KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH : AFRA D. N. MAKALEW
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK
AFRA D.N. MAKALEW. Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik. Dibimbing oleh SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, dan SUBAGYO HARDJO-SUBROTO. Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison akumulasi atau penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas tanah menjadi terbatas. Di Indonesia tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat seperti Alfisol (5,2 juta ha), Ultisol (45,8 juta ha), dan Inceptisol (70,5 juta ha) merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian. Tanah-tanah tersebut dapat berkembang dari bahan induk sedimen (batuliat dan batukapur) maupun pada bahan induk bahan volkan (volkanik). Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan sedimen (batuliat dan batukapur) dan batuan volkanik (andesitik dan dasitik); (2) membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik; (3) mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat, batukapur, maupun batuan volkanik (andesitik dan dasitik). Penelitian dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah Kabupaten Bogor dan Banten. Lokasi pedon-pedon pewakil tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang terletak di desa Cendali, Cijayanti-1, Cijayanti-2, PasircabeJonggol, Ciampea dan Jasinga (Kabupaten Bogor), dan Cipocok-Serang (Kabupaten Banten). Parameter yang diamati meliputi sifat-sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi (irisan tipis) tanah, penentuan horison penimbunan liat merupakan argilik atau bukan argilik menggunakan kriteria dalam Taksonomi tanah (Soil Survey Staf, 2003). Hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) Karakteristik tanah dengan horison penimbunan liat berbeda-beda pada setiap jenis bahan induk, baik yang berkembang dari batuan sedimen maupun batuan volkanik, jumlah peningkatan kandungan liat, ketebalan horison penimbunan liat, dan bukti adanya iluviasi liat sebagai kriteria argilik, hanya dijumpai pada pedon AM7 dan AM8 (perudik) yang berkembang dari bahan Volkanik-Andesitik, serta pedon AM10 (akuik) berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik. Horison penimbunan liat pedon-pedon AM1, AM2, dan AM3 (batuliat), AM4,AM5, dan AM6 (batukapur), dan AM9 (bahan volkanik-dasitik diidentifikasi sebagai horison kambik. (2) Horison argilik relatif lebih tebal terdapat pada pedon AM8 (125 cm) dengan letak 20 cm dari permukaan tanah, pada pedon AM10 (114 cm) terletak relatif lebih dalam, yakni pada 26 cm dari permukaan tanah, sedangkan pedon AM7 (86 cm) terletak pada
ii
kedalaman 19 cm. Sedangkan ketebalan horison kambik paling tebal terdapat pada pedon AM1 dan AM3 yang berkembang dari batuliat, yakni 120 cm. Paling tipis dijumpai pada pedon AM2 (perudik) yang berkembang dari batuliat, yakni 99 cm dari permukaan tanah. Rata-rata jumlah peningkatan liat total 48,9%, merupakan peningkatan tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik. Diikuti oleh pedon-pedon yang berkembang dari batuliat sebesar 37,9%, volkanik-andesitik sebesar 34,4%. Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat pada pedonpedon dari batukapur. Peningkatan liat total tersebut cenderung lebih tinggi pada pedon yang memiliki regim kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik. Hasil pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa selaput liat (berdasarkan ada tidaknya laminasi) terlihat dengan urutan tingkat perkembangan : dari sangat berkembang sampai kurang berkembang. Urutan tingkat perkembangannya dari yang sangat berkembang adalah bahan volkanikdasitik (AM10) kemudian volkanik-andesitik (AM8). Selaput liat yang paling tebal dijumpai pada pedon AM10 (volkanik-dasitik), kemudian AM8 (volkanikandesitik). Berdasarkan pengamatan ketiga sifat horison penimbunan liat (terutama ketebalan dan jumlah peningkatan liat halus), dapat disimpulkan bahwa genesis horison argilik dan bukan argilik sangat dipengaruhi oleh faktor bahan induk, yang berinteraksi dengan faktor pembentuk tanah lainnya seperti iklim dan topografi. (3) Adanya horison argilik dapat menimbulkan aliran air bawah permukaan, sehingga sifat-sifat penting horison penimbunan liat yang berkaitan dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol adalah letak dan ketebalannya.
iii
ABSTRACT
AFRA D. N. MAKALEW. Characteristics of Soil with Clay Accumulation Horizons in Sedimentary and Volcanic Rocks. Under Supervision of SARWONO HARDJOWIGENO, SUDARSONO, BUDI MULYANTO, and SUBAGYO HARDJOSUBROTO. A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of Ultisols, Alfisols, Inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical, chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argillic horizon definition. Microscopic study resulted that, not all pedons sampled have visible clay skins as the evidence of clay transportation. Kinds of parent materials affect morphology and physical characteristics of soil with clay accumulation horizon, i.e. on the thickness, depth, position of maximum fine and total clay content. Thin sections of Bt horizons of AM8 and AM10 pedons showed illuvial features, confirming the presence of an argillic. Clay position is lying adjacent to voids, occur as a limpid clay coating, some superimposed with ferruginous coating. Kaolinite, smectite, and haloysite were dominant clay minerals of the clay accumulation horizons, which are also found at the upper horizons of the observed pedons. Similarity in characteristics of the surface and subsurface horizons, especially on the composition of soil sand fraction mineral and clay mineral, proved that the clay comes from the same soil material. It was also concluded that the formation of clay accumulation horizons as Bt in the studied pedons dominated by elluviation and illuviation processes, and the formation of clay accumulation horizons as Bw were dominated by the sedimentation processes . Some important results of this research showed that (1) Not all of the sampled pedons have argillic horizons. Only AM7, AM8 and AM10 pedons meet all requirements of argillic criterias ; The uppper boundary of argillic was found at 26 cm from the soil surface on AM10 pedon, on AM8 it was at 20 cm, and at 19 cm from the soil surface found on AM7 pedon; Pedons derived from volcanic rocks have the highest average total clay contents, i.e. 48.9%, followed respectively by pedons developed from claystone 37,9%, andesitic-volcanic rocks 34.4%, and limestone 19.9%; Development of clay skins was found strongest on soils derived from dasitic-volcanic rocks; (2) Types of parent material together with other soil forming factors (climate and topography) affect characteristics of clay accumulation horizons, especially on the thickness and content of fine clay; (3) Thickness and position of clay accumulation horizons from the soil surface are the main properties that most related to management of Alfisols, Ultisols, and Inceptisols. Key words : Clay accumulation horizon, Elluviation, Illuviation, Argillic, Cambic, Ultisols, Alfisols, Inceptisols, Sedimentary and Volcanic rocks.
iv
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
v
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Desember 2006
Afra Donatha Nimia Makalew NRP 995032
vi
KARAKTERISTIK TANAH DENGAN HORISON PENIMBUNAN LIAT YANG BERKEMBANG DARI BATUAN SEDIMEN DAN VOLKANIK
OLEH : AFRA D. N. MAKALEW
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
vii
Judul
:
Nama Nrp Program Studi
: : :
Karakteristik Tanah dengan Horison Penimbunan Liat yang Berkembang dari Batuan Sedimen dan Volkanik Afra Donatha Nimia Makalew 995032 Ilmu Tanah
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Sarwono Hardjowigeno,MSc Ketua
Dr.Ir. Budi Mulyanto,MSc Anggota
Prof.Dr.Ir. Sudarsono,MSc Anggota
Dr.Ir. Subagyo Hardjosubroto,MSc.APU Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dr.Ir. Komaruddin Idris,MS
Tanggal Ujian : 12 September 2006
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro,MS
Tanggal Lulus :
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 19 Januari 1965 sebagai anak ke-8 dari pasangan P.D.Makalew (Alm) dan Chatarina Wanget (Almh). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1992, penulis diterima di Agricultural and Food Engineering Program, Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan menamatkannya pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada program studi Ilmu Tanah Sekolah Pascasarjana IPB Bogor diperoleh pada tahun 1999. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Universitas Mercu Buana Jakarta dan BPPS Dikti (Tahun 2000 – 2003). Penulis bekerja sebagai Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado sejak 1988 sampai 1994, dan sebagai Dosen KOPERTIS Wilayah III ditempatkan di Fakultas Pertanian (sekarang Fakultas Manajemen Agribisnis) Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta sejak tahun 1995 sampai sekarang.
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berhubungan dengan sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat pada tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen dan volkanik. Pada Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing 2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing 3. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing 4. Dr. Ir. Subagyo Hardjosubroto, MSc. APU. sebagai Anggota Komisi Pembimbing 5. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB 6. Program Beasiswa BPPS-Dikti 7. Rektor Universitas Mercu Buana, Dekan, Ketua Jurusan Agronomi, seluruh Staf Pengajar, dan Karyawan Fakultas Managemen Agrbisinis UMB Jakarta 8. Seluruh Staf Pengajar dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah SPs IPB 9. Ketua dan seluruh Staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB 10. Staf Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB 11. Staf Laboratorium Mineral, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor 12. Staf Laboratorium Tanah, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta 13. Mahasiswa HIMPIT, Mahasiswa Program Ilmu Tanah SPs-IPB Angkatan ’99, dan rekan-rekan kelompok G-8 14. Orangtua, suami, dan anak-anak Akhirnya penulis mengharapkan disertasi ini dapat menjadi tambahan informasi bagi ilmu yang terkait dan bagi para pembaca.
Bogor, Desember 2006 Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA.…………………………………………………………...........…....... DAFTAR TABEL.…….…………………..……………………...........…............ DAFTAR GAMBAR ...……………………………………………….................. DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………............
x xii xiii xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang..…………………………………………………............. 1 Tujuan…………………………………………………………........…..... 4 Hipotesis.…………………………………………………………….......... 4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison Penimbunan Liat…………………………….………… 5 Genesis Horison Penimbunan Liat.…………………….……………….. 9 Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat………………………............ 14 Bahan Induk Tanah.……..……………………………………….…...…... 18 Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat.…..…........................ 20 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ..………………………………………...…............. 25 Bahan Penelitian……………………………………………….......…....... 28 Metodologi Penelitian……………………………………………......…... 28 Analisis Data……………………………………………………......……... 31 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian.................................................................................... 33 Geologi.................................................................................................. 33 Topografi................................................................................................ 36 Iklim........................................................................................................ 37 Penggunaan Lahan............................................................................... 38 Vegetasi................................................................................................. 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Morfologi dan Fisika tanah.....………………………….................. 42 Sifat Kimia Tanah..................................……………………....…........ 56 Mineralogi Horison Permukan dan Penimbunan Liat........………...… 75 Horison Diagnostik................................................................................. 94 Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil............................................... 104 Karakteristik Horison Argilik dan Kambik.............................................. 106 Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat.......................................... 121 KESIMPULAN DAN SARAN ….………………………………………. .............. 124 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….……….............. 126 LAMPIRAN…………………………………………………………………...............130
xi
DAFTAR TABEL
No.
1.
Halaman
Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-Pedon Pewakil…………………………………………….........….
25
2.
Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian 30
3.
Curah Hujan (mm) Bulanan ( Rata-rata 10 tahun) di daerah penelitian ................................................................................ 39
4.
Data Suhu Udara Maksimum Minimum, dan Rata-rata Bulanan di daerah Kabupaten Bogor , diwakili stasiun Darmaga (259 dpl) (1989-1999)............................................................................................. 40
5.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Batuliat........................................................... 43
6.
Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Batukapur......................................................… 47
7.
Siifat Morfologi dan Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.............................……51
8.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik.................................……53
9.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil (Batuliat)…….…………………………………...………......57
10.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil (Batukapur)………………………………………..…….. ....63
11.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Andesitik………………….………… ......67
12.
Beberapa Sifat Kimia Masing-masing Horison dari Pedon Pewakil Bahan Volkanik-Dasitik....…………………….………........70
13.
Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi…...............................................................................76
xii
14.
Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviai Maksimum setiap Pedon Pewakil................................................................................79
15.
Mineral Liat yang Dominan pada Horison Iluviasi dan Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil…………..…… 94
16.
Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, serta Jumlah Minimal Liat Total sebagai Horison Penimbunan liat (Argilik)......................................................................................................98
17.
Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Iluviasi pada Masing-masing Pedon Pewakil………………………………………….......99
18.
Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada masing-masing Horison Iluviasi Masing-masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10………101
19.
Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria Jumlah Kandungan Liat, Ketebalan Horison, dan Selaput Liat pada Pedon Pewakil............................................................... ........................103
20.
Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya…………………………..……..104
21.
Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil............................................109
22.
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Beberapa Pedon Pewakil…..110
xiii
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor....................................26
2.
Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang…………….................27
3.
Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)...........………..…………34
4.
Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)...........…………………35
5.
Lokasi setiap Pedon Pewakil dalam Topografi........................................37
6.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari ..............................60
7.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari ..............................64
8.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan VolkanikAndesitik..................................................................................................68
9.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total dalam Tanah pada Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...72
10a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat …......…..…..................................81
10b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM1 Berkembang dari Batuliat ..........…..…..................................81
11a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat................……………………….….82
11b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM2 Berkembang dari Batuliat.................……………………….…82
12a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat......................…………………..….83
xiv
12b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM3 Berkembang dari Batuliat................…………………..….......83
13a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Peralihan (AB) Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur................…………………..…...85
13b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM4 Berkembang dari Batukapur.................…………………..…..85
14a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur.............…………………..…......86
14b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM5 Berkembang dari Batukapur..................…………………..….86
15a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM6 Berkembang dari Batukapur.....................………………..….87
15b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt2) Pedon AM6 Berkemban dari Batukapur.....................………………..…...87
16a.
HasilAnalisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik……………...….89
16b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM7 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik……………...….89
17a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik..…………....….90
17b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik-Andesitik.…………....…..90
18a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik......…………....….91
18b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt3) Pedon AM9 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………………....…92
19a.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik...………………..93
19b.
Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Penimbunan Liat (Bt4) Pedon AM10 Berkembang dari Bahan Volkanik-Dasitik………….........…93
xv
20.
Selaput Liat (Coklat kekuningan) pada Irisan Tipis Horison Bt4 dari Pedon AM8 Berkembang dari Bahan Volkanik–Andesitik...............101
21.
Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt4 Pedon AM10 yang Berkembang dari Bahan Volkanik – Dasitik ..........................................102
22.
Distribusi Liat Halus dan Liat Total pada Tanah Inceptisol serta Batas Argilik (Argillic line) pada Pedon AM8 dan AM10.........................108
23.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM2 dan AM3 yang Berkembang dari Batuliat....................................................................................................111
24.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 yang Berkembang dari Batukapur................................................................................................112
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Deskripsi Profil Pedon AM1………………………………………......... 131
2.
Deskripsi Profil Pedon AM2………………………………………......... 132
3.
Deskripsi Profil Pedon AM3………………………………………........ 133
4.
Deskripsi Profil Pedon AM4………………………………………........ 134
5.
Deskripsi Profil Pedon AM5………………………………………........ 135
6.
Deskripsi Profil Pedon AM6………………………………………........ 136
7.
Deskripsi Profil Pedon AM7………………………………………........ 137
8.
Deskripsi Profil Pedon AM8……………..........…………………......... 138
9.
Deskripsi Profil Pedon AM9………………………………………......... 139
10.
Deskripsi Profil Pedon AM10………………………………………....... 140
11.
Regim Temperatur dan Kelembaban Tanah.........….....………......... 142 11.1 Stasiun Cimulang.................................................................... 142 11.2 Stasiun Pasirmaung.................................................................144 11.3 Stasiun Jonggol....................................................................... 146 11.4 Stasiun Dramaga..................................................................... 148 11.5 Stasiun Jasinga........................................................................150 11.6 Stasiun Serang........................................................................ 152
xvii
PENDAHULUAN Latar belakang Horison penimbunan liat merupakan horison dengan kandungan liat filosilikat yang lebih tinggi daripada bahan tanah yang terletak di atasnya. Horison ini dapat terbentuk akibat proses iluviasi liat horison di atasnya atau dari hasil proses pelapukan in situ, atau tertimbunnya bahan tanah dengan kandungan liat tinggi oleh bahan tanah dengan kandungan liat yang lebih rendah. Ada tidaknya bukti iluviasi liat berupa selaput liat (clay skin) pada horison penimbunan liat, merupakan salah satu dasar dalam identifikasi horison argilik atau bukan argilik. Horison argilik merupakan horison iluviasi liat yang digunakan sebagai horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses -proses yang dominan pada pembentukan tanah Alfisol dan Ultisol. Selanjutnya horison penimbunan liat tanpa bukti selaput liat, kecuali pada tanah dengan sifat vertik termasuk dalam horison kambik yang digunakan sebagai salah satu horison bawah penciri untuk mengklasifikasi dan interpretasi proses pembentukan tanah Inceptisol (Soil Survey Staff, 2003 ). Pemanfaatan tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat banyak menghadapi faktor pembatas produksi. Horison penimbunan liat yang relatif padat di bawah lapisan olah dan dekat dengan permukaan tanah mengakibatkan laju perkolasi terhambat, tanah cepat jenuh air dan mudah tererosi, serta terbatasnya daerah perakaran tanaman, sehingga produktivitas tanah menjadi terhambat (Afandi et al., 1997).
Di daerah tropika, tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol merupakan tanah-tanah yang umum di jumpai. Penyebaran tanah-tanah ini di Indonesia adalah Inceptisol 70,5 juta ha (37,5%), Ultisol sekitar 45,8 juta ha (24,3%), dan Alfisol 5,2 juta ha (3%) dari luas daratan. Lahan-lahan tersebut merupakan alternatif untuk pengembangan usaha pertanian (Subagjo et al., 2003). Horison penimbunan liat ditemukan pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk sedimen dan volkanik, pada beberapa regim kelembaban tanah (akuik, perudik/udik, dan ustik). Proses pembentukan horison penimbunan liat yang menghasilkan horison argilik meliputi proses dispersi liat di lapisan atas, dilanjutkan dengan proses pemindahan liat oleh air dari lapisan atas (eluviasi), dan pengendapannya di lapisan bawah (iluviasi). Banyak faktor yang berpengaruh agar liat lebih mudah terdispersi dalam air, sehingga lebih mudah dipindahkan. Demikian pula, banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses pemindahan dan pengendapan liat di lapisan bawah. Tiga tahap proses pembentukan horison penimbunan liat, yang meliputi proses dispersi, pemindahan, dan akumulasi liat, masing-masing memerlukan kondisi yang khusus (Buol et al., 1980). Sedangkan proses pembentukan horison penimbunan liat yang tidak menghasilkan argilik apabila (1) jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik, meskipun ada selaput liat, (2) jumlah penimbunan liat memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau (3) jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat.
2
Tanah
Alfisol
dan
Ultisol
keduanya
mempunyai
horison
penimbunan liat (argilik), tetapi Ultisol bersifat lebih masam dan Alfisol lebih alkalis. Kedua tanah ini dapat berkembang dari batuan sedimen ataupun bahan volkanik, pada regim kelembaban tanah akuik, udik, ustik, dan xerik. Horison penimbunan liat yang tidak memenuhi kriteria argilik, dapat sebagai horison kambik yang dimiliki oleh tanah Inceptisol. Permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya dapat terjadi pada lingkungan yang berbeda-beda tersebut. Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan adalah mengenai horison penimbunan liat yang memiliki selaput liat (argilik). Namun demikian, Allbrook (1973) masih mempertanyakan adanya horison argilik pada tanah-tanah Ultisol di Malaysia. Penelitian tentang sifat-sifat dan genesis horison argilik telah dilakukan pada tanah Aridisol berbahan induk sedimen (Nettleton et al., 1975; Southard dan Southard , 1985), pada tanah Alfisol berbahan induk sedimen oleh Smith dan Wilding (1972). Demikian pula penelitian tentang mikromorfologi horison argilik pada tanah Alfisol dengan regim kelembaban tanah akuik telah dilakukan antara lain oleh : Smeck et al. (1981), Cremeens dan Mokma (198 6), serta Stolt dan Rubenhorst (1991). Selain itu terbentuknya horison argilik pada tanah yang berdrainase baik sudah dilakukan Rostad et al. (1976 ). Tetapi adanya horison argilik pada tanah-tanah berdrainase buruk atau pada regim kelembaban tanah akuik masih diperdebatkan (Smeck et al., 1981).
3
Penelitian tentang proses pembentukan horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat di daerah tropika basah khususnya di Indonesia masih sangat sedikit. Hasil penelitian Cahyono (1992) pada Ultisol Lampung dan Alfisol di Jawa Barat menunjukkan bahwa, liat iluviasi pada Ultisol umumnya lebih banyak (2-5%) dibandingkan dengan liat iluviasi pada Alfisol (1-2%). Kenampakan mikromorfologi yang berbeda menurut Goenadi dan Tan (1998) dapat membantu menjelaskan prosesproses pembentukan tanah pada masing-masing tanah. Demikian juga penelitian tentang mikromorfolgi horison penimbunan liat di Indonesia masih sangat kurang. Dari uraian di atas tampak bahwa penelitian tentang karakteristik horison penimbunan liat pada bahan induk dan regim kelembaban tanah yang berbeda masih perlu dilakukan. Demikian juga, ditemukannya horison penimbunan liat dengan atau tanpa selaput liat pada tanah Insceptisol, Alfisol, dan Ultisol masih perlu diteliti. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat
digunakan
sebagai
informasi
dasar
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan genesis tanah dan sistem klasifikasi tanah, serta pengelolaan tanah di Indonesia.
Tujuan (1) Mengidentifikasi sifat-sifat tanah dengan horison penimbunan liat dan proses-proses pembentukannya, yang berkembang dari batuan sediment (batuliat, dan batukapur) dan batuan volkanik.
4
(2) Membandingkan sifat-sifat horison penimbunan liat dan prosesproses pembentukannya pada tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang berkembang dari bahan induk sedimen atau volkanik, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik. (3) Mengetahui sifat-sifat horison penimbunan liat yang berkaitan dengan pengelolaan tanah, baik pada tanah Ultisol, Alfisol, maupun Inceptisol.
Hipotesis (1) Bahan induk yang berbeda akan mempengaruhi sifat-sifat dan pembentukan horison penimbunan liat, baik letak dari permukaan, ketebalan,
adanya
tidaknya
selaput
liat
maupun
tingkat
perkembangannya. (2) Sifat-sifat horison penimbunan liat dan proses pembentukannya berbeda antara tanah Alfisol, Ultisol, dan Inceptisol, baik pada regim kelembaban tanah akuik, perudik, maupun ustik. (3) Terdapat sifat-sifat horison penimbunan liat yang penting kaitannya dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol, baik yang berkembang dari batuliat, batukapur, maupun bahan volkanik.
5
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Horison Penimbunan Liat Macam-macam h orison penimbunan liat (argilik atau kambik) merupakan horison yang terbentuk dari hasil iluviasi liat horizon di atasnya. Disebut horison argilik apabila jumlah penimbunan liat memenuhi kriteria argilik disertai bukti iluviasi liat berupa selaput liat. Disebut horison kambik apabila jumlah penimbunan liat tidak memenuhi argilik walaupun ada selaput liat. Atau Jumlah memenuhi argilik tapi tidak ada selaput liat, atau jumlah tidak memenuhi argilik dan tidak ada selaput liat .
Horison Argilik Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) di sebutkan bahwa horison argilik harus memenuhi syarat dalam hal : (1) Tebal horison yang sesuai dengan tekstur tanahnya, (2) Bukti adanya iluviasi liat sebagai akibat eluviasi liat dari horison di atasnya, dan (3)
Jumlah liat yang tertimbun, sesuai dengan
kandungan liat horison eluviasi. Sifat-sifat yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi syarat sebagai suatu horison argilik (Soil Survey Staff,1998) adalah sebagai berikut : 1. Horison argilik harus memiliki kedua hal sebagai berikut : (a)
Salah satu dari : (1) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berlempung kasar, berlempung halus, berdebu kasar, berdebu halus, halus, atau sangat halus, maka keteba lan minimum 7,5 cm, atau paling kurang sepersepuluh bagian dari seluruh tebal horison di atasnya, dipilih yang lebih tebal, atau (2) Jika horison argilik mempunyai kelas besar butir berpasir atau skeletal berpasir, maka ketebalan minimum 15 cm; atau (3) Jika
horison argilik seluruhnya tersusun dari lamella, maka ketebalan gabungan dari lamella yang tebalnya 0,5 cm atau lebih, harus 15 cm atau lebih; dan (b)
Tanda, atau bukti, adanya iluviasi liat sekurang-kurangnya berupa salah satu bentuk berikut : (1) Adanya liat terorientasi yang menghubungkan butir-butir pasir; atau (2) Adanya selaput liat menyelaputi dinding pori; atau (3) Adanya selaput liat pada kedua permukaan ped horisontal dan vertikal; atau (4) Pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi berjumlah lebih dari 1 persen; atau (5) Apabila koefisien pemuaian linier sebesar 0,004 atau lebih, dan tanah berada pada wilayah dengan musim hujan dan kemarau yang nyata, maka rasio liat halus terhadap liat total pada horison iluviasi adalah 1,2 kali atau lebih, dibanding rasionya pada horison eluviasi; dan
2. Apabila horison eluviasi masih ada dan tidak terdapat diskontinuitas litologi (lithologic discontinuity ) antara horison eluviasi dan iluviasi, serta tidak terdapat lapisan tapak bajak yang berada langsung di atas lapisan iluviasi, maka horison iluviasi harus mengandung lebih banyak liat total dibanding horison eluviasi, di dalam jarak vertikal 30 cm atau kurang, sebagai berikut : (a)
Apabila salah satu bagian dari horison eluviasi, dalam fraksi tanah halusnya mengandung liat total kurang dari 15 persen, maka horison argilik harus mengandung minimal 3 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 10 persen vs 13 persen) ; atau
(b)
Apabila horison eluviasi, dalam fraksi tanah halus mengandung liat total antara 15 sampai 40 persen, maka horison argilik harus mengandung liat 1,2 kali lebih banyak dibandingkan horison eluviasi; atau
6
(c)
Apabila
horison
eluviasi,
dalam
fraksi
tanah
halusnya
mengandung liat total 40 persen atau lebih, maka horison argilik harus mengandung minimal 8 persen (absolut) liat lebih banyak (misalnya 42 persen vs 50 persen).
Horison Kambik Horison kambik merupakan horison yang terbentuk sebagai hasil proses alterasi secara fisik, transformasi secara kimia, atau pemindahan bahan, atau merupakan hasil kombinasi dari dua atau lebih proses-proses tersebut. Di dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) dikatakan bahwa horison kambik merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih. Apabila horison tersebut tersusun dari lamela-lamela, ketebalan gabungan dari lamela harus 15 cm atau lebih. Sebagai tambahan, horison kambik harus memenuhi semua syarat berikut: 1. Mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus; dan 2. Menunjukkan gejala-gejala atau bukti adanya alterasi, dalam salah satu bentuk berikut : a. Kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan semua sifat berikut: (1) Memiliki strutur tanah,atau tidak memiliki strutur batuan pada lebih dari setengah volume tanah; dan (2) Warna-warna yang tidak berubah saat terbuka di udara; dan (3) Warna dominan, lembab, pada permukaan ped atau di dalam matriks sebagai berikut: (a) Value warna 3 atau kurang dan kroma 0; atau
7
(b) Value warna 4 atau lebih dan kroma satu atau kurang; atau (c) Sebarang value warna, kroma 2 atau kurang, dan terdapat konsentrai redoks; atau b. Tidak mempunyai kombinasi kondisi akuik di dalam 50 cm dari permukaan tanah, atau telah didrainase, dan warna, lembab, sebagaimana didefinisikan dalam butir 2.a.(3) di atas; serta memiliki struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah, dan memenuhi satu atau lebih sifat berikut: (1) Menunjukkan kroma lebih tinggi, value warna lebih tinggi, warna hue lebih merah, atau kandungan liat lebih tinggi dibanding horison yang terletak di bawahnya, atau horison yang berada di atasnya; atau (2) Gejala atau bukti adanya pemindahan senyawa karbonat atau gipsum; dan 3. Memiliki sifat-sifat yang tidak memenuhi persyaratan untuk epipedon antropik, histik, folistik, melanik, molik, plagen, atau umbrik, duripan atau fragipan, atau horison argilik, kalsik, gipsik, natrik, oksik, petrokalsik, petrogipsik, placik, atau spodik; dan 4. Bukan suatu bagian dari suatu horison Ap, warnanya tidak cukup gelap (tidak memenuhi persyaratan epipedon molik atau umbrik), dan tidak bersifat rapuh.
Genesis Horison Penimbunan Liat Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) horison argilik merupakan penciri utama untuk tanah Alfisol dan Ultisol. Namun demikian, kedua
8
ordo tanah ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Alfisol adalah tanah yang relatif muda, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral belum begitu lanjut. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang relatif tua, sehingga pencucian basa-basa dan pelapukan mineral sudah cukup lanjut. Karena itu, Alfisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) yang lebih tinggi, yaitu 35% atau lebih pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau kedalam 125 cm dari batas atas argilik. Sementara Ultisol mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) lebih kecil yaitu kurang dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau 125 cm dari batas atas argilik, dengan kandungan mineral mudah lapuk lebih rendah. Alfisol dan Ultisol dapat berkembang dari bahan induk batuan sedimen maupun bahan volkanik. Soil Survey Staff (1975 ; 1999) mendefinisikan tanah Alfisol sebagai ”tanah-tanah yang mempunyai horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih besar atau sama dengan 35%. Sedangkan tanah Ultisol adalah ”tanah-tanah dengan horison akumulasi liat (argilik), dengan kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 1,8 meter dari permukaan tanah, atau 1,25 meter dari batas atas horison argilik, lebih kecil dari 35%. Horison penimbunan liat dihasilkan oleh satu atau lebih proses yang terjadi secara bergantian ataupun berlangsung tahap demi tahap. Proses tersebut dapat mempengaruhi horison permukaan, horison bawah permukaan, ataupun keduanya. Selain itu, proses-proses tersebut berbeda-beda untuk setiap tanah. Pada beberapa tanah iluviasi liat terjadi secara nyata, sementara pada tanah yang lain, sulit dibedakan dengan liat yang dihasilkan dari proses pelapukan in situ. Namun menurut Soil Survey Staff (1999) tidak semua proses dapat dipahami, atau dijelaskan secara lengkap. Tanah-tanah yang menunjukkan
9
perbedaan pada sifat-sifat horison argiliknya seperti kandungan liat terakumulasi, serta ketebalan dan letak horison penimbunan liat dari permukaan, mungkin akan berpengaruh pada pengelolaan tanah. Allbrook (1973) menyatakan bahwa di daerah tropika basah, di mana tidak ada periode kering yang menghambat aktivitas biologi, adanya horison argilik masih diragukan. Bukti-bukti iluviasi liat di daerah tropika basah sering tidak dijumpai dalam horison, sebagai akibat dari proses pencucian yang ekstensif (Buol et al., 1980), ataupun tidak dijumpai oleh karena kegiatan aktivitas fauna tanah (Rust, 1983; Buurman, 1980). Walaupun dengan intensitas yang berbeda, proses pembentukan horison argilik, baik pada Alfisol ataupun Ultisol, mencakup dua proses utama yaitu (1) eluviasi, dan (2) iluviasi liat. Kedua proses tersebut dapat terjadi melalui tiga tahapan proses yang berlangsung secara berturut-turut yaitu (1) dispersi butirbutir tanah primer di lapisan atas; (2) translokasi, atau pemindahan liat, dari lapisan atas ke lapisan bawah, dan (3) immobilisasi
(pengendapan) liat di
lapisan bawah (Buol et al., 1980) Birkeland (1974) menyatakan beberapa proses yang diduga dapat menyebabkan terbentuknya penimbunan liat adalah: (1) terjadinya hancuran iklim dengan intensitas tinggi pada bagian atas solum tanah, sehingga terjadi disintegrasi mineral primer menjadi mineral sekunder (liat), yang selanjutnya terangkut ke bawah oleh air perkolasi, dan diendapkan di horison B, dan (2) terjadinya pembentukan liat in situ pada horison B.
Dispersi Dispersi adalah proses terpencarnya partikel-partikel tanah di dalam suatu larutan. Partikel-partikel tanah tersebut, yakni liat halus, liat kasar, debu halus, debu kasar dan lainnya, pada mulanya terikat satu sama lain dengan
10
bahan perekat karbonat, seskuioksida (Al dan Fe), atau bahan organik, sehingga liat sulit dipindahkan oleh air ke horison lain. Dispersi akan berjalan dengan baik, bila air tersedia dalam jumlah cukup, dan kondisi memungkinkan terjadinya penghancuran bahan-bahan perekatnya (Buol et al., 1980). Agar butir-butir tanah dapat terdispersi, maka bahan-bahan perekat seperti karbonat (kapur), besi, dan bahan organik harus tercuci lebih dulu dari permukaan tanah. Buol et al. (1980) mengatakan bahwa karbonat (dan bikarbonat) merupakan flokulan yang kuat, sehingga dalam pembentukan Alfisol perlu dicuci lebih dulu, agar plasma (liat) menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini, tanah di lapisan atas menjadi lebih masam, kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5. Besi sebagai flokulan lain mengalami pencucian dari lapisan atas, setelah karbonat dibebaskan. Pada tanah Ultisol, pencucian basa -basa berjalan ekstensif dan sangat lanjut, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah (1,8 m dari permukaan tanah). Di wilayah tropika basah, karena suhu yang cukup tinggi (>22 0C) dan pencucian yang kuat dalam waktu yang cukup lama, maka terjadilah pelapukan yang kuat terhadap mineral-mineral yang mudah lapuk.
Translokasi Proses mobilisasi dan translokasi liat dipengaruhi, antara lain oleh jenis pori (Mohr et al., 1972). Biasanya air tidak tertahan dalam pori non kapiler, akan tetapi akan bergerak masuk ke dalam bagian tanah yang memiliki pori kapiler. Jika horison bagian bawah memiliki tekstur lebih kasar, maka air cenderung tertahan pada bagian atas. Selanjutnya diuraikan pula bahwa bila elektrolit dalam larutan rendah, maka liat dapat terdispersi. Rendahnya elektrolit dalam tanah
11
dapat disebabkan oleh pelapukan dan pencucian tanah yang terjadi secara kontinyu, atau disebabkan oleh proses pemasaman lapisan permuka an tanah, akibat tercucinya kation kalsium digantikan oleh hidrogen. Air merupakan medium utama dalam proses pemindahan partikel tanah. Eswaran dan Sys (1979) menyatakan bahwa proses pemindahan liat berjalan lebih baik pada tanah yang mengalami kering dan basah bergantian, dibanding dengan tanah yang terus menerus kering atau terus menerus basah. Selain itu juga disebutkan bahwa horison argilik terbentuk lebih baik pada tanah berlempung (loamy) daripada tanah berpasir atau berliat. Kadar liat yang terlalu rendah pada tanah berpasir kurang mendukung pembentukan horison argilik, sedang kadar liat yang terlalu tinggi pada tanah berliat, menghambat pergerakan air dan proses pemindahan liat. Pergerakan liat tersebut dapat terjadi dari satu horison ke horison-horison lainnya, atau hanya pada satu horison saja. Kesamaan susunan mineralogi dari liat halus antara horison eluviasi dan horison iluviasi , terlihat jelas. Sehingga kesamaan tersebut mendukung pendapat, bahwa liat secara dominan berpindah dari bahan tanah di atas, dan bukan hasil dekomposisi yang kemudian tersintesa membentuk partikel yang berukuran liat. Proses pelarutan liat filosilikat dapat mengakibatkan kehilangan liat dalam tanah. Kehilangan tersebut biasanya terjadi pada horison atas, dimana prose s pelapukan terjadi sangat intensif. Dengan demikian, akibat proses tersebut maka perbedaan tekstur secara vertikal dapat terjadi. Menurut Buol et al., (1980), translokasi liat pada Alfisol terjadi pada lingkungan yang agak masam atau dalam lingkungan “sodik-alkalin”, sedangkan pada Ultisol terjadi dalam lingkungan yang lebih masam. Selama pemindahan liat, pada Ultisol sering disertai pemindahan seskuioksida (Al2O3 dan Fe2 O3) dan bahan organik.
12
Pengendapan Pengendapan (immobilisasi) liat dapat disebabkan oleh (1) air perkolasi tidak cukup banyak, sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah; (2) butir-butir tanah yang mengembang dan menutup pori-pori tanah, sehingga air perkolasi lambat bergerak; (3) penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat; (4) flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt, dan (5) oleh kejenuhan basa yang lebih tinggi. Pada tanah masam, kation Al3+ memiliki kemampuan yang kuat dalam memflokulasi liat. Mobilitas liat dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Soil Survey Staff (1999) mengemukakan bahwa liat dapat bergerak, apabila bahan pengikat (seskuioksida atau lainnya) terlarut lebih dahulu. Proses pembasahan tanah yang kering, dapat memicu kerusakan fabrik tanah dan mendispersi liat. Dikatakan pula bahwa pada tanah-tanah yang kering secara periodik, suspensi liat akan bergerak ke bagian bawah, dan berhenti di bagian tanah yang kering dimana larutan tanah akan diserap oleh butir-butir struktur tanah (ped). Selama penyerapan tersebut permukaan ped berlaku sebagai filter, agar liat tidak masuk ke bagian dalam ped. Dengan demikian, liat tersebut akan menyelaputi ped tanah, membentuk suatu lapisan yang terorientasi dan dikenal dengan selaput liat (clay skin). Khalifa dan Buol (1968) menyatakan bahwa terjadinya selaput liat berkaitan dengan akumulasi liat dalam bentuk koloid, selaput liat, atau selaput tipis liat (clay film). Selaput tipis liat tersusun dari kristal-kristal liat alumino-silikat iluviasi yang terorientasi, yang oleh Buol dan Hole (1961) disebut dengan ”clay skin” dan oleh Brewer (1976) disebut ”illuviation argillan” untuk mendeskripsi adanya alumino-silikat liat yang mengalami translokasi.
13
Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat
Tanah Ultisol Bullock
dan
Thompson
(1985)
menyatakan
ekspresi
sifat-sifat
mikromorfologi horison argilik tergantung dari distribusi ukuran butir tanah secara keseluruhan, bukan hanya ditentukan oleh ukuran butir yang tersedia untuk translokasi, tetapi juga pengaruh dari ukuran pori yang dapat dile wati oleh partikel iluviasi. Federoff dan Eswaran (1985) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kenampakan mikromorfologi argilik pada Ultisol berdrainase baik, dan Ultisol berdrainase buruk. Pada tanah Ultisol yang berdrainase baik, terbentuk horison iluviasi yang baik, terdiri dari free packing skeleton grain yang sebagian besar diselaputi oleh plasma. Seringkali dijumpai kenampakan tekstur yang berkaitan dengan pengolahan tanah yang disebut agricutan. Horison B umumnya mengandung argilan, tetapi jumlah atau presentasi banyaknya sangat bervariasi, dari sangat sedikit sampai sangat tinggi persentasinya. Juga dijumpai, setiap pori diselaputi atau diisi oleh liat, sedangkan pada bagian lainnya kandungan argilan dijumpai secara sporadik. Argilan dijumpai juga pada bidang permukaan pori di antara vugh dan packing void, tapi agak jarang pada channel voids . Argillan tersebut terdapat sebagai selaput pada pori yang berukuran besar, dan sebagai pengisi pada pori yang berukuran kecil. Fedoroff dan Eswaran (1985) menyatakan bahwa, argilan pada horison B, seringkali dalam bentuk microlaminated
yang secara umum bentuk
laminasinya sempurna. Warnanya berkaitan dengan warna plasma, warna interferensinya (interference colour) lemah sampai sedang, dari abu-abu sampai kuning pucat. Bila liat kaolinit dominan, keteraturan susunan atau struktur bahan halus atau plasmik fabriknya (plasmic fabric ) cenderung insepik atau undulik,
14
plasmanya tampak berlilin (waxy). Bila matriks tanahnya kaya seskuioksida, maka insepik plasmik fabrik akan tertutup dan berubah menjadi isotik. Warna plasma berkisar dari merah ke kuning. Butiran kasarnya (skeleton grain) terdiri dari mineral yang resisten, didominasi oleh kuarsa dan sedikit mineral mudah lapuk yang dapat dihitung, seperti biotit, feldspar, dan muskovit. Pada tanah Ultisol yang berdrainase buruk, pada zona dimana air tanah berfluktuasi, horison bagian bawah tereduksi, maka argilan umumnya berwarna pucat, dari kelabu sampai kuning pucat. Pada zona dimana terjadi oksidasi besi, maka argilan tampak berwarna merah atau bintik-bintik merah. Laminasi dari argilan tidak dijumpai, atau kalaupun tampak, bentuknya menggulung. Warna interferensi sedang, dari kelabu putih sampai kuning pucat. Sebagian besar argilan berlokasi pada bidang pori, atau menyusup/ mengisi ke dalam pori (infilling vugh dan channel void). Plasma yang selalu ada, berwarna kelabu sampai kuning. Plasmik fabrik umumnya lebih berkembang pada Ultisol yang berdrainase baik, dengan warna interferensi kuat. Pada tanah yang selalu jenuh air (permanen), ion ferro dijumpai dan memberi warna kehijauan dan kebiruan. Pada horison yang jenuh air, textural feature seringkali dijumpai dalam bentuk interkalasi, yakni tidak berkaitan dengan pori, dan merupakan
bentuk
eksternal
yang
fleksibel
(dapat
membengkok)
dan
memanjang. Hal tersebut menunjukkan tidak dapat terjadi penyelaputan (coating) akan tetapi proses berintegrasi ke dalam matriks ataupun mengisi pori.
Tanah Alfisol Bullock dan Thompson (1985) menyatakan ada perbedaan kenampakan mikromorf ologi yang jelas pada horison argilik yang ditemukan di tanah Alfisol berpasir, berlempung, dan berliat. Pada tanah Alfisol yang teksturnya berpasir, butiran partikel pada horison argilik diselaputi dan dihubungkan oleh liat yang
15
teriluviasi. Beberapa kasus penyelaputan memiliki warna interferensi yang kuat, tapi pada beberapa tanah penyelaputan dapat berupa campuran partikel yang memberikan warna interferensi yang lemah. Sering dijumpai bahwa seluruh liat yang berada pada horison bawah merupakan asli akibat iluviasi. Pada tanah dengan tekstur berlempung, dijumpai distribusi ukuran partikel yang jelas antara selaput liat dan matriks tanah, yang disertai dengan bireferen yang baik dari selaput, dan mudah untuk diidentifikasi. Kenampakan mikromorfologi selaput liat dari horison argilik pada tanah bertekstur sedang ini adalah adanya orientasi liat yang jelas, tekstur yang kontras, dan batas yang sangat jelas dengan matriks tanah. Pada tanah yang berliat, identifikasi selaput liat sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Sulit membedakan matriks tanah dengan liat yang diiluviasi, karena memiliki tekstur yang sama; (2) Adanya kembang kerut tanah (pada tanah yang mengandung mineral 2:1), selaput liat terintegrasi dalam matriks; (3) Penyelaputan pada slikenside (stress coating) hampir sama dengan penyelaputan pori oleh liat iluviasi. Khalifa dan Buol (1968) mempelajari genesis selaput liat pada tanah Typic Hapludult menemukan bahwa, komposisi selaput liat pada horison argilik sama dengan yang berada pada horison A. Dikatakan pula bahwa, selaput liat berada secara kontinyu pada permukaan ped dan sekitar lubang akar. Kenampakan mikromorfologi pada tanah-tanah yang berdrainase sangat buruk berbeda dengan tanah-tanah yang berdrainase agak buruk sampai agak baik. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Nettleton et al. (1968), bahwa pada tanah yang berdrainase sangat buruk keberadaan argilan sangat sedikit, sebaliknya meningkat pada tanah yang berdrainase buruk sampai agak baik. Dikatakan pula bahwa papule umum dijumpai pada tanah yang berdrainase sangat buruk, sebaliknya sangat sedikit pada tanah-tanah yang berdrainase baik.
16
Tanah Inceptisol Aurousseau et al.(1985) mengatakan bahwa, kenampakan genetik secara mikromorfologi pada horison kambik sangatlah lemah. Berdasarkan hal tersebut, maka studi mikromorfologi pada horison ini sangat jarang dilakukan. Namun sesuai dengan definisi dari horison tersebut, maka struktur tanah merupakan kriteria utama untuk dapat mengidentifikasi horison kambik. Beberapa bentuk keberadaan horison kambik secara mikromorfologi yang ada, dibedakan sebagai berikut: Mikromorfologi horison kambik yang bersifat masam memiliki tekstur struktur gumpal halus yang terbagi lagi menjadi mikrogranular struktur. Ditemukan pula str uktur gumpal membulat dengan ukuran halus. Terdapat porositas interagregat yang tinggi (50%) akibat adanya struktur mikrogranular. Sedangkan pada daerah yang memiliki struktur gumpal porositas interagregatnya adalah tubular. Selanjutnya dikatakan bahwa kenampakan mikromorfologi pada tanahtanah yang memiliki horison kambik berkapur biasanya dijumpai skeleton yang mengandung butir-butir kalsit dengan jumlah yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Kowalinski (1969, 1974, dan 1978), Durand(1979) dalam Aurosseau et al., 1985, menjumpai bahwa, pada horison kambik pada tanah berkapur memiliki jenis pori packing void, planes, dan vughs. Terdapat banyak channel pori akibat intensifnya aktivitas mikroorganisme. Memiliki agregat yang membulat dengan retakan halus, dan banyak pori channel. Kenampakan pedologi adalah fecal pelet, glabulae, dan tidak terdapat argillan.
Pada horison kambik yang memiliki sifat andik, dijumpai mikroagregat yang membulat yang tersebar secara random dalam horison. Biasanya mengandung fragmen besi yang berwarna merah, fragment bahan organik yang
17
berwarna abu-abu atau hitam. Plasma berwarna kecoklatan dengan birefringen lemah. Memiliki free packing fabric dan close packing fabric. Bahan Induk Tanah
Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting oleh perintis pedologi (Dokuchaev, 1887 dalam Hardjowigeno, 1993). Di katakan pula oleh Jenny (1941) bahwa bahan induk adalah keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Di daerah tropika basah, selain faktor iklim, bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya, yang akhirnya menentukan jenis tanah yang terbentuk dan potensinya untuk pertanian. Birkeland (1974) menyatakan bahwa, penyebaran partikel liat pada tanah yang mengalami perkembangan sedang sampai kuat ditandai oleh rendahnya kandungan liat pada horison A dan C, maksimum pada horison B. Kandungan liat dapat dipengaruhi oleh bahan induk. Jika bahan induk mengandung mineral yang mudah lapuk maka akan menghasi lkan banyak liat, sebagian liat akan terakumulasi pada horison B sehingga teksturnya lebih halus, sebaliknya bila bahan induk sukar dilapuk maka hanya sedikit liat yang terakumulasi pada horison B. Karena horison argilik terbentuk dengan laju yang relatif lambat, maka permukaan geomorfik haruslah relatif stabil dan dalam periode yang lama. Hasil observasi mikromorfologi pada tanah Planosol berbahan induk volkanik oleh Jongmans et al. (1991) menunjukkan bahwa, perubahan fragmen batuan volkanik dan biotit me njadi sumber utama fraksi liat. Perbedaan tekstur pada tanah tersebut akibat iluviasi liat, selain pelapukan dan pembentukan baru (neoformation). Dewayany (1984), mengklasifikasikan tanah Orthoxic Tropudult di daerah Darmaga, yang terbentuk dari bahan induk volkan dengan batas atas horison Bt
18
pada kedalaman 36 cm dan batas bawah 113 cm dari permukaan. Dikatakan horison argilik tersebut terjadi secara kontinu dan tidak diselingi batuan, mineral liat yang dominan adalah haloisit. Tirtoso (1984) mengklasifikasikan tanah di daerah Cikarawang yang berbahan induk volkanik sebagai Tropudult dengan tebal horison argilik sekitar 40 cm dan mineral liat yang dominan adalah haloisit. Alghan (1980) mengklasifikasi tanah pada suatu lereng yang berasal dari bahan induk volkanik di daerah Cigudeg, berturut-turut dari puncak lereng sampai lereng paling bawah, sebagai Orthoxic Tropohumult, Typic Tropohumult, Epiaquic Tropohumult, dan Aquic Tropudalf. Pada daerah yang berbahan induk sedimen kapur (Jonggol dan sekitarnya) Witja ksono (1986) mengklasifikasikan tanah-tanah Typic Tropaqualf dan Aquic Tropudalf (Bt 10-51 cm), dan Vertic Tropudalf (Bt 10 – 55 c m), mineral yang dominan adalah montmorilonit. Namun demikian Penelitian pada tanahtanah berargilik dengan bahan induk sedimen dan volkanik di Indonesia masih sangatlah terbatas.
Tanah-tanah dengan Horison Penimbunan Liat Tanah Alfisol Buol et al. (1980) menjelaskan pembentukan tanah Alfisol diawali oleh terjadinya pencucian yang intensif terhadap karbonat pada horison permukaan. Kemudian terjadi eluviasi liat di horison A dan liat tersebut di endapkan di horison B. Selain itu di horison B juga terjadi pembentukan liat melalui pelapukan feldspar, mika, dan mineral ferromagnesium. Proses eluviasi berlanjut terus sehingga menyebab kan horison A lebih terdeplesi (khususnya liat) dibanding horison B. Proses terakhir adalah tersusunnya bahan kasar di atas bahan halus membentuk tanah Alfisol.
19
Morfologi yang menonjol pada tanah Alfisol adalah adanya horison eluviasi dan iluviasi. Thorp dan Smith (1959) menyimpulkan bahwa eluviasi liat di horison A dan iluviasi liat di horison B merupakan faktor penyebab utama terjadinya perbedaan tekstur antara kedua horison ini. Rust (1983) menyatakan bahwa horison permukaan pada tanah Alfisol ditandai dengan warna tanah yang terang. Pada tanah yang tidak diolah seperti hutan, jatuhan daun merupakan sumber bahan organik tanah. Pada horison ini belum terjadi perkembangan struktur yang jelas. Horison argilik pada tanah Alfisol, sebagaimana yang ditemukan pada tanah-tanah lain, membutuhkan periode waktu dimana solum atau bagian solum mengalami proses kekeringan. Dengan demikian hasil pelapukan maupun koloidkoloid yang terlarut di bagian atas solum kemudian dapat terendapkan pada permukaan struktur, di dala m pori, maupun pada lubang akar. Bartelli dan Odell (1960) mengatakan bahwa zona pengendapan akan bervariasi, umumnya menjadi lebih dalam pada tanah-tanah yang bertekstur kasar. Penelitian tentang horison argilik oleh Nettleton et al. (1975) diperoleh bahwa jika horison argilik terbentuk akibat proses translokasi liat, maka pada horison tersebut tidak hanya mengandung lebih banyak liat dari horison A tetapi harus lebih banyak mengandung liat halus. Selanjutnya dikatakan pula bila pada horison tersebut tidak terjadi proses pengembangan dan pengkerutan yang jelas maka harus memiliki selaput liat.
Tanah Ultisol Beberapa proses dan reaksi secara individu terlibat dalam proses pembentukan Ultisol. McCaleb (1959) dalam Buol et al. (1980) membicarakan tentang pembentukan tanah Podsolik Merah Kuning yang kemudian diketahui sebagai Ultisol.
20
Banyak Ultisol terutama yang terletak pada lahan yang stabil tidak memiliki selaput liat seperti yang dikemukakan oleh Gamble et al. (1970). Ultisol di daerah tropik cenderung memiliki horison E yang bertekstur agak lebih halus, mengandung lebih banyak bahan organik dan besi, dibanding Ultisol yang berasal dari subtropik. Pencucian yang ekstensif terjadi pada Ultisol telah mengakibatkan berpindahnya basa-basa, konsentrasi basa berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa siklus biologi terjadi bersamaan dengan proses pencucian. Permukaan tanah Ultisol yang berdrainase baik berwarna terang (epipedon okrik). Biasanya dijumpai lapisan yang hitam (10 cm) yang menunjukkan adanya proses melanisasi pada Ultisol. Proses ini disertai proses mineralisasi yang sangat cepat pada tanah Ultisol yang berdrainase baik. Kandungan bahan organik yang relatif tinggi dijumpai pada Ultisol yang berdrainase buruk (Umbraaquults). Saat permukaan yang berwarna gelap berkembang di bawah kondisi alamiah maka, kejenuhan basanya (NH4 OAc) biasanya kurang dari 50%, dan diklasifikasikan sebagai epipedon umbrik. Kebanyakan epipedon umbrik yang telah dikapur dapat berubah menjadi epipedon molik. Tanah yang mempunyai epipedon molik akibat pengapuran dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Ultisol jika bahan yang berada di lapisan bawahnya merupakan horison argilik dan memiliki kejenuhan basa (jumlah kation) yang cukup rendah (< 35%). Kedalaman diagnostik untuk menentukan kejenuhan basa pada Ultisol adalah 125 cm (50 inci) di bawah permukaan argilik atau pada kedalaman 180 cm (72 inci) di bawah permukaan tanah, pilih mana yang lebih dangkal, bila tanah tidak ada kontak litik atau paralitik yang lebih dangkal dari kedalaman tersebut. Kriteria ini dibuat untuk menggambarkan pencucian yang ekstensif pada
Ultisol
dan
juga
menempatkan
kedalaman
yang
cukup
untuk
21
mengantisipasi perubahan dalam klasifikasi tanah karena praktek pengelolaan tanah. Dua kenampakan yang umum tapi tidak harus ada pada Ultisol adalah plintit dan fragipan. Plintit dapat muncul pada horison bawah permukaan di Ultisol yang berkembang pada lansekap yang tua dan stabil. Gamble et al. (1970). Sumber daripada plintit adalah bercak yang berwarna merah terang, umumnya dengan pola retikulasi (reticulate) di dalam tanah. Saat terjadi pembasahan dan pengeringan yang
berulang, beberapa dari bercak merah
tersebut mengeras dan tidak dapat balik (irreversible). Namun tidak semua bercak merah di dalam tanah akan mengeras menjadi plintit. Dari banyak pengamatan plintit di Ultisol mengindikasikan bahwa plintit dijumpai pada kedalaman dimana terdapat fluktuasi air tanah musiman. Walaupun plintit dijumpai pada banyak Ultisol, hanya apabila menjadi pembatas drainase yang dimasukkan pada sistem taksonomi, yakni berada sekitar 10 – 15% dari volume horison tanah. Fragipan dapat dijumpai pada Ultisol, khususnya pada Ultisol yang berdrainase buruk. Fragipan sama halnya dengan lapisan plintit, dapat menjadi sebagai pembatas pergerakan air di dalam tanah. Pada Ultisol fragipan menjadi baur dengan lapisan plintit dimana bercak kelabu terjadi pada zona seperti bercak plintit yang berwarna merah. Fragipan juga dapat ditemukan tanpa adanya plintit, dimana terdapat dalam bentuk warna kelabu. Adanya fragipan pada Ultisol telah dilaporkan oleh Daniels et al. (1966); Nettleton et al. (1968); Soil Survey Staff, (1960) namun genesis daripada fragipan masih belum jelas. Morfologi tanah Ultisol sama dengan tanah Alfisol dalam hal adanya horison eluviasi dan iluviasi liat. Typic Hapludult paling banyak ditemukan. Epipedon okrik terdapat di atas horison argilik yang berwarna merah, coklat kekuningan, dan coklat kemerahan. Secara ideal horison yang ada pada tanah
22
Ultisol adalah A, E, BE, Bt, BC, dan C. Peningkatan liat bertambah secara berangsur dari bagian atas horison B menjadi maksimum pada bagian atas horison argilik, kemudian berkurang dengan bertambahnya kedalaman ke horison C. Ketebalan solum tanah sekitar 1,5 sampai 2 meter. Proses pembentukan Ultisol menekankan adanya pelapukan yang ekstensif dan pencucian basa -basa, pembentukan dan translokasi liat, akumulasi seskuioksida, dan perkembangan warna tanah. Jenis, jumlah, dan distribusi mineral sangat berpengaruh pada morfologi dan sifat-sifat lain dari Ultisol. Faktor-faktor seperti komposisi mineral, proses pelapukan dan transformasi mineral sangat berpengaruh pada perkembangan Ultisol.
23
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 10 pedon pewakil yang tersebar di daerah Kabupaten Bogor dan Banten (Gambar 1 dan 2). Pedon-pedon pewakil tanah Ultisol Alfisol, Inceptisol yang berada di Kabupaten Bogor (Tabel 1 dan Gambar 1)) dan berkembang dari Batuliat diambil di desa Cendali, Cijayanti-1, dan Cijayanti-2; yang dari Batu kapur di desa Pasircabe (Jonggol) ; dan yang dari bahan Volkanik-Andesitik diambil di desa Ciampea dan Jasinga. Sementara dua pedon pewakil yang berkembang dari bahan Volkanik-Dasitik, berada di Kabupaten Serang (Tabel 1, Gambar 2) diambil di desa Cipocok.
Analisis tanah dilakukan di Laboratorium
Genesis, Klasifikasi, dan Mineralogi Tanah, dan Laboratorium Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis mineral liat dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Analisis irisan tipis dilakukan di Labortorium Tanah , Fakultas Geografi, UGM Yogyakarta. Waktu penelitian mulai pada bulan Juni 2003 – Juni 2004.
Tabel 1. Lokasi, Jenis Bahan Induk, dan Regim Kelembaban Tanah Pedon-pedon Pewakil. No. Pedon Lokasi Bahan Induk Regim Kelembaban Tanah Kabupaten Bogor : AM1 Cendali Batuliat Akuik AM2 Cijayanti-1 Batuliat Perudik AM3 Cijayanti-2 Batuliat Akui k AM4 Pasircabe-Jonggol Batukapur Perudik AM5 Pasircabe-Jonggol Batukapur Perudik AM6 Pasircabe-Jonggol Batukapur Akuik AM7 Jasinga Volkanik-Andesitik Perudik AM8 Ciampea Volkanik-Andesitik Perudik
AM9 AM10
Kabupaten Serang : Cipocok Cipocok
Volkanik-Dasitik Volkanik-Dasitik
Ustik Akuik
Gambar 1. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Bogor.
25
Gambar 2. Peta Lokasi Pedon Pewakil di Kabupaten Serang.
26
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 pedon pewakil tanah Alfisol dan Ultisol, terdiri dari 65 contoh tanah berasal dari masing-masing horison. Regim kelembaban tanah Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol yang berkembang dari bahan induk batuan sedimen (Batu liat dan Batukapur) dan bahan Volkanik-Andesitik, di daerah Kabupaten Bogor adalah akuik dan perudik. Sedangkan Ultisol, Alfisol, atau Inceptisol dari bahan Volkanik-Dasitik yang berada di daerah Kabupaten Serang mempunyai regim kelembaban tanah ustik dan akuik.
Metodologi Penelitian Penelitian Lapangan Penentuan lokasi pedon pewakil masing-masing tanah yang diteliti didasarkan pada kegiatan pendahuluan, yakni pengamatan tanah dengan menggunakan Peta Tanah Tindjau Mendalam Kabupaten Bogor dan sekitarnya, skala 1: 50.000 (Hardjono, dan Soepraptohardjo, 1966), Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor, skala 1 : 250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), Peta Geologi Lembar Bogor , skala 1: 100.000 (Effendi et al., 1998) dan Peta Rupabumi Lembar Bogor, Cileungsi, Leuwiliang, dan Serang, skala 1:25.000 (Bakosurtanal, 1998). Kegiatan pengamatan lapang dilakukan untuk menentukan pedon pewakil. Kegiatan pengamatan diawali dengan melakukan pemboran tanah dan pembuatan mini pit, dan akhirnya menentukan titik pedon yang memenuhi syarat sebagai pewakil. Pedon pewakil yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, adalah yang memiliki horison penimbunan liat (Bt) dan berkembang dari bahan induk batuan sedimen dan/atau bahan
volkanik, serta mempunyai regim kelembaban akuik,
perudik/udik, atau ustik. Selanjutnya dilakukan pembuatan profil tanah, yang kemudian dideskripsikan dan diambil contoh tanah dari masing-masing horison
27
mengikuti prosedur yang diuraikan dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993). Pedon-pedon pewakil yang diambil tersebut, telah disesuaikan dengan keadaan penyebaran jenis tanah dan bahan induk di lokasi penelitian. Profil tanah dibuat dengan ukuran sekitar 2 X 1,5 meter (panjang x lebar), dengan kedalaman sampai 2 meter. Deskripsi morfologi lapang dibuat pada masing -masing profil meliputi semua horison tanah berikut sifat-sifatnya, antara lain, tekstur, struktur, konsistensi, warna, karatan, selaput liat, dan
kedalaman perakaran, serta sifat-sifat fisik dan
lingkungan lain yang berkaitan dengan kondisi profil. Dari setiap horison yang didesripsi diambil contoh tanah sekitar 2 kg , untuk kebutuhan analisis fisika, kimia, dan mineralogi tanah.
Contoh tanah utuh (tidak
terganggu) untuk keperluan analisis irisan tipis (thin section), diambil pada horison argilik, mengikuti metode Kubiena (1938), dan interpretasinya berdasarkan metode deskripsi irisan tipis oleh Bullock et al. (1985). Data morfologi tanah dan keadaan fisik lingkungan di sekitar pedon (nama tempat, ketinggian, iklim, kedudukan pedon dalam topografi, dan informasi penunjang lainnya)
didokumentasikan pada lembar isian
yang sudah disiapkan sebelumnya Berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang diperoleh dan hasil analisis sifat tanah di laboratorium, maka tanah di klasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi tanah Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Staff, 1998; 1999) sampai tingkat famili tanah.
Penelitian Laboratorium : (1)
Analisis fisika dan kimia Untuk keperluan analisis fisika dan kimia tanah digunakan contoh tanah
terganggu yang berasal dari masing-masing horison dari setiap pedon pewakil. Contoh-contoh tanah tersebut setelah dikering-anginkan, dicampur agar merata,
28
kemudian diayak dengan ayakan ukuran 2 mm, untuk memperoleh tanah halus < 2mm, yang siap untuk bahan analisa laboratorium. Jenis analisis dan metode yang dilakukan, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis Analisis Tanah, Metode dan Kegunaannya dalam Penelitian. No. 1
Metode
Tekstur
Sifat tanah Pipet
Kegunaan Distribusi ukuran partikel(liat halus/liat total); genesis dan klasifikasi tanah
2
C-Organik
Walkley and Black
Genesis & Klasifikasi tanah
3
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
1N NH4OAc, pH7
Klasifikasi tanah
4
Kemasaman terekstrak (Extractable Acidity )
BaCl2-TEA, pH 8,2
Klasifikasi tanah
5
Kation dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na-dd)
1N NH4Oac, pH7
Klasifikasi tanah
6
Kemasaman dapat tukar (Exchangeable Acidity)
1 N KCl
Klasifikasi tanah
7
Besi Bebas (Fe 2O3)
Ditionit-sitratbikarbonat
Akumulasi besi, (Genesis tanah )
8
Mineral liat
X-ray Diffraction
Jenis liat (Genesis dan klasifikasi tanah )
9
Mineral pasir total
Line counting
Jenis mineral pasir (Genesis tanah)
10
Mikromorfologi tanah
Irisan tipis (Bullock et al., 1985)
Sifat mikromorfologi (Genesis dan klasifikasi tanah)
(2)
Analisis mineralogi Identifikasi mineral liat menggunakan analisa X-ray diffraction (XRD) dilakukan
pada masing-masing contoh tanah terpilih, yang mewakili horison eluviasi dan iluviasi maksimum dari setiap pedon pewakil.
Analisis terhadap contoh liat dilakukan
menggunakan 4 perlakuan standar yaitu penjenuhan dengan kation (1) Mg, (2) Mg, ditambah gliserol, (3) K, dan (4) K dan pemanasan 550 oC.
29
(3)
Analisis Mikromorfologi Contoh tanah yang tidak terganggu diambil dari horison Bt pada masing-
masing pedon pewakil menggunakan metode kotak Kubiena (Kubiena, 1938; Bullock et al., 1985) dengan beberapa modifikasi. Cara pengambilan contoh tanah untuk kebutuhan analisis irisan tipis ini dilakukan dengan menentukan titik pengambilan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, mempelajari karakteristik horison penimbunan liat. Dengan demikian, contoh diambil pada horison Bt pada masingmasing pedon. Ukuran contoh yang digunakan adalah ukuran Mammoth (20X10 cm) yang dimodifikasi berdasarkan metode Jongerius dan Heintzberger (1975). Orientasi contoh irisan tipis, sesuai dengan tujuan mempelajari tentang iluviasi liat, adalah orientasi horizontal. Pengamatan dan deskripsi selaput liat serta kenampakan mi kromorfologi lainnya pada horison penimbunan liat, didasarkan pada konsep bahan kasar dan halus dari ”soil fabric ” dikaitkan dengan pola distribusinya dan bireference fabric (bfabric) dari bahan halus (Brewer, 1976; Bullock et al., 1985).
Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif/kualitatif. Cara kualitatif dilakukan terhadap data sifat-sifat horison penimbunan liat hasil pengamatan di lapang, data sifat fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi hasil analisis laboratorium horison peni mbunan liat yang diperoleh.
30
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi Penelitian Daerah penelitian terletak di daerah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat (pedon AM1 s/d AM8), dan Kabupaten Serang Propinsi Banten (pedon AM9 dan AM10) disajikan pada Peta lokasi penelitian (Gambar 1 dan Gambar 2).
Geologi Keadaan geologi lokasi penelitian diuraikan berdasarkan data dari peta geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya yang bersumber pada Peta Geologi Jawa dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1 : 500.000 (Direktorat Geologi, 1968), dan Geologi Lembar Serang skala 1 : 100.000 (Rusmana et al., 1991) dan disajikan pada Gambar 3 dan 4. Lokasi pedon-pedon pewakil di Kabupaten Bogor (Gambar 3) : Daerah Cendali (pedon AM1) terbentuk dari formasi Bojongmanik Tmb (Tertiary miosen Bojongmanik), yakni endapan tersier zaman Miosen yang terdiri dari endapan batugamping, tuff batuapung, dan batuliat. Daerah Cijayanti (pedon AM2 dan AM3) merupakan endapan batu napal dan batu serpih berumur awal Miosen dari formasi Jatiluhur Tmj (Tertiary Miosen Jatiluhur). Pedon AM1, AM2, dan AM3 pada Gambar 3 berada pada fasies Sedimen Pliosen (warna kuning). Daerah Pasircabe, Jonggol (pedon AM4, AM5, dan AM6) berasal dari bahan endapan
laut dan sungai
(kuarter), serta kapur pada tertier muda. Di daerah Jasinga (pedon AM7) terbentuk dari bahan Volkanik-Andesitik. Daerah Ciampea (pedon AM8) terbentuk dari batuan volkan (Qvst) (gunung Salak) merupakan endapan kuartier. Pada Gambar 3, pedon AM8 dan AM7 berada pada batuan Andesit (warna merah bata).
Gambar 3. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Bogor)
34
Gambar 4. Peta Geologi Lokasi Penelitian (Daerah Serang)
35
Lokasi pedon pewakil di Kabupaten Serang, Banten: daerah Cipocok Serang (Pedon AM9 dan AM10). Geologi di daerah Serang dipengaruhi oleh aktivitas gunung berapi sejak akhir tersier (late Tertiary). Berdasarkan peta geologi Serang dan sekitarnya, skala 1:100.000 oleh Rusmana et al. (1991) (Gambar 4), daerah penelitian dimana pedon AM9 dan AM10 tersebut, umumnya terbentuk dari bahan volkanik pada masa kuarter (Quaternary), yang membentuk kompleks bahan volkanik, berupa bahan tufa Banten Qpvb (Quarternary pleistosin volkanik Banten) atau dikenal dengan “ Tuf Banten” yang terbentuk dari bahan-bahan tuf, breksi batuapung dan batupasir tufan.
Topografi Topografi wilayah penelitian di Kabupaten Bogor: Daerah Cendali (AM1) terdiri dari topografi yang agak datar sampai bergelombang. Daerah Cijayanti, Bukit Sentul bertopografi berbukit (AM2) dan agak datar (AM3). Daerah Pasircabe, Jonggol (AM4, AM5, dan, AM6), memiliki topografi yang berombak yang merupakan kompleks perbukitan kapur. Di daerah Jasinga (AM7)dan Ciampea (AM8) merupakan daerah berbukit. Topografi di daerah Serang (AM9 dan AM10) merupakan bagian dataran rendah pantai Utara Jawa Barat, yang berketinggian kira-kira 25 meter dpl, dan umumnya memiliki topografi datar sampai berombak. Lokasi pengambilan contoh tanah merupakan daerah yang datar (AM10) dan berombak (AM9). Adapun posisi topografi masing-masing pedon pewakil disajikan pada Gambar 5.
36
Cendali (AM1)
Cijayanti-1 (AM2)
Cijayanti-2 (AM3)
Pasircabe (AM4) (AM5)
(AM6 ) Ciampea (AM8)
Jasinga (AM7) Cipocok (AM9) AM10
Gambar 5. Lokasi Setiap Pedon Pewakil dalam Topografi
Iklim Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah, melalui faktor suhu dan curah hujan. Dimana keduanya secara langsung berpengaruh terhadap bahan induk sebagai sumber utama bahan pembentuk tanah. Data iklim diambil dari stasiun yang terdekat dengan daerah lokasi pengambilan pedon dalam penelitian dan disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Menurut perhitungan dengan pendekatan model yang dikemukakan oleh Newhall (1972), dalam Wambeke (1985) maka, regim suhu tanah daerah penelitian memiliki regim suhu tanah isohipertermik (Lampiran 12). Pendekatan tersebut diperoleh dengan rumus Suhu tanah = 2,5 + suhu udara rata-rata tahunan (oC). Isohipertemik adalah regim suhu tanah di mana, suhu tanah rata-rata tahunan
37
adalah 22 oC atau lebih tinggi, dan perbedaan antar suhu tanah musim panas ratarata dan musim dingin rata-rata, adalah kurang dari 6 oC. Pada daerah penelitian di Kabupaten Bogor, regim kelembaban tanah yang ada adalah akuik, dan perudik serta ustik di Kabupaten Serang. Akuik (bahasa Latin, aqua, atau air) adalah suatu regim reduksi dalam tanah yang jenuh oleh air dan bebas oksigen. Lamanya waktu tanah jenuh air sekurang-kurangnya beberapa hari (Soil Survey Staff, 2003). Perudik (bahasa Latin, per atau pada keseluruhan waktu dan udus, atau lembab) apabila penggal penentu (control section) kelembaban tanah tidak pernah kering (lebih basah dari udik) di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif dalam setahun (Soil Survey Staff, 1999). Dalam klasifikasi tanah, regim kelembaban perudik jarang digunakan, sehingga dalam penelitian ini digunakan udik sebagai regim kelembaban tanah. Ustik adalah regim kelembaban tanah (bahasa Latin, ustus, terbakar, menyatakan kekeringan) di mana penampang kontrol kelembaban kering pada sebagian atau semua bagiannya selama 90 hari kumulatif atau lebih, dalam setahun.
Penggunaan lahan Di daerah penelitian Kabupaten Bogor, penggunaan lahan umumnya untuk usahatani padi sawah, bila ketersediaan air cukup (air tanah dangkal). Sedangkan pada lokasi yang memiliki air tanah dalam, usahatani umumnya palawija. Di daerah penelitian Kabupaten Serang, khususnya di daerah dataran (plain) yang sering dijenuhi air, musim basah dimanfaatkan untuk usahatani
38
Tabel 3. Data Curah Hujan (mm) Bulanan Daerah Sekitar Penelitian (Rata-rata 10 Tahun).
St a si u n No Pedon AM1: 1 Ci mulang
2
CurahH uj a n( mm) Re g i m Ke t i ng g i a n Jan Feb Ma r A pr Mei Jun Jul Ags Sep Ok t Nov Des TahunKT 1 50 m dpl 51 3 380 507 39 8 330 235
Pedon AM2 da n AM3 : Pasi rMaung 21 8m dpl 475
21 7 245 337 320 369 31 3 41 64
31 1 41 9 359 40 2 1 9 0 27 3 293 380 49 0 40 5
Ak u i k
467 4464 Perudik( AM2) Ak uik( AM3)
Pedon AM4, A M5, dan AM6 : 3 Jonggol 34m dpl 388 248 297 361 21 0 284 21 3 1 51 1 78 225 249 31 1 31 1 5 Perudik( AM4, 5) Ak u i k Pedon AM7: 4 Jasi ng a 50 m dpl 31 0 1 73 21 6 37 0 242 1 7 0 21 5 1 78 21 6 247 262 253 2852 Perudik
5
Pedon AM8 : Dramaga
6
Pedon AM9 dan AM10 : Serang 25m dpl
Keterangan:
220m dpl
382
289
303 409 415 338 264
225 191 130 115
68
275
75
191 285 339 360
69
67
99 120
341
185
Sumber data Badan Geofisika dan Meteorologi Jakarta, Tahun 1977-1986 Regim KT = Regim Kelembaban Tanah, Regim ST = Regim Suhu Tanah (lihat Lampiran 12).
3902
Perudik
1633
Ustik (AM9) Akuik (AM10)
Tabel 4.
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Data Suhu Udara Maksimum, Minimum, dan Rata-rata Bulanan Daerah Kabupaten Bogor, Diwakili Stasiun Darmaga (250 dpl) (1989-1999). Suhu udara (oC) maksimum minimum Rata-rata 29 23 26 30 22 26 31 22 26,5 31 23 27 32 23 27,5 31 22 26,5 32 21 26,5 32 21 26,5 32 22 27 32 22 27 30 23 26,5 32 22 27
Rata-rata
31
22
26,5
padi sawah. Pada musim kering, penggunaan tanah beralih ke industri bata atau genteng.
Untuk lokasi yang bertopografi berombak di mana air tanah
dijumpai lebih dalam, penggunaan lahan umumnya adalah usahatani palawija serta buah-buahan.
Vegetasi Di semua lokasi penelitian, baik di Kabupaten Bogor maupun Serang sudah tidak dijumpai vegetasi asli, kecuali di perbukitan kapur di dekat lokasi pedon AM-4 dan AM-5 (Pasircabe, Jonggol) masih terdapat vegetasi rumput alami, berupa tumbuhan babadotan (Ageratum conyzoides), harendong (Melastoma malabatricum), kirinyuh (Eupathorium odoratum), dan alang-alang (Imperata cylindrica). Selain lokasi tersebut, vegetasi yang dijumpai umumnya berupa tanaman pertanian seperti padi, palawija, dan tanaman tahunan (buahbuahan). Pada saat penelitian di daerah Pasircabe, Jonggol, yang merupakan kebun percobaan Fakultas Peternakan IPB, tidak diusahakan untuk tanaman
40
pertanian, karena lokasi tersebut digunakan untuk peternakan dengan vegetasi rumput. Selain itu tanaman di sekitar kebun percobaan yang dijumpai umumnya padi sawah, singkong, dan kelapa.
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat-sifat Tanah Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Pedon Berbahan Induk Batuliat Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil berbahan induk batuliat disajikan pada Tabel 5. Adapun deskripsi profil tanah masingmasing pedon disa jikan pada Lampiran 1, 2, dan 3. Pedon AM1. Susunan horison pedon ini terdiri dari horison Ap yang sangat tipis (10 cm), dan horison Bt pada kedalaman 10 cm sampai 130 c m, serta horison peralihan BC pada kedalaman 130-200 cm. Hasil pengamatan terhadap warna tanah menunjukkan bahwa horison permukaan (Ap) memiliki
warna
kelabu
kecoklatan
(10YR 5/1), sama dengan warna horison Bt bagian atas. Sedangkan bagian bawah Bt, berwarna kelabu sampai kelabu terang kecoklatan (10YR 6/1–6/2), warna yang sama dijumpai sampai pada horison peralihan BC. Dapat dikatakan bahwa, warna horison Bt dan BC pedon ini, dipengaruhi oleh kondisi reduksi dengan dijumpainya air tanah yang dangkal pada kedalaman kurang dari 100 cm. Karatan berwarna coklat dan merah kekuningan ditemukan pada horison permukaan sampai di bagian tengah horison Bt. Hal tersebut menunjukkan adanya kondisi oksidasi dan reduksi pada bagian pedon tersebut, didukung oleh penggunaan lahannya sebagai sawah tadah hujan. Perbedaan warna yang tidak menonjol antara horison permukaan dan bagian atas horison Bt membuat batas horison terlihat berangsur, sedangkan batas horison jelas terlihat pada keseluruhan horison Bt. Adapun tekstur pada horison permukaan adalah lempung berliat (CL) dan pada horison Bt adalah liat (C), sedangkan tekstur pada horison peralihan adalah liat berdebu (SiC). Perubahan tekstur tanah yang jelas terlihat antara horison permukaan dan horison Bt.
Tabel 5.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batuliat.
Horison Kedalaman (Cm)
Warna (lembab)
Tekstur
Karatan
Struktur
Batas Selaput liat
Kerapatan Lindak (cc/g)
Pasir
Debu
Tekstur (%) Liat Kasar Liat Halus
Liat Total
Liat halus / liat total
Kelas Tekstur
AM1 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap 0-10 10YR5/1
CL
2.5YR4/6, m f bs
2 m sbk
-
1.15
38.45
31,83
3,39
26.33
29.72
0.89 Lempung berliat
Bt1 Bt2
10-30 30-55
10YR5/1 10YR6/1
C C
5YR 5/8, m f bs 7.5YR5/8, m f bs
2 m/c abk cs 2 m abk cs
ada
1.31 0.94
29,73 22,75
27,58 31,25
9,41 4,17
33.18 41.83
42.69 46.00
0.78 0.91
Liat Liat
Bt3 Btg
55-95 95-130
10YR6/2 10YR6/2
C C
7.5YR5/6, m f bs -
2m/c abk 2m/c abk
cs gs
ada ada
1.31 1.04
25,38 11,22
23,65 35,90
4,09 11,91
46.88 40.97
50.97 52.88
0.92 0.77
Liat Liat
BCg
130-200
10YR6/2
SiC
-
2m/c abk
-
ada
0.88
2,47
42,70
14,46
40.37
54.83
0.74
Liat berdebu
gs
gs
AM2 - Fluventic Dystrudept (perudik) Ap
0-18
10YR5/4
SiC
-
2 f sbk
-
1.32
10,09
44,12
14,66
31.13
45.79
0.68
Liat berdebu
BA Bt1 Bt2
18-37 37-65 65-103
10YR5/8 7.5YR5/8 10YR5/8
C C C
5YR5/6, m f bs
2 f/m sbk cs 2 m sbk cs 2 m/c sbk cs
ada ada
1.14 1.32 1.51
9,56 7,25 10.83
37,85 38,74 30,34
16,28 13,61 13.38
36.31 40.00 45.45
52.59 54.01 58.82
0.69 0.74 0.77
Liat Liat Liat
Bt3 BC
103-130 130-200
10YR5/6 10YR5/6
C C
10Y2/1, m m bs 1 f/m sbk cs 2,5YR4/8, m m bs 2 f /m sbk cs
ada ada
1.30 1.24
8,30 3,91
28,75 47,30
21,44 16,15
41.51 32.64
62.91 48.79
0.66 0.67
Liat Liat berdebu
-
1.19 0.92
10.58 3,53
47,59 44,12
15,39 16,39
20.44 35.65
40.83 52.04
0.50 0.69
Liat berdebu Liat berdebu
AM3 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap Bt1
0-15 15-30
10YR4/6 10YR4/6
C C
-
1 f sbk 1/2 f/m sbk
Bt2 Bt3
30-50 50-85
10YR5/2 10YR5/2
C C
5YR5/8 5YR5/8
1 m sbk 2 m sbk
ada ada
1.16 1.20
8.75 6.16
40.35 38.33
15.73 16.09
35.17 39.42
50.90 55.51
0.69 0.71
Liat berdebu Liat berdebu
Btg1 Btg2 BC
85-115 115-135 135-200
10YR5/1 10YR5/1 10YR4/1
C C C
2.5YR3/6 7.5YR5/8 -
2 m sbk 2 m sbk 2 m sbk
ada ada ada
1.14 1.20 0.88
11.24 9.12 3,53
38.11 34.43 47,44
18.23 19.89 18,43
32.42 36.56 27.93
50.65 56.45 46.36
0.64 0.65 0.60
Liat berdebu Liat Liat berdebu
Keterangan : C=liat, CL=lempung berliat, SiC=liat berdebu; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; abk=gumpal bersudut, sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata.
41
Adapun struktur tanah horison Bt adalah gumpal bersudut dengan konsi stensi teguh, sebaliknya struktur gembur dijumpai pada horison Ap yang berada di atasnya. Nilai kerapatan lindak horison Ap adalah relatif lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan lindak horison Bt (bagian tengah sampai bawah) dan menurun pada horison BC. Peningkatan tersebut seiring dengan terjadinya peningkatan liat terutama kandungan liat halus pada horison Bt tersebut. Pedon AM2. Pedon dengan regim kelembaban tanah perudik ini tersusun oleh horison permukaan (Ap) dengan ketebalan 18 cm, yang diikuti dengan horison peralihan BA sampai kedalaman 37 cm. Horison Bt dijumpai dari 37 cm sampai pada kedalaman 130 cm, serta horison peralihan BC dijumpai pada kedalaman 130-200 cm. Peralihan horison terjadi secara berangsur dan rata pada horison Ap ke horison BA, kemudian secara nyata dan rata pada horison Bt dan BC. Warna coklat kekuningan (10YR 5/4) terlihat pada horison Ap, dan warna coklat (7,5YR 5/8) sampai coklat kekuningan 10YR 5/6-5/8 dijumpai pada seluruh bagian horison Bt maupun horison BC di bawahnya. Warna tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi oksidatif pedon ini di mana air tanah tidak dijumpai sampai kedalaman pengamatan (200 c m). Namun demikian, karatan besi dan mangan, dijumpai pada bagian bawah pedon yang berkembang dari batuliat ini. Hal ini diduga bahwa pada bagian bawah pedon, ada saat, dimana air tertahan dan menjenuhi bagian-bagian tanahnya sehingga, terjadi kondisi reduktif, dan pada saat adanya udara, dapat memungkinkan terjadi oksidasi terhadap besi dan mangan. Tekstur dijumpai berbeda pada setiap horison. Pada horison Ap liat berdebu (SiC) dan pada Bt liat (C), sedangkan pada horison BC adalah liat berdebu (SiC). Struktur gumpal membulat dengan ukuran halus sampai medium terjadi pada seluruh horison, dengan tingkat perkembangannya sedang. Adapun konsistensi gembur dijumpai pada horison Ap, dan agak teguh sampai teguh pada horison Bt dan BC. Nilai kerapatan lindak horison Bt meningkat pada bagian tengah horison, dan relatif lebih
43
tinggi dari horison Ap. Sedangkan pada bagian atas dan bawah horison Bt cenderung lebih rendah dibanding dengan kerapatan lindak horison Ap. Pedon AM3. Susunan horison pedon ini adalah horison Ap yang ber warna coklat kekuningan (10YR 4/6) dengan ketebalan 15 cm, dan di bawahnya diikuti langsung oleh horison Bt sampai kedalaman 135 cm, yang bagian atasnya memiliki warna masih sama dengan horison Ap. Warna coklat kelabu sampai kelabu (10YR 5/1–5/2) dijumpai pada bagian tengah Bt sampai pada horison BCg. Warna horison Bt mendukung keadaan reduksi, dimana terdapat air tanah agak dangkal, yakni kurang dari 150 cm. Kondisi akuik jelas terlihat dengan adanya warna tanah berkroma rendah, ≤ 2 dan value yang tinggi ≥ 4. Pedon ini memiliki tekstur liat berdebu mulai horison Ap sampai pada bagian tengah Bt, dan liat pada bagian bawah horison Bt sampai dengan horison BCg. Struktur pada horison Ap adalah gumpal membulat berukuran halus, dengan perkembangan yang sedang. Struktur yang sama terdapat pada horison Bt maupun horison-horison BCg, namun ukuran lebih besar (medium) daripada struktur horison permukaan. Konsistensi gembur pada horison Ap dan teguh sampai sangat teguh di horison Bt dan BCg yang masif. Nilai kerapatan lindak pedon ini cenderung hampir sama dengan pedon AM1 di mana pada bagian atas Bt cenderung lebih rendah dari horison atas. Nilai kerapatan lindak terlihat meningkat pada bagian tengah horison Bt, dan cenderung menurun tidak teratur pada bagian bawah horison Bt sampai BCg. Dapat dikatakan bahwa pedon AM1 dan AM3 sama-sama memiliki regim kelembaban akuik, karena pada kedua pedon tersebut terdapat sifat morfologi yang sesuai dengan sifat akuik. Perbedaan terlihat pada penyebaran kroma yang rendah berbeda, pada pedon AM1 berada di bagian atas, sedangkan pada AM3 terjadi pada bagian bawah solum. Hal tersebut menunjukkan penyebaran zona reduksi terjadi pada kedalaman yang berbeda. Dibandingkan dengan pedon AM2 , maka pedon AM1 dan
44
AM3 jelas lebih tereduksi, karena ditunjukkan oleh adanya air tanah yang dangkal, serta terlihat dari warna tanahnya. Perbedaan tekstur antara horison permukaan (Ap) dan horison Bt pada semua pedon pewakil berbahan induk batuliat ini, bukan merupakan perbedaan bahan (lithologic discontinuity). Hal tersebut didukung oleh hasil analisis mineralogi, baik mineral fraksi pasir (total) maupun mineral liat (dibahas kemudian) yang, membuktikan bahwa terjadi kesamaan jenis mineral yang menyusun tanah, baik horison Bt maupun Ap di atasnya. Peningkatan kerapatan lindak pada bagian tengah horison Bt terlihat pada ketiga pedon pewakil berbahan induk batuliat. Peningkatan tersebut seiring dengan terjadinya peningkatan liat, terutama kandungan liat halus pada horison Bt. Pada tanah yang memiliki regim kelembaban tanah akuik (AM1 dan AM3), nilai kerapatan lindak relatif lebih rendah, dibandingkan dengan pada tanah yang memiliki regim kelembaban perudik (AM2). Dengan demikian perbedaan regim kelembaban tanah pada pedonpedon yang berkembang dari bahan induk batuliat ini berpengaruh terhadap beberapa sifat tanah. Perbedaan tersebut terutama pada warna tanah dan kerapatan lindak, baik pada horison Bt maupun horison lainnya.
Pedon Berbahan Induk Batukapur Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon berbahan induk batukapur disajikan pada Tabel 6. Adapun deskripsi pedon-pedon pewakil diuraikan pada Lampiran 4, 5, dan 6. Pedon AM4. Pedon ini tersusun dari horison permukaan (A) dengan ketebalan agak tipis yaitu 15 cm, yang diikuti oleh horison peralihan AB sampai kedalaman 31 c m,
45
Tabel 6.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batukapur.
Horison Kedalaman (Cm)
Warna
Tekstur
Karatan
Struktur Batas Selaput
(lembab)
liat
Tekstur (%)
Kerapatan Lindak (cc/g)
Pasir
Debu Liat Kasar
Liat halus
Liat Halus
Liat Total / liat total
Kelas
Kelas Ukuran
Tekstur
Butir
AM4 Dystric Fluventic Dystrudept (perudik) A
0-15
10YR4/4
C
-
1 f/m sbk gs
-
0,97
13,6
22,3
11,94
52,1
64,1
0,81
Liat
Sangat Halus
AB
15-31
10YR5/4
C
7.5YR5/8, f f bs
1 f/m sbk cs
-
1,03
8,6
29,24
12,83
49,3
62,2
0,79
Liat
Sangat Halus
Bt1 Bt2
31-45 45-66
10YR4/6 10YR5/4
C C
5 YR 5/8, m f bs 2 m/c sbk cs 5 YR 5/8, m s bs 2 m/c sbk cs
ada ada
1,06 1,23
8,0 4,3
18,0 16,3
7,8 9,3
65,2 70,0
73,0 79,3
0,89 0,88
Liat Liat
Sangat Halus Sangat Halus
Bt3
66-130
10YR7/2
C
7.5YR 6/8, m s bs 2 m/c abk cs
ada
1,25
5,4
19,7
11,0
64,0
75,0
0,85
Liat
Sangat Halus
BC
130-200
10YR7/2
C
7,5YR5/8, f f/m bs 2 m/c abk -
-
1,00
5,3
19,3
11.8
63,6
74,0
0,86
Liat
Sangat Halus
AM5 Dystric Fluventic Dystrudept (perudik) A
0-16
10YR3/2
C
-
1 f/m sbk cs
-
1,32
8,8
29,7
4,3
57,3
61,5
0,93
Liat
Sangat Halus
Bt1
16-38
10YR4/6
C
7.5YR5/8, m f bs
2 m/c sbk cs
ada
1,25
5,91
21,1
8,8
64,3
73,0
0,88
Liat
Sangat Halus
Bt2 Bt3
38-86 86-122
10YR5/4 10YR5/2
C C
5 YR 5/8, m f bs 5 YR 5/8, m f bs
2 m/c sbk cs 2 m/c sbk cs
ada ada
1,18 0,91
4,52 0,52
28,8 21,7
6,1 4,2
60,6 73,6
66,7 77,8
0,91 0,95
Liat Liat
Sangat Halus Sangat Halus
BC
122-200
2.5Y6/4
C
2 m/c sbk cs
-
0,91
0,7
31,4
17,9
50,0
67,9
0,74
Liat
Sangat Halus
AM6 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap Bt1
0-18 18-50
10YR3/2 2.5Y4/0
C C
1 f/m sbk 2.5YR 4/6, m f bs 1 m sbk
-
1,00 1,50
4,6 7,1
39,9 26,1
8,1 5,5
47,5 61,4
55,5 66,8
0,85 0,92
Liat Liat
Halus Sangat halus
Bt2
50-77
2.5Y6/0
C
5 YR 5/8, m f bs
2 f/m sbk
ada
0,99
6,5
23,7
8,9
61,0
69,9
0,87
Liat
Sangat halus
Bt3
77-107
2.5Y5/0
C
10R 4/8, m f bs
2 m sbk
ada
1,01
8,9
26,2
8,2
56,8
64,9
0,87
Liat
Sangat halus
Bt4 BC
107-136 136-200
2.5Y5/0 2.5Y5/0
C C
10R 4/8, m f bs -
2 m sbk -
ada -
1,02 0,97
5,5 6,8
29,7 19,0
6,0 7,4
58,9 66,8
64,8 74,2
0,91 0,92
Liat Liat
Sangat halus Sangat halus
Keterangan : C=liat; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; abk=gumpal bersudut, sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata.
46
dan horison Bt dari 31 cm sampai 130 cm, serta horison peralihan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna horison permukaan adalah coklat gelap kekuningan (10YR 4/4), sedangkan warna horison Bt adalah coklat kekuningan sampai coklat gelap kekuningan 10YR 4-5/4-6. Warna kelabu terang (10YR 7/2) dijumpai pada bagian bawah horison Bt sampai horison BC. Warna terseb ut tidak diiringi oleh adanya kondisi reduktif maupun air tanah dangkal, sehingga disimpulkan warna tersebut lebih dipengaruhi oleh warna bahan induk batukapur. Adanya sejumlah karatan pada keseluruhan horison Bt dan BC , menunjukkan bahwa ada saat dimana air pernah tertahan pada bagian horison tersebut. Tekstur tanah pada seluruh horison yang
berkembang dari bahan induk
batukapur ini adalah liat (C). Struktur gumpal membulat terdapat dari horison A sampai pada BC. Horison permukaan memiliki konsistensi gembur, sedangkan horison Bt dan BC berkonsistensi teguh dan sangat teguh. Nilai kerapatan lindak cenderung meningkat dengan bertambahnya kedalaman horison Bt, dan menurun pada horison BC. Pedon AM5. Pedon ini terdiri dari horison permukaan A yang agak tipis (16 cm), dan Bt yang berada langsung di bawahnya, sampai kedalaman 122 cm dan horison peralihan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna coklat kelabu (10YR 4-5/2-6) dijumpai pada horison Bt, coklat sangat gelap keabuan (10YR 3/2) pada horison permukaan, dan
coklat terang kekuningan (2,5Y 6/4) pada horison BC. Hal tersebut
menunjukkan bahwa horison Bt dan horison di atasnya lebih bersifat oksidatif, sedangkan bagian bawahnya bersifat reduktif. Dijumpai karatan terutama pada horison Bt. Namun sama halnya dengan pedon AM4, pada pedon ini tidak dijumpai air tanah yang dangkal, sehingga rendahnya kroma dan atau warna tanah pucat cenderung lebih disebabkan oleh pengaruh dari warna bahan induk batukapur.
47
Tekstur masing-masing horison adalah liat (C). Struktur tanah horison permukaan gumpal membulat
dengan ukuran sedang sampai kasar dengan
konsistensi gembur. Struktur yang sama juga dijumpai pada horison Bt dan BC, tetapi konsistensinya teguh. Pada
pedon
ini
nilai
kerapatan
lindak cenderung
menurun
dengan
meningkatnya kedalaman. Adanya rekahan-rekahan yang cukup besar sampai kedalaman 100 cm, tapi secara morfologi tidak terlihat adanya struktur baji pada pedon ini. Hal ini menandakan bahwa pedon ini belum memenuhi kriteria sifat vertik. Pedon AM6. Susunan horisonnya terdiri dari Ap dengan ketebalan 18 cm, horison Bt langsung di bawahnya sampai pada kedalaman 136 cm, dan BC sampai kedalaman 200 cm. Warna horison Ap adalah coklat kelabu sangat gelap (10YR3/2), sedangkan keseluruhan horison Bt berwarna kelabu (2,5YR 5/0) dengan kroma sangat rendah dan value tinggi, yang menunjukkan ciri-ciri kondisi akuik. Hal ini didukung oleh adanya air tanah dangkal (77 cm) sehingga dikategorikan memiliki regim kelembaban tanah akuik. Karatan merah kekuningan dijumpai pula pada semua pedon yang terbentuk dari bahan induk batukapur, terutama pada horison Bt. Hal ini menunjukkan bahwa pada horison tersebut cenderung terjadi kondisi basah dan kering yang bergantian, atau ada kondisi di mana air sempat tertahan. Demikian pula antara Bt dan horison atasnya terdapat kecenderungan yang sama, yakni horison permukaan memiliki konsistensi gembur, dan horison Bt ke bawah berkonsistensi teguh dan sangat teguh. Tekstur tanah pada keseluruhan horison adalah liat (C). Pada pedon yang memiliki regim kelembaban akuik ini mempunyai nilai kerapatan lindak yang tinggi, yang dijumpai di bagian atas horison Bt. Penggunaan tanah pedon ini adalah disawahkan, sehingga dijumpai lapisan yang padat dan keras, yang mungkin sebagai lapisan ta pak bajak, selain merupakan horison penimbunan liat. Perbedaan yang terlihat menonjol antara AM4 dan AM5, dan pedon AM6 adalah horison Bt pedon AM6
48
terdapat kroma rendah (yakni 0), sedangkan pada AM4 dan AM5 memiliki kroma 2-6. Hal tersebut menunjukkan pengaruh regim kelembaban tanah terhadap warna tanah. Kondisi akuik cenderung memiliki warna tanah yang pucat dibanding kondisi perudik.
Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon pewakil disajikan pada Tabel 7. Sedangkan deskripsi profil diuraikan dalam Lampiran 7 dan 8. Pedon AM7. Pedon ini tersusun oleh horison A yang agak tipis (19 cm), horison Bt dari 19 cm sampai kedalaman 105 cm, dan horison BC sampai kedalaman 130 cm. Horison C dijumpai sampai kedalaman 200 cm. Warna tanah horison A adalah coklat kemerahan (5YR 3/2). Horison Bt bervariasi dari coklat kemerahan (2,5YR4/4) sampai coklat gelap (7,5YR 4-6/2-4). Sedangkan horison BC dan C warnanya sama, adalah Kelabu-merah muda (7,5YR 6/2). Karatan dijumpai pada bagian tengah horison Bt sampai bagian bawah. Adapun tekstur horison permukaan adalah liat berdebu (SiC), horison Bt adalah liat (C), horison BC dan C adalah liat berdebu (SiC). Struktur gumpal membulat terjadi pada horison Bt maupun horison lainnya. Konsitensi gembur pada horison permukaan dan agak teguh sampai teguh pada horison Bt, serta teguh pada bagian bawah pedon ini. Kerapatan lindak horison pada pedon ini terlihat relatif yang paling rendah di antara pedon-pedon lain dalam penelitian ini. Pedon AM8. Pedon ini tersusun oleh horison Ap dengan tebal 20 cm, yang berwarna coklat gelap kemerahan (5YR 3/3), horison Bt sampai pada kedalaman 145 cm berwarna coklat kemerahan (5YR 3-4/2-4), dan horison BC sampai kedalaman 200 cm. Pada bagian tengah horison Bt dijumpai adanya mangan dalam bentuk konkresi, menunjukkan adanya pengaruh air dimana pedon ini pernah disawahkan.
49
Tabel 7.
Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Andesitik.
Horison Kedalaman (Cm)
Warna
Tekstur
Karatan
Struktur Batas Selaput liat
(lembab)
Kerapatan Lindak(g/cc)
Pasir
Debu
Tekstur (%) Liat kasar Liat halus
Rasio liat Kelas Tekstur Liat total halus/total
Kelas Ukuran Butir
AM7 - Andic Dystrudept (perudik) A
0-19
5YR3/2
C
-
2 f sbk
cs
-
0,81
3,5,
43,0
39,64
13,8
53.5
0,26
Liat berdebu
Halus
Bt1
19-47
5YR3/4
C
-
2 m sbk
gs
ada
0,90
4,9
26,5
21,12
47,5
68.6
0,69
Liat
Sangat Halus
Bt2
47-80
5YR4/4
C
7.5YR6/2, f f bs
2 m sbk
gs
ada
0,97
3,7
37,2
27,84
31,4
59.2
0,53
Liat
Halus
Bt3 Bt4
60-105 105-130
2.5YR4/4 7.5YR6/2
C SiC
7.5YR6/2, f f bs 2 m sbk gs 2.5YR4/8, m c bs 1 f/m sbk gs
ada ada
0,88 0,96
1,8 1,9
14,9 42,8
11,84 22,00
71,4 34,0
83.3 55.3
0,86 0,61
Liat Liat berdebu
Sangat Halus Halus
C
130-200
7.5YR6/2
SiC
7.5YR 5/8 dan
-
-
-
0,96
1,8
52,6
23,68
21,9
45.6
0,48
Liat berdebu
Halus
cs
Halus
10 YR 3/3 m c bs AM8 - Typic Haplohumult (perudik) Ap
0-20
5YR3/3
SiC
-
1/2 f sbk
-
1,00
6,2
48,1
15,9
29,8
45,7
0,65
Liat berdebu
Bt1
20-40
5YR4/4
C
mangan
1 f/m sbk cs
ada
1,07
5,9
38,8
19,4
35,9
55,2
0,65
Liat
Halus
Bt2 Bt3
40-65 65-90
5YR3/2 5YR4/3
C C
mangan mangan
2 f/m sbk cs 2 m sbk cs
ada ada
1,1 1,08
5,4 3,9
32,2 19,3
6,5 6,0
55,9 70,8
64,4 76,8
0,87 0,92
Liat Liat
Sangat Halus Sangat Halus
Bt4
90-110
5YR4/4
SiCL
-
2 m sbk
gs
ada
0,97
3,6
28,5
15,8
52,3
68,1
0,77
Liat
Halus
Bt5
110-145
5YR4/4
C
-
2 m sbk
ds
ada
0,91
4,7
15,1
16,5
63,7
80,2
0,79
Liat
Sangat Halus
Bt6
145-200
5YR4/4
C
-
2 m sbk
-
ada
1,07
3,2
36,6
12,3
48,2
60,2
0,80
Liat
Sangat Halus
Keterangan : C=liat, SiC=liat berdebu, SiCL=Lempung liat berdebu; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; sbk=gumpal membulat; gs=berangsur rata, cs=jelas rata, ds=baur rata.
50
Pedon ini memiliki tekstur liat berdebu (SiC) pada horison permukaan, sedangkan pada horison Bt adalah liat (C) dan lempung liat berdebu (SiCL). Struktur tanah adalah gumpal membulat, baik pada horison Bt maupun horison di atas dan bawahnya. Konsistensi gembur pada horison permukaan dan teguh pada horison Bt, sedangkan pada horison di bawah Bt memiliki konsistensi yang agak teguh. Kerapatan lindak cenderung meningkat sampai bagian tengah dan menurun di bagian bawah horison Bt. Dengan demikian walaupun kedua pedon ini memiliki bahan induk dan regim kelembaban tanah yang sama (perudik), cenderung memiliki sifat morfologi dan fisika yang hampir sama. Perbedaan terlihat bahwa pedon AM7 memiliki kerapatan lindak yang relatif rendah dibanding AM8. Demikian pula adanya konkresi mangan pada pada horison Bt, dikarenakan bahwa tanah tersebut adalah lahan bekas sawah.
Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Data sifat morfologi dan fisika tanah pedon pewakil berbahan induk Volkanikdasitik disajikan pada Tabel 8. Adapun deskripsi profil disajikan pada Lampiran 9 dan 10. Pedon AM9. Susunan horison pedon ini adalah horison A dengan tebal 22 cm, Bt dari 22 cm sampai kedalaman 140 cm, dan BC sampai kedalaman 200 cm. Horison permukaan memiliki warna coklat gelap kemerahan (5YR 3/4), horison Bt coklat kemerahan sampai merah (2,5YR 3/ 6-4/6) dan horison peralihan BC merah (2,5YR4/6). Tekstur liat (C) terlihat dominan pada seluruh horison dari pedon ini. Struktur gumpal bersudut dijumpai hampir pada seluruh horisonnya. Konsistensi gembur pada horison permukaan dan agak teguh sampai sangat teguh pada horison Bt. Horison BC memiliki konsistensi yang sama, yakni sangat teguh, dengan bagian bawah horison Bt. Kenyataan ini diiringi dengan kandungan liat yang relatif tinggi. Nilai kerapatan lindak
51
Tabel 8.
Beberapa Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik.
Horison Kedalaman (Cm)
Warna
Tekstur
Karatan
Struktur Batas Selaput
(lembab)
liat
Kerapatan
Tekstur (%)
Lindak(g/cc)
Pasir
Debu
Rasio liat
Liat kasar Liat halus
Liat total
halus/total
Kelas Tekstur
Kelas Ukuran Butir
AM9 - Fluventic Dystrudept (ustik) A
0-22
5YR4/3
C
-
2 f sbk
cs
-
0,98
15,5
28,6
12,6
43,3
55,9
0,77
Liat
Halus
AB
22-35
2.5YR3/6
C
-
2 f/m sbk gs
-
1,08
8,6
18,9
13,6
58,9
72,4
0,81
Liat
Sangat Halus
Bt1
35-57
2.5YR3/6
C
-
2 f/m sbk cs
ada
1,22
6,5
17,2
9,2
67,0
76,3
0,88
Liat
Sangat Halus
Bt2
57-80
2.5YR4/6
C
-
2 m abk
gs
ada
1,19
4,0
11,9
9,9
74,2
84,1
0,88
Liat
Sangat Halus
Bt3
80-110
2.5YR4/6
C
mangan
2 f/m abk
gs
ada
1,16
2,8
8,2
8,4
80,6
89,0
0,91
Liat
Sangat Halus
Bt4
110-140
2.5YR4/4
C
mangan
2 m abk
cs
ada
1,06
6,0
11,0
7,1
75,9
83,0
0,91
Liat
Sangat Halus
BC
140-200
2.5YR4/6
C
10YR4/6, m f/m bs 1/2 m sbk -
-
1,06
10,9
13,7
12,8
62,5
75,4
0,83
Liat
Sangat Halus
AM10 - Aeric Epiaqualf (akuik) A Adir
0-12 20-Dec
5Y7/1
L
-
1 f abk
as
-
1,13
37,4
42,4
1,4
18,8
20,2
0,93
Lempung
Berlempung Halus
10YR5/6
L
-
2 f/m sbk cs
-
1,44
42,6
38,7
1,0
17,7
18,7
0,95
Lempung
Berlempung Halus
Lempung
Berlempung Halus
BMn
20-26
7.5YR2/0,5/0
L
Bt1
26-59
7.5YR2/0,5/0
CL
-
2 f/m sbk cs
-
1,53
31,7
48,2
1,1
19,1
20,2
0,95
7.5YR5/6
2 m abk
ada
1,53
24,7
41,5
6,5
27,3
33,8
0,81
ds
Lempung berliat Berlempung Halus
Bt2
59-75
2.5YR6/0
CL
-
ds
ada
1,44
21,5
43,6
8,6
26,3
34,8
0,75
Lempung berliat Berlempung Halus
Bt3
75-120
5YR5/1
CL
5YR5/8,m m/c bs
cs
ada
1,45
28,8
33,4
9,8
28,1
37,8
0,74
Lempung berliat
Halus
Bt4
120-143
5YR5/1
C
5YR5/8,m f/m bs
cs
ada
1,44
33,1
25,6
3,8
37,5
41,3
0,91
Liat
Halus
BCg1
143-168
5YR5/1
SCL
5YR5/8,m f/m bs
cs
-
1,41
58,0
8,8
3,0
30,3
33,2
0,91
Lem.liat berpasir Berlempung Halus
BCg2
168-200
5YR5/1
SCL
5YR5/8,m f/m bs
-
-
1,41
60,2
18,0
3,0
18,8
21,8
0,86
Lem.liat berpasir Berlempung Halus
Keterangan : C=liat, CL=lempung berliat, L=lempung;SCL=Lempung liat berpasir; m=banyak, f=halus, m=medium, bs=bintik berganda; sbk=gumpal membulat, abk=gumpal bersudut; as=sangat jelas dan rata, gs=berangsur rata, cs=jelas rata, ds=baur rata.
52
meningkat pada bagian tengah horison Bt dan kemudian menurun sampai ke bawah solum. Pedon AM10. Pedon ini memiliki susunan horison yang terdiri dari horison permukaan A dan Adir, dengan ketebalan 20 cm. Warna 5Y 7/1 terlihat pada horison A dan perubahan warna menonjol pada Adir yakni berwarna 10YR 5/6, di mana warna tersebut merupakan pengaruh dari adanya karatan besi. Di bawah horison A terdapat horison Bmn yang berwarna kelabu (7,5YR 5/0) dan adanya massa terkonsentrasi berwarna hitam (7,5YR 2/0) yang diidentifikasi sebagai akumulasi karatan mangan. Horison berikutnya adalah Bt dengan hue 2,57,5YR dengan kroma yang rendah dan value tinggi, sedangkan horison BCg yang masif dengan warna yang tidak berbeda dengan horison di atasnya. Pada pedon ini dijumpai air tanah yang dangkal, pada kedalaman 130 cm. Karatan besi dijumpai pada horison Bt terutama pada bagian bawahnya sampai pada kedalaman 200 cm. Pada horison BC dijumpai adanya warna glei. Tekstur horison A adalah lempung (L), horison Bt memiliki tekstur lempung berliat (CL) seiring dengan peningkatan jumlah liatnya, dan pada bagian bawah horison Bt teksturnya adalah liat (C). Horison peralihan BC memiliki tekstur lempung liat berpasir (SCL). Perbedaan tekstur yang agak menonjol pada horison-horison tersebut, berdasarkan hasil analisis mineral liat pada fraksi pasir total dan fraksi liat, tidak terbukti oleh karena adanya perbedaan bahan sehingga dapat dikatakan tidak ada indikasi perbedaan bahan induk (lithologic discontinuity). Pedon ini memiliki struktur gumpal membulat hanya pada horison Adir dan Bmn yang sangat tipis, sedangkan pada horison lainnya memiliki struktur gumpal bersudut. Pada bagian bawah horison BC dijumpai struktur yang masif dan konsistensi sangat teguh. Keadaan struktur gumpal bersudut ini didukung oleh kerapatan lindak yang relatif lebih tinggi (Tabel 8). Pedon AM10 yang bersifat akuik ini memiliki kerapatan
53
lindaknya relatif tertinggi, baik di antara pedon pewakil berbahan volkanik, maupun terhadap pedon-pedon dari bahan induk lainnya. Hal tersebut sangat didukung oleh hasil pengamatan di lapang, bahwa pedon ini memiliki konsistensi yang teguh sampai sangat teguh, dengan struktur tanah gumpal bersudut hampir di seluruh bagian horison Bt. Perbedaan tekstur tanah terjadi sangat menonjol pada dua pedon yang berkembang dari bahan induk volkanik dasitik (AM9 dan AM10). Pedon AM10 memiliki tekstur lempung (L) pada bagian atas solum atau horison Ap, sedangkan pada horison Bt adalah lempung berliat (CL), dan bagian bawah solum atau peralihan BC bertekstur lempung liat berpasir (SCL). Perbedaan tekstur yang sangat nyata ini (abrupt) tidak disertai bukti jenis mineral yang berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi mineral memang relatif sama. Dengan demikian perbedaan tekstur tersebut, bukan sebagai perbedaan bahan induk (lithology discontinuity). Bila dibandingkan dengan AM10, lokasi pedon ini tidak terlalu jauh, tetapi secara topografi kedua pedon ini terletak pada kondisi yang sangat berbeda. Pedon AM9 dijumpai di bagian atas lereng dengan regim kelembaban tanah ustik, dan AM10 terletak pada bagian bawah lereng dengan regim kelembaban tanah akuik. Sehingga perbedaan kandungan liat yang sangat menonjol antara kedua pedon ini ditunjang oleh lingkungan pembentukan yang berbeda pula. Diduga pedon AM9 lebih terlapuk daripada AM10. Berdasarkan hasil pengamatan sifat-sifat fisik dan morfologi seluruh pedon dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan warna horison Bt ternyata berkaitan erat dengan kondisi regim kelembaban tanah. Regim kelembaban akuik cenderung memberi warna kelabu pada horison Bt dari semua jenis bahan induk. Jenis bahan induk terlihat menonjol, berpengaruh memberi warna berbeda pada horison Bt dari tanah-tanah dengan regim kelembaban perudik. Warna horison Bt pada pedon-pedon berbahan induk batuan sedimen (batuliat dan batukapur) adalah kekuningan, sedangkan pada tanah berbahan induk volkanik (baik dasitik maupun
54
andesitik) adalah kemerahan. Hal tersebut terlihat pada hue yang lebih merah pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik. Sedangkan pedon yang me miliki regim kelembaban akuik, cenderung menunjukkan warna pucat dengan pengaruh bahan induk tetap terlihat, yakni hue lebih merah pada tanah berbahan induk volkanik. Dengan demikian, jenis bahan induk yang berbeda memperlihatkan perbedaan yang menonjol. Antara lain, sifat-sifat morfologi tanah pada bahan induk batukapur yang cenderung lebih seragam dibanding sifat-sifat morfologi tanah yang berkembang dari batuliat. Konsistensi antara horison Bt dengan horison A di permukaan jelas sangat berbeda, yakni lebih teguh pada horison Bt dan yang gembur pada horison A atau Ap. Perbedaan tersebut cenderung sama pada semua pedon yang diteliti, dan digunakan sebagai dasar penamaan horison Bt pada semua subhorison yang diidentifikasi.
Sifat Kimia Tanah Pedon Berbahan Induk Batuliat Analisis beberapa sifat kimia tanah masing-masing pedon pewakil dalam penelitian ini bertujuan antara lain, untuk mengetahui apakah sifat-sifat kimia tanah yang ada berkaitan dengan proses-proses pedogenesis pedon yang diamati. Selain itu untuk mengetahui sifat-sifat seperti distribusi C-organik dan Fe-bebas yang erat hubungannya dengan proses iluviasi liat. Hasil analisis terhadap sifat-sifat kimia tanah masing-masing horison disajikan pada Tabel 9.
Pedon AM1 dengan regim
kelembaban tanah akuik, memiliki nilai pH yang tergolong masam (4,2 – 4,6) pada keseluruhan horisonnya. Horison permukaan memiliki pH yang paling rendah (4,2) dan sedikit meningkat (4,5-4,6) pada horison Bt. Peningkatan nilai pH tersebut terlihat berkurang pada bagian bawah profil, yaitu pada horison Btg dan horison peralihan BC. Sebaliknya, nilai pH yang relatif tinggi (4,6) dijumpai di horison permukaan pada pedon
55
Tabel 9. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batuliat. Pedon
Kedalaman pH-tanah C-organik
Basa-basa dapat tukar Ca
(cm)
Mg
K
Jumlah Na
Basa-dd
Kemasaman Kemasaman dapat tukar terekstrak
Al
H
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pH-7
Jum.Kat. KTK Ef.
Liat
Kejenuhan Al (%)
KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) Fe2O3 % liat total
Tabel 16.Beberapa (%) ------------------------cmol(+)/kg sifat kimia tanah masing-masing tanah---------------------horison pedon pewakil ------------------------cmol(+)/kg berbahan induk Batuliat. tanah----------------------
pH-7
Jum.Kation
------(%)------
bebas %
AM1 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap
0 - 10
4,2
1,14
4,0
2,1
0,2
0,5
6,8
41,0
4,0
0,3
21,3
49,0
11,1
68,1
37
0,72
31
14
2,19
Bt1
10-30
4,2
0,94
3,5
2,1
0,2
0,4
6,2
41,4
3,6
0,3
21,1
49,9
10,1
47,3
36
0,49
29
13
2,61
Bt2
30-55
4,5
1,02
3,9
1,3
0,2
0,3
5,7
41,8
4,9
0,5
23,8
48,8
11,0
49,5
46
0,52
24
12
3,31
Bt3
55-95
4,6
0,78
5,7
1,8
0,4
0,5
7,4
42,6
2,2
0,3
54,4
52,4
10,9
105,2
22
1,6
16
16
3,25
Btg
95-130
4,5
0,63
0,7
0,3
0,1
0,2
1,3
50,9
13,4
0,8
51,0
53,7
15,4
95,2
91
0,96
2
2
4,60
BCg
130-200
4,4
0,43
0,9
0,5
0,1
0,3
1,8
51,7
11,5
0,6
49,5
68,5
14,0
89,6
86
0,90
4
3
2,85
AM2 - Fluventic Dystrudept (perudik) Ap
0-18
4,4
0,47
3,3
1,1
0,3
0,4
5,1
40,2
3,7
0,3
17,2
46,8
9,1
34,4
42
0,50
29
11
3,13
BA
18-37
4,6
1,41
1,2
0,4
0,1
0,2
1,9
41,4
3,6
0,3
17,0
44,8
5,8
29,6
65
0,32
11
4
3,13
Bt1
37-65
4,7
1,14
1,0
0,3
0,1
0,2
1,6
40,5
3,9
0,4
15,1
43,5
5,9
25,8
70
0,28
10
4
3,22
Bt2
65-103
4,8
1,06
1,0
0,3
0,2
0,2
1,9
40,6
3,6
0,3
29,4
43,7
5,5
32,9
65
1,01
8
4
3,40
Bt3
103-130
4,7
0,43
1,0
0,5
0,2
0,3
2,0
40,2
3,2
0,2
21,1
43,6
5,4
32,9
61
0,34
10
5
3,67
BC
130-200
4,7
0,55
1,5
0,5
0,2
0,3
2,5
40,6
2,4
0,3
17,5
44,3
5,1
34,7
48
0,36
14
6
3,39
AM3 - Fluvaquentic Epiaquept (akuik) Ap
0-15
4,6
1,22
5,2
2,9
0,2
0,4
6,7
36,6
3,0
0,2
22,8
46,7
11,9
46,2
30
0,56
38
19
2,97
Bt1
15-30
4,5
1,10
3,4
2,0
0,2
0,3
5,9
37,4
4,8
9,4
22,8
42,6
11,0
41,7
44
0,44
26
14
2,83
Bt2
30-50
4,4
0,90
3,2
1,1
0,2
0,3
4,8
34,6
7,0
0,5
22,6
40,6
12,3
42,6
59
0,44
21
12
3,03
Bt3
50-85
4,4
0,94
3,6
2,7
0,2
0,3
6,8
35,0
5,3
0,5
22,3
42,9
12,4
38,6
43
0,40
30
16
2,94
Btg1
85-115
4,5
1,25
3,6
2,4
0,2
0,4
6,6
35,4
4,0
0,3
21,6
43,1
10,8
40,2
37
0,43
30
15
3,41
Btg2
115-135
4,7
1,25
3,0
2,8
0,2
0,4
6,4
35,0
2,1
0,3
25,3
42,6
8,8
42,5
24
0,60
26
15
3,48
BCg
135-200
4,5
1,29
4,1
3,3
0,2
0,4
8,0
35,8
2,6
0,2
27,2
44,9
10,7
55,9
24
0,59
29
18
3,18
56
AM3 yang sama-sama memiliki regim kelembaban tanah akuik. Nilai pH tergolong masam dijumpai pada seluruh horison,
yakni berkisar antara 4,4 – 4,7.
Terjadi
penurunan pH pada horison Bt bagian atas, namun kemudian naik pada bagian bawah, dan menurun kembali pada horison terbawah (BC). Walaupun nilai pH cenderung sedikit lebih tinggi berkisar antara 4,4 – 4,8, pada pedon AM2 yang memiliki regim kelembaban perudik, namun sama halnya dengan kedua pedon sebelumnya, kemasaman tanahnya tergolong masam. Nilai pH horison Ap relatif paling rendah, dibanding pH horison Bt dan BC. Nilai tertinggi terlihat pada bagian tengah horison Bt, dan menurun kembali sampai pada horison terbawah (BC). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, nilai pH horison Bt pada ketiga pedon berbahan induk batuliat ini cenderung lebih tinggi dibanding, baik nilai pH horison A di atasnya maupun horison BC di bawahnya. Perbedaannya adalah bahwa, tanah-tanah dari bahan induk batuliat yang regim kelembabannya akuik (AM1 dan AM3) cenderung sedikit lebih masam dibanding tanah dengan regim kelembaban perudik (AM2). Dari data yang ada dapat dikatakan bahwa nilai pH tanah cenderung masam, karena asal bahan induk yang masam, terlihat dari kandungan Al-dd dan ion H yang relatif tinggi (Tabel 9). Kejenuhan basa (KB-jumlah kation) dari pedon pewakil yang berasal dari batuliat ini secara keseluruhan lebih kecil dari 35%. Namun demikian, jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai KB antara pedon yang memiliki regim akuik dengan perudik. Pedon AM1 dan A M3 (akuik) memiliki nilai KB yang relatif lebih tinggi, masingmasing 2 - 31% (rata-rata = 17,7%) dan 21 – 38% (rata-rata = 26,8%) dibanding pedon AM2 (perudik) yaitu 4 – 11% (rata-rata = 13,6%). Terlihat pula (Tabel 9) bahwa jumlah basa-basa pedon AM2 lebih rendah dibanding jumlah basa -basa pedon AM1 dan AM3. Untuk
melihat
adanya
kemungkinan
terjadinya
penimbunan
C-organik
bersamaan dengan penimbunan liat di horison Bt, maka dilakukan analisis di setiap horison (Tabel 9). Penyebaran C-organik, Fe-bebas, dan total liat menurut kedalaman di dalam pedon AM1, AM2, dan AM3 diilustrasikan pada Gambar 6. Secara
57
keseluruhan kandungan C-organik pada setiap horison di masing-masing pedon yang berkembang dari batuliat, cenderung memiliki pola yang tidak teratur. Pada pedon AM1 kandungan C-organik tertinggi dijumpai pada horison A dan menurun pada horison peralihan BA di bawahnya. Sedangkan pada horison Bt, kandungan C-organik terlihat meningkat dan selanjutnya menurun secara teratur sampai bagian bawah solum. Berbeda dengan pedon AM2 , kandungan C-organik relatif rendah terdapat pada horison Ap, dan meningkat mulai pada horison peralihan BA sampai bagian tengah horison Bt. Selanjutnya secara tidak teratur dari bagian bawah Bt sampai pada horison peralihan BC. Pola sebaran C-organik pada pedon AM3 agak berbeda dengan kedua pedon sebelumnya, di mana kandungan C-organik relatif tinggi terdapat pada horison permukaan kemudian menurun sampai pada bagian atas Bt, dan selanjutnya meningkat terus dengan semakin meningkatnya kedalaman (Tabel 9). Kandungan C-organik yang tidak beraturan dengan meningkatnya kedalaman tersebut, merupakan ciri bahan sedimen, yang mana bahan-bahanya terbentuk akibat sedimentasi atau pengendapan. Penimbunan C-organik pada AM1, terjadi pada horison Bt1 pada kedalaman 30 - 55 cm, sedangkan pada AM2 pada horison BA pada kedalaman 18 - 37 cm dan 130 - 200 cm. Penimbunan C-organik pada pedon AM3 terjadi pada bagian bawah profil, yakni pada kedalaman 50 – 85 cm, 85 – 135 cm, dan 135 – 200 cm (Gambar 6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi penimbunan bahan organik, walaupun dalam jumlah relatif sedikit, seiring dengan meningkatnya kandungan liat pada horison Bt. Penimbunan tersebut dijumpai pada semua pedon, baik yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, maupun perudik. Sama halnya dengan kandungan C-organik, maka dilakukan pula analisis kandungan Fe-bebas dalam tanah (Tabel 9, Gambar 6), untuk melihat apakah terjadi penimbunan besi seiring dengan penimbunan liat. Kandungan besi pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batuliat, cenderung meningkat dan menumpuk
58
Gambar 6.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM1, AM2, dan AM3 yang Berkembang dari Bahan Induk Batuliat.
59
pada bagian bawah horison Bt. Pedon AM1 dan AM2 terlihat memiliki kecenderungan distribusi Fe-bebas yang sama, di mana kandungan besi bebas memiliki pola yang meningkat dari horison A sampai bagian bawah horison Bt, kemudian menurun pada horison peralihan BC. Berbeda dengan pedon AM3,
peningkatan kandungan Fe-
bebas memiliki pola yang tidak teratur, yaitu peningkatan Fe-bebas terjadi pada bagian atas dan bawah Bt, sedangkan penurunan terlihat pada bagian tengah Bt dan juga pada horison BC. Dapat disimpulkan bahwa pada pedon-pedon dari batuliat penimbunan Fe-bebas yang cenderung terjadi, dan penimbunan tertinggi terdapat pada horison Bt. Penimbunan tersebut berturut-turut untuk pedon AM1, AM2, dan, AM3 (Gambar 9) terdapat sebesar 4,60% pada horison Btg (95-130 cm); 3,67% pada horison Bt3 (103 -130 cm), dan 3,48% pada horison Btg2 (115-135 cm). Nilai KTK liat pedon AM1 (Tabel 9) menunjukkan bahwa, KTK-liat horison A lebih rendah dibanding KTK-liat pada horison Bt2 yang cenderung tinggi mencapai 105,2 cmol(+)/kg liat, dan sedikit menurun pada bagian bawah solum. Sangat berbeda dengan AM1, secara keseluruhan horison-horison pada pedon AM2 memiliki nilai KTK liat cenderung lebih rendah, yakni sebesar 25,8-32,9 cmol(+) /kg liat. Pada pedon ini horison Bt bagian atas memiliki nilai KTK liat yang lebih rendah dibanding horison A di atasnya, namun kemudian meningkat sampai horison peralihan BC. Pada pedon AM3 dijumpai kisaran nilai KTK liat antara 38,6-42,62 cmol(+) /kg liat, dan horison Bt memiliki nilai relatif lebih rendah dibanding horison permukaan maupun horison peralihan BC. Terlihat bahwa nilai KTK liat pada ketiga pedon tersebut sangat berkaitan dengan jenis mineral liatnya (dibahas pada sifat mineralogi).
Pedon Berbahan Induk Batukapur Data hasil analisis sifat-sifat kimia tanah masing-masing horison pada pedon pewakil tanah-tanah berbahan induk batukapur disajikan pada Tabel 10.
60
Tabel 10. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-Masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Batukapur. Pedon
Kedalaman pH-tanah C-organik
Basa-basa dapat tukar Ca
(cm)
(H2O)
Mg
(%)
K
Jumlah Na
basa-dd
Kemasaman Kemasaman dapat tukar terekstrak
Al
H
--------------------------------cmol(+)/kg tanah ----------------------
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pH-7
Jum.Kat. KTK Ef.
Liat
Kejenuhan KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) Al (%)
% liat total
---------------cmol(+)/kg tanah-------
pH-7
Fe2O3-
Jum.Kation bebas
------(%)------
(%)
AM4 - Dystric Fluventic Eutrudept (perudik) A
0-15
5,0
0,94
24,7
5,6
0,4
0,6
31,3
39,8
0
0,2
42,2
72,2
31,5
64,5
0
0,66
74
43
3,29
AB
15-31
5,1
0,63
20,7
4,2
0,4
0,5
25,8
38,5
0
0,2
44,4
65,6
26,0
70,5
0
0,71
58
39
3,59
Bt1
31-45
4,8
0,63
31,3
3,6
0,6
0,9
36,4
35,4
0
0,1
48,3
72,7
36,4
65,3
0
0,74
75
50
3,38
Bt2
45-66
5,4
0,63
42,4
5,0
0,4
0,7
48,45
24,6
0
0,2
51,2
73,7
48,6
63,9
0
0,65
95
66
2,48
Bt3
66-130
5,0
0,78
48,4
6,3
0,5
0,7
55,9
23,6
0
0,1
50,7
80,3
56,0
66,7
0
0,68
100
70
3,47
BC
130-200
5,8
0,71
55,3
1,1
0,4
0,8
57,6
20,4
0
0,1
50,4
0
0,68
100
74
3,30
AM5 - Dystric Fluventic Eutrudept (perudik) A
0-16
5,8
0,55
44,8
6,2
0,5
0,9
61,4
21,8
0
0,1
44,4
74,7
52,4
71,3
0
0,72
100
70
2,61
Bt1
16-38
6,5
0,71
52,7
6,5
0,6
1,0
61,0
21,4
0
0,1
56,6
82,9
60,9
76,5
0
0,73
100
73
3,27
Bt2
38-86
6,1
1,25
46,3
5,7
0,5
0,9
53,4
22,2
0
0,1
51,0
76,2
53,3
75,0
0
0,68
100
70
2,66
Bt3
86-122
5,9
1,18
70,4
8,2
0,6
1,1
80,3
23,0
0
0,1
49,8
104,0
80,3
63,0
0
0,64
100
77
1,76
BC
122-200
6,3
0,55
65,6
7,6
0,5
1,1
74,9
24,0
0
0,1
54,6
99,5
74,7
80,0
0
0,80
100
75
2,85
AM6 - Fluvaquentic Epiaquent (akuik) Ap
0-18
5,8
1,49
71,4
5,4
0,6
1,0
78,4
21,2
0
0,1
55,4
100,2
78,5
97,0
0
1,0
100
78
2,37
Bt1
18-50
6,2
1,02
50,6
5,0
0,4
0,5
56,5
21,8
0
0,1
44,4
78,9
56,5
65,1
0
0,66
100
72
3,59
Bt2
50-77
5,9
0,78
52,4
5,7
0,4
0,9
59,4
21,0
0
0,1
46,6
81,0
59,4
65,6
0
0,67
100
73
2,67
Bt3
77-107
5,4
0,86
50,0
5,3
0,4
0,8
56,5
22,0
0
0,1
48,1
79,1
56,6
72,7
0
0,74
100
72
2,81
Bt4
107-136
5,2
1,65
58,4
6,0
0,5
0,9
65,8
23,0
0
0,1
53,9
89,3
65,9
80,7
0
0,83
100
74
2,38
BC
136-200
5,3
0,78
55,2
5,5
0,5
0,6
61,8
25,2
0
0,1
52,2
87,7
61,8
69,3
0
0,70
100
70
1,97
61
Nilai pH tanah pada pedon AM4, AM5, dan AM6 cenderung tergolong agak masam sampai netral (pH 4,8 – 6,5). Nilai pH pada pedon AM4 adalah agak masam, dan cenderung naik-turun secara tidak teratur di dalam pedon. Pada bagian tengah horison Bt, pH tanah terlihat lebih tinggi dibanding pada bagian atas maupun bawahnya, kemudian meningkat pada horison BC. Nilai pH pada pedon AM5 bervariasi antara 5,8 - 6,5. Nilai pH pada horison A lebih rendah dibanding horison Bt, yang kemudian menurun pada bagian bawahnya, tetapi kemudian meningkat lagi pada horison peralihan BC. Nilai pH tertinggi yaitu 6,5 dijumpai pada horison Bt1. Pedon AM6 dengan regim kelembaban akuik memiliki pH 5,2-6,2. Pada pedon ini terlihat penurunan nilai pH secara teratur dengan kedalaman dimulai dari bagian atas horison Bt sampai bagian bawahnya, namun
terdapat sedikit peningkatan pada horison
peralihan BC. Nilai pH tertinggi, yakni 6,2, dijumpai pada horison Bt bagian atas (Bt1). Gambar 7 menunjukkan distribusi kandungan C-organik, Fe-bebas, dan liat total dalam tanah pada pedon AM4, AM5, dan AM6 yang berkembang dari batukapur. Terlihat bahwa terjadi penimbunan C-organik pada setiap pedon, baik yang memiliki regim kelembaban akuik maupun perudik. Kandungan C-organik horison A pada pedon AM4, cenderung lebih tinggi daripada horison Bt, namun peningkatan yang relatif kecil terlihat pada bagian bawah horison Bt, dan menurun kembali pada horison peralihan (BC) paling bawah. Kandungan C -organik tertinggi sebesar 0,78%, terjadi pada horison Bt3 (66 - 130 cm). Pada pedon AM5, kandungan C-organik pada horison permukaan (A) lebih rendah dari horison Bt secara menyeluruh. Nilai tertinggi sebesar 1,25% terjadi pada horison Bt2 (38 – 86 cm), sementara penurunan yang nyata terlihat pada horison peralihan BC. Sama halnya dengan pedon sebelumnya, maka pada pedon AM6 kandungan C-organik yang cukup tinggi ditemukan pada horison Ap dan Bt bagian atas, yang kemudian menurun dan meningkat kembali pada bagian bawah horison Bt. Penimbunan tertinggi dijumpai pada kedalaman 107 – 136 cm (horison Bt4) sebesar 1,65%. Data di atas dapat disimpulkan bahwa penimbunan C-organik pada
62
Gambar 7.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM4, AM5, dan AM6 yang Berkembang dari Bahan Induk Batukapur.
63
tanah berbahan induk kapur terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda. Penimbunan pada kedalaman terdalam ditemukan pada pedon AM6 (akuik). Pada keadaan regim kelembaban tanah perudik penimbunan C-organik terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal. Kandungan Fe-bebas pada pedon yang berkembang dari batukapur (AM4, AM5, dan AM6) (Tabel 10 dan Gambar 7) memperlihatkan bahwa penimbunan Febebas terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda dan umumnya terjadi pada horison Bt. Kandungan Fe-bebas pada horison A atau Ap, cenderung rendah. Peningkatan kandungan Fe-bebas terjadi pada horison Bt bagian atas, kemudian menurun pada bagian tengahnya. Penimbunan Fe-bebas tertinggi pada pedon AM4, AM5, dan AM6 berturut-turut terjadi pada horison Bt3 (66 – 130 cm) sebesar 3,47%, Bt1(16 – 38 cm) sebesar 3,27%, dan Bt3 (77-107 cm) sebesar 2,81%. Nilai KTK-liat secara keseluruhan terlihat sangat berbeda, yakni relatif lebih tinggi dibanding dengan pedon berbahan induk lainnya. Kenyataan ini sangat didukung oleh diidentifikasi adanya jenis mineral liat 2:1 (smektit) yang mendominasi setiap horison Bt. Nilai KTK-liat horison Bt bervariasi antara 63,9 -70,5 cmol(+)/kg liat pada pedon AM4, antara 63,0 – 80,0 cmol(+) /kg liat pedon AM5 dan antara 65,1 – 97,0 cmol(+)/kg liat pedon AM6. Tingginya nilai KTK-liat pada pedon-pedon ini terlihat relatif sama pada kondisi akuik maupun perudik, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh jenis bahan induk terhadap nilai KTK-liat lebih menonjol dibandingkan dengan pengaruh regim kelembaban tanah.
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Data sifat-sifat kimia masing-masing horison pada pedon AM7 dan AM8 yang berkembang dari bahan Volkan-Andesitik disajikan pada Tabel 11. Pedon AM7 (perudik) memiliki reaksi tanah seluruh horison yang tergolong masam, yakni pH 4,7 – 5,1. Pada horison A dijumpai nilai pH yang paling rendah dan
64
Tabel 11. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Insuk Volkanik-Andesitik. Pedon
Kedalaman pH-tanah C-organik (cm)
(H2O)
Basa-basa dapat tukar Ca
Mg
(%)
Jumlah
Kemasaman Kemasaman dapat tukar
K Na basa-dd terekstrak Al --------------------------------cmol(+)/kg tanah----------------------
H
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pH-7 Jum.Kat. KTK Ef. -------cmol(+)/kg tanah-------
Kejenuhan
KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB)
Liat
Al (%)
% liat total
pH-7 Jum.Kation ------(%)------
Fe2O3bebas (%)
AM7 - Andic Dystrudept (perudik) A Bt1
0-19 19-47
4,5 4,8
1,25 1,10
3,6 3,8
2,4 1,4
0,2 0,2
0,4 0,3
6,6 5,7
33,0 33,0
15,4 20,1
0,6 0,8
41,0 40,8
40,7 39,8
22,5 26,6
97,0 65,0
70 78
0,77 0,59
16 14
70 52
2,93 3,47
Bt2 Bt3 BC
47-80 80-105 105-130
4,8 4,7 4,7
0,94 1,73 0,78
0,6 1,1 0,7
0,2 0,5 0,3
0,1 0,1 0,1
0,1 0,2 0,2
1,0 1,9 1,3
33,8 29,0 31,8
18,6 28,7 30,0
0,8 0,9 1,0
43,5 45,2 47,6
35,9 31,9 34,2
20,4 31,4 32,3
65,6 72,7 80,7
94 94 96
0,73 0,54 0,86
2 4 3
11 13 9
3,38 2,99 4,82
C
130-200
5,1
0,78
0,9
0,3
0,1
0,1
1,4
31,8
25,5
0,8
51,0
34,2
27,7
69,3
95
1,12
3
9
4,96
AM8 - Typic Haplohumult (perudik) Ap
0-20
4,8
1,76
4,3
1,1
0,3
0,4
6,1
21,3
0.0
0.1
49.5
27,3
6,1
104,6
0
1,08
12
22
4,18
Bt1 Bt2
20-40 40-65
5,5 5,6
1,65 1,10
6,0 6,7
1,1 1,3
0,2 0,3
0,3 0,4
7,6 8,7
21,0 21,9
0.0 0.0
0.2 0.1
15.3 17.7
28,5 30,6
7,7 8,8
24,7 25,8
0 0
0,28 0,27
49 49
26 29
3,69 3,59
Bt3 Bt4 Bt5
65-90 90-110 110-145
5,7 5,8 5,8
0,78 0,71 0,63
8,3 6,2 6,3
2,0 2,0 2,0
0,3 0,2 0,3
0,4 0,4 0,4
11,0 8,8 9,0
22,3 23,1 18,9
0.0 0.0 0.0
0.1 0.1 0.1
16.8 14.8 16.8
33,3 31,8 27,9
11,1 8,8 9,1
20,8 36,6 20,1
0 0 0
0,22 0,22 0,21
66 59 54
33 27 32
4,40 4,04 3,96
BC
145-200
5,8
0,55
5,5
2,1
0,3
0,5
8,4
18,0
0.0
0.1
14.3
26,4
8,5
22,9
0
0,24
59
32
3,69
65
meningkat dengan kedalaman. Hal yang sama juga dijumpai pada pedon AM8 (perudik), di mana nilai pH relatif rendah terdapat pada horison permukaan (Ap) dan meningkat dengan kedalaman. Nilai pH tergolong agak masam, baik pada horison Ap, Bt, maupun horison C, dengan kisaran 5,5 - 5,8. Nilai kejenuhan basa (KB-jumlah kation) pada pedon AM7 cenderung tinggi pada horison A, namun dengan meningkatnya kedalaman, nilainya menurun sangat rendah, yakni 3%. Sedangkan pada pedon AM8, nilai KB-jumlah kation masing-masing horison hampir tidak jauh berbeda, berkisar 22 – 32%. C-organik pada pedon AM7 terlihat relatif tinggi pada bagian atas permukaan yakni pada horison Ap dan sedikit menurun pada bagian atas horison Bt. Pada Gambar 8, terlihat bahwa penumpukan C-organik sebesar 1,73% terjadi pada Bt3 dengan kedalaman 80 – 105 cm. Sedangkan pada AM8 tidak terlihat penimbunan seiring dengan menurunnya kandungan C-organik dengan meningkatnya kedalaman, yakni tertinggi dijumpai pada horison Ap dan sedikit menurun pada horison Bt sampai pada horison C. Kandungan Fe-bebas terlihat pola yang berbeda antara pedon AM7 dan AM8. Kandungan Fe-bebas pada pedon AM7 terlihat relatif rendah pada horison A, yang kemudian meningkat pada bagian atas horison Bt. Selanjutnya terjadi penurunan kembali pada horison Bt bagian bawah, dan meningkat pada horison peralihan BC sampai C. Berbeda dengan AM8 dimana pada bagian permukaan tanah besi bebas relatif tinggi dibanding dengan horison Bt bagian atas dan bawah, namun pada
bagian tengah horison Bt terlihat meningkat. Dengan demikian terjadi
penumpukan Fe -bebas sejumlah 3,47% pada Bt1 (19 – 47 cm) dan sebesar 4,40% pada Bt3 (65 – 90 cm) berturut-turut untuk pedon AM7 dan AM8. Jumlah penumpukan besi tersebut dapat dikatakan tertinggi di antara semua pedon yang diteliti. Hal ini
66
Gambar 8.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM7 dan AM8 yang Berkembang dari Bahan Induk Volkanik-Andesitik.
67
dapat dikatakan bahwa pedon-pedon ini mengalami pelapukan yang menghasilkan besi relatif lebih banyak. Pengaruh perbedaan jenis mineral liat yang mendominasi horison permukaan A atau Ap dan horison Bt terhadap nilai KTK-liat dijumpai pula pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk bahan volkanik andesitik ini. Pada pedon AM7 dijumpai nilai KTK-liat cenderung tinggi pada semua horisonnya. Tertinggi terjadi pada horison A kemudian menurun pada bagian atas horison Bt. Terjadi kenaikan KTK-liat di bagian bawah horison Bt dan pada horison BC dan menurun kembali pada horison C. Pada horison Bt dijumpai KTK liat sebesar 65,0 - 72,7 cmol(+)/kg liat dan pedon AM8 dijumpai lebih rendah yakni sebesar 20,1 - 36,6 cmol(+) /kg liat. Kedua pedon ini memiliki dominasi mineral liat yang berbeda yakni pada AM7 mineral liat campuran dan pada AM8 didominasi oleh kaolinit (1:1). Sehingga nilai KTK -liat pada kedua pedon ini didukung oleh jenis mineralnya (dibahas kemudian pada mineral liat).
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Pada Tabel 12 disajikan data sifat-sifat kimia pedon AM9 dan AM10 yang berke mbang dari bahan induk volkanik dasitik. Pedon AM9 (ustik) nilai pH relatif tergolong agak masam dengan pH adalah 5,2-5,4. Nilai pH horison A relatif lebih tinggi dibanding pada horison Bt maupun BC. Perbedaan kemasaman tanah terlihat jelas pada pedon AM10 (akuik) yang memiliki nilai pH yang relatif tinggi dan tergolong netral yakni 5,7 - 6,1, dimana pada horison Ap nilai pH cenderung rendah dibanding dengan horison Bt dan horison BC. Jelas terlihat bahwa pH pada
horison Bt relatif tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah mempengaruhi kemasaman horison Bt pada tanah berbahan induk bahan volkanik-dasitik di mana pengaruh yang sama kurang menonjol pada bahan induk batuan sedimen. Hubungan antara kemasaman tanah
(pH) dengan horison Bt dapat terjadi
dalam kaitannya dengan pencucian liat. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Buol et
68
Tabel 12. Beberapa Sifat Kimia Tanah Masing-masing Horison Pedon Pewakil Berbahan Induk Volkanik-Dasitik.
Pedon
Kedalaman pH tanah C-organik
Basa-basa dapat tukar Ca
(cm)
(H2O)
Mg
(%)
K
Jumlah Na
basa-dd
Kemasaman Kemasaman dapat tukar terekstrak
Al
H
--------------------------------cmol(+)/kg tanah----------------------
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pH-7
Jum.Kat. KTK Ef.
Liat
Kejenuhan Al (%)
KTK-tanah/ Kejenuhan Basa (KB) % liat total
------cmol(+)/kg tanah------
pH-7
Jum.Kation
------(%)------
Fe2O3bebas (%)
AM9 - Fluventic Dystrudept(ustik) A
0-22
5,5
1,02
4,0
1,7
0,3
0,4
6,4
18,8
0.0
0,1
16,0
25,2
6,5
26,8
0
0,29
40
25
3,41
Bt1
22-35
5,3
0,78
1,9
0,7
0,2
0,2
3,0
18,3
0,4
0,3
12,1
21,3
3,6
15,7
11
0,17
24
14
3,30
Bt2
35-57
5,4
0,71
1,4
0,6
0,1
0,2
2,3
15,9
1,0
0,4
13,1
18,1
3,6
16,3
30
0,17
17
12
3,64
Bt3
57-80
5,2
0,47
2,9
0,5
0,1
0,2
3,7
17,2
0,6
0,3
14,1
20,8
4,5
16,2
13
0,17
26
18
3,59
B4
80-110
5,4
0,39
2,4
0,9
0,2
0,3
3,8
16,3
9,9
0,9
15,5
19,9
14,4
17,0
72
0,18
23
18
3,57
Bt5
110-140
5,3
1,41
1,9
0,5
0,2
0,2
2,8
18,1
26,2
1,0
14,6
20,8
29,8
15,9
90
0,18
18
13
3,60
BC
140-200
5,2
0,94
1,3
0,3
0,1
0,2
1,8
18,3
30,3
1,5
8,3
20,2
33,6
9,7
94
0,11
23
9
4,25
AM10 - Aeric Epiaqualf (akuik) Ap
0-12
4,6
2,16
1,0
0,4
0,2
0,3
1,9
8,4
3,4
0,5
6,3
6,8
10,2
31,4
35
0,31
29
18
0,32
Adir
12-20
5,5
1,68
2,9
0,8
0,3
0,4
4,4
6,1
1,8
0,3
7,1
7,3
10,4
37,8
29
0,38
62
55
0,26
Bmn
20-26
6,1
2,03
5,2
2,0
0,4
0,5
8,1
7,4
0,5
0,2
9,2
9,3
11,8
45,4
6
0,46
48
37
0,34
Bt1
26-59
6,2
1,92
5,5
2,3
0,3
0,4
8,5
7,5
0,0
0,2
8,6
8,8
15,5
25,5
0
0,25
93
37
0,32
Bt2
59-75
6,0
1,60
5,4
2,4
0,3
0,4
8,5
8,8
0,0
0,1
9,4
9,5
17,3
27,0
0
0,27
91
52
0,49
Bt3
75-120
6,0
1,43
8,5
3,2
0,4
0,5
12,6
12,9
0,0
0,2
15,6
15,8
21,8
41,3
0
0,41
54
50
0,36
Bt4
120-143
5,7
2,00
9,5
4,1
0,4
0,5
14,5
12,9
0,4
0,2
18,6
18,9
25,4
45,1
0
0,45
67
40
0,36
BCg1
143-168
5,6
2,32
7,6
3,9
0,3
0,5
12,3
9,8
0,5
0,2
13,9
14,1
24,2
41,9
2
0,42
100
60
0,09
BCg2
168-200
5,7
1,54
5,4
2,8
0,3
0,4
8,9
7,3
1,0
0,3
15,5
15,9
19,6
71,1
11
0,71
79
63
0,35
69
al. (1973) bahwa terjadinya proses dispersi liat berkaitan dengan pencucian basa -basa yang mengikat partikel tanah. Pencucian basa-basa akan menurunkan nilai pH tanah dan memungkinkan terbentuknya proses penimbunan liat ke horison B. Kejenuhan Basa-jumlah kation pada pedon yang berkembang dari bahan induk volkanik-dasitik ini sangat berbeda. Pada pedon AM9 dijumpai nilai KB-jumlah kation yang sangat rendah terutama di bawah horison permukaan A. Sedikit peningkatan terjadi pada bagian bawah horison Bt, kemudian menurun pada horison BC. Sebaliknya pada pedon AM10 jelas terlihat bahwa, nilai KB-jumlah kation adalah rendah pada horison Ap, kemudian meningkat sampai pada horison Bt3. Penurunan terjadi pada bagian bawah horison Bt dan meningkat kembali pada horison BC. Hal ini menunjukkan bahwa pedon ini memenuhi KB- jumlah kation sebesar lebih atau sama dengan 35% pada kedalaman 180 cm sehingga dapat digolongkan pada tanah Alfisol. Perbedaan bahan induk jelas berpengaruh pada kemasaman horison Bt, dimana tanah yang berasal dari bahan induk masam (batuliat dan volkanik-dasitik) cenderung menghasilkan tanah dengan pH yang masam. Kecuali pada AM10 (akuik) dengan nilai pH 6,2 sampai 6,4. Sedangkan tanah yang berkembang dari bahan induk batukapur tergolong pada agak-masam sampai netral. Horison Bt pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik memiliki KB relatif lebih tinggi dibanding dengan tanah yang memiliki regim kelembaban tanah perudik. Sebaliknya pengaruh regim kelembaban tanah cenderung mempengaruhi nilai KB horison Bt. Pada ped on dengan regim kelembaban tanah akuik nilai KB cenderung lebih tinggi daripada perudik. Kandungan C-organik pada pedon berbahan induk volkanik dasitik (Tabel 12 dan Gambar 9), terlihat bahwa pada horison A pedon AM9 (ustik) memiliki nilai yang tinggi dibanding horison Bt bagian atas dan tengah. Penurunan kandungan C-organik terjadi sampai pada bagian bawah horison Bt4. Sedangkan pada bagian bawah Bt terjadi penumpukan C-organik sebesar 1,41% pada horison Bt5 (110-140 cm). Pada
70
pedon AM10 (akuik) kandungan C-organik relatif tinggi hampir di setiap horisonnya, yakni sebesar 2%, dan tertinggi dibanding dengan pedon-pedon lainnya. Penimbunan tersebut dijumpai pada horison Bt4 (120-143 cm). Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan regim kelembaban tanah berpengaruh pada kandungan C-organik terutama pada tanah yang berbahan induk bahan volkanik dasitik ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa penimbunan C-organik berbeda antara pedon yang berbahan induk bahan volkanik-dasitik maupun-andesitik (yang terjadi pada kedalaman yang lebih dangkal). Pada beberapa pedon terlihat terjadi penimbunan C-organik yang tidak teratur, yang pada ordo tanah Inceptisol dapat termasuk dalam kriteria ’fluventic’ yakni adanya pengaruh perbedaan penimbunan bahan oleh air. Pada tanah Ultisol, kandungan Corganik
digunakan
sebagai
kriteria
dalam
mengklasifikasikan
sub-ordonya.
Disimpulkan bahwa penimbunan C-organik yang relatif sangat sedikit, terjadi seiring dengan terjadinya penimbunan liat. Hal tersebut terlihat pada pedon berbahan induk batuliat yang hanya terjadi pada pedon AM1 dan AM3 keduanya akuik, kemudian pada semua pedon berbahan batukapur (AM4, AM5, dan AM6), dan juga pada pedon yang berbahan induk volkanik-andesitik (AM7), serta berbahan induk volkanik-dasitik yakni AM9 dan AM10. Hasil analisis terhadap kandungan Fe-bebas pada pedon AM9 (Tabel 12 dan Gambar 9), menunjukkan bahwa kandungan besi bebas pada horison A cenderung lebih rendah dibanding dengan Bt dan BC. Terlihat bahwa penumpukan besi bebas terjadi pada horison Bt2 (35 -57 cm) sebesar 3,64% dan pada Bt5 (110 -140 cm) maupun pada horison peralihan (BC) sebesar masing-masing 3,60% dan 4,25%. Hal yang sangat berbeda terlihat pada pedon AM10 yang berkembang dari bahan induk yang sama dengan AM9, tetapi memiliki regim kelembaban tanah akuik. Secara keseluruhan pedon ini memiliki kandungan Fe- bebas yang sangat rendah dibanding dengan semua pedon pewakil yang ada.
71
Gambar 9.
Distribusi C-organik, Fe-bebas, dan Liat Total Tanah pada Pedon AM9 dan AM10 yang Berkembang dari Bahan Induk Volkanik-Dasitik.
72
Namun demikian terlihat bahwa horison Ap memiliki kandungan besi bebas yang lebih rendah dibanding dengan horison Bt, dan cenderung lebih tinggi dari horison peralihan BC. Penimbunan terlihat pada horison Bt2 (59 – 75 cm) sebesar 0,49%. Kandungan jumlah besi bebas yang relatif sangat sedikit pada AM10 diduga akibat jenis bahan induk yang mengandung sedikit besi (tufa Banten) seperti yang diungkapkan dalam Djunaedi (1976). Fe-bebas merupakan salah satu indikator ciri perkembangan tanah. Senyawa ini berkaitan erat dengan aktifitas air dalam tanah. Hasil analisis terhadap senyawa Fe2 O3 disimpulkan bahwa, terjadi akumulasi dengan jumlah yang berbeda -beda pada setiap
pedon
pewakil.
Akumulasi
dapat
merupakan
akibat
dari
perbedaan
permeabilitas tanah yang dari cepat menjadi lambat pada daerah dimana kandungan liat tinggi. Dengan adanya perbedaan tekstur tersebut mengakibatkan air sering tertahan pada batas lapisan yang berbeda ini dan mengakibatkan tertumpuknya besi. Jumlah Fe-bebas yang relatif tinggi terlihat pada pedon-pedon yang berasal dari bahan induk volkanik kecuali pedon AM10, dan menunjukkan tanah tersebut lebih berkembang dibanding lainnya. Pedon yang berasal dari bahan dasitik terlihat memiliki nilai KTK-liat yang berbeda. Nilai KTK-liat pada pedon AM9 cenderung rendah, dan ditemukan relatif tinggi pada horison permukaan Ap, dan menurun sampai pertengahan Bt, juga pada BC. Sedangkan pada bagian bawah Bt terlihat adanya penumpukan sebesar 17,0 cmol(+) /kg liat pada Bt4. Pada horison Ap sebesar 26,8 cmol(+)/kg liat. Pada pedon AM10 dijumpai cenderung lebih tinggi dan bervariasi antara horisonnya, yakni sebesar 25,5-45,12 cmol(+)/kg liat. Nilai KTK-liat yang relatif lebih tinggi pada pedon AM10 dipengaruhi oleh mineral campuran antara liat 2:1 dan 1:1 dibanding dengan AM9 yang mineral liatnya didominasi oleh tipe 1:1 (kaolinit). Hubungan antara nilai KTK-liat dengan horison penimbunan liat lebih kepada jenis mineral liat yang mendominasi horison tersebut. Sedangkan nilai KTK-tanah (pH-7) digunakan untuk mendapatkan kelas KTK pada
73
klasifikasi tanah pedon pewakil yang dijumpai dominasi mineral liat campuran pada penelitian ini. Dari data -data tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah terlihat tidak langsung mempengaruhi sifat tanah ini, melainkan akibat pengaruh perbedaan jenis mineral liat yang dijumpai pada masing-masing pedon.
Mineralogi Horison Eluviasi dan Iluviasi Mineral Fraksi Pasir Data hasil analisis mineral fraksi pasir total dengan menggunakan metode Line Counting pada contoh tanah yang mewakili horison pencucian liat dan penimbunan liat maksimum disajikan pada Tabel 13. Analisis mineral fraksi pasir total bertujuan, antara lain, untuk mengetahui komposisi dan cadangan mineral yang ada dalam tanah, juga untuk menduga jenis bahan induk tanah (Hendro, 1990). Pada penelitian ini, analisis mineral fraksi pasir total dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi dan cadangan mineral yang ada pada horison permukaan (A atau Ap) dan horison Bt, dan untuk menduga proses-proses pelapukannya. Secara keseluruhan dijumpai bahwa susunan mineral fraksi pasir pada horison Bt masing-masing pedon pewakil adalah sama dengan horison permukaan (A atau Ap), yakni horison pencucian yang berada di atas horison penimbunan liat tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa cadangan mineral, yaitu mineral mudah lapuk (weatherable mineral), yang dikandung masing-masing horison bervariasi satu sama lain. Mineral-mineral mudah lapuk yang dijumpai pada pedon-pedon pewakil, antara lain, adalah gelas volkan, oligoklas, andesine, labradorit, orthoklas, sanidin, hornblende, augit, dan hiperstin.
74
TM
HY
AU
HO
SA
OR
LB
AN
OL
VG
WR
WM
ZE
OS
LI
KF
KB
KK
ZI
Pedon/Hor.
Penyebaran Mineral Fraksi Pasir Total pada Horison Eluviasi dan Iluviasi. OP
Tabel 13.
Pedon AM1: Ap (0-10 cm)
24
1
10
39
0
0
0
0
1
13
2
3
1
2
0
1
0
1
2
12
Bt2 (55-95 cm)
46
1
8
31
0
0
0
0
1
11
0
1
0
0
0
0
0
1
0
2
Pedon AM2: Ap (0-18 cm)
35
0
27
13
0
1
0
0
4
11
1
0
0
1
0
0
0
1
6
9
Bt3 (103-130 cm)
28
0
29
8
16
1
1
1
5
7
1
0
1
0
0
0
0
1
1
4
Pedon AM3: Ap (0-15 cm)
9
1
19
16
0
0
2
0
7
15
1
0
2
6
1
1
1
7
12
30
Bt2 (30-50 cm)
1
0
29
27
0
1
2
0
8
14
1
1
1
5
1
1
0
5
3
18
Pedon AM4: AB (15-31 cm)
28
1
21
19
5
1
0
0
7
14
0
0
1
0
0
2
0
0
1
4
Bt2 (45-66 cm)
29
1
23
19
1
1
0
0
7
15
0
0
2
0
0
2
0
0
0
4
Pedon AM5: A
(0-16 cm)
17
0
11
34
0
0
0
0
3
11
0
7
11
3
0
2
0
0
1
24
Bt3 (86-122 cm)
16
0
15
34
0
0
0
0
7
16
0
3
6
1
0
2
0
0
0
8
Pedon AM6: Ap (0-16 cm)
15
0
13
28
0
0
0
0
0
26
1
2
0
11
1
2
0
0
1
18
Bt2 (50-77 cm)
10
1
13
23
0
1
0
0
1
33
1
3
1
11
0
2
0
0
1
19
Pedon AM7: A (0-19 cm)
46
0
9
13
0
0
0
0
12
17
2
2
0
0
0
1
0
0
0
5
Bt3 (80-105 cm)
49
0
7
9
1
0
0
0
16
16
2
1
1
0
0
0
0
0
0
4
Pedon AM8: A
(0-20 cm)
Bt3 (65-90 cm)
63
1
2
7
0
0
0
0
2
4
2
0
0
7
0
0
1
3
8
21
64
0
1
4
0
0
0
0
2
6
1
0
0
5
0
0
1
5
10
23
Pedon AM9: A
(0-10 cm)
Bt3 (57-80 cm)
35
0
5
46
0
0
0
0
2
3
1
2
0
4
0
0
0
0
1
8
30
1
16
42
0
0
0
0
2
3
1
3
0
1
0
1
0
0
0
6
Pedon AM10:
Keterangan : OP=opak, Zi=sirkon, KK=kuarsa keruh, KB=kuarsa bening, KF= K-feldspar, LI=limonit, OS=organik silika, ZE=zeolit, WM= mineral lapuk, WR= batuan lapuk, VG=gelas volkan, OL=oligoklas, AN=anortit, LB=labradorit, OR=ortoklas, SA=sanidin, HO=hornblende, AU=augit, HY=hiperstin, dan TM=total mineral mudah lapuk.
Pedon Berbahan Induk Batuliat Pada pedon yang berkembang dari batuliat (AM1, AM2, dan AM3), jumlah mineral mudah lapuk di horison Bt lebih sedi kit ataupun berkurang, dibanding dengan horison eluviasi. Pada pedon AM1 penurunan tersebut sangat nyata dari 12% menjadi 2% dan pada pedon AM3 dari 30% menjadi 18%. Penurunan tersebut terlihat juga
75
pada pedon AM2 dari 9% menjadi 4%. Pedon AM1 didominasi oleh kuarsa bening, yang relatif lebih tinggi daripada AM2 , yang lebih didominasi oleh kuasa keruh. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah ini sudah mengalami pelapukan yang intensif, karena kuarsa adalah mineral merupakan mineral yang tahan terhadap pelapukan. Jumlah kuarsa (bening dan keruh) meningkat pada horison Bt dibanding dengan horison di atasnya, terlihat sangat menonjol pada pedon AM3. Hal ini sejalan dengan pendapat Nettleton et al. (1975) yang mengatakan bahwa pelapukan yang cukup memadai untuk menghasilkan horison Bt adalah ditunjukkan oleh peningkatan kandungan kuarsa dalam fraksi non liat yang diiringi dengan berkurangnya jumlah mineral lapuk.
Pedon Berbahan Induk Batukapur Kuarsa merupakan mineral fraksi pasir yang mendominasi pedon AM4 dengan jumlah kuarsa keruh hampir sama dengan horison pencucian di atasnya. Pedon AM5 terjadi penurunan jumlah mineral lapuk sangat nyata, yaitu dari 24% pada horison pencucian dan menjadi 8% pada horison Bt. Sedangkan pada pedon AM6, kuarsa bening terlihat relatif lebih tinggi sama halnya pada pedon AM5. Pada pedon-pedon dari bahan induk batukapur ini, memiliki kandungan batuan lapuk yang relatif tinggi dari pedon-pedon lainnya, baik pada horison Bt maupun horison di atasnya.
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Pada tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik-andesitik (pedon AM7 dan AM8), terlihat bahwa dominasi mineral opak sangat menonjol dibanding pedonpedon lainnya, yaitu melebihi 60%. Sebaliknya, kuarsa bening relatif lebih sedikit dibanding pada pedon yang berasal dari batuliat dan batukapur. Dengan dijumpainya mineral tahan lapuk dalam jumlah relatif lebih kecil, maka dapat disimpulkan bahwa, tanah-tanah ini relatif belum mengalami pelapukan lanjut dibanding pedon yang
76
berkembang dari batuan sedimen. Hal ini seiring dengan sifat bahan induk intermedier dengan kandungan Fe-bebas yang relatif tinggi dibanding pedon lainnya.
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Kandungan kuarsa bening dijumpai relatif sangat tinggi pada pedon AM9, baik pada horison Bt maupun horison A. Dilihat dari regim kelembaban tanah yang tergolong ustik, seharusnya tanah relatif belum mengalami pencucian lanjut. Kandungan kuarsa yang tinggi diperkirakan lebih disebabkan oleh pengaruh
bahan
induk yang mengandung kuarsa tinggi, yaitu tufa Banten. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa susunan mineral fraksi pasir tanah-tanah yang diteliti lebih dipengaruhi bahan induknya, bukan pengaruh regim kelembaban tanah yang berbeda. Kesamaan susunan mineral pada horison Bt dan horison permukaan (A atau Ap) pada masing-masing pedon pewakil, mendukung pendapat bahwa bahan penyusun horisonhorison tersebut adalah sama . Hal ini berarti juga mendukung kesimpulan bahwa sumber liat sebagai bahan iluviasi pada horison Bt berasal dari horison pencucian di atasnya. Dominasi kuarsa bening tertinggi terdapat pada pedon yang berasal dari bahan volkanik-dasitik, kemudian batukapur, batuliat, dan paling rendah pada bahan volkanikandesitik. Dapat dikatakan bahwa tanah -tanah yang berasal dari bahan volkanik-dasitik telah mencapai tingkat hancuran iklim yang lanjut, sehingga mempengaruhi tingkat perkembangan horison Bt pada tanah tersebut. Namun demikian, banyak sedikitnya jumlah kandungan kuarsa tidak lepas daripada pengaruh jenis bahan induk itu sendiri. Adanya pengaruh bahan induk volkanik terlihat pada pedon-pedon yang berkembang dari batuan sedimen dengan melihat susunan mineral fraksi pasirnya yang tidak dijumpai lagi mineral-mineral penciri batuan sedimen. Mohr dan Van Baren (19 72) mengatakan bahwa, mineral resisten seperti kuarsa banyak dijumpai pada batuan sedimen, selain zirkon, rutil, turmalin, dan magnetit yang tidak ditemukan pada
77
penelitian ini. Hal ini menyebabkan sulitnya menginterpretasi asal bahan induk yang sebenarnya. Sebagai dasar penen tuan jenis bahan induk dalam penelitian ini adalah menggunakan informasi dalam peta geologi daerah Bogor dan Serang, Banten.
Mineralogi Horison Eluviasi dan Iluviasi Data hasil analisis mineral liat pada horison pencucian (A atau Ap) dan horison penimbunan liat maksimum (Bt) setiap pedon pewakil disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14.
Pedon
Jenis Mineral Liat pada Horison Eluviasi dan Iluviasi Setiap Pedon Pewakil. Horison / Kedalaman (cm) Smektit
Batuliat : AM1 Ap (0-10 cm) Bt3 (55-95 cm)
Illit
Jenis Mineral Liat Kaolinit Haloisit Kuarsa Kristobalit Gibsit
Goethit Feldspar
+++ +++
-
+ ++
-
(+) -
+ +
-
-
-
AM2
Ap (0-18 cm) Bt3 (103-130 cm)
-
-
++++ ++++
-
+ +
-
(+) -
(+) -
-
AM3
Ap (0-15 cm) Bt3 (30-50 cm)
+
(+)
++++ ++++
-
+ (+)
-
-
(+) -
+ (+)
++++ ++++
+
+ +
-
-
(+) -
-
-
-
Batukapur : AM4 AB (15-31 cm) Bt2 (45-66 cm) AM5
A (0-16 cm) Bt3 (86-122 cm)
++++ ++++
+
+ +
-
-
-
-
-
-
AM6
Ap (0-18 cm) Bt2 (50-77 cm)
++++ ++++
(+) (+)
+ +
-
-
-
-
-
-
++++ ++++
-
+ +
-
(+) -
-
-
-
-
Ap (0-20 cm) Bt3 (65-90 cm)
-
-
-
++++ ++++
(+) (+)
-
(+) (+)
(+) (+)
-
Volkanik-dasitik : AM9 A (0-22 cm) Bt3 (57-80 cm)
-
-
-
++++ ++++
-
++ +
-
-
+ -
-
-
+++ +++
-
+ +
++ ++
-
-
+ +
Volkanik-andesitik : AM7 A (0-19 cm) Bt3 (60-105 cm) AM8
AM10
A (0-12 cm) Bt4 (120-143 cm)
Keterangan : ++++ = dominan; +++ = banyak; ++ = sedang; + = sedikit; (+) = sangat sedikit
78
Pedon Berbahan Induk Batuliat Difraktogram Sinar-X (X-ray Difactogram, XRD) fraksi liat dari horison A atau Ap dan horison argilik (Bt) masing-masing pedon disajikan pada Gambar 10 (AM1) sampai Gambar 19 (AM10). Perlakuan standar fraksi liat yang digunakan adalah dengan penjenuhan Mg 2+, Mg2+ + gliserol, K+, dan K+ plus 500 0C. Adapun identifikasi jenis mineral berdasarkan puncak difraksi sinar-X (X-ray Difraction peaks) seperti yang dikemukakan dalam Dixon et al. (1989). Horison Bt dan horison Ap pada tanah yang berkembang dari batuliat di daerah Cendali (AM1), yang mempunyai regi m kelembaban akuik didominasi
mineral liat
smektit (2:1) dan sedikit kaolinit. Hal ini ditunjukkan oleh puncak 16 Å pada perlakuan dengan penjenuhan kation Mg 2+, yang berubah menjadi 18 Å pada penjenuhan kation Mg 2+ ditambah pemberian gliserol. Selanjutnya puncak smektit
mengecil
menjadi 12,5 Å pada perlakuan penjenuhan dengan kation K, dan menjadi 10 Å setelah dipanaskan pada 550 oC (Gambar 10). Kecuali itu, ditemukan juga sedikit kaolinit (1:1) di horison Ap, yang meningkat jumlahnya di horison Bt2. Adanya mineral liat kaolinit ditunjukkan oleh puncak 7,2 Å pada penjenuhan dengan Mg 2+, Mg 2+ - gliserol, dan penjenuhan dengan K+. Namun dengan perlakuan pemanasan 550 oC, puncak tersebut hilang. Dua pedon lain, AM2 dan AM3 yang juga berkembang dari batuliat, baik yang mempunyai regim kelembaban perudik maupun akuik, didominasi oleh mineral liat kaolinit (Gambar 11 dan 12). Puncak 7,2 Å sangat nyata terlihat pada perlakuan dengan Mg 2+, Mg 2+ - gliserol, maupun penjenuhan dengan K +. Adanya kaolinit diperkuat oleh intensitas kuat dari puncak ordo kedua kaolinit yakni 3,59 Å. Selain itu, mineral kuarsa (3,34 Å) terlihat sangat jelas. Juga pada pedon AM2 ditemukan gibsit (4,5 Å) dan goethite (4,21 Å) dalam jumlah sedikit. Hal lain yang menarik adalah ditemukannya sedikit mineral smektit di horison Bt pada pedon AM3 yang memiliki regim kelembaban akuik (AM3) dan sedikit kristobalit pada AM1.
79
Gambar 10a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon A M1 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 10b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM1 Berbahan Induk Batuliat.
80
Gambar 11a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM2 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 1 1b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM2 Berbahan Induk Batuliat.
81
Gambar 12a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison (Ap) Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 1 2b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM3 Berbahan Induk Batuliat.
82
Pedon Berbahan Induk Batukapur Tanah yang berkembang dari bahan induk kapur, AM4, AM5, dan AM6, dijumpai di daerah Pasircabe, Jonggol, memiliki regim kelembaban tanah perudik dan akuik. Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa mineral liat smektit dan sedikit kaolinit mendominasi susunan fraksi liat, baik pada horison Bt maupun horison pencucian (A atau Ap), Tabel 14. Gambar 13 (AM4), 14 (AM5), dan 15 (AM6) menunjukkan bahwa pada perlakuan penjenuhan dengan kation Mg 2+, puncak difraksi sinar X yang didentifikasi adalah sebesar 15,3 – 16 Å, yang dengan penambahan gliserol meningkat menjadi 18 Å. Puncak tersebut bergeser menjadi 12 Å setelah diperlakukan dengan penjenuhan kation K +, dan kemudian menjadi 10 Å setelah pemanasan pada 550 oC. Puncak difraksi berikutnya yang teridentifikasi adalah kaolinit (7,26 Å) yang relatif stabil terlihat pada tiga perlakuan, terkecuali pada perlakuan penambahan kation K + plus pemanasan dengan 550 oC , puncak ini menghilang. Adanya orde kedua dari kaolinit yang ditunjukkan oleh puncak 3,58 Å memperkuat adanya mineral tersebut pada horison Bt dan horison A/Ap. Selain kedua mineral utama tersebut ditemukan pula dalam jumlah sedikit mineral illit (10 Å), kuarsa (3,34 Å) dan kristobalit (4,05 Å). kaolinit yakni 3,59 Å. Selain itu, mineral kuarsa (3,34 Å) terlihat sangat jelas.
83
Gambar 13a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (AB) Pedon AM4 Berbahan Induk Batukapur.
Gambar 1 3b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM4 Berbahan Induk Batukapur.
84
Gambar 14a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur.
Gambar 1 4b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur.
85
Gambar 15a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM6 Berbahan Induk Batukapur.
Gambar 1 5b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt2 Pedon AM6 Berbahan Induk Batukapur.
86
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Hasil analisis mineral liat dengan XRD pada pedon yang berkembang dari bahan induk volkanik-andesitik, AM7 dan AM8, yang berasal dari daerah Jasinga dan Ciampea disajikan pada Tabel 14. Puncak-puncak difraksi sinar X-nya disajikan pada Gambar 16 (AM7) dan 17 (AM8). Pada pedon AM7 (Gambar 16) dengan perlakuan penjenuhan dengan kation Mg2+, mineral liat yang diidentifikasi adalah smektit dengan puncak difraksi 15,8 Å, yang meningkat menjadi 18 Å dengan penambahan gliserol. Puncak tersebut bergeser menjadi 10 Å setelah
penjenuhan dengan kation K +
ditambah pemanasan pada 550 o C. Puncak berikutnya yang teridentifikasi adalah 7,26 Å yang relatif stabil pada tiga perlakuan, kecuali pada perlakuan penambahan kation K + plus pemanasan 550 o C puncak tersebut hilang. Mineral liat tersebut adalah kaolinit (1:1) . Keberadaan mineral ini diperkuat dengan adanya puncak difraksi ordo kedua 3,6 Å, yang jelas terlihat pada horison Bt dan horison A. Analisis XRD pada pedon AM7 dengan demikian menunjukkan bahwa fraksi liat horison Bt dan A didominasi oleh smektit dan sedikit kaolinit. Pedon AM8 (Ciampea) menunjukkan XRD yang agak berbeda. Gambar 17 menunjukkan bahwa mineral liat yang diidentifikasi adalah haloisit (7,3 Å) sebagai mineral liat dominan. Di samping itu dalam jumlah yang sangat sedikit, dijumpai mineral kuarsa (3,34 Å), gibsit (4,5Å), dan goethit (4,12 Å), baik pada horison Bt maupun horison Ap. Fraksi liat horison Bt dan Ap dengan demikian (Tabel 21), didominasi oleh mineral haloisit dengan sedikit kuarsa, gibsit, dan goethit.
87
Gambar 16a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM7 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik.
Gambar 16b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon Induk Bahan Volkanik-Andesitik.
AM7
Berbahan
88
Gambar 17a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM8 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik.
Gambar 17b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM8 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik.
89
Pedon Berbahan induk Volkanik-Dasitik Hasil analisis XRD pada mineral liat pedon AM9 dan AM10 dari Cipocok, Serang yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik,
disajikan pada Gambar 18
(AM9) dan 19 (AM10). Pada kedua Gambar tersebut terlihat bahwa, puncak-puncak difraksi XRD cenderung sama antara horison Bt dan horison A/Ap di atasnya. Pada Gambar 18 (AM9) terlihat bahwa, pada perlakuan penjenuhan dengan kation Mg2+, puncak difraksi yang teridentifikasi adalah haloisit (7,3 Å) yang relatif stabil pada tiga perlakuan, terkecuali pada perlakuan penambahan kation K+ plus pemanasan 550 oC puncak tersebut menghilang. Adanya difraksi ordo kedua dari mineral tersebut pada 3,6 Å memperkuat keberadaan mineral haloisit pada horison Bt dan horison A. Mineral lainnya dalam jumlah lebih sedikit yang teridentifikasi adalah adalah kristobalit (4,05 Å) dan kuarsa (3,34 Å).
Gambar 18a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (A) Pedon AM9 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
90
Gambar 18b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt3 Pedon AM9 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
Pada pedon AM10 (Gambar 19) menunjukkan XRD yang agak berbeda. Gambar 19 menunjukkan bahwa mineral kaolinit (7,2 Å) terdapat dalam jumlah yang dominan, baik pada horison Bt maupun horison Ap di atasn ya. Dalam jumlah yang agak banyak terdapat kristobalit (4,05 Å ), dan kuarsa (3,34 Å) dalam jumlah yang sedikit.
91
Gambar 19a. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Permukaan (Ap) Pedon AM10 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
Gambar 19b. Hasil Analisis XRD Fraksi Liat Horison Bt4 Pedon AM10 Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik.
92
Berdasarkan hasil analisis mineral liat dengan XRD seperti telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan jenis-jenis mineral liat yang dominan pada horison Bt dan horison A/Ap pada semua pedon yang diteliti, seperti tertera pada Tabel 15.
Tabel 15.
Mineral Liat yang Dominan pada Horison Penimbunan Liat dan Horison di Atasnya pada Masing-masing Pedon Pewakil. Pedon Jenis Mineral liat yang dominan Horison eluviasi Horison iluviasi
Batuliat : AM1(akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik)
Smektit dan kaolinit Kaolinit Kaolinit
Smektit dan kaolinit Kaolinit Kao linit dan smektit
Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik)
Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit
Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit
Bahan Volkanik -Andesitik : AM7 (perudik) AM8 (perudik)
Smektit dan sedikit kaolinit Smektit dan sedikit kaolinit Haloisit Haloisit
Bahan Volkanik -Dasitik: AM9 (ustik) AM10 (akuik)
Haloisit Kaolinit
Haloisit Kaolinit
Horison Diagnostik Horison Permukaan Dalam Soil Survey Staff (1999) dinyatakan bahwa, horison permukaan tanah dapat diklasifikasikan sebagai epipedon okrik, apabila horison tersebut tidak memenuhi syarat
untuk tujuh epipedon lainnya. Sifat
morfologi utama yang mempengaruhi
adalah karena horison permukaan bersifat terlalu tipis, terlalu kering, warnanya memiliki value dan kroma terlalu tinggi, dan atau kandungan C-organiknya terlalu rendah. Dari kriteria ketebalan, warna tanah, dan lain-lain maka disimpulkan horison permukaan seluruh pedon pewakil adalah okrik.
93
Horison Bawah Permukaan Identifikasi horison Bt pada selu ruh pedon dalam penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah horison tersebut adalah horison argilik. Kriteria yang digunakan sebagai dasar identifikasi ini adalah sifat-sifat argilik seperti yang di sampaikan dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Sifat-sifat tersebut adalah sifat morfologi dan fisika (kandungan liat dan ketebalan masing-masing horison), serta sifat mikromorfologi (selaput liat).
Kandungan Liat Data tekstur tanah berupa kandungan liat halus dan liat total, serta rasio liat halus terhadap liat total masing-masing horison disajikan pada Tabel 5, 6, 7, dan 8. Banyaknya liat halus yang dipindahkan oleh proses iluviasi terlihat pada data rasio liat halus terhadap liat total dan merupakan indikasi intensitas proses iluviasi liat. Rasio liat ini merupakan salah satu hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam identifikasi horison argilik (Cremeens et al., 1986). Menurut Smith dan Wilding (1972) rasio liat halus terhadap liat total merupakan salah satu kriteria pembanding yang dapat membedakan antara horison argilik dengan horison di atasnya. Bahan Induk Batuliat. Tabel 5 (halaman 38) menyajikan peningkatan kandungan liat halus dari horison Ap ke horison Bt1 pada pedon yang berbahan induk batuliat mencapai berturut-turut 6,9% dan 15,3% untuk pedon AM1 dan AM3 yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, dan 9,3% pada pedon AM2 yang memiliki regim kelembaban tanah perudik. Dapat dikatakan bahwa proses iluviasi pada ketiga pedon tersebut hampir sama tingkat intesitasnya, yang didukung oleh rasio liat halus terhadap liat total yang tinggi. Peningkatan kandungan liat halus yang relatif paling rendah di antara ketiga pedon pewakil dari bahan induk batuli at dijumpai pada AM1, dan tertinggi pada pedon AM3. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan regim kelembaban tanah yang ada saat ini, tidak terlihat mempengaruhi perbedaan jumlah
94
liat yang teriluviasi, dimana pada kondisi regim kelembaban tanah yang sama memberikan peningkatan liat yang jumlahnya berbeda. Bahan induk Batukapur. Pada Tabel 6 (halaman 42) disajikan bahwa, pedonpedon berbahan induk batukapur memiliki peningkatan kandungan liat halus dari horison cenderung hampir sama antara pedon yang memiliki regi m kelembaban tanah perudik dan akuik. Pedon AM4 (perudik) memiliki peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 yang lebih tinggi, yakni 15,9% dibanding pedon AM6 (dari horison Ap ke horison Bt1) yakni 13,9%. Pedon AM5 yang memiliki regim kelembaban perudik, peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 adalah 7,0%, paling rendah di antara ketiga pedon tersebut. Sehingga sama halnya pada pedonpedon berbahan induk batuliat, regim kelembaban tanah yang berbeda tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap jumlah perpindahan liat. Bahan induk Volkanik -Andesitik . Tabel 7 (halaman 46) menunjukkan bahwa, peningkatan kandungan liat halus pada pedon yang berasal dari bahan Volkanikandesitik sangat menonjol pada pedon AM7. Hal ini sangat didukung oleh data tekstur bahwa peningkatan kandungan liat halus dari horison A ke horison Bt1 sekitar 33,3% terjadi pada pedon AM7. Tingginya kandungan liat halus pada pedon AM7 ini menunjukkan
telah
terjadinya
pelapukan
yang
intensif
dan
eksten sif
yang
menghasilkan penimbunan liat yang relatif tinggi. Pada pedon AM8 yang berbahan induk bahan volkanik andesitik, peningkatan kandungan liat halus dari horison Ap ke horison Bt1 sebesar 6,1% dan tidak terlalu menonjol seperti pada pedon pewakil lainnya. Bahan induk Volkanik-Dasitik. Tabel 8 (halaman 48) menyajikan, pedon berbahan induk volkanik dasitik AM9 dan AM10 yang memiliki regim kelembaban tanah ustik dan akuik, menunjukkan bahwa penimbunan liat pada horison Bt1 relatif lebih tinggi
pada AM9 yaitu 15,6% dan pada AM10 relatif sedikit yakni 8,2%.
Disimpulkan bahwa bahan induk volkanik yang berbeda memberi pengaruh yang
95
berbeda terhadap jumlah peningkatan liat. Bahan volkanik-dasitik cenderung memiliki peningkatan liat yang lebih banyak dibanding andesitik. Secara keseluruhan bahan volkanik memiliki peningkatan liat yang relatif tinggi dibanding bahan induk batukapur, dan batuliat. Rata-rata jumlah peningkatan liat paling rendah dimiliki oleh pedon-pedon berbahan induk Batuliat. Jumlah liat total pada horison iluviasi harus lebih banyak dibanding horison eluviasi di atasnya di dalam jarak kurang dari 30 cm (Soil Survey Staff, 2003). Dengan demikian, penentuan jumlah liat total yang harus dipenuhi sebagai horison argilik pada masing-masing pedon dapat ditentukan berdasarkan jumlah liat total pada horison A/Ap atau AB. Berdasarkan jarak kurang dari 30 cm dari horison eluviasi setiap pedon pewakil, maka horison Bt1 digunakan sebagai dasar pembandingan. Berdasarkan data tekstur tanah masing-masing pedon, maka diperoleh data kandungan liat total pada horison eluviasi yang berada di antara 15% - 40%, adalah pedon
AM1
dan
AM10. Untuk
kedua
pedon
ini
kandungan liat total sebagai
horison argilik harus minimal 1,2 kali kandungan liat total pada horison eluviasinya. Pedon yang memiliki kandungan liat di atas 40%, adalah pedon AM2, AM3, AM4, AM5, AM6, AM7, AM8, dan AM9. Pada masing-masing pedon tersebut, kandungan liat total sebagai horison argilik harus minimal 8% (absolut) lebih banyak, dari kandungan liat total pada horison eluviasinya. Data jumlah liat total pada Tabel 16 menunjukkan bahwa, kandungan liat total pada horison Bt seluruh pedon yang diteliti, melebihi batas minimal kandungan liat total sebagai horison argilik.
96
Tabel 16.
Jumlah Liat Total pada Horison Eluviasi dan Horison Iluviasi, Serta Jumlah Minimal Liat Total Sebagai Horison Argilik. Pedon
Liat Total (%) Hor. Eluviasi Hor.Iluviasi (A atau Ap) (Bt1)
Minimal Liat Total sebagai horison Argilik (%)
Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik)
29,7 45,8 40,8
42,7 54,0 52,0
35,6 53,8 48,8
Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik)
64,1 61,5 55,5
73,0 73,0 66,8
72,1 69,5 63,5
Bahan Volkanik-andesitik : AM7(perudik) AM8(perudik)
53,5 45,7
68,6 55,2
61,5 53,9
Bahan Volkanik-dasitik : AM9(ustik) AM10 (akuik)
55,9 20,2
72,4 33,8
63,9 24,2
Ketebalan Horison Iluviasi Data pada Tabel 17 terlihat bahwa, pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batuliat dengan regim kelembaban tanah akuik (AM1 dan AM3) menunjukkan kedalaman horizon iluviasi yang relatif sama, yakni pada kedalaman 10 cm dan 15 cm dari permukaan tanah. Dijumpai pula bahwa, batas bawah horison iluviasi terletak pada kedalaman lebih dari 100 cm, yakni 135 cm (AM1) dan 135 cm (AM3). Masih pada bahan induk yang sama, tetapi regim kelembaban tanah perudik, pedon AM2 memiliki letak horison iluviasi terletak lebih dalam yakni 37 cm, dari permukaan. Sedangkan batas bawahnya dijumpai pada kedalaman 130 cm atau sama dengan AM1 dan relatif lebih dangkal dibandingkan pedon AM3. Dengan demikian terlihat bahwa ketebalan horison iluviasi pada tanah berbahan induk batuliat berbeda. Pada pedon dengan regim kelembaban tanah akuik memiliki ketebalan sama, yaitu 10-130 cm = 120 cm dan 15-135 cm = 120 cm,
97
Tabel 17. Batas Atas dan Bawah, serta Ketebalan Horison Penimbunan Liat pada Masing - masing Pedon Pewakil. Pedon Pewakil
Batas atas dari permukaan tanah (cm)
Batas bawah dari permukaan tanah (cm)
Ketebalan horison penimbunan liat (cm)
Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik)
10 37 15
130 130 135
120 93 120
Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik)
31 16 18
130 122 136
99 106 118
Bahan Volkanik: AM7 (andesitik-perudik) AM8 (andesitik-perudi k) AM9 (dasitik-ustik) AM10 (dasitik-akuik)
19 20 22 26
105 145 140 143
86 125 118 114
sedangkan dengan pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik relatif lebih dangkal yaitu 37 - 130 cm = 93 cm. Pada tanah-tanah yang berkembang dari bahan induk batukapur, batas atas horison iluviasi ditemukan pada kedalaman lebih bervariasi. Pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik, batas atas horison iluviasi dijumpai pada kedalaman 31 cm (AM4) dan 16 cm (AM5) dengan batas bawah pada kedalaman 130 cm (AM4) dan 122 cm (AM5). Sedangkan pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik (AM6), batas atas horison iluviasi berada pada kedalaman 18 cm, dengan batas bawah pada kedalaman 136 cm dari permukaan tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa horison iluviasi pada ketiga pedon yang berkembang dari bahan induk batukapur ini memiliki ketebalan yang berbeda satu sama lain. Pedon AM4 (perudik) memiliki tebal 31 - 130 cm = 113 c m, pedon AM5 (perudik) adalah 16 - 122 cm = 106 cm, sedangkan pedon AM6 (akuik) 18 -126 cm = 118 cm.
98
Batas atas horison iluviasi pada pedon-pedon yang berbahan induk bahan volkanik dijumpai berbeda satu sama lain. Pada pedon AM7 dan AM8 yang bersifat andesitik dengan regim kelembaban tanah perudik, batas atas horison iluviasi terdapat pada kedalaman 19 cm (AM7) dan 20 cm (AM8) dari permukaan tanah. Sedangkan batas bawahnya masing-masing pada kedalaman 105 cm dan 145cm. Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik-dasitik, menunjukkan letak batas atas dan batas bawah horison iluviasi pada kedalaman 22 cm dan 140 cm untuk AM9. Ketebalan horison iluviasi pada pedon ini yakni relatif agak tipis, yakni 118 cm. Dibandingkan dengan pedon AM10 yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, batas atas horison iluviasinya dijumpai pada kedalaman 26 cm dari permukaan tanah, atau lebih dalam dari AM9. Sedangkan batas bawah horison iluviasinya terletak pada kedalaman 143 cm dari permukaan tanah, se hingga ketebalan horison iluviasi adalah 114 cm.
Selaput Liat (Clay Skin) Hasil analisis irisan tipis pada beberapa horison iluviasi yang teridentifikasi memiliki selaput liat (pedon AM8 dan AM10) disajikan pada Tabel 18. Menurut salah satu kriteria horison argilik (Soil Survey Staff, 2003), bahwa pada irisan tipis, memiliki bentukan liat terorientasi, yang secara mikromorfologi, berjumlah lebih dari 1%. Identifikasi irisan tipis pada penelitian ini dilakukan
pada pedon AM8
(bahan Volkanik–Andesitik), dan AM10 (bahan Volkanik-Dasitik). Karakterisasi horison iluviasi pada tanah berbahan induk batuan VolkanikAndesitik dengan regim kelembaban perudik (AM-8), menunjukkan adanya selaput liat dengan jumlah sedikit sampai sedang, orientasi tidak kontinyu (Gambar 22). Dalam Brewer (1974) dikatakan bahwa, orientasi selaput liat yang tidak kontinyu tersebut mengindikasikan perkembangan yang lemah. Selanjutnya dikatakan bahwa, liat iluviasi (argilan) yang orientasi nya tidak kontinu menunjukkan laminasi yang kurang jelas.
99
Tabel 18.
Tebal, Jumlah, dan Perkembangan Selaput Liat pada Horison Penimbunan Liat Masing- masing Pedon Pewakil AM8 dan AM10. Tebal selaput (mikron)
Jumlah selaput
Perkembangan (laminasi)
AM8 Bt2 Bt3 Bt4 Bt5
60-80 60 40-100 60
sedang -banyak sedikit banyak sedikit
Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas Tidak jelas
AM10 Bt2 Bt3 Bt4
80-200 80-200 80-200
sedikit-sedang sedang banyak
Ada/jelas Ada/sangat jelas Ada/sangat jelas
Pedon
Keterangan: Kt=kuning terang, Kp=kuning , Ca=Coklat keabu-abuan. Sedikit = <5%, sedang= 5-10%, banyak= >10%. PPL=Plane Polarized Light, XPL=Cross Polarized Light.
Sama halnya dengan pola perkembangan argilan yang diperoleh Cremeens dan Mokma (1986) yang menunjukkan adanya penurunan tingkat orientasi dari kuat pada tanah yang berdrainase baik (perudik), sampai lemah pada tanah yang berdrainase buruk (akuik). Hal demikian tidak tercermin pada pedon AM10, sehingga dapat disimpulkan bahwa regim kelembaban tanah yang ada sekarang tidak mempengaruhi perkembangan selaput liat pada tanah tersebut. Dengan kata lain, terbentuknya horison iluviasi liat pada pedon AM10 tidak terjadi pada lingkungan regim kelembaban tanah yang ada saat ini.
100
Gambar 20.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon A M3 Berbahan Induk Batuliat.
Gambar 21.
Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM5 Berbahan Induk Batukapur.
101
Gambar 22.
Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM8 Berbahan Induk Volkanik-Andesitik (PPL = atas, XPL = bawah).
102
Gambar 23.
Selaput Liat pada Irisan Tipis Horison Bt dari Pedon AM10 Berbahan Induk Volkanik-Dasitik (PPL = atas, XPL = bawah).
103
Pada Tabel 19 disajikan ringkasan hasil identifikasi horison argilik pada semua pedon pewakil. Berdasarkan hasil identifikasi horison argilik yang menggunakan kriteria jumlah kandungan liat total, ketebalan horison iluviasi, dan adanya selaput liat sebagai bukti iluviasi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, tidak semua horison iluviasi (Bt) pada pedon-pedon pewakil adalah horison argilik. Namun demikian kriteria adanya selaput liat yang dijumpai atau terlihat di lapang, tidak dapat dibuktikan secara mikromorfologi kecuali pedon AM8 dan A M10.
Tabel 19.
Hasil Identifikasi Horison Penimbunan Liat (Argilik) Berdasarkan Kriteria Jumlah Kandungan Liat Total, Ketebalan Horison Iluviasi, dan Selaput Liat pada Pedon Pewakil.
Bahan Induk/ Pedon Batuliat : AM1 AM2 AM3
Liat Total %
Tebal Horison (cm)
Selaput Liat
42,7 54,0 52,0
(35,6)* (53,8) (48,8)
120 93 120
-
Batukapur: AM4 AM5 AM6
73,0 73,0 66,8
(72,1) (69,5) (63,5)
99 106 118
-
Volkanik-Andesitik: AM7 AM8
68,6 55,2
(61,5) (53,9)
86 125
ada
118 114
ada
Volkanik-Dasitik: 72,4 (63,9) AM9 AM10 33,8 (24,2) * Angka dalam kurung adalah minimal argilik.
Hasil identifikasi horison Bt yang ada pada masing-masing pedon pewakil menunjukkan bahwa hanya pedon AM8 (Volkanik-Andesitik) dan AM10 (Volkanik– Dasitik) yang memenuhi seluruh kriteria sebagai horison argilik. Dengan demikian maka, pedon pewakil lainnya hanya memenuhi syarat kenaikan liat dan ketebalan horison saja, sehingga horison penimbunan liat tersebut tanpa adanya argilik atau
104
yang disimbolkan dengan Bt cenderung merupakan horison kambik. Menurut Soil Survey Staff (1999 dan 2003), horison kambik merupakan hasil proses perubahan (alterasi) secara fisika, proses transformasi kimia, perpindahan, ataupun kombinasi dari proses-proses tersebut. Dapat disimpulkan bahwa horison kambik yang ada pada pedon pewakil dalam penelitian ini cenderung terbentuk dari akumulasi liat.
Klasifikasi Tanah Pedon-Pedon Pewakil Berdasarkan hasil pengamatan sifat-sifat tanah yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing pedon pewakil memiliki horison diagnostik berupa epipedon okrik, horison bawah kambik (AM1, AM2, AM3, AM4, AM5, AM6, AM7) dan horison argilik (AM8 dan AM10). Menurut klasifikasi tanah USDA Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003) semua pedon termasuk dalam beberapa famili tanah ordo Inceptisol, Ultisol, dan Alfisol, dengan regim kelembaban tanah akuik, perudik, dan ustik, seperti disajikan pada Tabel 20. Hasil identifikasi horison Bt (dibahas sebelumnya) menunjukkan bahwa pedon pewakil yang memiliki horison kambik dapat diklasifikasikan sebagai Inceptisol. Sedangkan Ultisol atau Alfisol bagi pedon yang memiliki horison argilik. Pedon AM1, AM2, AM3, AM4, AM5, AM6, dan AM7 termasuk dalam ordo Inceptisol, sedangkan AM8 sebagai ordo Ultisol, dan AM10 sebagai ordo Alfisol. Sub-ordo tanah Inceptisol digolongkan berdasarkan regim kelembaban tanah (Aquept, Udept, dan Ustept). Pedon AM8 digolongkan sebagai ordo Ultisol karena, memiliki KB-jumlah kation pada kedalaman 125 cm dari batas atas argilik, atau pada kedalaman 145 cm dari permukaan tanah adalah 32% atau kurang dari 35%. Sedangkan pedon AM10 termasuk Alfisol, karena KB-jumlah kation pada kedalaman 125 cm dari permukaan argilik atau 151 cm dari permukaan tanah adalah 60% atau lebih dari 35%.
105
Tabel 20. Pedon
Pedon Pewakil dan Klasifikasi Tanahnya. Bahan induk tanah
Klasifikasi tanah / Famili tanah
Regim kelembaban tanah Akuik
AM1
Batuliat
Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran, aktif, isohipertermik.
AM2
Batuliat
Fluventic Dystrudept, halus, campuran, semi-aktif, isohipertermik.
AM3
Batuliat
Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran aktif, isohipertermik.
AM4
Batukapur
Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik
Perudik
AM5
Batukapur
Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik
Perudik
AM6
Batukapur
Fluvaquentic Epiaquept, sangat halus, smektitik, isohipertermik
AM7
Volkanik-Andesitik
Andic Dystrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik
Perudik
AM8
Volkanik-Andesitik
Typic Haplohumult, sangat halus, haloisitik, isohipertermik
Perudik
AM9
Volkanik-Dasitik
Fluventic Dystrudept, sangat halus, haloisitik, isohipertermik
Ustik
AM10
Volkanik-Dasitik
Aeric Epiaqualf, berlempung halus, campuran, semi-aktif, isohipertermik
Akuik
Perudik Akuik
Akuik
Penentuan sub-ordo berdasarkan pada regim kelembaban tanah mendapatkan bahwa pedon AM1, AM3, AM6, dan AM10 tergolong memiliki regim kelembaban akuik; pedon AM2, AM4, AM5, dan AM8 termasuk dalam regim kelembaban perudik; sedangkan pedon AM9 termasuk regim kelembaban ustik. Selanjutnya penentuan tingkat great group pada tanah yang tergolong pada aquept adalah berdasarkan jenis saturasi (episaturasi). Sedangkan pada udept dan Ustept didasarkan pada kejenuhan basa (NH4OAc) yang kurang dari 60% (Dystric) dan yang sama atau lebih dari 60% (Eutro). Tanah yang memilik argilik didasarkan pada ada tidaknya penurunan jumlah liat sebesar 20% dari kandungan maksimum horison argilik pada kedalaman 150 cm. Bila tidak terjadi penurunan lebih dari 20%,
106
maka termasuk pada great group ”Pale”, dan bila terjadi penurunan termasuk great group ”Haplo”. Pengklasifikasian selanjutnya pada tingkat sub group, didasarkan sifat penciri lain yang memenuhi syarat. Antara lain, sub group Aeric, bila warna kroma adalah 3 atau lebih pada satu horison di antara A/Ap atau kedalaman 25 cm, mana saja yang lebih dalam, dan kedalaman 75 cm. Dikelompokkan pada Humic , bila warna value 3 atau kurang (lembab) dan 5 atau kurang (kering) pada horison Ap setebal 18 cm atau lebih, atau bagian atas lapisan permukaan setebal 18 cm setelah dicampur. Termasuk sub group Typic, bila tidak ada penciri lain yang menonjol. Klasifikasi sampai tingkat famili tanah dilakukan berdasarkan pembeda famili yaitu kelas ukuran butir, kelas mineralogi, kelas regim suhu tanah, dan kelas reaksi tanah pada penampang kontrol dari masing-masing pedon.
Karakteristik Horison Argilik dan Kambik
Tebal Horison Berdasarkan data batas dan ketebalan horison argilik pada Tabel 17 (halaman 94), disimpulkan bahwa perbedaan jenis bahan induk memberikan pengaruh yang berbeda pada letak atau posisi horison argilik dari permukaan tanah. Letak horison kambik dari permukaan tanah cenderung lebih seragam, yakni pada kedalaman 19–29 cm, dibanding dengan tanah yang berkembang dari batukapur 20–37 cm, maupun batuliat 13–48 cm. Pada tanah-tanah yang berasal dari batuliat, batas bawah horison kambik rata -rata terletak lebih dalam, 146–162 cm, dibanding dengan tanah-tanah berkembang dari batukapur yakni 49–150 cm, dan tanah-tanah berbahan induk volkanik 105–179 cm. Tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkanik cenderung memiliki ketebalan horison bawah permukaan (kambik atau argilik) yang bervariasi, dari agak tipis sampai tebal, yakni dari 86 cm sampai 125 cm. Ketebalan horison argilik yang
107
agak tebal dijumpai pada pedon yang berbahan induk bahan volkanik-dasitik (AM10), yakni mencapai 114 cm, sedangkan lebih tebal ditemukan pada pedon yang berbahan induk bahan Volkanik-Andesitik (AM8) yakni 125 cm. Hal tersebut diduga disebabkan karena bahan volkanik didominasi oleh gelas volkan yang cenderung lebih mudah melapuk serta menghasilkan solum yang relatif tebal dan homogen. Laju pelapukan yang tinggi mempengaruhi ketebalan tanah sehingga cenderung memiliki profil yang dalam. Keadaan tersebut menyebabkan iluviasi liat dapat terjadi dan terakumulasi sampai ke bagian pedon yang lebih dalam. Pengaruh regim kelembaban tanah terlihat berbeda pada masing-masing jenis bahan induk tanah. Perbedaan antara regim kelembaban perudik dan akuik pada pedon yang berasal dari batuliat berpengaruh pada ketebalan horison kambik yang relatif lebih tebal pada regim kelembaban tanah akuik daripada perudik. Sebaliknya pada pedon yang berasal dari batukapur, regim kelembaban tanah perudik menghasilkan horison bawah relatif lebih tebal. Sedangkan pada pedon dari bahan volkanik, horison argilik dijumpai lebih tebal, pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, dibanding ustik, dan perudik.
Kandungan Liat Pada Gambar 24 disajikan distribusi liat total dalam tanah-tanah yang termasuk Inceptisol dan batas argiliknya (argillic line) pada pedon berargilik (AM8 dan AM10). Dengan jelas terlihat bahwa penurunan kandungan liat di dalam tanah terjadi pada kedalaman yang berbeda-beda. Pada pedon AM1 dan AM3 yang yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, menunjukkan tidak terjadi penurunan penimbunan liat yang melebihi 20% (dari nilai kandungan liat maksimum), pada kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Berbeda
108
Gambar 24. Distribusi Liat Halus dan Liat Total dalam Tanah Inceptisol dan Batas Argilik (argillic line) pada Pedon AM8 dan AM10.
109
dengan pedon AM2, penurunan kandungan liat terjadi pada kedalaman 146 cm dari permukaan tanah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada pedon yang berkembang dari bahan induk batuliat, memiliki letak penurunan jumlah liat berbeda-beda, yang disebabkan oleh regim kelembaban tanah yang berbeda. Letak penurunan kandungan liat tersebut terlihat lebih dalam pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik
dibanding
perudik.
Letak
kedalaman
dimana
liat
dapat
dipindahkan
dimungkinkan oleh adanya air yang dapat meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah. Pada tanah yang memiliki regim kelembaban perudik, letaknya relatif dangkal tergantung sampai sejauh mana ketersediaan air yang masih memungkinkan. Pada tanah yang memiliki regim kelembaban tanah akuik, kemungkinan keberadaan air dalam tanah selalu tersedia dan dalam jangka waktu yang lebih lama, baik saat periode kering maupun basah. Data pada Tabel 21 menunjukkan bahwa, letak kedalaman penimbunan liat halus dan liat total maksimum berbeda-beda pada setiap pedon. Pada pedon AM1 dan AM3 yang berbahan induk batuliat dan memiliki regim kelembaban tanah akuik, penimbunan maksimum terjadi pada kedalaman yang relatif dangkal dibandingkan dengan pedon AM2 yang memiliki regim perudik. Sebaliknya, pada pedon yang berbahan induk batukapur terlihat bahwa penimbunan maksimum terjadi relatif lebih dangkal pada pedon AM4 (perudik) dan AM6 (akuik) daripada AM5 (perudik). Pada pedon yang berkembang dari bahan induk Volkanik-Andesitik, penimbunan liat maksimum terjadi lebih dangkal pada AM8 dibanding AM7. Pada pedon berbahan volkanik-dasitik penimbunan maksimum terdapat pada pedon AM10 (akuik) pada posisi lebih dalam dibanding dengan pedon AM9 yang memiliki regim ustik. Hal tersebut diduga berkaitan dengan tekstur horison argilik pada AM10 lebih kasar daripada pedon AM9 sehingga proses translokasi liat berlangsung lebih dalam.
110
Tabel 21. Kandungan Liat Halus dan Liat Total Maksimum (%) pada Masing-masing Kedalaman Pedon Pewakil. Pedon Pewakil
Kedalaman (cm)
Kandungan lia t maks.(%) Rasio Liat halus /total Liat halus Liat total H.argilik H.eluviasi
Batuliat : AM1 (akuik) AM2 (perudik) AM3 (akuik)
55 - 95 65 - 103 50 – 85
46,9 45,6 39,4
51,0 58,8 55,5
0,92 0,77 0,71
0,89 0,68 0,50
Batukapur: AM4 (perudik) AM5 (perudik) AM6 (akuik)
45 – 66 86 – 122 50 – 77
70,0 73,6 61,0
79,3 77,8 69,9
0,88 0,95 0,87
0,81 0,93 0,85
Bahan Volkanik: AM7 (perudik) AM8 (perudik) AM9 (ustik) AM10 (akuik)
80 – 105 65 – 90 80 - 110 120 - 143
71,4 70, 8 80,6 37, 5
83,3 76,8 89,0 41,3
0,86 0,92 0,91 0,91
0,26 0,65 0,77 0,93
Mikromorfologi Horison Argilik dan Kambik Hasil deskripsi terhadap contoh irisan tipis tanah pada beberapa pedon pewakil berdasarkan metoda analisis Brewer (1976) dan Bullock et al. (1985), disajikan pada Tabel 22. Contoh irisan tipis yang diteliti diwakili oleh pedon AM2 dan AM3 (batuliat), AM5 (batukapur), AM8 (bahan Volkanik-Andesitik), serta AM9 dan AM10 (bahan Volkanik-Dasitik) .
Pedon Berbahan Induk Batuliat Hasil pengamatan terhadap contoh irisan tipis tanah pada horison kambik pedon AM2 yang berbahan induk batuliat menunjukkan bahan kasar didominasi oleh mineral opak, plagioklas, kuarsa dan fragmen lapukan batuan sebagai bahan kasarnya. Bahan halus tersusun oleh liat dengan warna coklat kekuningan, dan bfabrik yang tidak memiliki warna interferensi (undifferentiated b-fabric). Adapun mikrostruktur dari horison ini adalah gumpal membulat dengan jenis pori-pori berbentuk
planar, chamber dan
vughy .
Ciri-ciri
khusus
(pedofeatures )
yang
111
teridentifikasi adalah adanya selaput liat yang berwarna cerah (limpid clay coating) pada dinding pori, serta adanya liat sebagai pengisi pori-pori (clay infilling of voids ).
Tabel 22. Mikromorfologi Horison Penimbunan Liat Beberapa Pedon Pewakil. Pedon pewakil Batu liat: AM2 (perudik) Horison Bt2
Mikrostruktur
Jenis pori
Gumpal membulat; - channel Remah - plannar - chamber - vughy
AM3 (akuik) Gumpal membulat - channel Horison Bt1, Bt2, - plannar - chamber dan Btg - vughy Batukapur: AM5 (perudik)
Volkanik - Andesitik AM8 (perudik) Volk.- Dasitik AM10 (akuik)
b-fabrik
Ciri khusus
- tdk berbintik
- Selaput liat - Liat pengisi pori
- berbintik kasar
- selaput liat - selaput besi
Gumpal membulat; - plannar Vesicular - channel - vughy - chamber
- berbintik halus kasar
- selaput liat - selaput besi - nodul
Gumpal membulat - channel - chamber
kasar
- selaput liat
Butiran
- single void - vesicular - vughy
- selaput besi - selaput liat - nodul
Pengamatan pada pedon AM3 yang memiliki regim kelembaban akuik menunjukkan bahwa, penyusun bahan kasar adalah mineral opak yang berukuran halus, plagioklas, piroksin, kuarsa, dan fragmen lapukan batuan. Sebagai penyusun bahan halus adalah liat berwarna coklat kekuningan (speckled) dan adanya orientasi liat pada b-fabrik (stipple-speckled b-fabric). Dijumpai banyak agregat-berupa nodul yang terimpregnasi berwarna coklat gelap dan semakin banyak dengan kedalaman tanah. Dijumpai adanya selaput besi yang sudah memasuki struktur tanah (ferruginous hypo dan quasi-coating) dan pada dinding pori channels. Kenampakan ini sangat dipengaruhi oleh adanya air tanah yang dangkal.
112
Pedon Berbahan Induk Batukapur Penyusun bahan kasar pada pedon AM5 adalah opak, fragmen lapukan batuan, plagioklas dan piroksen. Dijumpai adanya residu organik dijumpai pada horison kambik. Sedangkan massa halus tersusun oleh liat coklat kekuningan, dan bfabrik yang berbintik-bintik sama dari bagian atas kambik ke bagian bawah. Mikrostruktur yang dominan adalah gumpal membulat dengan perkembangan sedang (moderate). Sedang kan pori yang dominan adalah planar (accommodated), chamber, vughy dan channel. Sifat mikromorfologi lainnya adalah adanya ferran atau selaput besi dan liat yang saling menumpuk (superimposed) pada dinding pori, nodul, dan selaput besi yang sudah memasuki bidang struktur (hypocoating).
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Andesitik Penyusun bahan kasar pedon AM8 adalah opak berukuran halus, fragmen batuan volkanik (halus sampai sedang), fragmen lapukan batuan, plagioklas, piroksen, dan kuarsa. Bahan organik pada horison argilik berupa residu jaringan organik. Adapun massa halus tersusun oleh liat dengan warna antara coklat kekuningan di bagian atas argilik sampai coklat gelap pada bagian bawahnya. Pada pedon ini dijumpai b-fabrik yang berbintik lemah. Adapun mikrostrukturnya adalah remah dan gumpal membulat, dengan perkembangan yang lemah pada bagian atas horison argilik dan struktur remah serta vughy dijumpai pada bagian tengah sampai ke bawah. Pori yang dominan pada horison argilik bagian atas adalah planar, chamber, dan vughy di atas, serta pori channel di bagian bawah daripada argilik. Ciri khusus pedogenesis berupa selaput yang berwarna gelap (yang diduga bahan organik) dan selaput liat yang saling menumpuk (superimposed) pada dinding pori, juga terlihat adanya penyelaputan besi (ferran), dan juga terdapat nodul-nodul terimpregnasi. Semakin ke bawah keberadaan selaput liat semakin berkurang.
113
Pedon Berbahan Induk Volkanik-Dasitik Pengamatan irisan tipis pada pedon AM10, menunjukkan bahwa bahan kasar pada horison argilik tanah ini tersusun oleh mineral opak yang cenderung berukuran kasar, kuarsa, plagioklas, piroksen, dan dijumpai batu apung (pumice). Sedangkan penyusun bahan halus adalah massa halus berwarna kelabu terang pada b-fabrik yang berbintik lemah. Adapun mikrostrukturnya berupa butiran yang kompak, vughy dan vesicular. Kenampakan
pedofeatures
yang ditemukan adalah selaput besi yang
memasuki bidang struktur , dan adanya selaput liat berwarna cerah yang sangat kontras. Terdapat juga nodul yang terimpregnasi terutama di bagian bawah argilik.
Proses Genesis Horison Penimbunan Liat Genesis Pedon berbahan induk batuliat Hasil analisis terhadap sifat-sifat kimia horison kambik pada pedon yang tergolong pada tanah Inceptisol yang berkembang dari batuliat antara lain, adalah nilai pH tanah yang sangat masam sampai masam (pH 4,2-4,8), yang menunjukkan bahwa pedon-pedon tersebut telah mengalami pencucian basa -basa yang sangat intensif. Pencucian intensif terhadap basa -basa sebagai pengikat partikel tanah tentu akan mempermudah terjadinya pergerakan (translokasi) liat. Buol et al. (1980) menyatakan bahwa
pencucian
yang
ekstensif
terhadap
basa-basa,
merupakan
prasyarat
pembentukan tanah Ultisol. Namun demikian kriteria adanya selaput liat pada hampir seluruh pedon pewakil dalam penelitian ini tidak terpenuhi. Pembentukan tanah pada pedon-pedon yang berkembang dari batuliat ini tidak menunjukkan adanya horison pencucian (E) yang jelas, terlihat horison kambik berada langsung di bawah horison Ap, kecuali pada pedon AM2 berada setelah horison peralihan BA. Berdasarkan beberapa pengamatan terhadap pedon yang mewakili bahan induk batuliat diuraikan genesis horison kambik sebagai berikut:
114
Pada pedon AM1 dan AM3 (Fluvaquentic Epiaquept), pembentukan horison kambik pada kedua pedon yang memiliki regim kelembaban tanah akuik ini, dipengaruhi oleh kondisi drainase yang terhambat. Tidak dijumpainya selaput liat walaupun terdapat bukti terjadinya iluviasi liat dari horison pencucian di atasnya. Proses genesis terlihat dengan adanya ciri khusus (pedofeature) berupa selaput besi (ferran) pada pori-pori yang jumlahnya meningkat semakin banyak ke lapisan bawah. Hasil identifikasi mineral liat yang mendominasi pedon AM1 adalah campuran mineral smektit (2:1) dan kaolinit (1:1), sementara pada pedon AM3 adalah kaolinit. Menurut Borchardt (1989), bahwa smektit menjadi tidak stabil apabila terjadi pencucian yang intensif. Dikatakan pula bahwa, kondisi drainase yang lebih baik dapat menyebabkan pembentukan mineral liat kaolinit. Dengan kata lain drainase buruk memungkinkan dijumpainya smektit dalam tanah. Hal tersebut mencerminkan bahwa pedon AM3 lebih intensif terlapuk dibanding pedon AM1. Pada pedon terakhir ini terdapat lingkungan drainase yang memungkinkan untuk dijumpai mineral smektit, walaupun berada dalam kondisi yang relatif masam. Analisis mikromorfologi tidak dilakukan pada semua pedon yang berkembang dari batuliat, namun dari data distribusi liat total horison permukaan dan horison Bt cukup mencerminkan terjadinya iluviasi liat. Pedon
AM2
(Fluventic
Dystrudept)
berbeda
dengan
kedua
pedon
sebelumnya. Pembentukan horison kambik pada pedon yang memiliki regim kelembaban tanah perudik ini, dipengaruhi oleh kondisi drainase yang relatif baik. Ditemukan adanya kesamaan jenis mineral kaolinit pada horison Bt dengan mineral liat dari horison Ap di atasnya, sehingga disimpulkan bahwa liat yang diduga sebagai sumber pembentukan horison ini berasal dari hasil iluviasi liat dari horison permukaan Ap. Pengaruh adanya horison penimbunan liat terhadap sifat kimia dari horisonhorison yang diidentifikasi tidak begitu jelas perbedaannya. Seperti antara lain,
115
kemasaman tanah, Kejenuhan Basa, dan KTK-tanah yang tidak jauh berbeda antara horison pencucian dan iluviasi (Tabel 9). Sehingga dapat dikatakan bahwa sifat-sifat kimia masing-masing pedon, yang diamati, cenderung merupakan pengaruh dari bahan induk. Hal ini jelas pada kandungan C-organik serta penurunan yang tidak teratur sampai ke bagian bawah pedon.
Genesis Pedon Berbahan Induk Batukapur Pembentukan horison kambik pada tanah berbahan induk batukapur (AM4, AM5, dan AM6), tidak terlepas dari adanya pencucian karbonat yang cukup intensif, agar plasma menjadi lebih mudah bergerak bersama air perkolasi. Buol et al. (1980) menyatakan bahwa pencucian karbonat menjadikan tanah lebih masam. Data kemasaman tanah ketiga pedon tersebut menunjukkan pH yang cenderung agak masam (pH 5,0 – 6,5), walaupun bahan induk relatif alkalis. Dengan demikian diduga bahwa telah terjadi pencucian karbonat, yang memung kinkan terjadinya proses pergerakan liat ke horison Bt. Tidak dijumpai horison eluviasi (E) yang jelas. Letak horison kambik langsung berada di bawah horison A atau Ap. Kecuali pada pedon AM4, horison kambik terletak di bawah horison peralihan AB. Pembentukan horison kambik pada pedon AM4 dan pedon AM5 yang diklasifikasikan sebagai Dystric Fluventic Eutrudept, terjadi pada lingkungan yang relatif alkalis, dan drainase tanah agak terhambat (AM5), serta drainase tanah baik (AM4). Fluvaquentic Epiaquept (pedon AM6) memiliki regim kelembaban tanah akuik, dimana horison kambiknya terbentuk pada lingkungan dengan drainase tanah yang buruk. Mineral liat yang dominan adalah smektit (2:1), mencerminkan bahwa pengaruh bahan induk batukapur sangat menonjol pada genesi s horison argilik ketiga pedon tersebut. Ciri khusus mikromorfologi adalah adanya selaput besi (feran) menumpuk (superimposed) di dinding pori, sehingga membuat lapisan yang kokoh (Gambar 7) yang menyelaputi pori. Kenampakan tersebut mencerminkan adanya pr oses akumulasi
116
besi pada pori-pori tanah. Mekanismenya dapat merupakan hasil iluviasi dari horison di atasnya, dapat juga berupa hasil lapukan in situ yang kemudian teroksidasi. Adanya oksida besi yang menyelaputi dinding pori memungkinkan pori tersebut tahan terhadap rombakan . Khusus pada pedon AM5, dijumpai adanya rekahan-rekahan yang nyata di permukaan tanah, sampai pada kedalaman 86 cm, yang belum memenuhi persyaratan sifat vertic karena tidak didukung oleh adanya struktur baji (Soil Survey Staff, 2003). Rekahan
tersebut
terbentuk
oleh
adanya
kandungan
mineral
liat
2:1
yang
mendominasi fraksi liat. Pada tanah yang berkembang dari bahan volkanik, seperti pada AM7, walaupun terdapat kandungan liat 2:1 yang tinggi, rekahan-rekahan ini tidak muncul. Hal ini diduga karena dominasi kation yang bervalensi tinggi, seperti Al dan Fe yang tinggi pada pedon ini. Dikatakan bahwa Al dan Fe mensubstitusi kation Ca, Mg, dan Na dalam kompleks pertukaran, sehingga secara drastis menurunkan batas plastisitas tanah dan dapat
mempengaruhi
sifat
kembang-kerut
tanah
(Karathanasis dan Hajek, 1985). Sifat-sifat kimia tanah pada pedon -pedon yang berkembang dari batukapur terlihat jelas sangat dipengaruhi oleh bahan induknya. Contoh yang nyata adalah kandungan basa -basa tinggi teru tama kalsium dan magnesium dapat tukar. Demikian pula kadar natrium yang relatif lebih tinggi dibanding dengan pedon-pedon lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa, pembentukan horison kambik pada pedon-pedon ini dipengaruhi oleh lingkungan pembentukan yang relatif agak masam (pH 5,0-6,5). Sehingga diduga pula bahwa dispersi liat dapat
terjadi dalam lingkungan alkalis
tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Buol et al. (1973) bahwa, translokasi liat dapat terjadi, baik pada kondisi masam maupun alkalis. Dikatakan pula bahwa, peranan garam (Na) sangat penting dalam proses dispersi dan mobilisasi liat. Namun kondisi ideal yang memungkinkan terhadap pembentukan horison argilik pada
117
pedon-pedon yang berkembang dari batukapur ini tidak diiringi oleh adanya selaput liat.
Genesis Pedon Berbahan Induk Bahan Volkanik-Andesitik Pedon AM7 (Andic Dystrudept), tidak adanya selaput liat merupakan bukti bahwa horison bawah permukaan adalah kambik. Pembentukan horison kambik dipengaruhi oleh keadaan drainase baik dan lingkungan yang masam. Perbedaan dominasi mineral liat terlihat bahwa pedon AM7 mengandung mineral smektit. Kemungkinan proses pelapukan dan pencucian telah terjadi secara intensif pada pedon ini, seperti ditunjukkan oleh data tekstur dengan kandungan liat halus dan liat total yang relatif tinggi. Dengan demikian, proses pencucian dan penimbunan liat sangat dominan pada pembentukan horison kambik. Kandungan Fe yang sangat tinggi seperti terlihat dari hasil analisis terhadap besi bebas yang relatif tinggi mempengaruhi warna tanah yang kemerahan pada pedon ini. Proses desilikasi ini disertai dengan pembentukan konkresi yang juga dijumpai di lokasi pengambilan pedon pewakil ini. Buol et al. (1961) menyatakan bahwa akumulasi besi (feritisasi) terjadi, karena besi bersifat tidak mobil, kemudian teroksidasi menjadi ferrioksida. Siifat andik dijumpai pada pedon ini terlihat dari kerapatan lindak di bawah satu pada hampir semua horison. Hal ini sangat memungkinkan karena pedon ini terbentuk dari bahan induk volkan (Andesitik). Pedon AM8 (Typic Haplohumult), proses pembentukan horison argilik pada pedon ini, sangat dipengaruhi oleh kondisi drainase yang agak baik (peralihan akuik dan perudik), dengan bahan induk yang bersifat intermedier (andesitik). Hasil analisis mineral fraksi pasir menunjukkan bahwa komposisi bahan dasar secara keseluruhan pedon ini berkembang dari bahan volkanik andesitik dan mineral liat dominan adalah haloisit. Bahan induk ini cenderung mudah melapuk dibandingkan dengan bahan induk volkanik dasitik, dengan demikian menghasilkan profil tanah yang dalam. Selaput liat,
118
atau liat pengisi pori di horison argilik mencerminkan pembentukan horison akibat adanya translokasi dan akumulasi liat. Hasil analisis mikromorfologi menunjukkan selaput liat yang dijumpai relatif banyak, tetapi belum mengalami perkembangan yang berarti (tidak ada laminasi). Namun demikian dengan diidentifikasinya selaput liat pada horison Bt, menunjukkan bahwa, horison argilik telah terbentuk pada pedon ini.
Genesis Pedon Berbahan Induk Bahan Volkanik-Dasitik Lingkungan pembentukan horison argilik pada tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik-dasitik ini terlihat berbeda satu sama lain. Letak horison argilik langsung terdapat di bawah horison permukaan (A) pada AM9, dan pada AM10 horison argilik terletak di bawah Ap. Pedon AM9 (Fluventic Dystrustept), secara topografi terletak di bagian atas lereng, atau di atas lokasi pedon AM10. Dengan melihat jumlah liat halus dan total yang sangat tinggi proses penimbuna n liat terjadi secara intensif pada pedon ini. Bahan induk tufa Banten merupakan bahan utama pembentuk tanah ini. Jumlah liat dan rasio liat halus terhadap liat total yang tinggi membuktikan bahwa telah terjadi proses iluviasi dan eluviasi. Proses akumula si liat adalah faktor yang mempengaruhi pembentukan horison kambik. Pembentukan tersebut
terjadi
pada lingkungan masam serta pencucian yang intensif. Sehingga dapat dikatakan bahwa, proses dispersi liat memungkinkan menjadi tahap awal dalam pembentukan horison bawah permukaan pedon ini. Pedon AM10 (Aeric Epiaqualf), proses pembentukan horison argilik pada pedon yang bersifat akuik dan berasal dari bahan induk tufa masam ini, dipengaruhi oleh kondisi drainase buruk. Hasil pengamatan mikromorfolgi menunjukkan bahwa hasil proses pelapukan, berupa liat halus bersama besi, terjadi terutama di daerah pori dan sebagian terangkut oleh air ke bagian lebih bawah horison. Hal tersebut didukung oleh meningkatnya kandungan liat di bagian bawah horison Bt.
119
Dijumpainya selaput
liat
yang
terbentuk
baik
dan
sempurna
dengan
perkembangan laminasi yang nyata, menunjukkan bahwa pembentukan horison argilik telah terjadi di bawah kondisi topografi yang stabil (datar). Pada pedon ini terlihat adanya proses gleisasi, yang terjadi karena posisi pedon dalam topografi yang datar, sehingga menyebabkan muka air tanah yang dangkal. Hasil identifikasi mineral fraksi pasir (Tabel 13) menunjukkan bahwa pada horison Bt mengandung kuarsa yang relatif sangat tinggi dibanding dengan pedonpedon lainnya. Adanya kondisi drainase yang buruk diduga menyebabkan proses pelapukan relatif lambat. Tingginya kandungan kuarsa diduga berasal dari silikasi bahan induk, melalui aliran di bawah permukaan secara lateral (perched water table) yang berasal dari lereng yang berada di atasnya. Sedangkan tingginya basa-basa di bagian bawah pedon AM10, diduga berasal dari bahan induk dan retensi basa -basa pada bidang pertukaran, yang meningkatkan nilai kejenuhan basa dan nilai pH. Menurut Moniz et al. (1982), kondisi kelembaban tanah akuik berperan dalam pembentukan horison argilik, dimana akibat proses resilikasi, tanah tersebut secara mineralogi menjadi agak terhambat tingkat pelapukannya (dibanding tanah Oksisol). Pada kondisi ini, pembentukan horison argilik bukan dipengaruhi oleh komposisi mineraloginya, tetapi lebih karena adanya suplai air yang banyak, sehingga dalam keadaan jenuh proses resilikasi terjadi secara dominan, yang akhirnya mempengaruhi sifat horison argilik, seperti adanya lapisan yang padat (ke rapatan lindak lebih tinggi dari horison argilik pada pedon lainnya), dengan struktur gumpal. Mineral yang dominan adalah kaolinit. Pengaruh adanya horison argilik terhadap sifat-sifat kimia pada pedon ini, seperti pada pedon lainnya tidak begitu jelas. Terutama sifat-sifat kimia dari horison argilik dibanding horison di atasnya tidak begitu berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat-sifat tanah, terutama sifat kimia lebih diakibatkan oleh sifat bahan induk masing-masing pedon yang diamati.
120
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, masing-masing pedon pewakil memiliki perbedaan dalam sifat-sifat horison penimbunan liatnya (argilik dan kambik) yang terutama tercermin pada, (1) tebal dan letak horison di dalam profil, (2) jumlah penimbunan liat, dan (3) ada tidaknya selaput liat. Perbedaan tersebut tidak lepas akibat pengaruh dari bahan induk yang berbeda-beda serta faktor lain (iklim dan topografi). Dalam penelitian ini terlihat bahwa, proses pembentukan horison penimbunan liat pada semua pedon yang diamati dapat dikatakan melalui proses yang relatif sama. Yang berbeda adalah faktor-faktor pembentukan lainnya, terutama bahan induk, iklim (kelembaban tanah), dan topografi.
Implikasi Adanya Horison Penimbunan Liat Erosi dan Longsor Erosi dan longsor adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Perbedaan yang menonjol antara erosi dan longsor adalah volume bahan yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan (Anonim, 2006). Faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi dan longsor dikelompokkan ke dalam dua faktor utama, yaitu faktor alam dan manusia. Faktor alam di antaranya adalah curah hujan, sifat tanah, bahan induk, elevasi, dan lereng. Faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan longsor. Salah satu bukti adanya pengaruh horison penimbunan liat ini terhadap kepekaan tanah terhadap erosi seperti yang sudah diteliti oleh Dariah (2004), yang meny atakan bahwa horison Bt ini merupakan salah satu faktor penentu kepekaan tanah pada erosi, karena berpengaruh pada proses peresapan air ke dalam tanah.
121
Pencegahan yang dapat mengurangi resiko yang berkaitan denga n erosi dan longsor dengan adanya horison penimbunan liat, antara lain dengan memperbaiki kawasan tanah yang memiliki horison penimbunan liat. Perbaikan dapat melalui usaha pengokohan permukaan lapisan permukaan di atas batas atas horison tersebut melalui tindakan konservasi tanah yang tepat. Sehingga dapat mengurangi aliran permukaan maupun aliran bawah permukaan, melalui sistem tata air yang baik. Tindakan pencegahan lainya adalah, perlunya pendataan penyebaran tanahtanah yang memiliki horison ini. Langkah tersebut merupakan awal dari perencanaan penggunaan lahan pada kawasan yang berisiko. Dengan demikian penataan ruang untuk
pembangunan
lebih
diarahkan
pada
kawasan
yang
memiliki
resiko
ketidakstabilan longsor rendah atau sangat rendah.
Banjir dan Kekeringan Banjir dan kekeringan sangat berkaitan dengan karakteristik iklim dan tanah. Iklim melalui curah hujan, temperatur, kecepatan angin dan lain -lain, yang memiliki fungsi yang terkait dengan ketersediaan dan kehilangan air di dalam tanah dan juga dari tanaman. Tanah berfungsi sebagai media penyimpan dan penyalur bagi kebutuhan tanaman. Adanya horison penimbunan liat dapat menyebabkan masalah yang serius bagi pertumbuhan akar tanaman. Hal ini terjadi apabila terdapat penimbunan liat yang menimbulkan perubahan tekstur sangat nyata (abrupt textural change ). Perubahan tersebut dapat menghasilkan aliran air secara lateral (perched water table) di atas horison argilik. Smith (1986) mengatakan bahwa, dampak tersebut dapat dijumpai pada tanah-tanah Alfisol baik yang memiliki regim kelembaban tanah udik (Udalf) maupun akuik (Aqualf). Dampak yang lebih serius dapat terjadi adalah terjadinya banjir akibat terjebaknya air di permukaan tanah terutama pada pedon yang terletak pada topografi
122
datar. Infiltrasi sangat kecil, karena lapisan yang relatif padat oleh pengaruh penimbunan liat yang menyebabkan perbedaan tekstur yang nyata dan akibat berkurangnya volume pori tanah oleh adanya selaput liat. Sebaliknya pada pedonpedon yang terletak pada topografi berlereng akan menimbulkan cepat hilangnya air dari lapisan permukaan. Kekeringan pada zona dimana air tidak bisa ditahan lebih lama. Kebanyakan zona tersebut adalah merupakan zona perakaran tanaman atau pada horison permukaan tanah. Adapun usaha pencegahan kekeringan yang perlu dilakukan khusus pada tanah-tanah yang memiliki horison penimbunan liat adalah mengetahui jarak atau ketebalan lapisan permukaan di atas horison iluviasi. Karena lapisan tersebut berkaitan dengan potensi tanah menyimpan air dan melepaskan untuk tanaman. Terutama pada kedalaman akar efektif yang berkisar antara 0-30 cm dan 30-60 cm. Penelitian ini tidak bertujuan untuk mengetahui secara langsung dampak adanya horison penimbunan liat (baik sebagai argilik ataupun bukan argilik) bagi pengelolaan tanah di daerah tr opika basah, terutama di Indonesia. Namun dengan diketahuinya sifat-sifat horison
tersebut, yakni
jumlah penimbunan liat (letak
penimbunan maksimum), ketebalan horison, serta letak horison dalam profil (batas atas dan batas bawah), dan ada tidaknya selaput liat yang terorientasi pada dinding pori, akan sangat bermanfaat sebagai informasi penting bagi pengelolaan tanah di Indonesia dimana tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol yang berkembang dari bahan induk batuan sedimen maupun bahan volkanik tersebar luas. Fenomena adanya horison iluviasi (Bt) dapat menjadi hal yang penting untuk diketahui bukan saja hanya dalam interpretasi genesis dan klasifikasi tanah tapi lebih kepada efeknya bagi pengelolaan tanah dan kaitannya terhadap pertumbuhan tanaman.
123
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sifat-sifat morfologi, fisika, kimia, mineralogi, dan mikromorfologi tanah, serta identifikasi sifat-sifat spesifik horison penimbunan
liat (peningkatan
jumlah
liat,
ketebalan,
selaput
liat
dan
perkembangannya) dari masing-masing pedon pewakil dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Jumlah peningkatan kandungan liat, ketebalan horison Bt, dan adanya selaput liat sebagai bukti adanya iluviasi liat
sebagai kriteria horison
argilik, hanya dijumpai pada pedon AM8 (perudik) berbahan induk Volkanik-Andesitik dan AM10 (akuik) berbahan induk Volkanik-Dasitik. Pedon lainnya tidak menunjukkan bukti selaput liat. Sehingga horison Bt pada pedon-pedon tersebut bukan argilik. (2) Horison argilik relatif lebih tebal terdapat pada pedon AM8 (125 cm) dengan letak 20 cm dari permukaan tanah, pedon AM10 (114 cm) yang terletak relatif lebih dalam, yakni pada 26 cm dari permukaan tanah. Sedangkan ketebalan horison Bt tanpa argilik terdapat pada pedon AM1 dan AM3 yang berbahan induk Batuliat, yakni 120 cm. Paling dangkal dijumpai pada pedon AM7 (perudik) berbahan induk Volkanik-Andesitik, yakni 85 cm dari permukaan tanah. (3) Jumlah peningkatan rata-rata liat total 48,9%, merupakan peningkatan tertinggi yang dijumpai pada pedon-pedon yang berkembang dari bahan induk Volkanik-Dasitik. Diikuti oleh pedon -pedon yang berkembang dari bahan induk batuliat sebesar 37,9%, dan Volkanik-Andesitik sebesar 34,4%. Sementara peningkatan paling rendah, sebesar 19,9%, terdapat pada pedon-pedon dari bahan induk batukapur. Peningkatan liat total
tersebut cenderung lebih tinggi pada pedon yang memiliki regim kelembaban akuik dibanding perudik dan ustik. (4) Hasil pengamatan irisan tipis pada horison argilik mendapatkan bahwa selaput liat (berdasarkan ada tidaknya laminasi ) terlihat dengan urutan tingkat perkembangan yang sangat berkembang sampai
kurang
berkembang. Urutan tingkat perkembangan selaput liat dari yang sangat berkembang adalah pedon berbahan induk Volkanik-Dasitik (AM10), kemudian AM8 Volkanik-Andesitik (AM8). Ketebalan selaput liat yang paling tebal dijumpai pada pedon AM10 (Volkanik-Dasitik), kemudian AM8 (Volkanik-Andesitik) (5) Berdasarkan pengamatan ketiga sifat argilik (terutama ketebalan dan jumlah peningkatan liat halus), maka dapat di simpulkan bahwa genesis horison argilik dan non argilik sangat dipengaruhi secara dominan oleh faktor bahan induk, yang bertinteraksi dengan faktor pembentuk tanah lainnya seperti iklim dan topografi. Proses genesis yang dominan adalah eluviasi dan iluviasi liat. (6) Adanya horison penimbunan liat dapat menimbulkan aliran air di bawah permukaan, sehingga sifat-sifat horison tersebut penting yang berkaitan dengan pengelolaan tanah Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol adalah letak dan ketebalannya.
SARAN Untuk menghindari dampak adanya horison argilik maka, letak dan ketebalan horison argilik merupakan sifat-sifat utama/penting yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan kriteria dalam penilaian kesesuaian lahan Ultisol, Alfisol, dan Inceptisol terutama dalam bidang pertanian.
124
DAFTAR PUSTAKA Afandi, R. Widiastuty, dan M. Utomo. 1997. Upaya rehabilitasi sifat fisik tanah Ultisol melalui pencampuran tanah lapisan atas, lapisan bawah, dan bahan organik. Jurnal Tanah Tropika II (4): 83-88. Allbrook, R.F. 1973. The argillic horizon – Does it exist in Malaysia? The Second Asean Soil Conference. Proceedings Vol. 1:51-55. The Soil Research Institute. Bogor. Indonesia. Alghan, S. 1980. Hubungan satuan lereng dengan satuan tanah sampai kategori kelompok di wilayah Cigudeg, Jawa Barat. Tesis S1 Departemen Ilmu Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Bartelli, L.J., and R.T. Odell. 1960. Field studies of a clay-enriched horizon in the lowest part of the solum of some Brunizem and Gray -Brown Podzolic soils in Illinois. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol. 24:388-390. Birkeland. P.W. 1974. Pedology, Weathering and Geomorphological Research. Oxford University. New York. London. Toronto. Brewer, R. 1976. Fabric and mineral analysis of soil. Robert E. Krieger Publ. Comp., Huntington, New York. 482 pp. Bullock, P., N. Federoff, A. Jongerius, G. Stoops, and T. Tursina. 1985. Handbook for soil thin section description. Waine Research Publication, Wolherhampton, UK. Bullock, P. , and M.L. Thompson. 1985. Micromorphology of Alfisols. p.17-47. In L.A. Douglas and M.L. Thompson (ed.) Soil Micromorphology and soil classification. SSSA Special Publication No.15. Madison, WI. Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Craken. 1973. Soil genesis and classification. Iowa State Univ. Press. Ames. Iowa. Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Craken. 1980. Soil genesis and classification. Iowa State Univ. Press. Ames. 404 pp. Buol, S.W., and F.D. Hole. 1961. Clay skin genesis in Wisconsin soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol 25:377-379. Buurman, P. 1980. Red soils in Indonesia. Soil Research Institute, Bogor. 169 pp. Buurman, P., and A.G. Jongmans. 1994. Amorphous clay coating in a lowland Oxisol and other andesitic soils of West Java, Indonesia. p. 115-124. In A.G. Jongmans (ed.) Aspects of mineral transformation during weathering of volcanic materials. Den Haag. Cahyono. B.E. 1992. Sifat-sifat mikromorfologi dan hubungannya dengan pedogenesis beberapa tanah Ultisol Lampung Selatan dan Alfisol Jawa Barat. Tesis S2, Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Cremeens, D.L. an d D.L. Mokma. 1986. Argillic horizon expression and classification in the soils of two Michigan hydrosequences. Soil Sci. Soc. Am. J. 50:1002-1007. Culver, J.R., and F. Gray. 1968. Morphology and genesis of some grayish claypan soils in Oklohama. I. Morph ology, chemical and physical measurements. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol. 32:845-851. Daniels, R.B., W.D.Nettleton, R.J. McCraken, and E.E.Gamble.1966. Morphology of soils with fragipans in parts of Wilson County, North Carolina. Soil Sci. Soc. Am. Proc. Vol. 30:376-380. Dewayany. 1984. Sifat sifat dan klasifikasi tanah Latosol pada beberapa kemiringan lereng di Darmaga Kabupaten Bogor. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Direktorat Geologi. 1968. Peta Geologi Jawa dan Madura, Lembar Jawa Barat, skala 1:500.000. Jakarta. Dixon J.B. and S.B. Weed. 1989. Mineral in Soil Environments. Book 1 Second Edition. Soil Sci. Soc. Of America. Madison, Wisconsin. USA. Djunaedi. 1976. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Planosol dari dua tempat di Jawa Barat. Tesis S1, Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Effendi. 1998. Peta Geologi lembar Bogor, skala 1: 100.000. Bandung. Eswaran. H. and C. Sys. 1979. Argillic horizon in LAC soils formation and significance to classification. Pedology Vol.29 : 175-190 Fedoroff. N. and H. Eswaran.1985. Micromorphology of Ultisols. p.145-164. In L.A. Douglas and M.L. Thompson (ed.) Soil Micromorphology and soil classification. SSSA Special Publication No.15. Madison, WI. Foth, H.D. and L.M. Turk. 1972. Fundamental of soil science. 5th edition. John Wiley and Sons, Inc. New York. Gamble, E.E., R.B. Daniels, and W.D. Nettleton. 1970. Geomorphic surfaces and soils in the Black Creek Valley, Jonsthon County, North Carolina. Soil Sci. Soc. Am. Proc., 34: 276-281. Goenadi, D.H., and K.H. Tan. 1989. Mineralogy and micromorphology of soil from volcanic tuff in the humid tropics. Soil Sci. Soc. Am. J. Vol. 53:1907-1911. Hardjowigeno. S. 1993. Klasifikasi tanah dan pedogenesis. Edisi Pertama. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hendro B. P. 1990. Penuntun analisa mineral tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Jenny, H. 1941. Factors of soil formation. Mc Graw Hill, New York.
126
Jongerius, A., and G. Heintberger. 1975. Methods in soil micromorphology. A technique for the preparation of large thin section. Soil Survey Institute, Wageningen, The Netherlands, 98 pp. Jongmans, A.G., J. Mulder, K. Groenesteijn, and P. Buurman. 1996. Soil surface coating at Costa Rican recently active volcanoes. Soil Sci. Soc. Am.J. 60:1871-1880. Karathanasis,A.D., and B.F. Hajek. 1985. Shrink – swell potensial of monmorillonitic soil in udic moisture regimes. Soil Sci.Soc.Am.J. Vol. 49:159-166. Khalifa, E.M., and S.W. Buol. 1968. Studies of clay skin s in a Cecil (Typic Hapludults) soil : I. Composition and genesis. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 32 :857-861. Kubiena, W.L. 1938. Micropedology. Collegiate Press, Inc. Ames, Iowa, 243 pp. Miller,B.J. 1983. Ultisols. p. 283-324. Pedogenesis and soil taxonomy . II. The soil orders. Elsevier Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo. Mohr, E.C.J., F.A. van Baren, and J. van Schuylenborgh. 1972. Tropical soils. A comprehensive study of their genesis. 3rd edition The Hague-Paris-Djakarta. Moniz. A.C,. S.W. Buol, and S.B. Weed. 1982. Formation of an Oxisol – Ultisol in Sao Paulo, Brazil: II. Lateral dynamics of chemical weathering. Soil Sci. Soc. Am. J, 46:1234–1239. Nettleton, W.D., R.J. McCraken, and R.B. Daniels. 1968. Two North Carolina coastal plain catenas: Micromorphology, composition, and fragipan genesis. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 32 :582-587. Nettleton, W.D., R.J. Witty, R.E. Nelson. and J.W. Hawley. 1975. Genesis of argillic horizons in soils of desert areas of the Southwestern United States. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 39 :919-926. Rostad, H.P.W., N.E. Smeck, and L.P. Wilding. 1976. Genesis of argilic horizons in soils derived from coarse textured calcareous gravels. Soil Sci. Soc. Am. J. 40:739-744. Rusmana E., K. Suwitodirdjo, dan Suharsono. 1991. Peta Geologi Lembar Serang, skala 1:100.000. Jakarta. Rust, R.H. 1983. Alfisols. p. 253-282. In Wilding et al. (ed.) Pedogenesis and soil taxonomy. II. The soil orders. Elsevier Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo. Smeck, N.E., A. Ritchie, L.P. Wilding, and L.R. Drees. 1981. Clay accumulation in sola of poorly drained soils of Western Ohio. Soil Sci. Soc. Am. J. 45:95102. Smith, H., and L.P. Wilding. 1972. Genesis of argillic horizon in Ochraqualfs derived from fine textured till deposits of Northwestern Ohio and Southeastern Michigan. Soil. Sci. Soc. Am. Proc. 36 :808-815.
127
Soil Survey Staff. 1960. Soil Classification.7 th Approximation. US Dept. Agric. Washington DC. Soil Survey Staff. 1975. Soil taxonomy : A basic system of soil classification for making and interpreting soil surveys. USDA-SCS Agric. Handb. 436, U.S. Gov. Print. Office, Washington, DC. ______________. 1993. Soil Survey Manual. Handbook No. 18. Soil Survey Divison Staff. USDA. Washington DC. _______________. 1998. Keys to soil taxonomy. 8 th ed. USDA-NRCS. Washington, DC. ______________. 1999. Soil taxonomy : A basic system of soil classification for making and interpreting soil surveys. Second Edition. USDA-NRCS Agric. Handb. 436, U.S. Gov. Print. Office, Washington, DC. ______________. 2003. Washington, DC.
Keys
to
soil
taxonomy.
9th ed.
USDA-NRCS.
Southard, R.J., and A.R. Southard. 1985. Genesis of cambic and argilic horizons in two northern Utah Aridisols. Soil Sci. Soc. Am. J. 49:167-171. Stolt, M.H., and M.C. Rabenhorst. 1991. Micromorphology of argillic horizons in an upland/tidal marsh catena. Soil Sci. Soc. Am. J. 55:443-450. Thorp, J. and G.D. Smith. 1949. Higher categories of soil classification; order, suborder, and great soil groups. Soil Science 67:117-126. Tirtoso, R. 1984. Klasifikasi tanah dan hubungan beberapa jenis vegetasi terhadap sifat-sifat Latosol Coklat Kemerahan di Cikarawang Bogor. Skripsi S1, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Verbeek dan Fennema. 1886. Peta Geologi Jawa dan Madura, skala 1:100.000. Jakarta. Wambeke V.A. 1985. Calculated soil moisture and temperature regimes of Asia. A compilation of soil climatic regime by using a mathematical model developed by Newhall (1972). SMSS Technical Monograph No. 9. Ithaca. New York. Witjaksono, F. 1986. Pemetaan tanah detil dan evaluasi kesesuaian lahan untuk Peternakan pada lahan Sistem Peternakan Terpadu di daerah Jonggol Bogor. Skripsi, S1 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
128
LAMPIRAN
Lampiran 1. Deskripsi profil Pedon AM1 Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : : :
AM1 Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran, isohipertermik. Bangkungreang, Cendali, Kec.Cimulang Kaki bukit (G.Paok) Agak berombak 4% Batuliat (Tmb) Buruk Agak lambat Dangkal (<100 Cm) Sawah tadah hujan (diteras)
aktif,
Uraian
Simbol Horison Ap
Kedalaman (cm) 0 – 10
Bt1
10 – 30
Coklat (10 YR 5/1); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas nyata, rata.
Bt2
30 – 55
Kelabu (10 YR 6/1); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata.
Bt3
55 – 95
Kelabu terang kecoklatan (10 YR 6/2); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/6), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas nyata, rata.
Btg
95 – 130
Kelabu terang kecoklatan (10YR 6/2); liat, gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; batas berangsur, rata.
BCg
130 - 200
Kelabu terang kecoklatan (10 YR 6/2); liat berdebu; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar, lekat, teguh.
Kelabu (10 YR 5/1); lempung berliat; gumpal membulat, sedang, sedang; agak lekat, gembur; karatan merah (2,5 YR 4/6), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas berangsur, rata.
130
Lampiran 2. Deskripsi profil Pedon AM2 Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : : :
Simbol Kedalaman (cm) Horison Ap 0 – 18
AM2 Fluventic Dystrudept, halus, campuran, semi-aktif, isohipertermik Bukit Sentul, Cijayanti 1, Kecamatan Sentul Perbukitan Berombak 9% Batuliat (Tmj) Sedang Sedang Dalam Kebun (Ketela pohon)
Uraian Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat berdebu; gumpal membulat, agak kuat, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, sedikit; batas berangsur, rata.
BA
18 - 37
Coklat kekuningan (10 YR 5/8); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat, gembur sampai teguh; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata.
Bt1
37 - 65
Coklat kuat (7,5YR 5/8); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; sangat lekat, teguh; batas nyata, rata.
Bt2
65 - 103
Coklat kekuningan (10 YR 5/8); liat; bahan kasar besi; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/6), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata.
Bt3
103 - 130
Coklat kekuningan (10YR 5/6); liat; bahan kasar mangan; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; gembur sampai teguh; bercak hitam (10 YR 2/1), banyak, sedang, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata.
BC
130 - 200
Coklat kekuningan (10 YR 5/6); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat, teguh; karatan merah (2,5 YR 4/8), banyak, sedang, jelas sampai nyata, bintik berganda.
131
Lampiran 3. Deskripsi profil Pedon AM3.
Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : : :
AM3 Fluvaquentic Epiaquept, halus, campuran, isohipertermik Babakan, Desa Cijayanti 2, Kecamatan Sentul Dataran (Sungai Cikeas) Datar 1% Batuliat (Tmj) Agak Buruk-Buruk Buruk - Sedang Agak dangkal (<150 cm) Kebun (Ketela pohon)
aktif,
Simbol Horison Ap
Kedalaman (cm) 0 – 15
Bt1
15 - 30
Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat berdebu; gumpal membulat, lemah sampai sedang, halus sampai sedang; agak lekat, teguh; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata.
Bt2
30 - 50
Coklat kelabu (10 YR 5/2) dan Coklat (10YR 5/3); liat berdebu; gumpal membulat, lemah, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), sedang, kecil, nyata, bintik berganda dan lidah; batas nyata, rata.
Bt3
50 - 85
Coklat kelabu (10 YR 5/2); liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil sampai besar, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata.
Btg1
85 - 115
Kelabu (10YR 5/1); liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah gelap (2,5 YR 3/6), sangat banyak, besar, nyata, bintik berganda; perakaran halus sedikit; batas nyata, rata.
Btg2
115 - 135
Kelabu (10 YR 5/1); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; sangat lekat, sangat teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedikit, kecil, jelas, bintik berganda; batas nyata, rata.
BCg
135 - 200
Uraian Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat berdebu; gumpal membulat, lemah, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, sedikit; batas berangsur, rata.
Kelabu gelap (10 YR 4/1); liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; sangat lekat, sangat teguh.
132
Lampiran 4. Deskripsi profil Pedon AM4 Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi
:
Fisiografi Relief Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah Vegetasi
: : : : : : : :
AM4 Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik Peternakan IPB Jonggol, Desa Pasircabe, Kec. Jonggol Perbukitan kapur Berbukit, lereng 4% Batukapur dan napal Baik Baik Dalam Lahan Peternakan Harendong, melastoma, alang-alang.
Simbol Horison
Kedalaman (cm)
Uraian
A
0 – 15
Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/4); liat; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas berangsur, rata.
AB
15 - 31
Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat; gumpal membulat, lemah, halus - sedang; agak lekat, gembur; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedikit, kecil, nyata, bintik berganda; perakaran halus, sedang; batas nyata, rata.
Bt1
31 - 45
Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), sedang, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; batas nyata, rata.
Bt2
45 - 66
Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), sangat banyak, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; batas nyata, rata.
Bt3
66 - 130
Kelabu terang (10YR 7/2); liat, gumpal bersudut, sedang,sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Kuning kemerahan (7,5 YR 6/8) sangat banyak, kecil, nyata, bintik berganda; bahan kasar kalsium; batas nyata, rata.
BC
130 - 200
Kelabu terang (10 YR 7/2); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedikit, kecil – sedang, nyata, bintik berganda, banyak bahan sedang lapuk, warna beralih terang sampai hitam(10 YR 2/0).
133
Lampiran 5. Deskripsi profil Pedon AM5.
Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah Vegetasi
: : : : : : : : : :
Simbol Kedalaman (cm) Horison A 0 – 16
AM5 Dystric Fluventic Eutrudept, sangat halus, smektitik, isohipertermik Peternakan IPB, Desa Pasir Cabe, Kec. Jonggol Perbukitan kapur Berbukit 5% Batukapur dan napal Baik Baik Dalam Lahan Peternakan Harendong, melastoma, alang-alang.
Uraian Coklat gelap kelabu (10 YR 3/2); liat; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; rekahan vertikal (3 cm) batas berangsur, rata.
Bt1
16 - 38
Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6); ilat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/8), sedang, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; rekahan vertikal (6 cm); batas nyata, rata.
Bt2
38 - 86
Coklat kekuningan (10 YR 5/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8) dan Kelabu gelap (10 YR 4/1), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; pori bekas lubang cacing; rekahan vertikal (vertic) 4-6 cm lebar; batas nyata, rata.
Bt3
86 - 122
Coklat kelabu (10YR 5/2); liat, gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8) sedang, kecil, nyata, bintik berganda; bahan kasar kalsium; batas nyata, rata.
BC
122 - 200
Coklat terang kekuningan (2,5 Y 6/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang sampai kasar; sangat lekat, teguh, bahan sedang lapuk, warna beralih terang sampai hitam (2,5Y 2/0).
134
Lampiran 6. Deskripsi profil Pedon AM6.
Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : : :
Simbol Kedalaman (cm) Horison Ap 0 – 18
AM6 Fluvaquentic Epiaquept, sangat halus, smektitik, isohipertermik. Peternakan IPB, Desa Pasir Cabe, Kec. Jonggol Perbukitan kapur Berbukit 2% Batukapur dan napal Buruk Lambat Dangkal Sawah diteras.
Uraian Coklat gelap kelabu (10 YR 3/2); liat; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; rekahan vertikal (3 cm) batas nyata, rata.
Bt1
18 - 50
Kelabu gelap (2,5 Y 4/0); liat; gumpal membulat, lemah, sedang; lekat, teguh; karatan Merah (2,5 YR 4/6), sedang, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata.
Bt2
50 - 77
Kelabu (2,5 Y 6/0); liat; gumpal membulat, sedang, halus sampai sedang; sangat lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas nyata, rata.
Bt3
77- 107
Kelabu (2,5 Y 5/0); liat, gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (10 R 4/8) banyak, kecil, nyata, bintik berganda; batas berangsur, rata.
Bt4
107 - 136
Kelabu (2,5 Y 5/0); liat, gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; karatan Merah kekuningan (10 R 4/8) sedang, kecil, nyata, bintik berganda; batas berangsur, rata.
BC
136 - 200
Kelabu (2,5 Y 5/0); liat, massif, lemah.
135
Lampiran 7. Deskripsi profil Pedon AM7. Pedon Klasifikasi Tanah Lokasi
: : :
Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : :
Simbol Kedalaman (cm) Horison A 0 – 19
AM7 Andic Dystrudept, sangat halus, isohipertermik Kebun Perc.Konservasi Puslittanak, Kebon Panas Desa Jasinga, Kec.Jasinga. Perbukitan Berombak 9% Bahan Volkan-Andesitik Sedang Sedang Dalam Melastoma
Uraian Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/2); liat berdebu; gumpal membulat, agak kuat, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas nyata, rata.
Bt1
19 - 47
Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/4); liat ; gumpal membulat dan bersudut, sedang, sedang; lekat, gembur sampai teguh; perakaran halus, banyak; selaput liat; batas berangsur, rata.
Bt2
47 - 80
Coklat kemerahan (5YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, gembur sampai teguh; karatan Kelabu merah mudah (7,5 YR 6/2), sedikit, bintik berganda, kecil; selaput liat; batas berangsur, rata.
Bt3
80 - 105
Coklat kemerahan (2,5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, gembur sampai teguh; karatan Kelabu merah muda (7,5 YR 6/2), sedikit, kecil, nyata, bintik berganda; selaput liat; batas berangsur, rata.
BC
105 - 130
Kelabu merah muda (7,5 YR 6/2); liat berdebu; gumpal membulat, lemah, halus sampai sedang; gembur sampai teguh; karatan Coklat gelap (10 YR 3/3) dan 2,5 YR 4/8, banyak, besar, jelas, bintik berganda; batas berangsur, rata.
C
130 - 200
Kelabu merah muda (7,5 YR 6/2); liat berdebu; masif, lekat, teguh; karatan Coklat gelap (10 YR 3/3) dan Coklat tua 7,5 YR 5/8, banyak, besar, jelas, rata, bintik berganda.
136
Lampiran 8. Deskripsi profil Pedon AM8.
Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi
:
Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : :
AM8 Typic Haplohumult, sangat halus, haloisitik, isohipertermik Kebun Bukit Firdaus Ciampea, Desa Ciampea, Kec. Ciampea Perbukitan Agak datar 3% Bahan Tuf Volkan (Andesitik) Agak baik Sedang Dalam Ketela pohon
Simbol Horison Ap
Kedalaman (cm) 0 – 20
Uraian
Bt1
20 - 40
Coklat kemerahan (5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; agak lekat, teguh; perakaran halus, sedikit; bahan kasar Mangan warna hitam(2,5 YR 2/0), sangat banyak; selaput liat; batas nyata, rata.
Bt2
40 - 65
Coklat gelap kemerahan (5YR 3/2); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2/0), sedang, bintik berganda, kecil; selaput liat; batas jelas, rata.
Bt3
65 – 90
Coklat kemerahan (5 YR 4/3); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; lekat, teguh; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2/0), sedikit, kecil, nyata, bintik berganda; selaput liat; batas jelas, rata.
Bt4
90 - 110
Coklat kemerahan (5 YR 4/4); lempung liat berdebu; gumpal membulat, sedang, sedang; sedang, halus sampai medium; agak lekat, agak teguh; selaput liat; batas berangsur, rata.
Bt5
110 - 145
Coklat kemerahan (5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; agak lekat, agak teguh; selaput liat; batas baur,
BC
145 - 200
Coklat kemerahan (5 YR 4/4); liat; gumpal membulat, sedang, sedang; agak lekat, agak teguh.
Coklat gelap kemerahan (5 YR 3/3); liat berdebu; gumpal membulat, lemah sampai agak kuat, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, sedikit; batas nyata, rata.
137
Lampiran 9. Deskripsi profil Pedon AM9.
Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : : :
AM9 Fluventic Dystrustept, sangat halus, haloisitik, isohipertermik Perumahan RSS Mancang, Desa Cipocok, Serang Perbukitan Agak berombak 3% Bahan Tuf Volkan (Dasitik) Baik Sedang Dalam Alang-alang
Simbol Horison A
Kedalaman (cm) 0 – 22
Uraian
Bt1
22 - 35
Coklat gelap (2,5 YR 3/6); liat; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus dan kasar, sedang; batas berangsur, rata.
Bt2
35 - 57
Coklat gelap (2,5YR 3/6); liat; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; lekat, teguh; perakaran kasar, banyak; batas nyata, rata.
Bt3
57 - 80
Merah (2,5 YR 4/6); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang; halus sampai medium; lekat, teguh; batas berangsur, rata.
Bt4
80 - 110
Merah (2,5 YR 4/6); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang, halus sampai sedang; lekat, teguh ; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2,5/0); batas berangsur, rata.
Bt5
110 - 140
Coklat kemerahan (2,5 YR 4/4); liat; gumpal bersudut, sedang, sedang; sangat lekat, sangat teguh; bahan kasar Mangan warna hitam (2,5 YR 2,5/0); batas jelas, rata.
BC
140 - 200
Merah (2,5 YR 4/6); liat; gumpal membulat, sedang, lemah sampai sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, Coklat gelap kekuningan (10 YR 4/6), banyak, kecil sampai sedang; banyak bahan sedang melapuk.
Coklat kemerahan (5 YR 4/3); liat; gumpal membulat, sedang, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; lubang rayap, batas nyata, rata.
138
Lampiran 10. Deskripsi profil Pedon AM10. Pedon Klasifikasi Tanah
: :
Lokasi Fisiografi Relief Lereng Bahan Induk Drainase Permeabilitas Air tanah Penggunaan tanah
: : : : : : : : :
AM10 Aeric Epiaqualf, berlempung halus, campuran, semiaktif, isohipertermik Perusahaan genteng, Desa Cipocok, Serang Dataran aluvium Datar 0% Tufa Banten (Dasit) Baik Sedang Dangkal 130 cm Sawah tadah hujan
Simbol Horison A
Kedalaman (cm) 0 – 12
Uraian
Adir
12- 20
Coklat kekuningan (10 YR 5/6); lempung berdebu; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas nyata, rata.
BMn
20 - 26
Kelabu (7,5YR 5/0) dan Hitam (7,5 YR 2/0) ; liat berdebu; gumpal membulat, sedang, halus-sedang; lekat, teguh; perakaran kasar, sedikit; batas nyata, rata.
Bt1
26 - 59
Kelabu (7,5YR 5/0); karatan Coklat kuat (7,5 YR 5/6) dan Mn hitam (7,5 YR 2/0) liat berdebu; gumpal bersudut, sedang, sedang; halus sampai sedang; lekat, teguh ; selaput liat; batas berangsur, rata.
Bt2
59 - 75
Kelabu (2,5 YR 6/0); liat berdebu; gumpal bersudut, kasar, sedang, halus sampai sedang; lekat, teguh ; selaput liat; batas nyata, rata.
Bt3
75 - 120
Kelabu (5 YR 5/1); liat berdebu; gumpal bersudut, kasar, sedang; sangat lekat, sangat teguh; dan karatan merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, sedang; selaput liat; batas berangsur, rata.
Bt4
120 – 143
Kelabu (5 YR 5/1); liat berdebu; gumpal membulat, kasar, lemah sampai sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, sedang sampai kasar; batas jelas, rata.
Kelabu terang (5 Y 7/1); lempung; gumpal bersudut, lemah, halus; agak lekat, gembur; perakaran halus, banyak; batas kontras, rata.
139
Lanjutan Lampiran 10 BCg1
143 – 148
Kelabu (5 YR 5/1); lempung berdebu; gumpal bersudut, kasar, lemah sampai sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, merah kekuningan (5 YR 5/8), sedikit, kasar; banyak bahan glei berwarna kelabu terang ( 5 YR 7/1), batas berangsur, rata
BCg2
148 - 200
Kelabu (5 YR 5/1); lempung berdebu ; masif sedang, sangat lekat, sangat teguh, karatan bintik berganda, Merah kekuningan (5 YR 5/8), banyak, kecil sampai sedang; banyak bahan glei berwarna kelabu terang ( 5 YR 7/1)
140