139 FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN DI PULAU LOMBOK DETERMINANTS OF FOOD SECURITY ON LOMBOK ISLAND Taslim Sjah dan Sri Supartiningsih Fakultas Pertanian, Universitas Mataram ABSTRAK Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan mengamanatkan bahwa pangan harus tersedia bagi rumahtangga dalam jumlah dan kualitas yang cukup, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Tulisan ini mendeskripsikan faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan di Pulau Lombok. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang berusaha mendeskripsikan tujuan tulisan ini, dengan menggunakan data sekunder. Selanjutnya, data penelitian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan suatu rumahtangga menjadi tahan pangan atau tidak. Faktor penentu utama adalah pendapatan rumahtangga, yang sangat mempengaruhi daya beli rumahtangga terhadap bahan pangan. Faktor-faktor lain seperti pendidikan, ukuran keluarga, pekerjaan sampingan, dan jenis lahan secara langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap besarnya pendapatan rumahtangga. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan agar empat faktor penentu terakhir inilah yang perlu ‘digarap’ atau ‘dikelola’ untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. ABSTRACT The regulation number 7, 1996 on food governs that food must be available sufficiently for households in terms of quantity and quality, secure, equally distributed and reachable. Food security can be influence by many factors. This paper describes factors that affect food security on Lombok Island. This study is descriptive research, aiming at describing the purpose of this paper, by using secondary data. The collected data were analyzed in quantitative and qualitative manners. This study concludes that there are many factors that may influence household food security. The main factor is household income, which influence purchasing power to food. Other factors, such as, education, family size, additional job, and type of land contribute directly or indirectly to the household income. Therefore, this study suggested that these last four mentioned factors require to be managed for the purpose of enhancing household food security. _________________________________________ Kata kunci: faktor penentu, ketahanan pangan, pulau Lombok Keywords: determinants, food security, Lombok island
PENDAHULUAN Sektor pertanian telah menjadi fokus pembangunan ekonomi Indonesia hingga saat ini (Departemen Pertanian RI, 2001). Secara khusus target pembangunan pertanian seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertanian RI (2010) adalah untuk mencapai swasembada pangan yang berkelanjutan, diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah dan peningkatan kesejahteraan petani. Pada dasarnya fokus pembangunan pertanian ini adalah untuk mencapai ketahanan pangan masyarakat dari berbagai aspek, yaitu aspek ketersediaan (produksi), distribusi (akses), dan konsumsi. Demikian pentingnya ketahanan pangan tersebut sehingga secara khusus ditetapkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Undang-Undang tersebut mengamanatkan bahwa pangan harus tersedia bagi rumahtangga dalam jumlah dan kualitas yang cukup, aman, merata dan terjangkau, atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘ketahanan pangan’. Sejalan dengan amanat undang-undang tersebut, LIPI (2004) menyatakan bahwa ketahanan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang strategis. Pulau Lombok merupakan daerah agraris dengan dua tipe lahan yang kontras, yaitu lahan basah (sawah) dan lahan kering (misalnya Klock and Sjah, 2007), dan lahan kering mendominasi lahan pertanian yang ada (BPS NTB, 2010). Lahan kering relatif kurang produktif dibandingkan dengan lahan sawah (Sjah, 1998; Sjah, 2000; Sjah et al., 2005). Keadaan lahan Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010
140 yang kurang produktif ini masih ditambah dengan penguasaan lahan yang sempit (Parman and Sunarpi, 2005). Dominasi lahan kering dan penguasaan lahan yang sempit berdampak pada rendahnya produksi petani, sehingga petani dapat mengalami keadaan tidak tahan pangan. Selain itu, ketahanan pangan tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan produksi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain terkait langsung atau tidak langsung dengan aspek produksi, distribusi, dan konsumsi pangan. Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah atau masyarakat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia, dan sebagian telah menunjukkan hasil positif dan sebagian lagi belum. Untuk meningkatkan efektivitas program ketahanan pangan perlu dimulai dengan pengetahuan tentang faktor-faktor yang penentunya, agar dapat dimabil tindakan yang tepat. Tulisan ini berusaha mendeskripsikan faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan di Pulau Lombok. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang berusaha mendeskripsikan (menggambarkan) suatu keadaan atau fenomena yang diteliti (Babbie, 2004; Roumasset, 1981; Simon, 1969). Sumber data untuk tulisan ini berasal dari data sekunder yang telah dikumpulkan oleh beberapa peneliti (Chaeroni, 2010; Isnaeni, 2009; Rengganis, 2010; Ridwan, 2009) yang melakukan studi di beberapa lokasi
yang berbeda di Pulau Lombok. Sampel desa dan kecamatan penelitian serta jumlah responden disajikan dalam Tabel 1. Prosedur lengkap penentuan sampel beserta dasar penentuannya dapat dilihat pada masing-masing tesis atau karya tulis tersebut. Data penelitian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif (Neuman, 1997; Taylor and Trumbull, 2000; Trumbull, 2000), dengan fokus yang lebih terhadap unsur kualitatifnya untuk memberi pemahaman terhadap topik yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu rumahtangga, dari aspek produksi (ketersediaan), distribusi (akses), dan konsumsi pangan. Untuk keperluan kemudahan pembahasan dalam tulisan ini ketahanan pangan dikategorikan menjadi dua saja, yaitu tahan pangan dan tidak tahan pangan (kurang tahan pangan dianggap sama dengan tidak tahan pangan). Faktor-faktor penentu ketahanan pangan di Pulau Lombok disajikan dan dibahas pada bagian ini. Tampaknya dua faktor pertama yang dibahas (yaitu pendapatan dan pendidikan) merupakan faktor yang lebih menentukan ketahanan pangan rumahtangga. Faktor-faktor penentu selanjutnya tampaknya merupakan faktor yang sangat terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dua faktor penentu pertama tersebut.
Tabel 1. Sampel desa dan kecamatan penelitian serta jumlah responden Kabupaten Lombok Barat
Kecamatan Gunung Sari Gerung
Lombok Utara
Bayan
Lombok Tengah
Praya Barat Daya Praya Barat Praya Timur Pujut
Desa Gunung Sari Kekeri Dasan Geres Banyu Urip Kebon Ayu Gerung Utara Tempos Akar-akar Mumbul Sari Montong Ajan Batu Jangkih Selong Belanak Bilelando Semoyang Rembitan
Total
T. Sjah & S. Supartiningsih: Faktor penentu ketahanan …
Jumlah sampel (n) 10 10 10 10 27 12 11 10 10 21 25 15 8 25 35 239
141 Pendapatan
Pendidikan
Sangat jelas bahwa pendapatan merupakan faktor penentu ketahanan pangan, dalam arti bahwa dengan pendapatan (uang) dimungkinkan untuk membeli bahan pangan sehingga kebutuhan akan pangan menjadi terpenuhi atau rumahtangga menjadi tahan pangan. Pendapatan yang cukup akan memungkinkan tercapainya ketahanan pangan dan sebaliknya pendapatan yang kurang dapat menyebabkan rumahtangga menjadi tidak atau kurang tahan pangan. Penjelasan tentang pengaruh pendapatan terhadap daya beli produk atau jasa (termasuk bahan pangan) dapat ditemui dalam banyak literatur ekonomi mikro dan ekonomi terkait lainnya (lihat misalnya McIver, 2001; Penson et al., 2002; Seitz et al., 2002; Van Tassel, 2004). Mereka menjelaskan bahwa pendapatan yang lebih besar mempunyai daya beli yang lebih tinggi sehingga memungkinkan pembelian (permintaan) barang atau jasa (termasuk bahan pangan) yang lebih banyak sehingga memungkinkan rumahtangga tersebut menjadi lebih tahan pangan. Pendapatan berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan ditemukan oleh Rengganis (2010), yang menyimpulkan bahwa setiap kenaikan pendapatan sebesar Rp 1.000 akan meningkatkan peluang ketahanan pangan rumahtangga sebesar 1,002 kali. Sejalan dengan ini penelitian oleh Chaeroni (2010) juga menyimpulkan bahwa rumahtangga dengan pendapatan tinggi (dikategorikan sebagai pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 149.000 ke atas) mempunyai peluang untuk tahan pangan sebesar 1,043 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga dengan pendapatan rendah. Namun demikian penelitian lain yang dilakukan oleh Isnaeni (2009) menemukan hasil yang sebaliknya. Isnaeni (2009) menyimpulkan bahwa pendapatan tinggi (diartikan sebagai pendapatan rumahtangga per bulan sebesar Rp 700.000 ke atas) berpeluang untuk tidak tahan pangan sebesar 2,5 % lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga yang berpendapatan lebih rendah dari angka tersebut. Terkait dengan ini penelitian Isnaeni (2009) menemukan bahwa kelompok rumahtangga yang berpendaptan lebih tinggi cenderung untuk mengkonsumsi lebih banyak bahan non pangan atau lebih cenderung melupakan konsumsi bahan pangan secara mencukupi sehingga rumahtangga mereka menjadi cenderung untuk menjadi tidak tahan pangan.
Pendidikan berpengaruh luas pada berbagai aspek kehidupan manusia, sehingga banyak negara (termasuk Indonesia) berusaha untuk meningkatkan pendidikan warganya, dan demikian juga warga masyarakat secara individu berusaha memperoleh pendidikan yang layak bagi dirinya dan/atau anggota keluarganya. Melalui pendidikan diharapkan terjadinya peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu termasuk pentingnya memenuhi kebutuhan pangan bagi rumahtangga, sehingga menciptakan ketahanan pangan rumahtangga. Selanjutnya, pendidikan bersama dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu juga akan membuka peluang untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang bermuara kepada pendapatan. Pendapatan akhirnya mempengaruhi ketahanan rumahtangga. Hasil penelitian Rengganis (2010) menunjukkan bahwa rumahtangga dengan kepala rumahtangga (suami) yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi mempunyai peluang tahan pangan 2,764 kali dibandingkan dengan rumahtangga yang kepala keluarganya berpendidikan SMP ke bawah. Temuan bahwa pendidikan dapat meningkatkan peluang ketahanan pangan bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnaeni (2009). Peneliti ini menemukan bahwa pendidikan yang lebih tinggi justeru lebih berpeluang untuk menurunkan ketahanan pangan rumahtangga. Ditemukan bahwa rumahtangga yang kepala rumahtangganya berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT) berpeluang menjadi tidak tahan pangan 1,6 % lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga yang kepala rumahtangganya berpendidikan SMP ke bawah. Mungkin pendidikan tinggi menyebabkan seseorang atau rumahtangga menjadi lebih konsumptif terhadap barangbarang yang tampak secara fisik lebih menarik seperti penyediaan perabot rumahtangga atau pakaian yang lebih mewah dan mahal sehingga menelantarkan kebutuhan pangan yang mencukupi. Penjelasan lain yang mungkin terhadap temuan yang kontradiktif ini antara lain bahwa pendidikan yang diperoleh tidak atau kurang mengandung aspek pengetahuan gizi yang mengarah kepada ketahanan pangan. Hasil penelitian ini mengarahkan kepada semakin pentingnya kampanye atau penyebaran informasi tentang keseimbangan gizi bagi kehidupan manusia atau masyarakat. Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010
142 Ukuran keluarga Ketahanan pangan rumahtangga merupakan kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan rumahtangga yang bersangkutan. Semakin besar ukuran keluarga maka semakin banyak jumlah orang yang perlu dipenuhi kebutuhannya, sehingga keluarga yang lebih besar dan yang mempunyai pendapatan yang sama akan mempunyai peluang tidak tahan pangan yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang lebih kecil. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian pengaruh ukuran keluarga terhadap ketahanan pangan di beberapa lokasi di Pulau Lombok (Isnaeni, 2009; Rengganis, 2010). Isnaeni (2009) menemukan bahwa keluarga yang lebih besar (diartikan sebagai keluarga berukuran 5 orang atau lebih) mempunyai peluang untuk tidak tahan pangan sebesar 0,2 % dibandingkan dengan keluarga berukuran yang lebih kecil. Demikian juga dengan hasil penelitian Rengganis (2010) yang mengkonfirmasi hasil ini dengan menyimpulkan bahwa keluarga yang lebih besar (diartikan sebagai keluarga yang beranggotakan 4 orang atau lebih) mempunyai peluang untuk tidak tahan pangan sebesar 1,2955 lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang lebih kecil. Namun demikian, kedua peneliti ini menemukan bahwa ukuran keluarga tidak signifikan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan keluarga.
kurang lebih Rp 3 juta per tahun. Empat macam pekerjaan tambahan lainnya (menanam palawija, tukang bangunan, buruh bangunan, dan jualan warung) memberikan pendapatan per tahun antara Rp 1 juta – Rp 2,4 juta. Dengan demikian, menjadi lebih jelas bahwa pendapatan menjadi faktor penentu utama ketahanan pangan rumahtangga, seperti telah disampaikan pada bagian sebelumnya. Jenis lahan Penelitian Ridwan (2009) juga menghasilkan bahwa jenis lahan yang diusahakan petani juga berpengaruh positif terhadap peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga yang berusahatani pada lahan basah (sawah) merupakan rumahtangga yang tahan pangan, sedangkan rumahtangga yang hidup dari usahatani lahan kering merupakan rumahtangga yang tidak tahan pangan. Seperti diketahui bahwa lahan basah mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dari pada lahan kering, sehingga dengan harga produk yang sama maka lahan basah akan memberikan pendapatan yang lebih tinggi pula. Jadi, pengaruh jenis lahan ini terhadap ketahanan pangan adalah melalui produktivitas dan akhirnya pendapatan. Sekali lagi, pendapatan merupakan faktor utama yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga.
Pekerjaan sampingan Pekerjaan merupakan sumber penghasilan (pendapatan) bagi seseorang atau suatu rumahtangga, dan selanjutnya pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan termasuk bahan pangan. Semakin baik dan banyak pekerjaan akan cenderung memberi pendapatan yang lebih tinggi. Pekerjaan tambahan tentu saja akan menambah penghasilan terhadap pendapatan dari pekerjaan pokok, sehingga pendapatan keseluruhan menjadi lebih besar. Jadi, pengaruh pekerjaan (ada atau tidak adanya pekerjaan) akan sangat terkait atau berbanding lurus dengan pengaruh pendapatan. Namun demikian, tidak semua pekerjaan tambahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil penelitian Ridwan (2009) menunjukkan bahwa dari enam macam pekerjaan tambahan, terdapat hanya dua pekerjaan tambahan yang menjadikan suatu rumahtangga menjadi tahan pangan, yaitu pekerjaan sebagai buruh tani dan tukang ojek. Pendapatan yang diberikan oleh kedua macam pekerjaan yang baru saja disebutkan ini adalah
KESIMPULAN Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan suatu rumahtangga menjadi tahan pangan atau tidak. Faktor penentu utama adalah pendapatan rumahtangga, yang sangat mempengaruhi daya beli rumahtangga terhadap bahan pangan. Faktor-faktor lain seperti pendidikan, ukuran keluarga, pekerjaan sampingan, dan jenis lahan secara langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap besarnya pendapatan rumahtangga. Oleh karena itu, penelitian ini sekaligus menyarankan agar empat faktor penentu terakhir inilah yang perlu ‘digarap’ atau ‘dikelola’ untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. DAFTAR PUSTAKA Babbie, E., 2004. The practice of social research (10). Wadsworth, Belmont. BPS NTB, 2010. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2010 (Nusa Tenggara Barat in
T. Sjah & S. Supartiningsih: Faktor penentu ketahanan …
143 Figures 2010). Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat, Mataram.
Kabupaten Lombok Barat. University of Mataram, Mataram.
Chaeroni, A., 2010. Kajian ketahanan pangan dan status gizi rumahtangga petani di Kabupaten Lombok Tengah. University of Mataram, Mataram.
Ridwan, 2009. "Upaya alternatif pemenuhan kebutuhan pokok beras untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga petani gurem di Kabupaten Lombok Tengah." Agroteksos 19, 71-80.
Departemen Pertanian RI, 2001. Rencana Strategis Pengembangan Perkebunan (Strategi Adaptasi dengan Ruang Lingkup Global dan Otonomi Daerah). Direktorat Jenderal Bina Produksi Pertanian, Departemen Pertanian RI, Jakarta. Isnaeni, I., 2009. Studi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lombok Barat. University of Mataram, Mataram. Klock, J., and T. Sjah (Eds.), 2007. Water Management in Lombok, Indonesia: Challenges and Solutions. University of Mataram Press, Mataram. LIPI, 2004. Ketahanan Pangan Rumahtangga di Perdesaan: Konsep dan Ukuran. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Roumasset, J.A., 1981. Positive methods of agricultural analysis. The Australian National University, Canberra. Seitz, W.D., G.C. Nelson, and H.G. Halcrow, 2002. Economics of resources, agriculture, and food (2). McGraw-Hill, New York. Simon, J.L., 1969. Basic research methods in social science. Random House, New York. Sjah, T., 1998. Farming systems and farmer decisions on new cropping land in East Lombok Indonesia. Natural and Rural Systems Management, University of Queensland, Gatton.
McIver, J., 2001. Micro economics. McGrawHill, Roseville, NSW, Australia.
Sjah, T., 2000. "Keputusan produksi usahatani sawah baru Lombok Timur (Farm production decision on new cropping lands in East Lombok)." Oryza 6 (22), 151-161.
Menteri Pertanian RI, 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010 - 2014. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Sjah, T., D. Cameron, and K. Woodford, 2005. "Trend of farm productivity on new cropping lands in East Lombok, Indonesia." Agroteksos 14, 283-290.
Neuman, W.L., 1997. Social research methods: Qualitative and quantitative approaches. Allyn and Bacon, Boston.
Taylor, G.R., and M. Trumbull, 2000. "Practical applications for developing research paradigms in quantitative and qualitative research," in Taylor, G.R. (Eds), Integrating quantitative and qualitative methods in research, University Press of America, Lanham.
Parman, and Sunarpi, 2005. "Sustainable agricultural development in Lombok," in Mitsudo, H. and R.H. Sayuti (Eds), Sustainable Lombok: The rich nature and rich people in the 21st Century, Mataram University Press, Mataram. Penson, J.B.J., O.J. Capps, and C.P.I. Rosson, 2002. Introduction to agricultural economics (3rd). Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Rengganis, B.S., 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kecamatan Gerung
Trumbull, M., 2000. "Qualitative research methods," in Taylor, G.R. (Eds), Integrating quantitative and qualitative methods in research, University Press of America, Lanham. Van Tassel, E., 2004. "Household bargaining and microfinance." Journal of Development Economics 74, 449-468.
Agroteksos Vol. 20 No.2-3, Desember 2010