KARAKTERISTIK PROTEIN SERUPA SILICATEIN DARI SPONGE ASAL PERAIRAN NIAS DAN LOMBOK
MRR. LUKIE TRIANAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ”Karakteristik Protein Serupa Silicatein dari Sponge Asal Perairan Nias dan Lombok”, adalah benar-benar merupakan karya saya sendiri dengan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi dan data yang berasal atau yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2007
Mrr. Lukie Trianawati F251034011/IPN
ABSTRAK MRR. LUKIE TRIANAWATI. F251034011. Karakteristik Protein Serupa Silicatein dari Sponge Asal Perairan Nias dan Lombok. Dibimbing oleh Prof. Dr. Maggy T Suhartono, Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc dan Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc. Penggunaan bahan dasar silika yang berstruktur nano di industri pangan makin berkembang sebagai bahan pengemas aktif, biosensor, penyaring dan antikoagulan. Saat ini bahan dasar silika berstruktur nano dilakukan dengan proses yang menggunakan suhu, pH dan tekanan yang ekstrim serta menggunakan surfaktan. Cara lain untuk membuat silika berstruktur nano adalah menggunakan biokatalis protein serupa silicatein. Protein silicatein diisolasi dari sponge laut diketahui dapat membantu polimerisasi silika pada substrat Tetraethylorthosilicate (TEOS) pada suhu ruang dan pH netral. Sponge yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari perairan Nias (N6 dan N20) dan perairan Lombok (MT5, MT36, MT37), Indonesia. Protein diperoleh dengan cara mengisolasi spikula silika terlebih dahulu dari tubuh sponge menggunakan larutan Natrium Hipoklorit 10%. Rendemen spikula silika tertinggi yang diperoleh dengan perendaman larutan 3N HNO3/ 3N H2SO4 dan pencucian dengan aseton 2x diperoleh dari sponge MT37 yaitu sebesar 58% dari berat kering sponge. Rendemen protein tertinggi yang diperoleh dari pelarutan silika spikula dengan larutan buffer 2.5 mM HF/NH4F pH 5 selama 2 jam adalah dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37 berturut-turut sebesar 3.11%, 0.30%, 3.93%, 7.32% dan 58.5% dari berat kering sponge. Dengan metode Bradford, kandungan protein tertinggi spikula silika adalah dari sponge N6, MT5, MT36, MT37 yaitu 0.012 mg/ml, 0.042 mg/ml, 0.05 mg/ml dan 0.21 mg/ml. Hasil analisa SDS-PAGE menunjukkan bahwa berat molekul protein serupa silicatein dari spons N6 adalah 32, 27, 23 kD sedangkan MT36 dan MT37 adalah 15.5 kD dan 18kD. Ekstrak protein serupa silicatein sebanyak 250 ml dengan kandungan protein sebanyak 0.004 mg/ml direaksikan dengan 1 ml TEOS 13.5 µmol yang diinkubasi selama 12 jam pada pH 6.8 suhu 26oC menghasilkan aktivitas polimerisasi tertinggi sebesar 144 µmol/ml. Penghambatan aktivitas protein dari sponge MT37 dan MT5 oleh senyawa Phenylmethylsulfonylfluorida (PMSF) 1mM sebesar 38.8% dan 35.5% menunjukkan bahwa protein serupa Silicatein yang diisolasi diduga kuat mempunyai sisi aktif serin. Hasil studi kinetika reaksi menunjukkan bahwa reaksi protein serupa silicatein dari sponge MT37 dengan TEOS mengikuti persamaan Michaelis-Menten dengan nilai Vmax yang diperoleh adalah 0.001 µmol/detik, nilai Km yang sebesar 0.01 µmol/ml dan nilai Kcat adalah 0.04 µmol/detik.
Kata kunci: protein serupa silicatein, sponge, polimerisasi
©Hak cipta milik Mrr. Lukie Trianawati, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apaapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KARAKTERISTIK PROTEIN SERUPA SILICATEIN DARI SPONGE ASAL PERAIRAN NIAS DAN LOMBOK
MRR. LUKIE TRIANAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: KARAKTERISTIK PROTEIN SERUPA SILICATEIN DARI SPONGE ASAL PERAIRAN NIAS DAN LOMBOK : Mrr. Lukie Trianawati : F251034011/ILMU PANGAN
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono Ketua
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc. Anggota 2. Ketua program Studi Ilmu Pangan 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Tanggal Ujian: 3 Januari 2007
Dr. Ir. Chairil Notodiputro, MSi
Tanggal lulus :
PRAKATA Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya, penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian yang berjudul Karakteristik Protein Serupa Silicatein dari Sponge Asal Perairan Nias dan Lombok ini dilaksanakan dari bulan Januari 2006 sampai dengan Agustus 2006. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. dan Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc. sebagai komisi pembimbing atas seluruh bimbingan dan perhatian yang telah diberikan. Terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar selaku dosen penguji luar komisi atas semua masukan yang diberikan. Terimakasih penulis sampaikan kepada Ketua Program studi Ilmu Pangan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., Kepala Pusat Studi Ilmu Hayat dan Bioteknologi, Dr. Ir. Suharsono, Pimpinan Badan Riset Kelautan dan Perikanan atas sampel sponge serta kepada Dr. Ir. Azwar selaku Kepala Laboratorium Material Science UI atas ijin penggunaan peralatan SEM. Terimakasih yang tidak terhingga kepada Ibunda tercinta yang telah mendampingi penulis selama menyelesaikan sekolah dan juga atas doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terimakasih yang sulit diungkapkan kepada suamiku tersayang Zulkifli, MSi. atas semua bentuk dukungannya, juga kepada anak-anakku Aminullah Basyir Yusuf Al-Birru (Abya) dan Mighdad Yasser Al-fafa (Yasser) atas semangat dan cerianya. Terimaksih juga kepada Ayahanda (Alm), kakak-kakak dan adik-adik tercinta atas dukungannya. Terimakasih penulis sampaikan kepada Hj. Ika Malikah atas bantuan teknis dan semangat, juga kepada Mbak Ari, Bu Eni, M Pepi, B Dewi dan teman-teman seperjuangan di lab MB Agnes, Ibu Sri Rahayu, Ibu Rika, M Rudi, Bu Siti, Inda, Feni, Prasna atas diskusi, semangat dan candanya. Juga kepada Uni, P Nur, M Echa, P Budi, Erni, Nani dan teman-teman IPN 2003 dan 2004 atas semangat dan kebersamannnya. Tak lupa disampaikan terimakasih kepada Tim Hibah penelitian Dasar atas bantuan dana penelitiannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kemaslahatan di muka bumi ini. Mrr. Lukie Trianawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 20 Agustus 1976 sebagai anak ketiga dari pasangan Drs. M. Kamiadi (Alm.) dan Hariatin. Penulis menyelesaikan program Diploma II Supervisor Jaminan Mutu Pangan IPB pada tahun 1997. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan program Strata I dari jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Djuanda sebagai wisudawan terbaik tingkat fakultas. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi Strata 2 pada Program studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang......................................................................................
1
Tujuan Penelitian...................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA Sponge...................................................................................................
4
Struktur Sponge.....................................................................................
8
Protein Silicatein...................................................................................
11
Polimerisasi Silika.................................................................................
12
Silikon dan senyawanya........................................................................
14
Aplikasi Silika Berpori..........................................................................
16
Kinetika Reaksi Polimerisasi Asam Silikat...........................................
18
Penghambatan Reaksi Enzim................................................................
18
Isolasi Protein dan Analisis Berat Molekul...........................................
21
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat......................................................................................
21
Metode Penelitian ................................................................................
21
Pengumpulan Sampel Sponge......................................................
22
Isolasi Spikula Silika Sponge.......................................................
22
Isolasi Crude Protein Serupa Silicatein .......................................
23
Penghitungan Jumlah Agregat Protein Serupa Silicatein.............
23
Analisis Kadar Protein.................................................................
24
Analisis SDS Page........................................................................
24
Uji Aktivitas Protein Serupa Silicatein........................................
25
Studi Kinetika Protein Serupa Silicatein......................................
25
vii
Uji Inhibitor Spesifik Serin..........................................................
26
Analisis SEM Silika Hasil Polimerisasi.......................................
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Identitas Sponge................................................................................
32
Rendemen Spikula Silika........................…...................……………
34
Isolasi dan Bentuk Protein Serupa Silicatein.....................................
35
Jumlah Agregate Protein Serupa Silicatein dalam Larutan...............
36
Konsentrasi Protein Serupa Silicatein...............................................
37
Berat Molekul Protein Serupa Silicatein...........................................
38
Aktivitas Protein Serupa Silicatein dengan TEOS.................….......
43
Karakter Kinetika Reaksi Protein Serupa Silicatein.……………….
45
SEM Silika Hasil Polimerisasi..........................................................
48
Pendugaaan Sisi Aktif.......................................................................
49
SIMPULAN DAN SARAN……………………………………….
50
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
51
LAMPIRAN.................................................................................................
55
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi (Suhartono 1989)......................................................................
Tabel 2.
17
Konsentrasi akrilamida yang dibutuhkan untuk mencapai kisaran pemisahan tertentu.......................................................
20
Tabel 3.
Ciri fisik sponge dan Spikula...................................................
31
Tabel 4.
Konsentrasi protein serupa silicatein........................................
36
Tabel 5.
Jumlah TEOS terpolimerisasi per menit...................................
42
Tabel 6.
Jumlah TEOS terpolimerisasi per partikel protein...................
42
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Gambar 2.
Struktur tubuh sponge (http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/porog.html)........ Pembentukan spikula oleh sel schlerocytes (Kozlof 1990)......................................................................
4 7
Gambar 3.
Tipe spikula Megascleres (A) dan Microsleres (B) (Kozlof 1990).....................................................................
Gambar 4.
SEM dari spikula (Aizenberg 2004)..................................
7
Gambar 5.
Bentuk nano sphere dari lapisan spikula silika sebelum dan sesudah pelarutan dengan HF (Weaver et. al. 2003)...................................................................................
8
SEM dari proses sekresi spikula silika dan filamen protein (Aizenberg 2004)....................................................
9
Susunan filamen protein dalam spikula silika (Croce 2004).......................................................................
9
Gambar 8.
Model tiga dimensi Silicatein (Shimizu et. al. 1998) ........
10
Gambar 9.
Jaringan Tiga Dimensi silikon dioksida dalam spikula silika (http://www.batnet.co/enigmatics/semiconductor_process ing/CVD_Fundamental/flims/SiO2_properties.html..........
11
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Mekanisme korosi silicon berpori oleh katalis metal komplek (http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317)... Mekanisme korosi silicon berpori melalui deteksi molekuler dari antibody ya ng dilabel enzim (http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317)... Sponge N6 (a), spikula silika dari sponge N6 pada perbesaran 4x (b) dan spikula T.aurentia (Weaver et.al. 2003)...................................................................................
15
16
26
Sponge N20 spikula silika dari sponge N20 pada perbesaran 200x (b)............................................................
27
Sponge MT5 dibawah permukaan air laut (A) dan MT5 diatas permukaan air laut (B).............................................
28
x
Gambar 15.
Bentuk spikula silika MT5 perbesaran 200X.....................
29
Gambar 16.
Sponge MT36 Sponge MT36 (A) dan bentuk spikula silika sponge MT36 dengan perbesaran 200X (B).......................................................................................
29
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20.
Gambar 21.
Gambar 22.
Gambar 23.
Gambar 24. Gambar 25.
Sponge MT37 (A) dan bentuk spikula silika MT5 perbesaran 200X (B)...........................................................
30
Perbandingan rendemen spikula silika dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37, ST1 (Nurjanah 2006) dan T.aurentia (Shimizu et.al. 1998)........................................
32
Agregat protein sponge T.aurentia (Shimizu et.al. 1998) (a), N6 (b), N20 (c), MT5 (d), MT36 (e), MT37 (f) pada perbesaran 400x..................................................................
34
Grafik perbandingan jumlah agregat protein dari Sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37, dan ST1 (Nurjanah 2006)...................................................................................
35
Perbandingan konsentrasi protein N6, N20, MT5, MT36, MT37 dan T.aurentia (Shimizu et.al.1998).......................
36
Hasil SDS-PAGE Silicatein T.aAurentia (Shimizu et.al. 1998) Marker LMW, protein serupa silicatein N6, MT5 dan MT37...........................................................................
37
Grafik pembentukan polimer silika oleh protein serupa silicatein dari MT5 dan MT37..........................................
39
Mekanisme reaksi Silicatein terhadap substrat TEOS (Cha et al. 1999)................................................................
41
Hubungan antara konsentrasi substrat dan kecepatan reaksi polimerisasi..............................................................
43
Gambar 26.
Grafik Linier hasil transformasi reaksi protein serupa silicatein MT37 dengan TEOS...........................................
44
Gambar 27.
Hasil SEM nuklei polimer silika pada tahap 1 (A) dan agregat nuklei polimer silika (B).......................................
46
Gambar 28.
Tahapan pengaruh protein terhadap polimerisasi silika......
47
Gambar 29.
Struktur kimia PMSF..........................................................
49
Gambar 30.
Grafik penurunan aktivitas protein serupa Silicatein sponge MT5 dan MT37.....................................................
49
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sponge..........................
55
Lampiran 2.
Pereaksi Bradford, Pereaksi untuk SDS-PAGE dan Pereaksi untuk Colorimetric Molybdate Assay...................
56
Lampiran 3.
Komposisi Gel Penahan dan Pemisah SDS-PAGE………
59
Lampiran 4.
Kurva Standar BSA dan TEOS…………………………...
58
Lampiran 5.
Susunan dan perbandingan Silicatein a dengan Cathepsin-L manusia. ………………………...................
60
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Saat ini pemakaian alat-alat dan bahan yang memanfaatkan struktur nano semakin banyak. Salah satu bahan berstruktur nano yang banyak penggunaannya adalah silika yang sering disebut juga sebagai nanosilika atau silika nanosphere. Struktur seperti inilah yang saat ini terus berkembang pemakaiannya di industri pangan, kosmetik, medis maupun elektronik. Khusus dalam industri pangan, silika yang berstruktur nano dimanfaatkan untuk menghasilkan kemasan aktif, penjernih/filter, antikoagulan, dan bahan dasar chip untuk biosensor. Data dari Helmut Keiser menyebutkan penjualan produk kemasan makanan dan minuman berstruktur nano melonjak pada tahun 2004 sebesar US $860m dari US $ 150m pada tahun 2002. Lux Research mencatat bahwa
perusahaan
raksasa
seperti
Kraft,
Altria
dan
Unilever
juga
mengaplikasikan smart packaging berbahan silika karena lebih bersifat inert (tidak mudah bereaksi), tahan terhadap suhu tinggi dan oksigen, tahan terhadap bakteri dan virus serta berpenampilan menarik (El Amin 2005). Beberapa kendala selama proses pembuatan silika yang berstruktur nano saat ini adalah proses yang harus menggunakan kondisi ekstrim yaitu kondisi yang sangat asam atau basa, memerlukan suhu dan tekanan yang tinggi serta menggunakan surfaktan yang dapat mencemari lingkungan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu diantaranya adalah eksplorasi pembuatan biosilika. Biosilika merupakan struktur nano silika yang dibuat oleh organisme secara alamiah, diantaranya oleh biota laut seperti sponge (Phylum porifera) dan diatom (Bacillariophyta). Sponge laut mampu membentuk struktur padat silika mulai dari skala kecil (nano) dengan morfologi yang teratur dan spesifik yang merupakan hasil pengontrolan secara genetik. Pembentukan struktur silika pada sponge dapat terjadi pada kondisi suhu dan tekanan yang ambient dan pH netral. Pada sponge, pembentukan struktur silika ini melibatkan suatu protein yang dikenal dengan protein silicatein yang pertama kali diisolasi dari sponge Tethya aurantia (Cha et al. 1999). Filamen protein terdapat di bagian center core
1
dari striated shell spikula silika yang terdiri dari lapisan- lapisan silika (Aizenberg 2004). Saat terjadinya pengumpulan silika di dalam sel sklerosit, filamen protein yang tidak bersilika dan bersilika terdapat di sel yang sama. Oleh karena itu filamen protein ini diduga berperan dalam pengumpulan silika (Shimizu et al. 1998). Penelitian yang telah dilakukan Nurjanah (2006) menunjukkan bahwa protein serupa silicatein yang diisolasi dari sponge ST1 memiliki potensi yang tinggi sebagai katalis biologis untuk polimerisasi silika. Aktivitas tertinggi dari sponge ST1 adalah sebesar 22.4µmol/ml TEOS dengan lama inkubasi selama 12 jam.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan isolasi dan karakterisasi protein serupa silicatein dari sponge N6 dan N20 dari perairan Nias dan sponge MT5, MT36, MT37 dari perairan Lombok.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Sponge Sponge merupakan hewan multiseluler dari Phylum porifera. Hewan ini tidak bergerak, sebagian besar hidup di laut dan mampu menyaring air melalui suatu matrik untuk memperoleh partikel makanan dan substansi terlarut lainnya. Sponge ini tidak mempunyai jaringan yang sebenarnya (parazoa), tidak memiliki otot, urat syaraf, dan organ internal lainnya. Kemiripan koloni sponge dengan choanoflagellata membuat sponge berevolusi dari organisme uniseluler ke multiseluler. Lebih dari 5000 spesies sponge moderen yang diketahui yang hidup menempel pada permukaan dari zona intertidal hingga pada kedalaman laut 8500 m (29000 feet) atau lebih. Secara garis besar taksonomi sponge pada filum porifera terbagi menjadi 4 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, Demospongiae dan Sclerospongiae dari sponge coralline (Kozloff 1990; Brusca and Brusca 1990). Keempat kelas ini dibedakan berdasarkan bentuk dari skeleton internal (spikula) dan masing- masing kelas mempunyai ciri-ciri tersendiri. Kelas Calcarea mempunyai spikula yang terdiri dari kalsium karbonat, bentuk spongenya relatif kecil dan sederhana, contoh kelas ini adalah Sycon dan Grantia. Kelas Sclerospongiae mempunyai spikula yang mengandung kalsium karbonat, calcite atau aragonite, mempunyai tekstur yang kuat dan umumnya hidup pada palung yang dalam. Kelas Hexactinellida atau dikenal dengan glass sponge mempunyai spikula yang terdiri dari silika dengan bentuk silindris yang simetrik dengan 6 sudut, hidup pada kedalaman lebih dari 50 m (Brusca and Brusca 1990). Kelas Demospongiae merupakan kelas yang terbesar, meliputi 95% dari semua spesies sponge, spikulanya terdiri dari silika, umumnya tidak mempunyai bentuk yang teratur atau asimetrikal, termasuk dalam kelas ini adalah bath sponges, fresh water sponges dan boring sponges. Umumnya sponge yang masuk dalam klas ini banyak memproduksi silika dan telah diisolasi proteinnya, termasuk dalam kelas ini adalah Tethya aurentia dan Suberitus dumuncula. Sponge dapat berreproduksi secara seksual maupun aseksual. Reproduksi secara seksual diawali dengan pengeluaran semen dari tubuh sponge menyebar di
dalam air dimana terdapat telur sponge. Selanjutnya akan terjadi fertilisasi internal yang akan menghasilkan larva sponge yang bersifat motil. Reproduksi aseksual terjadi melalui tunas (budding), dimana potongan kecil sponge jatuh ke sponge utama dan tumbuh berkembang menjadi satu sponge baru. Pada lingkungan yang kurang sesuai, sponge dapat membentuk struktur kecil yang disebut gemmule yang mirip dengan endospora bakteri. Gemmule terbentuk dari amoebocyte yang dikelilingi oleh suatu lapisan spikula dan dapat bertahan hidup pada kondisi buruk. Ketika kondisi lingkungan berangsur baik, maka gemmule mulai tumbuh berkembang menjadi sponge dewasa.
Struktur Sponge
Penampakan Mikroskopis Dinding Porifera Spikula Sel Archaeocyte Sel Sclerocyte
Jaringan Mesohyl Sel Pinacocyte Sel Choanocyte Sel Porocyte Pori-pori Saluran air
Aliran air
Flagela
Tabung Bagian luar
Bagian dalam
Gambar 1. Struktur tubuh sponge (http://www.ucmp.berkeley.edu/porifera/pororg.html)
4
Sponge tidak mempunyai struktur tubuh yang jelas, karena tidak mempunyai batas jaringan yang nyata (Brusca and Brusca 1990, Hawking & Smith 1997). Sponge juga mempunyai warna dan ukuran yang beragam. Warna sponge ada yang putih, abu-abu, kuning, orange, merah atau hijau. Sponge yang berwarna hijau umumnya disebabkan oleh adanya alga yang bersimbiotik (zoochlorellae) di dalam sponge. Sponge berukuran mulai dari sebesar kepala jarum pentul sampai berukuran diameter 0,9 m dan tebal 30,5 cm. Bagian tubuh sponge terdiri dari sistem saluran (canal), sistem kerangka dan sel somatik (Gambar 1). Sistem saluran ini bertindak seperti halnya sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi. Sistem ini merupakan jalan untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk saluran pembuangan. Ada tiga macam sistem, yaitu askon, sikon dan ragon. Sel-sel sponge mempunyai fungsi-fungsi khusus dan pembagian kerja yang jelas. Sel-sel ini dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu sel yang menyusun lapisan kulit, sel yang membentuk organ skeleton, dan sel yang terletak di dalam jaringan mesohyl (sel amoeboid), yang berdiferensiasi dan mempunyai fungsi tertentu (Brusca and Brusca 1990, Hawking & Smith 1997). Sel yang menyusun kulit terdiri dari sel pinacocytes, porocytes, dan coanocyte. Sel pinacocyte merupakan sel penyusun lapisan permukaan sponge (seperti sel epitel pada hewan) yang membentuk pinacoderm. Sel ini berbentuk datar dan saling bertindihan, yang diselingi juga sel pinacocyte berbentuk T. Porocytes merupakan sel yang berbentuk silinder seperti tabung yang menjadi tempat masuknya air yang membawa makanan. Makanan disimpan dalam vakuola makanan dan dikirim ke sel disampingnya (sel amoeboid) tempat mencerna makanan (Brusca dan Brusca 1990) Sel
yang
membentuk
organ
skeleton
terdiri
dari
sel sclerocytes,
collencytes, lophocytes dan spongocytes. Sel sclerocytes bertanggung jawab memproduksi spikula silika atau spikula karbonat (Brusca dan Brusca 1990). Sel yang terdiri dari mitokondria, mikrofilamen sitoplasma dan vakuola kecil ini dapat menyimpan kalsium karbonat atau silika dan menyusunnya menjadi spikule atau silica spicule. Satu sel sclerocytes dapat menghasilkan 1 silika atau beberapa sel bekerja sama untuk menghasilkan 1 spikula (Gb. 2).
5
Nukleus pusat
Sel penebal
Nukleus peripheral
Spikula
Sel pendiri
Gambar 2. Pembentukan spikula oleh sel sclerocytes (Kozloff 1990)
Sel
collencytes
dan
lophocytes
bentuknya
hampir
sama
dengan
pinacocytes, berfungsi untuk menghasilkan kolagen, sedangkan sel spongocytes memproduksi serat seperti kolagen yang disebut spongin. Spongin adalah senyawa kimia yang menyerupai struktur sutera, yang dihasilkan oleh sel berbentuk toples yang disebut spongoblast. Sel yang terletak di jaringan mesohyl adalah myocytes, archaeocytes dan rhabdiferous. Sel myocytes merupakan sel kontraktil.
Sel archaeocytes berukuran besar, sangat motil dan mempunyai
peranan penting dalam mencerna dan mentransport makanan. Sel ini mempunyai sejumlah enzim pencernaan (seperti acid phospatase, amilase, protease, lipase) dan menerima bahan phagocyt dari choanocytes. Sel rhabdiferous merupakan sel dalam mesohyl yang berukuran paling besar mengandung mucopolisakarida (Brusca and Brusca 1990). Semua sponge, kecuali yang termasuk ordo kecil Myxospongia, dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat dan silika dalam bentuk spikula atau dari spongin dalam bentuk serat yang menyatu. Sponge tidak dapat berdiri tegak jika tidak ada spikula atau spongin menopang tubuh sponge dan mencegah rontok yang memungkinkan adanya saluran dan ruangruang bercambuk. Spikula silikon tersusun dari opal, suatu bentuk silika terhidrasi seperti kuarsa dalam struktur kimianya.
6
Berdasarkan ukurannya spikula dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu megascleres (Gb3a) dan mikroscleres (Gb. 3b). Pada sponge kelas Hexactinellida umumnya kedua tipe ini ada, dengan bentuk hexactinal. Pada sponge kelas Demospongiae tipe megacleres ada dan terkadang bersamaan dengan tipe microscleres (Brusca and Brusca 1990).
Gambar 3. Tipe spikula. A. Megascleres dan B. Mikroscleres (Kozloff 1990)
Nanosphere ini tersusun secara berlapis (Streated shell) dengan tebal sekitar 20 µm dan di tengah terdapat pusat silinder. Pada pusat silinder inilah protein silicatein berada dengan ukuran diameter sekitar 0,5 µm (Gb.4) (Aizenberg 2004). Pada pusat silinder ini tersimpan kandungan silika yang paling tinggi dibandingkan dengan bagian di luarnya. Ukuran silika spikula yang dijumpai pada T. aurantia mempunyai diameter sekitar 30 µm (Shimizu 1998).
Pusat
Gambar 4. SEM dari spikula, SS= Streated shell, CC=Cylinder Core (Aizenberg 2004)
7
250
100
Gambar 5. Bentuk nanosphere dari lapisan spikula silika dengan AFM (A) dan spikula silika setelah dilarutkan dengan HF dengan SEM (B) (Weaver et al. 2003)
Masing- masing lapisan spikula silika terdiri dari polimer silikon dioksida (SiO 2 ) yang membentuk silika nanosphere setebal 0,8-1,0 µm. Gambar 5a. merupakan hasil pengamatan kumpulan annular silika pada sisi spikula silika secara longotudinal menggunakan Atomic Forces Micrograph (AFM). Tanda panah menunjukkan bahwa ketebalan satu lapisan merupakan monopartikel (A). Sedangkan gambar 5b. memperlihatkan hasil SEM nanopartikel silika penyusun spikula silika setelah dilarutkan dengan HF.
Protein Silicatein Protein silicatein merupakan protein yang menjadi katalis reaksi pembentukan biosilika dari sponge T. aurantia (Shimizu et al. 1998). Protein ini diproduksi di dalam sel sclerocytes yang kemudian disekresikan ke membran vakuola tempat terdepositnya asam silikat. Di dalam vakuola, protein terus memanjang dan dilapisi dengan silika yang terkondensasi dan terpolimerisasi olehnya. Setelah membentuk spikula dengan panjang yang cukup, protein dan spikula ini disekresikan ke luar sel. Sekresi protein ini dibuktikan dari foto mikroskop electron pada Gambar 6 (Aizenberg 2004). Pada Gambar 6f terlihat proses pemanjangan sel seiring dengan tumbuhnya protein dan silika spikula. Pada Gambar 6g, spikula 1 (s1) telah dikeluarkan dan sel siap membuat protein dan spikula berikutnya (s2). Dalam sel ini banyak ditemukan mitokondria yang mengindikasikan bahwa pembentukan protein ini memerlukan banyak energi.
8
Gambar 6. SEM dari proses sekresi silika spikula dengan protein filamen s1= spikula, s2= spikula2, n= lisosome (Aizenberg 2004) Pada gambar 7a. terlihat gambar dua dimensi susunan filamen protein yang berbentuk hexagonal, sedangkan gambar 7c. memperlihatkan susunan filament protein pada spikula sponge G. cydonium dari kelas Demospongiae dan gambar 7c. menunjukkan susunan filamen protein pada spikula sponge Suberitas joubini dari kelas Hexactinellida dengan me nggunakan X-ray fiber diffraction dengan SAXS bemline dari radiasi ELETRA synchrotron.
Gambar 7. Gambar 2D susunan filamen protein (a), susunan filamen protein dari sponge Demospongiae (b) dan susunan filamen protein dalam spikula silika Hexactinellida (Croce 2004) Hasil analisa SDS-PAGE, protein silicatein dari sponge T. aurentia mempunyai tiga pita protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian disebut sebagai 3 subunit α,β dan γ karena susunan asam amino ketiga
9
protein hampir sama (Shimizu et al. 1998). Peneliti lain menyebutnya sebagai 3 protein isomer, karena satu subunit saja mampu melakukan reaksi katalisis sendiri terlepas dari sub unit lainnya. Ketiganya tersusun secara berulang membentuk protein filamen, diduga melalui ikatan nonionik dan nonkovalen, karena ikatan antar subunit mudah putus oleh penambahan SDS atau urea.
Hasil analisis
densitomer silicatein α merupakan bagian terbesar sekitar 70% dengan perbandingan silikatein α,β dan γ =12:6:1 (Shimizu et al. 1998). Sekuens dari silikatein α ini mempunyai homologi yang tinggi dengan famili cathepsin- L dari grup cystein protease. Persamaan ini pertama terletak pada residu asam amino pada sisi aktif yaitu His dan Asn, dan yang kedua terdapat mekanisme pemotongan proprotein menjadi protein matang, masing- masing mengandung 6 sistein yang membentuk jembatan disulfida (Shimizu et a.l 1998). Berdasarkan kesamaan struktur ini diduga model tiga dimensi dari protein ini seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Model 3 dimensi silicatein disulfida (Shimizu et a.l. 1998)
Krasko et al. (2000) berhasil mengisolasi silicatein dari sponge Suberites domuncula dan menemukan bahwa ekspresi gen penyandi silikatein dikontrol secara positif oleh kehadiran substrat asam silikat. Protein ini mempunyai 79% homologi dengan silicatein dari T. aurantia dan tersusun dari 331 asam amino dengan berat molekul proprotein 36306 dan 23125 untuk protein matang.
10
Kecepatan sponge dalam membentuk spikula dari silika sangat tinggi, sekitar 5 µm per jam. Mekanisme pembentukan biosilika oleh protein ini belum banyak dimengerti. Diduga banyaknya asam amino hidroksil (serine, tirosin, dan treonin) pada silicatein berpengaruh besar pada proses biosilifikasi. Hal ini didasarkan pada penelitian Perry dan Lu (1992) yang meneliti pembentukan silikon cathecolat pada tanaman, yang melibatkan protein yang banyak mengandung gugus hydroxil. Begitu pula protein yang diduga pembentuk silika pada diatom mengandung sejumlah besar asam amino hidroksil (Kroger, 1994; Kroger, 1997). Pembentukan biosilika pada sponge bersifat spesifik untuk setiap spesies diduga melibatkan protein sebagai katalis yang berbeda pula. Demikian pula lingkungan yang berbeda diduga berpengaruh terhadap karakteristik proses katalisis dari protein tersebut.
Polimerisasi Silika Sponge dan diatom serta beberapa organisme mensintesis gigaton silika pertahun dari asam silikat. struktur
dengan
ketepatan
Struktur biosilika yang dibuat mempunyai beragam pengontrolan
nanoarchitektur
yang
melebihi
kemampuan manusia. Dalam sponge, biosilika ini terkumpul pada bagian yang bernama spikula. Spikula merupakan organ skeleton dari sel sponge yang menopang struktur jaringan dan tubuh sponge. Pada sponge, spikula ini tersusun atas calsium carbonat (calcareous spicule) atau silica (silica spicule) dan sebagian kecil kolagen. Walaupun pada beberapa sponge, skeleton hanya terdiri dari kolagen saja.
Gambar 9. Jaringan tiga dimensi dari silikon dioksida dalam silika spikula (http://www.batnet.com/enigmatics/semiconductor_processing/CVD_Fundamenta ls/films/SiO2_properties.html)
11
Ikatan atom silikon dan oksigen yang membentuk struktur "ring" (Gambar 6) dalam membentuk struktur tiga dimensi silicon dioksida membuat molekul ini sangat fleksibel (Aizenberg 2004), tidak rigid seperti struktur kristalin (ikatan SiSi). Struktur seperti ini dikenal dengan amorphous, dan struktur ini membuat beberapa ion anorganik penting, seperti Na+ dapat melewati lapisan silika. Pembentukan biosilika dalam sponge dan diatom sangat dipengaruhi oleh keberadaan asam silikat, garam natrium dan adanya protein transporter.
Krasko
(2000) mencoba melihat ekspresi gen silicatein dengan meningkatkan konsentrasi asam silikat dari 1 µM menjadi sekitar 60 µM, menghasilkan ekspresi gen yang sangat meningkat. Tidak adanya penambahan asam silikat dalam media, menyebabkan ekspresi gen yang sangat kecil.
Begitupun halnya dengan ekspresi
gen kolagen, gen yang sering dihubungkan dengan silicatein, meningkat dengan penambahan asam silikat tersebut. Konsentrasi asam silikat di lautan sekitar mikromolar per ml, sedangkan yang terdeposit dalam vakuola sponge terdapat 1000 kali lebih besar. Oleh karena itu, keberadaan protein transporter sangat diperlukan untuk proses ini. Hal ini mendorong Schroder et al pada tahun 2004 untuk mempelajari protein transporter yang mengangkut asam silikat ke dalam sponge
Suberites
cotransporters.
domuncula,
protein
ini
mirip
dengan
Na+
/HCO3 –
Karena silika transporter ini sangat tergantung pada keberadaan
natrium, dengan perbandingan optimal Si(OH)4 : Na+ = 1:1 (Coradin dan Lopez 2003).
Silikon dan Senyawanya Silikon merupakan unsur yang melimpah di alam kedua setelah oksigen, dan merupakan unsur utama pembentuk bumi. Atom silikon mempunyai empat elektron pada orbit terluar. Konfigurasi elektron ini menyebabkan unsur ini tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam bentuk senyawa dengan mengikat empat gugus oksigen. Sebagian besar berada dalam bentuk senyawa silicon oksida Si(OR)4 dan asam silikat Si(OH)4 seperti pasir, kuarsa dan batu kristal. Silikon juga ditemukan dalam bentuk mineral seperti asbestos, clay dan mika (Winter 1993). Silikon juga terdapat di lautan dalam jumlah yang melimpah, dalam bentuk asam silikat dan sekitar 5% dalam bentuk ion silikates Si(OH)3 O-. Beberapa organisme laut seperti
12
diatom, sponge, molluska, alga, radiolaria dan silikoflagellata memerlukan silikon untuk kehidupannya, mereka mengambil dalam bentuk asam silikat ataupun silikates. Diatom mengekstrak asam silikat dari air untuk digunakan sebagai pembentuk dinding sel, sedangkan sponge menggunakannya untuk membentuk organ internalnya, yaitu spikula (Farley 2003). Asam silikat dapat berkondensasi melepas atom H dan membentuk dimmer dengan membentuk ikatan Si- O-Si dengan asam silikat lainnya. Kondensasi lebih lanjut menyebabkan terbentuknya trimer, kuarter, sehingga terbentuk struktur tiga dimensi (Gambar 1.) yang dikena l dengan silika (Coradin and Lopez 2003). Silika terdapat di alam dalam bentuk amorphous dan beberapa dalam bentuk kristalin (Sturrock 1998). Iler (1979) telah mempelajari pembentukan silika secara invitro. Pembentukan polimer silika yang dilakukan pada pH netral dan suhu kamar hanya dapat membentuk polimer sampai ukuran 5-10 nm. Penambahan asam silikat selanjutnya dapat menurunkan pH medium sehingga terjadi pelarutan silika dan kembali membentuk monomer. Pembentukan polimer silika sampai ukuran diatas 150 nm dapat terjadi pada suhu reaksi 350o C Iler (1979). Pembentukan amorpous silika memerlukan suhu 500o C, sedangkan
pembentukan silika kristalin
memerlukan suhu lebih tinggi lagi (Sturrock 1998). Polimer lain adalah silicones, yang tidak terdapat secara natural di alam tetapi disintetis secara kimia. Polimer ini mempunyai struktur linier, dengan SiO-Si sebagai tulang punggung polimer. Grup R yang terikat pada dua sisi silikon mencegah terbentuknya struktur tiga dimensi seperti yang terjadi pada silika. Terdapat beberapa bentuk silicones, yaitu fluida (oils), gel dan elastomer yang dibedakan oleh ada tidaknya cross-lingking antara tulang punggung Si-O-Si (Sturrock 1998). Silika bersifat inert dan dapat menahan oksigen, mikroba dan cahaya sehingga dapat diaplikasikan untuk kemasan aktif. Silika ini mempunyai daya serap
yang
tinggi
terhadap
bahan-bahan
pengotor
minuman
dan
mengendapkannya, sifat ini menjadikan silika dapat digunakan sebagai clarifier pada pembuatan minuman untuk menghasilkan minuman yang jernih. Silika juga mempunyai sifat dapat menyerap air sehingga dapat digunakan untuk antikoagulan pada makanan instan, bahan baku tepung, gula, dan lain- lain. Silika
13
dengan struktur nano berperan sangat penting sebagai material utama dalam industri biosensor, biomedik dan bio-semikonduktor yang berharga sangat tinggi (Muller 2003). Aplikasi Silika Berpori Biosensor dapat menjadi alat yang fleksibel jika mempunyai sensitifitas yang tinggi yang dapat diperoleh dengan metode amplifikasi sinyal. Biosensor berbasis silika berpori merupakan bentuk baru dari silikon dengan karakter permukaan berpori tertentu. Bentuk degradasi lapisan silika berpori yang digunakan sebagai matrik dan tahap amplifikasi sinyal merupakan dasar prinsip sensor baru untuk aplikasi biosensor. Film- film silika berpori dari nanokristalin dapat digunakan sebagai host pendeteksi bahan-bahan kimia karena mempunyai permukaan yang dalam dan luas serta memiliki sifat unik optik listrik. Silik a berpori dapat berfungsi sebagai matrik dan transduser. Luminescens dari silika berpori tipe N dapat menggabungkan molekul- molekul pada lapisan berpori. Pendekatan ini juga digunakan untuk mendesain sensor gas yang dapat dibaca dengan mempelajari perubahan warna yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Aplikasi lapisan berpori untuk sensor interferometrik dapat merekam kejadian-kejadian molekular yang dapat dimonitor dengan pola Fabry-Perot fringe sebagai pengikat analit yang dapat meningkatkan efektifitas ketebalan optik matrik berpori dari semikonduktor silikon melalui interferometrik maupun fluoresens. Penggunaan interferometrik adalah sebagai reflektan spektroskopi, pendeteksi biomolekul seperti streptavidin, immunoglobulin, deoxyribonucleic acid (DNA) dan bahkan bakteri dalam konsentrasi mikromolar. Penggunaan fluorescens untuk mengamplifikasikan sinyal melalui tube foto multiplier sebagai detektor. Amplifikasi sinyal yang sebenarnya terjadi pada sisi pengikatan, contohnya menggunakan enzim untuk mengkatalisis reaksi dari substrat yang tidak berwarna menjadi spesies yang berwarna dan dapat deteksi dengan analisa colorimetrik. Kontaminasi air minum dapat dideteksi dengan menggunakan degradasi yang cepat dari silikon berpori oleh kompleks logam transisi tertentu yang dikenal sebagai katalis biomimetik. Dengan prinsip ini, pengembangan biosensor untuk deteksi cepat kontaminan (toksin) didalam sumber air dapat dilakukan.
14
Ligan berlabel Reseptor
Degradasi
komplek
terimobilisa
Silikon berpori
Gambar 10. Mekanisme korosi silicon berpori oleh katalis metal komplek (http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317) Degradasi silika berpori yang dikatalisis kompleks logam digunakan dapat menghasilkan amplifikasi sinyal untuk desain biosensor. Degradasi silika berpori dapat dimonitor dengan spektroskopi reflektan interferometrik. Mekanisme korosi silika berpori dengan katalis komplek logam seperi terlihat pada Gb.10 adalah Reseptor yang diimobilisasi di dalam matrik silika berpori tipe P akan mengenali ligan yang dilabel kompleks logam. Pengenalan ini akan menginduksi terjadinya degradasi silika berpori yang sinyalnya dapat diamplifikasi. Korosi pada silika berpori yang dikatalis enzim dapat juga diaplikasikan sebagai Biochip yaitu sebagai matrik sensor dan elemen trandusing yangdapat diaplikasikan untuk deteksi biomolekul. Prinsip kerja ini ditunjukkan pada gambar 11., antibodi terimobilisasi ditempelkan pada lapisan berpori. Berikutnya dilakukan penambahan antigen. Kompleks ikatan antibodi dan antigen yang terbentuk dapat disimpan di dalam matrik berpori. Selanjutnya dilakukan pengikatan antibodi kedua dari bahan yang akan dideteksi yang dilabel dengan enzim (hidrolase atau peroxidase). Enzim mengakatalisa pembentukan produk reaktif yang dapat mendegradasi silika berpori yang dapat dideteksi secara kuantitatif dan dimonitor perubahan efektifitas ketebalan optik atau secara kualitatif dapat diamati perubahan warna makroskopisnya.
15
Pengikatan antigen
Pengikatan antibody kedua yang berlabel enzim
Degradasi pori dan perubahan warna
Amplifik asi
Gambar 11. Mekanisme korosi silika berpori melalui deteksi molekuler dari antibody yang dilabel enzim (http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317)
Prinsip-prinsip kerja silika berpori diatas dapat diaplikasikan untuk membuat kemasan smart yang dapat merespon perubahan kondisi lingkungan sehingga dapat menginformasikan kepada konsumen bahwa produk telah rusak atau terkontaminasi bakteri melalui perubahan biokimia. Kinetika Enzim Kinetika enzim adalah salah satu cabang enzimologi yang membahas faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion, dan suhu sepeti terlihat pada tabel 1. Pengetahuan ini
16
penting diperlukan untuk menentukan suatu media atau lingkungan buatan yang dapat memaksimumkan atau menghambat reaksi yang diketahui (Suhartono 1998). Tabel 1. Faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi Faktor yang berpengaruh Keterangan yang diperoleh Jenis Faktor Konsentrasi Konsentrasi enzim, Mekanisme reaksi, parameter substrat, produk kinetika (Km, V, Ki) inhibitor, aktivator. Faktor Luar Suhu Parameter Termodinamika dan perubahnnya (∆G, ∆H, ∆S, Ea) pH pH golongan fungsional (asam amino) yang penting dalam pengikitan substrat Konstanta dielektrik dan Jenis ikatan dan muatan protein keuatan ion enzim Faktor Struktur substrat, Sifat-sifat interaksi dengan enzim Produk dan efektor Golongan fungsional pada lokasi dalam aktif enzim Struktur enzim Sifat biologis enzim, asam amino yang berperan pada lokasi aktif Sumber : Suhartono (1989)
Dalam perhitungan kinetika reaksi enzim, jumlah senyawa yang terlibat perlu diketahui untuk memperoleh kesimpulan kuantitatif. Jumlah enzim yang diperlukan untuk mengkatalisis reaksi biokimia jauh lebih kecil dibanding dengan jumlah atau konsentrasi substrat yang dipergunakan atau produk yang dihasilkan. Konsentrasi produk biasanya dinyatakan dengan molar, milimolar atau mikromolar. Pada persamaan Michaelis-Menten, kecepatan reaksi diukur sebagai kecepatan pembentukan produk atau kecepatan pengurangan substrat per satuan waktu, yang belakangan ini dicirikan dengan tanda (–dS). Kecepatan reaksi dibatasi oleh pengurangan kompleks enzim substrat (ES). Sedangkan nilai Konstanta Michaelis-Menten (K m) dapat diartikan sebagai konsentrasi substrat yang dibutuhkan untuk mencapai ½ Vmax . Harga Km tetap untuk keadaan reaksi yang tertentu (pH dan suhu tertentu) merupakan salah satu ukuran yang mencirikan enzim tersebut. Harga Km suatu enzim tidak bergantung pada konsentrasi substrat maupun konsentrasi enzim yang bereaksi. Dengan demikian Km merupakan salah satu ciri tetap suatu enzim, sebaliknya kecepatan reaksi
17
maksimum bukan merupakan suatu ciri tetap suatu enzim. Vm ax dapat ditingkatkan dengan mengubah meningkatkan konsentrasi enzim atau mengubah
faktor
lingkungan. Untuk menghitung parameter Km dan Vmax dapat dilakukan dengan mengadakan transformasi linier dari persamaan Michaelis-Menten ke persamaan Lineweaver Burk. Pemetaan ini adalah jenis pemetaan yang biasanya digunakan secara luas dalam menghitung nilai- nilai Km dan Vmaks dari suatu reaksi enzimatis (Suhartono 1989).
Penghambatan Reaksi Enzim Aktivitas enzim dipengarui oleh beberapa faktor lingkungan seperti pH, suhu, pelarut kekuatan ion dan adanya inhibitor dan aktivator. Secara kimiawai, suatu inhibitor dapat dibedakan dari aktivator. Aktivator berikatan dengan enzim dan dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim, sedangkan inhibitor berikatan dengan enzim dan dapat menyebabkan penurunan kecepatan reaksi enzim (Suhartono 1989). Pengikatan inhibitor atau aktivator terhadap enzim dapat mengubah kemampuan enzim dalam mengikat substrat, dan karenanya dapat mengubah daya katalisator enzim. Hal ini dapat disebabkan karena enzim yang sudah berikatan dengan inhibiotor mengalami perubahan fisik dan kimiawi sedemikian ruipa sehingga aktivitas hayatinyapun menjadi berbeda (terhambat). Dengan menganalisa penghambatan kerja enzim oleh suatu inhibitor yang mempunyai struk tur kimia dan fisik yang telah diketahui, akan dapat diperoleh informasi mengenai spesifitas enzim, sifat-sifat fisik, kimia dan molekul sisi aktif enzim tersebut serta mekanisme kerja enzim (Suhartono 1989).
Isolasi Protein dan Analisis Berat Molekul Metode yang digunakan untuk isolasi protein tergantung dari sumber protein dan lokasi protein dalam sumber tersebut. Sumber protein dapat berasal dari hewan, tanaman atau bakteri. Sel hewan umumnya lebih mudah dipecah dibandingkan dengan sel tanaman, karena sel hewan tidak berdinding sel, sedangkan sel tanaman berdinding sel selulosa (Brummer dan Gunzer 1987). Lokasi protein mempengaruhi teknik pemisahan protein dari komponen lainnya,
18
ekstraksi dan isolasi protein ekstraseluler lebih mudah dibandingkan dengan protein intraseluler. Untuk isolasi protein ekstraseluler tidak perlu dilakukan pemecahan sel, umumnya hanya dilakukan pemisahan berdasarkan sifat fisik (Suhartono 1989). Masalah utama dalam isolasi protein adalah terjadinya denaturasi, kontaminasi protein oleh pirogen dan asam nukleat serta adanya proteolisis (Errson et al. 1998). Hal tersebut bisa diatasi dengan pemilihan larutan ekstraksi dan larutan penyangga yang tepat, waktu preparasi yang singkat dan suhu rendah. Faktor-faktor yang diperlukan dalam pemilihan larutan ekstraksi adalah pH, jenis larutan penyangga (anionik atau kationik), variasi pH dengan kekuatan ion atau suhu, reaktivitas, pengaruhnya terhadap aktivitas biologis protein yang diinginkan, kelarutan, pengaruh deterjen atau senyawa khaotropik, logam pengikat dan penghambatan proteolitik (Errson et al. 1998). Protein dikarakterisasi berdasarkan beberapa sifat biokimianya. Sifat biokimia yang umum digunakan untuk mengkarakterisasi protein adalah berat molekul dan reaksi katalisis terhadap substrat tertentu. Berat molekul protein dapat dianalisis dengan menggunakan teknik elektroforesis. Elektroforesis merupakan teknik pemisahan fraksi- fraksi zat berdasarkan migrasi partikel bermuatan atau ion- ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik karena adanya perbedaan ukuran, bentuk, muatan atau sifat kimia molekul (Pomeranz and Meloan 1980). Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan berat molekul, mendeteksi kemurnian dan kerusakan protein, menetapkan titik isoelektrik protein serta memisahkan spesies-spesies molekular yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif (Boyer 1986). Pada elektroforesis penting penggunaan media yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya konveksi dan tidak bereaksi dengan sampel atau menghambat pergerakan partikel sebagai akibat terjadinya ikatan antara sampel dengan matriks. Menurut Dunn (1989) elektroforesis dengan media gel poliakrilamida (PAGE) merupakan yang paling banyak digunakan untuk memisahkan protein karena mempunyai kapasitas pemisahan yang tinggi. Gel poliakrilamida terbentuk melalui polimerisasi monomer akrilamida dan pembentukan ikatan silang kovalen antar rantai panjang akrilamida baik melalui reaksi kimia maupun fotokimia. Pembentukan gel melalui
19
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium mikrobiologi dan Biokimia, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Ilmu Hayat, IPB dari bulan Desember sampai Agustus 2006. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sponge N6, N20 yang berasal dari perairan Nias dan sponge MT5, MT36 dan MT37 yang berasal dari perairan Lombok. Sampel diperoleh dari koleksi Balai Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Ba han kimia penting yang digunakan adalah NaOCl teknis, HNO3 (Sigma), H2 SO4 (Sigma), Aseton (Sigma), TEOS (Sigma), HF (Sigma), NH4 F (Merck), Bovin Serum Albumin/BSA fraction V (Merck), pereaksi Bradford, pereaksi untuk SDS/PAGE dan pereaksi untuk colorimetric molibdate assay. Alat utama yang digunakan adalah spektrofotometer UV/Vis double beam (Hitachi), High Speed Centrifuge CR21G (Hitachi), shaker, tabung dialysis cut-off 10kD (Sigma), mikroskop polarisasi, kamera digital, dan perangkat ektroforesis MiniProtean III (Bio-Rad), Scannning Electron Microscopy (SEM) JEOL JSM-5310 LV.
Metode Penelitian
Pengumpulan Sampel Sponge (Modifikasi Nurjanah 2006) Pengumpulan sampel dilakukan oleh tim penyelam dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Sponge diambil dari perairan Pulau Nias dan Lombok pada kedalaman 10 m. Selama distribusi ke laboratorium, sponge dibawa dalam keadaan beku.
Isolasi Spikula Silika Sponge (Modifikasi Nurjanah 2006) Sponge sebanyak 100g dicuci dengan air laut dan dipotong dengan ukuran 1 cm3 . Selanjutnya direndam dan digoyang selama 2 jam dalam 200 ml larutan NaOCl
(10%) teknis sampai tidak berwarna. Spikula yang mengendap dicuci dengan aquades 5 kali dan direndam dalam 200 ml 3N HNO3 : 3N H2 SO4 (1:4) 24 jam. Bagian yang tidak larut asam (yang mengendap) dibilas dengan aquades sampai pH 6, kemudian dicuci dengan aseton sebanyak dua kali. Pengeringan dilakukan dengan menyimpan spikula silika di dalam refrigerator. Spikula silika yang diperoleh dihitung rendemennya dan diamati dengan mikroskop.
Isolasi Crude Protein Serupa Silicatein (Modifikasi Nurjanah 2006) Spikula silika sebanyak 2 g dilarutkan dengan 100 ml buffer 2M HF /8M NH4 F (pH 5,0) selama 2 jam pada suhu 4OC. Larutan buffer dihilangkan dengan dialisis menggunakan 4L aquades pada suhu 4o C yang diganti tiap 4 jam sebanyak 9 kali. Dialisat disentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 menit pada suhu 4o C. Protein yang mengendap disuspensikan dalam aquades dan disimpan pada suhu 4o C. Protein yang berhasil diisolasi diamati dibawah mikroskop.
Penghitungan Jumlah Agregat Protein Serupa Silicatein dengan Haemocytometer (Fardiaz 1989). Penentuan jumlah agregat protein dihitung menggunakan haemocytometer. Metode ini umumnya digunakan untuk menghitung jumlah sel bakteri atau spora kapang dengan pengamatan dibawah mikroskop. Gelas obyek haemocytometer mempunyai garis-garis yang membentuk kotak-kotak. Kotak terbesar mmepunyai ukuran 1 mm2 . Kotak 1 mm2 yang terdapat di bagian tengah terbagi menjadi 25 kotak (0.2mm x 0.2mm) yang masing- masing berisi 16 kotak kecil. Jika gelas obyek ini ditutup dengan gelas penutup, kedalaman dibawah gelas penutup adalah 0.1 mm sehingga tinggi sampel menjadi 0.1 mm. Sampel diteteskan pada sumur haemocytometer hingga penuh, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Dilakukan lima kali penghitungan pada tempat yang berbeda, kemudian dibuat rata-rata. Jumlah agregat protein dalam 1 ml dihitung sebagai berikut : Jumlah agregat protein/mm2 = rata-rata jumlah agregat protein/0.04 mm2 x 25 Jumlah agregat protein/mm3 = rata-rata jumlah agregat protein/mm2 x 1/0.1 mm Jumlah agregat protein/ml = rata-rata jumlah agregat protein/mm3 x 1000
22
Analisa Kadar Protein Penentuan kadar protein dilakukan dengan menggunakan Metode Bradford (dyebinding method) (Dunn 1989). Protein sebanyak 100 µl yang direaksikan dengan 2 ml Bradford (1:19). Perlakuan pada blanko, larutan enzim diganti dengan aquades. Setelah larutan divorteks, absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 565 nm. Standar protein yang digunakan adalah BSA fraction V. Kurva standar protein BSA dibuat dengan mereaksikan BSA berbagai konsentrasi BSA 20, 40, 60, 80,100.120, 140, 160,180 dan 200 µg/ml dengan pereaksi Bradford, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 565 nm. Konsentrasi protein larutan protein serupa silicatein ditentukan berdasarkan persamaan garis linier hubungan antara konsentrasi standar protein dengan absorbansi.
Analisa SDS-PAGE (Modifikasi Laemmli 1970) Analisa SDS-PAGE dilakukan untuk menentukan berat molekul protein. Tahapan kerja dilakukan adalah preparasi gel pemisah dan penahan, preparasi sampel dan loading, running, pewarnaan gel dan pelunturan warna. Gel pemisah dibuat dari akrilamida 10% dan gel penahan 4%. Preparasi sampel dilakukan dengan mensuspensikan 30µl sampel ke dalam 10 µl larutan buffer sampel. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 95o C selama 3 menit. Tiap sampel diloading ke dalam sumur gel sebanyak 10-15 µl. Sebagai standar digunakan marker Low Moleculer Weight/LMW (Pharmacia) sekitar 5 µl. Running dilakukan pada tegangan 125 V selama 2 jam dalam buffer elektroforesis. Pewarnaan gel dilakukan dengan metode Silver Staining untuk melihat protein yang terpisah (Nollan 1996). Setelah elektroforesis gel digoyang dalam la rutan fiksasi selama 1 jam, dilanjutkan dalam larutan ethanol 50% (v/v) selama 20 menit. Kemudian dilanjutkan dalam ethanol 35% (v/v) selama 20 menit (dua kali). Setelah itu digoyang dalam larutan enhancer selama satu menit lalu dicuci dengan akuabidestilata selama 20 detik (tiga kali). Gel lalu digoyang dalam larutan perak nitrat selama 30 menit dan dibilas dengan akuabidestilata selama 20 detik (dua kali). Gel lalu direndam
23
dalam larutan Na2 CO3 -formaldehide sehingga pita protein terlihat dan reaksi segera dihentikan dengan penambahan larutan fiksasi.
Uji Aktivitas Protein Serupa Silicatein (Modifikasi Nurjanah 2006). Suspensi protein dalam buffer Tris-HCl pH 6,8, sebanyak 250 µl direaksikan dengan 1ml TEOS 13.5 µmol. Selanjutnya digoyang pada suhu 26 o C selama 12 jam. Hasil reaksi disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 25 menit untuk memisahkan produk silika (sebagai endapan). Pelet yang dihasilkan dicuci minimal 3 kali dengan etanol 50% untuk menghilangkan TEOS yang tidak bereaksi. Lalu disentrifugasi kembali dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit. Pelet dilarutkan dalam 1 ml NaOH 1M pada 85-95o C selama 30 menit untuk menghitung jumlah residu TEOS yang terpolimerisasi. Pelarutan dilanjutkan dengan menginkubasi pada suhu kamar selama 48 jam. Penghitungan asam silikat yang dilepaskan dilakukan dengan modifikasi dari colorimetric molibdate assay dengan pelarut Brzezinski dan Nelson yang dapat mendeteksi sampai 50 mM Si(OH)4 . Colorimetric molibdate assay dilakukan dengan cara mereaksikan 1 ml sampel dengan 0,4 ml larutan ammonium molibdat dicampurkan selama 36 jam. Setelah itu ditambahkan 0,6 ml reduction reagent (campuran metol sulfit, H2 SO4 50%, asam oksalat jenuh dan aquades), lalu divorteks. Setelah 3 jam, dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 810 nm. Sebagai kurva standar digunakan berbagai konsentrasi Si (larutan TEOS dalam DMSO) antara 20-240 µmol/ml.
Studi Kinetika Reaksi Protein Serupa Silicatein Terhadap Substrat TEOS Karakter kinetika protein silicatein ditentukan berdasarkan aktivitas protein terhadap TEOS pada konsentrasi 6.75, 13.5, 27, 40.5 dan 54 µmol/ml dengan lama reaksi 12 jam. Preparasi substrat dilakukan dengan melakukan pengenceran TEOS menggunakan aquades. Aktivitas diuji dengan colorymetric molybdate assay. Parameter kinetika yaitu nilai Konstanta Michaelis-Menten (K m), laju maksimum (Vmax ) dan bilangan balik (K cat) ditentukan dengan membuat transformasi linier dari persamaan Michaelis-Menten ke dalam persamaan Lineweaver-Burk.
24
Uji inhibitor spesifik serine Suspensi protein dalam buffer Tris-HCl pH 6.8 sebanyak 250 µl direaksikan dengan 1ml TEOS 13.5 µmol dan larutan 50 µl larutan PMSF 1mM dalam DMSO. Kemudian dishaker pada suhu 26 o C selama 12 jam. Aktivitas diuji dengan colorymetric molybdate assay.
Analisa SEM Pengamatan menggunakan SEM dilakukan untuk melihat struktur polimer silika yang terbentuk. Sebelum dilakukan pengamatan, sampel dicoating dengan JEOL JFC1200 Fine coater. Proses ini dilakukan di laboratorium Material Science, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Indonesia.
25
reaksi kimia dengan ammonium persulfat sebagai inisiator dan N,N,N’,N’tetrametilendiamin (TEMED) sebagai katalis. Cross-linking agent yang digunakan adalah N,N’-metilen-bis- akrilamida (bis) (Perbal 1988). Variasi besar pori-pori dapat dilakukan dengan mengubah persentase akrilamida. Konsentrasi akrilamida yang dibutuhkan untuk mencapai kisaran pemisahan tertentu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi akrilamida yang dibutuhkan untuk mencapai kisaran pemisahan tertentu % poliakrilamida Kisaran berat molekul 3-5
>100.000
5-12
20.000-150.000
15
10.000-80.000
>15
<150.000
Sumber : Dunn (1989)
SDS (Sodium Dedosil Sulfat) merupakan detergen anionik bahan pendenaturasi protein bila campuran dipanaskan 100o C selama 3 menit. Penggunaan SDS bertujuan untuk memberikan muatan negatif pada protein yang akan dianalisa. Protein yang terdenaturasi sempurna akan mengikat SDS dalam jumlah yang setara dengan berat molekul protein tersebut (Dunn 1989). Denaturasi protein dilakukan dengan merebus sampel dalam buffer yang mengandung β-merkaptoetanol (berfungsi untuk nereduksi ikatan disulfida), gliserol dan SDS. Muatan asli protein akan digantikan oleh muatan negatif dari anion yang terikat sehingga kompleks protein-SDS memiliki rasio muatan per berat molekul yang konstan.
Kerapatan muatan listrik keseluruhan setelah
terbentuk kompleks SDS-polipeptida menjadi sama sehingga bisa bergerak dalam gel (dengan porositas yang benar) menurut ukuran molekul (Hames 1987). Gel poliakrilamida akan memberi efek pemisahan berdasarkan perbedaan viskositas kompleks protein-SDS, yang juga meningkat secara eksponensial terhadap panjang rantai atau berat molekul protein (Mihalyi 1992).
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identitas sponge
a
b
1 mm
c
Gambar 12. Sponge N6 (a) dan spikula silika dari sponge N6 pada perbesaran 4x (b) dan spikula silika sponge T. aurentia (Weaver et. al. 2003)(c) Sponge N6 di permukaan air terlihat pada ga mbar 12a. diambil dari perairan pulau Nias pada kedalaman ± 10-15 m. Sponge ini mempunyai ciri fisik berwarna merah kehijauan, berrongga, berbentuk bongkahan, tidak terlalu padat dan spikulanya tajam. Jika dibelah, bagian dalamnya berwarna oranye dan berbau amis. Sebagian besar sponge tidak berbahaya jika dipegang, akan tetapi ada beberapa spesies yang mempunyai spikula yang keras dan tajam yang dapat
menembus kulit yang dapat menyebabkan iritasi, demam, dan bengkak pada kulit manusia. Ciri ini dimiliki oleh sponge N6 yang jika dipegang tajam dan spikulanya dapat menembus kulit dan menyebabkan iritasi. Iritasi yang disebabkan oleh senyawa kimia, spikula atau keduanya seperti pada sponge dari genus Tedania yang sering disebut fire sponge. Pada gambar 12b. terlihat bahwa sponge N6 hanya mempunyai satu bentuk spikula yaitu spikula berbentuk jarum (monakson) dengan panjang 1-1.2 cm dan diameter sekitar 10 µm. Bentuk spikula silika ini seperti spikula yang ditemukan pada sponge T. aurentia yang mempunyai diameter ∼ 30 µm dan panjang 2 mm (Gb. 12c) (Weaver et.al. 2003). Spikula silika dari sponge N6 merupakan spikula silika terbesar diantara spikula silika lain yang diisolasi. Spikula silika N6 cukup jelas terlihat hanya dengan perbesaran 4 kali. Dari hasil pengamatan mikroskop nampak bahwa Spikula silika silika berwarna bening sekali sehingga protein yang ada di dalamnya terlihat jelas. a
b
1 mm
Gambar 13. Sponge N20 (a) dan spikula silika silika dari sponge N20 pada perbesaran 200x (b)
Sponge N20 yang nampak pada gambar 13a. juga berasal dari perairan pulau Nias yang diambil pada kedalaman laut ± 10-15 m. Ciri fisik sponge ini adalah berwarna merah kehijauan, berbau amis, bercabang-cabang, berduri, pipih, berstruktur lembek dan tidak padat. Sponge ini berrongga dan mengeluarkan cairan berwarna merah Berbeda dengan bentuk spikula silika dari sponge N6, spikula silika N20 (Gb.13b) mempunyai bentuk jarum yang melengkung. Dari hasil isolasi, hanya
27
ditemukan satu bentuk spikula silika yang tergolong megasclere dengan panjang 1.5-1.8 mm dan diameter 10–15 µm. Spikula silika dari sponge N20 ini terlihat berwarna bening dan membungkus agregat protein.Untuk memisahkan spikula silika dari sponge N20 dari kotoran lain masih sulit karena banyaknya lendir yang dikeluarkan yang tidak bisa dilarutkan dengan NaOCl, maupun H2 SO4 dan HNO3 . Jika dilihat dari rendemen spikula silikanya yang sangat kecil, kemungkinan sponge N20 tergolong Calcareous sponge. Sponge yang termasuk dalam klas ini memiliki ciri tidak kaku karena tidak memiliki spongin dan kolagen. Di lautan tropis, sponge ini sebagian besar dapat ditemukan di permukaan terumbu karang vertikal (Thomas 1979). Tiga sampel sponge berikutnya yaitu MT5, MT36 dan MT37 diambil dari perairan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada lokasi GPS S 8o 24’1.69’’ dan E 116o 4’29.8’’. Berdasarkan parameter stasiun lingkungan Kodex, kondisi perairan tempat hidup ketiga sponge tersebut mempunyai salinitas 32 ppm, temperatur 28o C, pH 9.1, kejernihan dapat terlihat sampai kedalaman 9 m. a
b
Gambar 14.Sponge MT5 dibawah permukaan air (a) dan di atas permukaan air (b) Pada gambar 14b. terlihat sponge MT5 yang mempunyai ciri fisik yaitu berbau amis, berwarna hitam, berrongga dan bercabang-cabang. Sponge ini berstruktur keras tapi tidak padat dan mengeluarkan cairan kental berwarna merah bening. Seperti terlihat pada gambar 15, nampak bahwa panjang spikula silika MT5 bervariasi dari 1–3 mm. Sedangkan besar diameter spikula silika berkisar ~10–20 µm. Spikula silika dari sponge MT5 berbentuk jarum, berwarna bening dan didalamnya terlihat adanya agregat protein yang berwarna hijau.
28
1 mm
Gambar 15. Bentuk spikula silika silika MT5 perbesaran 200X
Sponge MT36 (Gb16a.) juga berasal dari perairan Lombok pada kedalaman kedalaman ± 17 m. Sponge ini berwarna abu-abu, berrongga, berstruktur kaku dan agak padat. Sponge ini berbau amis dan mengeluarkan getah berwarna putih kental dan lengket. Dilihat dari teksturnya yang remah (mudah dipatahkan dengan tangan dan patahannya berbentuk serpihan, diduga sponge MT36 ini juga masuk dalam klas Calcareous. Spikula silika dari sponge MT36 (Gb.16b) juga berbentuk jarum dan terlihat sangat bening sehingga protein yang ditunjuk tanda panah yang terbungkus dapat diamati. Spikula silika MT36 berukuran panjang berkisar 1-2 mm dan diameter berkisar 10-20 µm.
a
b
1 mm
Gambar 16. Sponge MT36 (a) dan bentuk spikula silika sponge MT36 dengan perbesaran 200X (b) Sponge MT37 (Gb.17) yang berasal dari perairan Lombok terlihat berwarna abu-abu kehijuaan. Sponge ini berbau amis, berbentuk pipih, berstruktur
29
keras dan padat. Dilihat dari ciri fisik sponge dan kandungan spikula silikanya yang cukup tinggi, diduga sponge MT37 ini tergolong dalam sponge klas Demospongiae. Seperti dua sponge yang lain, spikula silika dari MT37 berbentuk jarum dengan panjang berkisar antara 1-5 mm, sedangkan diameternya 10-20 µm. Tanda panah pada Gambar 17B. menunjukkan adanya agregat protein di dalam spikula silika ini.
a
b
1 mm
Gambar 17. Sponge MT37(a) dan bentuk spikula silika MT5 perbesaran 200X(b) Sponge dapat menjadi rumah berbagai macam binatang seperti kepiting, udang, remis, cacing, bintang laut, holthurians, dan sponge yang lain. Dan yang penting lagi, sejumlah besar mikroba yang tak terlihat mata juga hidup di canal sponge, baik diantar sel maupun di dalam sel. Hal ini menunjukkan adanya hubungan simbiosis mutualisme karena adanya ketergantungan nutrisi antara sponge dan mikroba. Warna merah marun dan kehijauan yang terlihat pada permukaan sponge N6, N20, MT36 dan MT37 ditimbulkan oleh adanya mikrobamikroba yang dapat memantulkan cahaya (light-loving). Dalam keadaan gelap atau tidak ada cahaya, mikroba mati sehingga warna pada permukaan sponge menghilang (Thomas 1979). Selain itu warna hijau dari sponge dapat juga disebabkan karena adanya alga yang bersimbiotik (zoochlorellae) di dalam sponge (Brusca and Brusca 1990).
30
Tabel 3. Ciri Fisik Sponge dan Spikula
Sponge
Lokasi perairan
N6
Nias
N20
Nias
MT5
Lombok
MT36
Lombok
MT37
Lombok
Ciri Fisik Berwarna merah kehijauan, berrongga, berbentuk bongkahan, tidak terlalu padat dan spikula silikanya tajam. Jika dibelah, bagian dalamnya berwarna oranye dan berbau amis. Berwarna merah kehijauan, berongga,berbau amis, bercabang-cabang, berduri, pipih, berstruktur lembek dan tidak padat. Sponge ini mengeluarkan cairan berwarna merah Berwarna hitam, berrongga, berbentuk gelondongan dan bercabang-cabang. Sponge ini berbau amis, berstruktur keras tapi tidak padat dan mengeluarkan cairan kental berwarna merah bening. Berwarna abu-abu, berrongga, berstruktur kaku dan agak padat. Sponge ini berbau amis dan mengeluarkan getah berwarna putih kental dan lengket. Berwarna abu-abu kehijuaan, berrongga, berbau amis, berbentuk pipih, berstruktur keras dan padat.
Bentuk Monakson (jarum)
Spikula Silika Ukuran Panjang Diameter (mm) (µm) 100.0-120.0 10.0
Monakson (jarum)
1.5-1.8
10.0-15.0
Monakson (jarum)
1.0–3.0
10.0-20.0
Monakson (jarum)
1.0-2.0
10.0-20.0
Monakson (jarum)
1.0–5.0
10.0-20.0
31
Rendemen Spikula Silika Spikula silika diisolasi dari jaringan mesohyl sponge menggunakan pelarut natrium hidroklorit (NaOCl) dan asam pekat secara bertahap. Larutan NaOCl dapat merusak jaringan sponge sehingga spikula silika terlepas dari tubuh sponge. Larutan Natrium hipoklorit mendegradasi karbohidrat kompleks, seperti selulosa, lignin yang berada di tubuh sponge. Selain itu NaOCl juga dapat melarutkan kalsium karbonat dari spikula kalsium carbonate yang terlihat dari timbulnya buih pada saat perendaman potongan sponge dengan NaOCl. Larutan asam pekat HNO3 /H2 SO4 dapat melarutkan lemak, protein lain dan pecahan sel, sehingga bagian yang tidak larut asam akan tertinggal di wadah.
Spikula silika yang
diperoleh setelah tahap ini akan berwarna putih bersih. Komposisi silika spikula merupakan lapisan dari polimer silikon dioksida ini menghambat beberapa senyawa yang berukuran besar untuk menembus masuk ke dalam lapisan silika. Komposisi dan struktur inilah yang diharapkan untuk aplikasi polimer silika pada food packaging maupun beberapa peralatan. 75.30
80 70 60
52.18
50 % Rendemen 40 Spikula Kering 30 20 10
8.93
13.90
7.32
0.30 1) T.aurenti
ST1
MT37
MT36
MT5
N20
N6
0
3.11
Sampel sponge
Gambar 18. Perbandingan rendemen spikula silika dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37, (2)ST1 (Nurjanah 2006) dan (1)T. aurentia (Shimizu et.al 1998) Pada grafik (Gb.18) terlihat bahwa rendemen spikula yang diperoleh dari sponge N6, N20, MT5, MT36 adalah 3.11%, 0.30%, 3.93% dan 7.32 % dari berat kering spongenya. Rendahnya rendemen spikula silika yang diperoleh dari sponge N20, MT5 dan MT36 diduga karena kandungan spikula silika dari sponge ini rendah dan lebih banyak mengandung spikula karbonat. Rendemen tertinggi
32
spikula silika diperoleh dari sponge MT 37 yaitu sebesar 51.8%. Pada penelitian ini untuk mengisolasi spikula silika dilakukan perendaman dengan NaOCl selama 1 jam sambil digoyang dan pelarut diganti sebanyak 3 kali. Dengan penggantian pelarut sebanyak 3 kali diharapkan rendemen spikula silika yang diperoleh lebih banyak, sedangkan kontak waktu 1 jam diharapkan kondisi protein dapat terjaga dari pelarut. Rendemen spikula silika yang diperoleh lebih banyak dibanding dengan spikula silika yang diperoleh dari sponge ST1 yaitu 13.9%. Akan tetapi jika dibandingkan dengan rendemen spikula dari sponge T. aurentia yaitu sebesar 75.3% dari berat kering sponge (Shimizu et al. 1998), rendemen spikula spponge MT37 lebih rendah.
Isolasi dan Bentuk Protein Serupa Silicatein Untuk mengeluarkan protein dilakukan pelepasan silika penyusun spikula dengan menggunakan larutan buffer 2M Hidrogen Fluorida (HF) dan 8M Amonium Fluorida sambil distirer di ruang dingin selama 2 jam. Kedua pelarut merupakan pelarut silika yang kuat. Senyawa HF dihasilkan dari reaksi senyawa fluorite (misalnya kalsium fluorite) dengan H2 SO4 melalui reaksi double replacement (Chemtutor 1997). Aktivitas senyawa kimia ini mampu menyerang elektron yang sangat ekstrim (sangat elektronegatif) dan mempunyai ukuran atom (ion F-) yang sangat kecil. Karena ukurannya yang sangat kecil, ia dapat membentuk kompleks yang sangat stabil dengan bebrapa ion positif seprti Si4+ dan Al3+ membentuk kompleks hexafluorida (IV) SiF 6 2-) atau hexaflurida (III) (AlF 6 3-) (Encyclopedia Britanica 1997). Senyawa HF ini mampu menyerang ikatan Si dan O2 dari polimer SiO2 (silika spikula) sehingga polimer silika terdgradasi dan atom Si mebentuk kompleks dengan flurite dari HF membentuk hexafluoride(IV) (SiF 6 2-). Proses ini dibantu dengan pengadukan dan goyangan. Untuk menjaga aktivitas protein yang diisolasi dengan larutan 2M HF yang memiliki pH kurang dari 1, maka digunakan garam 8M NH4F sehingga diperoleh larutan buffer yang memiliki pH 5. pH 5 ini diduga merupkan titik isoelektrik protein silicatein yang sama dengan titik isoelektrik kebanyakan protein cathepsin- L. Pada pH isoelektrik, umumnya
33
protein ini mempunyai kelarutan yang paling rendah, sehingga protein mudah diendapkan. Untuk mengeluarkan kompleks hexafluride(IV), maka dilakukan dialisis. Telah diketahui protein silicatein dari T. aurentia memiliki berat molekul 27-29 kD sehingga untuk dialisis digunakan kantong dialisis ukuran cut off 10 kD agar protein tidak ikut keluar dari membran. Pada proses ini terjadi difusi senyawa berukuran lebih kecil dari cut off membran dari konsentrasi yang ke konsntrasi yang rendah (Blaber 1998).
a
b
1 mm
c
d
1 mm
1 mm
e
1 mm
f
1 mm
Gambar 19. (1)Agregat protein sponge T. aurentia (a) (Shimizu et.al. 1998),N6 (b), N20 (c), MT5 (d), MT36 (e), MT37 (f) pada perbesaran 400x
34
Dari hasil pengamatan secara mikroskopis yang terlihat pada gambar 19. bahwa bentuk protein serupa silicatein dari kelima sampel sponge berbentuk batang atau filamen. Filamen protein N6, N20, MT5, MT36 mempunyai ukuran yang hampir sama yaitu ∼ 20-30 µm dan diameter ∼ 2 µm (Gb. 19b). Sedangkan filamen protein dari sponge MT37 mempunyai panjang ∼ 50 µm dan diameter 1 µm (Gb. 19f). Panjang filamen protein yang diperoleh berbeda dengan panjang filamen protein dari T. aurentia memiliki panjang 2 mm yang sama dengan panjang spikulanya, sedangkan diameter protein hampir sama yaitu ∼ 1 µm (Gb.19a) (Shimizu et al. 1998). Hal ini kemungkinan disebabkan filamen protein terpotong-potong oleh batang magnetic stirer saat pelarutan dengan buffer HF/NH4F sehingga panjang protein yang diperoleh bervariasi. Jumlah Agregat Protein Serupa Silicatein dalam Larutan Hasil analisa ini diperkuat dengan penghitungan jumlah agregat protein serupa silicatein menggunakan Haemocytometer, dimana jumlah agregat protein tertinggi diperoleh dari sponge MT37 yaitu 2.2x108 /ml. Dari sponge N6 diperoleh agregat protein sebanyak adalah 3.3 x 106 /ml. Sponge N20 dan MT5 mempunyai jumlah agregat protein yang sama yaitu 2.3 x 106 /ml dan dari sponge MT36 diperoleh jumlah agregat protein sebanyak 5 x 105 /ml. Kuantifikasi jumlah agregat protein silicatein dari sponge T. aurentia dinyatakan dalam berat yaitu 0.0058 g dari 7.3 g berat kering sponge atau rendemen agregat proteinnya
Jumlah filamen 6 protein/ml (x10 )
sebsesar 0.11% dari berat kering sponge (Shimizu et.al.1998). 25 20 15 10 5 0 N6
N20
MT5
MT36 MT37
1) ST1
Sampel sponge
Gambar 20. Grafik perbandingan jumlah agregat protein dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37 dan (1) ST1 Nurjanah (2006)
35
Konsentrasi Protein Serupa Silicatein Pada tabel 4. diperlihatkan hasil analisa kadar protein serupa silicatein menggunakan metode Bradford yang dapat mendeteksi sampai dengan 5µg/ml. Prinsip metode ini adalah pengikatan pewarna pada ikatan glikosidik dan aromatik dari protein. Sampel yang mengandung kadar protein tertinggi adalah sponge MT37 yaitu sebanyak 0.12 mg. Sedangkan agregat protein dari sponge N6, MT5, MT36 secara berturut-turut adalah 0.013 mg, 0.042 mg dan 0.05 mg. Tabel 4. Konsentrasi protein serupa Silicatein Berat kering spikula (g)
N6
Yield protein/berat kering spikula (g/ml) (%) 1,0 0,000013 0,001
N20
0.9
MT5
1,0 0,000042
0,004
MT36
2,0 0,000058
0,003
MT37
2,0 0,000125
0,006
0,000300
0,100
Sponge
[Protein]
T.aurentia(1) (1)
td
td
Shimizu et. al (1998)
Rendemen protein serupa silicatein tertinggi diperoleh dari sponge MT37 yaitu 0.006% dari berat kering spikula, sedangkan protein silicatein dari sponge T.aurentia adalah 0.1% dari berat kering spikulanya (Shimizu et. al. 1998), sehingga kandungan protein dari kelima sampel jauh lebih kecil dibandingkan
0,120
0,100
0,100 0,080 0,060 0,040 0,020
0,004
0,001
0,003
0,006
T.a ure nti a
Sponge
MT 37
MT 36
M T5
N2 0
1)
N6
Rendemen protein (%)
dengan konsentrasi protein silicatein sponge T. aurentia (Gb. 24).
Gambar 21. Perbandingan konsentrasi protein serupa silicatein sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37 dan (1)protein silicatein T.aurentia(Shimizu et.al. 1998)
36
Berat Molekul Protein Serupa Silicatein a
b
kD 97.0 66.0 -
45.0 30.0 -
32 kD 27 kD 23 kD
20.1 -
18 kD
14.4 -
Silicatein1)
M
N6
15 kD
MT37 MT5
Gambar 22. Hasil SDS-PAGE (1)protein silicatein dari T. aurentia (Shimizu et.al. 1998) (a) dan protein serupa silicatein dari sponge N6, MT5, MT37 (b). Protein yang berhasil diisolasi dianalisa berat molekulnya menggunakan teknik SDS-PAGE. Masing- masing sampel dianalisa, tetapi hanya protein dari sponge N6, MT5 dan MT37 yang terdeteksi (Gb 22b.). Berat molekul yang dimiliki oleh protein silicatein N6 ini mirip dengan berat molekul silicatein dai sponge T.aurentia yang terdiri dari tiga subunit a, ß, ? yang masing- masing berukuran 29, 28 dan 27 kD (Shimizu et. al. 1998) (Gambar 22a). Kemungkinan tiga pita hasil SDS-PAGE dari protein serupa silicatein N6 juga terdiri dari 3 subunit a, ß, ? yang masing- masing berukuran 32, 27 dan 23 kD (Gabar 22b.). Sedangkan dari MT37 dan MT5 pita yang dapat terukur hanya 1 pita yaitu 18.1 kD dan 15.5 kD (Gambar 22b.). Protein serupa silicatein dari sponge N20 dan MT36 tidak terdeteksi, kemungkinan disebabkan konsentrasi proteinnya yang terlalu rendah dibawah 2 ng/ml yang merupakan batas deteksi oleh silver staining. Berdasarkan perhitungan jumlah agregat protein dari sponge MT37 yaitu sebanyak 2.17 x 108 buah, diperoleh berat molekul sebesar 3.4 x 108 kD dengan ukuran 3.4 cm. Sedangkan jumlah filamen protein dari sponge MT5 sebanyak 2.35 x 106 diperkirakan memiliki berat molekul sebesar 1.1 x 1010 kD dengan ukuran 110 cm. Berdasarkan hasil perhitungan ini, maka jika dibandingkan
37
dengan panjang spikula yang berukuran hanya 1-3 mm, maka diduga agregat ini adalah gabungan dari beberapa monomer protein. Jika diperkirakan jajaran 10 buah asam amino berukuran 1 ?, maka monomer- monomer protein serupa silicatein dari sponge MT37 dan MT5 berdasarkan analisa SDS PAGE mempunyai berat molekul 18.1 dan 15.5 kDa mempunyai ukuran masing- masing 6.5 x 102 ? dan 5.4 x 102 ? atau 6.5 µm dan 5.4 µm. Jika dilihat dari panjang filamen protein serupa silicatein MT37 adalah 3.4 cm dan MT5 adalah 110 cm, maka diduga agregat ini merupakan penjajaran dari monomer- monomer protein tersebut. Jumlah monomer protein serupa silicatein MT37 yang diperlukan adalah sekitar 523 buah, sedangkan jumlah monomer protein serupa silicatein sponge MT5 yang diperlukan adalah 20370 buah. Aktivitas Protein Serupa Silicatein dengan TEOS Uji aktivitas protein serupa silicatein dengan substrat TEOS dilakukan untuk mengetahui adanya potensi katalis biologis polimerisasi silika. Senyawa TEOS yang digunakan sebagai substrat merupakan senyawa Si dengan empat tangan yang mengikat O-Etanol. Substrat ini memiliki kemiripan struktur dengan substrat alami yaitu asam silikat (Si(OH)4 ) tetapi lebih stabil pada pH netral (Cha et. al. 1999). Asam silikat kurang stabil karena gugus OH yang reaktif yang mampu melakukan reaksi kondensasi dan polimerisasi sendiri pada suhu kamar meskipun pada derajat polimerisasi tertentu dapat terurai kembali (Coradin 2003). Protein yang diuji aktivitas polimerisasinya hanya yang terdeteksi oleh SDS-PAGE, yaitu protein dari sponge N6, MT5 dan MT37. Aktivitas polimerisasi diukur dengan colorimetric molibdate assay. Pada assay digunakan amonium molibdate (NH4 .Mo7 .O2 .4H2 O) dalam air bebas ion yang ditambah larutan HCL pekat. Senyawa amonium molibdate ini sering digunakan untuk memberi warna (dye) pada beberapa assay logam (Mitchel 2003). Senyawa ini mampu membentuk kompleks dengan senyawa logam tersebut. Si(OH)4 yang terbenuk dari pelarutan polimer silika akan kehilangan gugus OH karena adanya atom H dari HCL pekat. Amonium molibdate mengkelat Si dan membentuk kompleks berwarna kuning. Agen pereduksi metol sulfit merupakan pereduksi yang sangat
38
kuat. Kompleks molibdate yang mengalami tingkat oksidasi tinggi akan berwarna biru (Mitchel 2003) Aktivitas enzim serupa silicatein 160,0
144,1
[Produk](umol/ml)
140,0 120,0 100,0 80,0
73,0
60,0 40,0 20,0
65,2
33,6 0,0
0,0
0,0 30
60
Lama reaksi (menit)
720
37MT 5MT
Gambar 23. Grafik pembentukan polimer silika oleh protein serupa silicatein dari sponge MT5 dan MT37 Dari hasil uji aktivitas ternyata hanya protein serupa silciatein sponge MT5 dan MT37 yang mempunyai aktivitas polimerisasi, sedangkan N6 tidak mempunyai aktivitas. Jika dilihat dari bentuk spikula silika, filamen protein dan berat molekulnya yang mirip dengan protein silicatein dari sponge T. aurentia, kemungkinan tidak adanya aktivitas protein serupa silicatein dari sponge N6 ini disebabkan karena sudah terlalu lama disimpan sehingga protein sudah rusak atau terdenaturasi. Karena itu uji aktivitas pada sampel sponge kedua yaitu dari perairan Lombok dilakukan segera yaitu satu minggu dari saat pengambilan sampel. Pada grafik yang tampak pada Gambar 23. menunjukkan bahwa protein dari sponge MT5 mampu mempolimerisasi TEOS setelah 12 jam dengan jumlah polimer silika yang terbentuk sebanyak 65.2 µmol/ml. Sedangkan protein dari sponge MT37 tampak lebih reaktif karena pada menit ke 30 sudah mampu mempolimerisasi silika sebanyak 33.6 µmol/ml, kemudian setelah menit ke 60 terbentuk polimer silika sebanyak 73.0 µmol/ml dan pada menit ke 720 diperoleh polimer sebanyak 144.1 µmol/ml. Mekanisme reaksi kondensasi dan polimerisasi TEOS oleh silicatein yang diusulkan oleh Cha et al. 1999 seperti terlihat pada Gambar 24. Mekanisme reaksi ini diambil berdasarkan model struktur tiga dimensi silicatein yang mirip dengan protease Cathepsin-L dengan sisi aktif Cys-His. Sisi aktif sistein pada
39
Cathepsin-L digantikan oleh serin pada silicatein (Shimizu et al. 1998). Sisi aktif silicatein Ser-His bersama-sama berfungsi sebagai katalis asam basa untuk proses hidrolisis silikon alkoxide, paralel dengan katalisis hidrolisa ikatan pepetida oleh enzim proteolitik yang homolog. Silicatein a bekerja sebagai mediator reaksi ikatan hidrogen antara nitrogen imidazole dari histidin 165 dan hidroksil dari sisi aktif serin (pada posisi 26). Hal ini akan meningkatkan nukleofilitas oksigen serin yang akan menyerang atom silikon dan memutuskan ethanol membentuk formasi transitori kovalen protein-O-Si yang analog dengan struktur enzim-substrat yang dibentuk oleh protease dan hidrolase yang lain. Intermediate ini dapat menstabilkan spesies silikon pentavalen melalui ikatan donor dari nitrogen imidazole. Penambahan air dapat menyempurnakan proses hidrolisis pada ikatan alkoxide yang pertama. Berikutnya kondensasi diinisiasi oleh penyerangan nukleofilik dari Si- OH yang dilepaskan dari molekul substrat kedua. Demikian seterusnya terjadi mekanisme hisrolisis dan kondensasi oleh molekul protein silicatein dengan substrat menghasilkan polimer silika. Mekanisme polimerisasi secara detil belum diketahui, tetapi diduga proses ini dibantu juga oleh ion Na+ yang banyak terdapat di dalam silika spikula. Selain TEOS, filamen aksial silicatein dari sponge T. aurentia telah diketahui dapat mengkatalisis proses hidrolisis dan polikondensasi berbagai macam silikon alkoxide seperti methyl- dan phenyl-tri-ethoxysilane untuk menghasilkan silika dan silsesquioxanes (silikon) secara in-vitro pada suhu dan pH mendekati netral (Cha et al.1999, Shimizu et al.1998). Proses polimerisasi secara in-vitro berbeda dengan proses polimerisasi secara in-vivo yang menggunakan asam-asam silikat tetapi dapat menghasilkan hasil polimerisasi silika biogenik yang stabil. Polimerisasi silika biogenik terjadi karena adanya prekusor-prekusor silikon alkoxide sederhana yang merupakan konjugat-konjugat asam silikat yang bergabung dengan ionopore- ionopore intraseluler dan membentuk kompleks kovalen melalui kondensasi dengan alkohol, poliol atau katekol yang didahului dengan pengumpulan silika. Hal ini seperti terjadi pada diatomae yaitu asam silikat dikumpulkan didalam tempat yang mempunya i konsentrasi asam silikat yang lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat yang secara normal dapat terjadi presipitasi silika secara spontan dengan melakukan
40
reaksi atau konjugasi kimiawi lain. Jika asam silikat dikonjugasikan dengan salah satu kelompok bahan organik setelah transportasi dan konsentrasi di dalam sel sklerosit selama pembentukan spikula di demospongiae, mekanisme katalitiknya adalah kondensasi (Weaver et al. 2003). .
Gambar 24. Mekanisme reaksi Silicatein dari T.aurentia terhadap sub strat TEOS (Cha et al. 1999).
41
Tabel 5. Jumlah TEOS Terpolimerisasi permenit Sumber
Lama
Protein
reaksi (menit)
[TEOS] (µmol)
Kadar
Jumlah
protein
agregat
(µg/ml)
Jumlah TEOS terpolimerisasi Total
permenit
protein (x10 )
(µmol/ml)
(µmol/ml)
6
MT37
720
13,5
31,2
2,17E+08
144,0
0,200
MT5
720
13,5
10,5
2,35E+06
65,2
0,091
ST1(2)
720
4500
5,60E+05
15,9
0,022
(2)
720
4500
1,50E+06
3,0
0,004
15
4500
214,0
14,267
ST3
T. aurentia(1)
180,0
Tabel 6. Jumlah TEOS Terpolimerisasi per partikel protein Sumber
Lama
Jumlah partikel
Jumlah TEOS terpolimerisasi
Protein
reaksi
protein
per µg protein
per partikel protein
per partikel protein
per agregat
(menit)
(molekul/ml)
(molekul)
(µmol)
(molekul)
(molekul)
MT37
720
1,7E+11
2,78E+18
8,4E-10
5,0E+08
4,0E+11
MT5
720
6,7E+10
3,76E+18
9,7E-10
5,8E+08
1,7E+13
ST1(2)
720
1,7E+13
ST3(2)
720
1,2E+12
T. aurentia(1) (1) Cha et al. (1999)
15 8,6E+11 Nurjanah (2006)
(2)
7,17E+17
2,5E-10
1,5E+08
42
Seperti yang terlihat pada tabel 5., jika dilihat dari hasil per menit aktivitas protein dari MT37 masih lebih kecil dibandingkan aktivitas protein silicatein dari T. aurentia. Hal ini sangat dimungkinkan karena konsentrasi substrat yang direaksikan juga jauh lebih kecil yaitu 13.5 µmol/ml. Demikian juga jika dilihat jumlah TEOS terpolimerisasi per µg protein, aktivitas protein silicatein dari sponge MT5 dan sponge MT37 masih lebih rendah dibanding aktivitas protein silicatein dari T. aurentia. Akan tetapi jika dilihat dari ha sil aktivitas per partikel protein (Tabel 6.), aktivitas protein serupa silicatein dari MT35 lebih tinggi dibanding MT37 dan T. aurentia. MT5 mampu mempolimerisasi TEOS sebanyak 5.8 x 108 molekul per partikel protein dengan kadar protein dan konsentrasi substrat yang lebih rendah. Sedangkan protein silicatein dari T. aurentia hanya 1.5x108 molekul.
Karakter Kinetika Reaksi Protein Serupa Silicatein Analisa berikutnya difokuskan pada protein serupa silicatein dari sponge MT37 karena jika dilihat dari sumbernya yaitu rendemen spikula silika, kadar protein dan aktivitasnya paling tinggi. Parameter kinetika ditentukan dengan menggunakan crude protein serupa silicatein. Percobaan kinetika dilihat dari hasil pembentukan polimer silika yang diukur menggunakan metode colorimetric molybdate assay. Laju pembentukan produk (silika) pada suhu 26o C dan pH 6.8
Kecepatan polimerisasi (umol/jam)
dianalisa sebagai fungsi waktu.
3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
10
20
30
40
50
60
Konsentrasi substrat (umol)
Gambar 25. Hubungan antara konsentrasi substrat dan kecepatan polimerisasi
43
Pada gambar 25. terlihat adanya ketergantungan kecepatan reaksi enzim terhadap konsentrasi substrat dan semakin lemahnya peningkatan laju reaksi polimerisasi silika tertinggi oleh protein silicatein menunjukkan bahwa kinetika reaksi enzim ini mengikuti kinetika Michaelis-Menten (Suhartono 1989).
1/V (jam/umol)
1,20
y = 9,8135x + 0,232 2 R = 0,8332
1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 0,00
0,02
0,04 1/s (umol)
0,06
0,08
Gambar 26. Grafik linear hasil transformasi reaksi protein silicatein MT37 dengan TEOS Parameter kinetika yang diukur dalam penelitian ini adalah nilai laju maksimum (Vmax ), nilai Konstanta Michaelis-Menten (K m) dan nilai balik (K cat). Nilai Km merupakan konsentrasi yang diperlukan untuk mencapai ½ Vmax . Nilai Vmax yang diperoleh adalah 0.001 µmol/detik dan nilai Km yang diperoleh sebesar 0.01 µmol/ml diperoleh dengan membuat transformasi linear dari persamaan Michaelis-Manten ke dalam persamaan lineweafer-Burk (Gb.26). Nilai Km tersebut menunjukkan bahwa protein dari sponge MT37 merupakan protein yang reaktif karena suatu enzim yang mempunyai nilai Km pada kisaran mikromol adalah protein yang reaktif (Suhartono 1989). Parameter Michaelis-Menten lain yang diukur adalah konstanta katalitik (K cat). Kcat sering disebut turnover number atau bilangan balik enzim yang merupakan jumlah maksimum molekul substrat yang diubah menjadi produk per sisi aktif perunit waktu. Dari hasil perhitunga n diperoleh nilai Kcat adalah 0.04/detik. Hasil analisa kinetika yang dilakukan Zhou (1999) juga menunjukkan bahwa silicatein a yang bereaksi dengan silikon alkoxide seperti kelompok enzim
44
menunjukkan kejenuhan substrat sesuai dengan kinetika Michaelis-Menten, meskipun laju reaksi masih lebih lambat dibandingkan dengan protease yang homolog. Dari hasil uji site-directed mutagenesis dengan enzim proteolitik, penggantian kedua residu diperlukan untuk aktivitas. Hal ini terlihat dengan terjadinya penurunan aktivitas katalitik beberapa ordo. Sedangkan pada silicatein a mutagen, hilangnya aktivitas hanya 90%. Dengan demikian maka dengan menurunkan
kecepatan
hidrolisis
prekusor
silika,
maka
protein
dapat
menggunakan derajat pengontrolan struktur lebih besar selama polimerisasi. Rendahnya laju relatif pembentukan silika dapat dipakai untuk fabrikasi yang tepat untuk perluasan permukaan. Aktivitas ini dapat diregulasikan lebih jauh ke arah protein atau penggunaan substrat untuk menunda atau reinisisasi deposisi silika menghasilkan deposit silika terkondensasi annular. Coradin dan Lopez (2003) menjelaskan bahwa proses polimerisasi asam silikat dipengaruhi oleh kondisi reaksi dan aditif. Kondisi reaksi yang mempengaruhi polimerisasi adalah nilai pH dan konsentrasi substrat. Laju minimum diperoleh pada pH 2. Laju reaksi akan meningkat 2 ordo pada pH antara 3 dan 5 dan akan meningkat 2 ordo lagi pada pH 6 dan 9. Dibawah pH 2, polimerisasi silika adalah reaksi ordo ke 2, sehingga laju reaksi akan meningkat dengan cepat dengan konsentrasi asam silikat Kation metal diketahui dapat meningkatkan proses kondensasi terutama pada pH diatas 7. Kation metal akan berinteraksi dengan spesies silikat yang bermuatan negatif dan memilih permukaan permukaan partikel yang dapat membantu untuk agregasi.. Kation polielektrolit dapat juga membant u pembentukan silika dengan melibatkan adsorbsi polimer ke permukaan partikel yang dapat menurunkan repulsi elektrostatik sehingga dapat menginduksi koagulasi. Menurut Harrup et. al. (1980), formasi komponen inorganik sangat bergantung pada kinetika laju hidrolisis dan kondensasi. Laju hidrolisis sangat dipengaruhi oleh sisi aktif protein yang kompatible dengan substratnya. SEM Silika Hasil Polimerisasi Hasil analisis SEM (Gb.7) yang memperlihatkan bahwa sol gel silika yang terbentuk berupa partikel bola (sphere) dengan diamater 5–20 µm. Menurut Iller
45
(1979), proses polimerisasi dan kondensasi silika melibatkan tiga tahap yaitu: (1) polimerisasi dari monomer- monomer asam silisik membentuk nuklei yang stabil dengan bentuk yang kritis, (2) perpanjangan nuklei-nuklei tersebut membentuk partikel-partikel seperti bola dan ke (3) terjadi agregasi partikel-partikel bola tersebut membentuk rantai atau suatu motif yang berstruktur.
B
A
Gambar 27. SEM nuklei polimer silika pada tahap 1 (A) dan agregat nuklei polimer silika (B) Hasil SEM yang tampak pada gambar Gb.27 menunjukkan reaksi baru terjadi pada tahap dua yang terlihat adanya bola-bola yang tersebar yang merupakan
perpanjangan
hasil
polimerisasi
monomer- monomer
TEOS.
Kemungkinan berikutnya reaksi akan memasuki tahap ketiga yang terlihat dari adanya agregasi partikel-partikel bola.
Untuk memperoleh agregasi partikel-
partikel bola yang membentuk motif tertentu diperlukan waktu yang lebih lama. Terbentuknya agregasi dimer partikel juga dibuktikan pada saat pelarutan silika untuk colorimetric molybdate assay yang memerlukan waktu yang lama yaitu 36 jam dan waktu pengikatan dengan amonium molibdat yang lama yaitu 48 jam. Menurut Ning (2002), dimer partikel silika dapat membentuk kompleks dengan amonium molibdate tetapi memerlukan waktu yang lama. Menurut Coradin dan Lopez (2003), protein yang berpengaruh pada pembentukan silika adalah protein yang bermuatan positif menjembatani partikel silika dan mengontrol agregasi (Gambar 28a). Berikutnya grup amonium rantai protein membantu kondensasi asam silikat yaitu membantu terjadinya interaksi silikat-silikat (gambar 28b) dan kation-kation protein amphipilik bekerja sendiri
46
sebagai template untuk pembentukan mesostruktur silika (Gb 28c). Mekanisme seperti inilah yang dapat diusulkan untuk menjelaskan bagaimana terbentuknya dimer-dimer partikel silika seperti yang terlihat pada SEM polimer silika.
a
b
c
Gambar 28. Tahapan polimerisasi silika oleh protein (Coradin dan Lopez 2003)
47
Beberapa cara untuk mengontrol ukuran partikel silika antara lain adalah dengan mengontrol pH, suhu, jenis protein yang dipakai dan mengontrol agregasi protein. Pada pH 7 tanpa adanya penambahan aditif, pertumbuhan partikel silika berhenti ketika semua partikel berukuran terlalu besar untuk larut kembali dan masuk ke proses Ostwald ripening. Hal ini berhubungan dengan kelarutan silika dan suhu reaksi. Partikel dengan ukuran 5-10 nm dapat diperoleh pada suhu ruang, sedangkan partikel dengan ukuran 150 nm dapat dibentuk pada suhu 350o C. Lebih lanjut dijelaskan oleh Coradin dan Lopez (2003) bahwa partikel utama dapat bergabung satu dengan yang lainnya untuk membentuk partikel yang lebih besar. Agregasi ini sangat mirip dengan proses Stobber, jalur yang sangat dikenal untuk kalibrasi silika. Proses Stobber biasa digunakan pada skala industri dan melibatkan polimerisasi silikon alkoxide dengan penambahan amonia. Proses aggregasi dapat juga dilakukan dengan mengontrol polimer-polimer. Penambahan garam dengan konsentrasi rendah menurunkan kelarutan partikel dan ukuran. Hal ini juga memungkinkan untuk meningkatkan ukuran partikel dengan suplementasi sol melalui penambahan monomer- monomer silika pada permukaan partikel. Selulosa dari kompleks catecholate, diketahui juga dapat menginduksi formasi pembentukan partikel-partikel silika berukuran 4 nm dan partikel berdiameter 214 nm diperoleh tanpa menggunakan polimer ini. Sphere-sphere silika yang berukuran mikrometer juga dapat diperoleh dengan hidrolisis larutan alkoxide dan co-polypeptida sintetik, sedangkan partikel-partikel silika yang berukuran 50-100 nm dapat diperoleh dengan mengontrol aggregasi co-polipeptida sintetik ini.
Pendugaan Sisi Aktif Protein Serupa Silicatein Adanya serin sebagai sisi aktif dari protein silicatein dapat dilihat pada sekuen asam amino silicatein a seperti terlihat pada lampiran 5. Protein ini memiliki klaster hidroksil asam-asam amino yang merupakan ciri
serin, tirosin, dan threonine
paling membedakan silicatein
. Sekuen yang banyak
mengandung serin seperti Ser-Ser-Cys-Thr-Tyr, Ser-Ser-Arg-Cys-Ser-Ser-Ser-Ser, dua sekuen Ser-Xaa-Ser-Xaa-Ser serta sekuen Ser-Tyr pada sisi aktif protease yang digantikan serin merupakaan bukti tingginya konsentrasi hidroksil pada protein ini.
48
Salah satu metode sederhana untuk menduga sisi aktif protein adalah menggunakan senyawa inhibitor atau aktivator spesifik.
Pada penelitian ini
digunakan senyawa PMSF yang merupakan inhibitor spesifik protease serin. Golongan protease serin memiliki sisi katalitik yang terdiri dari serin, aspartat dan histidine.
Gambar 29. Struktur kimia PMSF
Aktivitas (µmol/ml)
160.0
144.1
140.0 120.0 100.0 65.2
80.0 60.0
99.7
40.0 20.0
24.7
0.0 MT37
MT37+PMSF
MT5
MT5+PMSF
Sampel sponge
Gambar 30. Penurunan aktivitas protein dari MT5 dan MT 37 setelah penambahan PMSF Terjadinya penurunan aktivitas protein serupa silicatein oleh senyawa PMSF 1mM diduga telah terjadi penghambatan pada salah satu sisi aktif protein serupa silicatein dari sponge MT5 dan MT37. Aktivitas MT37 menurun 38.8 % dan aaktivitas MT5 menurun hingga 35.5% dari aktivitas semula seperti yang terlihat pada Gambar 33. Senyawa PMSF ini berikatan dengan gugus OH dari asam amino serin dan dapat menyebabkan penghambatan tidak dapat balik (Palmer 1991). Beberapa inhibitor spesifik serin lain untuk protease serin adalah SBTI, LBTI, DFP danTCLK.
49
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Diantara lima sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya sponge MT5 dan MT37 yang berasal dari perairan Lombok yang mempunyai potensi sebagai katalis biologis polimerisasi silika dari substrat TEOS secara in-vitro. Protein serupa silicatein MT5 mempunyai berat molekul 15.5 kD, sedangkan protein serupa silciatein sponge MT37 berukuran 18.1 kD. Meskipun protein silicatein sponge N6 tidak terukur aktivitasnya, akan tetapi terukur tiga pita protein dengan berat molekul 32, 27, dan 23 kD. Aktivitas polimerisasi silika protein serupa silicatein MT37 lebih besar dibanding MT5 yaitu 144 µmol/ml dengan lama reaksi 12 jam. Karakter kinetika reaksi protein dari MT37 mengikuti kinetika Michaelis-Menten dengan nilai Vmax sebesar 0.001 µmol/detik, Km sebesar 0.01 µmol/ml dan Kcat sebesar 0.04 µmol /detik. Dari hasil analisa SEM diketahui bahwa diameter partikel polimer silika yang dihasilkan oleh protein serupa silicatein MT37 berukuran sekitar 20 µm dan untuk membentuk agregate nuklei polimer diperlukan waktu reaksi lebih dari 12 jam. Hasil uji inhibitor spesifik sisi aktif serin menggunakan PMSF 1 mM dapat diduga bahwa salah satu sisi aktif protein serupa silicatein MT37 dan MT5 adalah serin.
Saran
Selama penelitian ini didapatkan beberapa ide yang disarankan untuk dilakukan kajian yang lebih dalam seperti pengaruh pH, suhu, penambahan logam dan pemurnian protein untuk meningkatkan aktivitas polimerisasi silika. Selain itu penelitian biomolekuler seperti isolasi dan kloning gen perlu dilakukan untuk memanipulasi ekspresi aktivitas polimerisasi protein serupa silicatein dari sponge MT37.
50
DAFTAR PUSTAKA
Aizenberg J, Sundar VC, Yablon AD, Weaver JC, Chen G. 2004. Biological glass fibers: Correlation between optical and structural properties. Proc. Natl. Acad. Sci. 01 (10):3358-3363. Blaber M. 1998. Protein Purification:Coloumn Chromatography-Ion Exchange; Dialysis and Concentration. BCH5425 Molecular Biology and Biotechnology. http://wine1.sb.fsu.edu/C:/My%20Documents/mailto:
[email protected]. Bollag DM and Edelstein. 1990. Protein Methods. New York: Wiley-Liss Inc. Boyer RF. 1986. Modern Experimental Biochemistry. Cummings Publ. Co. Inc., Canada.
The Benjamin/
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantification of microgram quantities of protein utilizing the principles of protein dyebinding. Anal. Biochem 72:234-254. Brezinsnki MA and Nelson DM. 1986. Mar. Chem. 19:139-151. Brummer W and Gunzer G. 1987. Laboratory technique of enzyme recovery. In Rehm HJ and Reed G (eds.). Biotehnology. A Comprehensive Treatise in 8 Volums. Vol. 7 a. Brusca RC and Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Sinauer Associates, Inc. Publ., Sunderland, USA Cha JN, Shimizu K, Zhou Y, Christiansen SC, Chmelka BF, Stucky GD and Morse DE. 1999. Silicatein filaments and subunits from a marine sponge direct the polymerization of silica and silicones in vitro. Proc Natl Acad Sci U S A. 96 (2):361-365. Chemtutor. 1997-2005. LLC. Double Replacement Reactions. http://www. Chemtutor.com/react.htm. Copeland R.A. Methods of Protein Analysis. A Practical Guide to Laboratory Protocols. London:Chapman & Hall. Hal 59-62. Coradin T, Lopez PJ. 2003. Biogenic Silica Patterning : Simple Chemistry or Subtle Biology. Chembiochem, 3:1-9. Croce G, Frache A, Milanesio M, Marchese L, Causa M, Viterbo D, Barbaglia A, Bolis V, Bavestrello G, Cerrano C, Benatti U, Pozzolini M, Giovine M, Amenitsch H. 2004. Structural characteric of siliceous spicules from marine sponges. Biophysical Journal 86:526-534.
Dunn MJ. 1989. Determination of Total Protein Concentration. In : Protein Purification Methods. Harris EL and Angal S (eds). IRL Press, Oxford, England. El Amin, A. 2005. Nanotechnology targets new food packaging products. www.foodnavigator.com/news/ng.asp?id=63147 (12Oktober 2005). Encyclopedia Britanica. 1997. Fluorine. Encyclopedia Britanica Online. http://www.britanica.com/nobel/micro/213_9.html. Errson BO, Ryden L and Janson J-C. 1998. Introduction to protein purification. In Janson JC and Ryden L (eds.). Protein Purification. 2nd. Principles, High Resolution Methodes and Application. Wiley LISS, John Wiley and Sons, Inc. Publ., New York. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan, PAU, IPB, Bogor. Farley RH. 2003. Future Article: Silica in Reef Aquarium. Advanced Aquarist’s online Magazine. Hames BD. 1987. Gel Electrophoresis of Proteins : a Practical Approach. IRL Press, Washington, DC. Harrup M, Werstching A, Jones M. 2002. Preparation and Characterization of Novel Polymer Silicate Nanocomposites. Technical Paper. Energy and Environmental Sciences, Idaho National Engineering and Environmental Laboratory. Hawking, Smith. 1997. Sponges, hydras and Worms. Environment Protection Authority. http://www.denr.sa.gov.au/epa/pdfs/critters_2_sponges.pdf. Iller RK. 1979. The Chemistry of Silica:Solubility, polimerization, colloid, and surface properties and biochemistry. Wiley Interscience, New York. Hal. 98-99. Kozzlof EN. 1990. Invertebrates. Saunders College Publ., New York. Krasko A, Lorenz B, Batel R, Schroder HC, Muller IM and Muller WEG. 2000. Expression of silicatein and collagen genes in the marine sponge Suberites domuncula is controlled by silicate and myotrophin. Eur. J. Biochem. 267, 4878-4887. Kroger N, Lehmann G, Rachel R, Sumper M. 1997. Characterization of a 200 kDa diatom Protein that is specifically associated with a silica-based substructure of the cell wall. Eur.J. Biochem. 250(1):99-105. Laemmli UK. 1970. Cleaveage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature. 227:680-685.
52
Mihalyi E. 1992. Application of Proteolitic Enzymes to Protein Structure Studies. Vol. 1, 2nd ed. CRC Press, Inc., West Palm Beach, Florida. Mitchell PCH. 2003. Molybdenum. Chemical & Engineering News, American Chemical Society. Muller WEG. 2003. Silicon Biotechnology: Biofabrication of nanostructured silica and use of enzymes involved in metabolism of biogenetic silica in industry and medicine (SILIBIOTEC). http://www.nf2000.org/secure/FP5/S1706.htm Ning RY. 2000. Discussion of Silica speciation, fouling, control and maximum reduction. Desalination 151 (2002):63-73. Nolan
K. 1996. Silver Staining protein gels. : The short method. http://mcardle.oncology.wisc.edu/burgess/protocols/quicksilver.html (5 Desember 2005)
Nurjanah S. 2006. Eksplorasi protein silicatein dari sponge asal perairan Biunuangeun. [Thesis IPB]. Palmer T. 1991. Understanding Enzymes3rd Ed. New York: Ellis Horwood. Hlm 301-306. Pascal JL, Gautier C., Livage J, and Coradin T. 2005. Mimicking Biogenic Silica Nanostructures Formation. Current Nanoscience:73-83 Perbal B. 1988. A Practical Guide to Molecular Cloning. John Wiley and Sons, Canada. Perry CC. 2003. Silicification: The processes by which organisms capture and mineralize silica. Reviews in Mineralogy and Geochemistry; January 2003; v. 54;p. 291-327; DOI: 10.2113/0540291. Perry CC and Lu Y. 1992. Preparation of Silicas from Silicon Complexes- Role of Cellulose in Polymerization and Aggrefation Control. J.Chem. Soc. Faraday Trans. 88:2915-2921. Pomeranz Y and Meloan CL. 1980. Food Analysis: Theory and Practise. AVI Publ. Co. Inc., Wesport, Connecticut. Schroder HC, Krasko A, Batel R, Skorokhod A, Pahler S, Kruse M, Muller IM and Muller WEG. 2004. Stimulation of protein (collagen) synthesis in sponge cells by a cardiac myotrophin-related molecule from Suberites domuncula. FASEB J. In press. Shimizu K, Cha J, Stucky GD and Morse DE. 1998. Silicatein alpha : cathepsin Llike protein in sponge biosilica. Proc Natl. Acad Sci. 95(11):6234-6238
53
Sturrock RD. 1998. Silicon Gel Breast Implants. The report of the independent review group. http://www.silicone-review.gov.uk/silicone_implants.pdf Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Depdikbud. Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU, IPB. Thomas L. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. A Field Guide to the Marine Invertebrates occuring on Tropical Pacific Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves. Coral Reef Press. Baverly Hills, California. USA. Weaver JC and Morse DE. 2003. Molecular Biology of Demosponge Axial Filaments and Their Roles in Biosilification. Wiley Interscience. Microscopy Research and Technique, 62:356-367. Weaver JC, Petrasanta LI, Hedin N, Chmelka BF, Hansma PK,Morse DE. 2003. Nanostructural features of DemospongiaeBiosilica. Journal of Structural Biology 144 (271-281). Winter M. 1993. Silicon. Web elements periodic table. http://www.webelements.com/webelements/scholar/elements/silicon/comp ounds.html Zhou Y, Shimizu K, Cha JN, Stucky GD, Morse DE. 1999. Efficient Catalysis of Polysiloxane Synthesis by Silicatein α Requires Specific Hydroxy and Imidazole Functionalities. Angew Chem. Int. Ed. 38 No.6. http://www.azonano.com/Details.asp?ArticleID=1317
54
Lampiran 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Sponge
Lampiran 2. Pereaksi Bradford, Pereaksi untuk SDS-PAGE dan Pereaksi untuk Colorimetric Molybdate Assay 1. Pereaksi Bradford. Larutan Bradford dibuat dengan cara melarutkan 0.1 g Coomasive Briliant Blue G-250 dalam 50ml etanol 95% (v/v) dan 100 ml asam folat 85% (v/v), lalu ditera dengan akuades hingga volume 200 ml. 2. Larutan A(30% b/v akrilamid, 0.8% b/v bis-akrilamida). Sebanyak 14.6g akrilamid dan 0.4 g bis-akrilamid dilarutkan dalam 50 ml dan diaduk dengan magenitk stirrer sampai homogen. 3. Larutan B (buffer gel pemisah, Tris HCL 2M pH 8.8). Sebanyak 75 ml larutan Tris-HCl pH 8.8 dan 4 ml larutan SDS 10% b/v) dan ditambhakan dengan akuades hingga volume total 100 ml. 4. Larutan C (buffer gel penahan, Tris-HCl 1 M pH 6.8). Sebanyak 50 ml larutan Tris-HCl pH 6.8 dan 4 ml larutan SDS 10% (b/v) dan ditambahkan dengan akuades hingga volume total 100 ml. 5. Amonium persulfat 10% (b/v). Sebanyak 0.1 g ammonium persulfat dilarutkan dalam 1 ml akuades. 6. Buffer elektroforesis. Sebanyak 1.803 g Tris; 8.648g glysin dan 0.6 g SDS dilarutkan dalam 600 ml akuades lalu ditera hingga pH 8.3 dengan HCl 1 M. 7. Buffer sample 0.3 ml Tris-HCl 1 M pH 6.8; 2.5 ml gliserol 50% (v/v); 1.0 SDS 10% (b/v) dan 0.45 ml akuades. 8. Larutan Amonium molybdate. Sebanyak 4 Amonium molybdate dilarutkan dalam 500 ml air bebas ion, setelah larut ditambahkan 12 ml larutan HCl 36%. Larutan diganti setelah 1 bulan. 9. Larutan Fikasasi Sebanyak 25 ml methanol dan 12 ml asam asetat dilarutkan dengan aquabidestilata sehingga volume 100 ml. 10. Larutan Enhancer Sebanyak 0.1 g Na2S2O3.5H2O dilarutkan dalam 500 ml aquabidestilata 11. Larutan perak nitrat Sebanyak 0.4 g AgNO3 dan 70µl formaldehyde dilarutkan dalam 200 ml aquabidestilata
56
12. Larutan Na2 CO3-formaldehide Sebanyak 15 g Na2CO3 dan 120 µl formaldehid dilarutkan dalam 250 ml aquabidestilata 13. Reduction Reagent, terdiri dari: a. 2 ml Larutan Metol sulfite reagen Sebanyak 6 g Na2SO3 dilarutkan dalam 500 ml air bebas ion, setelah larut ditambahkan 10 g p-methylaminophenol sulfate. Larutan diganti setelah 1 bulan. b. 1.6 ml air bebas ion c. 1.2 ml H2SO4 50% d. 1.2 ml Asam Oksalat Jenuh : Sebanyak 10 g asam oksalat dilarutkan dalam 100 ml air bebas ion
57
Lampiran 3. Komposisi Gel Penahan dan Pemisah SDS -PAGE No.
Komponen
Gel pemisah (10%)
Gel penahan (4%)
1
Larutan A
3.333 ml
0.67 ml
2
Larutan B
2.5 ml
-
3
Larutan C
-
1.25 ml
4
Aquabides
4.057 ml
3.0 ml
5
Amonium per sulfat 10%
0.1 ml
0.05 ml
6
TEMED*)
0.01 ml
0.005 ml
*TEMED = N.N,N’,N’-tetramethylenediamine
58
Lampiran 4. Kurva standar protein BSA dan TEOS
Absorbansi 595 nm
Konsentrasi protein serupa silicatein (mg/ml) 0,18 - 0,0105 0,16y = 0,0012x 2 0,14 R = 0,9888 0,12 0,1 0,08 MT36 0,06 MT5 0.05 mg/ml 0,04 0.042 mg/ml N 0,02 0.012 mg/ml 0 0 20 40 60 80
MT3 7 0.12 mg/ml
100
120
140
160
Konsentrasi BSA ppm
Kurva standar TEOS 0,3 y = 0,0009x + 0,0623 R 2 = 0,9832
Absorbansi
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
50
Kurva Standar
100
150
200
250
300
Konsentrasi Teos (umol)
Aktivitas Polimerisasi Linear (Kurva Standar)
59
Lampiran 5. Susunan dan perbandingan Silicatein a dengan cathepsin-L manusia. (A) daerah propeptida, (B) Protein matang. Asam amino ditunjukkan oleh batang vertical, residu yang mirip ditunjukkan dengan titik dua. Residu Sistein yang terdapat di dalam jembatan disulfide diberi bayingbayang, Asam amino sisi aktif dari Cathepsin-L dan asam amino Silicatein digaris bawah. Residue hidroksil asam amino silicatein a dan cathepsin- L ditunjukkan dengan garis atas dan bawah. Klaster asam amino hidroksil Silicatein a ada di dalam kotak.
60