Zainal Asikin, et.al., hlm. 82-85.
69
bantuan pemeliharaan medis atau penguburan bagi para anggota yang menderita risiko. Teknik atau metode ini pada awalnya memang membawa hasil. Tetapi lama kelamaan sering jaminan yang dijanjikan tidak terpenuhi karena faktor manajemen yang tidak teratur. Oleh karena itu, maka pemerintah turun tangan dengan memberi pengaturan, pengawasan dan pembatasan kegiatan pada usaha-usaha yang dapat dilakukannya secara efisien. Pengelolaan bidang usaha tersebut akhirnya dikelola secara komersial sehingga mirip dengan perusahaan asuransi yang dikenal sekarang ini. Karena sudah bersifat komersil maka sulit diharapkan metode ini akan mencapai sasaran dalam memberikan jaminan sosial secara kolektif yang menyangkut risiko sosial dan ekonomis, seperti pertanggungan sakit, hamil dan bersalin misalnya. Kalaupun mau dipaksakan, kemungkinan risiko yang hanya bisa dicakup oleh perusahaan asuransi komersil hanyalah asuransi
jiwa
saja.
Itupun
harus
memenuhi
syarat-syarat
untuk
perusahaan perasuransian seperti: a. Jumlah premi yang telah diperhitungkan secara matang harus dapat mempertahankan kestabilan perusahaan, ini berarti preminya sangat besar. b. Para anggota atau nasabah harus memenuhi syarat kesehatan, umur dan jenis pekerjaan yang tidak akan menimbulkan risiko dan klaim yang tinggi. Jadi penerimaan nasabah bisa jadi akan selektif dan dapat
70
bersifat diskriminasi. Karena alasan-alasan tersebut di atas maka di negara-negara yang sedang berkembang tidak ada yang mempergunakan metode asuransi komersil ini. 4. Metode asuransi sosial Program, asuransi sakit. Kemudian dalam tahap berikutnya tahun 1884 ditambah lagi dengan program asuransi kecelakaan kerja. Dan tahun 1889 dilengkapi dengan program asuransi pensiun hari tua dan cacat. Penemuan asuransi sosial memberikan teknik yang mantap dan baik dalam penyelenggaraan jaminan sosial bagi pekerja. Asuransi sosial ini dikatakan mantap dan baik karena mengandung sifat-sifat sebagai berikut: a. Dibiayai dari iuran pekerja, pengusaha dan mungkin saja pemerintah. b. Jaminan dibayarkan dari iuran tersebut. c. Hak buruh didasarkan atas iurannya. d. Tidak diperlukan adanya tes kebutuhan; semua pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan diwajibkan menjadi peserta tanpa memandang kesehatan dan besar kecilnya risiko kerja. Menyadari akan baik dan mantapnya sistem asuransi sosial ini maka pemerintah mempergunakan sistem/metode ini melalui/berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 3 Tahun 1964 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977. Dari uraian serba ringkas mengenai sejarah terbentuknya jaminan sosial bagi pekerja ini, maka dapat dimengerti bahwa Republik Indonesia
71
dalam sejarah jaminan sosial bagi pekerja-pekerjanya pernah memakai metode-metode tanggung jawab pengusaha dan metode asuransi sosial berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951, Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 3 Tahun 1964 jo Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 3 Tahun 1967, dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977. 53 Berdasarkan uraian di atas, maka selanjutnya diurutkan secara sistematis terhadap tonggak-tonggak Jamsostek di Indonesia sebagai berikut: 1. Tahun 1945 s/d 1959 Perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja dimulai pada tahun 1947 dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 1947 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Kecelakaan, yang mewajib-kan pengesahan pembayaran ganti rugi kepada tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja. Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 15 Tahun 1957 yang mengatur tentang bantuan kepada badan yang menyelenggarakan usaha jaminan sosial-sosial buruh, yang dilaksanakan melalui yayasan sosial buruh. 2. Tahun 1964 – 1969 Keputusan Menteri Perburuhan Nomor 5 Tahun 1969 membentuk YDJS untuk melaksanakan program asuransi sakit, hamil, melahirkan dan meninggal dunia. Program ini diatur melalui Peraturan Menteri 53
Ibid., hlm. 84-85.
72
Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1967 yang kepesertaannya secara sukarela. Di samping itu, YDJS juga melaksanakan program-program hari raya, cuti, sakit, dan meninggal dunia bagi tenaga kerja yang bekerja pada pemborong pada PT. Caftex Pacific Indonesia, yang diatur dengan Peraturan Direktur Hubungan Perburuhan Nomor 4 Tahun 1968. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai Tenaga Kerja mengatur tentang penyelenggaraan/asuransi sosial bagi tenaga kerja beserta keluarganya, yang pelaksanaannya akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. 3. Tahun 1970 – 1975 YDJS menyelenggarakan asuransi kecelakaan kerja mewajibkan bagi tenaga kerja sektor konstruksi yang diatur melalui Surat Keputusan Gubernur. Melalui SKB Manaker dan Menteri Pertambangan Nomor 660/kpts/Men/1975 dan Nomor 205/Kpts/M/Pertamb/1975, mengatur program-program, hari raya, cuti, sakit, kecelakaan kerja dan meninggal dunia bagi tenaga kerja yang bekerja pada pemborong di sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sebagai penyelenggaraan program ini adalah YDJS. 4. Tahun 1977 Pada tanggal 5 Desember 1977, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Program yang ditangani masih
73
terbatas pada asuransi kecelakaan kerja (AKK), asuransi kematian (AK), dan tabungan hari tua (THT). Bersamaan dengan itu, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1977 tentang Perum Astek sebagai badan penyelenggara program Astek. 5. Tahun 1990 Status Astek sebagai Perum kemudian berubah menjadi PT melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1990. Di tahun yang sama, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Permen Nomor 40 Tahun 1990 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja (JPKTK). 6. Tahun 1992 JPKTK kemudian dikukuhkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang
Jamsostek
dengan
nama
Jaminan
Pemeliharaan
Kesehatan (JPK). Undang-undang yang berlaku efektif 1 Juli 1992 mewajibkan perusahaan menyelenggarakan empat program Jamsostek, yakni Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Kemudian dilakukan dengan peraturan pelaksanaan lainnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja
Nomor
Per-05/MEN/1993
tentang
Petunjuk
teknis
pendaftaran kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran santunan, dan penyaluran Jamsostek. Terakhir Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
74
1995 tentang Penetapan Badan Penyeleng-garaan Program Jamsostek.
C. Tinjauan Yuridis Terhadap Jamsostek Di setiap negara, konsepsi jaminan sosial
itu diartikan dan
dilaksanakan melalui bentuk dan cara masing-masing sesuai tradisi, sejarah, perkembangan sosial ekonomi, kemauan politik, serta falsafah dari negara yang bersangkutan. Oleh sebab itu, ruang lingkup jaminan sosial bisa juga meliputi: 1. Keselamatan dan kesehatan kerja, perbaikan kondisi dan lingkungan kerja. 2. Pendidikan dan latihan tenaga kerja. 3. Tunjangan isteri dan anak. 4. Pakaian kerja, makan di tempat kerja, dan rekreasi. 5. Koperasi karyawan. Namun di banyak negara, pengertian dan mekanisme jaminan sosial biasanya dibatasi secara konkrit sehingga penyelenggaraannya tidak tumpang tindih. Secara universal, istilah jaminan sosial (social security) mencakup berbagai instrumen publik yang memberikan kemanfaatan tunai (cash benefit) atau kemanfaatan kebutuhan (in kind benefids) atau kedua-duanya, dalam hal: 1. Kemampuan bekerja/berpenghasilan seseorang: a) Terhenti selama-lamanya karena hari tua, cacat tetap total atau
75
meninggal dunia. b) Terganggu oleh ketidakmampuan bekerja sementara, cacat tetap sebagian. c) Dibebani biaya, seperti perawatan sakit, kehamilan dan persalinan. 2. Memerlukan pelayanan medis bagi diri dan keluarganya. 3. Memelihara anak-anak. Mengingat demikian pentingnya jaminan sosial, maka PBB mencantumkan jaminan sosial dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan: Pasal 23-25 yang berbunyi setiap manusia berhak atas perlindungan hari tua, cacat, sakit, meninggal dunia dan menganggur. Oleh sebab itu ILO menjabarkan hak-hak asasi ini dalam konversi ILO No. 102 Tahun 1952 yang intinya menyatakan bawah standard minimum jaminan sosial adalah sakit, hamil, bersalin, hari tua, cacat, meninggal dunia, kecelakaan, menganggur dan tunjangan keluarga. 54 Jadi jelaslah bahwa jaminan sosial sudah diakui sebagai hak-hak asasi manusia secara universal sehingga ILO sebagai salah satu badan dunia harus mengakui pula hak-hak asasi ini dan ikut mengembangkan pelaksanaannya konversi ILO ini dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masing-masing negara anggota, baik dengan meratifikasi konversi itu atau mencoba melaksanakan isi dan jiwa dari konversi tersebut. Mengingat luasnya cakupan konversi ini maka masing-masing negara melaksanakannya secara berbeda sesuai dengan kondisi di negara yang bersangkutan. Mengenai jaminan sosial bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukan
54
Yunus Shamad, Op.Cit., hlm. 314.
76
merupakan suatu hal yang baru karena sejak nenek moyang dulu hal ini sudah dilaksanakan, dan dapat dikatakan bahwa itu merupakan budaya bangsa Indonesia sendiri. Ini terlihat dari perilaku masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari ketika menanggulangi risiko sosial. Contohnya dapat dilihat apabila terjadi peristiwa kecelakaan maka secara spontanitas masyarakat memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuannya, misalnya memberi obat merah, membawa ke Puskesmas atau ke rumah sakit. Demikian pula apabila terjadi kematian maka handai tolan akan menyam-paikan
ikut berlangsungkawa
kepada
keluarganya
dengan
membawa berbagai sumbangan. Dari contoh di atas dapat diyakini bahwa upaya penanggulangan akibat risiko sosial budaya bangsa Indonesia sendiri dan cerminan sifat kegotongroyongan tumbuh berkembang serta merupakan gagasan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Upaya penanggulangan risiko sosial melalui kegiatan "bantuan bersama" tersebut dapat disebut sebagai cikal bakal jaminan sosial karena di mana suatu keadaan menimpa seseorang dan dia tidak dapat menanggulangi sendiri diperlukan uluran tangan orang lain secara bersama untuk ikut menanggulanginya, kegiatan bantuan bersama yang merupakan cikal bakal jaminan sosial itu dari waktu ke waktu berkembang sesuai perkembangan masyarakat itu sendiri dan sampai sekarang tetap diyakini kebenarannya dan terus dipelihara serta
77
dilestarikan dalam kehidupan bermasyarakat. 55 Pada hakikatnya jaminan sosial ini sudah tersirat dari sila-sila Pancasila, seperti pada sila pertama yang mewajibkan setiap umat Tuhan itu harus diperlakukan sebagai hamba Tuhan dan menolong sesama hamba Tuhan yang merupakan pengabdian dan ibadah kepada Tuhan. Sila kedua mewajibkan manusia itu termasuk tenaga kerja diperlakukan secara berada sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Terlantarnya tenaga kerja karena menerima risiko sosial tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sila ketiga mewajibkan adanya rasa persatuan di antara sesama manusia. Sila keempat menunjukkan adanya musyawarah antara sesama manusia di dalam menanggulangi setiap masalah. Sila kelima mengajarkan bahwa manusia itu diperlakukan secara adil. Mereka tidak hanya dirawat selagi mampu bekerja saja akan tetapi juga di saat mereka tidak mampu bekerja karena risiko sosial yang dialaminya seperti; sakit, cacat, hari tua, dan lainlain. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara itu haruslah diupayakan mendapatkan pekerjaan, dan dengan pekerjaan itu mereka dapat hidup layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, perlunya jaminan sosial tersebut sudah tersirat pula di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksudkan dalam rangka
55
Departemen Tenaga Kerja, Jaminan Spsial Modul 17 Diklat Hubin Syaker, Pusta Pendidikan dan Latihan Pegawai Depnaker, Jakarta, 1995, hlm. 6.
78
memberikan kehidupan layak yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Pelaksanaan jaminan sosial itu berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Hal itu tergantung dari tradisi, sejarah, perkembangan sosial ekonomi, kemauan politik, dan falsafah dari negara tersebut. Biasanya jaminan sosial itu dapat pula berbentuk: a. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja. b. Jaminan pendidikan dan latihan. c. Tunjangan isteri dan anak. d. Pakaian kerja dan makan di tempat kerja. e. Koperasi karyawan. Karena jaminan sosial merupakan setidak-tidaknya sebagian kebutuhan dasar manusia maka jaminan sosial sudah diterima sebagian besar negara di dunia, walaupun dengan tingkat yang berbeda-beda. Sampai sekarang tidak kurang dari 145 negara sudah mempunyai program jaminan sosial walaupun tingkatnya tidak sama.56 Meskipun terdapat berbagai sistem jaminan sosial, tetapi secara umum dapat dikelompokkan menjadi: 1. Tanggung jawab pengusaha sepenuhnya (employers liability) yaitu meletakkan beban tanggung jawab untuk menanggung pekerjaan yang terkena risiko kerja sepenuhnya pada pengusaha. Bentuk secara tradisional adalah terjadinya hubungan kesepakatan antara majikan 56
Yunus Shamad, Op.Cit., hlm. 313.
79
terhadap buruh-buruhnya (tuan terhadap hambanya). Pengusaha diwajibkan untuk memberi kesejahteraan kepada tenaga kerjanya, keluarganya, atau kedua-duanya. Bentuk jaminan dalam hubungan kerja, seperti: kompensasi kecelakaan kerja dan sakit akibat kerja, pesangon untuk PHK, dan jaminan hari tua. Pembiayaan sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha dan tergantung pada peristiwa yang terjadi. 2. Asuransi sosial (social insurance) yaitu dengan mengusahakan terciptanya jaminan sosial bagi masyarakat (tenaga kerja) dalam usaha perlindungan keuangan bagi tenaga kerja dan keluarganya yang terpaksa terputus sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat risiko sosial. Jadi yang digunakan adalah metode risiko hubungan kerja dengan kemanfaatan atau jaminan didasarkan atas masa kerja atau kepesertaan dalam sistem ini. Jaminan tersebut bisa berupa santunan tunai, baik dalam jumlah uang tertentu atau didasarkan persentase penghasilan berupa pelayanan (medis) atau kemanfaatan lain (obatobatan). Pembiayaannya berasal dari iuran tenaga kerja, pengusaha, atau keduanya, yang dikelola oleh badan publik. Ciri-ciri asuransi sosial adalah: a. Kepesertaan bersifat wajib. b. Dibiayai dari iuran pekerja, pengusaha dan pemerintah. c. Jaminan dibayarkan dari iuran tersebut. d. Hak pekerja didasarkan atas iurannya. e. Tidak dikeluarkan adanya test kebutuhan.
80
Program asuransi sosial ini meliputi; tabungan hari tua, kematian (meninggal
dunia),
cacat,
sakit/hamiI/bersalin,
kecelakaan
kerja,
pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Mengingat adanya sifat-sifat tertentu, maka penyelenggaraan asuransi sosial hanya dapat dilakukan oleh badan-badan pemerintah atau yang ditunjuk/disahkan oleh pemerintah. 3. Bantuan sosial (social assistance) yaitu memberi bantuan gratis kepada anggota masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Jadi yang digunakan adalah metode test kebutuhan (means test) kepada penduduk atau warga negara yang mengalami peristiwa tertentu yang dianggap membutuhkan bantuan tetapi tidak memiliki sumber-sumber untuk memenuhinya, misalnya; bantuan untuk korban bencana alam, santunan panti asuhan orang lanjut usia, anak yatim piatu, penderita cacat, dan pengangguran, yang semuanya tidak memiliki sumber penghasilan yang cukup. Pembiayaannya berasal dari anggaran belanja negara dan dilaksanakan oleh Departemen Sosial. Ciri-ciri bantuan sosial adalah: a. Merupakan tanggung jawab negara atau seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah. b. Tidak ada iuran dari yang bersangkutan. c. Kesejahteraan warga negara di hari tua. d. Timbulnya jaminan didasarkan atas kebutuhan atau penerimaan jaminan sosial sesuai kebutuhan. Program bantuan sosial meliputi; bantuan orang jompo, bantuan anak
81
yatim piatu, bantuan korban bencana alam, bantuan penderita cacat jasmani dan rohani, bantuan terhadap fakir miskin. Lembaga/badan yang
menyelenggarakan
bantuan
sosial
diselenggarakan
oleh
pemerintah yaitu Departemen Sosial ataupun pihak masyarakat dalam bentuk badan/lembaga yang dibentuk atas dasar sukarela masyarakat. 4. Pelayanan sosial (public service) yaitu memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan, terutama bidang kesehatan. Ciri-ciri pelayanan sosial adalah: a. Pembiayaan ditanggung pemerintah. b. Pelayanan diberikan cuma-cuma. c. Tidak memerlukan test kebutuhan. Program pelayanan sosial ini meliputi; keluarga berencana, rehabilitasi sosial, pelayanan kesehatan, BKIA. Lembaga/badan yang menyelenggarakannya adalah pemerintah dan masyarakat, yang bukan berbentuk perusahaan/badan usaha. Beberapa contoh pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah misalnya; Puskesmas, proyek dana sehat, pusat rehabilitasi sosial. Pelayanan sosial yang diselenggarakan masyarakat misalnya; rumah sakit swasta, klinik-klinik swasta. Dana program pelayanan sosial bersumber dari APBN dan atau APBD serta sumbangan sukarela dari perusahaan-perusahaan, dana masyarakat, bantuan luar negeri.
82
5. Tabungan hari tua (provident fund) yaitu menggunakan tabungan, melalui iuran tenaga kerja dan pengusaha setiap bulan yang dananya dikelola oleh badan publik. luran tersebut dimasukkan dalam rekening tenaga kerja yang saldonya (termasuk bunga) hanya dapat dibayarkan sekaligus dalam hal atau peristiwa tertentu, dan biasanya bila tenaga kerja mencapai umur hari tua, menderita cacat tetap-total atau meninggal dunia sebelum hari tua. Pengaturan pelaksanaan program jaminan sosial di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan pembidangannya yaitu: 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai Negeri Sipil melalui TASPEN. 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1966 tentang Pensiun ABRI melalui ASABRI. 3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.57 Dengan demikian sistem asuransi sosial di Indonesia dapat dibagi atas 3 bagian yaitu: 1. Untuk pegawai negeri sipil, meliputi program tabungan dan asuransi, pemeliharaan kesehatan, dan pensiun. 2. Untuk TNI/PORLI meliputi program asuransi, pemeliharaan kesehatan, dan pensiun. 3. Untuk karyawan perusahaan milik swasta, milik negara, dan milik daerah, meliputi program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Apabila 57
Departemen Tenaga Kerja, Op.Cit., hlm. 10.
83
perusahaan belum menjadi peserta karena ketentuan tahap kepesertaan belum mewajibkannya atau karena tidak mematuhi ketentuan kepesertaan, maka pengusaha tetap bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi kecelakaan kerja yang diderita oleh karyawannya. Dalam pelaksanaan pembangunan tenaga kerja mempunyai peranan dan arti yang penting sebagai suatu unsur penunjang keberhasilan pembangunan nasional, sehingga sudah sewajarnya apabila mereka diberikan perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan terhadap kesejahteraannya. Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan tersebut adalah melalui program Jamsostek yang pelaksanaannya melalui sistem asuransi sosial. Adapun tujuan dari Jamsostek, dapat dilihat pada konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 khususnya huruf b clan c, yaitu dengan semakin meningkatnya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di seluruh tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usaha dapat mengakibatkan
semakin
tinggi
risiko
yang
mengancam
keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja. Kemudian perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja melalui program Jamsostek juga mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga kerja.
84
Berkenaan dengan pengertian maupun tujuan tersebut di atas, maka ruang lingkup program Jamsostek ini telah diatur dalam Pasal 6 Undangundang Nomor 3 Tahun 1992 sebagai berikut: Ruang lingkup program Jamsostek meliputi: 1) Jaminan kecelakaan kerja, 2) Jaminan kematian, 3) Jaminan hari tua, dan 4) Jaminan pemeliharaan kesehatan. Pengembangan program Jamsostek sebagaimana disebutkan di atas lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Sebagaimana tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tersebut, antara lain dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/Men/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran, Kepesertaan, Pembayaran Santunan dan Pembayaran luran Jamsostek. Dalam ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 dijelaskan bahwa pengusaha, tenaga kerja wajib ikut serta dalam program Jamsostek. Sedangkan pada Pasal 20 undang-undang tersebut mengatur tentang: 1. luran jaminan kecelakaan kerja, iuran jaminan kematian dan iuran pemeliharaan kesehatan ditanggung oleh perusahaan. 2. luran jaminan hari tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja.
85
Dalam
hal
mengatur
hubungan
perburuhan,
terutama
untuk
menegakkan keadilan serta untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja, maka pemerintah telah memberlakukan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992, Pasal 6 ayat (1) undang-undang ini memuat tentang: 1) jaminan kecelakaan kerja, 2) jaminan kematian, 3) jaminan hari tua, dan 4) jaminan pemeliharaan kesehatan. Keempat hal tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut: 1. Jaminan kecelakaan kerja dapat diberikan akibat: a. Kecelakaan kerja yang ditempat atau di lingkungan tempat kerja. b. Kecelakaan kerja yang terjadi di dalam perjalanan pergi atau pulang dari tempat kerja, sepanjang melalui perjalan yang wajar dan biasa dilakukan setiap hari. c. Kecelakaan kerja di tempat lain dalam rangka tugas atau secara langsung bersangkut-paut dengan penugasan dan tidak ada unsur kepentingannya pribadi. d. Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja. 2. Jaminan kematian dapat diberikan bila pekerja meninggal dunia. Bagi pekerja yang meninggal dunia maka isteri atau suami pekerja berhak menerima uang tunjangan untuk penguburan sebesar 100% dari gajinya. Oleh karenanya jaminan kematian dalam untuk upaya meringankan beban keluarga baik di dalam bentuk biaya penguburan maupun santunan berupa uang.
86
3. Jaminan hari tua. Ketentuan
Pasal
14
Undang-undang
Nomor
3
Tahun
1993
menyatakan bahwa jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus atau berkala atau sebagian kepada pekerja. Apabila pekerja yang bersangkutan meninggal dunia maka jaminan hari tua dapat diberikan atau dibayarkan kepada janda atau duda atau juga anak yatim atau piatu yang ditinggalkan orang tua meninggal tersebut. Pembayaran jaminan hari tua ini dapat diberikan sebelum pekerja mencapai usia 55 tahun. 4. Jaminan pemeliharaan kesehatan Pekerja, suami atau isteri dan anak-anaknya berhak memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan apabila menderita sakit, berupa: a. Menerima bantuan pemeriksaan, pengobatan di poliklinik yang ditunjuk. b. Bantuan diberikan untuk selama 6 bulan terhitung sejak hari pertama pekerja yang bersangkutan sakit. c. Kalau sudah 6 bulan ternyata yang bersangkutan masih sakit, dapat dipertimbangkan untuk memperoleh perpanjangan jangka waktu pemberian bantuan dengan selama-lamanya 6 bulan sekali. d. Memperoleh tunjangan sakit dari dana jaminan sosial apabila: 1)
Jika seorang pekerja tidak mampu bekerja selama 2 hari karena sakit yang bersangkutan berhak menerima tunjangan sakit.
87
2)
Pekerja berhak menerima tunjangan sakit itu dengan syaratsyarat yang telah ditentukan.
3)
Tunjangan sakit ini dberikan untuk selama 6 bulan sebesar 75% dari upahnya.
Selain uraian di atas, yang tidak kalah pentingnya adalah penegakan hukum bagi para pekerja/buruh dan pengusaha yang merupakan faktor penting
dalam
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
tentang
ketenagakerjaan dalam rangka perlindungan atas hak dan kewajiban para pekerja dan pengusaha dalam menuju ketenangan berusaha. Pelaksanaan penegakan hukum dilakukan oleh pegawai teknis pengawasan ketenagakerjaan, sedangkan pelaksanaan pembinaan hubungan industrial dan syarat kerja dilakukan oleh pegawai teknis hubungan industrial dan syarat kerja. Struktur dan tata kerja organisasi departemen tenaga kerja sendiri telah disempurnakan yaitu Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 45/M/1992. Pimpinan Departemen Tenaga Kerja telah menyatakan penyempurnaan struktur dan tata kerja organisasi departemen, semula organisasi berbentuk "Holding Type" sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1000/Men/1975 disempurnakan menjadi "Integrated Type" sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 199/Men/1983. Penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan nilai guna dan daya guna serta menjamin adanya satuan komando dan kecepatan gerak
88
bagi seluruh aparat dari tingkat pusat sampai pada tingkat daerah.58 Dengan demikian, sebagai akibat penyempurnaan struktur organisasi tersebut, di tingkat kantor wilayah maupun tingkat kantor departemen terdapat pegawai teknis pengawas dan pegawai teknis hubungan industrial dan syarat kerja.
58
Departemen Tenaga Kerja, Sistem Pengawasan Ketenaga Kerjaan Modul-modul Diklat Pengawasan, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depnaker, Jakarta, 1995, hlm. 3.
89
BAB IV PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA BAGI PERUSAHAAN SWASTA A. Program dan Susunan Organisasi Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan zaman, serta peluang pasar di dalam dan di luar negeri menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada umumnya serta peranan dan kedudukan tenaga kerja dalam pelaksanaan pembangunan nasional khususnya, baik sebagai pelaku pembangunan maupun sabagai tujuan pembangunan. Sebagai pelaku pembangunan, tenaga kerja berperan meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, tenaga kerja harus diberdayakan supaya mereka memiliki nilai lebih dalam arti lebih mampu, lebih terampil, dan lebih berkualitas, agar dapat berdaya guna secara optimal dalam pembangunan nasional dan mampu bersaing dalam era global. Kemampuan, keterampilan, dan keahlian tenaga kerja perlu terusmenerus ditingkatkan melalui perencanaan dan program ketenagakerjaan
90
termasuk pelatihan, pemagangan, dan pelayanan penempatan tenaga kerja. Sebagai tujuan pembangunan, tenaga kerja perlu memperoleh perlindungan dalam semua aspek, termasuk perlindungan untuk memperoleh pekerjaan di dalam dan di luar negeri, perlindungan hak-hak dasar pekerja, perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan upah dan jaminan sosial sehingga menjamin rasa aman, tenteram, terpenuhinya keadilan, serta terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, selaras, serasi, dan seimbang. Perkembangan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja sebelum, selama, dan sesudah masa kerja, tetapi juga dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup perencanaan tenaga kerja, pengembangan sumber daya manusia, perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial, peningkatan perlindungan tenaga kerja, serta peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program Jamsostek yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluar-gaan, dan gotong royong. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu, pengusaha memikul tanggung jawab utama, dan secara
91
moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Di samping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program Jamsostek demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat terhadap tenaga kerja yang kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua. Pada hakikatnya program Jamsostek ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jamsostek mempunyai aspek, antara lain: 1. Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya. 2. Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Adapun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 meliputi:
92
1. Jaminan Kecelakaan kerja (JKK). Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang dihadapi
oleh
tenaga
kerja
yang
melakukan
pekerjaan.
Untuk
menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan kecelakaan kerja. Mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacatnya maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadi cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi. 2. Jaminan Kematian (JK). Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecetakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. 3. Jaminan Hari Tua (JHT). Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang penghasilan-
93
nya rendah. Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tersebut. 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK). Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya
diupayakan penanggulangan
kemampuan masyarakat melalui
program Jamsostek. Di samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan
(promotif),
pencegahan
(preventif),
penyembuhan
(kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan tercapainya derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal dan potensi serta produktif bagi pembangunan. Jaminan pemeliharaan kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Agar kepesertaan wajib dari Jamsostek dipatuhi oleh segenap pengusaha dan tenaga kerja, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 dan peraturan pemerintah ini memberikan sanksi yang tujuannya untuk mendidik yang bersangkutan dalam memenuhi kewajibannya. Sanksi ter-
94
sebut merupakan upaya terakhir, setelah upaya-upaya lain dilakukan, dalam rangka menegakkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Untuk menjamin pelaksanaan program Jamsostek sesuai maksud dan tujuannya, maka penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan perseroan dengan mengutamakan pelayanan kepada peserta. PT. Jamsostek juga mempunyai visi dan misi. Visi Jamsostek adalah memberikan pelayanan dan manfaat prima bagi seluruh pekerja melalui jaringan pelayanan yang paling luas dan terpadu di Indonesia, dan misi Jamsostek adalah menyelenggarakan program Jamsostek yang memberikan perlindungan dasar bagi tenaga kerja dan keluarganya dalam menghadapi risiko sosial ekonomi pada saat berkurang atau hilangnya penghasilan karena kecelakaan kerja, berhenti bekerja, atau meninggal dunia, dan memenuhi kebutuhan pelayanan medis tenaga kerja dan keluarganya. Kemudian untuk lebih jelasnya sebagai contoh dapat dilihat susunan organisasi PT. Jamsostek di dalam struktur organisasi kantor wilayah di bawah ini.
95
Bagan 1 Struktur Organisasi Kantor Wilayah PT. Jamsostek Kantor Wilayah
Internal Auditor
Bagian Pengendalian Operasional
Marketing Support
Health Consultant
Bagian Teknologi Informasi
Computer & Network Technician
Bagian Keuangan
Bagian SDM & Umum
Verifikator Akuntansi
Pengolahan SDM
Pembukuan Pelaporan
Data & Soft ware Technician
Kasir
Umum
Berdasarkan bagan di atas dapat diuraikan atau dijelaskan satu persatu; internal auditor yaitu merencanakan, mengatur dan mengawasi pelaksanaan operasional sekantor wilayah sesuai dengan sistem dan prosedur untuk memastikan terselenggaranya fungsi pengawasan. Kepala bagian pengendalian operasional mempunyai fungsi utama yaitu
mengorganisir
dan
melakukan
pengendalian
pemasaran
dan
pelayanan kantor cabang, baik memastikan terselenggaranya sistem dan prosedur pelayanan yang efektif di kantor cabang. Health and Work Accident Consultant mempunyai fungsi utama yaitu melakukan pengendalian pelaksanaan pelayanan program jaminan kesehatan kerja (JKK) dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) pada kantor
96
cabang di wilayahnya, melakukan penilaian mutu pelayanan (quality assurance) dan pelaksanaan pelayanan kesehatan bersama kantor cabang dan membantu kantor cabang dalam melakukan verifikasi klaim program JKK yang bermasalah. Sedangkan pelaporan mempunyai fungsi utama adalah mengkonsolidasikan serta menganalisa data laporan kepesertaan, iuran jaminan dan program dari kantor cabang untuk mendukung terselenggaranya sistem dan prosedur operasional yang efektif. Marketing support mempunyai fungsi utama mengimplementasikan kebijakan pemasaran dan melaksanakan fungsi kehumasan untuk kelancaran pemasaran kantor cabang. Kepala bagian teknologi informasi fungsinya memonitor penggunaan hardware, software dan jaringan untuk memastikan tetap beroperasinya sistem komputer di kantor wilayah dan kantor cabang dan memonitor penggunaan aplikasi untuk memastikan bahwa aplikasi telah diimplementasikan dengan benar. Computer and Network Technician, fungsinya melakukan pemantauan dan tindakan teknis terhadap penggunaan sarana dan prasarana teknologoi informasi untuk menjamin kehandalan dan keamanan sistem dan jaringan komputer seluruh cabang, dan melaksanakan kebijaksanaan teknologi informasi bidang perangkat keras yang ditetapkan kepala bagian teknologi informasi di kantor wilayah dan kantor cabang. Data and Sotfware Technician, fungsi utamanya melakukan pemantauan dan tindakan terhadap penggunaan aplikasi komputer untuk
97
menjamin kehandalan dan keamanan sistem informasi data base di kantor wilayah dan kantor cabang, dan melaksanakan kebijakan teknologi informasi bidang perangkat lunak dan data base yang ditetapkan kepala bagian teknologi informasi di kantor wilayah dan kantor cabang. Kepala bagian keuangan yang fungsinya mengorganisir fungsi keuangan anggaran, perpajakan, pengelolaan kas dan pembukuan di kantor wilayah untuk memastikan berjalannya sistem keuangan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan fungsi dari verifikasi akuntansi adalah menyusun laporan keuangan gabungan wilayah dan menyajikan buku harian dan rekap per bank. Kasir melaksanakan pembayaran dan penerimaan uang tunai secara benar dan akurat. Kepala bagian sumber daya manusia dan umum mempunyai fungsi utama yaitu mengorganisir kegiatan kepegawaian dan pengadaan sarana/ prasarana kantor untuk memberikan dukungan secara optimal terhadap kelancaran operasional kantor wilayah. Staf pengelolaan SDM fungsinya adalah melaksanakan administrasi kepegawaian untuk tertib administrasi. Sedangkan umum, fungsinya adalah memonitor pelaksanaan pengadaan barang, memelihara sarana dan prasarana, melaksanakan fungsi kerumahtanggaan serta menyelenggarakan administrasi surat menyurat dan inventaris untuk menunjang kelancaran kegiatan kantor wilayah. Selanjutnya sebagai contoh dapat dipaparkan PT. Jamsostek Kantor Cabang Medan, dapat dilihat susunan struktur organisasi Kantor Cabang Medan dalam bagan di bawah ini.
98
Bagan 2 Struktur Organisasi Kantor Cabang PT. Jamsostek Kantor Cabang
Bidang Teknologi Informasi
Bidang Pelayanan
Bidang Pemasaran
Account officer
Customer service officer
Data administrator
PAP Verifikator
Technical support
Petugas Amalgamasi
Data operator
Bidang Personalia dan Umum
Bidang Keuangan
Verifikasi akuntansi Kasir
AO Khusus
Administrasi ADM Administrasi Umum
Pembukuan
Liaison
Arsiparis
Officer Provider service officer
Berdasarkan susunan struktur organisasi Kantor Cabang PT. Jamsostek Medan dapat dijelaskan satu persatu berikut ini. Kepala kantor cabang mempunyai fungsi untuk mengarahkan, merencanakan dan mengendalikan pemasaran,
kegiatan
pelayan
kantor
peserta,
cabang
administrasi
yang
meliputi
kepesertaan
kegiatan dan
iuran
akuntasi, SDM & Umum untuk memastikan tercapainya target kantor cabang dipimpinnya dan menciptakan kinerja sehat/sangat sehat dari kantor cabang. Kepala
bidang
pemasaran,
fungsinya
mengorganisir
fungsi
pemasaran di cabang dan melakukan implementasi kebijakan pemasaran
99
untuk memastikan tercapainya target kepesertaan dan iuran. Sedangkan account officer melakukan perluasan dan pembinaan kepesertaan guna tercapainya
target
dan
tertib
administrasi
kepesertaan.
Petugas
administrasi pemasaran mempunyai fungsi melaksanakan administrasi kegiatan bidang pemasaran untuk kelancaran kegiatan bidang pemasaran. Begitu juga dengan account officer khusus yang fungsinya melakukan pendaftaran dan pembinaan kepesertaan program khusus guna tercapainya kepesertaan, iuran dan peningkatan pelayanan program khusus. Kemudian liaison officer adalah melakukan perluasan dan pembinaan kepesertaan. Kepala bidang pelayanan, fungsinya mengorganisir fungsi pengawasan di cabang untuk memastikan kelancaran pelayanan jaminan. Customer services officers memberikan pelayanan meliputi pelayanan kepesertaan, iuran dan pengajuan jaminan serta memberikan informasi dan menangani keluhan peserta. Fungsi verifikator adalah melakukan verifikasi, meneliti kasus, dan menetapkan klaim jaminan pemeliharaan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Selanjutnya fungsi petugas amalgamasi adalah mengendalikan administrasi penggabungan saldo jaminan hari tua (amalgamasi). Provider service officer fungsinya adalah melakukan perhitungan
biaya
perkapita,
pembinaan
dan
koordinasi
dengan
pengusaha kena pajak dalam memberikan pelayanan jaminan pemeliharaan kesehatan. Kepala
bidang
teknologi
informasi
yang
fungsinya
memonitor
penggunaan hardware, softrware dan jaringan untuk mengoptimalkan dan
100
menjamin tetap beroperasi perangkat komputer di kantor cabang. Mengelola data base dan aplikasinya untuk memberikan pelayanan kepada peserta. Data administrator melakukan pemeliharaan dan mengatur kewenangan sistem dan data base. Fungsi technical support adalah memberikan dukungan, bantuan teknik dan terpeliharanya sistem komputerisasi. Kemudian fungsi data operator adalah untuk melakukan pencetakan sertifikat dan daftar tertanggung. Kepala bidang keuangan fungsinya adalah mengorganisir fungsi keuangan; anggaran, perpajakan, pengelolaan kas dan pembukuan di kantor cabang untuk memastikan berjalannya sistem keuangan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Verifikator akuntansi fungsinya menyusun laporan keuangan kantor cabang. Fungsi kasir yaitu melaksanakan pembayaran dan penerimaan uang tunai secara benar dan akurat. Fungsi pembukuan untuk menyajikan buku harian dan rekapitulasi. Anggaran dan pajak fungsinya memonitor penggunaan anggaran dan melaksanakan administrasi perpajakan. Akuntansi fungsinya juga melaksanakan pencatatan semua transaksi dengan tertib dan benar untuk penerbitan neraca percobaan. Kepala bidang SDM dan umum fungsinya mengorganisir kegiatan administrasi dan pembinaan kepegawaian, pengadaan pemeliharaan sarana/ prasarana serta kerumahtanggaan untuk memberikan dukungan optimal terhadap kelancaran operasional kantor cabang. Administrasi SDM fungsinya melaksanakan administrasi kepegawaian secara benar untuk terciptanya
101
tertib adminitrasi SDM. Administrasi umum fungsinya melaksanakan administrasi pengadaan kebutuhan kantor, memelihara sarana dan prasarana, melaksanakan kerumahtanggaan serta menyelenggarakan administrasi surat menyurat dan inventaris untuk menunjang kelancaran kegiatan kantor cabang. Kemudian arsiparis fungsinya menciptakan kearsipan yang baik dan benar. Sehubungan dengan uraian susunan struktur organisasi di tingkat kantor wilayah dan kantor cabang di atas, maka untuk selanjutnya perlu dilihat jumlah perusahaan peserta aktif dan pembahasannya pada Kantor Wilayah I Medan, yang dapat digambarkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1 Penambahan Kepesertaan Program Lengkap Kanwil I PT. Jamsostek Peserta Aktif NO I
II
III
KANTOR CABANG Prop. D.I.Aceh a. DI. Aceh b. Lhokseumawe c. Langsa d. Meulaboh Total I Prop. Sumut a. Medan b. Belawan c. Tj. Morawa d. P. Siantar e. Kisaran f. Sibolga Total II Prop. Sumbar a. Kacab Sumbar b. Kacab B. Tinggi c. Kacab Solok Total III Grand Total
Prsh
TK
Potensi Prsh
TK
Prsh
Penambahan Prsh/TK TK TK Awal Susulan
Jumlah Total Total TK
Prsh
TK
185 267 201 135 788
7.154 19.033 34.836 14.815 75.838
26 40 40 110 216
1.880 3.800 3.338 4.450 13.468
9 26 5 2 42
78 1.255 115 27 1.475
832 696 1.465 1.041 4.034
910 1.951 1.580 1.068 5.509
194 293 206 137 830
8.064 20.964 36.416 15.883 81.347
1.553 504 302 386 329 224 3.298
96.223 81.779 78.036 59.964 46.695 10.258 372.855
984 40 43 42 50 33 1.192
190.008 3.000 538 5.094 9.991 3.044 211.675
77 21 20 6 48 12 140
2.519 857 753 89 48 465 4.731
10.952 9.680 5.186 1.887 5.947 1.906 35.558
13.471 10.537 5.939 1.976 5.995 2.371 40.289
1.630 525 322 392 333 236 3.438
109.694 92.316 83.975 61.940 52.690 12.529 377.586
458 253 214 925 5.011
33.162 33.162 23.873 90.200 538.853
115 25 32 202 1.610
8.111 5.000 4.900 18.011 243.154
37 5 4 46 228
696 126 247 1.069 7.275
3.033 3.982 1.241 8.166 47.758
3.729 4.018 1.488 9.235 55.033
495 258 218 971 5.239
36.891 37.180 25.364 99.435 558.368
Sumber: Data primer dari Kantor Wilayah I P.T. Jamsostek Medan
Dengan demikian, berdasarkan uraian tabel di atas, jelas bahwa jumlah perusahaan dan tenaga kerja untuk lokasi penelitian di Kota Medan yang terdaftar dan aktif sebagai peserta Jamsotek adalah 1.630 (seribu enam ratus tiga puluh) buah perusahaan, dan 109.694 (seratus sembilan ribu
102
enam ratus sembilan puluh empat) tenaga kerja. Sedangkan untuk jumlah perusahaan yang masih dalam pengawasan norma kerja terhadap perusahaan dan tenaga kerja untuk Kota Medan, baik perusahaan besar, sedang, menegah dan kecil, maupun peserta aktif dan tidak aktif, dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini: Tabel 2 Pengawasan Norma Kerja Terhadap Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja di Kota Medan NO
Jenis Data
1
Pertanian, kehutanan, perikanan dan peternakan
2
Pertambangan dan penggalian
3
Industri pengolahan
4
Listrik, gas dan air
5
Bangunan
6
Perdagangan besar, eceran serta rumah makan dan hotel
7
Jumlah Perusahaan 147
Tenaga Kerja L P 6.777 8.122
Jumlah 14.899
2
33
5
38
1.532
32.005
13.319
45.324
13
2.649
2.304
3.559
654
1.255
2.304
3.559
1.443
17.264
10.849
28.113
Angkutan, penggudangan dan komunikasi
358
88.629
1.107
9.736
8
Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan dan tanah, serta jasa perusahaan
376
8.248
10.334
18.582
9
Jasa kemasyarakatan sosial dan perorangan Jumlah
391
5.354
4.746
10.130
4.916
82.214
50.888
133.102
Untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terbaiknya, PT. Jamsostek memberikan program-program yang bermanfaat bagi tenaga kerja. Setiap program pembayaran iurannya bervariasi demikian pula manfaatnya. Program-program tersebut adalah sebagai berikut:
103
1. Jaminan Kecelakaan Kerja. Pembayaran jaminan berupa a. Biaya pengangkutan b. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan c. Biaya rehabilitasi d. Santunan berupa uang yang meliputi: 1)
Santunan sementara tidak mampu bekerja.
2)
Santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya.
3)
Santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental.
4)
Santunan kematian.
2. Jaminan Kematian. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas jaminan kematian meliputi: a. Biaya pemakaman b. Santunan berupa uang 3. Jaminan Hari Tua Dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena: a. Telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau b. Cacad total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu.
104
c. Terkena PHK dengan masa kepesertaan 5 tahun 6 bulan. 4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan. Jaminan ini meliputi: a. Rawat jalan tingkat pertama, b. Rawat jalan tingkat lanjutan, c. Rawat inap, d. Pemeriksaan kehamilan dan ertolongan persalinan, e. Penunjang diagnostic, f. Pelayanan Khusus, g. Pelayanan gawat darurat. Sebagai antisipasi dan sikap proaktif di dalam menghadapi era globalisasi dan perubahan situasi ekonomi yang tidak stabil, PT. Jamsostek senantiasa meningkatkan kualitas sumber daya manusianya untuk dapat bersaing di abad milinium ini. Dalam upaya meningkatkan
efisiensi
dan produktivitas,
serta
pelayanan kepada peserta yang cepat dan terpadu PT. Jamsostek memberikan kesempatan kepada para pejabat profesional dan pegawai usia muda untuk selalu meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan dan latihan/upgrading, serta pendidikan formal maupun non formal baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tersedianya tenaga muda yang trampil dan berpendidikan tinggi yang merupakan
kekuatan
perusahaan
dan
105
diharapkan
dapat
menjawab
tantangan yang dihadapi perusahaan di masa datang. Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan mengakibatkan banyaknya dari kalangan swasta melakukan PHK masal. Pengangguran meningkat sebanyak 45 juta orang, demikian pula gelombang unjuk rasa, masih menjadi masalah bersama. PT. Jamsostek, adalah satu-satunya badan usaha milik negara yang
menyelenggarakan program
memberikan
perlindungan
kepada
Jamsostek. Di samping perannya seluruh
pekerja,
juga
diwajibkan
memberikan hasil yang dapat memberikan nilai tambah dan mendapatkan laba. Dalam mempertimbangkan kondisi tersebut di atas dan untuk meningkatkan kinerjanya, PT. Jamsostek mengupayakan untuk terus mensosialisasikan program-program serta bantuan kepada tenaga kerja yang terkena PHK. Hal ini merupakan komitmen PT. Jamsostek yang wajib memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan keluarganya. Agar program Jamsostek memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi para pekerja, arah pengembangan perusahaan yaitu memberikan prioritas yang berkaitan dengan pembenahan manajemen seperti struktur organisasi, sistem manajemen dan persiapan fisik yang akan mendukung keberhasilan. Langkah yang digunakan dalam abad milenium ini, di samping secara agresif menangkap peluang pada pasar yang telah ada dan yang baru, serta juga tetap melakukan pemeliharaan atas pasar yang telah ada
106
yang sejalan dengan misi dan tujuan PT. Jamsostek. PT. Jamsostek mendapatkan mandat untuk menyelenggarakan program Jamsostek. Sebagai badan penyelenggara yang ditugaskan, PT. Jamsostek bekerja keras untuk memberikan perlindungan yang dibutuhkan oleh tenaga kerja, khususnya dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti sakit, kematian, berhenti bekerja, dan kecelakaan kerja. PT. Jamsostek memberikan program perlindungan tenaga kerja dalam menghadapi situasi yang tidak diduga dan PT. Jamsostek telah dengan konsisten melaksanakan misi memberikan perlindungan kepada tenaga kerja. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, PT. Jamsostek memainkan peranan yang penting dalam perlindungannya kepada tenaga kerja dengan memberikan bantuan atau kompensasi kepada tenaga kerja yang terkena PHK. Selain kepada peserta beberapa pemberian hak-hak jaminan sosial sebagaimana ditetapkan, PT. Jamsostek juga secara bertanggung jawab menyelenggarakan program langsung berupa pengelolaan dana dan peningkatan kesejahteraan pekerja. Manajemen PT. Jamsostek senantiasa melaksanakan programprogram yang sangat menyentuh. Pegawai selalu bekerja dengan misi yang memberikan pelayanan yang lebih baik kepada tenaga kerja. Dalam rangka perlindungan dana investasinya, tim manajemn menciptakan strategi dan perencanaan
investasi
yang
memberikan
benefit
juga
membantu
memberikan lapangan pekerjaan kepada tenaga kerja pencari kerja.
107
B. Pelaksanaan Jamsostek pada Perusahaan Swasta Pelaksanaan program Jamsostek sebenarnya sudah dikenal di lingkungan masyarakat khususnya masyarakat tenaga kerja, mulai dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja, yang dikenal dengan istilah Program ASTEK dan program ini terdiri dari Program Tabungan Hari Tua yang dikaitkan dengan Asuransi Kematian dan Program Asuransi Kecelakaan Kerja. Setelah dikeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 terdapat penambahan perlindungan kepada tenaga kerja dengan adanya penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) serta di samping penggantian nama program menjadi Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Sistem program Jamsostek tersebut, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja beserta keluarganya dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia. Dalam arti bahwa undang-undang ini memberikan kepastian jaminan bersifat dasar kepada tenaga kerja apabila upah terganggu karena kecelakaan kerja, perawatan pada waktu sakit baik dalam hubungan kerja
108
maupun di luar hubungan kerja, jaminan pada usia tua ataupun saat meninggal dunia, sehingga akan terdapat rasa aman karena adanya jaminan sosial yang akan diterima pada saat dibutuhkan. Pelaksanaan Jamsostek berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 sebahagian besar telah dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 3 Pelaksanaan Jamsostek Pada Perusahaan Swasta NO URAIAN 1 Dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku
F 70
% 70,00
2
Tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku
5
5,00
3
Tidak sepenuhnya dilaksanakan
20
20,00
4
Pelayanan yang baik Jumlah
5 100
5,00 100,00
Apabila diperhatikan tabel di atas, maka dapat dipahami dengan jelas bahwa Jamsostek telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu 70 orang responden (70,00%), dan yang menyatakan tidak sepenuhnya Jamsostek dilaksanakan 20 orang (20,00%), sedangkan tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pelayanan yang baik masing-masing 5 orang (5,00%). Sehubungan dengan uraian di atas, para responden pelengkap menyebutkan dari hasil wawancara (dilakukan di Kota Medan) bahwa pada
109
umumnya Jamsostek sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun demikian, masih banyak ditemukan di lapangan bahwa pihak perusahaan masih mendaftarkan sebahagian tenaga kerja atau upah kepada badan penyelenggara. Di samping itu juga masih banyak program Jamsostek belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat masih ada perusahaan yang belum mendaftarkan tenaga kerjanya ke dalam program Jamsostek. Kemudian juga masih lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas yang ditetapkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, pelaksanaan program Jamsostek belum sepenuhnya berjalan. Sebab, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 bahwa perusahaan yang diwajibkan menjadi peserta Jamsostek adalah Badan Usaha Milik Swasta, Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Modal Asing ataupun Perusahaan Modal Dalam Negeri, Koperasi dan Yayasan yang memperkerjakan minimal 10 (sepuluh) orang tenaga kerja dan atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan. Sedangkan untuk pengaturan tenaga kerja harian lepas, musiman dan borongan diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-196/MEN/1999. Kemudian, sistem yang digunakan oleh badan penyelenggara Jamsostek dilakukan dengan sistem sosial asuransi terhadap pekerja dan keluarganya. Sedangkan prosedur pendaftaran adalah pengusaha mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerja ke badan penyelenggara dan
110
mengisi formulir yang telah disediakan oleh badan penyelenggara (PT. Jamsostek setempat). Kemudian pembayarannya juga dilakukan oleh pengusaha untuk membayarkan iuran ke badan penyelenggara melalui PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan dibayarkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, dan bila terlambat satu hari dalam pendaftaran iuran akan didenda 2% dari jumlah dana yang diserahkan dan begitu seterusnya. Sedangkan jumlah iuran dihitung sendiri oleh perusahaan berdasarkan jumlah tenaga kerja, upah dan status keluarga. Selanjutnya, apabila perusahaan melakukan penyelenggara terhadap Jamsostek, maka tata cara yang dilakukan terhadap tuntutan jaminan, dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 4 Tata Cara Yang Dilakukan Terhadap Tuntutan Jaminan NO 1 2 3 4
URAIAN Mengajukan tuntutan ke Depnaker Mengajukan tuntutan ke Perusahaan Melakukan unjuk rasa Mengajukan ke PT. Jamsostek Jumlah
F 30 50 5 15 100
n = 100 % 30,00 50,00 5,00 15,00 100,00
Dari tabel di atas, dapat diperoleh suatu gambaran bahwa para pekerja lebih dominan mengajukan tuntutan haknya ke perusahaan di mana mereka bekerja sebanyak 50 orang responden (50,00%). Kemudian ada juga sebagian mereka mengajukan tuntutan ke Depnaker setempat sebanyak 30 orang responden (30,00%). Sedangkan tuntutan yang diajukan ke PT. Jamsostek hanya 15 orang (15,00%), dan ada yang menyatakan
111
unjuk rasa yaitu 5 orang responden (5,00%). Namun tuntutan tersebut, sering dipenuhi dengan sejumlah iuran jaminan yang mereka terima. Kemudian, terhadap kesalahan pada perusahaan, sebenarnya dapat dikenakan sanksi hukum, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,-. Dalam hal pengulangan tindak pidana untuk kedua kalinya atau lebih dipidana kurungan selamalamanya 8 bulan (Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992). Atau apabila PT. Jamsostek melakukan kelalaian pembayaran klaim, maka sesuai dengan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 pihak PT. Jamsostek dikenakan sanksi sebesar 1% dari jumlah jaminan untuk setiap hari keterlambatan yang dibayarkan langsung kepada tenaga kerja. Jaminan yang pernah ditanggung dan diberikan oleh perusahaan terhadap tenaga kerjanya adalah berupa uang dan berupa pelayanan. Yang berupa uang yaitu jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT). Sedangkan yang berupa pelayanan yaitu jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK). Maka selama ini dilaksanakan sendiri oleh perusahaan. Sistem yang digunakan oleh badan pengawasan ketenagakerjaan dan terhadap Jamsostek dapat digambarkan dalam tabel berikut ini.
112
Tabel 5 Badan Pengawasan Ketenagakerjaan n = 100 NO URAIAN F % 1 Ada 40 40,00 2 Tidak 32 32,00 3 Kadang-kadang 28 28,00 Jumlah 100 100,00 Berdasarkan uraian tabel di atas, bahwa ada dilakukan pengawasan oleh badan pengawasan ketenagakerjaan 40 orang responden (40,00%), kemudian responden yang mengatakan tidak ada pengawasan 32 orang (32,00%), dan yang mengatakan kadang-kadang 28 orang (28,00%). Pengawasan tersebut dilakukan secara bervariasi yaitu dengan melakukan kunjungan berkala, sosialisasi dan penyuluhan lainnya, seperti pembinaan dan penyuluhan perusahaan, melalui nota peringatan, dan dengan BAP (pro justita), serta pendataan dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 1992. Pada prinsipnya asuransi diadakan karena adanya kebutuhan akan peralihan risiko dari pihak yang satu (tertanggung) kepada pihak yang lain (penanggung). Peralihan risiko tadi merupakan suatu kebutuhan pribadi tertanggung sehingga tertanggung membayar premi kepada penanggung. Asuransi umumnya timbul karena kegiatan perdagangan, oleh karena itu asuransi lahir disebabkan perdagangan, oleh karena itu asuransi lahir disebabkan tujuan ekonomi yaitu bahwa seseorang yang menghendaki supaya risiko yang mungkin akan dideritanya dialihkan kepada orang lain.
113
Lain halnya dengan asuransi sosial, justru timbul karena suatu kebutuhan masyarakat akan terselenggaranya suatu jaminan sosial (social security) sehingga sifatnya wajib berdasarkan peraturan perundangundangan. Ini juga berlaku terhadap Jamsostek yang sifatnya wajib dan diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992. Dengan
demikian,
tujuan
dari
asuransi sosial
adalah
untuk
menyediakan suatu bentuk jaminan tertentu kepada anggota masyarakat yang menderita kerugian dalam memperjuangkan hidupnya maupun keluarganya. Apabila dikaitkan dengan pengertian Jamsostek, tentu mengandung pengertian yang pada hakikatnya sama karena Jamsostek merupakan suatu perlindungan bagi tenaga kerja berupa uang dan pembayaran akibat peristiwa yang dialami oleh tenaga kerja, seperti; kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Selain itu, kepada keluarga tenaga kerja juga diberikan peluang untuk ikut serta sebagai peserta dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK). KUHD tidak mengatur secara tegas tentang jangka waktu berlakunya asuransi, tetapi asuransi biasanya diadakan untuk suatu jangka waktu tertentu, misalnya; 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun atau untuk jangka waktu yang lebih lama. Sedangkan berakhirnya kepesertaan Jamsostek adalah apabila terdapat hal-hal sebagai berikut: a. Mencapai usia 55 tahun. b. Cacat tetap dan total berdasarkan keterangan dokter.
114
c. Meninggal dunia d. Meninggalkan RI dan tidak kembali ke Indonesia. e. Pindah menjadi PNS atau TNI/Polisi.
C. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Jamsostek pada Perusahaan Swasta dan Upaya Penyelesaiannya 1. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Jamsostek pada perusahaan swasta Pelaksanaan Jamsostek di Kota Medan dapat digambarkan secara jelas dalam tabel di bawah ini, berdasarkan data dari para responden adalah sebagai berikut. Tabel 6 Hambatan-hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Jamsostek pada Perusahaan Swasta NO URAIAN 1 Tingkat kesadaran para pengusaha masih kurang dan masih banyak tunggakan iuran macet
F 33
n = 100 % 33,00
2
Tingkat kesadaran tenaga kerja masih rendah
27
27,00
3
Masih banyak pengusaha yang mempersulit tenaga kerja bila terjadi kecelakaan dan penyelesaian jaminan sering terlambat
15
15,00
4
PT. Jamsostek sering kali terlambat dalam membayar klaim
25
25,00
Jumlah
100
100,00
Dari tabel di atas, diperoleh suatu gambaran bahwa hambatan yang dianggap dominan terhadap pelaksanaan Jamsostek adalah tingkat
115
kesadaran para pengusaha masih kurang dan masih banyak tunggakan iuran yang macet, hal ini diungkapkan oleh 33 orang responden (33,00%). Kemudian tingkat kesadaran tenaga kerja masih sangat rendah, yang diungkapkan oleh 27 orang responden (27,00%). Sedangkan yang diungkapkan oleh responden bahwa PT. Jamsostek sering lalai dan lamban dalam membayar klaim terdapat 25 orang (25,00%), serta masih banyak pengusaha yang mempersulit tenaga kerja bila terjadi kecelakaan dan penyelesaian jaminan sering terlambat, dinyatakan oleh 15 orang responden (15,00%). Selanjutnya para responden pelengkap atau informan menjelaskan bahwa hambatan-hambatan lain adalah terdapatnya pihak yang menyoroti supaya program Jamsostek dilaksanakan secara otonomi daerah karena dipandang tidak sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah
sesuai
Undang-undang Nomor 32
Tahun
2004 tentang
Pemerintahan Daerah, hal ini disebabkan tidak dihayatinya bahwa pekerja Jamsostek yang memberikan perlindungan dasar kepada pekerja adalah koridor pengendaliannya berada di tangan pemerintah pusat, seperti yang dilaksanakan umumnya di berbagai negara. Kemudian masih banyak pihak yang belum mengetahui tentang arti dan manfaat program Jamsostek sehingga tidak memberikan dukungan mengenai pelaksanaan program Jamsostek yang seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab bersama untuk mensukseskannya. Tingkat kesadaran para pengusaha belum sepenuhnya melaksana-
116
kan program Jamsostek, sehingga masih ditemukan: a. Perusahaan mendaftarkan sebahagian tenaga kerja, mendaftarkan sebahagian upah dan mendaftarkan sebahagian program. b. Masih banyak perusahaan yang belum menjadi peserta terutama pada sektor pendidikan, masih kecil. c. Pengusaha berdalil tidak mendaftarkan karyawan yang berstatus musiman, borongan dan harian lepas karena tingkat mutasi (keluar masuk) cukup tinggi serta alasan lain didaftarkan menjadi peserta setelah masa percobaan selesai. d. Karyawan/tenaga kerja masih kurang mendorong pengusaha untuk masuk program Jamsostek. e. Pemahaman akan program Jamsostek belum sepenuhnya membudaya di kalangan masyarakat maupun pengusaha dan dianggap beban tambahan. f. Terdapat tunggakan iuran macet antara lain diakibatkan perusahaan kesulitan keuangan atau produksi tidak berjalan. g. Upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran program Jamsostek sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 belum berlaku sebagaimana yang diamanatkan oleh ketentuan yang berlaku. h. Masih terdapat perusahaan-perusahaan yang belum memberikan Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) kepada tenaga kerja, sehingga sering timbul keraguan peserta mengenai kepesertaannya. i. Penyelesaian jaminan sering terlambat, disebabkan antara lain karena:
117
1) Kekurangan data pendukung yang tidak dilengkapi perusahaan walaupun telah diberitahu melalui surat maupun telepon atau kunjungan langsung ke perusahaan. 2) Pengajuan klaim tidak secara langsung disampaikan ke
PT.
Jamsostek (Persero) dan kadang-kadang terlambat diterima. 3) Petugas administrasi untuk urusan Jamsostek di perusahaan peserta masih ada yang belum mengerti tentang tata cara pengajuan klaim terutama karena petugas sering berganti, bahkan perusahaan kecil tidak mempunyai petugas administrasi. Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) masih sering dikeluhkan disebabkan: a. Tenaga kerja/keluarga yang mendapat kartu pemeliharaan kesehatan (KPK) beranggapan bahwa dengan adanya kartu KPK berarti bebas berobat ke mana saja. b. Kunjungan
secara
langsung
ke
rumah
sakit untuk mendapatkan
pengobatan yang maksimal, padahal prosedur pelayanan JPK sudah diatur secara berurutan/berjenjang. c. Dengan sistem yang ada, karyawan sering menyalahgunakan izin istirahat dari dokter sehingga mengganggu tugas-tugas di perusahaan. d. Masih ada anggapan pihak pengusaha bahwa program JPK membebani perusahaan sehingga sering memberikan alasan telah melaksanakan program kesehatan lebih baik dari program JPK Jamsostek. Dengan demikian, hambatan tersebut dapat dikatakan karena kurangnya
118
kesadaran hukum, baik pengusaha maupun tenaga kerjanya sendiri. Kemudian perusahaan tidak transparan dalam pelaporan upah tenaga kerja yang didaftarkan ke PT. Jamsostek, dalam arti tidak sesuai gaji yang diterima oleh tenaga kerja dengan yang didaftarkan ke PT. Jamsostek. Masih terdapat beberapa perusahaan tidak mendaftarkan karyawannya secara keseluruhan. Kemudian masih ada juga beberapa perusahaan wajib daftar menjadi peserta Jamsostek tetapi tidak didaftarkan, sehingga peraturan Jamsostek tidak sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini dapat dibuktikan dari hambatan yang terjadi yaitu: a. Penegakan hukum belum berjalan. b. Sosialisasi program Jamsostek terhadap pengusaha masih kurang. c. Tingkat manfaat jaminan sosial belum sesuai dengan yang diharapkan atau belum memadai. d. Tidak ada tenaga khusus yang menangani masalah administrasi Jamsostek di perusahaan. e. Urusan administrasi terlalu berbelit-belit. 2. Hambatan-hambatan dari segi sanksi hukum Jamsostek pada hakikatnya adalah program yang bersifat wajib secara nasional sehingga termasuk hukum publik yang diatur melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 beserta peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, undang-undang yang mengatur program Jamsostek juga menyebutkan adanya suatu aturan mengenai sanksi pidana yang merupakan tindak pidana pelanggaran bagi yang tidak mengikutinya.
119
Dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 jelas disebutkan bahwa pengusaha yang tidak mematuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam perundang-undangan Jamsostek diancam dengan hukuman selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50 juta (lima puluh juta rupiah). Dalam hal pengulangan tindak pidana kedua kalinya atau lebih setelah putusan akhir telah mempunyai kekuatan hukum akan dikenakan pidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. Selanjutnya, dalam Pasal 47 point (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 menyebutkan bahwa pengusaha yang telah diberikan peringatan tetapi tidak melaksanakan kewajibannya akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Pembayaran
iuran
oleh
pengusaha
kepada
PT.
Jamsostek
(Persero) dilakukan setiap bulan tanggal 15 bulan berikutnya dari bulan iuran yang bersangkutan. Bagi pengusaha yang terlambat membayar iuran akan dikenakan denda sebesar 2% untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar (Pasal 47 point (b) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993). Sanksi berupa denda ini diperlukan agar diperoleh keadilan di antara seluruh peserta karena keterlambatan pembayaran iuran mengakibatkan kendala dalam pengembangan dana. Akibatnya dapat mengurangi hasil investasi yang akan dialokasikan untuk meningkatkan bunga jaminan hari tua. Hasil jawaban perusahaan yang dijadikan responden ternyata
120
menunjukkan keinginan pengusaha untuk membayar iuran sebelum lewat tanggal jatuh temponya. Ini disebabkan adanya denda bagi pengusaha yang terlambat membayar iuran mengakibatkan beban pengusaha menjadi bertambah. Sanksi hukuman bukan saja ditujukan kepada pengusaha tetapi juga kepada badan penyelenggara PT. Jamsostek (Persero). Pasal 26 Undangundang Nomor 3 Tahun 1992 menyatakan bahwa badan penyelenggara wajib membayar jaminan dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan. Apabila PT. Jamsostek (Persero) membayar jaminan lebih dari 1 (satu) bulan setelah bukti pendukung lengkap, maka akan dikenakan ganti rugi sebesar 1% dari jumlah jaminan setiap hari keterlambatan kepada yan g berhak (Pasal 47 point (c) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993). Tindakan tegas terhadap pengusaha yang melanggar peraturan perundang-undangan Jamsostek belum pernah dilaksanakan Depnaker Kota Medan bagi perusahaan yang belum mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program Jamsostek. 3. Upaya-upaya penyelesaiannya Upaya-upaya penyelesaiannya dapat diungkapkan beberapa hal dalam tabel berikut ini.
121
Tabel 7 Upaya Penyelesaian Hambatan Yang Terjadi NO 1 2 3 4
URAIAN Melakukan koordinasi secara menyeluruh Menerapkan sistem paket Melakukan kerja sama antar instansi terkait Melakukan pendidikan dan penyuluhan Jamsostek Jumlah
F 24 16 30 30 100
n = 100 % 24,00 16,00 30,00 30,00 100,00
Berdasarkan gambaran tabel di atas, bahwa upaya penyelesaian hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Jamsostek pada perusahaan swasta (khususnya di Kota Medan), dilakukan dalam bentuk kerja sama antar instansi terkait dan melakukan pendidikan serta penyuluhan Jamsostek, masing masing dinyatakan oleh 30 orang responden (30,00%). kemudian yang menyatakan dengan melakukan koordinasi secara menyeluruh 24 orang responden (24,00%), dan menerapkan sistem paket hanya 16 orang responden (16,00%). Kemudian hasil penelitian yang diungkapkan oleh responden pelengkap atau informan adalah telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan dan kepesertaan program Jamsostek di Medan sebagai berikut: a. Meningkatkan koordinasi fungsional dengan instansi/lembaga terkait dalam rangka sosialisasi program Jamsostek yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada pengusaha dan pekerja agar lebih mengerti hak dan kewajibannya.
122
b. Secara khusus telah dilakukan kerjasama antara Kantor Wilayah I PT. Jamsostek (Persero). Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Propinsi Sumatera Utara dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam rangka pembinaan dan penyuluhan hukum. c. Berperan aktif dan tanggap untuk menyelesaikan tuntutan pekerja terhadap program Jamsostek baik yang disampaikan melalui Depnaker, PT. Jamsostek (Persero) selaku badan penyelenggara dan tuntutan terhadap perusahaan. d. Memberikan pelayanan terbaik dengan sistem jemput bola dalam hal pembayaran jaminan yaitu membayarkan jaminan langsung ke alamat tenaga kerja. e. Mengadakan penyuluhan langsung melalui petugas lapangan kepada perusahaan-perusahaan baik bagi yang sudah maupun belum memenuhi ketentuan program Jamsostek. f. Mengadakan
publikasi
program
Jamsostek
melalui
media
cetak,
elektronik, poster dan brosur. Dengan demikian, kiranya dapat diupayakan peningkatan pelayanan kepada para peserta tenaga kerja, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga bagi tenaga kerja benar-benar merasa menemukan kehidupan yang layak dengan penghasilan yang memadai dalam memenuhi hidup dan kehidupan ini.
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. Departemen Tenaga Kerja, Jaminan Spsial Modul 17 Diklat Hubin Syaker, Pusta Pendidikan dan Latihan Pegawai Depnaker, Jakarta, 1995. Departemen Tenaga Kerja, Sistem Pengawasan Ketenaga Kerjaan Modulmodul Diklat Pengawasan, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depnaker, Jakarta, 1995. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Seksi Hukum Dagang FH UGM, Yogyakarta, 1990. ------------, Seri Hukum Dagang Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Seksi Hukum Dagang FH. UGM, Yogyakarta, 1980. H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1, Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1999. ------------,
Pengertian Pokok Tentang Hukum Pertanggungan, Djambatan, Jakarta, 1986.
Dagang,
Hukum
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1990. ------------, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1990. M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju Jakarta, 1989. Muhammad Abduh, ”Prosedure”, Jurnal Ilmiah Hukum Dinamika, No. 11 Tahun ke VII, Medan, 1999. ------------, Profil hukum Administrasi Negara Indonesia (HANI) Dikaitkan dengan Undangundang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN), FH. USU, Medan, 1988. Murti Sumarni dan John Soeprihato, Pengantar Bisnis (Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan), Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 1993. M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994. Nurmalawaty, “Asuransi Islam di Indonesia” Majalah Hukum. Vol. 5 No 1
124
Edisi Pebruari, Fakultas Hukum USU, Medan, 2000. R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986. ------------, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1985. R. Soerjatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. Sukanto Reksohadiprojo, et.al., Kebijaksanaan Perusahaan (Business Policy) Konsep Dasar dan studi Kasus, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta, 1990. Saiful Anwar, Sendi-sendi Hubungan Pekerja Dengan Pengusaha, Fakultas hukum USU, Medan, 1994. Yunus Shamad, Hubungan Industrial Di Indonesia, Bina Sumber Daya Manusia, Jakarta, 1995. Zainal Askin, et.al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
125
Lampiran 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila ilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruh-nya, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual; b. bahwa dengan semakin meningkatnya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di seluruh tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usaha dapat mengakibatkan semakin tinggi risiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja; c. bahwa perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja melalui program jaminan sosial tenaga kerja, selain memberi-kan ketenangan kerja juga mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga kerja; d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3112) belum mengatur secara lengkap jaminan sosial tenaga kerja serta tidak sesuai lagi dengan kebutuhan; e. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja;
126
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4); 3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuanketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918); 5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3201); Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. 2.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa
127
atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 3.
Pengusaha adalah: a. orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
4.
Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara.
5.
Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.
6.
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
7.
Cacad adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
8.
Sakit adalah setiap gangguan kesehatan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan.
9.
Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
yang
memerlukan
10. Pegawai pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri. 11
Badan penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
128
12
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenaga-kerjaan.
Pasal 2 Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan perusahaan, apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan tenaga kerja. BAB II PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Pasal 3 (1)
Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksana-kan dengan mekanisme asuransi.
(2)
Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
(3)
Persyaratan dan tata cara penyelenggaraaan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 4
(1)
Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
(2)
Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 5
Kebijaksanan dan pengawasan umum program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
129
BAB III PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Bagian Pertama Ruang Lingkup
Pasal 6 (1)
Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undangundang ini meliputi: a. Jaminan Kecelakaan Kerja; b. Jaminan Kematian; c. Jaminan Hari Tua; d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
(2)
Pengembangan program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 7
(1)
Jaminan sosial tenaga kerja sebagiamana dimaksud dalam Pasal 6 diperuntukkan bagi tenaga kerja.
(2)
Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf d berlaku pula untuk keluarga tenaga kerja. Bagian Kedua Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 8
(1)
Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima Jaminan Kecelakaan Kerja.
(2)
Termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakaan Kerja ialah: a. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak; b. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan; c. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. Pasal 9
130
Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) meliputi: a. biaya pengangkutan; b. biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan; c. biaya rehabilitasi; d. santunan berupa uang yang meliputi: 1) santunan sementara tidak mampu bekerja; 2) santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya; 3) santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; 4) santunan kematian. Pasal 10 (1)
Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggaraan dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam.
(2)
Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 24 jam setelah tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan oleh dokter yang merawat-nya dinyatakan sembuh, cacad atau meninggal dunia.
(3)
Pengusaha wajib mengurus hak tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara sampai memperoleh hak-haknya.
(4)
Tata cara dan bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 11
Daftar jenis penyakit yang timbul karena hubungan kerja serta perubahannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Bagian Ketiga Jaminan Kematian Pasal 12 (1)
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas Jaminan Kematian.
(2)
Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. biaya pemakaman;
131
b. santunan berupa uang. Pasal 13 Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d butir 4 dan Pasal 12 ialah: a. janda atau duda; b. anak; c. orang tua; d. cucu; e. kakek atau nenek; f. saudara kandung; g. mertua. Bagian Keempat Jaminan Hari Tua Pasal 14 (1)
Jaminan Hari Tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena: a. lah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau b. catecad total tetap setelah ditetapkan oleh dokter.
(2)
Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu. Pasal 15
Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, setelah mencapai masa kepesertaan tertentu, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pasal 16 (1) (2)
Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan meliputi: a. rawat jalan tingkat pertama; b. rawat jalan tingkat lanjutan;
132
c. d. e. f. g.
rawat inap; pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; penunjang diagnostik; pelayanan khusus; pelayanan gawat darurat. BAB IV KEPESERTAAN Pasal 17
Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Pasal 18 (1)
Pengusaha wajib memiliki daftar tenaga kerja beserta keluarganya, daftar upah beserta perubahan-perubahan, dan daftar kecelakaan kerja di perusahaan atau bagian perusahaan yang berdiri sendiri.
(2)
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha wajib menyampaikan data ketenagakerjaan dan data perusahaan yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara.
(3)
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan ada tenaga kerja yang tidak terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja, maka pengusaha wajib memberikan hak-hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
(4)
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran jaminan kepada tenaga kerja, maka pengusaha wajib memenuhi kekurangan jaminan tersebut.
(5)
Apabila pengusaha dalam menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terbukti tidak benar, sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran jaminan, maka pengusaha wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Badan Penyelenggara.
(6)
Bentuk daftar tenaga kerja, daftar upah, daftar kecelakaan kerja yang dimuat dalam buku, dan tata cara penyampaian data ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
133
Pasal 19 (1)
Pentahapan kepesertaan program jaminan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
sosial
tenaga
kerja
(2)
Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pengusaha wajib memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Undangundang ini.
(3)
Tata cara pelaksanaan hak tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. BAB V IURAN, BESARNYA JAMINAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN Pasal 20
(1)
Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, luran Jaminan Kematian, dan Iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ditanggung oleh pengusaha.
(2)
Iuran Jaminan Hari Tua ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 21
Besarnya iuran, tata cara, syarat pembayaran, besarnya denda, dan bentuk iuran program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 (1)
Pengusaha wajib membayar iuran dan melakukan pemungutan iuran yang menjadi kewajiban tenaga kerja melalui pemotongan upah tenaga kerja serta membayarkan kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
Dalam hal keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 23
Besarnya dan tata cara pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua,dan tata cara pelayanan Jaminan Pemeliharaan
134
Kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 (1)
Perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam hal perhitungan besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menghitung kembali dan menetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Menteri menetapkan kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan yang belum tercantum dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang ini.
(4)
Perbedaan pendapat dan perhitungan besarnya jumlah jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) penyelesaiannya ditetapkan oleh Menteri. BAB VI BADAN PENYELENGGGARA Pasal 25
(1)
Penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara.
(2)
Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3)
Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya mengutamakan pelayanan kepada peserta dalam rangka peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya. Pasal 26
Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), wajib membayar jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan. Pasal 27
135
Pengendalian terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan dalam pengawasan mengikutsertakan unsur pengusaha dan unsur tenaga kerja, dalam wadah yang menjalankan fungsi pegawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 28 Penempatan investasi dan pengelolaan dana program jaminan sosial tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 29 (1)
Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selamalamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,(lima puluh juta rupiah).
(2)
Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan.
(3)
Tindak pidana pelanggaran.
sebagaimana
dimaksud dalam
ayat
(1) adalah
Pasal 30 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII
136
PENYIDIKAN Pasal 31 (1)
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi ketenagakerjaan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang: a. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; b. melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; d. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti dan melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja; e. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian sehubungan dengan tindak pidana di bidang jaminan sosial tenaga kerja. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 32
Kelebihan pembayaran jaminan yang telah diterima oleh yang berhak tidak dapat diminta kembali. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 (1)
Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undangundang ini belum dikeluarkan, maka semua peraturan perundang-
137
undangan yang mengatur program asuransi sosial tenaga kerja, dan penyeleng-garaannya yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, telah berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undangundang ini. (2)
Selama peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undangundang ini belum dikeluarkan, maka perusahaan yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya tetap melaksanakannya.
(3) Tenaga kerja yang telah menjadi tertanggung atau peserta dalam program asuransi sosial tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya dengan berlakunya Undang-undang ini tidak boleh dirugikan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 35 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR: 14
138
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA UMUM Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelak-sanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Peranserta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitias nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu pengusaha memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Di samping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan kerja, sakit, meninggal dunia, dan
139
hari tua. Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain: a. memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya; b. merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga (dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undangundang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Akan tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang ini diprioritaskan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah, maka kepada tenaga kerja di luar hubungan kerja atau dengan kata lain tidak bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Adapun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-undang ini meliputi: 1. Jaminan Kecelakaan Kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacad karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan Kecelakaan Kerja. Mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacadnya, maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya cacad mental tetap yang meng-akibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bisa bekerja lagi. 2.
Jaminan Kematian. Tenaga Kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja
140
akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. 3.
Jaminan Hari Tua. Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tertentu.
4.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaikbaiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan tercapainya derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Mengingat Jaminan sosial tenaga kerja merupakan program lintas sektoral yang saling mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya, maka program jaminan sosial tenaga kerja dilaksanakan secara bertahap dan saling menunjang dengan usahausaha pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja. Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksanaannya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
PASAL DEMI PASAL
141
Pasal 1 Angka 1 sampai dengan Angka 12 Cukup jelas Pasal 2 Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan perusahaan adalah yayasan, badanbadan, lembaga-lembaga ilmiah serta badan usaha lainnya dengan nama apapun yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan tenaga kerja. Pasal 3 Ayat (1) Dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja ini dapat digunakan mekanisme asuransi untuk menjamin solvabilitas dan kecukupan dana guna memenuhi hak-hak peserta dan kewajiban lain dari Badan Penyelenggara dengan tidak mening-galkan watak sosialnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja adalah orang yang bekerja pada setiap bentuk usaha (perusahaan ) atau perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga harian lepas, borongan, dan kontrak. Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan hak dari tenaga kerja, maka ketentuan ini menegaskan bahwa setiap perusahaan atau perorangan wajib menyelenggarakannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Lihat Penjelasan Umum
142
Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur jaminan sosial tenaga kerja lainnya yang dapat diberikan kepada tenaga kerja dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri, beserta keluarganya antara lain program jaminan pesangon sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. Pasal 7 Ayat (1) Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, setiap saat menghadapi risiko sosial berupa peristiwa yang dapat mengakibatkan ber-kurangnya atau hilangnya penghasilan. Oleh karena itu, perlu ada-nya peningkatan perlindungan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang bertujuan untuk memberikan ketenangan bekerja dan menjamin kesejahteraan tenaga kerja berserta keluarganya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Magang merupakan tenaga kerja yang secara nyata belum penuh menjadi tenaga kerja atau karyawan suatu perusahaan, tetapi telah melakukan pekerjaan di perusahaan. Demikian pula murid atau siswa yang melakukan pekerjaan dalam rangka kerja praktek, berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja apabila tertimpa kecelakaan kerja. Huruf b Pemborong yang bukan pengusaha dianggap bekerja pada pengusaha yang memborongkan pekerjaan. Huruf c Narapidana yang dipekerjakan pada perusahaan perlu diberi perlindungan berupa jaminan Kecelakaan Kerja, jika tertimpa kecelakaan kerja.
143
Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Santunan berupa uang diberikan kepada tenaga kerja atau keluarganya. Pembayaran santunan ini pada prinsipnya diberikan secara berkala dengan maksud agar tenaga kerja atau keluarganya dapat memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya secara terus menerus. Selain pembayaran santunan secara berkala dapat juga diberikan sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong ke arah kegiatan yang bersifat produktif dalam upaya meningkatkan kesejahtera-annya. Pasal 10 Ayat (1) Di samping pengusaha wajib melaporkan kejadian kecelakaan, maka keluarga, Serikat Pekerja, kawan-kawan sekerja serta masyarakat dibenarkan memberitahukan kejadian kecelakaan tersebut kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah isteri atau suami, keturunan sedarah dari tenaga kerja menurut garis
144
lurus ke bawah, dan garis lurus ke atas, dihitung sampai derajat kedua termasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus ke atas dan ke bawah tidak ada, diambil garis ke samping dan mertua. Bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai keluarga, hak atas Jaminan Kematian dibayarkan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari tenaga kerja yang bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Dalam hal magang atau murid, mereka yang memborong pekerjaan, dan narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas Jaminan Kematian. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan biaya pemakaman antara lain pembelian tanah, peti mayat, kain kafan , transportasi, dan lain-lain yang bersangkutan dengan tata cara pemakaman sesuai dengan adat-istiadat, agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kondisi daerah masing-masing tenaga kerja yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, maka hak atas Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala, diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu. Apabila tenaga kerja meninggal dunia sebelum hak Jaminan Hari Tua timbul, maka.hak atas Jaminan Hari Tua tersebut diberikan kepada janda atau duda, atau anak yatim piatu secara sekaligus atau berkala. Yang dimaksud dengan yatim piatu adalah anak yatim atau anak piatu, yang ada pada saat janda atau duda meninggal dunia masih menjadi tanggungan janda atau duda tersebut.
145
Pasal 15 Yang dimaksud dengan masa kepesertaan tertentu adalah jangka waktu tenaga kerja telah mencapai masa kepesertaan sekurangkurangnya 5 (lima) tahun. Pembayaran Jaminan Hari Tua berdasarkan masa kepesertaan tertentu dapat diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Pasal 16 Ayat (1) Upaya pemeliharaan kesehatan meliputi aspek-aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara tidak terpisah-pisah. Namun demikian khusus untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja lebih ditekankan pada aspek kuratif dan rehabilitatif tanpa mengabaikan dua aspek lain. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Pelaksana Pelayanan kesehatan tingkat pertama. Huruf b Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjutan adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat jalan tingkat pertama. Huruf c Yang dimaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan rumah sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau rumah sakit Pelaksana Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan rawat inap: 1) rumah sakit pemerintah pusat dan daerah; 2) rumah sakit swasta yang ditunjuk. Huruf d Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan. Huruf e Yang dimaksud dengan penunjang diagnostic adalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan
146
diagnosa yang dipandang perlu oleh pelaksana pengobatan lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostic, rumah sakit atau di fasilitas khusus untuk itu, meliputi: 1) pemeriksaan laboratorium; 2) pemeriksaan radiologi; 3) pemeriksaan penunjang diagnosa lain. Huruf f Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula, yang meliputi: 1) kaca mata; 2) prothese gigi; 3) alat bantu dengar; 4) prothese anggota gerak; 5) prothese mata. Huruf g Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis segera, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Daftar keluarga merupakan keterangan penting sebagai bahan untuk menetapkan siapa yang berhak atas jaminan atau santunan. Hal ini untuk mencegah agar hak tersebut tidak jatuh kepada orang lain yang bukan keluarganya. Daftar upah diperlukan untuk menentukan besarnya iuran dan jaminan atau santunan yang menjadi hak tenaga kerja. Daftar kecelakaan kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat keparahan dan frekuensi kecelakaan kerja di perusahaan yang gunanya untuk tindakan preventif dan pelaksanaan pembayaran jaminan atau santunan. Ayat (2) Cukup jelas
147
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Sesuai dengan tahap perkembangan pembangunan nasional yang berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusahaan pada khususnya dalam membiayai program jaminan sosial tenaga kerja maupun kemampuan administrasi, dipandang perlu diadakan pentahapan kepesertaan. Ayat (2) Pada prinsipnya semua tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya pentahapan kepesertaan dan tidak diberlakukan-nya lagi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kecelakaan Tahun 1947 Nomor 33 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia, maka terdapat tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan kerja. Sesuai dengan prinsip risiko pekerjaan (risque profesionnel) dimana risiko ditimpa kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan merupakan tanggung jawab pengusaha, maka pengusaha yang belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap bertanggung jawab atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerjanya. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Kecelakaan kerja pada dasarnya merupakan suatu risiko yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Oleh karena itu, pembiayaan-program ini sepenuhnya ditanggung oleh
148
pengusaha, sedangkan jaminan sosial tenaga kerja lebih menekankan kepada aspek kemanusiaan, di mana pengusaha perlu memperhatikan nasib tenaga kerja serta keluarganya. Oleh karena itu, beban Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dan Jaminan Kematian ditang-gung oleh pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal pengusaha yang telah mempunyai itikad baik untuk membayar iuran dan mengumpulkan iuran tenaga kerjanya, tetapi ternyata terlambat membayarkan kepada Badan Penyelenggara dari waktu yang ditentukan, dapat diwajibkan membayar tambahan presentase pembayaran yang diperhitungkan dengan keterlam-batannya.
Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Dalam rangka memberikan pelayanan, acara cepat kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan, maka Badan Penyelenggara perlu segera mengadakan perhitungan, dan secepatnya membayarkan jaminan dimaksud kepada yang berhak. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal ketetapan Menteri belum ada, maka untuk mempercepat dan memperlancar pemberian Jaminan Kecelakaan Kerja kepada tenaga kerja, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan menetapkan sementara kecelakaan kerja, dan besarnya jaminan setelah memperoleh
149
pertimbangan dokter penasihat, sedangkan penetapan akhir oleh Menteri. Yang dimaksud dengan dokter penasihat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri untuk keperluan pelaksanaan Undang-undang ini. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Bentuk Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud adalah Perusahaan Perseroan (PERSERO). Mengingat luasnya program dan besarnya jumlah kepesertaan maka program jaminan sosial tenaga kerja bila dipandang perlu dapat diselenggarakan oleh lebih dari satu Badan Usaha Milik Negara. Ayat (3) Mengingat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja melaksanakan program peningkatan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja yang dananya berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja, maka Badan Usaha Milik Negara yang diserahi tugas menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, sudah sewajarnya mengutamakan pelayanan kepada peserta di samping melaksanakan prinsip solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas. Dengan demikian Badan Penyelenggara dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik dan dapat membiayai kebutuhannya sendiri sebagai perusahaan, sehingga tidak akan membebani anggaran belanja Negara. Pasal 26 Yang dimaksud dengan tidak lebih dari 1 (satu) bulan adalah setelah dipenuhinya syarat-syarat teknis dan administratif oleh pengusaha dan atau tenaga kerja. Pasal 27 Pemberian peranan kepada unsur tenaga kerja, unsur pengusaha bersama-sama dengan unsur pemerintah dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja akan meningkatkan rasa ikut memiliki, dan rasa ikut bertanggung jawab dalam rangka upaya
150
menyukseskan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja, mengingat sebagian besar dari kekayaan yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara berasal dari iuran pengusaha dan tenaga kerja. Pasal 28 Upaya pengamanan kekayaan/asset Badan Penyelenggara dan investasi-nya harus memenuhi syarat aman, memberikan hasil, memenuhi kewajiban (likuid), dan diversifikasi dalam bentuk yang menguntungkan serta mencegah risiko yang tidak diinginkan. Mengingat program jaminan sosial tenaga kerja menyangkut kepentingan tenaga kerja yang sebagian besar mereka yang berpenghasilan rendah, maka upaya pengamanan kekayaan baik investasi, pengelolaan maupun penyimpanan uang harus terjamin. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas
Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 Kelebihan pembayaran jaminan disengaja ataupun tidak kepada yang berhak akibat kekeliruan penetapan perhitungan, oleh Badan Penyeleng-gara atau Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan tidak dapat diminta kembali mengingat keadaan sosial ekonomi tenaga kerja atau keluarganya. Pasal 33 Ayat (1)
151
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur program asuransi sosial tenaga kerja adalah semua peraturan perundang-undangan yang mengatur Asuransi Kecelakaan Kerja, Tabungan Hari Tua yang dikaitkan dengan Asuransi Kematian dan jaminan sosial tenaga kerja lainnya yang selama ini telah dilaksanakan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dengan berlakunya Undang-undang ini perusahaan yang telah mempertanggungkan tenaga kerjanya pada program jaminan sosial tenaga kerja yang lebih baik atau lebih tinggi, maka tenaga kerjanya tidak boleh dirugikan. Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR : 3468
152
Lampiran 2
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, diperlukan adanya ketentuan yang mengatur penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
BAB I PENGERTIAN Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1.
Badan Penyelenggara adalah badan hukum yang bidang usahanya menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja.
153
2.
Peserta adalah pengusaha dan tenaga kerja yang ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
3.
Upah sebulan adalah upah yang sebenarnya diterima oleh tenaga kerja selama satu bulan yang terakhir dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jika upah dibayarkan secara harian, maka upah sebulan sama dengan upah sehari dikalikan 30 (tiga puluh); b. Jika upah dibayarkan upah dibayarkan secara borongan atau satuan maka upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir; c. Jika pekerjaan tergantung dari keadaan cuaca yang upahnya didasarkan pada upah borongan, maka upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
4.
Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan adalah orang atau Badan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara untuk memberikan pelayanan kesehatan.
5.
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan. BAB II KEPESERTAAN Bagian Pertama Persyaratan Kepesertaan Pasal 2
(1)
Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, terdiri dari: a. Jaminan berupa uang yang meliputi: 1) Jaminan Kecelakaan Kerja; 2) Jaminan Kematian; 3) Jaminan Hari Tua. b. Jaminan berupa pelayanan, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
(2)
Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,(satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya
154
dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4)
Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang telah menyeleng-garakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat yang lebih baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar menurut Peraturan Pemerintah ini, tidak wajib ikut dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara.
(5)
Pengusaha dan tenaga kerja yang telah ikut program asuransi sosial tenaga kerja sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, melanjutkan kepesertaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(6)
Pengusaha yang telah ikut serta program jaminan sosial tenaga kerja tetap menjadi peserta meskipun tidak memenuhi lagi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 3
Kepesertaan tenaga kerja harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak dalam program jaminan sosial tenaga kerja diatur lebih lanjut oleh Menteri. Pasal 4 Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja pengusaha wajib memberikan Jaminan Keselamatan Kerja kepada tenaga kerjanya sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kedua Tata Cara Pendaftaran Kepesertaan Pasal 5 (1)
Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) wajib mendaftarkan perusahaan dan tenaga kerjanya sebagai peserta program jaminan sosial tenaga kerja pada Badan Penyelenggara dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Badan Penyelenggara.
(2)
Pengusaha harus menyampaikan formulir jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Badan Penyelenggara selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya formulir dari
155
Badan Penyelenggara. (3)
Bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 6 (1)
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak formulir pendaftaran dan pembayaran iuran pertama diterima, Badan Penyelenggara menerbitkan dan menyampaikan kepada pengusaha: a. Sertifikat kepesertaan untuk masing-masing perusahaan sebagai tanda kepesertaan perusahaan; b. Kartu peserta untuk masing-masing tenaga kerja sebagai tanda kepesertaan dalam program jaminan sosial tenaga kerja; c. Kartu Pemeliharaan Kesehatan untuk masing-masing tenaga kerja bagi yang mengikuti program jaminan pemeliharaan kesehatan.
(2)
Pengusaha menyampaikan kepada masing-masing tenaga kerja kartu peserta program jaminan sosial tenaga kerja dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterima dari Badan Penyelenggara.
(3)
Kartu peserta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c berlaku sampai dengan berakhirnya masa kepesertaan tenaga kerja yang bersangkutan dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
(4)
Tenaga kerja yang pindah tempat kerja dan masih menjadi peserta program jaminan sosial tanaga kerja harus memberitahukan kepesertaannya kepada pengusaha tempat bekerja yang baru dengan menunjukkan kartu peserta.
(5)
Bentuk sertifikat kepesertaan, kartu peserta dan kartu pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Badan Penyelenggara. Pasal 7
Kepesertaan perusahaan dan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja berlaku sejak pendaftaran dan pembayaran iuran pertama dilakukan oleh pengusaha. Pasal 8
156
(1)
Pengusaha wajib melaporkan kepada Badan Penyelenggara apabila terjadi perubahan mengenai: a. Alamat perusahaan; b. Kepemilikan perusahaan; c. Jenis atau bidang usaha; d. Jumlah tenaga kerja dan keluarganya; dan e. Besarnya upah setiap tenaga kerja.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadinya perubahan. Tenaga kerja peserta program jaminan sosial tenaga kerja wajib menyam-paikan daftar susunan keluarga kepada pengusaha, termasuk segala perubahannya.
(3)
(4)
Dalam hal terjadi perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf d, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak laporan diterima, Badan Penyelenggara wajib menerbitkan: a. Kartu peserta tenaga kerja baru, kecuali tenaga kerja yang bersangkutan telah mempunyai kartu peserta; b. Kartu pemeliharaan kesehatan yang baru. BAB III IURAN Bagian Peratama Besarnya Iuran Pasal 9
(1)
Besarnya iuran sosial tenaga kerja adalah sebagai berikut: a. Jaminan Kecelakaan kerja yang perincian besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, sebagai berikut: Kelompok I : 0,24% dari upah sebulan Kelompok II : 0,54% dari upah sebulan Kelompok III : 0,89% dari upah sebulan Kelompok IV : 1,27% dari upah sebulan Kelompok V : 1,74% dari upah sebulan b. Jaminan Hari Tua, sebesar 5,70 % dari upah sebulan c. Jaminan Kematian, sebesar 0,30 % dari upah sebulan d. Jaminan Pemeliharaan kesehatan, sebesar 6 % dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 % dari upah sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga.
(2)
Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan
157
Pemeli-haraan Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha. (3)
Iuran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, sebesar 3,70 % ditanggung oleh pengusaha dan sebesar 2 % ditanggung oleh tenaga kerja.
(4)
Dasar perhitungan iuran Jaminan Pemeliharaan kesehatan dari upah sebulan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu) huruf d, setinggitingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Bagian Kedua Tata Cara Pernbayaran luran Pasal 10 (1)
Penyetoran iuran yang dilakukan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara, dilakukan setiap bulan dan disetor secara lunas paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya dari bulan iuran yang bersangkutan.
(2)
luran Jaminan Hari Tua yang ditanggung tenaga Kerja diperhitungkan langsung dari upah bulanan tenaga kerja yang bersangkutan, dan penyetorannya kepada Badan Penyelenggara dilakukan oleh pengusaha.
(3)
Keterlambatan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1), dikenakan denda sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dan ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.
(4)
Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dilakukan sekaligus bersama-sama dengan peryetoran iuran bulan berikutnya.
(5)
luran program jaminan sosial tenaga kerja dan denda yang belum dibayar lunas merupakan piutang Badan Penyeleggara terhadap pengusaha yang bersangkutan. Pasal 11
(1)
Badan Penyelenggara menghitung kelebihan atau kekurangan iuran program jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan upah tenaga kerja.
(2)
Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1), Badan Penyelenggara
158
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya iuran. (3)
Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. BAB IV BESAR DAN TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAYANAN JAMINAN Bagian Pertama Jaminan Kecelakaan Kerja Pasal 12
(1)
Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja berupa penggantian biaya yang rneliputi: a. Biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja ke Rumah Sakit dan atau ke rumahnya, termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan; b. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan selama di Rumah Sakit, termasuk rawat jalan; c. Biaya rehabilitasi berupa alat bantu (orthese) dan atau alat ganti (prathese) bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi akibat kecelakaan kerja.
(2)
Selain penggantian biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja diberikan juga santunan berupa uang yang meliputi: a. Santunan sernentara tidak mampu bekerja; b. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya; c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental, dan atau d. Santunan kematian.
(3)
Besarnya Jaminan kecelakaan kerja adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini. Pasal 13
Untuk keperluan perhitungan pembayaran santunan Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1993 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
159
a.
b.
Magang atau murid atau narapidana dianggap menerima upah sebesar upah sebulan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan yang sama pada perusahaan yang bersangkutan; Perorangan yang memborong pekerjaan dianggap menerima upah sebesar upah tertinggi dan tenaga kerja pelaksana yang bekerja pada perusahaan yang memborongkan pekerjaan. Pasal 14
Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dan b dibayar terlebih dahulu oleh pengusaha.
Pasal 15 (1)
Badan Penyelenggara berdasarkan surat keterangan dari Dokter Pemeriksa dan atau Dokter Penasehat menetapkan dan membayar semua biaya dan santunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya pengajuan pembayaran Jaminan.
(2)
Biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dibayarkan kepada pengusaha.
(3)
Santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan langsung kepada tenaga kerja.
(4)
Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, pembayaran santunan kematian dibayarkan kepada yang berhak sesuai urutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pasal 16
(1)
Dalam rangka pembayaran santunan, penetapan akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Badan Penyelenggara berdasarkan surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat.
(2)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penetapan akibat kecelakaan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
(3)
Dalam hal penetapan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diterima oleh Badan Penyelenggara atau pengusaha atau tenaga kerja, maka penetapan
160
akibat kecelakaan kerja dilakukan oleh Menteri. (4)
Ketentuan lebih lanjut miengenai tata cara penyelesaian perbedaan pendapat tentang pensiapan akibat kecelakaan kerja ditetapkan oleh Menteri. Pasal 17
(1)
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai kecelakaan kerja atau bukan kecelakaan kerja, Menteri dapat menetapkan dan mewajibkan pengusaha untuk memberikan Jaminan kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian perbedaan pendapat sebagaimana dalam Pasal 12. Pasal 18
(1)
Pengusaha wajib memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan.
(2)
Pengusaha wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerjanya kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara setempat atau terdekat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap 1, dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan.
(3)
Pengusaha wajib melaporkan akibat kecelakaan kerja kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara setempat atau terdekat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap II dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah ada surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat yang menyatakan bahwa tenaga kerja tersebut: a. Sementara tidak mampu bekerja telah berakhir; b. Cacat sebagian untuk selama-lamanya; c. Cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; d. Meninggal dunia.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai rasa cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
(5)
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sekaligus merupakan pengajuan pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja kepada Badan Penyelenggara dengan melaporkan: a. Foto copy kartu peserta;
161
b. Surat keterangan Dokter Pemeriksa atau Dokter Penasehat yang menerangkan mengenai tingkat kecacatan yang diderita tenaga kerja; c. Kwitansi biaya pengobatan dan pengangkutan; d. Dokumen pendukung lain yang diperlukan oleh Badan Penyelenggara. Pasal 19 Pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (dua kali dua puluh empat jam) setelah ada hasil diagnosis dari Dokter Pemeriksa. Pasal 20 (1)
(2)
Selama tenaga kerja yarg tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, pengusaha tetap membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan, sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang dialami diterima semua pihak atau dilakukan oleh Menteri. Badan Penyelenggara rnengganti santunan sementara tidak mampu bekerja kepada pengusaha yang telah membayar upah tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1).
(3)
Dalam hal santunan yang di berikan oleh Badan Penyelenggara lebih besar dari yang dibayarkan oleh pengusaha maka selisihnya dibayarkan langsung kepada tenaga kerja.
(4)
Dalam hal penggantian santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyeleng-gara lebih kecil dan upah yang telah dibayarkan oleh pengusaha maka selisihnya tidak dimintakan pengembaliannya kepada tenaga kerja. Pasal 21
Dalam hal jumlah santunan kematian dari Jaminan kecelakaan kerja lebih kecil dari Jaminan Kematian, maka yang didapatkan keluarga dari tenaga kerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja dalam Jaminan Kematian. Bagian Kedua Jaminan Kematian Pasal 22 (1)
Jaminan Kematian dibayar sekaligus kepada Janda atau Duda, atau
162
Anak, dan meliputi: a. Santunan kematian sebesar Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah); b. Biaya pemakaman sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah). (2)
Dalam Janda atau Duda atau Anak tidak ada, maka Jaminan Kematian dibayar sekaligus kepada keturunan sedarah yang ada dari tenaga kerja, menurut garis lurus ke bawah dan garis lurus ke atas dihitung sampai derajat kedua.
(3)
Dalam hal tenaga kerja tidak mempunyai keturunan sedarah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Jaminan Kematian dibayarkan sekaligus kepada pihak yang ditunjuk oleh tenaga kerja dalam wasiatnya.
(4)
Dalam hal tidak ada wasiat, biaya pemakaman dibayarkan kepada pengusaha atau pihak lain guna pengurusan pemakaman.
(5)
Dalam hal magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal dunia bukan karena akibat kecelakaan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas Jaminan Kematian.
Pasal 23 (1)
Pihak yang berhak sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 mengajukan pembayaran Jaminan Kematian kepada Badan Penyelenggara dengan disertai bukti-bukti: a. Kartu peserta; b. Surat keterangan kematian.
(2)
Berdasarkan pengajuan pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Penyelenggara membayarkan santunan kematian dan biaya pemakaman kepada yang berhak.
Bagian Ketiga Jaminan Hari Tua Pasal 34 (1)
Besarnya Jaminan Hari Tua adalah keseluruhannya iuran yang telah disetor, beserta hasil pengembangannya.
163
(2)
Jaminan Hari Tua dibayar kepada tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau cacat total untuk selama-lamanya, dan dapat dilakukan: a. Secara sekaligus apabila jumlah seluruh Jaminan Hari Tua yang harus dibayar kurang dari Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah). b. Secara berkala apabila seluruh jumlah Jaminan Hari Tua mencapai Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau lebih, dan dilakukan paling lama 5 (lima) tahun. c. Pembayaran Jaminan Hari Tua secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dilakukan atas pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.
(3)
Pembayaran Jaminan Hari Tua secara berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dilakukan atas pilihan tenaga kerja yang bersangkutan. Pasal 25
(1)
Dalam hal tenaga kerja meninggalkan wilayah Indonesia untuk selamalamanya, pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sekaligus.
(2)
Tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara.
Pasal 26 (1) Pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sekaligus kepada Janda atau Duda dalam hal: a. Tenaga kerja yang menerima pembayaran jaminan secara berkala meninggal dunia, sebesar sisa Jaminan Hari Tua yang belum dibayarkan; b. Tenaga kerja meninggal dunia. (2)
Dalam hal tidak ada Janda atau Duda maka pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kepada Anak.
(3)
Janda atau Duda atau anak mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara. Pasal 27
(1)
Tenaga Kerja yang telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun tetapi masih tetap bekerja, dapat memilih untuk menerima pembayaran jaminan hari tuanya pada saat 55 (lima puluh lima) tahun atau pada saat
164
tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja. (2)
Dalam hal tenaga kerja memilih untuk tidak menerima pembayaran Jaminan Hari Tua pada usia 55 (lima puluh lima) tahun, maka pembayaran Jaminan Hari Tua dilakukan sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja.
(3)
Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara. Pasal 28
Tenaga kerja yang telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun dan tidak bekerja lagi mengajukan pembayaran Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara. Pasal 29 Tenaga kerja yang cacat total tetap untuk selama-lamanya sebelum mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun berhak mengajukan pembayaran, Jaminan Hari Tua kepada Badan Penyelenggara. Pasal 30 Badan Penyelenggara menetapkan besarnya Jaminan Hari Tua paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun dan memberitahukan kepada tenaga kerja yang bersangkutan. Pasal 31 Berdasarkan pengajuan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), Pasal ayat 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 dan Pasal 29 Badan Penyelenggara membayarkan secara sekaligus atau berkala sesuai dengan ketentuan Pasal 24. Pasal 32 (1)
Dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja dari perusahaan sebelum mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun dapat menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus.
(2)
Pembayaran Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibayarkan setelah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan terhitung
165
sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja. (3)
Dalam hal tenaga kerja dalam masa tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bekerja kembali, jumlah Jaminan Hari Tua yang menjadi haknya diperhitungkan dengan Jaminan Hari Tua berikutnya. Bagian Keempat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pasal 33
(1)
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan diberikan kepada kerja atau suami atau isteri yang sah dan anak sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang dari tenaga kerja.
(2)
Tenaga kerja atau suami atau isteri dan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak atas pemeliharaan kesehatan yang sekurangkurangnya sama dengan Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara. Pasal 34
(1)
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan diselenggarakan secara teratur, terpadu dan berkesinambungan.
(2)
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat menyeluruh dan meliputi pelayanan peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan kesehatan.
Pasal 35 (1)
Badan Penyelenggara menyelenggarakan Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar, yang meliputi pelayanan: a. Rawat jalan tingkat pertama; b. Rawat jalan tingkat lanjutan; c. Rawat inap; d. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; e. Penunjang diagnostik; f. Pelayanan khusus; g. Gawat darurat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
166
Pasal 36 Dalarn menyelenggarakan paket Jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, Badan Penyelenggara wajib: a. Memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta; dan b. Memberikan keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan. Pasal 37 (1)
Pelaksanaan pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1), dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan berdasarkan perjanjian secara tertulis dengan Badan Penyelenggara.
(2)
Badan Penyelenggara melakukan pembayaran kepada Pelaksana Pelayanan Kesehatan secara pra upaya dengan system kapital.
(3)
Pemberian pelayanan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata dan standar pelayanan medis yang berlaku dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan. Pasal 38
(1)
Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak dapat memilih Pelaksana Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk oleh Badan Penyelenggara.
(2)
Dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh Menteri tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak dapat memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan diluar Pelaksana Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Untuk memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak harus menunjukkan kartu pemeliharaan kesehatan.
Pasal 39 (1)
Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama harus memberikan pelayanan sesuai standard pelayanan rawat jalan tingkat pertama.
(2)
Dalam hal diperlukan pemeriksaan tingkat lanjutan bagi tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak, Pelaksana Pelayanan Kesehatan
167
Tingkat Pertama harus memberikan surat rujukan kepada Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat lanjutan yang ditunjuk. Pasal 40 Pelaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama atau Tingkat Lanjutan memberikan surat rujukan dalam hal tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak memerlukan pelayanan penunjang diagnostik atau rawat inap. Pasal 41 (1)
Tenaga kerja, suami atau isteri atau anak yang memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit yang terdekat dengan menunjukkan kartu pemeliharaan kesehatan.
(2)
Dalam hal pelayanan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak mulai dirawat keluarga atau pihak lain menyerahkan surat pernyataan dari Perusahaan kepada Rumah Sakit yang bersangkutan bahwa tenaga kerja yang bersangkutan masih bekerja.
(3)
Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang memerlukan rawat inap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan memilih Rumah Sakit yang tidak ditunjuk, maka biayanya hanya ditanggung oleh Badan Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari sesuai dengan standar biaya yang telah ditetapkan.
Pasal 42 (1)
Tenaga kerja atau isteri tenaga kerja yang memerlukan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan atau persalinan, memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan dari Rumah Bersalin yang ditunjuk.
(2)
Dalam hal menurut pemeriksaan akan terjadi persalinan dengan penyulit, maka tenaga kerja atau tenaga kerja dapat dirujuk ke Rumah Sakit. Pasal 43
(1)
Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang mendapat resep
168
obat, harus mengambil obat tersebut pada apotik yang ditunjuk dengan menunjukkan kartu pemeliharaan kesehatan. (2)
Apotik yang ditunjuk harus memberikan obat yang diperlukan tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan standar obat yang berlaku.
(3)
Dalam hal obat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di luar standar yang berlaku maka selisih biaya obat tersebut ditanggung sendiri oleh tenaga kerja yang bersangkutan. Pasal 44
Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf f hanya diberikan kepada tenaga kerja, berupa: a. Kaca mata, dengan mengajukan permintaan kepada Optik yang ditunjuk dan menunjukkan resep kaca mata dari dokter spesialis mata yang ditunjuk serta kartu pemeliharan kesehatan. b. Prothese mata, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukkan surat pengantar dari dokter spesialis mata serta kartu pemeliharaan kesehatan. c. Prothese gigi, dengan mengajukan permintaan kepada Balai Pengobatan gigi yang telah ditunjuk dan menunjukkan resep dari dokter spesialis gigi yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan. d. Alat bantu dengar, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit atau perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukkan surat pengantar dari dokter spesialis THT yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan e. Prothese anggota gerak, dengan mengajukan permintaan kepada Rumah Sakit Rehabilitasi atau perusahaan alat-alat kesehatan yang ditunjuk dan menunjukkan surat pengantar dari dokter spesialis yang ditunjuk serta kartu pemeliharaan kesehatan.
Pasal 45 Tenaga kerja atau suami atau isteri atau anak yang memerlukan pelayanan rawat inap, melebihi ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri, maka selisih biayanya menjadi tanggung jawab tenaga kerja yang bersangkutan. Pasal 46 (1)
Dalam menjaga mutu pelayanan, Badan Penyelenggara melakukan pemantauan pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
169
Pelaksana Pelaksanaan kepentingan peserta. (2)
Kesehatan
dengan
mengutamakan
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dapat melakukan pemantauan pemberian pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan. BAB V SANKSI Pasal 47
Tanpa mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka: a. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), ayat (2). dan ayat (3), dan Pasal 19 serta Pasal 20 ayat (1), dan telah diberikan peringatan tatapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha. b. Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dikenakan denda sebesar 2 % (dua perseratus) untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari iuran yang seharusnya dibayar. c. Badan Penyelenggara yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dikenakan ganti rugi sebesar 1 % (satu perseratus) dari jumlah jaminan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, untuk setiap hari keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 48 Tenaga kerja yang telah menjadi peserta Program Asuransi Tenaga Kerja berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977, tabungan hari tuanya, diperhitungkan dan dilanjutkan sebagai Jaminan Hari Tua
170
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 49 (1)
Dalam hal tenaga kerja telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun tetapi tetap bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), maka kepesertaannya dalam program jaminan sosial tenaga kerja tetap dilanjutkan.
(2)
Pengusaha tetap membayar segala kewajiban yang berhubungan dengan kepesertaannya tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 50
(1)
Tenaga kerja yang berdasarkan keterangan dokter yang ditunjuk dinyatakan menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja, berhak memperoleh Jaminan kecelakaan Kerja meskipun hubungan kerja telah berakhir.
(2)
Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan kepada penyakit tersebut timbul dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak hubungan kerja berakhir. Pasal 51
Hak peserta program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dipindah tangankan, digadaikan, atau disita sebagai pelaksanaan putusan Pengadilan. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 Sebelum ditetapkan Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayal (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini diselenggarakan oleh Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial Tenaga Kerja agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
171
Pada tanggal 27 Pebruari 1993 PRESIDEN REPUBUK INDONESIA ttd SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 37 Pebruari 1993 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1993 NOMOR 20
172
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA
I. U M U M Pembangunan nasional yang terus berlangsung selama ini telah memperluas kesempatan kerja dan memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya. Namun kemampuan bekerja dan penghasilan tersebut dapat berkurang atau hilang karena berbagai risiko yang dialami tenaga kerja, yaitu kecelakaan, cacat, sakit, hari tua, dan meninggal dunia. Oleh karenanya untuk menanggulangi risiko-risiko tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengatur pemberian jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Jaminan sosial tenaga kerja yang menanggung risiko-risiko kerja sekaligus akan menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan produktivitas kerja. Ketenangan kerja dapat tercipta karena jaminan sosial tenaga kerja mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam menghadapi berbagai risiko sosial-ekonomi tersebut. Selain itu jaminan sosial tenaga kerja yang diselenggarakan dengan metode pendanaan akan memupuk dana yang akan menunjang pembiayaan pembangunan nasional. Agar kepesertaan dapat merata dan kemanfaatannya dinikmati secara luas, maka kepesertaan pengusaha dan tenaga kerja dalam jaminan sosial tenaga kerja bersifat wajib. Namun karena luasnya kepesertaan tersebut, maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan tehnis, administrative dan operasional baik dari Badan Penyelenggara maupun pengusaha dan tenaga kerja sendiri. Pembiayaan jaminan sosial tenaga kerja ditanggung oleh pengusaha dan tenaga kerja sesuai dengan jumlah yang tidak memberatkan beban keuangan kedua belah pihak. Pembiayaan Jaminan Kecelakaan Kerja ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, karena kecelakaan dan penyakit yang timbul dalam hubungan kerja merupakan tanggung jawab penuh dari pemberi kerja. Pembiayaan Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan juga menjadi tanggung jawab pengusaha yang harus bertanggung jawab atas kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
173
Sedangkan pembiayaan Jaminan Hari Tua ditanggung bersama oleh pengusaha dan tanaga kerja karena merupakan penghargaan dari pengusaha kepada tenaga kerjanya yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan, dan sekaligus merupakan tanggung jawab tenaga kerja untuk hari tuanya sendiri. Kemanfaatan jaminan sosial tenaga kerja pada hakekatnya bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat tenaga kerja. Dengan kemanfaatan dasar tersebut, pembiayaanya dapat ditekan seminimal mungkin sehingga dapat dijangkau oleh setiap pengusaha dan tenaga kerja. Pengusaha dan tenaga kerja yang memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar dapat meningkatkan kemanfaatan dasar tersebut melalui berbagai cara lainnya. Agar kepesertaan wajib dari jaminan sosial tenaga kerja dipatuhi oleh segenap pengusaha dan tenaga kerja, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah ini memberikan sanksi yang tujuannya untuk mendidik yang bersangkutan dalam memenuhi kewajibannya.Sanksi tersebut merupakan upaya terakhir, setelah upayaupaya lain dilakukan, dalam rangka menegakkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Untuk menjamin pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja sesuai maksud dan tujuannya, maka penyelenggaranya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Perseroan dengan mengutamakan pelayanan kepada peserta.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Yang dimaksud dengan Badan Hukum adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dituntut untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5
174
Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3). Pada dasarnya setiap tenaga kerja berhak mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara. Namun mengingat kemampuan masyarakat pada umumnya dan perusaha-an pada khususnya dalam membiayai program dan administrasi, maka perusahaan yang wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara adalah perusahaan yang mempekerjakan 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,-(satu juta rupiah). Namun demikian bagi perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara, dapat mengikuti, program jaminan sosial tenaga kerja kepada Badan Penyelenggara atas kemauan sendiri/suka rela. Ayat (4) Mengingat sifat penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah pelayanan kesehatan paket dasar, maka bagi pengusaha yang telah memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik pada saat ini tidak diperlukan lagi mengikuti program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Badan Peyelenggara. Dengan demikian pengusaha tidak boleh mengurangi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang telah diberikan kepada tenaga kerja. Ayat (5) Peserta Asuransi Sosial Tenaga Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja yang telah menjadi peserta Asuransi Tenaga Kerja pada Badan Penyelenggara tetap menjadi peserta program jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Ayat (6)
175
Cukup jelas. Pasal 3 Mengingat sifat kepesertaan tenaga kerja harian lepas, borongan dan kontrak (mempunyai karakteristik) tersendiri maka penyelenggaraan program Jaminan sosial tenaga kerjanya perlu diatur dalam Peraturan Menteri yang memuat hal-hal antara lain: a. Persyaratan kepesertaan; b. Jenis program; c. Besarnya iuran; d. Besarnya jaminan; e. Tata cara pelaksanaan. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Formulir dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai : a. Data perusahaan; b. Daftar tenaga kerja dan keluarganya; c. Daftar upah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dengan pindahnya tanaga kerja dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain, tidak berarti kepesertaannya pada program jaminan sosial tenaga kerja terputus.Pemberitahuan pindah tempat kerja kepada Badan Penyelenggara
176
dimaksudkan agar tidak terjadi penerbitan dua kartu peserta atau lebih untuk satu tenaga kerja. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak tenaga kerja atas jaminan sosial tenaga kerja karena perubuhan dimaksud langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi manfaat yang akan diperoleh tanaga kerja. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pembedaan besar iuran Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan yang belum berkeluarga dimaksudkan agar ada keseimbangan antara kewajiban pengusaha dan pelayanan yang diberikan kepada tenaga kerja itu sendiri.
177
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Besamya denda sehagaimana dirnahsud dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan BAB V. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Upaya tenaga kerja yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan daftar upah yang disampaikan oleh pengusaha kepada Badan Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
178
Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghitung besarnya pembayaran Santunan Jaminan Kecelakaan kerja, karena tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini tidak menerima upah seperti tenaga kerja tetap. Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Yang dimaksud dengan tenaga kerja pelaksana, adalah tenaga kerja non manager. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Jangka waktu 1 (satu) bulan dihitung sejak dipenuhi syaratsyarat tehnis dan administrasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (4) Penunjukan Pasal 22 dalam ketentuan ini,dimaksudkan hanya dalam rangka penerapan urutan pihak yang berhak menerima santunan kematian dalam hal tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Dokter Pemeriksa adalah dokter perusaha-an atau dokter yang ditunjuk oleh perusahaan atau dokter pemerintah yang memeriksa dan merawat tenaga kerja. Yang dimaksud Dokter Penasehat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul Menteri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
179
Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Dalam rangka rneningkatkan perlindungan tenaga kerja, apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan tetapi sulit dibuktikan apakah kecelakaan tersebut akibat kecelakaan kerja atau bukan maka, Menteri dapat menetapkan bahwa Jaminan Kecelakaan Kerja ditanggung oleh pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal I8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Pasal 20 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk tetap menjamin kelangsungan penghasilan tenaga kerja yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas.
180
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini menegaskan bahwa pembayaran Jaminan Hari Tua secara sekaligus atau berkala, sepenuhnya merupakan pilihan tenaga kerja yang bersangkutan dan bukan ditetapkan oleh Badan Penyelenggara. Pasal 25
181
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan ini rnencakup tenaga kerja yang meninggal dunia meskipun belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun ataupun telah berusia 55 (lima puluh lima) tahun tetapi belum menerima, Jaminan Hari Tua. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Walaupun tenaga kerja yang bersangkutan belum mencapai 55 (lima puluh lima) tahun, namun mengingat tenaga kerja yang bersangkutan sudah cacat total tetap sehingga tidak mungkin bekerja lagi, maka kepada tenaga kerja diberikan Jaminan Hari Tua. Pasal 30 Ketenluan ini dimaksudkan agar Jamnan Hari Tua dapat dibayarkan kepada tenaga kerja tepat pada waktunya. Selain itu untuk memberikan kesempatan kepada tenaga kerja untuk memilih cara
182
pembayaran Jaminan Hari Tua baik secara berkala maupun sekaligus. PasaI 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ini, maka tenaga kerja yang belum mencapai usia 55 tahun tetapi sudah mempunyai masa kepesertaan sekurang-kurangnya 5 tahun, dan tidak bekerja lagi, berhak menerima Jaminan Hari Tua secara sekaligus dengan memperhatikan masa tunggu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini. Masa kepesertaan dalam ketentuan ini, mencakup masa kepesertaan aktif dan non aktif. Tenaga kerja mempunyai kepesertaan aktif, apabila selama masa kepesertaannya iuran tetap dibayarkan. Sedangkan kepesertaan non aktif, apabila iuran tidak lagi dibayarkan.
Ayat (2) Ketentuan pembayaran setelah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan berarti Badan Penyelenggara harus sudah membayar pada bulan ketujuh. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Pemeliharaan kesehatan secara terstruktur yaitu pelayanan yang mengikuti pola dan prinsip tertentu baik mengenai jenis maupun proses pembiayaannya. Terpadu dan berkesinambungan berarti pelayanan bagi tenaga kerja, suami atau isteri dan anak dijamin kelanjutannya sampai menuju suatu keadaan sehat. Ayat (2)
183
Peningkatan kesehatan (promotif) misalnya pemberian konsultasi, pencegahan penyakit (preventif) misalnya imunisasi, penyembuhan penyakit (kuratif) misalnya tindakan medik dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) misalnya pelayanan rehabilitasi yang diberikan secara terpadu dalam pelayanan yang diberikan oleh Pelaksana Pelayanan Kesehatan Pasal 35 Ayat (1) Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar yaitu pelayanan kesehatan yang minimal diberikan oleh Badan Penyelenggara kepada tenaga kerja, suami atau isteri dan anak. Apabila dipandang perlu, badan Penyelenggara dapat menyeleng-garakan Paket Pemeliharaan Kesehatan Tambahan untuk tenaga kerja, suami atau isteri dan anak yang telah mengikuti Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar. Jenis pelayanan kesehatan dalam Paket Pemeliharaan Tambahan diberikan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Penyelenggara dengan peserta.
Huruf a Yang dimaksud rawat jalan tingkat pertama adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang dilakukan di Palaksana Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Huruf b Yang dimaksud dengan rawat jalan tingkat lanjut adalah semua jenis pemeliharaan kesehatan perorangan yang merupakan rujukan (lanjutan) dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama. Huruf c Yang dmaksud dengan rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan Rumah Sakit dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit Pelaksana Pelayanan Kesehatan lain. Pelaksana Pelayanan Kesehatan Rawat Inap: 1) Rumah sakit pemerintah pusat dan daerah; 2) Rumah sakit swasta yang ditunjuk. Huruf d
184
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan. Huruf e Yang dimaksud dengan penunjang diagnostik adalah semua pemeriksaan dalam rangka menegakkan diagnosa yang dipandang perlu oleh Pelaksana Pengobatan Lanjutan dan dilaksanakan di bagian diagnostik, rumah sakit atau faslitas khusus itu, meliputi: 1) Pemeriksaan laboratorium; 2) Pemeriksaan radiology; 3) Pemeriksaan penunjang diagnosa lain. Huruf f Yang dimaksud dengan pelayanan termasuk perawatan khusus adalah pemeliharaan kesehatan yang memerlukan perawatan khusus bagi penyakit tertentu serta pemberian alat-alat organ tubuh agar dapat berfungsi seperti semula, yang meliputi: 1) Kaca mata; 2) Prothese gigi; 3) Alat bantu dengar; 4) Prothese anggota gerak; 5) Prothese mata; Huruf g Yang dimaksud dengan keadaan gawat darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan pemeriksaan medis negara, yang apabila tidak dilakukan akan menyebabkan hal yang fatal bagi penderita. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)
185
Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pihak lain, antara lain; teman sekerja, pihak perusahaan atau orang lain yang mengurusnya. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud persaingan dengan penyulit adalah persalinan yang memerlukan penanganan khusus yang tidak mungkin dilakukan Rumah Sakit Bersalin, antara lain; operasi,persalinan dengan bantuan alat vacuum dan pendarahan.
186
Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (23) Selisih harga obat dibayarkan oleh tenaga kerja yang bersangkutan kepada apotik dan tidak dapat dimintakan penggantian kepada Badan Penyelenggara. Pasal 44 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 45 Dalam menjaga kelangsungan Badan Penyelenggara yang harus selalu memelihara keseimbangan antara kewajiban Badan Penyelenggara dengan hak tenaga kerja. maka perlu ada pembatasan dalam pelayanan rawat inap baik jangka waktu maupun kelas Rumah Sakit. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Huruf a
187
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini menegaskan bahwa karena kepesertaan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja masih berlanjut, maka Pengusaha tetap membayar Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, serta Jaminan Hari Tua yang menjadi kewajibannya.
Pasal 50 Ayat (1) Mengingat penyakit yang timbul karena hubungan kerja tidak selalu dapat diketahui pada saat tenaga kerja masih terikat dalam hubungan kerja, melainkan dapat saja baru timbul setelah hubungan kerja berakhir, maka tenaga kerja yang bersangkutan tetap harus dijamin untuk mendapatkan Jaminan Kecelakaan Kerja. Tenaga kerja tersebut, mengajukan permohonan pembayaran Jaminan Kecelakaan Kerja kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan hasil diagnosis dokter,dan Badan Penyelenggara langsung membayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas.
188
Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Ketentuan dimaksud agar tidak terjadi kekosongan penyelenggaraan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan Astek,adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1990. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3520
189
Lampiran 3
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha; e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan;
190
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2.
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
3.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badanbadan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
5.
Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
191
6.
Perusahaan adalah: a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7.
Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8.
Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9.
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. 13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
192
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai halhal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. 19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. 20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
193
24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan. 25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara ekerja/buruh dan pengusaha. 26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. 27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00. 28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam. 29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari. 30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. 32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan. 33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN Pasal 2 Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Pasal 4
194
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan: a. b. c. d.
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6 Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
BAB IV PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN Pasal 7 (1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja. (2) Perencanaan tenaga kerja meliputi: a. perencanaan tenaga kerja makro; dan b. perencanaan tenaga kerja mikro. (3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 8
195
(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi: a. penduduk dan tenaga kerja; b. kesempatan kerja; c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja; d. produktivitas tenaga kerja; e. hubungan industrial; f. kondisi lingkungan kerja; g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan h. jaminan sosial tenaga kerja. (2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta. (3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V PELATIHAN KERJA Pasal 9 Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. Pasal 10 (1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. (3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang. (4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
196
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. Pasal 12 (1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja. (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri. (3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 13 (1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta. (2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. (3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta. Pasal 14 (1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan. (2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 15 Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan: a. tersedianya tenaga kepelatihan;
197
b. c. d.
adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja. Pasal 16
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi. (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Kepu tusan Menteri. Pasal 17 (1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan semen tara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata: a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan. (3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15. (4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan. (5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan. (6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pen daftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
198
Pasal 18 (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. (2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompe tensi kerja. (3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman. (4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang inde penden. (5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. Pasal 20 (1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor. (2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 21 Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. Pasal 22 (1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang di buat secara tertulis. (2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
199
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan. Pasal 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. Pasal 24 Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Pasal 25 (1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 26 (1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan: a. harkat dan martabat bangsa Indonesia; b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya. (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 27 (1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan. (2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
200
Pasal 28 (1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional. (2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 29 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan. (2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas. (3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional. Pasal 30 (1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional. (2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah. (3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI PENEMPATAN TENAGA KERJA Pasal 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
201
Pasal 32 (1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. (2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai de ngan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. (3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Pasal 33 Penempatan tenaga kerja terdiri dari: a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan b. penempatan tenaga kerja di luar negeri. Pasal 34 Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. Pasal 35 (1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja. (3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Pasal 36 (1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja. (2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsurunsur:
202
a. b. c. d. e.
pencari kerja; lowongan pekerjaan; informasi pasar kerja; mekanisme antar kerja; dan kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja. Pasal 37 (1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari : a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 38 (1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu. (3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. BAB VII PERLUASAN KESEMPATAN KERJA Pasal 39 (1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
203
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja. Pasal 40 (1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna. (2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja. (2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
204
BAB VIII PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING Pasal 42 (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. (5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. Pasal 43 (1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya me muat keterangan: a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputu san Menteri.
205
Pasal 44 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 45 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris. Pasal 46 (1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu. (2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 47 (1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. (2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan. (3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. (4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48
206
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. Pasal 49 Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ buruh. Pasal 51 (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52 (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar: a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. (3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. Pasal 53
207
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Pasal 54 (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat: a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. Pasal 55 Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Pasal 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pasal 57 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
208
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. (3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Pasal 58 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Pasal 59 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja
209
waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 60 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Pasal 61 (1) Perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
210
Pasal 62 Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Pasal 63 (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. (2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan: a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah. Pasal 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/ buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
211
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlin-dungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/ buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/
212
buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN Bagian Kesatu Perlindungan Paragraf 1 Penyandang Cacat Pasal 67 (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. (2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Paragraf 2 Anak Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 69 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun
213
untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Pasal 70 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat: a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 71 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat: a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. (3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
214
Pasal 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. (3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 75 (1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. (2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
215
Paragraf 3 Perempuan Pasal 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Paragraf 4 Waktu Kerja Pasal 77 (1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 78
216
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79 (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/ buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/ buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
217
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Pasal 81 (1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Pasal 84 Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
218
Pasal 85 (1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. (2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. (4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 86 (1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 87 (1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
219
Bagian Kedua Pengupahan Pasal 88 (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. (3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi: a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. (4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pasal 89 (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/ kota. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
220
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 90 (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. (2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. (3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 91 (1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 92 (1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. (2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 93 (1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
221
b. c.
d. e. f.
g. h. i.
pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya; pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut: a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah; b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. (4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut: a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. (5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
222
Pasal 94 Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Pasal 95 (1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. (2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. (3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/ buruh, dalam pembayaran upah. (4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/ buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96 Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Pasal 97 Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 98 (1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
223
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar. (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/ Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota. (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden. Bagian Ketiga Kesejahteraan Pasal 99 (1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. (2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 100 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. (2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. (3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 101 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/ buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan. (2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
224
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 (1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/ serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. (3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. Pasal 103 Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana: a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi pengusaha; c. lembaga kerja sama bipartit; d. embaga kerja sama tripartit; e. peraturan perusahaan; f. perjanjian kerja bersama; g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bagian Kedua
225
Serikat Pekerja/Serikat Buruh Pasal 104 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. (3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Bagian Ketiga Organisasi Pengusaha Pasal 105 (1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. (2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Bagian Keempat Lembaga Kerja Sama Bipartit Pasal 106 (1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. (2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. (3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
226
Bagian Kelima Lembaga Kerja Sama Tripartit Pasal 107 (1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. (2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari: a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. (3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh. (4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Peraturan Perusahaan Pasal 108 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Pasal 109 Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan.
Pasal 110 (1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
227
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/ serikat buruh maka wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/ serikat buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Pasal 111 (1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat: a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban pekerja/buruh; c. syarat kerja; d. tata tertib perusahaan; dan e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. (2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. (4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani. (5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya. Pasal 112 (1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. (2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
228
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. (4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 113 (1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. (2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. Pasal 115 Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketujuh Perjanjian Kerja Bersama Pasal 116 (1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. (2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah. (3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
229
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 117 Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 118 Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan. Pasal 119 (1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. (3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 120 (1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
230
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha. (3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 121 Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota. Pasal 122 Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha. Pasal 123 (1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun. (2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh. (3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 124 (1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
231
d.
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 125 Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. Pasal 126 (1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. (2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh. (3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan. Pasal 127 (1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama. Pasal 128 Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. Pasal 129
232
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/ serikat buruh. (2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. Pasal 130 (1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119. (2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional. (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 131 (1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
233
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal 132 (1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut. (2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 133 Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 134 Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. Pasal 135 Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. Bagian Kedelapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Paragraf 1 Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 136 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
234
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
Paragraf 2 Mogok Kerja Pasal 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Pasal 138 (1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum. (2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Pasal 139 Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Pasal 140 (1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
235
d.
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. (4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara: a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. Pasal 141 (1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima. (2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang. (5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. Pasal 142
236
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah. (2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/ serikat buruh untuk mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai. (2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang : a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Pasal 145 Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/ buruh berhak mendapatkan upah. Paragraf 3 Penutupan Perusahaan (lock-out) Pasal 146 (1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
237
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/ atau serikat pekerja/serikat buruh. (3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147 Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. Pasal 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out). (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Pasal 149 (1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan. (2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
238
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. (6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila: a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Pasal 150 Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 151 (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
239
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 152 (1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Pasal 153 (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terusmenerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/ serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan
240
h. i. j.
pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Pasal 154 Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal: a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia. Pasal 155 (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Pasal 156
241
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
242
b. c.
d.
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 157 (1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas: a. upah pokok; b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. (2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. Pasal 158 (1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
243
c.
d. e. f. g.
h. i. j.
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut: a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). (4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 159 Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 160
244
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Pasal 161 (1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
245
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. (2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pasal 162 (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 163 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
246
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/ buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Pasal 164 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pasal 165 Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166 Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
247
Pasal 167 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha. (3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 168 (1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
248
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. (3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 169 (1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. (2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3). Pasal 170 Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang
249
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171 Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya. Pasal 172 Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
BAB XIII PEMBINAAN Pasal 173 (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi. Pasal 174 Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundangundangan
250
yang berlaku. Pasal 175 (1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV PENGAWASAN Pasal 176 Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pasal 177 Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 178 (1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. (2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 179 (1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 180
251
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 181 Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib: a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan; b. tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV PENYIDIKAN Pasal 182 (1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. (3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
252
BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 184 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 185 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 186 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
253
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Pasal 187 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Pasal 188 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Pasal 189 Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau ekerja/buruh.
Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 190 (1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
254
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa: a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin. (3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 191 Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang ini. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 192 Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka: 1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); 2.
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3.
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4.
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5.
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
255
6.
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7.
Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8.
Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a);
9.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 );
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); 15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undangundang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 193 Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
256
Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd BAMBANG KESOWO PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN I.
UMUM
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkat kan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hakhak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keter-kaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepent ingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan
257
harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR NO. XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakan demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah: 1.
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);
2.
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3.
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4.
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5.
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1939 Nomor 545);
6.
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 2);
8.
Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a);
258
9.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11. Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan 15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undangundang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). 16. Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undang-undang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti. Undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998. Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu: 1. Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No. 98); 2. Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100, dan No. 111); 3. Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29, dan No. 105); dan
259
4.
Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 ).
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undangundang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut. Undang-undang ini antara lain memuat: 1.
Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
2.
Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
3.
Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/ buruh;
4.
Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.
5.
Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan penemp atan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
6.
Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan;
7.
Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
8.
Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembagakerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
9.
Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/ buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja;
260
10. Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya. II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. Pasal 3 Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.
Pasal 4 Huruf a Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya. Huruf b Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
261
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 5 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Pasal 6 Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Pasal 7 Ayat (1) Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh. Huruf b Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi atau perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas.
262
Pasal 8 Ayat (1) Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau kabupaten/kota. Ayat (2) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi atau kabupaten/kota Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan sektor terkait. Ayat (3) Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk
263
meningkatkan kompetensi pekerjanya. Ayat (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena perusahaan yang akanmemperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh. Ayat (3) Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan, sarana dan prasarana pelatihan dapat berdaya guna dan berhasil guna secara optimal. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas.
264
Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis danobyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi pes erta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22
265
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program. Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan. Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan. Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja. Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan. Ayat (3) Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 23 Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan bila programnya bersifat khusus. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1)
266
Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air. Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti teknologi budi daya tanaman dengan kultur jaringan. Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara, maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti keahlian membuat alat-alat pertanian modern. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan. Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemam-
267
puannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah. Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37
268
Ayat (1) Huruf a Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi. Pasal 42 Ayat (1) Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
269
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3 Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-badan internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Huruf a Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang
270
didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendam-ping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya. Huruf b Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat
271
kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Ayat (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan per-janjian kerja laut. Pasal 52 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan pada ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian
272
kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di bidang ketenagakerjaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
273
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas.
274
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
275
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas.
276
Pasal 71 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha. Ayat (2)
277
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
278
Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undangundang ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 80 Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yangmemungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan
279
dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 83 Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksud untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/ buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. Ayat (3) Cukup jelas.
280
Pasal 87 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapang-
281
an usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya ditetapkan oleh Menteri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. Pasal 90 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1) Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi
282
di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1) Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara dilaksanakan apabila: a. negara tidak melakukan pembayaran; atau b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. Huruf e Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundangundangan.
283
Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 94 Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya. Pasal 96 Cukup jelas.
284
Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1) Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 101 Ayat (1) Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103
285
Cukup jelas. Pasal 104 Ayat (1) Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/ buruh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Ayat (1) Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (limapuluh) orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas.
286
Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundangundangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas.
287
Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain. Ayat (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 117 Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas.
288
Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132
289
Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. Pasal 140 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
290
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/ buruh lain untuk bekerja. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Ayat (1) Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara: a. menjatuhkan hukuman; b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau c. melakukan mutasi yang merugikan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
291
meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif. Pasal 146 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Ayat (1) Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatankegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)
292
Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas.
Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Ayat (1) Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak atau orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)
293
Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 161 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua. Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan
294
pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh dari ayat ini adalah: a. Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00. serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung
295
oleh pengusaha 60% (enampuluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empatpuluh perseratus), maka: b. Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah: sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 c. Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X Rp 6000.000,00 = Rp 2.400.000,00 d. Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp. 6.400.000,00 e. Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah: f. Rp 3.600.000,00 (tiga juta enam ratus ribu rupiah) (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% (enam puluh persen) dibayar oleh pengusaha) g. Rp 6.400.000.00 (enam juta empat ratus ribu rupiah) (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha) h. Rp 2.400.000.00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh) i. Jumlah Rp 12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 168 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja.
296
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk mengajukan gugatan. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertang-gung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain. Pasal 177
297
Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Cukup jelas. Pasal 186 Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup jelas. Pasal 190 Cukup jelas. Pasal 191 Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undang-undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih
298
berlaku. Dalam hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam pasal ini tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang ini. Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan azas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 4279
299
300