Karakteristik Idiom Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia Yang Menggunakan Bagian Tubuh1 Agus Suherman Suryadimulya2
ABSTRACT This dissertation is aimed to discuss the characteristic of idioms using parts of human body both in Japanese and Indonesian Languages, compare the similarities and also identify factors influencing the differences. 1. PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ide, gagasan, pendapat serta perasaan kepada orang lain. Seringkali penyampaian sesuatu maksud tertentu secara taklangsung dan bersifat simbolik. Banyak pertimbangan yang menyebabkan penyampaian maksud secara taklangsung, di antaranya menghindari ketersinggungan seseorang dengan adanya ujaran tertentu, ada pula yang berpendapat bahwa ungkapan tersebut lebih tepat dan terarah. Secara pokok, dapat dikatakan bahwa hal ini sangat terkait dengan cara masyarakat penutur bahasa tersebut mengungkapkan sesuatu. Bangsa Jepang terkenal dengan sopan santun serta kecenderungan berbasa-basi. Bahasa Jepang pun mengikuti pula pola tingkah orang Jepang yang cenderung menggunakan ungkapan yang taklangsung dan bermakna mendalam. Idiom sering menjadi alternatif yang sering dipakai sebagai alat menyampaikan maksud secara taklangsung dalam bahasa Jepang. Sapir & Whorf (1964) mengatakan, bahwa perbedaan pola pikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa akan menyebabkan orang Indonesia menggunakan kata arang untuk makna keaiban, sementara orang Jepang memakai kata lumpur. Hal ini karena adanya latar belakang filosofis yang sangat mendasar. Latar belakang sosiologis tidak terbatas pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam bahasa Jepang terdapat idiom katatataki ni au dengan makna di-PHK (sinkronik), sementara dalam bahasa Indonesia kita jumpai idiom penyambung lidah rakyat (diakronik).
1 2
Disampaikan pada Seminar Ilmu Sastra di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Staf pengajar Fakultas Sastra Unpad 1
2. LATAR BELAKANG Idiom atau ungkapan sering kita jumpai dalam pelbagai bahasa di dunia. Dan kehadiran idiom dalam suatu bahasa sangat dipengaruhi oleh pola pikir penutur bahasa itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan mencoreng arang di muka (membuat aib), sementara dalam bahasa Jepang untuk arti tersebut digunakan lumpur yaitu kao ni doro wo nuru (mengoleskan lumpur pada muka). Kedua frase ini memiliki lexical meaning dan Idiomatical meaning. Dalam bahasa Inggris, dikenal frase cannnot keep ones mouth shut, dalam bahasa China terdapat kata/frase tsuichien (bahasa Jepang : kuchi ga karui), bahasa Thailand menggunakan paa’kbao, dan bahasa Prancis dikenal dengan frase avoir langue bien longue. Ungkapan di atas memiliki makna idiomatikal yang sama (tidak bisa menyimpan rahasia) tetapi dibentuk oleh kosa kata yang berbeda (mulut dan lidah). Dalam bahasa Indonesia sendiri kita dapati ungkapan bocor mulur (Badudu, 1978 : 54). Sementara itu ringan mulut dalam bahasa Indonesia memiliki makna idiomatikal yang berbeda dengan bahasa Jepang. 3. TUJUAN Seringkali pembelajar bahasa Jepang yang sudah menguasai bahasa Jepang dengan baik, mendapat kesulitan untuk berbicara dengan nuansa yang alami atau ingin mengungkapkan sesuatu dengan tepat. Hal ini dikarenakan penguasaan idiom yang dirasakan sangat terbatas, sehingga apa yang ingin diungkapkan tidak tepat pada sasaran yang dimaksud. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sbb: 1. Mencari karakteristik idiom bahasa Jepang dan padanannya dalam bahasa Indonesia. 2. Dalam proses pembelajaran, idiom apa yang mudah dicerna serta dihafalkan dan idiom apa yang sulit dipahami maupun diingat. 3. Mengamati idiom satu persatu dengan melihatnya dalam wacana sehingga dapat diketahui cara penggunaannya. 4. DIFINISI IDIOM Dalam bab ini dikupas beberapa teori tentang makna idiom sekaligus merangkumnya dan penulis mencoba mengemukakan pendapat tentang peranan idiom dalam kehidupan berbahasa. Idiom merupakan bentuk ungkapan yang sudah tidak mengikuti aturan tata bahasa yang berlaku pada bahasa yang bersangkutan. Kunihiro.T,(1985:4) menyebutkan keterangan tentang idiom secara lengkap seperti berikut ini.
2
“…
!"#$&%(')*+-,
"#$.,/0.123425 6.(7&8, .,9:;,<&=>?&@+ A ,>B2. DCE,F,<G5>H+I
Penjelasan tersebut memberikan batasan mengenai karakteristik idiom dalam bahasa Jepang. Idiom merupakan bentuk ungkapan yang dipermasalahkan terkait dengan karakteristik idiom tersebut yang tidak bisa diduga seperti makna kata pada umumnya dengan aturan tata bahasa dan teori semantik bahasa yang bersangkutan. Bentuk ungkapan ini memiliki makna yang sudah ditetapkan secara konvensional oleh masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan dan biasanya tidak bisa ditelusuri makna idiom yang dihasilkan berdasarkan pada makna gabungan kata pembentuk idiom tersebut menurut aturan tata bahasa. Seperti apa yang sering kita ketahui bahwa makna idiom adalah makna dari gabungan dua kata atau lebih yang sudah ditetapkan, dan makna idiom yang dihasilkan tidak bisa dicerna dari makna leksikal maupun makna gramatikal gabungan kata pembentuk idiom (Momiyama.Y,1996:29). Walaupun dikatakan makna idiom tidak bisa ‘ditarik’ menurut kaidah umum gramatikal yang berlaku atau tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, namun untuk idiom jenis tertentu masih bisa diprediksikan makna idiom yang ditimbulkan secara historis komparatif dan etimologis serta asosiasi terhadap lambang yang dipakai, karena masih terlihat adanya “hubungan” antara makna keseluruhan (makna idiomatik) dengan makna leksikal unsur kata pembentuk idiom. Pernyataan tersebut selaras dengan pendapat Kunihiro (1996:26) yang menyebutkan ihwal pemerian makna idiom dalam bahasa Jepang, pada salah satu poinnya menunjukkan bahwa makna idiomatik terjadi dari makna kata unsur pembentuknya menunjukkan makna perbandingan dan makna kata masih terlihat. Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan penelitian Momiyama (1997) yang membuat pemerian idiom bahasa Jepang terbaru ditinjau dari sudut ada tidaknya hubungan antara makna leksikal gabungan kata pembentuk idiom dengan makna idiom yang dihasilkan. Peneliti sependapat dengan pernyataan tersebut di atas. Hal ini sangatlah terkait dengan ihwal manusia menciptakan kata tertentu pasti disertai pula konsep kata tersebut. Sesuatu barang dinamakan meja, dengan ciri-ciri terbuat dari kayu maupun besi berbentuk persegi empat atau bulat, memiliki kaki yang selanjutnya disebut dengan kaki meja, fungsinya bisa dipakai untuk menaruh sesuatu, tempat makan, tempat belajar dlsb. Mengapa barang tersebut dinamakan meja, mengapa tidak
3
dinamakan kursi atau yang lainnya. Karakteristik bahasa seperti ini, disebut dengan ciri bahasa yang bersifat arbitrer (manasuka). Artinya tidak ada hubungan yang mengikat dan wajib antara lambang dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Namun seperti diungkapkan Nurhadi D (2003) bahwa, sebuah konsep yang dilukiskan oleh suatu lambang tertentu telah disepakati oleh penutur bahasa tersebut sehingga bersifat tetap dan konstan. Artinya, sesuatu benda yang memiliki ciri-ciri tertentu dinamakan meja, dan jika ada benda yang sama atau hampir sama bentuk maupun fungsinya akan tetap disebut dengan meja. Terkait dengan fungsi bahasa seperti ini, Chaer.A (1994:47) menyebutnya dengan istilah bahasa itu konvensional. Maksudnya bahwa masyarakat bahasa mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya (keajegan makna). Pemikiran ini peneliti pergunakan dalam menjelaskan makna idiom jenis metafora dalam hubungannya dengan konsep dari unsur kata pembentuk idiom tersebut. Penelitian ini berusaha menguak keterkaitan hubungan antara makna idiom jenis metafora melalui penjelasan dari makna gabungan unsur pembentuk idiom tersebut yang menghasilkan makna kiasan atau makna tambahan. 5. PENELITIAN TERDAHULU Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang penulis lakukan semasa menyelesaikan tesis master. Sehingga ditemukan beberapa karakter dan cara pemakaiannya dalam wacana. Makna idiom sudah diakui dan digunakan masyarakat penutur bahasa tersebut untuk berkomunikasi dengan lawan bicara untuk menyampaikan suatu pendapat atau gagasan-gagasan tertentu. Karena makna idiom ini merupakan makna yang sudah di tetapkan, maka tidak ada cara lain selain menghafal semua makna-makna idiom tersebut tanpa kecuali. Sehingga bagi pembelajar bahasa merasa kesulitan dalam menghafal beribu-ribu idiom yang ada, apalagi jika sebagai pembelajar bahasa asing, Hal ini merupakan suatu kendala yang sangat penting. Faktor ini mendorong peneliti untuk meneliti idiom dalam bahasa Jepang. Fenomena ini sesuai dengan hasil kajian Suryadimulya,A (1998) melakukan penelitian tentang kemampuan pemahaman idiom bahasa Jepang terhadap dua sampel penelitian yang berbeda, yakni penutur asli bahasa Jepang, dan pembelajar bahasa Jepang dari Indonesia. Simpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut secara pokok ada dua hal, yakni: 1. Derajat pemahaman makna idiom pembelajar bahasa Jepang dari Indonesia terutama yang tidak/belum pernah belajar di Jepang, masih rendah. 2. Diperlukannya penjelasan tentang latar belakang keberadaan idiom tersebut
4
diciptakan guna pemahaman makna idiom. Penelitian-penelitian yang membahas mengenai idiom dan majas perbandingan dalam bahasa Jepang tidaklah sedikit jumlahnya. Namun, peneliti merasakan adanya sesuatu yang kurang jelas dari hasil penelitian yang ada. Penelitian Momiyama (1997) membuat deskripsi tentang klasifikasi idiom yang menghasilkan makna kiasan (Miyaji menyebut idiom jenis ini sebagai Hiyutekikanyouku) dengan cara mendeteksi ada tidaknya hubungan antara makna leksikal gabungan kata pembentuk idiom dengan makna idiomatiknya. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti memperoleh pemikiran bahwa idiom jenis majas metafora antara makna leksikal gabungan kata pembentuknya dengan makna idiomatik yang dihasilkan memiliki hubungan dalam hal persamaan ‘ruijisei’. Persamaan yang dimaksud Momiyama dalam penelitiannya tidak disertai dengan penjelasan yang memadai sehingga mendorong peneliti untuk menyambung konsep yang dikemukakan beliau. Dalam ungkapan lain, persamaan yang dihasilkan dari hubungan kedua makna tersebut menunjukkan kesamaan dalam hal apa, atau dengan apa hal tersebut dipersamakan, masih belum dibahas. Penelitian yang berusaha menjelaskan permasalahan tersebut terkait dengan idiom jenis majas metafora belum banyak jumlahnya. Hal ini menjadi faktor pendorong untuk meneliti permasalahan tersebut. Pemahaman mendalam terhadap bagaimana orang Jepang mengungkapkan sesuatu maksud dengan ungkapan-ungkapan taklangsung dan bersifat simbolik, tidaklah sedikit yang berkaitan dengan perilaku, pemikiran, kondisi sosial dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, melalui pemahaman idiom akan sedikit banyak berkontribusi dalam pemahaman budaya bangsa Jepang. 6. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif/analitik dengan mengadakan studi literatus dari berbagai sumber. Hal ini disebabkan oleh penelitian ini berusaha untuk mencerahkan permasalahan makna idiom dalam bahasa Jepang serta pemerian yang dapat dilakukan ditinjau dari relasi makna idiom dengan makna leksikal gabungan kata pembentuk idiom tersebut. Penelitian ini menghasilkan bukan berupa angka-angka. 1. Objek penelitian Data yang diambil dari berbagai kamus sebagai objek penelitian ini adalah seluruh idiom kedua bahasa yang memakai anggota badan bagian luar dan dianggap masih banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Data tersebut terhimpun sebagai berikut :
5
Tabel 1 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
J L
P
T
R V X
Z \ `
^
N
Bagian tubuh (kepala) (muka) (mata) (mulut) (telinga) (hidung) (lidah) (leher) (dada) (perut) (tangan) (kaki)
B.Jepang 59 55 103 67 44 42 26 33 101 100 228 74
B.Ind 27 63 103 82 26 21 70 13 24 28 128 28
No. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
K M
O Q S
U _
[
W ]
Y
Bagian tubuh (dahi) (bibir) (gigi) (dagu) (bahu) (lengan) (jari) (kuku) (pinggang) (pantat) (lutut)
B.Jepang 11 6 22 15 24 29 6 7 27 61 21
B.Ind 10 14 6 2 2 4 3 7 6 6 7
1161
678
Jumlah
2. Menentukan Standar Pemilihan Data Bahasa Jepang yang dipakai sebagai objek pemilihan data adalah sbb: aKamus Nihonkokugo Daijiten (Kamus Besar Bahasa Nasional Jepang)
b
Kojien (CD-ROM) (Kamus Besar Bahasa Jepang) Kokugo Kanyoku Jiten (Kamus Idiom bahasa Nasional Jepang)
c d
e
Kotowaza Kanyoku Jiten (Kamus Idiom dan Peribahasa) Sementara itu idiom bahasa Indonesia, diambil dari kamus sebagai berikut :
a
Kamus Idiom Bahasa Indonesia Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Ungkapan dan Peribahasa Indonesia Idiom yang terkumpul diamati penggunaannya dengan disertai pemakaiannya dalam kalimat. Selanjutnya diperiksa, diseminarkan beberapa kali di hadapan para ahli bahasa Indonesia dan bahasa Jepang untuk menentukan layak tidaknya dipakai sebagai data objek penelitian. Didapati beberapa idiom pada kedua bahasa itu yang kini sudah dianggap idiom mati (shigo).
b
d
c
3. Permasalahan Beberapa permasalah yang muncul saat pengumpulan data adalah sulitnya menemukan ahli linguistik bahasa Indonesia di Jepang yang berbahasa ibu Bahasa Indonesia sehingga penulis mendiskusikannya di Indonesia. 7. HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS Pada bagian ini penulis mencoba membuat 3 klasifikasi idiom-idiom sebagai berikut : 6
1. Idiom sekata semakna
fhgji k lm!n tvu w ½u w Ãu w ÒÓu w äu w ñu w þu w u w u w t u w ttvu w t½ u w tÃu w tÒÓu
w
o pq rs ¡ £¢¥¤!¦¨§ }ª©!« xzy|{!}~vv
¬ ® ¾¿!À ²£©D« x¯¡°!±¥²¡³x¯|´¡µ·¶ ® ® ~ vv
¹¸h º» ¼vv
¹¸h v ¬ z ÄÅ £Æ ¿ ÇÈ }·ÉËÊyÌ ÎÍ(Ï ² x¯¡Á|Â~vv
¹¸hz
Ð
v ® ® Ø(ÇÈ|Ù }¡Ú § }|ÛÜ£¯·³ À µÌ È xzy¡Ñ(}~vv
z ÝßÞ ® Ðvà á ¬
ÔÕxÖyÑ}-× æè
vç ÐvØ }éyèê|ë Æ| ²¡³íì(} ØËî Æ xâ }~ãv
z åÔÕxÖy·â }-× æ ¯ Ø Þ v ï Ð Ðv ò(¯¨óèô Àõ ò(¯¨óèô|ö·²÷Õòèy·ø Þ ~ãv
¸h ®Ôíû| ü ×ýø Þ ð»ã á Öï zùÐ ¸ù v Ðz¼
﹪¸úÔíòè¸ùy·vøÐ Þ ¼× v
Îv ÿ·òè~ïv ÿ }˳ ¦ ®
ã ò|y ! § ² ò(¯ ! À ² ~ ÎÎã ¼ ÇÈ
Ç Ü À ²|³ yè²Ë©!« ïÕ ¸h
Îïã ùÐ !}ªò Æ À ³ § ¯èܨ²¡³ !}ªò(¯ À ²·~ ãv¸úÎÐ v zãÎ Ð } ¯ ö² ¼£ ¬
Ðv( ) ¬
!£#y "(}~ $&"}˳. $'!× ¬ v ¬ º Ô ¬ º % ~ ¬ º 021+3 Ç É 4 ¯ 5Á À #² 6!y § *+!#,#-£~ v Ôj . $/,#-²¡³ $ ÂË8³ á7 #Þ 9+·§D¦Ë§ }¥©D«¡ ³ :<;
Îã
! @A  C³ BD} 9D#E ¥¡Þ ³ D E À !|¯|× ´ § µ~ ¸ Î Ð v v® =Ô !|?¯ >(µ× ²·~ º Ðv¼Ð ¬ =Ô !|?¯ >(µ× I æ 9 I ¦Ë§ } Æ ³ J } È 0 ? KLF F 9HG ö² Ð ¬ ¸hz <¯ M < 9 0  ÉN³ F ç E Hç O  P J Â˳ Ù!Ç 1 ¡ É 0Q ·§ £³ É·³R 98SHT#U(Ï£§ } Æ J ÂK È 0 £§ W§ V Ú Å Y 9 §J ¦·1 § } ôZ!#² y K/ F ² #ç çX 9 Fy|{!} ã V¡ y[ 9 J + 1 ³ § ô² § 8\ X Ú § } ] Þ ?§ ^_ 4 ¯è} Þ K`V¡ y [ ·§ ?} Ka ʯ+b Å ²#V 9|§ § § Å § }c ó § 7 9d }Ë ² K
7
2. Idiom sekata beda makna
fhgji tvu ½u Ãu
klm!n w w w w
ÒÓu
w
äu
w
ñu
w
þu
w
u
w
u
t u
w w
ttvu t½ u
w
o pq xÖyeè} ~v
ãÖï vÐ x¨¯°(±ª² vv
¹¸h º» ¬ z xÖyì} vv
ù¸ù
rs
ØÇ¥ÈèÙ }|Ú § }¡Û¡Ü Ù ³
F#ÂÃ À ²
w
tÃ
º ã F!¯ Â!¶
3. Idiom semakna beda kata
fhgji tvu ½u Ãu ÒÓu äu ñu þu
klm!n w w w w w w w
u
w
u
t u
w w
o pq xÖyÑ} vv
z Ôxz y Ê Å ²× Hx ¦ Q 9ËD Å ² v Ðv Ôxzy 1 }-× xÖy À ¤ ² á ® xÖÔ yÌÍÞ ²#Å ÍDÉ(}x× vv
z Ð ¬ ãz x¨¯ ÎÏ À ² xzâ} ~
Ðh Ôxz y ×è² × xÖyD+Á § } vv
z
ï vãz Ôx 9<Ø +¯ !Ú¨²× ò 9 ( +¯ Ù² ® ¸ú ® Ôíò 9HÚDÆ 1 § òèµË+y²ë × } ~ Î
¬ á ã Ôíò(¯ ¬ òÇȯ¡?´}Ë®²À × ¸úÎ Ð Ð
ã ò¯ ï Þ ò¯ y! ¦· À ¸úC Ð §v zãÐv ÀDÇ ò }ªò(¯ À ² © á º
Ä ç
ò|y#ó# 9 ¤ÉÕ ²
!² ۡܪy § § [ · § ¥} ©D« vÐv ¼ ºïº
Ä ÅÆ ¯ ¬ ´£³?Ç ÆÉÈ ¯ ¬ Ç È }˲¡³ Ä+Å À ² r s ØÇ¥ÈèÙ }|Ú § }¡Û¡Ü˯³ À µ¥Ì È ª|Þ ® ¬ ® á ¬ Î
vÐ ]è £¢¥¤ ² Ðï v v ¼Ðã Ø ÇÈDÙ }èÚ § }èÛ¡Ü·¡³ Ø ô § Â È }|}|Û|Ü£¯¡³è´ z} Ë® ¢
¤ ²£ ©D « Ð Ðv á ® ¬
vÐ } Ðè} ÐDÜ Þ ô ÍË Ì ·ÑÒè?³ Ó Ô(¯ À ² K É Í ÍD} § ÐÛ¡ïÜ Æ } Õ¡ } Õ ¼Ö Ø ¯
Ø Þ
æDç Ø }¥é¡y|êèë Æè ²|³Ëì} Ø£î Æ æ ¯ Ø Þ ã Ð Ðv ® v ð»ãv á z æ y Ø#k § } Ð º ® ® ÛÝÜ8Þ2Þàßá âWã/â<äæåèçèé/çNê ä ì 1 ó } çíî y 1 Â+]| ¦ Å È }¨²
á ® ¼v ®
Ð Ðv ® ãá u ð <¯ ñ´èÚ²|³<¯#¡ö² v® ¬ | ¡² ³ 1 - ô£y¡ì(}£³õ+ö Æè ²£©D«¡³è}· § V ¬ Õ£¯ ÷ ô ÐÀ ³ õ ® ½#ø Ð ù ¼ ® vÐ ¬ ¬
9
§ ò8 ?¦ ú yÉ\¨² Ö z
®© ò 9Wû î ¯?ü À
w
ttvu
w
t½ u
w
tÃu
w
tÒÓu
w
täu
w
tñu tþu
w
á ú¸ú ý òv
X vڥРy Æ 1 § }
v þ® óD ô¡ö²¨òèy § } ¸hÐ ÎÎ Î
òè#y (} ïï !· y D} ÿ
v á v Î ¬ º Ô "( ?} ! Æ ®× !·yD} z
á =Ô !£y¡Ñ(}× !è¯ è² ¸ú ã =Ô !|¯ Y À × !è¯ \ À ¸ú ® Ð ¬ =Ô !|¯ è²× * ! ,- v v ¬ F¡ y X Â Ô ! ç ¥ ¦ 9 Ð À¬ ² × v¸úÖï F 9WG ö·²
}¥©D« v® ¬
À µ 9+s9 !è¯\ À ³ Ü À µ 9 O ¯ ®|v® ³ +s ÜHá ó v® Ç¥È ³ À µ ® O ¯ ® ¬ Ô« Á × ¼ ¬ ã ãïv ¬ v À µ v®§ ﵨ² ¬ § 7 ç ¬ E ¯+y² Þ Ðï Ö ! ¯ ó ÇÈ D E À ² K º м|Ðã @ vÀ ã² v Ä ç 9 O À ²¡ ³ ¡ô ó Þ Ô !8\ À ²× ¬ Ðv 0813 Ç <É 4 ?¯ 5DÁ À +² 6y § £ ³ 7 Þ 9 £§!¦¨§ }¥©Dáv«¡ ³
:<¼ ;v ã ¦ ?¦ ç Þ Õ 9 ³ ²·é X J } È }? K?z ç Þ Õ 9 Ä ç é X 0 Â
Selanjutnya dianalisis untuk menemukan karakteristiknya hingga muncul perbedaan dan kesamaan makna. Di sini pula penulis mencoba membahas hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengajaran idiom yang maknanya hampir mirip untuk menghindari kesalahpahaman dalam penggunaannya. 8. SIMPULAN Pada bagian ini penulis memaparkan karakteristik setiap idiom terutama pada idiom-idiom yang maknanya mirip, seperti misalnya : te wo kumu, te wo musubu, te wo tsunagu. Dalam bahasa Indonesia didapati padanan katanya, yaitu “bergandengan tangan”, tetapi setelah mengamati setiap kalimat yang menggunakan idiom itu, bahasa Jepang tersebut di atas, ternyata nusansa maknanya berbeda. Walaupun idiom tersebut bermakna “bekerja sama”, namun untuk “te wo kumu” mengandung nuansa yang negatif dan hanya dipakai oleh sekelompok tertentu (dunia mafia) yang melakukan kegiatan negatif. Selanjutnya, diambil simpulan, bahwa “te wo nigiru” (menggenggam tangan) yang dalam bahwa Jepang bermakna “memberikan bantuan”, dalam bahasa Indonesia
10
bermakna “pelit”. Simpulan yang dapat diambil adalah bahwa imajinasi “te” (tangan) dalam “te wo nigiru” adalah tangan orang lain, sementara “menggenggam tangan” dalam bahasa Indonesia adalah tangan sendiri. Dari pengamatan terhadap setiap idiom ini, ditemukan adanya budaya yang melatarbelakangi lahirnya idiom-idiom tersebut. Sehingga para pengajar dapat sekaligus mengetahui dan memaparkan budaya Jepang melalui pengajaran idiom. DAFTAR PUSTAKA
!#"%$ &('*),+.-/-103254/6#798*:%; !#<>=@?>A ,CBD#EGF- =+"#,(IHKJMLIN EGF#O#PRQS @+UTV+XWY+.Z1T LGN[ = [ =]\_^a` #b c#B d@ D e] f gVh/i/i/ikj JXl%m A on@pGq|"#>r>s%OÓ#tu]v w@xzy|{ g +}-/-30 j JX~@r%qP%]OK)
W#ã2 #]K ] + #¡¢B D I;¤£|¥¦¢§| q #¨@ ©] ª 2 @K qoo% eG )+}-/-MT2J @I g¬« q o j O ®¯EaF y " # ²³ g +.-3-/Z j J G.5<@r>s%O ´ <#µ °#± ¶>·¹¸ g +.-3-/0 j J -G5> º =(+ "##r>s]O »BD@ >¼ y µ D = O oTÃÂÄ+S TWÅ+UT Æ @ÇÈ% \ ` ~%½%¾¿),+}-30/À32Á4 "#IHJB ÉKÊ Ë ),+}-30 h 2kJ "#.,(-.è"%O @ÇÈ] \ Ì NoÍ>Î g +.-3-/Ï j 4 "#&,_Ð% Ñ 1#Ò#Ó>ÔÕKÖzq×IÖzqØ]& Ö ÙÚ! Û ".1--,ÜÝ
ã äå Þ ),+}-301ß T2 ÔGJXHÙ@J æç =èO #KéKà@ê]áKâ] [ = ` BD` ¢ ë*ìîí ïMðòñð ' ôó 'M)+.-/-3Ï32 hi/i +ôõ ð÷öMð÷øîù/ú.ùÃðòøMûkü¬øMýÿþ í ú û÷í òñú gVhi/i +BD"#qa6 ó ù ì ð ÷ø #úü û îð í ÷øMð÷þ !ø ' ¬ ð/
û 1 "û j õ ' &('M)+.-3-3À3$2 # ð÷% ñ 1' ú &(øîý÷ìXðòöMð÷' ø (ð îðú. ð øMû ÷øMù/ú3í ð Gg 6#798ô:%; ! "#>r>s j )*1+ú ðòìU, ð )- í ñð ' ¬ð÷îðøî"û ù øîë ý ' ),+.-3-MT. 2 # ðò' ñ 1/ ú û÷í ò0 ñ ¬(ð îð/ú. ð øMû ÷øMù3ú1í ð g 6>7R8*:%; ! "##r>s j1 ó 1ú} ð øMû/(ð ' 2ÿþ îð"ÿ ù/ø ú í ð 3ý óô' ë '/),+.-3-3032 # ð/ ñ 14 ú & øMýòìXðòöMðÿøû3ð÷, ø ) ù í 5î(ð 1ð/ú}6 ð øM3û ÷øîù/ú3í ð g 6>7¢8ô:%; ! A ##r@s j ðòøM"û øMý )$M7ú ðì}ð & ù í ð ' ón%pG q/û÷"í
K) hi/3i 9 2ç4 B D =(+;:% Ö 1"#,(-&6K798ô:]; ! >-,(=<= 8îð¡ H %6#798ô:%; ! EGFK[ = [ =%\ ,>1:ú}ð ? @)¬ùò/ñ 5/í øMð/ð÷øû/ð÷= )* ø ) ù÷øMý/ùò/ ñ 5MðòøMý/ðò ø ¬"ð Mð/ú}ð )+.-/-/Ï1%2 # ðò/ ñ 1A ú ¬ù/ú}ð ¬"ð Mð3ú.B ð øM3û ÷øîù/ú1í ð ][Kr>s j õ ðìXð C ð ¬ð÷þ ð÷+í )*1+ú ðòìUð ' g 6>7R8*:%; !
11