B A B II KAJIAN TEORETIK, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teoretik 1. Komitmen Organisasi Kepala Sekolah Kata komitmen berasal dari bahasa latin ”committere” yang berarti menggabungkan, menyatukan, mempercayai dan mengerjakan.1 Menggabungkan berarti adanya suatu kelompok yang memiliki keteguhan dalam mengerjakan sesuatu. Mathis dan Jackson memberikan definisi: ”Organizational commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization”.2 Komitmen organisasi kepala sekolah merupakan derajat kepercayaannya untuk
menerima tujuan-tujuan organisasi
(lembaga) dan menginginkan untuk tinggal dalam organisasi itu. Komitmen organisasi dapat juga menggambarkan kekuatan keterlibatan dalam organisasi, sebagaimana dinyatakan Stroh, Northcraft, dan Neale: ”Organization commitment is the relative strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization”.3 Lebih lanjut dinyatakan: ”Organizational commitment is not simply loyalty to an organization, but an ongoing process through which organizational actors express their concern for the continued succes and well-being of the organization of which they
1
Snyder, Neil H., James J. Dowd, Jr., Dianne Morse Houghton (1994). Vision, Values and Courage:Leadership for Quality Management. New York: The Press, p. 128. 2 Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008). Perilaku Organisasi. Yokyakarta: Penerbit C.V. Andi Offset, p. 155. 3 Linda K. Stroh, Gregory B. Northcraft, dan Margaret A. Neale (2002). Organizational Behavior: A Management Challenge. New Jersey: Laurence Erlbaum Associates, Inc., Publishers, p. 293.
26
27 are a part”.4 Dengan demikian komitmen organisasi bukan hanya ukuran kesetiaan terhadap organisasi, tetapi sebagai bagian dari organisasi juga diekspresikan perhatian terhadap kesuksesan dan kesejahteraan organisasi itu. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dan kesetiaan dalam suatu organisasi tidak terlepas dari adanya kesuksesan dan kesejateraan yang dialami pada organisasi itu. Pendapat tersebut didukung Cooper dan Viswesvaran:
”Organizational
commitmen is the stregth of an employee’s involvement in the organization and identification with it”5. Serta Colquit, LePine, dan Wesson juga mendefinisikan komitmen organisasi ”...as the desire on the part of an employee to remain a member of the organization”.6 Komitmen organisasi merupakan kekuatan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi. Karyawan yang tinggal dengan organisasi untuk jangka waktu yang panjang cenderung jauh lebih berkomitmen kepada orgnisasi dari pada mereka yang bekerja untuk waktu yang lebih singkat. Walker menjelaskan bahwa”commitment is the willingness of people to stay with the organization and contribute energetically to achievement of share objective”.7 Sesuai dengan penjelasan Walker dapat dinyatakan bahwa komitmen adalah kesediaan orang untuk tinggal dengan organisasi dan memberikan kontribusi penuh semangat untuk pencapaian tujuan. Walker memberikan penjelasan yang lebih luas daripada Colquitt, LePine, dan Wesson tentang hakikat komitmen, karena dinyatakannya selain memiliki kesediaan untuk tetap menjadi anggota 4
Ibid. A.H. Cooper dan C. Viswesvaran (2005). “The Construct of Work Commitment: Testing an Integrative Frame Work”, Psychological Bulletin, 13, 241-259. 6 Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson (2009). Organization Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: The McGraw-Hill Com., Inc., p.67. 7 James W. Walker (1992). Human Resources Strategy. Singapore: McGraw-Hill, Inc, p. 87 5
28 organisasi, juga memberikan kontribusi dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan organisasi. Wagner dan Hollenbeck mendefinisikan komitmen organisasi sebagai ”the degree to which people identify with the organization that employs them. It implies a willingness on the employee’s part to put forth a substantial effort on the organization’s behalf and his or her intention to stay with the organization for along time”.8 Pendapat yang senada dikemukakan Newstrom, yang menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan ”...the degree to which an employee identifies with the organizational and wants to continue actively participating in it”.9 Sedangkan Nawab dan Bhatti menyatakan: “Organization commitment can be defined as affiliation of employees to the organization and involvement in it”.10
Komitmen organisasi menggambarkan sejauh mana karyawan mengenali organisasi yang mempekerjakannya, yang merupakan keinginan karyawan untuk berupaya besar dengan niatnya untuk tinggal dengan organisasi ataupun keterikatan dengan organisasi untuk waktu yang lama disertai partisipasi aktif. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena hal tersebut menunjukkan bahwa dengan mengenal keberadaan organisasi, karyawan berupaya untuk tinggal dengan organisasi tanpa mempertimbangkan kesuksesan dan kesejahteraannya. Selanjutnya Salancik mengemukakan bahwa komitmen adalah suatu keadaan di mana individu mengikat tindakannya terhadap keyakinan yang mendukung
8
John A. Wagner III dan John R. Hollenbeck (2010). Organizational Behavior: Securing Competitive Advantage. New York: Routledge,p. 111. 9 John W. Newstrom (2007). Organizational Behavior. New York: McGraw Hill, p. 207. 10 Samina Nawab dan Komal Khalid Bhatti (2011), “Influence of Employee Compensation on Organizational Commitment and Job Satisfaction: A Case Study of Educational Sector of Pakistan”, International Journal of Business and Social Science , 2, (8), 25-32.
29 kegiatan dan keterlibatannya sendiri.11 Berdasarkan pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa komitmen menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai seseorang guna mewujudkan tujuan organisasi. Komitmen merupakan aspek penting dalam bertindak dengan menunjukkan sikap sebagai dasar keterlibatan seseorang. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan bekerja dengan sungguh-sungguh, bersemangat, dan menjalin kerjasama yang baik agar tercapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Lebih
lanjut
Colquit,
LePine,
dan
Wesson
yang
terkenal
dengan”Integrative Model of Organizational Behavior”nya menjelaskan bahwa mekanisme organisasi, mekanisme tim, dan karakteristik individu membangun mekanisme individu dalam upaya menumbuhkan job performance dan komitmen organisasi. Paradigma teori yang dikemukakan oleh Colquitt, LePine, dan Wesson dapat dilihat pada gambar 2.1, sebenarnya berlaku pada manajemen bisnis, namun dapat diadopsi dalam pendidikan, karena a) sampai saat ini paradigma teori tersebut masih paling mutahir dan belum ada teori yang membantahnya, b) komitmen organisasi kepala SMK yang dibahas dalam penelitian ini tidak terlepas dari tugas kepala SMK tersebut, salah satunya adalah bidang kewirausahaan,12 yang memiliki hakekat yang sama dengan manajemen bisnis, dan c) dalam penerapannya di lapangan, pada umumnya memiliki prinsipprinsip yang sama antara bidang pendidikan dengan bidang manajemen bisnis.
11
Salancik G.R. (1988). Commitment And Control Of Organizational Behavior And Believe. New Direction In Organizational Behavior. Chicago : ST. Clair Press., p. 14. 12 Surya Dharma (2008). Penilaian Kinerja Kepala Sekolah. Jakarta: Ditjen PMTK Kemendiknas, p.9.
30 ORGANIZATIONAL MECHANISMS Organizational culture
INDIVIDUAL MECHANISMS Organizational Structure
GROUP MECHANISMS Leadership Styles & Behaviors
Leadership Power & Influence
Job Satisfaction INDIVIDUAL OUTCOM ES Stress Job Performance Motivation Organizational Commitment
Teams: Processes Trust, Justice, & Ethnics Teams : Characteristics Learning & Decision Making INDIVIDUAL CHARACTERISTICS Personality & Cultural Values
Ability
Gambar 2.1 Integrative Model of Organizational Behavior Sumber:Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson (2009). Organization Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: The McGraw-Hill Com., Inc., p.8.
Pada gambar di atas
ditunjukkan bahwa kepuasan kerja secara langsung
mempengaruhi komitmen organisasi, sedangkan budaya organisasi melalui mekanisme individu (kepuasan kerja) mempengaruhi komitmen organisasi.
31 Mowday, Steers, dan Porter mendefinisikan komitmen organisasi sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi13. Sikap yang menunjukkan loyalitas pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dinyatakan
bahwa
komitmen organisasi meliputi unsur kesetiaan terhadap organisasi (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan), keterlibatan dalam pekerjaan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi), dan mau bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi (keinginan terhadap pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan organisasi). Komitmen organisasi kepala sekolah sebagai sikap ditunjukkan dengan keinginan yang kuat untuk tetap sebagai pimpinan di sekolah tempatnya bertugas, keinginan untuk bekerja keras dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, dan penerimaan terhadap nilai-nilai yang menjadi acuan dan tujuan-tujuan di sekolah tempatnya bertugas. Menurut Robbins: Komitmen organisasi itu sebagai orientasi seorang pegawai terhadap organisasi dalam bentuk kesetiaan melaksanakan tugas, identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, dan keterlibatan kerja untuk
13
Mowday, Steers, dan Porter dalam Sopiah (2008). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi Offset, p. 157.
32 berprestasi.14 Robbins menyoroti komitmen organisasi berdasarkan teori kognitif disonansi, dimana komitmen organisasi dibentuk oleh sikap sebagai akibat dari ketidakcocokan, perasaan suka atau tidak suka pegawai terhadap sesuatu karena adanya persepsi dari beberapa sikapnya. Tujuan organisasi hanya akan dicapai melalui komitmen pegawai, seperti yang dikemukakan Dessler bahwa memiliki tujuan tanpa komitmen adalah sia-sia, maka pegawai yang diberdayakan memberikan komitmen secara mental, emosional dan fisik.15 Hal tersebut demikian karena mereka mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dan juga memegang tanggung jawab atas tindakan mereka. Pendapat yang lebih terperinci dikemukakan Steers dan Black. Mereka menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi bisa dilihat dari ciri-cirinya sebagai berikut: (a) adanya kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi; (b) adanya kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi organisasi; dan (c) keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi.16 Keterlibatan psikologis ini akan tercermin pada tingkat aktivitas seseorang untuk suatu organisasi dan untuk kepentingan organisasi. Komitmen organisasi yang kuat ditandai dengan: (a) dukungan dan penerimaan tujuan organisasi dan nilainilai; (c) sebuah willingnes untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi; dan (c) keinginan untuk tetap dengan organisasi.17
Pendapat ini
dikuatkan Hoy dan Miskel yang menyatakan “commitment exert directed 14
Stephen P. Robbins (1991). Organizational Behavior: Concept, Controvercies, Aplications. New Jersey: Prentice Hall International, Inc., pp. 164-168. 15 Gary Dessler (1986). Organizational Theory: Integrating Structure and Behavioral. New Jersey: Prentice-Hall, p.319. 16 Steers dan Black dalam Sopiah, Op.Cit., p. 157. 17 W. Bowler dan D,J. Brass (2006). “Relational Correlates of Interpersonal Citizenship Behavior: A Social Network Perspective”. Journal of Applied Psychology, 91, 70-82
33 influence to important goals are more likely to be accepted”.18 Secara langsung komitmen organisasi mempengaruhi pencapaian tujuan. Hoy dan Miskel memandangnya dari sudut teori jalur sasaran, bahwa pemimpin yang efektif membersihkan jalur untuk membantu pengikut mereka berangkat dari tempat awal mereka berada menuju kepencapaian sasaran kerja mereka dan membantu melakukan perjalanan sepanjang jalur itu secara lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan perangkap.19 Allen dan Meyer mengusulkan tiga konsep sebagai model dalam komitmen organisasi, yaitu: (1) komitmen afektif (affective) (2) komitmen berkelanjutan (continuance), dan (3). komitmen normatif (normative).20 (1). Komitmen afektif sebagai keterikatan emosional seseorang pada organisasi, pengenalan organisasi dan pengembangan dalam organisasi. Komitmen dalam jenis ini muncul dan berkembang oleh dorongan adanya kenyamanan, keamanan, dan manfaat lain yang dirasakannya dalam organisasi yang tidak diperoleh dari organisasi lain, semakin nyaman dan dirasakan tinggi manfaatnya, semakin tinggi komitmen
seseorang
pada
organisasi
yang
dipilihnya;
(2).
Komitmen
berkelanjutan dapat dinyatakan sebagai fenomena yang terstruktur sebagai hasil dari transaksi pegawai dengan organisasi dan investasi yang diberikan pada organisasi. Anggota akan mengkalkulasikan manfaat dan pengorbanan atas keterlibatannya menjadi anggota suatu organisasi, anggota akan cenderung memiliki daya tahan atau komitmen yang tinggi dalam organisasi jika 18
Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel (1991). Educational Administration. New York: McGrawHill, Inc., p. 186. 19 Stephen P. Robbins (2006). Perilaku Organisasi. Terj. Benyamin Molan. Jakarta: Indeks, p. 448. 20 Meyer dan Allen dalam Fred Luthan (2006). Perilaku Organisasi. Edisi 10, terj. Vivin Andhika Yuwono, dkk Yogyakarta: Penerbit Andi, p. 249.
34 pengorbanan akibat keluar organisasi semakin tinggi; dan (3). Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan anggota tentang kewajiban yang diberikan kepada organisasi. Sesuatu yang mendorong anggota untuk tetap berada dan memberikan sumbangan terhadap keberadaan organisasi, baik materi maupun non materi, merupakan kewajiban moral, yang mana seseorang akan merasa tidak nyaman dan bersalah jika tidak melakukan sesuatu. Tingkat komitmen normatif yang tinggi mengharuskan anggota mengingat kembali organisasinya. Untuk lebih jelasnya, Spector mengukapkan
bentuk-bentuk komitmen organisasi serta faktor-faktor
yang membentuknya dalam bentuk bagan sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.2. berikut.
Job Conditions Met Expectations Benefit Accored
Affective Commitment
Continuance Commitment
Job Available Personal Values
Normative Commitment
Felt Obligations Gambar 2.2 Faktor-faktor Pembentuk Komitmen Organisasi dari Spector Sumber: Sopiah, 2008, Perilaku Organisasi. Yokyakarta: Penerbit Andi Offset, p.158.
35 Berdasarkan bagan tersebut, “affective commitment” dibentuk oleh kondisi pekerjaan dan pengharapan yang diperoleh. Tingkat keterikatan secara psikolgis dengan organisasi berdasarkan seberapa baik perasaan mengenai organisasi tersebut. “Cotinuance commitment” dibentuk oleh kesesuaian gaji dan ketersediaan pekerjaan. Anggota organisasi tetap bertahan pada organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena anggota tersebut tidak menemukan pekerjaan lain, “Normative commitment” dibentuk oleh nilainilai pribadi dan perasaan wajib. Keterikatan anggota secara psikologis dengan organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan, atau merupakan kewajiban moral untuk memelihara hubungan dengan organisasi.
Affective Commitment
Felt in Reference to One’s Company Continuance Commitment
Top Management Department
Overall Organizational Commitment
Manager Work Team Spesific Cowokers Normative Commitment
Gambar 2.3 Drivers of Overall Organizational Commitment Sumber: Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson (2009). Organization Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: The McGraw-Hill Com., Inc., p.69.
36 Bagaimana ke tiga jenis komitmen tersebut bergabung, digambarkan Colquitt, Lepine, dan Wesson seperti pada gambar 2.3 di atas. Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa ketiga jenis komitmen organisasi bergabung untuk menciptakan suatu kesatuan dalam sebuah organisasi. Sedangkan komitmen organisasi bukan hanya tergantung pada organisasi saja, artinya, orang tidak selalu berkomitmen untuk organisasi, mereka juga berkomitmen untuk manajemen puncak pada waktu tertentu, departemen di mana mereka bekerja, manajer yang langsung menjadi supervisor mereka, atau tim tertentu atau rekan kerja dengan siapa mereka bekerja paling dekat. Sedangkan Hersey, Blanchard, dan Johnson mengungkapkan beberapa bentuk komitmen, yaitu: (1) komitmen kepada pelanggan; (2) komitmen kepada organisasi; (3) komitmen kepada diri; (4) komitmen kepada orang-orang; dan (5) komitmen kepada tugas.21 Hasil penelitian perilaku konsumen yang dilakukan oleh Long dalam berbagai industri di Amerika tahun 2000, gambaran dan wujud komitmen sering diidentikkan dengan ikrar atau ikatan suatu tindakan.22 Dan penelitian Darwito juga menyimpulkan adanya pengaruh langsung kepemimpinan terhadap komitmen organisasi.23 Bagi organisasi mewujudkan gaya kepemimpinan harus menjadi sebuah referensi penting bagi penyusunan organisasi. Masyarakat secara umum akan lebih kritis menilai perhatian dan orientasi organisasi atas komitmen dari karyawan terhadap organisasinya. Komitmen organisasi merupakan identifikasi dan 21
Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard, dan Dewey E. Johnson (1996). Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resourses. New Jersey: Prentice Hall, Inc., p. 446. 22 Mary L. Long (2000). “Consumtions Values and relationship: Segmentine The Market for Frequency Programs”. Journal of Customer Marketing, 214-232. 23 Darwito (2008). Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tesis. Program Pascasarjana UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG, p. 139.
37 keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi, serta tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan penelitian Baihagi menyimpulkan bahwa kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi karyawan.24 Pemimpin mampu menjadi inspirasi dalam bekerja dan menentukan arah dan tujuan organisasi. Pemimpin mampu menunjukkan kapasitasnya untuk mendelegasikan tanggung jawab secara cermat serta menanamkan rasa memiliki organisasi yang kuat kepada karyawannya. Sikap pemimpin ini juga mempengaruhi karyawan untuk sanggup berkomitmen terhadap organisasi mereka. Hasil penelitian Desianty juga menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan mempengaruhi komitmen organisasi.25 Pengaruh tersebut disebabkan pemimpin lebih memberikan perhatian, dorongan motivasi, dan mampu memahami keinginan karyawannya. Kreitner dan Kinicki mengemukakan bahwa komitmen organisasi berfluktuasi sesuai dengan keadaan faktor yang mempengaruhinya, yaitu: (1) psikologis dan sosial, mencakup pertahanan ego, motivasi individu, dan tekanan teman sejawat; (2) organisasi, meliputi komunikasi, dan situasi internal organisasi; (3) karakteristik proyek, yaitu penundaan pengembalian investasi; dan (4) kontekstual, yakni tekanan politik eksternal.26
Selanjutnya, berdasarkan
penjelasan Baron dan Greenberg dapat dikemukakan bahwa faktor-faktor yang 24
Muhammad Fauzan Baihagi (2010). Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja dengan Variabel Komitmen Organisasi sebagai Variabel Intervening. Skripsi. Fakultas Ekonomi UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG, p. 104. 25 Sovya Desianty (2005). “Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Komitmen Organisasi pada PT Pos Indonesia (Persero) Semarang. Jurnal Studi Manajemen dan Organisasi, 2 (1) Januari.p.126. 26 Robert Kreitner, and Angelo Kinicki (2001). Organizational Behavior. New York: McGraw Hill, p. 381
38 menentukan
tingkat komitmen seseorang, yaitu : (1) semakin tinggi tingkat
tanggung jawab dan otonomi yang diberikan kepada seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, semakin menarik suatu pekerjaan bagi seseorang dan akan semakin tinggi komitmennya, (2) semakin terbuka kesempatan bekerja di tempat lain , akan berakibat pada semakin rendahnya komitmennya, (3) sifat-sifat pribadi seseorang, seperti tingkat rasa puas pada pekerjaan yang ada saat ini berpengaruh pada tingkat komitmennya, (4) situasi atau budaya organisasi, seperti kedekatan atau kebaikan pimpinan mampu membuat komitmen pegawainya menjadi tinggi, demikian halnya dengan perhatian organisasi terhadap tingkat kesejahteraannya.27 Berdasarkan penjelasan Kreitner dan Kinicki serta Baron dan Greenberg dapat diketahui bahwa komunikasi, budaya organisasi, dan kepuasan kerja adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi. Sikap komitmen organisasi ditentukan menurut variabel orang (usia, kedudukan dalam organisasi, dan disposisi negatif, atau
seperti efektivitas positif atau
atribusi kontrol internal atau eksternal) dan organisasi (desain
pekerjaan, nilai, dukungan, dan gaya kepemimpinan penyelia). 28 Dessler mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk membangun komitmen organisasi, yaitu: (1) Make it charismatic; (2) Build the tradition; (3) Have comprehensive
grievance
procedures;
(4)
Provide
extensive
two-way
communications; (5) Create a sence of community; (6) Build value-based homogeneity;(7) Share and share alike; (8) Emphasize barnraising, cross27
Robert A. Baron, dan Jerald Greenberg (2000). Behavior in Organization7th Edition. New Jersey: Prentice Hall, p. 173. 28 Linda Rhodes, Robert Eisenberger, dan Stephen Armeli (2001), “Affective Commitment to the Organization: The Contribution of Perceived Organizational Support,” Journal of Applied Psychology 86, (5), 825-836.
39 utilization, and teamwork; (9) Get Together; (10) Support employee development; (11) Commit to actualizing; (12) Provide first-year job challenge; (13) Enrich and empower; (14) Promote from within; (15) Provide developmental activities; (16) The question of employee security; (17) Commit to people-first values; (18) Put it in writing; (19) Hire ”right-kind” managers; dan (20) Walk the walk.29 Komitmen organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang. Jackson menyatakan bahwa komitmen organisasi akan timbul ketika anggota organisasi memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu, berkeinginan adanya peningkatan dan perubahan, dan menyadari bahwa makna keberhasilan melalui persaingan.30 Merujuk pada pernyataan Steers dan Porter dapat dikemukakan bahwa pembentukan komitmen terjadi melalui tiga tahapan, yaitu:
(1) compliance, tahap di mana seseorang menerima
sebagian besar
pengaruh untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain misalnya pembayaran, (2) identification, tahap
di mana individu menerima pengaruh yang dapat
menimbulkan hal yang menyenangkan dan membangun hubungan, saat ini orang akan merasa bangga menjadi bagian dari organisasi, dan (3) internalization, tahap di mana individu menemukan nilai- nilai organisasi yang secara intrinsik menguntungkan dan berharga bagi nilai-nilai individu.31 Setelah komitmen individu terhadap sesuatu organisasi
terbentuk, hal itu akan ditunjukkannya
melalui beberapa ciri komitmen yang dimiliki. Sesuai dengan penjelasan Baker
29
Gary Dessler dalam Sopiah, Op.Cit., pp. 159-161. David Jackson (1997). Dynamic Organizations: The Challenge of Change. London: MacMillan Press, Ltd., pp. 95-96. 31 Richard M Steers,. and Lymann W. Porter (2003). Motivation and Work Behavior. New York: Mc Graw-Hill, p. 247. 30
40 dapat dikemukakan ciri-ciri seseorang yang memiliki komitmen, antara lain: (1) memiliki tingkat penerimaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain, tahu diri, terbuka, tolerans dan bersikap objektif, (2) bersikap spontanitas menerima sesuatu yang baru dan perubahan tanpa merasa panik dan menutup diri, (3) cenderung mengutamakan kebersamaan, (4) melihat masalah (problem) sebagai penyimpangan dari yang seharusnya, dan menerima perubahan untuk memperbaiki sesuatu, (5) membangun sendiri pemikirannya, tidak mudah terpengaruh oleh berbagai propaganda, dan (6) bekerja keras untuk pertumbuhan dirinya.32 Komitmen diasumsikan merefleksikan dampak dari kesesuaian antara individu dengan organisasi. Selanjutnya Hunt dan Morgan mengemukakan bahwa anggota memiliki komitmen organisasi yang tinggi bila: (1) memiliki kepercayaan dan menerima tujuan dan nilai organisasi; (2) berkeinginan untuk berusaha ke arah pencapaian tujuan organisasi; dan (3) memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan sebagai anggota organisasi.33 Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan bekerja dengan sungguh-sungguh, bersemangat, dan menjalin kerjasama yang baik agar tercapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Brian Young dkk. mengemukakan ada 8 faktor yang secara positif berpengaruh terhadap komitmen organisasi: (1) kepuasan terhadap promosi, (2) karakteristik pekerjaan, (3) komunikasi, (4) kepuasan terhadap kepemimpinan,
32
Wayne E. Baker (2000). Networking Smart: How To Build Relationships for Personal and Organizational Success. New York: Universe Publisher, p 89. 33 Hunt dan Morgan dalam Sopiah, Op.Cit., p. 156.
41 (5) pertukaran ekstrinsik, (6) pertukaran intrinsik, (7) imbalan intrinsik, dan (8) imbalan ekstrinsik.34 Berkaitan dengan
uraian teoretis di atas,
hasil penelitian Lok dan
Crawford menemukan korelasi positif yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi.35 Hasil penelitian Ramayah dan Nasurdin menunjukkan hasil bahwa kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi dan gender berfungsi sebagai variabel moderating.36 Demikian juga penelitian Ambarita menyimpulkan bahwa budaya organisasi, kepemimpinan, dan kepuasan kerja berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi.37 Penelitian yang dilakukan O’Reilly, Chatman, dan Caldwell juga menyimpulkan bahwa kecocokan anggota organisasi dengan budaya yang berlaku dapat meningkatkan produktivitas, kepuasan dalam bekerja, performance, komitmen organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal di perusahaan38. Sedangkan penelitian Guntur juga menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif
kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional.39
Selanjutnya penelitian Nurjanah menyimpulkan bahwa budaya organisasi
34
Brian Young,dkk. dalam Sopiah, Op.Cit., p. 164. Peter Lok dan John Crawford (2004), “The Effect of Organisastional Culture and Leadership Style on Job Satisfaction and Organisational Commitment. A Cross-National Comparison,” The Journal of Management Development 23, (3), 321-338. 36 Ramayah, T dan Aizzat Mohd. Nasurdin (2002), “Job Satisfaction and Organizational Commitment: Differential Effects for Men and Women”, Jurnal Manajemen dan Bisnis, 5, (1), 7590. 37 Biner Ambarita (2010). Pengaruh Kepemimpinan, Manajemen Personalia, Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Dosen di Universitas Negeri Medan. Disertasi. Program Pasca Sarjan UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, pp. 212-214. 38 O’Reilly, Chatman, dan Caldwell dalam Edy Sutrisno (2011). Budaya Organisasi. Jakarta: Penerbit Kencana, p. 28. 39 Guntur Mahardhika (2006). Pengaruh Person-Organization Fit (Kecocokan Nilai-Nilai Individu dengan Nilai-Nilai Organisasi) terhadap Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasional dan Kinerja Karyawan. Tesis. Program Pascasarjana UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG, p. 87. 35
42 mempunyai pengaruh total terhadap komitmen organisasi.40 Budaya organisasi yang diukur melalui kejelasan tujuan organisasi dan otonomi pekerjaan mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap komitmen organisasi baik pada perusahaan swasta maupun perusahaan pemerintah. Sedangkan penelitian Pertiwi menyimpulkan bahwa komunikasi interpersonal berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.41 Selanjutnya Kruger mengemukakan bahwa komitmen dari seluruh pegawai yang ada dalam organisasi merupakan prasyarat bagi terwujudnya tujuan-tujuan organisasi, dan hal ini dapat terwujud mana kala seluruh individu di dalam organisasi mau terlibat secara penuh dan tidak mengalami kesulitan dalam saling membagi pengalaman yang mereka peroleh untuk melaksanakan berbagai perbaikan sistem dan proses yang ada.42 Hal ini menunjukkan bahwa komitmen akan memberikan kekuatan kepada seseorang untuk memberdayakan potensi pengetahuannya dalam upaya mencapai tujuan organisasi, sehingga seseorang yang melakukan
tanggung jawab yang tinggi
terhadap pekerjaannya adalah orang yang mempunyai komitmen organisasi yang tinggi. Komitmen organisasi yang tinggi dari seseorang pekerja dituntut dalam pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan, karena hal tersebut merupakan wujud tanggung jawabnya terhadap pekerjaan.
40
Nurjanah (2008). Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Komitmen Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tesis. Program PascasarjanaUNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG, p. 126. 41 Rizki Wahyu Putri Pertiwi (2011). Pengaruh Kualitas Komunikasi Interpersonal terhadap Komitmen Organisasional melalui Stres Kerja (Studi pada Karyawan PT. Rodasakti Suryaraya Malang). Skripsi. UNIVERSITAS NEGERI MALANG, p. 82. 42 Volker Kruger (1996). “How Can a Company, Achieve Improved Levels of Quality Performance: Technology versus Employees?”. The TQM Magazine 8, (3), pp.11-20.
43 Dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dijelaskan bahwa Pendidikan Menengah Kejuruan merupakan
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pendidikan Menengah Kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk jenis pekerjaan tertentu. Meskipun pendidikan kejuruan tidak terpisahkan dari sistem pendidikan secara keseluruhan, namun sudah barang tentu mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dengan pendidikan yang lain. Perbedaan ini tidak hanya dalam definisi, struktur organisasi dan tujuan pendidikan, tetapi juga tercermin dalam aspek-aspek lain yang erat kaitannya dengan perencanaan kurikulum. Karakteristik pendidikan kejuruan yaitu: 1. Orientasi pendidikannya Keberhasilan belajar berupa kelulusan dari sekolah kejuruan adalah tujuan terminal, sedangkan keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya kelak di lapangan kerja. 2. Justifikasi untuk eksistensinya Untuk pengembangan pendidikan kejuruan perlu alasan atau justifikasi khusus yang ini tidak begitu dirasakan oleh pendidikan umum. Justifikasi khusus adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di lapangan.
44 3. Fokus kurikulumnya Stimuli dan pengalaman belajar yang disajikan melalui pendidikan kejuruan mencakup rangsangan dan pengalaman belajar yang mengembangkan domain afektif, kognitif dan psikomotor berikut paduan integralnya yang siap untuk dipadukan baik pada situasi kerja yang tersimulasi lewat proses belajar mapupun nanti dalam situasi kerja yang sebenarnya. Ini termasuk sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya. 4. Kriteria keberhasilannya Berlainan dengan pendidikan umum, kriteria untuk
menentukan
keberhasilan suatu lembaga pendidikan kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school succes dan out of school succes. Kriteria pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja, sedang kriteria yang kedua diindikasikan oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang sebenarnya. 5. Kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat Karena komitmen yang tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja, pendidikan kejuruan mempunyai ciri lain berupa kepekaan atau daya serap yang tinggi terhadap perkembangan masyarakat dan dunia kerja. Perkembangan ilmu dan teknologi serta pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan kejuruan.
45 6. Perbekalan logistiknya Dilihat dari segi peralatan belajar, maka untuk mewujudkan situasi atau pengalaman belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif diperlukan banyak perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik yang lain. Bengkel dan laboratorium adalah kelengkapan umum yang menyertai eksistensi suatu sekolah kejuruan. 7. Hubungannya dengan masyarakat dunia usaha/dunia industri Hubungan dengan masyarakat khususnya dunia usaha/dunia industri yang mencakup daya dukung dan daya serap sangat penting perannya bagi lembaga pendidikan kejuruan. Perwujudan hubungan timbal balik ini mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia usaha menampung siswa SMK dalam program kerjasama yang memungkinkan siswa mendapat pengalaman belajar di lapangan. Kepala sekolah menengah kejuruan sebagai tenaga kependidikan diatur oleh undang-undang nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 menyatakan bahwa tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan. Kepala
sekolah
menengah
kejuruan
sebagai
pemimpin
bertugas
mengarahkan guru dan staf dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan, dituntut untuk memiliki komitmen organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi dimiliki kepala sekolah untuk mencapai tujuan akan melahirkan ide-ide dalam mencapai visi dan misi sehingga menimbulkan
46 nilai-nilai individu yang ingin memajukan sekolahnya. Komitmen dapat menumbuhkan keterikatan emosional terhadap lembaga (komitmen afektif). Kepala sekolah yang memiliki komitmen yang kuat dapat melakukan kerja keras bagi sekolah yang dipimpinnya dalam mewujudkan visi dan misi sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan, yaitu: keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya kelak di lapangan kerja; justifikasi khusus adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di lapangan; sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya; kriteria untuk menentukan keberhasilan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school success dan out of school success; perkembangan ilmu dan teknologi serta pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan kejuruan; dan perwujudan hubungan timbal balik yang mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia usaha menampung siswa SMK dalam program kerjasama yang memungkinkan siswa mendapat pengalaman belajar di lapangan. Kepala sekolah menengah kejuruan sebagai administrator harus memiliki komitmen untuk menciptakan tertib administrasi yang meliputi bidang kurikulum dan pengajaran, ketenagaan, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana, dan adminstrasi persuratan; sehingga menyebabkan sekolah selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
47 Pada tingkat implementasi manajemen, kepala sekolah menengah kejuruan mempunyai peran yang cukup strategis untuk mengkoordinasikan dan menggerakkan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Hasil penelitian Husaini menyimpulkan bahwa kepemimpinan sekolah kejuruan haruslah memiliki keahlian TEKNIK, baik dalam arti sebenarnya maupun sebagai singkatan dari Terampil, Etos kerja, Keberanian, Negosiasi, Intuisi bisnis, dan Kewirausahaan.43 Lebih lanjut dikemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan kejuruan untuk terampil dalam hal : (1) konseptual, (2) manajerial, (3) sosial, (4) teknikal ; untuk etos kerja: (5) motif pencapaian tujuan, (6) visi jauh ke depan, (7) suka berinovasi, (8) suka berkreasi, (9) suka beradaptasi, (10) suka bekerja keras, (11) berpikir dengan pendekatan sistem, (12) bertanggung jawab tinggi, (13) pelayanan memuaskan semua pihak, (14) penuh percaya diri; untuk keberanian: (15) berani mengambil resiko, (16) belajar dari kesalahan; untuk negosiasi: (17) berunding dengan prinsip saling menguntungkan; untuk intuisi bisnis: (18) memiliki intuisi yang
hebat;
untuk
kewirausahaan:
(19)
berlatar
belakang
keluarga
entrepreneurship dan (20) berlatar belakang pendidikan teknik.44 Hasil penelitian Husaini Usman di atas mengisyaratkan bahwa kepala sekolah kejuruan harus memiliki dimensi kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia, tugas, dan lingkungan dengan memiliki keahlian TEKNIK agar dapat menjadi kepala sekolah efektif yang berkinerja baik. Kepala sekolah efektif
mampu
meningkatkan
prestasi
sekolah
dengan
menunjukkan
kemampuannya dalam mengelola sekolah, siswa, dan guru sebagai komponen 43
Husaini Usman, Manajemen. Teori Praktik & Riset Pendidikan (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), pp. 354-357 44 Ibid., p. 357.
48 utama untuk mencapai tujuan sekolah. sedangkan Sorenson dan Goldsmith mengemukakan bahwa untuk pemimpin sekolah yang efektif “one requirement of a principal is to be responsive to campus personnel”.45 Sesuai pernyataan Sorenson dan Goldsmith dapat diketahui bahwa satu persyaratan pokok untuk kepala sekolah yang efektif adalah menjadi responsif terhadap personil kampus, yaitu guru, siswa dan pegawai administrasi. Sehubungan dengan kepala sekolah yang efektif, hasil penelitian Tiong dalam Husaini menemukan karakteristiknya, yaitu: (1) kepala sekolah yang adil dan tegas dalam mengambil keputusan; (2) kepala sekolah yang membagi tugas secara adil kepada guru; (3) kepala sekolah yang menghargai partisipasi staf; (4) kepala sekolah yang memahami perasaan guru; (5) kepala sekolah yang memiliki visi dan berupaya melakukan perubahan; (6)
kepala sekolah yang terampil dan tertib; (7) kepala sekolah yang
berkemampuan dan efisien; (8) kepala sekolah yang memilki dedikasi dan rajin; (9) kepala sekolah yang tulus; dan (10) kepala sekolah yang percaya diri.46 Hasil penelitian Davis dan Thomas dalam Husaini mengungkap karakteristik kepala sekolah yang efektif meliputi (1) sifat dan keterampilan kepemimpinan; (2) kemampuan pemecahan masalah; (3) kecakapan sosial; dan (4) pengetahuan dan kompetensi profesional.47 Martin
dan
Millower
dalam
Direktorat
Tenaga
Kependidikan
mengemukakan ciri-ciri kepala sekolah efektif yang didapatkan secara detail berdasarkan hasil riset di negara-negara maju sebagai berikut: (1) memiliki visi
45
Richard D. Sorenson dan Lloyd M. Goldsmith, The Principal’s Guide to Managing School Personnel (California: Corwin Press, 2009), p. 49. 46 Husaini Usman, Op. Cit., p. 282. 47 Ibid.
49 yang kuat tentang masa depan sekolahnya, dan ia mendorong semua staf untuk mewujudkan visi tersebut; (2) memiliki harapan tinggi terhadap prestasi siswa dan kinerja staf; (3) tekun mengamati para guru di kelas dan memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif dalam rangka memecahkan masalah dan memperbaiki pembelajaran; (4) mendorong pemanfaatan waktu secara efisien dan merancang langkah-langkah untuk meminimilisasi kekacauan; (5) mampu memanfaatkan sumber-sumber material dan personil secara kreatif; dan (6) memantau prestasi siswa secara individual dan kolektif dan memanfaatkan informasi untuk mengarahkan perencanaan instruksional.48 Berdasarkan uraian teori-teori di atas dapat disintesiskan bahwa komitmen organisasi kepala sekolah menengah kejuruan dalam penelitian ini adalah bentuk keterikatan psikologis
pada lembaga yang ditandai dengan kepercayaan dan
penerimaan pada nilai-nilai lembaga serta karakteristik pendidikan kejuruan dan dorongan yang kuat melakukan usaha-usaha dalam mencapai visi dan misi serta keinginan yang kuat untuk mempertahankan eksistensinya; dengan indikatorindikator yang diwujudkan dalam bentuk penerimaan nilai-nilai dan tujuan lembaga serta karakteristik pendidikan kejuruan (komitmen afektif), rasa bangga dan kesediaan bekerja keras untuk lembaga (komitmen berkelanjutan), dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam lembaga (komitmen normatif).
48
Direktorat Tenaga Kependidikan (2007). Kepemimpinan Pendidikan Persekolahan yang Efektif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, pp. 11-20.
50 2. Budaya Organisasi Budaya adalah merupakan tingkah laku serta gejala sosial yang menunjukkan identitas dan citra suatu masyarakat. Nilai-nilai ataupun normanorna, adat serta ritualnya tidak muncul begitu saja, namun berkembang melalui evolusi dan terpengaruh oleh agama, politik, bahasa, daerah, dan aspek budaya yang lain.
Colquitt, Lepine, dan Wesson yang terkenal dengan ”Integrative
Model of Organizational Behavior”nya mendefinisikan budaya organisasi sebagai ”a field of study devoted to understanding, explaining, and ultimately improving the attitudes and behaviors of individuals and groups in organizations”.49 Definisi ini menunjukkan bahwa budaya organisasi itu membahas, menjelaskan, dan secara luas mengembangkan sikap dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Sedangkan Edy Sutrisno mendefinisikan budaya organisasi sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsiasumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasinya.50 Selanjutnya Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai ”...a pattern of basic assumptions-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and therefore, to be tought to new members as the corrected way to perceive, think, and feel in relation to those problem”.51 Budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh kelompok tertentu 49
Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson, Op.Cit., p. 7. Edy Sutrisno (2011). Budaya Organisasi. Jakarta: Penerbit Kencana, p. 2. 51 Edgar H. Schein (1985). Organizational Culture and Leadership. San Franciso: Jossey-Bass, p.9 50
51 saat mereka belajar untuk menghadapi masalah-masalah, menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternal, dan berintegrasi dengan lingkungan internal, dimana asumsi dasar tersebut telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, berpikir, berperasaan sehubungan dengan masalah-masalah yang dihadapinya. Schein membedakan antara keyakinan yang mendasari dan nilai yang menyertai, yang mungkin tidak konsisten dengan keyakinan ini. Apa yang dipersepsikan anggota organisasi serta cara persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai, dan ekspektasi. Budaya organisasi yang terbentuk, dikembangkan, dan diperkuat atau bahkan diubah, memerlukan praktek yang dapat menyatukan nilai budaya anggota dengan nilai budaya organisasi. Lebih lanjut Owen mendefinisikan budaya organisasi sebagai ”...the norm that inform people what is acceptable and what is not, the dominant values that the organization cherishes above others, the basic assumption and beliefs that are share by members of organization, the ’rule’ of the game that must be observed if one is not to get along and be accepted as a member, the philoshopy that guide the organization in dealing with its employees and is clients”.52 Budaya organisasi merupakan norma yang menginformasikan anggota organisasi mengenai apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima, nilai-nilai dominan yang dihargai organisasi di atas yang lainnya, asumsi dasar dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota organisasi, aturan main yang harus dipelajari jika ingin sejalan dan diterima sebagai anggota organisasi, filosofi yang mengarahkan 52
Robert G. Owen (1991). Organizational Behavior in Education. Boston: Allyn and Bacon, p. 166.
52 organisasi dalam berhubungan dengan karyawan dan kliennya. Sehubungan dengan nilai-nilai ini, Bambang, dkk. menyatakan bahwa nilai perilaku yang ditunjukkan oleh individu sangat dipengaruhi oleh nillai-nilai yang dianut oleh individu tersebut, serta nilai-nilai yang berlaku dan berkembang dalam organisasi yang kemudian menjadi suatu kebiasaan yang berakumulasi menjadi budaya yang akan dianut oleh organisasi tersebut.53 Adakalanya nilai perilaku ini dituangkan ke dalam berbagai ketentuan atau aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota organisasi. Sedangkan perilaku yang telah disepakati bersama akan mewarnai setiap tindakan sesama anggota organisasi, dan inilah yang disebut etika organisasi. Perilaku yang disepakati ini akan dianut oleh setiap anggota organisasi, sehingga menjadi suatu kebiasaan, dan lama-kelamaan menjadi suatu budaya dalam organisasi yang menjadi ciri khas organisasi tersebut. Pembentukan nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi tersebut ditunjukkan pada gambar 2.4. berikut: Karateristik Individu: Kemampuan Kebutuhan Keyakinan Pengalaman Harapan
Karakteristik Organisasi: Visi dan misi Hirarki Tugas Wewenang Tanggung jawab Sistem Reward Pengawasan
53
Perilaku Individu dalam Organisai
BUDAYA ORGANISASI
Gambar 2.4 Pembentukan Nilai Budaya Organisasi Sumber:
Bambang, dkk. 2009 Etika Organisasi Pemerintah.. Jakarta: Pusat Pendidikan Pelatihan, p. 16.
Bambang, dkk. (2009). Etika Organisasi Pemerintah. Jakarta: Pusat Pendidikan Pelatihan, p. 16.
53 Lebih lanjut Wagner dan Hollenbeck menyatakan: ”An organization’s culture is therefore an informal, shared way of perceiving life and membership in the organization that binds members together and influences what they think about themselves and their work”.54 Budaya organisasi merupakan suatu cara informal dalam mengamati kehidupan serta keanggotaan dalam organisasi yang bersifat mengikat kebersamaan anggota dan mempengaruhi apa yang mereka pikirkan tentang diri dan pekerjaannya. Walaupun sifatnya tidak formal namun apa yang mereka pikirkan bersama-sama tentang pekerjaan ataupun tentang dirinya, dapat dimaknai dan
mengikat mereka dalam suatu kebersamaan dalam organisasi
tersebut. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih sakama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Newstrom
mendefinisikan ”Organizational
culture is the set of
assumptions, beliefs, values, and norms that are shared by an organization’s members”.55 Seperangkat nilai-nilai ataupun norma-norma yang telah berlaku lama, diakui dan diikuti oleh para anggota organisasi sebagai norma perilaku dalam menyelesaikan masalah-masalah organisasi. Dalam “Organizational Behavior System”nya Newstrom menggambarkan bahwa budaya organisasi secara langsung mempengaruhi kepemimpinan dan komunikasi, ditunjukkan pada gambar 2.5.
54 55
John A. Wagner III dan John R. Hollenbeck. Op. Cit., p. 283. John A. Newstrom, Op.Cit., p. 87.
54 Management’s: Philosophy • Values • Vision • Mission • Goals
Formal organization
Organizational culture
Social environment
Informal organization Leadership • Communication • Group dynamics
Quality of work life (QWL)
Motivation
Outcomes: Performance Employee satisfaction Personal Growth and Development Gambar 2.5 An Organizational Behavioral System Of Newstrom. Sumber: John W. Newstrom (2007). Organizational Behavior. New York: McGraw Hill, p.26.
Penelitian yang dilaksanakan Robbins dan Judge mengemukakan tujuh karakteristik primer yang bersama-sama menangkap hakekat dari budaya organisasi: (1) Inovasi dan Pengambilan Resiko; (2) Perhatian terhadap detail; (3) Orientasi hasil; (4) Orientasi orang; (5) Orientasi tim; (6) Keagresifan; dan (7) Kemantapan.56
56
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2009). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Prentice-Hall, p. 585.
55 1). Inovasi dan Pengambilan Resiko. Sejauhmana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko. 2). Perhatian terhadap detail.
Sejauhmana para karyawan diharapkan
memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail. 3). Orientasi hasil. Sejauhmana manajemen memusatkan perhatian pada hasil, bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu. 4). Orientasi orang. Sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi. 5). Orientasi tim. Sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan berdasarkan tim, bukannya berdasarkan individu. 6). Keagresifan. Sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai. 7). Kemantapan. Sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo, bukannya pertumbuhan. Setiap karakteristik tersebut berada pada kontinum dari rendah ke tinggi, sehingga dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran gabungan atas budaya organisasi.57 Gambaran tersebut dijadikan dasar bagi perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasinya, cara penyelesaian urusan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku. Budaya organisasi dapat juga dipahami dari dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependen. Robbins dan Judge mengindentifikasi ada 10 (sepuluh) karakteristik utama dari budaya
57
Ibid.
56 organisasi, yaitu: 1). Inisiatif individual, 2). Toleransi terhadap tindakan beresiko, 3). Arah, 4). Integrasi 5). Dukungan dari manajemen, 6). Kontrol, 7). Identitas, 8). Sistem Imbalan, 9). Toleransi terhadap konflik, 10). Pola-pola komunikasi.58 Kesepuluh karakteristik tersebut mencakup dimensi struktural maupun perilaku, misalnya dukungan dari manajemen merupakan ukuran mengenai perilaku kepemimpinan. Stroch, Northcraft, dan Neale menyatakan: ”Every organization has its own organizational culture-a system of shared values about what is important and beliefs about how things work that produce the norms and expectations of performance.59 Jadi setiap organisasi memiliki budaya organisasi sendiri, yaitu merupakan sistem nilai bersama tentang apa yang diyakini dan penting tentang bagaimana sesuatu dikerjakan yang menghasilkan norma-norma dan kinerja yang diharapkan. Pendapat yang lebih sederhana tetapi bermakna dalam dikemukakan oleh Ivancevich, Konopaske, dan Matteson menyatakan bahwa budaya organisasi adalah simbol, bahasa, ideologi, ritual, dan mitos60. Secara spesifik Kim, Cable, dan Kim menyatakan bahwa budaya organisasi itu mencakup: (1) Routin ways of communicating, such as organizational rituals and ceremonies and the languange commonly used; (2) The norms shared by individuals and team throughout the organization, such as no reserved parking spaces; (3) The dominant values held by the organization, such as product quality or customer service; (4) The philosophy that guides management’s policies and decision making, including 58
Stephen, P. Robbins dan Timothy A. Judge (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat, p. 480. 59 Linda K. Stroh, Gregory B. Northcraft, dan Margaret A. Neale, Op.Cit., p. 297. 60 John M. Ivancevich, Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson (2007). Perilaku dan Manajemen Organisasi. Alih Bahasa Gina Gania. Jakarta: Penerbit Erlangga, p. 44.
57 determining which groups are included or consulted on decisions; (5) The rules of the game for getting a long in the organization, or the ’ropes’ that the newcomer must learn in order to be come an accepted member; and (6) The feeling or climate conveyed in an organization by the physical layout and the way in which managers and employees interact with customer, suppliers, and other outsides.61 Budaya organisasi mencakup cara berinteraksi anggota organisasi, normanorma yang diakui bersama, serta nilai-nilai yang dipegang oleh organisasi, menganut filosofi tentang kebijakan bagaimana karyawan dan pelanggan diperlakukan. Setiap pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada untuk diterima menjadi anggota. Iklim yang merupakan keseluruhan perasaan, disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar. Karena budaya organisasi melibatkan ekspektasi, nilai, dan sikap bersama, maka hal tersebut berpengaruh pada individu, kelompok, dan proses organisasi. Tropenaars dalam Wirawan mengemukakan model budaya organisasi seperti bawang bombai yang terdiri dari beberapa lapis, yaitu (1) lapisan paling luar merupakan produk eksplisit atau budaya eksplisit, (2) lapisan tengah merupakan norma dan nilai-nilai, dan (3) lapisan inti merupakan asumsi dasar.62 Tropenaars
membuat ilustrasi Model Budaya Organisasi sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 2.6 berikut ini.
61
T. Kim, D.M. Cable, dan S. Kim (2005). “Sosialization tactics, employee proactivity and person-organization fit”. Journal of Applied Psychology, 90, 232-233. 62 Wirawan (2008). Budaya dan Iklim Organisasi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, pp. 13-15.
58
Artefak dan produk
Norma dan nilai-nilai
Asumsi dasar-implisit
Eksplisit
Gambar 2.6 Model Budaya Organisasi dari Tropenaars Sumber: Wirawan (2008). Budaya dan Iklim Organisasi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, p. 14.
(1) Lapisan paling luar merupakan budaya eksplisit adalah realitas yang dapat diobservasi, terdiri atas artefak dan produk berupa bahasa, makanan, bangunan, rumah, monumen, bangunan suci (mesjid, gereja, candi, kuil, dan sebagainya) pertanian, dan pakaian. Semua hal tersebut merupakan simbol-simbol dari level budaya yang lebih ke dalam. (2) Lapisan tengah merefleksikan norma dan nilai-nilai. Norma yang memberikan perasaan anggota organisasi suatu cara normal untuk berperilaku, sedangkan nilai-nilai yang menetukan definisi apakah sesuatu itu baik atau buruk; dan (3) Lapisan inti merupakan asumsi mengenai
59 eksistensi mmanusia. Asumsi adalah dasar yang dipergunakan sebagai pola berperilaku dan bertindak dalam menghadapi tantangan. Budaya organisasi sangat berperan dalam mengarahkan perilaku anggotanya sehingga para anggotanya akan melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Menurut Luthans, beberapa langkah sosialisasi yang dapat membantu dan mempertahankan budaya organisasi adalah melalui seleksi karyawan baru, penempatan kerja, penguasaan kerja, mengukur dan memberi penghargaan performa, ketaatan pada nilai-nilai luhur, perluasan cerita dan berita, penghargaan dan promosi.63 Mempraktekkan langkah sosialisasi dapat memperkuat budaya organisasi dan memastikan
karyawan yang bekerja sesuai dengan budaya organisasi,
memberi imbalan sesuai
dukungan
yang diberikan. Hoy dan
Miskel
mengemukakan model budaya organisasi sekolah terdiri atas norma, nilai, dan asumsi-asumsi yang tidak diucapkan seperti pada gambar 2.7. Norma-norma: merupakan elemen dasar dari budaya suatu organisasi, biasanya tidak tertulis dan diharapkan terjadi secara informal di bawah pengalaman yang secara langsung mempengaruhi perilaku. Norma lebih dapat dilihat dari pada nilai atau asumsi yang dimengerti tanpa diucapkan, sehingga norma merupakan alat untuk aspek-aspek lain dari kehidupan organisasi. Jika ingin mengubah perilaku organisasi, sangat penting untuk mengetahui dan memahami norma-norma dari budaya organisasi. Setiap kelompok dapat merencanakan norma-normanya sendiri, menciptakan norma-norma positif yang
63
Fred Luthans, Op.Cit. pp. 130-133.
60
Dalam
Asumsi-asumsi dimengerti tanpa diucapkan: Sifat alami manusia Sifat hubungan kemanusiaan Sifat kebenaran dan realitas Hubungan dengan lingkungan
Abstrak
Nilai-nilai, konsep mengenai apa yang diinginkan: Keterbukaan Kepercayaan Kerja sama Keintiman Tim kerja
Dangkal
Norma-norma: Dukung para kolega anda Jangan mengkritik kep. sekolah Selesaikan problem disiplinanda sendiri Bersedia memberikan bantuankepada para siswa Kenalilah kolega anda
Konkret
Gambar 2.7 Level Budaya Sekolah menurut Hoi dan Miskel Sumber: Wirawan (2007). Budaya dan Iklim Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat, p.18.
akan membantu kelompok mencapai tujuannya dan mengubah atau membuang unsur-unsurnya yang negatif. Nilai-nilai bersama: mendefinisikan karakter dasar organisasi dan memberikan identitas organisasi. Nilai-nilai mendefinisikan apa yang harus dilakukan anggota organisasi agar sukses dalam organisasi. Asumsi-asumsi dimengerti tanpa diucapkan: merupakan level paling dalam dari budaya organisasi. Budaya adalah pola asumsi dasar yang telah ditemukan atau dikembangkan organisasi ketika belajar untuk menyelesaikan
61 masalah yang dihadapi di lingkungan eksternal dan internal. Pola ini telah bekerja dengan baik sehingga dianggap valid dan diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpikir dan merasa dalam hubungannya dengan masalah tersebut. Karena asumsi telah bekerja secara berulang-ulang dengan baik, sehingga menjadi dasar yang diambil apa adanya, menjadi sesuatu yang tidak didebat, tidak dapat ditentang, serta sangat resistan bagi perubahan. Budaya organisasi itu perlu diabadikan. Pengabadian budaya organisasi adalah proses yang dilakukan secara sadar dan tidak sadar untuk menanamkan budaya organisasi kepada anggota organisasi baru agar budaya organisasi dapat terus hidup dan berkembang sepanjang kehidupan organisasi. Pengabadian budaya organisasi mempunyai pengertian yang lebih luas daripada sosialisasi budaya organisasi. Sosialisasi hanya berupa proses difusi budaya organisasi, yaitu menanamkan budaya organisasi kepada anggota baru organisasi. Sedangkan pengabadian organisasi membuat budaya organisasi itu langgeng dalam diri anggota organisasi. Berikut adalah bagan proses pengabadian budaya organisasi dari Wirawan, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.8. Walaupun proses pengabadian budaya organisasi berbeda antara satu budaya organisasi dengan budaya organisasi lainnya, tetapi memiliki pola umum yang sama. Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa proses pengabadian budaya organisasi kepada calon anggota dimulai dengan seleksi, yaitu untuk mendapatkan calon anggota yang memenuhi persyaratan norma, nilai-nilai, kode etik, harapan dari budaya organisasi. Jika lulus, langkah selanjutnya adalah mencuci otak agar calon anggota meninggalkan pola pikir, norma, dan nilai-nilai yang ada dalam
62 Cuci otak dan prakondisi membuka jalan penerimaan budaya organisasi baru
Mulai
Observasi, tes, ujian, praktek, sanksi dan sebagainya
Ya
Seleksi calon anggota organisasi baru
Lulus?
Observasi, tes, ujian, praktek, sanksi dan sebagainya
Tidak
Calon ditolak
Tidak
Lulus
Ya Seremoni, wisuda, sumpah jadi anggota organisasi baru
Selesai
Penguatan melalui pemberian imbalan dan hukuman
Gambar 2.8 Proses Pengabadian Budaya Organisasi Sumber: Wirawan (2007). Budaya dan Iklim Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat, p.31
dirinya. Langkah selanjutnya adalah sosialisasi dan difusi budaya organisasi, dimana kepada calon anggota baru diperkenalkan, dijelaskan, dan dirembesi budaya organisasi melaui orientasi, indoktrinasi, dan pelatihan. Terakhir diadakan
63 seremoni penerimaan anggota baru organisasi. Untuk memperkuat dan melanggengkan budaya organisasi,bagi mereka yang berperilaku sesuai dengan norma, nilai-nilai dan asumsi, dan berjasa bagi organisasi diberi penghargaan dan imbalan, sebaliknya bagi mereka yang perilakunya tidak sesuai diberikan hukuman. Bagaimana budaya organisasi berdampak pada kinerja dan kepuasan, digambarkan Robbins dan Judge sebagai berikut: Strength
Objective factors:
High
Innovation and risk takingAttention to Perceived as Organization detail Culture Outcome orientation People orientation Team orientation Aggressiveness Stability
Performance
Satisfaction
Low Gambar 2.9 How Organizational Cultures Have an Impact on Employee Performance and Satisfaction Sumber: Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2009). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Prentice-Hall, p. 608.
Para anggota organisasi membentuk persepsi subjektif keseluruhan mengenai organisasi tersebut berdasarkan faktor-faktor seperti toleransi atas resiko, tekanan pada tim, dan dukungan orang. Sebenarnya keseluruhan persepsi subjektif ini menjadi budaya atau kepribadian organisasi itu. Persepsi yang mendukung atau tidak mendukung ini kemudian mempengaruhi kinerja dan
64 kepuasan anggota organisasi dengan dampak yang lebih besar pada penguatan budaya. Thomson menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu pendidikan yang memberikan pengalaman, stimulus visual, pengetahuan efektif, informasi kognitif, pengetahuan afektif, informasi kognitif, atau keterampilan psikomotorik, dan mempertinggi penyelidikan pengembangan vokasional, menciptakan dan memelihara sendiri dalam dunia kerja.64 Hal ini menunjukkan bahwa siswa dituntut untuk mengadakan penyelidikan, menciptakan dan memelihara, dalam rangka pengembangan kejuruan tersebut dalam dunia kerja, jadi siswa tidak hanya dibekali mampu bekerja saja. Inilah yang menjadi ciri khas pendidikan menengah kejuruan, dan
menjadi nilai-nilai dan norma yang menggambarkan budaya
pendidikan kejuruan tersebut. Kepala sekolah menengah kejuruan sebagai pemimpin bertugas mengarahkan guru dan staf dalam rangka mencapai visi dan misi sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan, yaitu: keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya kelak di lapangan kerja; justifikasi khusus adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di lapangan; sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya; kriteria untuk menentukan keberhasilan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school success dan out of school success; perkembangan ilmu dan teknologi serta pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan kejuruan; dan perwujudan 64
John F. Thompson (1973). Foundation of Vocational Education. New Jersey: Prwntice-Hall, p. 216.
65 hubungan timbal balik yang mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia usaha menampung siswa SMK dalam program kerjasama yang memungkinkan siswa mendapat pengalaman belajar di lapangan. Budaya organisasi pada pendidikan kejuruan yang kuat mendukung tujuan-tujuan lembaga, demikian sebaliknya yang lemah menghambat tujuantujuan lembaga. Dalam suatu lembaga yang memiliki budaya yang kuat, maka nilai-nilai bersama dipahami secara mendalam, dianut dan diperjuangkan oleh sebahagian besar anggota organisasi. Budaya organisasi yang kondusif, mengembangkan rasa memiliki dan komitmen tinggi terhadap organisasi dan kelompok kerjanya65.
Schein yang dikutip oleh Yukl menyatakan ada dua
mekanisme menawarkan
potensi terbesar untuk ditanamkan dan menguatkan
aspek budaya, yaitu: (1) mekanisme utama berupa: a) perhatian, b) reaksi terhadap krisis, c) pembuatan model peran, d) alokasi penghargaan, e) kriteria untuk seleksi dan pemberhentian; dan (2) mekanisme sekunder, yang meliputi:
a) rancangan
sistem dan prosedur, b) rancangan struktur organisasi, c) rancangan fasilitas, d) cerita, legenda, dan mitos, dan e) pernyataan formal.66 Berdasarkan uraian teori-teori di atas dapat disintesiskan bahwa budaya organisasi kepala sekolah menengah kejuruan dalam penelitian ini adalah seperangkat nilai-nilai, norma sebagai ciri khas pendidikan kejuruan, asumsi, kepercayaan, prinsip-prinsip, karakteristik pendidikan kejuruan, dan kebiasaan atau peraturan yang berlaku di dalam suatu organisasi yang mengatur dan 65
Wirawan, Ibid. p. 36. Schein dalam Gary Yukl (2009). Kepemimpinan dalam Organisasi,Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit P.T. Indeks, pp. 336-337. 66
66 mengarahkan perilaku anggota-anggotanya dalam upaya melakukan suatu pekerjaan dalam
memecahkan masalah, yang didefinisikan oleh indikator-
indikator yang meliputi: inovasi pendidikan kejuruan dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi lapangan pekerjaan, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan.
3. Kepemimpinan Kepemimpinan sering dianggap sama dengan manajemen, bahkan ada pula yang
beranggapan
kepemimpinan
sama
dengan
manajer.
Kadangkala
kepemimpinan diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan.67 Robbins dan Judge mendefinisikan kepemimpinan sebagai “…the ability to influence a group toward the achievement of a vision or set of goals”.68 Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Sumber dari pengaruh ini dapat bersifat formal, seperti yang ditunjukkan oleh kepemilikan peringkat manajerial dalam organisasi. Menurut Stoner, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya.69 Sedangkan Sopiah mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok.70 Implikasi dari definisi-definisi tersebut: Kepemimpinan menyangkut orang 67
Fred E. Fiedler (1967). Theory of Leadership Effectiveness. New York: McGraw-Hill Book, Company, p.7. 68 Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Op.Cit., p. 419. 69 James A.F. Stoner (1992). Manajemen, Edisi kedua, Terjemahan Agus Maulana dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga, p. 114. 70 Sopiah, Op.Cit. 108.
67 lain, bawahan atau pengikut. Mereka setia menerima pengarahan dari pemimpin, membantu
menentukan
kedudukan
pemimpin,
dan
membuat
proses
kepemimpinan dapat berjalan. Kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan, yang tidak seimbang di antara pemimpin dan anggota kelompok. Pemimpin mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan berbagai kegiatan anggota kelompok, namun para anggota tidak dapat mengarahkan kegiatan pemimpin secara langsung, walaupun secara tidak langsung dapat menggunakan berbagai cara. Pemimpin dapat menggunakan pengaruh, tidak hanya memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi dapat juga mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Kepemimpinan (leadership) adalah proses mempengaruhi dan mendukung orang-orang untuk bekerja secara antusias demi ketercapaian tujuan. 71 Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang dipimpin diharapkan bekerja secara sukarela dan antusias. Cara dan kiat untuk mengajak orang untuk bekerja secara sukarela dan antusias tersebutlah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Dari sudut manajemen, seorang kepala sekolah harus mampu menetapkan tujuan yang akan dicapai organisasi, termasuk merancang taktik dan strategi yang tepat. Dengan adanya taktik dan strategi yang tepat tersebut, maka organisasi akan berjalan lebih efisien dan efektif dalam penggunaan anggaran. Sedangkan Edy Sutrisno menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh
71
John W. Newstrom, Op.Cit., p. 159.
68 pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan itu72. Keberhasilan kepala sekolah sebagai seorang pimpinan dalam mengarahkan bawahannya tidak terlepas dari peran komunikasi baik langsung maupun tidak langsung. Kepala sekolah sebagai pendidik harus melakukan pengajaran, bimbingan dan latihan terhadap guru, tata usaha yang berkaitan dengan perubahan sikap, mental dan kondisi fisik. Di dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik
memerlukan
kemampuan
berkomunikasi,
sikap
persuasi
dan
keteladanan. Kepala sekolah sebagai manajer harus memiliki pengetahuan organisasi dalam melaksanakan tugas manajerial. Sebagai manajer harus mampu menyusun program sekolah baik jangka pendek berupa RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah), program jangka menengah maupun program
jangka
panjang.
Kepala
sekolah
harus
memiliki
kemampuan
menggerakkan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengoptimalkan sumberdaya sekolah dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Colquitt, Lepine, dan Wesson mendefinisikan kepemimpinan sebagai ”...the use of power and influence to direct the activities of followers toward goal achievement”.73
Sedangkan
Lussier
secara
sederhana
mendefinisikan
kepemimpinan itu sebagai “… process of influencing employees to work toward the achievement of organizational objectives”.74 Mereka mengutamakan penggunaan kekuasaan dan pengaruh untuk mengarahkan aktivitas anggota menuju pencapaian tujuan. Pengarahan tersebut dapat mempengaruhi interpretasi
72
Edy Sutrisno (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Kencana, p. 232. Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson, Op.Cit., p. 441. 74 Robert N. Lussier (1997). Management: Concepts, Applications, Skill Development. Ohio: South-Western College Publishing, p. 390. 73
69 anggota, aktivitas kerja, komitmen untuk tujuan-tujuan penting, hubungan bersama anggota lainnya, dan akses untuk kerjasama serta dukungan dari unit kerja lainnya. Pendapat senada dikemukakan Slocum dan Hellriegel, menyatakan kepemimpinan sebagai proses pengembangan ide dan visi, hidup dengan nilainilai yang mendukung ide-ide dan visi tersebut, mempengaruhi orang lain untuk merangkul mereka dalam perilaku mereka sendiri, dan mengambil keputusan yang sulit mengenai sumber daya manusia dan lainnya. 75 Salah satu tantangan yang cukup berat yang sering harus dihadapi oleh pemimpin adalah bagaimana ia dapat menggerakkan para bawahannya agar senantiasa mau dan bersedia mengerahkan kemampuan yang terbaik untuk kepentingan kelompok atau organisasinya.
Selanjutnya Gary Yukl menjelaskan beberapa definisi tentang
kepemimpinan, yakni (1) perilaku individu yang mengarahkan aktivitas kelompok untuk mencapai sasaran bersama, (2) pengaruh tambahan yang melebihi dan berada di atas kebutuhan mekanis dalam mengarahkan organisasi secara rutin, (3) kemampuan memobilisasi sumber daya institusional, politis, psikologis dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi motivasi pengikutnya, (4) proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir untuk mencapai sasaran, (5) proses pemberian arahan yang bermakna sehingga muncul usaha kolektif untuk mencapai tujuan, (6) kemampuan untuk bertindak di luar budaya (kebiasaan) untuk memulai proses perubahan, (7) proses untuk membuat orang memahami manfaat bekerja bersama orang lain, sehingga mereka paham dan mau melakukannya, (8) cara mengartikulasikan visi, 75
John W. Slocum dan Don Hellriegel (2009). Principle s of Organizational Behavior. China: Cengage Learning, p. 262
70 mewujudkan nilai dan menciptakan lingkungan guna mencapai sesuatu tujuan, (9) kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi dan membuat orang lain mampu berkontribusi demi efektivitas dan keberhasilan organisasi.76 Kesembilan definisi di atas mengandung tiga unsur utama, yakni (1) kemampuan pemimpin, (2) proses mempengaruhi orang lain, dan (3) tujuan organisasi. Definisi ini membuktikan bahwa batasan yang digunakan oleh berbagai ahli tentang
kepemimpinan
disimpulkan
sebagai
usaha
menghimpun
dan
mensinergikan semua potensi organisasi untuk meningkatkan kualitas layanan organisasi terhadap pemangku kepentingannya. Jadi ada aktivitas kunci yang disebut sebagai proses mengarahkan potensi. Oleh karena itu, pengertian kepemimpinan yang memberi penekanan pada proses dan atribut diuraikan sebagai proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota sehingga mampu melakukan berbagai aktivitas organisasi77. Adapun ciri-ciri yang terkait dengan kepemimpinan yang efektif meliputi: hasrat, keinginan
memimpin,
kejujuran dan itegritas, kepercayaan
diri,
kecerdasan, dan pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan78. Hasrat. Pemimpin menunjukkan tingkat usaha yang tinggi. Mereka relatif mempunyai hasrat yang tinggi akan pencapaian prestasi, mereka ambisius, mereka mempunyai banyak energi, mereka tak kenal lelah dalam kegiatannya, dan mereka menunjukkan inisiatif.
76
Gary Yukl, Op.Cit., p. 4. Sule Ernie Tisnawati dan Saefullah Kurniawan (2008). Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana, p. 255. 78 Karin Klenke (2002), “Cinderella Stories of Women Leaders: Connecting Leadership Contexts and Competencies,” Jurnal of Leadership and Organization Studies 9, (2), 18-28. 77
71 Keinginan untuk memimpin. Pemimpin mempunyai kehendak yang kuat untuk mempengaruhi dan memimpin orang lain. Mereka
menunjukkan kemauan
mengemban tanggung jawab. Kejujuran dan integritas. Pemimpin membangun hubungan saling mempercayai antara mereka sendiri dan pengikutnya dengan menjadi jujur dan tidak menipu dan dengan menunjukkan konsistensi yang tinggi antara perkataan dan perbuatan. Kepercayaan diri. Para pengikut melihat pimpinannya tidak meragukannya sebagai pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin perlu menunjukkan kepercayaan diri untuk meyakinkan pengikutnya tentang kebenaran sasaran dan keputusannya. Kecerdasan.
Pemimpin
haruslah
cukup
cerdas
untuk
mengumpulkan,
menganalisis, dan menafsirkan banyak informasi, dan mereka harus mampu menciptakan visi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan yang tepat. Pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan. Pemimpin yang efektif mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi tentang organisasi yang dipimpinnya. Pengetahuan yang mendalam membuat pemimpin dapat membuat keputusan yang terinformasi dengan baik dan memahami akibat dari keputusan itu. Selanjutnya Stoner mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemimpin meliputi kepribadian (personality) pengalaman masa lalu, dan harapan pemimpin; harapan dan perilaku atasan; karakteristik, harapan, dan perilaku bawahan; kebutuhan tugas; iklim dan kebijkan organisasi; serta harapan dan perilaku rekan79. Nilai, latar belakang dan pengalaman pemimpin mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinannya, namun bukan berarti gaya tersebut tidak dapat diubah.
79
James A.F. Stoner, Op.Cit, p. 126.
72 Pada umumnya kepala sekolah sebagai pemimpin,
mengembangkan gaya
kepemimpinan agar bawahannya bekerja secara efektif, dan yang paling menyenangkan bagi dirinya. Harapan dan perilaku rekan juga merupakan referensi penting bagi pemimpin. Sikap seorang rekan pemimpin juga sering dapat mempengaruhi efektivitas tindakannya. Apapun kecenderungannya, sampai pada tingkat tertentu pemimpin condong meniru gaya manajemen rekan-rekannya. Seorang yang ingin mencapai tujuannya dengan efektif, maka harus mempunyai wewenang untuk memimpin para bawahannya dalam usaha mencapai tujuan tersebut80. Wewenang ini disebut sebagai wewenang kepemimpinan, yang merupakan hak untuk bertindak atau mempengaruhi tingkah laku orang yang dipimpinnya. Ada wewenang yang berasal dari atasan, yang dimiliki pimpinan berdasarkan pengangkatannya sebagai pemimpin. Sedangkan wewenang lainnya yaitu berdasarkan teori penerimaan, yaitu pimpinan yang dipilih oleh mereka yang akan menjadi bawahannya. Pada umumnya para bawahan akan menghargai wewenang itu, sebab mereka punya respek pribadi untuk menghargai orang tersebut. Penelitian yang dilakukan Filley, House, dan Kerr menyimpulkan bahwa para pemimpin yang memperhitungkan dan membantu pengikutpengikutnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap sikap, kepuasan, dan pelaksanaan kerja81. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut-pengikut dapat mempengaruhi pimpinannya, demikian pula para pemimpin dapat mempengaruhi pengikut-pengikut atau para bawahnya. Senada dengan hasil penelitian yang 80
Edy Sutrisno (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia, Op.Cit., p. 233. Filley, House, dan Kerr dalam Miftah Thoha (2007). Perilaku Organisasi: Konsep dasar dan Aplikasinya. Jakarta: P.T. Raja GrafindoPersada, p.289. 81
73 dilaksanakan Greene juga menyimpulkan bahwa ketika para bawahan tidak melaksanakan pekerjaan secara baik, maka pemimpin cenderung menekankan pada struktur pengambilan inisiatif, tetapi ketika para bawahan dapat melaksanakan pekerjaan secara baik, maka pemimpin menaikkan penekanannya pada pemberian perhatian82. Selanjutnya hasil survei Gallup yang terbaru yang dikutip oleh Luthans mengindikasikan bahwa sebagian besar karyawan percaya bahwa pemimpinlah – bukan organisasi – yang mengarahkan budaya dan menciptakan situasi yang dapat membuat karyawan bahagia dan berhasil 83. Keberhasilan kepemimpinan sebagian ditentukan oleh kemampuan pemimpin untuk mengembangkan budaya organisasinya.84 Bahkan budaya nasional dapat mempengaruhi
kepemimpinan
karena
mempengaruhi
cara
bawahannya
merespon85. Hasil penelitian Darwito menyimpulkan bahwa kepemimpinan mempengaruhi kepuasan kerja, artinya
semakin tinggi dan kuat gaya
kepemimpinan membentuk karakter pimpinan (atasan) maka semakin tinggi kepuasan kerjanya.86 Penelitian Suhana juga menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan dan tugas terhadap komitmen organisasi.87 Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan yang meliputi membangun kepercayaan, memberikan inspirasi, visi, mendorong kreativitas dan menekankan pengembangan berpengaruh secara 82
Ibid. Fred Luthans, Op.Cit., p. 638. 84 Wirawan, Op.Cit., p. 8. 85 Jeffrey C. Kennedy (2002), “Leadership in Malaysia: Traditional Values, Iternational Outlook,” Academy of Management Executive, August, 15-17. 86 Darwito, Op.Cit., p. 136. 87 Suhana (2007). “Relationship Analysis of Leadership Style, HRM Practices, Organizational Culture, Commitment and Performance (Study in People Crediting Bank (BPR) in Central Java),” Usahawan 10, Oktober, TH XXXVI, 47-53. 83
74 positif pada komitmen afektif karyawan. Sementara perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas juga berpengaruh terhadap komitmen afektif karyawan. Penelitian Felicia juga membuktikan bahwa ada pengaruh yang searah antara peran kepemimpinan dengan komitmen organisasi.88 Sedangkan hasil penelitian Nurjanah menyimpulkan bahwa kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.89 Dan penelitian Baihagi juga menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.90 Gaya kepemimpinan menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku kerja seperti kepuasan, kinerja dan turn over karyawan. Gaya kepemimpinan
secara
langsung
mempengaruhi
kepuasan
kerja
melalui
kecermatannya dalam menciptakan pekerjaan dan lingkungan kerja yang menarik, pelimpahan tanggung jawab serta penerapan peraturan dengan baik. Maka dari itu, pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang tepat akan menimbulkan kepuasan baginya. Kepemimpinan yang efektif tidak dapat tercapai tanpa inisiatif dan kerja sama anggota organisasi. Pemimpin membutuhkan sentuhan, empati, dan perlu berada di tengah-tengah bawahannya. Seorang pemimpin seharusnya menjadi bagian dari ”apa yang terjadi,” bukan tepisah dari ”apa yang terjadi”. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin itu bekerja tidak sendirian, dia mempunyai lingkungan yang setiap saat diperlukan untuk berinteraksi. Lingkungan itu luas, dan beraneka macamnya, dan masing-masing pemimpin mempunyai lingkungan 88
Felicia Dewi Wibowo (2006). Analisis Peran Kepemimpinan dan Pengembangan Karier terhadap Komitmen Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan. Tesis. Program Pascasarjana UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG, p. 73. 89 Nurjanah , Op.Cit., p. 125. 90 Muhammad Fauzan Baihagi, Op.Cit., p. 105.
75 yang berlainan. Tetapi peranan yang dimainkan pada hakekatnya tidak ada perbedaan. Menurut Adizes ada empat peranan yang harus dilakukan pemimpin atau manajer agar organisasi yang dipimpinnya bisa berjalan efektif, yakni: memproduksi, melaksanakan, melakukan informasi, dan memadukan91. Peranan tersebut pada umumnya telah menjadi peranan yang lazim dilakukan oleh pimpinan organisasi. Mintzberg menyebutkan tiga peranan utama yang harus dimainkan manajer, seperti: (1) peranan hubungan antar pribadi (interpersonal role); (2) peranan yang berhubungan dengan informasi (informational role); dan (3) peranan pembuat keputusan (decisional role).92 1. Peranan hubungan antar pribadi (interpersonal role). Dalam peranan ini aktivitas-aktivitas yang sering dilakukan misalnnya kegiatan seremonial sehubungan dengan jabatan yang melekat pada manajer, misalnya menerima undangan-undangan, mendatangi upacara-upacara, dan lainnya yang bersifat seremonial. Peranan hubungan antar pribadi ini terdiri atas: (a) peranan sebagai figurehead, peranan yang dilakukan untuk mewakili organisasi yang dipimpinnya. Peranan ini sangat dasar dan sederhana, karena otomatis formalnya, maka manajer dianggap sebagai simbol, dan berkewajiban untuk serangkaian tugas-tugas, kesemuanya ini melibatkan aktivitas-aktivitas interpersonal. (b) peranan sebagai pemimpin
(leader),
bertindak
sebagai
pemimpin,
melakukan
hubungan
interpersonal dengan yang dipimpin, dengan melakukan fungsi-fungsi pokoknya diantaranya memimpin, memotivasi, mengembangkan, dan mengendalikan. Pemimpin 91
yang
memperhitungkan
dan
membantu
pengikut-pengikutnya
Miftah Thoha, Op.Cit., p. 264. Henry Mintzberg (1973). The Nature of Managerial Work. New York: Harper & Row Publisher, pp. 54-94. 92
76 mempunyai pengaruh yang positif terhadap sikap, kepuasan, dan pelaksanaan kerja.93 (c) Peranan sebagai pejabat perantara (liaison manager), melakukan peranan yang berinteraksi dengan teman sejawat, staf, dan orang-orang lain yang berada di luar organisasinya, untuk mendapatkan informasi. 2. Peranan yang berhubungan dengan informasi (informational role). Dalam mendapatkan informasi manajer berada pada posisi yang unik, karena hubungannya keluar untuk mendapatkan informasi, sementara kegiatan-kegiatan kepemimpinannya membuat manajer sebagai pusat informasi bagi organisasinya. Peranan ini merupakan kelanjutan dari peranan interpersonal, yang terdiri atas: (a) sebagai monitor, peranan ini menggambarkan seorang manajer sebagai penerima dan pengumpul informasi, digunakan untuk mengembangkan suatu pengertian yang baik dari organisasi yang dipimpinnya serta pemahaman yang komplit tentang lingkungannya. Manajer mencari informasi agar ia mampu mendikte
perubahan-perubahan,
mengidentifikasi
persoalan-persoalan,
dan
kesempatan yang ada, membangun pengetahuan tentang lingkungannya, menjadi tahu kapan suatu informasi harus diberikan untuk keperluan pembuatan keputusan. Informasi yang diterima ini dikelompokkan menjadi lima kategori: (i) internal operations, yakni informasi tentang kemajuan pelaksanaan pekerjaan di dalam organisasi dan semua peristiwa yang ada hubungannya dengan pelaksanaan pekerjaan tersebut; (ii) peristiwa-peristiwa di luar organisasi, informasi yang diterima manajer dari luar organisasi, misalnya informasi dari pelanggan, hubungan-hubungan pribadi, pesaing-pesaing, dan semua informasi
93
Miftah Thoha, Op.Cit., p. 289.
77 mengenai perkembangan ekonomi, politik, dan teknologi yang bermanfaat bagi organisasi; (iii) informasi dari hasil analisis, semua analisis dan laporan-laporan mengenai berbagai isu yang berasal dari berbagai sumber sangat bermanfaat bagi manajer untuk diketahui; (iv) buah pikiran dan kecenderungan, manajer memerlukan suatu sarana untuk mengembangkan suatu pengertian yang baik atas kecenderungan-kecenderungan yang tumbuh dalam masyarakat, dan mempelajari tentang ide-ide atau buah pikiran yang baru. Mengunjungi konferensi-konferensi, seminar-seminar, memperhatikan surat-surat saran dari masyarakat, membaca laporan-laporan singkat, menerima pendapat-pendapat dari bawahan, adalah suatu cara untuk mengetahui buah pikiran dan kecenderungan-kecenderungan; (v) tekanan-tekanan, manajer perlu mengetahui informasi yang ditimbulkan dari tekanan-tekanan dari pihak-pihak tertentu, yang berusaha mempengaruhi kebijakan manajer. (b) Sebagai disseminator, peranan ini melibatkan manajer untuk menangani transmisi dari informasi-informasi ke dalam organisasi yang dipimpinnya. Manajer menyampaikan informasi dari luar ke dalam organisasi, dan informasi dari bawahan atau stafnya ke bawahan atau staf lainnya. Informasi yang disampaikan manajer ini dibedakan atas kenyataan dan nilai. Informasi berdasarkan kenyataan ini diterima manajer karena jabatannya dan bisa merupakan informasi yang berhubungan dengan referensi tertentu yang perlu diketahui stafnya. Misalnya pernnyataan tentang nilai atau referensi kejujuran yang harus menjadi pegangan bagi semua bawahannya untuk bertindak. (c) Sebagai juru bicara (spokesman), diperankan manajer dalam penyampaian
78 informasi keluar lingkungan organisasinya. Jika dissemintor hanya ke dalam organisasi, sedangkan spokesman memberi informasi keluar. 3. Peranan pembuat keputusan (decisional role). Peranan ini yang paling rumit, karena manajer harus terlibat dalam suatu proses pembuatan strategi di dalam organisasi yang dipimpinnya. Secara sederhana proses pembuatan strategi ini disebut sebagai suatu proses yang menjadikan keputusan-keputusan organisasi dibuat secara signifikan. Ada empat peranan manajer yang dikelompokkan ke dalam pembuatan keputusan ini, seperti: (a) Peranan sebagai entrepreneur, manajer bertindak sebagai pemrakarsa dan perancang dari banyak perubahanperubahan yang terkendali dari organisasinya. Peranan ini biasanya dimulai dari aktivitas melihat atau memahami secara teliti persoalan-persoalan organisasi yang mungkin bisa dikerjakan. Kemudian manajer merancang suatu kegiatan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang terkendali. (b) Peranan sebagai penghalau gangguan, manajer harus bertanggung jawab terhadap organisasi ketika terancam bahaya. Jika entrepreneur berhadapan dengan perbuatanperbuatan yang disengaja untuk mengadakan perubahan, maka dalam hal ini manajer menghadapi perbuatan-perbuatan yang tidak diketahui sebelumnya. Ada peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tidak diperhatikan akan memungkinkan timbulnya suatu krisis. (c) Peranan sebagai pembagi sumber, membagi sumber dana adalah suatu proses pembuatan keputusan. Manajer berperan untuk memutuskan ke mana sumber dana akan didistribusikan ke bagian-bagian dari organisasinya. Sumber dana ini berupa uang, waktu, perbekalan, tenaga kerja, dan reputasi. (d) Peranan sebagai negosiator, dalam hal ini manajer harus aktif
79 berpartisipasi dalam arena negosiasi. Manajer bertindak sebagai pimpinan kontingennya untuk membicarakan segala perkara yang diagendakan dalam negosiasi tersebut. Proses seperti ini meminta manajer untuk menyusun strategi yang menguntungkan organisasinya, dan pada gilirannya pengambilan keputusan adalah suatu aktivitas yang tidak bisa dihindari olehnya. Peranan-peranan yang diajukan Mintzberg ini diperlihatkan pada gambar 2.10 berikut.
Otoritas Formal dan Status
Peranan Hubungan Antarpribadi Figurehead Pemimpin Perantara
Peranan Informasi Monitor Disseminator Juru Bicara
Peranan Pembuat Keputusan Entrepreneur Penghalau Gangguan Pembagi Sumber Negosiator
Gambar 2.10 Peranan Manajer menurut Henry Mintzberg Sumber: Henry Mintzberg (1973). The Nature of Managerial Work. New York: Harper & Row Publisher, pp. 54-94
Demikianlah beberapa peranan pemimpin menurut konsepsi Henry Mintzberg yang dapat diperankan oleh setiap kepala sekolah di dalam usahanya
80 memimpin suatu sekolah, nampaknya perilaku pemimpin-pemimpin dewasa ini tercermin dalam peranan tersebut. Kepala sekolah menengah kejuruan merupakan jabatan strategis di sekolah sehingga pengelolaan pendidikan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi sampai pada imbal jasa merupakan garapan penting bagi kepala sekolah. Kepala sekolah menengah kejuruan sebagai pemimpin, harus memiliki pengetahuan organisasi dalam melaksanakan tugas manajerial. Sebagai manajer harus mampu menyusun program sekolah baik jangka pendek berupa Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), program jangka menengah maupun program jangka panjang. Kepala sekolah menengah kejuruan harus memiliki kemampuan untuk menggerakkan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengoptimalkan sumber daya sekolah yang tidak terlepas dari karakteristik pendidikan kejuruan, yaitu: keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya kelak di lapangan kerja; justifikasi khusus
adanya kebutuhan nyata yang
dirasakan di lapangan; sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya; kriteria untuk menentukan keberhasilan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school success dan out of school success; perkembangan ilmu dan teknologi serta pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan kejuruan; dan perwujudan hubungan timbal balik yang mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia
81 usaha menampung siswa SMK dalam program kerjasama yang memungkinkan siswa mendapat pengalaman belajar di lapangan. Berdasarkan uraian teori-teori di atas dapat disintesiskan bahwa kepemimpinan kepala sekolah menengah kejuruan dalam penelitian ini adalah kemampuan menanamkan keyakinan, memberdayakan siswa, guru, pegawai, teknisi laboratorium/workshop dengan penuh perhatian dan pengarahan untuk memperoleh dukungan dari mereka untuk mencapai visi dan misi sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan, yang didefinisikan dengan indikator-indikator melaksanakan visi dan misi sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan, pemberdayaan
bawahan,
pembimbingan
dan
pengarahan,
pengelolaan
administrasi, perbaikan dan pengembangan lembaga.
4. Komunikasi Interpersonal Secara
epistemologi istilah komunikasi
berasal dari
bahasa latin
“communication” yang bersumber dari kata “communis”, yang berarti sama makna dan sama rasa mengenai suatu hal94. Para ahli juga mensejajarkan asal kata komunikasi “communicare” yang di dalam bahasa latin mempunyai arti berpartisipasi atau berasal dari kata “commones” yang berarti sama = “common”95. Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi didefinisikan sebagai penyampaian atau pertukaran informasi dari pengirim kepada penerima, baik secara lisan, tertulis
94 95
Onong Uchjana Effendy (2000). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya, p. 3. Toto Tasmara (1997). Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama, p. 98.
82 maupun menggunakan alat komunikasi96. Pertukaran informasi yang terjadi di antara pengirim dan penerima tidak hanya dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis, tetapi juga menggunakan alat komunikasi canggih. Newstrom mendefinisikan “Communication is the transfer of information and understanding from one person to anthoter person”97. Sedangkan Lussier menyatakan “Communication is the process of transmitting information and meaning”98. Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal, dan sebagainya. Komunikasi ada dimana-mana, karena itu banyak orang merasa telah mengetahui dan menguasainya. Dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam hubungan dengan orang lain, menggunakan komunikasi agar dapat mencapai tujuan. Dalam pekerjaan jenis apapun selalu ada komunikasi, karena komunikasi merupakan sarana untuk berhubungan dengan orang lain. De Vito mengemukakan bahwa “communication refers to the act, by one or more persons of sending and receiving messages that are distorted by noise, occur with in a context, have some effects, and provide some opportunities for feed back”99. Komunikasi menyangkut tindakan seseorang atau beberapa orang yang mengirim dan menerima pesan yang terganggu oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks, mempunyai beberapa pengaruh, dan memberi beberapa 96
Sopiah, Op.Cit., p. 141. John W. Newstrom, Op.Cit., p. 45. 98 Robert N. Lussier, Op.Cit., p. 320. 99 Joseph A. De Vito (1991). Human Communication. New York: Random House, p. 5. 97
83 kesempatan untuk mendapatkan umpan balik. Selanjutnya Hadari mendefinisikan komunikasi sebagai proses penyampaian dan penerimaan informasi yang menjadi salah satu sumber daya untuk
menjaga,
memelihara, memajukan, dan
mengembangkan organisasi secara dinamis sesuai dengan tujuannya100. Menurut Sopiah, arah komunikasi yang terjadi bisa berbentuk sebagai berikut: (1) komunikasi ke bawah; (2) komunikasi ke atas; dan (3) komunikasi lateral.101 (1) Komunikasi ke bawah, digunakan pimpinan dalam memberikan instruksi kepada bawahannya; (2) Komunikasi ke atas, bawahan memberikan umpan balik pada atasan, misalnya tentang informasi kemajuan pekerjaan atau informasi tentang masalah yang ada di lapangan; dan (3) Komunikasi lateral, komunikasi horizontal sesama anggota dalam kelompok. Komunikasi ini digunakan untuk mempermudah terjadinya koordinasi di antara anggota kelompok sehingga tidak terjadi tumpang tindih pelaksanaan tugas di antara anggota.
Katz dan Kahn
mengidentifikasi lima tujuan umum komunikasi dari atas ke bawah dalam organisasi, yakni: (1) memgerti arahan tugas khusus mengenai instruksi kerja; (2)
memberi
informasi
(3)
menyediakan
mengenai
informasi
prosedur
mengenai
dan
praktek
organisasi;
dasar
pekerjaan;
pemikiran
(4) memberitahu bawahan mengenai kinerja mereka; dan (5) menyediakan informasi ideologis guna memudahkan indoktrinasi tujuan.102 Jika anggota organisasi mengetahui alasan penugasannya, pasti akan melaksanakan tugasnya lebih efektif, dan jika mereka memahami pekerjaan yang 100
Nawawi Hadari dan Martini Hadari (2000). Kepemimpinan Yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, p. 21. 101 Sopiah, Op.Cit., p. 144. 102 Daniel Katz dan Robert Kahn (1978). The Social Psychology of Organization, 2 nd Edition. New York: Wiley, p. 440.
84 berhubungan dengan subsistem, maka akan lebih bisa mengidentifikasi tujuan organisasi103. Memberikan informasi penuh tentang pekerjaan, struktur seluruh organisasi, dan kualitas kinerja anggota yang sebaiknya menjadi fungsi penting komunikasi ke bawah. Sedangkan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi ke atas, maka beberapa cara yang perlu dilakukan adalah: (1) penyediaan prosedur penyampaian keluhan; (2) penggunaan e-mail mengeliminasi banyak intimidasi komunikasi ke atas; (3) konseling, kuesioner sikap, dan wawancara pengunduran diri; (4) teknik-teknik partisipasi, dapat menghasilkan komunikasi yang hebat; (5) strategi pemberdayaan, hal ini berhubungan erat dengan teknik partisipasi; dan (6) penginvestigasi keluhan.104 Proses penyampaian informasi berupa gagasan, pendapat, penjelasan, saran yakni mempengaruhi atau merubah respon penerima informasi sesuai dengan yang diinginkan sumber informasi. Widjaja mendefinisikan komunikasi sebagai suatu tingkah laku perbuatan atau kegiatan penyampaian atau pengoperan lambang-lambang yang mengandung makna atau arti105. Komunikasi sebagai suatu proses dengan mana orang-orang bermaksud memberikan pengertianpengertian melalui pengiriman berita secara simbolis, dapat menghubungkan para anggota berbagai satuan organisasi yang berbeda dan bidang yang berbeda pula, sehingga sering disebut rantai pertukaran informasi. Konsep ini mempunyai unsur-unsur: (1) suatu kegiatan untuk membuat seseorang mengerti, (2) suatu sarana pengaliran informasi, dan (3) suatu sistem bagi terjalinnya komunikasi di
103
Ibid., p. 443. Fred Luthans (2005). Organizational Behavior, 10th Edition. New York: The McGraw-Hill, Companies, Inc., pp. 387-388. 105 H.A.W. Widjaja (2000). Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta, p. 29. 104
85 antara individu-individu106. Pandangan tradisional tentang komunikasi telah banyak diubah oleh perkembangan teknologi, yaitu bahwa komunikasi tidak hanya terjadi antara dua atau lebih individu, tetapi mencakup juga komunikasi antara orang-orang dan mesin-mesin, dan bahkan antara mesin dengan mesin lainnya. Sebelum komunikasi dapat dilakukan, maksud yang dinyatakan sebagai pesan yang akan disampaikan harus ada. Pesan itu berlalu antara sumber (pengirim) dan penerima. Pesan itu diubah menjadi bentuk simbol (disebut encoding) dan disampaikan melalui beberapa media (saluran) kepada penerima, yang menerjemahkan ulang pesan pengirimnya (disebut decoding) atau penguraian kode atau penguraian sandi. Hasilnya adalah penyampaian maksud dari satu orang ke orang lain107. Unsur-unsur proses komunikasi meliputi: sumber komunikasi, pesan, encoding, saluran, decoding, penerima, dan umpan balik, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.11 berikut.
Pesan
Media
Encoding
Penerima
Decoding Kegaduhan
Pengirim
Pesan
Umpan balik
Gambar 2.11 Proses Komunikasi Interpersonal Sumber: Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter (2007). Management, Ninth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. p. 324. 106
T. Hani Handoko (2003). Manajemen, Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, p. 273. Stephen P. Robbins dan Mary Coulter (2007). Management, Ninth Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall, p. 324. 107
86 Pengirim atau sumber, mempunyai kebutuhan, keinginan, atau informasi serta kepentingan untuk mengkomunikasikannya kepada satu orang atau lebih. Encoding, pengirim mengkodekan informasi yang akan disampaikan dengan menerjemahkannya
dapat ditransfer dari satu ke lain orang lewat
gambaran atau simbol. Karena komunikasi adalah objek pengkodean, pengirim berusaha menetapkan mutualitas dari suatu pengertian (pengertian bersama) dengan penerima dengan memilih simbol-simbol, biasanya dalam bentuk katakata atau isyarat yang diyakini oleh pengirim mempunyai arti yang sama bagi penerima. Pesan adalah bentuk fisik ke dalam mana pengirim mengkodekan informasi, yang bisa dirasakan atau dimengerti oleh satu atau lebih
indera
penerima. Pesan-pesan non-verbal merupakan bentuk komunikasi yang sangat penting, karena ini seringkali lebih jujur atau berarti dari pada pesan verbal atau tertulis. Media (saluran) adalah cara menyampaikan pesan, misalnya udara untuk kata-kata yang diucapkan atau kertas untuk surat; ini tidak terpisahkan dari pesan. Agar komunikasi dapat efektif dan efisien, media harus sesuai untuk pesan. Penerima harus dipertimbangkan dalam memilih media, karena ada yang memberi tanggapan lebih baik terhadap kata-kata tertulis yang formal, sementara yang lainnnya menanggapi lebih baik tehadap kata-kata yang diucapkan secara informal. Penerima adalah orang yang menafsirkan pesan dari pengirim, bisa terjadi beberapa penerima tertentu untuk suatu pesan tertentu.
87 Decoding (penafsiran kode) adalah proses dimana penerima menafsirkan pesan dan menterjemahkannya menjadi informasi yang berarti baginya. Penafsiran kode dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu si penerima, interpretasi pribadi terhadap simbol atau isyarat yang digunakan, harapan, serta kesamaan pengertian arti dengan pengirim. Biasanya, makin tepat penafsiran penerima terhadap pesan yang dimaksudkan oleh pengirim, makin efektif komunikasi yang terjadi. Kegaduhan (gangguan) adalah semua faktor yang mengganggu, membingungkan, atau mengacaukan komunikasi. Gangguan dapat muncul pada setiap tahap dalam proses komunikasi. Pengirim mungkin tidak fasih atau berbicara terlalu perlahan sehingga sukar untuk didengarkan dengan jelas, pesan dapat terganggu oleh suara lain di sekitarnya, penerima
mungkin
tidak
memperhatikan, gangguan terbanyak timbul pada tahap pengkodean dan penafsiran kode108. Dorongan untuk mengartikan suatu komunikasi demikian kuat sehingga komunikasi yang membingungkan atau bahkan tidak dapat diartikan seringkali
ditafsirkan oleh penerima ke dalam pernyataan yang dirasa pantas
yang mungkin mempunyai arti yang sangat jauh berbeda dengan pesan yang semula. Umpan balik adalah pembalikan dari proses komunikasi dimana reaksi terhadap komunikasi pengirim dinyatakan. Karena penerima telah menjadi pengirim, umpan balik mengalir lewat langkah yang sama seperti komunikasi yang semula. Umpan balik bersifat bebas
dan dapat hadir dalam berbagai
tingkatan pada suatu situasi tertentu. Pada kebanyakan komunikasi organisasi, 108
Gibson, dkk. (2009). Organizational: Behavior, Structure, Processes. New York: The McGraw Hill Companies, Inc., p. 167.
88 makin banyak umpan balik, akan makin besar kemungkinan terjadi proses komunikasi yang efektif. Selain umpan balik, variabel lain seperti kepercayaan, harapan, nilai, status, dan kompatibilitas sangat mempengaruhi aspek komunikasi interpersonal109. Jika bawahan tidak percaya kepada pimpinan, maka komunikasi tidak efektif. Anggota hanya menanggapi apa yang mereka ingin tanggapi, hal yang tidak diinginkan tidak akan ditanggapi. Bertambahnya kesenjangan generasi, mungkin merugikan komunikasi interpersonal, begitu juga perbedaan status dan tidak kompatibelnya sesuatu.110 Membahas dan melakukan sesuatu pada variabel komunikasi interpersonal dapat mengungkapkan perbedaan antara komunikasi yang efektif dan tidak efektif. De Vito mengemukakan bahwa suatu komunikasi interpersonal
bisa
efektif
dengan
memperhatikan
indikator-indikator:
(1) keterbukaan, (2) empati, (3) dukungan, (4) kepositifan, dan (5) kesetaraan111. Keterbukaan, untuk menunjukkan kualitas keterbukaan dapat dilihat dari aspek keinginan untuk terbuka bagi setiap orang yang berinteraksi dengan orang lain, dan aspek keinginan untuk menanggapi secara jujur semua stimulus yang datang kepadanya. Budaya organisasi yang kohesi atau efektif tercermin pada kepercayaan, keterbukaan komunikasi, kepemimpinan yang mendapat masukan
109
Manuel Becerra dan Anil K. Gupta (2003). “Perceived Trustwoworthiness within the Organization: The Moderating Impact of Communication Frequency on Trustor and Trustee Effects”, Organization Science, 4,(1), 32-44. 110 Richard W. Oliver (2000). “My Generation”, Management Review, Januari, 12-13. 111 Joseph A. De Vito (2005). The InterpersonalCommunication Book. New York: Harper & Rew, Publisher, p. 4.
89 dan didukung oleh bawahan, pemecahan masalah oleh kelompok, kemandirian kerja, dan pertukaran informasi112. Empati, merasakan sebagaimana dirasakan orang lain, suatu perasaan bersama perasaan orang lain yakni, mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan perasaan orang lain. Dukungan adakalanya terucapkan dan adakalanya tidak terucapkan. Dukungan yang tidak terucapkan, misalnya dengan gerakan tubuh, dapat merupakan aspek positif dari komunikasi interpersonal. Kepositifan, paling sedikit terdapat tiga aspek perbedaan atau unsur. Pertama, komunikasi interpersonal akan berhasil jika terdapat perhatian yang positif terhadap diri seseorang. Kedua, komunikasi interpersonal akan terpelihara baik, jika suatu perasaan positif terhadap orang lain itu dikomunikasikan. Hal ini membuat orang lain tersebut merasa lebih baik dan mempunyai keberanian untuk lebih berpartisipasi pada setiap kesempatan. Ketiga, suatu perasaan positif dalam komunikasi, amat bermanfaat untuk mengefektifkan kerja sama. Kesetaraan, merupakan indikator yang istimewa, karena kenyataannya tidak ada manusia yang sama. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif jika orang-orang yang berkomunikasi itu dalam suasana kesetaraan. Bukan berarti bahwa orang-orang yang tidak mempunyai kesetaraan tidak bisa berkomunikasi, tetapi hendaknya diketahui kesetaraan kepribadian mereka. Sehubungan dengan fungsi komunikasi, Robbins dan Judge menyatakan bahwa komunikasi menjalankan empat fungsi utama di dalam kelompok atau
112
Edy Sutrisno. Budaya Organisasi, Op.Cit., p. 11.
90 organisasi: pengendalian, motivasi, pengungkapan emosi, dan informasi113. Komunikasi berfungsi mengendalikan perilaku anggota dengan beberapa cara. Setiap organisasi mempunyai hierarki wewenang dan pedoman resmi yang harus diikuti
karyawan.
Misalnya,
anggota
diminta
untuk
terlebih
dahulu
mengkomunikasikan setiap keluhan yang berkaitan dengan pekerjaannya ke atasannya langsung, sesuai dengan uraian tugasnya, jadi komunikasi ini menjalankan tugasnya sebagai pengendali. Komunikasi memperkuat motivasi dengan menjelaskan kepada karyawan apa yang mereka lakukan, seberapa baik mereka melakukannya, dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja yang di bawah standar. Ketika anggota menetapkan tujuan tertentu serta mengerjakannya, dan menerima umpan balik dari perkembangan tujuan itu, maka komunikasi diperlukan. Bagi kebanyakan anggota, kelompok kerja mereka adalah sumber utama dari interaksi sosial. Komunikasi yang terjadi di dalam kelompok adalah mekanisme fundamental dimana anggotanya berbagi rasa frustrasi dan perasaan puas, sehingga komunikasi memberikan penyaluran perasaan bagi ekspresi emosional dan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Akhirnya, individu dan kelompok memerlukan informasi untuk menyelesaikan sesuatu dalam organisasi, dan komunikasi menyediakan informasi tersebut. Keempat fungsi tersebut mempunyai peranan yang sama, sehingga tidak dapat dipandang lebih baik dari yang lainnya. Agar
berkinerja
mempertahankan
113
secara
beberapa
efektif,
macam
organisasi
pengendalian
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2009), Op.Cit., p. 385.
atau
lembaga
terhadap
perlu
anggotanya,
91 merangsang para anggota untuk berkinerja, menyediakan sarana untuk pengungkapan emosi, dan membuat pilihan-pilihan keputusan; harus menganggap bahwa hampir semua interaksi komunikasi yang berlangsung dalam lembaga menjalankan satu atau lebih dari keempat fungsi ini. Edy Sutrisno mengemukakan fungsi-fungsi komunikasi sebagai berikut: (1) pertumbuhan individu, manusia hidup dan berkembang melalui komuniakasi dengan lingkungannya; (2) belajar bekaitan erat dengan pertumbuhan; (3) kesadaran diri; dan (4) integrasi dengan lingkungan.114 Keempat fungsi yang dikemukakan Edy Sutrisno tersebut berlaku secara umum, jadi berlaku juga pada lembaga pendidikan menengah kejuruan. Peran kepala sekolah sebagai pendidik bertugas membina guru, staf, dan siswa; dituntut memiliki keterampilan sosial. Keterampilan ini merupakan kemampuan kepala sekolah dalam memelihara hubungan antar pribadi, antar kepala sekolah dengan bawahannya. Kepala sekolah harus menjalin kerjasama regu dan berkomunikasi secara aktif. Hubungan antar pribadi digunakan untuk memberi semangat dan mendorong guru dan staf dalam menjalankan tugas. Kepala sekolah akan mendapat kesulitan dalam menjalankan tugasnya apabila hubungan antar pribadi tidak terpelihara. Proses penyampaian pesan ataupun pertukaran informasi ini mempunyai dimensi: (1) komunikasi verbal dan nonverbal dan (2) Komunikasi satu arah dan dua arah.115
114 115
Edy Sutrisno, Budaya Organisasi, Op.Cit., pp. 43-44. Ibid., pp. 45-46.
92 Komunikasi verbal adalah suatu proses penyampaian pesan dengan menggunakan kata-kata, sedangkan komunikasi nonverbal merupakan proses penyampaian pesan tanpa kata-kata, tetapi dengan bahasa tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sering komunikasi verbal maupun nonverbal, misalnya orang dapat menyatakan sesuatu dan disamping itu lebih menekankan apa yang dikatakan itu dengan suatu gerakan tangan. Komunikasi satu arah, pesan hanya mengalir dari pengirim pesan, sedangkan komunikasi dua arah pesan mengalir baik dari pengirim maupun penerima, secara bergantian pengirim pesan menjadi penerima, demikian sebaliknya. Pada komunikasi dua arah terjadi diskusi antara pengirim pesan dan penerima pesan, sehingga penerima pesan akan merasa puas karena merasa dilibatkan. Sebaliknya, pada komunikasi satu arah di samping penerima pesan merasa tidak puas, juga paling besar kemungkinan terjadinya distorsi pesan. Sebab besar kemungkinan penerima pesan menafsirkan atau mereka-reka pesan, di lain pihak pengirim pesan tidak dapat mengendalikan seberapa jauh pesan ditangkap secara benar oleh penerima pesan. Kepala sekolah menengah kejuruan sebagai pendidik harus melakukan pengajaran, bimbingan, dan latihan terhadap siswa, guru, dan pegawai serta teknisi laboratorium/workshop yang berkaitan dengan perubahan sikap, mental dan kondisi fisik. Dalam melakukan tugasnya sebagai pendidik memerlukan kemampuan berkomunikasi terutama dalam mensosialisasikan visi dan misi yang sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan, baik secara komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal serta keterampilan sosial. Keterampilan sosial
93 merupakan kemampuan kepala sekolah dalam memelihara hubungan antar pribadi antara kepala sekolah dengan bawahannya. Hubungan antar pribadi digunakan untuk
memberi
semangat
dan
mendorong
siswa,
guru,
dan
teknisi
laboratorium/workshop dalam menjalankan tugasnya. Berdasarkan uraian teori-teori di atas dapat disintesiskan bahwa komunikasi interpersonal kepala sekolah menengah kejuruan dalam penelitian ini adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang dalam rangka mensosialisasikan visi dan misi yang sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan dimana komunikasi ini dapat mengubah sikap, pendapat atau perilaku bawahan dan bersifat dialogis serta arus balik terjadi secara langsung, yang didefinisikan
dengan
indikator-indikator
keterbukaan,
empati,
dukungan,
kepositifan, dan kesetaraan.
5. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah sikap yang ditunjukkan seseorang dalam merasakan pekerjaannya. Menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson kepuasan kerja adalah “as a pleasurable emotional state resulting from the appraisal of one’s job or job experiences”116. Kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosional yang menyenangkan yang dihasilkan atas penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
116
Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson, Op.Cit., p. 105.
94 Pada hakekatnya, kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau tidak senang pekerja dalam memandang dan menjalankan pekerjaannya117. Sedangkan Robbins dan Judge menyatakan “job satisfaction is a positive feeling about a job resulting from an evaluation of its characteristics”118. Kepuasan kerja menggambarkan sikap umum karyawan terhadap pekerjaannya. Lebih lanjut dikatakan “job require interacting with cowokers and bosses, following organizational rules and policies, meeting performance standards, living with working conditions that are often less than ideal, and the job like”119. Pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja, tetapi lebih luas lagi, misalnya membutuhkan interaksi dengan rekan kerja dan para atasan, mematuhi peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan organisasi, memenuhi standar kerja, hidup dengan suasana kerja yang sering kali kurang dari ideal, dan semacamnya. Pendapat senada dikemukakan Gibson,dkk., yang menyatakan kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan mereka120. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kepuasan psikologis dan akhirnya akan timbul sikap atau perilaku negatif dan pada gilirannya akan dapat menimbulkan frustrasi, sebaliknya karyawan yang terpuaskan akan dapat bekerja dengan baik, penuh semangat, aktif, dan dapat berprestasi lebih baik dari karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja.
117
Edy Sutrisno (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Kencana, p. 80. Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Op. Cit. p. 117. 119 Ibid. 120 Gibson, dkk., Op.Cit., p. 106. 118
95 Newstrom mengemukakan “Job satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings and emotions with wich employees view their work”121. Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan dan emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya. Porter mendefinisikan kepuasan kerja sebagai hasil persepsi individu terhadap kesesuaian
internal reward
dan external reward, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 2.12 berikut.
Value of Reward
Skill and Traits
Performance (Accomplishment)
Effort
Perceived effortreward probability
Internal Reward
Role perception and oportunities
Perceived Equitable rewards
Satisfaction External Reward
Gambar 2.12 The Porter and Lawler Satisfaction Model Sumber: Mullins, Lauriel J. (2005). Management and Organizational Behavior. Edinburg Gate Harlow: Prentice Hall, Inc. p.493
Internal reward bersumber dari dalam diri sendiri termasuk hasrat untuk berhasil dan perasaan bertanggungjawab. Eksternal reward bersumber dari penghasilan, kondisi kerja dan supervisi. Menurut Porter Internal reward tersebut tidak berhubungan langsung dengan kinerja karena sangat tergantung pada karakteristik pekerjaan yang menjadi tugas individu. Hasil persepsi ini menjadi reward value yang memberi pengaruh terhadap usaha (effort) individu dalam mewujudkan kinerjanya. Pada model ini dijelaskan bahwa sifat-sifat diri serta
121
John W. Newstrom, Op.Cit., p. 204.
96 persepsi terhadap peran (role) di dalam organisasi turut mempengaruhi kinerja yang memberi dampak terhadap kepuasan kerja tersebut. Implikasi model ini dalam manajemen kinerja dilakukan dengan membuat disain pekerjaan yang bervariasi dan menantang sehingga individu dapat memberi reward terhadap dirinya sendiri (reward internal) atas kinerjanya yang baik. Selain itu, external reward yang disediakan organisasi diupayakan agar memiliki nilai yang tinggi dan dipersepsi melebihi harapan individu. Kepuasan kerja bergantung pada tingkat hasil intrinsik dan ekstrinsik, dan bagaimana pemegang pekerjaan memandang hasil tersebut122. Hasil ini memiliki nilai yang berbeda bagi masing-masing orang, bagi sebahagian orang, pekerjaan yang menantang dan bertanggung jawab mungkin memiliki nilai netral atau bahkan negatif karena tergantung dari pendidikan dan pengalaman mereka di masa lalu yang berkenaan dengan pekerjaan yang menyediakan hasil intrinsik. Sedangkan bagi orang lain, hasil pekerjaan semacam itu mungkin memiliki nilai positif yang tinggi. Kepentingan yang diberikan setiap orang terhadap hasil pekerjaannya adalah berbeda-beda. Perbedaan ini akan menciptakan tingkat kepuasan kerja yang berbeda pula untuk jenis pekerjaan yang sama. Perbedaan individu yang penting lainnya meliputi keterlibatan pekerjaan dan komitmen terhadap organisasi123. Masing-masing orang berbeda dalam hal: (1) pekerjaan merupakan minat utama mereka dalam kehidupan; (2) mereka secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaan; (3) mereka mempersepsikan pekerjaan sebagai inti 122
John M. Ivancevich, Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson (2007). Perilaku dan Manajemen Organisasi. Alih Bahasa Gina Gania. Jakarta: Penerbit Erlangga, p. 185. 123 Kibeom Lee, Julie J. Carswell, dan Natalie J. Allen (2000), “A Meta-Analytic Review of Occupational Commitment: Relations with Person and Work-Related Variables,” Journal of Applied Psychology 85, (5), 799-811.
97 dari harga diri; dan (4) mereka mempersepsikan pekerjaan sebagai hal yang konsisten dengan konsep diri. Orang yang tidak terlibat dalam organisasi yang mempekerjakan mereka tidak dapat diharapkan untuk menghasilkan kepuasan kerja yang sama seperti orang yang terlibat. Perbedaan individu juga didapati pada keadilan yang dipersepsikan dari hal yang dipertimbangkan pekerja sebagai penghargaan yang adil124. Jika hasil pekerjaan dipersepsikan sebagai tidak adil bila dibandingkan dengan hasil pekerjaan lainnya dalam pekerjaan yang serupa serta memerlukan usaha yang serupa, maka pekerja akan mengalami ketidakpuasan dan mencari cara untuk mengembalikan keadilan, mungkin dengan mencari penghargaan yang lebih besar atau mungkin dengan mengurangi usaha. Locke mendefinisikan kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang125. Jadi kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Selanjutnya Wagner dan Hollenbeck menyatakan bahwa “job satisfaction is a pleasurable feeling that results from the perception that one’s job fulfills or allows for the fulfillment of one’s important job values”126. Kepuasan kerja adalah perasaan menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi bahwa pekerjaan seseorang memenuhi atau memungkinkan untuk pemenuhan nilai-nilai penting pekerjaan. Kepuasan kerja mencakup tiga komponen utama: nilai, pentingnya nilai-nilai, dan
124
John M. Ivancevich, Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson, Op.Cit., p. 186. E.A. Locke, “The Nature and Cause of Job Satisfaction”, dalam M.D.Dunnette (Ed.) (1976). Handbook of Industrial and Organizational Psychology. Chicago: Rand McNally, p. 1300. 126 John A. Wagner III dan John R. Hollenbeck. Op. Cit., p. 106 125
98 persepsi. Kepuasan kerja merupakan fungsi dari nilai-nilai, yaitu, apa yang disadari seseorang atau tidak, yang ingin dialami dari pekerjaan. Nilai tidak sama dengan kebutuhan dalam arti bahwa kebutuhan yang paling mendasar untuk mempertahankan hidup, seperti kebutuhan akan oksigen dan air. Komponen kedua adalah pentingnya nilai-nilai. Orang tidak hanya berbeda dalam nilai-nilai yang mereka pegang, tetapi juga dalam bobot mereka berikan kepada nilai-nilai, dan perbedaan-perbedaan kritis mempengaruhi tingkat kepuasan kerja mereka. Komponen terakhir adalah persepsi. Kepuasan mencerminkan persepsi tentang situasi sekarang dan nilai-nilai yang diperoleh dari pekerjaan. Demikian juga penelitian Colin Silverthone menyimpulkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma ataupun asumsi, yang merupakan cakupan budaya organisasi,127 hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi kepuasan kerja, sebagaimana juga disimpulkan penelitian Ambarita bahwa budaya organsiasi berpengaruh langsung positif terhadap kepuasan kerja. 128 Menurut Strauss dan Sayles, kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri129. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustrasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, tidak bersemangat untuk bekerja, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen, dan melakukan kesibukan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang sedang dilakukan. Sedangkan karyawan
127
Colin Silverthone (2004), ”The impact of organizational culture and person organization fit on organizational commitment and job satisfaction inTaiwan”. The Leadership & Organization Development Journal, 25, (7), 592-599. 128 Biner Ambarita, Op.Cit., p. 213. 129 George Strauss dan Leonard R. Sayles (1980). Personnel: The Human Problems of Management. New Delhi: Prentice-Hall of India, p. 5.
99 yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran, kurang aktif dalam kegiatan perserikatan, dan biasanya berprestasi kerja yang lebih baik dari pada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja130. Teori Value - Percept yang dikemukakan Colquitt, Lepine, dan Wesson menyatakan ”job satisfaction depends on whether you perceive that your job supplies the things that you value.131 Teori ini dituliskan dengan persamaan:
Dissatisfaction = (Vwant - Vhave) x (Vimportance) Keterangan: dissatisfaction = ketidakpuasan Vwant = besar nilai yang diharapkan Vhave = besar nilai yang disediakan pekerjaan Vimportance = seberapa penting nilai tersebut bagi pekerja Jika perbedaan antara wants dan have adalah besar akan menimbulkan ketidakpuasan, terutama bila nilai yang diinginkan itu penting. Selanjutnya Colquitt, Lepine, dan Wesson menggambarkan Model Teori Value - Percept Job Satisfaction tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.13 berikut. Pada gambar 2.13 tersebut ditunjukkan bahwa (1) Pay Satisfaction: mengacu pada perasaan anggota organisasi tentang gaji mereka, jadi perbedaan antara gaji yang diharapkan
dengan
gaji
yang
didapatkan
menentukan
kepuasan
gaji;
(2) Promotion Satisfaction: mengacu pada perasaan anggota tentang kebijakan promosi organisasi, termasuk apakah promosi sering terjadi, adil, dan berdasarkan kemampuan. jadi perbedaan antara promosi yang diharapkan dengan promosi yang didapatkan menentukan kepuasan promosi. 130
Gary Dessler (1982). Organization and Management. Virginia: Reston Publishing Company, Inc., p. 364. 131 Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson (2009). Op.Cit., p. 107.
100 (Paywant – Payhave) x Payimportance
(Promotionwant –Promotionhave)
x Promotionimportance
(Supervisionwant-Supervisionhave) x Supervisionimportance
Pay Satisfaction
Promotion Satisfaction
Supervision Satisfaction
(Coworkerwant – Coworkerhave) x Coworkerimportance
Cowoker Satisfaction
(Workwant – Workhave) x Workimportance
Satisfaction with the work it self
OVERALL JOB SATISFACTION
Gambar 2.13 The Value-Perfect Theory of Job Satisfaction Sumber: Jason A. Colquitt, Jeffery A. Lepine, dan Michael J. Wesson (2009). Organization Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: The McGraw-Hill Com., Inc., p.8.
(3) Supervision Satisfaction: mencerminkan perasaan anggota organisasi tentang atasan mereka, termasuk apakah atasan adalah kompeten, sopan, dan komunikator baik. Sebagian besar anggota organisasi mengajukan dua pertanyaan tentang atasan mereka: (1) "Dapatkah mereka membantu saya mencapai hal yang saya nilai?" dan (2) "Apakah mereka umumnya menyenangkan?". Pertanyaan pertama tergantung pada apakah atasan memberikan imbalan untuk kinerja yang baik, membantu anggota organisasi mendapatkan sumber daya yang diperlukan, dan melindunginya dari gangguan yang tidak perlu. Pertanyaan kedua tergantung pada apakah atasan memiliki kepribadian yang baik, serta nilai dan keyakinan yang mirip dengan filosofi kerja anggota organisasi. Jadi perbedaan antara supervisi yang diharapkan dengan supervisi yang didapatkan menentukan kepuasan
101 supervisi; (4) Coworker Satisfaction: mengacu pada perasaan anggota organisasi tentang sesama mereka, termasuk apakah rekan kerja cerdas, bertanggung jawab, membantu, menyenangkan, dan menarik, sebagai lawannya malas, gosip, tidak menyenangkan, dan membosankan. Anggota organisasi mengajukan jenis yang sama pertanyaan tentang rekan kerja mereka yang dilakukan tentang supervisor mereka: (1) "Dapatkah mereka membantu saya melakukan pekerjaan saya?" Dan (2) "Apakah saya nyaman berada di sekitar mereka?". Pertanyaan pertama sangat penting karena kebanyakan dari kita bergantung, sampai batas tertentu, pada rekan kerja kita ketika melakukan tugas pekerjaan. Pertanyaan kedua juga penting karena kita menghabiskan waktu hanya sebanyak waktu rekan kerja seperti yang dilakukan anggota keluarga sendiri. Rekan kerja yang menyenangkan dan menyenangkan membuat hari kerja pergi lebih cepat, sedangkan rekan kerja yang tidak sopan dan mengganggu bisa membosankan. Jadi perbedaan antara rekan kerja yang diharapkan dengan rekan kerja yang didapatkan menentukan kepuasan rekan kerja; dan (5) Satisfaction with the work it self: mencerminkan perasaan karyawan tentang tugas-tugas mereka yang sebenarnya, termasuk apakah tugas yang menantang, menarik, dihormati, dan memanfaatkan keterampilan atau sebaliknya membosankan, berulang, dan tidak nyaman. Jadi perbedaan kepuasan yang diharapkan dari pekerjaan dengan kepuasan yang didapatkan dari pekerjaan menentukan kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri. Singkatnya, Teori ValuePercept menunjukkan bahwa anggota organisasi akan puas ketika mereka merasa bahwa pekerjaan mereka menawarkan gaji, promosi, supervisor, rekan kerja, dan tugas pekerjaan yang mereka nilai. Tentu saja, teori ini menimbulkan pertanyaan:
102 Manakah dari lima aspek tersebut memiliki pengaruh terkuat terhadap kepuasan kerja secara keseluruhan? Kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi anggota organisasi maupun bagi organisasinya, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan organisasi. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya, demikian sebaliknya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan O’Reilly, Chatman, dan Caldwell yang menyimpulkan adanya hubungan antara ”person-organization fit” dengan tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasi dan ”turn over” anggota organisasi132, dimana ”personorganization fit” merupakan kesesuaian nilai, kesesuaian tujuan, pemenuhan kebutuhan, dan kesesuaian karakteristik kultur-kepribadian. Menurut Kreitner dan Kinicki terdapat lima faktor yang mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu: (1) need fulfillment (pemenuhan kebutuhan); (2) discrepancies (ketidaksesuaian); (3) value attainment (pencapaian nilai); (4) equity (keadilan); dan (5) dispositional/genetic components (komponen genetik).133 1). Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan), kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhan. 2). Discrepancies (ketidaksesuaian), pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaannya. 3). Value attainment (pencapaian nilai), kepuasan merupakan 132
O’Reilly, Chatman, dan Caldwell dalam Edy Sutrisno (2010), Op.Cit., p. 28. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001). Organizational Behavior. New York: McGrawHill Companies, Inc., p. 225. 133
103 hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4). Equity (keadilan), kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. 5). Dispositional/genetic components (komponen genetik), kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Individu akan merasa puas dalam kerja apabila tidak terdapat perbedaan atau selisih antara apa yang diharapkannya dengan kenyataan yang dihadapinya. Andaikan yang dirasakan dan diperoleh lebih besar dari apa yang menurut mereka harus ada, maka terjadi tingkat kepuasan yang semakin tinggi, demikian sebaliknya. Sedangkan Robbins dan Judge menemukan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh kerja itu sendiri sebesar 70 persen, pengawasan kerja 65 persen, bayaran 58 persen, dan promosi jabatan 20 persen.134 Selanjutnya Newstrom menjelaskan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh penghasilan yang diterima individu, supervisi, profil pekerjaan, sejawat dan kondisi pekerjaan.135 Greenberg dan Baron mengajukan pedoman untuk meningkatkan kepuasan kerja sebagai berikut: (1) membuat pekerjaan menjadi menyenangkan; (2) memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil; (3) menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka; dan (4) mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan.136 Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan, karena orang lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senang kerjakan dari pada yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara intrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan tingkat kesenangan ke dalam setiap pekerjaan. 134
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Op. Cit. p. 119. John W. Newstrom, Op.Cit., pp. 214-221. 136 Jerald Greenberg dan Robert A. Baron, Op. Cit., pp. 179-180. 135
104 Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil. Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan tidak jujur cenderung tidak puas dalam pekerjaannya. Jika mereka merasa dibayar dengan jujur dan apabila diberi kesempatan untuk memilih tunjangan tambahan yang paling diinginkan, kepuasan kerjanya cenderung naik. Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka. Organisasi harus memberi perhatian dalam menemukan minat dan keahlian dari orang yang akan dipekerjakannya, yang sudah dipekerjakannya, agar sesuai dengan pekerjaan mereka. Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan. Desain pekerjaan sesuai dengan individunya, misalnya dengan memberikan tanggung jawab lebih dan membentuk lebih banyak variasi, arti, identitas, otonomi, dan umpan balik. Menurut Sopiah aspek-aspek yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja adalah (a) promosi, (b) gaji, (c) pekerjaan itu sendiri, (d) supervise, (e) teman kerja, (f) keamanan kerja, (g) kondisi kerja, (h) administrasi, (i) komunikasi, (j) tanggung jawab, (k) pengakuan, (l) prestasi kerja, dan (m) kesempatan untuk berkembang.137 Sedangkan Edy Sutrisno menyatakan bahwa komunikasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja.138 Mullins mengajukan dua cara untuk mengukur kepuasan kerja, yaitu dengan mengukur kesesuaian antara yang diharapkan organisasi dengan yang
137 138
Sopiah, Op. Cit. p.172. Edy Sutrisno (2009), Op. Cit. p. 84).
105 dicari individu dari pekerjaan, dan dengan cara mengukur kesesuaian keinginan individu dengan yang diterimanya dari organisasi.139 Dalam suatu organisasi dimana sebagian besar anggotanya memperoleh kepuasan kerja, tidak tertutup kemungkinan sebahagian kecil di antaranya merasakan ketidakpuasan. Ketidakpuasan anggota organisasi dapat diungkapkan dalam sejumlah cara, yakni: (1) exit (keluar); (2) voice (suara);
(3) loyalty
(kesetiaan); dan (4) neglect (pengabaian).140 Exit (keluar): perilaku diarahkan untuk meninggalkan organisasi, yang meliputi mencari posisi baru sekaligus mengundurkan diri. Voice (suara): secara aktif dan konstruktif berupaya memperbaiki kondisi, yang meliputi menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk kegiatan perserikatan. Loyalty (kesetiaan): secara pasif namun optimis menunggu perbaikan kondisi, yang meliputi membela organisasi dari kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang benar. Neglect (pengabaian): secara pasti membiarkan keadaan memburuk, yang meliputi keabsenan atau keterlambatan kronis, penurunan usaha, dan peningkatan tingkat kesalahan. Kepala sekolah menengah kejuruan sebagai pembangkit minat (motivator) mampu memelihara keharmonisan dalam bekerja, memahami permasalahan bawahan, memberikan penghargaan, dan memberikan kepuasan. Kemampuan dalam memelihara hubungan antar pribadi digunakan untuk memahami kebutuhan 139
Lauriel J. Mullins, Op. Cit., p. 703. A.Davis Blake, J.P. Broschak, dan E. George (2003), “Happy Together? How Using Nonstandard Workers Affects Exit, Voice, and Loyalty Among Standard Employees,” Academy of Management Journal 46, (4), 475-485. 140
106 atau kesulitan bawahan dalam melaksanakan tugas, sehingga apabila kebutuhan terpenuhi maka bawahan akan termotivasi untuk menjalankan tugas dengan baik, dan hal ini merupakan kepuasan juga bagi kepala sekolah. Kepala sekolah menengah kejuruan dalam menjalankan tugas dengan baik sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis
sekolah
yang
mencakup:
adanya
profesionalisme,
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, adanya berbagi kewenangan (power sharing) dalam pengelolaan pendidikan, memiliki visi dan misi sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan. Adapun karakteristik pendidikan kejuruan tersebut mencakup: keberhasilan program secara tuntas berorientasi pada penampilan para lulusannya kelak di lapangan kerja; justifikasi khusus adanya kebutuhan nyata yang dirasakan di lapangan; sikap kerja dan orientasi nilai yang mendasari aspirasi, motivasi dan kemampuan kerjanya; kriteria untuk menentukan keberhasilan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda yaitu in school success dan out of school success; perkembangan ilmu dan teknologi serta pasang surutnya suatu bidang pekerjaan, inovasi dan penemuan baru di bidang produksi barang dan jasa, semuanya itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan kejuruan; dan perwujudan hubungan timbal balik yang mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory commite), kesediaan dunia usaha menampung siswa SMK dalam program kerjasama yang memungkinkan siswa mendapat pengalaman belajar di lapangan. Berdasarkan uraian teori-teori di atas dapat disintesiskan bahwa kepuasan kerja kepala sekolah menengah kejuruan dalam penelitian ini adalah pernyataan
107 tercapainya suatu harapan ataupun sikap terhadap pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan yang menimbulkan perasaan senang terhadap pelaksanaan pekerjaan, yang didefinisikan dengan indikator imbalan kerja, pengharapan atas pekerjaan, peningkatan karier, dukungan teman kerja, dan pengawasan.
B. Kerangka Berpikir 1. Pengaruh Langsung Budaya Organisasi terhadap Kepemimpinan Budaya organisasi telah menjadi tema penting dalam penelitian-penelitian manajemen dan bisnis dalam beberapa dekade terakhir. Karena setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang mempengaruhi semua aspek organisasi dan perilaku anggotanya secara individual maupun kelompok. Pengaruh budaya organisasi ini akan dirasakan orang, misalnya jika berada dalam suatu lembaga, kemudian keluar dan memasuki lembaga lainnya. Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi, bukan individu anggotanya. Isi budaya organisasi ada yang dapat diindera dengan mudah seperti artefak dan ada yang sulit diindera seperti nilai-nilai, norma, asumsi dan filsafat organisasi. Isi budaya organisasi diperkenalkan dan diajarkan serta diterapkan dalam kegiatan organisasi. Mereka yang ingin menjadi anggota organisasi wajib memahami, merasa memiliki, dan menerapkannya dalam perilakunya, ini semuanya tidak terlepas dari peran kepemimpinan kepala sekolah. Keberhasilan kepemimpinan sebagian ditentukan oleh kemampuan pemimpin untuk mengembangkan budaya organisasinya. Budaya organisasi merupakan seperangkat nilai yang mengontrol interaksi antar individu dalam suatu organisasi,
yang tidak terlepas dari aktivitas kepala
108 sekolah. Kepala sekolah dalam mengarahkan dengan cara mengenali bawahan, mendukung bawahan, mengembangkan bawahan, memotivasi bawahan, membina hubungan dan mengayomi bawahan untuk mencapai tujuan. Dalam penguatan norma, nilai-nilai maupun asumsi untuk mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku anggota organisasi tentu berkaitan juga terhadap kelancaran pelaksanaan tugas-tugas kepala sekolah. Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa penguatan budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah.
2. Pengaruh Langsung Interpersonal
Budaya
Organisasi
tehadap
Komunikasi
Komunikasi interpersonal akan terjadi apabila seorang dengan orang lain saling mengenal dan berbicara satu sama lainnya, atau berusaha mempengaruhi satu sama lainnya dengan menggunakan sistem lambang, yang biasanya lambang bunyi atau yang disebut bahasa. Komunikasi interpersonal meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Budaya organisasi adalah norma yang menginformasikan anggota organisasi mengenai apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima, nilai-nilai dominan yang dihargai organisasi di atas yang lainnya, asumsi dasar dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota organisasi, peraturan main yang harus dipelajari jika orang ingin dapat sejalan dan diterima sebagai anggota organisasi, dan filsafat yang mengarahkan
dalam
berhubungan dengan karyawan dan kliennya. Menginformasikan apa yang dapat diterima dan apa yang tidak dapat diterima perihal isi budaya organisasi membutuhkan komunikasi, Komunikasi interpersonal kepala sekolah adalah suatu
109 proses interaksi sosial dalam sekolah untuk menyampaikan dan menerima informasi yang berlangsung secara formal maupun informal dan terjadi terus menerus di saat melaksanakan tugas dan kegiatan pada sekolah. Komunikasi yang dapat dijalin kepala sekolah dapat berupa komunikasi vertikal
maupun
komunikasi horizontal. Komunikasi vertikal terjadi ke bawah atau ke atas. Komunikasi ke bawah yaitu komunikasi antara kepala sekolah dengan guru dan siswa serta tenaga kependidikan lainnya. Komunikasi ke atas adalah komunikasi kepala sekolah dengan pimpinannya, sedangkan komunikasi horizontal adalah komunikasi antar sesama kepala sekolah. Budaya organisasi yang kohesi atau efektif tercermin pada kepercayaan, keterbukaan komunikasi, kepemimpinan yang mendapat masukan, dan didukung oleh bawahan, pemecahan masalah oleh kelompok, kemandirian kerja, dan pertukaran informasi. Strategi implementasi budaya yang homogen pada organisasi dapat dilakukan melalui sosialisasi budaya organisasi. Mensosialisasikan budaya organisasi ini dengan komunikasi yang dijalin, baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga akan mengoptimalkan fungsi-fungsi budaya organisasi.
Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa
penguatan budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap komunikasi interpersonal.
3. Pengaruh Langsung Interpersonal
Kepemimpinan
terhadap
Komunikasi
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang
110 hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan. Kepemimpinan merupakan faktor penentu dalam mengarahkan seluruh elemen yang ada di organisasi agar dapat bekerja secara optimal. Untuk itu, peran kepala sekolah sangat menentukan pemberian pelayanan yang baik kepada pelanggannya. Bila kepala sekolah dapat memberdayakan seluruh guru, pegawai maupun siswa, maka proses pembelajaran akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Komunikasi merupakan penyampaian atau pertukaran informasi dari pengirim kepada penerima, baik secara lisan, tertulis, maupun menggunakan alat komunikasi. Pentingnya komunikasi dalam hubungannya dengan pekerjaan ditunjukkan oleh banyaknya waktu yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam pekerjaan. Gaya kepemimpinan yang berhasil jika berorientasi pada bawahan, dan mendasarkan pada komunikasi. Dalam hal ini pemimpin sangat mempercayai bawahannya, misalnya dalam setiap persoalan selalu mengandalkan ide-ide dan pendapat-pendapat bawahannya, ini semua dilakukannya dengan komunikasi interpersonal yang terjalin, baik secara komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal. Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap komunikasi interpersonal.
4. Pengaruh Langsung Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Budaya organisasi merupakan norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayan, filsafat, kebiasaan organisasi, dan sebagainya, yang dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin dan anggotanya yang disosialisasikan kepada anggota baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam memproduksi produk,
111 melayani para konsumen, dan mencapai tujuan organisasi. Pada umumnya budaya organisasi cenderung diwujudkan oleh anggota organisasi. Budaya organisasi yang kuat akan dapat mempengaruhi perilaku manusia untuk bertindak dalam melakukan tugas-tugasnya. Kepuasan kerja pada dasarnya adalah sikap atau perasaan seseorang terhadap pekerjaannya yang dapat dilihat dari keyakinan, perasaan, dan perilakunya terhadap semua aspek yang terkait dengan pekerjaannya sebagai kepala sekolah. Bila setiap anggota organisasi menyadari bahwa nilai-nilai budaya organisasi
mampu
diimplementasikan
dalam
pekerjaannya,
maka
akan
menimbulkan kegairahan dan semangat bagi pimpinan untuk dapat melaksanakan setiap pekerjaannya dengan baik serta memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggannya. Hal ini akan menimbulkan kepuasan bagi pimpinan, karena mereka dapat berbuat yang terbaik demi pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian dapat diduga bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja.
5. Pengaruh Langsung Kepemimpinan terhadap Kepuasan Kerja Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau suatu kelompok dalam upaya
ke arah
pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pada dasarnya mengandung dua unsur, yaitu pengaruh dan pencapaian tujuan.
112 Kepemimpinan dapat terjadi pada setiap saat selama sesuatu kegiatan memiliki tujuan dan perilaku manusianya dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepuasan Kerja merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari seseorang dapat terpenuhi yang dapat meningkatakan kinerja. Kepuasan kerja secara umum merujuk pada perasaan kepuasaan seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Dengan demikian, kepuasaan meliputi perasaan positif dan negatif seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Pimpinan yang memperhitungkan dan membantu pengikut-pengikutnya, akan menimbulkan rasa senang dan gairah dalam pelaksanaan kerjanya. Pimpinan yang dapat memenuhi harapan dan keinginan dari bawahannya akan menciptakan kepuasan kerja. Pimpinan harus dapat memberikan pengaruh yang dapat diterima semua bawahannya agar bawahannya dapat berbuat dan melakukan pekerjaannya dengan perasaan senang sesuai dengan tuntutan organisasi. Seseorang yang memiliki kepuasan kerja akan menjadi pekerja yang bersemangat sehingga tidak merasakan bekerja sebagai tugas yang harus diselesaikan dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja.
6. Pengaruh Langsung Komunikasi Interpersonal terhadap Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempat kerjanya. Kepuasan kerja adalah sikap terhadap pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang menimbulkan perasaan senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumberdaya manusia
113 pada suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang bersangkutan. Sebab dengan tercapainya kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi akan lebih baik dan akurat. Kepuasan kerja sebagai kombinasi dari kepuasan yang diperoleh di dalam maupun di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Anggota organisasi yang menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak. Tidak ada tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak karena setiap individu
berbeda standar
kepuasannya. Komunikasi interpersonal merupakan proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal, dan sebagainya. Dan perpindahan pengertian yang efektif memerlukan tidak hanya transmisi data, tetapi seseorang mengirimkan berita dan menerimanya sangat tergantung pada keterampilan-keterampilan tertentu untuk membuat sukses pertukaran informasi. Setiap individu dalam berkomunikasi pasti mengharapkan tujuan dari komunikasi itu sendiri, secara umum tujuan berkomunikasi adalah mengharapkan adanya umpan balik yang diberikan oleh lawan berbicara serta semua pesan yang disampaikan dapat diterima oleh lawan bicara dan adanya efek yang terjadi setelah melakukan komunikasi tersebut Kepuasan kerja merupakan suatu reaksi emosional yang kompleks. Reaksi emosional ini adalah merupakan akibat dari
114 dorongan, keinginan, tuntutan dan harapan-harapan individu terhadap pekerjaan yang
dihubungkan
dengan
realita-realita
yang
dirasakannya,
sehingga
menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, perasaan puas ataupun perasaan tidak puas, ini pada
prosesnya tentu tidak
terlepas dari peranan komunikasi, baik komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal, karena pekerja yang puas akan lebih suka berbicara positif tentang organisasinya. Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa komunikasi interpersonal berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja.
7. Pengaruh Langsung Komunikasi Interpersonal terhadap Komitmen Organisasi Komunikasi adalah proses penyampaian pesan kepada pihak lain. Dalam organisasi atau lembaga, komunikasi memiliki peran penting, terutama dalam membentuk organisasi yang efektif dan efisien. Penyampaian informasi yang terjadi di antara pengirim dan penerima tidak hanya dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis, tetapi juga yang menggunakan alat komunikasi canggih. Aliran komunikasi dalam organisasi merupakan pedoman ke mana seseorang dapat berkomunikasi. Aliran komunikasi formal dalam organisasi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi horizontal, dan komunikasi diagonal. Untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari suatu organisasi, maka pimpinan akan berusaha mengkomunikasikannya sebaik mungkin agar bawahan ataupun orang yang terlibat di dalam organisasi tersebut dapat memahami.
115 Komitmen organisasi merupakan suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari individu terhadap organisasinya. Komitmen organisasi adalah keberpihakan anggota organisasi secara psikologis terhadap pekerjaannya dalam rangka pencapaian tujuan. Kepala sekolah dalam melakukan pekerjaannya dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang manajemen, yaitu mampu mangatur dan mengembangkan sistem
pembelajaran agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik. Bila sistem manajemen di dalam organisasi dilaksanakan dengan baik, maka akan menumbuhkan komitmen yang kuat terhadap pekerjaannya. Dalam menumbuhkan komitmen organisasi, perlu menjalin komunikasi dua arah dalam organisasi tanpa memandang rendah bawahan. Komitmen organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen kepala sekolah dalam melakukan pekerjaannya akan ditunjukkan pada hal-hal mempunyai harapan akan keberhasilan dalam pekerjaan, mengharapkan peningkatan pendapatan yang memadai, dan terdapat nilai-nilai rangsangan yang melekat pada individu dengan tujuan yang diinginkan, sehingga mereka merasa puas bila bawahan melakukan pekerjaannya dengan baik dan menghasilkan tujuan yang diinginkan. Berdasarkan uraian di atas di duga bahwa komunikasi interpersonal berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.
8. Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Organisasi Hubungan antara bawahan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam meningkatkan produktivitas kerja. Kepuasan kerja dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan,
116 sehingga bawahan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.. Komitmen organisasi adalah sebagai penerimaan seseorang atas nilai-nilai organisasi, keterlibatan secara psikologis, dan loyalitas. Komitmen merupakan suatu sikap dan perilaku yang saling mendorong (reinforce) antara satu dengan yang lain. Bila seseorang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi, maka ia akan menunjukkan perilaku dan sikap yang positif terhadap lembaganya, dia tetap membela organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi. Kepuasaan kerja terbentuk
berdasarkan pengalaman terhadap lingkungan
pekerjaannya serta berdampak pada munculnya sikap atau tingkah laku tertentu, yaitu komitmen terhadap organisasi. Seseorang yang merasa puas dalam melaksanakan setiap pekerjaannya maka ia akan senang dalam bekerja sehingga tanpa disadari dia telah menunjukkan komitmennya terhadap organisasi dalam bekerja, setidak-tidaknya dalam penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, kesiapan dan kesediannya untuk berusaha sungguh-sungguh atas nama organisasi dan tetap bertahan dalam organisasi. Berdasarkan uraian di atas, diduga bahwa kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.
9. Pengaruh Langsung Kepemimpinan terhadap Komitmen Organisasi Faktor kepemimpinan memegang peranan yang penting dalam suatu organisasi, karena pemimpin itulah yang akan menggerakkan dan mengarahkan organisasi dalam mencapai tujuan dan sekaligus merupakan tugas yang tidak mudah, karena harus memahami setiap perilaku bawahan yang berbeda-beda.
117 Kepemimpinan pada dasarnya merupakan cara yang dilakukan pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya untuk melakukan setiap kegiatan agar tercapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, kepemimpinan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Komitmen merupakan suatu kekuatan yang mengikat seorang individu untuk melakukan suatu aksi yang relevan dengan sasasaran tertentu. Ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi merupakan kekuatan mengikat seseorang yang termanisfestasi dalam bentuk tanggungjawab, loyalitas dan pengabdian yang tinggi dalam menjalankan peran dan tugas yang diembannya. Bila kepala sekolah dapat melahirkan ide-ide yang dapat mendukung dalam pelaksanaan pekerjaan guru serta melibatkan semua unsur tenaga kependidikan dalam menentukan keputusan untuk kegiatan bersama, maka hal ini akan menumbuhkan komitmen dalam dirinya untuk mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi.
10. Pengaruh Langsung Budaya Organisasi terhadap Komitmen Organisasi Budaya organisasi merupakan suatu kekuatan sosial yang tidak tampak, yang dapat menggerakkan orang-orang dalam suatu organisasi untuk melakukan aktivitas kerja. Budaya suatu organisasi mempunyai karakter yang dalam mempengaruhi setiap anggotanya terlibat dalam melakukan aktivitas dengan pemberian pelayanan yang terbaik demi peningkatan kinerja organisasi. Dengan
118 kata lain, setiap organisasi harus memiliki keunggulan tertentu, didukung oleh budaya organisasi yang kuat dan dipahami serta diterima oleh seluruh anggota organisasi secara konsisten. Budaya organisasi bukan saja menyatukan, tetapi juga memfasilitasi komitmen anggota organisasi terhadap organisasi dan kelompok kerjanya. Budaya organisasi yang kondusif mengembangkan rasa memiliki dan komitmen tinggi terhadap organisasi dan kelompok kerjanya. Komitmen organisasi adalah keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi. Kecocokan anggota organisasi dengan budaya yang berlaku dapat meningkatkan produktivitas, kepuasan dalam bekerja, performance, komitmen organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal di perusahaan. Jika budaya organisasi dapat mengikat setiap orang yang terlibat dalam organisasi tersebut, maka dalam diri orang tersebut akan timbul rasa untuk berbuat yang terbaik terhadap organisasi tersebut, karena tumbuhnya kesadaran dalam dirinya bahwa dia merupakan bagian yang penting dari organisasi tersebut. Artinya, ia akan berkomitmen untuk tetap mendukung organisasi, karena adanya kesadaran dan rasa memiliki terhadap organisasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas diduga bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan kajian teoretis dan kerangka berpikir yang diuraikan di atas, maka dibuat model teoretis variabel penelitian seperti pada gambar 2.14 berikut.
119
X1 4
10 X4
2 1
8 X5
6 7
X3 5 3
9
X2
Keterangan Gambar: X1 = Budaya Organisasi X2 = Kepemimpina X3 = Komunikasi Interpersonal X4 = Kepuasan Kerja X5 = Komitmen Organisasi
Gambar 2.14 Model Teoretik Variabel Penelitian
C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teoretik dan kerangka berpikir yang diuraikan, serta tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kepemimpinan kepala SMK. 2. Budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap komunikasi interpersonal kepala SMK. 3. Kepemimpinan
berpengaruh
langsung
positif
terhadap
komunikasi
interpersonal kepala SMK. 4. Budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kepuasan kerja kepala SMK.
120 5. Kepemimpinan berpengaruh langsung positif terhadap kepuasan kerja kepala SMK. 6. Komunikasi interpersonal berpengaruh langsung positif terhadap kepuasan kerja kepala SMK. 7. Komunikasi interpersonal berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi kepala SMK. 8. Kepuasan kerja berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi kepala SMK. 9. Kepemimpinan berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi kepala SMK. 10. Budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap komitmen organisasi kepala SMK.