Kartu Kredit dalam Hukum Syariah: Kajian terhadap Akad dan Persyaratannya Azharsyah Ibrahim Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Email:
[email protected] Abstract
Abstrak
The complexity in a single credit card transaction escalates the differences of opinions among the Islamic scholars regarding the legitimacy of utilizing credit cards in Islam. Consequently, the scholars have not yet fully agreed on the type and number of ‘aqads (contracts) that can be used in a credit card transaction. In general, however, most scholars agreed that using a credit card in Islam is acceptable provided that the ‘aqads is not contradicting to the Islamic law. This paper aims to elaborate phases of a single credit card transaction and the type of ‘aqads used in each phase. Using qualitative approach and content analysis method, this study found that at least six types of ‘aqads could be used in credit card transactions, namely kafalah, wakalah, hawalah, murabaha, qardh, and ijarah contract.
Banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit menimbulkan banyak sekali perbedaan pendapat tentang kebolehan penggunaan kartu kredit dalam ajaran Islam. Akibatnya para fuqaha masih berbeda pendapat dalam menentukan jenis dan jumlah akad yang bisa digunakan dalam transaksi kartu kredit. Menurut kebanyakan pendapat, penggunaan kartu kredit diperbolehkan dengan ketentuan akad yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Paper ini bertujuan untuk mengelaborasi jenis-jenis atau tahapantahapan dalam suatu transaksi kartu kredit dan juga mencari jenis akad yang tepat untuk dipakai dalam setiap transaksi tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif and metode analisis isi, penulis menemukan bahwa sedikitnya enam akad bisa digunakan dalam setiap transaksi kartu kredit, yaitu akad kafalah, akad wakalah, akad hawalah, akad murabahah, akad qardh, dan akad ijarah.
Keywords: Credit Card, Business Transaction, Term and Agreement
Pendahuluan Kartu kredit dewasa ini bukan lagi hanya sekedar gaya hidup, tetapi merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun pribadi, mulai dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien hingga biaya kelahiran si kecil, belanja kebutuhan harian atau berlibur bersama keluarga tercinta, dapat di penuhi oleh kartu kredit. Kartu kredit juga menjadi salah satu ciri dari gaya hidup modern yang serba cepat dan efisien.1
1
Bank Negara Indonesia, Kartu Kredit: Memberi Makna dalam Setiap Transaksi, diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/KartuKredit/tabid/162/Default.aspx
89
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, penggunaan kartu kredit merupakan hal yang sangat biasa dan umum digunakan dalam melakukan berbagai jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja, membayar tagihan, bahkan untuk memberikan sumbangan. Di negara tersebut, penggunaan uang kas sudah relatif sangat berkurang sehingga penggunaan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran sudah menjadi kebutuhan masyarakat sebagai pengganti uang yang relatif tidak efisien dan tidak aman untuk dibawa. Disamping faktor praktis tadi, kartu kredit juga berfungsi sebagai jaminan kepercayaan suatu bank atau issuer kepada pemegang kartu dalam hal penggunaan keuangan dari lembaga tersebut. Di Indonesia, bisnis kartu kredit mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah kartu yang beredar saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta kartu yang diterbitkan oleh 21 bank dan lembaga pembiayaan. Para issuer berusaha meningkat jumlah pemegang kartu dengan berbagai macam penawaran yang menarik, baik dari sisi joint-promo maupun fitur.2 Kartu kredit (credit card) dalam bahasa Arab disebut bithaqah i’timan. Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu, sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.3 Sebuah kartu kredit merupakan bagian dari suatu sistem pembayaran kartu plastik yang dikeluarkan kepada para pengguna sistem tersebut. Kartu tersebut memberikan hak kepada pemegangnya (card holder) untuk membeli barang dan jasa yang didasari pada janji si pemegang kartu untuk membayar barang dan jasa 2
Bank Negara Indonesia, BNI Hasanah Card, diakses pada tanggal 17 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/Syariah/BNIHasanahCard/BNIHasanahCard/tabid/376/Default.aspx 3
Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartu-kredit-syariah/
90
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
tersebut pada waktu yang sudah ditentukan.4 Penerbit kartu kredit (issuer) biasanya memberikan suatu batas kredit (credit limit) yang bisa digunakan oleh pemegang kartu untuk membayar tempat-tempat pembelanjaan (merchants) atau bisa juga digunakan sebagai cash advance bagi pengguna. Secara terminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kartu kredit pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko.5 Pada prinsipnya, cara pembayaran kartu kredit ada dua, yaitu pembayaran penuh (full payment) dan tidak penuh (minimum payment). Sistem pembayaran kartu kredit dewasa ini memakai sistem yang kedua yaitu minimum payment. Untuk kartu kredit yang menggunakan sistem full payment biasa dikenal dengan charge card. Charge card mewajibkan pembayaran dilakukan secara penuh tiap bulan atau sebelum jatuh tempo. Sedangkan credit card membolehkan pemegang kartu untuk menunda pembayaran penuh dan hanya wajib melunasi sejumlah pembayaran minimum dengan konsekuensi akan dikenakan biaya tambahan. 6 Jenis-jenis Akad dalam Transaksi Kartu Kredit Penggunaan kartu kredit yang semakin meluas memunculkan beberapa persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul karena banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit sehingga para fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan
4
Sullivan, Arthur. & Steven M. Sheffrin (2003). Economics: Principles in Action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. Hlm. 261. ISBN 0-13-063085-3. 5
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295 6
Wikipedia, Credit Card, diakses pada tanggal 3 Maret 2010 dari website: http://en.wikipedia.org/wiki/Credit_card
91
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibat enam akad, yaitu kafalah, wakalah, hawalah, murabahah, qardh dan ijarah. Pihak Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) berpendapat bahwa status hukum kartu kredit adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi card holders dalam berbagai transaksi. Dengan demikian, menurut DSN – MUI ada tiga akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan ijarah. 7 Lebih lanjut, pihak DSN – MUI menyebutkan bahwa para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil alQur’an, Sunnah dan Ijma’ yang didasari pada firman Allah:
“...dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72). Kata “za’im” di penghujung ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah “kafil” sebagaimana sabda Nabi SAW.: “az-Za’im Gharim” artinya: orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban).8 Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (sukarela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Akan tetapi hal itu sah-sah saja kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah sebagai ungkapan rasa terima kasihnya. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan 7
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card 8
Ibid
92
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.9 Penetapan uang jasa kafalah tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu.10 Menurut Institut Bankir Indonesia, akad kafalah yang dimaksudkan disini adalah akad jaminan yang diberikan oleh penjamin (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung apabila yang ditanggung wanprestasi.11 Akan tetapi, Rafiq Yunus al-Misry tidak setuju jika pihak pengeluar kartu kredit dianggap sebagai kafil (penjamin) kepada pemegang kartu. Anggapan demikian akan menjadikan akad ini sebagai kafalah bi ujr (jaminan dengan pembayaran) melalui bayaran keanggotaan (yang dibayar dalam bentuk iuran tahunan. Bayaran yang demikian tidak boleh dalam Islam karena kafalah sama dengan utang dengan prinsip tabarru’ (tolong menolong). Misry berkesimpulan bahwa aqad seperti ini termasuk kedalam jenis hawalah (pindah utang).12 Sementara ulama yang mengatakan bahwa akad kartu kredit termasuk akad wakalah beralasan bahwa pemegang kartu adalah wakil dari pengeluar kartu agar membayar utangnya pada pedagang atau siapa saja (merchants) yang memberi pelayanan jasa atau boleh juga dikatakan bahwa merchant mewakilkan
9
Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartu-kredit-syariah/ 10
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161.
11
Institut Bankir Indonesia (IBI), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Jembatan, 2002, hlm. 239 12
Rafiq Yunis al-Misry, Bitsaqah al-I’timan Dirasah Syar’iyyah ‘Amaliyah Mujazah, Majalah Majma’, Jilid 1 (7), hlm. 411.
93
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
kepada pengeluar kartu menagih utang dari pembeli barang dalam hal ini pemegang kartu.13 Bagi sebagian ulama yang lain, akad kartu kredit menggunakan murabahah antara card issuer dengan card holder. Card holder sebagai pembeli membeli barang atau jasa dari merchant sebagai wakil issuer. Barang atau jasa tersebut kemudian dijual kembali kepada card holder oleh card issuer secara angsuran. Para fuqaha lain yang berpendapat bahwa transaksi kartu kredit merupakan qardh beralasan bahwa dalam hal ini issuer adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada card holder (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank issuer. Sementara yang menganggapnya sebagai akad ijarah mengatakan bahwa issuer adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap card holder. Atas dasar ini, card holder dikenakan membership fee.14 Transaksi dengan kartu kredit merupakan cara yang relatif baru dalam bermuamalah, sehingga agak susah untuk menentukan jenis akad yang tepat kalau dilihat dari pendapat ulama terdahulu. Semua pendapat diatas tidak memiliki pedoman yang benar-benar tepat dengan jenis-jenis akad yang telah ditetapkan oleh para fuqaha terdahulu.15 Analisis terhadap Persyaratan Awal Kartu Kredit Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, penggunaan kartu kredit tidak hanya memunculkan persoalan mengenai akad saja, akan tetapi juga memunculkan beberapa permasalahan lain dalam hukum Islam yaitu mengenai persyaratan awal atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara sepihak oleh issuer, seperti persyaratan-persyaratan yang berbau riba, jumlah persentase
13
Muhammad Abdul Halim Umar, Jawanib al-Syariyyah wa al-Masrafiyah wa al-Muhasabah li bitsaqat al-I’timan, Qahirah: Itrak li an-Nashr wa al-Tawzi, 1997, hlm. 66. 14
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card 15
Nazaruddin AW, Credit Card Pada Institusi Keuangan Syariah dalam Kajian Fiqh Iqtishad, Media Syariah, vol. VIII, 2007, hlm. 171 – 188.
94
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
yang diambil oleh pihak yang mengeluarkan kartu dan denda keterlambatan.16 Untuk melihat kedudukannya dalam fiqh Islam, ketentuan-ketentuan tersebut perlu dikaji secara komprehensif. 1. Persyaratan berbau riba. Umumnya dalam transaksi penerbitan kartu-kartu kredit mengandung beberapa komitmen yang berbau riba karena pada intinya komitmen tersebut mengharuskan pemegang kartu untuk membayar denda-denda finansial yang berbau riba jika terlambat dalam membayar tagihannya atau jika card holders tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara sepihak oleh pihak issuer pada saat pembuatan/pengajuan kartu kredit. Para ulama fiqh kontemporer berbeda pandangan dalam membahas pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini. Bagi ulama yang membolehkan, transaksi itu dianggap sah—namun komitmennya batal—jika nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Para ulama tersebut membolehkannya dengan mendasarkan kepada: a.
Hadits Nabi SAW tentang pembelian seorang budak oleh Aisyah:
و حدثنا يحيى بن يحيى قال قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر عن عائشة أنها أرادت أن تشتري جارية تعتقها فقال أهلها نبيعكها على أن والءها لنا فذكرت ذلك لرسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقال ال يمنعك ذلك فإنما الوالء لمن أعتق Dari Ibnu Umar, dari Aisyah, bahwa ia ingin membeli seorang budak perempuan untuk dimerdekakan. Pemilik budak itu berkata: “Kami akan menjualnya kepadamu, dengan syarat hak loyalitasnya untuk kami.” Lalu Aisyah RA. menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW. dan beliau bersabda: “Syarat itu tidak dapat menghalangimu, karena hak loyalitas itu hanya untuk yang memerdekakan” (Shahih Muslim).
16
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295
95
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Hadits tersebut berasal dari Aisyah R.A, ketika beliau hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan mensyaratkan bahwa hak wala' (perwalian) budak itu tetap milik mereka. Syarat tersebut bertentangan dengan ajaran syariat karena perwalian menurut syariat merupakan hak orang yang membebaskannya. Hadits diatas menjelaskan bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat terhadap akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia tidak mau untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak harus dibatalkan akibat dari pemaksaan itu dan juga tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya. Akad tersebut tetap bisa dilaksanakan dengan mengupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap dengan syarat tersebut bila dalam suatu masa dimana tidak ada penguasa yang mau atau bisa menegakkan syariat Allah. b.
Kondisi dimana transaksi semacam itu sudah terlalu banyak terjadi di seluruh belahan dunia seperti transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorang ulama pun yang mengharamkan untuk berlangganan dengan fasilitas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat seperti yang tersebut diatas ada di dalamnya.
c.
Sabda Nabi SAW: "Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat." Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal.17
17
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295
96
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Tiga hal diatas merupakan landasan utama bagi ulama yang membolehkan transaksi tersebut diatas dilaksanakan. Sementara bagi ulama yang tidak membolehkan (kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah), transaksi tersebut dianggap batal. Mereka membantah dalil hadits tentang Barirah yang digunakan oleh kubu pertama. Mereka beralasan bahwa qiyas dalam hadits itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Dalam kasus Barirah, syarat (yang bertentangan dengan ajaran syari’at) tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena kejadian tersebut terjadi disaat syariat Islam masih betul-betul menjadi panutan banyak orang dan negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam serta masih memimpin dunia. Hal inilah yang menurut mereka tidak mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pembuatan kartu kredit karena syarat tersebut bersandarkan pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara dan mengingkari referensi suci Islam suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia. Mengenai transaksi pemakaian listrik dan telepon, kelompok ulama ini juga membantahnya dengan beralasan bahwa fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepadanya. Vitalitas hal tersebut tidak bisa dibandingkan dengan kartu kredit karena orang bisa hidup secara wajar atau cukup wajar walau tidak menggunakan kartu-kartu itu. Hal ini akan berbeda jika fasilitas listrik dan telepon—misalnya— tidak dapat digunakan. Penulis dalam hal ini sepakat dengan pendapat Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, bahwa hukum mengenai kartu kredit dengan transaksi yang memunculkan komitmen-komitmen seperti yang tersebut diatas adalah boleh bagi orang yang yakin bahwa ia akan mampu melunasi hutangnya atau membayarkan tagihan kartu kreditnya sebelum atau pada saat jatuh tempo sehingga dengan demikian ia terlepas dari konsekuensi persyaratan itu. 2. Persentase yang dipotong dari transaksi pembelanjaan oleh issuer dari merchant. Seperti diketahui bersama bahwa pihak yang mengeluarkan kartu kredit (issuer) mengambil persentase tertentu dari jumlah pembayaran yang dilakukan
97
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
oleh pemegang kartu (card holders) pada saat melakukan transaksi pembelanjaan. Issuer biasanya tidak membayar jumlah yang dibayarkan oleh card holder seluruhnya seperti yang ada dalam rekening pembayaran, namun issuer akan memotong jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan dengan pihak yang menerima transaksi dengan kartu kredit (merchant). Para ahli fiqh kontemporer berbeda pendapat mengenai kedudukan masalah secara syar'i yang paling tepat berkaitan dengan hal tersebut. Sebagian ahli fiqh ada yang mendudukkan persentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja. Sebagian mengatakan bahwa persentase itu adalah upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank (issuer) kepada pihak pedagang (merchant), seperti periklanan dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Hal ini bisa juga disebut sebagai upah perantara karena issuer sudah membantu mencarikan pelanggan untuk merchant sehingga layak mendapatkan upah karenanya. Sebagian yang lain beranggapan bahwa persentase itu merupakan kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah. Sementara ada juga yang berpendapat bahwa pengambilan persentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga, sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba. Walaupun berbeda pandangan dalam menentukan duduk persoalan, pengkajian fiqh kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan persentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang diberikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya. Dan juga dilakukan agar dapat menarik para pelanggan untuk membeli barang dari merchant tersebut, juga mempermudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak
98
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang. Di beberapa negara seperti Yordania dan Kuwait, pengambilan persentase tersebut dianggap sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, seperti lakunya barangbarang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.18 3. Denda Keterlambatan dan Bunga Riba Issuer biasanya menetapkan beberapa bentuk denda finansial akibat dari keterlambatan pembayaran oleh card holders. Para fuqaha sependapat bahwa denda semacam itu termasuk riba yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi.19 Dalam hukum Islam, hal itu termasuk kedalam riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turunnya ayat al-Qur'an dan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan RasulNya sebagaimana firman Allah dalam QS. AlBaqarah ayat 279:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
18
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&pa rent_id=296&parent_section=an020&idjudul=295 19
Ahmad Zain An-Najah, Konsultasi Fiqh Kontemporer: Hukum Menggunakan Kartu Kredit, diakses pada tanggal 5 Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih/ 10434-hukum-menggunakan-kartu-kredit-
99
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Akan tetapi, menurut fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia No. 54/DSN-MUI/X/2006, issuer dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh issuer akibat keterlambatan yang telah jatuh tempo. Di samping itu, issuer juga dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran (late charge) yang harus diakui seluruhnya sebagai dana sosial. Kajian Syariah terhadap Kebolehahn Kartu Kredit Daud Bakar, seorang profesor di IIUM Malaysia, berpendapat bahwa kartu kredit tidak dikenal dalam Islam, karenanya istilah yang paling tepat digunakan adalah kartu debit.20 Pendapat Daud Bakar tersebut menyangsikan kesyari’ahan kartu kredit karena dilandasi pada analogi bahwa kartu kredit sama dengan menganjurkan orang untuk berutang. Padahal di dalam Islam, berutang merupakan salah satu hal yang tidak dianjurkan. Hal ini merujuk pada banyak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya adalah orang yang mempunyai utang selalu berkata bohong dan selalu tidak pernah menepati janjinya. 21 Oleh karena itu Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa agar dirinya selalu tidak dalam keadaan berutang. Walaupun demikian, Islam menganjurkan agar orang yang kesulitan dalam membayar utang harus diberikan keringanan dalam membayarnya, sebagaimana firman Allah:
20
Hal tersebut diungkapkan oleh Assoc. Prof. Dr. Mohd. Daud Bakar dalam salah satu seminar nasional di Kuala Lumpur pada tahun 2002. Daud Bakar, yang juga merupakan anggota Dewan Syari’ah Nasional Malaysia merupakan salah satu orang yang tidak setuju dengan diberikan label syari’ah pada kartu kredit. 21
Dodik Siswantoro, Kartu Kredit: Antara Kehalalan dan Kebaikannya, diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/opini/artikel/ 1236-kartu-kredit:-antarakehalalan-dan-kebaikannya-
100
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah 280) Jadi, apapun jenis aqad transaksi yang digunakan dalam kartu kredit syari’ah dan sejenisnya baik ijarah, qardh atau wadiah, secara substansi tetap menganjurkan orang untuk berutang. Hal inilah yang mendasari mengapa kartu kredit tidak mungkin dapat disyari’ah-kan.22 Akan tetapi, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang hukum kebolehan kartu kredit, yaitu fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card). Pihak DSN-MUI beralasan bahwa secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam praktiknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit adalah kafalah, qardh, dan ijarah. Walaupun demikian, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh pengguna kartu kredit tersebut, yaitu: (a) Tidak menimbulkan riba, (b) Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, (c) Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan, (d) Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya, (e) Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah. Pertimbangan pihak DSN – MUI dalam mengeluarkan fatwa tersebut adalah dalam rangka memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai, sehingga Bank Syariah dipandang perlu menyediakan sejenis kartu kredit, yaitu alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, 22
Ibid
101
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Pertimbangan lain adalah kartu kredit yang ada sekarang menggunakan sistem bunga (interest) sehingga tidak sesuai dengan prinsip Syariah. Selain itu,
untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat atas kartu yang sesuai Syariah, pihak Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Syariah Card yang fungsinya seperti kartu kredit untuk dijadikan pedoman. Dalam membuat ketentuan ini, pihak DSN – MUI merujuk kepada beberapa dalil di antaranya firman Allah SWT dalam: 1. QS. al-Maidah 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” 2. QS. al-Isra’ 34:
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” 3. QS. Yusuf 72:
102
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." 4. QS. al-Nisa’ 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Selain itu, DSN – MUI juga merujuk kepada Hadits Nabi S.A.W. antara lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR Tirmidzi). Kemudian, “Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah dan al-Daraquthni). Selanjutnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau menshalatkannya. Kemudian dihadap-kan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” Kemudian pada hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban:, “Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”. , selanjutnya
103
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
hadits riwayat Abu Dawud: “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” Juga pada hadits riwayat Abd ar-Razzaq: “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”, kemudian hadits riwayat Muslim: “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”, hadits riwayat Jama’ah: “…Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman…”, dan hadits riwayat Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad: ”Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya serta hadits riwayat Bukhari: “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” Selain kepada al-Qur’an dan al-Hadits, pihak DSN – MUI juga menggunakan beberapa kaidah fiqh sebagai dasar fatwa, antara lain: a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” b. “Kesulitan dapat menarik kemudahan.” c. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” d. “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).” e. “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.” Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78; Khatib Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III, hal. 202; As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-Ijarah, hal. 394; Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, hal. 221-222; Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh
104
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hal. 542-543. Adapun fatwa lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah alMuhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan. Demikian pula fatwa-fatwa DSN-MUI terkait yaitu (a) No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, (b) No.11/DSNMUI/IV/2000 tentang Kafalah, (c) No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah
Mampu
yang
Menunda-nunda
Pembayaran,
(d)
No.19/DSN-
MUI/IV/2001 tentang Qardh; (e) No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh. Sebagai perbandingan dapat pula dilihat fatwa terkait kartu kredit yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425. Penutup Pada bagian akhir tulisan ini akan diberikan beberapa kesimpulan yang didasarkan pada kajian pendapat diatas disertai dengan analisis dari penulis sendiri. Secara umum, menurut kebanyakan pendapat dari ulama-ulama terkemuka bahwa transaksi-traksaksi kartu kredit dapat dimasukkan kedalam akad kafalah, wakalah, hawalah, qardh, dan ijarah. Akad-akad tersebut hukumnya boleh dan penggunaannya disesuaikan dengan transaksi yang terjadi. Akan tetapi, jika dalam praktik—baik syarat maupun unsur utama lainnya—masih terdapat unsur gharar, ghubun dan riba, maka hukumnya menjadi haram. Wallahualam
Daftar Pustaka Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum Kartu Kredit dalam Jual Beli, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.alsofwah. or.id/index.php?pilih=lihatanalisa&parent_id=296&parent_section=an020 &idjudul=295 Ahmad Zain An-Najah, Konsultasi Fiqh Kontemporer: Hukum Menggunakan Kartu Kredit, diakses pada tanggal 5 Maret 2010 dari website:
105
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010
http://www.hidayatullah.com/konsultasi/fiqih/ 10434-hukummenggunakan-kartu-kreditBank Negara Indonesia, BNI Hasanah Card, diakses pada tanggal 17 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/Syariah/BNIHasanahCard/ BNIHasanah Card/tabid/376/Default.aspx -------------, Kartu Kredit: Memberi Makna dalam Setiap Transaksi, diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.bni.co.id/KartuKredit/ tabid/162/Default.aspx Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (2006), Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card Dodik Siswantoro, Kartu Kredit: Antara Kehalalan dan Kebaikannya, diakses pada tanggal 15 Maret 2010 dari website: http://www.hidayatullah.com/ opini/artikel/ 1236-kartu-kredit:-antara-kehalalan-dan-kebaikannyaDaud Bakar, M, Seminar nasional tentang ekonomi syariah, Kuala Lumpur, 2002. Institut Bankir Indonesia (IBI), Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Jembatan, 2002. Muhammad Abdul Halim Umar, Jawanib al-Syariyyah wa al-Masrafiyah wa alMuhasabah li bitsaqat al-I’timan, Qahirah: Itrak li an-Nashr wa al-Tawzi, 1997. Nazaruddin AW, Credit Card Pada Institusi Keuangan Syariah dalam Kajian Fiqh Iqtishad, Media Syariah, vol. VIII, 2007. Rafiq Yunis al-Misry, Bitsaqah al-I’timan Dirasah Syar’iyyah ‘Amaliyah Mujazah, Majalah Majma’, Jilid 1 (7), tt. Setiawan Budi Utomo, Hukum Kartu Kredit Syariah, diakses pada tanggal 20 Januari 2010 dari website: http://www.dakwatuna.com/2009/hukum-kartukredit-syariah/ Sullivan, Arthur & Steven M. Sheffrin, Economics: Principles in Action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall, 2003. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161. Wikipedia, Credit Card, diakses pada tanggal 3 Maret 2010 dari website: http://en.wikipedia.org/wiki/Credit_card
106
Jurnal al-Mu’ashirah, vol. 7, no. 1, 2010