1 Karakteristik Struktur Kata Tuturan Verbal Siswa Keturunan Tionghoa di Kota Malang Sudjalil Abstract: The background of the research is the varied-word-form phenomenon that is used by the Chinese descendant students in Malang. The emerge of these variations is a proof that language is unable to avoid changes. Qualitative approach is applied in this research, using qualitative descriptive plan. The result of the study are classified into two; they are monosyllabic monomorphemic structure and polysyllabic monomorphemic structure. The monosyllabic monomorphemic structure is a kind of nonstandard variation and is often used in verbal utterances, for example: wah, lak, won, deh and kok. Polysyllabic monomorphemic structure that are used by the Chinese descendant students is majorly interfered by the Javanese dialect, especially Eastern Java dan Jakarta dialects. Kata Kunci: karakteristik, struktur kata, tuturan verbal. Bahasa Indonesia mempunyai materi bahasa, bangunan dasar (struktur), caracara mewujudkan struktur yang seluruhnya bisa disebut sebagai ciri-ciri esensial bahasa Indonesia. Ciri-ciri esensial inilah di satu pihak menandai eksistensi personalia bahasa Indonesia dan di pihak lain ciri-ciri esensial ini membedakan dengan bahasa lainnya (Oka, 1978:4). salah satu ciri esensial penggunaan bahasa yang menarik untuk diamati adalah penggunaan bahasa pada siswa keturunan Tionghoa di kota Malang. Siswa keturunan Tionghoa ini merupakan sekelompok penutur bahasa yang berdomisili di kota Malang dan berasal dari nenek moyang Tionghoa. Untuk menjalin komunikasi, secara umumnya masyarakat tutur ini menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat tutur ini merupakan bahasa Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh bahasa pertama penuturnya. Alisyahbana (1957:57) mengatakan bahwa bahasa Melayu Tionghoa telah berdiri dan berpengaruh di pergaulan Indonesia. Bahasa tersebut merupakan cabang dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Samsuri (1985:27) berpendapat bahwa bahasa Indonesia Cina sebaiknya dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia logat etnis biarpun pemakaianya tidak mempunyai tempat tertentu. Pendapat negatif diungkapkan oleh Sutambar (1980:4) bahwa bahasa Indonesia verbal Sudjalil adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Artikel ini diangkat dari Tesis Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Unicersitas Negeri Malang, 2008.
2 keturunan Cina diperkirakan dapat merusak aturan atau tata kaidah bahasa Indonesia, khususnya dalam aspek berbicara. Pendapat yang berupa himbauan dikemukakan oleh Syafi’ie (1990:11), bahwa penutur keturunan Cina berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak peduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Munculnya beberapa pendapat tersebut, menandakan bahwa performansi bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur keturunan Tionghoa berbeda dengan bahasa yang lain. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur ini memiliki karakteristik tersendiri. Persoalannya adalah bagaimanakah karakteristik struktur kata tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang? Penelitian ini berusaha mendeskripsikan karakteristik struktur monomorfemis dan polimorfemis tuturan verbal siswa keturunan di kota Malang. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan kaidah-kaidah linguistik terutama pada struktur kata tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang. Selain itu, hasil-hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai rujukan untuk penelitian linguistik terutama linguistik kontrastif. Metode Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan struktural kualitatif. Pendekatan struktural memandang aspek bahasa yang dianalisis adalah wujud formal bahasa. Rancangan atau desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif kualitatif. Data penelitian ini berupa tuturan verbal informal siswa keturunan Tionghoa di SMA Shanta Maria dan SMA Cor Jesu kota Malang. Lebih rinci lagi, data penelitian ini berupa struktur monomorfemis dan polimorfemis (kata bentukan) pada pertuturan verbal. Sumber data penelitian adalah (1) siswa keturunan Tionghoa berjumlah 50 orang dari dua sekolah yang diteliti. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Pertimbangan bahwa peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian ini adalah agar data penelitian diperoleh secara akurat dan lengkap. Instrumen pendukung penelitian ini adalah dalam bentuk angket. Pedoman angket yang disebarkan ke siswa digunakan untuk mendapatkan informasi (1) identitas siswa, (2) domisili siswa, (3) usia siswa, (4) pendidikan orang tua siswa, (5) bahasa yang dikuasai siswa, dan (6) identitas orang tua. Angket yang telah disusun disebarkan ke 50 siswa.
3 Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik observasi, wawancara dan angket. Observasi dilakukan dengan cara mengamati peristiwa pertuturan antara siswa satu dengan yang lain terutama siswa keturunan Tionghoa. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara perekaman pertuturan siswa dari dua sekolah yang mayoritas berasal dari keturunan Tionghoa, yakni SMAK Shanta Maria dan SMAK Cor Jesu. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas dan mendalam. Selain itu, studi dokumentasi dilakukan peneliti untuk mendapatkan data-data tulis tentang keturunan atau penggunaan bahasa oleh para siswa keturunan Tionghoa di kota Malang. Model analisis data yang digunakan adalah flow model of analysis yang prosesnya dilakukan dengan langkah-langkah: (1) penyeleksian data, (2) pemaparan data, dan (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi. Hasil Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik struktur monomorfemis monosilabis siswa keturunan Tionghoa dalam tuturan verbal adalah berstruktur (1) KVK, (2) KVKK, (3) KKVK, (4) VK, (5) KKV dan (6) KV. Kata-kata yang berkonstruksi monomorfemis monosilabis di atas berkategori nomina, pronomina, konjungsi, preposisi dan kategori fatis. Kata-kata monomorfemis monosilabis yang digunakan oleh siswa keturunan Tionghoa termasuk ragam lisan yang banyak dipengaruhi oleh dialek atau unsur kedaerahan penuturnya, dalam hal ini adalah bahasa Jawa dialek Jawa Timur dan dialek Jakarta. K Kata-kata monosilabis yang digunakan oleh siswa keturunan Tionghoa di kota Malang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (1) kata monosilabis bermakna leksikal dan (2) kata monosilabis bermakna gramatikal. Kata monosilabis bermakna leksikal artinya kata monomorfemis satu suku kata yang sudah memiliki makna sebelum digabungi dengan unsur bahasa lainnya. Kata monomorfemis satu suku kata bermakna gramatikal artinya kata bermorfem tunggal, baru memiliki makna setelah digabungi kata atau morfem lainnya, misalnya di dan ndik Kata-kata monomorfemis polisilabis yang digunakan siswa keturunan dalam tuturan verbal berkategori nomina, verba, adverbia, pronomina, konjungsi, preposisi, demonstratif, interogativa dan interjeksi. Dilihat dari kaidah struktur kata yang digunakan, kata-kata monomorfemis polisilabis berstruktur bahasa Indonesia, berstruktur bahasa Jawa khususnya bahasa Jawa Dialek Jawa Timur,
4 dan dialek Jakarta. Struktur kata bahasa Jawa yang digunakan, misalnya pada kata masio, sampean, engkuk, maeng, duit, goblik, mrinding, uapik, ualot dan sebagainya. Struktur kata polimorfemis tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang diklasifikasikan menjadi tujuh, yaitu (1) struktur kata berprefiks, (2) struktur kata bersufiks, (3) struktur kata berkonfiks, (4) struktur kata berkombinasi imbuhan, (5) struktur kata ulang, (6) struktur kata majemuk dan (7) struktur kata abreviasi. Struktur kata berprefiks dibentuk dari penggabungan morfem terikat bahasa Indonesia, yaitu morfem {ber-}, {di-}, { peN-}, { meN-}, {ter-},{N-} dan {se-}; sedangkan morfem { tak-},{ kok-} dan {sa-} sebagai morfem pembentuk kata berprefiks bahasa Jawa. Struktur kata bersufiks dibentuk dari penggabungan morfem terikat bahasa Indonesia {-an}, {-kan},{ -i}, {-nya}; sedangkan morfem terikat {-e/ne}, {-a}, {-en} dan {-na} sebagai morfem pembentuk kata berprefiks bahasa Jawa. Morfem terikat dari bahasa Indonesia dialek Jakarta sebagai morfem pembentuk kata bentukan adalah morfem {-in}. Struktur kata berkonfiks dibentuk dari penggabungan morfem terikat bahasa Indonesia, yaitu morfem {ke-an}, {peN-an}, {per-an} dan {se-nya} dengan bentuk dasar. Adapun, morfem terikat {N-i} dan {N-in} sebagai morfem pembentuk kata bentukan bahasa Jawa. Kaidah struktur bahasa Indonesia dialek Jakarta digunakan oleh siswa keturunan Tionghoa, misalnya kata ngejelasin, ngapain dan kirain. Struktur kata berkombinasi imbuhan dibentuk dari penggabungan morfem terikat bahasa Indonesia, yaitu morfem {di-/-i}, {di-/-kan}, { meN-/-kan}, {meN-/-i} dan {ter-/-kan}. Morfem{di-/-ne} dan {di-/-na} adalah morfem terikat bahasa Jawa sebagai unsur pembentuk struktur kata bahasa Jawa. Penggunaan morfemmorfem terikat pada struktur kata berprefiks, bersufiks, berkonfiks dan berkombinasi imbuhan ada yang menyebabkan interferensi, misalnya pada kata kecepetan seharusnya terlalu cepat , bacaen seharusnya wocoen (bahasa Jawa) atau bacalah (bahasa Indonesia), bersihin seharusnya membersihkan (dalam bahasa Indonesia).
5 Struktur kata ulang dibentuk dari pengulangan bentuk dasar secara utuh, sebagian dan kombinasi imbuhan. Pengulangan utuh bentuk dasar pada tuturan verbal siswa, misalnya kata dewa-dewa, satu-satu dan untel-untel ada yang mengubah kelas kata dan ada yang tidak. Pengulangan utuh terjadi pada kata-kata bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dan makna pengulangan bentuk dasar secara utuh adalah menyatakan ‘banyak’, penegasan dan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Pengulangan sebagian hanya dilakukan setahap, misalnya pada kata beberapa, diapak-apakno dan kurang-kurange. Pengulangan sebagian bentuk dasar ada yang mengubah kelas kata dan ada yang tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengulangan sebagian terjadi pada kata-kata bahasa Indonesia atau bahasa Jawa, dan makna pengulangan bentuk dasar secara utuh adalah menyatakan ‘banyak’, ‘penegasan’ dan ‘perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang’. Pengulangan berkombinasi dengan imbuhan yang ditemukan dalam penelitian ini hanya pada kata cet-cetan. Kata cet-cetan dibentuk melalui dua tahap. Pertama, mengulang bentuk dasar cet menjadi cet-cet. Kata dasar cet-cet tergolong nomina, setelah diberi akhiran -an menjadi adverbia. Kedua, menambahkan akhiran -an pada hasil dari proses morfologis tahap pertama, yakni menjadi cet-cetan. Makna pengulangan berkombinasi dengan imbuhan pada bentuk dasarnya, adalah ‘terkena’. Struktur kata majemuk dibentuk dari unsur I dan unsur II. Pemajemukan atau proses penggabungan dua kata atau lebih yang menimbulkan satu makna baru yang khusus terdapat pada kata rumah sakit, bulu tangkis dan yatim piatu. Bentukbentuk kata majemuk semacam ini tidak banyak ditemukan dalam penelitian ini. Hasil pemajemukan dapat mengubah kelas dan ada yang tidak mengubah kelas kata. Makna pemajemukan adalah antara unsur I dan II ‘saling melengkapi’, unsur I ‘digunakan untuk unsur II, unsur I ‘menjadi alat’ unsur II, dan unsur I ‘bersinonim dengan’ unsur II. Selanjutnya, struktur kata abreviasi dibentuk dengan cara penyingkatan, penggalan dan kontraksi. Untuk struktur kata majemuk dan abreviasi jarang ditemukan dalam tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa. Abreviasi berbentuk singkatan, misalnya BI dari Bahasa Indonesia adalah upaya memendekkan kata baik dalam bentuk huruf atau gabungan huruf. Abreviasi berbentuk singkatan, misalnya BI dari Bahasa Indonesia adalah upaya memendekkan kata dalam bentuk
6 gabungan huruf. Abreviasi berbentuk penggalan, misalnya perpus dari perpustakaan adalah upaya memendekkan kata dengan cara pengekalan sebagian unsur dalam kata. Abreviasi berbentuk kontraksi, misalnya cerpen dari cerita pendek adalah upaya memendekkan kata dengan cara berupa ringkasan kata dasar atau gabungan kata dan memenuhi kaidah fonotatik. Abreviasi ini tidak berfungsi membentuk kelas kata. Akan tetapi, berfungsi mempercepat atau memperlancar komunikasi penuturnya. Secara khusus, karakteristik struktur kata tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang ini ditandai oleh penggunaan struktur kata dari dua bahasa yang ada di lingkungannya. Struktur dua bahasa yang dimaksudkan adalah struktur bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Pencampuran struktur bahasa Indonesia dan bahasa Jawa mengakibatkan terbentuknya struktur kata yang khas pada siswa keturunan Tionghoa. Kata bacaen, ginia, kurang-kurange, bersihin, kecepetan, ndik mana, ndik situa, gak isa dan entik, merupakan bentuk campuran struktur antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bentuk-bentuk ini sering digunakan dalam tuturan verbal informal. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik struktur monomorfemis tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni struktur monomorfemis monosilabis dan struktur monomorfemis polisilabis. Hal ini sesuai dengan pendapat Oka dan Suparno (1994:175) yang mengemukakan bahwa kata berstruktur monomorfemis merupakan kata yang dibentuk dari satu morfem dan morfem yang membentuknya itu tentu saja morfem bebas. Sebuah morfem bisa disebut kata apabila morfem tersebut setelah mengalami pengolahan gramatikal. Hasil penelitian di atas berupa kaidah-kaidah pembentukan kata ditinjau secara fonologis. Hal ini sesuai dengan pendapat Kridalaksana (1993:98) yang mengemukakan bahwa kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal, misalnya kata batu, rumah, datang dan sebagainya atau gabungan morfem, misalnya kata pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa dan sebagainya. Sebagai bentuk yang bebas, kata terdiri atas dua satuan yaitu satuan
7 fonologis dan satuan gramatikal. Sebagai satuan fonologis, kata terdiri atas satu suku kata atau lebih dan suku kata itu terdiri atas satu fonem atau lebih. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggabungan morfem {ber-}, {di-}, { peN-}, { meN-}, {ter-} dan {se-} pada kata atau bentuk dasar menyebabkan kata bentukan (polimorfemis) dalam bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjito yang mengemukakan bahwa awalan dalam bahasa Indonesia adalah me-, ber-, di-, ter-, ke-, pe-, per- dan se- (1995:18). Awalan-awalan tersebut lazim digunakan dalam bahasa Indonesia dan jika bergabung dengan kata dasar maka akan terbentuk kata bentukan atau jadian. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak ditemukan struktur kata berprefiks per- dan ke- . Berkenaan dengan struktur kata berprefiks, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa morfem{ tak-},{ kok-},{N-}, dan {sa-} ditemukan dalam tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa. Morfem {tak-} pada kata takkira, takpakai, taktensi, takkethok, takporik dan takjawabna berfungsi membentuk kata verba aktif intransitif. Verba aktif intransitif adalah verba yang tidak memerlukan objek. Verba bentuk tak- hanya memiliki satu makna, yaitu menyatakan ‘perbuatan yang dilakukan oleh orang pertama tunggal’. Hal ini sesuai dengan pendapat Wedawati dkk. yang mengemukakan bahwa verba bentuk tak- mempunyai varian verba bentuk dakdan termasuk verba pasif. Verba bentuk tak- hanya memiliki satu makna yakni menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh orang pertama tunggal (Wedawati, dkk., 2006:119). Morfem {kok-} pada kata kokapain berfungsi membentuk kata verba pasif. Verba bentuk kok- hanya memiliki satu makna, yaitu menyatakan ‘perbuatan yang dilakukan oleh orang kedua baik tunggal maupun jamak. Morfem {kok-} hanya bisa berdampingan dengan bentuk verba. Jika kok berdampingan dengan nomina, ajektiva, atau adverbia, maka fungsi kok adalah sebagai kategori fatis. Oleh sebab itu, penggu-naan kok pada tuturan verbal dapat dipilahkan menjadi dua, yakni kok sebagai morfem dan kok sebagai kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Wedawati, dkk. yang mengemu-kakan bahwa verba bentuk kok- termasuk verba pasif. Maknanya menyatakan ‘perbuatan yang dilakukan oleh orang kedua, baik tunggal maupun jamak’. Bentuk dasarnya adalah nomina atau verba (2006:122). Verba bentuk kok- dalam penelitian ini ditemukan hanya satu kata yakni pada kata
8 kokapain, tetapi verba bentuk ini dalam bahasa Jawa kemungkinan digunakan masih banyak misalnya kokgunting, kokpangan, kokmamah dan sebagainya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa morfem {-a} pada kata ginia, ndeloka, ngonoa, dan sabtua tergolong morfem yang hanya memiliki satu fonem yaitu /a/, yang berasal dari morfem bahasa Jawa. Morfem {-a} sebagai akhiran berfungsi (1) sebagai pemarkah tanya, dan (2) penekan atau penegas pembicaraan baik perintah maupun perbuatan yang dilakukan pembicara. Hal ini sesuai dengan pendapat Oka dan Suparno ( 1995:152-153). yang mengemukakan bahwa kata akua, wania, dadia yang diambil dari bahasa Jawa dialek Jawa Timur memiliki morfem segmental yang hanya terbentuk dari satu fonem, yakni morfem {-a} yang berarti ‘apakah’ sebagai morfem pemarkah tanya. Kesimpulan dan saran Karakteristik struktur monomorfemis tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni struktur monomorfemis monosilabis dan struktur monomorfemis polisilabis. Kata-kata berkonstruksi monomorfemis monosilabis yang digunakan siswa berkategori nomina, pronomina, konjungsi, preposisi dan kategori fatis. Sebagian besar katakata monosilabis yang digunakan siswa tidak bisa dibentuk menjadi kata yang lebih besar atau kompleks, karena kata-kata tersebut termasuk kata fungsi atau kata yang berkategori fatis. Struktur kata monomorfemis monosilabis siswa tergolong ragam nonstandar dan sering digunakan dalam pertuturan verbal. Struktur kata polimorfemis tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang diklasifikasikan menjadi tujuh, yaitu (1) struktur kata berprefiks, (2) struktur kata bersufiks, (3) struktur kata berkonfiks, (4) struktur kata berkombinasi imbuhan, (5) struktur kata ulang, (6) struktur kata majemuk dan (7) struktur kata abreviasi. Secara khusus, karakteristik struktur kata tuturan verbal siswa keturunan Tionghoa di kota Malang ini ditandai oleh penggunaan struktur kata dari dua bahasa yang ada di lingkungannya. Struktur dua bahasa yang dimaksudkan adalah struktur bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Pencampuran struktur bahasa Indonesia dan bahasa Jawa mengakibatkan terbentuknya struktur kata yang khas pada siswa keturunan Tionghoa. Kata bacaen, ginia, kurang-kurange, bersihin, kecepetan, ndik mana, ndik situa, gak isa dan entik, merupakan bentuk campuran struktur antara
9 bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bentuk-bentuk ini sering digunakan dalam tuturan verbal informal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, saran ditujukan kepada guru bahasa Indonesia, guru-guru di SMA terutama di sekolah-sekolah yang mayoritas pebelajarnya banyak keturunan Tionghoa, Kepala Sekolah agar dalam melaksanakan pembelajaran lebih memperhatikan terjadinya interferensi pada kegiatan berbahasa siswa dan hendaknya lebih menekankan lagi kepada penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Kepada orang tua dan masyarakat terutama ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya agar selalu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Hal ini bisa melalui proses inkulturasi di lingkungan keluarga. Daftar Rujukan Alisyahbana, Sutan Takdir. 1957. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat. Bloomfield, Leonard. 1961. Language. London: George Allen & Unwin Ltd. Chaer, Abdul. 1988. Penggunaan Imbuhan Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah. Clark, Virginia P. dkk. 1981. Language: Introductory Readings. New York: ST. Martin’s Press. Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln. 1994. Handbook of Qualitative Research. London: SAGE Publication. Ibrahim, Abd. Syukur (ed). 1986. Analisis Bahasa untuk Pengajaran Bahasa. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Markhamah. 2000. Etnis China: Kajian Linguistik Kultural. Surakarta: UM Press. Oka, I. Gusti Ngurah. 1978. Pembinaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan. Malang: Almamater. Oka dan Suparno, 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Richards, Jack C. dkk. 1999. Dictionary of Language Teaching & Apllied Linguistics. Malaysia: Longman. Samsuri. 1991. Analisa Bahasa. Surabaya: Penerbit Erlangga. Soedjito. 1990. Kosa Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Soedjito. 1995. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang.
10 Sutambar, Bambang. 1980. Kemampuan Berbicara dalam Bahasa Indonesia Siswa Kelas III SMA (WNI Keturunan Cina) SMA Kolose Santo Yusuf Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FPBS IKIP Malang. Syafi’ie, Imam. 1990. Bahasa Indonesia Profesis. Malang: FPBS IKIP Malang. Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Pengembangan Modul Pembelajaran Matakuliah Umum Bahasa Indonesia pada Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Iwan Setiawan Abstract: Indonesian Instructional in university use has communicative approach, namely Indonesian Instructional in which orientate to aim to develop communicative competence. Therefore, Indonesian Instructional in college should be oriented to achievement of proficiency in Indonesian. This Research is development research that aim to yield product (1) syllabus, (2) module of Indonesian general subject (MKU BI) at Law Faculty in Wisnuwardhana University Malang, and (3) student’s work sheet. The development of this syllabus and module used development model of instructional sets which had special goal. Instructional design model of this Indonesian general subject (MKU BI) was done based on the model of adaptation result of the development model of Dick & Carey. Perguruan tinggi sebagai pusat kegiatan ilmiah perlu diberikan peran yang luas untuk mengembangkan diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, dan sebagai pusat pembentukan kader pembaharuan bangsa. Berkenaan dengan hal tersebut, kemampuan berbahasa Indonesia besar manfaatnya dalam komunikasi keilmuan, teknologi, dan kebudayaan. Hal itu menjadi salah satu pemikiran bahwa pembelajaran Matakuliah Umum Bahasa Indonesia di perguruan tinggi dirasa perlu. Berkaitan dengan hal tersebut, eksistensi BI di masa mendatang akan banyak ditentukan oleh kualitas berbahasa Indonesia penggunanya dalam pengembangan dan pemanfaatan ipteks modern. Pembelajaran Matakuliah Umum (MKU) di perguruan tinggi merupakan kesempatan terakhir secara formal bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa
Iwan Setiawan adalah dosen Universitas Wisnuwardhana Malang. Artikel ini diangkat dari Tesis Magister Pendidikan, Program Pascasarjana universitas Negeri Malang, 2009
2
Indonesia. Oleh karena itu, pembelajaran MKU Bahasa Indonesia hendaknya diorientasikan pada aspek kemahiran berbahasa Indonesia. Sedangkan pengetahuan dasar tentang BI diasumsikan telah diperoleh di jenjang sebelumnya. Dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang dimilikinya, kaum terpelajar diharapkan dapat memiliki profesional di bidangnya dan dapat mengemukakan gagasan keilmuan sesuai dengan disiplin keilmuannya. MKU BI di Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Malang merupakan salah satu MKU yang disajikan pada seluruh fakultas dan seluruh program studi di luar program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, yakni di Fakultas Psikologi, Pertanian, Ekonomi, Hukum, Teknik, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika dan PPKn. Pembelajaran MKU BI pada keenam fakultas tersebut dilaksanakan oleh dosen program studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dosen yang diberi tugas mengajarkan MKU BI bertanggung jawab mulai dari merancang silabus hingga evaluasi pembelajaran. Dengan demikian, perencanaan pembelajaran MKU BI di Unidha diserahkan pada masing-masing dosen yang diberi tugas mengajarkan matakuliah. Hal itu mengakibatkan adanya aneka ragam silabus MKU BI di Unidha sesuai dengan versi masing-masing dosen yang merancangnya. Kenyataan ini terjadi karena di Unidha belum terbentuk lembaga khusus yang mengatur pelaksanaan pembelajaran MKU. Hal ini mengakibatkan program pembelajaran MKU BI dimungkinkan belum memenuhi tujuan dan karakteristik kebutuhan pembelajaran, khususnya mahasiswa. Di samping itu, materi pembelajaran MKU BI belum dikembangkan secara sistematis
3
dalam bentuk bahan ajar berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran. Kenyataan ini menimbulkan kesulitan bagi mahasiswa untuk memperoleh bahan untuk belajar. Demikian pula, kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan lebih banyak didominasi oleh dosen. Mahasiswa kurang diberi kesempatan untuk berpartisipasi sehingga cenderung pasif. Situasi belajar yang demikian terjadi karena dosen tidak merancang sajian materi yang melibatkan peran serta mahasiswa dalam kegiatan belajarmengajar. Keadaan yang demikian menyebabkan efisiensi dan aktivitas pembelajaran menjadi rendah dan akhirnya pencapaian tujuan pembelajaran kurang optimal. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dikembangkan program pembelajaran MKU BI yang dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran. Adapun hasil pengembangan yang memenuhi harapan tersebut adalah model silabus dan materi dalam bentuk modul pembelajaran yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran. Oleh karena itu, silabus hendaknya disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan pembelajaran. Rossets (Dick & Carey, 1990) serta Kaufman dan English (Suparman, 2005) menyarankan berkaitan dengan hal ini, pihak penentu kebutuhan pembelajaran adalah mahasiswa, masyarakat, dan pendidik (termasuk pengajar dan pengelola pendidikan). Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan silabus perlu didasarkan pada pendekatan tertentu. Sebagai salah satu program pengajaran bahasa, pengembangan model silabus MKU BI perlu berorientasi pembelajaran MKU BI pada pencapaian keterampilan
berbahasa,
maka
pembelajarannya
perlu
dititikberatkan
pada
pendekatan komunikatif. Berdasarkan pendekatan komunikatif, bahasa adalah sarana
4
untuk berkomunikasi. Dengan demikian, pembelajaran bahasa hendaknya bertujuan mencapai kemampuan berkomunikasi dalam bahasa itu. Pembelajaran berbahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif merupakan pembelajaran bahasa yang bertujuan membentuk kemampuan atau kompetensi komunikatif. Bertolak dari orientasi pembelajaran MKU BI, maka kompetensi komunikatif yang hendak dicapai adalah kemampuan menggunakan BI baik lisan maupun tulis dalam komunikasi keilmuan dan profesinya di kemudian hari. Berdasarkan pendekatan komunikatif, sebelum sebuah program pembelajaran disusun dan diimplementasikan perlu dilakukan analisis kebutuhan. Rechterich (1983) mengemukakan bahwa sangat esensial untuk menentukan pembelajaran secara akurat, yakni penetapan tujuan yang tidak mengacu pada data yang diasumsikan, atau yang teoritis. Pembelajaran MKU BI di Unidha secara umum bertujuan agar mahasiswa terampil menggunakan BI baik secara lisan maupun tulis untuk menunjang keberhasilan matakuliah lain dan profesinya di kemudian hari. Mahasiswa program studi Ilmu Hukum misalnya, perlu memiliki keterampilan menulis gagasan keilmuan di bidangnya, kemungkinan juga membutuhkan sejumlah pengetahuan mengenai struktur bahasa hukum yang digunakan di Indonesia, sejumlah pemahaman mengenai pola-pola kalimat kaidah hukum, dan lain-lain (Adiwidjaja dan Hartini, 2002). Dengan model silabus yang berorientasi pada karakteristik kebutuhan pembelajar diharapkan pembelajaran MKU BI lebih bermakna, karena dapat mendukung keprofesionalan pembelajar di bidang masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut,
5
untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran MKU BI, perlu disusun materi pembelajaran MKU BI berdasarkan tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan pembelajaran program studi. Pengembangan modul
sebagai
salah satu
bentuk
penyajian
materi
pembelajaran menjadi alternatif dalam memecahkan masalah-masalah pembelajaran. Pembelajaran dengan modul dapat mengatasi suatu masalah pembelajaran yang kurang merangsang minat mahasiswa/siswa untuk belajar, dan pembelajaran yang sangat besar memerankan dosen/guru seperti dalam pembelajaran tradisional. Dengan demikian, pengembangan modul pembe-lajaran sebagai salah satu bentuk materi pembelajaran bisa lebih efektif daripada pembelajaran tradisional. Hal ini menjamin agar mahasiswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing, sehingga pendidikan yang bertujuan untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi dapat tercapai secara optimal. Modul pembelajaran yang merupakan wujud pengembangan silabus dan materi pembelajaran MKU BI pada Fakultas Hukum merupakan modul yang dapat digunakan untuk belajar mahasiswa secara mandiri atau individual, sebab dalam modul memuat: (1) tujuan pembelajaran yang khas, (2) lembaran petunjuk tentang cara belajar dengan modul secara efisien, (3) bahan bacaan, (4) lembar kunci jawaban sebagai umpan balik, dan (5) alat-alat evaluasi belajar. Di samping itu, belajar dengan menggunakan modul memiliki beberapa kelebihan, antara lain: (1) lebih mengutamakan proses belajar daripada mengajar, (2) rumusan tujuan belajarnya jelas, (3) mengutamakan cara belajar secara aktif, (4) menggunakan banyak balikan dan evaluasi, (5) memperhatikan perbedaan
6
kemampuan individu mahasiswa, (6) motivasi belajar setiap individu lebih tinggi, (7) pembelajaran lebih efektif, (8) mahasiswa dapat mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan telah dicapai, (9) mahasiswa dapat mengetahui bahan pembelajaran yang belum dikuasai, (10) mahasiswa dapat menerima umpan balik mengenai tingkat keberhasilan, dan (11) ada waktu untuk memperbaiki hal-hal yang belum diselesaikan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perangkat pembelajaran berupa modul pembelajaran untuk MKU BI pada Fakultas Hukum di samping isinya sesuai dengan silabus yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran dengan memasukkan komponen-komponen modul yang memungkinkan dapat memudahkan belajar mahasiswa, perangkat pembelajaran berupa modul pembelajaran tersebut sangat diperlukan kehadirannya. Dengan demikian, penggunaan modul pembelajaran ini memungkinkan siswa belajar mandiri dan berinteraksi langsung dengan materi yang sedang dipelajarinya. Pembelajaran bahasa untuk tujuan khusus merupakan pembelajaran bahasa yang diorientasikan pada tujuan atau bidang tertentu. Begitu juga dengan pembelajaran BI di perguruan tinggi. Pembelajaran BI sebagai MKU di perguruan tinggi perlu dirancang berdasarkan tujuan khusus sebagaimana yang telah diterapkan dalam pembelajaran bahasa untuk tujuan khusus. Hal ini diperlukan karena tujuan pembelajaran BI di perguruan tinggi diharapkan dapat meningkatkan kemahiran berbahasa Indonesia mahasiswa dalam mengungkapkan gagasan keilmuan dan mendukung keprofesionalan sesuai dengan bidang studinya. Demikian juga dengan
7
pembelajaran Bahasa Indonesia Hukum untuk mahasiswa Fakultas Hukum merupakan pembelajaran BI untuk tujuan khusus. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pembelajaran BI harus menggunakan pendekatan komunikatif dalam merancang pembelajaran BI bertujuan khusus tersebut. Berdasarkan pendekatan komunikatif, pembelajaran BI akan berorientasi pada pengembangan kompetensi komunikatif, artinya, pembelajaran BI tersebut akan membekali mahasiswa sejumlah pengetahuan dan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks komunikasi seutuhnya. Proses pembelajaran berpendekatan komunikatif menekankan pada penggunaan bahasa, bukan mempelajari pengetahuan tentang bahasa. Oleh karena itu, pengembangan silabus dan materi pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan khusus dalam bentuk modul pembelajaran dikembangkan setelah dilakukan analisis kebutuhan berbahasa mahasiswa. Model pengembangan silabus dan materi pembelajaran bahasa Indonesia untuk tujuan khusus dalam bentuk modul pembelajaran ini berpendekatan komunikatif menempuh langkah-langkah pengembangan pembelajaran sebagai berikut. Pertama, tahap mengidentifikasi, tahap ini diawali dengan mengiden-tifikasi kebutuhan dan menentukan tujuan pembelajaran. Terdapat tiga kelompok orang yang dapat dijadikan sumber informasi dalam mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran, yaitu (a) mahasiswa yang telah menempuh MKU BI, (b) mahasiswa yang belum menempuh MKU BI, dan (c) pengelola program pendidikan. Sumber informasi mengenai kebutuhan pembelajaran ini juga dapat diperoleh dari kajian pustaka
8
mengenai karakteristik bahasa Indonesia bertujuan khusus, yakni bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum. Secara umum, informasi yang dicari dalam proses mengidentifikasi kebutuhan pembelajar ini adalah kompetensi apa saja yang seharusnya dikuasai dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, informasi mengenai kebutuhan pembelajaran dapat digunakan untuk merumuskan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang perlu diajarkan kepada mahasiswa.
Selanjutnya,
hasil
tersebut
dijadikan
dasar
perumusan
tujuan
pembelajaran. Setelah kegiatan mengidentifikasi kebutuhan dan menentukan tujuan pembelajaran, kegiatan dilanjutkan dengan melaksanakan analisis pembelajaran yang merupakan proses penjabaran perilaku umum menjadi perilaku khusus yang disusun secara logis dan sistematis. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku khusus yang dapat menggambarkan perilaku umum secara lebih terinci. Dalam kegiatan analisis pembelajaran ini memperhatikan pula empat ranah belajar yang meliputi: keterampilan psikomotor, keterampilan kognitif, informasi verbal, dan sikap. Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa merupakan kegiatan mengenali kemampuan awal dan karakteristik mahasiswa agar dapat mengembangkan program pembelajaran yang efektif. Berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal dan karakteristik awal ini, misalnya dengan memberi angket, wawancara, observasi, dan tes kepada mahasiswa sebelum mengikuti pembelajaran. Hasil kegiatan ini diperlukan untuk dijadikan pedoman
9
menetapkan perilaku-perilaku khusus hasil kegiatan ini diperlukan untuk dijadikan pedoman menetapkan perilaku-perilaku yang perlu dibelajarkan kepada mahasiswa. Sedangkan informasi mengenai karakteristik mahasiswa dilakukan untuk mengetahui minat mahasiswa, bidang pengetahuan yang diinginkan untuk menjadi keahliannya, dan hal-hal yang dianggap penting bagi pengembangan program pembelajaran. Kedua, tahap mengembangkan. Tahap ini diawali dengan merumuskan tujuan khusus pembelajaran, rumusan tujuan pembelajaran khusus ini dimanfaatkan sebagai perian untuk tentang apa yang akan dilakukan mahasiswa setelah mempelajari suatu topik tertentu. Kegiatan pada langkah ini menghasilkan rumusan tujuan pembelajaran khusus secara lengkap pada tiap-tiap topik dan subtopik. Kegiatan berikutnya adalah mengembangkan instrumen evaluasi dengan kriteria yang telah ditetapkan, langkah ini ditempuh untuk memperoleh alat evaluasi untuk mengukur tingkat pencapaian perilaku mahasiswa yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran khusus. Menyusun dan memilih materi pembelajaran merupakan kegiatan berikutnya setelah kegiatan-kegiatan di atas. Materi pembelajaran disusun secara seleksi, pengelompokan, dan pengurutan dengan berdasarkan isi pembelajaran yang telah dijabarkan dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Secara keseluruhan penyusunan dan pemilihan materi pembelajaran bertolak dari hasil pengembangan langkahlangkah dalam menganalisis kebutuhan pembelajaran sampai dengan penetapan tujuan pembelajaran. Dalam pengembangan ini, lebih lanjut materi pembelajaran dikembangkan dalam bentuk modul pembelajaran. Dalam menyusun dan memilih materi pembelajaran disertai pula dengan mengembangkan strategi pembelajaran
10
yang
merupakan
langkah
perancangan
prosedur
yang
sistematis
dalam
mengomunikasikan materi pembelajaran MKU BI kepada mahasiswa agar tujuan pembelajaran yang telah dilakukan tercapai.
METODE Pengembangan modul matakuliah Bahasa Indonesia pada Fakultas Hukum ini menggunakan Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bertujuan Khusus (P3BK). Model pengembangan ini merupakan hasil adaptasi dari model yang telah dikembangkan, yaitu Model pengembangan Dick & Carey (1990). Langkah-langkah yang
ditempuh
berdasarkan
model
pengembangan
tersebut
adalah:
(1)
mengidentifikasi kebutuhan (analisis kebutuhan) sebagai dasar pertimbangan pengembangan
silabus,
(2)
menentukan
tujuan
pembelajaran
umum,
(3)
melaksanakan analisis pembelajaran, (4) mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa, (5) menentukan tujuan pembelajaran khusus, (6) mengembangkan butir tes yang kriterianya telah ditetapkan, (7) mengembangkan strategi pembelajaran, (8) menyusun dan memilih materi pembelajaran, (9) pengembangan modul pembelajaran dan melakukan evaluasi formatif, dan (10) merevisi modul pembelajaran. Dipilihnya model pengembangan ini, didasari beberapa pertimbangan, yaitu (1) terpenuhinya beberapa komponen dasar yang perlu dikembangkan dalam program pembelajaran, yaitu tujuan, pemilihan materi, strategi, dan evaluasi, (2) ketepatan model tersebut dalam menetapkan sejumlah komponen yang prosedural, (3) landasan
11
teoritiknya bersifat perspektif yang berorientasi pada tujuan (goal oriented), (4) memenuhi tiga komponen utama dalam teori belajar, yaitu metode, kondisi, dan hasil, (5) dapat digunakan untuk merancang pembelajaran baik secara klasikal maupun individual, (6) dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar dalam ranah kognitif, afektif, psikomotor, dan informasi verbal, (7) dapat digunakan untuk memecahkan masalah pembelajaran bahasa, khususnya dalam mengembangkan modul pembelajaran MKU BI agar pembelajarannya lebih efektif dan efisien. Agar modul yang dihasilkan layak digunakan perlu diujicobakan terlebih dahulu. Uji coba produk pengembangan dilakukan beberapa tahap. Paling tidak tahapan yang dilaksanakan dalam uji coba produk mencakup (1) uji ahli, yang meliputi (a) penilaian ahli perancangan pembelajaran secara umum, (b) penilaian ahli isi bidang studi, (c) penilaian ahli bahasa, dan (2) uji coba kelompok kecil, yakni kelompok mahasiswa sebagai sasaran pembelajar yang sesungguhnya. Subjek coba dalam penelitian ini terdiri atas (1) ahli di bidang peran-cangan pembelajaran, (2) ahli di bidang isi bidang studi dan bahasa, (3) mahasiswa peserta perkuliahan MKU BI di Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang. Jenis data pada pengembangan ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa informasi yang diperoleh dengan menggunakan angket dan tes. Sedangkan data kualitatif berupa (1) informasi mengenai program pembelajaran MKU BI yang diperoleh melalui wawancara dengan dosen MKU BI di Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang, (2) informasi mengenai program pembelajaran MKU BI yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak pengelola
12
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang, (3) masukan, tanggapan, dan saran perbaikan berdasarkan hasil penilaian ahli yang diperoleh melalui wawancara/konsultasi dengan ahli perancangan pembelajaran dan ahli isi bidang studi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan
analisis
kebutuhan
mahasiswa
yang
dilakukan
dapat
dikemukakan bahawa mahasiswa berkeiginan untuk: (1) menyelesaikan tugas/latihan, (2) memberikan informasi melalui ceramah dari dosen, (3) mencipta/berkarya secara individu, (4) melakukan aktivitas berbahasa di kelas, (5) menganalisis model, (6) menelaah informasi dengan berdiskusi, (7) memberikan evaluasi terhadap model, (8) menelaah informasi dengan belajar sendiri, (9) mencipta/berkarya secara kelompok, dan (10) melaporkan hasil kaji informasi. Sedangkan urutan peringkat kebutuhan kegiatan dosen adalah sebagai berikut: (1) memandu pelatihan, (2) memberikan informasi melalui ceramah, (3) memberikan balikan, dan (4) membimbing diskusi. Kebutuhan bentuk materi ajar mencakup sejumlah aspek, yaitu (1) buku teks, (2) buku latihan, (3) buku teks yang dilengkapi latihan-latihan, dan (4) modul pembelajaran individual. Data mengenai tingkat kebutuhan bentuk materi dalam tiaptiap aspek tampak diketahui bahwa urutan peringkat kebutuhan mahasiswa FH Unidha terhadap bentuk materi MKU BI adalah (1) modul pembelajaran individual, (2) buku teks yang dilengkapi latihan-latihan, (3) buku teks, dan (4) buku latihan. Bertolak dari hasil analisis kebutuhan terhadap bentuk materi tersebut maka materi
13
pembelajaran MKU BI dikembangkan dalam bentuk modul pembelajaran individual. Kebutuhan akan bentuk materi ini juga dikemukakan oleh pihak pengelola pendidikan di FH Unidha. Berdasarkan beberapa temuan tersebut, dapat dikemukakan beberapa hal berikut ini. Pertama, sasaran akhir pembelajaran MKU BI diorientasikan pada keterampilan tentang bahasa bukan pengetahuan berbahasa. Informasi ini menunjukkan bahwa pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha menghendaki bahwa pembelajaran MKU BI diorientasikan pada pencapaian keterampilan berbahasa Indonesia. Kedua, menurut pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha, keterampilan berbahasa yang paling penting bagi mahasiswa FH Unidha adalah keterampilan menulis. Keterampilan menulis dianggap perlu dimiliki oleh mahasiswa karena berdasarkan pengamatan pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha mahasiswa, mahasiswa FH Unidha memiliki kemampuan yang kurang dalam menulis. Hal ini terutama tampak pada saat mahasiswa menulis skripsi. Dari skripsi yang telah tersusun diketahui bahwa mahasiswa banyak melakukan kesalahankesalahan dalam menyusun paragraf, kalimat, atau memilih kata yang tepat. Kesalahan lain banyak terjadi berkitan dengan teknik penulisan. Dengan dibekali keterampilan menulis karya ilmiah yang memadai, mahasiswa diharapkan dapat menyusun skripsi atau tulisan ilmiah lainnya dengan baik. Ketiga, tujuan akhir pembelajaran MKU BI di FH Unidha adalah mahasiswa terampil berbahasa Indonesia dalam komunikasi keilmuan di bidangnya, yakni Ilmu
14
Hukum. Tujuan akhir pembelajaran MKU BI menurut pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha ini sejalan dengan tujuan pendidikan tinggi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI nomor 30 tahun 1990, yaitu menyiapkan mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional, juga memiliki kemampuan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan Iptek kepada masyarakat. Berdasarkan pendekatan komunikatif, pembelajaran bahasa berorientasi pada prinsip bahwa tujuan utama pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kompetensi komunikatif (Huda, 1988). Untuk mencapai tujuan tersebut proses belajar-mengajar hendaknya ditekankan pada penggunaan bahasa bukan mempelajari pengetahuan tentang bahasa (Finnochiaro dan Brumfit, 1983). Keempat, untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan berbahasa mahasiswa perlu dilakukan penelitian analisis kebutuhan. Pernyataan ini memperkuat pentingnya dilakukan analisis kebutuhan agar dapat diketahui secara tepat kebutuhan mahasiswa FH Unidha Malang terhadap bahasa Indonesia. Untuk keperluan ini, perlu dibedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Menurut Suparman (1991) kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang dengan yang seharusnya. Kebutuhan yang menjadi prioritas untuk dipecahkan merupakan masalah. Sedangkan keinginan terkait dengan pemecahan terhadap suatu masalah. Dalam kegiatan analisis kebutuhan, informasi yang diperoleh dari pembelajar sering tumpang tindih antara kebutuhan dan keinginan pembelajar. Oleh karena itu, untuk menentukan kebutuhan yang menjadi prioritas untuk dipecahkan perlu digali
15
informasi dari pihak-pihak lain yang terkait dalam proses pembelajaran, misalnya dosen dan pihak pengelola program pendidikan. Kelima, untuk peningkatan efektivitas pembelajaran MKU BI perlu dirancang silabus berdasarkan tujuan khusus sesuai bidang studi mahasiswa. Silabus berdasarkan tujuan khusus dikembangkan untuk diimplementasikan dalam rangka menyelesaikan masalah pembelajaran yang ditemukan dalam kegiatan analisis kebutuhan. Dengan silabus berdasarkan tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan mahasiswa FH Unidha diharapkan masalah kurangnya keterampilan berbahasa Indonesia mahasiswa dalam komunikasi keilmuan di bidang hukum dapat ditingkatkan. Keenam, langkah yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kegiatan belajarmengajar MKU BI adalah mengembangkan materi pembelajaran yang memadai, merancang strategi yang bervariasi, menggunakan media yang menarik, dan merancang kegiatan pembelajaran yang terpusat pada mahasiswa. Upaya tersebut merupakan cara yang tepat untuk memperbaiki kualitas pembelajaran MKU BI yang telah dilaksanakan di FH Unidha. Berdasarkan data yang diperoleh dari mahasiswa yang telah menempuh MKU BI dan dosen MKU BI di FH Unidha diketahui bahwa (1) mahasiswa kesulitan dalam menemukan bahan untuk belajar, (2) materi pembelajaran MKU BI belum dikembangkan secara memadai, (3) cara penyajian yang banyak digunakan adalah ceramah, (4) dosen kurang memanfaatkan media pembelajaran, dan (5) kegiatan pembelajaran didominasi oleh dosen. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran MKU BI, langkah-langkah perbaikan program
16
pembelajaran berdasarkan masukan dari pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha tersebut sangat tepat dilakukan. Ketujuh, bentuk materi yang tepat digunakan dalam pembelajaran MKU BI adalah buku teks yang dilengkapi tugas-tugas dan unsur-unsur penunjang pembelajaran. Pengembangan materi pembelajaran yang dilengkapi dengan tugastugas atau soal latihan diperlukan untuk mengetahui pemahaman mahasiswa terhadap topik yang dibahas sekaligus memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berlatih menggunakan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Oleh karena tujuan utama pembelajaran MKU BI yang ingin dicapai adalah meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia dalam komunikasi keilmuan sesuai dengan bidang studi mahasiswa secara tertulis, yakni keilmuan bidang hukum, maka latihan-latihan hendaknya diberikan untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut. Upaya ini sejalan dengan teori belajar bahasa yang mendasari pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa, yaitu (1) prinsip komunikasi, (2) prinsip tugas, dan (3) prinsip kebermaknaan. Prinsip komunikasi berorientasi pada kegiatan yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang dapat meningkatkan kegiatan belajar-mengajar. Prinsip tugas mengacu pada kegiatan pemakaian bahasa untuk melaksanakan tugas yang bermakna sehingga dapat meningkatkan kegiatan belajar-mengajar. Prinsip kebermaknaan dijadikan sebagai dasar bahwa pembelajaran bahasa yang bermakna bagi siswa akan menjadi pendorong siswa untuk mempelajari bahasa tersebut. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka pencanangan program pembelajaran bahasa
17
harus mempertimbangkan pelibatan pembelajar dalam kegiatan penggunaan bahasa yang otentik dan bermakna. Kedelapan, pada saat ini belum ada kemungkinan bahwa jumlah jam pelajaran MKU BI di FH Unidha Malang dapat ditambah dari 2 jam menjadi 3 atau 4 jam
pelajaran.
Dengan
keterbatasan
jam
pelajaran
tersebut,
pengembang
pembelajaran dituntut untuk dapat mengidentifikasi prioritas kebutuhan mahasiswa. Penentuan prioritas kebutuhan ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hasil identifikasi kemampuan awal dan karakteristik mahasiswa (minat dan motivasi). Langkah ini ditempuh untuk menentukan prioritas topik dan solusi lain yang dapat dilakukan. Kesembilan, keterampilan berbahasa Indonesia dalam komunikasi ilmiah yang paling penting adalah menulis (skripsi). Informasi dari pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan prioritas kebutuhan berbahasa Indonesia sebagai masalah yang akan diselesaikan melalui kegiatan pembelajaran MKU BI. Berdasarkan masukan dari pihak pengelola program pendidikan di FH Unidha tersebut, maka prioritas kebutuhan berbahasa Indonesia mahasiswa yang dianggap sebagai masalah mendesak adalah peningkatan keterampilan menulis dalam komunikasi ilmiah dan hukum. Kesepuluh, keterampilan berbahasa Indonesia dalam komunikasi hukum yang paling penting adalah pidato/presentasi profesi hukum (lisan) dan menulis naskah Berita Acara Pemeriksaan, serta
menulis naskah Perundang-undangan (tulis).
Pentingnya keterampilan berbahasa Indonesia dalam komunikasi hukum tersebut
18
didasari pemikiran bahwa keterampilan tersebut dapat mendukung keprofesionalan mahasiswa sesuai dengan bidangnya. Namun, karena keterbatasan jumlah jam pelajaran yang diberikan dalam MKU BI maka apabila keterampilan berbahasa Indonesia dalam komunikasi hukum yang meliputi pidato/presentasi profesi hukum (lisan) dan menulis naskah BAP maupun Perundang-undangan (tulis) dimasukkan dalam program pembelajaran MKU BI dikhawatirkan mahasiswa justru tidak akan memperoleh keterampilan yang memadai. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Berdasarkan identifikasi karakteristik mahasiswa didapatkan temuan-temuan bahwa mahasiswa FH Unidha memiliki motivasi yang tinggi untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulis dalam mengomunikasikan gagasan keilmuan di bidangnya dan berkomunikasi hukum untuk mendukung profesinya di masa mendatang. Berdasarkan uji ahli terhadap silabus dan modul pembelajaran MKU BI dapat dikemukakan sebagai berikut. Komponen silabus, secara umum telah memenuhi kelayakan produk berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persentase penilaian ahli rancangan pembelajaran (yang sekaligus ahli isi). Secara berturut-turut persentase kelayakan produk komponen silabus yang telah dikembangkan adalah sebagai berikut: (a) kejelasan identitas matakuliah dinilai sangat jelas (100%), kejelasan deskripsi matakuliah dinilai sangat jelas (100%), kejelasan tujuan pembelajaran dinilai sangat jelas (100%), kesesuaian topik dan subtopik dinilai sesuai (75%), ketepatan hubungan antara topik dan subtopik dinilai
19
sangat tepat (100%), ketepatan kegiatan pembelajaran dinilai tepat (75%), ketepatan pemilihan media pembelajaran yang digunakan dinilai tepat (75%), serta tepatan sumber belajar yang digunakan dinilai tepat (75%). Berdasarkan persentase penilaian masing-masing komponen silabus tersebut diketahui bahwa kelayakan silabus mencapai 87,5%. Dengan demikian, produk pengembangan khususnya produk pengembangan silabus telah memenuhi kelayakan yang tinggi berdasarkan kriteria penilaian produk yang telah ditetapkan, yakni tingkat kelayakan mencapai 81% 100%. Komponen Modul Matakuliah secara umum termasuk dalam kategori sangat baik. Pada segi perwajahan, sampul modul, tata letak maupun jenis dan besar huruf dinilai sangat baik (100%). Pada daftar isi, tata letaknya sangat tepat (100%), sangat jelas (100%), dan tampilannya menarik 975%). Pada petunjuk penggunaan modul, tata letaknya sangat tepat (100%), isi petunjuknya jelas (75%), dan tampilannya sangat menarik (100%). Pada bagian prasyarat, tata letaknya sangat tepat (100%), isinya jelas (75%), serta tampilannya sangat menarik
(100%). Pada tujuan
pembelajaran, tata letaknya sangat tepat (100%), rumusan tujuan umum sudah sangat sesuai dengan tujuan khusus (100%), perilaku yang diharapkannya pun sangat jelas (100%), dan tampilannya menarik (75%). Pada bagian pengantar, tata letaknya sangat tepat (100%), isinya jelas (75%), dan tampilannya sangat menarik (100%). Hal yang perlu ditambahkan pada bagian pengantar ini adalah adanya informasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu modul pada setiap bagian modul (pengantar). Pada bagian uraian materi, tata letaknya sangat tepat (100%), isinya
20
sangat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (100%), isinya sangat sesuai dengan topik dan subtopik (100%), uraian isinya jelas (75%), isi (kelogisan urutan) tepat (75%), jenis huruf dan besar huruf sangat tepat (100%), jarak spasi sudah tepat (75%), dan tampilannya sangat menarik (100%). Hal yang perlu diperhatikan pada bagian ini adalah perlunya tampilan isi yang lebih bervariatif dengan menambahkan unsur-unsur yang berfungsi untuk mempertahankan perhatian pengguna. Pada bagian rangkuman, tata letaknya sangat tepat (100%), rangkuman dan kejelasan isi rangkuman sesuai dengan materi (75%), dan tampilannya sangat menarik (100%). Hal yang perlu diperbaiki pada bagian rangkuman ini adalah butiran-butiran dalam rangkuman sebaiknya disarankan dengan rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Pada bagian latihan, tata letaknya sangat tepat (100%), soal latihan sesuai dengan tujuan (75%), ungkapan soal sudah jelas (75%), dan tampilannya pun menarik (75%). Pada bagian umpan balik dan tindak lanjut, tata letaknya sanat tepat (100%), maksudnya sangat jelas (100%), dan tampilannya pun menarik (75%). Pada bagian bahan bacaan, tata letaknya sangat tepat (100%), daftar bacaan sesuai dengan topik dan subtopik (100%), ketepatan daftar bacaan terhadap keterbacaan mahasiswa (75%), dan tampilannb nya menarik (75%). Pada bagian kunci jawaban, tata letaknya sangat tepat (100%), kunci jawaban sesuai dengan latihan (75%), kunci jawaban telah jelas (75%), dan tampilannya menarik (75%). Hasil evaluasi ahli isi terhadap produk pengembangan Modul Matakuliah “Bahasa Indonesia” bidang Ilmu Hukum adalah sebagai berikut.
21
Berdasarkan hasil penilaian ahli isi bidang studi, produk pengem-bangan yang berupa modul MKU BI secara umum telah memiliki kesesuaian isi materi dalam topik dan subtopik dengan rumusan tujuan yang telah ditetapkan, meskipun terdapat dua subtopik yang kurang sesuai. Saran ditujukan untuk meniadakan atau tidak perlu mengulas kedua subtopik tersebut karena kurang penting. Dengan demikian, pengembang perlu melakukan revisi produk berkenaan dengan uraian isi materi pembelajaran yang dituangkan dalam modul MKU BI yang telah disusun dengan meniadakan kedua subtopik yang kurang penting. Hasil evaluasi ahli bahasa terhadap produk pengembangan Modul Matakuliah “Bahasa Indonesia” bidang Ilmu Hukum adalah sebagai berikut. Berdasarkan hasil penilaian ahli bahasa, produk pengembangan yang berupa modul MKU BI yang disertai juga dengan Panduan Dosen tergolong kualifikasi baik, karena mencapai 82,81%. Hal ini berarti produk memiliki kualifikasi kelayakan yang baik. Dengan demikian, pengembang tidak perlu melakukan revisi produk berkenaan dengan bahasa yang digunakan dalam modul yang telah disusun. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa modul MKU BI secara umum telah memenuhi kelayakan produk berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini ditunjukkan dengan persentase hasil uji coba produk pada kelompok kecil mahasiswa. Berturut-turut persentase kelayakan produk masingmasing komponen modul adalah sebagai berikut: (1) komponen petunjuk dinilai memiliki kelayakan 80,2%, hal ini berarti bahwa komponen petunjuk pada modul mudah dipahami; (2) sebagaian besar (84,4%) mahasiswa berpendapat bahwa
22
komponen tujuan dalam modul sudah dapat menunjukkan perilaku yang diharapkan pada saat selesai membaca modul; (3) sebagian besar (83,2%) mahasiswa menyatakan bahwa uraian materi modul sesuai dengan tujuan, demikian pula uraian materi topik sudah sesuai dengan subtopik dalam modul; (4) sebagaian besar (80,5%) mahasiswa berpendapat bahwa rangkuman yang tedapat dalam modul sudah sesuai dengan materi, bahkan rangkuman tersebut membantu mahasiswa dalam memahami modul; (5) sebagian besar (81,3%) mahasiswa berpendapat bahwa soal latihan sangat membantu dalam memahami modul, butir pertanyaan sudah sesuai dengan rumusan tujuan, demikian juga dengan kejelasan butir pertanyaan yang terdapat dalam soal latihan sudah jelas; (6) umpan balik dan tindak lanjut yang terdapat dalam modul sudah dapat dipahami oleh sebagaian besar mahasiswa (84,4%); (7) bahan bacaan dalam modul sudah sesuai dengan topik yang terdapat dalam modul, namun sebagian mahasiswa berbendapat bahwa untuk mendapatkan buku-buku dalam bahan mengalami kesulitan, meski tampilan bahan bacaan dalam modul menurut mahasiswa sangat menarik; (8) kunci jawaban yang terdapat dalam modul menurut pendapat sebagian mahasiswa (81,3%) sudah sesuai dengan soal latihan dan kunci jawabanpun sudah memberikan kejelasan jawaban soal latihan, namun demikian masih ada mahasiswa yang menginginkan kunci jawaban disertai dengan uraian sehingga dapat lebih mudah dipahami mengapa jawaban tersebut benar. Bentuk akhir modul merupakan hasil serangkaian revisi yang dilakukan tahap demi tahap tersebut, mulai dari revisi berdasarkan evaluasi ahli sampai dengan revisi hasil uji coba kelompok kecil.
23
Jika disimpulkan, revisi terhadap produk modul yang dihasilkan dalam penelitian ini ditempuh dalam empat atahap. Revisi tahap 1 dilakukan setelah diadakan uji ahli perancang dan media pembelajaran. Revisi tahap 2 dilakukan setelah diadakan uji ahli isi. Revisi tahap 3 dilakukan setelah diadakan uji ahli bahasa. Revisi tahap 4 dilakukan setelah diadakan uji coba kelompok kecil. Setelah melalui empat tahap uji coba dan empat tahap revisi, produk akhir modul matakuliah Bahasa Indonesia hasil pengembangan ini layak digunakan dalam pembelajaran. Hal ini didukung oleh data hasil uji ahli dan uji coba kelompok kecil yakni menunjukkan tingkat kelayakan dengan kualifikasi baik. Dengan demikian, modul yang dihasilkan ini dapat dijadikan pilihan sebagai sumber belajar dan sekaligus strategi penyampaian pembelajaran alternatif untuk MKU BI FH Universitas Wisnuwardhana.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan hasil pengembangan yang telah dilakukan dikemukakan sebagai berikut. 1) Uraian isi materi dalam modul MKU BI disusun dalam setiap topik dan subtopik sesuai dengan tujuan khusus yang dirumuskan berdasarkan kebutuhan mahasiswa dan analisis pembelajaran. 2) Uraian isi materi disusun dalam urutan yang sistematis dan logis berdasarkan urutan topik bahasannya.
24
3) Pembelajaran dengan menggunakan modul MKU Bahasa Indonesia menekankan pada belajar mandiri, yang menyediakan pengalaman belajar yang self-contained dan self-directed, yaitu para mahasiswa berinteraksi dengan material dan mendapat umpan balik langsung mengenai belajar yang telah dilakukan oleh mereka itu. Dinyatakan Self-contained karena dalam modul mengandung informasi yang utuh. Sedangkan dinyatakan Self-directed karena pada hakikatnya siswa sendiri yang membimbing dirinya.
Saran Beberapa saran yang perlu dikemukakan untuk pemanfaatan produk pengembangan ini adalah sebagai berikut. 1) Agar modul MKU Bahasa Indonesia dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, dosen perlu membangkitkan motivasi mahasiswa, misalnya dengan cara menunjukkan kepada mereka apa yang akan mereka capai apabila mereka selesai mengikuti pembelajaran, atau dengan penjelasan hal-hal yang menarik tentang apa yang dipelajari. 2) Agar lembar kerja dapat dimanfaatkan mahasiswa secara efektif dan efisien, hendaknya dosen dapat memotivasi mahasiswa untuk mengerjakan soal-soal latihan dengan sungguh-sungguh dan dapat menyelesaikan dan mengumpulkan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
25
3) Dosen harus selalu siap dengan program pengayaan dan remidi, dan selalu memantau dan memberikan bimbingan bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan. Produk berupa modul ini dapat diseminasikan ke sasaran yang lebih luas. Modul dapat dimanfaatkan oleh perguruan tinggi lain, yang memiliki matakuliah sama. Karena produk ini disusun berdasarkan identifikasi kebutuhan dan identifikasi karakteristik mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang, maka dalam penggunaannya perlu disesuaikan dengan kondisi perguruan tinggi tersebut. Beberapa hal yang perlu disarankan berkaitan dengan pengembangan lebih lanjut adalah sebagai berikut. 1) Modul ini belum diujicobakan secara menyeluruh dengan diimplementasikan di kelas selama satu semester. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas modul ini setelah diimplementasikan di kelas selama satu semester. 2) Dalam pengembangan produk ini telah dilakukan beberapa kajian, penilaian para ahli, dan uji coba. Dengan demikian kerja pengembangan ini dapat dijadikan sebagai model untuk mengembangkan produk yang sama di fakultas lain di Universitas Wisnuwardhana Malang atau di lembaga lain.
26
DAFTAR RUJUKAN Adiwidjaja, S. dan Hartini, L.. 2002. Bahasa Indonesia Hukum. Bandung: Pustaka. Dick, W. & Carey, L. 1990. The Systematic Design of Instruction. Glenview, Illionis london, England:. Scott, Foresman and Company. Djiwandono, M.S. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajar. Bandung: Penerbit ITB. Finocchiaro, M. dan Brumfit, C. 1983. The Fuctional-Nosional Approach: from Theory to Practise: New York: Oxford University Press Gagne, R., L.S. B., dan W.W. Wagner. 1988. The Principles of Interactional Design. New York: Holt, Renehart and Winston, Inc. Hadikusuma, H. H. 2005. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: PT Alumni. Huda, N. 1988. Suatu Perbandingan Metode Audio Lingual vs Metode Komunikatif, dalam Dardjowidjoyo (Ed). PELLBA I. Jakarta: Lembaga Bahasa UNIKA Atma Jaya Johnson, K. 1984. Communicative Syllabus Design and Methodology. New York: Oxford University Press. Richterich, R. 1983. Case in identifying Language Needs. Oxford: Pergamon Press. Sulaiman, D. 1998. Teknologi/Metodologi Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK. Suparman, A. 2005. Design Instructional. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Universitas Terbuka Suryawinata, Z. Dan Imam, I. 1992. Bahasa Indonesia untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Malang: YA3
1
NILAI-NILAI MORAL DALAM UNGKAPAN SASTRA KITAB AMSAL KAJIAN HERMENEUTIK Imelda Olivia W.
ABSTRACT
The research of language-objected literature was focused on using language as a communication tools; the research of substance-objected literature was focused on values, usefulness/meaningfulness of belles-letters in human live; in the other side the research of aesthetical-objected literature was directed on study of the existence of belles-letters as an art that containing values of life. According to those facts, it was carried out a moral research on Amsal’s Literature with problem formulations as follows; (1) how is description on individual moral values in the term of order/command in Amsal’s Literature, (2) how is description on individual moral value in the term of prohibition in Amsal’s Literature, (3) how is description on social moral values in the term of order/command in Amsal’s Literature, (4) how is description on social moral values in the term of prohibition in Amsal’s Literature. This research is conducted in order to acquire description about the representative values on Amsal’s Literature, those are (1) to gain description about individual moral value in the term of order/command in Amsal’s Literature, (2) to gain description about individual moral value in the term of prohibition in Amsal’s Literature, (3) to gain description about social moral value in the term of order/command in Amsal’s Literature, (4) to gain description about social moral value in the term of prohibition in Amsal’s Literature. In order to get those aims, researcher using a qualitative method with hermeneutical model. The theory approach used in this research is Gadamer’s hermeneutic theory. The data are collected by documentation study technique because the documents from the Amsal’s Literature was contained ten (10) poetry tittles on which predicted has individual moral value and social moral value in the terms of order/command and prohibition. In addition to, data source is document consist of a lot of information under consideration on Amsal’s Literature. The instrument used in this research is human, that is researcher own self and guidance of data collection. In order to maintain data validation, dialectic interactive model with three analysis activities was done with simultaneous-, alternate-, and repetition (round and around) ways, i.e. data reduction activity, data presentation, and getting the inference/conclusion or verification are used.
2
Based on the technique and principle analysis, it found many research findings about (1) individual moral values in the term of order/command are including 1) honesty, 2) persistency/steadiness, 3) responsibilities, 4) patience, 5) wisdom, 6) humility, 7) carefulness, 8) pursuance, (2) individual moral values in the term of prohibition are including 1) dishonest, 2) rough spoken/greasy, 3) arrogant, 4) disobedient, 5) carelessness, 6) impatient, (3) social moral values in the term of order/command are including 1) affection, 2) solidarity, 3) togetherness, 4) social loyalty, 5) social care, and (4) social moral values in the term of prohibition are including 1) credulity or take at someone else word instantly, 2) do harm to someone else, 3) jealous/covet. The moral values presented on Amsal’s Literature was grounded by specific actual behavior in the contemporary and the past periods, and by hoping for the future it would be find an ideal conceptual. The behaviors implementing those individual moral values are affected by consciousness and impulsion for the obligation/duty to be responsible to God, dignity, and his status as a civilized human and social moral values are affected by consciousness and impulsion for the obligation/duty to be responsible to other people in the society. According to this finding on the academic scope it is suggested to use this finding research as a one of teaching materials on studying poetry values. For the sake of theory development it is suggested to be input of knowledge and literature appreciation especially appreciation of values on poetry, and for the sake of practicality it is suggested to use this finding as a moral education integrated with literature teaching, and also as a reference to discussion activity, seminar with humanities studying. Key words: moral value, individual moral value, social moral value.
Pentingnya sastra dalam kejiwaan manusia, menurut Atmazaki (1990 :4) karena, penelitian karya sastra termasuk puisi secara garis besar memiliki tiga ranah sebagai objek kajiannnya, yakni bahasa, isi, dan estetik. Penelitian sastra yang berobjek bahasa difokuskan pada penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi; penelitian sastra yang berobjek isi difokuskan pada nilai-nilai, manfaat atau kegunaan karya sastra dalam kehidupan manusia; sedangkan penelitian sastra yang berobjek estetis diarahkan pada kajian keberadaan karya sastra sebagai karya seni yang mengandung nilai kehidupan.
3
Bertolak dari pandangan Atmazaki di atas, penelitian ini difokuskan pada objek nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai moral, dilihat dari dikotomi bentuk dan isi karya sastra merupakan unsur isi. Nilai moral dalam kehidupan manusia merupakan ide vital tentang moral tertentu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Ide vital tentang moral tersebut dikemas dalam perilaku pada realitas kehidupan, sehingga nilai-nilai moral dalam suatu karya sastra merupakan cerminan perilaku/perbuatan dalam realita kehidupan yang diidealkan, diingini, dihormati, dan diperjuangkan oleh penyair. Dalam hal ini nilai moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk
yang sederhana, meskipun tidak semua tema merupakan nilai moral
(Keanny, 1996 :89 dalam Nurgiantoro, 1997 :321). Di sisi lain, nilai-nilai moral juga dipandang sebagai pesan atau amanat (message) penyair kepada pembaca. Pesan atau amanat itu, lebih menekankan pada sifat kodrati manusia yang hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditakuti, dan dihakimi oleh manusia. Hal itu disebabkan oleh realitas bahwa setiap karya sastra pada hakikatnya selalu memberi pesan atau amanat yang berhubungan dengan sifatsifat lahir kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Pesan atau amanat tersebut diharapkan akan memiliki peran besar dalam memberi makna hidup dan mengembalikan martabat kemanusiaan pada kehidupan manusia (Suryanata, 1999 :11). Makna hidup dan martabat kemanusiaan
tersebut
hakikatnya bersifat universal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini oleh manusia sejagat. Dengan demikian, nilai-nilai moral dalam suatu karya sastra dapat disikapi sebagai salah satu perwujudan dari tema dan amanat. Baik tema
4
maupun amanat ditinjau dari dikotomi isi dan bentuk karya sastra, merupakan unsur isi. Pemfokusan pada isi dalam penelitian didasari adanya pandangan bahwa isi puisi dalam kehidupan manusia merupakan wadah kekayaan rohani umat manusia, bahkan isi kitab suci seperti Kitab Amsal diturunkan dalam bentuk puisi. Sehubungan dengan itu, Teeuw (1992 :133) menyatakan bahwa dalam sejarah sastra di seluruh dunia, ternyata manusia menciptakan puisi dengan fungsi dan tujuan yang bermacam-macam, seperti keagamaan, sosial, dan individu. Lebih lanjut, Kleden (1989 :ix) menyatakan bahwa sebuah puisi bukanlah bangun pikir, tetapi lebih mirip kesaksian tentang pengalaman penyair. Kesaksian pada gilirannya dapat mempunyai sifat reflektif, imajinatif, dan kontemplatif dengan muatan yang sama, yakni makna kehidupan. Persoalan makna kehidupan suatu puisi pada dasarnya menyangkut isi/substansi puisi. Berkaitan dengan itu, Kleden (1989 :viii-ix) menyatakan bahwa prestasi seorang penyair dapat diukur berdasarkan mendalamnya makna kehidupan yang sungguh diserap dan diendapkan sebagai substansi/isi puisi yang diciptakannya. Sehubungan dengan itu, peneliti tertarik untuk mengkaji nilai moral dalam Kitab Amsal. Kitab Amsal merupakan salah satu bagian dari kitab suci umat Kristiani mengandung nilai-nilai moral. Dikatakan mengandung nilai moral, karena sebagai kitab suci Kitab Amsal mengandung nilai-nilai kehidupan seperti nilai moral yang harus dijalankan oleh umat manusia sebagai jawaban kepada Allah. Peschke (2003: 18-19) mengatakan kehendak Allah disingkapkan kepada manusia melalui tata ciptaan, melalui kesaksian hati nurani dan bagi orang
5
Kristen melalui sabda Kitab Suci. Jawaban manusia terletak dalam kesediaan dan memajukan nilai-nilai yang telah diberikan, dengan memenuhi tugas yang dipercayakan kepadanya di dunia ini dan memperhatikan panggilan sesama dan hak-hak orang dewasa yang tumbuh dari panggilan itu. Jawaban manusia ini merupakan keputusan moral yang intinya terletak pada semangat ketaatan terhadap Allah yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut disampaikan lewat nasihat, peringatan, teguran, anjuran berupa perintah, dan larangan untuk kehidupan diri pribadi maupun kehidupan bersama. Lebih lanjut Bullock (2003: 28) mengatakan Kitab Amsal merupakan bukti yang berlimpah bahwa kebajikan moral merupakan bagian penting dari gambaran pribadi seseorang yang takut akan Tuhan dengan menjauhi kejahatan dan berpegang pada perintah-Nya. Hal ini merupakan prinsip hikmat yang merupakan ungkapan khas puisi-puisi Kitab Amsal. Selain itu pengkajian nilai moral, juga didasari oleh pendapat Sastrowardoyo (1988 :23) yang menyatakan bahwa etika dalam karya sastra merupakan cerminan tindakan manusia dalam kehidupannya. Cerminan itu, dilihat melalui gagasan penyair yang tertuang dalam puisi. Gagasan itu lahir dari kepekaan hati nurani. Suseno (1989 :53) menyatakan bahwa hati nurani merupakan kesadaran moral manusia. Dengan hati nurani, manusia menyadari bahwa ia mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk hidup sesuai dengan yang disadari sebagai kewajiban dan tanggungjawabnya. Melalui hati nurani manusia dapat menyadari bahwa pada akhirnya hanya dirinya yang mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan, baik
6
sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial yang menuntunnya kepada kebijaksanaan hidup Kitab
Amsal
yang
merupakan
merupakan
kitab
kesusasteraan
kebijaksanaan berisikan syair-syair suci yang sarat pesan, nasihat, teguran, petunjuk, peringatan dengan menggunakan bahasa sastra yang tinggi dalam bentuk puisi. Kandungan sastrawi Kitab Amsal berisi kebijaksanaan hidup dimana manusia bergulat dengan kehidupan, mencari dan menemukan maknanya melalui pengalaman baik pribadi maupun pengalaman hidup bersama atau bermasyarakat. Pareira (2006: 11) mengatakan pengungkapan kebenarankebenaran pengalaman manusia diungkapkan dalam bentuk peribahasa, pepatah, pantun, perumpamaan, nasihat, dan sebagainya. Lebih lanjut Pareira (2006: 1011) menyatakan bahwa kesusasteraan kebijaksanaan berbicara tentang kehidupan manusia sebagai manusia tidak peduli bangsa, warna kulit, agama, atau tingkatan hidup sosialnya. Kebijaksanaan mendalami kehidupan, mencari maknanya dan menunjukkan bagaimana orang harus hidup untuk menjadi manusia yang baik dan bijak. Hidup menjadi manusia yang baik dan bijak yang dimaksudkan Kitab Amsal merupakan bentuk kesegaran hidup atau keceriaan hidup (joy of living). Bentuk sastra yang khas dari Kitab Amsal adalah melalui perumpamaan yang berisi nasihat, teguran, peringatan, petunjuk, larangan, perintah yang disampaikan dengan gaya pengungkapan yang khas melalui metafora, paralelisme, perbandingan. Bentuk sastra yang khas inilah yang membuat Kitab Amsal memiliki kandungan sastrawi yang kuat yang menawarkan kesegaran atau keceriaan hidup.
7
Bertolak dari uraian di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui deskripsi nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu rujukan bahan pengajaran apresiasi sastra di lingkup pendidikan baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi. Dengan bertolak dari kajian nilai-nilai dalam karya sastra, pengajaran apresiasi sastra diharapkan dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan tujuan pengajaran sastra yang ideal-humanistik. Dengan merealisasikan tujuan pengajaran sastra yang ideal-humanistik tersebut, pengajaran sastra diharapkan dapat membentuk manusia yang memiliki kepribadian yang kuat, berwawasan luas, kreatif, terbuka, inovatif, produktif, cinta hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun sebagai hamba Tuhan (Amir, 1986 :6). Dengan demikian pengajaran sastra harus menyentuh pada nilai-nilai yang diidealkan oleh manusia, baik nilai-nilai yang bermanfaat dalam kehidupan personal maupun kehidupan kosmopolit total. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan, fokus permasalahan yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini adalah deskripsi nilainilai moral individual dan nilai-nilai moral sosial berupa perintah dan larangan dalam Kitab Amsal. Sorotan lebih tajam difokuskan pada nilai-nilai moral individual dan nilai-nilai moral sosial berupa perintah dan larangan dalam Kitab Amsal. Dari terminologi nilai moral ini diharapkan dapat diidentifikasi ideologi berupa wawasan atau perspektif, harapan atau motif yang menggambarkan sistem
8
nilai tertentu, yang didalamnya mengisyaratkan sikap dalam memahami, menanggapi, dan menerangkan realitas kehidupan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang representasi nilai-nilai dalam Kitab Amsal. Secara khusus, penelitian ini bertujuan, (1) memperoleh deskripsi nilai-nilai moral individual berupa perintah dalam Kitab Amsal, (2) memperoleh deskripsi nilai-nilai moral individual berupa larangan dalam Kitab Amsal, (3) memperoleh deskripsi nilai-nilai moral sosial berupa perintah dalam Kitab Amsal, dan (4) memperoleh deskripsi nilai-nilai moral sosial berupa larangan dalam Kitab Amsal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat praktis dan teoritis secara filosofis, sosiokultural, akademis, dan edukatif seperti diuraikan berikut ini. (1) manfaat Spiritual: Secara spiritual, hasil penelitian ini dapat dijadikan cermin dan bahan renungan, penghayatan, eksternalisasi, aktualisasi, dan artikulasi pandangan Kitab Amsal. Hal ini berarti bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dimensi empiris, bukan normatif ideologis, dan idealistis mengenai pandangan manusia terhadap nilai-nilai moral yang dikembangkan atau berkembang dalam kehidupan, (2) manfaat Sosiokultural : Secara sosiokultural, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan renungan dan pemikiran untuk menghayati dan memahami kenyataan moralitas masyarakat. Dikatakan demikian sebab hasil penelitian ini dapat menunjukkan hubungan dan pola persentuhan antara moralitas yang bersumber pada tradisi, modernitas, dan globalitas, sehingga dapat dipergunakan untuk memahami, menilai, dan mengembangkan nilai-nilai moral manusia, (3) manfaat Akademis : Secara akademis, hasil
9
penelitian ini dapat dipergunakan untuk masukkan dan pengembangan wawasan kajian humaniora terhadap karya sastra, dan
(4) manfaat Edukatif : Secara
edukatif, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukkan bagi perkuliahan yang berkaitan dengan apresiasi sastra di lembaga pendidikan tinggi maupun pengajaran apresiasi di sekolah menengah. Setidak-tidaknya, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk bahan perkuliahan Apresiasi Puisi, Telaah Puisi, Kajian Puisi, Kritik Puisi. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai model dan bahan kegiatan apresiasi sastra di luar lembaga pendidikan formal, misalnya di sanggar kesenian, forum diskusi sastra, dan komunitas sastra. Sebagai lambang seni verbal yang ekspresif – kognitif, puisi selalu berhubungan dan berurusan dengan makna dan nilai-nilai. Dikatakan demikian, karena puisi sebagai lambang salah satu wujud kebudayaan dapat berupa nilainilai. Oleh karena itu kehadairan puisi selalu melekat dengan makna dan nilainilai. Hal itu sering ditegaskan oleh para ahli ilmu-ilmu sosial hermenutis dan humaniora bahwa puisi sebagai lambang budaya selalu mengandung makna dan nilai-nilai (Kleden, 1987 : xxxv). Berkaitan dengan hal tersebut, Tarigan (1984) mengutip Shipley mengemukakan lima jenis nilai yang berhubungan dengan karya sastra – termasuk puisi, yaitu (1)nilai artistik, (2)nilai hedonis, (3)nilai kultural, (4)nilai etis-moral-religius, dan (4)nilai praktis. Nilai artistik berhubungan dengan keindahan yang terdapat dalam karya manusia. Nilai hedonis berhubungan dengan karya sastra yang mendatangkan kesenangan. Nilai etis-moral-religius merupakan penuntun manusia untuk berbuat baik dan benar sebagai makluk pribadi, makluk sosial, dan hamba Tuhan. Nilai praktis
10
berhubungan dengan nilai guna dan manfaat karya manusia bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai yang terdapat dalam puisi pada dasarnya bersifat rohaniah. Oleh karena itu, puisi sering disebut sebagai wujud kebudayaan rohaniah. Kebudayaan yang bersifat rohaniah itu oleh Baker (1988 :24-37) disebut sebagai kebudayaan subjektif. Kebudayaan subjektif merupakan kebudayaan aspiratif dan fundamental yang ada pada diri manusia yang berupa nilai batiniah, seperti kebenaran, kebajikan, dan keindahan yang cenderung transenden. Sebagai wujud kebudayaan subjektif yang transenden yang merupakan penuntun yang membimbing manusia mencapai hidup yang sempurna nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud kesehatan jasmani, kehalusan perasaan, kecerdasan budi, dan kekayaan rohani lainnya yang membuat manusia menjadi adil, jujur, perwira, berani, dermawan, dan bijaksana. Nilai-nilai batiniah itulah yang oleh Aristoteles disebut sebagai tujuan hidup manusia. Dipandang dari fenomena sastra, nilai-nilai dalam puisi merupakan makna (meaning) suatu karya sastra (Icksan, 1990 :2). Sementara, Suyitno (1988 :3) menyatakan bahwa nilai-nilai dalam puisi dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan dua fenomena yang saling melengkapi, sebab pada kenyataannya terjadi hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang diidealkan manusia dalam kehidupannya dan nilai-nilai yang diidealkan penyair dalam puisi. Hal itu disebabkan oleh perwujudan nilai-nilai dalam puisi yang bersumber dari kehidupan yang bertatanilai. Pada saat-saat tertentu, puisi dapat berfungsi sebagai daya pendobrak nilai-nilai yang sudah mapan, sehingga terbentuk tatanilai baru.
11
Sehubungan dengan itu, Damono (1995) menyatakan bahwa kehidupan masyarakat tidak terlepas dari norma-norma, aturan-aturan atau nilai-nilai yang mengatur pola tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai membuat konsep segala sesuatu yang dipandang baik dan berharga di dalam kehidupan manusia menjadi aturan atau pola budaya masyarakat bersangkutan. Hal tersebut menunjukkan bahwa karya sastra baik puisi maupun syair merupakan wacana sekaligus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi realitas budaya atau agama berdasarkan episteme tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perwujudan puisi yang berupa nilai-nilai merupakan suatu ide vital tentang realitas kehidupan yang diidealkan, dinginkan, dihormati, dan diperjuangkan penyair untuk menjalani kehidupan. Ide vital itu bertolak dari kebudayaan aspiratif dan fundamental yang ada pada diri penyair yang berupa nilai batiniah, seperti kebenaran, kebajikan, dan keindahan yang cenderung transenden. Nilai-nilai tersebut merupakan penuntun yang membimbing manusia dalam mencapai hidup sempurna. Nilai merupakan realitas abstrak, tidak dapat disentuh atau ditangkap oleh pancaindera. Nilai hanya dapat dirasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Nilai itu hanya dapat dilacak dari tiga realitas, yaitu, pola tingkah laku, pola berpikir, dan sikap-sikap seorang pribadi atau kelompok. Subandiroso (1987:72) menjelaskan pengertian nilai sebagai sesuatu yang baik, yang dinginkan, yang dicita-citakan dan dianggap penting oleh masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa wujud nilai dalam kehidupan merupakan sesuatu yang berharga karena
12
dapat mengimplikasikan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang indah dan tidak indah dalam masyarakat berupa pujian, penghargaan, hukuman dan sebagainya. Nilai memiliki dimensi yang sangat luas. Nilai mencukupi seluruh aspek kehidupan manusia. Skolimowsky (2004:79)mengatakan bahwa nilai mengatur hubungan antara Tuhan selaku Sang Pencipta dan manusia selaku ciptaan-Nya. Dalam hal ini, nilai hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan, yaitu menjelaskan kewajiban manusia yang satu kepada manusia yang lainnya. Secara etimologis kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak : mores) memiliki pengertian kesusilaan, tabiat, kelakuan, kebiasaan, adat. Dengan demikian, moral dapat diartikan ajaran kesusilaan (periksa Bertens, 2002:4); Salman, 2000:2). Pengertian moral juga dijelaskan dalam KBBI, yaitu ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perubahan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (Depdikbud, 1988:665). Lebih lanjut, Suseno (1987:19) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulu tangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Pak Budi adalah seorang dosen yang buruk, tetapi seorang manusia yang baik. Penilaian pertama, Pak Budi sebagai
13
guru, bukan penilaian moral. Sedangkan penilian kedua, pak Budi sebagai manusia, adalah penilaian moral. Nilai-nilai moral berbeda dengan ajaran moral dan moralitas (Suseno, 1989: 14). Oleh karena itu, sumber dasar pun berbeda. Sumber langsung ajaran moral berupa orang yang memiliki kedudukan dan kewenangan seperti orang tua, guru, para pemuka agama, pemuka adat, dan kumpulan tulisan orang-orang bijak, sedangkan sumber dasarnya dapat berupa agama,
tradisi, adat istiadat, dan
ideologi. Sementara itu, sumber langsung moralitas adalah kehendak, kesadaran, dan kebebasan, sedangkan sumber dasarnya adalah hati nurani (fund), (Suseno, 1989: 58, Fantoni, 2000 :4). Sumber langsung nilai-nilai moral adalah filsafat yang menghasilkan pemikiran yang kritis tentang ajaran moral dan norma-norma moral. Pemikiran kritis terhadap moral dan norma-norma moral tersebut selanjutnya menghasilkan aliran-aliran moral; sedangkan sumber dasar nilai-nilai moral adalah etika wahyu dan etika perutusan. Sementara itu, Suseno (1989 : 139) menyatakan bahwa norma moral secara universal dapat dilihat dari kemanusiaan manusia. Norma tersebut bertolak dari tiga prinsip dasar, yaitu (1) Sikap baik yang mendasari dan mendahului prinsip yang lain. Prinsip ini menyangkut sikap dasar manusia yang meresapi segala sikap kongkret, tindakan, dan kelakuannya. Dengan sikap baik itu, manusia dapat bersikap adil, jujur, dan setia. (2) Prinsip keadilan yang memberikan kepada siapa saja, apa yang menjadi haknya. Pada hakikatnya semua manusia sama nilainya sebagai manusia. Oleh karena itu, diperlukan perlakuan yang sama terhadap semua orang. (3) Prinsip hormat terhadap diri sendiri, yang
14
bertolak
dari
hakikat
manusia
bahwa
manusia
wajib
untuk
selalu
memperkenalkan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan pada pandangan bahwa manusia itu person, pusat ”mengerti dan kehendak” yang memiliki kebebasan, suara hati, dan akal budi. Selanjutnya arah ketiga prinsip dasar itu ialah (1)manusia dituntut agar tidak membiarkan dirinya diperas, diperalat, diperkosa, atau diperbudak, dan (2)manusia tidak boleh membiarkan dirinya terlantar. Di sisi lain, Suseno (1991 : 98) memberikan empat orientasi dasar bagi keharusan atau dilarang; (2)etika peraturan yang melihat norma moral dari ketaatan terhadap sejumlah peraturan, sedangkan menyimpang dari peraturan dinyatakan sebagai penyimpangan moral; (3)etika situasi yang menganggap setiap situasi mempunyai tuntutannya sendiri; (4)relativisme manusia yang menganggap bahwa norma-norma hanya berlaku relatif terhadap lingkungan dan wilayahnya. Lebih lanjut, Suseno (1991 : 66) menyatakan bahwa penilaian moral tidak hanya berurusan dengan masalah perasaan, melainkan lebih pada kebenaran objektif dan rasionalitas. Dengan begitu, penilaian moral terhadap perbuatanperbuatan kongkret dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menerapkan penilaian moral terhadap perbuatan-perbuatan yang kongkret diperlukan penentuan suatu perbuatan dinyatakan baik. Penentuan itu harus didasarkan pada (1)perbuatannya sendiri, (2)motif, dan (3)keadaan (Poesprodjo, 1986 : 143). Pengkajian nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal, bertolak dari pendapat Sastrowardoyo (1988 :23) yang menyatakan bahwa salah satu gejala kebudayaan
15
yang berpengaruh dalam penilaian sastra adalah etika sebagai cerminan tindakan manusia dalam kehidupannya. Cerminan itu dilihat melalui gagasan penyair yang tertuang dalam puisi. Sehubungan dengan itu, dalam menganalisis nilai moral dalam puisi, harus diperhatikan unsur-unsur tema/lapis makna yang menjadi substansi puisi.
Adapun ukuran moral dalam penelitian ini mengacu pada semua perbuatan yang dilakukan secara sadar berdasarkan kehendak dan kebebasan, serta dimotivasi oleh ide vital tentang etika tertentu. Dalam hal ini etika yang dijadikan parameter perbuatan adalah etika yang diidealkan oleh penyair yaitu etika yang bersifat universal. Etika yang bersifat universal mengacu pada semua perbuatan yang diinginkan, dihormati, dan diperjuangkan oleh seluruh umat manusia di dunia. Perbedaan antara individu dan masyarakat mempunyai peran penting dalam kajian nilai-nilai moral, sebab sejak semula manusia telah membedakan antara kepentingan sendiri sebagai pribadi dengan kepentingan dirinya bersama orang lain. Oleh karena itu, perlu diperhatikan moral manusia sebagai pribadi dan moral manusia sebagai anggota masyarakat. Bertolak dari pemikiran itu, manusia perlu mengimplementasikan nilainilai
moral
pribadi
melalui
perbuatan-perbuatannya
agar
integritas
kepribadian/kesempurnaan hidup dapat diwujudkan. Implementasi nilai-nilai moral pribadi itu secara universal dapat berwujud tanggung jawab pribadi,
16
kemandirian pribadi, kesucian pribadi, kasih sayang terhadap diri sendiri, konsistensi diri, kerendahan hati terhadap diri sendiri, keadilan pribadi, kebebasan pribadi, dan keyakinan terhadap diri sendiri. Lebih lanjut Peschke (2003: 371-388)menyatakan bahwa implementasi nilai-nilai moral pribadi dalam Katolik dapat berwujud (1)cinta kasih, (2)pertobatan, dan (3)kebajikan.
Berdasarkan ruang lingkup moral di atas, dapat disimpulkan bahwa, timbulnya nilai-nilai moral pribadi berawal dari dorongan manusia yang ditimbulkan oleh tujuan hakiki untuk mencapai kebahagiaan/kesempurnaan hidup sebagai pribadi melalui pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki dan akal budinya, tanpa merugikan pribadi lain. Dengan memanfaatkan akal budi dan seluruh potensi yang dimiliki manusia, menurut Max Scheler dan Drijarkara (1981 :93) manusia sebagai makhluk pribadi tidak pernah menjadi objek bagi orang lain dan tidak pernah boleh diperlakukan sebagai alat. Manusia sebagai pribadi
merupakan subjek yang harus disambut dengan cinta. Barangsiapa
memperlakukan persona sebagai objek yang dapat diperalat berarti telah memperkosa nilai persona atau melanggar nilai-nilai moral pribadi sehubungan dengan itu, (1)manusia dituntut agar tidak membiarkan dirinya diperas, diperalat, diperkosa, atau diperbudak, dan (2)manusia tidak boleh membiarkan dirinya terlantar. Bertolak dari pengertian dan implementasi nilai-nilai moral, dapat disimpulkan bahwa indikator nilai-nilai moral individual adalah adanya
17
kewajiban dan tanggung jawab (1)melindungidiri sendiri, (2)mempertahankan diri sendiri, (3)menjaga/memelihara diri sendiri, (4)tidak merugikan diri/pribadi orang lain. Sebagai anggota masyarakat/makhluk sosial, manusia tidak dapat melepaskan diri dari manusia lain dalam menjalankan kehidupannya. Dalam kehidupan sehari-hari seorang manusia pasti
melakukan hubungan dengan
manusia lain dalam lingkungan kelompok masyarakat. Dalam melakukan hubungan itu, manusia perlu memahami norma-norma yang berlaku agar hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Manusia harus mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain. Hal inilah yang disebut dengan nilai moral
sosial.
Lebih
lanjut,
Agastio
(1993:
33-36)menjelaskan
bahwa
implementasi nilai-nilai moral universal yang terkandung dalam Gereja katolik adalah (1)saling memberi kasih sayang, (2)bersikap lembut terhadap sesama, (3)mempererat tali persaudaraan, (4)bersedia memberi nasihat, (5) saling menolong, dan (6)saling memaafkan. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam puisi merupakan saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat puisi yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan petunjuk yang ingin diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap,
18
tingkahlaku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab petunjuk itu dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata sebagaimana model yang ditampilkan dalam puisi lewat ungkapan-ungkapannya. Nilai moral dalam karya sastra, termasuk puisi dapat mencakup berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia dapat dibedakan dalam empat persoalan, yaitu (1)nilai moral yang berhubungan dengan Tuhan, (2)nilai moral yang berhubungan dengan diri sendiri, (3)nilai moral yang berhubungan dengan manusia lain dalam lingkup sosial, dan (4)nilai moral yang berhubungan dengan lingkungan alam (Nurgiyantoro, 1995:324). Lebih lanjut Suparno dkk (2002:27) mengemukakan bahwa moralitas yang berwujud sikap dan perilaku mengandung lima jangkauan, yaitu (1)sikap dan perilaku dalam hubungan dengan Tuhan, (2)sikap dan perilaku dalam hubungan dengan diri sendiri, (3)sikap dan perilaku dalam hubungan dengan keluarga, (4) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat dan bangsa, dan (5)sikap dan perilaku dalam hubungan dengan alam sekitar. Nurgiantoro (1977: 321) menyatakan bahwa nilai-nilai moral dilihat dari dikotomi bentuk dan isi puisi merupakan unsur isi. Dipandang dari sudut fenomena sastra nilai-nilai moral dalam puisi merupakan salah satu unsur karya sastra. Dimensi nilai-nilai moral itu merupakan unsur makna (meaning) suatu karya sastra (Icksan, 1990: 2). Nilai-nilai moral sebagai unsur makna melekat pada seluruh unsur yang membangun puisi. Dipandang dari kedudukannya dalam puisi nilai-nilai moral merupakan ide vital tentang perbuatan yang diidealkan penyair, yang sekaligus merupakan
19
makna yang terkandung dalam puisi. Dalam pengertian ini nilai-nilai moral dipandang sebagai perwujudan esensi dari substansi atau sebagai perwujudan dari tema puisi, meskipun tidak semua tema itu berwujud nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral mempunyai kedudukan yang amat penting dalam suatu puisi (Amir, 1986 :42), sebab setiap penyair pada umumnya selalu mengidealkan suatu nilai-nilai yang merupakan dasar, tuntunan, dan tujuan manusia bertindak dalam kehidupannya. Sementara itu, Veeger dkk, (1993) menyatakan bahwa nilai-nilai moral sebagai pengertian merupakan hasil penilaian atau pertimbangan moral. Nurgiantoro (1977 : 323) menyatakan bahwa nilai-nilai moral dalam karya sastra juga dapat diartikan sebagai hikmah yang diperoleh pembaca melalui sastra. Dengan begitu, jika dalam puisi ditampilkan peristiwa kehidupan dengan perilaku tokoh yang tidak terpuji bukan berarti penyair menyarankan agar pembaca dapat mengambil hikmah eksistensi kebaikan dibalik peristiwa yang ‘bobrok’ dalam puisinya. Dalam hal ini, nilai-nilai moral disejajarkan dengan amanat dalam karya sastra yang dinyatakan secara terselubung/implisit. Hal itu berarti bahwa nilai-nilai moral sebagai salah satu sistem nilai, kehadirannya dalam puisi tidak dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan langsung, melainkan secara terselubung atau implisit sebagai perwujudannya yang utuh dalam dimensi isi atau makna yang dikandungnya. Oleh karena itu untuk memperoleh pemahaman nilai-nilai moral dalam suatu puisi yang bersifat multi-dimensional, pembaca harus dapat menginterpretasikan lapis-lapis makna yang terkandung di dalamnya (Icksan, 1990 : 9; Aminuddin, 1995 : 149).
20
Pradopo (1999 : 269 – 270) menyarankan bahwa untuk memahami makna atau tema suatu puisi dapat dilakukan sekurang-kurangnya melalui dua tahap membaca. Tahap pertama membaca heuristik, sedangkan tahap kedua membaca hermeneutik. Membaca heuristik dilakukan dengan cara membaca secara linier sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Adapun membaca hermenutik/retroaktif dilakukan dengan cara panafsiran sesuai kovensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat kedua. Kajian puisi memerlukan bermacam-macam pendekatan. Berbagai pendekatan dalam kajian puisi menurut Abrams (1979)dapat diklasifikasikan menjadi pendekatan mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif. Sementara itu, Icksan (1990)dengan bertolak pada pandangan dikotomis dari segi isi dan bentuk puisi, menyatakan bahwa kajian puisi dapat dilakukan dengan pendekatan etik dan pendekatan formal. Sementara Aminuddin (1990)menyatakan bahwa kajian puisi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan diantaranya pendekatan struktural, semiotik, hermeneutik, dan fenomenologis. Dari uraian di atas, pendekatan yang digunakan untuk mengkaji puisi dalam penelitian ini adalah pendekatan hermeneutik. Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti ”menafsirkan,” dari kata hermeneia yang berarti ”penafsiran” atau ”interpretasi” serta kata hermeneutis yang berarti ”penafsir” atau ”interpreter” (Sumaryono, 1999:23; Palmer, 2005:14). Kata hermeneutika sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa dalam mitologis Yunani, yaitu Hermes, yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes
21
adalah utusan (mediator) para dewa (Yupiter) di langit untuk membawa pesan kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia (Sumaryono, 1999:23). Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi, yaitu apa yang ada dibalik pemahaman manusia dibawa ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensi manusia (Palmer, 2005:15). Salah satu teori hermeneutika yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutika dialektika. Tokoh utama sebagai penggagas teori hermeneutika dialektika adalah Hans George Gadamer. Pemikiran Gadamer merupakan lanjutan dari pengembangan (sekaligus bantahan) pemikiran Martin Heidegger dan Wilhelm Dilthey. Bagi Gadamer, tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mungkin dapat melahirkan proses peleburan antara dua horison, yaitu horison seseorang (penafsir) dengan horison kesejarahan (teks). Pendekatan sang penafsir terhadap teks sangatlah mendasar bagi pengungkapan kembali kebenaran / makna teks. Makna suatu teks tidak hanya terbatas pada pengarang saja, tetapi juga terbuka bagi adanya penafsiran sesuai dengan kreativitas sang interpreter (penafsir). Pandangan ini mengindikasikan bahwa suatu karya yang sudah dituangkan dalam tulisan seluruhnya menjadi milik pembaca. Oleh karena itu, interpretasi bukan hanya sebatas mereproduksi makna, melainkan juga memproduksi makna. Interpretasi memerlukan perpaduan beragam cakrawala, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, budaya, dan konteks historis dalam rangka memahami teks berdasarkan konteks ruang dan waktu. Orientasi hermeneutika
22
Gadamer adalah berusaha mendialogkan teks itu dengan pembaca dan situasi zamannya dan kemampuannya untuk memahami teks atas dasar tanda-tanda yang terdapat dalam teks itu sendiri. Dalam hal ini Gadamer ( Mulyono, 2002:136) menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu adalah dialektika yang produktif antara masa lalu dan masa sekarang. Dengan pernyataan lain, (dalam Palmer, 2003:219), pemahaman merupakan suatu partisipasi (keterlibatan) di dalam arus tradisi serta di dalam suatu peristiwa yang menggabungkan masa lalu dan masa sekarang. Kegiatan penafsiran selalu berkaitan dengan adanya tiga unsur dalam intepretasi: pertama, tanda, pesan atau teks dari berbagai sumber; kedua, seorang mediator yang berfungsi menerjemahkan tanda atau pesan sehingga dapat dengan mudah dipahami; dan ketiga, audiens (pendengar/pembaca) yang menjadi tujuan sekaligus memprasuposisi penafsiran. Pernyataan senada dikemukakan oleh Schleiermacher (dalam Mauluddin, 2003:7) yang menyatakan bahwa terdapat tiga komponen struktural interpretasi, yaitu (1)penafsir atau subjek, (2)hal yang ditafsirkan atau objek, entah itu teks atau analog teks, dan (3)tujuan dari tindakan interpretasi. Dalam hal konteks penelitian ini, peneliti bertindak selaku mediator atau penafsir; Kitab Amsal sebagai tanda, pesan, objek untuk hal yang ditafsirkan, dan pembaca (siapa saja) sebagai tujuan interpretasi. Oleh karena itu, hasil interpretasi dalam kajian ini tidaklah akan sama jika mediator atau penafsir lain yang melakukannya. Dengan demkian, sebagaimana dijelaskan oleh Faiz (2002, 11) bahwa hermeneutika sebagai metode penafsiran, tidak hanya memandang teks dan berusaha menyelami kandungan makna literalnya, tetapi
23
juga berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison yang melingkupi teks, seperti horison teks, horison pengarang, dan horison pembaca.
METODOLOGI Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan beberapa konsep dan prinsip metodologis penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982), Freeman dan Long (1991). Beberapa konsep dan prinsip metodologis yang dimaksud adalah konsep atau asas tentang wujud data, sifat data, pengumpulam data, analisis data, dan keabsahan data. Penggunaan konsep atau asas tersebut disesuaikan dengan keperluan penelitian. Bertolak dari konsep dan asas penelitian kualitatif tersebut, rancangan yang digunakan penelitian ini adalah rancangan kualitatif yang didukung ancangan hermenutik. Digunakan rancangan kualitatif, bertolak dari adanya asumsi bahwa realitas karya sastra harus dijelaskan sebagaimana esensi yang ada pada relaitas itu sendiri. Dalam hal ini kualitas karya sastra dipandang sebagai (1)gejala holistik, sehingga penafsiran makna tidak dilakukan secara segmentatif, (2)wujud kongkret karya satra hanya merupakan pengejawantahan dari realitas ’x – n’ yang tidak identik dengan gejala objektifnya, (3)dalam menangkap realitas ’x – n’ peneliti harus mengadakan konkritisasi dan rekonstruksi melalui penafsiran, (4)nilai atau makna yang verstehen dalam karya sastra merupakan hal
24
yang terpenting, dan (5)karya sastra merupakan totalitas yang tidak dapat dilepaskan dari konteks, ruang, dan waktu (Aminuddin, 1990: 6). Penggunaan ancangan hermeneutik sebagai dasar untuk menafsirkan makna yang erlebnis dan verstehen dalam puisi. Sebagaimana halnya dalam penelitian hermeneutis, data dalam penelitian ini merupakan penghayatan (erlebnis) dan pemahaman (verstehen) arti secara mendalam dan atas fenomena sastra yang dikerjakan secara dialektis atau bolak-balik sesuai keperluan dan kecukupan. Digunakannya ancangan hermeneutik, karena dalam sastra dan filsafat, hermeneutika disejajarkan dengan interpretasi, pemahaman, verstehen, dan retroaktif (Ratna, 2004: 45). Dalam hermeneutik, nilai-nilai moral merupakan makna yang verstehen dan erlebnis. Makna yang verstehen dan erlebnis dapat dilakukan dengan tahap interpretasi berdasarkan asas dan lingkaran hermeneutika. Asas-asas tersebut berupa tahap pemahaman lambang-lambang bahasa, pengudaran unsur-unsur yang membangun unsur karya sastra, penjelasan seluk-beluk wacana sastra yang ditafsirkan, dan tahap penerjemahan maksud sastrawan dalam puisi yang dianalisis. Sumber data dalam penelitian ini, yakni sumber data yang berupa print out (naskah tercetak) diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI, 1974, LBI 1976), yakni ayat-ayat Kitab Amsal yang mengandung nilai-nilai moral individual dan sosial dalam Kitab Amsal, yang terdiri dari 17 teks puisi. Sumber data lainnya berupa dokumen, yang berisi informasi yang berkaitan dengan Kitab Amsal. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa sumber data penelitian ini berupa
25
sumber data verbal yang berupa nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal, dan berbagai informasi yang berhubungan dengan pembahasan Kitab Amsal. Pada dasarnya sumber data penelitian ini tergolong dokumen. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk penelitian dokumentasi.
Sumber data penelitian ini bersifat ideografis-hermeneutis. Oleh karena itu, sumber data ditetapkan berdasarkan kriteria internal sampling /criteria based sampling.
Maksudnya,
sumber
data
ditetapkan
dengan
mengutamakan
terwakilinya informasi secara kualitatif mendalam, memadai, dan menyeluruh tentang nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal. Bertolak dari pertimbangan itu, dan berdasarkan hasil pembacaan dan penelitian, dari 17 judul puisi ditemukan 10 judul puisi dalam Kitab Amsal yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Jenis data penelitian ini diklasifikasi lagi menjadi empat macam, yaitu (1)data nilai-nilai moral individual/pribadi dalam Kitab Amsal berupa perintah, (2)data nilai-nilai moral individual/pribadi dalam Kitab Amsal berupa larangan, (3)data nilai –nilai moral sosial dalam Kitab Amsal berupa perintah, dan (4)data nilai–nilai moral sosial berupa larangan dalam Kitab Amsal. Teknik pengumpulan/pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahan dan gambaran data yang mau diperoleh (Fatchan, 2005:73). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik studi dokumentasi atau kajian kepustakaan. Teknik ini digunakan karena sumber data penelitian ini bersifat
26
dokumentasi sedangkan datanya bersifat ideografis-hermenutis yang merupakan hasil penghayatan (erlebnis) dan pemahaman (verstehen) arti secara mendalam dan mencukupi. Rambu-rambu untuk melaksanakannya dikembangkan ramburambu studi dokumentasi dan rancangan studi kasus yang berfungsi sebagai instrumen penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa manusia, yakni peneliti sendiri. Digunakannya peneliti sebagai instrumen (Hasan dalam Aminuddin, 1990) didasari oleh alasan bahwa penelitian nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal merupakan penelitian hermeneutis yang memerlukan penghayatan dan pemahaman interpretatif atau hermeneutis atas sumber data (Kleden, 1986: 182-186 dan Kartodirdjo, 1992: 127). Dalam melaksanakan pekejaannya sebagai instrumen, peneliti dipandu oleh rambu-rambu tentang ihwal nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal. Dengan rambu-rambu itu diharapkan peneliti dapat melaksanakan studi dokumentasi secara terarah sesuai dengan keperluan penelitian. Rambu-rambu studi dokumentasi yang dimaksud sebagai berikut. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pemahaman arti secara mendalam menurut asas-asas lingkaran hermenutika (Sumaryono, 1999: 103). Thompson dan Waluyo, 1990 : 4) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya dalam hermeneutik ada empat tahap yang dilakukan yaitu, (1)tahap pemahaman (comprehension), (2)tahap pengudaran karya (explication), (3)tahap penjelasan (explanation), dan (4)tahap interpretasi (interpretation).
27
Keabsahan data penelitian ini diuji dengan (1)ketekunan pengamatan, (2)kecukupan rujukan, (3)diskusi kesejawatan, dan (4)triangualsi. Pengujian keabsahan data dengan ketekunan pengamatan yang dilakukan dengan cara mengamati secara tekun, ajeg, berkesinambungan, sungguh, cermat, teliti, dan terperinci sesuai dengan masalah dan data penelitian. Pengujian keabsahan
dan kecukupan rujukan dilakukan dengan cara
membaca dan menelaah berbagai pustaka yang relevan dengan nilai-nilai moral secara berulang-ulang agar diperoleh pemahaman arti yang memadai, dan mencukupi. Melalui cara ini diharapkan dapat diperoleh data yang absah. Pengujian keabsahan dengan diskusi kesejawatan dilakukan dengan cara tinjaun sejawat/informasi. Hal ini dilakukan dengan cara berdiskusi dan bertukar pikiran tentang berbagai permasalahan penelitian dengan sejawat yang ditentukan berdasarkan pengetahuan dan keahlian dalam bidang puisi dan substansinya. Pengujian keabsahan data dengan cara triangulasi data dilakukan denga cara mengecek data penelitian secara berulang-ulnag hingga mencapai titik jenuh. Teknik analisis data kualitatif menurut Miles & Huberman (1992: 16) dilakukan dengan langkah (1)mereduksi data (pengidentifikasian, pengkodean, pengklasifikasian, (2)menyajikan data (pemaknaan, penginterpretasian, dan (3)menyimpulkan atau verifikasi data. Dalam perspektif hermeneutis, analisis data semacam itu disebut lingkaran hermeneutis. Jadi, pengumpulan data penelitian ini pengumpulan data dan analisis data tentang nilai moral dalam Kitab Amsal dikerjakan secara simultan, serempak, bolak-balik dan berkali-kali sampai titik jenuh sesuai dengan
28
keperluan dan kecukupan, yakni sampai dihasilkan temuan nilai-nilai moral dalam Kitab Amsal. Berdasarkan kodifikasi data, maka diperoleh data penelitian nilai-nilai moral yang terdiri dari nilai moral individual/pribadi berupa perintah yang meliputi, kejujuran yang terdiri dari, (1)kejujuran kepada Allah, (2)kejujuran terhadap
sesama,
(3)kejujuran
terhadap
diri,
keteguhan
hati,
kebertanggungjawaban, kesabaran, kebijaksanaan, kerendahan hati, kehatihatian/kewaspadaan, kepatuhan; nilai-nilai moral individual/pribadi berupa larangan yang meliputi, ketidakjujuran yang terdiri dari, (1)ketidakjujuran kepada Allah, (2)ketidakjujuran terhadap sesama, (3)ketidakjujuran terhadap diri, panjang mulut, sombong, tidak patuh, tidak hati-hati, tidak sabar; nilai-nilai moral sosial berupa perintah yang meliputi, kasih sayang, solidaritas, kebersamaan, kesetiaan sosial, kepedulian sosial; nilai-nilai moral sosial berupa larangan yang meliputi, cepat percaya pada perkataan orang lain, jahat pada orang lain, iri hati.
HASIL PENELITIAN Nilai-nilai moral individual/pribadi dalam KA diungkapkan secara langsung dan secara tidak langsung. Nilai-nilai moral yang berhubungan dengan diri sendiri dalam Kitab Amsal yang berupa perintah meliputi (1)kejujuran, meliputi a)kejujuran kepada Allah, b)kejujuran kepada sesama, c)kejujuran kepada diri sendiri, (2)keteguhan hati, (3)kebertanggungjawaban, (3)kesabaran, (4)kebijaksanaan, (4)kerendahan hati, (5)kehati-hatian/kewaspadaan dalam
29
bertindak,
(6)kepatuhan,
dan
yang
berupa
larangan
meliputi
(1)ketidakjujuran,meliputi a)ketidakjujuran kepada Allah, b)ketidakjujuran kepada sesama, c)ketidakjujuran kepada diri sendiri (2)panjang mulut, (3)sombong, (4)tidak patuh, (5)tidak hati-hati, (6)tidak sabar. Nilai-nilai moral sosial atau nilai-nilai moral yang berhubungan dengan sesama manusia. Nilai-nilai moral sosial yang ditemukan dalam Kitab Amsal terdiri atas nilai moral sosial berupa perintah meliputi, (1)kasih sayang, meliputi a)saling memaafkan, b)saling menasihati, (2)solidaritas, (3)kebersamaan, meliputi a)kerukunan, (4)kesetiaan sosial, (5)kepedulian sosial, meliputi a)tolong-menolong, dan nilai-nilai moral sosial berupa larangan meliputi, (1)cepat percaya pada perkataan orang lain, (2)jahat pada orang lain, (3)iri hati.
PEMBAHASAN A. Keterkaitan Nilai-Nilai Moral dalam Kitab Amsal dengan Teori Sebelumnya 1) Nilai-Nilai Moral Individual/Pribadi Berupa Perintah Keterkaitan nilai-nilai moral individual/pribadi yang terdapat dalam Kitab Amsal dengan teori sebelumnya masing-masing dijelaskan berikut ini. (1) Kejujuran a) Kejujuran kepada Allah Jujur atau benar yaitu memberitahukan, menuturkan sesuatu dengan sebenarnya. Lawan dari jujur adalah dusta. Kejujuran selalu berpegang pada prinsip kebenaran dan dilaksanakan di atas hukum yang benar. Hal tersebut
30
merupakan tiang yang kokoh dalam akhlak/moral sebagaimana Aristoteles menyatakan salah satu tiang akhlak/moral adalah kejujuran. Peschke (2003: 195196) mengatakan bahwa tindakan seseorang haruslah jujur. Tindakannya harus selaras dengan prinsip-prinsip yang dimiliki pribadi itu dan yang dianutnya. Berlaku benar dalam perbuatan berarti bahwa seseorang bertindak selaras dengan pikiran dan kata-katanya. Manusia yang berpegang pada apa yang dibelanya, adalah seorang yang jujur dan seorang yang jujur adalah sama seperti kebenaran yang diungkapkannya. b) Kejujuran kepada sesama Kejujuran terhadap sesama memiliki arti bersikap terbuka, dan bersikap wajar. Bersikap terbuka adalah berani mengatakan diri apa adanya, tidak menyembunyikan diri, dan dapat menyesuaikan diri dengan sesama. Bersikap terbuka juga berarti dapat menerima sesama, menghormati apa yang menjadi hak mereka termasuk untuk mengetahui pikiran dan perasaan kita. Menurut Peschke (3003: 193) kejujuran menuntut dari seseorang agar terbuka terhadap kritik orang lain tanpa rasa antipati dan keinginan balas dendam. Manusia tulus dan jujur menerima dengan serius pendapat orang lain, dan bersedia mengakui kekeliruan dan kesalahannya. Bersikap wajar atau fair berarti memperlakukan orang lain sesuai standarstandar yang diharapkan, sebagaimana Suseno (1987:143) mengatakan bahwa orang yang bersikap wajar atau fair berarti ia menghormati hak orang lain, selalu memenuhi janji yang diucapkan, tidak pernah bertindak yang bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Bersikap wajar menghendaki agar dalam
31
hidup bersama dengan rela mendengarkan sesama, menghargai sesama, mengakui keterbatasan serta keberhasilan sesama sehingga tercapai kedamaian dan kebahagiaan.
c) Kejujuran kepada diri sendiri Kejujuran terhadap diri sendiri menghendaki adanya keharmonisan antara bisikan hati dengan perkataan, dan tindakan, antara hati, ucapan, dan tingkahlaku. Kejujuran terhadap diri sendiri memampukan seseorang untuk jujur terhadap Tuhan dan sesama dimana harus berhenti membohongi dirinya, berhenti bermain sandiwara terhadap diri, melawan kecurangan yang ada dalam dirinya, menguasai diri terhadap nafsu atau emosi-emosi pasif. Sikap orang jujur mampu melakukan perbuatan baik seperti Spinoza mengatakan orang yang baik mampu mengembangkan emosi-emosi aktif seperti kekuatan dan kebesaran hati, budi luhur, kemampuan menguasai diri, berkepala dingin dan sigap terhadap bahaya melalui nalarnya. Kejujuran terhadap diri sendiri yang digambarkan puisi-puisi Amsal merupakan kejujuran yang bersifat universal yang berasal dari panggilan hati untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dalam hidup. (2) Keteguhan Keteguhan berarti kukuh, kuat, tetap atau tidak berubah. Selain itu, teguh juga dapat diartikan taat asas atau setia pada keyakinan, memegang erat suatu aturan atau kesepakatan, atau tidak mudah goyah dalam menghadapi berbagai kemungkinan godaan. Keteguhan menuntut keberanian moral untuk setia pada
32
keyakinan, kesepakatan, keputusan yang memberikan ketenteraman hati. Suseno (1987:147) mengatakan keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang pada akhirnya mengarahkan seseorang kepada kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Plato menyatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan hidup, perbuatan manusia harus mengandung empat pokok keutamaan yang salah satunya adalah keteguhan atau keberanian. Keteguhan yang digambarkan puisi-puisi Amsal merupakan keteguhan yang bersifat universal yang berasal dari panggilan hati untuk berani menghadapi cobaan, tantangan, berani mengatakan yang benar demi terciptanya kedamaian dan kebahagiaan hidup. (3) Kebertanggungjawaban Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Bertanggung jawab adalah kesediaan untuk melakukan tanggung jawab. Tanggung jawab menuntut kecerdasan akal budi untuk menilai apa yang penting dan luhur. Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, terhadap perbuatannya. Suseno mengatakan manusialah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri. Dengan akal budinya, manusia memiliki kebebasan untuk menaati sekaligus bertanggung jawab terhadap apa yang dinilainya penting dan luhur. Tanggung jawab yang digambarkan puisi-puisi KA bersifat universal yang berasal dari ketulusan hati untuk menjalankannya dan tanggung jawab ini
33
terdapat dalam semua ajaran agama yang menghendaki umat manusia bertanggung jawab atas hidup yang diberikan Tuhan dengan sebaik-baiknya.
(4) Kesabaran Sabar artinya tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah dan tidak lekas putus asa, tenang, tidak terburu nafsu). Kesabaran artinya ketenangan hati dalam menghadapi segala cobaan. Kesabaran dapat diungkapkan dalam menerima musibah, meninggalkan kebiasaan buruk, dan kesabaran dalam berusaha/berjuang. Kesabaran tersebut mempersyaratkan usaha keras (maksimal), tidak putus asa, dan berserah diri kepada Tuhan. Kesabaran merupakan sikap hati yang melekat dalam setiap pribadi, sehingga bersifat personal. Dalam katolik, kesabaran merupakan kebajikan kristiani yang harus dimiliki karena merupakan bagian hakiki karakter manusia. Peschke (2003:388) mengatakan kebajikan sebagai kualitas moral yang baik, yang mengarahkan manusia kepada kebaikan moral mengandaikan keputusan dasar yang benar. Yang termasuk kebajikan seperti kerajinan, ketelitian, cinta terhadap aturan, kecakapan, kesabaran, kontrol diri, keberanian. Kesabaran yang digambarkan dalam puisi-puisi KA pada dasarnya bersifat universal, sebab agama apa pun dan budaya apa pun mengajarkan kesabaran terutama dalam memperjuangkan sesuatu yang baik untuk kehidupan meskipun intensitasnya bermacam-macam. Adapun sikap sabar dan ikhlas lebih banyak bersifat ketimuran, sebab pada umumnya budaya barat lebih didominasi
34
oleh hedonis, materialis, dan kapitalis yang lebih mengedepankan pamrih materi dan kesenangan daripada ikhlas (dalam pengertian hanya mencari kehendak Tuhan).
(5)Kebijaksanaan Bijaksana merupakan salah satu sifat yang agung. Kebijaksanaan berarti pandai menggunakan akal budi berupa pengalaman, pengetahuan, rasa kemanusiaan, dan cakap dalam bertindak dalam menghadapi kesulitan. Bijaksana yang merupakan sifat Tuhan hendaknya dimiliki setiap manusia, utamanya seorang pemimpin. Menurut Peschke (2003:82) kebijaksanaan adalah daya penata di balik penciptaan dan asal mula segala tata individual. Kebijaksanaan tidak pernah ada dan berkarya secara terpisah dari manusia. Kebijaksanaan merupakan sikap yang diidealkan manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup sebagaimana Plato menyatakan kebijaksanaan merupakan salah satu dari empat pokok keutamaan untuk mencapai kesempurnaan hidup karena dengan kebijaksanaan, manusia dapat mengatur dirinya sendiri dan orang lain. Kebijaksanaan yang digambarkan dalam puisi-puisi KA pada dasarnya bersifat universal, sebab kebijaksanaan diajarkan dalam agama apa pun dan budaya
apa
pun
terutama
dalam
memperjuangkan
kebahagiaan
dan
kesempurnaan hidup dimana melalui sikap bijaksana akan membantu setiap orang untuk mengerti tentang kebenaran, keadilan, dan kejujuran bahkan setiap jalan yang baik. (6) Kerendahan hati
35
Kerendahan hati merupakan kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Kerendahhatian berarti berjiwa besar dimana seseorang mau mengakui kesalahan dan mau meminta maaf atas kesalahan tersebut dan mengakui keterbatasan orang lain. Nilai kerendahan hati terungkap dalam sikap tidak
membesar-besarkan
kebaikan
yang
telah
diperbuat,
dan
tidak
menyombongkan diri sendiri. Peschke (2003: 381) mengatakan kerendahan hati merupakan syarat bagi pengenalan diri sejati dan penyesalan serta pertobatan sejati. Hanya manusia yang rendah hati memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya. Kerendahan hati merupakan wujud keberanian moral untuk menerima diri, mengakui keterbatasan dan kekuatan diri sehingga bisa menerima dan mengakui sesama apa adanya. Menurut (Suseno 1987:148) orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya. Kerendahan hati yang digambarkan oleh KA mengacu pada sikap bijaksana yang bersifat universal. Rendah hati yang didasarkan oleh panggilan hati yang jujur, tulus, bertanggungjawab, karena menyadari melalui kerendahan hati manusia mampu mengenal keadaannya yang sebenarnya di hadapan Tuhan dan sesama dan mampu menilai dirinya sebagaimana dia sesungguhnya yang memiliki keterbatasan untuk dipulihkan dan memiliki kelebihan atau kekuatan untuk dikembangkan menjadi lebih baik. (7) Kehati-hatian Kehati-hatian disebut juga kewaspadaan. Waspada berarti berhati-hati dan berjaga-jaga; bersiap siaga; mawas diri. Waspada juga dapat diartikan selalu bersiap siaga menghadapi suatu kemungkinan yang akan terjadi. Dengan
36
demikian, kewaspadaan dapat diartikan kehati-hatian, kesiapsiagaan dalam menghadapi suatu kemungkinan yang akan terjadi. Kewaspadaan hendaknya selalu dimiliki oleh setiap manusia kapan dan dimanapun berada. Kewaspadaan dalam misi kristiani merupakan salah satu kebajikan yang mendapat penekanan (Peschke, 2003:390). Kewaspadaan yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada sikap waspada yang bersifat universal. Kewaspadaan yang didasarkan oleh panggilan hati yang jujur, penuh kesadaran akan diri, murni, dan berjaga dalam keinginan, kehendak, pikiran, ingatan, dan segala perasaan dari hal-hal yang jahat karena menyadari hidup ini sebagai suatu perjalanan menuju pada Allah. (8) Kepatuhan Kepatuhan dapat digambarkan sebagai sikap yang setia pada aturan, ketentuan, teguran, nasihat yang memberikan nilai positip dalam hidup yang memberikan kedamaian dan kebahagiaan hidup. Bentuk patuh yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa patuh atau taat pada perintah, aturan, melaksanakannya dengan penuh keikhlasan tanpa adanya unsur paksaan, tekanan, atau takut hukuman. Sikap patuh juga merupakan salah satu sifat yang hendaknya dimiliki oleh setiap manusia karena melalui sikap yang patuh, seseorang setia terhadap apa yang telah dipilihnya atau dianggapnya memberikan pengaruh yang baik bagi hidupnya. Kepatuhan dapat terungkap melalui kesediaan untuk mendengarkan sesama, mengikuti apa yang menjadi kesepakatan bersama. Kepatuhan memiliki nilai yang transendental
37
yakni patuh terhadap apa yang menjadi rencana dan kehendak Tuhan dalam hidup.
Kepatuhan yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada kepatuhan yang bersifat universal. Kepatuhan yang didasarkan oleh panggilan hati yang jujur, karena menyadari melalui sikap patuh manusia mampu setia, taat pada aturan, ketentuan, keputusan, nasihat, teguran, didikan yang membuatnya menjadi orang yang baik, berguna, bijaksana sehingga dapat setia, taat, percaya pada seluruh rencana dan keputusan Tuhan di dalam hidupnya. Kepatuhan yang didasari sikap rendah hati untuk mendengar, melaksanakan dengan penuh kesadaran, hati yang bebas, terbuka, bertanggung jawab. 2) Nilai-Nilai Moral Individual/Pribadi Berupa Larangan (1) Ketidakjujuran a) Ketidakjujuran kepada Allah Ketidakjujuran merupakan perbuatan yang dilarang karena ketidakjujuran mendatangkan kerugian bagi diri. Menurut Suseno (1987:142) tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Sikap yang lurus selalu berasal dari hati yang jujur, batin yang tulus. Karena itu kejujuran sangat dibutuhkan dalam hidup seseorang karena merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral. Tanpa kejujuran manusia tidak dapat maju selangkah untuk menjadi dirinya sendiri, seperti jujur untuk mengatakan sesuatu dengan benar, bertindak adil, melakukan sesuatu dengan ikhlas.
38
Larangan berupa ketidakjujuran terhadap Allah yang digambarkan dalam puisi-puisi KA pada dasarnya bersifat universal untuk kepentingan semua manusia. Ketidakjujuran membuat seseorang menyembunyikan keberadaan yang sejati dan niatnya yang benar dihadapan Tuhan. Tetapi dengan kejujuran seseorang dapat mempertimbangkan yang benar dan yang dusta, yang hak dan yang bukan hak, sehingga dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatan dan akibat dari perbuatannya terutama kepada Tuhan sendiri. b) Ketidakjujuran kepada sesama Ketidakjujuran terhadap sesama berarti mengingkari apa yang seharusnya atau sewajarnya diberikan kepada sesama, yang menampakkan sikap yang wajar dan apa adanya. Karena itu, larangan untuk tidak melakukan tindakan atau perbuatan tidak jujur terhadap sesama diberikan supaya tetap diingat bahwa dalam hidup, yang diusahakan adalah kejujuran bukan ketidakjujuran. Menurut Peschke (2003: 196) manusia yang berpegang teguh pada apa yang dibelanya, adalah seorang yang jujur:”Apabila kita menginginkan temanteman dan lawan yang jujur, maka kita berpikir tentang sikap yang lurus dan dapat diandalkan. Apabila sikap yang benar dilihat dari ketulusan maka orang tidak saja berpikir tentang pernyataan yang benar, tetapi juga kemampuan untuk mewujudkan pernyataan itu secara praktis. Seorang yang jujur adalah sama seperti kebenaran yang diungkapkannya.” Larangan berupa ketidakjujuran yang digambarkan dalam puisi-puisi KA pada dasarnya bersifat universal untuk kepentingan semua manusia. Seorang yang jujur adalah sama seperti kebenaran yang diungkapkannya. Sikap yang
39
wajar, menghargai hak orang lain menggambarkan bahwa setiap orang diperlakukan dengan wajar, bukan sebaliknya dengan sikap tidak wajar atau tidak menghargai hak orang tersebut bahkan dengan tahu dan mau yang sama artinya dengan membohongi diri sendiri. c) Ketidakjujuran kepada diri sendiri Ketidakjujuran terhadap diri sendiri merupakan sikap menipu diri, tidak berani dan tidak tegas terhadap apa yang seharusnya dilakukan yakni berkata benar, bertindak adil terhadap diri sendiri. Hal ini dituntut sikap tanggung jawab, rendah hati, menerima, mengakui diri. Untuk dapat lepas dari tipu diri dan pengasingan, seorang pribadi harus belajar untuk jujur secara radikal terhadap dirinya sendiri. Hal ini menuntut keberanian untuk menerima diri dan secara jujur mengakui batas-batasnya. Dituntut kesediaan untuk bertobat, manakala seseorang menyadari bahwa ia melakukan hal tidak benar. Ketulusan batin mengandaikan penyangkalan diri yang penuh kerendahan hati dan bebas dari sikap angkuh (Peschke, 2003:194). Larangan berupa ketidakjujuran terhadap diri sendiri yang digambarkan dalam puisi-puisi KA pada dasarnya bersifat universal untuk kepentingan semua manusia. Keterbukaan hati sangat membantu seseorang bersikap jujur terhadap diri sehingga mampu bersikap jujur terhadap sesama dan terhadap Tuhan. (2) Panjang Mulut Perbuatan suka mengadukan hal kepada orang lain, suka memperkarakan orang, dan suka mengomel termasuk panjang mulut. Panjang mulut bermakna suka menyampaikan berita atau sesuatu yang dialami, dilihat kepada orang lain.
40
Perbuatan panjang mulut termasuk perbuatan yang tidak baik karena perbuatan tersebut dapat menimbulkan kegelisahan atau mencelakakan orang lain atau bahkan pada diri sendiri. Oleh karena itu, setiap orang diharapkan agar tidak memiliki sifat tersebut. Larangan untuk bersikap panjang mulut yang digambarkan puisi-puisi KA pada dasarnya mengacu pada larangan yang bersifat universal bagi semua umat manusia. Larangan ini berasal dari rasa tanggung jawab terhadap diri dan sesama, tanggung jawab terhadap Tuhan yang berasal dari hati yang tulus, jujur, saling menghargai dan menghormati sesama. (3) Sombong Sikap sombong merupakan bentuk cinta diri karena menghargai diri secara berlebihan, congkak, atau pongah. Sombong merupakan sifat yang tidak terpuji, baik di mata masyarakat maupun di mata Tuhan. Sifat sombong membuat seseorang tidak tahu diri, tidak memahami, tidak menerima, dan menghargai situasi atau keadaan sesama, lingkungan sekitar, lupa pada Tuhan. Bersifat sombong berarti menentang Allah, memulai peperangan denganNya sebagai pencipta yang Mahatinggi, dan gagah perkasa sebagai pemilik segala keagungan juga dengan sesama. Bersifat sombong berarti ketertutupan hati untuk tidak merendah dihadapan Tuhan juga sesama. Karena itu, kejujuran untuk mendengarkan suara hati sangat diperlukan dalam mengatasi sikap sombong sebagaimana Banawiratma (1986:134) mengatakan di dalam suara hatinya, manusia mengambil keputusan dan mulai melaksanakan tekatnya.
41
Larangan
bersikap
sombong
yang
digambarkan
puisi-puisi
KA
merupakan larangan yang bersifat universal, berlaku untuk semua orang. Kesombongan selalu berasal dari ketertutupan yang menumpulkan suara hati yang membuat seseorang tidak bahagia, selalu diliputi rencana jahat terhadap sesama. (4) Tidak Patuh Tidak patuh berarti tidak menurut perintah, tidak taat, tidak disiplin. Tidak patuh merupakan sifat yang dilarang karena tidak patuh dapat mendatangkan perpecahan karena tidak taat atau tidak mengikuti apa yang telah disepakati bersama atau apa yang telah disampaikan untuk kebaikan bersama. Sebaliknya patuh merupakan sifat yang baik dan terpuji. Sikap patuh berasal dari kerelaan hati yang jujur, bertanggung jawab atas diri dan apa yang harus dilakukan dengan penuh kebebasan atau tanpa paksaan, seperti patuh terhadap hukum, aturan yang berlaku untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Menurut Suseno (1987:46) manusia bermoralitas otonom melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya bukan karena takut atau merasa tertekan, melainkan karena ia sendiri sadar, jadi menyadari nilai dan makna serta perlunya kewajiban dan tanggung jawabnya itu. Sikap tidak patuh yang digambarkan puisi-puisi KA merupakan gambaran tidak patuh yang universal, yang berlaku bagi semua orang. Sikap tidak patuh yang mengungkapkan ketertutupan hati, tidak adanya rasa tanggung jawab terhadap diri, sesama, dan Tuhan yang membuat hidup tidak bahagia. (5) Tidak Hati-hati
42
Tidak hati-hati atau tidak waspada merupakan sikap yang tidak siap, tidak siaga, gegabah, ceroboh. Sikap ini tidak terpuji karena dapat mencelakakan diri maupun sesama. Sikap tidak hati-hati terjadi karena kurang membuat pertimbangan yang matang terhadap situasi, persoalan, tindakan, sikap yang diambil terhadap suatu peristiwa. Segala situasi atau berbagai persoalan serta kemungkinan yang terjadi dalam hidup tidak ditanggapi dengan hati yang tenang, lapang tetapi selalu berdasarkan emosi, nafsu ingat diri, merasa apa yang dilakukan adalah benar tanpa memperhitungkan akibatnya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Sikap yang ceroboh lahir dari hati nurani yang tidak mantap, tawar yang cenderung menilai-karena tidak mempunyai alasan yang cukup-sesuatu yang tidak diperbolehkan sebagai sesuatu yang diperbolehkan, atau menganggap sesuatu yang sebenarnya merupakan kesalahan berat sebagai hal yang sepele (Peschke, 2003:210-211). Larangan bersikap tidak hati-hati yang digambarkan puisi-puisi KA merupakan peringatan untuk selalu waspada, mawas diri. Sikap ini dapat terjadi kalau hati selalu dijaga sehingga mampu memberikan pertimbangan yang bijaksana dalam menghadapi situasi hidup yang menuntut pengambilan keputusan yang tepat, pemberian tindakan yang tepat, bertanggung jawab dan tidak ceroboh. Larangan bersikap tidak hati-hati mengacu pada larangan yang bersifat universal yang berasal dari kesadaran diri, kejujuran, tanggung jawab, dan kemurnian hati. (6) Tidak Sabar
43
Ketidaksabaran adalah sikap yang tidak dapat menaklukan nafsunya, tidak mampu mengendalikan diri. Sikap tidak sabar sangat tidak dianjurkan karena akan membebani diri, membiarkan diri dikuasai oleh nafsu yang tak terkendali. Sebaliknya, kesabaran merupakan tanda kekuatan kalau seseorang dapat menaklukan nafsunya, mampu mengendalikan pikiran ketika bergolak dan reaktif, mampu menguasai diri dalam posisi sulit sekalipun, mampu menghadapi dengan tenang segala fitnah dan ujian, dan menghindari perdebatan tanpa kendali. Sikap penuh kesabaran sangat diperlukan dalam menata hidup. Hal ini sejalan dengan Spinoza (1632-1677) yang mengatakan perbuatan baik adalah perbuatan yang bijaksana, yakni perbuatan yang mencari pengertian dan tidak membiarkan dirinya diperbudak oleh emosi-emosi pasif, seperti nafsu mencari kenikmatan, perasaan takut, balas dendam. Orang yang baik mampu mengembangkan emosiemosi aktif seperti kekuatan dan kebesaran hati, budi luhur, kemampuan menguasai diri, berkepala dingin dan sigap terhadap bahaya melalui nalarnya. Larangan terhadap sikap tidak sabar yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada larangan yang bersifat universal yang berasal dari kebesaran hati, keluhuran budi untuk bertahan terhadap cobaan yang memancing emosi dan bertahan dalam niat baik yakni menguasai diri, bersikap bijaksana yang dapat memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup.
2. Nilai-Nilai Moral Sosial Keterkaitan nilai-nilai moral sosial yang terdapat dalam Kitab Amsal dengan teori sebelumnya masing-masing dijelaskan berikut ini.
44
1) Nilai-Nilai Moral Sosial Berupa Perintah (1) Kasih sayang Kasih sayang disebut pula dengan cinta kasih atau belas kasihan dapat diartikan sebagai perasaan sayang, perasaan cinta atau perasaan suka terhadap seseorang. Akan tetapi, naluri kemanusiaan ini dapat tertutup jika terdapat hambatan-hambatan, misalnya karena pertengkaran, permusuhan, kerakusan, dan kedengkian. Dalam kasih sayang diperlukan kejujuran, saling percaya, tanggung jawab, saling pengertian, dan saling terbuka sehingga dalam kasih sayang tercipta suatu kesatuan yang utuh dan bulat. Menurut Peschke (2003:1) cinta sesama menawarkan ruang cinta terhadap Allah. Kita tidak mencintai Allah tanpa mengasihi juga sesama kita:”Karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya”(Yoh 4:20). Sifat kasih sayang dikembangkan mulai dari cinta kasih kepada Tuhan, pada diri sendiri, kasih sayang dalam lingkungan keluarga, sampai kasih sayang yang lebih luas dalam bentuk kemanusiaan. Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:37-39). Pada dasarnya sifat kasih sayang adalah berkat yang diberikan Tuhan kepada pelbagai makhluk. Sifat kasih sayang yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada ungkapan kasih sayang yang bersifat universal, perintah yang diberikan bagi semua orang bahkan semua makhluk. Kasih sayang yang diberikan dari hati yang
45
tulus, jujur, penuh tanggung jawab karena memiliki rasa saling percaya, saling menghargai, menghormati, saling mengasihi yang memberikan kebahagiaan dalam hidup bersama.
(2) Solidaritas Nilai solidaritas sangat dibutuhkan dalam hidup bersama karena nilai ini yang mengatur dan mempengaruhi cara membina hubungan antara sesama manusia, baik hubungan antarindividu maupun antarkelompok masyarakat sehingga terjalin hubungan yang baik dan harmonis. Hubungan antarsesama dapat terwujud apabila adanya sikap saling menghormati dan mencintai antara satu dengan yang lainnya sebagai ungkapan solidaritas diantara sesama manusia. Solidaritas terungkap dalam sikap saling menggembirakan, saling merelakan harta benda dalam batas-batas yang pantas, saling memaafkan, dan saling mengingatkan dalam hal-hal yang benar atau saling menasihati. Nilai-nilai moral solidaritas dalam penelitian ini berupa saling memaafkan dan saling menasihati seperti diuraikan berikut ini. a) Saling memaafkan Saling memaafkan dapat diartikan saling membebaskan seseorang dari hukuman, tuntutan, denda, dan sebagainya karena suatu kesalahan. Bersedia untuk saling memaafkan kesalahan orang lain merupakan salah satu akhlak yang mulia. Orang yang suka atau rela memaafkan kesalahan orang lain adalah orang yang baik dan berlapang dada. Oleh karena itu, setiap manusia sebenarnya harus
46
memiliki sifat tersebut. Sifat memaafkan membutuhkan keberanian, kebesaran hati, kerendahan hati. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Plato tentang perbuatan baik yang diidealkan manusia adalah perbuatan yang dapat digunakan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Salah satu dari keutamaan yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup adalah keberanian, keperwiraan. Gambaran saling memaafkan yang terdapat dalam puisi-puisi KA merupakan ungkapan yang berasal dari ketulusan, kejujuran, kerendahan hati, saling mengasihi yang mengacu pada sikap saling memaafkan yang bersifat universal yang harus dimiliki oleh semua orang dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran untuk terciptanya kedamaian dan kebahagiaan hidup. b) Saling menasihati Memberikan nasihat atau ajaran, petunjuk, anjuran yang baik kepada seseorang yang telah melakukan kesalahan merupakan suatu tindakan yang terpuji. Nasihat bisa membuat orang yang sedang marah menjadi tidak marah, juga bisa membuat orang yang jahat atau buruk sifatnya menjadi orang yang baik. Oleh karena itu, hendaklah saling menasihati dalam mengarungi kehidupan ini karena nasihat dapat membawa keselamatan atau ketenteraman bagi seseorang. Saling menasihati menuntut suatu tanggung jawab untuk berani menanggalkan rasa takut, acuh tak acuh terhadap apa yang seharusnya dilakukan dan rendah hati mengatakan demi kebaikan sesama. Suseno (1987:43) mengatakan orang yang bertanggung jawab adalah orang yang menguasai diri, yang tidak ditaklukkan oleh perasaan-perasaan dan emosi-emosinya, yang sanggup untuk menuju tujuan yang disadarinya sebagai yang penting, meskipun hal itu berat.
47
Gambaran sikap saling menasihati yang terdapat dalam puisi-puisi KA mengacu pada ungkapan saling menasihati yang bersifat universal yang berlaku bagi semua orang. Ungkapan ini berasal dari ketulusan hati, kejujuran, kerendahan hati, sikap mau menerima, saling percaya dan bertanggung jawab satu terhadap yang lain dalam hidup bermasyarakat. (3) Kebersamaan Nilai kebersamaan dalam penelitian ini adalah kerukunan yang akan diuraikan seperti berikut. a) Kerukunan Manusia membutuhkan kerjasama dan bantuan dari orang lain, oleh karena itu ia mempunyai kecenderungan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, berkelompok, dan bermasyarakat, sesuai dengan kodrat bahwa selain sebagai makhluk pribadi (individu) manusia merupakan makhluk sosial (monodualisme). Kebebasan sebagai individu tidak mungkin dipikirkan tanpa adanya ikatan dan keterikatan dengan orang lain. Kerja sama tersebut hanya dapat terwujud apabila kita hidup dalam kerukunan, saling menghormati dan mencintai antara satu dengan yang lainnya (Veeger,1985: 9) Kerukunan merupakan suatu kemauan untuk hidup bersama dengan berdampingan secara damai dan tertib, sehingga dalam kehidupan tercipta suasana kedamaian, ketertiban, ketenteraman, tanpa ada pertikaian dan pertengkaran. Agar kerukunan tetap terjaga, maka nilai-nilai arif bijaksana perlu dikembangkan. Sikap arif bijaksana ini yang dalam ungkapan Peschke adalah merupakan ciri lain dari cinta sesama yang tak dapat lepas dari sikap rendah hati,
48
perhatian penuh hormat kepada satu pribadi atau persekutuan dan yang membantu bertahannya hubungan harmonis dalam kelompok sosial. Wujud dari nilai arif bijaksana ini antara lain selalu menggunakan akal budi dalam berucap dan bertindak demi kebaikan dan kebenaran, bertindak dengan penuh pertimbangan, tanggung jawab, berhati-hati dalam menghadapi berbagai kesulitan, dan peka terhadap perasaan dan kepentingan orang lain, menaati norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, bersikap dan bertindak dengan tutur kata dan budi bahasa yang menyenangkan, ramah tamah. Kerukunan yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada kerukunan yang bersifat universal yang berasal dari kesadaran, rasa tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan, saling menerima, menghargai, saling percaya, saling menghormati karena melalui sikap positip ini kebersamaan dalam aneka perbedaan dapat terwujud sehingga cita-cita hidup rukun, damai dan bahagia tercapai. (4) Kesetiaan Sosial Setia berarti patuh, taat, tetap dan teguh hati dalam pendirian, janji. Sedangkan kesetiaan adalah keteguhan hati, ketaatan, atau tidak berpaling. Setia merupakan salah satu sifat terpuji yang hendaknya dimiliki oleh setiap manusia. Orang yang setia akan disenangi dan dipercaya oleh orang lain. Peschke (2003: 215) mengatakan kesetiaan adalah kebajikan yang membuat seorang pribadi teguh memegang kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapannya yang sah. Kesetiaan mewajibkan orang untuk memenuhi janji yang telah diucapkannya baik secara gamblang ataupun tersirat.
49
Kesetiaan yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada kesetiaan yang bersifat universal yang berasal dari kejujuran hati, keikhlasan, tanggung jawab, saling menyayangi, tenggang rasa, saling menolong untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup bersama.
(5) Kepedulian Sosial Kepedulian berarti keikutsertaan mempertahankan atau menghiraukan masyarakat yang ada di sekitar kita. Kepedulian akan menimbulkan perasaan senasib, sepenanggungan, dan sekeluarga atau memasyarakat. Wujud kepedulian yang ditemukan dalam penelitian ini berupa kesediaan tolong–menolong yang akan diuraikan berikut ini. a)Tolong – Menolong Pada hakikatnya tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa pertolongan atau bantuan orang lain. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin ditolong atau dibantu oleh orang lain, maka hendaklah kiranya juga mau menolong atau membantu orang lain. Tolong-menolong merupakan ungkapan cinta pada sesama yang berasal dari ketulusan hati sehingga baik yang ditolong maupun yang menolong akan memperoleh kepuasan batin. Peschke (2003: 12) mengatakan suatu kepedulian dalam bentuk kegiatan amal dalam bentuk suatu bantuan kelihatan tanpa sikap batin yang prihatin terhadap kesejahteraan sesama, tidak bernilai apa-apa. Memberi pertolongan harus mengalir dari hati, dilandasi sikap saling mengasih terlebih kepada sesama yang berkekurangan sebagaimana Tuhan
50
sendiri mengasihi manusia. Kieser (1987: 107) mengemukakan membuat sesuatu adalah usaha terhormat dan berharga, dan senyatanya membebaskan manusia karena mengalir dari kepenuhan Allah.
Kepedulian yang diungkapkan lewat sikap saling menolong yang diungkapkan puisi-puisi KA merupakan gambaran kepedulian yang bersifat universal dimana semua agama mengajarkan agar umatnya memiliki kepedulian sosial, memerangi kesulitan-kesulitan hidup sesama. Kepedulian yang berasal dari kejujuran, keterbukaan, pengampunan, tidak pilih kasih, adil untuk membina hubungan, interaksi yang baik dengan sesama sehingga tercipta kerukunan dan memperoleh kepuasan batin, kebahagiaan dalam kasih persaudaraan yang ikhlas. 2) Nilai-nilai Moral Sosial Berupa Larangan (1) Cepat Percaya pada Perkataan Orang Lain Cepat percaya pada perkataan orang lain merupakan sifat yang dilarang utamanya bagi seorang pemimpin karena tidak menutup kemungkinan bahwa laporan atau perkataan yang disampaikan orang lain hanya berupa fitnah belaka. Oleh karena itu, hendaklah terlebih dahulu mengecek kebenaran laporan atau perkataan orang lain tersebut sebelum mengambil keputusan atau tindakan. Peschke (2003: 198) mengatakan meskipun selalu ada kewajiban untuk jujur dalam kata-kata, orang tidak wajib, dan bahkan sering tidak berhak untuk mengatakan kepada orang lain semua hal yang ia tahu.
51
Laporan yang kita dengar atau terima hendaklah dicaritahu kebenarannya terlebih dahulu. Bisa terjadi bahwa orang yang membicarakan laporan memiliki maksud dan tujuan, misalnya menjelekkan orang lain, mengadu domba, atau bahkan menyelubungi kejelekan pelapor itu sendiri.
Larangan cepat percaya pada perkataan orang lain yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada larangan yang bersifat universal yang terdapat pada setiap agama, budaya, yang menghancurkan persatuan, kerukunan dalam hidup bersama. Untuk itu dibutuhkan sikap hati yang jujur, bijaksana, cermat, matang dalam menanggapi setiap pembicaraan tentang orang lain sehingga kebahagiaan hidup bersama dapat terwujud. (2) Jahat pada orang lain Perbuatan jahat adalah perbuatan yang dilarang dalam hidup bersama. Orang yang selalu berbuat jahat akan dibenci atau tidak diterima dalam bermasyarakat sehingga ia akan hidup terisolasi dari kehidupan sosial. Orang yang jahat penuh dengan rancangan yang jahat yang dapat diungkapkan lewat tutur kata, sikap, tindakan, perbuatan yang merugikan orang lain. Tidak menolong sesama terlebih yang sangat membutuhkan berarti juga suatu perbuatan yang membohongi diri, tidak jujur. Perbuatan bohong untuk tidak menolong adalah perbuatan yang dilakukan sengaja dengan tahu dan mau padahal ia dapat melakukannya terlebih kepada mereka yang membutuhkan. Perbuatan ini dilarang seperti diungkapkan Peschke
(2003: 35) siapa yang
52
sungguh membutuhkan, hendaknya diperlakukan dengan perhatian yang sejati dan persahabatan yang senasib sepenanggungan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Dokumen Gereja (AA 8 dalam Peschke 2003:35) bahwa orang harus mengindahkan “dengan penuh kemanusiaan kebebasan dan martabat pribadi yang menerima bantuan.”
Larangan untuk menjauhi perbuatan jahat pada orang lain yang digambarkan puisi-puisi KA mengacu pada larangan yang bersifat universal yang dijalankan oleh semua umat beragama dan seluruh masyarakat manapun. Larangan yang berasal dari kejujuran hati dan kerendahan hati sehingga mampu menghormati, menghargai, mengasihi sesama karena didorong oleh kesadaran akan perintah yang utama dan pertama adalah mengasihi Tuhan kemudian mengasihi sesama. (3 ) Iri Hati Iri hati merupakan sifat yang dilarang karena iri hati dan kecemburuan muncul dari rasa tidak puas terhadap diri sendiri yang menimbulkan rasa tidak puas terhadap sesama, terhadap apa yang dicapainya, yang dilakukannya. Iri hati muncul karena orang melihat keberhasilan, keuntungan dan ketenteraman yang diperoleh orang lain terlebih yang melakukan kelaliman (Pareira, 2005: 131). Iri hati dalam kehidupan sosial menimbulkan perpecahan, hidup munafik, tidak ikhlas, bohong, dendam, hidup dalam permusuhan karena iri hati bisa membuat orang membalas kejahatan dengan kejahatan, kelaliman dengan kelaliman. Padahal yang didambakan dalam hidup bersama adalah hidup rukun, bersatu,
53
saling menyayangi, mengampuni, memaafkan, saling memperhatikan, tolongmenolong sehingga tercipta kebahagiaan dan kedamaian sebagaimana yang dikehendaki Tuhan terhadap umatNya. Larangan bersikap iri hati terhadap sesama yang digambarkan puisi-puisi KA merupakan larangan yang bersifat universal yang diberikan kepada setiap umat beragama untuk dijalankan dalam kehidupan bersama. Menjauhi rasa iri, cemburu terhadap sesama berasal dari keinginan hati yang jujur, ikhlas, tanggung jawab dan rendah hati menerima, mengakui kesuksesan juga keterbatasan sesama sehingga dambaan hidup rukun dan bahagia dapat tercipta dalam hidup bersama.
B. Implikasi Temuan Penelitian dalam Pendidikan 1. Hubungan Temuan Penelitian dengan Pendidikan Temuan penelitian yang berupa nilai-nilai moral, baik nilai moral pribadi/individual maupun nilai moral sosial dalam wujud perintah dan larangan dalam KA merupakan salah satu bentuk kajian humaniora yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, arif, beradab, dan berbudaya. Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang termuat dalam UU Nomor 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yakni manusia yang berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap, mandiri, memiliki rasa tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.
54
Bertolak dari tujuan pendidikan di atas, maka temuan hasil penelitian ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional dalam mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, terutama dalam mengembangkan manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur, memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, rasa tanggung jawab, berwawasan kemasyarakatan dan kebangsaan. Sehubungan dengan itu diperlukan pendidikan moral yang menopang kiprah pendidikan, IPTEK, agar pembentukan dan pengembangan manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Dengan kata lain, pendidikan moral individu dan sosial harus ditanamkan secara mantap pada anak didik sejak dini, agar dapat membentuk sumber daya manusia yang berwawasan IPTEK mempunyai kemanusiaan, dan berwatak baik. 2. Makna Nilai-Nilai Moral dalam Pendidikan Moral dan Pengajaran Sastra Makna mengacu pada pentingnya temuan penelitian ini dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya pengajaran sastra. Bertolak dari hasil temuan penelitian yang berupa nilai-nilai moral dalam KA, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengajaran apresiasi sastra yang ideal-humanistik. Hal itu disebabkan oleh disajikannya hakikat perilaku individual dan sosial sebagaimana kodrat manusia yang dilahirkan sebagai pribadi yang otonom, namun dalam menjalani hidupnya selalu memerlukan dan melibatkan diri dengan manusia lain. Nilai-nilai moral individual/pribadi yang ditemukan dalam KA dapat digunakan untuk mengembangkan kepribadian, sehingga dapat melindungi, mengembangkan, dan mempertahankan hak masing-masing individu sebagai pribadi tanpa mengurangi hak pribadi orang lain. Adapun nilai-nilai moral sosial dapat digunakan untuk mengembangkan sikap dan tanggung jawab sosial,
55
sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan mempertahankan hak sebagai anggota masyarakat/bangsa tanpa mengurangi hak orang lain dalam masyarakat. Wujud larangan nilai-nilai moral dapat digunakan sebagai bahan introspeksi diri, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat yang harus bertanggung jawab terhadap dirinya dan masyarakat.
Gambaran nilai-nilai moral yang digambarkan dalam KA tidak terbatas pada perilaku yang diidealkan berdasarkan ajaran agama, tetapi mencakup hakikat perilaku yang bersifat universal. Oleh karena itu, nilai-nilai moral yang ditemukan dalam kumpulan puisi Amsal tersebut digunakan sebagai bahan pengajaran apresiasi sastra dalam upaya menggali nilai-nilai dalam karya sastra, khususnya nilai-nilai moral. 3. Sumbangan Temuan Penelitian Terhadap Pendidikan dan Pengajaran Sastra Bertolak dari visi dan tujuan pendidikan di atas, dalam hal filsafat pendidikan, temuan penelitian ini menawarkan pendidikan moral yang bersifat konservatif, progresif, dan eklektik yang berarti menekankan penggunaan nilainilai luhur yang diperoleh pada masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang dalam kehidupan personal maupun kehidupan sosial. Tujuannya adalah membentuk manusia yang memiliki kepribadian yang kuat, berwawasan luas, kreatif dan produktif, baik sebagai makhluk pribadi, maupun sebagai makhluk sosial.
56
Dalam hal metode, puisi menawarkan metode yang menarik dan tidak membosankan, karena digunakan berbagai cara untuk menyampaikan kebenaran berdasarkan fakta dan pengalaman. Puisi menggunakan metode yang tidak dogmatik, karena puisi mempersilahkan pembaca untuk memilih sendiri nilainilai yang cocok dengan kepribadian anak didik. Puisi juga menggunakan metode yang menghormati harkat dan martabat manusia karena puisi memberi kebebasan untuk memilih yang mereka sukai dan tidak pernah memaksa.
Disamping itu, puisi juga menggunakan metode yang akomodatif karena puisi dapat digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai yang dapat menyentuh kesadaran pembaca. Dengan demikian, nilai-nilai moral dalam puisi dapat digunakan sebagai metode pendidikan moral yang sesuai dengan keunikan dan kepribadian anak didik. Dalam implementasinya di sekolah, pendidikan moral tersebut dapat diintegrasikan dalam pembelajaran apresiasi sastra. 4. Rangkuman Hasil Penelitian Rangkuman yang disajikan berikut ini merupakan jawaban atas masalah penelitian yang telah dirumuskan yang selanjutnya disajikan sebagai berikut. 4.1. Nilai-Nilai Moral Invidual/Pribadi dalam Kitab Amsal berupa Perintah Wujud perintah nilai-nilai moral individual/pribadi dalam KA adalah cinta hidup yang berupa memiliki kejujuran berupa rasa percaya dan takut pada Tuhan, jujur pada sesama, jujur pada diri, memiliki keberanian moral dalam menghadapai persoalan, masalah, situasi, kenyataan hidup, memiliki kepandaian dan kecakapan mengolah hidup dan persoalannya dengan sikap bijaksana, hati-
57
hati, sabar, tanggung jawab, rendah hati, memiliki sikap konsistensi/ keteguhan dengan setia, taat, tekun dalam hidup. 4.2. Nilai-Nilai Moral Individual/Pribadi dalam Kitab Amsal berupa Larangan Wujud larangan nilai-nilai moral individual/pribadi dalam KA berupa tidak memiliki keberanian moral berupa ketidakjujuran pada Allah, pada sesama, pada diri sendiri, tidak memiliki kepandaian dan kecakapan hidup berupa panjang mulut, sombong, tidap patuh menjalankan keputusan, tidak hati-hati menanggapi situasi hidup, tidak sabar. 4.3. Nilai-Nilai Moral Sosial dalam Kitab Amsal berupa Perintah Wujud perintah nilai-nilai moral sosial dalam KA adalah cinta pada sesama yang berupa memiliki kasih sayang terhadap orang tua, antarsaudara, sesama, memiliki solidaritas, kepedulian terhadap sesama terlebih yang sangat membutuhkan pertolongan, memiliki kerukunan dalam kebersamaan, kesetiaan satu terhadap yang lain dalam memperjuangkan kebahagiaan dan kerukunan hidup bersama. 4.4. Nilai-Nilai Moral Sosial dalam Kitab Amsal berupa Larangan Wujud larangan nilai-nilai moral sosial dalam KA berupa tidak memiliki kasih sayang, cinta pada sesama, berupa cepat percaya pada perkataan orang lain yang merendahkan sesama, jahat pada orang lain dengan menyebarkan berita bohong, iri hati terhadap keberhasilan, sikap, perbuatan, kehidupan sesama.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
58
1. Nilai-Nilai Moral Invidual/Pribadi dalam Kitab Amsal berupa Perintah Nilai-nilai moral individual/pribadi berupa perintah dalam KA meliputi (1)kejujuran: (a)kepada Allah: percaya dan mengakui keperkasaan Tuhan dan menyadari keterbatasan diri untuk teguh pada jalan Tuhan, jalan kebenaran, tidak berdusta, tulus hati, (b)kepada sesama: terbuka, memperlakukan sesama secara wajar, menghormati sesama dengan tulus, percaya pada sesama, (c)kepada diri sendiri: mengatakan, menerima diri apa adanya sehingga perkataan, tindakan selaras dengan bisikan hati; (2)keteguhan: tidak berubah, kukuh, kuat, taat, setia pada keyakinan, aturan, kesepakatan dan tidak goyah menghadapi tantangan dalam hidup; (3)kebertanggungjawaban: bersedia melakukan apa yang menjadi kewajiban atau terhadap apa yang dinilai penting dan luhur; (4)kesabaran: tidak putus asa, tidak menyerah, tenang dalam menghadapi situasi atau cobaan yang memancing emosi marah; (5)kebijaksanaan: pandai menggunakan akal budi, pengetahuan, pengalaman, rasa kemanusiaan dengan cakap dan cerdas; (6)kerendahan hati: menerima diri, mengakui kekurangan atau keterbatasan serta kelebihan, berjiwa besar untuk meminta maaf dan memberi maaf; (7)kehatihatian: bersikap mawas diri, siaga dalam menghadapi situasi hidup; (8)kepatuhan: setia pada peraturan, tekun menjalankan, menerima teguran, nasihat yang berguna dalam hidup. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai moral individual/pribadi berupa perintah yang ditampilkan dalam KA dipengaruhi oleh kesadaran dan panggilan hati untuk melakukan kewajiban manusia sebagai pribadi, bertanggung jawab pada Tuhan, sesama, melindungi, menjaga, dan
59
mempertahankan diri sendiri (jiwa dan raga), serta mengembangkan semua potensi yang dimiliki seoptimal mungkin untuk memperoleh kebahagiaan hidup/kesempurnaan hidup sebagai pribadi. 2 Nilai-Nilai Moral Invidual/Pribadi dalam Kitab Amsal berupa Larangan Nilai--nilai moral individual/pribadi berupa larangan dalam KA, meliputi (1)ketidakjujuran, (a)kepada Allah: tidak pasrah, tidak percaya pada rencana dan kehendak Tuhan, ceroboh, hanya mengikuti kemauan diri, (b)kepada sesama: mengingkari apa yang seharusnya atau sewajarnya diberikan kepada sesama, (c)kepada diri sendiri: tidak tegas dengan diri, tidak berani, membohongi diri, tidak rendah hati menerima dan mengakui diri; (2)panjang mulut: suka mengadu, memperkarakan sesama, suka menyampaikan informasi atau berita yang dialami, suka mengeluh, mengomel; (3)sombong: menganggap diri hebat, bersikap congkak dan pongah, tidak rendah hati terhadap diri dan sesama bahkan terhadap Tuhan;
(4)tidak patuh: melanggar aturan, tidak disiplin dalam hidup,
mengabaikan tanggung jawab terhadap kesepakatan yang berlaku; (5)tidak hatihati: bersikap gegabah, ceroboh dalam bertindak yang mencelakakan diri dan sesama; (6)tidak sabar: membiarkan diri dikuasai nafsu, emosi atau tidak dapat mengendalikan diri. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai moral individual/pribadi berupa larangan yang ditampilkan dalam KA dipengaruhi oleh sikap hati yang tidak dapat mengendalikan emosi, nafsu, keinginan sehingga keputusan, kebijakan yang diambil hanya untuk kepuasan diri tanpa memperhitungkan apa yang baik dan seharusnya dilakukan.
60
3 Nilai-Nilai Moral Sosial dalam Kitab Amsal berupa Perintah Nilai--nilai moral sosial berupa perintah dalam KA, meliputi, (1)kasih sayang:
menghormati,
menghargai,
menyayangi
sesama
dalam
hidup
bermasyarakat; (2)solidaritas: (a)saling memaafkan: suka atau rela memberi maaf kepada sesama dan menerima maaf dari sesama atau saling meaafkan dalam hidup bersama, (b)saling menasihati: menegur, memberi nasihat, memberi anjuran, petunjuk bagi sesama terlebih yang telah melakukan kesalahan karena melalui nasihat orang yang marah bisa menjadi tidak marah; (3)kebersamaan: (a)kerukunan: menjalin hubungan yang baik dengan sesama sehingga dapat bekerja sama, hidup damai dan tenteram; (4)kesetiaan sosial: teguh, patuh pada pendirian atau janji untuk kebaikan bersama; (5)kepedulian sosial: (a)tolongmenolong: membantu sesama dengan ikhlas di dorong oleh rasa kasih terhadap sesama terlebih sesama yang sangat membutuhkan bantuan. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai moral sosial berupa perintah yang ditampilkan dalam KA dipengaruhi oleh kesadaran bermasyarakat dan panggilan hati sebagai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap
kesatuan,
kemajuan/kemakmuran,
keadilan,
dan
kewibawaan
masyarakat. 4 Nilai-Nilai Moral Sosial dalam Kitab Amsal berupa Larangan Nilai-nilai moral sosial berupa larangan dalam KA, meliputi, (1)cepat percaya pada perkataan orang lain: menerima informasi tentang sesama dan percaya pada informasi yang belum tentu benar tanpa pertimbangan; (2)jahat pada orang lain: berpikir jahat terhadap sesama, suka merancang perbuatan jahat
61
terhadap sesama karena tidak mau orang lain berhasil; (3)iri hati: merasa tidak puas dengan diri sendiri, tidak puas terhadap sesama, terhadap keberhasilan dan kelebihan sesama. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai moral sosial berupa larangan yang ditampilkan dalam KA dipengaruhi oleh sikap hati yang selalu tidak puas, materialisme, keputusan, kebijakan yang diambil untuk kepuasan diri tanpa memperhitungkan sesama dalam masyarakat.
Saran Berdasarkan temuan penelitian dan simpulan di atas berikut ini disampaikan beberapa saran. 1. Saran untuk Kepentingan Pengembangan Teori Untuk kepentingan pengembangan teori, khususnya teori apresiasi sastra, dan teori puisi, hasil penelitian ini dapat menjadi masukkan dalam bidang pengetahuan dan apresiasi sastra, khususnya apresiasi nilai-nilai dalam puisi. Selain itu, butir-butir temuan penelitian sebagaimana tersaji dalam paparan data, pembahasan, dan simpulan dapat memperkaya khazanah tentang nilai moral filosofis dalam puisi. Dengan temuan ini, para peneliti dan pengkaji puisi dapat menerapkan hasil penelitian untuk beberapa keperluan studi sastra, khususnya studi nilai-nilai dalam puisi. 2. Saran untuk Peneliti Selanjutnya
62
Mengingat materi kajian penelitian ini hanya terbatas pada nilai-nilai moral individual/pribadi dan sosial, kepada peneliti selanjutnya disarankan dapat mengkaji nilai-nilai religius dan nilai-nilai keindahan dalam KA. Dengan ditemukannya nilai-nilai tersebut akan diketahui keindahan dan kekuatan yang terdapat dalam puisi-puisi KA. 3. Saran untuk Kepentingan Akademis Untuk kepentingan pengajaran sastra, khususnya pengajaran apresiasi, kajian puisi, kritik puisi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan ajar pengkajian nilai-nilai dalam puisi. Para pengajar sastra, khususnya yang memilih puisi-puisi yang termasuk dalam aliran kesederhanaan baru seperti dalam KA dapat menggunakan hasil penelitian ini dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Penggunaan hasil penelitian ini dalam proses belajar mengajar akan membantu anak didik dalam memahami kekayaan nilai-nilai moral di dalamnya. 4. Saran untuk Kepentingan Praktis Untuk kepentingan praktis yang lainnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pendidikan moral yang diintegrasikan dengan pengajaran sastra. Disamping itu, juga dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan pada kegiatan-kegiatan diskusi, baik di sekolah, di sanggar-sanggar maupun di seminar atau kegiatan lainnya. Oleh karena itu, kepada berbagai pihak yang memiliki komitmen dengan pengkajian humaniora, dapat menggunakan hasil temuan penelitian ini untuk keperluan praktis sesuai dengan kebutuhan.
63
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Malang:Yayasan Asih Asah Asuh. Aminuddin 1990. Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa Dan Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Aminuddin 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru bekerjasama dengan Yayasan Asih Asah Asuh Malang. Aminuddin 2003. Semantik. Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Amir,H.1975. Etika (Ilmu Akhlak) (terjemahan Kh.Farid Ma’ruf). Jakarta: PT Bulang Bintang. Amir.
1990. Pendidikan Sastra Lanjut. Malang: IKIP Malang.
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori Dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. Bakker, J.W.M. 1988. Filsafat Kebudayaan. Jogyakarta: Kanisisus. Bergant,D. & Karris,R. 2002. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius. Bertens,K. 2005. Etika. Jakarta: Gramedia. Bogdan,R.C.,& Biklen,K.1992.Qualitatif Research for Education.Instruction to Theory and Method.Singapur:allin and Bacon. Damono, Sapardi, Djoko. 1985. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Depdikbud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Gadamer,Hans.G. 1975. Truth and Method. New York: The Seabury Press. Groenen, C. 1970. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius. Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan kritik kebudayaan. Jakarta: PP3ES. Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafiti.
64
Maulludin.2003. Sketsa Hermeneutik. GERBANG Jurnal Studi Agama dan Demokrasi.Lembaga Studi Agama dan Demokrasi bekerjasama dengan The Asia Foundation Surabaya.Vol.V Nomor 14:3-44. Miles, B.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjejep R. Rohindi Jakarta: Universitas Indonesia Press. Muzir,R.I. 2008. Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer.Jogyakarta. AR-RUZZ MEDIA.
Palmer, R. Richard. 2003. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pareira, A.Berthold. 2006. Jalan ke Hidup yang Bijak. Malang: Dioma. Peschke, Heinz-K. 2003. Etika Kristiani.Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero. Peschke, Heinz-K. 2003. Etika Kristiani.Pendasaran Teologi Moral. Maumere: Ledalero. Poespoprodjo, W. 1987. Interpretasi:Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya. Bandung: CV Remadja Karya. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori,Metode dan Penerapannya dalam Sastra. Humaniora, Buletin Fak. Sastra Universitas Gajah Mada, Nomor 10, Januari-April. 1999.Hal. 76-84. Skolismowski,Henryk.Tanpa Tahun. Filsafat Lingkungan:Merancang Taktik Baru Untuk Menjalani kehidupan.Terjemahan oleh Saut Pasaribu.2004. Yogyakarta:Bentang Budaya. Sumaryono. 1995. Hermenutika Sebuah Metode Filsafat. Surabaya: Indah. Suparno,P.Koesoemo,M.Y.,Titisari,D.,& Kartono,St. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah:Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Kanisius. Suseno, Magnis Franz. 1986. Kuasa Dan Moral. Yogyakarta: Kanisisus. Suseno, Magnis Franz. 1987. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Suseno, Magnis Franz. 1999. Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius.
65
Veeger,K.J. 1985. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia. Waluyo. 1991. Hermenutika Dalam Telaah Sastra. Jakarta: Gramedia. Alkitab Deutrokanonika. 1974.Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. 1976 Lembaga Biblika Indonesia.
1 Pengembangan Bahan Ajar Menulis Cerpen dengan Strategi Dari Cerpen ke Cerpen Siswa Kelas X di SMA Negeri I Malang. Oleh Sri Susilowati
Abstrak `The success of students in short story writing is not apart from the teacher’s guidance in choosing theme, developing main idea, developing characters either directly or indirectly, developing events, composing draft developed from the scheme and editing or revising the short story. The short story writing using modeling strategy in teaching materials aims at enabling students experiencing several steps in learning activities. Those steps are (1) Choosing topic, (2) Developing main idea, (3) Developing characters either directly or indirectly, (4) Developing events, (5) Composing scheme, (6) Writing short story and (6) Editing or revising. In order to achieve the competence standard of short story writing in the subject, a right strategy is needed. The strategy which is considered appropriate in this research is modeling strategy of From Short Story to Short Story (CKC) because the strategy provides opportunity to students to experience it by themselves. Therefore, several alternatives are needed, namely syllabus development, teaching material and product of short story writing strategy of From Short Story to Short Story with the strategy of for X grade students in State Senior High School I of Malang so that the evaluation/assessment process of short story writing can be analyzed according to the strategy of From Short Story to Short Story for X grade students in State Senior High School I of Malang. Kata kunci: pengembangan bahan ajar, menulis cerpen, strategi pemodelan
A. PENDAHULUAN Salah satu upaya untuk meningkatkan pendidikan di sekolah adalah melalui perbaikan proses belajar mengajar. Berbagai konsep dan wawasan baru tentang proses belajar mengajar di sekolah telah muncul dan berkembang, seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru yang menduduki posisi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia dituntut untuk terus mengikuti perkembangan konsepkonsep baru dalam dunia pembelajaran. Cepatnya perubahan itu, termasuk di dalamnya perubahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
2 Saat ini, dalam pembelajaran sastra di sekolah siswa kurang antusias mengikutinya. Penyebabnya, pembelajaran berlangsung pasif. Keadaan itu menghasilkan siswa yang kurang berinisiatif, tidak memiliki orientasi ke depan, tidak berani menghadapi risiko, dan sering kali menunggu petunjuk atau perintah orang lain. Kemungkinan besar, hal itu terjadi karena penerapan model pembelajaran sastra masih ‘begitu-begitu saja’. Artinya, pengajar kurang kreatif dan kurang bervariasi dalam pembuatan desain pembelajaran sehingga siswa kurang tertarik dalam pembelajaran sastra. Endraswara (2002: 59) mengemukakan bahwa pengetahuan dan kemampuan pengajar sastra di sekolah masih diragukan. Untuk itu, perlu dikembangkan strategi yang tepat untuk mendukung pencapaian kurikulum. Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, diamanatkan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah hendaknya dilaksanakan secara alamiah. Dawud, dkk. (2004:v) menyarankan agar pendekatan pembelajaran yang menempatkan guru sebagai sentral kegiatan belajar mengajar sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih baik jika anak mengalami apa yang dipelajari, bukan mengetahuinya. Oleh karena itu, perlu penciptaan suasana kelas yang hidup. Guru perlu mengubah paradigma pembelajaran, menciptakan lingkungan yang memberanikan siswa berinteraksi, menciptakan hubungan kooperatif, bertanggung jawab bagi kemajuan dirinya, dan memberikan kesempatan untuk bekerja secara interdisiplin. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Sebagian para pendidik melakukan percobaan-percobaan cara belajar yang efektif, cepat dan menyenangkan dengan menggunakan beberapa strategi yang tepat. Strategi yang digunakan adalah strategi yang banyak memberikan, mendorong, atau memotivasi belajar. Jika strategi-strategi itu dieksplisitkan, sebagian besar orang bisa menjadi pembelajaran yang sangat efisien. Salah satu belajar cepat adalah siswa dan guru mengetahui bahwa setiap manusia memiliki cara belajar pribadi yang cocok. Sesuatu yang cocok dengan gaya belajar pribadi berarti belajar dengan cara alami. Sesuatu yang alami lebih mudah dan lebih cepat. Menulis cerpen merupakan salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam kurikulum. Pembelajaran menulis dapat dikatakan sebagai kegiatan sosial.
3 Hal itu disebabkan dalam proses menulis, siswa dapat bekerja sama dengan orang lain. Kondisi semacam itu membuat kegiatan menulis akan lebih tampak realistis bagi anak-anak membangun makna dalam konteks sosial. Pembelajaran menulis cerpen merupakan suatu proses. Oleh karena itu, menulis harus mengalami tahap prakarsa, pelanjutan, revisi, dan pengakhiran. Tahap tersebut dibedakan dalam prapenulisan, penulisan, revisi, dan penyuntingan. Dengan demikian, siswa dan guru disadarkan bahwa menulis itu merupakan kegiatan proses atau tahapan. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif (Tarigan, 1986:3-4). Dalam kegiatan menulis, sang penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Keterampilan menulis tidak akan datang secara otomatis, tetapi harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur. Untuk itu, dalam pembelajaran menulis cerpen, guru hendaknya mengondisikan siswa belajar bagaimana menulis bukan hanya hasil menulis. Dengan pendekatan proses, siswa tidak hanya tergantung pada peran guru, tetapi lebih dari itu, siswa bertanggung jawab terhadap tulisannya. Suasana kelas yang dimaksud bukan hanya fisik, tetapi juga suasana intelektual (Temple, Ruth, dan Nancy, 1988:215). Perangkat menulis cerpen yang relevan dan memadai dengan pembelajaran menulis cerpen adalah perangkat pembelajaran menulis cerpen yang benar-benar mendukung standar kompetensi dan kompetensi dasar pembelajaran menulis cerpen. Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang sangat penting untuk dikuasai. Dengan
menulis,
seseorang
dapat
menyampaikan
ide,
pesan,
saran,
pendapat,
menggambarkan peristiwa, benda, dan sebagainya kepada kalangan yang tidak terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Sebuah tulisan yang baik harus mengandung isi yang dikemukakan secara sistematis dan menarik. Meskipun seseorang memiliki gagasan atau ide tulisan yang baik dan menarik, tetapi kalau dia tidak mampu mengemukakan gagasan dan idenya itu secara teratur dan tahap demi tahap yang jelas dalam tulisannya, dia pasti gagal menyampaikan pendapatnya yang baik tadi kepada pembacanya (Caraka, 1995:5). Untuk mencapai standar kompetensi menulis cerpen dalam pembelajaran, diperlukan strategi yang tepat. Strategi yang diduga tepat dalam penelitian ini adalah strategi pemodelan ”Dari Cerpen ke Cerpen” (CKC) karena strategi tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri. Proses belajar secara alamiah mulai
4 dengan langkah mengamati suatu objek kemudian siswa menemukan masalah dan terdorong untuk menanyakan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak siswa akan memotivasi mereka untuk selalu mencari jawabannya. Hal itu adalah pembelajaran konstektual (Nurhadi, 2003:45). Jawaban-jawaban yang berupa data fakta selanjutnya diolah dan diproses, dijadikan bahan untuk menulis cerpen. Dengan demikian, cerpen yang ditulis siswa menjadi kontekstual, alami, dan faktual. Nurhadi (2003:1; 2004:4) berpendapat “Anak belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah”. Hal itu berbeda dengan strategi yang diterapkan sebelumnya. Strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” dapat diterapkan pada pembelajaran menulis, khususnya dalam menulis cerpen. Dikatakan demikian karena salah satu model untuk mendapatkan bahan cerpen adalah melalui pengamatan, bertanya, menemukan apa yang telah diamati, mengolah, dan memprosesnya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen”. Nurhadi (2004b:11) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual (CTL) dapat membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa serta menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran afektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Bahan ajar menulis cerpen dengan strategi pemodelan adalah bahan ajar yang menyajikan materi, latihan, dan berbagai pemodelan/contoh cerpen yang diharapkan dapat membantu siswa dalam menulis cerpen yang memfokuskan pada pengembangan peristiwa dan tokoh. Peristiwa dan tokoh dalam pengembangan penulisan cerpen itu merupakan unsur cerpen yang saling berhubungan, tidak terlepas dari unsur-unsur yang lain seperti latar, gaya, sudut pandang, dan tema karena unsur-unsur itu sering berhubungan dan menghidupi. Keberhasilan siswa dalam menulis cerpen tidak terlepas dari bimbingan guru sehingga siswa mampu memilih topik, mengembangkan ide pokok, mengembangkan tokoh baik langsung maupun tidak langsung, mengembangkan peristiwa, menyusun draf yang dikembangkan dari kerangka, dan mengedit naskah cerpen atau merevisi. Strategi CKC dalam penelitian ini mengadopsi dari pembelajaran berbasis kontekstual, di antaranya yaitu pemodelan, refleksi, dan assessment. Pemodelan adalah sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, maksudnya adalah model yang bisa ditiru (Nurhadi, 2003:43-47).
5 Hal senada dijelaskan oleh Trianto (2007:112) bahwa dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Tahap selanjutnya adalah refleksi yang merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan pada masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Tahap selanjutnya adalah assessment yaitu proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Strategi tersebut didukung oleh teori menulis proses “Tompkins” dan teori belajar penemuan “Bruner”. Siswa tidak hanya mengandalkan perolehan belajar melalui tatap muka dengan guru di depan kelas, akan tetapi juga dari berbagai sumber yang lain. Dalam sistem tersebut, orientasi belajar lebih banyak melibatkan keaktifan siswa untuk dapat berinteraksi. Dengan berbagai cara, guru berusaha untuk mengaktifkan proses belajar tersebut. Sehubungan dengan pemodelan dalam pembelajaran menulis cerpen di SMA, guru harus mengenalkan bahan ajar yang relevan dan dapat mendorong siswa gemar menulis cerpen, memerhatikan gaya belajar siswa, dan memberikan model atau contoh menulis cerpen yang sebanyak-banyaknya kepada siswa. Dengan konsep itu, kelas pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diisi oleh kegiatan aktif dan kreatif menulis cerpen yang nyata. Kegiatan menulis cerpen dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” bertujuan siswa mengalami proses dalam beberapa tahapan kegiatan belajar. Tahapan kegiatan yang dilewati itu meliputi: (1) memilih topik, (2) mengembangkan ide pokok, (3) mengembangkan tokoh baik langsung maupun tidak langsung, (4) mengembangkan peristiwa, (5) menyusun draf yang dikembangkan dari kerangka, dan (6) mengedit draf atau merevisi. Dengan demikian, bahan ajar pemodelan ”Dari Cerpen ke Cerpen” tersebut dapat membantu meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen. Seorang guru diharapkan tidak bergantung pada satu jenis bahan ajar sebagai satu-satunya sumber belajar. Dari berbagai sumber belajar tersebut, seorang guru harus melakukan analisis dan mengumpulkan materi yang sesuai untuk dikembangkan dalam bentuk bahan ajar. Di samping itu, kegiatan pembelajaran bukanlah usaha menyelesaikan keseluruhan isi suatu buku, tetapi membantu peserta didik mencapai kompetensi. Oleh
6 karena itu, hendaknya guru menggunakan sumber belajar maupun Bahan Ajar secara bervariasi (Diknas: 2008). Bahan ajar sebagai penghubung antara guru dan siswa masih mengalami beberapa masalah antara lain; guru kurang memahami kurikulum sehingga menimbulkan masalah terutama dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Deni (2007) menyatakan bahwa materi yang akan dibelajarkan perlu diidentifikasi secara tepat agar pencapaian kompetensinya dapat diukur. Dalam mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan dibelajarkan, guru mendapatkan ketepatan dalam metode pembelajarannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi, metode, media, dan sistem evaluasi yang berbeda-beda. Dalam metode pembelajaran materi fakta atau hafalan bisa menggunakan metode pembelajaran dengan cara “demonstrasi” atau pemodelan. Menurut Dawud (2008:37), sebagai model yang ditirukan, bahan ajar yang dikembangkan haruslah menggunakan bahasa yang standar dan ideal. Misalnya, jika bahan ajar bertitik tolak pada pengembangan kalimat tulis yang dituangkan adalah kalimat tulis yang struktur dan unsur-unsurnya lengkap. Bahan ajar menulis cerpen dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” (pemodelan) mengasumsikan bahwa dalam pembelajaran menulis cerpen, siswa mampu menulis cerpen dengan masalah yang harus dipecahkannya. Masalah yang ditentukan dalam penelitian ini adalah masalah yang bersumber pada pengembangan tokoh dan pengembangan peristiwa baik yang bersifat internal maupun eksternal. Masalah yang bersifat internal adalah masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan unsur-unsur intrinsik cerpen, meliputi: tema cerita, tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar, alur cerita, dan bahasa. Masalah yang bersifat eksternal adalah masalah yang ada dalam teks cerpen, namun terkait langsung dengan pengalaman siswa. Dengan begitu, menulis cerpen dapat dilakukan secara terpadu karena terlihat dari dua sisi, internal dan eksternal. Untuk mencapai standar kompetensi menulis cerpen dalam pembelajaran, diperlukan strategi yang tepat. Strategi yang diduga tepat dalam penelitian ini adalah strategi pemodelan ”Dari Cerpen ke Cerpen” (CKC) karena strategi tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan alternatif dalam pembelajaran antara lain dengan mengembangkan silabus, mengembangkan materi dalam produk bahan ajar menulis cerpen dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” pada siswa kelas X di SMA Negeri I Malang. Sehingga proses evaluasi/penilaian menulis cerpen
7 dapat dianalisis sesuai dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” pada siswa kelas X di SMA Negeri I Malang.
B. METODELOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini, yang hendak dikembangkan adalah bahan ajar pembelajaran. Silabus merupakan garis besar program pembelajaran menulis cerpen berisi seperangkat komponen pembelajaran menulis cerpen yang meliputi standar kompetensi, komponen dasar, dan indikator. Bahan ajar merupakan bahan yang berisi materi pembelajaran menulis cerpen dan di dalamnya disusun tujuan mengembangkan kemampuan menulis cerpen berbasis peristiwa dan tokoh berdasarkan strategi pemodelan “Dari Cerpen ke Cerpen” bagi siswa SMA. Silabus dan bahan ajar merupakan sebagian dari komponen sistem pembelajaran yang kompleks. Dalam pembelajaran menulis cerpen, kedua perangkat pembelajaran tersebut berfungsi sebagai sistem pembelajaran bagi guru untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran menulis cerpen dan menjadi sarana bagi siswa untuk memperoleh pengalaman belajar. Bahan ajar menulis cerpen dikembangkan dengan mempertimbangkan komponen pembelajaran lain misalnya kurikulum, kebutuhan siswa, sumber-sumber pelajaran yang relevan dengan pembelajaran menulis cerpen, dan fasilitas sekolah. Komponen pembelajaran tersebut dimanfaatkan untuk memperoleh informasi tentang pembelajaran menulis cerpen di sekolah. Produk yang dihasilkan melalui penelitian ini adalah (1) silabus, (2) model pengembangan materi bahan ajar menulis cerpen, dan (3) evaluasi. Ketiga komponen tersebut dimanfaatkan sebagai instrumen dan sumber belajar pembelajaran. Guru dan siswa dapat memanfaatkan materi yang berbentuk bahan ajar menulis cerpen sebagai instrumen untuk mengembangkan kompetensi menulis cerpen. Dalam penelitian ini, model pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan sistem pembelajaran menulis cerpen. Penelitian ini merujuk model pengembangan Dick dan Carey (dalam Pratiwi :2005) bahwa langkah-langkah yang ditempuh berdasarkan model pengembangan tersebut adalah: (1) analisis kebutuhan, (2) melakukan analisis pembelajaran, (3) menentukan tujuan pembelajaran umum (standar kompetensi), (4) mengembangkan silabus,
(5) menentukan kompetensi dasar, (6)
menentukan indikator, (7) menyusun strategi, (8) menentukan evaluasi pembelajaran, (9) menentukan tujuan pembelajaran khusus, (10) pengembangan bahan ajar pembelajaran,
8 (11)menentukan
bahan/materi,
(12)
mengelompokkan
materi,
(13)
mengurutkan
materi/bahan, (14) menyusun materi, (15) mengembangkan instrumen penilaian, dan (16) merevisi bahan ajar pembelajaran. Model pengembangan ditampilkan dalam bagan berikut.
Bahan Ajar Pembelajaran Menulis Cerpen
Silabus
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Tujuan Pembelajaran Materi Kegiatan Pembelajaran a. Model pembelajaran b. Pendekatan c. Metode d. Skenario pembelajaran Sumber/bahan/alat Penilaian
1. 2. 3. 4. 5.
Petunjuk Penggunaan Bahan Ajar Tujuan Pembelajaran Uraian Isi Pembelajaran Cerpen Pelatihan Menulis Cerpen Daftar Pustaka
Uji Coba Produk Bahan Ajar Pembelajaran
Kajian Ahli Bidang Sastra
Kajian Ahli Kebahasaan
Analisis
Analisis
Revisi 1
Revisi III
Uji Ahli Isi (cerpenis)
Uji Coba Kelompok Lapangan
Analisis
Analisis
Revisi II
Revisi IV
Produk Akhir Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran
Bagan 1 Langkah-Langkah dalam Mengembangkan Bahan Ajar Evaluasi Menulis Cerpen dengan Strategi Pemodelan “Dari Cerpen Ke Cerpen”
Penyusunan silabus dalam penelitian ini berdasarkan kurikulum pembelajaran 2006. Tahap-tahap penyusunan silabus antara lain: menentukan kompetensi dasar, menentukan indikator, menentukan strategi, dan menentukan evaluasi pembelajaran. Tujuan
9 mengembangkan silabus untuk menentukan tujuan pembelajaran secara khusus sehingga dapat menentukan bahan/ materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Pengembangan materi pembelajaran dalam penelitian ini dalam bentuk bahan ajar. Bahan ajar tersebut disusun dengan dilengkapi beberapa komponen pendukung. Pembelajaran, yaitu petunjuk penggunaan bahan ajar, tujuan pembelajaran, uraian isi pembelajaran cerpen, pelatihan menulis cerpen, dan daftar rujukan. Penilaian produk ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: (1) penilaian ahli, (2) penilaian perorangan, dan (3) penilaian kelompok. Penilaian ahli dilakukan oleh tiga orang. Pertama, penilaian dilakukan oleh ahli bidang sastra. Kriteria untuk ahli ini adalah (1) memiliki pengetahuan dan kecakapan yang luas tentang bidang sastra dan (2) lulusan S3 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua, penilaian dilakukan oleh ahli isi. Kriteria untuk ahli isi ini, yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang menulis cerpen, Ketiga, penilaian dilakukan oleh ahli bahasa. Kriteria ahli bahasa (1) memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa khususnya bahasa Indonesia dan (2) lulusan S2 atau S3 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penilaian dilakukan oleh kelompok. Penilaian tersebut dilakukan oleh siswa SMA Negeri 1 Malang. Penilaian itu bertujuan melihat kemudahan penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran. Penilaian kelompok dilakukan dengan menyajikan bahan ajar secara individual dengan bersamaan untuk mengetahui adanya kesalahan kata atau uraian yang tidak jelas, kesalahan penulisan, kurangnya contoh, terlalu banyak materi, pertanyaan atau petunjuk yang kurang jelas, dan sebagainya. Uji coba produk dilaksanakan dengan melakukan uji coba oleh kelompok ahli, uji kelompok guru, dan uji lapangan. Uji ahli melibatkan tiga orang ahli, yaitu seorang ahli bidang isi, seorang ahli sastra, dan seorang ahli bahasa. Uji kelompok kecil guru dilakukan karena guru paling mengetahui kondisi lapangan. Uji lapangan dilakukan dengan memanfaatkan model pengembangan materi sebagai sarana pembelajaran menulis cerpen di kelas. Uji produk oleh para ahli, guru, dan siswa untuk mendapatkan masukan yang berupa penilaian, komentar, kritik dan saran-saran yang digunakan untuk melakukan revisi produk. Dalam hal tersebut, produk dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan dapat dipakai sebagai sarana pembelajaran di lapangan. Uji coba produk tersebut meliputi (1)
10 desain uji coba, (2) subjek coba, (3) jenis data, (4) instrumen pengumpulan data, dan (5) teknik analisis data. Uji coba produk penyusunan silabus dan bahan ajar pembelajaran dilaksanakan dalam uji coba produk yang mencakup: (1) uji ahli, yang meliputi: (a) penilaian ahli bidang sastra, (b) penilaian ahli isi (cerpen), (c) penilaian ahli bahasa, (2) uji coba kelompok guru, dan (3) uji coba kelompok kecil, adalah kelompok siswa sebagai sasaran pembelajaran di lapangan. Hasil analisis data yang berupa informasi pembelajaran menulis cerpen siswa kelas X di SMAN I Malang digunakan sebagai dasar untuk menyusun silabus dan bahan ajar pembelajaran. Sementara itu, hasil analisis data yang berupa masukan, tanggapan, saran, dan komentar dari ahli bidang sastra dan ahli isi (cerpenis), dan data dokumen (daftar nilai, RPP, dan karya siswa) sebagai bahan untuk merevisi penyusunan silabus dan produk bahan ajar pembelajaran
C. PEMBAHASAN Dari teknik perolehan data dari hasil angket dan wawancara, analisis kebutuhan diperoleh data sebagai berikut. Pertama, siswa mendapatkan materi menulis cerpen yang ditekankan pada unsur intrinsik dan selalu mendapatkan kutipan cerpen untuk mempermudah pemahaman. Dalam materi unsur ekstrinsik, siswa kurang mendapatkan materi tersebut karena unsur ekstrinsik hanya merupakan unsur pelengkap dalam pembelajaran menulis cerpen. Kenyataan itu menunjukkan bahwa unsur intrinsik merupakan unsur pembangun dalam menulis cerpen dan materi tersebut membutuhkan banyak waktu. Sehingga guru memberikan materi unsur ekstrinsik sebagai aspek menganalisis cerpen pada akhir-akhir pembelajaran menulis cerpen. Kedua, untuk mempermudah pemahaman dalam materi menulis cerpen, siswa mendapatkan latihan-latihan pada setiap pembahasan dan hal tersebut sangat dibutuhkan siswa. Tugas dan soal-soal latihan selalu dibahas di kelas secara bersama-sama untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen. Dalam hal ini, siswa dilatih lebih banyak dalam mempraktikkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berkomunikasi, bukan dituntut lebih banyak untuk menguasai atau menghafalkan teori tentang bahasa. Keterampilan menulis itu merupakan suatu proses pertumbuhan melalui banyak latihan. Untuk mendapatkan keterampilan menulis tidak cukup dengan
11 mempelajari tata bahasa dan pengetahuan tentang teori menulis, apalagi hanya menghafalkan definisi istilah-istilah yang terdapat dalam bidang karang-mengarang. Keterampilan menulis tumbuh dengan latihan-latihan dengan mengatasi kecemasan dan kebimbangan menuju kepada kepercayaan diri sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dale (dalam Latuheru 1988:16) bahwa pengalaman seseorang berlangsung mulai dari tingkat yang konkret (pengalaman langsung) menuju ke tingkat yang abstrak, dalam bentuk kata. Ketiga, dapat digambarkan bahwa pada awal pembelajaran, guru tidak memberi tahu rencana pembelajaran secara rinci, seperti tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran. Akan tetapi, dalam pembelajaran menulis cerpen guru selalu memberikan petunjuk penggunaan sesuai dengan alokasi waktu yang dibutuhkan. Kenyataan itu, menggambarkan bahwa tugas guru sebagai fasilitator dan manager harus mampu mengatur waktu sehingga materi berdasarkan RPP dapat tercapai. Keempat, dapat digambarkan bahwa siswa mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan
sumber
pustaka,
tetapi
siswa
masih
mengalami
kesulitan
dalam
mengorganisasikan hasil membaca. Kondisi eksternal yang memengaruhi sistem belajar siswa antara lain bahan ajar, suasana belajar, media dan sumber belajar serta subjek pembelajar itu sendiri. Kelima, dalam pembuatan Rencana Pembelajaran menulis cerpen tugas guru antara lain mengembangkan materi dan melakukan penilaian pembelajaran. Pengembangan materi dan penilaian pembelajaran yang sesuai dalam bentuk buku ajar memang merupakan kegiatan yang membutuhkan waktu yang cukup dan keseriusan. Dalam hal ini, guru sebagai manager pembelajaran harus mempunyai peran dan pengaruh yang sangat besar untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam menyampaikan materi pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan menulis diperlukan variasi metode untuk meningkatkan semangat belajar siswa dan meminimalkan rasa jenuh dan bosan siswa dalam belajar. Keenam, kompetensi dasar dan indikator pembelajaran menulis cerpen disusun berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, berdasarkan pengalaman menulis siswa dan hasil penelitian analisis kebutuhan karena hal tersebut saling melengkapi. Menurut Ali (2002:66), penerapan kurikulum berkaitan dengan bahan yang diajarkan, peranan guru, peranan siswa, sumber belajar, dan proses pengajaran. Menulis merupakan suatu proses
12 maka menulis harus mengalami tahap awal, pelanjutan, revisi, dan pengakhiran. Tahap menulis dibedakan dalam prapenulisan, penulisan, dan penyuntingan. Dale yang terkenal dengan Kerucut Pengalaman, (dalam Latuheru:1988) menyatakan bahwa
pengalaman
seseorang berlangsung mulai dari tingkat yang konkret (pengalaman langsung) menuju ke tingkat yang abstrak dalam bentuk lambang kata melalui tahapan/tingkatan. Pada tingkat yang konkret, orang memperoleh pengalaman (belajar) dari kenyataan yang diperoleh dalam kehidupan. Dari rangkaian pengalaman pembelajaran, guru dapat menentukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa sehingga penyusunan kompetensi dasar dan indikator dapat mempermudah guru dan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, untuk meningkatkan keefektivitasan pembelajaran, guru hendaknya menyusun bahan ajar yang memadai. Menurut Pannen (1994), penyusunan bahan ajar memerlukan keterampilan guru untuk mengumpulkan, mengkaji, menyeleksi bahan kepustakaan, dan menyeleksi informasi-informasi yang aktual di koran, majalah, jurnal, dan lain-lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu disusun bahan ajar menulis cerpen dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” yang difokuskan pada pengembangan tokoh dan pengembangan peristiwa yang isinya meliputi komponen-komponen petunjuk penggunaan, deskripsi tujuan, materi, latihan, dan kunci jawaban. Sistem pembelajaran bahasa Indonesia memerlukan bahan ajar yang diminati oleh siswa agar pembelajaran dapat terarah sehingga tujuan kompetensi dasar dapat tercapai. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ali (2002:66) bahwa penerapan kurikulum berkaitan dengan bahan yang diajarkan, peranan guru, peranan siswa, sumber belajar, dan proses pengajaran. Siswa lebih nyaman dengan pembelajaran kontruktivistik yang menghubungkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa karena strategi tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nurhadi (2004b:11) yang menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual (CTL) dapat membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa serta menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran afektif, yakni konstruktivistik, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Penelitian ini mengembangkan produk, yakni pengembangan bahan ajar. Menurut Mulyasa (2006: 190), silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata
13 pelajaran dengan tema tertentu, yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.
C.1 Pengembangan Bahan Ajar Menulis Cerpen Salah satu kendala dalam pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia adalah masalah bahan ajar. Para guru memilih/mempersiapkan bahan ajar sendiri. Masalah akan muncul apabila seorang guru tiba-tiba berhalangan mengajar dan digantikan oleh guru yang lain. Guru pengganti sering mendapat kesulitan untuk meneruskan pelajaran karena mungkin kurang siap atau tidak terbiasa dengan bahan ajar tersebut. Jika ada buku pegangan standar, hal-hal seperti itu akan terhindarkan. Menurut Akhmadsudrajat (2008), bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak, sehingga tercipta lingkungan/suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Bahan ajar merupakan informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah sumber belajar yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis. Seorang guru diharapkan tidak bergantung pada satu jenis bahan ajar sebagai satusatunya sumber belajar. Dari berbagai sumber belajar tersebut, seorang guru harus melakukan analisis dan mengumpulkan materi yang sesuai untuk dikembangkan dalam bentuk bahan ajar. Di samping itu, kegiatan pembelajaran bukanlah usaha menyelesaikan keseluruhan isi suatu buku, tetapi membantu peserta didik mencapai kompetensi. Oleh karena itu, hendaknya guru menggunakan sumber belajar maupun Bahan Ajar secara bervariasi (Diknas: 2008). Penelitian ini hanya mengembangkan bahan ajar menulis cerpen dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” siswa kelas X di SMA I Malang. Sebelum menentukan materi bahan ajar terlebih dahulu guru menganalisis bagaimana motivasi siswa dalam pembelajaran tersebut, petunjuk apa yang perlu diberikan, dan keterampilan prasyarat apa yang diperlukan untuk memulai pembelajaran. Pembelajaran menulis cerpen yang
14 ditekankan pada keterampilan menulis memang sangat diperlukan dalam kehidupan siswa. Dalam pembelajaran ini, siswa memerlukan pembinaan yang intensif berupa teori-teori dan latihan. Menurut Pratiwi (2005) secara umum pengembangan materi bahan ajar dalam penelitian ini dijabarkan berdasarkan model silabus yang dihasilkan sebelumnya
Menentukan Materi Dalam pengembangan bahan ajar ada beberapa tahapan menyusun bahan ajar agar mudah dipahami dan dapat mencapai tujuan kompetensi dasar yang telah ditetapkan, antara lain:
mengelompokkan
materi,
mengurutkan
materi,
mengembangkan
instrumen
pembelajaran, menentukan indikator, dan menyusun bahan ajar berdasarkan analisis kebutuhan siswa. Berkaitan dengan hal tersebut perlu bagaimana agar kegiatan pembelajaran dalam bahan ajar bervariasi sehingga dapat menarik perhatian siswa meskipun dengan banyaknya contoh yang diberikan, dan bagaimana memberikan latihan pada setiap kegiatan siswa. Dalam menentukan materi menulis cerpen, peneliti mengumpulkan semua materi dan latihan yang berhubungan dengan isi bahan ajar, yakni tahapan-tahapan menulis cerpen yang meliputi (1) memilih dan menentukan tema cerpen, (2) memilih dan mengembangkan watak tokoh sesuai dengan tema yang telah ditentukan, (3) mengembangkan peristiwa dalam alur dan latar cerpen dengan teks rumpang, dan (4) menulis cerpen berdasarkan pengalaman diri sendiri.
Mengelompokkan Materi Dalam pengembangan materi pengajaran menulis cerpen ini, peneliti berupaya untuk memvariasikan kegiatan yang secara garis besar disajikan dalam bentuk penyajian teori, contoh, latihan, dan rambu-rambu jawaban. Penyajian contoh dan teori dikelompokkan sedemikian rupa sehingga siswa bisa memperoleh pemahaman teori penulisan cerpen melalui pengamatan langsung terhadap berbagai contoh cerpen sebagai pemodelan. Dalam mengelompokkan materi bahan ajar menulis cerpen, peneliti mengelompokkan teori, contoh, dan latihan-latihan yang disesuaikan silabus dengan indikator yang menjadi rumusan pengelompokan materi. Teori-teori yang dikelompokkan, antara lain teori kesastraan dan kebahasaan yang berhubungan dengan menulis cerpen.
15 Tugas-tugas dalam pembelajaran menulis cerpen menekankan pemberian kesempatan kepada siswa melakukan interaksi lebih lama dan mendalam dengan teks cerpen. Selain itu, siswa secara langsung berkesempatan mengasah kepekaan emosi, dan merasakan kejutan pada penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh.
Mengurutkan Materi Pengembangan materi pada tahap mengurutkan materi secara umum dibagi dalam empat tahapan, yakni bagian kesatu, kedua, ketiga, dan keempat. Kegiatan kesatu dikembangkan dengan tujuan memberikan sejumlah pengalaman belajar untuk menguasai kemampuan awal dalam menulis cerpen, yakni menentukan ide pokok dan tema. Kegiatan kedua dikembangkan untuk memberikan sejumlah pengalaman belajar untuk menguasai indikator yang ingin dicapai, antara lain memilih dan mengembangkan watak tokoh. Adapun kegiatan ketiga dikembangkan dengan maksud untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperdalam, memperluas mengembangkan teori peristiwa dalam alur dan latar. Kegiatan keempat, siswa dapat mempraktikkan langsung menulis cerpen atau merefleksi kembali pengalaman belajar yang telah diperolehnya dengan membuat antologi cerpen. Hal lain yang diperhatikan dalam mengurutkan materi adalah masalah waktu yang tersedia. Pada umumnya, dalam satu minggu ada 4 jam pelajaran bahasa Indonesia untuk 2 pertemuan, satu jam pelajaran 45 menit. Dengan memerhatikan atau mempertimbangkan hasil analisis kebutuhan siswa dan waktu yang tersedia, pada akhirnya dapat disusun materi menulis cerpen.
Menyusun Instrumen Penilaian Langkah selanjutnya dalam pengembangan bahan ajar adalah penyusunan instrumen evaluasi/penilaian dalam bahan ajar menulis cerpen. Pengembangan bahan ajar dengan strategi ”Dari Cerpen ke Cerpen” (pemodelan) menyajikan contoh-contoh cerpen dan latihan-latihan untuk membuka skemata siswa tentang teori menulis cerpen. Setelah dalam penyajian teori dan latihan-latihan, dalam bahan ajar ini, disusun instrumen penilaian untuk mengukur target-target pembelajaran yang ingin dicapai berdasarkan silabus yang sudah disusun sebelumnya. Guru membuat dua instrumen penilaian, yaitu
16 penilaian afektif dan hasil. Dalam penilaian afektif, guru melakukan pengamatan antusiasme siswa dalam proses pembelajaran menulis cerpen. Sedangkan dalam penilaian hasil, guru membuat instrumen penilaian dari hasil karya siswa dalam menulis cerpen. Pengembangan aspek yang dinilai dalam instrumen penilaian sesuai dengan indikator yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Pemberian skor dengan rentang nilai 1-5, dengan penjelasan sebagai berikut: (1) nilai 1 artinya sangat kurang, (2) nilai 2 artinya kurang, (3) nilai 3 artinya cukup, (4) nilai 4 artinya baik, dan (5) nilai 5 artinya sangat baik
Merevisi Bahan Ajar Langkah terakhir dari prosedur pengembangan materi bahan ajar menulis cerpen adalah merevisi materi bahan ajar. Menurut Dick dan Carey (dalam Nartani:1997), untuk merevisi materi pengajaran ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah pengubahan yang perlu dibuat terhadap isi atau substansi materi pengajaran untuk menjadikannya lebih efektif sebagai alat belajar. Yang kedua, berkaitan dengan cara-cara yang dipakai dalam menggunakan materi pengajaran. Untuk merevisi materi pengajaran, diperlukan sejumlah data yang diambil dari hasil penelitian perseorangan atau ahli dan hasil uji coba pengembangan.
C.2 Strategi Pembelajaran Dari Cerpen ke Cerpen (pemodelan) Dalam menentukan cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran harus diperhatikan apakah materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip, atau prosedur) aspek afektif, ataukah aspek psikomotor karena ketika sudah diimplementasikan dalam proses pembelajaran, tiap-tiap jenis uraian materi tersebut memerlukan strategi dan media pembelajaran yang berbeda-beda. Menurut Mustaji dan Sugiarso (2004: 15), strategi pembelajaran merupakan suatu upaya untuk meningkatkan keoptimalan metode yang diharapkan berdampak pada peningkatan keoptimalan peningkatan kualitas pembelajaran. Strategi pembelajaran menulis cerpen “Dari Cerpen ke Cerpen” (pemodelan) adalah guru bertugas membantu siswa agar mampu mengonstruksi pengetahuannya sesuai dengan kebutuhan dan situasi. Guru dapat memberikan tawaran dan saran. Dalam hal ini, guru diharapkan dapat mengoptimalkan pembelajaran menulis cerpen dengan teknik dan seni yang dimilikinya. Menurut Dale (dalam Latuheru 1988:16), pengalaman seseorang
17 berlangsung mulai tingkat yang konkret (pengalaman langsung) menuju ke tingkat yang abstrak, dalam bentuk kata. Selain itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia guru menyusun acara pembelajaran bahasa yang sesuai dengan tahap dan fase-fase belajar, yakni dengan beberapa program yang dirancang berdasarkan kurikulum. Strategi pembelajaran yang berpengaruh terhadap keterampilan dan kemampuan siswa dalam proses belajar ditentukan oleh guru. Dalam model silabus terdapat aspek penilaian dengan tujuan memperoleh gambaran bentuk tagihan dan alat penilaian yang digunakan. Adapun instrumen penilaian yang digunakan untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi berupa rubrik yang tidak terpisahkan dari materi pembelajaran. Rubrik merupakan alat penilaian yang disusun oleh guru untuk mengontrol tahapan kemajuan belajar yang berupa tugas-tugas performansi. Adapun hasil belajar yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian autentik misalnya laporan kegiatan, karya tulis siswa, proses, dan penyajian hasil diskusi kelompok. Penilaian yang digunakan antara lain penilaian afektif dan psikomotorik. Penilaian afektif untuk melihat proses pembelajaran menulis baik dari segi kelancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan penghambat dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Dalam penilaian autentik, data atau informasi dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan sebelumnya. Informasi atau data yang dikumpulkan antara lain partisipasi siswa dalam pembelajaran, sikap khusus siswa, maupun respons siswa dalam kegiatan pembelajaran. Observasi harus dilakukan dengan teknik yang benar agar diperoleh data atau informasi yang tepat dan cukup. Selain itu, guru membuat rentangan skor yang menunjukkan derajat keberhasilan performansi siswa. Penilaian psikomotorik atau produk diarahkan untuk melihat seberapa jauh hasil program yang telah dicapai sebagai dasar untuk menentukan keputusan akhir, diperbaiki atau dimodifikasi. Sebelum menentukan materi bahan ajar terlebih dahulu guru menganalisis bagaimana motivasi siswa dalam pembelajaran tersebut, petunjuk apa yang perlu diberikan, dan keterampilan prasyarat apa yang diperlukan untuk memulai pembelajaran. Pembelajaran menulis cerpen yang ditekankan pada keterampilan menulis memang sangat diperlukan dalam kehidupan siswa. Dalam pembelajaran ini, siswa memerlukan pembinaan yang intensif berupa teori-teori dan latihan. Menurut Pratiwi (2005)
18 secara umum pengembangan materi bahan ajar dalam penelitian ini dijabarkan berdasarkan model silabus yang dihasilkan sebelumnya.
D. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa peneliti penyusunan silabus dengan strategi pemodelan yang meliputi komponen standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar, hal tersebut bertujuan agar pembelajaran terarah sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Peneliti merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dengan menghasilkan produk cerpen karya siswa. Pengembangan materi, tema, dan latihan dalam bahan ajar yang disesuaikan dengan penyusunan silabus sangat efektif untuk mencapai Kompetensi Dasar pengembangan materi, tema, dan latihan dalam bahan ajar yang disesuaikan dengan penyusunan silabus sangat efektif untuk mencapai kompetensi dasar. Pemanfaatan bahan ajar tersebut memenuhi kebutuhan siswa dalam proses pembelajaran. Penambahan/pengembangan materi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan lingkungan siswa dan pengalaman siswa. Evaluasi/ penilaian pembelajaran yang digunakan peneliti antara lain penilaian hasil dan penilaian proses menulis cerpen berhasil karena strategi pemodelan mampu mengembangkan proses kreativitas siswa menulis cerpen. Peneliti melakukan evaluasi pembelajaran menulis cerpen dengan menyajikan latihan-latihan pada setiap pembahasan materi, karena hal tersebut sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang disajikan. Dalam hal ini, siswa dilatih lebih banyak dalam mempraktikkan menulis cerpen, bukan dituntut lebih banyak untuk menguasai atau menghafalkan teori tentang bahasa karena keterampilan menulis itu merupakan suatu proses pertumbuhan melalui banyak latihan.
E. Saran Beberapa saran yang dapat dikemukakan berdasarkan proses, hasil, dan simpulan penelitian dipaparkan sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyusunan silabus dan RPP dengan strategi pemodelan dalam pembelajaran menulis cerpen dapat memotivasi siswa menyusun antologi atau pameran berdasarkan pengalaman / kehidupan sehari-hari siswa. Oleh karena itu disaran pada guru bidang studi bahasa Indonesia agar menyusun strategi pembelajaran yang
19 inovatif sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga pembelajaran terarah, kompetensi dasar dapat tercapai sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan. 2) Bahan ajar menulis cerpen dengan strategi pemodelan ”Dari Cerpen ke Cerpen” yang diarahkan pada menulis proses dapat diterapkan dalam pembelajaran dengan motivasi yang tinggi dari guru. Oleh karena itu, disarankan kepada kepala SMAN I Malang agar senantiasa memberikan motivasi kepada guru bahasa Indonesia untuk membuat produk di setiap KD sesuai dengan analisis kebutuhan siswa. Pengembangan materi pembelajaran disusun dengan strategi yang tidak monoton. Oleh karena itu, disarankan kepada guru bahasa Indonesia, khususnya di SMA I Malang untuk memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai satu model pengembangan materi pembelajaran menulis cerpen dan pada umumnya untuk SMA Negeri di Malang. 3) Penilaian afektif dan hasil dalam pembelajaran sangat tepat untuk mengetahui kemampuan siswa mengembangkan kreativitas menulis cerpen. Oleh karena itu, guru hendaknya menilai cerpen siswa tidak hanya segi produk, tetapi juga menilai proses penulisannya. 4) Penelitian ini terbatas pada pengembangan bahan ajar menulis cerpen kelas X SMAN I Malang, disarankan kepada peneliti yang lain agar melakukan penelitian dengan melakukan pengembangan lebih pada bahan ajar sebagai media pembelajaran di tingkat SMP atau SD. Selain itu, disarankan pula agar peneliti yang lain melakukan penelitian dengan menggunakan strategi pemodelan dalam menulis karya sastra lain, seperti puisi atau drama.
20 Daftar Rujukan
Ali, M. 2002. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiarso. 2004. Strategi Pembelajaran Kognitivistik. Ponorogo: Reksa Budaya. Departemen Pendidikan Nasional: 2006. Direktoral Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Jakarta, Model Pengembangan Silabus Mata. Dawud. 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga. Dawud. 2008. Perspektif Pembelajaran Bahasa Indonesia. Malang: UM Press. Latuheru, L J. 1988. Media Pembelajaran dalam Proses Masa Kini. Jakarta: Depdiknas. Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang:
UM Press. Pratiwi, Y. 2005. Model Perangkat Apresiasi untuk Pendekatan Nilai Moral Berdasarkan Pendekatan Kontekstual Bagi Siswa SMP. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Tarigan, H.G. 1986. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.