Karya Pastoral Paroki Pengantar
Apa yang saya sampaikan ini mohon dimengerti sebagai sebuah sharing pengalaman saya yang baru setahun menggulati karya paroki. Maka silakan nanti diperkaya sendiri dengan sumber primer maupun sekunder yang lain.
Paroki
Rumusan lama, namun masih hidup di kalangan umat, mungkin juga kita semua: Karya Paroki adalah karya pelayanan gerejani (khususnya sakramental) yang dibatasi dengan wilayah tertentu. Batas yang dimaksud kerap kali berupa batas geografis/teritori, misalnya sungai, atau jalan tertentu. Maka karya paroki adalah karya apa saja yang meliputi pelayanan umat di dalam batas wilayah teritori tersebut. Paroki menjadi basis … kehidupan gereja dalam dunia. Saya mencoba membayangkan paroki sebagai karya pelayanan umat yang secara administratif berpijak pada wilayah tertentu, namun lingkup pelayanannya bisa menembus batas wilayah tersebut.
Karya Paroki
Karya ini meliputi segala karya pastoral terutama sakramental pada seluruh umat. Secara konkret karya ini berarti melayani kebutuhan umat akan sakramen (dan administrasinya) dari sejak seorang anak mulai dikandung, dilahirkan, dibabtis, krisma, tobat, nikah atau imamat, pengurapan orang sakit, sampai kematian. Karya ini menjadi makin mendapat tempat sebab faham Gereja partikular bergeser dari Gereja Keuskupan ke Gereja Paroki, atau bahkan Gereja Basis yang lebih kecil lagi. Karena itu pandangan tentang paroki pun berubah. Paroki adalah tanda dan sarana penyelamatan atau sakramen dunia. Paroki berhasil 1. kalau sanggup menolong mengembangkan iman umat 2. kalau berada di tengah masyarakat dan dekat dengan problematiknya: konflik budaya, sosial, soal tanah, aborsi, urbanisasi, desa tertinggal, korban pembangunan, 1
3. kalau iman umat meresapi hidup bermasyarakat dengan kasih, kejujuran, keadilan, kebenaran, dan kesadaran 4. kalau umat saling menguatkan iman, terjadi sharing iman, mewujudkan imannya. 5. kalau umat bersama berpikir jangka panjang dan membuat kebijaksanan mengambil keputusan bersama.
Realitas karya paroki
Karya paroki adalah karya besar dan mungkin terlalu besar.(Cf paroki Wonosari)untuk dikerjakan oleh seorang imam paroki. Semua umat berasal dan kembali ke paroki. Karya paroki adalah karya pastor paroki. Umat pada umumnya lebih suka memilih ndherek romo, atau mengkritik serta mencaci romo daripada punya ide dan usul sendiri. Itu pun dikerjakan dengan ngrasani, tanpa obyektivasi lebih dulu . Inisiatif, kreasi, bahkan berpikir sendiri untuk bertanggung jawab sendiri masih sulit diharapkan. Sebab sedikit saja orang yang dapat diharapkan aktif di lingkungan Gereja yang senang berpikir panjang. Umumnya orang sudah percaya saja pada pimpinan Seorang yang berkarya di paroki harus punya planing, tapi dalam prakteknya tak pernah jalan seperti direncanakan. Pastor paroki mesti punya banyak ide tapi tidak boleh diungkapkan sendiri. Masalah pastoral paroki seringkali berarti masalah keuangan. Keuangan berarti penyediaan dana untuk membantu. Dan memberi sumbangan berarti baik hati, tidak memberi dana berarti otoriter. Melayani umat sering berarti menuruti kemauan umat. Pelayan tak boleh punya pendapat sendiri Bagaimanapun pemimpin menentukan. Kalau pemimpinnya kreatif, banyak umat shock, resah. Kalau manutan … runtang-runtung. Karya teritorial saja tidak cukup sakramental, menggereja yang paling konkret,
Paroki yesuit?
SJ pertama-tama tidak mau karpas paroki, krn projo yg ngurus; Ign: sudah ada yang ngurus paroki ada beneficium/gaji tetap (ini >< kemiskinan Ign) 2
jadi pastor paroki, mobilitas kita hilang dianggap penting. Dulu karya paroki dianggap karya kelas II, sebab KJ pun membahas karya lain yang dinilai lebih mendesak.
KJ KJ KJ KJ
31 karpas paroki masih ragu-ragu 32 karpas paroki sudah disebut seperti karya2 lain 33 karpas paroki tidak disebut 34 karpas paroki banyak disebut – dlm vol 4,5 bahkan dinilai sbg karya yang tepat utk pengembangan iman.
Paroki dulu berarti teritorial domisili. Kini mesti kita mengerti kategorial fungsional, berangkat dari teritori tertentu. Jaman itu paroki tidak penting bagi umat. Karena jauh lebih banyak karya pastoral yang aksidental. Lebih daripada institusional. Paroki hanya untuk melayani kewajiban SJ mau kembali kepada karya model Yesus. Melayani semua orang secara konkret, bukan hanya pelayanan liturgis. Paroki SJ mau lebih daripada yang rutin. 1. Melayani jiwa: memberi betul-betul kekuatan iman. 2. Membantu meningkatkan hubungan pribadi (lewat hubungan pribadi dengan sesama dengan Allah. Allah berkarya dalam masing-masing orang secara pribadi.) 3. Membantu orang untuk berdiskresio. 4. Memberi hiburan rohani, mendamaikan yang selisih, Khas SJ kita yang menentukan, bukan paroki yang menghendaki. Bukan hanya kebiasaan. Ign tidak ingin NN memegang paroki ala jaman itu: paroki liturgis, pastor hanya tukang misa. Atau paroki sbg yang mendatangkan duit. Ign mementingkan paroki pewartan. Pewartaan, tidak hanya berarti pelajaran agama. Pengetahuan, praktek doa, praktek amal kasih. Paroki pewartaan berarti menghubungkan inti injil dengan masalah jaman sekarang dengan memakai bahasa yang dapat dimengerti orang sejamannya. Lewat kesaksian demi keadilan, melalui kerjasama dengan siapa saja.
3
Dlm KJ 34, missi pastoral paroki dianggap jelas, tapi perwujudannya yang dinilai sulit. Sulit karena sumber daya manusia. Ini sehubungan dengan profesionalitas 1. utk bekerja secara sistematis, 2. utk analisis situasi, 3. utk koordinasi, 4. utk membuat planning, kebijakan kerja, sistem kerjas
Paroki kotabaru:
Paroki berarti teritorial. Orang lain yang hadir dianggap tamu, yang harus dilayani. Mereka tidak berhak : mendapat pelayanan, terlibat. Umat datang dari mana-mana. Paroki mencoba untuk memberikan pelayanan maksimal dalam hal liturgi hari Minggu dan kebutuhan sakramental lainnya, tapi tidak dilibatkan. Cf . pesta untuk lingkunganku sendiri. Umat wilayan teritori Kotabaru sendiri jumlahnya sedikit umumnya miskin, Tanpa umat yang dari luar wilayah Kotabaru, barangkali 3 x ekaristi Minggu selesai. Dan tentu saja jumlah kolekte tak akan mencampai 3.5 juta per minggu. Kehidupan liturgi di seputar altar bagus, umat terlibat, dan punya kekhasan sendiri, umat tidak termasuk lingkungan. Ada struktur formal dewan paroki. Struktur ini terlalu berwarna organisatoris. Sehingga yang dikejar terkesan kerapian, keberhasilan organisatoris. Maka memberi kesan puas dengan struktur dan program yang indah. puas dengan menyusun program formal. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa kebutuhan, kehidupan umat tidak cukup ditanggapi. Seakan tidak ada waktu dan tempat untuk kreativitas spontan berdasarkan realitas, tak ada analisis kebutuhan. Demikian juga dengan prioritas karya kurang terpikirkan. Masing-masing sibuk dengan seksinya masing-masing. Dan juga sikap kritis sudah tidak banyak hidup, sebab struktur kuat sekali. Sukses tidaknya paroki dinilai dari berhasil tidaknya program dilaksanakan. Fungsionaris yang tidak berhasil mewujudkan programmnya merasa gagal, dan malu, etc. Program harus jalan meski: tak dibutuhkan, tak realistis. Kehidupan menggereja masih kurang hidup, sebab satu sama lain kurang mengenal dan dikenal. Bahkan setiap orang/kelompok bersaing untuk mengalahkan, menjatuhkan orang. Lain. Ditambah budaya khas Yogya: sibuk ngurusi/ ngomongin orang lain, tak sempat berbuat untuk orang lain. 4
Ada yang memberi kesan: duit untuk rayahan. Proyek/program disusun demi untuk mencairkan uang yang dianggap harus dihabiskan oleh dan demi mereka, bukan demi tanggung jawab dan karya sosial. Memang Karya sosial sudah punya tradisi, tapi masih belum proporsional. Nilai sosial berarti bantuan ketat dan formal, resmi. Belum ada prinsip-prinsip sosial kristiani, p. Gereja.. belum berkembang. . Karena itu, salah satu usaha saya adalah: Mengenal umat. Mendorong tumbuhnya kebutuhan untuk saling mengenal, formal maupun informal. Menciptakan kesempatan utk bertemu lebih penting daripada ekaristi. Menggeser dari sekitar altar ke arah masyarakat. Ibadat - hidup bersama. Paroki menjadi sarana untuk umat berkumpul dan mengembangkan iman umat bukan iman pastor saja, bukan usaha pastor saja. Paroki yang partisipastif. Namun gereja kita masih sangat dominan dan umat suka nderek romo. Umat yang tekun berdoa, namun kurang inisiatif. Posisi pastor dianggap terlalu tinggi. Pastor sendiri harus bertanggungjawab. Dan artinya siap untuk dicaci, tapi jangan dikagumi, dipuji. Kepedulian yang hidup belum terasa. Iman umat sudah ada, namun belum bisa menghidupi diri sendiri. Sistem dan prinsip nilai belum berkembang, masih aturan, dll.senang/tidak. Orientasi hidup dan karya masih terlalu ke dalam gereja, formal, liturgical, belum ke luar ke tengah dunia. Kegiatan gerejani—ibadat/liturgi Kerawam, sosial (bukan bantu uang)
Refleksi kita
Paroki meliputi banyak bidang pastoral, pelbagai macam orang (umur, profesi, status sosial, agama, suku dlb). Maka pastoral teritorial mesti digeser ke paroki kategorial fungsional.
5
Di paroki umat dapat diajak untuk inkulturasi, demi pengembangan nilai sosial, budaya. Pastor paroki barangkali diandaikan manager yang baik bagi umat dan dalam relasinya dengan Tuhan. Pejabat dan tenaga pastoral diharap berkemampuan luas (teori: teologi, sosiologi, psikologi) dan skill. Apa cukup unggul dalam ilmu teologi? Filsafat dan teologi mesti dikuasai, namun itu saja untuk jaman ini sudah tidak cukup lagi, Ilmu lain, seperti sosial, psikologi , sosiologi makin diperlukan. Tenaga profesional perlu diperhatikan.
Paroki bukan pulau. Tidak hanya perhatian yang katolik. Gereja dipanggil untuk hidup dan berkarya di tengah dunia, masyarakat luas. Di Indonesia, paroki merupakan pintu masuk ke dalam kristianitas, untuk sebagian besar umat. Kiranya di masa yang akan datang parokilah yang paling dapat bertahan. Dan paroki mesti siap menjadi unit-unit pelayanan, bukan daerah-daerah pelayanan umat. Misalnya pelayanan di daerah wisata, di waktu off, sela-sela office hours, terhadap fungsionaris profesional mana pun. Karya paroki mesti aktif untuk mencari yang dilayani, bukan menunggu mereka yang dilayani.
Kotabaru, 1 Nopember 1996 YR Widadaprayitna, SJ
6