ISLAMIC SCHOOL CULTURE IN ACEH Oleh. Saminan Ismail1 (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar Raniry Darussalam Banda Aceh) Abstrak Pembahasan dalam tulisan ini ingin melihat tentang bagaimana budaya sekolah Islami di Aceh. Provinsi Aceh sebagai Daerah yang memiliki keistimewa (pendidikan, adat dan budaya) dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 dan ditegaskan kembali melalui UU Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalammerupakan wilayah dengan karakteristik masyarakat yang identik dengan Islam dan memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan sistem pendidikan berbasis nilai-nilai berbudaya Islami. Hal tersebut dipertegas dengan lahirnya Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 pasal (5) ayat (2) tentang penyelenggaraan pendidikan yang menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh berdasarkan pada nilai-nilai berbudaya Islami. Merujuk kepada UU Nomor 44 tahun 1999, UU Nomor 18 tahun 2001 dan Qanun Nomor 5 tahun 2008 tersebut, sesungguhnya sudah jelas mengharuskan agar semua stakeholder pendidikan di Aceh secara serius mewujudkan semua usaha pendidikan Islami. Pendidikan Islami (Islamic Education) merupakan suatu sistem pendidikan yang menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat Aceh untuk dikembangkan dalam praktik pendidikan di Aceh.Karena sistem pendidikan Islami dipandang sesuai dengan falsafah hidup dan nilai sosial masyarakat Aceh pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Melihat realitas ini, maka penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana implementasi nilai-nilai budaya Islami ini di sekolah yang ada di Aceh saat ini apakah sudah relevan dengan Qanun Nomor 5 Tahun 2008 pasal (5) ayat (2) tentang penyelenggaraan pendidikan yang menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh berdasarkan pada nilai-nilai berbudaya Islami. Kata Kunci: Budaya Sekolah, Pendidikan Islami
1
Saminan Ismail adalah Mahasiswa Program Doktor pada Pascasarjana UIN Ar Raniry Darussalam Banda Aceh.
I. Latar Belakang Letak geografisnya Kepulauan Nusantara di antara dua Samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh dampak dan pengaruh dari berbagai kebudayaan luar. Terciptanya suatu bangsa merupakan karena adanya perpaduan kebudayaan yang besar di dunia perjumpaan perdagangan Internasional di negeri ini sehingga menjadikan budaya Indonesia amat unik. Interaksi dengan berbagai kebudayaan besar yang merupakan sentuhan dari luar telah menampilkan ragam Kultur etnis yang semakin kaya. 2 Pendidikan merupakan suatu sistem yang mempengaruhi, dan atau dipengaruhi oleh sistem-sistem kehidupan lain yang terjadi di luar sistem pendidikan. Dalam kerangka keterkaitan antara sistem tersebut, setidaknya terdapat beberapa faktor di luar sistem pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian serius agar tampak adanya keterkaitan fungsionalnya masing-masing. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi, faktor kependudukan, politik, ekonomi, ketenagakerjaan, sosial-budaya, hubungan internasional, dan sebagainya.3 Pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, antara satu dan lainnya saling keterkaitan karena tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang berbudaya sebagaimana yang menjadi cita-cita pendidikan di Indonesia. Eksistensi budaya tidak terlepas dari masyarakat tempat di mana budaya tersebut tumbuh dan berkembang. Budaya merupakan salah satu etnik yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Di Indonesia terdapat ratusan etnik yang memiliki kultur yang hidup dan berkembang mengikuti perkembangan dan perubahan. Dalam kehidupan sehar-hari, jika seseorang melakukan interaksi dengan orang lain, ia sekaligus mengekspresikan budaya dan identitas etniknya. Dengan kata lain, setiap individu akan mewakili kelompok budaya mereka. Dalam komunikasi, unsur budaya merupakan salah satu hal penting untuk diperhatikan oleh komunikator dan sikomunikan (orang yang menerima pesan) agar pesan yang disampaikan sesuai dengan yang diinginkan oleh komunikator.4 Dalam artikel ini tidak akan membahas tentang pendidikan multikultural, namun lebih ditekankan kepada budaya pendidikan Islami dan pengaruh budaya dalam membentuk pendidikan yang Islami di Aceh sesuai dengan Qanun yang berlaku di Aceh tentang budaya pendidikan yang Islami. 2
Sam M.Chan dan Tuti T.Sam, Analisis Swot; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1005), hal.v 3 Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah, Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional (Bandung: Widya Aksara Press, 2009), hal.1 4 Abdul Rani dkk, Budaya Aceh, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Aceh, 2009), hal.5
II. Hakikat Budaya Sekolah Islami di Aceh Dalam perspektif Islam, pendidikan merupakan proses yang suci untuk mewujudkan tujuan asasi hidup, yaitu berupa beribadah kepada Allah dengan segenap maknanya yang luas. Sehingga dengan demikian, pendidikan merupakan bentuk tertinggi ibadah dalam Islam dengan alam sebagai lapangannya, manusia sebagai pusatnya, dan hidup beriman sebagai tujuannya.5 Islam merupakan syariat Allah bagi manusia yang dengan bekal syariat itu manusia beribadah. Agar manusia mampu memikul dan merealisasikan amanah besar itu, syariat itu membutuhkan pengamalan, pengembangan, dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan itulah yang dimaksud dengan pendidikan islam. Abdurahman An Nahlawi setelah mengkaji beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli, ia menarik benang merahnya tentang hakikat pendidikan dalam pandangan islam sebagai berikut; 1. Pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki tujuan, sasaran, dan target. 2. Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah Swt. Dialah pencipta fitrah, pemberi bakat (potensi), pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan, dan interaksi fitrah sebagaimana Dia pun mensyariatkan aturan guna mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan, dan kebahagiaan fitrah tersebut. 3. Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainnya. 4. Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah Swt menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Allah6. Pendidikan dapat dimaknai juga sebagai usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Definisi ini mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan guru maupun yang tidak melibatkan guru, mencakup pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal serta informal. Segi yang dibina oleh pendidikan dalam definisi ini adalah seluruh aspek kepribadian7. Pendidikan dapat dimaknai juga sebagai pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi adalah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri,
5
Hery Noer Aly dan H.Munzier Suparta. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang (Jakarta: Triasco, 2003). hal.53 Abdurahman An Nahlawi. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal.21 7 Ahmad Tafsir. Metodologi Pengajaran Agama Islam. (Bandung. Remaja Rosda Karya, 1995). hal.5 6
pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru), seluruh aspek mencakup jamani, akal dan hati. Adapun pendidikan Islam itu sendiri Ahmad Tafsir memberikan pandangan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam, dengan kata lain pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin. 8 Ahmad Tafsir memberikan tambahan pandangannya dengan merujuk kepada pandangan orang-orang Yunani, bahwa pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi manusia. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan berhasil telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Itu menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi manusia karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi, tujuan mendidik adalah memanusiakan manusia9. Adapun Abdurahman Al Bani dalam Abdurrahman An-Nahlawi bahwa pendidikan adalah menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kebaikan dan kesempunaan secara bertahap.
10
Sementara Kosasih Djahiri mengungkapkan bahwa
pendidikan merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu (terus menerus sepanjang hayat) ke arah membina manusia/anak didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized). Pendidikan merupakan upaya yang terorganisir memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasardan tujuan yang jelas, ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Adapun berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat, yaitu selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati. 11
8
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010).hal.24 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010).hal.33 10 Abdurrahman An Nahlawi. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. 2004 (Jakarta. Gema Insani Press, 2004), hal.32. 11 Djahiri Kosasih. Kapita Selekta Pembelajaran. (Bandung. Lab PMPKN FPIPS UPI Bandung, 2007).hal.3 9
III. Budaya Pendidikan Islami di Aceh Adalah kewajiban bagi masyarakat Aceh untuk melaksanakan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi sosial masyarakat dan tata kelola pemerintahan yang diselenggarakannya. Secara historis, antara Islam dengan masyarakat Aceh bak dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan sehingga wajar secara nasional Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, hal tersebut diperkuat oleh komitmen yuridis pemerintah dan komitmen kolektif masyarakat yang sejak lama sudah mengidamkan terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat dan tata kelola pemerintahan yang Islami. Salah satu bidang yang sudah menjadi komitmen pemerintah daerah dan komitmen kolektif masyarakat Aceh sekaligus sebagai salah satu bagian dari upaya membangun Indeks. Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah bidang pendidikan. Bidang pendidikan merupakan bidang strategis untuk dikembangkan sebagai simpul penguatan sumber daya insani pembangunan masyarakat Aceh yang berbasis karakter Islami. Lahirnya UU No. 44 Tahun 1999 dan ditegaskan kembali melalui UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD merupakan salah satu landasan yuridis yang memberi ruang bagi masyarakat Aceh untuk melaksanakan sistem pendidikan berbasis nilai-nilai budaya Islami. Hal tersebut dipertegas dengan lahirnya Qanun Aceh No. 5 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan. Qanun tersebut menjadi gambaran cita-cita masyarakat Aceh tentang konsep pendidikan ideal yang dianggap relevan dengan cita-cita penegakan syariat Islam di Aceh. Ketentuan yang berhubungan dengan aspek kebijakan penyelenggaraan pendidikan di Aceh yang berbasis kepada budaya islami dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2008 tersebut adalah terkait dengan pembagian kewenangan pengelolaan pendidikan. Pasal 15 Qanun tersebut menyebutkan bahwa; 1. Penyelenggaraan pendidikan di Aceh menjadi tanggungjawab pemerintah, pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota secara bersama-sama 2. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota secara bersama-sama melaksanakan Keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam12 12
Penjelasan Qanun Nomor 5 tahun 2008 menyebutkan bahwa muatan lokal yang dapat dikembangkan adalah (a) Sejarah Kebudayaan Islam, (b) Sejarah dan Budaya Aceh, (c) Bahasa Daerah, (d) Tulisan Arab Melayu dan mata pelajaran lain yang dubutuhkan, (e) Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan ditambah dengan mata pelajaran produktif sesuai dengan program keahlian dan kejuruannya.
3. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, dan pengendalian mutu pendidikan 4. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasasrkan atas prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, hak asasi manusia, nilai islam, budaya dan kemajemukan bangsa. 5. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupetan/kota memiliki kewenangan mengatur dan menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah dan/atau nonpemerintah yang berasal dari dalam atau luar negeri dalam rangka pengembangan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai turunan dari Qanun No 5 tahun 2008, pemerintah provinsi membuat peraturan gubernur yang mengatur tentang tata kelola penyelenggaraan pendidikan tertentu secara spesifik, contohnya gubernur sudah menetapkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 4 tahun 2011 tentang Penyelenggraaan Pendidikan Inklusif. Sebagai turuan dari Qanun dan peraturan Gubernur yang ditetapkan pemerintah provinsi sekaligus sebagai payung hukum penyelenggaran pendidikan di kabupaten/kota dan dalam rangka menjamin pemerataan eksempatan memperoleh pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan sumber daya manusia dan peran serta masyarakat dalam pendidikan, maka beberapa kabupaten/kota menetapkan Qanun penyelenggaraan pendidikan untuk kabuptaten/kota masing-masing, sebagai contoh Kabupaten Aceh Besar sudah memiliki Qanun yang secara khusus mengatur tentang tata kelola penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Aceh Besar yakni Qanun Nomor 6 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan13.
13
Qanun Kabupaten Aceh Besar No 6 Tahun 2010 Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan di Kabupaten Aceh Besar adalah pendidikan yang berdasarkan syariat islam, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Budaya Aceh Besar. Lebih lanjut Pasal 4-nya menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk memantapkan iman dan takwa kepada Allah Swt, mengembangkan kapasitas ilmu dan teknologi serta kemampuan beramal saleh dalam upaya meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusi dengan tuntuan ajaran islam. Pasal 5 menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk membina pribadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Alllah swt, berakhlakul karimah, memiliki kapasitas ilmu dan teknologi handal, demokratis, sehat jamani dan rohani, menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi kepada Allah swt, masyarakat dan negara.
Melalui Qanun No. 5 Tahun 2008 pasal 5 ayat 2, legislatif dan eksekutif kala itu sepakat bahwa sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh berdasarkan pada nilai-nilai budaya Islami. Terkait dengan format pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (2005) mengungkapkan bahwa pendidikan Islami adalah pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam, pendidikan yang teori-teori dan prakteknya disusun berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Dengan melihat potensi sumber daya dilingkungan Provinsi NAD, penyelenggaraan pendidikan yang berbasis kepada nilai-nilai budaya Islami sangat relevan dengan masyarakat Aceh yang menjadikan Islam sebagai jati dirinya. Bahkan, pendidikan Islami semestinya menjadi agenda utama dalam proses penerapan syariat Islam di Aceh. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan pendidikan Islami yang komprehensif pintu gerbang kebangkitan Islam dan umatnya dapat dikembangkan, dan hanya dengan nilai-nilai pendidikan Islami, cita-cita syariat Islam yang kaffah di Aceh sangat mungkin untuk diwujudkan. Namun demikian, praktek pendidikan di Aceh dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan sesuai yang diamanahkan dalam Qanun. Hal ini terbukti masih kurangnya terintegrasi nilai-nilai ketuhanan dalam proses pembelajaran dan kultur sekolah yang terbangun, ironisnya justru lebih banyak berorientasi pada pengembangan struktur kognitif semata. Coba kita perhatikan betapa banyak orang tua dan anak-anak pada bulan-bulan ini begitu galau dan risau takut tidak lulus Ujian Nasional, tetapi betapa banyak orang tua di bulan-bulan ini tidak takut anaknya belum mampu membaca Al-qur’an apalagi membaca kitabkitab arab. Indikator lain menunjukkan adanya distorsi antara cita-cita konstitusi dan praktek pendidikan di Aceh dapat dilihat dari praktek sopan santun siswa bahkan guru yang kini sudah mulai memudar, diantaranya cara mereka berbicara sesamanya, prilakunya terhadap guru dan orang tua, kata-kata kotor yang tidak sepantasnya diucapkan oleh anak seusianya seringkali terlontar. Sikap ramah terhadap guru ketika bertemu dan penuh hormat kepada orang tua pun tampaknya sudah menjadi sesuatu yang sulit ditemukan. Fenomena tersebut tentunya sangat bertentangan dan membuat jarak antara tujuan dan hasil pendidikan di Aceh semakin jauh dari harapan.Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) dipandang belum mampu mewujudkan cita-cita atau visi pendidikan Aceh yang Islami. Oleh karena itu impian pendidikan jaya di Aceh menjadi luntur, justru karena nilai-nilai pendidikan Islami belum diterapkan secara sempurna, atau bahkan tidak diterapkan sama sekali di sekolahsekolah, sehingga cita-cita pendidikan untuk melahirkan peserta didik yang memiliki
karakteristik utuh sebagai al-‘abid ash-shalih yang mushlih (sosok pribadi yang shaleh secara individual dan soaial dalam kehidupan) masih jauh dari tujuan pendidikan Islami. Penyelengaraan pendidikan di Aceh mesti didasari oleh asas-asas yang berpijak kepada sistem nilai Islam. Secara konsep yuridis, hal tersebut sesungguhnya sudah ditegaskan dalam Qanun No. 5 Tahun 2008 Bab II Pasal 2. Dari 19 asas yang disepakati, asas keIslaman menjadi asas pertama yang mendasari asas-asas lainnya, hal tersebut menunjukkan bahwa secara normatif lembaga eksekutif dan legislatif di Aceh kala itu memiliki komitmen yang kuat untuk menjadikan syariat Islam sebagai pondasi yang menjiwai seluruh penyelenggaraan pembangunan di Aceh, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Arah penyelenggaraan pendidikan di Aceh juga sesungguhnya sudah jelas, dalam pasal 4 Qanun tersebut ditegaskan bahwa tujuan penyelengeranaan pendidikan di Aceh adalah untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt, berakhlak mulia, cerdas, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab. Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan tersebut, Bab III Pasal 5 dan Pasal 6 menegaskan tentang penyelenggaraan pendidikan yang wajib diselenggarakan oleh para pelaku pendidikan di Aceh. Ayat 2 dan 3 pasal tersebut menegaskan bahwa sistem pendidikan yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islam. Penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2 diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur. Pasal 6 ayat 1 dan 2 lebih lanjut menegaskan bahwa penyeleggaraan pendidikan di Aceh didasarkan pada Rencana Strategis Pendidikan. Rencana Strategis Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk tingkat Aceh ditetapkan dengan peraturan Gubernur dan untuk tingkat kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota. Melalui deskripsi di atas secara umum kiranya dapat tergambar tentang konsep ideal pendidikan di Aceh yang mengamanahkan konsep pendidikan berbasis pada nilai-nilai budaya Islami. Namun demikian, dalam tataran implementasinya di persekolahan, berdasarkan hasil observasi dan analisis penulis, sekolah belum dapat mendefinisikan konsep pendidikan yang diamanahkan Qanun Aceh tentang pendidikan tersebut, pendidikan Islami yang dikembangkan kepala sekolah bersama warga sekolah lainnya sangat bervariasi. Hal tersebut tampak dari konsep pendidikan yang diungkapkan oleh para kepala sekolah dan tata kelola pendidikan yang dikembangkannya oleh masing-masing sekolah. Keragaman potensi sumber daya dan karakteristik lingkungan dari masing-masing sekolah menjadi row input utama bagi kepala
sekolah dalam meracik kurikulum khas mereka. Ketiadaan format standar pendidikan Aceh yang Islami dan berkualitas yang diamanahkan Qanun Aceh tentang pendidikan menjadi salah satu faktor masih berserakannya pelaksanaan pendidikan di Aceh. Padahal jika merujuk kepada Qanun Aceh tentang pendidikan tepatnya pasal 16 ayat 1 point c bahwa salah satu kewenangan Pemerintah Provinsi NAD dalam bidang kebijakan pendidikan meliputi penetapan standar pendidikan Aceh yang Islami dan berkualitas. Namun berdasarkan hasil wawancara, studi dokumentasi dan observasi lapangan pada beberapa sekolah setingakat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA di Aceh , tidak ditemukan adanya standar pendidikan Aceh yang mestinya sudah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi NAD sebagaimana diamanahkan Qanun No. 5 tahun 2008.Tahun 2009 memang pernah dilakukan workshop model KTSP Islami dan diskusi terbatas tentang konsep pendidikan bernuansa Islami oleh Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh untuk merumuskan buku pedoman pendidikan Islami di sekolah sebagai pedoman operasional dalam menlaksanakan konsep pendidikan yang diamanahkan Qanun No 5 Tahun 2008. Namun, hasil workshop dan diskusi terbatas tersebut berdasarkan penelitian penulis di beberapa sekolah, belum dijumpainya. Dan penulis dapatkan dari MPD, sehingga wajar format pendidikan di masing-masing sekolah di Aceh masih berserakan dan berjalan masing-masing. Untuk mewujudkan konsep pendidikan yang digariskan Qanun No. 5 Taun 2008 diperlukan political will, political action dan political budgeting dari pemerintah Provinsi NAD dan pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing sebagaimana ditegaskan Pasal 16 (1.c) dan 17 (2.b). Penetapan standar pendidikan Aceh yang Islami dan berkualitas yang sudah dibunyikan dalam Qanun No. 5 Tahun 2008 tersebut menjadi kebutuhyan primer yang harus segera ditetapkan, sehingga cita-cita ideal pendidikan Aceh dapat segera disinergiskan dengan potensi sumber daya dan arah pendidikan yang dipraktekan sekolahsekolah di Aceh. Terkait dengan standar pendidikan tersebut, Pemerintah NAD dan pemerintah Kabupaten/Kota cukup mengacu dan mengembangkan ketentuan yang ditegaskan oleh Peraturan Pemerintah (PP) RI No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Merujuk kepada PP No. 19 Tahun 2005 Bab II Pasal 2 bahwa terdapat 8 SNP yakni Standar Isi (Permendiknas No. 22 Tahun 2006), Standar Proses (Permendiknas No 41 Tahun 2006), Standar Kompetensi Lulusan/SKL (Permendiknas No.23 Tahun 2006), Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Permendiknas No 16 Tahun 2007), Standar Pengelolaan (Permendiknas No.19 Tahun 2007), Standar Sarana dan Prasarana (Permendiknas No.24 Tahun
2006), Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan (Permendiknas No.20 Tahun 2006). Berdasarkan 8 SNP tersebut, pemerintah provinsi dapat membuat Qanun atau yang lebih operasionalnya Peraturan Gubernur tentang Standar Nasional Pendidikan Islami (SNPI) yang meliputi Standar Isi Pendidikan Islami di Aceh, Standar Proses Pendidikan Islami di Aceh, hingga Standar Penilaian Pendidikan Islami. Adapun pemerintah Kabupaten/Kota dapat membuat Qanun atau yang lebih operasionalnya Peraturan Walikota/Bupati tentang pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan Islami (SNPI) yang sudah ditegaskan oleh Qanun Provinsi atau Peraturan Gubernur. Sebagai contoh hal yang perlu dikembangkan terkait dengan Standar Isi Pendidikan Islami di Aceh mulai perguruan tinggi sampai pendidikan dasa radalah perlu ditetapkannya Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk mata pelajaran muatan lokal Baca Tulis Al Qur’an yang dibarengi dengan In House Training (IIHT) bagi semua guru di semua jenjang pendidikan untuk dapat mengembangkan indikator-indikator dari setiap SK dan KD ke dalam format Silabus dan RPP atau bagi guru mata pelajaran lain untuk mengintegrasikan nilainilai Islam ke dalam SK dan KD masing-masing. Adapun contoh lainnya adalah mengembangkan Standar Proses Pendidikan Islami dengan menambahkan kegiatan-kegiatan bernuansa Islami ke dalam kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler dan pengembangan diri, sedangkan terkait dengan SKL dapat dikembangkan tambahan SKL untuk seluruh jenjang pendidikan, misalnya untuk lulusan SD/MI wajib hafal 2 juz,dapat membaca kitab huruf jawi, untuk lulusan SMP/MTs hafal 3 juz, dapat membaca kitab delapan, sedangkan lulusan SMA/MA hafal 5 juz, dapat membaca kitab kuning dan lulusan Perguruan Tinggi hafal 10 Juz dan juga harus mampu membaca kitab kuning Sementara terkait dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Islami contohnya adalah perlu dikembangkannya prasyarat kompetensi seorang guru profesional yakni kompetensi spiritual (syariat Islam), seumpama ada tes baca al-quran berlaku untuk PTN dan PTS selain empat kompetensi utama sebagaimana sudah ditegaskan dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007 yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Sebagai benang merah, untuk mewujudkan konsep pendidikan yang diamanahkan Qanun No.5 Tahun 2008, dari sisi pemerintahan perlu ditetapkan regulasi tentang Standar Nasional Pendidikan Islami (SNPI) sebagai pengembangan dari SNP, sementara dari sisi implementasinya di sekolah, selain mengacu kepada SNPI yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur,
sekolah setidaknya dapat mengembangkan tiga tataran implementasi. Tiga tataran tersebut relevan dengan teori tentang tingkatan budaya menurut Schein (1991). Pertama, tataran nilai, Schein menyebutnya dengan istilah Espoused Values, sekolah wajib memiliki nilai-nilai Islami tersurat dan tersirat yang disepakati secara kolektif dan dijiwai oleh pimpinannya, gurunya, siswa, hingga karyawan sekolah. Kedua, tataran praktek keseharian, Schein menyebutnya dengan istilah basic underlying assumptions, sekolah dalam praktek kesehariannya harus mampu mendefinisikan nilai-nilai kolektif yang sebelumnya sudah disepakati ke dalam kegiatan rutin, spotan, dan keteladanan. Racikan kurikulum yang dikembangkannya terformulasikan berdasarkan kepada semangat pengintegrasian antara IMTAK dan IPTEK. Guru membentuk kebiasaan dan memberi teladan, kepala sekolah membangun spirit dan menciptakan iklim yang membuat civitas akademika merasa nyaman untuk mengekpresikan potensi dirinya, dan komite sekolah memberikan peranan sebagai alat kontrol dan pembuka jaringan kepada stakeholder. Ketiga, tataran simbol, Schein menyebutnya dengan istilah Artifact, infrastruktur sekolah didesain oleh MPD, Dinas Pendidikan, kepala sekolah bersama timnya agar mendukung pelaksanaan nilai-nilai kolektif sekolah dan pelaksanaan kegiatan rutin, spontan dan keladanan yang berlangsung alamiah di lingkungan sekolah, seperti yang telah dikembangkan oleh beberapa sekolah di Aceh sebagai contoh MA Ruhul Islam Anak Bangsa, MAN model Banda Aceh, di dinding sekolah yang dilewati oleh guru dan siswa dipasang pesan-pesan moral dalam empat bahasa yakni indonesia, arab, inggris dan mandarin. Nilai-nilai kolektif yang sudah ditegaskan bersama, divisualisasikan kedalam sebuah simbol-simbol fisik yang artistik dan menarik minat siswa untuk membaca dan mengintegrasikannya ke dalam sistem kepribadiannya. Kami yakin dan percaya bahwa pendidikan berbudaya Islami akan mampu dilaksanakan di Aceh sesuai dengan amanah Qanun Aceh apabila didukung oleh legeslatif, eksekutif dengan dibarengi anggaran yang cukup serta semua stakeholder.
IV. Struktur dan Pengembangan Nilai-nilai Budaya Islami di Sekolah Budaya dapat dimaknai sebagai suatu pola hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk agama,politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Maswardi Muhammad Amin memberikan pandangan bahwa budaya atau culture adalah keseluruhan ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat,
kebiasaan, serta kemampuan lain yang diperoleh sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa budaya juga dapat dimaknai sebagai keseluruhan cara hidup, warisan sosial, cara berpikir, kepercayaan, cara kelompok bertingkah laku, gudang pelajaran yang dikumpulkan, tindakan baku untuk mengatasi masalah, peraturan bertingkah laku dalam acara tertentu. Substansi dari budaya dalam kehidupan sehari-hari tampak pada kebiasaan, adat istiadat, pola pergaulan, upacara ritual (kepercayaan), sikap dan perilaku yang berulang-ulang yang khas dalam kehidupan masyarakat tertentu 14. Adapun Taliziduhu Ndraha berpendapat bahwa terdapat beberapa fungsi budaya sebagai berikut: a. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas ini terbentuk oleh berbagai faktor seperti sejarah, kondisi dan sisi geografis, sistem-sistem sosial, politik dan ekonomi, dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat (Charles Hampden-Turner (1994, 14). Perbedaan dan identitas budaya (kebudayaan) dapat mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah di berbagai bidang. b. Sebagai pengikat suatu masyarakat. Kebersamaan (sharing) adalah faktor pengikat yang kuat seluruh anggota masyarakat. c. Sebagai sumber. Budaya merupakan sumber inspirasi, kebanggaan, dan sumberdaya. Budaya dapat menjadi komoditi ekonomi, misalnya wisata budaya. d. Sebagai kekuatan penggerak. Karena (jika) budaya terbebtuk melalui belajarmengajar (learning procces) maka budaya itudinamis, resilient, tidak statis, tidak kaku. e. Sebagai kemampuan untuk memberi nilai tambah. Ross A. Webber mengikat budaya dengan manajemen, John P. Kotter dan James L. Heskett menghubungkan budaya dengan performance, Charles Hampden-Turner dengan kekuatan organisasional dan keunggulan bisnis. f. Sebagai pola perilaku. Budaya berisi norma tingkah laku dan menggariskan batasbatas toleransi sosial (ref. Geet Hofstede dalam Culture’s Consequnces, 1980, 27). g. Sebagai warisan. Budaya disosialisasikan dan diajarkan kepada generasi berikutnya. Isu ini dijadikan tema sentral International Conference on Tourism and Heritage
14
Maswardi Muhammad Amin. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. (Jakarta: Baduose Media, 2011). p. 86
Management di Yogyakarta, 28-30 Oktober 1996, yang dihadiri antara lain oleh Clifford Geertz dan Alvin Toffler. h. Sebagai substitusi (pengganti) formalitas. Hal ini dikemukakan oleh Stephen P. Robbins dalam Organization Theory (1990, 443): “Stron cultures increase behavioral consistency,” sehingga tampa diperintah orang melakukan tugasnya. i. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan. Dilihat dari sudut ini, pembangunan seharusnya merupakan proses budaya. j. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation-state.15 Pada satu pihak, budaya bermuatan nilai dasar (basics, pendirian) mengaktualisasikan diri dalam wujud raga (memperagakan diri) melalui perilaku dengan cara tertentu, dan dipihak lain budaya terbentuk (nilai membudayakan dirinya) melalui raga yang dilakonkan (teaching by example) dengan cara tertentu pula. Terbentuknya budaya tidak dalam sekejap, tidak bisa dikarbit. Pembentukan budaya memerlukan waktu bertahun bahkan puluhan dan ratusan tahun. Menurut Taliziduhu Ndraha, pembentukan budaya diawali oleh (para) pendiri (founder) melalui tahapan demikian: a. Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi atau perusahaan (the founder) berdasarkan VM tertentu. b. Ia menggali dan mwngerahkan sumber-sumber, baik orang ini yanvg sepaham dan setuju dengan dia (SDM), biaya, teknologi, dan sebagainya. c. Mereka meletakkan dasar organisasi, berupa susunan organisasi dan tatakerja16. Terbentuknya budaya diharapkan tidak hanya peristiwa psikologis di dalam diri seseorang, tidak hanya sekadar rangsangan emosional, melainkan setelah melalui pertimbangan rasional, memasuki lubuk hati menjadi keyakinan, commitment sehingga yang bersangkutan memegangnya teguh secara konsisten seumur hidupnya. Sebagai proses sosial, terbentuknya budaya terjadi melalui proses akomodasi, akulturasi, dan asimilasi. Akomodasi (accomodation) adalah proses penerimaan budaya yang satu oleh budaya yang lain sebagaimana adanya, baik berdasarkan kesukarelaan, kesepakatan, kesenasiban, atau pertukaran (exchange). Identitas masing-masing tetap utuh dan terpelihara.
15 16
Taliziduhu Ndraha .Budaya Organisasi (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).hal.45 Taliziduhu Ndraha .Budaya…, hal. 76
Akulturasi (acculturation) adalah proses adopsi budaya yang satu oleh budaya yang lain sehingga sementara identitas masing-masing tetap utuh, terjadi pembentukan budaya baru (sinergi budaya). Asimilasi (assimilation) mengandung arti budaya yang satu menyatu (incorporated), berubah (converted), atau menjadi sama (resembled to, resembled with). Identitas masing-masing relatif berubah atau sebagian besar hilang. Dari berbagai budaya yang berbedabeda, tumbuh kembang budaya: (1) A X B = AB (2) A X B = AB + y (3) A X B = C
y = budaya baru
Ketiga macam proses di atas dapat dilihat sendiri-sendiri (langsung) dan dapat juga dipandang sebagai sebuah paket (bertahap, mulai dari akomodasi sampai pada asimilasi). Dari pendekatan ini ditetapkan strategi budaya; a. Langsung, artinya dipilih salah satu yang dianggap paling tepat, misal (tingkat tertinggi). b. Bertahap, artinya strategi akomodasi dulu, baru yang lainnya. c. Situasional, dipilih menurut sikon setempat. d. Elektik, diambil unsur yang baik dari ketiga alternatif. e. Kombinatif, digabungkan dua atau tiga sekaligus17. Dalam hubungan itu, pembentukan budaya juga harus diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada setiap orang untuk di satu pihak memberi sumbangan sebesar-besarnya kepada organisasi dan dipihak lain mencapai self actualization setinggi-tingginya pula. Oleh karena setiap orang atau kelompok, berbudaya (budaya peribadi atau budaya kelompok), maka tiap orang atau kelompok memasuki OSO atau membentuk OSI, ia (mereka) membawa budayanya serta (BSI). Nilai yang menjadi muatan budayanya berfungsi sebagai masukan bagi OSO dan terlebih lagi bagi OSI. Bagi OSI, sistem nilai masukan itu adalah VM . dalam organisasi, nilai atau VM itu diperoses oleh para pelaku di dalam institusi terkait sehingga terbentuk vehicles baru yang memuat nilai-nilai itu. Nilai atau VM sebagai salah satu unsur masukan ke dalam organisasi diperoses melalui BOS yang bersangkutan. BSO pada gilirannya berfungsi sebagai alat pembentuknilai baruatau nilai tambah. Nilai baru ini kembali memerlukan vehicle yang lebih canggih, demikian seterusnya. 17
Taliziduhu Ndraha. Budaya…, hal. 80
V. Kesimpulan Budaya dapat dimaknai sebagai suatu pola hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk agama,politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Dalam konteks pengembangan budaya dilingkungan sekolahsistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai yang diharapkan oleh masyarakat dari murud-murid. Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku dapat disebut kebudayaan sekolah walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas. Implementasi nilai-nilai Islami di sekolah dapat dilihat di beberapa sekolah baik yang boarding maupun tidak. Untuk sekolah yang menerapkan boarding school, nilai-nilai Islam dikembangkan melalui Penegasan nilai-nilai budaya Islami, penetapan nilai-nilai budaya Islami dalam tata tertib sekolah, Pengintegrasian nilai-nilai budaya Islami dalam janji siswa, shalat berjamaah pada lima waktu shalat wajib, Kegiatan pembinaan keagamaan secara berkala, Pemasangan pesan-pesan moral yang Islami dalam tiga bahasa yakni Indonesia, Arab, dan Inggris, Membiasakan shalat dhuha berjamaah. Memulai kegiatan belajar mengajar dengan membaca Al-Qur’an. Mengembangan kelompok belajar teman sebaya yang pelaksanaanya memanfaatkan masjid sekolah. Menambah SKL bagi kelas XII untuk hafal minimal 3 juz al qur’an. Memasang kaligrafi, Memakmurkan kegiatan mesjid dengan melibatkan siswa. Mengembangkan semangat keteladanan kepada para guru dan pembina asrama dalam pengamalan syariat Islam. Adapun konsep pendidikan berbudaya Islami yang dikembangkan di sekolah yang tidak menerapkan boarding school dilaksanakan dengan Menegaskan nilai-nilai budaya Islam, Memasang pesan-pesan moral dalam tiga bahasa yakni bahasa Arab, Inggris dan Indonesia, mengembangkan tim asistensi untuk program pengembangan diri siswa Menegaskan core karakter yang menjadi misi utama sekolah, Membiasakan shalat berjamaah di mesjid sekolah. Untuk guru mata pelajaran yang mengajar pada jam pertama diwajibkan memandu siswa untuk membaca Al Qur’an secara bersama-sama. Membangun spirit pengamalan ajaran Islam melalui kegiatan-kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Pelaksanaan pemotongan hewan kurban di sekolah setiap momentum Idul Adha. Memasang kaligrafi di setiap ruang kelas dan ruangruang lainya yang ada di sekolah. Mengikutksertakan siswa pada kegiatan-kegiatan eksternal yang bernuansa Islami. Menjadikan hari Sabtu sebagai hari pengembangan diri, termasuk pengayaan keagamaan bagi siswa.
Referensi
Abdul Rani dkk, Budaya Aceh, Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Aceh, 2009. Abdurahman An Nahlawi. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani, 2004 . Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah, Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional Bandung: Widya Aksara Press, 2009. Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010. -----------------. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010. -----------------. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung. Remaja Rosda Karya, 1995. Djahiri Kosasih. Kapita Selekta Pembelajaran. Bandung. Lab PMPKN FPIPS UPI Bandung, 2007. Hery Noer Aly dan H.Munzier Suparta. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang Jakarta: Triasco, 2003. Maswardi Muhammad Amin. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Jakarta: Baduose Media, 2011. Qanun Kabupaten Aceh Besar No 6 Tahun 2010 Pasal 3. Qanun Nomor 5 tahun 2008. Sam M.Chan dan Tuti T.Sam, Analisis Swot; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1005. Taliziduhu Ndraha .Budaya Organisasi Jakarta: Rineka Cipta, 1997.