KARYA TULIS ILMIAH PERENGKAHAN KATALITIK RESIDU KILANG PPSDM MIGAS DENGAN KATALIS ZEOLIT ALAM Dalam Rangka Pelaksanaan kegiatan Karya Tulis Ilmiah di PPSDM MIGAS Tahun Anggaran 2016
Disusun oleh: Yoeswono Eko Nugroho Budi Santosa Rieza Mahendra Kusuma Setiyono Linda Suryani Dwi Purwanto Galih Adi Nugroho Sadiran
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
PUSAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA MINYAK DAN GAS BUMI
PPSDM MIGAS Cepu, Oktober 2016
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tim dapat menyusun proposal penelitian dalam rangka pelaksanaan kegiatan Karya Tulis Ilmiah Tahun Anggaran 2016 di PPSDM Migas dengan judul: “Perengkahan Katalitik Residu Kilang PPSDM Migas dengan Katalis Zeolit”. Penentuan judul penelitian tersebut terkait erat dengan upaya menjaga keberlangsungan proses produksi Kilang PPSDM Migas sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia bidang migas, serta sebagai upaya peningkatan keekonomian produk residu menjadi produk lain yang lebih tinggi daya jualnya. Penelitian dan penyusunan Karya Tulis Ilmiah merupakan sarana yang strategis dalam rangka peningkatan kompetensi sumber daya manusia untuk menunjang pengembangan SDM di PPSDM Migas.
Cepu,
Oktober 2016
Penulis
1
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN .................................................................... 1 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan .................................. 1 1.2 Tujuan dan Manfaat .......................................................... 5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6 2.1 Perengkahan Minyak Berat .............................................. 6 2.2 Karakteristik Minyak Bakar Cepu .................................... 15
BAB 3
LANDASAN TEORI .............................................................. 17 3.1 Reaksi Katalisis .............................................................. 17 3.2 Metode Pembuatan Katalis............................................. 19 3.3 Reaksi Perengkahan Hidrokarbon .................................. 22 3.4 Zeolit Sebagai Katalis ..................................................... 24
BAB 4
METODE PENELITIAN ........................................................ 27 4.1 Bahan dan Alat Penelitian .............................................. 27 4.2 Prosedur Kerja................................................................ 30 4.3 Diagram Alir Proses ........................................................ 31
BAB 5
DATA DAN PEMBAHASAN ................................................. 32 5.1 Karakterisasi Katalis ....................................................... 32 5.2 Karakterisasi Produk Reaksi........................................... 41
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 46 6.1 Kesimpulan ..................................................................... 46 6.2 Saran .............................................................................. 46
2
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Minyak Bakar Cepu (MBC) ................................. 15 Tabel 5.1 Hasil Analisis Adosrpsi Isotermal N2 Terhadap ZAA dan Co-Ni/ZAA pada Temperatur 77,3 K ....................................... 36 Tabel 5.2 Rasio Konsentrasi Situs Asam Lewis Terhadap Situs Asam Bronsted pada Katalis ZAA dan Co-Ni/ZAA Menggunakan Piridina sebagai Molekul Probe Dianalisis Menggunakan FTIR pada Temperatur 100 °C ........................ 40 Tabel 5.3 Hasil Analisis GC-MS Sampel Produk RCC............................ 41 Tabel 5.4 Mood Produk Hasil RCC ......................................................... 43 Tabel 5.5 Karakteristik Fisika-Kimia Produk Hasil Reaksi ........................ 45
3
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Reaksi-Reaksi Penting yang Terjadi pada RCC .................. 23 Gambar 4.1 Kondisi MBC pada Temperatur Ambien............................. 27 Gambar 4.2 Zeolit Alam ......................................................................... 27 Gambar 4.3 Unit Reaktor dan Furnace ................................................... 29 Gambar 4.4 Diagram Alir Proses Perengkahan RESIDU/MBC................ 31 Gambar 5.1Difraktogram Zeolit Struktur Mordenit (Treacy dan Higgins, 2007), katalis ZAA, Ni-Co/ZAA, Co standar, dan Ni standar (Match!) ...................................................... 33 Gambar 5.2 Kurva Adsorpsi N2 Terhadap Katalis ZAA dan CoNi/ZAA ................................................................................ 34 Gambar 5.3 Distribusi Jari-Jari Pori Metode BJH katalis ZAA dan Ni-Co/ZAA........................................................................... 34 Gambar 5.4 Gugus Hidroksil pada Ujung Kisi Gugus Silanol Zeolit ........ 37 Gambar 5.5Spektra FTIR Katalis ZAA dan Ni-Co/ZAA pada Rentang Bilangan Gelombang 3600-3800 cm-1 ................. 38 Gambar 5.6 Spektra FTIR Katalis ZAA dan Ni-Co/ZAA pada Rentang Bilangan Gelombang 400-1500 cm-1 ................... 39 Gambar 5.7 Situs Asam Bronsted dan Lewis pada Permukaan Katalis ZAA dan Co-Ni/ZAA Setelah Adsorpsi Piridina pada Temperatur 100 dan 200 °C.......................... 40 Gambar 5.8 Hasil
GC-MS
Produk
Tanpa
Katalis
pada
Temperatur 500 °C ............................................................. 42 Gambar 5.9 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis ZAA pada Temperatur 500 °C ............................................................. 42 Gambar 5.10 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis Co-Ni ZAA pada Temperatur 500 °C ............................................ 42 Gambar 5.11 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis ZAA pada Temperatur 400 °C ............................................................. 43
4
Gambar 5.12 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis Co-Ni ZAA pada Temperatur 400 °C ............................................ 43 Gambar 5.13 Spektra FTIR produk reaksi perengkahan katalitik dengan katalis ZAA pada temperatur 400 dan 500 °C ........ 44
5
PERENGKAHAN KATALITIK RESIDU KILANG PPSDM MIGAS DENGAN KATALIS ZEOLIT ALAM Disusun oleh: Yoeswono Eko Nugroho Budi Santosa Rieza Mahendra Kusuma Setiyono Linda Suryani Dwi Purwanto Galih Adi Nugroho Sadiran
ABSTRAK
Telah dilakukan preparasi dan karakterisasi katalis zeolit alam aktif (ZAA) dan Co-Ni-ZAA untuk mempelajari pengaruh katalis zeolit pada perengkahan katalitik residu. Katalis dibuat dengan metode impregnasi, dilanjutkan kalsinasi pada temperatur 500 °C, oksidasi, dan reduksi hidrogen. Karakterisasi katalis zeolit menggunakan analisis XRD, adsorpsi N2, analisis FTIR, dan keasaman katalis. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa pengembanan logam Co dan Ni pada permukaan zeolit mengakibatkan penurunan luas permukaan sebesar 55,7% dan penurunan volume pori sebesar 41,5 %. Penurunan luas permukaan pada katalis Co-Ni/ZAA dibandingkan katalis ZAA tersebut diikuti dengan peningkatan distribusi pori dengan jari-jari lebih dari 15 Å (mesopri sempit). Hal ini menunjukkan bahwa logam Co dan Ni yang diembankan teradsorp pada pori dengan ukuran lebih besar tetapi tidak sampai menutup pori tersebut sepenuhnya sehingga menyisakan pori sempit yang berakibat pada penurunan luas permukaan katalis.
6
BAB 1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang dan Permasalahan Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Minyak dan Gas
Bumi (PPSDM Migas) adalah instansi pemerintah di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 13 Tahun 2016, PPSDM Migas mempunyai tugas melaksanakan pengembangan sumber daya manusia di bidang minyak dan gas bumi. Untuk menunjang kegiatan pengembangan SDM diperlukan sarana prasarana yang mendukung kegiatan tersebut. Kilang PPSDM Migas merupakan salah satu sarana pendukung dalam kegiatan pengembangan SDM subsektor minyak dan gas bumi sekaligus sebagai pelayanan jasa pengolahan minyak mentah bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero). Kilang PPSDM Migas mengolah minyak mentah yang dikirim dari PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu dan menghasilkan produk-produk Pertasol CA, Pertasol CB, Pertasol CC, solar, dan, Residu/Minyak Bakar Cepu (MBC). Kilang PPSDM Migas sempat mengalami stop operasi dalam jangka waktu lama disebabkan oleh kendala penyaluran residu. Hal tersebut salah satunya karena karakteristik residu mempunyai pour point tinggi sehingga agak menyulitkan dalam penanganan dan penyimpanan, karena dibutuhkan fasilitas pemanas supaya residu tetap dalam keadaan cair dalam temperatur ambien, dan tidak semua calon pembeli mempunyai fasilitas tersebut. Beberapa alternatif pemecahan terhadap masalah tersebut telah dilakukan antara lain dengan penambahan additive pour point depressant dan blending. Percobaan penambahan additive pour point depressant belum berhasil menurunkan titik tuang residu. Sedangkan penurunan dengan teknik blending telah berhasil menurunkan titik tuang residu pada
kisaran 24 – 27 °C dengan mencampur 30 % v/v Residu dengan 70 % v/v minyak bakar Pertamina. Namun demikian penerapan teknik blending ini tentunya masih diperlukan sarana prasarana blending dan pemanas residu. Pada karya tulis ilmiah ini hendak dikaji proses perengkahan katalitik Residu/Residue Catalytic Cracking (RCC). Saat ini, RCC merupakan proses yang umum digunakan dalam industri pengolahan minyak bumi untuk meningkatkan jumlah dan mutu produk (Li et al., 2012; Chen et al., 2012; Sadeghbeigi, 2012; Liu et al., 2015). Tipe Zeolit yang umum digunakan sebagai katalis dalam proses catalytic cracking antara lain zeolit type X, type Y, dan ZSM-5 (Sadeghbeigi, 2012). Saat ini zeolit telah dapat disintesis dari bahan yang mengandung silika dan alumina dari bauksit dan kuarsa atau dari abu sisa pembakaran kayu, sekam padi, dan sumber-sumber lainnya melalui suatu tahapan proses yang kompleks. Sintesis zeolit dari bahan alam yang mengandung aluminosilikat memberikan alternatif proses sintesis Zeolit yang lebih sederhana (Li et al., 2012). Indonesia memiliki deposit zeolit alam yang relatif besar dengan kemurniannya cukup tinggi. Daerah-daerah yang mempunyai tambang zeolit diantaranya adalah Lampung Selatan, Bayah, Cikembar, Cipatujah, Jawa Barat Nangapada, Kabupaten Ende NTT, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Gunung Kidul (Maygasari et al., 2010). Zeolit alam banyak dimanfaatkan dalam proses pengolahan air, pertanian, bahan tambahan pada pakan hewan, sebagai bahan imbuh pada tanah dan kompos, sebagai pembawa herbisida dan pestisida, dan sebagai media tanam (Maygasari et al., 2010). Pada umumnya zeolit yang ditambang langsung dari alam masih mengandung pengotor- pengotor organik berwujud kristal maupun amorf. Untuk meningkatkan kualitas zeolit alam, terutama sebagai pengemban katalis, harus dilakukan aktivasi terhadap zeolit alam.
2
Sifat katalitik dan struktur pori zeolit yang sedemikian rupa dapat digunakan untuk konversi atau pemurnian minyak mentah menjadi bahan bakar yang memenuhi persyaratan teknik dan lingkungan. Beberapa produk petrokimia direngkahkan, diisomersasikan, dan/atau dihidrotreating dalam struktur zeolit. Ion yang dapat dipertukarkan menjadikan zeolit digunakan dalam pembuatan detergen. Struktur pori dan situs yang sedemikian rupa menjadikan Zeolit banyak digunakan dalam proses adsorpsi gas, misal: adosprsi karbon, metana, dan media penyimpanan hidrogen. Kombinasi sifat adsorpsi dan katalitik yang dimiliki menjadikan zeolit dapat dimanfaatkan dalam reduksi selektif NOx dengan ammonia untuk dikonversi menjadi N2. Situs aktif dapat difungsionalisasi melalui impregnasi dengan logam. Saat ini zeolit telah digunakan sebagai membrane
dalam
proses
separasi
dan
penangkapan
CO2
(van
Speybroeck et al., 2015). Aktivitas katalitik zeolit juga dapat dibentuk melalui pengembanan logam. Kadarwati dan Wahyuni (2015) telah mengkaji sintesis biofuel dari minyak sawit menggunakan katalis Ni yang teremban pada zeolit melalui proses
perengkahan.
Alsobaai
et
al.
(2006)
telah
melakukan
pengembanan NiMo, CoMo, NiW dan CoW pada Zeolit USY untuk digunakan dalam perengkahan gas oil (minyak diesel). Ghosh et al. (2015) juga telah me-review penggunaan beberapa katalis bimetal termasuk NiW, NiMo, dan CoMo teremban pada beberapa penyangga katalis termasuk zeolit pada proses hydrocracking. Garrido Pedrosa et al., (2006) telah melaporkan penggunaan katalis Ni-Co yang teremban pada HY zeolit untuk
mengkonversi
n-hexane
menjadi
hidrokarbon
bercabang.
Sementara itu, Remón et al. (2016) telah melaporkan penggunaan katalis Ni-Co yang teremban pada karbon nanofiber untuk upgrading Bio-Oil. Katalis Co dan Ni yang masing-masing teremban pada SBA-15 (jenis bahan silika mesopori) digunakan Vizcaíno et al. (2016) dalam proses steam reforming etanol. Co atau Ni juga digunakan sebagai katalis dalam
3
proses RFCC untuk meningkatkan yield minyak diesel (Jeon dan Kim, 2015). Penggunaan zeolit sebagai katalis perengkahan bahan-bahan organik telah banyak dilakukan. Trisunaryanti et al. (2013) menggunakan zeolit alam sebagai pengemban logam-logam transisi (Cu, Cr, Ni, dan Pd) untuk digunakan dalam proses hydrocracking polyrthylrne terephthalate. Usui et al. (2004) menggunakan zeolit Y teremban Ni dan Pd untuk perengkahan minyak asphaltene. Penggunaan zeolit alam secara umum sebagai katalis hidrorengkah
masih
mengandalkan
pengembanan
logam
dan
penambahan oksida logam yang prosesnya kompleks dan memakan biaya yang mahal (Trisunaryanti et al., 1996; Trisunaryanti et al., 2008; Trisunaryanti et al., 2010). Setiadi dan Pertiwi (2007) melaporkan bahwa zeolit alam Malang memiliki kandungan mordenit yang cukup tinggi yaitu sebesar 44,1%. Trisunaryanti dan Sudiono (2004) mengatakan bahwa zeolit alam klaten termasuk golongan mordenit. Dengan pernyataan tersebut, sebenarnya preparasi zeolit alam cukup dibersihkan dari pengotornya, karena memiliki kandungan mordenit yang cukup tinggi. Seperti yang telah kita ketahui bahwa zeolit sintetik golongan mordenit banyak digunakan dalam proses depolimerasi dan alkilasi dalam pengolahan minyak bumi (Majid et al., 2012). Proses sintesis Zeolit tersebut relative kompleks. Setiadi dan Pertiwi dalam Majid et al. (2012) melaporkan bahwa zeolit alam Malang memiliki kandungan mordenit yang cukup tinggi yaitu sebesar 44,1% demikian pula dengan zeolit alam Klaten. Sehingga, cukup melalui proses aktivasi atau pengembanan logam dan aktivasi zeolit-zeolit lokal tersebut akan dapat dihasilkan katalis yang berpotensi untuk digunakan dalam proses perengkahan. Mengingat masalah yang ada pada residu dan berdasarkan uraian tersebut di atas maka dipandang perlu untuk dikaji perengkahan residu menjadi jenis produk minyak bumi lain yang tidak menimbulkan kesulitan dalam penyimpanan dan pendistribusiannya dengan menggunakan zeolit 4
alam baik sebagai katalis ataupun sebagai penyangga katalis Co-Ni. Variabel penelitian yang hendak dikaji adalah pengaruh katalis dan temperatur. 1.2
Tujuan dan Manfaat Dalam kajian ini akan dilakukan perengkahan residu secara
katalitik dengan menggunakan katalis zeolit dan logam Co dan Ni yang diembankan pada permukaan zeolit dengan dilakukan variasi temperatur. Produk
reaksi
selanjutnya
dianalisis
untuk
menentukan
distribusi
komponen dan sifat fisika-kimia produk reaksi tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengkaji efektifitas katalis zeolit dalam proses perengkahan katalitik. Data primer yang dihasilkan pada kajian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai
bahan
kajian
selanjutnya
terkait
rencana
pengembangan kilang RCC sebagai secondary process di PPSDM Migas dan untuk menunjang pelaksanaan pengembangan SDM di PPSDM Migas terkait proses pengembangan kilang.
5
BAB 2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Perengkahan Minyak Berat Dewasa ini, kebutuhan bahan bakar terutama sektor transportasi
cenderung meningkat khususnya bensin dan minyak solar. Peningkatan kebutuhan bahan bakar tersebut mendorong pengembangan teknologi pengolahan minyak bumi untuk dapat memenuhi peningkatan kebutuhan bahan bakar tersebut, antara lain melalui proses perengkahan. Proses perengkahan minyak merupakan proses konversi minyak berat menjadi minyak lebih ringan dengan cara merengkahkan rantai-rantai hidrokarbon yang terdapat dalam minyak berat tersebut (Cejka et al., 2010; Sadeghbeigi, 2012). Pada dasarnya terdapat dua tipe perengkahan, yaitu perengkahan termal dan perengkahan katalitik. Namun demikian, saat ini perengkahan katalitik yang umum digunakan, antara lain karena faktor energi dan selektivitas produk (Aguado et al., 2007). Katalis yang umum digunakan antara lain Co-Mo atau Ni-Mo pada penyangga katalis γalumina dengan kadar Mo berkisar antara 11-14 % dan kadar Co atau Mo sebagai promotor sekitar 23 % (Gray, 1994) dan Zeolit (Raseev, 2003; Aguado et al., 2007; Cejka et al., 2010) Zeolit
banyak
digunakan
sebagai
katalis
dalam
reaksi
perengkahan minyak (terutama zeolit sintetik). Hal ini terkait dengan karakteristik zeolit yang memiliki aktivitas, selektivitas, dan stabilitas yang baik dalam reaksi perengkahan (Raseev, 2003; Cejka et al., 2010). Berbagai jenis zeolit sintetik untuk perengkahan minyak telah beredar secara komersial (antara lain: ZSM-5, USY Zeolit, dan MCM-41), namun demikian pemanfaatan bahan alam yang mengandung aluminosilikat dalam sintesis zeolit dapat dijadikan alternatif karena menjadikan proses lebih sederhana (Li et al., 2012).
6
2.1.1
Preparasi Katalis Zeolit Preparasi katalis zeolit dalam hal ini adalah preparasi zeolit
sedemikian hingga siap untuk digunakan sebagai katalis dalam suatu proses. Pada dasarnya preparasi katalis zeolit adalah dalam usaha meningkatkan
aktivitas
dan stabilitas
katalis,
antara
lain
melalui
penghilangan impurities, peningkatan konsentrasi situs asam, pembukaan pori zeolit, dan pengembanan logam. Zhang et al. (2016) telah melaporkan kajian perengkahan nheksana menggunakan katalis zeolit HEU-1, ZSM-5, dan ZSM-48 dengan variasi rasio SiO2/Al2O3. Untuk menghasilkan zeolit terprotonasi, zeolit dikalsinasi pada 550 C selama 5 jam untuk menghilangkan template. Kemuadian dilakukan pertukaran ion dua kali menggunakan 1 mol/L larutan NH4NO3 pada 90 °C selama 2 jam dna kemudian dikalsinasi kembali selama 3 jam. Katalis yang diperoleh dibuat tablet digerus dan disaring sehingga diperoleh butiran ukuran 20-40 mesh. Chen et al (2011) mensintesis katalis Mo yang teremban pada mordenit dengan perlakuan asam nitrat kemudian digerus dan dikeringkan pada 120 °C dan dikalsinasi dalam lingkungan udara pada 550 °C. Mo dipasang pada permukaan mordenit melalui teknik pertukaran kation, dengan merendam 8 g mordenit ke dalam 10 mL larutan Mo(NiO3)2·6H2O diaduk selama 24 jam pada temperatur 90 °C. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan refinat dikeringkan pada 120 °C, dikalsinasi pada 550 °C dalam aliran udara. Usui et al. (2004), juga melakukan pemuatan logam pada permukaan Zeolit dengan teknik pertukaran kation. Zeolit Y tersubstitusi NH4 direndam dalam larutan [Pd(NH3)4](NO3)2 (0.025 M) pada 40 °C selama 24 jam, disaring dan dicuci dengan air deionisasi, dikeringkan pada 100 °C selama 24 jam. Katalis Pd/NH4-Zeolit Y diaduk dalam larutan Ni(NO3)2 (0.14 M) pada 90 °C selama 24 jam dan dilanjutkan dengan tahapan seperti saat memuat Pd. Pd-Ni/NH4–Zeolit Y dikalsinasi dalam 7
aliran udara (50 mL/menit) pada 450 °C selama 4 jam dan direduksi dengan hydrogen (50 mL/menit) pada 450 °C selama 1 jam. Trisunaryanti et al., 2013 menggunakan Zeolit alam asal Sukabumi sebagai penyangga katalis. Zeolit (< 100 mesh) 5 g direndam dalam 125 mL HCl 3N dan dipanaskan pada 90 °C selama 30 menit sambal diaduk. Campuran disaring dan dicuci dengan air deionisasi sampai tidak terdeteksi adanya ion klorida dalam air bilasan saat dideteksi dengan larutan AgNO3. Katalis kemudian dikeringkan pada 120 °C selama 3 jam dan dipanaskan dalam microwave 450 W selama 30 menit sehingga dihasilkan ZAA. Selanjutnya 205 g ZAA direfluks dalam larutan Ni(NO3)2.6H2O (1.25 g) dalam 200 mL methanol selama 5 jam, kemudian methanol diuapkan pada 120 °C selama 3 jam dan dilanjutkan pemanasan dengan microwave 450 W selama 30 menit. Katalis direduksi dalam aliran hidrogen (20 mL/menit) pada 400 °C selama 3 jam sehingga diperoleh Ni/ZAA. Trisunaryanti et al., 2013 juga melakukan pemasangan logamlogam lainnya, yaitu: Cr (dari garam Cr(NO3)3.9H2O (1.95 g)), Cu (dari garam Cu(NO3)2.3H2O (0.925 g)), dan Pd (dari garam PdCl2 (0.4 g)). 2.1.2
Pengaruh Temperatur Reaksi perengkahan pada permukaan zeolite merupakan reaksi
katalitik heterogen yang melibatkan proses adsorpsi. Proses adosrpsi bersifat eksotermik, laju reaksi menurun seiring dengan peningkatan temperatur. Namun demikian dalam suatu reaksi, suatu molekul dapat bereaksi menjadi spesies lainnya bila mampu mengatasi energi aktivasi reaksi terkait dan untuk mengatasi energi aktivasi tersebut diperlukan peningkatan temperatur. Dengan demikian diperlukan suatu kompromi antara sistem eksotermik dengan energi aktivasi agar reaksi dapat berjalan optimum. Zhang et al. (2016) juga melaporkan bahwa konversi nheksana meningkat seiring dengan peningkatan temperatur, dan konversi tertinggi adalah 95 % pada 652 °C. Distribusi produk perengkahan paraffin pada permukaan katalis asam dapat dijelaskan melallui dua mekanisme 8
yang terjadi simultan, yaitu: 1). Mekanisme transfer hidrida bimolecular yang meibatkan pemutusan-β trikoordinasi ion karbenium dan 2). mekanisme monomolecular di mana katalis asam memprotonasi paraffin untuk dihasilkan pentakoordinasi ion karbonium. Pada temperatur rendah, dengan konsentrasi olefin tinggi, reaksi bimolecular lebih dominan, sedangkan pada temperatur tinggi dengan konsentrasi olefin rendah perengkahan melallui mekanisme monomolecular lebih disukai. Dengan demikian pada temperatur tinggi lebih banyak terbentuk metana, etilena, dan etana. Chen et al. (2011) telah mengkaji perengkahan fenantrena (aromatic tiga cincin) menggunakan katalis Mo-Mordenit (8 % wt. Mo, diameter pori 18 Å, luas permukaan 308 m2/g, dan volume pori 0.165 cm3/g. Reaksi hidrokraking dilakukan dalam reactor fixed bed pada rentang tamperatur 370-470 °C dan tekanan parsial hydrogen dalam rentang 30-50 kg/cm2. Dengan laju alir 100 sccm. Diperoleh data bahwa perolehan benzene meningkat seiring dengan peningkatan temperatur dan konversi fenantrena meningkat tajam pada rentang temperatur 410430 °C yang ditandai dengan perolehan benzene yang rendah pada temperatur di bawah 410 °C dan perolehan benzene yang meningkat tajam pada temperatur 410-430 °C. Sementara itu, perolehan xylene yang rendah teramati pada temperatur rendah dan menurun seiring dengan peningkatan temperatur. Fenomena yang berbeda dengan perolehan benzene tersebut dimungkinkan Karena terjadinya disproporsionasi xylene setelah hidrokraking fenantrena dengan laju konversi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju oembentukan xylene. Trisunaryanti et al. (2013) menggunakan katalis logam yang teremban pada Zeolit alam asal Sukabumi untuk perengkahan PET. Diperoleh data bahwa hidrokraking PET menggunakan katalis logam teremban pada Zeolit menghasilkan produk cair yang lebih banyak dibandingkan
dengan
hidrokraking
PET
secara
thermal.
Hal
ini 9
menunjukkan bahwa proses termal kraking terjadi melalui mekanisme radikal, sedangkan katalis yang memiliki situs asam merengkahkan PET melalui intermediat ion karbonium untuk menghasilkan alkane bercabang dan n-alkena dengan rentang jumlah karbon C7-C15. Pada kondisi termal maupun katalitik kraking, produk dominan adalah Bensin. Namun demikian, dengan menggunakan logam yang teremban pada permukaan zeoilit diperoleh proporsi bensin sampai dengan 97.99 % yaitu pada penggunaan katalis Pd/ZAA. Thermal kraking dilakukan pada temperatur 600 °C selama 2 jam, sedangkan katalitik kraking dilaksanakan pada 350 °C selama 30 menit. dengan
menguunakan
Hal tersebut menunjukkan bahwa perengkahan katalis
lebih
efektif
dibandingkan
dengan
perengkahan termal. Meng et al. (2011a) telah melakukan kajian reaksi perengkahan terhadap fraksi minyak diesel dan bensin menggunakan katalis Zeolit ZSM-5 komersial. Minyak diesel dan Bensin yang digunakan sebagai umpan memiliki rasio H/C rendah (minyak diesel = 1.17 dan Bensin = 1.28) dan kadar aromatik tinggi (minyak diesel = 88.4 % wt. dan Bensin = 87.6 % wt.). Minyak diesel dan Bensin tersebut merupakan hasil pirolisis HGO. Diperoleh data bahwa perengkahan terhadap fraksi minyak diesel memberikan konversi yang kurang baik (di bawah 51 % wt dengan total olefin kurang dari 11 %). Selektivitas terhadap dry gas, kokas, dan total olefin ringan pada temperatur 660 °C adalah 25 %, 26%, dan 22%. Perolehan total olefin ringan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur, rasio berat katalis terhadap minyak, rasio berat steam terhadap minyak, dan weight hourly space velocity (WHSV). Perengkahan terhadap fraksi minyak diesel memberikan konversi yang kurang baik (di bawah 30 % wt dengan total olefin kurang dari 7 %). Selektivitas terhadap dry gas, diesel, kokas, dan total olefin ringan pada temperatur 660 °C adalah 34%, 40%, 16% dan 22%. Pada reaksi pirolisis katalitik sebagaian fraksi minyak diesel dan Bensin terpecah menjadi komponen lebih ringan dan sebagian terkondensasi menjadi molekul lebih berat. Selektivitas 10
produk rengkahan dan kondensasi pada pirolisis katalitik minyak diesel adalah 58% dan 42% pada 660 °C sedangkan untuk Bensin pada kondisi yang sama adalah 45% dan 55%. Reaksi yang terjadi pada proses tersebut didominasi oleh reaksi perengkahan dan melibatkan mekanisme reaksiradikal bebas dan ion karbonium. Usui et al. (2004) telah mengkaji perengkahan asphaltene turunan minyak mentah dan aspal alam menggunakan beberapa katalis logam yang diembankan pada permukaan zeoilit. Peningkatan temperatur meningkatkan konversi aspaltene lebih dari 60 % menjadi fraksi ringan. Reaktivitas dipengaruhi oleh rasio H/C, ukuran gugusan asphaltene, kadar heteroatom, dan berat molekul, di mana berat molekul memberikan pengaruh yang paling signifikan. Tugsuu et al., (2012) telah melakukan hidrorengkah beberapa tipe Atmospheric residue (long residue) (4 g) menggunakan katalis komersial NiMo/Al2O3 (0.2 g) dalam reactor fixed bed kapasitas 50 mL pada rentang temperatur 450, 460, dan 470 °C selama 2 jam dan tekanan hydrogen sampai dengan 10 MPa. Diperoleh data bahwa perolehan produk cair termasuk gas meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Senyawa poliaromatik, hidorkarbon polar, dan sulfur lebih terkonsentrasi pada fraksi middle dan heavy Karena hidrokarbon ringan lebih banyak menuju ke fraksi ringan seiring dengan peningkatan temperatur. Kadar senyawa n-parafin pada fraksi berat lebih rendah dibandingkan pada fraksi middle. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa n-parafin (C20-C32) dalam fraksi berat bereaksi lebih baik dari pada senyawa hidrokarbon nparaffin (C12-C20) dalam fraksi middle. 2.1.3
Pengaruh Rasio Si/Al Zhang et al. (2016) melaporkan bahwa kestabilan aktivitas
perengkahan dipengaruhi oleh rasio SiO2/Al2O3.
Pada penggunaan
katalis dengan kadar Al tertinggi diperoleh konversi hamper mendekati
11
100 % namun demikian menurun drastic sampai 53,4 % setelah 10 jam. Katalis dengan kadar Si tinggi menunjukkan konversi lebih rendah (sekitar 85 %) pada awal reaksi namun demikian hanya sedkit mengalami penurunan konversi setelah 24 jam, yaitu diperoleh konversi 80,3 %. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kestabilan aktivitas zeolit HEU cenderung meningkat seiring dengan penurunan rasio SiO2/Al2O3. Kekuatan asam Brosted meningkatkan konversi n-heksana pada awal reaksi, demikian pula dengan meningkatnya pembentukan produk samping dan kokas Dengan demikian, kestabilan aktivitas Zeolit dengan rasio SiO2/Al2O3 rendah dapat dikaitkan dengan rendahnya densitas asam kuat pada permukaan, yang melemahkan reaksi sekunder (transfer hidrida dan siklisasi-aromatisasi), sehingga cenderung menghasilkan sedikit kokas. Selektivitas terhadap propilena dan butilena meningkat seiring dengan peningkatan rasio SiO2/Al2O3 ratio, sementara itu selektivitas terhadap propane, butana dan benzene, toluene, xylene (BTX) menurun. Dalam reaksi bimolecular, olefin akan mudah terkonversi menjadi paraffin atau spesies rendah hidrogen seperti BTX dalam kondisi jumlah asam yang besar. 2.1.4
Pengaruh Waktu Tinggal Zhang et al. (2016) melaporkan pengaruh waktu tinggal dalam
perengkahan n-heksana menggunakan beberapa jenis katalis Zeolit. Waktu tinggal dalam hal ini dinyatakan sebagai weight hourly space velocity (WHSV = mass flow/catalyst mass). Dengan demikian semakin tinggi nilai WHSV semakin rendah waktu tinggal reaktan dalam katalis. Diperoleh data bahwa konversi n-heksana meningkat seiring dengan penurunan WHSV, karena dengan semakin rendah WHSV maka probabilitas reaktan untuk kontak dengan permukaan katalis asam semakin tinggi. Olefin cenderung terkonversi menjadi paraffin pada WHSV tinggi, dan cenderung membentuk spesies sedikit hidrogen (BTX) pada WHSV rendah. Pada WHSV rendah, hidrokarbon ringan dapat terbentuk 12
dari hasil perengkahan spesies hidrokarbon lebih berat melalui reaksi sekunder. Sehingga selektivitas terhadap olefin meningkat seiring dengan penurunan WHSV. Abul-Hamayel (2002) melakukan perengkahan long residue dengan menggunakan high severity-fluid catalytic cracking (HS-FCC) menggunakan katalis ultra stable Y-zeolit (USY) ditambah aditif berbasis ZSM-5. Reaksi perengkahan dilakukan pada temperatur 600 °C dengan injeksi steam. Diperoleh data bahwa dengan menggunakan HS-FCC, selektivitas terhadap olefin ringan mencapai 50 % wt termasuk propylene 25 % wt. dari umpan long residu. Dengan demikian long residu dapat digunakan sebagai umpan dalam HS-FCC. Pada rasio katalis terhadap mintak (C/O) rendah bahan baku yang mengandung nitrogen lebih tinggi, mengashilkan laju perengkahan yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakau yang mengandung nitrogen lebih rendah. Ini menunjukkan terjadinya peracunan katalis oleh adanya nitrogen pada rasio C/O rendah. Penurunan
kadar
nitrogen
basa
dapat
dilakukan
melalui
roses
hidrotreament, meskipun pada dasarnya hidrotreatment dilakukan untuk mengurangi sulfur. Pada rasio C/O lebih tinggi, pengaruh peracunan oleh nitrogen basa terencerkan oleh penggunaan jumlah katalis yang lebih banyaksehingga pengaruhnya tidak terlalu tampak. Dengan demikian dalam proses ini diperlukan rasio C/O yang tinggi. Pada temperatur tinggi, kesetimbangan adsorpsi/desorpsi bergerak ke arah desorpsi. Peracunan katalis dalam FCC disebabkan oleh adsorpsi reversible nitrogen basa pada situs asam. Temperatur tinggi akan menggeser kesetimbangan adsorpsi/desorpsi ke arah desorpsi, sehingga pengaruh peracunan juga dapat diminimalisasi. 2.1.5
Pengaruh Rasio H/C Meng et al. (2011b) telah melakukan perengkahan minyak diesel
dan residu dengan menggunakan katalis zeolit komersial. Reaksi dilakukan dalam fluidized bed reactor pada temperatur 620, 660, dan 700 13
°C. Diperoleh data bahwa perengkahan bahan baku parafinik (rasio H/C tinggi) menghasilkan konversi di atas 93 % wt dengan total olefin 43 % wt dna selektivitas terhadap total olefin 53 % wt. Bahan baku naftenik menghasilkan konversi moderat, sebesar 90 % wt pada 700 °C dan di bawah 70 % wt pada 620 °C. Bahan baku dengan rasio H/C terendah (aromatisitas tinggi) menghasilkan konversi paling rendah. 2.1.6
Pengaruh Penambahan Logam pada Permukaan Zeolit Zhao
and
Yu
(2011)
telah
melaporkan
kajian
kinetika
hydrocracking asphaltene dengan mengguankan katalis NiMo/γ-Al2O3 pada temperatur 430 °C, diperoleh data bahwa pada proses thermal cracking, produk lebih dominan gas dan kokas, sedangkan untuk proses katalitik hydrocracking diperoleh produk dominan liquid. Pedrosa et al. (2006) menggunakan HY zeolit yang teremban katalis
bifungsional
Co-Ni
untuk
reaksi
perengkahan
dengan
menggunakan n-heksana sebagai senyawa model. Zeolit asam diperoleh melalui pertukaran ion dengan larutan NH4Cl 1M pada 70 °C selama 2 jam. Campuran kemudian disaring, dikeringkan, dan dikalsinasi pada 500 °C selama 4 jam sehingga diperoleh zeolit asam. Katalis logam yang diembankan
disiapkan
menggunakan
metode
impregnasi
basah
menggunakan 1 % wt logam dari larutan M(NO3)2·6H2O (M = Co atau Ni) dan kemudian dikalsinasi dalam aliran udara pada 500 °C selama 1 jam. Reaksi katalitik dilakukan dalam reactor fixed bed aliran kontinu pada tekanan atmosfer. Katalis sejumlah 200 mg ditempatkan dalam reaktor dengan dilakukan variasi temperatur dalam rentang 300-380 °C. Campuran reaktan (H2/n-heksana) disiapkan dengan menjenuhkan hidrogen dengan n-heksana dalam bubbler. Diperoleh data bahwa pengembanan Co dan Ni pada permukaan Zeolit mempromosi aktivitas katalitik Zeolit dalam hidrokonversi n-heksana. Reaksi hidrokonversi terjadi dengan terbentuknya alkane normal dan bercabang. Konversi meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Tidak teridentifikasi terbentuknya 14
olefin, yang menandakan bahwa Co dan Ni pada zeolit memiliki kinerja baik dalam proses hidrocracking. Nassar et al. (2011) menggunakan logam Co dan Ni, serta Fe dalam bentuk oksida (Co3O4, NiO, dan Fe3O4) untuk adsorpsi dan gasifikasi steam/perengkahan katalitik aspaltene dengan harapan untuk diperoleh produk dengan nilai lebih tinggi dan H2. Nanopartikel tersebut memiliki afinitas adsorpsi dan aktivitas katalitik gasifikasi /perengkahan terhadap aspaltene yang tinggi, dan urutan aktivitas dari yang paling tinggi berturut-turut
NiO,
Co3O4,
dan
Fe3O4.
Keberadaan
nanopartikel
menyebabkan penurunan energi aktivasi dan menurunkan temperatur reaksi sehingga meningkatkan aktivitas katalitik. Nassar et al. (2011) juga berhasil mengidentifikasi hubungan antara konstanta afinitas adsorpsi dengan aktivitas katalitik. Konstanta afinitas adsorpsi merupakan ukuran kekuatan interaksi antara adsorbat dan adsorben, semakin tinggi nilai konstanta afinitas adsorpsi semakin kuat interaksi yang terjadi. Diperoleh data bahwa semakin tinggi nilai konstanta afinitas adsorpsi, semakin tinggi pula aktivitas katalitik. 2.2
Karakteristik Minyak Bakar Cepu MBC pada dasarnya merupakan long residue CDU PPSDM
Migas. Typical karakteristik MBC seperti disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Minyak Bakar Cepu (MBC) Spesifikasi No.
Karakteristik
Satuan
Hasil Uji
MBC1) Min.
Maks.
IFO I2) Min.
Maks.
IFO II2) Min.
Metode Uji ASTM
Maks
1
Nilai Kalori
MJ/kg
44.7
41.87
-
41.87
-
41.87
-
D240
2
Densitas pada 15 oC
kg/m3
912.6
-
991
-
991
-
991
D1298
3
Viskositas kinematik pada 50 °C Kandungan sulfur
mm2/det
65.75
-
180
-
180
-
380
D445
% m/m
0.398
-
3.5
-
3.5
-
4.0
D1552/2622
48
-
48
-
30
-
40
D97
129
60
-
60
-
60
-
D93
4 5
Titik tuang
o
6
Titik nyala
o
C C
15
Metode Uji ASTM D189/4530
7
Residu karbon
% m/m
Hasil Uji 3.50
8
Kandungan abu
% m/m
0.014
-
0.10
-
0.10
-
0.10
D482
9
Sedimen total
% m/m
0.01
-
0.1
-
0.10
-
0.10
D473
10
Kandungan air
% vol
Trace
-
1.0
-
1.0
-
1.0
D95
11.
Vanadium (Teknik AAS)
mg/Kg
-
-
200
-
-
-
12.
Alumunium + Silikon
mg/Kg
-
-
80
-
-
D5184/AAS
No.
1)
2)
Karakteristik
Satuan
Spesifikasi -
16
-
16
-
20
Sesuai Lampiran Surat Dirjen MigasNo. 24606/10.12/DJM.T/2011 Tanggal 15 Agustus 2011, hal Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Permintaan Khusus Jensi Minyak Bakar Cepu (MBC) Sesuai Lampiran Kep. Dirjen MigasNo. 14496 K/14/DJM/2008 Tanggal 21 Agustus 2008, Spesifikasi BBM jenis Minyak Bakar Spesifikasi I
16
BAB 3 3.1
LANDASAN TEORI
Reaksi Katalisis Reaksi katalisis didefinisikan sebagai suatu perubahan laju dalam
suatu reaksi kimia akibat penambahan suatu spesies (katalis). Katalis dapat mempercepat (katalis positif) atau memperlambat laju suatu reaksi (katalis
negatif)
dengan
mengubah
mekanisme
reaksi
tersebut
(mekanisme reaksi tanpa katalis). Biasanya katalis lebih diasosiakan dengan spesies yang mempercepat laju reaksi, sedangkan katalis yang memperlambat laju reaksi lebih sering disebut inhibitor. Jumlah katalis yang sangat sedikit dapat digunakan untuk mengubah laju suatu reaksi. Setiap katalis memiliki aktivitas khusus, dalam arti suatu katalis hanya mengubah laju untuk satu reaksi tertentu atau satu kelompok reaksi tertentu. Pada umumnya reaksi katalisis dibedakan menjadi reaksi katalisis homogen dan heterogen berkaitan dengan keadaan agregat reaktan dan katalis. Dalam katalis homogen terdapat satu keadaan agregat (satu fasa), sedangkan dalam katalis heterogen keadaan agregat reaktan dan katalis berbeda (berbeda fasa). Katalis dapat mempercepat laju reaksi dengan mengubah mekanisme reaksi yang dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Reaksi pada permukaan terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu (Castellan, 1983): (a) Difusi reaktan pada permukaan; (b) Adsorpsi reaktan pada permukaan; (c) Reaksi pada permukaan; (d) Desorpi produk; (e) Difusi produk dari reaktan. Satu atau kombinasi tahapan tersebut di atas mungkin ada yang lambat sehingga sebagai penentu laju reaksi. Dalam reaksi gas, tahap 17
difusi (a) dan (e) berlangsung sangat cepat dan bukan sebagai penentu laju reaksi. Untuk reaksi dalam larutan yang sangat cepat, laju reaksi mungkin dibatasi oleh difusi ke dan dari permukaan katalis. Pada umumnya tahap (b) dan kombinasi (c) dan (d) merupakan tahapan penentu laju reaksi. Secara umum katalis menyediakan suatu mekanisme reaksi di mana suatu ikatan dapat dilemahkan atau diputus, dengan membentuk intermediat reaktif pada permukaan yang kemudian berinteraksi untuk menghasilkan produk reaksi (Augustine, 1996). Bila ditinjau suatu reaksi dekomposisi molekul pada permukaan, maka proses dapat dianggap sebagai reaksi kimia antara reaktan A dan situs kosong S pada permukaan. Setelah adsorpsi, molekul A mungkin terdesorpsi tanpa perubahan atau mungkin berubah menjadi produk. Tahapan proses dapat ditulis sebagai berikut (Castellan, 1983):
Adsorpsi
A+S
k1
AS
Desorpsi
AS
k-1
A+S
Dekomposisi
AS
k2
Produk
Terdapat dua kriteria penting yang mempengaruhi kekuatan interaksi adsorpsi kimia, yaitu: derajat pengisian keadaan antiikatan adsorbat-logam (yang terkait dengan ɛd) dan besarnya tumpang tindih. Derajat pengisian meningkat dari kiri ke kanan dalam suatu baris logamlogam transisi dan terisi penuh pada logam Cu, Ag, dan Au. Tumpang tindih meningkat dengan semakin ke bawah dalam satu golongan dan semakin ke kanan dalam satu perioda. Prinsip yang digunakan pada adsorpsi atom tersebut dapat diperluas kepada adsorpsi molekul (Kolasinski, 2008). Secara umum katalis menyediakan suatu mekanisme reaksi sehingga suatu ikatan dapat dilemahkan atau diputus, dengan membentuk intermediate reaktif pada permukaan yang kemudian berinteraksi untuk 18
menghasilkan produk reaksi (Augustine, 1996). Namun demikian katalis akan memberikan aktivitas maksimum untuk suatu reaksi tertentu bila kompleks permukaan cukup stabil untuk terbentuk dalam jumlah yang memadai dan cukup labil untuk terdekomposisi menjadi produk. Interaksi kompleks permukaan yang terlalu kuat akan memerlukan energi aktivasi lebih tinggi untuk terdekomposisi menjadi produk, sedangkan interaksi kompleks permukaan yang terlalu lemah akan cenderung mudah terdesorpsi sebelum terjadi transformasi kimia. Pernyataan tersebut dikenal sebagai Prinsip Sabatier (Jaksic, 2000). 3.2
Metode Pembuatan Katalis Pada dasarnya terdapat empat metode pembuatan katalis padat,
yaitu: deposisi, presipitasi dan ko-presipitasi, pembentukan gel, dan pembuangan selektif (selective removal) (Haber et al., 1995). Namun demikian lebih dari 80 % katalis yang ada saat ini dibuat melalui metode pengembanan (salah satu prosedur deposisi) dan presipitasi (Gallei et al., 2008). Reaksi katalisis heterogen terjadi pada permukaan katalis, dengan demikian akan lebih efisien bila situs aktif katalis tersebut terpapar dengan reaktan (Augustine, 1996). Pada metode presipitasi, akan diperoleh katalis tanpa penyangga. Pembuatan katalis dengan metode presipitasi diawali dengan presipitasi prekursor katalis, disaring, dikeringkan, dan dilanjutkan pembentukan. Setelah pengeringan atau pembentukan biasanya juga dilakukan kalsinasi (Gallei et al., 2008). Pada katalis logam tanpa penyangga, katalis tersusun atas butiran-butiran kecil logam untuk memperoleh rasio permukaan terhadap ruah atom-atom yang tinggi sehingga aktivitas katalis dapat meningkat. Namun demikian katalis tersebut rentan terhadap sintering saat dipanaskan. Metode pembuatan katalis untuk meminimumkan sintering katalis logam tersebut adalah dengan mendistribusikan komponen katalitik aktif pada penyangga berpori (Augustine,
1996).
Haber
et
al.
(1995)
menggolongkan
metode 19
pengembanan logam pada penyangga berpori menjadi delapan golongan, diantaranya adalah pengembanan kering, pengembanan basah, dan kopengembanan. Pada pengembanan kering atau sering disebut pengembanan kapiler atau incipient wetness, penyangga dibasahi dengan larutan pengemban hanya sedemikian hingga hanya cukup untuk mengisi volume pori penyangga tersebut. Untuk mengetahui volume yang diperlukan, biasanya ditambahkan sedikit demi sedikit pelarut yang sesuai ke dalam sejumlah berat tertentu penyangga sambil diaduk sampai campuran menjadi sedikit cair. Rasio berat terhadap volume yang diperoleh digunakan
sebagai
dasar
dalam
membuat
larutan
garam
untuk
konsentrasi tertentu agar diperoleh pemuatan logam sesuai yang dikehendaki. Metode pengembanan kering merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pembuatan katalis (Augustine, 1996). Bila dikehendaki pemuatan logam yang tinggi, digunakan pengembanan berulang untuk mengatasi keterbatasan kelarutan senyawa prekursor (Hagen, 2001). Kelarutan prekursor katalis dan volume pori menentukan pemuatan maksimum katalis (Mul dan Moulijn, 2005). Metode pengembanan kering berlangsung melalui tiga tahapan proses, yaitu: transpor solut ke dalam sistem pori penyangga, difusi solut dalam sistem pori, dan solut teradsorp pada dinding pori. Sedangkan untuk pengembanan basah, selain tiga tahap tersebut juga terjadi transpor solut ke permukaan luar penyangga. Pada pengembanan basah, penyangga direndam dalam sejumlah berlebih larutan yang mengandung prekursor, sedangkan pada ko-pengembanan beberapa prekursor secara simultan berada dalam larutan pengemban (Mul dan Moulijn, 2005). Kekuatan interaksi antara penyangga dan prekursor katalis merupakan faktor yang menentukan distribusi katalis pada penyangga. Adsorpsi kuat prekursor pada penyangga akan menghasilkan katalis kulittelor. Konsentrasi garam prekursor dalam larutan pengemban menentukan 20
ketebalan kulit. Adsorpsi lemah prekursor pada penyangga akan menghasilkan katalis dengan distribusi homogen dan adsorpsi menengah akan menghasilkan kulit-telor yang tidak sempurna. Dengan demikian, setiap faktor yang dapat mempengaruhi adsorpsi garam prekursor pada penyangga akan memiliki pengaruh terhadap distribusi katalis pada penyangga
(Augustine,
1996).
Hagen (2006) menyatakan bahwa
konsentrasi garam prekursor, waktu kontak, pengadukan, dan temperatur mempengaruhi distribusi katalis pada penyangga. Tahap
pengeringan,
yang
merupakan
tahapan
setelah
pengembanan, juga mempengaruhi distribusi katalis pada penyangga. Penyangga yang mengandung garam prekursor dapat berada dalam dua bentuk, yaitu: sebagian garam prekursor teradsorp pada permukaan luar dan dinding pori dan sebagian lainnya mengisi pori. Bentuk pertama dimungkinkan tetap berada di tempatnya saat pengeringan, terutama bila interaksi dengan penyangga kuat. Bentuk kedua dapat terdistribusi ulang pada penyangga saat proses pengeringan. Peningkatan laju pengeringan meminimumkan distribusi ulang pada permukaan luar. Pada kondisi laju pemanasan cepat, volume larutan di dalam pori menurun yang diikuti dengan peningkatan konsentrasi pengemban, sehingga garam mulai mengendap pada dinding pori saat konsentrasi melebihi titik jenuh. Karena garam prekursor terdeposisi pada permukaan penyangga yang luas maka dapat diperoleh dispersi fasa aktif yang tinggi (Augustine, 1996). Namun demikian bila pengeringan cepat tersebut diperoleh dari pemanasan cepat terhadap penyangga basah, pendidihan yang terjadi akan menghasilkan distribusi yang tidak homogen. Di lain hal, bila pengeringan lambat yang diikuti dengan kristalisasi garam prekursor, maka akan dihasilkan distribusi kulit-telor yang menghasilkan distribusi kurang homogen. Distribusi kulit-telor dihasilkan dari kristal yang pada awalnya terbentuk pada mulut pori penyangga, yang menginisiasi migrasi cairan impregnasi ke permukaan luar penyangga karena gaya kapiler. Viskositas larutan juga berperan penting, pada viskositas tinggi laju alir 21
berkurang dan akan lebih diperoleh distribusi yang lebih homogen. Rentang ukuran pori juga berpengaruh dalam tahap pengeringan. Pori terbesar akan pertama kali kering, sehingga larutan terakumulasi di pori yang lebih kecil. Hal ini dapat menimbulkan dispersi yang kurang baik. Dengan demikian tahap pengeringan merupakan tahapan vital yang menentukan kualitas katalis (Mul dan Moulijn, 2005). Setelah tahap pengeringan, garam pengemban dikalsinasi untuk diperoleh oksidanya dan kemudian direduksi untuk diperoleh katalis logam yang teremban pada penyangga. Kadang-kadang juga dilakukan reduksi terhadap garam kering tanpa melalui proses kalsinasi. Namun demikian katalis yang diperoleh dari reduksi bahan yang sudah dikalsinasi biasanya memiliki dispersi yang lebih tinggi dibandingkan dengan katalis yang diperoleh dari garam yang langsung direduksi tanpa tahap kalsinasi (Augustine, 1996). 3.3
Reaksi Perengkahan Hidrokarbon Pada pengolahan minyak bumi, proses perengkahan merupakan
proses pengolahan minyak bumi tingkat lanjut (secondary processing) untuk mendapatkan nilai tambah dari produk residu. Terdapat dua proses utama perengkahan minyak bumi, yaitu perengkahan thermal dan katalisis. Semua komponen crude oil yang mempunyai rentang titik didih di atas 350 °C dapat diklasifikasikan sebagai residu, termasuk HGO, VGO, dan vacuum
bottom. Sebagian besar material ini mengandung
mono/polynuclear naphtenes, mono/polynuclear aromatic, resin dan asphaltenes. Residu mempunyai densitas dan viskositas serta kandungan conradson carbon, sulfur, basic nitrogen dan metal yang lebih besar dibanding pada gas oil. Reaksi cracking merupakan reaksi pemecahan ikatan
C-C,
yang
reaksinya
bersifat
endotermis
dan
secara
termodinamika reaksi tersebut dapat berlangsung dengan baik pada
22
temperatur tinggi. Serangkaian reaksi yang kompleks akan terjadi pada saat molekul umpan dikontakan dengan katalis pada temperatur 650760°C. Distribusi produk yang dihasilkan tergantung pada banyak factor termasuk kondisi umpan dan kekuatan sisi asam katalis. Meskipun reaksi yang terjadi adalah catalytic cracking, namun reaksi thermal cracking juga terjadi akibat kurang idealnya kontak antara umpan dengan katalis dalam riser. Reaksi-reaksi penting yang terjadi pada RCC seperti pada gambar Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Reaksi-Reaksi Penting yang Terjadi pada RCC
23
3.4
Zeolit Sebagai Katalis Zeolit merupakan katalis yang sangat berguna yang menunjukkan
beberapa sifat penting yang tidak ditemukan pada katalis amorf tradisional. Katalis amorf hampir selalu dibuat dalam bentuk serbuk untuk memberikan luas permukaan yang besar sehingga jumlah sisi katalitik semakin besar. Keberadaan rongga pada zeolit memberikan luas permukaan internal yang sangat luas sehingga dapat menampung 100 kali molekul lebih banyak daripada katalis amorf dengan jumlah yang sama. Zeolit merupakan kristal yang mudah dibuat dalam jumlah besar mengingat zeolit tidak menunjukkan aktivitas katalitik yang bervariasi seperti pada katalis amorf. Sifat penyaring molekul dari zeolit dapat mengontrol molekul yang masuk atau keluar dari situs aktif. Karena adanya pengontrolan seperti ini maka zeolit disebut sebagai katalis selektif bentuk. Aktivitas katalitik dari zeolit terdeionisasi dihubungkan dengan keberadaan situs asam yang muncul dari unit tetrahedral [AlO4] pada kerangka. Situs asam ini bisa berkarakter asam Bronsted maupun asam Lewis. Zeolit sintetik biasanya mempunyai ion Na+ yang dapat dipertukarkan dengan proton secara langsung dengan asam, memberikan permukaan gugus hidroksil (situs Bronsted). Jika zeolit tidak stabil pada larutan asam, situs Bronsted dapat dibuat dengan mengubah zeolit menjadi garam NH4+ kemudian memanaskannya sehingga terjadi penguapan NH3 dengan meninggalkan proton. Pemanasan lebih lanjut akan menguapkan air dari situs Bronsted menghasilkan ion Al terkoordinasi 3 yang mempunyai sifat akseptor pasangan elektron (situs lewis). Permukaan zeolit dapat menunjukkan situs Bronsted, situs Lewis ataupun keduanya tergantung bagaimana zeolit tersebut dipreparasi. Tidak semua katalis zeolit menggunakan prinsip deionisasi atau bentuk asam. Sifat katalisis juga dapat diperoleh dengan mengganti ion Na+ dengan ion lantanida seperti La3+ atau Ce3+. Ion-ion ini kemudian 24
memposisikan dirinya sehingga dapat mencapai kondisi paling baik yang dapat menetralkan muatan negatif yang terpisah dari tetrahedral Al pada kerangka. Pemisahan muatan menghasilkan gradien medan elektrostatik yang tinggi di dalam rongga yang cukup besar untuk mempolarisasi ikatan C-H atau mengionisasi ikatan tersebut sehingga reaksi selanjutnya dapat terjadi. Efek ini dapat diperkuat dengan mereduksi Al pada zeolit sehingga unit [AlO4] terpisah lebih jauh. Tanah jarang sebagai bentuk tersubtitusi dari zeolit-X menjadi katalis zeolit komersial pertama untuk proses cracking petroleum pada tahun 1960an. Akan tetapi katalis ini telah digantikan oleh Zeolit-Y yang lebih stabil pada suhu tinggi. Katalis ini menghasilkan 20% lebih banyak petrol (gasolin) daripada zeolit-X. Cara ketiga penggunaan zeolit sebagai katalis adalah dengan menggantikan ion Na+ dengan ion logam lain seperti Ni2+, Pd2+ atau Pt2+ dan kemudian mereduksinya secara in situ sehingga atom logam terdeposit di dalam kerangka zeolit. Material yang dihasilkan menunjukkan sifat gabungan antara sifat katalisis logam dengan pendukung katalis logam (zeolit) dan penyebaran logam ke dalam pori dapat dicapai dengan baik. Teknik lain untuk preparasi katalis dengan pengemban zeolit melibatkan adsorpsi fisika dari senyawa anorganik volatil diikuti dengan dekomposisi termal. Ni(CO)4 dapat teradsorb pada zeolit-X dan dengan pemanasan hati-hati akan terdekomposisi meninggalkan atom nikel pada rongga. Katalis ini merupakan katalis yang baik untuk konversi karbon monoksida menjadi metana. Zeolit mempunyai tiga tipe katalis selektif bentuk: 1. Katalis selektif reaktan Dimana hanya molekul (reaktan) dengan ukuran tertentu yang dapat masuk ke dalam pori dan akan bereksi di dalam pori. 2. Katalis selektif produk
25
Hanya produk yang berukuran tertentu yang dapat meninggalkan situs aktif dan berdifusi melewati saluran (channel) dan keluar sebagai produk. 3. Katalis selektif keadaan transisi Reaksi yang terjadi melibatkan keadaan transisi dengan dimensi yang terbatasi oleh ukuran pori.
26
BAB 4 4.1
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: –
Residu (MBC) produk Kilang PPSDM Migas (Gambar 4.1)
Gambar 4.1 Kondisi MBC pada Temperatur Ambien –
Zeolit alam (Bratachem) (Gambar 4.2)
Gambar 4.2 Zeolit Alam
27
–
Cobalt (II)-Chlorid-Hexahydrat (CoCl2·6H2O), Nickel (II)-Sulfat (NiSO4·6H2O), Hydrogen Fluoride (HF) 40 %, Hydrogen Chloride (HCl) 37 %, Ammonium Chloride (NH4Cl) produk eMerck
–
Gas N2 dan Gas H2 (PT. Samator).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: –
Unit reaktor stainless steel dan furnace (Gambar 4.3).
–
Mortar dan stamper
–
Ayakan (sieve) (60 – 80 mesh)
–
Peralatan gelas volumetrik
–
Kertas saring
–
Corong kaca
–
pH meter
–
Termometer
Karakterisasi terhadap katalis dan produk reaksi menggunakan: N2 Adsorption Analyzer Quantachrome Instruments Nova Station A (Laboratorium Terpadu UIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta), X-ray diffraction (XRD) Shimadzu XRD-6000 rentang pemindaian 2 = 3,02 – 80,00 dan menggunakan sumber radiasi Cu di Laboratorium Kimia Anorganik-Kimia MIPA UGM Yogyakarta. Komposisi produk reaksi dianalisis menggunakan alat
gas
chromatography-mass
spectrometry
(GC-MS)
Shimadzu
QP2010S di Laboratorium Kimia Organik-Kimia MIPA UGM Yogyakarta. Gugus fungsi produk reaksi dikonfirmasi menggunakan alat Fourier transform infrared (FTIR) Shimadzu IR Prestige-21 di Laboratorium Kimia Organik-Kimia MIPA UGM Yogyakarta. Densitas diuji menggunakan density meter analyzer (DMA) Anton Paar DMA 4500 di PPSDM Migas.
28
Furnace
Feed Inlet
Distillate Collector and Condenser
Flow Gas Indicator
Reaktor
Gambar 4.3 Unit Reaktor dan Furnace
29
4.2
Prosedur Kerja Tahapan aktivasi zeolit alam adalah sebagai berikut: a. Tumbuk Zeolit dan saring dengan ayakan sedemikian hingga lolos pada ayakan 60 mesh dan tertahan pada ayakan 80 mesh sehingga diperoleh Zeolit 60-80 mesh. b. Cuci dengan akuades hingga bebas kotoran dan lumpur c. Keringkan pada suhu 120 °C selama 24 jam d. Rendam zeolit dalam cairan HF 1 % selama 10 menit e. Cuci dengan aquades hingga pH 5-6 f.
Reflux dengan larutan HCl 3 M pada suhu 80 °C selama 1 jam
g. Tiriskan dan cuci Zeolit dengan akuades hingga pH 5-6 h. Keringkan pada suhu 120 °C hingga konstan i.
Rendam dan reflux zeolit alam dengan NH4Cl 1M pada suhu 70 °C selama 2 jam
j.
Lakukan reflux sebanyak 7 kali
k. Dinginkan dan cuci sampai pH 5-6 l.
Keringkan pada suhu 120 °C selama 4 jam
m. Kalsinasi selama 5 jam pada temperatur 500 °C n. Hidrotermal pada suhu yang sama selama 5 jam dengan laju alir aquadest 20 mL/min. o. Oksidasi pada suhu 400 °C selama 2 jam dengan laju alir O2 3-4 mL/min. p. Buat larutan garam Ni-Co 4 % q. Rendam zeolit dalam larutan garam dan panaskan pada suhu 70-80 °C selama 2 jam sambil di aduk r.
Keringkan dalam oven pada suhu 120 °C
s. Kalsinasi pada suhu 500 °C selam 5 jam dengan laju alir N2 34 mL/min. t.
Oksidasi pada suhu 400 °C selama 2 jam dengan laju alir O2 3-4 mL/min. 30
u. Reduksi pada suhu 500 °C selama 2 jam dengan laju alir H2 34 mL/min. Untuk proses perengkahan katalitik, sejumlah residu produk kilang PPSDM
Migas
ditempatkan
pada
gasket
berpemanas
untuk
menguapkan/mengkabutkan seluruh produk Residu dengan temperatur 400 °C/500 °C. Setelah itu uap dari Residu akan mengalir menuju ke reaktor yang telah diisi dengan katalis yang berupa zeolit dengan jumlah tertentu dan dipanaskan dalam burner serta ditambahkan gas hidrogen dengan jumlah aliran tertentu. Produk yang keluar dari reaktor selanjutnya diembunkan dalam kondensor dan ditampung. 4.3
Diagram Alir Proses Pada Gambar 4.4 disajikan diagram alir proses perengkahan MBC
Liquid hasil kondensasi
Gambar 4.4 Diagram Alir Proses Perengkahan RESIDU/MBC 31
BAB 5
DATA DAN PEMBAHASAN
5.1
Karakterisasi Katalis
5.1.1
Hasil Analisis XRD Difraktogram katalis ZAA dan Co-Ni/ZAA seperti disajikan pada
Gambar 5.1. Secara kualitatif pola difraktogram tersebut menunjukkan bahwa Zeolit yang digunakan dalam penelitian memiliki tipe struktur mordenit yang ditunjukkan dengan adanya puncak-puncak spesifik mordenit, yaitu pada 2θ = 19,61°; 20,9°; 25,63°; 26°; 26,25°; 27,67°; 27,87°; 35,6° dan memiliki pola yang mirip dengan pola difraktogram mordenit standar berdasarkan Treacy dan Higgins (2007). Database JCPDS No 700232 juga mendukung pernyataan tersebut, bahwa mordenit memiliki puncak spesifik pada 2θ = 25,631° dan 27,651° (Rianto et al., 2012). Keberadaan logam Co dan Ni dalam katalis Co-Ni/ZAA ditentukan dengan membandingkan database difraktogram Co dan Ni standar dengan difraktogram Co-Ni/ZAA menggunakan program Match!. Gambar 5.1 menunjukkan bahwa pola difraktogram Co relative berimpit dengan pola difraktogram Co-Ni/ZAA. Beberapa puncak yang dapat diidentifikasi sebagai puncak Co adalah puncak pada 2θ = 10,03 dan 42,43. Sedangkan keberadaan logam Ni tampak dengan sangat jelas pada 2θ = 44,03 dan 75,49.
32
Intensitas/a.u.
ZAA Co-Ni/ZAA Ni Co
Mordenit
0
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
2Theta/Derajat
Gambar 5.1Difraktogram Zeolit Struktur Mordenit (Treacy dan Higgins, 2007), katalis ZAA, Ni-Co/ZAA, Co standar, dan Ni standar (Match!) 5.1.2
Hasil Analisis Adsorpsi N2 Tampak pada Gambar 5.2 kurva adsorpsi berbentuk cekung
terhadap sumbu p/p0 dan terdapat garis yang relatif mendatar yang diakhiri dengan belokan kurva pada tekanan p/p0 tinggi. Kurva tersebut memiliki distribusi pori yang dominan dengan mikropori lebar dan mesopori sempit (< 2,5 nm) seperti disajikan pada Gambar 5.3. Bentuk kurva adsorpsi isotermal tersebut merupakan karakteristik kurva adsorpsi isotermal Tipe I(b) (Thommes et al., 2015).
33
Volume/(mL/g)
85 80 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5
(a). ZAA
(b). Co-Ni/ZAA
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1,0
Relative pressure/(p/p°)
Gambar 5.2 Kurva Adsorpsi N2 Terhadap Katalis ZAA dan Co-Ni/ZAA
0,0015
ZAA Co-Ni/ZAA
0,0014 0,0013 0,0012
dV(r)/ (cc/Å/g)
0,0011 0,0010 0,0009 0,0008 0,0007 0,0006 0,0005 0,0004 0,0003 0,0002 0,0001 0,0000 15
20
25
30
35
40
45
50
Pore Radius/(Å)
Gambar 5.3 Distribusi Jari-Jari Pori Metode BJH katalis ZAA dan NiCo/ZAA 34
Gambar 5.2Gambar 5.2 juga menunjukkan terjadinya histeresis tipe H4 pada seluruh rentang tekanan dengan loop histeresis terbuka pada tekanan rendah. Histeresis tipe H4 sering ditemukan pada karbon mikro-mesopori (Thommes et al., 2015). Karbon aktif pada umumnya memiliki kurva isotermal Tipe I menurut klasifikasi IUPAC (Gregg dan Sing, 1982, Thommes et al., 2015). Isotermal Tipe I merepresentasikan padatan mikropori dengan sejumlah permukaan eksternal (Gregg dan Sing, 1982, Thommes et al., 2015), sejumlah mesopori atau keduanya (Gregg dan Sing, 1982). Kurva isotermal Tipe I berbentuk cekung terhadap sumbu mendatar p/p0 dan tampak adanya garis horisontal atau mendekati horisontal yang memotong p/p0 = 1 atau tampak belokan kurva pada tekanan relatif sekitar 0,95 yang menunjukkan tercapainya tekanan jenuh (Gregg dan Sing, 1982). Isotermal Tipe I(b) ditemukan dalam bahan yang memiliki distribusi ukuran pori yang lebih lebar termasuk mikropori yang lebar atau mesopori yang sempit ( < ∼ 2,5 nm) (Thommes et al., 2015). Kurva isotermal pada Gambar 5.2Gambar 5.2 menunjukkan terjadinya histeresis pada tekanan rendah (low-pressure hysteresis) (Gregg dan Sing, 1982, Sing et al., 1985, Carruthers, 2004, dan Rouquerol et al., 2014). Histeresis pada tekanan rendah terjadi karena pengembangan partikel yang menyertai proses adsorpsi. Pengembangan partikel menyebabkan struktur terdistorsi, dan membuka kavitas yang sebelumnya tidak dapat diakses oleh molekul adsorbat. Distorsi yang tidak elestis sempurna menyebabkan sebagian molekul adsorbat terjebak dan hanya dapat keluar dengan sangat lambat, atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali saat proses desorpsi kecuali bila temperatur dinaikkan (Gregg dan Sing, 1982, Sing et al., 1985). Pernyataan serupa juga dilaporkan oleh (Carruthers, 2004). Difusi adsorbat ke dalam struktur dibatasi oleh pori yang sempit, sehingga kesetimbangan adsorpsi isotermal tidak tercapai dengan sempurna. Pengembangan partikel zeolit tampak pada 35
tekanan tinggi yang menyebabkan adsorbat dapat masuk lebih dalam ke dalam struktur pori untuk mengisi pori yang lebih besar. Sebagian struktur zeolit yang mengembang tersebut dapat kembali ke struktur semula pada tekanan lebih rendah sehingga sebagian adsorbat terjebak di dalam pori yang lebih besar (Carruthers, 2004). Loop histeresis yang terbuka pada tekanan rendah menunjukkan terjadinya pengembangan struktur zeolit yang disertai dengan molekul adsorbat yang terjebak di dalam pori dan terjadinya hambatan pori yang sempit (Carruthers, 2004). Braida et al. (2003) juga melaporkan bahwa bentuk histeresis tersebut bukan karena terjadinya kondensasi kapiler mesopori tetapi mengindikasikan bahwa kesetimbangan tidak tercapai dengan sempurna, karena hambatan yang terjadi saat adsorbat melewati pori yang sempit pada temperatur rendah atau karena terjadinya penataan ulang/relaksasi adsorben saat proses adsorpsi. Pengembanan logam Co dan Ni pada permukaan Zeolit mengakibatkan
penurunan
luas
permukaan
sebesar
55,7%
dan
penurunan volume pori sebesar 41,5 % (Tabel 5.1). Penurunan luas permukaan pada katalis Co-Ni/ZAA dibandingkan katalis ZAA tersebut diikuti dengan peningkatan distribusi pori dengan jari-jari lebih dari 15 Å (mesopri sempit). Hal ini menunjukkan bahwa logam Co dan Ni yang diembankan teradsorp pada pori dengan ukuran lebih besar tetapi tidak sampai menutup pori tersebut sepenuhnya sehingga menyisakan pori sempit yang berakibat pada penurunan luas permukaan katalis. Tabel 5.1 Hasil Analisis Adosrpsi Isotermal N2 Terhadap ZAA dan CoNi/ZAA pada Temperatur 77,3 K ZAA Luas permukaan (metode BET)/(m²/g) Volume pori dengan jari-jari kurang dari 104,35 nm pada p/p0 = 0,99073 untuk ZAA dan dengan jari-jari kurang dari 101,34 nm pada p/p0 = 0,99045 untuk Co-Ni/ZAA /(mL/g)
Co-Ni/ZAA
127,629
56,512
1,221 x 10-1
7,143 x 10-2
36
5.1.3
Hasil analisis FTIR Digunakan spektroskopi FT-IR untuk mengidentifikasi struktur
Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini. Informasi mengenai struktur Zeolit biasanya diamati pada frekuensi vibrasi antara 200 dan 1500 cm-1. Pada daerah rentangan O-H, spectra IR Zeolit memberikan informasi letak ikatan gugus hidroksil pada struktur Zeolit. Paling tidak terdapat empat gugus hidroksil pada Zeolit, yaitu: (i) ujung kisi gugus silanol (~3745 cm-1) (Gambar 5.4), (ii) gugus hidroksil pada situs cacat , yaitu hidroksil sangkar (~3720 cm-1), (iii) gugus OH yang terikat pada kation sehingga mengkompensasi muatan negative framework (~3695 cm-1), (iv) gugus OH yang terikat pada spesies extra framework aluminum (EFAL) (~3655 cm-1) (Li, 2005) Pada Gambar 5.5 tampak bahwa baik pada katalis ZAA maupun Co-Ni/ZAA memiliki gugus hidroksil pada ujung kisi gugus silanol (3752 cm-1), gugus hidroksil pada situs cacat, yaitu hidroksil sangkar (3713 cm1
), dan gugus OH gugus OH yang terikat pada spesies extra framework
aluminum (EFAL) (3650 cm-1).
Gambar 5.4 Gugus Hidroksil pada Ujung Kisi Gugus Silanol Zeolit
37
3752
3713
3650
Transmitansi/a.u.
ZAA Co-Ni/ZAA
3800 3780 3760 3740 3720 3700 3680 3660 3640 3620 3600
Bilangan gelombang/cm-1
Gambar 5.5 Spektra FTIR Katalis ZAA dan Ni-Co/ZAA pada Rentang Bilangan Gelombang 3600-3800 cm-1 Puncak pada daerah sekitar 1100 cm-1 dihasilkan dari rentangan asimetrik tetrahedral SiO4. Adanya puncak berupa belokan pada daerah sekitar 1000 cm-1 muncul Karena vibrasi sangkar
Al-OH yang terbentuk
Karena adanya kekosongan kation. Puncak serapan pada daerah sekitar 750-700 cm-1 terkait dengan adanya rentangan simetrik gugus SiO4. Pita serapan pada daerah sekitar 649, 544 dan 468 cm-1 terkait dengan vibrasi bengkokan gugus SiO4 atau vibrasi cincin-4 dalam rantai silikat. Puncak serapan lemah pada daerah antara 1700-1500 cm-1 dihasilkan dari vibrasi bengkokan adanya air yang mengkin masih terikat dalam pori Zeolit. Data tersebut sesuai dengan laporan Byrappa, K. dan Kumar, B.V.S. (2007).
38
1100
795
650 590
472
Transmitansi/a.u.
ZAA Co-Ni/ZAA
1500 1400 1300 1200 1100 1000 900 800 700 600 500 400
Bilangan gelombang/cm-1
Gambar 5.6 Spektra FTIR Katalis ZAA dan Ni-Co/ZAA pada Rentang Bilangan Gelombang 400-1500 cm-1 5.1.4
Keasaman Katalis Gambar 5.7 menunjukkan spectra FTIR katalis ZAA dan Co-
Ni/ZAA dalam rentang bilangan gelombang 1400 - 1700 cm-1 setelah adsorpsi piridina pada temperatur 100 °C. Puncak abosorpsi pada 1458,18 dan 1543,05 cm-1 merupakan daerah serapan piridina pada situs asam Lewis (ikatan koordinasi pada Al3+ yang disimbolkan dengan L-Py dan Bronsted (protonik) yang disimbolkan dengan B-Py. Data
rasio
konsentrasi
L-Py/B-Py
menunjukkan
bahwa
pengembanan Zeolit dengan logam Co dan Ni telah meningkatkan konsentrasi situs asam Lewis yang diindikasikan dengan rasio L-Py/B-Py katalis Co-Ni/ZAA yang lebih tinggi dibandingkan dengan rasio L-Py/B-Py katalis ZAA. Peningkatan konsentrasi situs asam Lewis pada katalis CoNi/ZAA terkait dengan fungsi logam transisi (dalam hal ini Co dan Ni)
39
sebagai
penerima
elektron
yang
dengan
demikian
meningkatkan
konsentrasi asam Lewis.
L-Py
B-Py
1458,18
Absorbansi/a.u.
1543,05
Py-ZAA 100 oC Py-Co-Ni/ZAA 100 oC
1600
1575
1550
1525
1500
1475
1450
Bilangan gelombang/cm
1425
1400
-1
Gambar 5.7 Situs Asam Bronsted dan Lewis pada Permukaan Katalis ZAA dan Co-Ni/ZAA Setelah Adsorpsi Piridina pada Temperatur 100 dan 200 °C Tabel 5.2 Rasio Konsentrasi Situs Asam Lewis Terhadap Situs Asam Bronsted pada Katalis ZAA dan Co-Ni/ZAA Menggunakan Piridina sebagai Molekul Probe Dianalisis Menggunakan FTIR pada Temperatur 100 °C Absorbansi Py-ZAA 100
Rasio L-Py/B-Py
L-Py (1458,18 cm-1)
B-Py (1543,05 cm-1)
0,12
0,06
2,00
0,173
0,056
3,09
Py-Co-Ni/ZAA 100
40
5.2
Karakterisasi Produk Reaksi
5.2.1
Hasil analisis GC-MS Komposisi senyawa hidrokarbon diketahui dengan menganalisis
produk hasil perengkahan katalitik residu menggunakan kromatografi gasspektroskopi massa (gas chromatography-mass spectroscopy=GC-MS). Analisis ini merupakan analisis kualitatif dan kuantitatif yang bisa digunakan untuk mengetahui jenis senyawa hidrokarbon dalam produk hasil RCC beserta kuantitasnya. Kromatogram dan hasil analisis sampel produk RCC dengan GC seperti dalam lampiran. Identifikasi senyawa-senyawa utama yang terkandung dalam produk hasil RCC dilakukan dengan menganalisis puncak-puncak yang memiliki persentase tinggi menggunakan MS. Hasil analisis GC-MS produk hasil RCC seperti pada Tabel 5.3. Tabel 5.3
Hasil Analisis GC-MS Sampel Produk RCC Produk Reaksi
No.
Nama Senyawa
Pada 400 °C Tanpa katalis
ZAA
Pada 500 °C Tanpa katalis
ZAA
65,41
89,34
CoNi/ZAA 84,63
1
Paraffins
Tdp
94,37
CoNi/ZAA 85,67
2
Olefins
Tdp
3,37
9,19
25,47
10,66
15,37
3
Naphtenes
Tdp
-
1,79
-
-
-
4
Aromatics
Tdp
2,26
3,35
9,12
-
-
41
Gambar 5.8
Hasil GC-MS Produk Tanpa Katalis pada Temperatur 500 °C
Gambar 5.9
Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis ZAA pada Temperatur 500 °C
Gambar 5.10 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis Co-Ni ZAA pada Temperatur 500 °C
42
Gambar 5.11 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis ZAA pada Temperatur 400 °C
Gambar 5.12 Hasil GC-MS Produk RCC dengan Katalis Co-Ni ZAA pada Temperatur 400 °C Tabel 5.4
Mood Produk Hasil RCC
Temperature 400 °C
Temperature 500 °C
Katalis
Katalis CoNi‐
Tanpa
Katalis
Katalis CoNi‐
ZAA
ZAA
Katalis
ZAA
ZAA
Gasoline
0
0.33
1.76
0
0
Naphta
1.27
3.78
4.53
0
1.52
Kerosene
7.21
12.43
20.68
9.38
8.12
Gasoils
72.52
49.74
60.06
49.55
53.75
Heavy distillate
18.99
33.82
12.97
41.08
36.62
Jenis Fraksi
43
5.2.2
Hasil analisis FTIR Gambar
5.13
menunjukkan
spektra
FTIR
produk
reaksi
perengkahan katalitik dengan katalis ZAA pada temperatur 400 dan 500 °C, yang karakteristik untuk spektra senyawa hidrokarbon. Tidak tampak perbedaan signifikan pada kedua spectra.
Puncak rentang C-H, yang
terkait dengan adanya gugus metil dan metilena, tampak pada daerah sekitar 2930-2870 cm-1. Puncak pada daerah sekitar 1450 cm-1 (bengkok C-H pada gugus metilena) dan 1380 cm-1 (bengkok C-H pada gugus metil) mendukung prediksi tersebut. Puncak pada daerah sekitar 1600 cm-1 (regang C-C aromatic) menunjukkan adanya gugus aromatic. Hal ini didukung dengan adanya puncak pada daerah sekitar 1050 cm-1 (bengkokan C-H dalam bidang) dan 740 cm-1 (bengkokan C-H ke luar bidang) (Silverstein et al., 2005).
400 C 500 C
120
Transmitant/a.u.
100
80
60
40
20
0 4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
Wave number/cm-1
Gambar 5.13 Spektra FTIR produk reaksi perengkahan katalitik dengan katalis ZAA pada temperatur 400 dan 500 °C
44
5.2.3
Karakteristik Fisika-Kimia Karakteristik Fisika-kimia produk reaksi dianalisis menggunakan
beberapa metode uji standar ASTM, dan diperoleh data seperti pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Karakteristik Fisika-Kimia Produk Hasil Reaksi Produk Reaksi No. 1 2
Metode ASTM
Properti
Pada 400 °C Tanpa katalis
ZAA
Pada 500 °C
Densitas pada 15
D 4052
853,8
867,8
CoNi/ZAA 859,9
Congealing C
D 938
24
24
25
oC/(kg/m3)
point/
Tanpa katalis
ZAA
876,7
895,6
CoNi/ZAA 888,9
26
39
40
o
45
BAB 6 6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Telah dilakukan percobaan perengkahan katalitik residu kilang PPSDM Migas dengan menggunakan katalis ZAA dan Co/Ni-ZAA pada temperatur reaksi 400 dan 500 °C. Dari data hasil percobaan menunjukkan reaksi perengkahan dengan penggunaan katalis ZAA lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan katalis Co/Ni-ZAA maupun tanpa katalis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya senyawa parafinis yang terbentuk di dalam produk masing-masing. 2. Dalam hal pembentukan produk, sebaran senyawa yang terbentuk dengan penggunaan katalis ZAA lebih spesifik dibandingkan dengan sebaran senyawa pada penggunaan katalis Co/Ni-ZAA maupun tanpa katalis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya puncak pada grafik pengujian GC-MS untuk masing-masing produk. 3. Berdasarkan
hasil
karakterisasi
masing-masing
katalis
bahwa
pengembanan logam Co/Ni berpengaruh terhadap jumlah asam yang meningkat dibandingkan dengan ZAA, luas permukaan spesifik dan volume pori yang menurun. 6.2
Saran Kajian ini baru sebatas untuk membuktikan efektifitas katalis zeolit
pada perengkahan katalitik residu, sehingga masih terbuka untuk dilakukan kajian lebih lanjut. Perlu dilakukan percobaan dalam skala pilot plant agar diperoleh data yang representatif pada penelitian proses perengkahan katalitik residu sehingga dapat diperoleh karakterisasi lengkap katalis maupun produk-produk hasil RCC.
46
47
DAFTAR PUSTAKA Mul, G. dan Moulijn, J.A., 2005, Preparation of Supported Metal Catalysts, Editor: Anderson, J.A. dan Garcia, M.F., Supported Metals in Catalysis, Imperial College Press, London. Hagen, J., 2006, Industrial Catalysis, A Practical Approach, 2nd Ed., WileyVCH Verlag GmbH & Co. KGaA., Weinheim. Gallei, E.F., Hesse, M., dan Schwab, E., 2002, Development of Industrial Catalysts, Editor: Ertl, G., Knozinger, H., Schuth, F., dan Weitkamp, J., Handbook of Heterogeneous Catalysis, 2nd Ed., Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA., Weinheim. Haber, J., Block, J.H., dan Delmon, B., 1995, Manual of Methods and Procedures for Catalyst Characterization (Technical Report), Pure Appl. Chem., 67, 8/9, 1257-1306. Jaksic, M.M, 2000, Volcano Plots along the Periodic Table, Their Causes and Consequences on Electrocatalysis for Hydrogen Electrode Reactions, J. New Mat. Electrochem. Systems, 3, 167-182. Kolasinski, K.W., 2008, Surface Science: Foundations of Catalysis and Nanoscience, 2nd Ed., John Wiley & Sons Ltd, West Sussex. Augustine, R.L., 1996, Heterogeneous Catalysis for Synthetic Chemist, Marcel Dekker Inc., New York. Castellan, G. W., 1983, Physical Chemistry Third Edition, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Massachusetts. Byrappa, K. dan Kumar, B.V.S., 2007, Characterization of Zeolites by Infrared Spectroscopy, Asian J. Chem., Vol. 19, No. 6 (2007), 49334935. Maygasari, D.A., Satriadi, H., Widayat, Jestyssa, A.H., Roesyadi, A., dan Rachimullah, M. 2010, Optimasi Proses Aktivasi Katalis Zeolit Alam Dengan Uji Proses Dehidrasi Etanol, Prosiding, Seminar Rekayasa Kimia dan Proses-Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 4-5 Agustus 2010, Semarang. 48
Li, G., 2005, FT-IR studies of zeolite materials: characterization and environmental applications, PhD (Doctor of Philosophy) thesis, University of Iowa, http://ir.uiowa.edu/etd/96, diakses tanggal 23 Oktober 2016. Treacy, M.M.J dan Higgins, J.B., 2007, Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolites, Elsevier B.V., Oxford. Rianto, L.B., Amalia, S., Susi Nurul Khalifah, S.N., 2012, Pengaruh Impregnasi Logam Titanium Pada Zeolit Alam Malang Terhadap Luas Permukaan Zeolit, Alchemy, Vol. 2 No. 1, 58-67. Carruthers, J.D., 2007, Evaluating Porosity: Low Pressure Hysteresis, Activated Entry and Carbon Swelling, http://acs.omnibooksonline.com/data/papers/2007_D081.pdf, diakses pada 25 Februari 2016. Braida, W.J., Pignatello, J.J., Lu, Y., Ravikovitch, P.I., Neimark, A.V., dan Xing, B., 2003, Sorption Hysteresis of Benzene in Charcoal Particles, Environ. Sci. Technol., 37, 409-417. Gregg, S.J. dan Sing, K.S.W., 1982, Adsorption, Surface Area and Porosity, 2nd Ed., Academic Press Inc., London Sing, K.S.W., Everett, D.H., Haul, R.A.W., Moscou, L., Pierotti, R.A., Rouquerol. J. dan Siemieniewska, T., 1985, Reporting Physisorption Data for Gas/Solid Systems with Special Reference to the Determination of Surface Area and Porosity (Recommendations 1984), Pure & Appl. Chem., 57, 4, 603-619. Thommes, M., Kaneko, K., Neimark, A.V., Olivier, J.P., Reinoso, F.R., Rouquerol, J. dan Sing, K.S.W., 2015, Physisorption of gases, with special reference to the evaluation of surface area and pore size distribution (IUPAC Technical Report), Pure Appl. Chem., 87, 9-10, 1051–1069. Majid, A.B., Trisunaryanti, W., Priastomo, Y., Febriyanti, E., Hasyyati, S., Nugroho, A., 2012, Karakterisasi dan Uji Aktivitas Katalitik Zeolit Alam Indonesia pada Hidrorengkah Ban Bekas dengan Preparasi Sederhana, Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012, 25 Pebruari 2012, Surabaya. Kadarwati, S. dan Wahyuni, S., 2015, Characterization and Performance Test of Palm Oil Based Bio-Fuel Produced Via Ni/Zeolite-Catalyzed Cracking Process, Int. Journal of Renewable Energy Development 4 (1) 2015: 32-38 Jeon, H.J. dan Kim, Y.W., 2015, Catalytic Cracking Catalyst for RFCC Process with Maximized Diesel Yields and a Method for the Preparation Thereof, US Patents No. US20150336084 A1. 49
Jeon dan Kim 2015, Catalytic Cracking Catalyst for RFCC Process with Maximized Diesel Yields and a Method for the Preparation Thereof Meng, X., Xu, C., Li, L. and Gao, J., 2011a, Cracking Performance of Gasoline and Diesel Fractions from Catalytic Pyrolysis of Heavy Gas Oil Derived from Canadian Synthetic Crude Oil, Energy & Fuels 25.8 (2011): 3382-3388. Web. 23 Oct. 2016. Meng, X., Xu, C., Li, L. and Gao, J., 2011b, Cracking Performance and Feed Characterization Study of Catalytic Pyrolysis for Light Olefin Production, Energy & Fuels 25.4 (2011): 1357-1363. Web. Gray, M.R., 1994, Upgrading Petroleum Residues and Heavy Oils, Marcel Dekker, Inc., New York. Raseev, S., 2003, Thermal and Catalytic Processes in Petroleum Refining, Marcel Dekker, Inc., New York. Cejka, J., Corma, A., dan Zones, S., 2010, Zeolites and CatalysisSynthesis, Reactions and Applications, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. Aguado, J., Serrano, D.P., San Miguel, G., Escola, J.M., dan Rodriguez, J.M., 2007, Catalytic activity of zeolitic and mesostructured catalysts in the cracking of pure and waste polyolefins, J. Anal. Appl. Pyrolysis, 78 (2007) 153–161 van Speybroeck, V., Hemelsoet, K., Joos, L., Waroquier, M., Bell, R. G. and Catlow, C. R. A., 2015, Advances in theory and their application within the field of zeolite chemistry, Chem. Soc. Rev. 44.20 (2015): 7044-7111. Web. 23 Oct. 2016. Nassar, N. N., Hassan, A. and Pereira-Almao, P., 2011, Application of Nanotechnology for Heavy Oil Upgrading: Catalytic Steam Gasification/Cracking of Asphaltenes, Energy & Fuels 25.4 (2011): 1566-1570. Web. Gao, H., Wang, G., Wang, H., Chen, J., Xu, C. and Gao, J., 2012, A Conceptual Catalytic Cracking Process to Treat Vacuum Residue and Vacuum Gas Oil in Different Reactors, Energy & Fuels 26.3 (2012): 18701879. Web. In-text: (Gao et al., 2012) Alemán-Vázquez, L. O., Torres-Mancera, P., Ancheyta, J. and Ramírez-Salgado, J., 2016, Use of Hydrogen Donors for Partial Upgrading of Heavy Petroleum, Energy & Fuels (2016): n. pag. Web. 50
In-text: (Alemán-Vázquez et al., 2016) Abul-Hamayel, M. A., 2002, Atmospheric Residue as Feedstock to HighSeverity Fluid Catalytic Cracking, Petroleum Science and Technology 20.5-6 (2002): 497-506. Web. Tugsuu, T., Yoshikazu, S., Enkhsaruul, B. and Monkhoobor, D., 2012, A Comparative Study on the Hydrocracking for Atmospheric Residue of Mongolian Tamsagbulag Crude Oil and Other Crude Oils, ACES 02.03 (2012): 402-407. Web. 23 Oct. 2016. Zhang, Y., Liu, X., Sun, L., Xu, Q., Wang, X. and Gong, Y., 2016, Catalytic cracking of n-hexane over HEU-1 zeolite for selective propylene production: Optimizing the SiO2/Al2O3 ratio by in-situ synthesis, Fuel Processing Technology 153 (2016): 163-172. Remón, J., Arauzo, J., García, L., Arcelus-Arrillaga, P., Millan, M., Suelves, I. and Pinilla, J., 2016, Bio-oil upgrading in supercritical water using Ni-Co catalysts supported on carbon nanofibers, Fuel Processing Technology 154 (2016): 178-187. Li, T., Liu, H., Fan, Y., Yuan, P., Shi, G., Bi, X. T. and Bao, X., 2012, Synthesis of Zeolite Y from Natural Aluminosilicate Minerals for Fluid Catalytic Cracking Application, Green Chemistry 14.12 (2012): 3255 Liu, P., Zhang, Z., Jia, M., Gao, X. and Yu, J., 2015, ZSM-5 Zeolites with Different SiO2/Al2O3 Ratios as Fluid Catalytic Cracking Catalyst Additives for Residue Cracking, Chinese Journal of Catalysis 36.6 (2015): 806-812. Pedrosa, A. M. G., Souza, M. J., Melo, D. M. and Araujo, A. S., 2006, Cobalt and nickel supported on HY zeolite: Synthesis, characterization and catalytic properties, Materials Research Bulletin 41.6 (2006): 1105-1111 Chen, L., Li, X., Rooke, J. C., Zhang, Y., Yang, X., Tang, Y., Xiao, F. and Su, B., 2012, Hierarchically Structured Zeolites: Synthesis, Mass Transport Properties and Applications, Journal of Materials Chemistry 22.34 (2012): 17381 Zhao, Y. and Yu, Y., 2011, Kinetics of asphaltene thermal cracking and catalytic hydrocracking, Fuel Processing Technology 92.5 (2011): 977-982 Sadeghbeigi, R., 2012, Fluid Catalytic Cracking Handbook. Oxford: Butterworth-Heinemann. Alsobaai, A.M., Hameed, B.H., dan Zakaria, R., 2006, Hydrocracking of Gas Oil using USY-Zeolite-Based Catalyst, Proceedings of the 1st International Conference on Natural Resources Engineering & Technology 2006, 24-25th July 2006; Putrajaya, Malaysia, 243-254. 51
Ghosh, U., Kulkarni, K., Kulkarni, A.D., dan Chaudhari, P.L., 2015, Review – Hydrocracking using Different Catalysts, Chemical and Process Engineering Research, Vol.34, 51-55. Silverstein, R.M., Webster, F.X., dan Kiemle, D.J., 2005, Spectrometric Identification of Organic Compounds, 7th. Ed., John Wiley & Sons, Inc., Hoboken. Usui, K., Kidena, K., Murata, S., Nomura, M., dan Trisunaryanti, W., 2004, Catalytic hydrocracking of petroleum-derived asphaltenes by transition metal-loaded zeolite catalysts, Fuel 83.14-15 (2004): 18991906 Chen, L., Yu, Z., Zong, Z., Zhu, Z. dan Wu, Q., 2011, The Effects of Temperature and Hydrogen Partial Pressure on Hydrocracking of Phenanthrene, International Journal of Chemistry 3.2 (2011), 67-73. Trisunaryanti, W., Triyono, Rizki, C.N., Saptoadi, H., Alimuddin, Z., Syamsiro, M., dan Yoshikawa, K., 2013, Characteristics of Metal Supported-Zeolite Catalysts for Hydrocracking of Polyethylene Terephthalat, IOSR Journal of Applied Chemistry 3.4 (2013): 29-34
52