KARYA ILMIAH
HUBUNGAN KELEMBAGAAN LOKAL, KAPITAL SOSIAL DAN PERENCANAAN PARTISIPATIF
VERONICE,SP,MSI 19820807 200604 2 001
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH 2015 1
DAFTAR ISI
Halaman Kata pengantar ........................................................................
i
Daftar isi .................................................................................
ii
Bab I Pendahuluan A. Latar belakang .............................................................
1
B. Rumusan masalah ........................................................
2
C. Tujuan .........................................................................
3
Bab II Pembahasan A. Pengertian kelembagaan .............................................
4
B. Kapital sosial ...............................................................
6
C. Kerangka teoritis ..........................................................
8
Bab III Penutup A. Kesimpulan ................................................................. Daftar pustaka
2
12
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt karena berkat limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang kelembagaan,perubahan sosial dan penyebab perubahan sosial serta dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial. Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan karya ilmiah selanjutnya. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.
Tanjung Pati, Januari 2015
Penulis
3
BAB I PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang Banyak pengalaman proyek-proyek Bank Dunia yang mengalami kegagalan
dalam upaya pemanfaatan sumber daya alam, pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pertanian dan usaha non pertanian bukan karena manajer atau pemimpin dan tenaga-tenaga pelaksana proyek yang kurang ahli tetapi karena proyek-proyek tersebut tidak mengakomodir nilai-nilai budaya dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di wilayah proyek dan tidak menggunakan kekuatan maupun partisipasi dari kelembagaan lokal yang sudah ada. (Norman Uphoff, 1986). Evaluasi terhadap berbagai proyek yang dilaksanakan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa proyek-proyek pengembangan kelembagaan terutama di sub sektor keuangan mempunyai tingkat keberhasilan yang relatif lebih tinggi dibandingkan proyek-proyek lainnya sekalipun anggaran untuk proyek-proyek pengembangan kelembagaan relatif jauh lebih kecil dari proyek-proyek lain. Pemerintah dan masyarakat cenderung lebih mengutamakan pembangunan irigasi yang berbentuk waduk atau DAM yang secara fisik dapat dilihat hasilnya daripada membangun sistem pengairan atau irigasi tersebut.(Arturo Israel,1990). Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai Stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan, juga wilayah pesisir atau kelautan. Dalam pembangunan wilayah pesisir, secara historis aturan adat (pranata sosial) ini tersebar luas di beberapa wilayah pesisir Indonesia, seperti di Nanggroe
4
Aceh Darussalam (Panglima Laot), Lampung (Rumpon), Bali dan Lombok (Awigawig), Maluku (Sasi), dan beberapa di kawasan Indonesia Timur, seperti Sulawesi dan Papua dinamakan Hak Ulayat Laut (HUL). Walaupun tidak semua wilayah di Indonesia memiliki Hak Ulayat Laut, namun tetap mencerminkan budaya bangsa”maritim” Indonesia yang ramah lingkungan karena Hak Ulayat Laut bersifat konservatif (Solihin dkk, 2005). Proses
adaptasi
masyarakat
nelayan
terhadap
lingkungan
sekitar
mengakibatkan kajian hak ulayat laut hanya dikaitkan dengan permasalahan di seputar aspek ekologi. Praktek hak ulayat laut berkaitan juga dengan proses dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi, sehingga untuk memahami konsep hak ulayat laut secara utuh dengan masalah yang begitu kompleks harus dikaji secara menyeluruh (Wahyono et al. 2000). Untuk mengatasi kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka penguatan lembaga adat/kearifan lokal di Indonesia harus menjadi perhatian utama dalam membuat rancangan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
Hadirnya
Undang-undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
Pemerintahan yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem pemerintahan sentralistis menjadi terdesentralisasi, sehingga membuka peluang untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan dengan cara merevitalisasi kearifan-kearifan lokal yang ada. b.
Perumusan Masalah Kerusakan pantai dan laut di Indonesia sudah sedemikian parahnya. Berbagai
kecerobohan manusia menjadi salah satu penyebab utamanya. Bayangkan, di berbagai daerah masih banyak ditemui nelayan menangkap ikan dengan bom dan racun. Bom tidak hanya menghancurkan ikan yang bukan menjadi target mereka. Lebih dari itu, bom juga merusak dan menghancurkan terumbu karang. Padahal, untuk memulihkan terumbu karang yang hancur itu diperlukan waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Begitu juga dengan penggunaan racun. Selain
5
membunuh ikan-ikan kecil yang tak menjadi target nelayan, juga menyiksa ekosistem terumbu karang. Banyak biota laut sekarat lantaran tak kuasa melawan senyawa kimia beracun yang menempel di tubuhnya. Itu hanyalah secuil contoh betapa manusia lalai menjaga lautnya. Di luar itu masih banyak kecerobohan yang kita lakukan terhadap laut. Peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat yang berkelanjutan. Beberapa permasalahan penting yang mengemuka berkaitan dengan aspek pengembangan masyarakat berkelanjutan adalah: 1) Bagaimana konsep peningkatan kapasitas modal sosial dalam pengembangan masyarakat?; 2) Nilai utama apakah yang diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan, khususnya terkait dengan konsep partisipasi dan hubungan” konseptual antara “Kelembagaan Lokal‟ dan “Kapital Sosial” dalam kerangka Perencanaan Wilayah Partisipatif c. Tujuan Secara umum, tujuan kajian ini adalah untuk menganalisis aspek penting yang terkait dengan peningkatan kapasitas modal sosial dan kualitas pendamping dalam pengembangan masyarakat yang berkelanjutan.
Tujuan khususnya adalah: 1)
Menganalisis konsep peningkatan kapasitas modal sosial dalam pengembangan masyarakat; 2) Mengkaji
nilai-nilai utama dalam pembangunan berkelanjutan,
khususnya terkait dengan konsep partisipasi dan hubungan” konseptual antara “Kelembagaan Lokal‟ dan “Kapital Sosial” dalam kerangka Perencanaan Wilayah partisipatif ( peran awig-awig sebagai Kelembagaan lokal)
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA a. Pengertian Kelembagaan Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil. Israel (1990) memberikan gambaran bahwa pengembangan kelembagaan telah menjadi bagian dari strategi pembangunan pada berbagai negara seiring dengan desakan kalangan LSM. Rockfeller dan Ford Foundation telah memiliki program pengembangan kelambagaan pada tahun 1950-an dan 1960-an, demikian pula dengan USAID yang juga mempunyai program serupa pada dekade setelahnya. Uphoff (1986) memberikan gambaran bahwa selama kurun waktu yang panjang lembaga donor internasional mengakui akan pentingnya pengembangan kelembagaan untuk mencapai tujuan pembangunan. AUSAID dan Bank Dunia telah memberikan pembuktian terhadap pentingnya pengembangan kelembagaan ini, bahkan seringkali proyek yang mengabaikan pengembangan kelembagaan berakhir pada kegagalan. Sebagian besar lembaga donor hanya berkonsentrasi pada pengembangan kelembagaan di tingkat pusat saja. Pemerintah dipandang sebagai sebuah lembaga yang paling mudah disentuh serta merupakan lembaga yang telah memiliki kemampuan dalam manajemen organisasi. Lembaga di tingkat lokal dianggap sebagai bagian “nomer dua” saja dibandingkan lembaga di tingkat pusat atau nasional. Lembaga lokal ini hanya memainkan sedikit peran serta mendapatkan alokasi sumberdaya yang sangat terbatas.
7
Definisi-definisi A. Kelembagaan Lokal
Kelembagaan lebih dipandang sebagai suatu manajemen dan keterkaitan antara sumber daya manusia, keuangan dan hubungan atau sistem kerja antara suatu lembaga dengan lembaga lainnya ( Arturo Israel,1990).
Dalam konteks ini, konsep „lokal‟ mengandung pengertian : pertama, “ikatan sosial” yang berlandaskan territorial dimana masyarakat di daerah tersebut hidup dalam suatu lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua, “ikatan sosial” berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) dimana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu; dan ketiga, “ikatan sosial” yang dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari social capital (kapital sosial) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat.
Pengembangan Kelembagaan Lokal (Norman Uphoff,2000). a) Wilayah aktivitas pengembangan kelembagaan lokal di pedesaan memiliki sifat multi jaringan atau hubungan. b) Pengembangan di bidang (lembaga) sumber daya manusia akan berkaitan dengan lembaga keuangan, lembaga teknologi, lembaga pertanian dan sebagainya. c) Pengembangan kelembagaan juga berkaitan dengan kegiatan dan pengambilan keputusan pada berbagai tingkatan : kelompok (group level), tingkat komunitas dan tingkat kerjasama komunitas dalam suatu wilayah (misalnya pasar tradisional).
8
b. Kapital Sosial
Kapital Sosial
didefinisikan sebagai norma-norma dan jaringan yang
memungkinkan orang untuk bertindak secara kolektif (Michael Woolcock dan Deepa Narayan ,1999).
Kapital sosial penting dalam pembangunan. Capital sosial adalah kunci dalam memobilisasi sumber daya lainnya yang dapat meningkatkan pertumbuhan. Kapital sosial tidak ada dalam ruang hampa politik, sifat dan tingkat interaksi antara masyarakat dan institusi memegang kunci untuk memahami prospek pembangunan di suatu masyarakat tertentu. Kapital sosial dapat berdampak positif dan negative terhadap barang publik.
Implikasi pertama untuk teori pembangunan adalah bahwa konsep kapital sosial menawarkan cara untuk menjembatani perspektif sosiologis dan ekonomi, sehingga memberikan penjelasan yang lebih baik pembangunan, Kedua, sangat penting untuk berinvestasi dalam kapasitas organisasi masyarakat miskin, dan mendukung membangun "bridging" di komunitas dan kelompok sosial penggunaan proses partisipatif dapat memfasilitasi pembangunan konsensus dan interaksi sosial di antara stakeholder dengan kepentingan yang beragam dan sumber daya. Ketiga mendorong kewarganegaraan informasi dan akuntabilitas baik swasta dan aktor publik yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan publik. Keempat, penekanan harus ditempatkan pada peningkatkan akses fisik dan teknologi modern untuk membina pertukaran komunikasi dan informasi di seluruh kelompok-kelompok sosial. Kelima, intervensi pembangunan harus dilihat melalui lensa capital sosial. (Michael Woolcock dan Deepa Narayan,1999)
Kapital sosial mengacu pada sistem yang mengakibatkan atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi seperti pandangan umum, kepercayaan, timbal balik, pertukaran ekonomi dan informasi, dan informal dan kelompok formal dan kelompok asosiasi yang melengkapi capital lainnya (fisik, manusia dan
9
budaya) yang dalam memfasilitasi tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan. 5 komponen : komunitas, jaringan informal, asosiasi, kepemimpinan desa, hubungan dengan lembaga luar/jaringan (Nat J. Colletta, et all ,2000).
Kapital sosial didefinisikan sebagai “suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal-balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economi exchange),kelompok formal dan informal (formal and informal groups , serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi memudahkan
kapital-kapital terjadinya
lainnya
tindakan
(fisik,manusiawi,budaya)
sehingga
kolektif,pertumbuhan ekonomi
dan
pembangunan (Colletta dan Cullen,2000).
Struktural Social Capital : merujuk pada hubungan, jaringan dan asosiasi atau struktur kelembagaan baik vertikal dan horizontal yang berhirarki disebut lembaga
oleh Arturo Israel. Cognitiv social
capital
:
“driving
force”/penggerak yang tidak terlihat seperti nilai, norma, tanggung jawab warga Negara,pertukaran informasi (system) (Norman Uphoff,2000).
Kapital sosial penting bagi pemerintah dan agen pembangunan karena dapat memungkinkan para pengambil keputusan untuk membuat investasi yang meningkatkan
efisiensi
dan
probabilitas
keberhasilan
dan
inisiatif
pengembangan capital social. Kapital sosial ditujukkan oleh orientasi masyarakat pada posititive sum dan saling ketergantungan pada berbagai manfaat (Norman Uphoff,2000).
10
BAB III. PEMBAHASAN
Kerangka teoritis (Theoritical Framework) yang menggambarkan suatu “hubungan” konseptual antara “Kelembagaan Lokal’ dan “Kapital Sosial” dalam kerangka Perencanaan Wilayah Partisipatif
Matrik Kerangka Teoritis Hubungan Kelembagaan Lokal, Kapital Sosial dan Perencanaan Partisipatif Kelembagaan Lokal
Kapital Sosial
Hubungan dengan Perencanaan partisipatif Terdapat 4 dimensi kapital sosial Kelembagaan lokal Kelembagaan Lokal sebagai perspektif yaitu : ditunjang oleh tiga menghasilkan pilar yaitu regulative, 1.Integrasi (integration) kapital sosial. 2. Pertalian (linkage) normative dan Untuk menilai 3.Integritas Organisasional cultural cognitif lemah atau kuatnya (Organizational integrity) (Scott,2008). Kapital sosial 4.”Sinergi (sinergy) Tiga karateristik masyarakat (lokal) kelembagaan lokal yaitu dilihat dari sebagai suatu “Sistem Kapital sosial dan masyarakat kondisi madani dicirikan adanya Organisasi dan kelembagaan lokal. kemandirian dan Kontrol terhadap Dalam perencanaan partisipasi/demokrasi,peningkatan sumberdaya partisipatif berbasis kesejahteraan dan ekonomi. (prasarana)” kelembagaan lokal (Smith,1972) yaitu : dan kapital sosial, 1. Batas yuridiksi hubungannya 2. Property rights berupa proses 3. Aturan transformasi dari representasi (rules kelembagaan of representation) tradisional lokal/traditional Perubahan bersama antara kelembagaan local institution dan organisasi (endogenous) dan sebagai suatu formal-local “Instituional and institution Organizational (exogenous) Coevolution (Carney menjadi traditional dan Gedajlevic,2005). dan formal institutions
11
melahirkan community based development yang akhirnya mewujudkan partipasi dan kemandirian.
Adapun bagan alir dari kerangka teoritis diatas yaitu :
Pemerintah Institutional Incentives : Bonding Bridging Creating Integritas organisasi
Local Govermant Polices
Perencanaan Pembangunan
Sinergi (state-community relation)
Community Based Development Transformasi Institutional Capacity :
Pemberdayaan dan Partisipasi Kelembagaan Lokal
Kapital Sosial : Integrasi dan Pertalian
Contoh kasus Perencanaan Partisipatif Berbasis Kelembagaan Lokal dan Kapital Sosial
Membudayakan Awig-awig Demi Melestarikan Laut Kerusakan pantai dan laut di Indonesia sudah sedemikian parahnya. Berbagai kecerobohan manusia menjadi salah satu penyebab utamanya. Bayangkan, di
12
berbagai daerah masih banyak ditemui nelayan menangkap ikan dengan bom dan racun. Bom tidak hanya menghancurkan ikan yang bukan menjadi target mereka. Lebih dari itu, bom juga merusak dan menghancurkan terumbu karang. Kondisi ini lazim terjadi di pantai-pantai yang memiliki aktivitas tinggi seperti kota-kota di pantai utara Jawa. Lalu, bagaimana mengatasi berbagai fenomena ganjil seperti itu? Kearifan lokal Hukum adat awig-awig tampaknya bisa menjadi jawabannya. Bagi masyarakat Bali dan Lombok, awigawig sudah menjadi bahasa lokal yang sangat populer. Awig-awig adalah aturan-aturan lokal yang berisi berbagai larangan yang berlaku di masyarakat adat setempat. Di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, budaya kearifan lokal ini cukup berhasil dalam menjawab berbagai persoalan terkait dengan pengelolaan potensi laut. Berkat kepiawaian dan kearifan masyarakat lokal itulah, kabupaten ini banyak menjadi pusat perhatian dalam mengelola sumber daya alam laut yang berbasis masyarakat. Berbagai studi pun diarahkan ke sana untuk menguji sampai sejauh mana awig-awig mampu memberdayakan alam dan masyarakatnya. Dengan panjang pantai sekitar 165 km dan dihuni oleh 21 desa pesisir, Lombok Timur memang memiliki segudang kekayaan laut. Namun apa daya, hadirnya nelayan modern dengan alat tangkap mini purse seine pada tahun 1993 memicu konflik dengan nelayan tradisional. Agar pelaksanaan awig-awig dapat dikawal dengan baik maka dibentuklah Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL), KPPL adalah suatu kelembagaan independen dalam mengelola sumber daya pesisir berbasis masyarakat. Kelembagaan buatan masyarakat itu awalnya dibentuk pada tahun 1999 di Teluk Jukung, Teluk Ekas, dan Teluk Serewe. Dinilai sukses, dibentuk lagi KPPL di enam desa lainnya, yakni
Tanjung
Luar,
Pijot,
Jerowaru,
Pemongkong,
Sukaraja,
dan
Batunampar.Sampai sekarang Kabupaten Lombok Timur telah terbentuk lima KPPL di tingkat kawasan dan 21 KPPL di tingkat desa.
13
Hubungan Kelembagaan Lokal, Kapital Sosial dan Perencanaan Partisipatif Membudayakan Awig-awig Demi Melestarikan Laut di Kabupaten Lombok Timur Teori
Empiris
Kelembagaan lokal menghasilkan kapital sosial.
Awig-awig sebagai bentuk kelembagaan lokal di komunitas etnik Lombok dan Bali terkait perlindungan potensi kelautan menghasilkan kapital sosial berupa norma-norma dan jaringan yang memungkinkan orang untuk bertindak secara kolektif . Untuk menilai lemah atau kuatnya Kapital sosial Kondisi kelembagaan lokal awig-awig masyarakat (lokal) yaitu dilihat dari kondisi dalam bentuk perlindungan potensi kelautan di Lombok Timur (dusun Serewe) kelembagaan lokal. mengalami revitalisasi tahun 1994 berbentuk Perdes sehingga memperkuat kapital sosial sebagai salah satu kapital dalam masyarakat etnik Lombok. Dalam perencanaan partisipatif berbasis kelembagaan lokal dan kapital sosial, hubungannya berupa proses transformasi dari kelembagaan tradisional lokal/traditional local institution (endogenous) dan formal-local institution (exogenous) menjadi traditional dan formal institutions.
Proses pembentukan KPPL diilhami oleh awig-awig perlindungan potensi kelautan dusun Serewe berkembang menjadi lintas Komunitas di kawasan Lombok Timur sehingga kelembagaan lokal berupa perlindungan potensi kelautan di komunitas dusun serewe berkembang menjadi tradisional/formal kelembagaan yaitu KPPL.
Dalam komunitas : “Bonding” Kapital Sosial (Integrasi)
Proses integrasi (bonding) terjadi dalam komunitas dusun Serewe Lombok Timur.
Antar Komunitas :) :”Bridging” Kapital Sosial Proses linkage (jaringan)/bridging lintas komunitas terjadi dari satu komunitas Pertalian (linkage) menjadi antar komunitas di dalam kabupaten Lombok Timur. DKP memfasilitasi dalam pembuatan peta “Creating”.Sinergi (sinergy) dengan zonasi potensi kelautan berdasarkan Awig Kelembagaan Publik dan Finansial (relasi Awig yang diformalkan dengan vertikal) pembentukan KPPL sebagai pengawas pelaksanaan awig-awig kelautan.
14
BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan Kelembagaan lokal merupakan institusi dengan tingkat lokalitas yang dicirikan oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat interaksi sebagai pusat pertumbuhan. Kelembagaan lokal yang memberikan nilai tambah dari social capital (kapital sosial) yaitu yang dibangun oleh “ikatan sosial”
berdasarkan
jaringan
sosial
(social
networking).
Jejaring
tersebut
mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan kapital sosial yang bersama-sama saling mendukung untuk mencapai tujuan. Jaringan sosial dan saling percaya (trust) merupakan salah satu unsur penting dari kapital sosial yang merupakan kunci dalam pengembangan masyarakat dalam mewujudkan perencanaan partisipatif. Dari kasus Membudayakan Awig-awig Demi melestarikan Laut di Kabupaten Lombok Timur, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : Implikasi pertama untuk teori pembangunan adalah bahwa konsep kapital sosial berupa Komite Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL) menawarkan cara untuk menjembatani perspektif sosiologis dan ekonomi, sehingga memberikan penjelasan yang lebih baik untuk pembangunan (dalam hal ini perlindungan dan pemanfaatan potensi laut). Kedua, sangat penting untuk berinvestasi (sinergi oleh pemerintah dan komunitas) dalam kapasitas organisasi masyarakat miskin, dan mendukung membangun "bridging" di komunitas dan kelompok sosial penggunaan proses partisipatif dapat memfasilitasi pembangunan konsensus dan interaksi sosial di antara stakeholder dengan kepentingan yang beragam dan sumber daya. Ketiga terjadinya transformasi dari kelembagaan lokal tradisional menjadi kelembagaan tradisional formal atau ikatan sosial berdasarkan teritorial menjadi ikatan sosial berdasarkan jejaring sosial ( terbentuknya KPPL). Hal ini memberikan nilai tambah dari sosial kapital.
15
DAFTAR PUSTAKA Colleta, Nat J dan Michelle LC. 2000. Violent Conflict and The Transformation of Social Capital. Washinton DC. World Bank. Fukuyama, F. 1997. Social Capital. George Mason University; Institute of Public Policy. Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. Jakarta. LP3ES. Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges; Social Capital and Poverty. Washington DC. World Bank. Solihin,akhmadd. 2002. Tesis :Analisis Awig-awig dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.Bogor Uphoff, Norman. 1986. Local Instutional Development; An Alatical Sourcebook. West Hartford. Kumarian Press.
16