KARTUN EDITORIAL MELALUI PENDEKATAN IKONOGRAFI Supriyadi Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abstract A cartoon image that contains a criticism that was published a newspaper or magazine and is published in theopinion section editorial cartoons (editorial cartoon). The journal aims to determine how meaning is contained behind visual configuration objects on the work of cartoonist editorial cartoons by considering political and social conditions and trends in the visual pattern of the work. Through the study of the meaning of editorial cartoons is one of the works of art that can be used as a reference for understanding the social dynamics that were going on in the community. With the approach of the iconography and Erwin Panofsky ikonologi provide three stages of the analysis, the early stage to describe the visual characteristics that seem (preiconographical stage), stages to identify secondary meaning by looking at the relationship between an art motif with the theme, concept, or common meaning to the events raised by an image (stage iconography), and taking into account the stage to interpret the presentation of objects of cartoonists (stage iconology). Keywords: editorial cartoons, iconographic. Abstraksi Sebuah gambar kartun yang mengandung sebuah kritikan yang dimuat sebuah koran atau majalah dan dimuat di rubrik opini adalah kartun editorial (editorial cartoon). Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna yang terkandung dibalik konfigurasi objek-objek visual pada kartun editorial karya kartunis dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan kecenderungan pola visual pada karya tersebut. Melalui kajian makna kartun editorial yang merupakan salah satu karya seni yang dapat dijadikan rujukan untuk memahami dinamika sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Dengan melalui pendekatan ikonografi dan ikonologi dari Erwin Panofsky memberikan tiga tahapan dalam menganalisa, yaitu sebagai tahap awal untuk mendiskripsikan ciri-ciri visual yang tampak (tahap preiconographical), tahapan untuk mengidentifikasikan makna sekunder dengan melihat hubungan antara motif sebuah seni dengan tema, konsep, atau makna yang lazim terhadap peristiwa yang diangkat oleh sebuah gambar (tahap iconography), dan tahapan melakukan interpretasi dengan mempertimbangkan pemaparan mengenai objek dari kartunis (tahap iconology). Kata kunci : kartun editorial, ikonografis.
I. PENDAHULUAN Kritik kartun sebenarnya hanya usaha penyampaian masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang mengkritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri, dengan harapan akan adanya perubahan. Aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun sebenarnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta sejarah bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi mempergunakan kekuatan atau kekuasaan (Anderson, 1990:162).
Dalam mengetahui makna dan pola visual yang terdapat pada kartun editorial karya kartunis, maka pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan ikonografi dan ikonologi. Dalam kajian ini yang menitikberatkan pada penelaahan makna dalam kartun politik, perlu kemampuan dalam menginterprestasikan makna yang terkandung di dalamnya. Sebuah gambar kartun yang mengandung sebuah kritikan yang dimuat sebuah koran atau majalah dan dimuat di rubrik opini adalah kartun editorial (editorial cartoon). Jurnal ini bertujuan 38
untuk mengetahui bagaimana makna yang terkandung dibalik konfigurasi objek-objek visual pada kartun editorial karya kartunis dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan kecenderungan pola visual pada karya tersebut. Pengertian kartun yang sebenarnya adalah meminjam istilah dari bidang fine arts. Kata kartun berasal dari bahasa Italia cartone yang berarti ”kertas”. Kata kartun pertama-tama digunakan untuk menyebut desain atau sketsa dalam ukuran penuh untuk lukisan cat minyak, permadani atau mozaik. Kata tersebut memperoleh arti yang dikenal orang masa kini secara kebetulan. Beberapa desainnya sangat buruk sehingga Punch mereproduksi kartun-kartun yang dimaksudkan untuk desain itu, lalu menerangkannya dengan nada sindiran. Lahirlah kartun Punch, dan kata itupun lalu memperoleh arti barunya. ”Punch” merupakan majalah satir yang menjadi media kritik kebijakan pemerintah yang tidak sesuai aspirasi masyarakat. Sejak saat itu kata ”cartoon” mulai dipakai untuk menyebut gambar sindir (Wagiono, 1983:33). Pengertian kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang. (Setiawan, 2002:34) Terkait dengan pengertian kartun, pendapat GM Sudarta, seperti yang dikutip Alex Sobur (2003:138) menjelaskan bahwa kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu sendiri. Satu hal yang kemudian dapat disimak adalah pernyataan dari Smith (1981:9) : …in fact ’cartoon’ and ’caricature’ are here regarded as exactly synonymous. Apa yang diungkapkan Smith merupakan pendapat yang dapat menjembatani perbedaan mengenai kartun dan karikatur. Dalam The Encyclopaedia of Cartoons (Horn, 1980:15-24), pengertian ”cartoon” dibagi lagi menjadi empat jenis sesuai dengan kegiatan yang ditandainya, yaitu : comic cartoon, gag cartoon untuk lelucon sehari-hari, Political cartoon untuk gambar sindir politik, Animated Cartoon untuk film kartun. Pengertian kartun editorial (editorial cartoon) yang digunakan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga sering disebut kartun politik (political cartoon). Dalam kartun politik, seringkali muncul figur dari tokoh terkenal yang dikaitkan dengan tema yang sedang 39
hangat-hangatnya yang terjadi di dalam masyarakat. Karikatur bisa saja muncul dalam sebuah karya kartun editorial untuk menampilkan tokoh yang disindir (Priyanto,2005:4). II. KAJIAN LITERATUR 2.1. Tinjauan Mengenai Pendekatan Ikonografis Kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi dan simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang. Dengan kata lain, kartun merupakan metafora visual hasil ekspresi dan interpretasi atas lingkungan sosial politik yang tengah dihadapi oleh seniman pembuatnya (Nugroho, 1992:2). Pemakaian metode ikonografi dan ikonologi digunakan dalam menganalisis interpretasi tersebut. Seperti Theo Van Leeuwen mengatakan bahwa ikonografi membedakan tiga lapisan arti gambar : arti/makna gambar (representational meaning), simbolisme ikonografi (iconographycal symbolism), dan simbolisme gambar/ikon (iconological symbolism) (Leeuwen, 2001: 100). Erwin Panofsky menjelaskan dalam ikonografi merupakan kajian yang memperhatikan konfigurasi dari gambar pada suatu karya untuk mengetahui makna yang tersembunyi. Selanjutnya Panofsky memberi tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconographical, iconography, dan iconology. Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui pendekatan iconography (ikonografis) dan iconology (ikonologi) maka sebuah pesan piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Leeuwen, 2001:93). Berasal dari bahasa Yunani, kata iconography, terdiri atas kata aekon yang berarti sebuah gambar dan kata graphe yang berarti tulisan. Ikonografi yang lazim dimengerti sebagai kajian tentang tanda yang memiliki referensi, merupakan sebuah ladang luas yang objeknya kajiannya mencakup berbagai disiplin pemikiran. Ikonografi merupakan cabang dari
sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya). Ikonografi membedakan tiga lapisan arti gambar : arti/makna gambar (representational meaning), simbolisme ikonografi (iconographycal symbolism), dan simbolisme gambar/ikon (iconological symbolism) (Leeuwen, 2001: 100). Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya) (Panofsky, 1939 : 3). Menurut Panosfky, proses menginterpretasi obyek seni dan gambar dapat melalui tiga tahapan, analisis makna secara ikonografi dan ikonologi, yaitu : pertama tahap preiconographical, yakni tahapan untuk mengidentifikasi melalui hal-hal yang lazim dan sudah dikenal (alami). Tahapan ini dapat disebut pemahaman secara faktual dan ekspresional. Pemahaman ini didasarkan atas pengalaman masing-masing individu terhadap suatu objek gambar. Dengan mengamati dengan mengindentifikasi unsur artistik dari objek gambar (konfigurasi tertentu dari garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek keseharian tertentu), hubungan-hubungan yang terjadi pada objek dan identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan pose atau gesture dari objek. Tahapan kedua yaitu tahap iconographical, tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder dengan melihat hubungan antara motif sebuah seni dengan tema, konsep atau makna yang lazim terhadap peristiwa yang diangkat oleh sebuah gambar. Motif-motif yang kemudian dikenali sebagai pembawa makna sekunder disebut sebagai image/citra/wujud. Tahapan ketiga, tahap interpretasi ikonologi. Pada tahapan ini makna yang paling hakiki dan mendasar dari isi sebuah karya kartun benar-benar dipahami. Pemahaman mengenai makna intrinsik yang terdapat dalam sebuah objek diperoleh dengn mengungkapkan prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat menunjukan perilaku sikap dasar dari sebuah bangsa, kurun waktu, strata sosial, ajakan religius atau filosofis tertentu.Memahami ikonologi lebih dari sekedar mencari gejala, tetapi merupakan interpretasi yang mendalam dari pengetahuan teknis mengenai produksi seni, melalui pengetahuan iconographical yang luas menuju sebuah kesimpulan (Ross Woodrow, 1999:3).
III. PEMBAHASAN 3.1. Analisa Karya Kartun Editorial Melalui Ikonografis Pembahasan yang digunakan untuk menganalisis karya kartun editorial melalui tiga tahapan seperti analisis makna secara ikonografi dan ikonologi oleh Erwin Panofsky dimana ketiga tahapan itu berlangsung berurutan. Dalam hal ini mengambil contoh kartun editorial karya T. Sutanto yang dimuat dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia, No. 36 Th. II Pebruari 1967. Gambar 1.J atuhnya Kekuasaan Soekarno, Mingguan Mahasiswa Indonesia, No. 36 Th. II Pebruari 1967, Sumber : Repro Dok. Narsen
Tahapan-tahapan analisis tersebut, yaitu : Tahap preiconographical. Dengan mengamati dengan mengindentifikasi unsur artistik dari objek gambar (konfigurasi tertentu dari garis dan warna, atau bentuk dan material yang merepresentasikan objek keseharian tertentu), hubungan-hubungan yang terjadi pada objek dan identifikasi kualitas ekspresional tertentu dengan melakukan pengamatan pose atau gesture dari objek. Pada tahap ini akan mendeskipsikan ciri-ciri visual yang tampak pada karya kartun editorial yang sudah melalui seleksi. Tahap iconographical. Tahapan untuk menganalisa rangkaian gambar dengan memperhatikan peristiwa yang berhubungan antara karya serta situasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat pada saat itu. Tahap interpretasi Iikonologis. Disini akan melakukan interpretasi dengan mempertimbangkan 40
pemaparan mengenai gambar dari pembuat kartun pada kartun yang bertema tentang turunnya kekuatersebut, disini adalah kartunis. Pada tahapan ini mak- saan Soekarno : na yang paling hakiki dan mendasar dari isi sebuah a. Dilihat dari pesan artifaktual pada kartun ini, terdapat figur yang apabila dilihat ciri-ciri fisik dan karya kartun benar-benar dipahami. Pada karya ini, asesoris pakaian yang dipakainya merupakan benT. Sutanto menempatkan figur Soekarno sebagai figur tuk figur Soekarno. Walau tanpa garis yang detail, yang dominan dengan penggambaran postur yang karakter wajah dan figur Soekarno tampak jelas. lebih menonjol dengan seluruh badan terlihat dibandEkspresi wajah yang ditunjukkan oleh Soekarno ingkan dengan figur-figur lain yang tampil dalam adalah sebagai orator yang ulung dengan semankartun tersebut. Bentuk lain yang menyertai kartun gat yang menyala-nyala. Figur Soekarno dengan politik tersebut antara lain tangan yang besar yang mengenakan peci hitam dan jas menunjukkan peberusaha menggulingkan kekuasaan Soekarno secara san artifaktual sebagai pejabat negara (presiden). sah dan sesuai konstitusional. Berikut adalah cara unPesan fasial dari gambar suatu keadaan yang ironis tuk mengetahui makna yang terkandung pada kartun dimana Presiden Soekarno sedang pidato dengan ini, secara bertahap akan diuraikan berbagai aspek semangat untuk mengagung-agungkan ideologi pada karya kartun. MANIPOL, RESOPIM, dan NASAKOM, tetapi di sisi lain malah berada dalam posisi turun dari 3.2. Deskripsi Preiconographical kekuasaan sebagai Presiden. Dengan posisi gambar horizontal, dalam kar- b. Gambar tangan dan kedua buku merupakan metafora dari keadaan politik pada waktu itu dimana tun ini tampak dua figur manusia. Sosok sentral pada pemerintahan Soekarno sudah melenceng dari kartun ini adalah figur laki-laki dengan memakai peci. ideologi negara. Garis yang cenderung ekspresif Figur laki-laki dalam posisi pengambilan gambar long pada kartun ini lebih ditujukan untuk meyamshoot. Dengan pandangan lurus ke samping dengan paikan pesan secara langsung. Wajah Soekarno bibir yang sedang berpidato. Di kedua tangannya metidak memerlukan teknik karikatural, sehingga megang teks pidato yang berwarna hitam dengan tucenderung simpel dan mudah seseorang pemirsa lisan Program. Garis membentuk kontur dari gambar mampu merepresentasikan bahwa figur tersebut figur yang sederhana namun mengacu pada karakter adalah Soekarno. Kesan ruang dan perspektif wajah seseorang. hanya diperlukan sedikit untuk menunjukkan Dengan posisi di bagian samping kanan figur obyek podium sebagai tempat berdiri Soekarno sebuah tangan besar yang menggunakan pakaian resdengan menggunakan raster untuk menambah mi (setelan jas) berwarna hitam yang sedang berusaha kesan gelap terang (tonality). mengangkat podium yang digunakan Presiden Soekarno untuk berpidato. Gambar tangan diposisikan da- Dari analisa visual terhadap gambar-gambar yang lam gambar dengan pengambilan close up. Untuk hadir pada karya kartun politik ini dapat disimpulkan memberi kesan gerak, maka di sebelah kanan figur ciri-ciri visual sebagai berikut : Soekarno yang sedang terguling ada goresan garis a. Dihadirkan dua pihak yang saling bertentangan yaitu figur Soekarno dan figur Soeharto yang (moving line) untuk memberi efek yang dramatis dan berusaha menjatuhkan kekuasaan Soekarno. dinamis. b. Sosok tangan sebagai representasi rakyat Indonesia dengan kekuatan hukum yaitu UUD’45 dan 3.2. Analisa Iconographical Pancasila. Kartun ini berkaitan dengan momen jatuhnya c. Penggambaran Soekarno ditampilkan long shot, sementara sosok tangan ditampilkan close up. pemerintahan Soekarno dimana masih berusaha memegang pusat pemerintahan tetapi kharisma magis3.2. Interpretasi Ikonologis nya tidak berfungsi lagi. Soekarno akhirnya jatuh dan pada tanggal 12 Maret 1967 melalui MPRS dipaksa Dalam kartun ini ditampilkan dua figur yang menanggalkan semua kekuasaan dan gelar Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. saling berlawanan. Figur pertama adalah figur SoekaTema dari kartun ini adalah memperlihatkan hubun- rno merupakan sosok sentral pada masa Pemeringan antara era Soekarno dengan ideologinya yang tahan orde lama. Sebagai figur yang mendominasi bertentangan dengan UUD’45 dan Pancasila sampai pada waktu itu dengan bentuk pemerintahan Soekaakhirnya jatuh kekuasaan ke Soeharto melalui MPRS. rno (metafora pemegang kekuasaan) yang dinamakan Berikut ini analisa ikonografi dari gambar yang terdapat 41
”Demokrasi Terpimpin”, walaupun prakarsa pelaksanaannya diambilnya bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. T. Sutanto mengkaitkan peristiwa pada saat Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin, yang kemudian dinamai MANIPOL (dari Manifesto Politik). Walaupun secara visual figur Soekarno terlihat utuh (long shot), namun secara keseluruhan tampilan Soekarno cenderung tidak dominan, disini T. Sutanto ingin menggambarkan posisi Soekarno walaupun mempunyai kekuasaan dan kharisma yang tinggi namun tak berdaya dengan kekuatan dari UUD’45 dan Pancasila. Dari penjelasan T. Sutanto terdapat beberapa hal yang menarik mengenai tampilan Soekarno, dimana T. Sutanto mengaku kurang telaten dan tidak mahir seperti dalam penggambaran wajah seorang figur dalam karikatural. Tetapi lebih mementingkan situasi yang mendukung pesan dalam kartun tersebut bukan wajah (karikatur). Seperti figur Soekarno tampil dengan tarikan garis yang simpel namun dengan artifaktual baik pakaian kebesaran (penuh dengan medali penghargaan) dengan peci serta gesture yang mewakili karakter Soekarno, maka T. Sutanto dalam menampilkan figur Soekarno berhasil. Obyek gambar medali penghargaan yang digambarkan sangat banyak di pakaian Soekarno, menurut T. Sutanto sebagai representasi dari sikap Soekarno seperti, otoriter, kepercayaan diri yang besar, gila kekuasaan, pengakuan diri sebagai presiden seumur hidup, dan politik mercusuarnya. Sedangkan figur kedua adalah sosok kedua tangan yang memegang dua buku bertuliskan UUD’45 dan Pancasila sebagai metafora keinginan rakyat Indonesia sebagai penguasa tertinggi. Secara tidak langsung dalam kartun politik, T. Sutanto mengritik Soekarno dengan ideologi-ideologinya yang tidak sesuai dengan kehendak para rakyat yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Soekarno. IV. PENUTUP Kartun editorial lebih mengedepankan pesan dan situasi penggambaran kartun daripada figur atau tokoh yang dimunculkan. Mengenai kandungan kritiknya dalam kartun editorial yang sering lugas, tegas kadangkala pedas, tampaknya dipengaruhi oleh situasi dalam menyikapi kebijakan atau peristiwa yang sedang terjadi. Cara untuk mengetahui makna dan pola visual yang terdapat pada kartun editorial, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ikonografis dan ikonologis. Dalam pendekatan ini
yang menitikberatkan pada penelaahan makna dalam kartun editorial, perlu kemampuan dalam menginterprestasikan makna yang terkandung di dalamnya. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis karya kartun editorial melalui tiga tahapan seperti analisis makna secara ikonografi dan ikonologi oleh Erwin Panofsky dimana ketiga tahapan itu berlangsung berurutan. Erwin Panofsky menjelaskan dalam ikonografi merupakan kajian yang memperhatikan konfigurasi dari gambar pada suatu karya untuk mengetahui makna yang tersembunyi. Selanjutnya Panofsky memberi tahapan dalam menganalisis, yaitu tahap preiconographical, iconography, dan iconology. Dalam kajian ini, faktor kartunis (sebagai pencipta) menjadi penting untuk dibicarakan karena latar belakang, kondisi sosial, dan aspek psikologis berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam menampilkan suatu gambar visual. Namun dalam hal ini, aspek yang diutamakan adalah aspek formal yang membahas aspek kualitas visual yang akan dikaji secara lebih mendalam. Sehingga dari analisis ikonografi dan ikonologi diharapkan akan menghasilkan sebuah hasil yang komprehensif untuk melihat karya kartun editorial dengan mengkaitkan antara pola visual dan makna yang terdapat didalam karya tersebut. DAFTAR PUSTAKA Aly, Rum, 2006, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Mitos dan Dilema : Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1965-1970, Jakarta, Kata Hasta Pustaka, Anderson, Benedict R.O’G, 1990, Language and Power: Exploring Political Culture of Indonesia, Ithaca , Cornell University Press. Bishop, Franklin, 2006, The Cartoonist’s Bible, London, Quarto Publishing plc . Bonneff, Marcel, 1998, Komik Indonesia, , Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. Budiman, Kris, 1999, Kosa Semiotika, Yogyakarta, LKIS ____________, 2003, Semiotika Visual, Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta Liliweri, Alo, M.S. 1994, Komunikasi Verbal dan Nonverbal, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Mahamood, Mulyadi, 1999, Kartun dan Kartunis, Selangor, Stilglow Sdn. Bhd . Mallarangeng, Andi A.,2007, Dari Kilometer 0,0, Indonesia RDI, Jakarta. Masdiono, Toni, 1998, 14 Jurus Membuat Komik, Jakarta, Creative Media, . McCloud, Scott, 2001, Understanding Comics, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 42
Panofsky, Erwin, 1955, Meaning in The Visual Arts, New York, Doubleday Anchor Books . ______________,1939, Studies in Iconology, New York Oxford University Press. Pramoedjo, Pramono R., 2008, Kiat Mudah Membuat Karikatur : Panduan Ringan dan Praktis Menjadi Karikaturis Handal, Jakarta, Creative Media, . Setiawan, Muhammad Nashir, 2002, Menakar Panji Koming, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Sibarani, Agustin, 2001, Karikatur dan Politik, Garda Budaya, Jakarta. Sudarta, GM., 1987, Karikatur Mati Ketawa Cara Indonesia, Prisma, LP3ES, Jakarta. ___________, 2007, 40 Th Oom Pasikom, Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007, Kompas, Jakarta. Suwirya, 1999, Karikatur dan Kritik Sosial Pada Masa Revolusi Indonesia (1945-1947), Jakarta Gramedia, . Tabrani, Primadi, 2005, Bahasa Rupa, Bandung , Penerbit Kelir, .
Sumber lain : Disertasi: Priyanto, S., 2005, Metafora Visual Kartun pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957, FSRD ITB, Bandung.
43