KARAKTERISTIK REOLOGI MI JAGUNG DENGAN PROSES EKSTRUSI PEMASAK – PENCETAK
TJAHJA MUHANDRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak – Pencetak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Tjahja Muhandri NIM F261020071
ABSTRACT Tjahja Muhandri. F261020071. Rheological Characteristic of Corn Noodles Made with Extrusion Process. Under the suppervision of Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS as the chairman, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, and Dr. Ir. Sutrisno, MAgr as advisory committe members. This research generally aimed to prepare corn-based noodles which have good elasticity and low cooking loss by using extrusion process. In detail, this research has the objective to: (1) study the effects of particle sizes, amounts of corn flour and corn starch in water, concentration of salt in corn flour and corn starch on gelatinization profile; (2) to optimize corn noodle extrusion using RSM, and (3) to study the effect of salt addition and number of passing in extruder on corn noodle characteristics. The gelatinization profile of corn flour and corn starch were characterized by Brabender Visco Amylograph type D-4100 Duisburg. Corn noodles were prepared by Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C from Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Process optimization was conducted by using response surface methodology (RSM) with four parameters, i.e., 1) firmness; 2) stickiness, 3) elongation and 4) cooking loss. Firmness and stickness was set in range, elongation was set in maximum, and cooking loss was set in minimum. It was found that the initial temperature and maximum temperature of gelatinization increased and peak viscosity decreased with the increase of particle sizes. Increasing concentration of corn flour and corn starch in water tended to decrease maximum temperature of gelatinization and increase peak viscosity, but it had no significant effect on initial temperature. The addition of sodium chloride in corn flour increased significantly initial gelatinization temperature, maximum temperature of gelatinization, peak viscosity and cold viscosity. In the case of corn starch, the addition of sodium chloride 1% increased initial temperature and peak viscosity, but the addition more than 1% of concentration had no significant effect. The addition of sodium carbonate in corn flour and corn starch increased the initial temperature and peak viscosity, but decreased maximum temperature of gelatinization and cold viscosity. Process optimization showed that the optimum condition, with a desirability of 0.835, was achieved by the combination of 70% (dry basis) dough’s moisture content with the extruder temperature is 90 oC and screw speed is 130 rpm. The RSM model predicted that the corn-based noodles prepared with optimum condition has firmness of 3039.79 gf, stickiness of -116.2 gf, elongation of 318.68%, and cooking loss of 4.56%. In general, this research showed that firmness of corn noodle decreased by the increased of salt addition and by number of passing in extruder. In sodium carbonate addition, the optimum condition was obtained at moisture content of 80% (dry basis), salt concentration of 0.11 or 0.12%, and number of passing in extruder for 3 times (desirability 0.836). Under this optimum condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 2242.29 gf, stickiness of -58.83 gf, elongation of 418.81%, and cooking loss of 3.66%. In sodium chloride addition, the optimum condition was achieved at moisture content of 80% (dry basis), salt concentration 2%, and number of passing for 3 times (desirability 0.877). Under this condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 1855.23 gf, stickiness of -35.86 gf, elongation of 576.38%, and cooking loss of 2.62%. Key words : corn noodle, rheology, extrusion, salt, number of passing
RINGKASAN Tjahja Muhandri. F261020071. Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak-Pencetak. Dibawah Bimbingan : Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Sutrisno, MAgr sebagai anggota komisi pembimbing. Mi yang dibuat dari bahan baku non terigu memerlukan proses yang berbeda dengan mi dari terigu. Mi non terigu membutuhkan adanya mekanisme gelatinisasi dan retrogradasi pati untuk membentuk struktur mi yang kokoh. Bahan baku yang digunakan umumnya berupa pati. Salah satu sumber pati yang berpotensi untuk digunakan adalah jagung. Pembuatan mi dari tepung jagung telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun mutu mi yang dihasilkan masih kurang baik, terutama pada rendahnya elongasi dan tingginya cooking loss mi. Hal ini diduga karena kurangnya tekanan shear yang diterima adonan selama proses pembuatan mi. Penggunaan ekstruder tipe pemasakpencetak untuk membuat mi jagung belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari sifat amilografi tepung akibat perbedaan ukuran partikel, konsentrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi serta akibat pengaruh penambahan garam (2) Optimasi kadar air adonan, suhu proses dan kecepatan screw pada pembuatan mi jagung menggunakan ekstruder pemasakpencetak, dan (3) Mempelajari karakteristik reologi mi jagung akibat penambahan garam dan perlakuan passing. Karakterisasi tepung jagung meliputi analisa proksimat dan kadar amilosa serta dan profil gelatinisasi tepung dan pati jagung. Bahan yang digunakan adalah tepung jagung dari varietas P21. Profil gelatinisasi diukur menggunakan Brabender Visco Amylograph tipe D-4100 Duisburg buatan Jerman Optimasi proses dilakukan dengan variabel kadar air tepung (70, 75, 80% basis kering), suhu ekstruder (80, 85, 90oC), dan kecepatan screw ekstruder (110, 120, 130 rpm). Analisis untuk menentukan kondisi optimum dilakukan menggunalan response surface methodology (RSM) D-optimal Combine dengan dasar empat parameter yaitu kekerasan dan kelengketan in range, elongasi maksimum dan cooking loss minimum. Pembuatan mi jagung dilakukan menggunakan cooking-forming extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Pengaruh penambahan garam (sodium karbonat dan sodium klorida), kadar air dan jumlah passing melewati ekstruder dilakukan dengan masing-masing tiga level. Pada penambahan sodium karbonat (Na 2 CO 3 ) , konsentrasi garam yang digunakan adalah 0, 0,3 dan 0,6, pada penggunaan sodium klorida (NaCl), konsentrasi yang digunakan 0, 1, dan 2%. Variabel kadar air adalah 70, 75, 80% (basis kering) dan variabel jumlah passing adalah 1, 2 dan 3 kali melewati ekstruder. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan RSM dengan persamaan kuadratik. Optimasi kondisi proses optimum dilakukan dengan konstrain utama kekerasan dan cooking loss minimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi maksimum meningkat, sedangkan viskositas puncak menurun dengan peningkatan ukuran partikel tepung jagung. Peningkatan konsenstrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi dapat menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan
meningkakan viskositas puncak, tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi. Penambahan sodium klorida pada tepung jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak dan viskositas dingin (p<0,05). Untuk pati jagung, penambahan sodium klorida 1% dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi peningkatan kadar yang lebih tinggi lagi tidak memberikan dampak yang signifikan. Penambahan sodium karbonat pada tepung jagung dan pati jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas dingin. Pada tahap optimasi proses pembuatan mi, hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi proses yang optimum, dengan nilai desirability 0,835, dihasilkan dari kadar air adonan tepung jagung sebesar 70% (basis kering) yang diproses pada suhu ekstruder 90oC dan kecepatan screw ekstruder 130 rpm. Prediksi model dari RSM menunjukkan bahwa mi jagung yang dibuat pada kondisi optimum memiliki karakteristik kekerasan 3039,79gf, kelengketan -116,2gf, elongasi 318,68%, dan cooking loss 4,56%. Mi dari prediksi model sedikit berbeda dengan kondisi aktual dimana mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3199,10gf, kelengketan -108,90gf, elongasi 351,60% dan cooking loss 2,28%. Pada kondisi optimum, mi jagung yang dihasilkan memiliki karakteristik kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spaghetti. Penelitian pengaruh penambahan garam dan perlakuan passing, menunjukkan bahwa kekerasan mi jagung turun dengan penambahan garam dan perlakuan passing. Pada penambahan sodium karbonat, kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air adonan 80% (basis kering), sodium karbonat 0,11 atau 0,12%, dan passing 3 kali (nilai desirability 0,836). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki nilai kekerasan 2242,29gf, kelengketan -58,83gf, elongasi 418,81%, dan cooking loss 3,66%. Pada penambahan sodium klorida, kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air adonan 80% (basis kering), sodium klorida 2%, dan passing 3 kali (nilai desirability 0,877). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki kekerasan 1855,23gf, kelengketan -35,86gf, elongasi 576,38%, dan cooking loss 2,62%.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya penulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK REOLOGI MI JAGUNG DENGAN PROSES EKSTRUSI PEMASAK – PENCETAK
TJAHJA MUHANDRI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Feri Kusnandar : Dr. Emmy Darmawati
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Y. Aris Purwanto : Dr. Ridwan Thahir
Judul Penelitian
: Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak – Pencetak
Nama
: Tjahja Muhandri
Nrp
: F 261020071
Program Studi
: Ilmu Pangan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Anggota
Dr. Ir. Sutrisno, MAgr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr.Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc
Tanggal Ujian : 23 Desember 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dahrul Syah
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S3 di Program Studi IPN - IPB.
Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. P. Adil Basuki Ahza, P. Rizal Syarief dan P. Sutrisno selaku pembimbing. Arahan, dorongan dan bimbingan yang sabar terhadap diri saya semoga menjadi amal ibadah yang sangat besar pahalanya. 2. M. Feri dan B. Emmy yang bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup. Terima kasih masukannya. 3. P. Ridwan Thahir dan P. Aris Purwanto yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka. Terima kasih masukannya. 4. P. Subarna yang menemani sejak pembuatan proposal, penelitian dan pengolahan data. Terima kasih pula kepada P. Darwin, B. Betty Sri Laksmi Jenie, B. Ratih, P Sugiyono, M. Feri dan P. Dahrul yang banyak memberikan masukan dan dorongan. 5. Semua sahabat di Dept. ITP-FATETA-IPB. 6. Seluruh kawan-kawan teknisi dan laboran serta kawan-kawan di IPN. 7. P. Khairil Anwar dan P. Marimin. Salam hormat. 8. Semua teman yang telah membantu.
Penulis menyadari penuh bahwa naskah ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga penulis menerima semua kritik dan saran dalam bentuk apapun. Sekali lagi, terima kasih.
Bogor, Januari 2012
Tjahja Muhandri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 15 Mei 1972 sebagai putra ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Muchni dan Suwarti. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (1991 – 1996). Pada tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Program S2 Teknik dan Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 2002.
Program Doktor penulis jalani di
Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2002.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. xii DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xviii DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... xix PENDAHULUAN LATAR BELAKANG ........................................................................ TUJUAN ............................................................................................ HIPOTESA ........................................................................................ MANFAAT ........................................................................................
1 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA KOMPOSISI KIMIA BIJI JAGUNG ................................................... GELATINISASI ................................................................................. PROSES PENEPUNGAN JAGUNG .................................................... SIFAT AMILOGRAFI ......................................................................... PROSES PEMBUATAN MI ................................................................ EKSTRUDER ..................................................................................... a. Ekstruder ..................................................................................... b. Proses Ekstrusi ............................................................................ c. Ekstrusi Pasta .............................................................................
8 11 14 15 19 22 22 24 25
REOLOGI MI ...................................................................................... HUBUNGAN KARAKTERISTIK AMILOGRAFI DENGAN REOLOGI MI ............................................................... PENGUKURAN SIFAT REOLOGI MI .............................................. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM) ...............................
25 28 29 31
METODOLOGI PENELITIAN BAHAN DAN ALAT .......................................................................... TEMPAT PENELITIAN ...................................................................... PELAKSANAAN PENELITIAN ........................................................ Pembuatan Tepung Jagung ............................................................ Karakterisasi Tepung dan Pati Jagung ............................................ Analisa Profil Gelatinisasi ............................................................. Penelitian Pendahuluan ..................................................................
xii
33 34 34 34 35 36 36
Optimasi Proses Pembuatan Mi Basah ............................................ 37 Optimasi Proses dengan Perlakuan Garam (Na 2 CO 3 dan NaCl), Kadar Air dan Jumlah Passing ........................................................ 38 PENGARUH UKURAN PARTIKEL, BOBOT DAN PENAMBAHAN GARAM TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG DAN PATI JAGUNG ABSTRACT .......................................................................................... 40 ABSTRAK ............................................................................................ 40 PENDAHULUAN ................................................................................. 41 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 42 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 44 KESIMPULAN ..................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 60 OPTIMASI PROSES EKSTRUSI MI JAGUNG DENGAN METODE RESPON PERMUKAAN ABSTRACT .......................................................................................... 63 ABSTRAK ............................................................................................ 63 PENDAHULUAN ................................................................................. 64 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 65 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 68 KESIMPULAN ..................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 77 PENGARUH GARAM (SODIUM KARBONAT DAN SODIUM KLORIDA) DAN JUMLAH PASSING PADA OPTIMASI PROSES MI JAGUNG ABSTRACT .......................................................................................... 79 ABSTRAK ............................................................................................ 79 PENDAHULUAN ................................................................................. 80 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 81 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 83 KESIMPULAN ..................................................................................... 97 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 97 PEMBAHASAN UMUM .............................................................................. 100 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 109 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 112
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Teknologi pembuatan dan karakteristik produk mi jagung ...........
1
Tabel 1.2. Karakateristik mi basah jagung dengan metode pengumpanan yang berbeda .................................................................................
3
Tabel 2.1. Komposisi kimia biji jagung .........................................................
8
Tabel 2.2. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal (Smith, 1981) ............................ 24 Tabel 4.1. Perbandingan karakteristik tepung jagung varietas P21 dengan pati jagung yang diperoleh dari PT Suba Gel ................................. 45 Tabel 4.2. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 46 Tabel 4.3. Pengaruh konsentrasi partikel dalam suspensi terhadap profil gelatinisasi tepung jagung dan pati jagung .................................... 49 Tabel 4.4. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ............. 52 Tabel 4.5. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung ................. 54 Tabel 4.6. Pengaruh penambahan Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ........................................................................................... 57 Tabel 4.7. Pengaruh penambahan Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi pati jagung ........................................................................................... 57 Tabel 5.1. Independen variabel dan level masing-masing variabel pada optimasi proses pembuatan mi dengan metode RSM ...................... 67 Tabel 5.2. Hasil analisis kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss mi jagung ..................................................................................... 69 Tabel 5.3. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk keempat respon terukur .. 70 Tabel 5.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum ........................ 75 Tabel 5.5. Perbandingan karakteristik mi jagung dan spaghetti ...................... 76 Tabel 6.1. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk respon terukur pada perlakuan kadar air (X 1 ), passing (X 2 ) dan sodium karbonat (X 3 )
83
Tabel 6.2. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk respon terukur pada perlakuan kadar air (X 1 ), passing (X 2 ) dan sodium klorida (X 3 ) .. 84 Tabel 6.3. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada penggunaan sodium karbonat ........................................................ 95 Tabel 6.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada penggunaan sodium klorida .......................................................... 96 xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Foto SEM mi basah jagung, (a) pemberian tekanan pada adonan, dan (b) tanpa pemberian dorongan.............................
3
Gambar 2.1. Struktur amilosa dan amilopektin (Harper, 1981) ...................
9
Gambar 2.2. Sruktur amilopektin pada daerah kristalin dan amorf (Liu, 2005) 9 Gambar 2.3. Model struktur granula pati (Liu, 2005) ..................................
10
Gambar 2.4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) ............................
12
Gambar 2.5. Perubahan granula pati selama gelatinisasi dan retrogradasi (Srichuwong, 2006) ................................................................
13
Gambar 2.6. Ilustrasi kurva sifat-sifat amilografi (Sowbhagya dan Bhattacharya, 2001) .....................................
16
Gambar 2.7. Profil gelatinisasi dan perubahan granula pati selama pemanasan (Srichuwong, 2006) ..............................................
17
Gambar 2.8. Bagian-bagian penting alat ekstruder tunggal (Harper, 1981)..
24
Gambar 2.9. Kurva hasil pengukuran dengan TPA (Texture Profile Analyser) 30 Gambar 3.1. Ekstruder yang digunakan dalam penelitian ............................
33
Gambar 3.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian .......................................
34
Gambar 3.3. Diagram alir proses pembuatan tepung jagung........................
35
Gambar 3.4. Diagram alir analisa profil gelatinisasi ...................................
36
Gambar 3.5. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung ................
38
Gambar 3.6. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung dengan perlakuan garam dan jumlah passing ......................................
39
Gambar 4.1. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ....................................................................................
46
Gambar 4.2. Hubungan pengaruh ukuran tepung jagung terhadap suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b) dan viskositas puncak (c) ..............................................................................
47
Gambar 4.3. Pasting properties pati jagung dengan kadar amilosa rendah N7, N8, N9, amilosa sedang N10, N11 dan amilosa tinggi N4, N5, N6 (Tam et al, 2004).................................................
xv
48
Gambar 4.4. Pengaruh konsentrasi partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung .........................................................................
49
Gambar 4.5. Hubungan antara konsentrasi tepung jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b) ..............................................................................
50
Gambar 4.6. Hubungan antara konsentrasi pati jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b)......
50
Gambar 4.7. Pengaruh garam NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 52 Gambar 4.8. Hubungan antara kadar NaCl dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50oC (d), viskositas breakdown (e) dan viskositas setback (f) pada profil gelatinisasi tepung jagung ...
53
Gambar 4.9. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung ...........
54
Gambar 4.10. Pengaruh Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung .
55
Gambar 4.11. Hubungan antara kadar dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50oC (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi tepung jagung ......................................................
56
Gambar 4.12. Pengaruh Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi pati jagung ......
58
Gambar 4.13. Hubungan antara kadar dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50oC (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi pati jagung ...........................................................
59
Gambar 5.1. Grafik RSM kekerasan mi jagung ...........................................
71
Gambar 5.2. Grafik RSM kelengketan mi jagung .......................................
72
Gambar 5.3. Grafik RSM elongasi mi jagung .............................................
73
Gambar 5.4. Grafik RSM cooking loss mi jagung .......................................
74
Gambar 5.5. Grafik nilai desirability mi yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm, pada suhu dan kadar air yang berbeda ...............
76
Gambar 5.6. Mi jagung yang dihasilkan pada kadar air 70%, suhu ekstruder 90oC dan kecepatan ulir 130 rpm.............................
xvi
76
Gambar 6.1. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh passing dan sodium karbonat .....................................................................
85
Gambar 6.2. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara sodium klorida dengan passing (b) .............................................................................
86
Gambar 6.3. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium karbonat (b)............................................................................
87
Gambar 6.4. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi kadar air dengan sodium klorida ...........................................................
88
Gambar 6.5. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan sodium karbonat (a), antara kadar air dengan passing (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c) ....
89
Gambar 6.6. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium klorida (b) ..............................................................................
90
Gambar 6.7. Elongasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium karbonat (b)...........................................................................
91
Gambar 6.8. Elongasi mi jagung pada perlakuan kadar air, sodium klorida dan passing ............................................................................
92
Gambar 6.9. Cooking loss mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a), antara kadar air dengan sodium karbonat (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c) ..
93
Gambar 6.10. Cooking loss mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan sodium klorida .............................................
94
Gambar 6.11. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada penggunaan sodium karbonat .................................................
96
Gambar 6.12. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada penggunaan sodium klorida ....................................................
96
Gambar 7.1. Struktur mikro mi jagung yang dihasilkan dari proses yang optimal (a) mirip dengan struktur mikro mi terigu (b) ............. 103
xvii
Gambar 7.2. Struktur mikro mi jagung jika kondisi proses ekstrusi optimal (a) dan jika kondisi proses kurang mencukupi kebutuhan teksturisasi selama ekstrusi (b). .............................................. 103 Gambar 7.3. Konfigurasi ulir pada ekstruder pemasak-pencetak yang digunakan dalam penelitian .................................................... 105 Gambar 7.4. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang tidak optimal ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) ................................................. 106 Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang cukup ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) ............................................................ 107 Gambar 7.6. Model adonan pati yang diusulkan pada pembuatan mi (Chen, 2003)...................................................................................... 107 Gambar 7.7.
Perubahan granula pada pembuatan mi pati ketika mi dicetak masuk ke dalam air panas (a) dan ketika retrogradasi (b) ........ 108
xviii
DAFTAR SINGKATAN
BU
: Brabender Unit
CGM
: Corn Gluten Meal
DSC
: Differential Scanning Calorimetry
IRRI
: International Rice Research Institute
LMW
: Low Moleculer Weight
P21
: Pioneer 21
PP
: Polyprophylene
RPM
: Rotation Per Minute
RSM
: Response Surface Methodology
SEM
: Scanning Electron Microscope
TPA
: Texture Profile Analyzer
WSN
: Wheat Salt Noodle
DAFTAR ISTILAH
Amilopektin
:
Polisakarida dengan molekul bercabang pada rantai lurusnya, memiliki ikatan β-1:6 pada cabang yang terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa
Amilosa
:
Molekul linier (rantai lurus) polisakarida dengan ikatan α1:4
Cooking loss
:
Banyaknya padatan dalam mi yang terurai ke dalam air selama proses pemasakan
Derajat gelatinisasi
:
Persentase granula yang telah mengalami gelatinisasi
Ekstruder
:
Alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi
Ekstruder pemasak
:
Ekstruder yang dilengkapi satuan pemanas / proses pemasakan dengan injeksi uap (secara langsung) atau dari jaket pemanas (secara tidak langsung)
Ekstruder ulir tunggal Elongasi
:
Ekstruder yang memiliki satu buah ulir (screw)
:
Pertambahan panjang maksimum suatu bahan yang mengalami tarikan sebelum putus
Gelatinisasi
:
Proses perubahan sifat pati yang ditandai dengan keluarnya amilosa dan amilopektin karena pengaruh fisik (panas dan air) dan mekanik (tekanan).
Kekerasan
:
Gaya maksimum yang diperlukan untuk menekan sampai terjadi perubahan bentuk yang telah ditetapkan
Kelengketan
:
Gaya yang dibutuhkan untuk menarik bagian pangan dan memisahkannya dari lempeng kompresi
Passing
:
Jumlah (ulangan) adonan dicetak melewati ekstruder
Profil gelatinisasi
:
Karakteristik yang ditunjukkan oleh suspensi pati atau tepung ketika mengalami gelatinisasi oleh panas
Reologi
:
Ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Pada bahan padat reologi merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair hubungan antara gaya dengan aliran
Response Surface Methodology
:
Teknik statistik dan matematik yang digunakan untuk pengembangan, perbaikan dan optimasi proses dalam respon utama yang diakibatkan oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah optimasi respon tersebut
Retrogradasi
:
Proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati yang telah tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu, ketika adonan didinginkan
Sifat amilografi
:
Sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan menggunakan alat Brabender Amilograph
Suhu awal gelatinisasi
:
Suhu pada suspensi ketika granula pati atau tepung mulai membengkak dan amilosa keluar dari granula, yang ditandai dengan naiknya viskositas suspensi
Suhu gelatinisasi maksimum
:
Suhu ketika suspensi pati atau tepung mencapai viskositas puncak
Tekanan shear
:
Tekanan yang bersifat geser, arahnya tidak tegak lurus dengan materi yang terkena tekanan
Tensile strength
:
Gaya yang diperlukan untuk menarik suatu benda hingga putus
Titik awal gelatinisasi
:
Kondisi yang terjadi pada pati ketika granula mengembang dan amilosa mulai keluar dari granula
Viskositas break down
:
Nilai yang dihitung dari viskositas puncak dikurangi dengan viskositas terendah pada saat pemanasan diteruskan
Viskositas dingin
:
Nilai viskositas yang dicapai pada waktu suhu Brabender Amilograph diturunkan hingga mencapai suhu 50oC
Viskositas puncak
:
Nilai maksimum viskositas yang dicapai ketika suspensi pati atau tepung mengalami proses pemanasan
Viskositas set back
:
Nilai dihitung dari viskositas pada suhu 50oC dikurangi dengan viskositas terendah yang dicapai suspensi
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Berbagai penelitian tentang teknik pembuatan mi jagung telah dilakukan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) pembuatan mi jagung dengan teknik ekstrusi (Waniska et al., 1999), dan (2) teknik pembuatan mi jagung dengan pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sleeting) atau modifikasi teknik mi terigu (Budiyah, 2004; Fitriani, 2004). Mi jagung yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya memiliki karakteristik yang belum sesuai dengan karakteristik mi yang baik, yaitu cooking loss yang rendah dan elongasi yang tinggi. Hasil penelitian sebelumnya (Tabel 1.1.) menunjukkan bahwa mi jagung yang dihasilkan memiliki karakteristik cooking loss yang tinggi dan beberapa peneliti tidak melakukan pengukuran terhadap elongasi produk mi jagung.
Tabel 1.1. Teknologi pembuatan dan karakteristik produk mi jagung No.
Peneliti
1.
Waniska et al. (1999)
2.
Budiah (2004)
3.
Fitriani (2004)
4.
Kurniawati (2006)
5.
Rianto (2006)
6.
Soraya (2006)
Teknologi Proses Ekstruder pasta (mi kering) Kalendering (mi instant) Kalendring (mi instant) Kalendering (mi basah) Kalendering (mi basah) Kalendering (mi basah)
Bahan Baku Utama Tepung jagung Pati jagung Tepung jagung Pati jagung, CGM Tepung jagung Tepung jagung
Karakteristik Utama Mi Cooking loss 47% Elongasi tidak diukur Cooking loss 20,10% Elongasi tidak diukur Cooking loss 8,35% Elongasi tidak diukur Cooking loss 16,53% Elongasi 20,55% Cooking loss 17,79% Elongasi 20,05% Cooking loss 10,10% Elongasi 14,70%
Karakteristik protein yang dimiliki oleh jagung tidak mampu menghasilkan adonan yang elastis pada kondisi dingin, sehingga pada kedua teknik di atas, adonan tepung jagung perlu digelatinisasi terlebih dahulu. Pada teknik sheeting dan sleeting kendala yang dihadapi adalah mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung jagung yang telah digelatinisasi. Pada kondisi suhu ruang, suhu adonan akan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah.
Pembuatan mi jagung dengan bahan baku jagung ukuran tepung (lolos ayakan 80 mesh) dan maize meal (lolos ayakan 40 mesh) telah dilakukan oleh Waniska et al. (1999). Jenis ekstruder yang digunakan adalah pasta maker untuk rumah tangga, memiliki 24 lubang die dengan diameter die 1,5 mm, chamber berukuran diameter 45 mm dan panjang 85 mm. Namun mi jagung yang dihasilkan memiliki cooking loss yang terlalu tinggi yaitu di atas 47%. Tingginya cooking loss diduga karena adonan tidak cukup mengalami kompresi dan tekanan shear.
Ekstruder tidak mampu memecah granula tepung,
sebagian pati yang telah tergelatinisasi masih terikat dalam granula tepung. Ketika retrogradasi, ikatan hidrogen antar amilosa tidak terjadi secara sempurna pada seluruh bagian mi sehingga struktur mi kurang kokoh. Kelemahan pada teknik pembuatan mi jagung yang dikembangkan oleh Waniska et al. (1999) yaitu dengan teknik pencetakan menggunakan ekstruder pasta adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke dalam zona pengumpanan di dalam ekstruder.
Kondisi ini terjadi karena adonan sudah digelatinisasi terlebih dahulu
sehingga memiliki sifat panas dan lengket. Kecepatan ulir bersifat konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir pada ekstruder pasta yang memiliki permukaan halus menyebabkan adonan mengalami selip dan tidak terdorong secara maksimal menuju die. Ulir tipe constant root dengan jarak antar flight yang sama, sehingga tidak memiliki compression section. Charutigon et al. (2007) menyatakan bahwa vermicelli dari tepung beras yang diproses dengan ekstruder pemasak-pencetak memiliki cooking loss 14,2% dan dapat diterima oleh panelis terlatih pada kecepatan screw 50 rpm (kecepatan aliran sekitar 750 gr/jam). Pada kecepatan aliran 400-700 gr/jam, vermicelli tidak diterima oleh panelis. Ekstruder yang digunakan adalah ekstruder ulir tunggal dengan dua buah die yang berukuran 0,6 mm. Pengaruh tekanan yang diterima adonan terhadap karakteristik mi basah jagung diteliti oleh Muhandri dan Subarna (2009) menggunakan ekstruder pasta yang sama dengan yang digunakan oleh Waniska et al. (1999). Perlakuan pemberian dorongan pada adonan untuk memasuki zona kompresi dapat mempersingkat waktu proses dari 2 menit 52 detik menjadi 2 menit 33 detik. Mi basah jagung memiliki karakteristik yang lebih baik, elongasi lebih tinggi dan cooking loss lebih rendah (Tabel 1.2.).
2
Tabel 1.2. Karakteristik mi basah jagung dengan metode pengumpanan yang berbeda Karakteristik Mi Metode Pengumpanan pada saat Pencetakan Basah Jagung Adonan Tidak Diberi Adonan Diberi Dorongan Dorongan Cooking Loss (%) 7,15 ± 0,11 5,56 ± 0,04 Elongasi(%) 108,46 ± 2,78 126,29 ± 6,29 Menurut Muhandri dan Subarna (2009), berdasarkan hasil foto SEM (Gambar 1.1), struktur mi basah jagung yang dibuat ekstruder pasta yang diberikan dorongan (tekanan) pada adonan terlihat lebih kompak dibandingkan dengan tanpa pemberian dorongan. Granula tepung terlihat menyatu satu dengan lainnya (Gambar 1.1.a). .
a
b
Gambar 1.1. Foto SEM mi basah jagung yang dibuat dengan : (a) pemberian dorongan pada adonan (b) tanpa pemberian dorongan Pada
penelitian
ini
digunakan
ekstruder
pemasak-pencetak.
Adonan
dimasukkan ke dalam zona pengumpanan dalam keadaan mentah (belum tergelatinisasi) sehingga aliran adonan lebih lancar.
Ulir memiliki compression
section sehingga terjadi tekanan yang cukup besar di dalam ekstruder. Di Indonesia, belum ada peneliti yang melaporkan varietas jagung yang cocok untuk dibuat mi.
Namun Tam et al. (2004) memberikan karakteristik berupa
kandungan amilosa sekitar 27-30% yang cocok untuk dibuat bihun dari jagung. Penelitian ini akan menggunakan tepung jagung yang memiliki kandungan amilosa normal. Reologi mi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dapur dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. Garam yang sering digunakan adalah NaCl dan garam basa
3
yang mencakup sodium dan potasium karbonat, bikarbonat dan fosfat dan kadangkadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara (Moss et al., 1986). Pada adonan terigu, kondisi basa menyebabkan adonan menjadi lebih liat dan ekstensibel (Moss et al., 1986). Perubahan ini terjadi akibat oksidasi grup sulfidril, pertukaran sulfidril disulfida dan oksidasi fraksi globulin membentuk ikatan protein dengan berat molekul lebih tinggi. Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan garam basa atau kansui (campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan 1:1) sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength paling kuat yaitu sebesar 43±3 mN. Tensile strength mi dengan penambahan garam basa berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00 % adalah 25±1 mN, 31±2 mN, 43±3 mN dan 36±2 mN. Namun semakin tinggi garam basa, cooking loss mi semakin tinggi pula. Cooking loss mi dengan penambahan kansui berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00% adalah 5,58±0,38 %, 6,94±0,31 %, 15,74±0,51 % dan 19,20±0,46 %. Menurut Shiau dan Yeh (2001), kansui dapat meningkatkan perubahan ikatan S-H menjadi S-S. Dimana S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein. Sehingga dengan berkurangnya S-H, maka pati tidak lagi terikat erat pada matriks protein dan akan terlepas ketika mi dimasak. NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu NaCl dapat memperkuat adonan dan meningkatkan penyerapan air.
Namun penggunaan NaCl di atas 3% dapat
merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaannya tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reologi produk mi ternyata juga berpengaruh terhadap sifat reologi suspensi tepung atau pati yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1% natrium karbonat dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi maksimum. Pada semua kasus terjadi peningkatan viskositas ratarata 300 – 1000 BU.
Chen (2003), meneliti sifat amilografi pati kentang dan
menemukan bahwa suspensi pati dalam larutan NaCl 1,5% memberikan nilai viskositas maksimum dan suhu gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan suspensi pati dalam aquades, namun nilai viskositas dingin (cold viscosity) lebih tinggi.
4
Informasi tentang sifat-sifat suspensi tepung atau pati yang berkaitan dengan viskositas dan gelatinisasi merupakan suatu informasi penting yang diperlukan untuk menduga karakteristik suatu produk pasta berbasis tepung atau pati. Menurut Chen (2003), mutu mi dari pati dapat diprediksi dari sifat-sifat gel pati, karena gel pati yang lebih keras dapat menghasilkan mutu pemasakan (elastisitas lebih tinggi dan cooking loss lebih rendah) dan mutu organoleptik mi yang lebih baik. Lebih lanjut Chen menemukan bahwa viskositas dingin (cold viscosity) campuran tepung dalam larutan NaCl 1,5 % menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cooking loss, elongasi dan tensile strength. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil gelatinisasi tepung jagung akibat pengaruh garam, sifat-sifat reologi mi jagung yang dibuat dengan teknik ekstrusi, mempelajari hubungan antara sifat-sifat amilografi tepung dengan reologi mi jagung, optimasi proses pembuatan mi jagung dan bagian terakhir penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan garam dan passing (ulangan adonan melewati ekstruder) terhadap sifat reologi mi jagung. Bagian Pertama disertasi ini adalah Pendahuluan yang berisi kondisi yang melatarbelakangi pentingnya penelitian ini dilakukan, tujuan, hipotesa dan manfaat penelitian. Bagian Kedua berisi Tinjauan Pustaka yang terkait dengan penelitian. Bagian Ketiga menggambarkan Tahapan Penelitian secara keseluruhan dan metode (langkah) dalam setiap tahap penelitian. Bagian Keempat berisi Pengaruh Ukuran Partikel, Konsentrasi dalam Air dan Garam terhadap Profil Gelatinisasi Tepung dan Pati Jagung, Bagian Kelima Optimasi Proses Ekstrusi Mi Jagung dengan Metode Respon Permukaan, dan Bagian Keenam berisi Pengaruh Garam (Sodium Karbonat dan Sodium Klorida) dan Passing pada Optimasi Proses Mi Jagung. Pada Bagian Ketujuh disajikan pembahasan umum dari semua hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini. TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi proses yang dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik (cooking loss rendah dan elongasi tinggi), serta perubahan yang terjadi pada mi basah jagung akibat penambahan garam pada adonan dan perlakuan passing. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji profil gelatinisasi tepung jagung.
5
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : 1. Mempelajari profil gelatinisasi tepung dari berbagai ukuran partikel. Dikaji pula profil gelatinisasi pada tepung dan pati jagung akibat perbedaan konsentrasi dalam suspensi dan akibat penambahan garam. 2. Mendapatkan kondisi proses yang optimum pada pembuatan mi jagung menggunakan ekstruder pemasak-pencetak, dengan variabel kadar air adonan, suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder. 3. Mengkaji perubahan karakteristik reologi mi jagung akibat penambahan garam dan passing (jumlah ulangan adonan melewati ekstruder). Garam yang digunakan adalah sodium karbonat dan sodium klorida. HIPOTESA Hipotesa penelitian ini adalah : 1. Ukuran partikel tepung, konsentrasi tepung dalam suspensi dan garam (Na 2 CO 3 dan NaCl) berpengaruh terhadap sifat amilografi tepung jagung. Semakin besar ukuran partikel, diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk memulai gelatinisasi serta untuk mencapai gelatinisasi maksimum, namun semakin rendah viskositas puncak. Penambahan garam dapat meningkatkan suhu awal dan suhu gelatinisasi maksimum serta viskositas puncak. Semakin tinggi konsentrasi tepung dalam suspensi, viskositas puncak semakin tinggi. 2. Kombinasi kadar air, suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang sesuai, dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik (elongasi tinggi dan cooking loss rendah). 3. Penambahan garam (Na 2 CO 3 dan NaCl) serta perlakuan passing dapat mempengaruhi karakteristik mi basah jagung.
Semakin tinggi garam yang
ditambahkan dan semakin sering adonan dilewatkan ekstruder (passing) kekerasan mi akan semakin turun. MANFAAT Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Menyediakan informasi tentang pengaruh konsentrasi tepung atau pati jagung terhadap profil gelatinisasi. Informasi ini berguna untuk dijadikan dasar pada
6
pengkondisian kadar air yang sama ketika akan peneliti lain akan melakukan pengukuran profil gelatinisasi. 2. Memberikan informasi tentang kondisi proses meliputi kadar air, suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik. 3. Menunjukkan pentingnya faktor suhu dan tekanan pada pembuatan mi yang menggunakan bahan baku selain terigu (misalnya tepung jagung, tepung sorghum atau tepung singkong). 4. Memberikan gambaran tentang penggunaan jenis garam dan konsentrasi yang sesuai pada pembuatan mi jagung.
7
TINJAUAN PUSTAKA KOMPOSISI KIMIA BIJI JAGUNG Pati jagung terdiri dari amilosa dan amilopektin yang terutama berada pada bagian endosperma. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaga. Asam lemak penyusunnya terdiri dari asam lemak jenuh seperti palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi kimia biji jagung Komponen
Pati (%)
Protein (%)
Lipid (%)
Gula (%)
Abu (%)
Biji utuh Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap
71,5 86,4 8,2 7,3 5,3
10,3 9,4 18,8 3,7 9,1
4,8 0,8 31,5 1,0 3,8
2,0 0,6 10,8 0,3 1,6
1,4 0,3 10,1 0,8 1,6
Sumber : Inglett, 1970.
Granula pati jagung mengandung amilosa dan amilopektin, dengan kadar amilosa sekitar 27 % dan amilopektin sekitar 73 %. Keduanya merupakan polimer dengan bobot molekul yang tinggi. Polimer tersebut tersusun dari unit–unit Dglukosa. Amilopektin yang berbentuk rantai cabang mengandung 40.000 atau lebih unit glukosa. Sedangkan amilosa yang berupa rantai lurus mengandung 1000 unit glukosa (Inglett, 1970). Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Menurut Harper (1981) amilosa merupakan molekul linier polisakarida dengan ikatan α-1:4, sedangkan amilopektin merupakan struktur seperti amilosa pada rantai lurusnya tetapi memiliki ikatan β-1:6 pada cabang yang terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa (lihat Gambar 2.1). Pati jagung terdiri dari bagian yang bersifat kristalin dan bagian amorf, yang letaknya berselang seling membentuk cincin berlapis mengelilingi hilum. Bagian kristalin berisi rantai ikatan pendek dari amilopektin yang berklaster-klaster. Bagian
amorf berisi percabangan amilopektin dan amilosa (Liu, 2005).
Model untuk
molekul amilopektin pada daerah kristalin dan amorf dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.1. Struktur amilosa dan amilopektin (Harper, 1981)
Gambar 2.2. Sruktur amilopektin pada daerah kristalin (1) dan amorf (2) (Liu, 2005)
9
Hilum granula pati ada yang berada di tengah dan ada yang cenderung berada di tepi granula, tergantung asal pati tersebut. Liu (2005) menggambarkan model struktur pati seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Model struktur granula pati (Liu, 2005) 10
Menurut (Inglett, 1970), protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan skleroprotein. Hampir 85% minyak jagung terdapat pada bagian lembaga. Asam lemak yang terkandung pada minyak jagung terdiri dari 59% linoleat, 27% oleat, 12% palmitat, 2% stearat, 0,8% linolenat dan 0,2% arakhinat. Komponen lain yang terdapat dalam minyak jagung selain asam lemak adalah vitamin A, vitamin D, vitamin E (0,3–0,7 mg/g), sterol, sterol ferulat (25 mg/g), squalen (0,16–0,42 mg/g), dan ubiquinon (0,12–0,21 mg/g).
GELATINISASI Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985). Menurut Fennema (1985), suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefriengence pati mulai menghilang. Fenomena gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan Differential Scanning Calorimetry (BeMiller et al., 1995). Menurut Wurzburg (1989), granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi menyerap air bila berada dalam kelembaban tinggi atau direndam dan akan kembali ke bentuk semula bila kelembaban diturunkan atau pati dikeringkan. Bila campuran pati dengan air dipanaskan hingga di atas suhu kritis, maka ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur pati akan melemah sehingga air masuk dan terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin. Titik awal gelatinisasi terjadi ketika granula mengembang dan amilosa keluar dari granula. Suspensi menjadi bening dan viskositasnya akan meningkat terus hingga mencapai puncak di mana granula mengalami hidrasi maksimum.
Apabila pemanasan diteruskan, maka
granula menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong dan viskositasnya menurun.
11
Menurut Harper (1981) mekanisme gelatinisasi dapat digambarkan sebagai berikut.
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
Granula hanya mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel
Gambar 2.4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Srichuwong (2006) menggambarkan perubahan granula pati pada proses gelatinisasi dan retrogradasi seperti dapat dilihat pada Gambar 2.5. Pati mengalami pengembangan dengan peningkatan suhu.
Mekanisme pengembangan tersebut
disebabkan oleh melemahnya ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul amilosa dan amilopektin sehingga mengganggu kekompakan granula pati.
Jika
pemanasan diteruskan, sebagian amilosa keluar. Setelah pengembangan maksimum dan pemanasan dilanjutkan, granula akan pecah (rupture). Pada saat pendinginan akan terjadi penggabungan kembali rantai linier pati.
12
Gambar 2.5. Perubahan granula pati selama gelatinisasi dan retrogradasi (Srichuwong, 2006)
Gelatinisasi tidak hanya dipengaruhi oleh air dan panas saja, tetapi juga dipengaruhi oleh tekanan. Dengan tekanan shear yang tinggi, tidak diperlukan air yang banyak untuk terjadinya gelatinisasi. Derby et al. (1975) meneliti gelatinisasi tepung terigu pada proses ekstrusi dan menemukan bahwa pada kadar air 33% mulai terjadi pembengkakan granula, pada kadar air di atas 50% dapat terjadi gelatinisasi sempurna. Menurut Tan et al. (2008) pada tekanan atmosfer, diperlukan suhu sekitar 85oC untuk membuat pati beras tergelatinisasi sempurna. Namun dengan tekanan 500 Mpa, pada suhu 50oC, pati sudah tergelatinisasi sempurna.
Pada tekanan
atmosfer, pati beras mulai tergelatinisasi pada suhu 50oC, tetapi pada tekanan 200 Mpa pati sudah mulai tergelatinisasi pada suhu 20oC. Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 μm, sedangkan rata-rata ukuran granula pati jagung adalah 15 μm.
Pati dengan ukuran granula besar
mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati dengan granula yang berukuran kecil.
Pengamatan dengan DSC (Differential
Scanning Calorimeter) menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai 13
suhu awal gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran lebih besar (Wirakartakusumah, 1981).
PROSES PENEPUNGAN JAGUNG
Proses penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua cara yaitu proses penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pada penggilingan kering tidak dilakukan tahap perendaman biji jagung seperti pada proses penggilingan basah. Produk yang dihasilkan pada penggilingan basah biji jagung adalah pati. Sedangkan produk yang dihasilkan dari penggilingan kering biji jagung adalah grits, meal dan flour (Inglett, 1970). Secara garis besar, proses penepungan jagung melalui teknik penggilingan basah terdiri atas tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses penepungan jagung diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi (Inglett, 1970). Tahap selanjutnya adalah perendaman. Perendaman dilakukan untuk melunakkan biji jagung dan memfasilitasi disintegrasi protein yang mengikat granula pati di dalam biji.
Selanjutnya dilakukan pemisahan lembaga pada biji jagung
menggunakan degerminating mill yang terdiri dari dua pelat logam yaitu pelat statis dan pelat berputar dengan projecting teeth. Alat ini bertujuan menyobek biji jagung sehingga lembaga dapat lepas tanpa harus menghancurkannya. Hasil penggilingan kasar ini selanjutnya dialirkan ke hydroclone sehingga lembaga dapat dipisahkan (Inglett, 1970). Selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan partikel kasar. Hasil penyaringan kemudian digiling menggunakan atrition mill sehingga pati benar– benar keluar. Lalu slurry hasil penggilingan dialirkan ke gyratory shaker untuk memisahkan serat halus. Hasilnya yang tersisa sekarang adalah pati dan gluten. Untuk memisahkan pati dan gluten, digunakan sentrifuse dengan kecepatan tinggi sebanyak dua kali sehingga gluten yang tersisa dapat terpisahkan. Tahap terakhir, pati dikeringkan menggunakan oven kemudian digiling (Inglett, 1970). Tahapan proses pada penggilingan kering berbeda dengan tahapan pada proses penggilingan basah biji jagung. Tahapan pertama yang dilakukan pada 14
penggilingan kering adalah pembersihan biji jagung, jika diperlukan dapat dilakukan pencucian. Kemudian dilakukan tempering dengan penambahan air yang terkontrol. Hal ini dilakukan untuk melunakkan biji jagung sehingga mempermudah pelepasan lembaga dari endosperma jagung. Setelah tempering, dilakukan degerming untuk melepaskan kulit, tip cap, dan lembaga. Lalu dilakukan pengeringan dan pendinginan untuk persiapan fraksinasi. Fraksinasi dilakukan menggunakan serangkaian alat yaitu roller mill, sifter, gravity table separator, dan purifier untuk memisahkan komponen grits, meal, dan flour. Tahap terakhir dilakukan pengeringan jika diperlukan (Inglett, 1970).
SIFAT AMILOGRAFI
Sifat amilografi adalah sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan menggunakan alat Brabender Amylograph.
Sifat amilografi meliputi suhu awal
gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas maksimum, viskositas balik dan viskositas dingin (suhu 50oC). Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Tetapi tidak semua amilosa terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al., 1988). Perubahan morfologis granula pati selama pengembangan tergantung pada sifat alami pati itu sendiri. Kemampuan pembengkakan granula biasanya dihitung dengan daya pengembangan (berat pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada suhu tertentu (Konik, 2001). Sifat-sifat adonan pati sangat penting untuk karakteristik pati dan aplikasinya. Informasi yang penting seperti suhu gelatinisasi, viskositas puncak, dan viskositas balik dapat ditentukan dengan Visco Amylograph Brabender (Chen, 2003).
15
Gambar 2.6. Ilustrasi kurva sifat-sifat amilografi (Sumber: Sowbhagya dan Bhattacharya, 2001) Sifat-sifat adonan ini sangat berguna sebagai indikator pada aplikasi pati. Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat pada Gambar 2.6 meliputi: 1. Viskositas maksimum (PV) adalah nilai maksimum viskositas yang dicapai selama proses pemanasan 2. Viskositas panas (V 95i ) adalah viskositas yang dicapai pada suhu 95oC 3. Viskositas panas 10 menit (V 95t ) adalah viskositas pada saat 10 menit setelah dicapai suhu 95oC 4. Viskositas dingin (V 50 ) adalah viskositas yang dicapai pada waktu pendinginan mencapai suhu 50oC. Selama penyimpanan, adonan menjadi keruh dan biasanya terbentuk endapan yang tidak larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati. Pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan helix-helix. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu yang merupakan proses larutnya rantai linier polisakarida dan mengurangi kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi merupakan hasil ikatan
16
hidrogen antara molekul pati yang mempunyai gugus hidroksil dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai molekul pati membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin (Srichuwong, 2006).
Perubahan granula
selama proses pemanasan menggunakan Rapid Visco Analyzer dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Profil gelatinisasi dan perubahan granula pati selama pemanasan (Srichuwong, 2006) Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai paralel. Retrogradasi dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat pada bagian luar molekul amilopektin (Daniel dan Weaver, 2000). Amilopektin yang terkristalisasi 17
dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC, sementara amilosa yang terekristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130oC (Zhang dan Jackson, 1992). Karakterisasi sifat amilografi diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan identifikasi data awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sifat amilografi diantaranya adalah: 1. Ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati (Vidal dan Juliano, 1967). 2. pH/penambahan garam basa (Moss et al., 1986). 3. Enzim pektinolitik dan selulotik akibat fermentasi mikroba (Subagio, 2006). 4. Suhu penyimpanan dan lama penyimpanan (Villareal et al., 1976). 5. Modifikasi pati (modified starch) baik dengan hidrolisis, oksidasi, fosforilasi, substitusi maupun pre gelatinisasi (Luallen, 1989). Lebih lanjut Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1% natrium karbonat dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak. Pada semua kasus terjadi peningkatan viskositas rata-rata 300 – 1000 BU. Chen (2003), meneliti sifat amilografi pati ubi jalar dan menemukan bahwa suspensi pati dalam larutan NaCl 1,5% memberikan nilai suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dan viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan suspensi pati dalam aquades.
Menurut Koch dan Jane (2000), ion dari NaCl memiliki
interaksi elektrostatik dengan air yang lebih kuat dengan air dan mendorong terjadinya ikatan hidrogen diantara molekul-molekul air. Interaksi elektrostatik ini juga meningkatkan viskositas larutan. Kondisi ini menghambat molekul air untuk masuk ke dalam granula pati. Perlu waktu lebih lama dan suhu lebih tinggi untuk mulai terjadinya gelatinisasi. Selain itu kondisi ini menyebabkan viskositas suspensi pati dengan penambahan NaCl menjadi lebih rendah dibanding suspensi tanpa penambahan NaCl. Hal berbeda terjadi pada suspensi tepung terigu, barley dan rye, dimana NaCl meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan suhu puncak gelatinisasi (Linko et al., 1984). Khusus untuk tepung terigu dan barley, penambahan NaCl menyebabkan
18
peningkatan viskositas maksimum yang sangat tajam.
Penambahan NaCl dapat
menyebabkan peningkatan resistensi granula pati terhadap break down dan menghambat aktivitas amilolitik dalam tepung yang mengandung α-amilase. Menurut Linko et al. (1984), interaksi antara ion-ion garam dengan protein gluten terigu merubah kondisi fisik dari molekul protein sehingga mengurangi daya ikat air dari gluten. NaCl diperkirakan menutupi aktivitas muatan molekul dengan interaksi gugus polar protein. meningkatkan
stabilitas
Garam meningkatkan waktu pembentukan dan
adonan
terigu,
meningkatkan
ekstensibilitas
serta
meningkatkan resistensi adonan. Menurut Moss et al. (1986), garam basa menyebabkan tepung terigu lebih cepat mengalami gelatinisasi dan menghasilkan mi yang lebih lunak. Selain itu garam basa akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Garam basa yang biasa digunakan (Na 2 CO 3 dan K2 CO 3 ) pada konsentrasi 1% dapat menghasilkan warna kuning dan flavor yang khas yang disukai oleh konsumen. Namun penambahan NaOH 1% menyebabkan warna kuning tidak terbentuk, karena pH adonan mencapai 11,4, dimana pada pH tersebut diduga berada diluar kisaran aktivitas enzim pembentuk warna gelap ada adonan. Selain itu NaOH 1% menyebabkan adonan menjadi begitu lengket dan sulit untuk ditangani. Menurut Suhendro et al. (2000), ukuran partikel memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap mutu mi non terigu, semakin kecil ukuran tepung mi yang dihasilkan semakin bagus. Menurut Waniska et al. (1999), tepung jagung dengan ukuran partikel kecil lebih bagus untuk dibuat mi dibandingkan dengan maize meal.
PROSES PEMBUATAN MI Mi pada umumnya dibuat dengan bahan tepung terigu. Menurut Wals dan Gille (1974), proses pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan dan pengeringan. Terigu dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis. Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38%. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25
19
menit pada suhu 25-40oC. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan ketebalan 1-2 mm. Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit dibentuk menjadi lembaran. Sedangkan jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985). Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (60oC selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150oC sampai kadar airnya 3-5% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo, 1985). Pasta dan adonan dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk dan mengurangi kehilangan selama pemasakan (cooking loss). Mi non terigu (misal mi beras, kacang hijau dan ubi jalar) memanfaatkan pati daripada protein untuk membentuk struktur mi. Mi berbasis pati biasanya memiliki penampakan yang jernih dan tesktur yang sangat elastis (Xu dan Seib, 1993, Kohlwei et al., 1995). Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder pasta tipe rumah tangga untuk membuat mi berbahan tepung jagung dari tepung dan air yang dipanaskan. Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorghum (Fuglie dan Hermann, 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk.
Setelah adonan mengalami gelatinisasi, pasta pati
ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk.
Adonan dicetak menjadi mi yang
langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai kering (Wiersema, 1992). Pembuatan mi jagung dapat dilakukan dengan menggunakan sistem ekstrusi. Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder ulir untuk membuat mi berbahan 20
dasar tepung jagung dan air yang dipanaskan. Proses pembuatan mi jagung diawali dengan pencampuran tepung jagung, garam, natrium metabisulfit, dan air. Penambahan natrium metabisulfit dapat meningkatkan viskositas pasta pati. Hal ini disebabkan banyak granula pati yang terdispersi dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi selama proses. Viskositas pasta pati juga dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Semakin tinggi kadar air, maka viskositasnya semakin rendah dan semakin tinggi suhu, viskositasnya semakin tinggi. Kadar air dalam campuran bahan pembuat mi yang tinggi dapat menurunkan cooking loss namun meningkatkan waktu pemasakan (Waniska et al., 1999). Dari hasil penelitian yang dilaporkan, mi tipe bihun dari tepung jagung masih memiliki cooking loss yang terlalu tinggi (> 47%). Campuran tersebut kemudian diberi pemanasan awal menggunakan oven microwave. Pemanasan awal ini bertujuan mendispersikan granula pati dan menyebabkan pati tergelatinisasi meskipun tanpa penambahan Natrium metabisulfit. Selanjutnya,
campuran
diekstrusi
menggunakan
ekstruder
pasta
sehingga
membentuk mi. Setelah ekstrusi, mi dipotong sepanjang 25 – 30 cm dan dikeringkan (Waniska et al., 1999). Mi terbaik diperoleh dari tepung jagung yang diberi perlakuan pemanasan awal 95oC, baik yang diberi sulfit maupun tidak. Suhendro et al. (2000) membuat mi dari tepung sorghum dengan teknik yang diambil dari teknik pembuatan mi jagung oleh Waniska et al. (1999). Tepung dan air dicampur dengan cara menambahkan air destilata (90 ml) sedikit demi sedikit ke dalam tepung sorghum (100 gram) yang telah ditambah garam 1%, sambil diaduk dengan sepatula karet. Campuran dipanaskan dengan 2 metode pemanasan, yaitu (1) hotplate dengan suhu 800C selama 5 menit sambil terus diaduk, dan (2) microwave oven dengan suhu 950C selama 1.5 menit, diaduk di dalam microwave oven setiap 40 detik. Campuran dilewatkan dalam ekstruder pembentuk sebanyak 3 kali. Ekstruder yang digunakan adalah model N-50 Hobart Manufacturing Co. dengan diameter lubang 1,7 mm. Tam et al. (2004) meneliti pembuatan mi tipe bihun di Filipina menggunakan pati jagung yang diekstrak dari jagung dengan kandungan amilosa pada kisaran 0,260,8%.
Pati jagung normal yang memiliki kandungan amilosa sekitar 28 %
merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun ini. Pati jagung lilin dengan kandungan amilosa sekitar 0,2-3,8% dan pati jagung kaya amilosa 21
dengan kandungan amilosanya sebesar 40,0-60,8% menghasilkan bihun yang kurang baik. Charutigon et al. (2007) mengatakan bahwa secara tradisional pembuatan mi beras meliputi perendaman semalam, penggilingan, penyaringan, pengendapan dan pengurangan kadar air hingga 40%, ekstrusi menjadi pelet, pengukusan, penggantungan, pengukusan kedua dan pengeringan.
Mi beras dengan teknik
tersebut memiliki kelemahan yaitu proses yang cukup lama dan limbah cair yang banyak. Penggunaan bahan tepung dan proses ekstruder ulir dalam pembuatan mi beras dapat mengurangi waktu proses dan limbah. Charutigon et al. (2007) meneliti pembuatan mi beras dari bahan baku tepung beras dan menggunakan ekstruder ulir. Peningkatan suhu barel dari 70oC ke 90oC dapat menurunkan cooking loss dari 14,2±1,6% menjadi 7,2±1,2%. Cooking loss disebabkan oleh kelarutan pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi.
EKSTRUDER
a. Ekstruder Ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi (Harper, 1981). Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk, yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston. Ekstrusi pemasakan dapat digambarkan sebagai proses dimana bahan pangan yang mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas (secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981). Ekstruder dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat fungsional, dan jumlah ulir. Menurut Harper (1981), berdasarkan sifat fungsional, ekstruder terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder, low – shear cooking extruder, collet extruder, dan high – shear cooking extruder. Secara termodinamika, ekstruder terbagi atas tiga jenis yaitu : autogenous yaitu ekstruder yang menghasilkan panas dengan mengkonversi energi mekanik pada 22
aliran proses; isotermal ekstruder; dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip kerjanya menggabungkan antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder dimana panas diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas. Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture extruder dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture extruder dengan kadar air bahan 20-28%, dan high moisture extruder dengan kadar air bahan lebih dari 28%. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada barel silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi : high shear extruder (untuk produk – produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), medium shear extruder (untuk produk – produk semi basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk – produk daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah dari pada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder berulir tunggal (Fellows, 2000). Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga kelompok yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis ekstruder tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2. Sedangkan ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw extruder (ekstruder dengan arah perputaran ulir yang berlawanan). Ekstruder dengan ulir yang corotating banyak diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan. Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan yang sangat basah, lengket dan berminyak, serta dapat menggunakan bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990).
23
Tabel 2.2. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal (Smith, 1981) Kategori Kadar Air Produk (%) Densitas produk (g/100ml) Suhu barrel maksimum (°C) Tekanan barrel maksimum (kg/cm2) Kecepatan ulir (rpm) Produk khas
Low Shear 25 – 75 32 – 80 20 – 65
Medium Shear 15 – 30 16 – 51 55 – 145
High Shear 5–8 3.2 – 20 110 – 180
6 – 63
21 – 42
42 – 84
100 Produk pasta daging
200 Roti, makanan ternak
200 Snack, breakfast cereal
Gambar 2.8. Bagian-bagian penting ekstruder tunggal (Harper, 1981)
b. Proses Ekstrusi Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan (Fellows, 2000). Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear, dimana tekanan shear tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan kecepatan shear. Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaidah non-newtonian (Harper, 1981). Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi rendah serta 24
mutu produk lebih tinggi karena menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 2000). Selain itu, produk yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak banyak limbah.
c. Ekstrusi Pasta Pada umumnya, pasta terbuat dari semolina dan pembuatan pasta cukup sederhana. Air dicampur dengan semolina untuk mendapatkan kadar air 31%, kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder. Ulir yang terdapat di dalam ekstruder mengadon campuran dan mendorongnya keluar melalui die. Selanjutanya pasta yang keluar melalui die dikeringkan dan dikemas (Hoseney, 1998). Pasta diekstrusi pada berbagai bentuk dan ukuran. Kecepatan aliran adonan melalui die sangatlah penting karena adanya fluktuasi kecepatan aliran adonan melalui die dapat menyebabkan variasi pada ukuran dan karakteristik produk.
REOLOGI MI Menurut Bourne (1984), reologi adalah ilmu tentang deformasi dan aliran bahan.
Pada bahan padat reologi merupakan hubungan antara gaya dengan
perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair hubungan antara gaya dengan aliran. Beberapa sifat reologi yang penting pada produk mi diantaranya adalah kekerasan, kekenyalan, elongasi dan kekuatan tarik (tensile strength). Reologi mi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. Garam yang sering digunakan adalah NaCl dan garam basa yang mencakup sodium dan potasium karbonat, bikarbonat dan fosfat dan kadang-kadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara. Penggunaan rata-rata adalah 1 – 1,5% karbonat dan 0,3% untuk sodium hidroksida. Jika sodium hidroksida terlalu tinggi maka kecukupan pengembangan gluten tidak terjadi (Moss et al., 1986) dan mutu gigitan mi menjadi kurang elastis. Pada adonan, kondisi basa menyebabkan adonan menjadi lebih liat dan kurang ekstensibel (Moss et al., 1986). Perubahan ini terjadi akibat oksidasi grup
25
sulfidril, pertukaran sulfidril disulfida dan oksidasi fraksi globulin membentuk protein dengan berat molekul lebih tinggi. Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan kansui (campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan 1:1) sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength paling kuat. Namun semakin tinggi kansui, cooking loss mi semakin tinggi pula. Lebih lanjut, Shiau dan Yeh menjelaskan bahwa kansui akan meningkatkan perubahan ikatan S-H menjadi S-S. Ikatan S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein, sehingga dengan berkurangnya S-H, maka pati tidak lagi terikat erat pada matriks protein dan akan terlepas ketika mi dimasak. NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu.
Selain itu NaCl dapat memperkuat
adonan dan mengurangi penyerapan air. Namun di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaan NaCl tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reologi produk mi ternyata juga berpengaruh terhadap sifat reologi suspensi tepung atau pati yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi. Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1% (campuran natrium karbonat dan potasium karbonat) dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi viskositas maksimum. Pada semua kasus, peningkatan viskositas maksimum mencapai 300 – 1000 BU dibandingkan dengan penambahan NaCl 1%. Menurut Koch dan Jane (2000) ion-ion garam yang bermuatan besar memiliki interaksi yang kuat dengan air dan mendorong ikatan hidrogen yang kuat antar molekul air. Struktur larutan yang kuat menghambat difusi molekul air (dalam larutan garam) ke dalam granula pati. Menurut Moss et al. (1986), penambahan NaOH 1% menghambat pembentukan gluten, adonan menjadi begitu lengket sehingga sulit untuk ditangani. Mi yang dihasilkan mudah putus dan lebih banyak rongga kosong di tengah mi. Wu et al. (2006) menyarikan beberapa hasil penelitian tentang interaksi basa dengan tepung menyebabkan beberapa pengaruh, seperti membuat adonan memiliki sifat seperti tekstur gum, meningkatkan gaya pecah dan gaya putus pada mi, 26
menghambat gelatinisasi pati dan meningkatkan viskositas pasta dari pati, menghambat aktivitas enzim dan menahan reaksi pembentukan warna gelap oleh enzim (Moss et al., 1986), menurunkan waktu pembentukan adonan dan stabilitas adonan (Lorenz dan Karel, 1991) dan berperan dalam pembentukan warna kuning dan flavor (Miskelly, 1996). Lebih lanjut Wu et al. (2006) mengatakan bahwa penambahan garam basa memberikan sifat warna dan tekstur yaitu warna kuning dan keras (firm) serta elastis. Berbeda dengan mi yang ditambah NaCl dimana warna mi putih atau krem, mi basa berbahan baku tepung terigu berwarna kuning.
Warna kuning ini diakibatkan
adanya senyawa alami flavone pada tepung yang tidak terpisah dari pati dan menjadi warna kuning dibawah kondisi basa (Moss et al., 1986). Feillet dan Dexter (1993) menyimpulkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada produk pasta di bawah kondisi ekstrusi yaitu : a. Protein semolina bergabung dengan ikatan disulfida, hidrogen dan hifrofobik membentuk matriks yang mempengaruhi sifat-sifat viscoelastic pasta yang dimasak.
Kontinuitas dan kekuatan matriks protein tergantung pada sifat
ikatan inter dan intra molekular. b. Kondisi pengolahan pasta yang bervariasi dalam pencampuran, pengadonan, ekstrusi dan pengeringan sangat mempengaruhi sifat-sifat matriks protein yang terbentuk.
Matriks protein sebagian mengalami kerusakan akibat proses
mekanis waktu penekanan pasta, yang mengakibatkan pemisahan ketika pemasakan. Selama pemasakan, matriks protein yang lemah menyebabkan keluarnya eksudat dalam jumlah besar selama gelatinisasi. Eksudat melapisi permukaan pati, dan pasta menjadi lengket. Integritas dari produk berkurang dan cooking loss tinggi. c. Pada pasta dari gandum, protein yang mampu memerangkap berbagai bahan lain dari semolina, sedangkan pati tidak. d. Varietas gandum durum dengan kandungan gliadin gamma-45 memiliki sifat instrinsik yang lebih baik dalam mutu pemasakan dibandingkan dengan gliadin gamma-42. Keberadaan gamma-45 hanya disebabkan oleh sifat-sifat genetik. Sedangkan secara aktual pengaruh terhadap mutu pasta dipercaya akibat kandungan LMW (low moleculer weight) glutenin yang lebih tinggi. LMW-1
27
dan LMW-2 glutenin memiliki sifat yang mirip secara genetik dengan gamma45 dan gamma-42 gliadin.
HUBUNGAN KARAKTERISTIK AMILOGRAFI DENGAN REOLOGI MI Informasi tentang sifat-sifat suspensi tepung atau pati yang berkaitan dengan viskositas dan gelatinisasi merupakan suatu informasi penting yang diperlukan untuk menduga karakteristik suatu produk pasta berbasis tepung atau pati. Menurut Chen (2003), mutu mi dari pati dapat diprediksi dari sifat-sifat gel pati, karena gel pati yang lebih keras dapat menghasilkan mutu pemasakan dan mutu organoleptik mi yang lebih baik. Bhattacharya dan Corke (1996) melaporkan bahwa viskositas puncak mempunyai korelasi positif dengan mutu WSN (Wheat Salt Noodle). Penambahan NaCl (Oosten, 1982) menyebabkan beberapa group alkoholik berubah menjadi group sodium alkohol. Anion (Cl-) terlepas dan kemudian menjadi agen gelatinisasi dan dapat meningkatkan gelatinisasi dengan memecahkan ikatan hidrogen diantara molekul pati. Menurut (Oosten, 1982), penambahan NaCl akan memperlambat gelatinisasi. Penundaan gelatinisasi ini menyebabkan peningkatan stabilitas pati ketika pemanasan mencapai 95oC, pati tergelatinisasi secara serempak sehingga viskositas meningkat.
Mi yang dihasilkan memiliki mutu yang lebih baik karena terjadi
gelatinisasi yang serempak pada saat dimasak. Parameter viskoamilografi dan volume pengembangan memiliki korelasi yang
signifikan
dengan
kandungan
amilosa
pati
jagung.
Karakteristik
viskoamilografi mungkin dapat digunakan untuk mengindikasikan bahwa sampel pati pada tingkat amilosa yang normal, memiliki kemungkinan untuk digunakan sebagai bahan pembuatan bihun (Tam et al., 2004). Tam et al. (2004) meneliti hubungan sifat viskoamilografi tiga kelompok pati pati jagung yaitu pati jagung dengan kadar amilosa rendah (1–4%), amilosa tinggi (40–60%) dan pati dengan amilosa normal (27–29%) dengan mutu bihun yang dihasilkan.
Bihun yang bagus dihasilkan dari pati normal yang memiliki sifat
amilografi yaitu viskositas puncak dan viskositas dingin yang tinggi (pati dengan amilosa normal). Hal ini terjadi karena pati telah tergelatinisasi pada saat suhu
28
pemanasan
(95oC)
dan
mengalami
retrogradasi
yang
berfungsi
untuk
mempertahankan struktur bihun.
PENGUKURAN SIFAT REOLOGI MI Kekenyalan (elasticity) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya, dan gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi kekenyalan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting. Kekenyalan dapat diukur dengan menggunakan Texture Analyser. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi). Pada bahan dilakukan penekanan dengan kecepatan yang konstan, pada jarak tertentu tekanan dihentikan. Bahan mengalami relaksasi dan resistensi bahan menurun. Pada waktu tertentu tekanan ditarik (decompression), bahan mengalami proses kembali ke bentuk semula (recovery). Tensile strength adalah gaya yang diperlukan untuk menarik bahan hingga putus. Alat yang digunakan adalah Rheometer. Alat ini mengukur variabel gaya yang diperlukan sampai bahan (mi) putus, serta tambahan panjang bahan sampai bahan tersebut putus.
Texture Analyzer merekam gaya yang diperlukan dan
diperoleh data penambahan panjang dari tensile strength sehingga persen elongasi dapat dihitung (McManuis, 2001). Kurva TPA (Texture Profile Analyzer) seperti disajikan pada Gambar 2.9, dapat menunjukkan banyak informasi yang berguna mengenai tekstur mi (Bourne, 1995), contohnya : 1. Fracturability : daya yang dibutuhkan untuk memecah bahan pertama kali. Fracturability menggambarkan sifat-sifat remah (crumbly), renyah (crunchy), rapuh (brittle). 2. Hardness
: daya pada kompresi maksimum. Bagian ini menggambarkan hardness sebagai kekerasan (firm dan hard) dan lunak (soft)
3. Adhesiveness : daya rekat yang dibutuhkan untuk menarik lempeng kompresi dari bahan dan memisahkannya. Bagian ini menggambarkan adhesiveness sebagai lengket (sticky) dan penempelan (tacky).
29
4. Springiness
: kemembalan kembali dari kondisi terkompresi, merupakan jarak atau panjang siklus kompresi selama gigitan kedua. Bagian ini menggambarkan springiness sebagai plastik dan elastik
Gambar 2.9. Kurva hasil pengukuran dengan TPA (Texture Profile Analyser)
5. Cohesiveness : menunjukkan bahan kembali membentuk struktur semula dikenai daya kompresi. Dapat dihitung sebagai rasio area 2 dibagi dengan area 1 6. Gumminess : gabungan antara hardness dan cohesiveness. Bagian ini menggambarkan gumminess dengan pendal, mealy, pasty dan gummy. 7. Chewiness
: gabungan antara gumminess dengan cohesiveness dan springiness. Bagian ini menggambarkan chewiness sebagai halus, chewy (mudah dikunyah) dan kenyal.
Produk yang sama tidak dapat menunjukkan chewiness dan gumminess secara bersamaan. Chewiness menunjukkan pangan padat (solid) dan gumminess menunjukkan pangan semi solid (Szczesnaik, 1995).
30
RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM) RSM merupakan teknik statistik dan matematik yang digunakan untuk pengembangan, perbaikan dan optimasi proses dalam respon utama yang diakibatkan oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah optimasi respon tersebut (Bas dan Boyaci, 2005).
RSM merupakan teknik aplikasi yang penting untuk desain,
pengembangan dan formulasi produk baru, termasuk perbaikan desain produk yang telah ada. RSM merupakan teknik yang populer untuk studi optimasi pada akhir-akhir ini. Beberapa contoh aplikasi diantaranya adalah optimasi produksi polisakarida dari umbi Codonopsis pilosula (Sun et al., 2010), pengaruh kondisi reaksi dalam sifatsifat psikokimia pati kationik (Kuo et al., 2009), evaluasi pati beras termodifikasi dengan ekstrusi pemasak (Hagenimana et al., 2006), dan perilaku ekstrusi dari grit jagung flint dan jagung manis (Gujral et al., 2001). Salah satu program yang digunakan untuk RSM adalah Program Design Expert version 7. Program ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, response surface methods, mixture design techniques, dan combined designs.
Desain faktorial merupakan suatu
rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting dan berpengaruh pada suatu penelitian. Response surface methods yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menemukan rancangan proses yang ideal.
Mixture
design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat, combined designs yaitu untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kodisi proses dan formula yang optimal (Anonim, 2005). Metode rancangan percobaan D-Optimal Combine yaitu gabungan antara RSM (Response Surface Methodology) dengan Optimal Combine. Pada rancangan RSM, D-Optimal Combine ini berfungsi untuk menemukan kondisi proses ideal dan formula yang optimal. Untuk mecapai kondisi tersebut harus memperkirakan respon produk atau parameter produk yang menjadi ciri yang penting serta dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih tersebut akan dijadikan input data
31
yang selanjutnya diproses oleh program rancangan RSM D-Optimal Combine, sehingga membentuk gambaran dan kondisi proses yang optimal (Anonim, 2005).
32
METODOLOGI BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung dari varietas P21 yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo dan pati jagung yang diperoleh dari PT Suba Gel. Bahan kimia yang digunakan adalah Na 2 CO 3 , NaCl dan bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis proksimat. Peralatan yang digunakan adalah timbangan, penggiling tepung (disc mill), ayakan 150, 120, 90, 75 dan 60 µm, oven, Brabender Visco Amylograph tipe D-4100 Duisburg buatan Jerman, alat-alat analisis proksimat, timbangan, penggiling tepung (pin disc mill), ayakan 100 mesh, mixer, oven, texture analyzer TA-XT2i dan formingcooking extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand dan spektrofotometer. Spesifikasi ekstruder yang digunakan disajikan pada Gambar 3.1.
a.
b.
c. Gambar 3.1. Ekstruder yang digunakan dalam penelitian a. Ekstruder ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C b. Die ekstruder terdiri dari 2 buah lubang dengan diameter masingmasing 2,50 mm c. Ulir ekstruder increasing root diameter, constant pitch, rasio screw L/D 30
TEMPAT PENELITIAN Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Pilot Plant, SEAFAST – IPB, serta Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA - IPB. PELAKSANAAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tahapan seperti yang disajikan pada Gambar 3.2. Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari pembuatan tepung jagung, analisa profil gelatinisasi tepung dan pati jagung, optimasi proses pembuatan mi jagung dan optimasi proses pembuatan mi jagung dengan penambahan garam (sodium karbonat dan sodium klorida). Pembuatan tepung jagung
Penambahan Na2CO3 dan NaCl
Analisa proksimat dan profil gelatinisasi
Konsentrasi berat dalam suspensi
Optimasi proses pembuatan mi jagung, variabel kadar air, suhu dan kecepatan ulir ekstruder Analisa mi: kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss
Optimasi proses pembuatan mi jagung, variabel kadar air, jumlah passing dan garam
Gambar 3.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian
Pembuatan Tepung Jagung Proses penepungan bertujuan untuk mendapatkan tepung jagung yang lolos ayakan 100 mesh. Penepungan jagung dilakukan segera setelah bahan diperoleh. Proses penepungan dilakukan mengikuti bagan alir proses pada Gambar 3.3.
34
Pembersihan jagung dari biji yang cacat dan benda asing Penggilingan dengan Pin Disc Mill (saringan 12 mesh) Pengambangan untuk pembuangan kulit ari dan lembaga Perendaman (60 menit) Penirisan & penjemuran grit sampai kadar mencapai ± 35 % Penggilingan dengan Pin Disc Mill (saringan 48 mesh) Pengeringan dengan oven (suhu 50oC) selama 16 jam Pengayakan (100 mesh) Pengadukan dengan mixer, pengeringan pada suhu 50oC 16 jam Pengemasan dengan plastik PP tiap 250 gr, diberi silika gel dan disimpan di freezer (-4oC)
Gambar 3.3. Diagram alir proses pembuatan tepung jagung
Karakterisasi Tepung dan Pati Jagung Tepung jagung yang dianalisa adalah tepung jagung yang lolos ayakan 150 µm (100 mesh). Bahan dianalisa proksimat dan kadar amilosa dengan duplo. Analisa ini digunakan sebagai informasi dasar tentang bahan yang digunakan. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC, 1995), kadar lemak metode soxhlet (AOAC, 1995), kadar protein metode Mikro – Kjeldahl (AOAC, 1995), kadar karbohidrat (by difference), analisis total pati (AOAC, 1995) dan analisa amilosa (Apriyantono et al., 1989). 35
Analisa Profil Gelatinisasi Analisa profil gelatinisasi dilakukan untuk melihat profil gelatinisasi varietas tepung jagung yang digunakan. Profil gelatinisasi ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penggunaan varietas yang lain. Profil gelatinisasi dianalisa dengan menggunakan Brabender Amilograph. Sebanyak tepung jagung dan pati jagung ditambah dengan 450 ml aquades dan dimasukkan ke dalam Brabender Amilograph. Setelah suhu maksimum gelatinisasi tercapai, suhu di Brabender Amilograph dilanjutkan sampai 97 oC kemudian diturunkan dengan cara menempelkan es yang dibungkus kain di luar mangkok pemanas Brabender Amilograph sampai suhu mencapai 50oC. Pengukuran dilakukan dua kali, hasilnya dirata-ratakan. Sampel yang sama diambil untuk analisis kadar air, yang dianalisa secara duplo. Analisa profil gelatinisasi disajikan pada Gambar 3.4. Tepung jagung (60, 80 dan 100 mesh) masingmasing 45 gr
Tepung jagung (100 mesh) dan pati jagung masingmasing 45 gr
Penambahan NaCl 0, 1, 2, 3 dan 4%
Tepung jagung (100 mesh) dan pati jagung masingmasing 40, 45, 50 dan 55 gr
Penambahan Na2CO3 0, 0,3, 0,6, 0,9 dan 1,2%
Penambahan aquades 450 ml Analisa profil gelatinisasi
Gambar 3.4. Diagram alir analisa profil gelatinisasi Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan kisaran kadar air dan kisaran kecepatan ulir ekstruder yang akan dijadikan variabel pada tahap penelitian utama. Kisaran suhu ekstruder ditetapkan berdasarkan hasil analisa suhu gelatinisasi (pada penelitian tahap sebelumnya) yang menunjukkan bahwa tepung jagung varietas P21 (100 mesh) mulai tergelatinisasi pada suhu 73,0±0,0oC dan gelatinisasi maksimum terjadi pada suhu 91,5±0,5oC. Waktu tinggal bahan di dalam ekstruder 36
sekitar 50,0±1,0 detik (pada kecepatan ulir ekstruder 130 rpm), sehingga ditetapkan suhu proses adalah 80, 85 dan 90oC. Penelitian untuk mendapatkan kisaran kecepatan ulir ekstruder dilakukan pada kadar air tepung 80% (basis kering), suhu proses 90oC dan kecepatan ulir ekstruder 70, 90, 110, 130 dan 150 rpm. Penelitian untuk mendapatkan kisaran kadar air tepung dilakukan dengan variabel kadar air mulai dari 60, 70, 80, 90 hingga 100% (basis kering), suhu proses dalam ekstruder 90oC dan kecepatan ulir ekstruder 130 RPM. Kondisi steady state untuk pengambilan sampel ditetapkan setelah laju kecepatan produk keluar die konstan dan bentuk mi ketika keluar dari die ekstruder seragam. Pada penelitian pendahuluan dilakukan dua kali ulangan dan tiap ulangan dilakukan dua kali pengukuran. Mi yang dihasilkan dianalisa cooking loss dengan cara perebusan pada air mendidih selama 3 menit. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa kisaran kadar air yang perlu diteliti adalah 70, 75 dan 80% (basis kering) dan kisaran kecepatan ulir ekstruder adalah 110, 120 dan 130 rpm. Optimasi Proses Pembuatan Mi Basah Respon yang diukur untuk penetapan model adalah kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss.
Rancangan kombinasi perlakuan pada penelitian ini
menggunakan Response Surface Methodology D-optimal Combine (Design Expert version 6) dengan model kuadratik sebagai acuan awal model. Desain percobaan ditetapkan sebagai berikut: minimum model point 8, estimate lack of fit 3, replicate 4 dan addition center point 5, sehingga jumlah perlakuan proses yang dilakukan sebanyak 35 buah. Pada penelitian ini proses optimasi dipilih untuk komposisi yang paling optimal yaitu dengan desirability yang tertinggi berdasarkan penetapan target dan importance setiap parameter yang diukur. Kadar air tepung jagung, suhu ekstruder dan kecepatan screw dioptimalkan komposisinya pada in range. Untuk respon kekerasan dan kelengketan dioptimalkan komposisinya yaitu in range dengan importance 3, sedangkan elongasi dimaksimalkan dan cooking loss diminimalkan dengan importance 5. Mi basah jagung yang dibuat dari kondisi optimum, difoto menggunakan SEM dan dibandingkan dengan foto mi basah terigu. Diagram alir proses optimasi mi jagung disajikan pada Gambar 3.5.
37
Tepung jagung P21 ukuran 100 mesh sebanyak 350 g
Penambahan air (sampai k.a. tepung 70%, 75%, 80% bk)
Pencampuran & pengadukan dengan hand mixer (5 menit) Pengaturan kec. ulir 110, 120, 130 rpm
Pencetakan (ekstruder pemasak-pencetak)
Pengaturan suhu 80, 85, 90oC
Mi basah jagung
Analisa kondisi proses yang menghasilkan mi yang optimum Analisa spaghetti
Kriteria : cooking loss minimum, elongasi maksimum, kekerasan dan kelengketan in range
Analisa kelemahan mi jagung
Gambar 3.5. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung Optimasi Proses dengan Perlakuan Garam (Na 2 CO 3 dan NaCl), Kadar Air dan Jumlah Passing Pada tahap ini dilakukan optimasi proses pembuatan mi jagung pada berbagai variabel yaitu passing (1,2,3 kali) dan kadar air (sampai kadar air tepung mencapai 70%, 75%, 80% basis kering).
Pada tahap pertama digunakan sodium karbonat
(Na 2 CO 3 ) sebanyak 0%, 0,3%, dan 0,6% dari berat tepung, sedangkan pada tahap kedua digunakan sodium klorida (NaCl) sebanyak 0%, 1%, 2% dari berat tepung. Suhu yang digunakan adalah 900C dan kecepatan ulir (screw extruder) yang digunakan adalah 130 rpm. Variabel Na 2 CO 3 dan NaCl dianalisa secara terpisah. Analisa sifat fisik terhadap mi jagung yang dilakukan meliputi analisis derajat gelatinisasi, elongasi, kekerasan, kelengketan dan cooking loss. Diagram alir proses seperti yang disajikan pada Gambar 3.6.
38
Tepung jagung P21 ukuran 100 mesh sebanyak 350 g
Penambahan air (sampai k.a. tepung 70%, 75%, 80% bk)
Penambahan garam
Pencampuran & pengadukan dengan hand mixer (5 menit)
Pengaturan kecepatan ulir 130 rpm
Pencetakan dengan ekstruder pemasakpencetak
Pengaturan suhu ekstruder 90oC
Perlakuan jumlah passing 1, 2, 3 kali
Mi basah jagung
Analisa kondisi proses yang menghasilkan mi yang optimum
Kriteria : cooking loss dan kekerasan minimum, elongasi dan kelengketan in range
Gambar 3.6. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung dengan perlakuan garam dan jumlah passing
Data diolah menggunakan metode respon permukaan (RSM) historical data. Kadar air tepung dan kadar garam merupakan faktor numerik, sedangkan jumlah passing merupakan categorial factor.
Analisa statistika dilakukan
menggunakan RSM dengan persamaan kuadratik.
Optimasi kondisi proses
optimum dilakukan dengan menetapkan konstrain kekerasan dan cooking loss minimum serta elongasi dan kelengketan in range.
39
PENGARUH UKURAN PARTIKEL, BOBOT DAN PENAMBAHAN GARAM TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG DAN PATI JAGUNG (Effects of Particle Size, Weight, and Salt on Gelatinization Profile of Corn Flour and Corn Starch)
ABSTRACT The objective of this research is to study the effects of particle sizes (60, 80 and 100 mesh), concentration of corn flour and corn starch in water (40, 45, 50 and 55 gr in 450 ml), sodium chloride (1, 2, 3, and 4%, w/w) and sodium carbonate (0.1, 0.3, 0.6, 0.9 and 1.2%, w/w) on corn flour and corn starch gelatinization profile. The changes of gelatinization profile of corn flour and corn starch were characterized by Brabender Amilograph. The initial temperature and maximum temperature of gelatinization increased and peak viscosity decreased with the increased of particle sizes. Increasing concentration of corn flour and corn starch in water tend to decrease maximum temperature of gelatinization and increase peak viscosity, but had no significant effect in initial temperature. The addition of sodium chloride in corn flour increased initial gelatinization temperature, maximum temperature of gelatinization, peak viscosity and cold viscosity (p<0.05). In the case of corn starch, the addition of sodium chloride 1% increased initial temperature and peak viscosity, but addition in higher level concentration had no significant effect. The addition of sodium carbonate in corn flour and corn starch increased the initial temperature and peak viscosity, but decreased maximum temperature of gelatinization and cold viscosity. Key words : Gelatinization profile, corn starch, corn flour, salt
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh ukuran partikel (60, 80 dan 100 mesh), konsentrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi (40, 45, 50 dan 55 gr dalam 450 ml aquades), penambahan sodium klorida (1, 2, 3, dan 4%, w/w) dan sodium karbonat (0,1, 0,3, 0,6, 0,9 dan 1,2%, w/w) pada profil gelatinisasi tepung jagung dan pati jagung. Profil gelatinisasi diukur menggunakan Brabender Amilograph. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi maksimum meningkat, sedangkan viskositas puncak menurun dengan peningkatan ukuran partikel tepung jagung. Peningkatan konsenstrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi dapat menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan meningkakan viskositas puncak, tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi. Penambahan sodium klorida pada tepung jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak dan viskositas dingin (p<0,05). Untuk pati jagung, penambahan sodium klorida 1% dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi peningkatan kadar yang lebih tinggi lagi tidak memberikan dampak yang signifikan. Penambahan sodium
karbonat pada tepung jagung dan pati jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas dingi. Key words : Profil gelatinisasi, pati jagung, tepung jagung, garam
PENDAHULUAN Profil gelatinisasi merupakan sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak, viskositas balik dan viskositas dingin (suhu 50oC). Karakterisasi sifat ini diperlukan untuk menduga pengaruh bahan yang digunakan terhadap karakteristik mi yang dihasilkan. Ukuran partikel memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap mutu mi dari tepung sorghum (Suhendro at al., 2000) dan dari tepung jagung (Waniska et al., 1999). Semakin kecil ukuran tepung, karakteristik mi yang dihasilkan semakin bagus. Viskositas pasta pati dan tepung jagung dipengaruhi oleh kadar air (total solid). Semakin tinggi kadar air, maka viskositasnya semakin rendah dan semakin tinggi suhu, viskositasnya semakin tinggi. Kadar air yang tinggi dapat menurunkan cooking loss namun meningkatkan waktu pemasakan (Waniska et al., 1999). Charutigon et al. (2007) membuat mi menggunakan tepung beras dengan kadar air 65% berat kering, sedangkan Waniska et al. (1999) menggunakan tepung jagung dengan kadar air 83% berat kering. Derby at al. (1975) meneliti gelatinisasi tepung terigu dan menemukan bahwa pada kadar air 33% mulai terjadi pembengkakan granula, pada kadar air di atas 50% dapat terjadi gelatinisasi sempurna. Penambahan garam dapat mempengaruhi profil gelatinisasi dan karakteristik mi yang dihasilkan.
Penambahan sodium klorida dapat meningkatkan viskositas
puncak tepung terigu dan elastisitas mi (Wu at al., 2006), namun pada penambahan di atas 3% dapat merusak reologi mie yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mie menjadi kurang elastis. Moss at al. (1986) melaporkan bahwa penambahan sodium karbonat (Na 2 CO 3 ) 1% dan sodium hidroksida (NaOH) 0,3% (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak. Pada semua kasus terjadi peningkatan viskositas antara 300 – 1000 BU.
41
Chen (2003), meneliti profil gelatinisasi pati ubi jalar dan menemukan bahwa suspensi pati dalam larutan sodium klorida (NaCl) 1,5% memberikan nilai suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dan viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan suspensi pati.
Menurut Koch dan Jane (2000), ion dari NaCl memiliki
interaksi elektrostatik dengan air yang lebih kuat dan mendorong terjadinya ikatan hidrogen diantara molekul-molekul air.
Interaksi elektrostatik ini meningkatkan
viskositas larutan dan meningkatkan kenaikan titik didih larutan, sehingga menghambat molekul air untuk masuk ke dalam granula pati dan mengakibatkan waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi untuk mulai terjadinya gelatinisasi. Pada proses pembuatan produk pasta, diperlukan suhu yang lebih tinggi dan waktu yang lama untuk mencapai kondisi tingkat gelatinisasi yang diinginkan. Hal berbeda terjadi pada suspensi tepung terigu, barley dan rye, dimana NaCl meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan suhu puncak gelatinisasi (Linko at al., 1984). Khusus untuk tepung terigu dan barley, penambahan NaCl menyebabkan peningkatan viskositas puncak yang sangat tajam.
Penambahan NaCl dapat
menyebabkan peningkatan resistensi granula pati terhadap break down dan menghambat aktivitas amilolitik dalam tepung yang mengandung α-amilase. Pengaruh penambahan garam NaCl dan garam basa (Na 2 CO 3 ) terhadap profil gelatinisasi telah banyak dilakukan, namun untuk tepung dan pati jagung masih belum banyak dilaporkan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini dipelajari pengaruh
penambahan NaCl dan Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi pati dan tepung jagung sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat adonan dan produk pasta berbasis pati dan tepung jagung.
METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung ukuran 60, 80 dan 100 mesh dari varietas jagung P21 yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo serta pati jagung yang diperoleh dari PT Suba Gel, garam NaCl dan Na 2 CO 3. Alat-alat yang digunakan adalah Brabender Visco Amylograph tipe D4100 Duisburg buatan Jerman dan timbangan.
42
Metode Penelitian
Persiapan Bahan Jagung ditepungkan dengan teknik penepungan kering.
Jagung digiling
menggunakan pin disc mill dengan saringan ukuran 10 mesh, diambangkan dalam air untuk membuang lembaga dan kulit ari.
Grit dijemur sampai kadar air 35±2%
kemudian digiling menggunakan pin disc mill dengan saringan ukuran 48 mesh. Tepung hasil penggilingan dikeringkan menggunakan oven pengering selama 16 jam pada suhu 50oC dan diayak bertingkat sampai diperoleh tepung ukuran 60, 80 dan 100 mesh.
Masing-masing kelompok ukuran tepung dihomogenkan dan dikeringkan
menggunakan oven pengering selama 16 jam pada suhu 50oC sebelum dikemas. Tepung dikemas menggunakan kemasan primer plastik PP setiap 200 gram, kemasan sekunder plastik PP dan diluar kemasan primer diberi silika gel. Selanjutnya tepung disimpan di freezer (-4oC).
Karakterisasi Komposisi Kimia Tepung dan pati jagung dianalisa proksimat dan kadar amilosa, dua kali ulangan.
Analisa ini digunakan sebagai informasi dasar tentang tepung dan pati
jagung yang digunakan. Analisis kadar air metode oven (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC, 1995), kadar lemak metode soxhlet (AOAC, 1995), kadar protein metode Mikro – Kjeldahl (AOAC, 1995), kadar karbohidrat (by difference), analisis total pati (AOAC, 1995) dan analisa amilosa (Apriyantono et al., 1989). Pengaruh Ukuran Tepung Jagung Sebanyak 45 gram tepung jagung ukuran 60, 80 dan 100 mesh dicampur dengan 450 ml aquades dan diukur profil gelatinisasi dengan dua ulangan. Pengukuran dilakukan sampai suhu mencapai 97oC Respon yang dilihat adalah suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas puncak. Pengaruh Konsentrasi Tepung dan Pati Jagung dalam Suspensi Sebanyak 40, 45, 50, dan 55 gram tepung dan pati jagung, masing-masing dicampur dengan 450 ml aquades dan diukur profil gelatinisasi dengan dua ulangan.
43
Pengukuran dilakukan sampai suhu mencapai 97oC. Respon yang dilihat adalah suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas puncak.
Pengaruh Penambahan NaCl dan Na 2 CO 3 pada Tepung dan Pati Jagung Sebanyak 45 gram sampel ditambah dengan garam NaCl (1, 2, 3 dan 4% dari berat sampel), dicampur dengan 450 ml air dan diukur profil gelatinisasi dengan dua ulangan. Untuk pengaruh Na 2 CO 3 pada sifat amilografi pati dan tepung, dilakukan penambahan Na 2 CO 3 sebanyak 0,3; 0,6; 0,9 dan 1,2% (dari berat sampel). Pengukuran dilakukan sampai suhu mencapai 97oC, dan fase pendinginan setelah pemanasan dilakukan hingga suhu mencapai 50oC. Respon yang dilihat adalah suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak, viskositas dingin, break down viscosity dan set back viscosity. Break down viscosity dihitung dari viskositas puncak dikurangi dengan viskositas terendah pada saat pemanasan diteruskan, set back viscosity dihitung dari viskositas pada suhu 50oC dikurangi dengan viskositas terendah yang dicapai suspensi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Proksimat Tepung dan Pati Jagung
Hasil analisis proksimat terhadap tepung jagung dan pati jagung disajikan pada Tabel 4.1.
Kadar air tepung jagung cukup rendah (5,46%) karena pada proses
pembuatan tepung jagung, dilakukan proses pengeringan menggunakan oven pengering sebanyak dua kali (sebelum dan sesudah pengayakan), masing-masing pada suhu 50oC selama kurang lebih 16 jam. Kadar air tepung ini telah diverifikasi dengan cara mengeluarkan tepung dari freezer dan dilakukan pengukuran kadar air selama 4 hari berturut.
Dalam kondisi terkemas plastik polipropilen, selama 4 hari, hasil
pengukuran kadar air tepung menunjukkan nilai 5,89; 6,08; 6,46 dan 6,65. Pati jagung yang digunakan memiliki kadar air yang cukup tinggi (13,20%) karena dikemas dengan kantung kertas dan telah mengalami kesetimbangan dengan lingkungan. Kadar protein tepung jagung (6,32%) lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Lorenz dan Karel (1991), yang menyebutkan rata-rata protein dari endosperma jagung adalah 8,0%.
Hal ini kemungkinan terjadi karena pada saat
44
pembuatan tepung jagung, grit jagung mengalami pengambangan yang dapat menyebabkan larutnya protein larut air sitoplasma dari tepung jagung, yaitu albumin dan gobulin (Lasztity, 1986). Kandungan lemak (1,73%) pada tepung lebih besar dari yang disampaikan Inglett (1970) yaitu sebesar 0,8% pada bagian endosperma.
Proses pemisahan
lembaga dan tip cap (bagian biji jagung yang banyak mengandung lemak) belum sempurna karena pemisahannya menggunakan pengambangan manual.
Masih ada
bagian lembaga dan tip cap yang tertinggal atau menempel pada grit dan turut tergiling. Berdasarkan kandungan amilosa, varietas P21 merupakan jagung normal (kadar amilosa 30,67%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Tam at al. (2004), yang menyebutkan bahwa kisaran amilosa jagung normal adalah 27 – 30 %. Sedangkan pati jagung yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan amilosa yang tinggi (35,20%).
Tabel 4.1. Perbandingan karakteristik tepung jagung varietas P21 dengan pati jagung yang diperoleh dari PT Suba Gel
Kadar air Protein Lemak Abu Karbohidrat Amilosa
Kandungan (% basis basah) Tepung Jagung P21 Pati Jagung 5,46 13,20 6,32 0,67 1,73 0,17 0,31 0,01 86,18 85,95 30,67 35,20
Pengaruh Ukuran Tepung Ukuran tepung jagung berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas puncak (Tabel 4.2). Semakin besar ukuran tepung, semakin tinggi suhu yang diperlukan untuk memulai terjadinya gelatinisasi dan semakin tinggi pula suhu untuk mencapai viskositas puncak. Namun semakin besar ukuran tepung, semakin rendah viskositas puncak suspensi. Pengaruh ukuran tepung terhadap profil gelatinisasi dapat dilihat pada Gambar 4.1. Korelasi antara ukuran tepung dengan profil gelatinisasi cukup signifikan (Gambar 4.2.),
45
terlihat dari nilai R2=0,97 (suhu awal gelatinisasi), R2=0,99 (suhu gelatinisasi maksimum) dan R2=0,95 (viskositas puncak).
Gambar 4.1. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung Semakin besar ukuran tepung, diperlukan penetrasi panas dan penetrasi air yang lebih lama sehingga lebih sulit untuk terjadinya gelatinisasi. Menurut Nishita dan Bean (1982) pada granula tepung yang berukuran besar, sebagian besar pati di dalam tepung jagung masih terjebak dalam satu pecahan biji, sehingga pati sulit mengalami gelatinisasi. Semakin halus dan semakin seragam ukuran tepung, proses gelatinisasi terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan sehingga viskositas maksimum tepung dengan ukuran lebih kecil akan lebih tinggi dibandingkan tepung kasar. Partikel tepung yang lebih besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pengembangan dan gelatinisasi (Waniska at al., 1999).
Tabel 4.2. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung Ukuran Partikel (Lolos Ayakan) 100 mesh 80 mesh 60 mesh
Suhu Awal Gelatinisasi 71,50a±0,50 72,00a±0,00 75,00b±0,00
Suhu Gelatinisasi Maksimum 90,00a±0,00 93,00b±0,00 96,50c±0,50
Viskosistas Puncak 795,00a±5,00 570,00b±10,00 470,00c±10,00
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji Duncan (p<0,05)
Ukuran tepung jagung yang besar (tidak lolos ayakan 100 mesh) menghasilkan viskositas puncak yang rendah pada suhu tertinggi brabender yaitu 97oC. Ketiadaan mekanisme shear pada brabender menyebabkan proses pemecahan (rupture) granula
46
terhambat. Pengambangan granula pati dan pelepasan amilosa dari granula pati terjadi secara bertahap dimulai dari pati yang berada di sisi luar granula tepung, dan berlanjut ketika penetrasi air dan panas sudah mencapai bagian dalam granula.
Menurut
Srichuwong (2006), viskositas puncak ketika pengembangan pati mencapai titik maksimum dan viskositas akan menurun ketika pati mengalami rupture. Pada ganula berkuran besar ketika sebagian granula pati sudah mengalami rupture, sebagian yang lain baru mengembang. Hal ini yang menyebabkan viskositas tepung dengan ukuran besar lebih rendah dibandingkan dengan tepung berukuran kecil. Pada aplikasi pembuatan produk mi jagung, tepung jagung pada ukuran besar (tidak lolos ayakan 100 mesh) sulit membentuk gel yang kuat, jika tanpa tekanan shear yang cukup, karena gelatinisasi terjadi tidak serempak (secara bertahap) sehingga sulit untuk dibuat mi jagung. Menurut Waniska at al. (1999), pembuatan mi jagung dari maize meal (lolos ayakan 40 mesh 2%, lolos ayakan 60 mesh 37,6%, lolos ayakan 80 mesh 51,0% dan lolos ayakan 100 mesh 9,4%) menghasilkan mi dengan karakteristik yang kurang baik dibandingkan dengan mi dari tepung jagung. Mi dari maize meal memiliki cooking loss sekitar 60%.
a
b
c Gambar 4.2. Hubungan pengaruh ukuran tepung jagung terhadap : (a) suhu awal gelatinisasi (b) suhu gelatinisasi maksimum (c) viskositas puncak. 47
Pengaruh Konsentrasi Partikel dalam Suspensi
Konsentrasi tepung jagung dan pati dalam suspensi berpengaruh nyata terhadap suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas puncak (p<0,05) namun tidak berpengaruh nyata terhadap suhu awal gelatinisasi (p>0,05). Semakin tinggi jumlah tepung atau pati dalam suspensi akan menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan menaikkan viskositas puncak (Tabel 4.3).
Berdasarkan Tabel 4.3. terlihat bahwa
pati jagung memiliki karakteristik suhu awal gelatinisasi lebih tinggi dan viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung jagung. Hal ini terjadi karena kandungan amilosa pati jagung yang digunakan dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan kandungan amilosa tepung jagung (Tabel 4.1.) Kandungan amilosa sangat mempengaruhi pasting properties tepung atau pati. Tam at al. (2004) meneliti pasting properties dari pati jagung dengan kandungan amilosa yang berbeda-beda (N4=60,8, N5=58,7, N6=40,0, N7=3,8, N8=1,6, N9=0,2, N10=28,8, N11=27,7%) menggunakan rapid visco analyser. Hasilnya disajikan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3. Pasting properties pati jagung dengan kadar amilosa rendah N7, N8, N9, amilosa sedang N10, N11 dan amilosa tinggi N4, N5, N6 (Tam at al., 2004)
Suhu awal gelatinisasi adalah suhu terdeteksinya perubahan fisik pada granula pati, yaitu ketika granula pati mulai mengembang dan amilosa mulai keluar dari granula (Liu, 2005). Pada konsentrasi tepung dan pati yang berbeda, mekanisme awal
48
perubahan granula (pembengkakan) adalah sama yaitu setiap granula menyerap air (jumlah air berlebih) dan terkena panas yang sama. Proses pembengkakan yang sama ini menyebabkan suhu awal gelatinisasi relatif sama pada berbagai konsentrasi tepung atau pati jagung.
Tabel 4.3. Pengaruh konsentrasi partikel dalam suspensi terhadap profil gelatinisasi tepung jagung dan pati jagung Konsentrasi Suhu Awal Suhu Gelatinisasi Viskosistas Puncak Partikel (gr dalam Gelatinisasi Maksimum 450 ml aquades) Tepung Jagung 40 70,75a±0,25 93,50a±0,50 615,00a±5,00 a a 45 71,00 ±0,00 93,50 ±0,00 795,00b±5,00 50 71,25a±0,25 91,75b±0,25 1000,00c±10,00 a b 55 71,00 ±0,00 90,75 ±0,25 1250,00d±5,00 Pati Jagung 40 75,00a±0,00 95,50a±0,50 420,00a±0,00 45 75,00a±0,00 94,00b±0,00 587,25b±,25 50 75,00a±0,00 92,50c±0,50 822,25c±2,25 a d 55 74,75 ±0,25 91,00 ±0,00 1255,00d±5,00 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji Duncan (p<0,05)
Proses penyerapan air dan pembengkakan granula berlanjut, ketika pemanasan dilanjutkan. Pada konsentrasi tepung dan pati jagung yang lebih tinggi, jumlah granula yang membengkak lebih banyak dan jumlah air yang berada di luar granula lebih sedikit sehingga kekentalan suspensi lebih tinggi.
Hal ini yang
menyebabkan viskositas puncak lebih tinggi. Proses penyerapan air berjalan seiring dengan kenaikan suhu. Ketersediaan air yang terbatas menyebabkan pembengkakan granula tidak dapat berlanjut akibat tidak adanya lagi air yang dapat diserap granula.
Gambar 4.4. Pengaruh konsentrasi partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 49
Ketika pemanasan dilanjutkan, granula tidak membengkak lebih besar lagi tetapi masuk pada mekanisme rupture yang terdeteksi dengan penurunan viskositas (Srichuwong, 2006). Hal ini yang menjelaskan semakin tinggi konsentrasi granula, suhu gelatinisasi maksimum semakin rendah. Hubungan antara konsentrasi tepung dan pati jagung dengan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas puncak disajikan pada Gambar 4.5. dan Gambar 4.6.
b
a
Gambar 4.5. Hubungan antara konsentrasi tepung jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b)
Nilai koefisien korelasi (R2) pengaruh konsentrasi tepung dalam suspensi air terhadap viskositas puncak sebesar 0,99 (Gambar 4.5.b.) menunjukkan bahwa model tersebut dapat diterima. Untuk selang konsentrasi tepung jagung antara 40 - 55 gram (dalam 450 ml air ketika pengukuran amilografi dilakukan), kenaikan 1 gram tepung dapat meningkatkan nilai viskositas puncak suspensi tepung sebesar 57 BU (Brabender Unit).
a
b
Gambar 4.6. Hubungan konsentrasi pati jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b)
50
Nilai koefisien korelasi (R2) sebesar 0,96 pada pengaruh konsentasi pati jagung dalam suspensi air terhadap suhu gelatinisasi maksimum (Gambar 4.6.a.) dan nilai R2 sebesar 0,99 terhadap viskositas puncak (Gambar 4.6.b.) menunjukkan bahwa model tersebut dapat diterima. Untuk selang konsentrasi pati jagung antara 40 - 55 gram (dalam 450 ml air ketika pengukuran amilografi dilakukan), kenaikan 1 gram pati jagung meningkatkan nilai viskositas suspensi pati jagung sebesar 49 BU (Brabender Unit). Pengaruh konsentrasi tepung terhadap profil gelatinisasi memberikan gambaran bahwa dalam pembuatan mi jagung jumlah air yang ditambahkan harus diperhatikan. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam tepung sangat berpengaruh terhadap sifat mi yang dihasilkan, karena berfungsi untuk proses gelatinisasi yang optimum. Charutigon at al. (2007) menggunakan tepung beras dengan kadar air 65% berat kering, sedangkan Waniska at al. (1999) menggunakan tepung jagung dengan kadar air 83% berat kering.
Pengaruh Garam Sodium Klorida Penambahan NaCl pada suspensi tepung jagung (Tabel 4.4.) berpengaruh nyata pada suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak, viskositas dingin, viskositas breakdown dan viskositas setback (p<0,05). Penambahan NaCl dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi pada suspensi tepung jagung dan pati jagung (Tabel 4.4. dan 4.5.). Menurut Oosten (1982), NaCl berpengaruh terhadap tekanan osmotik larutan dan dapat meningkatkan viskositas larutan.
Kondisi ini
menghambat molekul air untuk masuk ke dalam granula pati. Perlu waktu lebih lama dan suhu lebih tinggi untuk mulai terjadinya gelatinisasi. Sejalan dengan hasil ini, Chen (2003), yang meneliti profil gelatinisasi pati ubi jalar, melaporkan bahwa suspensi pati ubi jalar dalam larutan NaCl 1,5% memberikan nilai suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi. Penambahan NaCl pada suspensi pati jagung dapat menaikkan viskositas puncak, tetapi tidak berpengaruh nyata pada sifat suhu gelatinisasi maksimum, viskositas dingin, viskositas breakdown dan viskositas setback.
Hasil ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh peneliti sebelumnya, bahwa penambahan NaCl pada suspensi dapat meningkatkan viskositas puncak (Bhattacharya dan Corke, 1996; Chen, 2003).
51
Bhattacharya dan Corke (1996) menyatakan bahwa penambahan NaCl menaikkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak.
NaCl mempertahankan
integritas dan menghambat pemecahan granula pati sehingga suhu awal gelatinisasi naik. NaCl akan menyebabkan pembengkakan granula menjadi lebih besar sehingga menaikkan viskositas puncak. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Linko et al. (1984), dimana pada suspensi tepung terigu, barley dan rye, penambahan NaCl meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan suhu puncak gelatinisasi. Khusus untuk tepung terigu dan barley, penambahan NaCl menyebabkan peningkatan viskositas maksimum yang sangat tajam. Penambahan NaCl dapat menyebabkan peningkatan resistensi granula pati terhadap break down sehingga perlu suhu lebih tinggi untuk mulai terjadi gelatinisasi dan suhu lebih tinggi untuk mencapai gelatinisasi maksimum.
Tabel 4.4. Pengaruh garam NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung NaCl (% pH Suhu Awal Suhu Gel Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas berat Gelatinisasi Maksimum Puncak Dingin Breakdown Setback tepung) 0 4,70 73,00a±0,00 90,50a±0,50 800,00a±0,00 1000,00a±0,00 45,00a±0,00 200,00a±0,00 1 4,95 74,25b±0,25 92,50b±0,50 830,00b±0,00 1105,50b±5,00 60,00b±0,00 242,50b±2,50 2 5,00 75,25c±0,25 94,00c±0,00 872,50c±2,50 1142,50c±2,50 67,50c±2,50 325,00c±5,00 3 5,04 75,75cd±0,25 95,00c±0,00 890,00d±0,00 1215,00d±0,00 70,00d±0,00 382,50d±7,50 4 5,06 76,00d±0,00 95,00c±0,00 892,50d±2,50 1215,00d±5,00 70,00d±0,00 385,00d±5,00 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (p<0.05)
Gambar 4.7. Pengaruh garam NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 52
Linko et al. (1984) menyebutkan bahwa pada tepung, enzim α-amilase melakukan aktivitas amilolitik yang menyebabkan sebagian granula pati terhidrolisis. Penambahan NaCl pada analisa profil gelatinisasi tepung jagung menyebabkan aktivitas enzim α-amilase dalam tepung jagung menjadi terhambat, amilosa tidak banyak mengalami kerusakan.
Sebagai akibatnya, semakin banyak amilosa yang
mampu berperan dalam gelatinisasi tepung sehingga viskositas puncak suspensi tepung jagung menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan NaCl.
a
b
c
d
e
f
Gambar 4.8. Hubungan antara kadar NaCl dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50oC (d), viskositas breakdown (e) dan viskositas setback (f) pada profil gelatinisasi tepung jagung
53
Kurva hubungan antara kadar NaCl dengan profil gelatinisasi tepung jagung disajikan pada Gambar 4.8. Dengan nilai koefisien korelasi (R2) di atas 0,9, model matematika yang dibangun dapat menggambarkan dengan baik hubungan antara kadar NaCl dengan profil gelatinisasi tepung jagung. Secara umum peningkatan kadar NaCl meningkatkan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas maksimum dan viskositas pada suhu 50oC.
Tabel 4.5. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung NaCl (% pH Suhu Awal Suhu Gel Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas berat pati) Gelatinisasi Maksimum Puncak Dingin Breakdown Setback 0 4,71 76,50a±0,50 95,00a±0,00 620,00a±0,00 940,00a±0,00 115,00a±0,00 435,00a±0,00 1 5,11 80,00b±0,00 95,00a±0,00 625,00b±0,00 945,00a±5,00 117,50a±2,50 430,00a±0,00 2 5,12 80,00b±0,00 95,00a±0,00 625,00b±0,00 950,00a±0,00 115,00a±0,00 440,00a±0,00 b a b a 3 5,14 80,00 ±0,00 95,00 ±0,00 625,00 ±0,00 950,00 ±0,00 115,00a±0,00 440,00a±0,00 4 5,15 80,00b±0,00 95,00a±0,00 625,00b±0,00 950,00a±0,00 115,00a±0,00 440,00a±0,00 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (p<0.05)
Gambar 4.9. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung
Penambahan NaCl pada berbagai konsentrasi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak dan viskositas pada suhu 50oC pati jagung.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa penambahan NaCl
ternyata tidak berpengaruh terhadap pati jagung tetapi berpengaruh terhadap tepung jagung.
54
Pengaruh Garam Sodium Karbonat Penambahan Na 2 CO 3 berpengaruh nyata (p<0,05) pada semua parameter profil gelatinisasi. Penambahan Na 2 CO 3 dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas breakdown, serta menurunkan suhu gelatinisasi maksimum, dan viskositas dingin.
Penambahan Na 2 CO 3 pada konsentrasi 0,3%
(berat tepung) mencegah terjadi retrogradasi tepung, sehingga viskositas tidak mengalami kenaikan ketika suhu pada Brabender Amilograph diturunkan (Tabel 4.6). Pengaruh penambahan Na 2 CO 3 terhadap perubahan profil gelatinisasi (Gambar 4.9) sejalan dengan hasil penelitian Moss at al. (1986) yang menyatakan bahwa penambahan sodium karbonat (Na 2 CO 3 ) 1% dan sodium hidroksida (NaOH) 0,3% (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi. Tapi pada penambahan NaOH 0,1% menurunkan suhu dan waktu gelatinisasi. Penambahan Na 2 CO 3 1% dapat meningkatkan viskositas puncak sebesar 300 BU. Sodium bekarbonat dapat mempercepat proses pembengkakan granula dan keluarnya amilosa dari granula.
Suhu gelatinisasi maksimum untuk mencapai
viskositas puncak terjadi lebih cepat dibandingkan dengan suspensi tepung jagung yagn tidak ditambah dengan sodium karbonat. Rupture granula terjadi lebih cepat sehingga viskositas cepat menurun ketika pemanasan dilanjutkan.
Penambahan
sodium karbonat dapat menghambat terjadinya retrogradasi pati yang ditunjukkan dengan viskositas suspensi yang tidak naik, ketika suhu brabender diturunkan menjadi 50oC.
Gambar 4.10. Pengaruh penambahan Na2CO3 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung
55
Kurva hubungan antara kadar Na 2 CO 3 yang ditambahkan dengan profil gelatinisasi tepung jagung disajikan pada Gambar 4.11.
Dengan nilai koefisien
korelasi R2 di atas 0,95, model matematika yang dibangun dapat menggambarkan dengan baik hubungan antara kadar Na 2 CO 3 dengan profil gelatinisasi tepung jagung.
a
b
c
d
e Gambar 4.11. Hubungan antara kadar Na2CO3 dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50oC (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi tepung jagung
Menurut Bhattacharya dan Corke (1996), ketika larutan basa sudah masuk ke dalam granula pati, kondisi basa menyebabkan integritas granula pati tidak dapat bertahan lama.
Granula pati akan cepat pecah sehingga suhu untuk mencapai
viskositas puncak (suhu gelatinisasi maksimum) turun. Selain itu, pada kondisi basa,
56
pamanasan dengan suhu antara 85 – 100oC menyebabkan terpisahnya komponenkomponen biji-bijian, terutama protein, lemak dan pati (Montealvo at al., 2008). Setelah komponen terpisah, pati akan mudah tergelatinisasi.
Hal ini dapat
menjelaskan efek penambahan Na 2 CO 3 yang mampu meningkatkan viskositas puncak suspsensi tepung jagung. Peneliti sebelumnya yaitu Shiau dan Yeh (2001), menyatakan bahwa kansui (garam basa) meningkatkan perubahan ikatan S-H menjadi S-S pada protein yang terdapat pada tepung terigu. Ikatan S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein. Tabel 4.6. Pengaruh penambahan Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung Suhu Awal Suhu Gel Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas Na 2 CO 3 pH Gelatinisasi Maksimum Puncak Dingin Breakdown Setback (% berat tepung) 0 4,70 72,50a±0,00 90,50a±0,50 800,00a±0,00 1000,00a±0,00 45,00a±0,00 200,00a±0,00 0,3 6,75 73,00ab±0,50 87,50b±0,50 960,00b±5,00 815,00b±5,00 72,50b±2,50 0,00b±0,00 b c c b 0,6 7,54 73,50 ±0,50 85,00 ±0,00 1040,00 ±0,00 820,00 ±0,00 225,00c±5,00 0,00b±0,00 0,9 8,21 75,00c±0,00 84,00c±0,00 1075,00d±5,00 825,00b±0,00 265,00d±0,00 0,00b±0,00 1,2 9,11 75,00d±0,00 84,00c±0,00 1075,00d±0,00 825,00b±0,00 267,50d±2,50 0,00b±0,00 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (p<0.05)
Berdasarkan Tabel 4.7. terlihat bahwa penambahan sodium karbonat pada suspensi pati jagung dapat menaikkan secara nyata suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, namun menurunkan secara nyata suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas pada suhu 50oC (p<0,05). Tabel 4.7. Pengaruh penambahan Na 2 CO 3 terhadap profil gelatinisasi pati jagung Suhu Awal Suhu Gel Viskositas Viskositas Viskositas Viskositas Na 2 CO 3 pH Gelatinisasi Maksimum Puncak Dingin Breakdown Setback (% berat pati) 0 4,71 75,00a±0,00 95,50a±0,50 620,00a±0,00 940,00a±0,00 95,00c±0,00 435,00a±0,00 a b b b 0,3 7,62 75,00 ±0,50 84,50 ±0,50 680,00 ±5,00 640,00 ±5,00 45,00a±0,00 0,00b±0,00 0,6 9,00 76,50b±0,50 84,50b±0,50 695,00c±0,00 635,00b±0,00 60,00b±5,00 0,00b±0,00 0,9 9,65 78,00c±0,00 84,00b±0,00 715,00d±5,00 610,00c±0,00 115,00d±0,00 0,00b±0,00 1,2 9,83 78,00c±0,00 84,50b±0,50 715,00d±0,00 610,00c±0,00 115,00d±0,00 0,00b±0,00 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata pada uji Duncan (p<0.05)
Kurva hubungan antara Kadar Na 2 CO 3 dengan profil gelatinisasi pati jagung disajikan pada Gambar 4.12.
Untuk parameter terukur suhu gelatinisasi maksimum
dan viskositas maksimum, pengaruh terlihat berbeda sampai penambahan Na 2 CO 3
57
sebanyak 0,3 %. Penambahan di atas 0,3 % tidak memberikan pengaruh yang bersifat drastis. Penambahan sodium karbonat sebesar 0,3% (dari berat pati) pada suspensi pati memberikan dampak yang sejalan dengan pada suspensi tepung. Sodium karbonat menyebabkan granula pati lebih cepat mengembang, amilosa lebih cepat keluar dari granula, granula pati cepat mengalami rupture dan menghambat proses retrogradasi. Hal ini ditunjukkan dengan suhu gelatinisasi maksimum yang lebih cepat, namun viskositas lebih cepat menurun ketika pemanasan dilanjutkan. Ketika suhu brabender diturunkan sampai mencapai 50oC, viskositas suspensi pati jagung tidak mengalami kenaikan.
Gambar 4.12. Pengaruh penambahan Na2CO3 terhadap profil gelatinisasi pati jagung
Untuk viskositas pada suhu 50oC, penambahan 0,3% Na 2 CO 3 mampu menurunkan viskositas yang sangat besar yaitu sekitar 300 BU (dari 940 menjadi 640 BU). Akan tetapi, penambahan kadar Na 2 CO 3 yang lebih besar tidak lagi memberikan pengaruh yang nyata.
Penambahan Na 2 CO 3 efektif untuk
mempertahankan viskositas ketika adonan didinginkan.
Penambahan Na 2 CO 3
ternyata lebih berpengaruh terhadap pati jagung dibandingkan dengan pengaruh terhadap ikatan S-H seperti yang disebutkan oleh Shiau dan Yeh (2001).
58
a
b
c
d
e Gambar 4.13. Hubungan antara Kadar Na2CO3 dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50oC (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi pati jagung
KESIMPULAN Semakin besar ukuran partikel tepung, akan meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi maksimum (p<0,05), serta menurunkan viskositas puncak (p<0,05). Konsentrasi tepung dan pati jagung tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi (p>0,05), tetapi menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan meningkatkan viskositas puncak (p<0,05).
59
Penambahan garam NaCl sampai 3% dari berat tepung jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas maksimum, viskositas dingin, viskositas breakdown dan viskositas setback (p<0,05). Peningkatan kadar NaCl dari 3% menjadi 4% tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter profil gelatinisasi.
Penambahan garam NaCl pada pati jagung hanya
berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak (p<0,05). Penambahan garam Na 2 CO 3 pada tepung jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas dingin dan viskositas breakdown, namun menurunkan suhu gelatinisasi maksimum (p<0,05). Penambahan garam Na 2 CO 3 sebesar 0,3% dari berat tepung jagung dapat meniadakan viskositas setback. Penambahan garam Na 2 CO 3 pada pati jagung meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, namun menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas dingin (p<0,05).
Perubahan profil gelatinisasi nampak drastis pada penambahan
Na 2 CO 3 sebesar 0,3% yaitu menurunkan suhu gelatinisasi maksimum (dari 95,50 menjadi 84,50oC), viskositas dingin (dari 940 BU menjadi 640 BU) viskositas breakdown (dari 95,00 menjadi 45,00 BU), meniadakan viskositas setback. Penambahan lebih lanjut tidak menunjukkan perubahan yang drastis.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Methods of analysis. Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budijanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Anallisis Pangan. IPB Press. Bogor. Bhattacharya M, Corke H. 1996. Selection of desirable starch pasting properties in wheat for usein white salted or yellow alkaline noodles. Cereal Chem. 73(6) :721-728. Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss Society of F Sci Tech 41 : 642-651. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products [dissertation]. Wageningen University, The Netherlands.
60
Derby RI, Miller BS, Miller BF, Trimbo HB 1975. Visual observation of wheat-starch gelatinization in limited water systems. Cereal Chem. 52 (5):702 -709. Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Lasztity R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc., USA. Linko P, Harkonen H, Linko YY. 1984. Effect of sodium chloride in the processing of bread baked from wheat, rye and barley flour. J Cereal Sci. 2(1) : 53-63. Liu Q. 2005. Understanding Starches and their Role in Foods. In: Cui SW, editor. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. RC Teylor & Francis, Boca Raton FL. Lorenz KJ and Karel K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. Basel. Montealvo GM, Francisco JGS, Octavio PL, Luis ABP. 2008. Effects of nixtamalization on morphological and rheological characteristics of maize starch. J Cereal Sci. 48(2) : 420-425. Moss HJ, Miskelly DM, Moss R. 1986). The effect of alkaline conditions on the properties of wheat flour dough and cantonese-style noodles. J Cereal Sci. 4(3) : 261 – 258. Nishita K, Bean MM. 1982. Grinding mthods : their impact on rice flour properties. Cereal Chem. 59 : 46-49. Oosten BJ. 1982. Tentative hyphothesis to explain how electrolytes effect the gelatinization temperature of starches in water. Starch / staerke 34(7) : 233 – 239. Shiau SY, Yeh AI. 2001. Effects of alkali and acid on dough rheological properties and characteristics of extruded noodles. J Cereal Sci. 33(1) : 27-37. Srichuwong S. 2006. Starches from different plant origins : from structure to physicochemical properties [dissertation). Mie University. Japan. Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough CM, Rooney LW, Waniska D. 2000. Cooking characteristic and quality of noodles from food sorghum. Cereal Chem. 77(2) : 96-100. Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize starch differing in amylose content. Cereal Chem. 82(4) : 475-480.
61
Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue PL, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J Food Sci. Technol 5(4): 339 – 346. Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem. 83(2):211217.
62
OPTIMASI PROSES EKSTRUSI MI JAGUNG DENGAN METODE RESPON PERMUKAAN (Optimization of Corn Noodle Extrusion Using Response Surface Methodology) Tjahja M uhandri, Adil Bas uki Ahza, Rizal Syarief , Sut ris no
ABSTRACT Cooking loss and elongation are primary noodle quality parameters that depend on microstructure of the noodle. The noodle microstructure is strongly influenced by degree of gelatinization, moisture content, and shear force experienced during the dough extrusion. These parameters are controlled by temperature and screw speed of the extruder. Objective of this research was to optimize three processing variables i.e., corn flour moisture (70, 75, 80% dry basis), extruder temperature (80, 85, 90oC), and screw speed (110, 120, 130 rpm). Corn noodles were processed using Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C. Optimizations using response surface methodology (RSM) were based on four parameters, i.e., firmness, and stickiness in range, elongation maximum, and cooking loss minimum characteristics. Results showed that the optimum processing condition, i.e., with a desirability of 0.835, was resulted from the combination of 70% (dry basis) dough’s moisture content with the extruder temperature is 90oC and screw speed is 130 rpm. The RSM model predicted that the corn noodles from this optimum condition has firmness of 3039.79 gf, stickiness of -116.2 gf, elongation of 318.68%, and cooking loss of 4.56%. The model was slightly under predicted the actual noodle characteristic, in which the firmness is 3199.10 gf, stickiness is -108.90 gf, elongation is 351.60%, and cooking loss is 2.28%. Key words: Corn noodle, optimization, RSM
ABSTRAK Cooking loss dan elongasi merupakan parameter mutu utama mi yang tergantung pada kekokohan struktur mi. Kekokohan ini dipengaruhi oleh derajat gelatinisasi, kadar air dan kompresi yang cukup pada adonan ketika proses ekstrusi berlangsung. Parameter derajat gelatinisasi dan kompresi dikendalikan dengan mengatur suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Penelitian ini bertujuan melakukan optimasi proses dengan variabel kadar air tepung (70, 75, 80% basis kering), suhu ekstruder (80, 85, 90oC), dan kecepatan ulir ekstruder (110, 120, 130 rpm). Proses pencetakan mi dilakukan dengan menggunakan ekstruder pemasak-pencetak Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE2530/C. Analisis untuk menentukan kondisi optimum dilakukan menggunalan response surface methodology (RSM) dengan dasar empat parameter yaitu kekerasan dan kelengketan in range, elongasi maksimum dan cooking loss minimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi proses yang optimum, dengan nilai desirability of 0,835, dihasilkan dari kadar air adonan tepung jagung sebesar 70% (basis kering) yang diproses pada suhu ekstruder 90oC and kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Prediksi model dari RSM menunjukkan bahwa mi jagung yang dibuat pada
kondisi optimum memiliki karakteristik kekerasan 3039,79 gf, kelengketan -116,2 gf, elongasi 318,68%, dan cooking loss 4,56%. Mi dari prediksi model sedikit berbeda dengan kondisi aktual dimana mi jagung memiliki karakteristtik kekerasan 3199,10gf, kelengketan -108,90 gf, elongasi 351,60% dan cooking loss 2,28%. Key words: Mi jagung, optimasi, RSM PENDAHULUAN Pembuatan mi non terigu telah dilakukan masyarakat dengan teknologi konvensional yang prosesnya memakan waktu lama, menghasilkan limbah cair dan tidak efisien, antara lain pada pembuatan mi beras (Charutigon et al., 2007). Teknologi ekstrusi menawarkan banyak kelebihan dibandingkan dengan proses konvensional yaitu lebih efisien dan mengurangi limbah. Penelitian proses pembuatan mi jagung dengan teknologi ekstrusi telah dilakukan oleh Waniska et al. (1999).
Penambahan natrium metabisulfit dapat
meningkatkan viskositas pasta tapi tidak berpengaruh terhadap kualitas mi. Mi terbaik diperoleh dari tepung jagung yang diberi perlakuan pemanasan awal 95oC, baik yang diberi natrium metabisulfit maupun tidak. Namun mi jagung yang dihasilkan masih memiliki cooking loss yang terlalu tinggi (> 47%). Hasil penellitian Charutigon et al. (2007) tentang pembuatan mi beras dengan ekstruder ulir menunjukkan bahwa peningkatan suhu barel dari 70oC ke 90oC dapat menurunkan cooking loss dari 14,2±1,6% menjadi 7,2±1,2%. Kehilangan selama pemasakan disebabkan oleh kelarutan pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi. Salah satu cara untuk menurunkan cooking loss mi jagung adalah penggunaan teknologi ekstrusi ulir yang mampu memberikan efek penekanan dan pengadonan lebih baik dibandingkan ekstrusi piston maupun kalendering. Dalam penelitian ini dipilih Response Surface Methodology (RSM) karena merupakan metode yang telah banyak digunakan untuk pengembangan, perbaikan dan optimasi proses sebagai respon utama beberapa variabel optimasi (Bas & Boyaci, 2007). Beberapa contoh aplikasi diantaranya adalah optimasi produksi polisakarida dari umbi Codonopsis pilosula (Sun et al., 2010), pengaruh kondisi reaksi dalam sifatsifat fisikokimia pati kationik (Kuo et al., 2009), evaluasi pati beras termodifikasi dengan pemasakan ekstrusi (Hagenimana et al., 2006), dan perilaku ekstrusi grit jagung flint dan jagung manis (Gujral et al., 2001). Karena itu, kombinasi antara
64
teknologi ekstrusi dan aplikasi RSM dapat memberikan jalan keluar untuk mendapatkan optimasi proses yang menarik. Tujuan penelitian ini adalah optimasi proses pembuatan mi jagung dengan rancangan percobaan menggunakan RSM. Optimasi proses pembuatan mi jagung dilakukan terhadap variabel kadar air, suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder. Parameter utama yang digunakan untuk menentukan optimasi adalah cooking loss yang minimun dan elongasi yang maksimum. Parameter kekerasan dan kelengketan mi tidak ditetapkan minimum atau maksimum.
METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah jagung kuning varietas P21 yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kab. Ponorogo. Peralatan utama yang digunakan adalah timbangan, penggiling tepung (pin disc mill), ayakan 100 mesh, mixer, oven, texture analyzer TA-XT2i dan forming-cooking extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand, dengan spesifikasi seperti pada Gambar 3.1.
Metode Penelitian Penyiapan Tepung Jagung Jagung varietas P21 dibuat grit terlebih dahulu dengan cara digiling menggunakan pin disc mill. Saringan ukuran 9 mesh dipasang di kompartemen alat. Hasil penggilingan dipisahkan antara kulit dan lembaga dengan endospernya dengan cara pengambangan di dalam bak plastik yang diberi air mengalir. Grits ditiriskan dan selanjutnya dikeringkan menggunakan oven (suhu 50oC) sampai kadar air 35±2%, kemudian digiling dengan pin disc mill, saringan 48 mesh.
Hasil penggilingan
dikeringkan dengan oven (suhu 50oC) selama 16 jam, kemudian diayak pada ukuran ayakan 100 mesh. Tepung diseragamkan dengan mixer, dikeringkan kembali dengan oven (suhu 50 oC) selama 16 jam. Tepung dikemas dalam kemasan primer plastik polipropilen (PP) 200 gr, diluar kemasan primer diberi silika gel dan dikemas lagi dengan kemasan sekunder plastik PP. Semua contoh tepung disimpan dalam freezer, sebelum digunakan. 65
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan kisaran suhu ekstruder, kisaran kecepatan screw ekstruder dan kisaran kadar air tepung jagung yang merupakan variabel pada tahap penelitian utama. Kisaran suhu ekstruder ditetapkan berdasarkan hasil analisa suhu gelatinisasi (pada penelitian tahap sebelumnya) yang menunjukkan bahwa tepung jagung varietas P21 (100 mesh) mulai tergelatinisasi pada suhu 73,0±0,0oC dan gelatinisasi maksimum terjadi pada suhu 91,5±0,5oC. Waktu tinggal bahan di dalam ekstruder sekitar 50,0±1,0 detik (pada kecepatan ulir ekstruder 130 rpm), sehingga ditetapkan suhu proses adalah 80, 85 dan 90oC. Penelitian untuk mendapatkan kisaran kecepatan screw ekstruder dilakukan pada kadar air tepung 80% (basis kering), suhu proses 90oC dan kecepatan ulir ekstruder 70, 90, 110, 130 dan 150 rpm. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa kisaran kecepatan ulir ekstruder adalah 110, 120 dan 130 rpm. Penelitian untuk mendapatkan kisaran kadar air tepung dilakukan dengan variabel kadar air mulai dari 60, 70, 80, 90 hingga 100% (basis kering), suhu proses dalam ekstruder 90oC dan kecepatan ulir ekstruder 130 RPM.
Hasil penelitian
pendahuluan menunjukkan bahwa kisaran kadar air yang perlu diteliti adalah 70, 75 dan 80% (basis kering. Kondisi steady state untuk pengambilan sampel ditetapkan setelah laju kecepatan produk keluar die konstan dan bentuk mi ketika keluar dari die ekstruder seragam. Pada penelitian pendahuluan dilakukan dua kali ulangan dan tiap ulangan dilakukan dua kali pengukuran. Mi yang dihasilkan dianalisa cooking loss dengan cara perebusan pada air mendidih selama 3 menit. Optimasi Pembuatan Mi Jagung Menggunakan RSM Pada percobaan ini ditetapkan tiga variabel kadar air tepung, suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder.
Kisaran nilai masing-masing variabel ditetapkan
berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian pendahuluan dan penelitian tahap sebelumnya. Penetapan variabel proses didasarkan pada boundary condition yaitu konfigurasi ulir yang tidak dapat diubah. Perbedaan kompresi yang diterima adonan didasarkan pada variabel kecepatan ulir ekstruder. Ulir ekstruder memiliki empat section yaitu feed, compression, penghambatan dan metering.
Asumsi yang
66
digunakan adalah semakin tinggi kecepatan ulir, semakin tinggi kecepatan aliran dan kompresi yang diterima adonan semakin tinggi. Variabel bebas dan taraf masingmasing variabel disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Independen variabel dan level masing-masing variabel pada optimasi proses pembuatan mi jagung menggunakan RSM Variabel Bebas -1 70 80 110
Kadar air tepung (%) Suhu ekstruder (oC) Kec. ulir ekstruder (rpm)
Faktor Level 0 75 85 120
1 80 90 130
Respon yang diukur untuk penetapan model adalah kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss.
Rancangan kombinasi perlakuan pada penelitian ini
menggunakan Response Surface Methodology D-optimal Combine (Design Expert version 6) dengan model kuadratik sebagai acuan awal model. Desain percobaan ditetapkan sebagai berikut: minimum model point 8, estimate lack of fit 3, replicate 4 dan addition center point 5, sehingga jumlah perlakuan proses yang dilakukan sebanyak 35 buah (Tabel 5.3). Pada penelitian ini proses optimasi dipilih untuk komposisi yang paling optimal yaitu dengan desirability yang tertinggi berdasarkan penetapan target (sesuai persamaan 1) dan importance setiap parameter yang diukur. Kadar air tepung jagung, suhu ekstruder dan kecepatan screw dioptimalkan komposisinya pada in range. Untuk skor kekerasan dan kelengketan dioptimalkan komposisinya yaitu in range dengan importance 3. Untuk skor elongasi dimaksimalkan dengan importance 5, dan untuk skor cooking loss diminimalkan dengan importance 5. Nilai desirability pada pemilihan proses optimum dihitung dengan rumus:
D=
=
...............................................(5.1)
Dimana : D r d
: Desirability pada optimasi : Importance : Desirability masing-masing respon
67
Pengukuran Mi Jagung Kekerasan dan Kelengketan Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT – 2 yang digunakan adalah sebagai berikut : pre test speed 2,0 mm/s, test speed 0,1 mm/s, rupture test distance 75%, mode TPA (Texture Profile Analyzer). Seuntai sampel mi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram force (gf).
Elongasi Satu untai mi dililitkan pada probe dengan jarak antar probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus :
Elongasi (%) = waktu putus sampel (s) x 0,3 cm/s x 100% ……...(5.2) 2 cm Cooking Loss Penentuan cooking loss dilakukan dengan cara merebus sekitar 5 gram mi dalam 150 ml air selama 3 menit lalu mi ditiriskan. Mi kemudian dikeringkan pada suhu 1000C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. Mi yang lain sebanyak kira-kira 5 gram diukur kadar airnya (data kadar air digunakan untuk menghitung berat kering sampel). Cooking loss (CL) dinyatakan sebagai :
CL (%) = Berat kering sebelum direbus – berat kering sesudah direbus x 100%....(5.3) Berat kering sampel sebelum direbus
HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi Pembuatan Mi Jagung Menggunakan RSM Pada penelitian utama optimasi pembuatan mi jagung dilakukan dengan kisaran suhu ekstruder 80, 85 dan 90oC, kecepatan ulir ekstruder 110, 120 dan 130 rpm, serta kadar air tepung 70, 75 dan 80% (basis kering).
Hasil pengukuran 68
kekerasan, kelengketan, persen elongasi dan cooking loss disajikan pada Tabel 5.2. Sedangkan rekapitulasi hasil analisis regresi untuk keempat respon terukur disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.2. Hasil analisis kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss mi jagung Formula
X1
X2
X3
KekerasKelengElongasi Cooking an (gf) ketan (gf) (%) Loss (%) 1 72,5 90 130 2779,70 -82,90 281,37 1,81 2 80 90 130 2543,60 -43,35 254,89 0,59 3 75 80 110 2385,70 -17,90 197,37 4,88 4 72,5 80 120 2625,50 -108,95 194,64 6,81 5 72,5 80 110 2451,40 -26,50 177,15 5,54 6 80 85 110 2368,75 -16,65 246,00 3,45 7 70 85 110 2919,15 -27,60 192,57 5,78 8 75 80 130 2277,65 -123,90 169,95 5,93 9 75 85 110 2660,15 -21,25 219,23 4,97 10 70 80 130 2404,15 -178,05 157,28 8,31 11 70 80 120 2658,50 -154,20 188,25 8,14 12 80 80 120 2022,10 -62,65 227,81 2,21 13 70 80 110 2642,50 -28,65 170,48 5,54 14 80 80 110 2123,70 -46,40 219,75 4,56 15 70 90 120 3141,15 -88,70 308,25 2,33 16 75 85 130 2755,70 -107,10 280,20 7,80 17 80 80 130 2215,75 -69,40 201,15 5,30 18 70 85 130 3027,10 -126,70 251,29 7,87 19 72,5 85 120 2933,70 -83,65 207,75 5,16 20 75 90 120 2827,80 -58,00 278,37 1,74 21 80 90 110 2753,05 -20,20 246,00 0,56 22 80 90 120 2798,15 -55,15 272,33 1,23 23 80 90 130 2543,60 -43,35 254,89 0,59 24 70 85 120 3014,80 -151,55 202,31 5,59 25 75 90 110 2918,10 -28,80 290,74 6,98 26 70 90 130 3199,10 -108,90 351,60 2,28 27 70 90 120 3141,15 -88,70 308,25 2,33 28 75 90 130 2693,90 -78,20 272,18 0,84 29 80 85 130 2712,25 -37,35 288,60 4,47 30 80 85 120 2749,60 -54,20 295,88 1,78 31 70 80 130 2404,15 -178,05 157,28 8,31 32 72,5 85 110 2726,40 -26,50 202,95 5,28 33 75 85 120 2759,40 -63,15 259,99 7,80 34 70 90 110 3126,05 -32,10 308,06 7,13 35 75 80 120 2157,60 -69,65 200,70 4,85 Keterangan : X 1 = kadar air tepung jagung, X 2 = suhu ekstruder, X 3 = kec. ulir ekstruder
Tabel 5 menunjukkan bahwa keempat model yang dibangun memiliki tingkat signifikansi yang tinggi (p<0,001). Nilai R2 untuk semua parameter diatas 0,8 kecuali parameter cooking loss (0,7225). Menurut Henika (1982) pada penggunaan RSM, 69
dengan rancangan percobaan yang menggunakan jumlah perlakuan terbatas, nilai R2 diatas 0,75 cukup meyakinkan untuk memprediksi model.
Tabel 5.3. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk keempat respon terukur Parameter
Kekerasan
Kelengketan
Prediksi Model Kuadratik Kuadratik Model 0,0001*** 0,0001*** X1 - 0,0001*** -0,0001*** X2 0,0001*** -0,0012** X3 0,0001*** 2 X1 2 -0,0012** X2 2 0,0001*** X3 X1 X2 X1 X3 0,0001*** X2 X3 0,0045** R2 0,8860 0,9251 Keterangan : * signifikan pada taraf 0,05 ** signifikan pada taraf 0,01 *** signifikan pada taraf 0,001
Elongasi
Cooking Loss
Interaksi 2 Faktor 0,0001*** 0,0968 0,0001***
Interaksi 2 Faktor 0,0001*** 0,0001*** 0,0001*** 0,9840
-0,0002*** -0,0112* 0,7226
0,8130
Respon Kekerasan Produk Berdasarkan Tabel 5.3, model prediksi untuk kekerasan mi jagung adalah kuadratik. Modifikasi model dilakukan dengan menghilangkan variabel-variabel yang tidak berpengaruh signifikan. Hasil perbaikan model menunjukkan perubahan nilai R2=0,85. Model matematik untuk respon kekerasan mi jagung adalah : 2
Y = -44932,34 – (39,36 X 1 ) + (1136,56 X 2 ) – (6.36 X 2 ) ...........................(5.4) Variabel linier X 1 , X 2 (kadar air dan suhu ekstruder pada orde 1) dan variabel kuadratik X 2 2 (suhu ekstruder pada orde 2) berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi jagung (p<0,05). Variabel yang lain (X 3 , X 1 2, X 3 2, X 1 X 2 , X 1 X 3 dan X 2 X 3 ) tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan mi jagung (p>0,05). Dari persamaan 5.4 terlihat bahwa peningkatan kadar air (X 1 ) berbanding terbalik dengan kekerasan mi jagung. Peningkatan suhu ekstruder dapat meningkatkan kekerasan mi jagung, yaitu semakin tinggi suhu ekstruder, mi semakin keras.
Hal
tersebut disebabkan oleh tingkat pengembangan granula tepung jagung yang semakin meningkat. Namun semakin tinggi suhu ekstruder, peningkatan kekerasan mi cenderung semakin kecil karena granula mengalami rupture, yang berdampak pada viskositas yang menurun. 70
Menurut Srichuwong (2006) pada profil gelatinisasi selama pemanasan, semakin tinggi suhu proses, pembengkakan granula semakin tinggi yang mengakibatkan viskositas adonan semakin tinggi pula.
Namun jika pemanasan
dilanjutkan, granula mengalami rupture dan viskositas akan turun. Visualisasi respon permukaan untuk kekerasan mi jagung yang menggambarkan pengaruh kadar air dan suhu ekstruder disajikan pada kecepatan ulir ekstruder 120 rpm (Gambar 5.1.). Pada kecepatan ulir ekstruder 110 dan 130 rpm menunjukkan pola yang sama.
Kekerasan 3082.86 2845.76 2608.66 2371.57 2134.47
90.00 80.00
87.50
77.50
85.00
Suhu (oC)
75.00
82.50
72.50
80.00 70.00
Kadar Air
Gambar 5.1. Grafik RSM kekerasan mi jagung Semakin tinggi kadar air, kekerasan mi menurun.
Tan et al. (2009)
menyatakan bahwa tekanan dan suhu yang semakin tinggi menyebabkan kemampuan penetrasi air ke dalam tepung semakin tinggi. Semakin banyak air yang masuk ke dalam tepung, viskositas adonan menurun. Menurut Liu (2005) mekanisme gelatinisasi dimulai dari pembengkakan dan perubahan bagian amorpous dari granula pati. Jika air berlebih, maka pembengkakan dan perubahan struktur berlanjut pada bagian kristalin. Semakin tinggi kadar air (pada suhu di atas suhu gelatinisasi) pemutusan ikatan hidrogen akan semakin tinggi, granula pati akan lebih banyak mengalami rupture yang berakibat pada viskositas adonan yang menurun dan mi menjadi lebih lunak.
Respon Kelengketan Produk Model prediksi untuk kelengketan mi jagung adalah kuadratik dengan kadar air (orde 1), suhu ekstruder (orde 1), kecepatan ulir ekstruder (orde 1 dan 2), interaksi 71
kadar air dengan kecepatan ulir ekstruder berpengaruh sangat nyata, sedangkan interaksi antara suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder berpengaruh nyata (R2=0,93). Model matematik untuk respon kelengketan adalah : Y = 10000,00 - (45,46 X 1 ) – (32,28 X 2 ) – (122,47 X 3 ) + (0,25 X 3 2) + (0,42 X 1 X 3 ) + (0,29 X 2 X 3 ) ......................................................................... (5.5)
Grafik RSM untuk kelengketan mi jagung ditunjukkan pada Gambar 5.2. Nilai minus (-) yang semakin tinggi pada grafik menunjukkan arti bahwa mi jagung semakin lengket. Kelengketan mi menurun dengan meningkatnya kadar air dan suhu proses.
Eliasson dan Gudmundson (1996) mengatakan bahwa kelengketan mi
disebabkan oleh amilosa yang berada di permukaan mi terlepas. Kekuatan struktur permukaan mi dipengaruhi oleh kecukupan proses gelatinisasi. Semakin tinggi suhu ekstruder dan semakin tinggi kadar air, gelatinisasi semakin meningkat, granula lebih banyak mengalami rupture. Proses pembentukan jaringan mi pada saat retrogradasi semakin bagus, sehingga kekuatan jaringan semakin kuat dan mi semakin tidak lengket.
Kelengketan
Kelengketan -13.49
-16.74
-46.24
-43.34
-78.98
-69.94
-111.72
-96.54
-144.46
-123.14
130.00
130.00 80.00
125.00 120.00
Kec. Screw
90.00
125.00
87.50
77.50 75.00
115.00
72.50
110.00 70.00
120.00
85.00
Kec. Screw 115.00
Kadar Air
82.50
110.00 80.00
Suhu (oC)
Gambar 5.2. Grafik RSM kelengketan mi jagung Secara umum, peningkatan kecepatan ulir dari 110 menjadi 120 dapat meningkatkan kelengketan.
Kecepatan ulir berpengaruh terhadap tekanan di die
ekstruder (Chaudary et al., 2008). Semakin tinggi kecepatan ulir semakin tinggi pula tekanan pada die ekstruder, namun waktu tinggal bahan di dalam ekstruder semakin rendah. Diduga, proses gelatinisasi lebih dipengaruhi oleh waktu tinggal bahan di 72
dalam ekstruder dibandingkan dengan akibat pengaruhi friksi antar granula. Semakin tinggi kecepatan ulir ekstruder, tingkat gelatinisasi adonan semakin rendah. Tingkat gelatinisasi yang rendah menyebabkan lemahnya ikatan struktur di permukaan mi, lebih banyak amilosa yang lepas ketika mi dimasak dan kelengketan mi semakin meningkat. Respon Elongasi Produk Model prediksi untuk elongasi mi jagung menunjukkan bahwa kecepatan ulir ekstruder (orde 1 dan 2) dan interaksi antara kadar air dengan suhu ekstruder memberikan pengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap elongasi mi jagung (R2=0,81). Model matematik untuk respon elongasi mi jagung adalah sebagai berikut: Y = - 7557,19 + (93,74 X 1 ) + (90,33 X 2 ) – (1,08 X 1 X 2 ) ……………..… (5.6) Variabel yang lain tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap elongasi mi jagung. Secara umum, pada suhu di atas 85oC, elongasi mi jagung meningkat dengan meningkatnya suhu dan menurunnya kadar air adonan (Gambar 5.3). Kecenderungan sebaliknya terjadi pada kisaran suhu kurang dari 85oC, dimana menurunnya kadar air menyebabkan menurunnya elongasi mi. Suhu semakin tinggi menyebabkan tingkat gelatinisasi semakin tinggi, sedangkan kadar air yang semakin rendah menyebabkan tekanan yang diterima adonan semakin tinggi pula. Tekanan dan gelatinisasi yang tinggi pada adonan selama proses ekstrusi menyebabkan kekuatan struktur gel semakin tinggi sehingga mi jagung semakin tinggi elongasinya.
Elongasi 304.24 268.15 232.05 195.96 159.86
90.00 80.00
87.50
77.50
85.00
75.00
Suhu (oC) 82.50
72.50
Kadar Air
80.00 70.00
73
Gambar 5.3. Grafik RSM elongasi mi jagung Respon Cooking Loss Análisis ANOVA menunjukkan nilai R2=0,72 untuk model ini. Variabel linier kadar air dan suhu ekstruder serta interaksi antara kadar air dan kecepatan ulir ekstruder berpengaruh nyata terhadap elongasi mi jagung (p<0,05). Grafik RSM untuk cooking loss mi jagung ditunjukkan pada Gambar 5.4. Model matematik untuk respon cooking loss mi jagung adalah sebagai berikut: Y = - 177,69 - (0,37 X 1 ) + (2,46 X 2 ) + (2,00 X 3 ) – (1,08 X 1 X 3 ) …… (5.7) Pada suhu kecepatan ulir 130 rpm, peningkatan suhu menyebabkan penurunan cooking loss yang cukup tinggi, sedangkan pada kecepatan 110 rpm, peningkatan suhu tidak terlalu berdampak pada penurunan cooking loss. Hal ini menunjukkan bahwa gelatinisasi dipengaruhi oleh suhu dan tekanan dalam ekstruder (Chaudary et al., 2008).
Cooking loss 7.63 6.13 4.63 3.13 1.63
130.00 90.00 87.50 120.00 85.00 Kec. Screw 115.00 82.50 Suhu (oC) 110.00 80.00 125.00
Gambar 5.4. Grafik RSM cooking loss mi jagung Menurut Wang et al. (1999) tingkat cooking loss tergantung pada tingkat gelatinisasi dan kekuatan struktur gel dari mi. Namun, Charutigon et al. (2007) menyatakan bahwa kehilangan selama pemasakan (cooking loss) terutama disebabkan oleh kelarutan pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi. Pengaruh suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder terhadap cooking loss, berbanding terbalik dengan kelengketan.
Semakin tinggi suhu dan semakin rendah 74
kecepatan ulir ekstruder, menghasilkan mi jagung dengan karakteristik cooking loss yang semakin rendah dan kelengketan yang semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Eliasson dan Gudmundson (1996) dan Charutigon et al. (2007) yang menyebutkan bahwa pada produk mi, kelengketan berbanding terbalik dengan cooking loss.
Optimasi Produk Produk mi jagung yang terpilih dari proses optimasi yaitu produk dengan kadar air 70 % (basis kering) dan diolah pada suhu 90oC dengan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Menurut prediksi program RSM, mi jagung memiliki karakteristik skor kekerasan untuk tekstur 3039,79 gf, skor kelengketan -116,26 gf, skor elongasi 318,68% dan skor cooking loss 4,56 %.
Hasil prediksi ini sedikit berbeda dengan
aktual proses yang menunjukkan bahwa mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3199,10 gf, kelengketan -108,90 gf, elongasi 351,60 % dan cooking loss 2,28%. Produk dengan formula kadar air 70 % (basis kering) dan diolah pada suhu 90oC dengan kecepatan 130 rpm memiliki tingkat yang diinginkan (desirability) paling tinggi yaitu 0,835 artinya produk tersebut merupakan suatu produk yang memiliki karakteristik yang optimal. Meskipun demikian, jika dilihat dari kecenderungan keseragaman mi yang dihasilkan dan kedekatan nilai desirability untuk formula yang direkomendasikan oleh program RSM (Tabel 5.4.), kondisi optimum juga dapat dicapai pada kondisi proses kadar air tepung jagung 70,05%, suhu ekstruder 89,95oC dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Grafik RSM untuk kondisi optimum disajikan pada Gambar 5.5. Tabel 5.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum. No Kadar Air Tepung 1 70,00 2 70,05 3 70,00 4 70,00 5 72,07 6 70,00 7 73,25 8 70,00 9 70,00 10 77,55
Suhu (oC) 90,00 89,95 90,00 90,00 90,00 90,00 90,00 88,86 90,00 90,00
Kec. Kekerasan Kelengketan Elongasi Cooking Desirability Loss Ulir (rpm) 130 3039,79 -116,26 318,68 4,56 0,835 130 3028,52 -115,69 318,48 4,57 0,830 128 3072,38 -116,09 315,54 4,56 0,814 127 3101,16 -114,04 312,27 4,56 0,798 130 2909,53 -92,81 310,63 3,83 0,789 124 3131,95 -108,17 307,81 4,56 0,775 130 2852,67 -81,18 305,60 3,42 0,763 130 3035,65 -121,2 301,77 4,98 0,744 119 3159,74 -92,70 301,13 4,56 0,740 130 2721,73 -48,65 287,26 1,90 0,669
75
Desirability 0.835 0.635 0.436 0.237 0.038
90.00 80.00
87.50
77.50 85.00
o
Suhu ( C)
75.00 82.50
72.50 80.00
Kadar Air
70.00
Gambar 5.5. Grafik nilai desirability mi yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm, pada suhu dan kadar air yang berbeda
Gambar 5.6. Mi jagung yang dihasilkan pada kadar air 70%, suhu ekstruder 90oC dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm Mi jagung yang dihasilkan pada kondisi optimum memiliki karakteristik yang berbeda dengan dengan spaghetti komersial. Perbedaan antara mi jagung dengan spaghetti disajikan pada Tabel 5.5.
Perbedaan yang mencolok terlihat pada
karakteristik kekerasan mi, dimana mi jagung memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spaghetti. Tabel 5.5. Perbandingan karakteristik mi jagung dan spaghetti Karakter Mi Jagung Spaghetti Kekerasan (gram force) 3039,79 987,70
76
Kelengketan (gram force) Elongasi (%) Cooking loss (%) Diameter (mm)
-116,26 318,68 4,56 4,50 KESIMPULAN
-140,60 237,00 6,72 3,24
Proses pembuatan mi yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air tepung 70%, suhu ekstruder 90oC dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3039,79 gf, kelengketan -116,26 gf, elongasi 318,68% dan cooking loss 4,56 %. Kondisi optimum juga dapat dicapai pada kondisi proses kadar air tepung jagung 70,05%, suhu ekstruder 89,95oC dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm.
DAFTAR PUSTAKA Bas D, Boyaci IH 2007. Modeling and optimization I : usability of response surface methodology. J Food Eng. 78 : 836 – 845. Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss Society of F Sci Tech 41 : 642-651. Chaudary AL, Miler M, Torley PJ, Sopade PA, Halley PJ. 2008. Amylose content and chemical modification effects on the extrusion of thermoplastic starch from maize. Carb Polym. 74(4) : 907-913. Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch : Physicochemical and functional aspects. In : Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. Marcell Dekker Inc. New York. Gujral HS, Singh N, Singh B. 2001. Extrusion behavior of grits from flint and sweet corn. Food Chem. 74(1) : 303 – 308. Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by extrusion cooking. J Cereal Sci. 43(1) : 38 – 46. Henika RG. 1982. Use of response-surface methodology in sensory evaluation. Food Technol. 9 : 91-101. Kuo WY, Lai HM. 2009. Effects of reaction condition on the physicochemical properties of cationic starch studied by RSM. Carb Polym. 75(4) : 627 – 635.
77
Liu Q. 2005. Understanding Starches and their Role in Foods. In: Cui SW, editor. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. RC Teylor & Francis, Boca Raton FL. Srichuwong S. 2006. Starches from different plant origins : from structure to physicochemical properties [dsisertation]. Mie University. Japan. Sun Y, Liu J, Kennedy JF. 2010. Application of RSM for optimization of polysaccharides production parameters from the roots of Codonopsis pilosula by a central composite design. Carb Polym. 80(3) : 949-953. Tan FJ, Dai WT, Hsu KC. 2009. Changes in gelatinization and rheological characteristics of japonica rice starch induced by pressure/heat combinations. J Cereal Sci. 49(2) : 285-289. Wang N, Bhirud PR, Sosulski FW and Tyler RT. 1999. Pasta-like product from pea flour by twin-screw extrusion. J Food Sci, 64(4) : 671-677. Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue Ping L, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulphite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J Food Sci. Technol. 5(4) : 339 – 346.
78
PENGARUH GARAM (SODIUM KARBONAT DAN SODIUM KLORIDA) DAN JUMLAH PASSING PADA OPTIMASI PROSES MI JAGUNG (Effects of Salt and Number of Passing in Extruder on Optimization Corn Noodle Process) ABSTRACT Starch noodle with too firm texture is not preferable to consumer. The objectives of this research were to study the effects of salt addition and number of passing in extruder on firmness of the obtained corn noodle, and to optimize three processing variables, i.e. corn flour moisture (70, 75, 80% dry basis), salt (sodium carbonate 0, 0.3, 0.6%, and sodium chloride 0, 1, 2%), and number of passing in extruder (1, 2, 3 times) on corn noodle characteristics. The extruder used in this research was Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C. Optimization process was conducted by using response surface methodology (RSM) with two main expected parameters, i.e., minimum firmness and minimum cooking loss. In general, this research showed that firmness of corn noodle decerased by increasing salt addition and by number of passing in extruder. In sodium carbonate addition, the best processing condition was obtained at moisture content of 80% (dry basis), sodium carbonate concentration of 0.11 or 0.12%, and number of passing in extruder for 3 times (desirability 0.836). Under this optimum condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 2242.29 gf, stickiness of -58.83 gf, elongation of 418.81%, and cooking loss of 3.66%. In sodium chloride addition, the optimum processing condition was achieved at moisture content of 80% (dry basis), sodium chloride concentration 2%, and number of passing in extruder for 3 times (desirability 0.877). Under this condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 1855.23 gf, stickiness of -35.86 gf, elongation of 576.38%, and cooking loss of 2.62%. Key words: Corn noodle, optimization, salt, passing
ABSTRAK Mi yang terlalu keras tidak disukai oleh konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh garam dan passing terhadap kekerasan mi jagung. Tujuan berikutnya adalah optimasi proses pembuatan mi jagung dengan variabel kadar air tepung jagung (70, 75, 80% basis kering), penggunaan garam (sodium karbonat 0, 0,3, 0,6% dan sodium klorida 0, 1, 2%), dan passing (1, 2, 3 kali). Proses pembuatan mi jagung menggunakan Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C. Optimasi proses dianalisa menggunakan RSM (response surface methodology) yang didasarkan pada dua parameter mutu utama mi jagung yaitu kekerasan minimum dan cooking loss minimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan mi jagung turun dengan penambahan garam dan perlakuan passing. Pada penambahan sodium karbonat,
kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air adonan 80% (basis kering), sodium karbonat 0,11 atau 0,12%, dan passing 3 kali (nilai desirability 0,836). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki skor kekerasan 2242,29gf, kelengketan -58,83gf, elongasi 418,81%, dan cooking loss 3,66%. Pada penambahan sodium klorida, kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air adonan of 80% (basis kering), sodium klorida 2%, dan passing 3 kali (nilai desirability 0,877). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki skor kekerasan 1855,23gf, kelengketan -35,86gf, elongasi 576,38%, dan cooking loss 2,62%. Kata Kunci: Mi jagung, optimasi, garam, passing
PENDAHULUAN Mi jagung yang dihasilkan pada penelitian tahap sebelumnya memiliki kekerasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan spaghetti (mi jagung memiliki kekerasan 3039,79 gf dan spaghetti 987,7 gf). Mi yang terlalu keras (kokoh) kurang disukai oleh konsumen (Kusnandar, 1998). Kekerasan mi dari pati dapat diturunkan dengan memecahkan polimer pati menjadi fraksi yang lebih kecil (Xie et al., 2005). Salah satu cara pemecahan polimer ini adalah dengan perlakuan fisik, yaitu pemberian tekanan shear yang cukup pada granula pati. Penggunaan garam basa (natrium metabisulfit) dapat menguragi kekerasan mi dari tepung jagung (Waniska, 1999).
Campuran pati tapioka yang telah
dimodifikasi dengan sodium tripolifosfat dapat menyebabkan mi dari pati tapioka menjadi lebih lembut (Chang dan Lii, 1987). Garam yang sering digunakan dalam pembuatan mi dari terigu adalah sodium klorida dan garam basa yang mencakup sodium dan potasium karbonat, karbonat dan fosfat dan kadang-kadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara (Moss et al., 1986). Sodium klorida digunakan untuk membuat mi tipe white salted noodle sedangkan garam basa digunakan untuk tipe mi yellow alkaline noodle (Chen, 2003). Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan kansui (campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan 1:1) sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength paling kuat yaitu sebesar 43±3 mN. Tensile strength mi dengan penambahan kansui (garam basa) berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00 % adalah 25±1 mN, 31±2 mN,
80
43±3 mN dan 36±2 mN. Namun semakin tinggi kansui, cooking loss mi semakin tinggi pula. Cooking loss mi dengan penambahan kansui berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00% adalah 5,58±0,38%, 6,94±0,31%, 15,74±0,51% dan 19,20±0,46%. Sodium klorida dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu sodium klorida dapat memperkuat adonan dan meningkatkan penyerapan air. Namun penggunaan sodium klorida di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu mi menjadi kurang elastis, sehingga disarankan penggunaannya tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006). Penelitian mengenai pengaruh penambahan garam dan garam basa pada suspensi atau adonan tepung jagung belum banyak dilakukan.
Demikian pula
penelitian mengenai teknologi dan sifat-sifat reologi mi yang menggunakan bahan baku tepung jagung.
METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah jagung kuning varietas P21 yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kab. Ponorogo, sodium klorida (NaCl) dan sodium karbonat (Na 2 CO 3 ). Peralatan utama yang digunakan adalah timbangan, penggiling tepung (pin disc mill), ayakan 100 mesh, mixer, oven, texture analyzer TA-XT2i dan cooking-forming extruder model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Pembuatan Mi Jagung Persiapan Adonan Penelitian in terdiri dari dua tahap, dimana tahap pertama digunakan sodium karbonat dan tahap kedua digunakan sodium klorida. Sodium karbonat (0; 0,3 dan 0,6%) dilarutkan terlebih dahulu ke dalam aquades (jumlah aquades yang digunakan adalah 70, 80 dan 85% dari berat kering tepung). Sodium klorida yang digunakan adalah 0, 1, dan 2%.
Larutan dicampurkan dengan tepung jagung
varietas P21 yang lolos ayakan 100 mesh. Pencampuran dilakukan secara manual sampai seluruh bagian terlihat sama, kemudian dilanjutkan dengan hand mixer pada kecepatan rendah selama 5 menit.
81
Proses Pembuatan Mi Ekstruder diatur pada kecepatan 130 rpm dan suhu 90oC untuk semua zona pemanasan. Adonan dimasukkan ke dalam ekstruder. Perlakuan di dalam ekstruder adalah passing 1, 2 dan 3. Passing 1 artinya adonan hanya satu kali melewati ekstruder, passing 2 artinya mi yang keluar dari die diambil dan dimasukkan lagi ke dalam ekstruder. Mi ditampung dalam air dingin dan segera dianalisis.
Analisis Mi Jagung Kekerasan dan Kelengketan Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Pengaturan TAXT – 2 yang digunakan adalah sebagai berikut : pre test speed 2,0 mm/s, test speed 0,1 mm/s, rupture test distance 75%, mode TPA (Texture Profile Analysis).
Seuntai sampel mi dengan panjang yang melebihi diameter probe
diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh probe. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram Force (gf). Elongasi Satu untai mi dililitkan pada probe dengan jarak antar probe sebesar 2 cm dan kecepatan probe 0,3 cm/s. Persen elongasi dihitung dengan rumus : Elongasi (%) = waktu putus sampel (s) x 0,3 cm/s x 100% …….(6.1) 2 cm Cooking Loss Penentuan cooking loss dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam 150 ml air selama 3 menit lalu mi ditiriskan. Mi kemudian dikeringkan pada suhu 1000C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. Mi yang lain sebanyak kira-kira 5 gram diukur kadar airnya (data kadar air digunakan untuk menghitung berat kering sampel). Cooking loss (CL) dinyatakan sebagai :
CL (%) = Berat kering sebelum direbus – berat kering sesudah direbus x 100%....(6.2) Berat kering sampel sebelum direbus
82
Derajat Gelatinisasi Menggunakan metode yang dikembangkan oleh Matz (1992).
Analisis Statistik Mi Jagung Menggunakan RSM Pada percobaan ini ditetapkan tiga variabel yaitu X 1 – kadar air tepung, X 2 – passing (ulangan adonan melewati ekstruder) dan X 3 – kadar garam yang masingmasing terdiri dari tiga taraf dan ulangan sebanyak tiga kali.
Data diolah
menggunakan metode respon permukaan (RSM) historical data. Kadar air tepung dan kadar garam merupakan numeric factor, sedangkan passing merupakan categorial factor. HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi hasil analisis karakteristik derajat gelatinisasi, kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss mi jagung untuk penggunaan sodium karbonat disajikan pada Tabel 6.1. Hasil analisis untuk penggunaan sodium klorida disajikan pada Tabel 6.2.
Tabel 6.1. Rekapitulasi hasil analisa regresi untuk respon terukur pada perlakuan kadar air (X 1 ), passing (X 2 ) dan sodium karbonat (X 3 ) Parameter
Derajat Gelatinisasi Kuadratik
Kekerasan
Kelengketan
Elongasi
Cooking Loss
Prediksi Kuadratik Kuadratik Model Model < 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** X1 0.0011** < 0,0001*** < 0,0001*** X2 < 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** X3 < 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** 2 X1 2 X2 2 < 0,0001*** < 0,0001*** 0,0499* X3 X1 X2 0,0004*** 0.0064** X1 X3 0,0004*** 0.0071** X2 X3 0,0307* 0.0027** R2 0,8819 0,9352 0,7412 Keterangan : * signifikan pada taraf 0.05 ** signifikan pada taraf 0.01 *** signifikan pada taraf 0.001
Kuadratik
Kuadratik
< 0,0001***
< 0,0001***
< 0,0001*** < 0,0001**
0.0014** 0.0112* < 0.0001*** 0,7533
0,0108* 0,0022** 0,0025** < 0,0001*** 0,0015** 0,6910
83
Derajat Gelatinisasi Mi Jagung Derajat gelatinisasi pati atau tepung mempengaruhi mutu mi berbahan baku tepung non terigu. Wang et al. (1999) menyebutkan bahwa kehilangan selama pemasakan terutama tergantung pada gelatinisasi permukaan mi. Namun cooking loss juga dipengaruhi oleh derajat gelatinisasi dan kekuatan gel yang dibentuk. Charutigon et al. (2007) menyebutkan bahwa pada vermicelli beras, derajat gelatinisasi yang paling baik adalah 88,9%. Tabel 6.2. Rekapitulasi hasil analisa regresi untuk respon terukur pada perlakuan kadar air (X 1 ), passing (X 2 ) dan sodium klorida (X 3 ) Parameter
Derajat Gelatinisasi Kuadratik
Kekerasan
Kelengketan
Elongasi
Cooking Loss
Prediksi Kuadratik 2FI (Interaksi Model 2 Faktor) Model < 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** X1 < 0,0001*** 0,1968 < 0,0001*** X2 < 0,0001*** < 0,0001*** 0,0010*** X3 < 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** 2 X1 2 < 0,0001*** 0,0085** X2 2 < 0,0001*** 0,0085** X3 X1 X2 0,0027** 0,0025** X1 X3 0,0004*** 0,0036** < 0,0001*** X2 X3 R2 0,8675 0,8761 0,7918 Keterangan : * signifikan pada taraf 0.05 ** signifikan pada taraf 0.01 *** signifikan pada taraf 0.001
Kuadratik
Kuadratik
< 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001***
< 0,0001*** < 0,0001*** < 0,0001*** 0,0007***
0,0003*** 0,0003***
0,8184
0,0007*** 0,0013**
0,7572
Pada perlakuan dengan sodium karbonat, derajat gelatinisasi dipengaruhi secara nyata oleh kadar air, jumlah passing dan garam pada orde 1, garam pada orde 2 serta interaksi antara passing dengan garam (p<0,05). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon derajat gelatinisasi penambahan sodium karbonat (R2=0,88) adalah : Y = 45,22+ (0,31 X 1 ) + (4,26 X 2 ) – (70,04 X 3 ) + (87,03 X 3 2) - (4,09 X 2 X 3 ) …..(6.3) Pola derajat gelatinisasi akibat pengaruh interaksi antara passing dengan garam disajikan pada Gambar 6.1. Pada jumlah passing yang sama, peningkatan sodium karbonat dari 0% menjadi 0,3% menurunkan derajat gelatinisasi, tetapi
84
peningkatan sodium karbonat dari 0,3% menjadi 0,6% justru menaikkan derajat gelatinisasi.
Menurut Bhattacharya dan Corke (1996), ketika larutan basa sudah
masuk ke dalam granula pati, kondisi basa menyebabkan integritas granula pati tidak dapat bertahan lama.
Granula pati akan cepat pecah sehingga suhu
gelatinisasi puncak (suhu gelatinisasi maksimum) turun. Selain itu, pada kondisi basa, pamanasan dengan suhu antara 85 – 100oC menyebabkan terpisahnya komponen-komponen biji-bijian, terutama protein, lemak dan pati (Montealvo et al., 2007). Penambahan sodium karbonat 0,6% menyebabkan pemecahan polimer yang berlebihan sehingga amilosa mudah keluar dari granula dan lebih mudah tergelatinisasi. Derajat Gelatinisasi
81.24 75.16 69.09 63.01 56.93
0.60 3.00
0.45
2.50
0.30
Na2CO3
2.00 0.15 0.00 1.00
1.50
Passing
Gambar 6.1. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh passing dan sodium karbonat Menurut Miskelly (1996), penambahan sodium karbonat cenderung menurunkan derajat gelatinisasi, karena penambahan alkali meningkatkan suhu gelatinisasi. Oleh karena itu semakin banyak panas yang dibutuhkan untuk proses gelatinisasi pati. Akibatnya pada suhu yang sama, penambahan alkali dapat menurunkan derajat gelatinisasi pati dan berdampak pada mutu mi jagung yang dihasilkan. Pada perlakuan sodium klorida, derajat gelatinisasi juga dipengaruhi secara nyata oleh kadar air (orde 1), passing (orde 1 dan 2), sodium klorida (orde 1 dan 2), interaksi antara kadar air dengan jumlah passing, kadar air dengan sodium klorida dan antara passing dengan sodium klorida (p<0,05). Model matematik yang dapat
85
dibangun untuk respon derajat gelatinisasi penambahan sodium klorida (R2=0,87) adalah : Y = -34,16 + (1,31 X 1 ) + (52,29 X 2 ) – (55,64 X 3 ) - (1,17 X 2 2) + (6,96 X 3 2) - (0,57 X1 X2 )
+
(0,43
X 1 X 3 ).……………………………………………………...(6.4) Pola derajat gelatinisasi akibat perlakuan penambahan sodium klorida disajikan pada Gambar 6.2. Peningkatan kadar air dapat meningkatkan derajat gelatinisasi karena air diperlukan dalam proses gelatinisasi. Jumlah air yang ditambahkan berpengaruh terhadap pengembangan granula dan jumlah amilosa terlarut yang akan mempengaruhi mutu mi jagung yang dihasilkan. Van den Einde et al. (2004) mengatakan bahwa pada proses ekstrusi, kadar air pada suhu tinggi dapat mengganggu kestabilan ikatan granula pati sehingga pati lebih mudah tergelatinisasi. Derajat Gelatinisasi
Derajat Gelatinisasi
65.74
82.07
61.66
74.89
57.58
67.72
53.51
60.54
49.43
53.38
3.00
2.00 80.00
2.50 2.00
a
1.00
72.50 70.00
Kadar Air
2.50 1.00
75.00
Passing 1.50
3.00
1.50
77.50
b
NaCl
2.00 0.50 0.00 1.00
1.50
Passing
Gambar 6.2. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara sodium klorida dengan passing (b) Peningkatan passing dapat meningkatkan derajat gelatinisasi mi jagung secara nyata. Peningkatan passing menyebabkan adonan yang berada dalam ekstruder semakin banyak menerima panas yang diperlukan dalam proses gelatinisasi, akibatnya derajat gelatinisasi semakin meningkat (Lawton et al., 1972). Mestres et al. (1988) mengatakan bahwa struktur mi dari beras dipengaruhi oleh derajat gelatinisasi dan retrogradasi.
86
Menurut Koch dan Jane (2000), ion dari garam memiliki interaksi elektrostatik yang lebih kuat dengan air dan mendorong terjadinya ikatan hidrogen diantara molekul garam-molekul air. Interaksi elektrostatik ini juga meningkatkan viskositas larutan. Kondisi ini menghambat molekul air untuk masuk ke dalam granula pati. Perlu waktu lebih lama dan suhu lebih tinggi untuk mulai terjadinya gelatinisasi. Pada kadar air 80%, molekul air lebih mudah masuk ke dalam granula tepung sehingga lebih banyak tepung yang tergelatinisasi. Penurunan derajat gelatinisasi akibat kenaikan konsentrasi sodium klorida berhubungan dengan sifat sodium klorida yang mengikat air. Adanya sodium klorida menyebabkan air yang terdapat dalam adonan sulit terdifusi ke dalam granula pati. Semakin tinggi konsentrasi sodium klorida, semakin sedikit jumlah air yang terdifusi, sehingga gelatinisasi lebih terhambat. Menurut (Oosten, 1982), penambahan sodium klorida akan memperlambat gelatinisasi. Penundaan gelatinisasi ini menyebabkan peningkatan stabilitas pati ketika pemanasan mencapai 95oC, pati tergelatinisasi secara serempak sehingga viskositas meningkat. Mi yang dihasilkan memiliki mutu yang lebih baik karena terjadi gelatinisasi yang serempak pada saat dimasak. Kekerasan Mi Jagung Pada perlakuan garam sodium karbonat kekerasan mi jagung dipengaruhi secara nyata oleh kadar air (orde 1), passing (orde 1), sodium karbonat (orde 1 dan 2), interaksi antara kadar air dengan passing dan kadar air dengan garam (P<0,05). Model matematik kekerasan mi jagung pada penambahan sodium karbonat (R2=0,93) adalah sebagai berikut : Y = 7038,48+ (45,78 X 1 ) - (1985,09 X 2 ) + (1183,79 X 3 ) + (4247,31 X 3 2) + (22,78 X 1 X 2 )- (76,41 X 1 X 3 )………………………………….… (6.5)
Kekerasan
Kekerasan 2576.12
3053.12
2380.06
2695.12
2184.01
2337.13
1987.95
1979.14
1791.9
1621.14
0.60
3.00 80.00
2.50 2.00
Passing
a
72.50 1.00 70.00
77.50 0.30
75.00 1.50
80.00
0.45
77.50
Na2CO3
Kadar Air
b
75.00 0.15
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
87
Gambar 6.3. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan
Pola kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing dan kadar air dengan garam disajikan pada Gambar 6.3.
Peningkatan
passing dan peningkatan kadar air, serta peningkatan kadar sodium karbonat memberikan kecenderungan menurunkan kekerasan mi jagung. Berdasarkan model matematika di atas, terlihat bahwa pengaruh sodium karbonat (garam basa) terhadap penurunan kekerasan mi jagung sangat besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Waniska et al. (1999), yang mengatakan bahwa penambahan garam basa (sodium metabisulfit) dapat menurunkan kekerasan mi yang dibuat dari tepung jagung. Xie et al. (2005) mengatakan bahwa selama proses ekstrusi terjadi pemecahan polimer pati yang berdampak pada turunnya retrogradasi.
Tepung
jagung tidak hanya mengalami proses gelatinisasi, tetapi juga mengalami tekanan shear yang cukup besar. Polimer pati (terutama amilosa yang keluar dari granula pada saat gelatinisasi) pada tepung jagung akan terpecah menjadi molekul-molekul yang berukuran kecil dan sulit untuk membentuk jaringan kembali pada saat dingin. Fenomena ini menyebabkan peningkatan passing akan menurunkan laju retrogradasi dan menurunkan kekerasan mi. Pada perlakuan sodium klorida, kekerasan mi jagung dipengaruhi secara nyata oleh garam (orde 1 dan 2), passing (orde 1dan 2) dan interaksi antara kadar air dengan garam (p<0,05). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon kekerasan penambahan sodium klorida (R2=0,88) adalah : Y = 4222,84 - (8,34 X 1 ) - (268,67 X 2 ) - (876,08 X 3 ) - (1,77 X 2 2) + (131,13 X 3 2) + (1,05 X 1 X 3 ) …………………………………………………. (6.6)
Kekerasan 3094.90 2809.01 2523.13 2237.25 1951.36
2.00 80.00
1.50
77.50 1.00
NaCl
75.00 0.50
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
88
Kemampuan sodium karbonat dan sodium klorida menahan terjadinya gelatinisasi pada mi jagung berbeda, meskipun keduanya berfungsi sama yaitu menahan laju gelatinisasi tepung jagung. Kondisi ini memberikan dampak pada diperlukannya suhu dan kadar air yang lebih tinggi untuk proses pembuatan mi jagung yang ditambah dengan sodium karbonat dan sodium klorida.
Kelengketan Mi Jagung Kelengketan atau daya rekat merupakan gaya yang dibutuhkan untuk menarik bagian pangan dan memisahkannya dari lempeng kompresi. Mi yang dihasilkan diharapkan memiliki nilai kelengketan yang rendah agar memiliki eating quality yang baik.
Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996), amilosa yang
terlepas dari granula pati dapat menyebabkan kelengketan. Perlakuan sodium karbonat menghasilkan respon kelengketan mi jagung dengan model Kuadratik (R2=0,74). Pada perlakuan sodium karbonat, kelengketan mi jagung dipengaruhi dengan nyata oleh variabel kadar air (orde 1), passing (orde 1) dan garam (orde 1 dan 2) serta interaksi antara kadar air dengan passing, kadar air dengan garam dan garam dengan passing (p<0,05). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon kelengketan penambahan Na 2 CO 3 adalah : Y = 1233,09 - (15,16 X 1 ) - (204,59 X 2 ) - (370,52 X 3 ) - (146,64 X 3 2) + (2,63 X 1 X 2 ) + (8,64 X 1 X 3 ) - (48,54 X 2 X 3 ) ………………………….. (6.7)
Kelengketan
Kelengketan
Kelengketan 195.15
165.31
174.73
166.45
132.48
150.34
137.74
99.66
125.96
109.04
66.84
101.57
80.33
34.01
77.18
80.00
2.50 2.00
72.50 1.00 70.00
Na2CO3
Kadar Air
b
72.50 0.00 70.00
Na2CO3
Kadar Air
2.50
0.30
75.00 0.15
3.00
0.45
77.50 0.30
75.00 1.50
80.00
0.45
77.50
Passing
a
0.60
0.60
3.00
c
2.00 0.15 0.00 1.00
1.50
Passing
Gambar 6.5. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar 89 air dengan sodium karbonat (a), antara kadar air dengan passing (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c)
Perlakuan sodium klorida menghasilkan respon kelengketan mi jagung dengan model Intraksi Dua Faktor (R2=0,79). Pada perlakuan sodium klorida, kelengketan mi jagung dipengaruhi dengan nyata oleh variabel kadar air (orde 1), passing (orde 1) dan garam (orde 1) serta interaksi antara kadar air dengan passing dan kadar air dengan garam (p<0,05). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon kelengketan penambahan NaCl adalah : Y = 1555,09 - (19,17 X 1 ) - (377,15 X 2 ) - (178,35 X 3 ) + (4,79 X 1 X 2 ) + (2,24
X1
X3 )
……………………………………………………………. (6.8)
Kelengketan
Kelengketan
150.65
130.33
120.32
106.38
89.99
82.43
59.67
58.48
29.35
34.53
2.00
3.00 80.00
2.50
Passing 1.50
a
1.00 70.00
77.50 1.00
75.00 72.50
80.00
1.50
77.50 2.00
NaCl Kadar Air
b
75.00 0.50
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
Gambar 6.6. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium klorida (b) Menurut Srichuwong (2006) semakin tinggi tingkat gelatinisasi, semakin banyak amilosa yang keluar dari granula pati dan mempengaruhi kelengketan mi. Tan et al. (2009) menyatakan bahwa tekanan dan suhu yang semakin tinggi menyebabkan kemampuan tepung menyerap air semakin tinggi. Pada kadar air yang sama, semakin banyak air yang diserap tepung dan semakin tinggi suhu proses, derajat gelatinisasi akan semakin tinggi sehingga mi yang dihasilkan semakin keras.
90
Namun pada ekstrusi mi jagung, peningkatan derajat gelatinisasi tidak diikuti dengan peningkatan kelengketan. Peningkatan passing dapat menurunkan kelengketan. Pelepasan amilosa pada permukaan mi tidak identik dengan derajat gelatinisasi, seperti halnya pada bihun yang berbahan pati. Pada proses ekstrusi ini terjadi perubahan mikrostruktur mi sehingga derajat gelatinisasi tidak diikuti dengan peningkatan kelengketan mi jagung. Elongasi Mi Jagung Persen elongasi menunjukkan pertambahan panjang maksimum mi yang mengalami tarikan sebelum putus. Elongasi dinyatakan dalam satuan persen (%). Mi dengan persen elongasi tinggi menunjukkan karakteristik mi yang tidak mudah putus. Sifat ini penting karena konsumen tidak menginginkan mi yang hancur saat dimasak atau putus ketika ditarik pada saat dikonsumsi. Elongasi mi jagung pada perlakuan sodium karbonat dipengaruhi oleh passing (orde 1), garam (orde 2), interaksi antara kadar air dengan garam, interaksi antara kadar air dengan passing dan interaksi antara garam dengan passing (p<0,05) dengan R2=0,75. Model matematik yang dapat dibangun untuk respon elongasi penambahan Na 2 CO 3 adalah : Y = -826,27 + (14,33 X 1 ) + (262,43 X 2 ) + (2456,63 X 3 ) - (286,46 X 3 2) (2,86 X 1 X 2 ) - (30,25 X 1 X 3 ) ……………………………………. (6.9) Elliason dan Gudmunsson (1996) menyatakan bahwa tingginya amilosa terlarut pada saat gelatinisasi dan tingginya kemampuan pengembangan granula dapat meningkatkan elongasi mi. Sebaliknya tingginya amilopektin terlarut dapat mengganggu pembentukan gel dan menurunkan elongasi. Hal ini menunjukkan kecukupan gelatinisasi sangat menentukan sifat elongasi mi.
Elongasi
Elongasi
440.14
401.97
408.89
376.92
377.65
351.87
346.41
326.82
315.17
301.78
0.60
3.00 80.00
2.50 2.00
a
Passing
72.50 1.00 70.00
Kadar Air
77.50 0.30
75.00 1.50
80.00
0.45
77.50
Na2CO3
b
75.00 0.15
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
91 Gambar 6.7. Elongasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium karbonat (b)
Peningkatan passing mampu meningkatkan elongasi mi jagung. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Charutigon et.al (2007), yang menyatakan bahwa tekanan yang diterima adonan selama proses ekstrusi sangat berpengaruh terhadap kekuatan struktur gel. Ekstrusi vermicelli beras dengan kecepatan aliran adonan 400-700 g/jam, produk tidak diterima oleh empat orang panelis terlatih. Produk dapat diterima oleh panelis, ketika diproses pada kecepatan aliran adonan 750 g/jam. Pada perlakuan sodium klorida, elongasi mi jagung dipengaruhi secara nyata oleh kadar air, garam dan passing (masing-masing pada orde 1) serta passing dan garam pada orde 2 (R2=0,82). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon elongasi penambahan NaCl adalah : Y = -322,72 + (6,78 X 1 ) + (90,88 X 2 ) + (136,39 X 3 ) - (4,91 X 2 2) (38,65X 3 2) ……………………………………………………………………(6.10) Namun penambahan sodium karbonat sebanyak 0,6% pada kadar air 80% dan passing 3 kali justru menurunkan elongasi mi jagung. Hal ini terkait dengan kondisi basa yang dapat mempercepat proses pemecahan polimer yang berakibat pada peningkatan pemisahan amilosa yang dapat menurunkan kekuatan struktur mi (Moss et al., 1986).
Fenomena ini sejalan dengan hasil yang diperoleh pada
pengukuran respon yang lain yaitu adanya peningkatan kelengketan mi jagung pada penambahan sodium karbonat sebanyak 0,6%.
Elongasi 502.33 455.30 408.28 361.25 314.22
80.00 2.00
77.50
1.50
75.00
1.00
Kadar Air 72.50 70.00 0.00
0.50
NaCl
Gambar 6.8. Elongasi mi jagung pada perlakuan kadar air, sodium klorida dan passing
92
Cooking Loss Mi Jagung Cooking loss menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang keluar ke dalam air selama proses pemasakan. Cooking loss merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak. Hou dan Kruk (1998) menyatakan cooking loss merupakan parameter terpenting untuk produk–produk mi basah yang diperdagangkan dalam bentuk matang. Nilai cooking loss yang diinginkan adalah yang relatif kecil. Semakin rendah nilai cooking loss menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki tekstur yang baik dan homogen. Pada perlakuan sodium karbonat, cooking loss dipengaruhi secara nyata oleh kadar air (orde 1), passing (orde 1 dan 2), garam (orde 1 dan 2) dan interaksi antara kadar air dengan passing, kadar air dengan garam serta interaksi antara passing dengan garam (R2=0,69). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon cooking loss penambahan Na 2 CO 3 adalah : Y = +18,27 - (0,09 X 1 ) + (7,81 X 2 ) - (114,65 X 3 ) + (0,99 X 2 2) + (13,42 X 3 2) - (0,17 X 1 X 2 ) + (1,41 X 1 X 3 ) + (3,01 X 2 X 3 ) …………………… (6.11) Xie et al. (2005) mengatakan bahwa selama proses ekstrusi terjadi pemecahan polimer pati yang berdampak pada turunnya retrogradasi. Tekanan shear yang berlebihan dapat menyebabkan pemecahan polimer pati menjadi fraksi yang lebih kecil, mudah terlepas ketika pemasakan mi.
Cooking Loss
Cooking Loss 7.63
10.5
7.09
Cooking Loss 10.47
8.69
9.11
6.55
6.83
7.76
6.01
4.96
6.40
5.47
3.09
0.60
0.60
3.00 80.00
2.50
80.00
0.45
2.00
0.30
75.00 72.50
1.00 70.00
Na2CO3
Kadar Air
b
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
2.50 0.30
75.00 0.15
3.00
0.45
77.50
77.50
Passing 1.50
a
5.05
Na2CO3
c
2.00 0.15
1.50 0.00 1.00
Passing
93 Gambar 6.9. Cooking loss mi jagung akibat interaksi antara kadar air dengan passing (a), antara kadar air dengan sodium karbonat (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c)
Menurut Kusnandar (1998) peningkatan cooking loss akan diikuti dengan peningkatan kelengketan. Kenaikan kadar air menurunkan cooking loss yang diikuti dengan penurunan kelengketan karena amilosa lebih banyak berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen di dalam mi daripada berperan dalam sifat kelengketan. Pada perlakuan sodium klorida, cooking loss dipengaruhi secara nyata oleh kadar air (orde 1), passing (orde 1 dan 2), garam (orde 1 dan 2) dan interaksi antara kadar air dengan passing (R2=0,76). Model matematik yang dapat dibangun untuk respon cooking loss penambahan NaCl adalah : Y = 36,07 - (0,39 X 1 ) - (0,52 X 2 ) - (7,49 X 3 ) - (0,81 X 3 2) + (0,11 X 1 X 2 )…(6.12)
Kenaikan konsentrasi sodium klorida menurunkan cooking loss. Hal ini disebabkan sodium klorida dapat berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan, sehingga ketika mi direbus komponen-komponen tersebut tidak lepas. Semakin tinggi konsentrasi sodium klorida, semakin besar kemampuan pengikatan. Wu et al. (2006), menyatakan bahwa penggunaan sodium klorida sebaiknya tidak lebih dari 2% karena dapat merusak reologi mi
Cooking Loss 7.86 6.65 5.44 4.23 3.02
2.00 80.00
1.50
77.50 1.00
NaCl
75.00 0.50
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
Gambar 6.10. Cooking loss mi jagung akibat interaksi kadar air dan sodium klorida
94
. Kondisi Proses Optimum Pada tahap penelitian sebelumnya (optimasi suhu, kadar air dan kecepatan screw ekstruder) diperoleh hasil bahwa mi jagung yang dihasilkan memiliki tingkat kekerasan yang terlalu tinggi. Karena itu, pada pemilihan kondisi proses yang optimum pada pengaruh kadar air, passing dan penambahan sodium karbonat / sodium klorida , parameter optimum didasarkan pada tingkat kekerasan yang minimum, cooking loss minimum, kelengketan dan elongasi in range. Hasil analisis menggunakan RSM menunjukkan bahwa pada penggunaan garam sodium karbonat terdapat lima kondisi proses yang direkomendasikan dapat menghasilkan mi jagung dengan karakteristik yang mendekati seperti yang diharapkan. Nilai Desirability tertinggi adalah 0,836 pada kondisi proses kadar air 80%, sodium karbonat 0,11% atau 0,12% dan jumlah passing adalah 3 kali. Namun karakteristik kekerasan masih terlalu tinggi yaitu 2242,29 gf. Karakteristik yang lain adalah kelengketan 58,83 gf, elongasi 418,81% dan cooking loss 3,66%. Pada
penggunaan
direkomendasikan.
sodium
klorida,
terdapat
enam
kondisi
yang
Nilai Desirability lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan sodium karbonat yaitu sebesar 0,877. Nilai ini dicapai pada kondisi proses kadar air 80%, penambahan sodium klorida sebanyak 2% dan passing 3 kali. Mi yang dihasilkan pada kondisi ini memiliki skor kekerasan 1855,23 gf, kelengketan 35,86 gf, persen elongasi 576,38% dan skor cooking loss 2,62%.
Tabel 6.3. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada penggunaan sodium karbonat No Kadar Na2 CO 3 Air (%) (%0 1 80,00 0,12 2 80,00 0,11 3 80,00 0,09 4 80,00 0,18 5 80,00 0,18
Passing Kekeras an 3 3 3 2 2
2242,29 2284,01 2359,04 2318,99 2308,44
Kelengket Elongasi an 58,63 57,34 55,14 70,52 70,85
418,81 419,19 419,67 392,99 392,84
Cooking Desirability loss 3,66 3,53 3,32 4,12 4,15
0,836 0,836 0,831 0,785 0,875
Meskipun kekerasan mi jagung pada penggunaan sodium klorida masih lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan spaghetti (1855,23 gf berbanding 987,70 gf), namun penggunaan sodium klorida mampu menghasilkan mi jagung
95
yang lebih lunak dibandingkan dengan penggunaan sodium karbonat. Penggunaan sodium klorida juga menghasilkan mi dengan karakteristik kelengketan, elongasi dan cooking loss yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan sodium karbonat.
Desirability 0.836 0.711 0.586 0.461 0.335
0.60 80.00
0.45
77.50 0.30
75.00
Na2CO3 0.15
72.50
Kadar Air
0.00 70.00
Gambar 6.11. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada penggunaan sodium karbonat Tabel 6.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada penggunaan sodium klorida. No
1 2 3 4 5 6
Kadar Air (%) 80,00 79,30 80,00 80,00 80,00 79,72
NaCl (%)
Passing Kekeras an
2,00 2,00 2,00 1,93 2,00 2,00
3 3 2 2 1 1
Kelengket Elongasi an
1855,23 1850,13 1855,86 1877,37 2104,30 2115,49
35,86 36,54 35,55 35,68 39,38 42,35
576,38 569,34 520,99 521,77 420,41 418,16
Cooking Desirability loss 2,62 2,66 2,99 3,13 3,79 3,80
0,877 0,875 0,863 0,854 0,782 0,776
Desirability 0.877 0.768 0.658 0.549 0.440
2.00 80.00
1.50
77.50 1.00
NaCl
75.00 0.50
72.50 0.00 70.00
Kadar Air
96
KESIMPULAN
Penggunaan garam (sodium karbonat
dan sodium klorida) dapat
menghasilkan mi jagung yang lebih lunak (menurunkan kekerasan mi jagung). Pada penggunaan sodium karbonat, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium karbonat 0,11% atau 0,12% dan jumlah passing adalah 3 kali.
Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan
2242,29gf, kelengketan 58,83gf, elongasi 418,81% dan cooking loss 3,66%. Pada penggunaan sodium klorida, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium klorida 2% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 1855,23 gf, kelengketan 35,86 gf, persen elongasi 576,38% dan cooking loss 2,62%.
DAFTAR PUSTAKA Bhattacharya M, Corke H. 1996. Selection of desirable starch pasting properties in wheat for use in white salted or yellow alkaline noodles. Cereal Chem. 73(6) : 721-728. Chang YH, Lii CY. 1987. Characterization of some tubber starches and their noodle quality. Bull Inst Chem. 34 : 9 - 15.. Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss Society of F Sci Tech 41 : 642-651. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products [dissertation]. Wageningen University, The Netherlands. Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch : Physicochemical and functional aspects. In : Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. Marcell Dekker Inc. New York.
97
Hou G, Kruk M. 1998. Asian noodle technology. Asian Noodle : Tech Bulletin Vol XX, No 12. Koch K, Jane JL. 2000. Morphologial of granules of different starch by surface gelatinization with calcium chloride. J Cereal Chem. 77(2):115-120. Lawton BT, Henderson GA, Derlatka EJ. 1972. The effects of extruder variables on gelatinization of corn starch. J Chem Eng 50(4) : 168 - 177. Kusnandar F. 1998. Effect of processing conditions, additives and starch substitution on the quality of starch noodle [thesis]. Faculty of Food Science and Biotechnology Universiti Putra Malaysia. Malaysia. Matz SA. 1992. Snack Food Technology. Pan-tech International, Inc. USA. Mestres C, Colonna P, Buleon A. 1988. Characteristics of starch networks within rice flour noodle and mungbean starch vermicelli. J Food Sci. 53(6):18091812. Miskelly DM. 1996. The Use of Alkali for Noodle Processing. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA. Montealvo GM, Francisco JGS, Octavio PL, Luis ABP. 2008. Effects of nixtamalization on morphological and rheological characteristics of maize starch. J of Cereal Sci. 48(2) : 420-425. Moss HJ, Miskelly DM and Moss R. 1986. The effect of alkaline conditions on the properties of wheat flour dough and cantonese-style noodles. J Cereal Sci. 4(3) : 261 – 258. Oosten BJ. 1982. Tentative hyphothesis to explain how electrolytes effect the gelatinization temperature of starches in water. Starch / staerke 34(7) : 233 – 239 Shiau SY, Yeh AI. 2001. Effects of alkali and acid on dough rheological properties and characteristics of extruded noodles. J Cereal Sci. 33(1) : 27-37. Srichuwong S. 2006. Starches from different plant origins : from structure to physicochemical properties [dissertation). Mie University. Japan. Tan FJ, Dai WT, Hsu KC. 2009. Changes in gelatinization and rheological characteristics of japonica rice starch induced by pressure/heat combinations. J Cereal Sci. 49(2) : 285-289.
98
Van den Einde RM, Akkermas C, Van der Goot AJ, Boom RM. 2004. Molecular breakdown of corns starch by thermal and mechanical effect. J Carb Polym. 56(4) : 415-422. Wang N, Bhirud PR, Sosulski FW, Tyler RT. 1999. Pasta-like product from pea flour by twin-screw extrusion. J Food Sci, 64(4) : 671-677. Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue Ping L, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J Food Sci. Technol 5(4) : 339 – 346. Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem. 83(2) : 211-217. Xie SX, Liu Q, Cui SW. 2005. Starch Modification and Applications. In : Cui SW, editor. Food Carbohidrates : Chemistry, Physical Properties and Application. RC Taylor & Francis, Boca Raton FL.
99
PEMBAHASAN UMUM PENGARUH
UKURAN
GRANULA
BOBOT
TEPUNG
JAGUNG
TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG
Pada penelitian tahap pertama diperoleh hasil bahwa ukuran partikel tepung sangat berpengaruh terhadap profil gelatinisasi tepung jagung.
Semakin besar
ukuran tepung, semakin tinggi suhu yang diperlukan untuk gelatinisasi awal serta gelatinisasi maksimum namun semakin rendah viskositas puncak suspensi. Semakin besar ukuran tepung, diperlukan penetrasi panas dan penetrasi air yang lebih lama sehingga lebih sulit untuk terjadinya gelatinisasi. Semakin kecil dan semakin seragam ukuran tepung, proses gelatinisasi terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan sehingga viskositas maksimum tepung dengan ukuran lebih kecil akan lebih tinggi dibandingkan tepung kasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Waniska et al., (1999) bahwa partikel tepung yang lebih besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pengembangan dan gelatinisasi. Ukuran tepung jagung yang besar (tidak lolos ayakan 100 mesh) menghasilkan viskositas puncak yang rendah pada suhu tertinggi amilograf Brabender yaitu 97oC. Kurangnya mekanisme kompresi dan shear stress pada amilograf Brabender menyebabkan proses pemecahan (rupture) granula terhambat. Pengembangan granula pati dan pelepasan amilosa dari granula pati terjadi secara bertahap dimulai dari pati yang berada di sisi luar granula tepung, dan berlanjut ketika penetrasi air dan panas sudah mencapai bagian dalam granula. Menurut Srichuwong (2006), viskositas puncak ketika pengembangan pati mencapai titik maksimum dan viskositas akan menurun ketika pati mengalami rupture.
Pada
ganula berkuran besar ketika sebagian granula pati sudah mengalami rupture, sebagian yang lain baru mengembang. Hal ini yang menyebabkan viskositas tepung dengan ukuran besar lebih rendah dibandingkan dengan tepung berukuran kecil. Pada analisis profil gelatinisasi menggunakan amilograf Brabender, proses pengukuran dilakukan pada kondisi air yang berlebih (1000% berat tepung) dengan waktu proses dan peningkatan suhu yang terprogram secara gradual untuk tujuan
mendapatkan gelatinisasi yang sempurna bagi seluruh sampel yang dianalisa (termasuk tepung yang berukuran 60 mesh). Pada aplikasi pembuatan produk mi jagung digunakan ekstruder pemasakpencetak, kadar air adonan terbatas (70-80%) dengan waktu yang relatif singkat (50±1 detik). Kondisi seperti itu tidak memungkinkan terjadinya proses penetrasi air dan panas yang mencukupi untuk terjadinya gelatinisasi, sehingga tepung yang digunakan adalah tepung jagung yang berukuran lebih kecil (100 mesh). Profil gelatinisasi hasil penelitian tahap pertama disertasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot tepung, viskositas puncak adonan semakin tinggi. Gambaran profil gelatinisasi semacam itu ternyata sejalan dengan kekerasan mi yang dihasilkan, dimana semakin tinggi bobot tepung (semakin rendah kadar air) kekerasan mi semakin meningkat.
Jumlah air yang lebih sedikit menyebabkan
penetrasi air ketika pemasakan mi basah jagung, menjadi terbatas yang mengakibatkan mi lebih keras dibandingkan dengan mi yang dihasilkan dari adonan yang jumlah airnya lebih banyak.
PENGARUH GARAM (SODIUM KARBONAT DAN SODIUM KLORIDA) PADA OPTIMASI PROSES MI JAGUNG
Pada pengukuran profil gelatinisasi, retrogradasi ditunjukkan oleh viskositas dingin dari suspensi. Penambahan sodium klorida pada suspensi tepung jagung dapat meningkatkan reetrogradasi tepung jagung yang ditunjukkan dengan peningkatan viskositas dingin. Penambahan sodium karbonat mencegah terjadinya proses retrogradasi tepung, sehingga viskositas tidak mengalami kenaikan ketika suhu amilograf Brabender diturunkan sampai 50oC. Pengaruh penambahan sodium klorida terhadap viskositas dingin pada analisis profil gelatinisasi tepung jagung sejalan dengan kemampuan mi jagung untuk membentuk struktur yang kokoh yang ditandai dengan menurunnya cooking loss.
Pada proses ekstrusi mi jagung penambahan sodium klorida menurunkan
tingkat kekerasan.
Hal ini terjadi karena sodium klorida bersifat mengikat air,
sehingga ketika mi basah jagung dimasak, penetrasi air lebih mudah masuk ke dalam jaringan mi dan mi menjadi lebih lunak.
101
Penambahan sodium karbonat pada analisis profil gelatinisasi menurunkan viskositas dingin (kemampuan tepung untuk retrogradasi). Hal ini sejalan dengan karakteristik cooking loss mi ketika ditambahkan sodium karbonat pada adonan. Ion karbonat menghalangi terbentuknya ikatan hidrogen antar amilosa pada saat retrogradasi sehingga mudah lepas ketika pemasakan mi. Penambahan sodium karbonat pada analisis profil gelatinisasi dapat meningkatkan viskositas puncak suspensi, namun pada pembuatan mi justru menurunkan kekerasan mi. Hal ini terjadi karena penambahan sodium karbonat dapat menyebabkan terjadinya karbonasi sehingga terbentuk rongga pada jaringan mi. Penetrasi air lebih mudah sehingga mi menjadi lebih lunak.
OPTIMASI PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG Optimasi proses pembuatan mi jagung dapat dilakukan melalui proses teksturisasi yang dihasilkan dari gelatinisasi pati, dikombinasikan dengan mengatur tekanan, serta intensitas proses pencampuran dan pengadonan di dalam laras ekstruder pemasak-pencetak.
Pengaturan kombinasi faktor-faktor tersebut dapat
menghasilkan struktur mikro matriks ekstuudat yang optimal. Kombinasi optimal yang ingin dicapai pada dasarnya adalah proses gelatinisasi dan teksturisasi yang memungkinkan terbentuknya struktur matriks yang kompak, dan memnetuk dinding-dinding sel struktur mikro yang kontinyu. Proses pembentukan struktur matriks yang kompak dan kontinyu dapat ditunjukkan dari hasil-hasil fotomikrografi mi jagung. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang optimum, struktur mikro mi jagung terlihat mirip dengan struktur mikro mi terigu (Gambar 7.1). Jika kondisi proses yang diterapkan tidak optimal, maka proses gelatinisasi yang terjadi tidak memungkinkan terbentuknya struktur mikro yang baik. Struktur mikro yang terbentuk pada umumnya menjadi tidak kompak dan memperlihatkan banyaknya partikel atau granula tepung yang tidak membentuk struktur matriks yang kontinyu (Gambar 7.2.a).
Pada Gambar 7.2 ditunjukkan perlunya proses
teksturisasi yang optimal, yang dihasilkan dari kecepatan ulir minimal, untuk memungkinkan gelatinisasi dan pembentukan matriks ekstrudat yang baik. Pada kecepatan ulir yang terlalu rendah, yang mengakibatkan tekanan dan proses
102
teksturisasi kurang memadai, maka struktur mikro matriks mi jagung yang dihasilkan tidak kompak (Gambar 7.2.b).
a
b
Gambar 7.1. Struktur mikro mi jagung yang dihasilkan dari proses yang optimal (a) mirip dengan struktur mikro mi terigu (b).
a
b
Gambar 7.2. Struktur mikro mi jagung jika kondisi proses ekstrusi optimal (a) dan jika kondisi proses kurang mencukupi kebutuhan teksturisasi selama ekstrusi (b). Hasil penelitian struktur mikro di atas, dapat menerangkan alasan dan mekanisme tingginya cooking loss jika mi jagung dihasilkan pada kondisi proses yang tidak optimal. Data hasil penelitian tentang cooking loss menunjukkan jika kecepatan ulir terlalu rendah, maka cooking loss tinggi. Pada penelitian ini, mi jagung yang dihasilkan dari proses ekstrusi dengan kecepatan adonan melewati laras ekstruder (throughput) 105 gram/menit memiliki cooking loss sebesar 7,15± 0,11% dan dengan menaikkan kecepatan throughput adonan 120 gram/menit, cooking loss dapat diturunkan menjadi 5,56 ± 0,04%.
Hasil penelitian ini juga menjawab 103
buruknya kinerja mi jagung hasil penelitian Waniska et al. (1999) dan Charutigon et al. (2007). Kondisi pembatas proses ekstrusi dalam penelitian ini adalah konfigurasi struktur ulir, dari ulir pengangkut sampai ulir penghambat memiliki jarak (pitch) yang tetap namun dengan diameter poros ulir yang meningkat, konfigurasi ulir penghambat dan bagian metering, yang tidak dapat diubah-ubah. Rancangan ulir pada bagian metering, sudah didisain sedemikian rupa selain berfungsi sebagai pengaduk untuk menghomogenkan adonan, meningkatkan tekanan sekaligus juga mengarahkan aliran adonan menjadi laminer sebelum mencapai pencetak (die) (Gambar 7.3). Proses peningkatan tekanan dan kondisi teksturisasi di dalam ekstruder pemasak dan pencetak yang digunakan pada penelitian ini dihasilkan dari rancangan poros ulir yang meningkat diameternya dari sisi ulir pengangkut menuju ulir penghambat (Gambar 7.3) dan kecepatan putaran ulir, serta adanya ulir penghambat, dan ulir pengaduk/pengarah pada sisi metering. Ulir penghambat berfungsi membuat laju adonan relatif lebih lambat, sehingga jika kecepatan ulir meningkat, maka tekanan yang dialami adonan pada sisi ulir penghambat akan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan laju transfer masa adonan persatuan waktu dalam ruang laras ekstruder (yang tetap), sehingga mengakibatkan proses kompresi adonan lebih tinggi dibandingkan dengan laju putaran ulir yang rendah. Manipulasi peubah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tekanan dan optimisasi proses teksturisasi didalam ekstruder yang digunakan hanya dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan ulir. Proses peningkatan kecepatan ulir, secara simultan juga meningkatkan laju friksi, besarnya tekanan shear, dan meningkatnya intensitas proses pengadonan di dalam laras ekstruder. Hal ini berakibat pada meningkatnya pembentukan massa mi jagung yang lebih kompak dan mampu membentuk matriks dengan struktur kontinyu. Pada pembuatan mi jagung dengan ekstruder pemasak-pencetak, adonan tidak mengalami hambatan untuk masuk ke dalam ekstruder, dan mengalami kompresi yang cukup besar. Efek tekanan dan tekanan shear pada adonan terjadi karena konfigurasi pada ekstruder yang digunakan (Gambar 7.3), dimana diameter ulir yang meningkat dari sisi ulir pengangkut sampai ke ulir penghambat 104
menyebabkan adonan mengalami tekanan (kompresi) yang cukup besar pada sisi kompresi.
Metering Section
Zona Penghambatan
Compression Section
Feed Section
Gambar 7.3. Konfigurasi ulir pada ekstruder pemasak-pencetak yang digunakan dalam penelitian
MEKANISME PEMBENTUKAN ADONAN PEMBUATAN MI JAGUNG
Proses pembuatan mi dari tepung jagung dengan teknik ekstrusi pemasakpencetak memiliki kelebihan mampu menghasilkan mi jagung dengan tekstur yang kokoh yang dicirikan dengan cooking loss yang rendah dan elongasi yang tinggi. Mekanisme teksturisasi melalui kombinasi gelatinisasi, kompresi dan shear stress pada ekstruder pemasak-pencetak, tidak terpenuhi dengan teknik kalendering (rolling) dan esktruder pencetak seperti yang digunakan pada penelitian pembuatan mi jagung sebelumnya, termasuk dengan teknik pembuatan mi dari pati (ekstruder piston) seperti yang dilakukan Chen (2003). Kelebihan lain dari penggunaan ekstruder pemasak-pencetak adalah efisiensi energi dimana proses pemanasan untuk gelatinisasi tepung jagung terjadi di dalam ekstruder. Mekanisme ini berdampak pada proses gelatinisasi yang lebih sempurna karena penetrasi panas dan air terjadi secara simultan dengan pengadukan, pengadonan, kompresi dan shear stress. Ketika proses pencetakan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang tidak optimal, model perubahan adonan yang diusulkan seperti yang disajikan pada Gambar 7.4. Hanya sebagian saja pati yang terlepas dari granula tepung jagung dan mengalami gelatinisasi (Gambar 7.4.a), sedangkan sebagian pati yang lain masih terjebak dalam granula tepung jagung. Ikatan hidrogen yang terbentuk pada saat retrogradasi, sebagian terjadi antar amilosa yang keluar dari granula tepung, sebagian lagi terjadi secara “lokal“ dalam granula (Gambar 7.4.b). Karena itu struktur mi jagung yang diproses dengan tekanan dan shear stress yang tidak cukup, bersifat lemah dan mi akan mudah patah atau luruh ketika dimasak. Model ini 105
sejalan dengan mikro struktur mi jagung (Gambar 7.2.b) dimana granula tepung teridentifikasi sebagai individu yang belum menyatu dan tidak membentuk struktur mi yang homogen.
a
b Gambar 7.4. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang tidak optimal ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) Pada kondisi dengan tekanan dan shear stress yang cukup (Gambar 7.5), sebagian besar pati telah terlepas dari granula tepung dan mengalami gelatinisasi. Amilosa keluar dari granula pati menyebar ke semua bagian adonan sehingga pembentukan ikatan hidrogen ketika retrogradasi terjadi secara sempurna pada seluruh bagian adonan. Jaringan mi jagung menjadi kokoh dan tidak mudah luruh ketika dimasak.
Kondisi ini sejalan dengan mikrostruktur mi (Gambar 7.2.a)
dimana terlihat bahwa tekstur jaringan mi jagung kompak dan tidak terlihat individu granula tepung yang terpisah satu dengan lainnya.
106
a
a
b
Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang cukup ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) Model perubahan adonan yang diusulkan berbeda dengan model yang diusulkan Chen (2003) pada pembuatan mi dari pati dengan teknik ekstruder piston, seperti yang disajikan pada Gambar 7.6. Pada model ini nampak bahwa amilosa keluar dari sebagian granula pati yang telah digelatinisasi.
Bagian yang telah
tergelatinisasi berfungsi seperti gluten pada mi terigu.
Amylopectin
Amylose Ghost Native starch
Gambar 7.4. Model adonan pati yang diusulkan pada pembuatan mi (Chen, 2003)
Pada saat adonan dicetak dan mi masuk ke dalam air panas, sebagian besar pati akan mengalami gelatinisasi (Gambar 7.5.a). Ikatan hidrogen yang terjadi dapat menyeluruh pada seluruh bagian adonan (Gambar 7.5.b). Struktur mi pati menjadi kokoh ketika dingin.
107
a
b
Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi pati ketika mi dicetak masuk ke dalam air panas (a) dan ketika retrogradasi (b)
108
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Laju dan intensitas proses gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran granula tepung jagung. Pada tepung jagung dengan granula yang besar dengan distribusi ukuran yang lebar, cenderung menghasilkan viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan ukuran granula yang kecil dan sebaran ukuran yang sempit. Proses penetrasi panas dan air pada tepung jagung dengan granula yang besar dengan distribusi ukuran yang lebar, cenderung terjadi lebih lambat dan tidak serempak karena ketika pati pada sisi luar granula tepung telah tergelatinisasi, pati pada bagian dalam belum mengalami gelatinisasi. Ukuran granula tepung yang lebih kecil dengan distribusi yang sempit lebih sesuai untuk pembuatan mi dari tepung jagung menggunakan ekstruder pemasakpencetak karena waktu proses pemanasan yang singkat dan jumlah air yang ada sangat terbatas. Penambahan sodium klorida (NaCl) dan sodium karbonat (Na 2 CO 3 ) dapat meningkatkan viskositas puncak suspensi pada amilograf Brabender namun dapat menurunkan kekerasan mi jagung. Sodium klorida bersifat mengikat air sedangkan sodium karbonat kemungkinan mengakibatkan karbonasi selama proses ekstrusi di dalam laras esktruder yang mengakibatkan terbentuknya rongga pada ekstrudat mi basah, sehingga teksturnya lebih lunak. Proses penetrasi panas dan air secara simultan pada proses ekstrusi mi basah jagung dengan penambahan Na 2 CO 3 pada umumnya lebih mudah sehingga mi yang dihasilkan lebih lunak. Penambahan sodium klorida meningkatkan viskositas dingin dan menurunkan cooking loss mi jagung.
Penambahan sodium karbonat cenderung menghasilkan
viskositas dingin yang relatif lebih rendah dari pada pengaruh NaCl dan meningkatkan cooking loss mi jagung. Dua mekanisme yang berbeda ini kemungkinan disebabkan karena ion karbonat menghalangi terbentuknya ikatan hidrogen antar amilosa pada saat retrogradasi sehingga mudah lepas ketika pemasakan mi. Pembuatan mi dari tepung jagung membutuhkan mekanisme gelatinisasi, tekanan (kompresi) dan shear stress yang cukup untuk memungkinkan proses teksturisasi ekstrudat mi. Proses gelatinisasi pati secara sempurna diperlukan agar amilosa dapat keluar dari partikel pati, agar memungkinkan terbentuknya ikatan
hidrogen antar amilosa ketika retrogradasi sehingga struktur mi yang dihasilkan lebih kokoh. Visualisasi model pengokohan struktur mikro sebagai hasil proses gelatinisasi sempurna yang mengakibatkan struktur amilosa keluar dari partikel pati, dan peningkatan kekentalan dingin ekstrudat mi jagung telah digambarkan sebagai salah satu temuan penelitian ini, dengan dua kemungkinan mekanisme yang berbeda pada pembuatan mi dari pati dan tepung jagung.
SARAN Usulan model visualisasi proses teksturisasi mi jagung penelitian ini dihasilkan dengan adanya faktor pembatas operasi yaitu intensitas kompresi, penekanan (stress) dan peregangan (strain) selama pengadonan di dalam laras ekstruder merupakan “black box” teksturisasi karena konfigurasi ulir yang tidak dapat diubah-ubah. Asumsi yang digunakan adalah bahwa intensitas proses penekanan dan peregangan selama proses pengadonan di dalam laras ekstruder ulir tunggal diasumsikan ditentukan oleh konfigurasi dan model ulir di dalam laras, padahal berbagai proses teksturisasi dengan ekstruder menunjukkan bahwa: (1) proses teksturisasi untuk memanipulasi proses fisik di dalam laras ekstruder sangat dipengaruhi oleh rancangan (jumlah kombinasi), bentuk dan konfigurasi ulir, (2) manipulasi proses fisik (dan kimia) selama proses teksturisasi, dapat dilakukan dengan beberapa peubah lain yang tidak dapat dilakukan dalam penelitian ini, seperti injeksi uap air atau minyak dengan suhu dan tekanan yang berbeda-beda serta pada bagian ulir yang berbeda, selama proses tekturisasi berlangsung di sepanjang laras ekstruder. Dengan demikian dapat disarankan perlunya penelitian rekayasa proses pangan lebih lanjut, terutama untuk mengungkapan mekanisme teksturisasi, mempelajari berbagai faktor serta peubah yang belum dicakup dalam penelitian ini. Beberapa peubah teksturisasi dalam proses ekstrusi yang dapat disarankan untuk diteliti lebih lanjut, antara lain proses ekstrusi dengan ekstruder berulir ganda dan rancangan ulir yang berbeda, seperti ekstruder dengan ulir berputar simultan (co-rotating atau counter rotating screw). Pada proses ekstrusi dengan konfigurasi ulir yang dapat dimanipulasi sebagai peubah proses teksturisasi (dengan mengatur bagian-bagian ulir pengangkut, pengadonan, penghambatan, pengadukan, ulir maju (forward) maupun balik (reverse/backward), dan penelitian tentang mekanisme perubahan granula dan 110
mikrostruktur akibat besaran intensitas tekanan dan peregangan selama pengadonan di dalam laras ekstruder serta pengaturan intensitas, jumlah, lokasi dan waktu injeksi air, uap panas maupun minyak selama proses teksturisasi sepanjang laras ekstruder.
111
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2005. What’s new in version 7 (the highlights). http:///www.stat-ease.com [5 Mei 2006]. AOAC. 1995. Methods of analysis. Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budijanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Bas D, Boyaci IH 2007. Modeling and optimization I : usability of response surface methodology. J Food Eng 78:836-845. Bhattacharya M, Corke H. 1996. Selection of desirable starch pasting properties in wheat for use in white salted or yellow alkaline noodles. Cereal Chem 73(6):721-728. BeMiller JN, Wishler RL, Paschall EF. 1995. Starch : Chemistry and Technology Eds. Orlando, San Diego, New York, Toronto, London. Bourne MC. 1984. Food Texture and Viscosity : Concept and Measurement. Academic Press. New York. Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (corn gluten meal) dalam pembuatan mie jagung instan [skripsi]. Jurusan TPG – FATETA – IPB. Bogor. Chang YH, Lii CY. 1987. Characterization of some tubber starches and their noodle quality. Bull Inst Chem 34:9-15. Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss Society of F Sci Tech 41:642-651. Chaudary AL, Miler M, Torley PJ, Sopade PA, Halley PJ. 2008. Amylose content and chemical modification effects on the extrusion of thermoplastic starch from maize. Carb Polym 74(4):907-913. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products [dissertation]. Wageningen University, The Netherlands. Dalbon G, Grivon D, Pagani A. 1993. Pasta, Continuous Manufacturing Process. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA. Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrate: Functional Properties. In: Christen GL, Smith JS, editor. Food Chemistry: Principles and Applications. California: Science Technology System.
Derby RI, Miller BS, Miller BF, Trimbo HB 1975. Visual observation of wheat-starch gelatinization in limited water systems. Cereal Chem 52(5):702-709. Ellies HS, Ring SG, Whittam MA. 1988. Time-dependent changes in the size and volume of gelatinized starch granule on strorage. Food Hydrol 2(4):321-328 Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch : Physicochemical and Functional Aspects. In: Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. Marcell Dekker Inc. New York Feillet P, Dexter JE. 1993 Quality Requirements of Durum Wheat for Semolina Milling and Production. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA. Fellows PJ. 1990. Food Processing Technology. Ellis Horwood, Great Britain. Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York. Fitriani D. 2004. Kajian pengembangan produk, mikrostruktur dan analisis daya simpan mie jagung instan [tesis]. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Pangan – IPB. Bogor. Fuglie KO, Hermann M. 2001. Sweet potato post-harvest research and development in China. International Potato Center, Bogor. Frezier PJ, Crawshaw A, Daniels NWR, Eggitt PW. 1982. Optimisation of Process Variables in Estrusion Texturing of Soya. In: Jowitt R, editor. Extrusion Cooking Technology. Elsevier Applied Science Publisher. London and New York. Gujral HS, Singh N, Singh B. 2001. Extrusion behavior of grits from flint and sweet corn. Food Chem 74(1):303-308. Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by extrusion cooking. J Cereal Sci 43(1):38-46. Harper JM. 1981. Extrusion of Food, Volume I. CRC Press, Inc. Boca Raton – Florida. Henika RG. 1982. Use of response-surface methodology in sensory evaluation. Food Tech 9:91-101. Honesey RC. 1998. Principle of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Hou G, Kruk M. 1998. Asian noodle technology. Asian Noodle Tech Bull 20 No 12. Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Koch K, Jane JL. 2000. Morphologial of granules of different starch by surface gelatinization with calcium chloride. J Cereal Chem 77(2):115-120.
113
Kohlwei DE, Kendall JH, Mohindra RB. 1995. Using the physical properties of rice as a guide to formulation. Cereal Foods World 40(10):728-732. Konik CM. 2001. Evaluation of the 40 mg swelling test for measuring starch functionality. Starch/Starke 53(1):14-20 Kristen DD, James F. 2002. Use of a dual die for in-line extruder measurement of flow behavior indeks in starchy food. J Food Eng 55(1):79-88. Kuo WY, Lai HM. 2009. Effects of reaction condition on the physicochemical properties of cationic starch studied by RSM. Carb Polym 75(4):627-635. Kurniawati RD. 2006. Penentuan desain proses dan formulasi optimal pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan corn gluten meal (CGM) [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusnandar F. 1998. Effect of processing conditions, additives and starch substitution on the quality of starch noodle [thesis]. Faculty of Food Science and Biotechnology Universiti Putra Malaysia. Malaysia. Lawton BT, Henderson GA, Derlatka EJ. 1972. The effects of extruder variables on gelatinization of corn starch. J Chem Eng 50(4):168-177. Lasztity R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc., USA. Linko P, Harkonen H, Linko YY. 1984. Effect of sodium chloride in the processing of bread baked from wheat, rye and barley flour. J Cereal Sci 2(1):53-63. Liu Q. 2005. Understanding Starches and their Role in Foods. In: Cui SW, editor. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. RC Teylor & Francis, Boca Raton FL. Lorenz KJ and Karel K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. Basel. Luallen TE. 1985. Starch as a function ingredient. Food Tech 39(1):59-63. Matz SA. 1992. Snack Food Technology. Pan-tech International, Inc. USA. McManuis R. 2001. Using instrumental texture analysis to ensure product quality. Cereal Food Worlds 46(11):517-518. Mestres C, Colonna P, Buleon A. 1988. Characteristics of starch networks within rice flour noodle and mungbean starch vermicelli. J Food Sci 53(6):1809-1812. Miskelly DM. 1996. The Use of Alkali for Noodle Processing. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA.
114
Montealvo GM, Francisco JGS, Octavio PL, Luis ABP. 2008. Effects of nixtamalization on morphological and rheological characteristics of maize starch. J Cereal Sci 48(2):420-425. Moss HJ, Miskelly DM and Moss R. 1986. The effect of alkaline conditions on the properties of wheat flour dough and cantonese-style noodles. J Cereal Sci 4(3):261258. Muhandri T, Subarna. 2009. Optimasi Formula Dan Proses Pembuatan Mi Instant Jagung. Laporan Hibah Bersaing. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Nishita K, Bean MM. 1982. Grinding methods : their impact on rice flour properties. Cereal Chem 59:46-49. Oh NH, Seib PA, Finney KF, Pomeranz Y. 1986. Noodles. Determination of optimum water absoprtion of flour to prepare oriental noodles. Cereal Chem 74(6):814820. Oosten BJ. 1982. Tentative hyphothesis to explain how electrolytes effect the gelatinization temperature of starches in water. Starch / staerke 34(7):233-239. Pan Z, Zhang S, Jane J. 1998. Effects of extrusion variables and chemicals on the properties of starch-based binders and processing conditions. Cereal Chem. 75(4) : 541-546. Rianto BF. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor Shiau SY, Yeh AI. 2001. Effects of alkali and acid on dough rheological properties and characteristics of extruded noodles. J Cereal Sci 33(1):27-37. Smith OB. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980, Bangkok. Soraya A. 2005. Perancangan proses dan formulasi mi basah jagung berbahan dasar high quality protein maize varietas srikandi kuning kering panen [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sowbhagya CM, Bhattacharya KR. 2001. Changes in pasting behavior of rice during ageing. J Cereal Sci 34(2):115-124. Srichuwong S. 2006. Starches from different plant origins : from structure to physicochemical properties [dissertation]. Mie University. Japan. Subagio A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Review 1(3):1821.
115
Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough CM, Rooney LW, Waniska D. 2000. Cooking characteristic and quality of noodles from food sorghum. Cereal Chem 77(2):96100. Sun Y, Liu J, Kennedy JF. 2010. Application of RSM for optimization of polysaccharides production parameters from the roots of Codonopsis pilosula by a central composite design. Carb Polym 80(3):949-953. Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize starch differing in amylose content. Cereal Chem 82(4):475-480. Tan FJ, Dai WT, Hsu KC. 2009. Changes in gelatinization and rheological characteristics of japonica rice starch induced by pressure/heat combinations. J Cereal Sci 49(2):285-289. Van den Einde RM, Akkermas C, Van der Goot AJ, Boom RM. 2004. Molecular breakdown of corns starch by thermal and mechanical effect. J Carb Polym 56(4):415-422. Vidal AJ, Juliano BO. 1967. Comparative composition of waxy and non-waxy rice. Cereal Chem 44:86-95. Villareal RM, Resurreccion AP, Suzuki LB, Juliano BO. 1976. Changes in physicochemical properties of rice during storage. Cereal Chem 28(3):88-94. Wals DE, Gille, RA. 1974. Macaroni Products Wheat : Production and Utilization. AVI. Estport. Connecticut. Wang N, Bhirud PR, Sosulski FW, Tyler RT. 1999. Pasta-like product from pea flour by twin-screw extrusion. J Food Sci 64(4):671-677. Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue Ping L, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J Food Sci Technol 5(4):339-346. Wiersema SG. 1992. Sweet Potato Processing in The People’s Republic of China with Emphasis on Starch and Noodle. In: Scott GJ, Wiersema SG, Ferguson PI, editor. Proceeding Product Development for Root and Tuber Crops. I-Asia. CIP. Lima. Peru. Wirakartakusumah MA. 1981. Kinetics of starch gelatinization and water absorption in rice [dissertation]. Univ. of Wisconsin. Madison. Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem 83(2):211-217. Wurzburg OB. 1989. Modified Starches : Properties and Uses. Boca Raton: CRC Press.
116
Xie SX, Liu Q, Cui SW. 2005. Starch Modification and Applications. In : Cui SW, editor. Food Carbohydrates : Chemistry, Physical Properties and Application. RC Taylor & Francis, Boca Raton FL. Xu A, Seib P. 1993. Structure of tapioca pearls compared to starch noodles from mung beans. Cereal Chem 70(4):463-470. Zhang W, Jackson D.S. 1992. Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) flour pasting properties influenced by free fatty acids and protein. Cereal Chem 82(5):534-540.
117