TINJAUAN PUSTAKA Teluk adalah suatu kawasan laut yang menjorok ke daratan dan merupakan salah satu bagian integral dari ekosistem pesisir (Day et al. 1989). Ekosistem ini memiliki karakteristik unik akibat interaksi air laut, air tawar, daratan, dan atmosfer. Parameter lingkungannya bersifat komplek dan dinamis. Castro dan Huber (2005) menyatakan ada beberapa tipe kawasan pesisir yaitu coastal plain estuaries, bar-built estuary, dan tectonic estuaries. Teluk dapat berupa bar-built estuaries. Teluk pada setiap lokasi memiliki karakteristik lingkungan yang khas, sesuai dengan bentuk dan topografinya. Teluk berdasarkan letaknya dapat dibedakan menjadi dua yaitu teluk yang tertutup dan teluk yang terbuka. Teluk yang terbuka memiliki topografi yang berhadapan langsung dengan laut terbuka. Ukuran teluk seperti tersebut biasanya besar, seperti Teluk Jakarta. Teluk tertutup biasanya ukurannya kecil dan tertutup oleh gugusan pulau, gosong karang, dan atau gosong pasir yang terbentuk sebagai akibat aktivitas hidrooseanografi.
Karakteristik Umum Sedimen Kawasan Teluk Analisis fauna yang terdapat pada sedimen menunjukkan bahwa karakteristik sedimen dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lingkungan alamiah (Brooks et al. 2002), termasuk diantaranya adalah faktor fisik-kimia perairan. Faktor yang mempengaruhi seperti redoks potensial (EhpH), pH, dan air jebakan sedimen di sedimen. Pengaruh parameter tersebut menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan kelimpahan organisme. Umumnya senyawa di ekosistem laut dapat dibagi menjadi dua, yaitu senyawa terlarut yang berukuran kurang dari 0,5 µm dan tidak terlarut yang berukuran lebih dari 0,5 µm. Senyawa ini dihasilkan oleh organisme hidup melalui proses metabolisme dan aktivitas ekstraseluler mikroorganisme. Peranan penting senyawa tersebut di dalam ekologi laut adalah sebagai sumber energi, sumber bahan keperluan bakteri, tumbuhan maupun hewan, sumber vitamin, sebagai zat yang dapat mempercepat dan menghambat pertumbuhan sehingga memiliki peranan penting dalam mengatur kehidupan plankton di laut.
8 Senyawa dalam ekosistem laut bersumber dari sungai, sebagian besar tidak terlarut di laut. Selain itu, juga dihasilkan oleh beberapa organisme seperti fitoplankton, makroalga dan bakteri kemoautotrofik. Produksi utama ini dihasilkan oleh fotoautotrofik nanoplankton (diameter 2,0 – 20 μm). Jumlahnya berkisar 10% dihasilkan dari tanaman dalam bentuk senyawa, berat molekulnya rendah seperti asam amino, asam trikarboksilik. Hasil ini dengan cepat dimanfaatkan oleh bakteri. Senyawa-senyawa kimia di sedimen dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kondisi utama lingkungan yang merubah komposisi senyawa di sedimen antara lain pH, redoks potensial, air jebakan sedimen atau interstitial water (IW), bahanbahan alami yang berasal dari sistem itu sendiri (autothonous inputs), dan kegiatan yang dilakukan oleh hewan-hewan akuatik (Chester 1990; Millero dan Sohn 1992). Faktor lain yang juga mempengaruhi antara lain produktivitas primer dan sekunder perairan, temperatur, masukan bahan dari luar sistem sedimen perairan (allochthonous inputs), limbah yang berasal dari manusia (anthropogenic inputs), dan kondisi hidrologi (hydrologic variables). Kondisi dan daya dukung kawasan dipengaruh oleh tekstur sedimen. Tekstur sedimen kasar menyebabkan sedimen bersifat aerobik dengan redoks potensial yang tinggi (+). Tetapi, tekstur sedimen halus cenderung bersifat anoksik dengan redoks potensial sedimen yang rendah mencapai 20,68 - 22.29 mV (Brooks et al. 2002) dan stratifikasi sedimen akan semakin jelas, serta diikuti oleh penurunan daya dukung kawasan tersebut. Teluk merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang unik, karena merupakan pertemuan dua ekosistem (ecotone). Masuknya bahan-bahan dari daratan melalui sungai mempengaruhi kondisi lingkungan teluk, baik kolom air maupun sedimen. Teluk juga merupakan bagian dari zona transisi yang rentan terhadap pengaruh dari ekosistem besar di sekitarnya. Kawasan seperti ini disebut dengan zona transisi yang kritis atau critical transition zone (CTZ). Kondisi teluk terutama yang kondisinya agak tertutup memungkinkan terjadinya penumpukan bahan-bahan organik yang tinggi pada sedimen, seperti pada tipe daerah rawa pantai dan pesisir.
9 Kondisi sedimen di wilayah yang dimanfaatkan sebagai lahan budidaya, dipengaruhi oleh kegiatan yang berlangsung tersebut. Bahan-bahan alami yang masuk ke sedimen dalam bentuk sisa penguraian oleh aktivitas mikroba tidak nyata menurunkan kadar BOD, karena proses penghancurannya memerlukan waktu yang lama dan kontinuitas sinergi mikroba. Berbeda jika yang masuk adalah feses yang berasal dari limbah budidaya ikan akan mempercepat penurunan kadar BOD di perairan. Kondisi sedimen sendiri akan mengalami perubahan yang cepat dari bersifat aerobik menjadi anaerobik. Keadaan lingkungan pada kawasan pemanfaatan pada umumnya relatif mengalami penurunan kualitas bila dibandingkan dengan kawasan yang bebas dari pemanfaatan. Perbedaan yang tidak besar terjadi pada kualitas kolom air, apabila sirkulasi air berjalan dengan lancar. Sesuai dengan kondisi hidrooseanografi dan topografi pantai suatu kawasan. Sedimen yang berperan sebagai sistem penampung relatif lebih stabil, hal ini mengakibatkan bahan-bahan yang memasuki wilayah akan terakumulasi alam jangka waktu lama. Kondisi teluk yang topografinya memiliki pembatas yang berupa gosong-gosong juga akan menambah kestabilan sedimen tersebut. Daerah yang memiliki tingkat sedimentasi yang tinggi, perairannya kurang mampu menyebarkan sedimen yang masuk ke dalam kawasan tersebut secara merata (Danovaro et al. 1998). Akibatnya sedimen akan mengendap pada suatu titik tertentu dan terjadi akumulasi yang meningkat dengan cepat. Daerah pemanfaatan untuk budidaya berpotensi sebagai penghasil utama bahan organik di lingkungan. Bahan organik tersebut dapat berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Kurang lebih 20% makanan yang diberikan hilang dan terdistribusi ke lingkungan, kemudian 26% makanan tersebut akan direproduksi menjadi kotoran ikan. Penggunaan teknik manajemen pakan yang baik pun sisa pakan yang akan menjadi penyebab polusi masih mencapai 11,4%, hal ini terjadi pada budidaya ikan trout. Penelitian mengemukakan bahwa terdapat 150 kg material padat dan 3 kg fosfor yang mengkontaminasi lingkungan pada setiap satu metrik ton panen ikan salmon. Jadi tidak dapat dikesampingkan bahwa budidaya perikanan memberikan kontribusi yang besar pada pemasukan bahan organik
10 padat ke sistem perairan, dan pada saat terjadi proses mineralisasi dapat juga sebagai sumber nutrisi yang penting (Henrichs 1992). Tekstur sedimen mempengaruhi penyebaran, komposisi, dan jumlah mikroorganisme. Holme dan McIntyre (1971) berdasarkan skala Wentworth mengklasifikasikan
sedimen
berdasarkan
ukuran
partikelnya
(Tabel
1).
Pengendapan sedimen atau sedimentasi ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kecepatan arus sungai, kondisi dasar sungai, turbulensi, densitas sedimen, bentuk sedimen, dan diameter sedimen (Libes 1992). Tabel 1 Klasifikasi dan ukuran sedimen berdasarkan skala Wentworth. Nama Partikel Ukuran (mm) 1. Batuan (Boulder) 256 2. Batuan bulat (Cobble) 256 – 64 3. Batuan kerikil (Pebble) 64 – 4 4. Butiran (Granule) 4–2 5. Pasir paling kasar (Very coarse sand) 2–1 6. Pasir kasar (Coarse sand) 1 – 0.5 7. Pasir sedang (Medium sand) 0.5 – 0.25 8. Pasir halus (Fine sand) 0.25 – 0.125 9. Pasir sangat halus (Very fine sand) 0.125 – 0.0625 10. Debu (Silt) 0.0625 -0.0039 11. Liat (Clay) kurang dari 0.0039 Sumber : Holme dan McIntire (1971)
Karakteristik Fisik Sedimen Kawasan budidaya yang intensif memiliki dampak yang sangat besar terhadap kondisi fisik sedimen yang berada di bawahnya. Masuknya limbah dalam jumlah besar dan terus-menerus menyebabkan daya dukung suatu kawasan menjadi menurun. Kemampuan asimilasi semua komponen yang berada dalam sedimen memiliki keterbatasan apabila masukan bahan-bahan asing terutama organik. Tekstur sedimen sangat menentukan juga daya dukung terhadap limbah yang masuk. Semakin kasar tekstur sedimen maka kemampuan untuk menerima limpahan limbah semakin besar. Hal ini berkaitan dengan kondisi oksidatif sedimen. Kondisi yang oksidatif menyebabkan hasil degradasi bahan-bahan organik tidak akan bersifat toksik akan tetapi bisa lebih bermanfaat bagi organisme akuatik pada umumnya.
11 Berbeda halnya dengan tekstur sedimen halus dimana daya dukungnya terhadap masukan limbah relatif lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh sudah ada konsentrasi bahan organik yang harus di dekomposisi sebelumnya. Masukan limbah apalagi dalam jumlah banyak dan konstan akan menyebabkan keadaan anoksik pada sedimen. Kondisi seperti ini menyebabkan hasil dekomposisi bahanbahan organik kebanyakan bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kualitas sedimen suatu perairan bisa dilihat dari warna yang dimilikinya. Warna sedimen berkaitan erat dengan tekstur sedimen. Tekstur sedimen akan mempengaruhi warna sedimen. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kandungan sedimen itu sendiri, masing-masing senyawa memiliki warna yang berbeda dengan senyawa yang lain. Warna sedimen berkaitan erat dengan beberapa hal yaitu, sedimen awal pantai tersebut, konsentrasi unsur dan senyawa yang ada di dalamnya, keadaan lingkungan di sekitarnya, dan tekstur sedimen. Sedimen awal pantai biasanya sangat tergantung dari daratan yang ada di sekitarnya, apabila pantai tersebut berada pada daratan besar sehingga warnanya cenderung lebih gelap. Apabila pantai tersebut berada pada kepulauan yang kecil-kecil maka sedimennya cenderung berwarna lebih cerah dan terang, karena sedimen berasal dari pelapukan karang. Kandungan unsur dan senyawa juga sangat berperan memberi warna yang khas pada sedimen. Unsur-unsur yang berbeda memiliki panjang gelombang warna tertentu yang apabila terakumulasi dalam jumlah tertentu mempengaruhi secara signifikan warna sedimen, misalnya banyak senyawa besi akan memberikan warna yang relatif merah pada sedimen demikian juga dengan unsurunsur yang lain akan memberikan warna yang khas pada sedimen bila dalam jumlah yang besar. Pantai dengan ekosistem utama yang lengkap terdiri atas ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang, memiliki ciri khas bahwa pantai tersebut dalam kondisi yang relatif baik maka warna sedimennya pun akan berbeda. Warna yang ditimbulkan menyesuaikan dengan kehadiran organisme yang ada baik itu tumbuhan, hewan, maupun mikroorganismenya. Berbeda halnya dengan pantai yang tidak lengkap, maka sedimennya menimbulkan warna yang berbeda.
12 Indikator lain yang bisa dipakai untuk menilai kondisi sedimen adalah dari bau, masing-masing kondisi sedimen memiliki bau yang berbeda. Pada kondisi yang oksik (aerob) maka yang banyak dihasilkan adalah unsur nitrogen yang akan lebih bersifat volatil sehingga sangat mudah menghilang di dalam sedimen menuju ke kolom air bahkan udara. Berbeda dengan kondisi anoksik atau kekurangan oksigen, menimbulkan bau yang tidak sedap bagi manusia. Pengelompokan ukuran partikel atau fraksi sedimen bisa menggunakan skala Wenworth (Tabel 1), selain itu juga bisa menggunakan pedoman dari USDA (United States Department of Agriculture). USDA mengelompokkan fraksi sedimen dalam tujuh kategori (Tabel 2). Pedoman lain yang bisa digunakan adalah pedoman internasional (Tabel 3) dari ISSS system (International Soil Science Society System). Kedua badan tersebut membandingkan persentase fraksi liat, debu, dan pasir untuk mengetahui tekstur sedimen. Brower et al. (1990) menyatakan perbandingan tersebut kemudian dianalisis menggunakan Segitiga Millar (Gambar 3). Tabel 2 Kategori ukuran partikel sedimen menurut USDA Kategori Liat (clay) Debu (silt) Pasir sangat halus (very fine sand) Pasir halus (fine sand) Pasir sedang (medium sand) Pasir kasar (coarse sand) Pasir sangat kasar (very coarse sand)
Diameter partikel mm µm < 0,002 <2 0,002 – 0,05 2 – 50 0,05 – 0,10 50 – 100 0,10 – 0,25 100 – 250 0,25 – 0,5 250 – 500 0,5 – 1,0 500 – 1000 1,0 – 2,0 1000 - 2000
Tabel 3 Kategori ukuran partikel sedimen menurut ISSS Kategori IV III II I
Diameter partikel mm µm < 0,002 <2 0,002 – 0,02 2 – 20 0,02 – 0,2 20 – 200 0,20 – 2,0 200 – 2000
13
Gambar 3 Segitiga Millar (sumber: Brower et al. 1990)
Karakteristik Kimia Sedimen Sedimen memiliki ciri dan struktur yang berbeda dengan kolom air. Strukturnya yang padat menyebabkan sedimen memiliki stratifikasi konsentrasi unsur atau elemen dan proses-proses yang jelas. Salah satu yang keunikan dari sedimen adalah memiliki karakteristik kimia yang khas, terutama di kawasan pesisir. Pengaruh ekosistem daratan dan laut menyebabkan sedimen pesisir memiliki rentangan nilai parameter kimia yang relatif besar dan beragam. Ada beberapa parameter yang menonjol dalam perubahan komposisi elemen atau unsur di sedimen kawasan pesisir yaitu pH, redoks potensial, dan IW. Elemen atau unsur
14 yang mendominasi bionutrisi di sedimen antara lain karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P).
pH (asam-basa) sedimen. Kondisi asam basa atau pH memiliki pengertian operasional sebagai aktivitas ion hidrogen. Rentangan normal pH di ekosistem laut berkisar antara 7,5 – 8,4. Pada daerah pesisir yang memiliki muara sungai rata-rata pH linkungannya kurang lebih 8,4 (Chester 1990). Nilai pH tersebut mengindikasikan ekosistem laut khususnya kawasan pesisir bersifat basa (lebih dari 7) dan banyak terdapat OH- sebagai ion yang menandakan suatu larutan bersifat basa. Sillen (1963) diacu dalam Chester (1990) menyatakan bahwa berdasarkan skala waktu geologi pH di kendalikan oleh kesetimbangan antara kolom air dan mineral alami yang ada di sedimen. Lingkungan
pesisir
yang
dipengaruhi
oleh
dua
ekosistem
besar
menyebabkan fluktuasi dan rentangan pH tinggi. Terdapat perbedaan nilai pH yang besar pada daerah-daerah yang tidak luas, terutama pada daerah yang berhadapan langsung dengan daratan atau daerah yang berhadapan langsung dengan lautan terbuka. Nilai pH juga dipengaruhi oleh faktor fisik sedimen, berkaitan dengan konsentrasi bahan-bahan organik yang ada di sedimen. Semakin kecil ukuran butiran sedimen pH cenderung menjadi lebih rendah (asam), demikian juga sebaliknya (Alongi 1998). Perubahan nilai pH akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini juga akan mempengaruhi sebaran mikroorganisme yang metabolismenya tergantung pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut (Odum 1994). Sebagian besar mikroorganisme sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH yang berbeda pada setiap jenis yang berbeda. Nilai pH mempengaruhi prosesproses biokimia perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi 2003).
15 Redoks potensial atau Oxidations - Reductions Potential (ORP) Redoks petonsial menggambarkan aktivitas elektron di dalam sistem perairan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan suatu sistem untuk mengantarkan elektron suatu lokasi ke lokasi lainnya. Keadaan dengan banyak kehilangan elektron disebut dengan kondisi oksidasi, apabila banyak menerima elektron disebut dengan kondisi reduksi. Potensi pengurangan oksigen atau redoks diukur dengan ukuran milivolt yang disebut dengan skala eH. Skala ini merupakan pengukuran terhadap aktivitas elektron sedangkan pH mengukur aktivitas proton (Odum 1994). Konsentrasi oksigen di sedimen berhubungan erat dengan nilai redoks potensial (eH) sedimen. eH-pH berkorelasi dengan kondisi habitat dasar, terutama berhubungan dengan konsentrasi bahan organik dan oksigen. Nilai eH lebih kurang 400 mV, konsentrasi oksigen berkisar 410 mg/lt. Nilai eH lebih kurang 300 mV, nilai oksigen 0,3 mg/lt. Nilai eH kurang dari 200 mV oksigennya 0,1 mg/lt. Nilai eH dibawah nol maka nilai oksigen tidak terukur (Rhoads 1974 diacu dalam Razak 2002). Kondisi oksidasi reduksi menggambarkan bahwa di perairan selalu terjadi perpindahan elektron secara terus menerus sebagai akibat berbagai aktivitas di dalamnya. Aktivitas yang berperan utama dalam perubahan kondisi oksidasi reduksi adalah proses pelapukan oleh enzim maupun oleh bakteri yang ada dalam sistem tersebut. Chester (1990) mengemukakan bahwa hanya sedikit elemen yang terlibat langsung secara dominan pada proses reduksi-oksidasi. Elemen-elemen tersebut antara lain karbon, nitrogen, oksigen, sulfur, besi, dan mangan. Komponen atau bahan yang masuk ke dalam sistem perairan, akan mengalami
perubahan-perubahan
secara
kimiawi.
Perubahan
tersebut
menimbulkan perubahan komposisi transpor elektron yang ada di dalam sistem. Komponen
dan
komposisi
yang
berbeda
dari
masing-masing
bahan
mempengaruhi kelimpahan jumlah elektron selama proses penguraian tersebut. Bahan-bahan organik mempengaruhi kondisi oksidasi-reduksinya, ini berkaitan dengan proses-proses yang akan berlangsung seperti denitrifikasi, fermentasi, amonifikasi, asimilasi dan fiksasi. Proses itu sendiri banyak melibatkan proses
16 pemindahan elektron dari suatu bentuk menjadi bentuk yang lainnya (organik menjadi anorganik) Kawasan budidaya dengan limbah organik yang tinggi, terutama berasal dari ekskresi ikan dan sisa pakan. Sifatnya yang padat menyebabkan terjadi endapan yang cukup tinggi pada sedimen. Endapan-endapan tersebut akan bergantung pada daya dukung dari kawasan teluk tempat budidaya. Daya dukung suatu kawasan bergantung pada berbagai macam faktor antara lain kondisi hidrooseanografi, topografi pantai, keberadaan sungai, tekstur sedimen, dan ekosistem yang ada di sekitar kawasan teluk.
Air Jebakan Sedimen atau Interstitial Water (IW) Air jebakan sedimen (IW) merupakan air laut yang terjebak dalam sedimen. Air tersebut terikat secara kimiawi maupun fisik dengan partikel-partikel sedimen. Sebagian besar elemen atau unsur yang ada di dalamnya berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi lebih komplek dan berlangsung secara konstan. Selain itu, ada interaksi yang intensif antara sedimen dengan kolom air di atasnya (Millero dan Sohn 1992). Stratifikasi IW jelas pada setiap kedalaman, ini terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi pada setiap kedalaman berbeda. Pada akhirnya elemen atau unsur yang terkandung pada setiap strata juga akan berbeda. Salah satu fungsi penting IW adalah sebagai media dalam siklus unsur dan senyawa dalam ekosistem perairan. Perubahan unsur dan senyawa baik mineralisasi maupun pelapukan berlangsung efektif dan cepat dalam IW (Chester 1990). Kondisinya yang cenderung tenang dan tidak banyak pergerakan menyebabkan proses-proses fisik, kimia dan biologis berlangsung efisien. Hasil proses-proses tersebut kemudian diendapkan dan atau dilarutkan kembali ke dalam kolom air melalui mekanisme interaksi sedimen dengan kolom air (watersedimen interaction).
17 Karbon Organik (C-org) Karbon adalah salah satu elemen utama yang diperlukan mikroba, sehingga keberadaan karbon di ekosistem laut pengaruhnya dominan terhadap ekologi mikroba. Laut mendominasi sumber karbon pada biosfer planet bumi, termasuk di sedimen. Munn (2004) menyatakan konsentrasi karbon di laut kurang lebih 4 x 1013 ton (47 kali lebih besar dibandingkan dengan atmosfer, dan 23 kali konsentrasi karbon di daratan). Konsentrasi karbon di laut bersumber dari dalam laut itu sendiri dan masukan dari atmosfer dalam bentuk CO2, serta terdistribusi sebagian besar di sedimen dalam bentuk endapan. Sumber karbon yang di laut berbentuk sederhana seperti CO, CO2, CH4, dan juga berbentuk molekul komplek seperti senyawa-senyawa organik. Bentuk senyawa organik seperti karbohidrat, asam amino, asam-asam lemak, peptida, dan asam organik diperlukan oleh kelompok heterotrofik. Bakteri golongan heterotrofik mengeluarkan (mengekskresikan) enzim untuk mendegradasi molekul komplek menjadi molekul yang lebih sederhana, sehingga bisa dimanfaatkan. Proses ini berguna untuk bisa memasukkan unsur karbon ke dalam sel melalui metode transpor khusus yang dimiliki oleh bakteri. Pada kawasan yang memiliki konsentrasi bahan organik tinggi bakteri heterotrofik memiliki peluang lebih besar untuk berkembang dengan cepat, berkaitan dengan tersedianya sumber nutrisi yang melimpah di lingkungan. Konversi karbon dalam laut terjadi melalui beberapa proses yaitu fotosintesis, respirasi, dan pembakaran dalam sel. Transfer karbon dalam bentuk CO2 terutama di laut dalam bentuk bikarbonat (HCO3-), konsentrasi di laut mencapai 0.002 M (Stanier et al. 1976).
Nitrogen (N) Chester (1997) menyatakan bahwa keberadaan nitrogen di kawasan perairan dapat berupa: a) molekul organik; b) campuran garam-garam inorganik, seperti nitrogen nitrat (NO3--N), nitrit nitrogen (NO2--N), dan amoniak (NH3-N); c) jajaran dari komponen organik karbon yang berasosiasi dengan organisme, seperti asam amino dan urea; dan d) partikel-partikel nitrogen. Unsur ini berperan sebagai
18 salah satu sumber energi utama dan sekunder dalam metabolisme organisme produsen. Konsentrasi alamiah nitrogen pada sedimen relatif dalam persentase yang tinggi 20%-50% (Pantoja dan Lee 2003). Alongi (1998) menyatakan bahwa siklus dan keberadaan nitrogen (nitrogen flow), dipengaruhi oleh komposisi dan kelimpahan mikroba serta kecepatan tumbuhnya, daya serap tumbuhan yang ada di sekitarnya, temperatur, redoks potensial dari sedimen, dan tekstur sedimen. Konsentrasi nitrogen di sedimen berkorelasi negatif dengan ukuran butiran sedimen, semakin kecil butiran maka konsentrasi nitrogen akan semakin tinggi. Semakin kecil ukuran butiran sedimen maka konsentrasi bahan organik tinggi, karena konsentrasi organik tinggi cenderung memiliki unsur nitrogen yang tinggi. Sebaliknya dengan ukuran butiran yang kasar maka akan menyebabkan sedikit adanya konsentrasi bahan organik yang ada pada area tersebut dan ini juga berarti bahwa konsentrasi nitrogen juga rendah (Henrichs 1992). Transformasi nitrogen oleh aktivitas mikroorganisme meliputi lima proses utama (Effendi 2003), yaitu asimilasi nitrogen anorganik, fiksasi gas nitrogen menjadi amonia dan nitrogen, nitrifikasi, amonifikasi nitrogen organik, dan denitrifikasi. Kondisi aerobik akan meningkatkan kecepatan degradasi nitrogen yang ada di sedimen. Senyawa nitrogen biasanya berada paling atas dari lapisan sedimen, karena untuk degradasi sisa tumbuhan dan hewan yang mati untuk diuraikan menjadi N memerlukan keadaan yang oksidatif. Ketebalan setiap lapisan relatif tidak signifikan untuk mengkondisikan suatu syarat untuk bakteri dan senyawa tertentu mendominasi. Keadaan sedimen yang berada di perairan dalam mempengaruhi ketebalan setiap lapisannya. Hal ini berhubungan dengan tekanan dan masukan oksigen yang bisa mencapai dasar perairan. Laju akumulasi dan jenis bahan yang masuk ke sistem sedimen tersebut juga berpengaruh secara signifikan terhadap ketebalan setiap strata sedimen (Gambar 4). Nitrogen memiliki beberapa bentuk yang bisa dimanfaatkan langsung oleh mikroorganisme seperti ammonium (-3), nitrat (+3), dan urea (+5). Bentuk amoniak banyak dimanfaatkan oleh berbagai macam bakteri terutama golongan pengoksidasi ammonia (ammonium-oxidizer). Rata-rata pemanfaatan amoniak di lingkungan oleh bakteri adalah 40 %, sedangkan secara alami pemanfaatan nitrat tidak terlalu besar karena pertimbangan faktor efisiensi energi. Nitrat untuk bisa
19 dimanfaatkan memerlukan proses penguraian amoniak menjadi nitrit dan kemudian nitrat yang bisa dimanfaatkan secara langsung (Kirchman 2003).
Gambar 4 Stratifikasi sedimen berdasarkan kedalaman serta konsentrasi senyawa-senyawa kimia pada setiap kedalaman. Pada sedimen sampai saat ini belum ada laporan yang menyebutkan secara jelas mengenai tingkat asimilasi nitrogen secara umum, yang ada hanya parsial pada suatu kawasan tertentu (Gambar 5). Perkiraan para ilmuan menyebutkan mungkin tingkat asimilasinya mungkin lebih besar lagi dibandingkan dengan kolom air. Pada kawasan perairan dangkal nilai yang besar tersebut juga bergantung dari seberapa besar masukan bahan organik ke dalam sedimen tersebut, sedangkan pada kawasan laut dalam lebih tergantung pada faktor keberadaan oksigen. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi dan distribusi
20 nitrogen antara lain temperatur, unsur inhibitor, cahaya, konsentrasi sedimen, dan konsentrasi oksigen.
Gambar 5 Model Aliran Nitrogen di Alam (Alongi 1998)
Fosfor (P) Salah satu unsur yang merupakan komponen utama selain karbon (C) dan nitrogen (N) sebagai nutrisi penting bagi organisme laut adalah fosfor (P). Komposisi dan keberadaan unsur P di lautan berkaitan dengan kehadiran unsur C, N, dan S serta elemen kelumit lainnya. Konsentrasi fosfor yang kaitan dengan aktivitas mikroorganisme khususnya bakteri sampai saat ini belum jelas diketahui, tetapi diperkirakan karena aktivitas eksoenzim dari bakteri merupakan salah satu sumber kehadiran senyawa-senyawa fosfor di sedimen. Di ekosistem laut bentuk senyawa fosfor yang umum ditemukan adalah ortofosfat, posfolipida, dan glukofosfat. Komposisi fosfor di ekosistem perairan laut sangat terkait dengan kondisi dari lingkungan itu sendiri. Proses yang berhubungan dengan pembentukan senyawa fosfor tergantung pada jumlah komposisi mikroorganisme yang ada. Pada kolom air, saat kondisi oksigen yang cukup maka kecendrungan konsentrasi
21 fosfor tidak berubah terlalu besar, kecuali setelah berada pada kedalaman lebih dari 100m kehadiran fosfor hampir tidak ada (Gambar 6). Pada kolom air yang bersifat anoksik, fosfor berkurang secara cepat, bahkan setelah kedalaman 60 m tidak ditemukan lagi fosfor (Poulomi 2005).
Gambar 6 Konsentrasi fosfor pada kolom air berdasarkan kedalaman. Perilaku fosfor pada sedimen yang cukup mengandung oksigen (aerob) memperlihatkan konsentrasi yang konstan. Penyebaran jumlah senyawa fosfor juga relatif merata pada setiap kedalaman. Pada keadaan oksidatif senyawa yang banyak terdapat pada sedimen adalah polifosfat, P-ester, dan fosfonat. Kondisi yang oksidatif juga memungkinkan terjadinya pelarutan ion-ion fosfor (high benthic P-fluxes) yang lebih tinggi ke dalam kolom air (Gambar 7). Senyawa fosfor pada kawasan pemanfaatan untuk budidaya sebagian besar bersumber dari sisa pakan (66-85%) yang tidak dimakan oleh organisme yang dibudidayakan maupun organisme alami yang ada di sekitar lingkungan tersebut (Silvert 1994a diacu dalam Brooks et al. 2002). Levings diacu dalam Brooks et al. (2002) menyatakan berdasarkan perhitungan matematis menyatakan bahwa
22 kurang lebih 188,6 ton fosfor mengalir ke dalam wilayah laut British Columbia yang berasal dari sisa makanan budidaya salmon. Pada kawasan budidaya konsentrasi fosfor rendah pada air laut tapi pada sedimen cenderung cukup tinggi, fosfor inorganik dapat mengalami tranformasi pada kondisi anoksik, pH rendah dan diserap oleh tumbuhan (Gianluigi et al. 2003). Bakteri heterotrofik membutuhkan fosfor dalam bentuk ortofosfat dalam jumlah yang banyak, diserap langsung dari lingkungannya seperti di laut dan perairan tawar. Persentase rata-rata penyerapan unsur fosfor ini oleh bakteri mencapai 60% dari total keseluruhan persediaan fosfor di lingkungannya. Perhitungan ini didapatkan dari hasil penelitian di perairan tawar, sedangkan di laut masih belum ada laporan yang dikemukakan tetapi secara teori nilai tersebut sepertinya akan berlaku sama di kawasan laut. Hasil perhitungan tersebut didapatkan dari analisis radiolabel terhadap fosfor yang diserap oleh bakteri di lingkungannya. Ukuran fosfor yang diserap di lingkungan oleh bakteri berkisar antara kurang dari 1,0 atau 0,8 µm. Mikroorganisme lainnya seperti fitoplankton menyerap lebih sedikit berkisar pada angka 24-46%. Jadi yang paling dominan menggunakan fosfor di lingkungan adalah bakteri (Kirchman 2003).
Gambar 7 Konsentrasi fosfor dalam sedimen
23 Bakteri pada Sedimen Bakteri merupakan organisme uniseluler yang termasuk dalam kingdom monera dalam klasifikasi organisme seluler. Bakteri termasuk dalam kelompok prokaryotik yaitu organisme yang belum memiliki pembungkus inti sel, dengan inti sel yang menyebar di dalam sitoplasma. Kelompok ini terdiri atas dua grup besar yaitu cyanobacteria dan bakteri. Bakteri dibagi lagi atas dua kategori yaitu eubakteria dan arkhaebakteria. Umumnya bakteri memiliki tiga bentuk yang utama, bulat (coccus), batang (bacillus), dan spiral (spherical). Bentuk-bentuk tersebut bisa mengalami modifikasi, sehingga bakteri di alam tidak hanya uniseluler tetapi juga berbentuk rantai panjang akibat ikatan satu individu bakteri dengan yang lain. Hampir semua tempat di Bumi bisa didiami oleh bakteri, karena bakteri memegang peranan yang sangat penting dalam jaring-jaring kehidupan. Biomassa atau populasi bakteri mungkin merupakan merupakan faktor penentu ekologi bakteri. Perhitungan biomassanya merupakan hal yang penting untuk mengetahui jaring makanan dan siklus biogeokimia (Ferla et al. 2004). Peranan utama bakteri adalah sebagai dekomposer sisa organisme lain dan sebagai salah satu elemen yang berperan dalam siklus mineral di laut (Kennish 1990). Stabili dan Cavallo (2004) menyatakan bahwa pada ekosistem laut komposisinya beragam antara satu jenis dengan jenis yang lain, sebagai contoh persentase mikroorganisme yang ada di laut Mediterania (Tabel 4). Di perairan laut bakteri berada di kolom air maupun di sedimen dan bisa memegang peranan yang beragam. Fungsi bakteri adalah sebagai pemicu proses diagenesis dan sebagai sumber makanan bagi organisme pada tropik level yang lebih tinggi. Kehadiran bakteri memberikan pengaruh yang nyata terhadap sedimen habitatnya, terutama pada ketersediaan unsur karbon. Peranan-peranan tersebut melalui tiga proses yaitu bottom-up control, biogeochemical process, dan top-down control (Oevelen et al. 2006). Limbah yang berasal dari kawasan budidaya yang intensif mengandung bahan organik yang tinggi. Bahan-bahan tersebut berasal dari sisa pakan, metabolit, hasil ekskresi, dan limbah organisme yang mati. Bahan organik
24 tersebut secara alami bisa didegradasi oleh mikroorganisme yang ada di sedimen, termasuk bakteri. Perubahan yang terjadi pada bahan-bahan tersebut bisa dalam dua bentuk yaitu penguraian dari bentuk kasar dan padat menjadi bentuk-bentuk senyawa sederhana yang bisa terlarut dalam kolom air dan terjadi mineralisasi oleh bakteri sedimen. Tabel 4 Persentase mikroorganisme di ekosistem laut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Bakteri Persentase 16 Aeromonas Bacillus spp. 14 11 Enterobacteriaceae Cocci Gram (+) 10 9 Phobacterium 8 Cytophaga 6 Acinetobacter 6 Pseudomonas 4 Flavobacterium Flexibacter 4 Chromobacterium 3 Moxarella 3 3 Vibrio Yeast 2 1 Alcaligenes Sumber : Stabili dan Cavallo (2004)
Proses penguraian bahan organik yang ada pada kawasan perairan budidaya, umumnya berasal dari kelompok bakteri aerobik, baik yang bersifat autotrofik maupun heterotrofik. Pada zona yang bersifat anoksik (anaerobik) kelompok bakteri yang lebih berperan adalah bakteri yang bersifat anaerobik obligat atau fakultatif dan bakteri denitrifikasi. Strauss dan Dodds
(1996) menyatakan
komposisi dan jumlah bakteri heterotrofik ditemukan pada kawasan yang memiliki konsentrasi fosfor yang tinggi. Bakteri nitrifikasi mungkin banyak terdapat permukaan sedimen yang mengandung banyak bahan organik, sama dengan berbagai kelompok mikroorganisme yang lain akan tetapi tingkat metabolisme mereka belum banyak yang diketahui. Faktor yang membatasi jumlah dan produktivitas bakteri di daerah pesisir adalah sumber nutrisi, syarat-syarat layak lingkungan, dan beberapa interaksi biologis. Hal ini sesuai dengan teori terbaru yang menyatakan bahwa bahwa suatu
25 organisme yang terdapat di dalam struktur jejaring makanan (food web) seperti bagan alir. Terjadi regulasi yang timbal balik untuk membatasi suatu organisme. Mekanisme tersebut dapat berbentuk regulasi Bottom-Up atau Top-Down. Mekanisme ini bekerja secara simultan membatasi perkembangan suatu organisme, bekerja sebagai inhibitor perkembangan organisme (Alongi 1998). Bakteri yang mendominasi sedimen ekosistem pesisir lebih banyak dari golongan heterotrofik. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya memanfaatkan berbagai sumber nutrisi untuk metabolismenya. Selain itu, penyebarannya yang luas dan toleran terhadap berbagai karakteristik lingkungan (Kennish
1990;
Castro dan Huber 2005). Ada jenis bakteri yang berperan dalam proses-proses biologis di sedimen kawasan pesisir antara lain Enterobacter spp., Bacillus spp., Pseudomonas sp., Nitrosomonas sp., Nitrosococcus sp., Nitrobacter sp., dan Nitrospira sp. (Mitchell 1992; Leonard et al. 2000) Enterobacter spp. Berbentuk batang pendek lurus, dengan ukuran 0.6 - 1.0 x 1.2 - 3.0 µm, Gram (-) motil dengan menggunakan flagela peritrik. Fakultatif anaerob dan kemoorganotrof. Metabolisme ada dua macam yaitu respiratori dan fermentatif. Temperatur optimal antara 30-370C. D-glukosa dimetabolisme menjadi asam, indol negatif. Tersebar luas di alam; air tawar, tanah, air kotor, tumbuhan, sayur, binatang, dan feses manusia. Bisa mengakibatkan penyakit, karena merupakan patogen opurtunitis (Holt et al. 1994). Bacillus spp. Masih sedikit publikasi yang berkaitan dengan studi tentang basilus di perairan laut (Elena et al. 1999). Bagaimana pola hidup dan daya tahannya pada kondisi seperti ekosistem laut, pada habitat ini yang dipelajari adalah tentang basilus yang heterotrofik. Basilus yang ada biasanya bersifat halofilik (tahan terhadap kadar garam yang tinggi) diantaranya Bacillus salixigens, dan tiga spesies baru yaitu Halobacillus; H. halophilus, H. litoralis, dan H. trueperi. Perbedaan masing-masingnya dapat diukur dengan kemampuan mereka hidup dengan kadar garam 10-20%. Spesies B. marinus, B. badius, B. substilis, B.
26 cereus, B. pumilus, B. licheniformis, B. firmus spesies ini beberapa ditemukan di samudra Pasifik. Sel berbentuk batang dan lurus, berukuran 0.5 - 2.5 x 1.2 - 10 µm, tersusun atas dua atau lebih sel. Bersifat Gram (+) dan memiliki flagella peritrik untuk bergerak. Endosporanya berbentuk oval terkadang berbentuk bulat atau silindris yang sangat tahan terhadap kondisi ekstrim lingkungannya. Sporanya hanya satu untuk satu sel dan tidak akan terbentuk apabila terpapar oleh udara. Bersifat aerobik dan anaerobik fakultatif, memiliki toleransi yang tinggi terhadap panas, pH, dan salinitas. Bersifat kemoorganotrof karena mampu melakukan proses fermentasi. Katalasi positif, ditemukan di berbagai habitat; beberapa spesies menimbulkan penyakit pada vertebrata dan invertebrata (Holt et al. 1994). Pseudomonas sp. Berbentuk lurus atau batang tipis bengkok, tapi tidak helik dengan ukuran 0,5-1,0 x 1,5-5,0 µm, mempunyai flagella pada kutub sel (motil), Gram (-) dan tidak membentuk spora. Sel tidak memiliki pembungkus (sheaths), kelompok bakteri kemoorganotrof, tidak bisa memfermentasi gula, tidak bisa mengikat nitrogen, mampu hidup pada berbagai substrat organik. Banyak spesiesnya yang mengakumulasikan poli-ß-hidroksibutirat sebagai sumber karbon membentuk organela sel. Aerobik sejati dengan oksigen sebagai elektron akseptor terminal; pada kondisi khusus dapat menggunakan nitrat sebagai elektron akseptor. Oksidase positif atau negatif, katalase positif dan negatif. Ada beberapa spesies kemolitotrof, bisa menggunakan H2 atau CO sebagai sumber energi. Bakteri ini banyak terdapat dasar perairan yang banyak detritusnya, limbah domestik, limbah industri, perairan pesisir, dan laut. Ada beberapa spesies bersifat patogen pada manusia, hewan, dan tumbuhan (Palleroni 1992; Holt et al. 1994). Nitrosomonas sp. Umumnya berbentuk batang, beberapa strain berbentuk bulat. Gram (-), umumnya tidak berflagella, tumbuh baik pada pH 7,8 dan suhu 300C, peka terhadap cahaya ultraviolet. Golongan bakteri autotrofik aerob, mampu mengoksidasi amoniak menjadi nitrit, habitat umumnya berada di kawasan laut, perairan eutrofik, dan buangan limbah (Jones et al. 1990; Koop dan Muller 1992).
27 Nitrosococcus sp. Sel berbentuk bulat sampai ellipsoidal. Golongan Gram (-), tetapi spesies yang hidup di laut memiliki membran tambahan pada bagian luar membran. Memiliki dua tipe susunan membran intrasistoplasmik. Tipe pertama seperti pada Nitrosomonas, terlihat membran yang memiliki vesikel berbentuk mendatar disepanjang bagian tepi sitoplasma. Tipe kedua memiliki karakteristik vesikel yang mendatar cenderung terpusat pada suatu tempat. Hampir semua spesiesnya mampu mereduksi amoniak. Bakteri ini mampu mengasimilasi senyawa organik sampai menjadi molekul yang paling sederhana. Umumnya kelompok bakteri ini habitatnya di laut (Holt et al. 1994). Nitrobacter sp. Umumnya berbentuk bulat (coccus), Gram (-), tidak ada flagella, tumbuh baik pada pH 7,6 - 7,8 dan suhu optimum 300C. Menggunakan nitrit sebagai sumber energi untuk melakukan fiksasi terhadap CO2 secara autotrofik. Memiliki kemampuan mengoksidasi nitrit menjadi nitrat dengan menggunakan enzim nitritoksidoreduktase dan mereduksi nitrat menjadi nitrit (Holt et al. 1994). Pada lingkungan laut berbentuk batang, buah pir, dan bentuk lainnya (pleomorfik). Reproduksi dengan menghasilkan tunas. Bisa bergerak dan tidak, apabila bisa motil flagelanya terletal di ujung sel atau berderet sepanjang tubuhnya. Dinding selnya berbeda dengan golongan Gram (-) lainnya apabila diamati dengan mikroskop elektron. Dinding selnya memiliki 3 lapisan (lapisan elektron, elektron transparan, dan lapisan elektron), lapisan elektron berada pada lapisan terluar dan lapisan terdalam. Penghasil energi utama adalah nitrit jika pada lingkungannya terdapat bahan organik dan nitrit maka akan ada dua fase metabolisme (biphasic); pertama nitrit digunakan sebagai sumber energi, setelah pada fase lag bahan organik yang dioksidasi sebagai sumber energi. Kemoorganotrofik tumbuh dengan lambat dan tidak stabil, menghasilkan butiran poli-ß-hidroksibutirat dalam jumlah yang banyak, yang menyebabkan perubahan bentuk dan ukuran sel. Jika terdapat dalam laut maka akan bersifat halofilik obligat (Holt et al. 1994).
28 Nitrospira sp. Sel berbentuk batang yang langsing, pada kultur tua, dan fase stasioner pertumbuhan bentuknya berubah menjadi bulat dengan diameter 1,4 – 1,5 µm. Bersifat non-motil dan tidak memiliki membran intrasitoplasmik, tetapi terkadang terjadi pelipatan membran ke dalam sitoplasma. Golongan bakteri obligat kemolitoautotrof dan aerobik. Mampu menghasilkan energi dari metabolisme nitrit menjadi nitrat, CO2 merupakan sumber utama karbon. Bakteri halofilik, untuk pertumbuhan pada media membutuhkan 70% - 100% air laut, dan hanya ditemukan pada ekosistem laut (Holt et al. 1994). Proses penguraian dalam kondisi oksidatif secara biologis, bahan limbah organik akan mengalami pemecahan dari senyawa berukuran besar menjadi unsur atau senyawa yang lebih sederhana. Pemecahan ini melibatkan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Kegiatan degradasi oleh bakteri ini berlangsung dalam beberapa tahapan, karena pemecahan senyawa yang besar menjadi unsur atau senyawa yang sederhana melibatkan tidak hanya satu jenis atau satu kelompok bakteri. Proses yang akan menghasilkan senyawa sederhana tersebut melibatkan bakteri yang bekerja secara sinergis, sesuai dengan kebutuhan nutrisi dari setiap jenis bakteri. Proses yang sinergis tersebut merupakan hal yang penting. Bahan yang dihasilkan oleh bakteri sebelumnya yang bekerja, merupakan sumber nutrisi bagi bakteri yang bekerja pada tahapan selanjutnya. Proses pada lingkungan yang oksidatif merupakan syarat utama bagi bakteri-bakteri yang bersifat aerobik. Penguraian nitrit menjadi nitrat adalah salah satu proses yang memerlukan oksigen. Senyawa yang dihasilkannya pun tidak terlalu bersifat toksik bagi kebanyakan organisme akuatik, bahkan merupakan sumber nutrisi bagi beberapa mikroorganisme seperti nanoplankton dan fitoplankton. Faktor-faktor lingkungan lain yang berpengaruh pada proses tersebut adalah suhu, pH, salinitas, dan alkalinitas. Bakteri memiliki kisaran faktor lingkungan tertentu untuk bisa bekerja secara optimum. Faktor internal mikroba yang juga mempengaruhi adalah karakteristik bakteri yang bersangkutan. Pada setiap jenis
29 mikroba memiliki laju yang berbeda dalam oksidasi bahan organik, sintesa materi sel, dan laju oksidasi materi sel. Bakteri berperan mengubah bahan-bahan organik di sedimen. Umumnya yang banyak dipelajari adalah siklus unsur utama dalam laut yaitu karbon (C), nitrogen (N), fosfor (P), dan sulfur (S). Unsur-unsur tersebut memiliki kelompok bakteri dan kondisi tertentu untuk bekerja. Nitrogen organik yang hadir dalam ekosistem laut akan diubah menjadi nitrogen anorganik seperti amonia (NH3), amonium (NH4+), nitrat (NO3-), dan nitrit (NO2-), dan molekul gas nitrogen (N2). Penguraian bahan nitrogen organik tersebut berbeda untuk menghasilkan nitrogen anorganik. Proses amonifikasi menghasilkan amonia dan amonium, kedua senyawa tersebut dihasilkan oleh bakteri yang berbeda walaupun substratnya sama. Nitrit dihasilkan oleh proses nitrifikasi amoniak yang dilakukan oleh bakteri dalam kondisi aerobik. Pada unsur nitrat, dinitrogen oksida dan molekul N2 dihasilkan dari proses denitrifikasi. Nitrat dan dinitrogen oksida dihasilkan dalam keadaan anaerobik (proses denitrifikasi), sedangkan molekul N2 dihasilkan dalam keadaan aerobik. Fosfor yang ada di perairan dalam bentuk senyawa organik belum bisa dimanfaatkan oleh organisme lain. Umumnya fosfor hadir di perairan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain seperti besi dan kalsium. Memerlukan proses yang melibatkan bakteri untuk berguna bagi organisme lain. Bentuk fosfor yang bisa dimanfaatkan langsung adalah ortofosfat, polifosfat, glukofosfat, dan metafosfat. Peranan penting fosfor anorganik bagi organisme akuatik Umumnya adalah sebagai dasar pembentukan ATP (adenosin triphosphat). Molekul tersebut adalah molekul berenergi tinggi yang diperlukan dalam tranfer energi dalam metabolisme sel organisme termasuk bakteri. Fungsi penting lainnya adalah bersama lipid membentuk senyawa yang merupakan bagian penyusun membran sel.