KARAKTERISTIK VEGETATIF ENAM KULTIVAR PADI GOGO LOKAL SULAWESI TENGGARA Abdul Wahab1, dan A. Sabur2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara Jl. Prof. Muh. Yamin No. 89 Kendari, Sulawesi Tenggara 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru – Kalimantan Selatan e-mail :
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi perbedaan karakter vegetatif beberapa kultivar padi gogo lokal Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan di kebun petani di desa Puriala, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara berlangsung mulai bulan Nopember 2009 sampai November 2010. Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Percobaan menggunakan enam kultivar lokal padi gogo Sulawesi Tenggara (pae Endokadia, pae Kori, pae Bakala, pae Enggalaru, pae Loiyo, pae wulo) dan satu varietas nasional padi gogo Situpatenggang dengan 4 (empat) ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik ke tujuh kultivar yang diuji menunjukkan adanya perbedaan diantaranya: warna pelepah (hijau, garis-garis ungu dan ungu), bulu pada permukaan daun (berbulu dan tanpa berbulu), bentuk lidah daun (cleft dan acute), perilaku batang (rebah, lemah dan kuat). Rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada kultivar pae Bakala, rata-rata diameter batang terbesar pada kultivar pae Wulo, rata-rata jumlah anak per rumpun terbanyak diperoleh pada varietas Situ Patenggang. Sedangkan karakter warna daun, teliga daun, leher daun, lidah daun/ligula, warna lidah daun, dan perilaku helai daun pada ke tujuh kultivar yang diuji tidak memperlihatkan perbedaan. Kata Kunci : Karakteristik vegetatif, padi gogo, kultivar lokal Sulawesi Tenggara
Pendahuluan Sulawesi Tenggara memiliki potensi lahan kering yang cukup luas. Menurut data BPS Sulawesi Tenggara tahun 2013, luas lahan kering di daerah ini mencapai 2.228.02 ha. Luas lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk pertanaman padi gogo di Sulawesi Tenggara seluas 10.620 ha yang tersebar di kabupaten/ kota yaitu Konawe Selatan, Bombana, Buton, Muna, Buton Utara, dan Bau-Bau (Distan Sultra, 2013). Secara umum budidaya padi gogo (Oryza sativa L.) dilakukan di lahan kering yang sepanjang hidupnya tidak digenangi air dan sumber kebutuhan airnya berasal dari kelembaban tanah yang berasal dari air hujan. Karena kebutuhan air yang hanya bergantung pada kelembaban tanah menyebabkan investasi irigasi tidak diperlukan seperti pada padi sawah. Sumarno dan Hidayat (2007) mengemukakan beberapa keuntungan padi gogo diantaranya adalah : 1) mampu memanfaatkan hara yang tersedia dalam tanah dengan efisien dan toleran terhadap pH rendah, sehingga kebutuhan investasi awal untuk ameliorasi tanah dapat diminimalisasi, 2) biaya produksi dan kebutuhan tenaga kerja relatif rendah, 3) penyiapan lahan pertanian Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 249
tidak memerlukan pembangunan prasarana khusus seperti saluran irigasi, pencetakan lahan, bendungan dan lain-lain, sehingga tidak perlu investasi besar. Sementara keuntungan spesifik diantaranya adalah: 1) panen padi gogo terjadi lebih awal dibandingkan dengan padi sawah, pada periode paceklik atau saat persediaan bahan pangan masyarakat pedesaan menipis, 2) hasil panen padi gogo dapat berfungsi sebagai bufer ketahanan pangan regional dan lokal, pada waktu stok beras di pasar menipis, 3) harga jual relatif tinggi karena terjadi pada waktu stok beras di pasar rendah dan panen tidak terjadi secara bersamaan pada areal yang luas. Sulawesi Tenggara selain memiliki potensi lahan yang cukup luas untuk pengembangan padi gogo, juga memiliki plasma nutfah padi gogo lokal yang secara tradisional telah ditangkar dan dibudidayakan oleh petani di berbagai kabupaten. Penangkaran dan penamaan kultivar lokal tersebut disesuaikan dengan kebiasaan masingmasing petani. Keragaman kultivar lokal dapat dilihat dengan morfologi padi yang memiliki bentuk yang cukup bervariasi seperti warna kulit, warna bulu, dan besar bulir. Meskipun demikian kajian mengenai keragaman genetik padi gogo lokal belum banyak dilakukan khususnya di Sulawesi Tenggara, akibatnya informasi keragaman genetik dan potensi hasil kultivar tidak tersedia. Kurangnya informasi mengenai daya hasil kultivar lokal menjadi salah satu sebab mengapa produksi padi gogo lokal masih rendah. Sementara kebutuhan akan karbohidrat bagi masyarakat semakin meningkat. Sebagai sumber karbohidrat utama maka produksi padi menjadi penting bagi perekonomian nasional dan lokal. Ketika produksi padi terganggu maka akan terjadi berbagai dampak ekonomi dan sosial di masyarakat, seperti tingginya harga beras dan terjadinya kerawanan pangan. Oleh karena itu, setiap faktor yang mempengaruhi produksi padi sangat penting untuk diperhatikan, termasuk produksi padi gogo yang dapat membantu penyediaan pangan di tingkat lokal bahkan nasional. Produksi padi gogo masih rendah dibandingkan dengan produksi padi sawah. Seperti yang ditunjukkan data Departemen Pertanian (2008) luas panen padi gogo tahun 2007 baru mencapai 1,1 juta ha dengan produksi 2,93 juta ton dan produktivitas 2,7 ton/ha. Kondisi ini menyebabkan kontribusi padi gogo terhadap padi nasional masih rendah, yaitu sekitar 5 - 6%. Menurut Sadimantara, et al., (2009) kontribusi padi gogo terhadap luas pertanaman padi di Sulawesi Tenggara baru sebesar 10% dari total penanaman padi yang ada. Sementara kontribusi produksi baru mencapai 5% dari total 420.411 ton produksi padi di Sulawesi Tenggara. Lebih lanjut dijelaskan produktivitas padi gogo di Sulawesi Tenggara hanya sebesar 1,85 ton/ha. Umumnya kultivar lokal memiliki daya hasil dan mutu benih yang rendah yang disebabkan oleh karakter vegetative yang tidak mendukung. Petani padi gogo menanam varietas lokal yang berdaya hasil rendah dan menggunakan benih produksi sendiri dari hasil panen pertanaman musim sebelumnya. Pengamatan terhadap mutu benih yang digunakan menunjukkan hanya 50% yang mempunyai mutu yang baik (daya berkecambah > 80% dan vigor > 70%) (Wahyuni et al., 1999). Oleh karena itu pencarian kultivar lokal yang memiliki potensi daya hasil dan bermutu tinggi serta umur genjah merupakan jawaban untuk meningkatkan kontribusi padi gogo terhadap padi sawah. Di beberapa daerah telah dilakukan seleksi sejumlah 288 varietas unggul nasional, kultivar lokal dan introduksi serta galur-galur murni koleksi, dan telah mendapatkan sejumlah varietas yang dapat digunakan sebagai tetua untuk pembentukan genotipe unggul bermutu tinggi (Suwarto et al., 1996). Karakterisasi, keragaman vegetatif kultivar lokal belum pernah dilakukan di Sulawesi Tenggara. Koleksi kultivar lokal yang telah dilakukan menunjukkan bahwa beberapa kultivar tersebut memiliki karakter vegetatif yang berbeda-beda. Karakterisasi yang telah
Abdul Wahab dan A. Sabur : Karakteristik vegetatif enam kultivar padi gogo lokal Sultra | 250
dilakukan memberikan gambaran karakter vegetatif dan genetik yang ada pada beberapa varietas lokal di Sulawesi tenggara. Oleh karena itu, karakterisasi morfologi kultivar padi gogo lokal perlu dilakukan untuk mengungkap karakter vegetatif di Sulawesi Tenggara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan karakter vegetatif beberapa kultivar padi gogo lokal Sulawesi Tenggara.
Metodologi Penelitian dilaksanakan di kebun petani di Desa Puriala, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Nopember 2009 hingga Januari 2010. Padi gogo kultivar lokal Sulawesi Tenggara yang digunakan dalam kajian ini ada enam yaitu (1) Pae Endokadia, (2) Pae Kori, (3) Pae Bakala, (4) Pae Enggalaru, (5) Pae Wulo, dan (6) Pae Loiyo, sedangkan sebagai pembanding (kontrol) digunakan varietas padi gogo nasional yaitu Situ Patenggang; dipupuk dengan dosis 90 kg N, 75 kg P 2O5 dan 75 kg K2O; pengendalian gulma, hama dan penyakit berturut menggunakan herbisida glifosat, insektisida karbofuran, deltametrin 25 g/l, rodentisida Klerat RM-B, dan Sipermetrin. Adapun alat-alat yang digunakan adalah cangkul, hand traktor, alat semprot tipe knapsack sprayer, waring, meteran, mistar geser, kantong plastik, kantong kertas, pisau, gunting, timbangan analitik, alat tulis menulis dan kamera. Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). dengan enam perlakuan yaitu Pae Endokadia, Pae Kori, Pae Bakala, Pae Enggalaru, Pae Loiyo, Pae Wulo dan satu varietas nasional Situ Patenggang) dan 4 ulangan. Karakter yang diamati mengikuti petunjuk Daradjat et al., (2006) dan Anonim (1994 dan 2006) yaitu: Warna pelepah (hijau, ungu muda, garis-garis ungu dan ungu); Warna daun (hijau muda, hijau, hijau tua); Bulu pada permukaan daun (tidak ada, lemah, sedang, kuat, sangat kuat); Telinga daun ( tidak ada, ada); Leher daun (tidak ada, ada); Lidah daun/ Ligula (tidak ada, ada); Bentuk lidah daun (truncate, acute, cleff); Warna lidah daun (tidak berwarna, hijau, ungu muda, garis-garis ungu, ungu); Panjang helai daun; Lebar helai daun; Perilaku helai daun (tegak, agak tegak, horizontal, melengkung); Perilaku batang (tegak, agak tegak, terbuka, agak terbuka, menyebar); Ketebalan batang; Tinggi tanaman (tidak termasuk malai); dan Jumlah anakan per rumpun. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara statistik. Analisis ragam dilakukan dengan membandingkan F. hitung dengan Pr>F pada tingkat kepercayaan 95%. Selanjutnya dilakukan pemisahan nilai tengah dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) (Steel dan Torrie, 1993).
Hasil dan Pembahasan Karakterisasi Hasil karakterisasi yang diamati mengikuti petunjuk Daradjat et al., (2006) dan Anonim (1994 dan 2006) pada pengujian enam kultivar padi gogo lokal Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada Tabel 1. Karakteristik ke tujuh kultivar/varietas menunjukkan adanya perbedaan seperti: karakter warna pelepah, kultivar pae Enggalaru menunjukkan warna Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 251
garis-garis ungu, varietas Situpatenggang berwarna warna ungu, sedangkan kultivar yang lainnya berwarna hijau; karakter bulu pada permukaan daun, kultivar pae Kori, pae Bakala, pae Wulo, dan varietas Situpatenggang menampakkan permukaan daun berbulu, dan kultivar yang lainnya tidak memiliki bulu pada permukaan daun; bentuk lidah daun acute hanya pada varietas Situpatenggang dan bentuk lidah daun cleft ditunjukkan pada kultivar pae Kori, pae Enggalaru, pae Endokadia, pae Bakala, pae Wulo, dan pae Loiyo (Lampiran 40); karakter perilaku batang rebah diperlihatkan pada kultivar pae Kori, pae Enggalaru, pae Bakala, dan pae Wulo; perilaku batang yang kuat pada pae Endokadia, pae Loiyo dan varietas Situpatenggang. Tabel 1. Karakterisasi kultivar/varietas padi gogo Karakter Warna pelepah Warna daun Bulu pada permukaan daun Telinga daun
Pae Kori Hijau Hijau
Kultivar/Varietas Pae Pae Pae Pae Enggalaru Endokadia Bakala Wulo Garis-garis Hijau Hijau Hijau ungu Hijau Hijau Hijau Hijau Tanpa bulu
Berbulu Tidak ada Ada
Tidak ada
Leher daun Ada Lidah daun/ Ada Ada ligula Bentuk lidah Cleft Cleft daun Warna lidah Tidak Tidak daun berwarna berwarna Perilaku Agak Agak helai daun tegak tegak Perilaku Rebah Lemah batang
Pae Loiyo
Situ patenggang
Hijau
Ungu
Hijau
Hijau
Berbulu
Tanpa bulu
Berbulu
Ada
Tidak ada Ada
Tidak ada Ada
Tidak ada Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Cleft
Cleft
Cleft
Cleft
Acute
Tanpa bulu Berbulu Tidak ada
Tidak ada Ada
Tidak berwarna
Tidak Tidak Tidak Tidak berwarna berwarna berwarna berwarna Agak Agak Agak Agak tegak Agak tegak tegak tegak tegak Kuat
Rebah
Rebah
Kuat
Kuat
Secara umum dapat dicatat bahwa setiap kultivar memiliki respon yang berbeda nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun. Sementara untuk peubah diameter batang, panjang daun dan lebar daun tidak memberikan pengaruh yang nyata. Masing-masing peubah yang diamati akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Tinggi Tanaman (cm) Berdasarkan hasil analisis ragam rata-rata tinggi tanaman diperoleh bahwa kultivar yang diujikan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 1 – 11 MST. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 1 – 11 MST dapat dilihat pada Gambar 1. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 1 – 9 MST tertinggi diperoleh pada pae Endokadia sedangkan pada umur 10 dan 11 MST tertinggi diperoleh pada pae Bakala (126,40 cm). Rata-rata tinggi tanaman terendah (104,10 cm) pada umur 1 – 11 MST diperoleh pada varietas Situpatenggang (Gambar 1). Abdul Wahab dan A. Sabur : Karakteristik vegetatif enam kultivar padi gogo lokal Sultra | 252
Gambar 1. Grafik rata-rata tinggi tanaman pada umur 1 – 11 MST Austin (1993) menyatakan bahwa karakter morfologi, seperti tinggi tanaman, ukuran daun, bentuk kanopi tanaman, relatif mudah diidentifikasi dan dihitung, tidak berubah dalam waktu singkat dan heritabilitasnya tinggi. Berdasarkan pada hasil penelitian ini kultivar pae Bakala memiliki rata-rata tinggi (126,4 cm) yang berbeda dengan kultivar yang lain. Adanya perbedaan rata–rata tinggi tanaman pada sebagian kultivar yang diuji disebabkan oleh perbedaan genetik. Hal ini sesuai pendapat Mildaerizanti (2008) bahwa perbedaan tinggi tanaman lebih ditentukan oleh faktor genetik. Disamping dipengaruhi oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh tanaman. Apabila lingkungan tumbuh sesuai bagi pertumbuhan tanaman maka dapat meningkatkan tinggi dan produksi tanaman. Keadaan lingkungan yang bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain, dan kebutuhan tanaman akan keadaan lingkungan yang khusus akan mengakibatkan keragaman pertumbuhan tanaman. Pertambahan ukuran tanaman cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Oleh karena itu karakter tersebut paling sering digunakan oleh peneliti tanaman dalam studi pewarisan sifat. Sifat morfologi tanaman umumnya dikendalikan secara genetik, sehingga berpeluang untuk dimanipulasi. Hal ini dimungkinkan karena sifat morfologi ini mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sifat morfologi yang diamati dengan bertambahnya umur tanaman menunjukan tidak adanya perbedaan nyata antara kultivar yang diuji untuk peubah diameter batang, panjang helai daun, dan lebar helai daun tanaman dengan lingkungan tumbuh yang dicirikan dengan tingkat kesuburan yang rendah, yang mana kandungan N: 0,12%; K2O: 6 ppm; pH : 4,41 serta KTK 8,0 Ms/100g dan kondisi iklim yang kurang mendukung terutama pada curah hujan yang rendah 0,05 – 6,72 mm/bulan. Hal ini sesuai yang diutarakan oleh Ceccarelli (1994) heritabilitas pada lingkungan rawan biotik pada umumnya lebih rendah dibandingkan pada lingkungan optimum. Walaupun karakter morfologi mempunyai nilai heritabilitas tinggi, kondisi lingkungan berpengaruh terhadap hubungan antara arsitektur tanaman dengan daya hasil. Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 253
Arsitektur tanaman yang baik dan memberikan hasil yang tinggi pada suatu kondisi lingkungan belum tentu baik untuk kondisi lingkungan lainnya. Oleh karena itu manipulasi struktur kanopi tanaman, perlu dikaitkan dengan lingkungan tumbuhnya. Demikian juga untuk kondisi lingkungan dengan intensitas radiasi rendah. Habitus tanaman yang diuji menunjukan keragaman pada variabel tinggi tanaman, memberikan dampak naungan terhadap kultivar yang memiliki tinggi tanaman yang rendah (Gambar 1). Kondisi ini sejalan dengan pernyataan Wong dan Wilson (1980); dan Smith (1982) bahwa habitus tanaman padi yang tumbuh pada kondisi ternaungi lebih tegak dengan daun sedikit terkulai, gejalah tersebut sebagai bentuk mekanisme adaptasinya terhadap intensitas radiasi yang rendah. Struktur kanopi mempengaruhi pertumbuhan dalam dua hal, yaitu (1) berkaitan dengan distribusi dan intensitas penyerapan radiasi matahari dan (2) berkaitan dengan perubahan morfologi, fisiologi dan perkembangan tanaman. Menurut Gent (1995), struktur kanopi juga mempengaruhi intersepsi radiasi matahari, pertukaran gas dan fotosintesis. Efisiensi pemanfaatan radiasi pada padi juga dipengaruhi oleh posisi dan susunan daun serta umur tanaman (Las, 1982; Cabuslay et al., 1995). Selanjutnya Osaki et al., (1995) melaporkan bahwa distribusi karbon pada berbagai organ pada stadia pematangan pada tanaman padi dipengaruhi oleh intensitas radiasi. 2. Diameter Batang, Panjang Daun, dan Lebar Daun Tabel 2. Rata-rata diameter batang, panjang daun, dan lebar daun pada kultivar/varietas padi gogo Perlakuan
Diameter batang
Panjang Daun
Lebar Daun
(kultivar/varietas)
(cm)
(cm)
(cm)
Pae Kori
0.47a
48.65a
1.47a
Pae Enggalaru
0.58a
49.94a
1.62a
Pae Endokadia
0.58a
58.53a
1.63a
Pae Bakala
0.63a
50.04a
1.67a
Pae Wulo
0.65a
53.68a
1.75a
Pae Loiyo
0.57a
50.48a
1.61a
Situpatenggang
0.56a
35.11a
1.34a
2=0.09
2=11.57
2=0.25
3=0.10
3=12.14
3=0.27
4=0.11
4=12.50
4=0.27
5=0.11
5=12.74
5=0.28
6=0.11
6=12.93
6=0.28
DMRT 0.05
7=0.11 7=13.06 7=0.29 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan pae Wulo, pae Bakala, pae Endokadia, pae Enggalaru, pae Loiyo, Situpatenggang dan pae Kori memiliki rata-rata diameter batang terbesar sampai terkecil masing-masing secara berturutturut 0,65 cm, 0,63 cm, 0,58 cm, 0,58 cm, 0,57 cm, 0,56 cm, dan 0,47. Pae Endokadia Abdul Wahab dan A. Sabur : Karakteristik vegetatif enam kultivar padi gogo lokal Sultra | 254
memperlihatkan rata-rata panjang daun terpanjang (58,53 cm), sedangkan varietas Situpatenggang mempunyai panjang daun terpendek (35,11 cm). Pae Wulo menampakkan rata-rata lebar daun terlebar (1,75 cm) sedangkan varietas Situpatenggang menunjukan lebar daun tersempit (1,34 cm). 3.
Jumlah Anakan Per Rumpun
Hasil uji pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Situpatenggang memiliki jumlah anakan per rumpun terbanyak (43,65 anakan) yang berbeda nyata dengan semua perlakuan, sedangkan pae Wulo mempunyai jumlah anakan per rumpun paling sedikit (10,85 anak) yang berbeda nyata dengan perlakuan pae Enggalaru dan varietas Situpatenggang. Tabel 3. Rata-rata jumlah anakan per rumpun, jumlah anakan produktif, dan anakan produktif pada kultivar/varietas padi gogo
persentase
Perlakuan (kultivar/varietas) Pae Kori Pae Enggalaru Pae Endokadia Pae Bakala Pae Wulo Pae Loiyo Situpatenggang
Jumlah Anakan Per Rumpun (anak) 11.75bc 15.90b 12.55bc 13.70bc 10.85c 13.05bc 43.65a 2=3.99 3=4.18 4=4.31 DMRT 0.05 5=4.39 6=4.45 7=4.5 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa: 1.
Karakteristik dari tujuh kultivar/varietas menunjukkan adanya perbedaan diantaranya: warna pelepah (hijau, garis-garis ungu, dan ungu); bulu pada permukaan daun (berbulu dan tanpa berbulu); bentuk lidah daun (cleft dan acute); perilaku batang (rebah, lemah dan kuat); rata-rata tinggi tanaman tertinggi pada kultivar pae Bakala; rata-rata diameter batang terbesar pada kultivar pae Wulo; dan rata-rata jumlah anak per rumpun terbanyak pada varietas Situ Patenggang.
2.
Semua kultivar/varietas yang diuji tidak memperlihatkan perbedaan terhadap karakter warna daun, teliga daun, leher daun, lidah daun/ligula, warna lidah daun, dan perilaku helai daun.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 255
Daftar Pustaka Anonim, 1994. Koleksi dan karakterisasi plasma nutfah pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Anonim, 2006. Deskripsi varietas unggul baru padi dan palawija. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Austin, R.B. 1993. Augmenting yield-base selection. In: Plant breeding-Principles and prospects, edited by M.D. Hyward, N. O. Basemark and I. Romagosa, Chapman and Hall. p. 391-405. BPS Sulawesi Tenggara, 2013. Sulawesi Tenggara dalam angka. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, Kendari. Cabuslay, G.S., B.S. Vergara, and R.U. Quintana. 1995. Low light stress: Mechanism of tolerance and screening method. Philippine Journal of Crop Science. 16(1): 39 production. John Wiley and Sons.618pp. Ceccareli, S. 1994. Specific adaptation and breeding for marginal conditions. Euphytica 77:205-219. Daradjat, A.A., Suprihatno, B., dan Nafisah, 2006. Pedoman konservasi dan aktualisasi potensi varietas padi lokal. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, 2008. Basis data pertanian. Diakses dari http://database.deptan.go.id/bdspweb/bdsp/hasil_koma tanggal 25 September 2010. Gent, M. P. N. 1995. Canopy light interception, gas exchange and biomass in reduced height isolines of wenter wheat. Crop. Sci. 35:1636-1642. Las, I. 1982. Effesiensi radiasi surya dan pengaruh naungan fisis terhadap padi gogo. Tesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor. Mildaerizanti. 2008. Keragaan beberapa varietas padi gogo di daerah aliran sungai Batanghari. http://katalog.pustaka-deptan.go.id/~jambi/ getfile2.php? src=2008/pros53f. pdf&format= application/pdf. Tanggal akses 25 Nopember 2010. Osaki, M. I. Makoto, Y. Satoshi, and T. Toshiaski. 1995. Effect of matual shading on carbon distribution in rice plant. Soil Sci Plant Nutr 41(2):235-244. Sadimantara, G.R, Leomo, S., Suliartini, N.W.S, dan M. Jaya, 2009. Perakitan padi gogo unggul lokal berpotensi produksi tinggi dan tahan terhadap cekaman lingkungan. Laporan Pelaksanaan Penelitian Intensif Riset Unggulan Strategis Nasional. Smith, H. 1982. Light Quality. Photoperception and plant strategy. Ann.Rev.Plant Phisiol, 33:481-518. Steel, R.G.D., dan Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan prosedur statistik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 hal.
Abdul Wahab dan A. Sabur : Karakteristik vegetatif enam kultivar padi gogo lokal Sultra | 256
Sumarno dan Hidayat, J.R. 2007. Perluasan padi gogo sebagai pilihan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 N0.1 : 26-40 Suwarto, Sunarto, Darjanto, Totok, A.D.H dan Farid, N. 1996. Seleksi kultivar-kultivar padi gogo toleran aluminium dalam rangka perakitan varietas padi gogo toleran tanah masam. Fakultas Pertanian Unsoed. Purwokerto. Wahyuni, S., U.S. Nugraha dan T.S. Kadir. 1999. Evaluasi teknik pengelolaan dan mutu benih padi gogo di tingkat petani. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol 8 (1):1-5. Wong, C. C, and J. R. Wilson. 1980. Effect of shading on the growth and nitrogen content of grain panicle. AUS. J. Aric. Res, 31:269-289.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 257