KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA KARAGENAN RUMPUT LAUT MERAH Eucheuma spinosum DARI PERAIRAN NUSA PENIDA, SUMENEP, DAN TAKALAR
ANDARINI DIHARMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakteristik FisikoKimia Karagenan Rumput Laut Merah Eucheuma spinosum dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2016
Andarini Diharmi F 261120031
RINGKASAN ANDARINI DIHARMI. Karakteristik Fisiko-Kimia Karagenan Rumput Laut Merah Eucheuma spinosum dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar. Dibimbing oleh DEDI FARDIAZ, NURI ANDARWULAN, dan ENDANG SRI HERUWATI. Karagenan hasil ekstrak rumput laut merah (Rhodopyceae) tersusun dari senyawa polisakarida berantai linier, galaktan sulfat, dan larut di dalam air. Berdasarkan kandungan sulfatnya, karagenan terdiri dari fraksi kapa, iota, dan lamda, yang dihasilkan dari spesies yang berbeda. Spesies rumput laut merah penghasil karagenan di Indoensia adalah Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) dan Eucheuma spinosum (denticulatum). Karagenan adalah salah satu ingredien pangan yang berfungsi sebagai penstabil, pengental, dan pembentuk gel. Sentra budidaya E. spinosum di Indonesia berada di perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar. Diperkirakan lokasi budidaya rumput laut berpengaruh terhadap kualitas karagenan yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis perbedaan komposisi kimia rumput laut E. spinosum, 2) menganalisis perbedaan karakteristik fisik dan kimia karagenan, 3) menganalisis perbedaan profil viskositas karagenan pada suhu 80–20C tanpa dan dengan kation K+ dan Ca2+, dan 4) mengkaji profil reologi larutan karagenan pada suhu 60, 65, dan 70C dari rumput E.spinosum yang berasal dari perairan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar.. Rumput laut E. spinosum yang dianalisis adalah komposisi proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat), dan serat kasar, sedangkan terhadap karagenan meliputi rendemen dan kadar air. Selanjutnya dilakukan analisis karakteristik kimia karagenan yang meliputi kadar abu, abu tidak larut asam, sulfat, kadar mineral, dan logam berat, identifikasi senyawa karagenan melalui profil spectrum senyawa karagenan menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR), dan bobot molekul dengan GPC-HPLC. Analisis karakteristik fisik terdiri atas kekuatan gel, derajat putih, viskositas, profil viskositas dengan penambahan kation K+ dan Ca2+, serta analisis profil reologi larutan karagenan pada suhu 60, 65, dan 70C dari rumput laut E.spinosum yang berasal dari periaran Nusa Penida, Sumenep , dan Takalar. Kadar air rumput laut E. spinosum kering dari ketiga perairan (Nusa Penida, Takalar, dan Sumenep) berkisar antara 19–20% (bb). Komposisi kimia rumput laut dari ketiga perairan adalah kadar abu 23.35–24.30% (bk), lemak 0.012–0.076% (bk), protein 6.30–7.30% (bk), karbohidrat 69.07 – 69.66 % (bk), dan serat total 15.14–19.27% (bk). Eucheuma spinosum yang berasal dari ketiga perairan memiliki kadar air, lemak, protein, lemak, dan karbohidrat yang tidak berbeda, hanya kadar serat kasar yang berbeda nyata. Ekstrak E. spinosum dari ketiga perairan menghasilkan karagenan dengan rendemen 25–37% dan kadar air 9–11% bb. Rendemen karagenan tertinggi berasal dari perairan Takalar diikuti karagenan dari Sumenep dan Nusa Penida. Karagenan secara kimia memiliki kadar abu 28.26–29.57% (bk), kadar sulfat 30.74-32.27% (bk), dan kadar abu tidak larut asam 0.27– 0.33% (bk). Kadar mineral (kalsium, kalium, magnesium, dan natrium) dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar menunjukkan perbedaan. Rasio kalsium terhadap kalium karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar berturut-turut 2.62, 2.92, dan 3.52. Hasil analisis terdeteksi kandungan logam berat menunjukkan bahwa karagenan ini tidak mengandung logam berat (Pb, Hg, Cd dan As).
Spektrum FTIR untuk ketiga jenis karagenan menunjukkan adanya gugus fungsi galaktosa-2-sulfat (G2S), anhidrogalaktosa-4-sulfat (DA4S), serta galaktosa, ikatan glikosidik, anhidro-galaktosa, dan ester sulfat pada bilangan gelombang yang hampir sama. Terdapatnya gugus G2S dan DA4S pada ketiga karagenan pada bilangan gelombang 806 dan 852 cm-1 menunjukkan bahwa karagenan E. spinosum dari ketiga perairan adalah tipe iota-karagenan. Analisis bobot molekul karagenan ketiga perairan menggunakan GPC-HPLC mengkonfirmasi bahwa ketiga karagenan adalah iota-karagenan dan mempunyai bobot molekul berkisar antara 8.40 – 9.01 x 105 Dalton. Kekuatan gel karagenan tertinggi berasal dari perairan Takalar, diikuti Sumenep dan Nusa Penida. Nilai derajat putih tertinggi juga berasal dari karagenan Takalar. Profil viskositas ketiga karagenan pada suhu 80C di awal pengukuran berbeda, viskositas karagenan tertinggi berasal dari perairan Takalar, diikuti Sumenep dan Nusa Penida, dan ketika suhu diturunkan ketiga karagenan menghasilkan peningkatan nilai viskositas. Kekuatan gel dan profil viskositas berbanding lurus dengan rasio kalsium terhadap kalium. Penambahan ion K+ terlihat sangat berpengaruh lebih nyata pada viskositas karagenan Nusa Penida yang memiliki rasio kalsium terhadap kalium paling rendah, sedangkan penambahan ion Ca2+ berpengaruh nyata pada karagenan Takalar yang memilii rasio kalsium terhadap kalium paling tinggi. Kandungan kalsium dan kalium indigenus berpengaruh terhadap viskositas dengan penambahan ion eksogenus. Profil reologi larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 70C memiliki pola ang serupa yaitu larutannya mudah dialirkan (Newtonian). Reologi karagenan Nusa Penidam Sumenep pada suhu 65C, memiliki profil yang serupa masih Newtonian, kecuali Takalar dan pada suhu 60C, profil reologi Sumenep dan Takalar serupa yaitu larutannya sukar untuk dialirkan (Non Newtonian) sedangkan Nusa Penida masih Newtonian.
Kata kunci: Eucheuma spinosum, karagenan, iota-karagenan, profil viskositas, reologi
SUMMARY ANDARINI DIHARMI. Physico-Chemical Characteristics of Carrageenan Extracted from Red Seaweed Eucheuma spinosum Carrageenan Originated from Coastal Region of Nusa Penida, Sumenep, and Takalar. Supervised by DEDI FARDIAZ, NURI ANDARWULAN, and ENDANG SRI HERUWATI. Carrageenan extracted from red seaweed (Rhodopyceae) consists of linear-chain polysaccharide compounds, sulfate galactans and soluble in water. Based on its sulfate content, carrageenan is categorized as kappa, iota, and lambda, which are produced from a different species. Species of red seaweed as raw material for carrageenan in Indonesia are Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) and Eucheuma spinosum (denticulatum). As food ingredient, carrageenan serves as a stabilizer, thickener, and emulsifier. Eucheuma spinosum is potential as source of carrageenan. E. spinosum cultivation centers in Indonesia are Nusa Penida, Sumenep, and Takalar coastal areas. It is estimated that location of seaweed cultivation will affect the quality of produced carrageenan. This study aims to 1) analyze the differences in chemical composition of E.spinosum dried seaweed, 2) analyze the physico-chemical characteristics of carrageenan, 3) analyze the viscosity profile at 80– 20C without and with cations i.e. K+ and Ca2+, and 4) analyze the rheological profile at 60, 65, and 70C of E.spinosum originating from coastal regions Nusa Penida, Sumenep, and Takalar. E. spinosum seaweed was analyzed the proximate composition (moisture, ash, fat, protein and carbohydrates) and crude fiber, while the carrageenan was yield and moisture content. Further analysis chemical characteristics of carrageenan consist of the ash, acid insoluble ash, sulfate, mineral and heavy metal content, profile carrageenan compound with a spectrophotometer Fourier Transform Infrared (FTIR), and a molecular weight by GPC-HPLC. The analysis the physical characteristics of carrageenan were gel strength, whiteness, viscosity and viscosity profile with the addition of cations K+ and Ca2+, as well as rheological profile analyzes of carrageenan solution at a temperature of 60, 70 and 75C. Dried seaweed of E. spinosum collected from three coastal regions (Nusa Penida, Sumenep, and Takalar) has moisture content ranged from 19 % to 20%. The chemical composition of the dried E.spinosum were 23.35 – 24.30% ash (dw), 0.012 – 0.076% fat (dw), 6.30 – 7.30% protein (dw), 69.07 – 69.66% carbohydrate (dw) and 15.12–19.89% fiber (dw). There were no difference in proximate compositions of E. spinosum except for crude fiber content. Yields of carrageenan extracted from E. spinosum range of 25–37%, with the moisture content of 9–11%, is achieved by E. spinosum from Takalar. The chemical characteristics of carrageenan were 28.26 – 29.57% ash, 30.74 – 32.27%, sulfate, while acid insoluble ash contents were 0.27 to 0.33% (dw). The minerals (calcium, magnesium, potassium, and sodium) contents of carrageenan from Nusa Penida, Sumenep, and Takalar were almost similar while heavy metal (Pb, Hg, Cd and As) were not detected in the three kinds of carrageenan. The calsium to potassium ratio in carrageenan from Nusa Penida, Sumenep, and Takalar were 2.62, 2.92 and 3.52 respectively. The calsium to potassium ratio was highest in carrageenan from Takalar followed by that from Sumenep and Nusa Penida.
Spectrum of FTIR for three carrageenan shows the presence of glycosidic bond, anhydro-galactose and sulfate esters. The presence of G2S and DA4S groups at wave number of 806 and 852 cm-1 in carrageenan from Nusa Penida, Sumenep, and Takalar indicated that these carrageenans were iota-carrageenan. Analysis of the molecular weight for three carrageenans using GPC-HPLC confirmed that carrageenans from Nusa Penida, Sumenep, and Takalar were iota-carrageenan and had molecular weight ranging from 8.40x 105 to 9.01 x 105 Dalton. Gel strength of carrageenan from Takalar was higher than those from Sumenep and Nusa Penida. While, the highest whiteness degree was also chieved by carrageenan from Takalar. The viscosity profile of carrageenans from Nusa Penida, Sumenep, and Takalar at a temperature of 80°C showed that the three carrageenans had different viscosity, and when the temperature was lowered their viscosity increased. Gel strength and viscosity profile were proportional to the the ratio of calcium to potassium. The addition of K+ ion was very significant to the viscosity of carrageenan from Nusa Penida which had a lowest ratio of calcium to potassium, while the addition of Ca2+ was very significant to carrageenan from Takalar which had a highest ratio of calcium to potassium. Indigenus calcium and potassium affect the viscosity with the addition of exogenous ion. The rheological profile of carrageenan solutions from Nusa Penida, Sumenep and Takalar at a temperature of 70C had a similar pattern that was easily flowing solution (Newtonian). The rheology of carrageenan from Nusa Penida and Sumenep at a temperature of 65C had the same profile which were Newtonian, but that from Takalar was non-Newtonian and at a temperature of 60C, rheology profile carrageenan from Sumenep and Takalar were similar and the solution was difficult to flow (non-Newtonian) while that from Nusa Penida was still Newtonian.
Keyword: Eucheuma spinosum, carrageenan, iota-carrageenan, profile of viscosity, rheology
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA KARAGENAN RUMPUT LAUT MERAH Eucheuma spinosum DARI PERAIRAN NUSA PENIDA, SUMENEP, DAN TAKALAR
ANDARINI DIHARMI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Elvira Syamsir MSi Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Dr Ir Bagus Sediadi Bandol Utomo, M.App.Sc Peneliti Senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Daya Saing Produk dan Biotektenologi Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Nugraha Edhi Suyatma, S.TP.DEA Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Dr Ir Bagus Sediadi Bandol Utomo,M.App.Sc Peneliti Senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Daya Saing Produk dan Biotektenologi Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Judul Disertasi
: Karakteristik Fisiko-Kimia Karagenan Rumput Laut Merah Eucheuma spinosum dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar
Nama
: Andarini Diharmi
NIM
: F 261120031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Dedi Fardiaz MSc Ketua
Prof Dr Ir Nuri Andarwulan MSi Anggota
Dr Ir Endang Sri Heruwati Anggota
Diketahui oleh Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi MSc
Dr Ir Dahrul Syah MScAgr
Tanggal ujian tertutup : 14 Maret 2016 Tanggal sidang promosi : 2 Mei 2016
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan judul “Karakteristik Fisiko-Kimia Rumput Laut Merah Eucheuma spinosum dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar”. Bagian disertasi ini telah diajukan sebagai artikel ilmiah, yaitu: 1) Profil viskositas karagenan E. spinosum dari Nusa Penida (Bali), Sumenep (Madura), dan Takalar (Sulawesi Selatan) yang diterbitkan pada Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia volume 18 No 3 bulan Desember 2015, 2) Chemical and Physical Characteristics of Carrageenan Extracted from E. spinosum Harvested from Three Different Indonesian Coastal Sea Regions, pada Journal Phycological Research (Wiley), dan 3) telah dipresentasikan pada Seminar Nasional MPHI ke-7 bulan Oktober 2016 dengan judul “Komposisi Kimia dan Mineral Rumput Laut E. spinosum Kering dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar”. Terima kasih penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Dedi Fardiaz MSc, selaku Ketua, Prof Dr Ir Nuri Andarwulan MSi dan Dr Ir Endang Sri Heruwati, sebagai anggota yang selalu dengan sabar dan bijaksana memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan motivasi, mulai dari mempersiapkan proposal hingga melaporkannya dalam bentuk disertasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Didah Nur Faridah MSi, Dr Ir Nur Wulandari MSi, Dr Ir Elvira Syamsir M.Si, Dr Nugraha Adhi Suyatma S.TP DEA, dan Dr Ir Bagus Sediadi Bandol Utomo M.App.Sc, sebagai penguji luar komisi, ujian prelim, ujian tertutup, dan terbuka, serta Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi MSc (ketua PS IPN), Dr Ir Endang Prangdimurti MSi (Sekretaris PS IPN) dan Prof Dr Ir Ono Suparno MT (Wakil Dekan Fateta) yang telah memberikan masukan dan saran yang berguna dalam penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih kepada Bapak Rektor, Dekan Fakutas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau atas izin yang diberikan mengikuti tugas belajar di IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf dan jajarannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan atas izin dalam penggunaan fasilitas penelitian di laboratorium yang ada di balai tersebut. Terima kasih kepada KEMENDIKNAS RI atas biaya bantuan penelitian Hibah Doktor 2014 dan Yayasan Supersemar. Ucapan terima kasih kepada ayah dan ibu tercinta, atas iringan doa restu, dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada suami tercinta (Ir Abrar Aliyasar) dan kedua putera tersayang (Muhammad Farrel Asyraf Abrar dan Fathir Muhammad Kevin Abrar) atas pengertian, kesabaran, dan inspirasi yang diberikan. Terimakasih kepada adik-adik tersayang dan keluarga besar atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalani pendidikan. Terima kasih juga pada rekan dan sahabat khususnya, Akhya M.SI, Dr Ema Hastarini, Zakiah Wulandari M.Si, Zalniati Fona M.Si, Sri Sugiwarti, Santi Dwi Astuti,M.Si, Dr Irdha, Dr. Dewi Fortuna Ayu, Asnan M.Si, Fitri Tafzy MSi, Retnani MP, Subaryono M.Si, dan Yuliati M.Si. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2016
Andarini Diharmi F261120031
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
xv xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Novelty (kebaharuan) Penelitian
1 1 3 4 4 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma spinosum Karagenan Sumber Karagenan Proses Produksi Karagenan Isolasi Karagenan Struktur Kimia dan Karakteristik Karagenan Jenis-Jenis Karagenan Identifikasi Senyawa Karagenan Sifat-Sifat Karagenan Karakteristik Reologi Standar Mutu Karagenan Pemanfaatan Karagenan
7 7 8 9 10 12 12 14 16 17 19 21 25 25 27
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Prosedur Analisis Analisis Data
29 29 29 30 33 41
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku dan Karakteristik Eucheuma spinosum Komposisi Kimia Rumput Laut Eucheuma spinosum Kering Ekstraksi Rumput Laut Eucheuma spinosum Karakteristik Kimia Karagenan Karakteristik Fisik Karagenan Profil Viskositas Karagenan Profil Karagenan dengan Penambahan K+
43 43 45 47 49 54 56 58
Profil Karagenan dengan Penambahan Ca2+ Profil Reologi Larutan Karagenan pada Suhu 60, 65 dan 70C
62 67
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
75 75 75
DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
77 85
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11
12 13 14
15 16 17
Jenis-jenis karagenan hasil isolasi dari rumput laut merah Komponen penyusun karagenan Bilangan gelombang gugus fungsi tiga tipe karagenan Absorbansi dari spektrum FTRI kapa-karagenan Sifat-sifat kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut Karakteristik gel kappa, iota, dan lamda-karagenan Stabilitas karagenan dalam berbagai suhu Standar mutu karagenan Beberapa penerapan karagenan dalam produk-produk dengan bahan dasar air Deskripsi spindel yang digunakan dalam analisis dengan viskometer DV2LT Komposisi kimia dan serat rumput laut E.spinosum kering dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar Rendemen karagenan E.spinosum Karakteristik kimia karagenan E.spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar Kandungan mineral pada karagenan E.spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar Bilangan gelombang hasil spektra FTIR karagenanE. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar Bobot molekul karagenan E. spinosum Karakteristik fisik karagenan E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar
10 17 19 20 21 22 24 26 27 40 46 48 49 50
53 53 54
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Eucheuma spinosum Spesies rumput laut penghasil karagenan Diagram alir proses produksi karagenan Struktur kimia karagenan Struktur kimia kapa-karagenan Struktur iota-karagenan Struktur lamda-karagenan Spektrum FTIR dari kapa-karagenan Diagram alir pelaksanaan penelitian Proses ekstraksi E. spinosum Rumput laut Eucheuma spinosum Eucheuma spinosum setelah pencucian dan pengeringan Spektra FTIR karagenan E. spinosum dan iota-sigma Hubungan rasio Ca/K terhadap kekuatan gel karagenan Profil viskositas karagenan E. spinosum Profil viskositas larutan karagenan penambahan K+, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar
9 13 15 16 18 18 19 20 31 32 43 44 52 55 57 60
17 Profil viskositas larutan karagenan penambahan K+, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar suhu vs vikositas 18 Profil viskositas larutan karagenan penambahan Ca2+, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar 19 Profil viskositas larutan karagenan penambahan Ca2+, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar suhu vs viskositas 20 Hubungan shear rate and shear stress pada suhu 60, 65 dan 70C, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar 21 Hubungan shear rate and shear stress pada Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar, (a) suhu 60C, (b) suhu 65C, dan (c) suhu 70C
61 64 65 70 72
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut terdiri atas 4 kelas, yaitu merah, coklat biru dan hijau. Spesies rumput laut merah yang telah dibudidayakan di Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi yaitu Euchema sp, Gracilaria, Gelidium, dan Hypnea. Spesies rumput laut merah sumber karagenan yang banyak tumbuh dan dibudidayakan di perairan Indonesia yaitu Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) dan Eucheuma spinosum (E. denticulatum). Berdasarkan data Statistik Perikanan Budidaya Indonesia, peningkatan produksi rumput laut nasional dalam kurun waktu 20101014 adalah sebesar 460.9% dari produksi tahun 2010 yakni 3.399.436 ton menjadi 8.971.463 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP 2015). Diantara spesies yang telah dibudidayakan di perairan laut Indonesia yaitu E.spinosum. Sentra budidaya E.spinosum terdapat di Nusa Penida (Bali), Takalar (Sulawesi Selatan), Sumenep (Jawa Timur). Spesies rumput laut merah penghasil karagenan E spinosum (denticulatum), E. cottonii (Kappaphycus alvarezii), Gigartina redule, dan Chodrus crispus (Alzuetta 2012). Karagenan adalah senyawa hidrokoloid hasil ekstrak dari rumput laut merah, merupakan senyawa polisakarida kompleks, bersifat larut di dalam air, berantai linier dan galaktan sulfat. Senyawa penyusun karagenan terdiri atas unit-unit dari galaktosa dan 3.6-anhidrogalaktosa yang berikatan dengan gugus sulfat atau tidak berikatan dengan α-(1.3)-D-galaktosa dan β-(1.4)-3.6-anhidrogalaktosa. Berdasarkan substituen sulfatnya pada setiap monomer, maka karagenan dapat dibedakan dalam beberapa tipe yaitu kapa, iota, lamda, mu, nu dan xi- karagenan. Pemanfaatan karagenan sangat luas karena memiliki sifat an-ionik kuat dan dapat membentuk koloid sehingga digunakan sebagai pengemulsi, pengental, pengisi, penstabil, perekat dan pembentuk gel. Penelitian tentang karagenan terus berkembang tidak hanya dalam bidang pangan tetapi juga dalam bidang farmasi dan industri. Campo et al. (2009) menyebutkan bahwa polisakarida karagenan memiliki sifat fungsional yang berperan sebagai anti inflamasi, dapat mencegah virus herpes dan virus HIV. Karagenan pertama kali diekstrak dari rumput laut jenis Chondrus crispus oleh Stanford tahun 1862 (Chapman & Chapman 1980). Rumput laut penghasil karagenan berasal dari kelompok alga merah (Rhodophycea). Beberapa jenis rumput laut merah yang umumnya sebagai sumber karagenan adalah Furcellaria, Chondrus, Hypnea, Euchema dan Kapaphycus, Iridaea dan Gigartinia (Van de Velde 2008). Tipe karagenan secara umum yang sangat penting adalah kapa (ĸ), iota () dan lamda (). Sifat reologi dari gel kappa-karagenan membentuk gel yang keras, kuat dan rapuh dan iota-karagenan membentuk gel yang lembut dan lemah/encer sedangkan lamda () tidak dapat membentuk gel. Kapa-karagenan merupakan hasil ekstrak jenis Kapaphycus alvarezii (E. cotonii) sedangkan iota dari E. denticulum (E. spinosum), dan lamda dihasilkan oleh Chondrus sp. Rumput laut merah penghasil karagenan diekstraksi dengan alkali pada suhu tertentu (Van de Velde et al. 2001).
2 Penelitian terhadap rumput laut merah jenis Eucheuma alvarezii hasil budidaya di beberapa perairan Indonesia telah dilakukan oleh Rachmaniar (1995), yang melaporkan bahwa karakteristik karagenan E. alvarezii hasil budidaya dari 4 pulau (Pari, Awi, Mamuju dan Sarangan), memiliki gugus fungsi galaktosa, 3.6-anhidrogalaktosa dan sulfat dan tipe karagenannya adalah jenis kapa kecuali dari pulau Sarangan terdapat karagenan hibrid (iota dan kapa). Penelitian lainnya terhadap hasil ekstrak rumput laut adalah fungsi dan struktur karagenan hibrid dengan mempelajari struktur molekulnya dengan menggunakan FTIR dan NMR. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa stuktur molekul hibrid merupakan bentuk konformasi transisi random koil menjadi heliks (Van de Velde 2008). Salah satu jenis rumput laut yang sudah diketahui merupakan penghasil karagenan yang tumbuh di Indonesia yaitu Eucheuma spp. Hasil penelitian laut “Siboga Expedition” tahun 1899-1990 melaporkan bahwa terdapat 555 jenis rumput laut yang tumbuh di perairan Indonesia, sekitar 55 jenis di antaranya telah digunakan penduduk sebagai makanan (Zeneveld 1955; Soegiarto & Sulistijo 1989). Di antara 55 jenis tersebut terdapat E. spinosum dan E. cottonii (Kapaphycus alvarezii). Eucheuma spinosum banyak dibudidayakan di Nusa Penida (Bali), Sumenep (Madura, Jawa Timur) dan Takalar (Sulawesi Selatan) dan berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku karagenan yang banyak dibutuhkan oleh industri pangan maupun non pangan. Namun demikian belum diketahui karakteristik fisiko-kimia dari karagenan yang berasal dari ketiga lokasi tersebut. Karakteristik fisiko-kimia diperlukan untuk mengetahui pemanfaatan secara lebih tepat spesifikasi khususnya bagi kebutuhan industri. Eucheuma spinosum pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kondisi lingkungan ini dapat berbeda-beda pada setiap lokasi serta dapat berubah karena pengaruh musim kemarau, hujan atau karena pencemaran laut (Doty, 1985a, 1985b dan 1986). Habitat tumbuhnya rumput laut mempengaruhi kandungan karagenan Eucheuma spinosum. Faktor-faktor eksternal disetiap perairan tentunya akan berbeda sehingga mempengaruhi karakteristik karagenan. Fisiologi alga merupakan suatu akumulasi proses biofisik dan biokimia yang berkembang sebagai evolusi respon adaptasi terhadap lingkungan habitatnya. Faktor internal dan eksternal perairan mempengaruhi pertumbuhan dan kandungan biokimia alga. Aspek-aspek fisik, kimia dan biologi yang terdapat di perairan berbeda antara perairan satu dengan yang lainnya dalam membentuk karakteristik suatu alga. Faktor-faktor lingkungan yang dominan adalah arus perairan, sinar matahari, zat hara, suhu dan salinitas. Hasil penelitian terhadap pertumbuhan dan kandungan karagenan Eucheuma spinosum di perairan Sumenep, parameter habitatnya adalah suhu 31C, kandungan nitrat 0.15+0.1 mg/l dan ortophosfatnya 0.06 + 0.01 mg/l , menghasilkan karagenan sebesar 59.82 % (Apriyana 2006). Sedangkan dari perairan Nusa Penida dan Takalar yang di duga memiliki perbedaan karakteristik perairan tempat tumbuhnya E.spinosum yang dibudidayakan, akan memiliki karakteristik karagenan yang berbeda.
3
Di samping faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi karakteristik fisiko-kimia rumput laut E. spinosum yang menghasilkan karagenan adalah keberadaan kation-kation antara lain kalium, natrium (monovalen), kalsium (divalen), dan pengaruh suhu yang mempengaruhi karakteristik fisik (sifat reologi) dari karagenan itu sendiri. Hasil-hasil penelitian tentang pengaruh kation kalsium dan kalium ataupun garam telah banyak diteliti di antaranya oleh Funami et al. (2007), Michel et al. (1997), Tako et al. (1987) dan Trimawithana (2010). Penelitian terhadap karakteristik karagenan khususnya jenis Eucheuma cottonii telah banyak dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya antara lain oleh Rahmaniar (1996) dan Montalalu (2008). Karakteristik fisiko-kimia karagenan Eucheuma spinosum hasil budidaya sebagai dari beberapa perairan di Indonesia masih terbatas dan belum lengkap informasinya sebagai ingredien pangan. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik karagenan dari beberapa lokasi budidaya dengan melakukan karakterisasi bahan baku rumput laut kering secara kimia, ekstraksi untuk menghasilkan karagenan dan karakteristik karagenan secara fisiko-kimia. Perumusan Masalah
Eucheuma spinosum adalah salah satu jenis rumput laut merah yang telah di budidayakan di perairan Indonesia. Rumput laut E. spinosum merupakan salah satu spesies penghasil karagenan. Rumput laut E.spinosum dalam bentuk segar merupakan sumber serat maupun mineral bahkan digunakan sebagai bahan makanan dan minuman. Beberapa penelitian tentang rumput laut merah telah banyak dilakukan terutama ekstraksi jenis Eucheuma cottonii sebagai sumber karagenan. Sementara jenis E.spinosum masih sangat jarang dilakukan terutama jenis E. spinosum dari perairan Indonesia terutama dari Nusa Penida, Sumenep dan Takalar. Rumput laut E. spinosum yang telah dibudidayakan di perairan Indonesia memiliki karakteristik yang belum banyak diketahui begitu juga hasil ekstraknya yaitu karagenan yang berpotensi sebagai ingredien pangan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana karakteristik rumput laut E.spinosum dari perairan yang berbeda sebagai bahan baku karagenan, begitu juga dengan hail ekstraknya. Setelah diketahui karakteristik rumput laut E.spinosum dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar. Kemudian diekstrak rumput laut E. spinosum dari perairan yang berbeda untuk menghasilkan karagenan. Bagaimana karakteristik karagenan ketiga perairan, apakah karagenan yang dihasilkan memiliki persamaan dan perbedaan pada karakteristik fisik, kimia dan reologi, apa persamaannya dan jika ada perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan. Oleh karena itu diperlukan analisis terhadap karakteristik fisik (kekuatan gel, derajat putih dan profil viskositas), kimia (kadar air, kadar abu, kadar abu larut asam, kadar mineral, logam berat, gugus fungsi ketiga karagenan dan bobot molekul). Karakteristik reologi berupa penambahan mineral-mineral tertentu (kalsium dan kalium) terhadap profil viskositas dan profil reologi pada suhu berbeda (60, 65 dan 70C). Dengan diketahui karakteristik karagenan dari ketiga perairan, sehingga memudahkan dalam aplikasi dan kondisi proses yang tepat dalam pemanfaatan sesuai dengan sifat fungsionalnya.
4
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis dan memperoleh perbedaan karakteristik fisiko-kimia karagenan Eucheuma spinosum yang berasal dari tiga perairan (Nusa Penida, Sumenep dan Takalar). Penelitian ini bertujuan 1) menganalisis perbedaan komposisi kimia rumput laut Eucheuma spinosum kering, 2) menganalisis perbedaan karakteristik fisik, kimia karagenan yang dihasilkan E. spinosum 3) menganalisis perbedaan profil viskositas karagenan yang berasal Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 80– 20C tanpa dan dengan kation K+ dan Ca2+, dan 4) profil reologi karagenan E. spinosum pada suhu 60, 65 dan 70C
Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat diungkapkan karakteristik karagenan dari Eucheuma spinosum yang dibudidayakan di beberapa perairan Indonesia yang penting artinya sebagai salah satu ingredien pangan. Dengan demikian pemanfaatan karagenan dalam berbagai industri maupun dalam produk pangan data dilakukan secara tepat.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian dasar dalam cakupan ilmu kimia pangan. Ruang lingkup penelitian ini meliputi karakteristik bahan baku rumput laut E. spinosum kering yang diperolah dari petani hasil budidaya dari perairan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar, dengan cara menganalisis komposisi kimia bahan baku. Selanjutnya menganalisis karakteristik fisiko-kimia karagenan sebagai hasil ekstrak E.spinosum. Karakteristik bahan baku rumput laut E. spinosum kering petani diperoleh dengan cara mencuci dan mengeringkan rumput laut kemudian menganalisis komposisi kimia bahan baku (rumput laut) meliputi kadar air, abu, protein, lemak karbohidrat dan serat total. Selanjutnya rumput laut diekstrak dengan alkali panas pada suhu 90-95C selama 3 jam, diendapkan, dikeringkan dan digiling sehingga menghasilkan karagenan. Kemudian di hitung rendemen yang dihasilkan dalam persen terhadap bahan baku. Karagenan dikarakterisasi sifatsifat fisiko- kimianya. Sifat-sifat fisik yang dianalisis adalah kekuatan gel, derajat putih, profil viskositas, profil viskositas dengan penambahan Ca2+ dan K+ dan profil laju alir pada suhu 60, 65 dan 70C. Sedangkan karakteristik kimia adalah kadar abu, abu tidak larut asam, mineral, logam berat, sulfat, identifikasi gugus fungsi dengan FTIR dan bobot molekul.
5
Kebaharuan (Novelty) Penelitian Penelitian-penelitian sebelumnya tentang spesies E.spinosum masih jarang, masih terbatas seperti metode ekstraksi dan kajiannya mengenai karakteristik karagenan yang dihasilkan masih belum lengkap informasinya begitu juga dengan komposisi kimia bahan bakunya (rumput laut kering). Kebaharuan pada penelitian ini adalah, mengkaji karakteristik fisiko-kimia karagenan dari rumput laut Eucheuma spinosum dari perairan yang berbeda. Perairan tempat tumbuh dan E. spinosum yang banyak dibudidayakan di Indonesia yaitu di Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar.
6
7
TINJAUAN PUSTAKA
Rumput Laut
Rumput laut (seaweed) adalah bagian terbesar dari tanaman laut. Sekitar 555 jenis rumput laut tumbuh di perairan Indonesia, di antaranya 55 jenis yang diketahui mempunyai nilai ekonomis tinggi, antara lain Eucheuma sp., Gracilaria spp., dan Gelidium spp. Sejak zaman dulu rumput laut telah digunakan manusia sebagai makanan dan obat-obatan. Rumput laut tergolong dalam divisio Thallophyta. Berdasarkan kandungan pigmennya terdiri atas 4 kelas yaitu Chlorophyceae (rumput laut hijau), Phaeophyceae (rumput laut coklat), Cyanophyceae (rumput laut biru) dan Rhodophyceae (rumput laut merah). Salah satu genus yang tergolong ke dalam kelas rumput laut merah adalah Eucheuma, diantara spesiesnya adalah E. cottonii dan E. spinosum. Eucheuma secara alamiah dapat tumbuh menempel pada tempat karang mati, cangkang moluska, pasir, dan lumpur. Eucheuma spinosum tumbuh pada kedalaman sekitar 1-5 meter atau lebih dimana sinar matahari masih dapat menembus sampai ke dasar perairan. Alga ini tumbuh tersebar di perairan Indonesia pada tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain substrat batu, air jernih, ada arus atau terkenan gerakan air lainnya, kadar garam antara 28-36 per mil, dan cukup sinar matahari (Nazam 2004). Habitat rumput laut umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (subtidal). Melekat di daerah substrat berpasir dan karang mati, karang batu hidup, batu gamping, atau cangkang moluska. Umumnya E. cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef), karena di tempat tersebut beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor suhu perairan, substrat, dan gerakan air. Eucheuma cottonii lebih bagus dengan suhu harian antara 25-30C dalam proses pertumbuhannya. Alga ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya yang memiliki keuntungan dalam hal penyebaran spora (Aslan, 2006). Di beberapa daerah pantai di bagian selatan Jawa dan pantai barat Sumatera, rumput laut banyak ditemui hidup di atas karang-karang terjal yang melindungi pantai dari deburan ombak. Rumput laut tumbuh di sekitar perairan pantai Santolo dan Sayang Heulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat dan di Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang Propinsi Jawa Banten. Selain itu, di Sumatera juga terdapat rumput laut di daerah pantai barat Sumatera, pesisir Barat Provinsi Lampung sampai pesisir Sumatera Utara, dan Nanggroe Aceh Darussalam (Kadi 2004). .
8
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rumput Laut Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut terdiri atas faktor eksternal dan internal. Faktor internal yaitu genetik dan eksternal yaitu lingkungan yang terdiri atas suhu, arus, salinitas, dan pH. Suhu Suhu perairan mempengaruhi laju fotosintesis. Nilai suhu perairan yang optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis. Pada suhu rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis, dan respirasi (Eidman 1991). Sulistijo (1994) menyatakan kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut Eucheuma sp adalah 27 – 30C. Arus Arus adalah gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, dan pasang surut yang bergelombang panjang dari laut terbuka (Nontji 1987). Arus mempunyai peranan penting dalam penyebaran unsur hara di laut. Arus ini sangat berperan dalam perolehan makanan bagi alga laut karena arus dapat membawa nutrien yang dibutuhkannya. Menurut Sulistijo (1994), salah satu syarat untuk menentukan lokasi budidaya Eucheuma sp adalah adanya arus dengan kecepatan 0.33 – 0.66 m/detik.
Salinitas Rumput laut Eucheuma sp tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas yang cukup. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp menurun. Sadhori (1989) melaporkan bahwa salinitas yang cocok untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 31-35 ppt dan Dawes (1981) menyebutkan bahwa kisaran salinitas yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah 30-35 ppt. Soegiarto et al. (1978) menyatakan kisaran salinitas yang baik untuk Eucheuma sp adalah 32-35 ppt. pH Pertumbuhan organisme laut termasuk rumput laut memerlukan derajat keasaman (pH). Kisaran nilai pH untuk pertumbuhan organisme laut berkisar 6.5-5.5 (Aslan 2008).
9
Eucheuma spinosum Rumput laut E. spinosum pertama kali dipublikasikan pada tahun 1768 oleh Burman dengan spesies Fucus denticulum Burman, kemudian pada tahun 1822 C. Agardh memperkenalkannya dengan nama Sphaerococcus isoformis C.Agardh. Selanjutnya tahun 1847 J. Agardh memperkenalkannya dengan Eucheuma J. Agardh. Spesies Eucheuma denticalatum disebut juga dengan nama Eucheuma spinosum (linneaues) J. Agardh. Ciri-cirinya mempunyai talus berbentuk silindris, permukaan licin, cartilaginaeus, berwarna coklat tua, hijaucoklat, hijau kuning, atau merah-ungu. Ciri-ciri morfologis khusus adalah memiliki duri-duri yang tumbuh berderet melingkari talus dengan interval yang bervariasi sehingga terbentuk ruas-ruas talus di antara lingkaran duri. Percabangan berlawanan atau berselang-seling dan teratur pada deretan duri di antara ruas dan merupakan kepanjangan dari duri tersebut (Gambar 1). Cabang dan duri juga tumbuh pada ruas talus tetapi relatif agak pendek. Ujung percabangan runcing dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat (Atmaja et al. 1996). Rumput laut ini tumbuh tersebar di perairan Indonesia pada tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain substrat batu, air jernih, ada arus atau terkena gerakan air lainnya, kadar garam antara 28-36 ppt, dan cukup sinar matahari. Rumput laut dari hasil budidaya merupakan komoditas ekspor dan untuk konsumsi dalam negeri. Di dalam negeri rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan makanan, sayuran, dan lalapan pada beberapa tempat tertentu di wilayah pantai di antaranya di Lombok dan Jawa Barat. Klasifikasi dari Eucheuma spinosum (Atmaja et al. 1996) adalah sebagai berikut: divisio Rhodophyta, kelas Rhodophyceae, ordo Gigartinales, famili Solieracea, genus Eucheuma, dan species Eucheuma spinosum (denticulum).
Gambar 1. Eucheuma denticulum (spinosum) (Neish 2003)
10
Karagenan Karagenan adalah polygalaktan sulfat mengandung 15-40% ester sulfat dengan bobot molekul rata-rata diatas 100 kDa (Necas dan Bortasikova 2013). Senyawa ini terdiri atas sejumlah unit galaktosa dan 3.6-anhidro-galaktosa, mengandung sulfat dan tanpa sulfat dengan ikatan 1.3 α.D-galaktosa dengan α1.3 dan β-1.4-glikosidik. Karagenan dihasilkan oleh beberapa jenis rumput laut merah (Rhodophyta) antara lain dari famili Gigartinaceae, Phyllophoraceae, dan Solieriaceae. Karagenan berbentuk bubuk kering dengan warna putih kekuningan, tidak berbau, dan tidak berasa. Kadar karagenan sekitar 61.573.0% bergantung pada spesies dan lokasi tempat tumbuhnya. Bahan baku karagenan adalah rumput laut merah. Ciri-ciri spesies ini antara lain bentuk talusnya silindris, gepeng dan lembaran, tersusun atas berbagai jenis percabangan, dari yang berbentuk filamen sederhana sampai yang kompleks. Warna talus merah, ungu, coklat, dan hijau. Rumput laut merah mengandung pigmen fotosintetik berupa karoten, xantofil, fikobilin terutama rfikoeritin (penyebab warna merah), klorofil a, dan b. Rumput laut merah mempunyai sifat adaptasi kromatik, yaitu mempunyai kemampuan penyesuaian proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan yang dapat menimbulkan berbagai warna talus. Dinding sel rumput laut berupa selulosa dengan produk fotosintetik berupa karagenan, agar, furcelaran, dan porpiran. Jenis-jenis karagenan dari beberapa spesies disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis karagenan hasil isolasi rumput laut merah Famili Furcellariaceae Solieracea
Marga Furcellaria Agardhiella Eucheuma
Hypneaceae
Anatheca Hypnea
Gigartinaeceae
Chondrus Gigartina
Iridaea Phyllophora Gymnogongrus Tichocarpus Tichocarpaceae Sumber: Chapman & Chapman (1980). Phyllophoraceae
Jenis F. fastigiata A. tenera E. spinosum E. cottonii A. montagnei H. musciformis H. nidifica H. setosa C. crispus C. sp. G. stellata G. acicularis G. pistillata I. radula P. nervosa G. sp. T. crinitus
Karagenan Kapa Iota Iota Kapa, lamda Iota Kapa Kapa Kapa Kapa, lamda, iota Lamda Lamda, kapa, iota Lamda, kapa Lamda, kapa Iridophycan, kapa, lamda Phyllophoran Iota Lamda, kapa
Karagenan adalah senyawa hidrokoloid, berbentuk ester kalium, natrium, magnesium, dan kalium sulfat dengan galaktosa 3.6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karagenan merupakan polisakarida linear memiliki bobot molekul di atas 100 kDa (Winarno 1996; WHO 1999). Struktur kimia karagenan terdiri atas
11
perulangan unit-unit galaktosa dan 3.6-anhidro galaktosa (3.6-AG), berikatan dengan sulfat atau tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α–(1.3) dan β–1.4 secara bergantian (Van de Velde 2001). Karagenan sudah lama ditemukan, dan penelitian tentang karagenan terus berkembang. Penelitian-penelitian tentang karagenan telah banyak dilakukan antara lain oleh Viana et al. (2004) dengan melakukan modifikasi alkali untuk ekstraksi karagenan, Amimi et al. (2001) yang menganalisis struktur dari Gigartina pistillata, dan Funami et al. (2008) yang mempelajari fungsi iotakaragenan pada pati jagung dalam proses retrogradasi dan gelatinisasi dengan adanya dan tanpa adanya bermacam jenis garam, serta pengaruh parameter ekstraksi terhadap sifat gel karagenan dari Kapaphycus alvarezii oleh Montolalu et al. (2008). Penelitian terhadap pengaruh lingkungan tempat tumbuh rumput laut terhadap kandungan karagenan telah dilakukan antara lain oleh Cosson et al. (1990). Penelitian ini melaporkan bahwa karagenan hasil ekstraksi dari spesies Calliblepharis ciliata, Calliblepharis jubata, Cystoclonium purpureum dan Gymnogongrus crenulatus dari pantai Normadia adalah iota-karagenan dengan rendemen karagenan maksimal dihasilkan pada akhir musim semi dan minimal pada musim gugur. Hasil penelitian Rui et al. (1990) menyatakan bahwa budidaya Kappaphycus alvarezii di daerah kekurangan nitrogen dengan memberikan 10 mM ammonium pada interval tiga hari selama 1 jam menyebabkan tingkat pertumbuhan optimal harian meningkat menjadi 4.6%. Kemudian dengan rasio C/N sebesar 29, rendemen karagenan yang dihasilkan sebesar 58% dengan kekuatan gelnya 45-70 gcm-2. Selanjutnya Pereira et al. (2004) melaporkan bahwa spesies Chondracanthus teedei var. lusitanicusdit dari pantai Portugis yang diteliti selama 1 tahun menunjukkan peningkatan biomassa dan ukuran tanaman kecil di awal musim semi (April), peningkatan yang besar di awal musim panas (Juni/Juli), dan minimal pada akhir musim panas. Kandungan tetrasporophytes lebih besar (4-32.5%) dibandingkan gametophytes (3-29%). Hasil ekstrak yang dianalisis dengan metode spektroskopi (FTIR, FT-Raman, 1Hdan, 13C-NMR) menghasilkan tipe karagenan yaitu lambda karagenan hybrid yang dihasilkan pada tetrasporophyte dan kapa- karagenan, hybrid iota mu dan nu pada gametophytes betina, dan thalus non-fertile. Kandungan rata-rata karagenan adalah 34.9% berat kering, dan maksimum 43.6% pada bulan Juli. Hasil penelitian Pereira dan Van de Velde (2011) melaporkan bahwa dari delapan carrageenophytes yang berasal dari pantai Portugal, dan dianalisis dengan spektroskopi 1H NMR untuk mengidentifikasi dan mengukur fraksi karagenan hasil ekstrak air dan alkali. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa gametophytes betina dan thalus non-fertile dari spesies Chondrus crispus, Mastocarpus stellatus, Chondracanthus teedei var. lusitanicus, Gigartina pistillata, Chondracanthus acicularis dan Gymnogongrus crenulatus, adalah kapa-karagenan dan iota hybrid (co-polimer dari kapa-karagenan iota). Rasio kapa berkisar 0-22. Karagenan dari Ahnfeltiopsis devoniensis adalah iotakaragenan tetapi variasi geografis mempengaruhi komposisi karagenan. Spesies Calliblepharis jubata adalah iota-karagenan dalam semua tahap reproduksi. Lambda-karagenan ditemukan dalam tetrasporophytes C. Cripus, M. stellatus, dan C. teedei var.lusitanicus (hybrid xi-theta), C. acicularis (hybrid xitheta) dan G. pistillata (hybrid xi-lambda). Penelitian tentang struktur karagenan juga telah dilakukan di antaranya oleh Van de Velde (2008) yang melaporkan bahwa sifat-sifat struktural dan fungsional dari dua jenis karagenan hibrida: κ/i-karagenan dan ν/i-karagenan. κ/ikaragenan yang diekstraksi dari spesies yang bervariasi menunjukkan hubungan linear antara fungsi dan rasio κ/i. Kadar kapa lebih tinggi akan menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi. Pada karagenan ν/i-hibrid, perlakuan alkali akan
12 menghasilkan kekuatan gel maksimal pada fraksi rendah unit ν. Kumparan untuk transisi helix yang mendasari sifat ini dianalisis dengan model blok acak untuk unit berulang yang berbeda. Selanjutnya Villaneuva et al. (2004) melaporkan bahwa kapa-iota hybrid atau kapa-karagenan 2 yang dianalisis dengan spektrometri resonansi magnetik nuklir menunjukkan bahwa gigartinacean kapa2 (hibridisasi membentuk struktur kapa dan iota dalam rantai) kandungannya 4555% kapa, sangat mirip dengan 3:3 (kapa: iota) campuran dari soliericean. Hasil analisis dengan kromatografi permeasi gel, ekstrak gigartinacean memiliki berat molekul lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak solieriacean.
Sumber Karagenan Karagenan adalah polisakarida hasil ekstraksi dengan alkali dari rumput laut merah, terutama dari genus Chondrus, Eucheuma, Gigartina, dan Iridaea. Produk metabolit primer rumput laut dari kelas Rhodophyceae adalah karagenan. Secara sistimatika spesies penghasil karagenan disajikan pada Gambar 2. Karagenan pertama kali diekstrak dari Chondrus crispus dan Gigartina sp. Spesies ini tumbuh di sepanjang pantai Atlantik, Kanada, dan sepanjang pantai Maine, dan Massachussets di Amerika. Karagenan hasil ekstraksi Chondrus crispus awalnya adalah campuran dari tipe kapa dan lamda. Lamda-Karagenan adalah hasil ekstrak dari spesies Gigartina acicularis dan G. pistillata di pantai Prancis bagian Selatan, Spanyol, Portugal, dan Maroko, sedangkan iota-karagenan dari Gymnogongrus furcellatus di Peru. Spesies-spesies dari Eucheuma dibudayakan di Indonesia dan Filipina. Penggunaannya sebagai bahan baku karagenan sangat intensif karena budidayanya relatif mudah dengan kandungan polisakarida yang tinggi. Budidaya rumput laut spesies E.cottonii dan E.spinosum telah dikembangkan di Filipina sejak tahun 1975 dan di Indonesia tahun 1984.
Proses Produksi Karagenan Proses produksi karagenan terdiri atas beberapa tahapan yaitu persiapan bahan baku, ekstraksi, pemisahan karagenan dari ekstraknya, pemurnian, pengeringan, dan penepungan. Penyiapan bahan baku Rumput laut dicuci untuk menghilangkan benda-benda asing yang menempel seperti sisa-sisa pasir, tanah, kerang, karang, tali plastik, atau jenis rumput laut lain. Kemudian setelah bersih rumput laut dicuci sampai bersih dan direndam dalam air, diaduk kontinyu untuk beberapa waktu sampai rumput laut tersebut menjadi lunak seperti dalam keadaan segar. Ekstraksi Ekstraksi rumput laut bertujuan untuk memecah dinding sel pada suhu 90100C. Untuk mendapatkan kekuatan gel yang tinggi maka ekstraksi dilakukan dalam kondisi pH alkalis. Jenis basa yang digunakan adalah NaOH, KOH, atau Ca(OH)2. Konsentrasi alkali, suhu dan waktu ekstraksi mempengaruhi kualitas karagenan yang dihasilkan terutama jumlah 3.6-anhidro-D-galaktosa (Gliksman 1983).
13
Kelas
Sub kelas
Orde
Famili
Genus
Spesies
F. lumbricalis. F. fastigiata
Furcellariac
Furcellaria
Hypneacea
Hypnea
H. musciformis.
Sollariacea
Eucheuma
E. denticulum/spinosum
Kappahycus
K.alvarezii/E.cottonii
Chondrus
C. crispus. C.ocellatus
Iridaea
I. cordata. I.undulosa I.boryana
eae
e
e
e
Rhodophyceae Red algae
Florideophycidae
Gigartinales
Gigartinaceae
Gigartina
G. radula. G. stellata, G. acticularis. G.pistillataosa. G.charmissol, G.skottsbergii. G.canaliculata Phyllophora
Phyllophonaceae Gymnogongrus
13
Gambar 2. Spesies rumput laut penghasil karagenan (Van de Velde 2008)
14 Penyaringan Proses penyaringan ekstrak rumput laut dilakukan dua kali yaitu penyaringan halus dan kasar. Penyaringan kasar menggunakan kain saring atau rotary filter, sedangkan penyaringan halus dengan filterpress atau vacuum filter. Untuk menghindari terjadinya proses pembentukan gel, proses penyaringan dilakukan dalam keadaan panas. Untuk membantu mempermudah penyaringan dan menjernihkan filtrat dapat ditambahkan filter aid (Gliksman 1983). Jenis filter aid yang biasa digunakan adalah celite atau aluminium aktif dengan konsentrasi antara 3–4%. Pemurnian Proses pemurnian terhadap hasil ekstrak dengan cara presipitasi. Karagenan pada proses ini akan mengendap dan memisah dari komponen lainnya. Proses pemurnian yang dilakukan dengan menambahkan KCl, alkohol, atau pembekuan. Metode presipitasi dengan KCl secara ekonomis lebih murah, tetapi karagenan yang dihasilkan memiliki kadar abu tinggi (Gliksman 1983). Pemurnian dengan alkohol menghasilkan karagenan bermutu lebih baik. Volume alkohol digunakan sebanyak 1.5–4 kali volume ekstrak rumput laut (Gliksman 1983). Penambahan alkohol pada filtrat untuk pembentukan serat-serat koagulan dan selanjutnya dipisahkan dengan sentrifus atau penyaring halus (Mc Hugh 2003). Pengeringan dan penepungan Karagenan basah hasil presipitasi dengan alkohol dikeringkan dengan menggunakan oven. Karagenan yang telah kering kemudian ditepungkan dan diayak mengunakan saringan 60 mesh. Diagram alir proses pengolahan karagenan disajikan pada Gambar 3.
Isolasi Karagenan Masalah di dalam industri karagenan adalah penyaringan filtrat dan pemisahan karagenan. Pemisahan karagenan dapat dilakukan dengan presipitasi karagenan menggunakan alkohol dan pembekuan, dan penyaringan untuk memisahkan karagenan dengan celite atau pemisahan karagenan menggunakan kalium klorida. Dalam upaya mengembangkan cara teknik penyaringan dan pemisahan karagenan yang mudah dan murah, maka telah dilakukan penelitian penggunaan celite sebagai filter aid dan larutan KCl untuk pemisahan karagenan. Pemisahan karagenan dengan isopropanol adalah metode yang telah lama dilakukan karena menghasilkan karagenan yang bermutu tinggi. Penggunaan isopropanol untuk mengendapkan karagenan cukup banyak yaitu sekitar 1.5-4.0 kali volume filtrat (Towle 1973). Zatnika dan Istini (1993) telah melaporkan pengaruh jenis dan volume alkohol dalam proses presipitasi pada ekstraksi iota karagenan. Metode ekstraksi karagenan dari E.spinosum dan E. cottonii tersebut, yaitu metode koagulasi dengan alkohol dan menggunakan KCl. Kedua metode presipitasi tersebut dapat dilakukan untuk kapa-karagenan, sedangkan iota-karagenan hanya melalui metode presipitasi dengan alkohol. Hasil penelitian tersebut
15 menunjukkan bahwa pemakaian etanol lebih baik daripada isopropril alkohol karena menghasilkan warna yang lebih putih, tidak mempengaruhi rendemen, kekuatan gel, dan kadar air iota-karagenan. Perlakuan volume alkohol terhadap ekstrak karagenan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Rumput laut
Pencucian Perendaman Ekstraksi dengan alkali
Penyaringan kasar
Penyaringan halus
Konsentrat
Presipitasi dengan KCl
Presipitasi dengan alkohol
Pengepresan gel (pembekuan dan pencairan)
Pengeringan
Pengeringan Penggilingan/penepungan
Refined carrageenan/ karagenan murni
Gambar 3.
Diagram alir proses produksi karagenan (McHugh 2003; Imeson 2006)
16
Struktur Kimia dan Karakteristik Karagenan Karagenan adalah hasil esktrak dari rumput laut merah spesies Gigartina, C. crispus, Hypnea, Eucheuma cottonii, dan E. spinosum. Karagenan digunakan dalam industri pangan karena memiliki sifat fungsional sebagai pengental, pembentuk gel, penstabil, meningkatkan tekstur pada keju cottage, mengontrol viskositas dan tekstur pada pudding dan dairy dessert, penstabil dalam industri daging, sosis, dan hamburger rendah lemak. Semua fraksi karagenan bersifat larut air dan tidak larut dalam pelarut organik, seperti minyak dan lemak. Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh grup sulfat dan berhubungan dengan kation. Karagenan adalah senyawa polisakarida berantai lurus yang dibentuk oleh unit-unit α-(1-3)–D-galatosa dan β-(1-4)-D-galaktosa secara selang-seling (Glicksman 1983). Struktur dan senyawa penyusun karagenan disajikan pada Gambar 4. Fraksi karagenan terdiri atas 3 jenis yaitu kapa, iota, dan lamda (Gliskman 1983). Bobot molekul karagenan adalah 100–800 kDa, dengan bobot molekul optimum karagenan untuk pangan berkisar 100-500 kDa (FAO 1990). Bobot molekul di bawah 100 kDa menyebabkan sifat fungsional gel karagenan banyak yang hilang (Imeson 2006). Secara spesifik bobot molekul kapa dan lambda adalah 262-320 kDa dan 33-79 kDa (Towle 1973). Analisis untuk menentukan bobot molekul karagenan menggunakan kromatografi cair–permeasi gel (HPLCGPC) atau GPC-HLC8120GPC. Hasil penelitian Rachmaniar dan Mursinah (1998) terhadap bobot molekul karagenan Eucheuma alvarezii, melaporkan bahwa karagenan E. alvarezii memiliki puncak yang identik dengan waktu retensi yang berbeda. Puncak pertama waktu retensinya adalah 3.06-3.15 menit dengan bobot molekul 2.9 x 105 Da dan puncak kedua waktu retensinya 3.303.32 menit dengan bobot molekul 1.5-1.7 x 105. Sedangkan standar yang digunakan adalah kapa-karagenan dengan bobot molekul 1.54 x 105 Da dan waktu retensinya 3.32 menit dan lamda-karagenan dengan bobot molekul 3.0 x 105 Da. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa bobot molekul sampel hampir serupa dengan standar yang digunakan. Hasil penelitian lainnya tentang analisis bobot molekul dengan metode GPC-HLC8120GPC, menunjukkan bahwa bobot molekul setiap fraksi karagenan dari Kapaphycus alvarezii berkisar 0.22 x 106– 8.54 x 106 Da (Montolalu et al. 2008).
Gambar 4. Struktur kimia karagenan (http://www1.lsbu.ac.uk/water/carrageenan.html)
17 Menurut Imeson (2006), karagenan merupakan polisakarida berantai linier dengan bobot molekul tinggi. Rantai polisakarida tersebut terdiri atas ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3.6-anhidrogalaktosa (3.6, AG), yang berikatan dengan sulfat maupun tidak dihubungkan dengan ikatan glikosidik α(1.3) dan β-(1-4). Berdasarkan unit penyusunnya karagenan terdiri atas enam fraksi yaitu, kapa-,(mu)-, iota dari -(nu), dan lamda-karagenan. Kapa-karagenan adalah hasil eliminasi alkali dari mu-karagenan, iota hasil eliminasi dari nu-karagenan sedangkan lamda dikonversi dari dengan eliminasi alkali. Kapa-karagenan tersusun atas α-(1.3)-D-galaktosa-4-sulfat dan β-(1.4)3.6-anhidrogalaktosa. Kapa-karagenan mengandung 25% ester sulfat dan 34% 3.6-anhidrogalaktosa. Jumlah 3.6-anhidrogalaktosa dalam kapa adalah yang terbesar dibandingkan lamda dan iota. Kapa dan iota-karagenan dibedakan berdasarkan kandungan sulfatnya. Menurut Doty (1987) kapa-karagenan kadar sulfatnya adalah < 28% sedangkan iota > 30%. Perbedaan struktur kapa-, iota, dan lamda-karagenan adalah berdasarkan kandungan 3.6-anhidrogalaktosa. Senyawa penyusun karagenan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen penyusun karagenan Jenis karagenan Iota-karagenan Kapa-karagenan Lamda-karagenan µ-karagenan -karagenan Sumber: Gliksman (1979).
Komponen penyusun D-galaktosa-4-sulfat, 3,6-anhidrogalaktosa-2-sulfat D-galaktosa-4-sulfat, 3,6-anhidrogalaktosa D-galaktosa-2-sulfat, D-galaktosa-2,6-sulfat D-galaktosa-4-sulfat, D-galaktosa-6-sulfat D-galaktosa-4-sulfat, D-galaktosa-2,6-di-sulfat
Jenis-jenis Karagenan Di alam, terdapat tiga fraksi karagenan yang berasal dari rumput laut merah dan ditemukan secara luas di berbagai perairan di dunia. Perbedaan antara fraksi kapa, iota dan lambda-karagenan adalah pada posisi gugus estersulfat dan jumlah residu 3.6-anhidro-D-galaktosa. Kapa-karagenan Kapa-karagenan dihasilkan melalui proses alkali dari hasil eliminasi karagenan (Jouanneau et al. 2010), diisolasi terutama dari rumput laut tropis yaitu Kappaphycus alvarezii (Eucheuma cottonii). Senyawa penyusunnya terdiri atas struktur D-galaktosa dan beberapa gugus 2-sulfat ester pada 3.6 anhidro-Dgalaktosa. Gugus ester 6-sulfat berhubungan dengan kekuatan gel dan dapat dikurangi pada pengolahan dengan menggunakan basa. Sifat-sifat kapakaragenan adalah larut dalam air panas, dan tidak dapat larut dalam pelarut organik. Kapa-karagenan dengan ion kalium membentuk gel yang tahan lama tetapi rapuh. Gelnya bersifat kuat, padat, dan apabila berikatan dengan ion K+ dan Ca2+ menyebabkan bentuk heliks terkumpul, dan gel menjadi rapuh, dan berwarna transparan. Kapa-karagenan mengandung ester sulfat 25-30% dan 3.6-anhidrogalaktosa sebesar 28-35% (Necas dan Bortasikova 2013). Kapakaragenan digunakan dalam produk pangan sebanyak 0.02-2.0%. Struktur kimia kapa-karagenan disajikan pada Gambar 5.
18
Gambar 5. Struktur kimia kapa-karagenan (Necas dan Bartosikova 2013) Iota-karagenan Iota-karagenan dihasilkan dengan proses alkali merupakan eliminasi vkaragenan, diisolasi terutama dari spesies Eucheuma denticulatum (E. spinosum). Strukturnya tersusun atas gugus ester 4-sulfat pada semua gugus Dgalaktosa dan gugus ester 2-sulfat dalam 3.6 anhidro-D-galaktosa. Ketidakberaturan gugus ester 6-sulfat digantikan gugus ester 4-sulfat dalam Dgalaktosa (Gambar 6). Gugus ini dapat digantikan pada pengolahan dengan kondisi basa untuk meningkatkan kekuatan gel. Kandungan ester sulfatnya sekitar 28–30% dan 3.6 anhidro-D-galaktosa 25-30% (Necas dan Bortasikova 2013). Sifat–sifat iota-karagenan adalah thiksotropik, larut dalam air panas, dan tidak larut dalam pelarut organik. Iota dalam bentuk natrium bersifat larut dalam air dingin dan panas. Dengan adanya ion kalsium gel yang terbentuk tahan lama, bersifat elastic, dan membentuk heliks dengan ion kalsium. Penggunaan Iotakaragenan dalam produk pangan adalah 0.02-2.0%.
Gambar 6. Struktur kimia iota-karagenan (Necas dan Bartosikova 2013) Lamda-karagenan Lamda-karagenan hasil isolasi terutama dari Gigartina pistillata atau Chondrus crispus, dikonversi θ-carrageenan (theta-carrageenan) oleh eliminasi alkali. Karagenan jenis lamda mengandung residu disulfat-D-galaktosa dan sejumlah gugus ester 2-sulfat tetapi tidak mengandung gugus ester 4-sulfat (Gambar 7). Sifat-sifat lamda karagenan yaitu larutannya bersifat pseudo-plastic non-gel dalam air, larut dalam air dingin sebagian, dan larut dengan sempurna
19 dalam air panas. Selanjutnya, lamda-karagenan dalam larutan garam 5% panas atau dingin dapat larut. Lamda-karagenan tidak dapat membentuk gel, dan rantai polimer terdistribusi secara acak, dengan viskositas bervariasi dari yang rendah hingga tinggi. Lamda stabil dalam berbagai variasi suhu termasuk suhu pembekuan. Kandungan ester sulfatnya sebesar 32-39% dan tidak mengandung 3.6-anhidrogalaktosa (Barbyeron et al. 2000). Lamda-karagenan yang digunakan dalam produk pangan adalah 0.01–1.0%. .
Gambar 7. Struktur kimia lambda-karagenan (Necas dan Bartosikova 2013)
Identifikasi Senyawa Karagenan Untuk menentukan tipe dan struktur karagenan dilakukan analisis yang meliputi penentuan kuantitatif monomer, penentuan tipe ikatan glikosidik, penentuan atom C anomer, serta penentuan substituennya (Gritter 1985; Chopin et al. 1987; Pazur 1987, Pereira et al. 2009). Analisis dapat dilakukan dengan spektroskopi inframerah dan spektroskopi resonansi magnet inti (Viana et al. 2004; Villaneuva et al. 2004;Usov et al. 1998; Van de Velde et al. 2001; 2005). Ikatan glikosidik dapat ditentukan dengan spektroskopi inframerah yang ditunjukkan melalui serapan bilangan gelombang 1010-1080 cm-1 atau dengan menggunakan spektroskopi resonansi magnet inti melalui pergeseran kimia ikatan glikosidik α-(1-3) dan ikatan glikosidik β-(1-4). Hasil analisis dengan spekstroskopi inframerah menunjukkan gugus-gugus yang teridentifikasi yaitu ester sulfat total pada bilangan gelombang 1210-1260 cm-1, D-galaktosa-4 sulfat pada bilangan gelombang 840-850 cm-1, galaktosa sulfat pada bilangn gelombang 825-839 cm-1, 3,6-anhidrogalaktosa pada bilangan 927-928 cm-1, 3,6-anhidrogalaktosa 2-sulfat pada bilangan gelombang 800-805 cm-1 (Tabel 3). Tabel 3. Bilangan gelombang gugus fungsi tiga tipe karagenan pada spektrum infra merah di daerah sidik jari Bilangan Gugus fungsi Intensitas serapan -1 gelombang (cm ) kapa iota lamda 1210-1260 Ester sulfat sk sk sk 1010-1080 Ikatan glikosidik sk sk sk 928-933 3,6-anhidrogalaktosa k 0 o-l 840-850 D-galaktosa-4-sulfat s s 0 810-820 D-galaktosa-6-sulfat 0 0 s 800-805 3,6-anhidrogalaktosa-2-sulfat 0-l s 0 Sumber: Gliksman (1983) Keterangan: sk=sangat kuat; k=kuat; s=sedang; l=lemah; 0=tidak ada
20 Hasil penelitian Sen dan Erboz (2010) dengan menggunakan FTIR untuk menentukan kondisi gelasi dari kapa-karagenan menunjukkan bahwa konsentrasi kritikal gelasi dapat ditunjukkan dengan analisis spektrum. Puncak utama menunjukkan gugus fungsi kapa-karagenan (Gambar 8 dan Tabel 4).Absorbansi karbohidrat pada 1270-600 cm-1 disebut sidik jari (finger print). Spektrum FTIR karagenan menunjukkan tipe pada absorbansi sekitar 1270-1250 cm-1 adalah grup ester sulfat, 930 cm-1 C-O stretching vibrasi 3,6-anhidro. Band 890 cm-1 pada kapa-karagenan pada grup C6 adalah unit β-D-galaktosa sedangkan absorbansi 843 cm-1 dapat digunakan untuk menentukan adanya gugus sulfat, selanjutnya 840-850 cm-1 sebagai sulfat pada posisi C4 (dalam cincin galaktosa). Absorbansi pada bilangan gelombang 805 cm-1 adalah gugus 3.6-anhidro-D-galaktosa-4-sulfat yang menunjukkan adanya karagenan murni. Tabel 4. Absorbasi dari spektrum FTIR kapa-karagenan -1
Absorbansi (cm ) 3600-3000 3000-2800 1645-1640 1380-1355 1380-1370 1270-1230 1190 1160-1155 1126 1080-1040 1040 1080-1010 933-928 900-890 850-840 740-725 615-608 578 Sumber: Sen dan Erboz (2010)
Gugus fungsi O-H (strectching) C-H (strectching) Polimer berikatan dengan air Sulfat (strectching) Metilen grup (bending) O=S=O (asymetrik strectching) S=O (asymetrik strectching) C-O-C (asymetrik strectching) Ikatan glikosidik (asymetrik strectching) Kombinasi dari C-O dan C-OH C-OH +S=O Glikosidik lingkage C-O-C(3,6anhidro-D-galaktosa) (strectching) Grup C6 dalam β-D-galaktosa (strectching) C4-O-S dalam galaktosa (strectching) C – O – C α(1,3) (strectching) O=S=O (bending) O=S=O (bending)
Gambar 8. Spektrum FTIR dari kapa-karagenan (Sen & Erboz 2010)
21
Sifat-Sifat Karagenan
Kelarutan Karakteristik kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain tipe karagenan, suhu, pH, kehadiran ion tandingan, dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karagenan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3.6-anhidro-D-galaktosa bersifat hidrofobik. Lamda-karagenan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3-6-anhidro-D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang tinggi. Iota-karagenan bersifat hidrofilik memiliki gugus 2-sulfat berfungsi untuk menetralkan 3.6-anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karagenan jenis kapa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3.6-anhidro-D-galaktosa (Imeson 2010). Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Karagenan memiliki kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan (Gliksman 1983; Imeson 2000). Sifat kelarutan karagenan bergantung pada gugus yang bersifat hidrofobik dan hidrofiliknya. Kapa-karagenan dalam bentuk garam kalium lebih sulit larut dalam air dingin dan untuk melarutkan diperlukan air panas. Kapakaragenan dalam bentuk garam natrium lebih mudah larut sedangkan lamdakaragenan dalam air tidak larut bergantung jenis garamnya.
Tabel 5. Sifat-sifat kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut Medium Air panas Air dingin
Kapa 0 Larut di atas 70 C Larut dalam garam natrium, kalium tetapi dengan kalsium tidak larut
Susu panas Susu dingin
Larut Larut dalam garam natrium, kalium, dan kalsium tetapi mengembang dengan baik Larut pada kondisi panas Tidak larut
Larutan kosentrat gula Larutan kosentrat garam Pelarut organik Tidak larut Sumber: Gliksman (1983)
Iota 0 Larut di atas 70 C Larut dalam garam natrium, garam kalsium memberikan thixotropic dispresi larut Tidak larut
Tidak mudah larut Larut pada panas Tidak larut
Lamda Larut Larut
larut Terdispresi dengan thickening
Larut pada kondisi panas Larut pada kondisi panas Tidak larut
22 Semua fraksi karagenan larut dalam air panas. Namun, hanya lambda yang larut dalam larutan garam natrium, kapa-karagenan dan iota tidak dapat larut dalam air dingin. Lamda-karagenan bersifat pseudoplastic apabila dipompa (diaduk), kelarutan seperti ini karena karagenan memiliki kemampuan untuk mengentalkan dan memberikan tekstur creamy (Gliksman 1983). Kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut disajikan pada Tabel 5. Suhu adalah salah satu faktor penting pada aplikasi karagenan dalam sistim pangan. Karagenan dalam bentuk hidrat arang pada suhu tinggi, jenis iota dan jenis kapa memiliki kekentalan yang cukup rendah. Adanya zat lain dalam larutan mempengaruhi sifat kelarutan karagenan karena adanya persaingan penggunaan air dalam mengubah keadaan polihidrasi, khususnya jika terdapat kation garam kalium. Karagenan dalam larutan stabil pada suasana basa.
Karakteristik Gel Karagenan memiliki kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentuk gel bersifat thermoreversibel berarti gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan (Glicksman 1983 dan Imeson 2006). Larutan panas iota- dan kapakaragenan mulai membentuk gel apabila didinginkan pada suhu 40 and 60ºC bergantung adanya kation. Gel karagenan bersifat reversibel dan memperlihatkan efek histeresis atau perbedaan antara suhu penentuan gelling dengan melting. Gel tersebut stabil pada suhu ruangan namun dapat meleleh kembali dengan pemanasan di atas suhu pembentukan gel, dengan pendinginan, gel kembali membentuk gel. Karakteristik gel karagenan dengan adanya kation disajikan pada Tabel 6. Struktur kimia karagenan pada suhu di atas titik leleh berbentuk gulungan yang menyebar secara acak. Karagenan apabila didinginkan membentuk satu matrik polimer tiga dimensi berbentuk pilinan (double helix) dari setiap ujung rantai polimernya. `Tabel 6. Karakteristik gel kapa, iota dan lamda Keterangan Efek kation Tipe gel
Kapa Gel lebih kuat + dengan K Kuat dan rapuh dengan sineresis Sinergik
Efek stabilitas dengan locust gum Stabilitas freezing Tinggi thawing Sumber: Gliksman (1983)
Iota Gel lebih kuat ++ dengan Ca Elastis dan kohesif tanpa sineresis Tidak
Lamda Tidak membentuk gel Tidak membentuk gel Tidak
Stabil
Tidak
Ion-ion monokovalen seperti K+, NH4+, Rb+ dan Cs+ dapat membantu pembentukan gel. Kapa-karagenan dapat membentuk gel paling kuat dengan adanya ion kalium. Iota akan membentuk gel yang kuat dan stabil jika terdapat ion Ca2+, sedangkan ion Na+ dapat menghambat pembentukan gel karagenan dari kapa dan lamda (Glicksman 1983). Komposisi ionik dalam sistim pangan penting dalam aplikasi karagenan, kapa-karagenan lebih memilih ion kalium untuk menstabilkan zona sambungan yang melingkupi karakteristik kekokohan gel sebagai gel yang sedikit rapuh. Iota-karagenan dengan adanya ion kalsium berfungsi untuk menjembatani rantai dalam memberikan pengaruh gel yang lembut elastis.
23 Kapa- dan iota-karagenan adalah fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversibel yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel mengakibatkan polimer karagenan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Glicksman 1983). Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Kemampuan pembentukan gel pada kapa-karagenan dan iota-karagenan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus 3.6-anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi gugus sulfat mempengaruhi proses pembentukan gel. Kapa- dan iotakaragenan membentuk gel hanya dengan adanya kation-kation tertentu seperti K+, Rb+ dan Cs+. Kapa-karagenan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan iota-karagenan akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+, akan tetapi lambda karagenan tidak dapat membentuk gel (Glicksman 1983). Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karagenan menurun dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul karagenan (Angka dan Suhartono 2000). Stabilitas Karagenan pada Berbagai Nilai pH Karagenan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan terhidrolisis pada pH dibawah 3.5. Kondisi proses produksi karagenan dapat dipertahankan pada pH 6 atau lebih. Hidrolisis asam terjadi jika karagenan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Viskositas larutan karagenan menurun jika pH diturunkan di bawah 4.3 (Imeson 2000). Kapa dan iota- karagenan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH rendah, tetapi tidak mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh pH, temperatur, dan waktu. Hal ini karena proses autohidrolisis karagenan yang terjadi pada pH rendah membentuk ikatan 3.6anhidrogalaktosa. Laju autohidrolisis meningkat dengan kenaikan suhu dan konsentrasi kation yang rendah. Untuk mencegah terjadinya autohidrolisis, karagenan didinginkan pada suhu yang lebih rendah daripada suhu pembentukan gel. Dalam produk yang bersifat asam, karagenan ditambahkan pada bagian akhir proses untuk mencegah degradasi kelebihan asam, dan jika mungkin, asam ditambahkan segera sebelum dilakukan pengisian oleh karagenan untuk mencegah penguraian polimer. Waktu pembentukan gel karagenan bergantung pada konsentrasi karagenan dan bahan penyusun lainnya seperti garam dan gula. Dalam proses kontinyu, waktu pemprosesan dijaga minimum.
24
Tabel 7. Stabilitas karagenan dalam berbagai pH Stabilitas pH netral dan alkali pH asam
Kapa stabil Terhidrolisis jika dipanaskan. Stabil dalam bentuk gel Sumber: Glicksman (1983)
Iota stabil Terhidrolisis. Stabil dalam bentuk gel
Lamda stabil Terhidrolisis.
Viskositas Viskositas hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi karagenan, suhu, jenis karagenan, bobot molekul, dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karagenan meningkat maka viskositasnya meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu, pada konsentrasi 1.5% dan pada suhu 75oC nilai viskositas karagenan berkisar antara 5–800 cP (FAO 1990). Viskositas larutan karagenan bersifat polielektrolit. Hal ini karena adanya gaya tolakan antara muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Larutan karagenan bersifat hidrofilik, polimer tersebut dikelilingi oleh molekul-molekul air yang terimobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karagenan bersifat kental (Guiseley et al. 1980). Larutan karagenan dengan adanya garam-garam dalam karagenan menurunkan muatan bersih sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Viskositas larutan karagenan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan (Towle 1973). Reaksi Karagenan dengan Protein Reaktifitas karagenan dengan protein disebabkan oleh adanya gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya (Guiseley et al.1980). Reaksi pada karagenan dengan protein bergantung beberapa faktor diantaranya konsentrasi karagenan, tipe karagenan, suhu, pH, dan titik isoelektrik protein (Gliksman 1979). Kandungan sulfat menyebabkan terjadinya interaksi ionik karagenan dan protein. Tingkat reaksi terbesar terjadi, jika perbandingan muatan sama atau mendekati 1. Menurut Towle (1973) karagenan mengendapkan protein jika medium berada di bawah titik isoelektrik protein, kation protein dan anion karagenan bereaksi sehingga terbentuk komplek protein karagenan yang tidak larut. Beberapa dari protein berinteraksi di atas titik isoelektrik meskipun karagenan bermuatan negatif. Di dalam larutan susu dengan adanya ion kalsium akan menyebabkan terbentuknya komplek karagenan protein susu. Oleh karenan itu karagenan banyak digunakan sebagai stabilisator dalam industri susu karena kemampuannya untuk menstabilkan miselli-casein (Guiseley et al. 1980).
25
Karakteristik Reologi Reologi adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat aliran dan perubahan bentuk suatu bahan apabila dikenai suatu gaya. Dalam industri pangan sifat reologi bahan penting diketahui untuk mendesain operasi pengolahan, transportasi, dan parameter mutu yang harus ditentukan secara subyektif. Fluida adalah bahan yang mengalir tanpa mengalami desintregrasi ketika dikenakan suatu gaya ke dalam kelompok fluida termasuk cairan, gas, dan zat padat tertentu. Berdasarkan karakteristik reologi fluida dapat dibedakan menjadi fluida Newtonian dan fluida Non Newtonian. Fluida Newtonian adalah fluida yang menunjukkan perbandingan yang proporsional antara shear rate (laju geser) dan shear stress (gaya geser). Sedangkan fluida Non Newtonian memiliki perilaku yang lebih komplek dan tidak proporsional antara laju geser dengan gaya geser (Kusnandar et al. 2006 dan Toledo 1991). Karakteristik fluida non-Newtonian ditunjukkan oleh sebagian besar hidrokoloid dengan bobot molekul besar, kecuali dengan konsentrasi yang sangat rendah (Holdsworth 1993). Telah diketahui sampai saat ini terdapat lima karakteristik fluida khususnya pada larutan hidrokoloid, yaitu pseudoplastic, dillatan, bingham, dan non bingham plastic (Fardiaz 1989). Viskositas merupakan hambatan terhadap aliran suatu cairan yang didefinisikan sebagai rasio antara shear rate (laju geser) dan shear stress (gaya geser). Laju geser mengakibatkan terjadinya deformasi pada cairan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi viskositas antara lain konsentrasi, suhu, perlakuan suhu atau kimia sebelumnya, dan tidak adanya elektrolit dalam larutan (Glicksman 1969). Pengukuran reologi terhadap karagenan dapat menggunakan metode di antaranya dengan viscometer yang bertujuan untuk mengetahui viskositas. Disamping mengukur viskositas, reologi suatu bahan pangan dapat juga diukur dengan menggunakan metode rotasi optikal, sifat viscoelastis dynamic dengan Rheometric Fluid Spectrometer (RFSII). Standar Mutu Karagenan Karagenan dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat kemurniaannya, yaitu semi refined carrageenan dan refined carrageenan. Perbedaan keduanya terletak pada kadar selulosa, garam, dan logam berat. Pada semi refined carrageenan kadar selulosanya lebih tinggi sedangkan kadar garamnya lebih rendah dibandingkan refined carrageenan. Adanya selulosa pada karagenan menyebabkan warna menjadi gelap (Bixler & Jhondro 2006; Zamarano 2000). Kadar selulosa ditentukan dengan nilai bahan tidak larut asamnya untuk menentukan tinggi rendah selulosa. Refined carrageenan memiliki kadar bahan tidak larut asam umumnya 0.1% sedangkan semi refined carrageenan mengandung 10-15% sedangkan kadar logam berat pada semi refined lebih tinggi daripada refined carrageenan (Bixler dan Jhondro 2006). Spesifikasi standar mutu karagenan dari beberapa sumber mencakup nilai residu alkohol, pH, viskositas, sulfat, abu, abu tidak larut asam, bahan tidak larut asam, logam berat, dan jumlah mikroba. Spesifikasi umum karagenan disajikan pada Tabel 8.
26
Tabel 8. Standar mutu karagenan Kriteria
Semi Refined Carrageenan
Refined Carrageenan FAO***
European Commision* 0.1% total
Codex Alimentarius* -
Food Chemical FAO** Codex* < 1%
>5 mPa/s
8-11 >5 mPa/s
>5 mPa/s
8-11 >5 mPa/s
8-11 >5 mPa/s
Max 12%
Max 12%
Max 12%
Max 12%
Max 12%
15%-40%
15%-40%
15%-40%
15%-40%
Total abu pada 550C
1%-40%
15%-30%
>35%
15%-30%
Abu tidak larut asam (dalam 10%HCl) Bahan tidak larut asam (dalam 1% H2SO4) Arsen Lead Merkuri Cadmium Pb TPC Yeast dan kapang E.coli
< 1%
< 1%
< 1%
< 1%
15%40%(basis kering) 15%40%(basis kering) < 1%
8%-15%
8%-15%
-
8%-15%
<2%
< 3mg/kg < 5 mg/kg < 1 mg/kg < 1 mg/kg < 20 mg/kg <500 cfu/g < 300 cfu/g
< 3mg/kg < 2 mg/kg < 1 mg/kg < 1 mg/kg <500 cfu/g -
< 3mg/kg <10 mg/kg < 40 mg/kg -
< 3mg/kg <5 mg/kg < 1 mg/kg < 2 mg/kg <500 cfu/g -
< 3mg/kg <5 mg/kg < 1 mg/kg < 1 mg/kg <500 cfu/g -
Negatif dalam 5g
Negatif dalam 1 g
Negatif dalam 1g
Negatif dalam 1 g
Salmonella spp;
Negatif 10 g
negatif
negatif
negatif
Negatif dalam 1g negatif
Residu alkohol pH Viskositas 1.5% pada 75C Susut pengeringan setelah 4 jam pada suhu 105C Sulfat
dalam
*Bixler dan Jhondro (2006) **FAO (2004) *** FAO (2004)
<1%
27
Pemanfaatan Karagenan Karagenan banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri yaitu industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, dan cat. Persyaratan mutu karagenan berupa sifat kimia dan, fisika tertentu. Aplikasi karagenan luas dalam berbagai industri karena sifatnya anionik kuat, membentuk gel, dan dapat bercampur dengan beberapa senyawa koloid lainnya. Sifat-sifat karagenan dapat berfungsi sebagai bahan pengemusli, pembentuk gel, dan pengental (Van de Velde 2001). Industri-industri yang memanfaatkan karagenan adalah indutri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, dan beberapa industri lainnya. Pada industri makanan dan minuman, karagenan digunakan sebagai penstabil, thickener, gelling agent, atau zat tambahan (additive) dalam proses pengolahan coklat, susu, puding, susu instant, dan makanan kaleng (Tabel 9). Pada industri farmasi, karagenan sering digunakan sebagai agent dalam pengujian antiinflamansi (Zacharopoulus and Philip 1997). Selain itu, karagenan juga digunakan dalam industri tekstil, cat, dan keramik. Industri pasta gigi merupakan industri terbesar di Indonesia yang menggunakan karagenan. Penggunaan karagenan dalam bahan pengolahan pangan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu untuk produk-produk yang menggunakan bahan dasar air dan produkproduk yang menggunakan bahan dasar susu.
Tabel 9. Beberapa penerapan karagenan dalam produk-produk dengan bahan dasar air Produk Gel dessert jeli, berkalori rendah, selai Buah awet Gel ikan Sirop Analog buahbuahan Salad dressing Kopi imitasi FMC Crop (1977)
Fungsi Pembentukan gel
Jenis Kapa+iota
Taraf penggunaan (%) 0.5 – 1.0
Pembentukan gel Pembentukan gel Pembentukan suspensi Pembentukan gel, tekstur Pemantap emulsi
Kapa+Iota Kapa,iota Kapa,Lambda
0.5 – 1,0 0.5 – 1,0 0.3 – 0.5
Kapa
0.5 – 1,0
Iota
0.4 –0,6
Pemantap emulsi
Lambda
0.1 – 0.2
28
29
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2013 hingga Desember 2014 di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jl. Petamburan VI, Slipi Jakarta, Laboratorium di lingkungan Departemen ITP, SEAFAST Center, Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor, Balai Besar Industri Agro Kementerian Perindustrian Bogor, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseonologi, Ancol, Jakarta.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis Eucheuma spinosum yang dibudidayakan di Nusa Penida (Bali), Sumenep (Madura, Jawa Timur), dan Takalar (Sulawesi Selatan). Rumput laut dibeli dari petani dalam bentuk kering. Sebelum rumput laut dianalisis untuk penelitian, terlebih dahulu dilakukan sortasi, pencucian, dan pengeringan, selanjutnya rumput laut kering siap untuk dianalisis dan diekstrak. Bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis proksimat rumput laut yaitu heksan, K2SO4 (Merck), HgO (Merck), NaOH (Merck), Na2S2O3, HCl (Merck), H3BO3 (Merck), metil merah, dan biru (Merck). Bahan kimia untuk ekstraksi adalah Ca(OH)2 (Merck), HCl 5% (Merck), cellite (diatom), dan etanol 96%. Analisis karakteristik karagenan menggunakan bahan kimia sebagai berikut: BaCl2 (Merck), HCl (Merck), CaCl2, 2H2O (Merck), NaCl (Merck), KCl (Merck), KBr (Merck), HNO3 (Merck), H2O2 (Merck), pullulan (Showa Denko Co., Japan), akuades dan air bebas ion, dan iota-sigma type II (Sigma-Aldrich, France). Larutan standar untuk mineral dan logam (Ca, Na, K, Mg, As, Cd, Pb, dan Hg), serta bahan kimia lainnya. Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah alat untuk ekstraksi, filterpress, alat gelas (erlenmeyer, beaker glas), Fourier Transform Infrarred (FTIR) (IR Presige 21; Shimadzu, Jepang), (HPLC) (LC-6A; Shimadzu Co., Japan) dengan tipe kolom TSK gel 5000 PWXL (id 7.8; 300 mm; Tosoh Co., Japan), Detector Refractive Index (RID-6) (Shimadzu Co., Japan), Brookfield viscometer, Rapid Visco Analyser (RVA-4) (Newport Scientific Pty Techmaster, Ltd., Warriedwood, Australia), ASS (Shimadzu-6300), whiteness meter (Kett, 100-3), Texture analyser (TA-XT plus; Stable Microsystems Ltd., UK). Peralatan penunjang lainnya adalah hotplate, magnetik stirer, pH meter, termometer, refrigerator, tray, penggiling tepung (grinder), oven, soxhlet, labu Kjeldhal, kertas saring whatman No 42, planktonnett, mortar, kertas indikator, neraca analitik, serta alat-alat lainnya.
30
Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut; persiapan bahan baku rumput laut dengan melakukan sortasi, pencucian, dan pengeringan, analisis komposisi kimia rumput laut kering, serta ekstraksi, dan karakterisasi. Diagram alir keseluruhan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 9. Proses penelitian tahap I meliputi tahap pencucian dan pengeringan. Rumput laut dicuci untuk membersihkan rumput laut dari benda-benda asing asing yang menempel seperti keong, pasir, tali, dan tanaman lainnya. Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali, perbandingan rumput laut dengan air (1:14). Setiap kali proses pencucian rumput laut ditiriskan. Setelah pencucian dilakukan pengeringan pada suhu ruang yang diatur dengan alat pendingin udara (AC) pada suhu 20C. Proses pengeringan berlangsung selama 24 jam. Rumput laut kering bersih (pure seaweed) selanjutnya dianalisis komposisi proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, serat) dan bahan baku untuk ekstraksi Tahap II meliputi tahap ekstraksi rumput laut kering yang mengikuti metode ekstraksi modifikasi dari Robart et al. (1988). Ekstraksi dilakukan dalam suasana alkali (Ca(OH)2 pada kondisi panas selama 3 jam pada suhu 90-95C. Sebelum proses ekstraksi, rumput laut direndam dalam air selama 16 jam, kemudian dimaserasi selama 1 jam pada suhu 60C, selanjutnya dilakukan penambahan Ca(OH)2 dan suhu dinaikan hingga 95C. Waktu ekstraksi dihitung setelah suhu larutan mencapai 95C. Setelah 3 jam ekstraksi, sebelum disaring ditambahkan diatom (cellite) ke dalam larutan ekstraksi dengan konsentrasi 2% (b/v), suhu ekstraksi diturunkan menjadi 80°C sambil diaduk-aduk selama 30 menit, selanjutnya dilakukan penyaringan dengan filterpress hingga diperoleh filtrat. Filtrat dibiarkan selama 16 jam. Sebelum dilakukan presipitasi dengan etanol 96% untuk mendapatkan serat-serat karagenan, pH filtrat diturunkan dari 13 menjadi 9 dengan HCl 5%. Presipitasi dilakukan menggunakan etanol (96%), perbandingan volume filtrat dan etanol adalah 1:3 untuk presipitasi pertama, kemudian serat-serat yang terbentuk disaring, dilanjukan dengan presitasi kedua dengan perbandingan 1:2. Berikutnya serat disaring kembali dan dilakukan presipitasi ke tiga dengan perbandingan 1:1, kemudian diinkubasi selama 30 menit sebelum disaring. Serat-serat yang diperoleh selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang dan setelah kering dilakukan penggilingan (Gambar 10). Karagenan kering selanjutnya dianalisis rendemen dan kadar airnya. Tahap III adalah tahap analisi karakteristik kimia karagenan yaitu, kadar air, kadar sulfat, kadar abu, kadar abu tidak larut asam, kadar mineral (Na, Ca, Mg, K), logam berat (Pb, As, Hg dan Cd), serta identifikasi struktur kimia untuk menentukan gugus fungsi, dan analisis bobot molekul karagenan. Karakteristik fisik kekuatan gel, derajat putih, viskositas, serta profil viskositas karagenan, kemudian profil viskositas dengan penambahan Ca2+ dan K+, dan karakteristik reologi pada suhu 60, 65, dan 70°C juga dianalisis.
31
Persiapan bahan baku
Rumput laut (Eucheuma spinosum)
Uj Pencucian dan pengeringan (dikeringkan selama 24 jam suhu ruang yang suhunya dikondisikan menggunakan AC
Analisis CAW dan Impurities
Analisis Kadar air Rumput laut kering
Analisis proksimat dan serat total Ekstraksi rumput laut
Ekstraksi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Analisis: kadar air dan rendemen.
Analisis karakteristik fisiko-kimia karagenan
Karagenan ----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Analisis Fisik: derajat putih, kekuatan gel Kimia: kadar air, kadar abu, kadar abu tidak larut asam, logam berat (As, Pb, Cd dan Hg) kadar mineral (Ca, Mg, Na, dan K), FTIR, bobot molekul Reologi: viskositas, profil viskositas akibat pengaruh penambahan K+ dan Ca2+ dan profil laju aliran (fluida) karagenan pada suhu 60, 65 dan 70oC. Karakteristik fisiko-kimia dan reologi karagenan hasil ekstraksi rumput laut Eucheuma spinosum dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar
Gambar 9. Diagram alir proses penelitian
32
Rumput laut kering
Di rendam dalam air (1:50 b/b, rl : air)
Di inkubasi selama 16 jam pada suhu ruang (36-37C) o
Pemanasan pada suhu 60 C Penambahan Ca(OH)2 (0,2 gram/gram rumput laut) o
Ekstraksi (selama 3 jam, 95 C) Penambahan celite 2% dari volume larutan pengekstrak
Penyaringan dengan filter press Filtrat Inkubasi semalam (16 jam) pada suhu kamar Penurunan pH sampai 9 dengan HCl Presipitasi dengan penambahan etanol 96 % (1:1 v/v) Pengeringan pada suhu ruang dan selama 24 jam Penggilingan
Karagenan bubuk
Gambar 10. Proses ekstraksi E. spinosum (modifikasi dari Rotbart et al. 1988)
33
Prosedur Analisis Analisis Impurities dan Clean Anhydrous Weed a.
Clean anhydrous weed (CAW) (SNI 8168: 2015)
Rumput laut kering yang telah bersih dari impurities (kotoran) total (karang, rumput laut jenis lain, plastik, kerang, pasir, garam serta benda asing lainnya). Sebanyak 60 g rumput laut kering ditimbang (Wo), dipotong kira-kira 4 cm, dan dimasukan ke dalam gelas piala 5 L dan ditambahkan dengan air bersih sebanyak 2 L, kemudian direndam selama 30 menit dan diaduk setiap 5 menit. Selanjutnya air dibuang dan diulangi lagi penambahan air dan pengadukan. Rumput laut disaring dan ditiriskan selama 2 menit. Sementara itu disiapkan aluminium foil untuk wadah rumput laut, dikeringkan dalam oven pada pada suhu 60°C selama 60 menit, kemudian ditimbang (Wa). Setelah penirisan rumput laut ditempatkan pada aluminium dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60°C selama 20 jam–22 jam hingga bobot konstan. Setelah kering ditimbang rumput laut dan dicatat bobotnya (Wd). Untuk menentukan nilai CAW menggunakan persamaan sebagai berikut:
CAW %
(
)
%
Keterangan: Wo : bobot awal rumput laut (g) Wa : bobot wadah aluminium foil kering (g) Wd : bobot rumput laut kering dan wadah (g) b. Impurities (SNI 8169 2015) Kotoran yang tidak diharapkan pada rumput laut berupa rumput laut jenis lain, plastik, kerang, karang, pasir, garam, dan benda asing lainnya. Analisis yang dilakukan adalah impurities kasar, berupa kotoran yang terdapat di luar thalus rumput laut dan dapat dipisahkan secara manual. Sebanyak 250 g rumput laut kering ditimbang dalam gelas piala dan catat bobotnya (Wo). Kemudian dipisahkan dan dikumpulkan kotoran (rumput laut jenis lain, plastik, kerang, karang dan benda asing lainnya) dari rumput laut. Kotoran yang menempel (pasir dan garam) dipisahkan dengan cara dikibaskan. Selanjutnya ditimbang kotoran yang terkumpul dan dicatata bobotnya (Wd). Perhitungan menentukan nilai impurities dengan persamaan berikut:
Impurities kasar (%) Keterangan: W0 : bobot sampel yang digunakan untuk analisis (g) Wd : bobot kotoran dan benda asing lainnya (g)
34
Analisis Proksimat Rumput Laut E. spinosum c. Kadar Air (934.01 AOAC 2005)
Sekitar 2.0 gram sampel rumput laut ditimbang ke dalam cawan yang sebelumnya telah diketahui bobotnya. Cawan beserta sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105°C lebih kurang selama 6 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobotnya konstan. Proses pengeringan diulang sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar air rumput laut dihitung dengan rumus: (
)
Di mana: W1 = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W2 = bobot sampel sesudah dikeringkan (g)
d.
Kadar Abu (930.05 AOAC 2005)
Sebanyak 2-5 gram sampel rumput laut ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot konstannya dan dimasukkan ke dalam tanur listrik bersuhu 550°C sampai pengabuan sempurna. Setelah selesai pengabuan tanur dimatikan pada suhu dibawah dari 250°C, cawan contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Penimbangan diulangi kembali sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar abu dihitung berdasarkan basis basah dan basis kering menggunakan rumus sebagai berikut: (
)
(
e.
)
( (
) )
Kadar Lemak (963.15 AOAC 2005)
Sebanyak 1-2 gram sampel rumput laut ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring. Kemudian dimasukkan ke soxhlet, selanjutnya soxhlet dan kondensor dipasang pada labu ekstraksi yang telah diketahui bobotnya. Selanjutnya ditambahkan 50 mL dietil eter. Lalu dipasang pada pemanas. Laju kecepatan kondensor diatur sebesar 5 atau 6 tetes perdetik selama 4 jam atau 16 jam pada kecepatan kondensasi 2 atau 3 tetes perdetik. Kemudian solven dalam labu ekstraksi diuapkan dan labu ekstraksi tersebut beserta ekstrak lemak selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 60 menit atau sampai bobotnya tetap, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar
35 lemak dalam sampel dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan persamaan berikut:
(
)
( )
(
f.
)
(
) )
(
Kadar Protein (978.04 AOAC 2005)
Sampel ditimbang sekitar 1-2 gram, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan dengan 1.9±0.1 K2SO4, 40±10 mg HgO, 2.0±0.1 mL H2SO4 pekat dan 2-3 butir batu didih. Sampel dipanaskan dengan kenaikan suhu secara bertahap sampai mendidih selama 1-1.5 jam sampai diperoleh cairan yang jernih. Setelah dingin cairan dalam labu dipindahkan ke labu destilasi dan dibilas menggunakan 1-2.0 mL air destilasi sebanyak 5-6 kali. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi kemudian ditambah dengan 8-10 mL larutan 60% NaOH dan 5% Na2S2O3. Di tempat terpisah 5.0 mL H3BO3 dan 2-3 tetes indikator metil-merah dan metil-biru dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Labu erlenmeyer kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di dalam larutan H3BO3. Proses destilasi dilakukan sampai diperoleh sekitar 15 mL destilat. Destilat yang diperoleh diencerkan sampai 50.0 mL dengan akuades, kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna. Volume HCl yang telah terstandarisasi yang digunakan untuk titrasi dicatat. Tahap yang sama dilakukan untuk larutan blanko sehingga diperoleh volume HCl 0.02 N untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan kadar nitrogen (%N). Kadar protein dihitung berdasarkan basis basah (bb) dan basis kering (bk) Kadar protein dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: (
)
(
)
( (
) (
Di mana: A= Volume larutan HCl yang digunakan untuk titrasi (mL) B= Normalitas HCl yang digunakan untuk titrasi (0.02 N) C= Bobot sampel (gram) F= Faktor pengenceran
)
36
g. Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan metode by difference dengan persamaaan berikut: Kadar karbohidrat (% berat basah) = 100 – (% air+% abu+% lemak+% protein) (
)
( (
(
) )
h. Kandungan Serat Kasar (985.29 AOAC 2005)
Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam elenmeyer dan ditambahkan 200 mL H2SO4 panas (1.25 g H2SO4 pekat/100 mL = 0.255 N H2SO4) dan ditutup, didihkan selama 20 menit sambil digoyang. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas saring dan erlenmeyer dicuci dengan aquades mendidih. Kertas saring berisi residu dibilas kembali sampai air bilasan tidak bersifat asam. Residu pada kertas saring dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan sisanya dicuci dengan larutan 200 mL NaOH sampai semua residu masuk dalam erlenmeyer. Larutan dalam erlenmeyer dididihkan selama 30 menit sambil digoyang. Kemudian disaring kembali dengan kertas saring yang telah diketahui bobotnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Residu dibilas kembali dengan aquades mendidih dan 15 mL alkohol 95%. Kemudian kertas saring dikeringkan pada suhu 110°C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Bobot residu adalah bobot serat kasar.
Analisis Karakteristik Kimia Karagenan i. Kadar Abu Tidak Larut Asam (FMC Crop 1977)
Untuk menentukan kadar abu tidak larut asam, karagenan yang telah diabukan dididihkan dengan 25 mL HCl 10% selama 5 menit. Bahan-bahan tidak terlarut disaring dengan kertas saring menggunakan kertas saring Whattman (No 42). Proses penyaringan dilakukan sampai pH air bilasan menjadi 7. Setelah itu kertas saring yang berisi abu dimasukkan ke dalam cawan poselen yang telah diketahui bobot sebelumnya dan diabukan dengan cara yang sama dengan proses pengabuan. Setelah menjadi abu kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang sampai bobotnya konstan. Kadar abu tidak larut asam dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
( )
37
j.Kadar Sulfat (JECFA 2007) Kadar sulfat ditentukan dengan menghidrolisis karagenan dan mengendapkan sulfatnya sebagai BASO4. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 50 mL HCl 0.2 N, selanjutnya campuran dipanaskan sampai mendidih selama 1 jam. Setelah 1 jam ditambahkan 25 mL H2O2, dipanaskan selama 5 jam sampai larutan menjadi jernih. Larutan ini dipindahkan ke dalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih. Selanjutnya ditambah dengan 10 mL BaCl2 10% dan dipanaskan di atas hotplate selama 2 jam. Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring bebas abu (Whatman No 42) dan dicuci dengan air destilat hingga bebas klorida. Kertas saring kemudian dikeringkan dan diabukan pada suhu 700°C sampai diperoleh abu berwarna putih. Abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sufat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
( ) di mana: 0.4116 = massa atom relatif SO4 dibagi dengan massa atom relatif BaSO4 P = bobot endapan BaSO4 (gram) k. Kadar Mineral dan Logam Berat (Ca, Na dan K, Mg; 985.35.50.1.14. AOAC 2005) Sebanyak 1 g karagenan didestruksi di dalam labu kjeldhal dengan 10 mL H2SO4 pekat dan 15 mL HNO3 pekat. Setelah destruksi larutan dipanaskan dan didinginkan dengan H2O2 sampai jernih. Setelah dingin larutan dituang ke dalam labu ukur 250 mL dan ditepatkan volumenya dengan air destilat. Larutan contoh siap untuk dianalisa dengan AAS. Selanjutnya larutan diuji untuk kadar mineral Ca, Na, K, dan Mg, logam berat (Pb, Cd, Hg, dan As) dan larutan standar logam berat Pb, Cd, dan Hg, serta Ca, Na, K, dan Mg Prosedur pemakaian AAS adalah sebagai berikut: alat dipanaskan selama 1 jam, kemudian dipasang hallow katode yang sesuai dengan logam yang diinginkan. Katode dipanaskan 10 menit, dipilih bilangan gelombang yang sesuai, yaitu Ca, Na, K, Mg, 324.7 nm (Pb), 213.9 nm (Cd), dan 270 nm (Hg). kemudian pembakaran dinyalakan. Pengukuran dimulai dengan penyerapan larutan blanko dan dinolkan pembacaan absorbansi. Kemudian dilanjutkan penyerapan larutan standar dan larutan contoh. Dicatat nilai absorbansi, kemudian ditentukan konsentrasi unsur dalam contoh dan kurva standar. l. Analisis Bobot Molekul (Shiroma et al. 2008 yang dimodifikasi) Penentuan bobot molekul ditentukan menggunakan High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) (LC-6A; Shimadzu Co., Japan). TSK gel C5000 PWXL 7.8 x 300 mm column (Tosoh Co., Japan), dengan detektor index RID-6A (Shimadzu Co., Japan). Standar yang digunakan adalah P-10 MW = 0.96×104),
38 P-20 (2.11×104), P-50 (4.71×104), P-100 (11.3X104), P-200 (21.0 X 104), P-400 (36.6X104), and P–800 (80.5X104). Persiapan sampel adalah sebanyak 10 mg sampel dilarutkan dalam air bebas ion 10 ml (0.1%) dan dipanaskan hingga larut. Kemudian sampel dimasukkan dalam wadah yang bertutup rapat dan disimpan semalam dalam refrigerator. Pengerjaan yang serupa juga dilakukan terhadap standar (pullulan). Kondisi HPLC adalah kolom TSK gel C5000 PWXL (7.8x300 mm) dengan laju alir 0.5 mL/min, suhu kolom 30°C. Analisis bobot molekul dilakukan dengan cara sampel karagenan yang telah dilarutkan dalam akuabides (0.1%) yang telah disimpan semalam (16 jam) disaring dengan millipore (No 45), kemudian dimasukkan dalam vial kosong dan bersih. Pengerjaan yang serupa juga dilakukan terhadap larutan standar yaitu pullulan. Larutan iota-sigma juga dikerjakan seperti sampel. Sampel atau standar selanjutnya diinjeksi ke dalam kolom HPLC sebanyak 20 L kemudian ditunggu sampai keluar puncak, waktu yang diperlukan adalah 30 menit. Hasil analisis yang didapatkan berupa kromatogram dari setiap sampel dengan waktu retensi (Rt) yang berbeda-beda, juga untuk standar didapatkan kromatogram dengan waktu retensi yang berbeda. Untuk menentukan bobot molekul yaitu dengan menghitung berdasarkan presentase distribusi pada puncak kromatogram sebagai waktu retensi (Rt) kemudian dihitung dengan standar yang digunakan. m. Analisis Profil Penyerapan FTIR Profil penyerapan FTIR dilakukan mengikut metode Viana et al. (2004) untuk menentukan ikatan fungsional karagenan. Sebanyak 2 mg sampel karagenan dimasukkan ke dalam botol kecil dan ditambahkan 200 mg bubuk KBr, kemudian botol diaduk sehingga campuran homogen. Campuran kemudian ditempatkan di atas die, ditekan selama beberapa menit sampai terbentuk pelet. Pelet dipindahkan ke tempat sampel dan dianalisis pada bilangan gelombang 400–5000 cm-1.
Analisis Karakteristik Fisik Karagenan n. Rendemen Karagenan (FMC Corp 1977)
Rendemen karagenan sebagai hasil ekstrak dihitung berdasarkan rasio antara bobot karagenan yang dihasilkan dengan bobot rumput laut kering sebelum diekstrak.
( ) o. Profil Viskositas Karagenan dengan Rapid Visco Analyser (Young et al. 2003) Analisis dengan RVA, konsentrasi larutan karagenan 1%, berdasarkan kadar air sampel. Masing-masing sampel yang ditimbang sesuai dengan kadar air, konsentrasi masing-masing larutan 1%. Proses pengukuran dengan RVA
39 mencakup pemanasan pada suhu 80oC dan kemudian diturunkan sampai suhu 20oC selama 65 menit dengan pegadukan konstan pada kecepatan 160 rpm. p. Profil Viskositas Karagenan dengan Penambahan Kation K+ dan Ca+2 dengan RVA (Young 2003, dimodifikasi)
Profil viskositas larutan karagenan ditentukan dengan mengukur viskositas selama penurunan suhu dari 80-20°C. Pengukuran viskositas dilakukan dengan Rapid Visco Analyser (RVA). Penetapan profil viskositas dilakukan terhadap karagenan tanpa dan dengan penambahan kation K+ dan Ca2+ dalam larutan karagenan. Larutan KCl 0.005, 0.01, 0.02, dan 0,03 % serta CaCl2 0,005, 0.0075, 0.01, dan 0.02 % digunakan untuk meningkatkan kandungan K+ dan Ca2+. Pada awalnya larutan karagenan dalam wadah sampel RVA dipanaskan dulu sehingga mencapai suhu 80°C, kemudian pengaduk di putar dengan kecepatan putaran 160 rpm (Young et al. 2003). Selanjutnya viskositas larutan karagenan diukur selama penurunan suhu menjadi 20°C yang dicapai selama 65 menit. q. Analisis Karakteristik Fluida (Aliran) dan Viskositas Karagenan dengan Brookfield Viskosmeter Digital Type DV2TLV. Penentuan karakteristik fluida dan viskositas karagenan ditentukan dengan menggunakan viskometer digital Brookfield. Sebanyak 5 gram sampel karagenan dilarutkan di dalam air destilat hingga volumenya tepat 500 mL (1%) di dalam erlenmeyer 600 mL dan dipanaskan hingga suhu larutan mencapai 80°C. Kemudian larutan karagenan dianalisis dengan viskosmeter, untuk mempertahankan suhu, larutan karagenan diletakan di dalam waterbath. Selanjutnya dilakukan pengukuran viskositas dengan viskometer Brookfiled dengan ukuran spindle S-1, S-2, S-3, dan kecepatan rotasi 10-100 RPM. Pengukuran viskositas dilakukan pada suhu 70, 65, dan 60°C. Hasil pengukuran diperoleh nilai viskositas (mPa.s) dan torque (%). Viskometer rotasional pada skala pembacaan penuh untuk viscometer Brookfield DV2T LV mempunyai konstanta pegas 673.7 dyne-cm. Data dianalisis menggunakan persamaan 1, 2, 3, dan 4 sebagai berikut dan masing-masing dengan bantuan Ms-excel:
Shear rate
Shear stress
Viscosity
= 2 Rc2Rb2………………………………….. (1) x2 (Rc2- Rb2)
= M …………………………………….. (2) 2Rb2L …………………………………….. (3)
40 Dimana = angular velocity of spindel (rad/sec) {= [2]N}
N = RPM
60 Rc = radius container Rb = radius spindel X = radius at which shear rate is being calculated (cm) M = torque input by instrument L = effective length of spindel (cm)
Tabel 10. Deskripsi spindel (cylindrical spindle) yang digunakan untuk persamaan 1 dan 2 No dan jenis Spindle Radius spindle(cm) Panjang spindel (L) (cm) 1 LV 0.9421 7.423 2 LV 0.5128 6.121 3 LV 0.2941 4.846 Sumber: Appendik A.4 (Guide to getting more from Brookfield viscometer p 36). Untuk menentukan nilai shear rate dan shear stress (persamaan 1 dan 2) dari hasil analisis menggunakan viscometer Brookfield tipe DV2T LV, diperlukan beberapa nilai yaitu, spindel yang digunakan, radius spindel, panjang spindel (Tabel 10), radius container/wadah (3.75 cm), RPM/kecepatan pengadukan yang digunakan, dan menentukan nilai x (radius saat shear rate dihitung dalam cm) Hasil perhitungan kemudian dimasukan ke dalam persamaan 1 dan 2 sehingga diperoleh nilai shear rate dan shear stress. q. Derajat Putih dengan Whiteness Meter (Kett 100-3) Sampel dimasukkan ke dalam cawan dalam jumlah tertentu, kemudian cawan diletakan dalam wadah contoh. Selanjutnya diseimbangkan suhu contoh dengan meletakkan wadah contoh di atas tempat pengukuran. Cawan yang berisi sampel selanjutnya dimasukkan ke tempat pengukuran sehingga alat menyala, LED menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Untuk mendapatkan nilai rata-rata, setelah 2-9 kali pengukuran selesai, ditekan tombol „AVERAGE‟ sehingga nilai rata-rata ditampilkan. Perhitungan derajat putih adalah nilai derajat putih sampel diukur dengan membandingkan nilai derajat putih BaSO4 yang terbaca pada alat, dengan nilai derajat putih BaSO4 sebagai standar sebesar 110.8 maka:
( )
41 r. Analisis Kekuatan Gel dengan Texture Analyser (modifikasi Marine Colloid 1978) Kekuatan gel karagenan dianalisis menggunakan Texture Analyzer (TAXT plus, Stable microsystem Ltd., UK). Sampel karagenan ditimbang sebanyak 3 g dan dilarutkan dalam 197 gr akuades, kemudian dipanaskan dengan hot plate hingga suhu larutan mencapai suhu 80°C selama 15 menit. Larutan karagenan panas dimasukkan ke dalam wadah plastik (berdiameter 6 cm dan tinggi 6.5 cm) dan dibiarkan pada suhu 10°C (suhu pendingin/refrigerator) selama ±16 jam sebelum dianalisis. Kekuatan pecah /breaking force (g) dan deformation (mm) diukur dengan menggunakan probe (P/0.5 R= 12.7 mm diameter), ditekan pada permukaan gel tegak lurus dengan kecepatan konstan 1 mm/detik dengan jarak 15 mm. Kapasitas beban tekstur yang digunakan adalah 5 kg.
Analisis Data Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap. Faktor yang diperhitungkan adalah lokasi perairan, terdiri atas: Nusa Penida, Takalar, dan Sumenep. Untuk menentukan perbedaan karakteristik ketiga karagenan dilakukan uji lanjut Duncan menggunakan SPSS versi 16.0.
42
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan dan Baku Karakteristik Rumput Laut Eucheuma spinosum Rumput laut Eucheuma spinosum yang berasal dari tiga perairan yaitu Nusa Penida (Bali), Sumenep (Jawa Timur), dan Takalar (Sulawesi Selatan), mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: talus silindris, percabangan talus berujung runcing atau tumpul, permukaan licin, dan ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan) berupa duri lunak yang tersusun berputar teratur mengelilingi cabang, warna coklat tua, hijau-coklat, hijau kuning, atau merah-ungu. Ciri–ciri morfologis rumput laut E. spinosum memiliki duri-duri yang tumbuh berderet melingkari talus dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas talus di antara lingkaran duri (Atmaja et al. 1989). Berdasarkan hasil identifikasi Pusat Penelitian Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta, rumput laut ini termasuk dalam spesies E. spinosum (linnnaeus) J. Agardh. Rumput laut E. spinosum ditunjukkan pada Gambar 11.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 11. Rumput laut E. spinosum kering petani (a). Nusa Penida, (b) Takalar, (c) Sumenep dan (d). E. spinosum dalam keadaan basah (Nusa Penida)
44 Rumput laut E. spinosum dari ketiga perairan, berwarna coklat tua, hijaucoklat, hijau kuning, atau merah-ungu. Rumput laut E. spinosum Nusa Penida relatif berwarna lebih seragam, talusnya lebih halus dibandingkan dengan Takalar dan Sumenep. Rumput laut E. spinosum dari Takalar dan Sumenep hampir serupa tetapi agak besar dan keras dibandingkan dengan Nusa Penida. Rumput laut E.spinosum dari ketiga perairan dari peani dengan umur panen yang sama pada ketiga perairan adalah 45 hari, sebelum dilakukan pencucian dan pengeringan dilakukan analisis clean anhydrous weed dan impurities. Rata-rata nilai CAW dari E.spinosum dari perairan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar berturut-turut adalah 54.5%, 58.13%,.dan 61.77%. Nilai impurities kasar rumput laut E.spinosum dari Nusa Penida sebesar 3.24%, Sumenep, 4.28% dan Takalar 3.85%. Nilai CAW E. spinosum dari Nusa Penida Sumenep, dan Takalar berkisar 54.5-61. 77%. Nilai Clean Anhydrous Weed (CAW) ketiga perairan yang dihasilkan lebih tinggi dari nilai minimal yang disyaratkan oleh Philipine National Standard (PNS/BAFPS 85:2012 ICS67.120.30), Eucheuma spp, CAW (CAS) adalah sebesar 40% untuk rumput laut kering.
(a)
(b)
(c)
Gambar 12.
Eucheuma spinosum setelah pencucian dan pengeringan yang berasal dari perairan (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar
45
Rumput laut E. spinosum kering hasil panen petani dengan umur panen yang sama 45 hari sebelum dianalisis dan diekstraksi dilakukan pencucian. Kadar air rumput laut kering petani adalah 45-50%, dalam kondisi kotor dan banyak terdapat benda asing yang menempel seperti bekicot, garam, tanaman lain, pasir, serta tali bekas tempat menempelnya rumput laut. Pencucian rumput laut menggunakan air dengan perbandingan rumput laut dan air 1:14. Pencucian rumput dilakukan setiap 1000 gram sebanyak tiga kali. Setelah dicuci, rumput laut ditiriskan dan dikeringkan pada suhu ruang yang diatur menggunakan alat pendingin udara. Pengeringan rumput laut dilakukan selama 24 jam. Rendemen rumput laut yang diperoleh sekitar 60-70%, rendeman tertinggi dari Takalar, diikuti Sumenep, dan Nusa Penida. Perbedaan rendemen ketiga perairan ini berkaitan dengan nilai CAW. Nilai CAW tertinggi rumput laut dari dari Takalar diikuti Sumenep dan Nusa Penida. Tingginya nilai CAW menunjukkan penanganan yang baik pada rumput laut, tetapi hanya pada penanganan selepas panen. Nilai CAW tidak selalu berbanding lurus dengan parameter lainnya seperti rendemen. Subaryono et al (2009) yang melaporkan bahwa rumput laut Gracillaria spp nilai CAW-nya tinggi, tetapi rendemen agar yang dihasilkan tetap rendah. Rumput laut E. spinosum kering disajikan pada Gambar 12. Rumput laut kering selanjutnya digunakan untuk menganalisis komposisi kimia dan sebagai bahan baku ekstraksi. Rata-rata kadar air rumput laut yang telah dikeringkan sekitar 19.55-21.27% (b/b).
Komposisi Kimia Eucheuma spinosum Kering Rata-rata nilai komposisi kimia dan serat total rumput laut E. spinosum kering Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar disajikan pada Tabel 11. Komponen terbesar rumput laut kering adalah karbohidrat, diikuti air dan abu, sedangkan protein dan lemak merupakan komponen terkecil. Rata-rata kadar air rumput laut kering E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar adalah 19.5521.27%. Hasil analisis kadar air rumput laut kering E. spinosum dari perairan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan. Hasil analisis kadar air rumput laut E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar lebih rendah dari SNI 2354.2:2015. Standar Nasional Indonesia menetapkan kadar air rumput laut kering untuk Eucheuma spp maksimum 30-35%, sehingga kadar air rumput laut pada penelitian ini masih memenuhi standar mutu rumput laut kering. Menurut PNS (2012) kadar air rumput laut Eucheuma spp 38% hasil penelitian ini kadar airnya lebih rendah dari yang telah ditetapkan oleh PNS. Rata-rata nilai kadar abu rumput laut E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumput laut merah Hypnea pannosa (18.65% bobot kering) dan Hypnea musciformis (21.57%) Siddique et al. (2013). Kadar abu E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar sejalan dengan hasil penelitian Mabeau and Fleurence (1993) yang melaporkan bahwa kadar abu rumput laut merah berkisar antara 8-40% bobot kering. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu rumput laut bergantung pada spesies, asal geografi, dan metode demineralisasi (SanchezMachado, 2004). Kadar abu E. spinosum juga hampir sama dengan spesies rumput laut merah lainnya yaitu, Hypnea japonica (22.10% DW), Hypnea charoides (22.80% DW), dan Gracilaria changgi (22.70% DW) (Norziah and Ching, 2000; Wong and Cheung, 2000).
46
Rata-rata nilai kadar abu E. spinosum juga tidak terlalu berbeda pada jenis yang sama (E. spinosum) dari hasil penelitian Soegiarto et al. (1978) yaitu memiliki kadar abu 22.25%, sedangkan menurut Sutamihardja (1981) kadar abu E. spinosum berkisar antara 20-30%. Begitu juga dengan hasil penelitian Suryaningrum (1988) terhadap kadar abu E. spinosum pada umur panen 49 minggu adalah 22.42%. Rata-rata nilai kadar abu rumput laut kering cukup tinggi karena mengandung mineral makro dan mikro. Rata-rata kadar lemak rumput laut kering E. spinosum adalah 0.01-0.07% bobot kering (bk). Kadar lemak dari ketiga perairan sangat rendah, karena rumput laut bukan merupakan sumber lemak . Rata-rata kadar protein rumput laut E. spinosum kering dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar adalah 6.07.3% (bk). Tempat tumbuh rumput laut E. spinosum yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan terhadap kadar protein maupun kadar lemak. Kadar protein rumput laut E. spinosum lebih rendah dibandingkan kadar protein rumput merah lainnya. Hasil penelitian Fleurence (1999), menyatakan bahwa kadar protein rumput laut merah dan hijau berkisar 10-40% (bk) dan rumput laut coklat sekitar 5-15% (bk). Dibandingkan dengan rumput laut merah lainnya, protein E. spinosum dari ketiga perairan lebih rendah daripada beberapa spesies rumput merah Gracilaria cervicornis (22.96% bk), Hypnea japonica (19.00% bk), Hypnea musciformis (18.64% bk), Porphyra tenera (34.20% bk), dan E. cottonii (9.76% bk). Kadar protein E. spinosum lebih tinggi daripada Gracilaria cornea (5.47% bk) dan Gracilaria changgi (6.90% bk). Spesies rumput laut merah lainnya seperti Palmaria plamata dan Porphyra tenera (nori) kandungan proteinnya lebih tinggi yaitu 35 dan 37% (Burti 2003).
Tabel 11.
Komposisi kimia dan serat rumput laut E. spinosum kering dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar
Komposisi (%) Air Abu Protein Lemak Karbohidrat* Serat kasar
19.55 19.55 4.85 0.01 56.04 12.18
Nusa Penida bb ± 0.49 ± 0.55 24.30 ± 0.62 6.03 ± 0.02 0.012 ± 0.90 69.66 ± 0.63 15.14
Sumenep bk ± ± ± ± ±
a
0.20 0.79 0.0 1.86 1.08a
bb 19.92 ± 2.15 18.70 ± 0.10 5.59 ± 0.32 0.02 ± 0.01 55.77 ± 1.90 15.43 ± 1.08
Takalar bk b
23.35 ± 0.25 6.98 ± 0.01 0.025 ± 0.03 69.64 ± 3.08 19.27 ± 1.39b
bb 21.27 ± 0.52 18.55 ± 0.49 5.74 ± 0.21 0.06 ± 0.03 54.38 ± 0.71 14.61 ± 0.16
bk 23.56 7.30 0.076 69.07 18.56
± ± ± ± ±
0.06b 0.33 0.01 1.22 0.32b
*by difference, bk =bobot kering, bb=bobot basah Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Komponen utama karbohidrat rumput laut terdiri atas D dan L-galaktosa, 3.6-anhidrogalaktosa, ester sulfat, gula alkohol, dan inositol. Hasil analisis komposisi kimia E. spinosum menunjukkan bahwa kandungan tertinggi adalah karbohidrat, tetapi kadar karbohidrat diantara rumput laut E. spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar tidak berbeda. Kandungan polisakarida lainnya pada rumput laut terdiri atas laminarin (1.3-glucan) dalam rumput laut coklat dan tepung floridea (amilopektin seperti glukan) dalam rumput laut merah. Polisakarida (agar, karagenan, ulva, dan fucoidan) tidak dapat dicerna dalam usus manusia dan disebut sebagai dietary fiber (Lahaye et al. 1990, dan 1991). Serat terdiri atas serat yang dapat larut dan tidak larut air yang memiliki efek fisiologis.
47
Rata-rata serat kasar E. spinosum dari tiga perairan (Nusa Penida, Takalar, dan Sumenep) disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan hasil analisis kadar total serat, rumput laut dari perairan Takalar paling tinggi diikuti Sumenep dan Nusa Penida. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa kadar serat rumput laut E. spinosum dari perairan Nusa Penida menunjukkan perbedaan yang nyata, Takalar dengan Sumenep tidak menunjukkan perbedaaan nyata. Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia rumput laut kering E. spinosum menunjukkan bahwa daerah tempat tumbuh berpengaruh terhadap komposisi kimia dari rumput laut terutama kadar serat asar. Faktor lingkungan mempengaruhi kelangsungan makhluk hidup perairan seperti suhu dan salinitas. Laju fotosintesis spesies Eucheuma membutuhkan suhu 30oC (Soegiarto et al. 1978). Pada umumnya variasi tahunan suhu permukaan perairan tropis sangat kecil. Perbedaan antara ketiga perairannya adalah perairan Takalar (Sulawesi Selatan) merupakan pertemuan dua massa air sedangkan perairan Sumenep dan Nusa Penida tidak merupakan pertemuan dua massa air. Disamping suhu dan salinitas, kecepatan arus juga mempengaruhi suplai zat hara untuk membantu rumput laut menyerap zat hara, dan membersihkan kotoran serta pertukaran CO2 dan O2. Kecepatan arus yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20-40 cm/detik (Indriani dan Sumiarsih 1991)
Ekstraksi Rumput Laut Eucheuma spinosum Ekstraksi rumput laut adalah proses untuk menghasilkan karagenan. Proses ekstraksi rumput laut kering E. spinosum dilakukan dalam suasana alkali dengan adanya pemanasan, dan pengeringan untuk menghasilkan karagenan. Penambahan larutan alkali pada kondisi panas akan meningkatkan kekuatan gel sekaligus memecah dinding sel rumput laut. Peningkatan kekuatan gel karena perlakuan alkali, hasil penelitian Freile-Pelegrin (2006), yang melaporkan bahwa ekstraksi E. isiforme dengan air, karagenan tidak membentuk gel tetapi dengan adanya alkali (KOH) mengkonversi 3,6 anhidrogalaktosa membentuk helik ganda sehingga terjadi proses gelasi. Reaksi yang terjadi pada proses ekstraksi dengan alkali ini dijelaskan sebagai berikut (Michael dan Rideult 2001, Uy et al. 2005): (1). Adanya transformasi gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ atau K+ dengan membentuk garam Na2SO4 atau K2SO4 di larutan (2). Pengeluaran molekul air (dehidrasi) membentuk polimer anhidrous galaktosa, dimana ion H+ atau larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk karagenan dan air. Selama proses ekstraksi E. spinosum, tidak semua gugus sulfat terlepas. E.spinosum memiliki 3 gugus sulfat yaitu pada posisi galaktosa-2-sulfat dan anhidroglaktosa-4-sulfat. Proses ekstraksi dengan alkali yang terlepasnya hanya gugus galaktosa-2-sulfat, sehingga gelnya dihasilkannya lemah. Berbeda dengan Eucheuma cottonii yang memiliki gugus sulfat hanya 1 yaitu galaktosa-2sulfat, sehingga dalam proses ekstraksi, gugus tersebut lepas sehingga kekuatan gel karagenan yang dihasilkan kuat karena anhidro-galaktosa yang terbentuk lebih banyak dibandingkan daripada karagenan E. spinosum. Hasil ekstraksi E.spinosum berupa filtrat yang nantinya akan menjadi karagenan. Untuk mendapatkan karagenan yang berupa serat-serat digunakan presipitasi dengan etanol. Etanol ditambahkan dalam filtrat untuk presipitasi untuk menarik air supaya terbentuk serat-serat karagenan. Serat-serat tersebut di saring selanjutnya dikeringkan kemudian digiling menjadi bubuk kering dengan ukuran partikel lolos saringan 60 mesh, berwarna putih kekuningan, tidak berbau,
48 dan tidak berasa. Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses pembuatan karagenan. Rendemen adalah persentase karagenan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan untuk ekstraksi. Rata-rata nilai rendemen karagenan E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep dan Takalar disajikan pada Tabel 12. Rendemen karagenan tertinggi yaitu karagenan dari perairan Takalar (Sulawesi Selatan) diikuti Sumenep (Jawa Timur) dan Nusa Penida (Bali). Rendemen karagenan E. spinosum dari perairan Takalar lebih tinggi dibandingkan spesies rumput laut merah tropis Eucheuma isiforme yang juga diekstrak dengan perlakuan alkali dari perairan Yucatan sebesar 34% (Freile-Felegrin et al. 2008). Sebaliknya rendemen karagenan Sumenep dibandingkan dengan karagenan E.isiforme dari Yucatán hampir serupa dan Nusa Penida lebih rendah. Perbedaan rendemen karagenan E. spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lingkungan tumbuh yang berbeda. Faktor lingkungan tempat tumbuh rumput laut mempengaruhi proses metabolisme tumbuhan. Karagenan E. spinosum dari Takalar memiliki rendemen tertinggi karena kondisi perairannya merupakan subtrat berkarang dan berpasir sehingga tidak terjadi kekeruhan dan tingkat kecerahan yang baik. Tingkat kecerahan yang baik berakibat proses fotosintesis berjalan dengan baik. Kondisi habitat E.spinosum dari ketiga perairan memiliki kisaran suhu yang berbeda. Nusa Penida 27-33C, Sumenep 29-33C dan Takalar 28-33C (Radiarta et al. 2013; Armiyanti et al. 2013; Jailani et al. 2013). Ketiga perairan yang memiliki kisaran suhu yang tinggi adalah Takalar dan Sumenep, sehingga nilia rendemen keduanya lebih tinggi dibandingkan dengan Nusa Penida. Habitat E.spinosum di Nusa Penida sangat dipengaruhi oleh pasang surut sedangkan Sumenep dan Takalar tidak.
Tabel 12. Rendemen karagenan Eucheuma spinosum Karagenan Rendemen (%) Nusa Penida 25.81 ± 1.93 Sumenep 34.81 5.83 Takalar 37.16 ± 3 .28
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Zertuche-Gonzales (1993) yang melaporkan bahwa nilai rendemen karagenan yang dihasilkan berhubungan langsung dengan kondisi tumbuhnya rumput laut. Faktor yang sangat berperan adalah intensitas cahaya terutama dalam pembentukan karbohidrat. Begitu juga yang telah dilaporkan Chapman (1980) yang menyatakan bahwa rendemen karagenan dipengaruhi juga oleh jenis, iklim, metode ekstraksi, waktu pemanenan, dan lokasi budidaya) Hasil penelitian lainnya juga melaporkan rendemen pada rumput laut laut merah jenis lainnya bahwa karagenan E. uncicatum pada musim dingin rendemennya sekitar 32-43% sedangkan pada musim panas 33-49% (Zertuche-Gonzales 1993). Rumput laut Hypnea usciformi menghasilkan rendemen karagenan sebesar 25% dan Eucheuma spp. 34% (Mtolera et al. 2004 dan FAO 2004).
49
Karakteristik Karagenan Karakteristik Kimia Karakteristik kimia karagenan meliputi kadar air, abu, abu tidak larut asam, dan sulfat. Rata-rata kandungan tersebut disajikan pada Tabel 13. Kadar air Rata-rata kadar air karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar berturut-turut 12.08, 10.98, dan 11.05%. Kadar air ketiga karagenan tidak jauh berbeda bahkan hampir sama. Kondisi lingkungan tidak mempengaruhi kadar air karagenan. Kadar air Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh FAO (2004). Kadar Abu Rata-rata kadar abu ketiga karagenan berkisar 28.26-29.57% bk. Kadar abu karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar telah memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan oleh FAO sebesar 15-40% (refined carrageenan). Kadar abu pada karagenan yang tinggi disebabkan karena karagenan mengandung mineral seperti kalium, natrium, kalsium, dan magnesium.
Tabel 13. Karakteristik kimia dan fisik karagenan E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar Nusa Penida
Paramater (%) bb Kadar air Kadar abu
Sumenep
bk
12.08 ± 0.33 25.53 ± 0.08
bb
Takalar
bk
10.98 ± 0.50 29.03 ± 1.89
Kadar abu tidak larut 0.31 ± 0.01 0.39 ± 0.19 asam Kadar sulfat 29.26 ± 1.32 32.27 ± 0.75 bb=bobot basah, bk=bobot kering
Standar untuk Refined carrageenan (FAO 2004)
bb
bk
11.05 ± 0.40
Max 12
26.32 ± 0.09
29.57 ± 0.04
25.13 ± 0.08
28.26 ± 0.29
0.31 ± 0.01
0.33 ± 1.83
0.21 ± 0.09
0.27 ± 2.46
27.77 ± 0.40
30.74 ± 0.56
28.05 ± 0.60
31.93 ± 1.13
15-30% < 1%
14-40%
Kadar Abu Tidak Larut Asam Karakteristik kimia lainnya adalah kadar abu tidak larut asam. Rata-rata kadar abu tidak larut asam disajikan pada Tabel 13. Kadar abu tidak larut asam Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar berkisar 0.27%-0.39% bk. Kadar abu tidak larut asam yang disyaratkan oleh FAO terhadap Refined carrageenan < 1%. Kadar abu tidak larut asam karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan FAO.
50
Kadar Sulfat Rata-rata kadar sulfat karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar disajikan pada Tabel 12. Kadar sulfat ketiga karagenan berkisar 30.74-32.27%. Kadar sulfat yang tertinggi pada karagenan dari Nusa Penida, diikuti Takalar dan Sumenep. Hasil ekstraksi rumput laut merah yang menghasilkan karagenan biasanya dibedakan terhadap kandungan sulfatnya. Doty (1986) membedakan karagenan menjadi dua fraksi, yaitu kappa-karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan iota-karagenan jika lebih dari 30%. Kadar sulfat pada karagenan berbeda-beda, hal ini mencirikan tipe atau jenis karagenan. Kadar sulfat karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar relatif tinggi karena struktur kimianya memiliki dua gugus sulfat, yaitu pada posisi C2 dan C4 (Galaktosa -4-sulfat (G4S) dan anhindro-D-galaktosa-2 sulfat (DA2S).
Kadar Mineral (kalsium, magnesium, natrium dan kalium) Rata-rata kandungan mineral kalsium, magnesium, natrium, kalium, dan rasio kalsium dan kalium pada karagenan dari ketiga perairan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa kadar kalsium dalam karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar tidak terlalu berbeda, berturut-turut 4.84, 5.14, dan 5.17%. Kadar magnesium dan natrium ketiga karagenan relatif rendah dan hampir sama. Sejalan dengan hasil penelitian kadar mineral karagenan atau galaktan dari rumput laut merah spesies Coccotylus truncatus yang diekstrak dengan larutan KOH panas dan tanpa KOH selama 4 jam juga menunjukkan bahwa kandungan Na dan Mgnya rendah (Tuvikene at al. 2009). Kadar kalium pada ketiga karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar dan Sumenep juga tidak berbeda. Rasio kadar mineral kalsium dan kalium karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar disajikan pada Tabel 14. Rasio kadar kalsium terhadap kalium karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar berturut-turut 2.63, 2.92, dan 3.52. Keberadaan kalsium dan kalium pada karagenan mempengaruhi karakteristik fisik karagenan. Rasio kalsium terhadap kalium tertinggi terdapat pada karagenan Takalar sedangkan yang terendah pada karagenan Nusa Penida. Tabel 14. Kandungan mineral pada karagenan dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar Karagenan Nusa Penida Sumenep Takalar
Kalsium (Ca) 4.84 ± 0.26 5.17 ± 0.04 5.14 ± 0.35
Jenis /kandungan mineral (%) Natrium (Na) Magnesium (Mg) Kalium (K) 0.57 ± 0.11 0.66 ± 0.14 1.84 ± 0.29 0.67 ± 0.01 0.66 ± 0.04 1.77 ± 0.09 0.56 ± 0.06 0.33 ± 0.03 1.46 ± 0.14
Rasio Kalsium : Kalium 2.63 2.92 3.52
Kadar Logam Berat Analisis logam berat penting dilakukan untuk menentukan apakah karagenan yang dihasilkan aman untuk konsumsi baik untuk pangan maupun non pangan (produk farmasi). Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan beberapa logam berat (Cd, Pb, Hg dan As) dalam karagenan tidak terdeteksi.
51 LOD (limit of detection) dari Cd =10-2, Pb=10-3, Hg= 2 x 10-4, dan As= 2 x 10-3. Kadar minimum logam berat dalam karagenan yang diizinkan FAO (2004) adalah 3 mg/kg. Tidak terdeteksinya logam berat dalam karagenan menunjukkan bahwa tempat tumbuh atau lingkungan perairan rumput laut tidak tercemar. Spektra FTIR Karagenan Eucheuma spinosum Analisis spektroskopi infra merah merupakan teknik untuk menentukan struktur dan gugus fungsi senyawa termasuk senyawa fikokoloid karagenan. Hasil spektroskopi FTIR pada penelitian ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan struktur kimia karagenan E. spinosum dari Nusa Penida, Takalar, dan Sumenep. Absorbansi yang tinggi pada karbohidrat ditunjukkan pada daerah bilangan gelombang 1270-600 cm-1, yang disebut daerah fingerprint, dimana posisi dan intensitas spesifik untuk setiap polisakarida berbeda. Spektra FTIR karagenan memiliki tipe absorbansi 1270-1250 (grup ester sulfat), pada bilangan gelombang 930 cm-1 (C-O dari 3.6-anhidrogalaktosa). Spektra FTIR karagenan E. spinosum dari ketiga perairan disajikan pada Gambar 13, dengan kisaran bilangan gelombang 4000-500 cm-1. Jumlah bilangan gelombang tertentu pada karagenan yang dianalisis disajikan pada Tabel 14. Spektra infra merah karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar memiliki puncak yang tajam pada bilangan gelombang 806 cm-1 (Gambar 13), hal ini menunjukkan adanya gugus C-O-SO3 pada posisi C2 dari anhidrogalaktosa yang merupakan karakteristik dari iota-karagenan. Hasil analisis FTIR karagenan E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar sesuai dengan hasil penelitian Dawes at al. (1977), yang mencirikan karagenan fraksiiota pada puncak bilangan gelombang 806 cm-1. Puncak–puncak ketiga karagenan (933.53, 852.24, dan 806.25 cm-1) menunjukkan ciri-ciri iota-karagenan. Sejalan dengan hasil penelitian Chopin and Whalen (1993) melaporkan bahwa iotakaragenan memiliki puncak pada bilangan gelombang (933.9, 845.3, dan 805.3 cm-1). Hasil spektra karagenan Nusa Penida, Sumenep, Takalar dan iota-sigma sebagai standar, adalah terdapatnya gugus ester sulfat pada bilangan gelombang 1373 cm-1, ikatan glikosidik (1026-1029 cm-1), 3.6-anhidrogalaktosa (1068-1083 cm-1), OH (2912 cm-1), dan galaktosa (933 cm-1) (Tabel 15). Pada spektra karagenan terdapat puncak yang tajam pada bilangan gelombang 825 cm-1 dan 806 cm-1 yang merupakan gugus fungsi 3.6-anhidrogalaktosa-4 sulfat dan 3.6-anhidrogalaktosa-4-sulfat (2 sulfat). Hal ini merupakan karakteristik dari iota-karagenan. Spektra infra merah ketiga karagenan untuk gugus galaktosa, anhidrogalaktosa, 3.6-AG2S, dan 3.6-AG4S memiliki bilangan gelombang yang sama. Gugus OH, ester sulfat, dan anhidrogalaktosa ketiga karagenan tidak sama tetapi masih dalam kisaran bilangan gelombang untuk gugus OH, ester sulfat, dan anhidrogalaktosa. Karagenan Takalar, Sumenep, dan Nusa Penida serta iota-standar sigma memiliki gugus OH pada bilangan gelombang yang sama (2912.51 cm-1). Gugus ester sulfat pada karagenan Takalar, Nusa Penida, dan iota-sigma terdapat puncak bilangan gelombang 1373.32 cm-1 kecuali Sumenep pada bilangan gelombang 1373.17 cm-1, meskipun peneliti lainnya menyatakan bahwa ester sulfat ditunjukkan pada bilangan gelombang sekitar 1240-1260 cm-1 (Chopin and Whalen1993; Pereira 2006). Hasil penelitian Correa & Diaz at al. (1990) menyatakan bahwa ester sulfat ditunjukkan pada bilangan gelombang 1250 dan 1370 cm-1, sedangkan menurut Deslandes et al. (1990), ester sulfat ditunjukkan pada bilangan gelombang 1240 cm-1. Gugus 3.6 anhidrogalaktosa pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar terdapat
52
806.25
852.54
933.53
1029. 59
1373.52
pada bilangan gelombang 1080-1083 cm-1, kecuali karagenan standar (iotasigma) pada bilangan gelombang 1068 cm-1. Sedangkan, ikatan glikosidik pada bilangan gelombang 1026-1029 cm-1, galaktosa bilangan gelombang 964-968 cm-1, dan 3,6 anhidrogalaktosanya (933 cm-1). Tabel 15 menunjukkan bahwa ketiga karagenan dan iota-sigma mempunyai gugus ester sulfat, OH, ikatan glikosidik, 3.6-anhidrogalaktosa dan galaktosa. Terdapatnya 2 gugus 3.6-anhidrogalaktosa-4 sulfat dan 3.6anhidrogalaktosa-4-sulfat (2 sulfat) merupakan karakteristik dari iota-karagenan. Ketiga karagenan hasil analisis dengan spekstroskopi infra merah untuk gugus galaktosa, anhidrogalaktosa, 3.6-AG2S dan 3,6-AG4S memiliki bilangan gelombang yang sama, sedangkan untuk gugus galaktosa karagenan Takalar tidak sama dengan Nusa Penida dan Sumenep, ikatan glikosidik (C-O-C) Takalar sama dengan Sumenep tetapi berbeda dengan Nusa Penida. Gugus 3.6-DA pada karagenan Takalar dan Sumenep menunjukkan bilangan gelombang yang sama, sedangkan Nusa Penida dan iota sigma berbeda. Lebih lanjut gugus ester sulfat yang berbeda hanya pada karagenan Sumenep (Tabel 15). Hasil analisis ketiga karagenan (Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar) menunjukkan serapan pada bilangan gelombang tertentu sebagai indikator gugus fungsi (Tabel 15). Puncak pada bilangan gelombang 2912.15-3591.46 cm-1 merupakan daerah ikatan OH. Hasil identifikasi dengan spektrokopi infarmerah dan bilangan gelombang dapat disimpulkan bahwa karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar adalah fraksi iota-karagenan. Hal ini terbukti dengan adanya gugus galaktosa 2-sulfat, 4-sulfat, 3.6-anhidrogalaktosa, dan ester sulfat.
Bilangan gelombang (cm-1) Gambar 13.
Spektra FTIR karagenan (a) Iota-sigma (b), Nusa Penida (c) Sumenep, dan (d) Takalar
53
Tabel 15.
Bilangan gelombang E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, Takalar, dan iota-sigma -1
Bilangan gelombang (cm ) Sumenep Iota-sigma 1377.17 1373.32 1083.99 1068.56 1026.13 1029.99 964.41 968.27 933.55 933.55
Nusa Penida 1373.32 1080.14 1029.99 964.41 933.55
Takalar 1373.32 1083.99 1026.13 968.27 933.55
852.54
852.54
852.54
852.54
806.25
806.25
806.25
806.25
Gugus fungsi S=O (ester sulfat) C-O (3,6-anhidrogalaktosa) C-O-C (Ikatan glikosidik) galaktosa C-O C-O (3,6anhidrogalaktosa) C-O-S03 pada C4 3,6anhidrogalaktosa-4-sulfat C-O-S03 pada C2 3,6anhidrogalaktosa-2-sulfat
Bobot Molekul Karagenan Eucheuma spinosum Rata-rata bobot molekul karagenan hasil ekstraksi E.spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar berturut-turut 8.51 x 105, 8.40 x 105, dan 9.01 x105 Dalton (Tabel 15). Bobot molekul dari karagenan standar iota-standar (Sigma-Aldrich) adalah 8.57 x 105 Dalton. Karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar memiliki bobot molekul yang hampir sama, dan masing-masing memiliki satu puncak dengan waktu retensi 5.2-5.4 menit. Bobot molekul karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar hampir sama dengan karagenan standar iota-sigma, sehingga ketiga karagenan adalah fraksi iotakaragenan. Hasil analisis ini juga didukung dengan hasil identifikasi gugus fungsi menggunakan FTIR, ketiga karagenan memiliki gugus fungsi 3.6anhidrogalaktosa-4 sulfat dan 3.6-anhidrogalaktosa-2-sulfat yang mencirikan iota-karagenan. Tabel 16. Rata-rata bobot molekul karagenan E. spinosum (Da) Karagenan Bobot Molekul (105) Iota-standar (Sigma-Aldrich) 8.57 ± 0.00 Nusa Penida 8.51 ± 1.01 Sumenep 8.40 ± 1.53 Takalar 9.01 ± 1.64
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot molekul karagenan yang diekstrak dari tiga perairan yang berbeda sebanding dengan bobot molekul iotakaragenan yang dilaporkan oleh Tobacman (2001) dengan bobot molekul sekitar 3.00- 8.00 x 105 Da. Untuk spesies ruput merah lainnya oleh Montalalu et al. (2008) yang melaporkan bahwa karagenan Kapphapycus alvarezii dari Sulawesi Utara yang diekstrak menggunakan alkali panas pada suhu 90C memiliki bobot molekul 1.55 x 105 sampai 1.87 x 105 Da.
54
Karakteristik Fisik Karagenan Eucheuma spinosum Kekuatan Gel Rata-rata nilai kekuatan gel 1.5% larutan karagenan E. spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar disajikan pada Tabel 16. Hasil Uji lanjut Duncan menunjukkan karagenan Takalar memiliki kekuatan gel lebih tinggi dibandingkan karagenan Sumenep dan Nusa Penida (p<0.05). Perbedaan kekuatan gel diantara karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar di duga berkaitan dengan perbedaan rasio kalsium dan kalium pada ketiga karagenan (Tabel 14). Semakin tinggi rasio kalsium terhadap kalium memperlihatkan kekuatan gel karagenan yang semakin tinggi. Hal ini terlihat pada rasio kalsium dengan kalium yang tertinggi pada karagenan Takalar yang menyebabkan kekuatan gel karagenan Takalar lebih tinggi dibandingkan Sumenep dan Nusa Penida (Tabel 17). Hubungan antara kekuatan gel dengan kisaran rasio kalsium dan kalium pada ketiga karagenan membentuk persamaan linier y = 23.155x-26.615 (R2=0.964) seperti ditunjukkan pada Gambar 14.
Tabel 17. Karakteristik fisik karagenan dari E. spinosum dari perairan Nusa Penida, Takalar, dan Sumenep. Parameter
Nusa Penida
Kekuatan gel -2 (gcm ) Derajat putih (%)
32.73 ± 1.61 37.74 ± 0.05
a
Sumenep 43.30 ± 2.85 38.28 ± 0.06
Takalar a
54.14 ± 1.79
b
44.35 ± 0.07
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)
Karakteristik sifat gel karagenan dipengaruhi oleh suhu dan keberadaan kation-kation spesifik, seperti kalsium dan kalium, baik yang berasal dari karagenan itu sendiri maupun adanya penambahan kation (Belton et al. 1984; Michel et al. 1997; Nunez-Santiago dan Tecante, 2007). Selain itu, te Nijenhuis (1996) juga melaporkan bahwa suhu dan konsentrasi polimer merupakan faktor kritis yang diperlukan dalam proses gelasi dengan adanya beberapa ion. Karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar merupakan iota-karagenan berdasarkan hasil identifikasi dengan FTIR (Gambar 11) sehingga kation yang berperan untuk pembentukan gelasinya adalah kalsium, sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Morris dan Chilver (1981), serta Tako dan Nakamura (1987) yang menyatakan bahwa kation yang berperan selama pembentukan gelasi iota-karagenan adalah Ca2+, sedangkan untuk kappa-karagenan adalah kation K+.
55
c
Kekuatan gel (gcm-2)
60 b
50 40
y = 23.155x - 26.615 R² = 0.9639
30
a
20 10 2
2.5
3 Rasio Ca:K
3.5
4
Gambar 14. Hubungan antara rasio kalsium terhadap kalium dengan kekuatan gel larutan karagenan (1.5%), (a). Nusa Penida, (b). Sumenep, dan (c). Takalar
Kalsium merupakan kation divalen yang mampu membentuk jembatan intra-molekul antara kelompok sulfat dengan anhidro-D-galaktosa dan residu dari D-galaktosa pada iota-karagenan. Jembatan antar molekul yang terbentuk akibat Ca2+ menyebabkan larutan karagenan membentuk struktur kuarterner jika didinginkan. Sebaliknya, K+ akan menginduksi penggabungan antar molekul kappa-karagenan dengan membentuk ikatan ion antara K+ dan kelompok sulfat pada residu D-galaktosa, sehingga terbentuk ikatan elektrostatik sekunder antara K+ dengan atom oksigen anhidro dari residu galaktosa yang berdekatan (Thrimawithana et al., 2010). Keberadaan kalsium dan kalium pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar mempengaruhi kekuatan gel, sehingga karagenan Takalar yang memiliki kisaran rasio kalsium terhadap kalium tertinggi memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan karagenan Sumenep dan Nusa Penida. Kalsium akan mempercepat terbentuknya jembatan antar molekul dan struktur kuarterner, sebaliknya kalium berpengaruh menginduksi penggabungan antar molekul pada kappa-karagenan, sedangkan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar termasuk iota-karagenan. Kekuatan gel karagenan E.spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada konsentrasi 1.5% relatif rendah, masing-masing kekuatan gelnya sebesar 32., 43, dan 52 gcm-2 (Tabel 17). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Freile-Pelegrin dan Robledo (2008) yang melaporkan bahwa kekuatan gel larutan karagenan 1.5% Eucheuma isiforme dari Nicaragua <50 gcm-2. Hal ini menunjukkan bahwa iota-karagenan memiliki kekuatan gel yang rendah/lemah. Banyaknya fraksi sulfat dan keseimbangan kation dalam air menentukan kekentalan atau kekuatan gel yang dibentuk karagenan, pengurangan sulfat menyebabkan terbentuknya konformasi DA (3.6-anhidrogalaktosa) yang dapat menyebabkan crosslinking sehingga terbentuk fase gel (Campo et al. 2009). Selain rasio kalsium terhadap kalium, kandungan sulfat dan rendemen juga mempengaruhi kekuatan gel pada ketiga karagenan. Rendemen karagenan yang tinggi menunjukkan bahwa kadar 3.6-anhidrogalaktosa yang terbentuk banyak, Karagenan Takalar yang memiliki rendemen tertinggi memperlihatkan kekuatan gel Takalar yang paling kuat dibandingkan Sumenep dan Nusa Penida. Disamping rendemen, bobot molekul juga mempengaruhi kekuatan gel. Karagenan Takalar memiliki bobot molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan karagenan Sumenep dan Nusa Penida. Bobot molekul yang tinggi
56 berhubungan dengan terbentuknya 3.6-anhidrogalaktosa. Semakin banyak terbentuknya gugus-gugus 3.6-anhidrogalaktosa memperlihatkan bobot molekul karagenan yang semakin tinggi. Pembentukan gugus 3.6-anhidrogalaktosa terjadi selama proses ekstraksi dengan alkali. Proses ekstraksi menggunakan alkali bertujuan untuk melepas gugus sulfat pada C2. Terbentuknya gugus 3.6anhidrogalaktosa berperan dalam pembentukan gel (Campo et al. 2009). Derajat Putih Pengukuran derajat putih bertujuan untuk mengetahui apakah proses ekstraksi yang dilakukan dapat mendegradasi pigmen-pigmen pada rumput laut E. spinosum. Hasil analisis derajat putih karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar turut-turut 37.44%, 38.28 dan 44,35% pada skala 1-110. Warna ketiga karagenan tidak putih tetapi cenderung agak kekuningan. Proses ekstraksi E. spinosum dengan Ca(OH)2 menghasilkan karagenan tidak berwarna putih agak kekuningan, sesuai dengan spesifikasi standar iota-sigma tipe II bahwa karagenan bukan berwarna putih. Disamping itu sebelum proses ekstraksi rumput laut E. spinosum tidak dipucatkan. Profil Viskositas
Profil viskositas larutan karagenan E. spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar disajikan pada Gambar 14. Pada titik awal pengukuran pada suhu 80oC, viskositas karagenan ketiga perairan sekitar 90, 120 dan 130 mPa.s. Selanjutnya viskositas larutan karagenan tertahan beberapa menit sampai suhu 65oC. Profil viskositas ketiga karagenan kemudian mengalami perubahan dengan turunnya suhu. Viskositas larutan karagenan Takalar menunjukkan kenaikan yang lebih tinggi pada penurunan suhu dibandingkan dengan karagenan Sumenep dan Nusa Penida. Viskositas karagenan Takalar pada suhu 47.5oC adalah 600 mPas, sedangkan karagenan Sumenep menunjukkan suhu yang lebih rendah (42.5oC) untuk menghasilkan viskositas yang sama. Lebih lanjut karagenan Nusa Penida membutuhkan suhu yang lebih rendah lagi yaitu 20oC (Gambar 15).
47.5
Suhu (C)
Viskositas (mPa.s)
57
Waktu (menit) Gambar 15.
Profil viskositas karagenan E. spinosum dari Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar
Pada suhu 20°C, viskositas larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar berturut-turut 650, 1110, dan 1200 mPa.s. Ketiga karagenan pada suhu yang berbeda menunjukkan profil dan viskositas yang berbeda, semakin rendah suhu maka viskositasnya makin tinggi (kental). Hasil analisis terlihat bahwa viskositas larutan karagenan Takalar yang paling tinggi, dibandingkan karagenan Sumenep dan Nusa Penida. Hal ini berkaitan dengan rasio kalsium dan kalium pada karagenan Takalar yang paling tinggi diantara karagenan Sumenep dan Nusa Penida (Tabel 14). Profil viskositas karagenan pada Gambar 15 menunjukkan bahwa dengan tingginya rasio Ca/K, maka viskositas karagenan lebih kental. Rasio Ca/K tertinggi pada karagenan dari Takalar sehingga viskositasnya tinggi, dan semakin rendah rasio Ca/K. viskositasnya larutan karagenan Sumenep dan Nusa Penida lebih rendah (Gambar 14). Semakin tinggi rasio Ca.K, maka viskoistas semakin tinggi (kental) dan sebaliknya semakin rendah rasio ca/K maka viskositas semakin rendah (encer). Menurut Lai et al. (2000) viskositas hidrokoloid terutama karagenan bergantung pada konsentrasi, suhu, adanya zat terlarut lainnya (kation-kation), tipe karagenan, dan bobot molekul (Lai et al. 2000). Viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar, sesuai dengan penyataan Lai et al. (2000), terbukti bahwa ada kation terutama kalsium mempengaruhi viskositas. Dengan demikian viskositas yang tertinggi mengandung kalsium yang tinggi yaitu karagenan Takalar, sedangkan kalsiumnya lebih rendah mengakibatkan viskositasnya juga lebih rendah (Sumenep dan Nusa Penida).
58
Profil Viskositas Karagenan dengan Penambahan K+
4
Profil viskositas larutan karagenan pada penelitian ini berupa pola kenaikan sebagai akibat penurunan suhu larutan dari 80°C hingga 20°C yang digambarkan dengan kurva sigmoid. Analisis profil viskositas dilakukan dengan menilai apakah ada pergeseran kurva ke kiri atau ke kanan. Kurva ini menunjukkan kecepatan kenaikan viskositas yaitu semakin ke kiri kenaikan viskositas terjadi semakin cepat. Selain itu, viskositas tertinggi pada akhir pengukuran dievaluasi apakah terus turun atau naik. Umumnya viskositas tertinggi dicapai lebih cepat pada saat penurunan suhu, pengukuran dihentikan jika larutan sudah menjadi gel dan Rapid Visco Analyser tidak mampu lagi mengukur viskositas. Perubahan profil viskositas larutan karagenan E. spinosum Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar sebagai akibat penambahan K+ masing-masing ditunjukkan pada Gambar 16a, 16b, 16c 17a, 17b dan 17c. Profil viskositas larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar tanpa penambahan kation dapat dijelaskan sebagai berikut: viskositas awal karagenan Nusa Penida pada suhu 80°C adalah 90 mPa.s, sedangkan Sumenep 120 mPa.s dan Takalar 130 mPa.s. Viskositas karagenan mulai naik dengan menurunnya suhu dan terus naik secara gradual sampai menit ke-65 pada suhu 20°C. Kemudian dengan penambahan kation K+ dan Ca2+, apakah viskositas mengalami perubahan naik atau turun dengan meningkatkannya konsentrasi penambahan K+ atau Ca2+ selama penurunan suhu dari 80-20oC. Awal kenaikan viskositas atau pembelokan viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar terjadi pada suhu yang berbeda, baik tanpa maupun dengan penambahan K+. Selanjutnya viskositas mulai mengalami perubahan dengan menurunnya suhu, kurva bergeser ke kiri dengan meningkatnya konsentrasi KCl yang ditambahkan. Kenaikan viskositas karagenan lebih cepat terjadi pada perlakuan dengan penambahan K+ dibandingkan tanpa penambahan K+. Profil karagenan Nusa Penida di dalam 0.005, 0.01, 0.02 dan 0.03% KCl mulai mengalami perubahan profil viskositas yaitu kurva mengalami perubahan viskositas awal atau titik belok viskositasnya pada menit yang berbeda dengan suhu berbeda, tetapi viskositasnya hampir sama yaitu sekitar 125 mPa.s. Karagenan Nusa Penida di dalam 0.05% KCl, memerlukan waktu 25 menit, sedangkan di dalam 0.01% pada menit ke 20, begitu juga dengan meningkatnya konsentrasi KCl (0.02-0.03), waktu yang dibutuhkan untuk menaikan viskositas awalnya pada menit ke-15 (Gambar 16a). Sebaliknya tanpa penambahan K+ waktu yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan penambahan K+ untuk peningkatan viskositas awal (titik belok). Pada Gambar 16a, terlihat bahwa penambahan K+ pada karagenan Nusa Penida, mempengaruhi viskositas, semakin konsentrasi tinggi K+ maka viskositasnya makin meningkat dengan seiringnya penurunan suhu. Gambar 17a, terlihat kenaikan viskositas karagenan Nusa Penida pada suhu 55C, dengan penambahan K+ maupun tanpa penambahan. Peningkatan konsentrasi K+ maka viskositas mengalami kenaikan lebih besar dibandingkan tanpa penambahan. Semakin tinggi konsentrasi K+ maka kurva makin bergeser ke kiri, dan pada K+ 0.02-0.03%, pada suhu berturut-turut 45 dan 40C, viskositas karagenan Nusa Penida tidak menunjukkan kenaikan dibandingkan dengan K+ 0.005-0.01%.
59 Karagenan Nusa Penida di dalam 0.005 % KCl mulai mengalami perubahan yaitu awal kenaikan viskositas lebih cepat pada suhu 55C, viskositasnya meningkat menjadi 150 mPa.s pada menit ke-22. Viskositas karagenan Nusa Penida di dalam 0.01-0.03% KCl pada suhu 55C berturut-turut 240, 450 dan 530 mPa.s sedangkan tanpa penambahan viskositasnya 110 mPa.s (Gambar 16a). Profil viskositas karagenan Sumenep hampir serupa dengan Nusa Penida, yaitu mengalami kenaikan seiring dengan penurunan suhu dan dengan penambahan K+. Pola kenaikan awal viskositas karagenan Sumenep juga mulai terlihat pada suhu 60°C di menit ke-20, dengan penambahan K+ di dalam 0.020.03% KCl sedangkan di dalam 0.005-0.01% KCl dan tanpa penambahan belum mengalami kenaikan viskositas. Selanjutnya dengan menurunnya suhu viskositas karagenan Sumenep viskositasnya makin meningkat. Peningkatan viskositas karagenan Sumenep dengan nyata terlihat pada suhu 55C, baik dengan penambahan K+ maupun tidak. Profil Karagenan Takalar memiliki pola hampir serupa dengan Nusa Penida dan Sumenep, yaitu mengalami kenaikan viskositas seiring dengan penurunan suhu dan penambahan K+. Viskositas karagenan Takalar tanpa penambahan K+ dan dengan penambahan K+ (0.005-0.03% KCl) awal peningkatkan viskositas pada suhu 65C di menit ke-20 dengan nilai viskositas yang sama pada masing-masing konsentrasi KCl yaitu 180 mPa.s (Gambar 16c). Profil viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar dengan menurunnya suhu, kurva terus bergeser ke kiri, baik tanpa penambahan maupun dengan penambahan K+. Viskositas karagenan Nusa Penida tanpa penambahan K+ di akhir pengukuran pada suhu 20°C adalah 650 mPa.s dan di dalam KCl 0.005, menjadi 850. Karagenan Nusa Penida di dalam 0.01-0.02% KCl viskositasnya 775, dan 675 mPa.s. Sedangkan dalam 0.03% KCl viskositasnya tidak dapat terukur lagi karena karagenan sudah mulai membentuk gel. Penambahan K+ pada karagenan Nusa Penida pada konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan larutan mulai mengental dan membentuk gel hal ini di duga bahwa keberadaan kalium di dalam karagenan Nusa Penida lebih banyak yaitu rasio kalium pada karagenan Nusa Penida lebih tinggi dibandingkan Sumenep dan Takalar. Viskositas larutan karagenan Sumenep tanpa penambahan KCl 1020 mPa.s, di dalam 0.005- 0.03% KCl berturut-turut menjadi 1150, 1260, 1280, dan 1140 mPa.s. Sedangkan viskositas karagenan Takalar di dalam 0.005, 0.01, 0.02, dan 0.03% KCl pada akhir pengukuran adalah 1140, 1240, 1160, dan 1200 mPa.s. Penambahan K+ dengan melarutkan karagenan dalam 0.005-0.03% KCl terlihat bahwa kurva profil viskositas ketiga karagenan bergeser ke kiri dan viskositasnya mengalami peningkatan (Gambar 16a, 16a, dan 16c, 17a, 17b dan 17c). Gambar 16a dan 17a, terlihat bahwa karagenan Nusa Penida terhadap viskositasnya sangat dipengaruhi dengan penambahan K+ (0.005-0.03% KCl), terbukti semakin tinggi konsentrasi kalium yang ditambahkan maka kurva makin bergeser ke kiri. Sebaliknya karagenan Sumenep dan Takalar (Gambar 16b, 17b dan 16c, 17c ), tidak terlalu berpengaruh dengan penambahan K+ (0.0050.03%), peningkatan viskositasnya tidak terlalu berbeda dengan tanpa penambahan K+. Berbeda dengan karagenan Nusa Penida penambahan K+ berpengaruh terhadap viskositasnya. Pergeseran kurva pada karagenan Sumenep dan Takalar dengan meningkat konsentrasi K+ tidak terlalu bergeser ke kiri.
60
Suhu (C)
Viskositas (mPa.s)
60
Waktu (menit
(a)
Waktu (menit)
(b)
Waktu (menit)
(c)
Keterangan : x:=Waktu (menit), y1= Viskositas (mPa.s) dan y2= Suhu (C)
Gambar 16. Profil viskositas larutan karagenan dengan penambahan K+ (0.005-0.03% KCl) dan tanpa penambahan, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar
Viskositas (mPa.s)
Viskositas (mPa.s)
61
Suhu (C) Suhu (C)
(b)
Viskositas (mPa.s)
(a)
Suhu (C)
(c) Gambar 17. Profil viskositas karagenan dengan penambahan K+ (0.005-0.03% KCl) dan tanpa penambahan pada suhu 8020C, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar
61
62
Peningkatan viskositas ketiga karagenan mulai terjadi dengan cepat pada suhu 55°C. Viskositas karagenan di dalam larutan 0.005% KCl belum terlalu berbeda dengan tanpa penambahan K+, meningkatnya konsentrasi KCl (0.010.03%) dan menurunnya suhu menyebabkan viskositas ketiga karagenan naik dengan cepat. Viskositas larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar mengalami peningkatan selain dengan penambahan K+ juga dipengaruhi oleh keberadaan kalium dalam karagenan itu sendiri. Rasio kalium tertinggi terdapat pada karagenan Nusa Penida, dibandingkan Sumenep dan Takalar. Dengan demikian penambahan K+ pada konsentrasi 0.005-0.03% KCl pada karagenan Nusa Penida viskositasnya berbeda dengan tanpa penambahan. Semakin tinggi rasio Ca/K, maka viskositasnya makin kental dan sebaliknya makin rendah rasio Ca/K, maka viskositasnya makin rendah (encer). Rasio Ca/K tertinggi pada karagenan Takalar diikuti Sumenep dan Nusa Penida, sedangkan rasio K/Ca pada ketiga karagenan menunjukkan bahwa tertinggi pada karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar. Dengan demikian pada karagenan Nusa Penida, dengan penambahan K+ (0.03%) pada suhu 40C, karagenan sudah mulai mengental dan sukar di ukur viskositasnya, Sebaliknya untuk karagenan Sumenep dan Takalar masih dapat di ukur. Secara teoritas kation K+ tidak berinteraksi spesifik terhadap iota-karagenan, tetapi keberadaan dan penambahan yang lebih banyak menyebabkan iota-karagenan dapat membentuk gel. Viskositas dan pembentukan gelasi karagenan dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi, dan keberadaan kation, ataupun penambahan kation monovalen, dan divalen. Penambahan K+ dalam bentuk garam KCl dengan berbagai konsentrasi mampu menaikkan viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar dibandingkan tanpa penambahan K+. Peningkatan viskositas ketiga karagenan dengan penambahan 0.01-0.03% KCl sangat tajam pada suhu 55°C, viskositasnya naik menjadi 2 kali lipat dibandingkan tanpa penambahan K+. Peningkatkan viskositas ini menunjukkan bahwa karagenan E. spinosum dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar merupakan iota-karagenan. Tako dan Nakamura (1987) melaporkan bahwa bahwa kation K+ lebih efektif daripada Ca2+ untuk meningkatkan asosiasi antar molekul pada kappa-karagenan. Penambahan kation K+ ke dalam iota-karagenan dengan konsentrasi 1.0 dan 1.5% tidak membentuk gel saat didinginkan sedangkan Ca2+ pada konsentrasi yang lebih rendah (> 0.8 dan 0.5%) membentuk gel. Michel et al. (1997) juga melaporkan bahwa K+ berinteraksi spesifik dengan kappa-karagenan sehingga komformasi helik dan gelasi terjadi pada penambahan KCl dalam jumlah kecil dan pembentukan gel lebih mudah terjadi, sebaliknya K+ tidak berinteraksi spesifik dengan iota-karagenan. Menurut Hermansson (1989), kappa-karagenan membentuk gel pada konsentrasi 1% dengan adanya kation K+. Profil Viskositas Karagenan dengan Penambahan Ca2+ Profil viskositas larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar tanpa maupun dengan penambahan kation Ca2+ disajikan pada Gambar 18a, 18b, 18c dan 19a,19b, 19c. Profil viskositas karagenan Nusa Penida tanpa dan dengan penambahan Ca2+ menunjukkan profil yang sama yaitu pada suhu 80°C sampai menit ke-7 menit viskositasnya 90 mPa.s (Gambar 17a). Profil viskositas karagenan Nusa Penida mengalami perubahan dengan menurunnya suhu, bertambahnya waktu, dan meningkatnya konsentrasi larutan CaCl2 yang digunakan, sehingga kurva makin cepat bergeser ke kiri. Kenaikan viskositas karagenan Nusa Penida tanpa dan di dalam 0.005-0.0075% CaCl2 terjadi pada
63 suhu 60°C yang merupakan titik belok viskositas pada menit ke-20 dengan viskositas 100 mPa.s. Sedangkan di dalam 0.01 dan 0.02% CaCl2 kurva mulai naik atau membelok pada suhu 65°C masing-masing pada menit ke-15 dan ke10 dengan viskositas 110 dan 120 mPa.s (Gambar 18a). Viskositas awal karagenan Sumenep di dalam larutan 0.005-0.02% CaCl2 dan tanpa penambahan CaCl2 adalah 120 mPa.s. Seiring dengan penurunan suhu dan meningkatnya waktu, viskositas karagenan Sumenep naik secara gradual dengan penambahan Ca2+. Profil viskositas karagenan Sumenep tanpa penambahan Ca2+ mulai naik pada menit ke-22.5 di suhu 70°C dan viskositasnya menjadi 150 mPa.s. Kurva viskositas karagenan Sumenep di dalam larutan 0.005-0.0075% CaCl2 mulai bergeser ke kiri pada menit ke-20 di suhu 65°C dan viskositasnya menjadi 150 mPa.s. Sedangkan di dalam larutan 0,01 dan 0.02% CaCl2 kenaikan viskositas masing-masing terjadi pada menit ke-12.5 dan 7.5 pada suhu 70°C dengan viskositas 150 mPa.s dan 150 mPa.s (Gambar 18b). Gambar 18c, menunjukkan viskositas karagenan Takalar dengan penambahan Ca2+ di awal pengukuran pada suhu 80°C adalah 130 mPa.s, sedangkan di dalam 0.005-0.0075% CaCl2 190 mPa.s. Profil viskositas karagenan mulai berubah dengan meningkatnya waktu, suhu, dan konsentrasi CaCl2. Kurva mulai bergeser ke kiri yang merupakan awal pembelokan kurva sehingga viskositasnya mulai naik. Viskositas karagenan Takalar tanpa 2+ penambahan Ca mulai naik pada menit ke-20 di suhu 65°C. Selanjutnya, viskositas karagenan Takalar di dalam 0.005-0.0075% CaCl2 meningkat menjadi 150 mPa.s pada menit ke-17.5 di suhu 65°C. Profil kurva viskositas karagenan Takalar di dalam 0.01% CaCl2 mulai naik pada menit ke-10 di suhu 70°C dengan nilai 160 mPa.s dan di dalam 0.02% CaCl2 pada menit ke-7.5 suhu 75°C menjadi 240 mPa.s. Gambar 18a, 18b, dan 18c, terlihat kurva makin bergeser ke kiri pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar sehingga viskositas meningkat dengan cepat terutama dalam larutan 0.01-0.02% CaCl2 pada suhu 65°C dengan waktu lebih cepat dibandingkan dengan KCl. Viskositas karagenan Nusa Penida pada suhu 50°C tidak dapat terukur lagi karena larutan sudah membentuk gel, sedangkan karagenan Sumenep dan Takalar, viskositasnya tidak terukur pada suhu 60°C. Penambahan Ca2+ (0.005-0.02% CaCl2) pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar menunjukkan bahwa kation Ca2+ pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar mampu meningkatan viskositas dan menaikan suhu gelasi (Gambar 19a, 19b dan 19c). Pembelokan viskositas terjadi pada suhu yang lebih tinggi serta waktu yang lebih cepat jika dibandingkan dengan penambahan K+. Peningkatan suhu gelasi dan viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar di dalam 0.02% CaCl2 berturut-turut terjadi pada suhu 50, 60, dan 60°C. Berbeda dengan penambahan KCl pada suhu dan konsentrasi yang sama, viskositas semakin meningkat dan masih terukur. Menurut Nguyen et al. (2014), peningkatan viskositas karagenan tergantung pada konsentrasi dan jenis ion termasuk counter ions. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi kation maka viskositas karagenan semakin meningkat. Berdasarkan Gambar 16a 16b, dan 16c, kation K+ meningkatkan viskositas seiring dengan peningkatan konsentrasi KCl dan menurunnya suhu, begitu juga dengan penambahan Ca2+. Penambahan Ca2+ (0.01-0.02% CaCl2) pada ketiga karagenan sangat mempengaruhi sehingga kenaikan viskositas yang semakin cepat dan menaikan suhu gelasi pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar (Gambar 18a, 18b, dan 18c).
64
Suhu (C)
Viskositas (mPa.s)
64
Waktu (menit)
(a)
Waktu (menit)
(b)
Waktu (menit)
(c)
Keterangan: x= waktu (menit), y1= Viskositas (mPa.s) dan y2=Suhu (C)
Gambar 18. Profil viskositas larutan karagenan dengan penambahan Ca2+ (0.005-0.02% CaCl2) dan tanpa penambahan, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar
Viskositas (mPa.s)
Viskositas (mPa.s)
65
Suhu (C)
(a)
(b)
Viskositas (mPa.s)
Suhu (C)
Suhu (C)
(c) Gambar 19. Profil viskositas karagenan dengan penambahan Ca2+ (0.005-0.02% CaCl2) dan tanpa penambahan pada suhu 80-20C, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c) Takalar
65
66
Penambahan Ca2+ pada karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar, menyebabkan pergeseran kurva ke kiri membutuhkan waktu yang lebih cepat dan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan K+ pada konsentrasi yang sama. Viskositas awal karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar juga berbeda, viskositas karagenan Takalar lebih tinggi, dibandingkan dengan Sumenep dan Takalar. Selain itu, faktor yang menyebabkan ketiga viskositas karagenan berbeda yaitu keberadaan rasio kalsium yang berbeda. Rasio kalsium tertinggi terdapat pada karagenan Takalar diikuti Sumenep, dan Takalar (Tabel 14). Penambahan Ca2+ pada ketiga karagenan menyebabkan peningkatan kekentalan dan mempercepat proses gelasi pada suhu dan konsentrasi tertentu dibandingkan dengan penambahan K+. Dengan demikian, karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar dengan penambahan 0.02% CaCl2 mulai membentuk gel masing-masing pada suhu 55, 60, dan 60°C. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Funami et al. (2007) bahwa penambahan CaCl2 menyebabkan larutan iota-karagenan menjadi gel. Profil viskositas karagenan Nusa, Penida, Sumenep dan Takalar yang disajikan pada Gambar 18a, 18b, dan 18c, juga berkaitan dengan hubungan antara rasio Ca/K dengan kekutan gel pada ketiga karagenan (Gambar 14). Rasio Ca/K tertinggi pada karagenan Takalar sehingga kekuatan gelnya yang tinggi dibandingkan Sumenep dan Nusa Penida dengan rasio Ca/K lebih rendah. Begitu juga terhadap viskositas ketiga karagenan dengan penambahan kation Ca2+ viskositas karagenan Takalar membutuhkan waktu yang leih cepat untuk menaikan viskositas atau titik beloknya dibanding Sumenep dan Nusa Penida. Selanjutnya dengan penambahan Ca2+, bahwa viskositas teringgi juga pada karagenan Takalar diikuti Sumenep dan Nusa Penida. Karagenan Takalar dengan penambahan Ca2+ (0.02% CaCl2), kemampuan untuk menjadi gel, membutuhkan waktu yang lebih cepat dan suhu gelasinya juga meningkat, dibandingkan dengan Nusa Penida. Karagenan Sumenep dan Nusa Penida juga mengalami kenaikan viskositas dengan penambahan Ca2+ juga meningkatkan suhu gelasi (suhu untuk membentuk gel). Penurunan suhu menyebabkan larutan karagenan Sumenep dan Takalar memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan karagenan Nusa Penida, sehingga karagenan Nusa Penida membutuhkan suhu yang lebih rendah dan waktu yang lebih lama menjadi mengental dan membentuk gel. Kation Ca2+ berinteraksi spesifik dengan karagenan E. spinosum yang merupakan fraksi iota-karagenan, sebaliknya tidak berinteraksi spesifik dengan K+. Penambahan kation Ca2+ menyebabkan viskositas ketiga larutan karagenan mengalami kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa penambahan Ca2. Penambahan K+ juga menyebabkan peningkatan viskositas larutan karagenan tetapi peningkatannya tidak sebesar Ca2+, sedangkan penambahan Ca2+ pada konsentrasi dan suhu tertentu menyebabkan larutan karagenan E. spinosum menjadi gel. Menurut Morris et al. (1980) proses gelasi polimer (karagenan) diasumsikan bahwa pada suhu tinggi larutan karagenan berupa kumparan acak, dengan menurunnya suhu memicu pembentukan heliks ganda. Hal ini menyebabkan terbentuknya sekelompok rantai bebas melalui asosiasi antarmolekul. Namun, adanya kation di dalam heliks pada domain agregat yang berbeda menyebabkan terbentuk ikatan silang yang membentuk jaringan kohesif. Struktur kuartener berkontribusi secara mekanik terhadap sifat reologi gel yang dihasilkan. Morris et al. (1980), Tako dan Nakamura (1986), dan Tako et al.
67
(1987) melaporkan bahwa kation Ca2+ memicu pembentukan gel untuk iotakaragenan sedangkan K+ untuk kappa-carrageenan. Iota-karagenan pada kondisi dingin membentuk struktur kuartener karena adanya jembatan intra molekul Ca2+. Iota karagenan lebih bersifat ionik sehingga mekanisme gelasinya berbeda dibandingkan kappa-karagenan. Menurut Tari and Pekcan (2010), kation divalen seperti Ca2+ lebih efektif menyebabkan gelasi pada iota-karagenan dibandingkan dengan kation monovalen (K+, Na+). Dengan demikian ion Ca2+ mampu meningkatkan gelasi pada iota-karagenan akibat terbentuknya jembatan intra molekul Ca2+ di antara kelompok sulfat yang berdekatan pada residu anhidro-D-galaktosa dan D-galaktosa.
Profil Reologi Larutan Karagenan Eucheuma spinosum dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 60, 65, dan 70C Profile reologi karagenan E. spinosum yang berasal dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar ditentukan dengan memplotkan shear rate (sec-1) terhadap shear stress (dyne/cm2). Nilai shear rate dan shear stress variabel ini ditentukan dengan persamaan 1 dan 2. Suhu yang digunakan untuk analisis reologi karagenan pada 60, 65, dan 70C. Penetapan suhu pada karagenan didasari dari profil viskositas karagenan (Gambar 15). Karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar pada suhu tersebut viskositasnya masih relatif masih rendah. Hasil dari analisis berupa grafik disajikan pada Gambar 15. Karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar pada suhu 70C viskositasnya belum naik, pada suhu 65C, viskositas karagenan Nusa Penida masih tetap sedangkan Sumenep dan Takalar sudah mulai mengalami peningkatan, dan pada suhu 60C, viskositas karagenan Sumenep dan Takalar menglami peningkatan sedangkan Nusa Penida tidak. = 2 Rc2Rb2………………………………………………………………….(1) x2 (Rc2- Rb2)
………………………………………………………………………. (2)
Pengukuran variabel di atas dilakukan menggunakan viskometer Brookfield type DV2TLV dengan cylindrical spindle No 1, 2 dan 3, tergantung nilai torque yang digunakan. Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan sebagai berikut: kecepatan pengadukan (RPM) 10-100, radius spindle (Rb No 1= 0.9421, Rb No 2= 0.5128, dan Rb No 3= 0.2941 cm), panjang spindle (L No 1= 7.493, L No 2= 6.121, dan L No 3= 4.846), torque dihitung dari konstanta pegas= 673.7 dyne.cm berdasarkan hasil pengukuran, dan nilai x (x= Rb dan X= 3 Rb). Karagenan merupakan senyawa hidrokoloid yang memiliki karakteristik reologi, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah perubahan suhu. Pada suhu tinggi, viskositas karagenan bersifat encer, semakin rendah suhu menyebabkan terjadinya peningkatan viskositas. Hal ini juga terjadi pada larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar. Viskositas ketiga karagenan
68
dalam konsentrasi 1% pada suhu 70°C relatif rendah, semakin rendah suhu hingga 60C memperlihatkan viskositas yang semakin meningkat (Gambar 15). Viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 70°C masing-masing sebesar 100, 120, dan 150 mPa.s. Penurunan suhu hingga 65°C menyebabkan peningkatan viskositas larutan karagenan Takalar yang lebih tinggi dibandingkan Sumenep dan Nusa Penida, masing-masing sebesar 180, 150, dan 100 mPa.s. Kemudian pada suhu 60C, viskositas karagenan ketiganya menjadi 100, 200, dan 300 mPa.s. Profil reologi larutan karagenan Nusa Penida 1% pada suhu 60, 65, dan 70C ditunjukkan pada Gambar 20a. Hubungan nilai shear rate dan shear stress pada suhu 65 dan 70C menunjukkan bahwa kenaikan shear rate tidak berpengaruh terhadap kenaikan shear stress (slope 65C = 1.912 dan slope70C = 1.779). Kemudian pada suhu 60C menunjukkan bahwa kenaikan nilai shear rate meningkatkan nilai shear stress tetapi kenaikan belum relatif nyata dengan slope= 6.0307, sehingga kemiringan kurva pada suhu 60°C lebih tajam dibandingkan suhu 65 dan 70C. Profil reologi karagenan Nusa Penida pada suhu 70-65C menunjukkan profil yang sama dengan nilai slope yang relatif rendah (1.779 dan 1.992). Pada penuruhan suhu hingga 60C, nilai slope Nusa Penida meningkat menjadi 6.031. Perubahan reologi karagenan Nusa Penida belum terjadi karena kenaikan nilai shear rate belum berpengaruh nyata terhadap nilai shear stress. Sehingga profil reologi karagenan Nusa Penida pada suhu 70-65C pola yang sama, karena kenaikan nilai shear rate belum berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai shear stress yang berbeda nilai slopenya makin meningkat. Kemudian pada suhu 60°C, kenaikan nilai shear rate berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai shear stress dan nilai slope mengalami peningkatan dan profil reologi karagenan Nusa Penida nasih sama dengan suhu 65-70C. Profil reologi karagenan Nusa Penida pada suhu 70, 65 dan 60C memperlihatkan pola yang sama, yang berbeda hanya besaran nilai slopenya. Semikin rendah suhu slopenya makin besar. Karagenan Nusa Penida memiliki viskositas yang rendah dibandingkan dengan karagenan Sumenep dan Takalar pada suhu yang sama (60, 65 dan 70C). Sehingga pada ketiga suhu tersebut larutan karagenan Nusa Penida masih dapat dialirkan. Profil reologi karagenan Sumenep pada suhu 60, 65 dan 70C dalam bentuk reogram disajikan pada Gambar 20b. Gambar 20b menunjukkan bahwa plot shear rate dan shear stress larutan Sumenep pada suhu 60 dan 65C memperlihatkan kenaikan nilai shear rate yang berpengaruh nyata dengan kenaikan nilai shear stress (slope 60C= 13.623 dan slope65C= 4.5459), sedangkan pada suhu 70°C, kenaikan nilai shaer rate larutan karagenan Sumenep belum berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai shear stress, yang ditunjukkan dengan nilai slope yang relatif rendah (2.141). Karagenan Sumenep menunjukkan profil reologi yang berbeda pada suhu yang berbeda (70, 65 dan 60C), menunjukkan perbedaan profil viskositasnya. Karagenan Sumenep pada suhu 70C, nilai slopenya lebih kecil dibandingkan dengan suhu 65-60C. Nilai slope karagenan Sumenep pada suhu 65-60C meningkat dan besarannya lebih besar daripada suhu 70C, tetapi pola reologi karagenan Sumenep pada suhu 70-65C adalah sama sedangkan pada suhu 60C berbeda,. Pola reogram karagenan Sumenep juga sangat dipengaruhi oleh suhu, semakin rendah suhu maka nilai slopenya makin meningkat . Dengan demikian propil reologi Sumenep pada suhu,65 dan 70C memiliki profil yang sama kecuali pada suhu 60C.
69
Berdasarkan bentuk reogram karagenan Sumenep maka pada suhu 70-65C, larutan karagenan Sumenep dapat dialirkan sedangkan pada suhu 60C sudah sukar dialirkan. Gambar 20c, menunjukkan plot shear rate dengan shear stress larutan karagenan Takalar pada suhu 60, 65, dan 70C. Larutan karagenan Takalar pada suhu 60 dan 65C memperlihatkan kenaikan nilai shear rate yang berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai shear stress (slope60C= 21.847 dan slope65C= 15.115). Sedangkan larutan karagenan Takalar pada suhu 70C, kenaikan nilai shear rate belum berpengaruh nyata meningkatkan kenaikan nilai shear stres dengan nilai slope70C = 2.992. Bentuk kurva dan nilai slope menunjukkan bahwa larutan karagenan Takalar memiliki profil reologi sama pada suhu 70C, berbeda pada suhu 65-60C. Pada suhu 70°C, slope larutan karagenan Takalar rendah, semakin turun suhu slope semakin meningkat. Berdasarkan bentuk reogram dan nilai slope, profil reologi larutan karagenan Takalar dapat mengalir pada suhu 70°C. Kemudian semakin rendah suhu menjadi 65 dan 60°C, profil reologi larutan karagenan Takalar mengalami peningkatan nilai slope yang semakin besar akibat kenaikan nilai shear rate yang berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai shear stress, sehingga pada suhu 65-60C profilnya berbeda dengan suhu 70C. karagenan takalar memiliki profil sama pada suhu 65-60C, larutan karagenannya sukar untuk dialirkan sedangkan pada suhu 70C, masih dapat dialirkan. Kenaikan nilai shear rate dan shear stress pada ketiga karagenan proposional hanya terjadi peningkatan nilai slope. Bentuk kurva reogram pada larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar yang berbeda dipengaruhi oleh suhu, viskositas diantara ketiga sampel dan nilai shear rate dan shear stress. Karagenan Nusa Penida memiliki viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan Sumenep dan Takalar (Gambar 15). Begitu juga karagenan Sumenep yang memiliki nilai viskositas lebih rendah dibandingkan karagenan Takalar. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk kurva ketiga karagenan pada suhu 70, 65, dan 60C (Gambar 21a, 21b, dan 21c). Peningkatan shear rate larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 60C meningkatkan shear stress yang nyata dengan nilai slope berturut-turut 21.847, 13.623, dan 6.037 (Gambar 20a). Slope larutan karagenan Takalar yang sangat besar menunjukkan bahwa kenaikan shear rate yang sangat berpengaruh nyata terhadap kenaikan shear stress. Begitu juga dengan larutan karagenan Sumenep tetapi berbeda dengan Nusa Penida, kenaikan nilai shear rate belum berpengaruh nyata terhadap kenaikan nilai shear stress menyebabkan slopenya tidak terlalu tinggi. Selanjutnya pada suhu 65C, larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar nilai slope-nya mulai mengalami peningkatan berturut-turut 1.912, 4.546, dan 15.115 (Gambar 21b).
70
70
60C
60
65C
60 (C)
70C
(a)
65 (C)
70 (C)
(b)
60 (C)
65 (C)
70 (C)
(c) Gambar 20. Hubungan shear rate dan shear stress larutan karagenan pada suhu 60, 65 dan 70C, (a) Nusa Penida, (b) Sumenep, dan (c ) Takalar
71
Nilai slope karagenan Nusa Penida yang paling rendah pada ketiga suhu dibandingkan dengan karagenan Sumenep dan Takalar, yang ditunjukkan dengan kenaikan shear rate yang tidak terlalu meningkatkan kenaikan shear stress dengan nyata (Gambar 20). Berbeda dengan larutan karagenan Sumenep pada suhu 60C kenaikan shear rate berpengaruh sangat nyata terhadap nilai shear stress begitu juga dengan karagenan Takalar pada suhu 60C-65C. Selanjutnya larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 70C memiliki nilai slope lebih rendah daripada suhu 65C, berturutturut dengan nilai 1.912, 2.141, dan 2.992 (Gambar 21c). Nilai slope Nusa Penida, suhu 65C, mengalami peningkatan dibandingkan dengan slope di suhu 70C, kenaikan nilai shear rate belum berpengaruh nyata terhadap kenaikan shear stress. Sama halnya dengan karagenan Sumenep suhu 65C, juga terjadi kenaikan nilai slope (4.5459) namun kenaikan shear rate terhadap shear stress belum berpengaruh nyata sehingga karagenan Nusa Penida dan Sumenep pada suhu 65 masih tetap miliki profil reologi yang sama larutannya dengan mudah dapat dialirkan. Karagenan Takalar di suhu 65C, kenaikan shear rate berpengaruh nyata terhadap kenaikan shear stress sehingga nilai slopenya naik dan lebih tinggi dibanding Sumenep dan Nusa Penida, tetapi profil reologinya berbeda dengan Sumenep dan Nusa Penida. Karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar pada suhu 60C, menunjukkan nilai slope yang semakin meningkat berturut-turut 6.031, 13.623, dan 21.847, meskipun nilai slopenya makin meningkat tetapi ketiga karagenan memiliki profil reologi berbeda. Karagenan Sumenep dan takalar memiliki profil reologi yang sama pada suhu 60C, kecuali Nusa Penida. Dengan demikian karagenan Sumenep dan Takalar sulit untuk dialirkan dalam pipa selama proses sedangkan Nusa penida dapat dialirkan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Marcotte et al. (2001), bahwa larutan hidrokoloid pada suhu tinggi cenderung memiliki pola aliran fluida Newtonian, suhu tinggi menyebabkan larutan lebih mudah mengalir sedangkan suhu rendah menyebabkan larutan lebih sulit untuk mengalir. Penurunan suhu menyebabkan larutan karagenan Sumenep dan Takalar memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan larutan karagenan Nusa Penida. Kemudian kenaikan shear rate kedua larutan tersebut akan menyebabkan kenaikan shear stress yang lebih tinggi dibandingkan karagenan Nusa Penida. Karakteristik viskositas larutan karagenan Nusa Penida yang lebih rendah menyebabkan dalam aplikasinya larutan karagenan ini memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan Sumenep dan Takalar. Hal ini serupa dengan gum Arab yang memiliki viskositas rendah sehingga dalam aplikasinya memerlukan konsentrasi yang tinggi (Verbaken et al. 2003).
72
72
(a)
(b)
(c)
Gambar 19. Hubungan shear rate dan shear karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar, (a) suhu 60C, (b) suhu 65C, dan (c) suhu 70C
73
Salah satu faktor yang perlu dipertimbangan untuk penambahan larutan karagenan selama proses pengolahan bahan pangan menggunakan pipa adalah karakteristik reologinya. Karakteristik reologi larutan karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu dan konsentrasi. Larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar bersifat larut pada suhu tinggi dengan viskositas yang rendah (encer). Kemudian pada suhu rendah dan suhu tertentu akan terjadi proses gelasi untuk membentuk gel. Pada suhu tinggi (70-65C), ketiga larutan karagenan memiliki viskositas rendah dan encer sehingga pada proses pengaliran dalam pipa mudah dialirkan. Semakin rendah suhu (60C), profil reologi larutan karagenan mulai mengalami perubahan, karena viskoistas yang semakin meningkat mempengaruhi nilai shear rate dan shear stress. Profil reologi tiga karagenan pada suhu 70C larutannya dapat dialirkan. Karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar pada suhu 60 dan 65°C memperlihatkan masih menunjukkan pola aliran sama, meskipun karagenan Sumenep dan Takalar pada suhu 60C viskositasnya mulai mengental. Karaktersitik reologi larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar pada suhu 65C, masih dapat dialiran dalam pipa selama proses pengolahan. Karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar, suhu 60C, khusus untuk Nusa Penida, mudah dialirkan, sedangkan Sumenep dan Takalar, mulai sulit untuk dialirkan. Oleh karena itu, selama proses pengolahan menggunakan pipa harus dilakukan pada suhu tinggi yaitu pada suhu 70°C untuk karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar. Larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep dan Takalar pada suhu tinggi (70C), memiliki viskositas relaif rendah (encer) (Gambar 15), sehingga larutannya dapat dialirkan. Semakin menurun suhu viskositas meningkat, tetapi peningkatannya belum tajam di suhu 65C. Larutan karagenan Nusa Penida kenaikan viskositasnya belum meningkat dengan tajam (150 mPas) begitu juga Sumenep dan Takalar baru mulai naik (175 mPas) (Gambar 15). Kemudian pada suhu 60C, karagenan Sumenep dan Takalar viskositasnya mulai naik naik dengan cepat dan larutan makin mengental (250, 300 mPa.s), maka kedua karagenan tersebut mulai sulit untuk dialirkan. Aplikasi penambahan iota-karagenan (Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar) selama proses pengolahan digunakan sebagai pengental dan penstabil pada konsentrasi 2.0-0.02%. Penambahan karagenan dalam proses pengolahan umunya dilakukan pada suhu tinggi (70-65°C). Dalam hal ini, profil reologi larutan karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan proses pengolahan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan.
74
75
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kadar proksimat rumput laut Eucheuma spinosum dari perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar tidak berbeda, yang berbeda kadar serat kasar. Habitat tempat tumbuh rumput laut E.spinosum berpengaruh terhadap karakteristik karagenan. Rendemen karagenan tertinggi dari perairan Takalar diikuti oleh Sumenep dan Nusa Penida. Karakteristik fisik karagenan menunjukkan bahwa karagenan Takalar memiliki kekuatan yang tertinggi diikuti Sumenep dan Nusa Penida, begitu juga dengan derajat putih. Profil viskositas ketiga karagenan pada suhu 80°C hampir sama, setelah terjadi penurunan suhu hingga 20°C viskositas karagenan Takalar lebih tinggi (kental) dibandingkan Sumenep dan Nusa Penida. Karakteristik kimia ketiga karagenan kadar air, abu, abu tidak larut asam dan sulfat telah memenuhi standar yang ditetapkan FAO. Kandungan mineral eksogenus natrium, kalsium, kalium dan magnesium pada ketiga karagenan hampir sama sedangkan mineral indegenusnya berbeda. Rasio kalsium dan kalium berpengaruh terhadap reologi karagenan. Rasio kalsium terhadap kalium yang tertinggi pada karagenan Takalar diikuti Sumenep dan Nusa Penida. Ketiga karagenan tidak mengandung logam berat (Pb, Hg, Cd dan As). Profil senyawa ketiga karagenan merupakan iota-karagenan dan bobot molekul yang hampir sama sekitar 8.40-9.01 x 105 Dalton. Profil viskositas karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar dengan penambahan K+ (0.005-0.03% KCl) dan Ca2+ (0.005-0.02% CaCl2) serta tanpa penambahan menunjukan perbedaan. Penambahan ion Ca2+, viskositas ketiga karagenan lebih cepat dan suhu gelasi juga meningkat daripada dengan ion K+. Profil reologi karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar suhu 70C sama, larutan karagenan dengan mudah dapat dialirkan. Pada suhu 65C, profil reologi karagenan Nusa penida dan Sumenep sama kecuali Takalar, dan suhu 60C, profil reologi Takalar dan Sumenep sama, sukar untuk dialirkan kecuali Nusa Penida. mudah dialirkan.
Saran Rumput laut E. spinosum merupakan bahan baku penghasil iota-karagenan yang dapat digunakan sebagai ingredien pangan terutama sebagai pengental dan penstabil. Oleh karena itu masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait analisis struktur molekul, aplikasi pada produk pangan, serta analisis sifat fungsional dari iota-karagenan E. spinosum. Iota-karagenan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar bersifat sensitif terhadap penambahan kalsium dan dipengaruhi oleh suhu sehingga penambahan konsentrasi garam kalsium perlu dikaji lebih lanjut terutama untuk aplikasi karagenan dalam produk pangan serta suhu prosessing dalam penambahan karagenan. Indeks konsistensi dan indek tingkah laku pada profil reologi karagenan juga perlu dikaji lebih mendalam terkait aplikasinya dalam proses pengolahan pangan.
76
77
DAFTAR PUSTAKA Abad LV, Nasimova IR, Relleve LS, Aranilla CT, De la Rosa AM, Shibayama M. 2004. Dynamic light scattering studies of irradiated kappa carrageenan. Inter J of Biol Macro. 34(1):81–88. Alzueta I. 2012. Carrageenan from red seaweeds .www.netalgae.eu/uploadfiles/Alzueta_1_(EN).pdf. Amimi A, Maouradi, Givernaud T, Chiadmi N, Lahaye M. 2001. Structural analysis of Gigartina pistillata carrageenan (Gigartinaceae, Rodhopyta). Carbo res. 333: 271-279. Angka SL dan Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. [AOAC]. Association of Official Analytical Chemist. 2006. Edisi Revisi. Edisi 18 2005. Official Methods of Analysis. Washington DC. Apriyana D. 2006. Studi hubungan karakteristik habitat terhadap kelayakan pertumbuhan dan kandungan karagenan alga Eucheuma Spinosum di perairan Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Armiyanti, NPNN, Sutarjo, Suratha IK. 2013. Tingkat produktivitas budidaya rumput laut pada perairan pantai di kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung. Azanza-Corrales R and. Sa-a P. 1990. The Farmed Eucheuma spesies (Gigartinales, Rhodophyta) in danajan Ref, Philipines: carrageenan properties: Thirteenth International Seaweed Symposium.Proceeding of Thirteenth International Seaweed symposium. 58: 21-524. S.C. Lindestrom & P.W. Gabrielson Kluwer Academic. Dodrecht/Boston/London. Barbeyron T, Michel G, Potin P, Henrisat B, Kloareg B (2000): ι-Carrageenases constitute a novel family of glycoside hydrolases, unrelated to that of κcarrageenases. J of Biol Chem. 275: 35499–35505. Belton PS, Chilvers GR, Morris, VJ, Tanner SF. (1984). Effects of group I cations on the gelation of iota carrageenan. Inter J of Biol Macro. 6: 303–308. Bixler HJ, Jhondro KD. 2006. Philipine natural grade or semi refined carrageenan. Dalam: G.O.Philips and P.A. William, Editor Handbook of Hydrocolloid. Second edition. Wood Head Publishing, England. Brookfield Engineering laboratories, Inc. 2003. More solutions to sticky problems. Guide to Getting More From Your Brookfield Viscometer. USA. Brookfield Engineering Laboratories. [BSN]. Standar Nasional Indonesia 01-02090.1:2009. Batas maksimum kadar air rumput laut kering. Burtin P. 2003. Nutritional value of seaweeds. Elec J Environ Agric Food Chem. 2: 498–503. Campo VL, Kawano DF, da Silva Jr DB, Carvalho I. 2009. Carrageenans: Biological properties, chemical modifications and structural analysis. A review. Carbo Poly. 77 (2): 167-180. Chapman V, and Chapman DJ. 1980. Seaweeds and their uses. Third Edition. London, New York: Chapman and Hall, p. 333. Chopin T, MD, Hanisah FE, Koehn, Mollion J, and Moraeu S. 1990. Study of carrgeenan and effects of seawater phosporus concentration on carrgeenan content and growth of Agardiela subulata (C. Argadh) Kraff and Wynne (Rhophyta, Soliriaceae). J. of Appl Phycol. 2 (10): 3-16.
78 Chopin T and Whalen, E. 1993. A new rapid method of carrageenan identification by FT-IR-reflecttance spectroscopy directy on dried, ground algal material. Carbo res. 246: 51-58. Corre-diaz F, Aquilar-Rosas R and Aquilar-Rosas RE. 1990. Infarred analysis of eleven carrageophytes from Baja California, Mexico. Hydrobiologia. 204/205: 609-614. Cosson J, Deslandes E, dan Broud JP. 1990. Preliminary approach to the characterization and seasonal variation of carrageenans from four Rhodophyceae and the Normandy coast (France). Hydrobiologia. 204/205: 539-544. Dawes CJ. 1981. Marine Botany. New York: John Wiley dan Sons, University of South Florida. 268 p Dawes C, Stanley NF, and Stancioff DJ. 1977. Seasonal and reproductive aspects of plant chemistry and iota carrageenan from Floridian Eucheuma (Rhodophyta, Gigartinales). Bot. Mar. 20: 137–147. Deslandes E, Potin P, Zinorin M dan Floch JY.1990. Contribution on the content and nature of the phycocolloid from Kallymenia reniformis (Cryptonemiales, Rhodopyta). Hidrobiologia. 204/205: 603-608. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015. Statistik Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Doty MS. 1985a. Eucheuma alvarezii sp. Nov. Gigartinales, Rhodophyta from Malaysia. In: Taxanomy of economic seaweeds, with reference to some Pacifik and Caribbeean spesies. A Publication of the California Sea Grant Collage Program. Doty MS. 1985b. Prodomus Ad Systematica Eucheuma tiodeorum: A Trible of Commerial Seaweeds Related to Eucheuma (Solieriaceae, Gigartinales) In IA.Abbot & JN. Norris (ed) Taxonomy of Economic Seaweeds: A Publication of the California Sea Grant Collage Program. Doty MS. 1986. Biotechnological and economic approaches industrial development based on marine algae in Indonesia in: Workshop on marine algae biotechnology. Summary report national academic Press. Washington, DC. Doty MS. 1987. The production and uses of Eucheuma. Di dalam Doty MS, Caddy JF, Santelices B (editors). Studies of seven commercial seaweeds resources. FAO Fish. Tech. Paper. 281 Rome, p.123-161. Eidman HM. 1991. Studi Efektifitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut). Salah Satu Upaya Peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp). Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 74 hlm. [FAO] Food Agricultural Organization. 1990. Training manual on Gracilaria Culture and Seaweed Processing in China, Rome [FAO] Food Agricultural Organization. 2004a. Processing Eucheuma Seaweed. http://apps3. Fao.org/jecfa/additive specs/docs/9/additive-0836.htm [FAO] Food Agricultural Organization. 2004b.Carrageenan. http://apps3. Fao.org/jecfa/additive specs/docs/9/additive-0836.htm. FAO JECFA Monograph 4. Compendium of Food Additive Spesifications. Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. 68th meeting 2007 Food ang Agricultural Organizatiom of The United Nations. Rome, p. 7-12. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor FMC Crop. 1977. Carrageenan. Marine colloid monograph number one. Marine Colloid division FMC. Corporation. Springfield, New Jersey, USA.Food
79 Chemical Codex. 1981. Carrageenan. National Academy Press. Washington; p. 74-75 Freile-Pelegrin, Y, Robledo D, Azamar D. (2006). Carraggeenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Yucatan Mexico. I. Effect of Extraction Conditions. Bot Mar. 49: 65-71. Freile-Pelegrín Y, Robledo D. 2008. Carrageenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Nicaragua. J Appl Phycol. 20: 537-431 Fleurence J, Gutbier F, Mabeau S, Leray C. 1994 .Fatty acids from 11 marine macroalgae of the French Britanny coast. J Appl Phycol. 6: 527–532 Funami T, Hiroe M, Nodaa S, Asai I, Ikeda S, Nishinari K. 2007. Influence of molecular structure imaged with atomic force microscopy on the rheological behavior of carrageenan aqueous systems in the presence or absence of cations. Food Hydrocol. 21: 617–629 Funami T, Noda S, Hiroe M, Asai I, Ikeda S, Nishinarti K. 2008. Function of iotacarrageenan on the gelatinization and retrogradation behaviors of corn starch in the presence or absence of various salts. Food Hydrocol. 22: 1273-1282. Gliksman M. 1969. Gum technology in the food industryAcademi Press, New York. Gliksman M. 1979. Food Hydrocolloid. Vol I.CRS Press Inc. Boca Ratton Florida. Gliksman M. 1983. Food Hydrocolloid. Vol II.CRS Press Inc. Boca Ratton Florida. Gritter RJ, Bobbitt JM dan Schwarting AE.1985. Introduction to chromatography. Second edition. Holden day. Inc.Oakland CA USA Guiseley KB, Stanley NF, and Whitehouse PA. 1980. Carrageenan. Di dalam Whistler, R.L. (Ed.). Handbook of Water Soluble Gums and Resins. Mc Graw Hill Book Co., New York. Hermansson AM. 1989. Rheological and microstructural evidence for transient states during gelation of kappa-carrageenan in the presence of potassium. Carbo Poly. 10 (3): 161-181. Holdsworth, SD. D. 1993. Rheological models used for the prediction of the flow properties of food products: a literature review. Transactions of the Institution of Chemical Engineers, v.71(C), p 139-179. Imeson A. 2006. Carrageenan. Di dalam Philips GO and Williams PA, editor. Hand book of hydrocolloid. Second edition. Wood head publishing. England. Jailani AQ, Herawati EY, Semedi B. 2016. Studi kelayakan lahan budidaya Eucheuma cottonii di kecamatan Bluto Sumenep Jawa Timur. J. Manusia dan lingkungan. 22(2): 211-216. Jouanneu D, Boulenguer P, Mazoyer J, Helbert W. 2011. Hybridity of carrageenans water- and alkali-extracted from Chondracanthus chamissoi, Mazzaella laminarioides, Sarcothalia crispata, and Sarcothalia radula. J. App. Phycol. 23(1): 105-114. Kranz H, Jürgens K, Pinier M, Siepmann J. 2009. Drug release from MCC- and carrageenan based pellets: Experiment and theory. Eur. J. Pharm. Biopharm. 73: 302–309. Kadi A. 2004. Potensi rumput laut laut di beberapa perairan pantai Indonesia. Oseana, Volume XXIX (4): 25 - 36 Kusnandar F, Hariyadi P, dan Syamsir E. 2006. Prinsip Teknik Pangan (Modul Kuliah). Bogor. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Lai VMF, Wong PA-L, Lii C-Y (2000): Effects of cation properties on sol-gel transition and gel properties of κ-carrageenan. J of Food Scie. 65: 1332– 1337
80 Lahaye M. 1991. Marine algae as sources of fibres: Determination of soluble and insoluble dietary fibrecontents in some „sea vegetables‟. J of Scie for Food and Agricul. 54: 587-594. Mabeau S, Fleurence J. 1993. Seaweed in food products: biochemical and nutritional aspects. Trends Food Sci Technol .4: 103–107 Mangione MR, Giacomazzaa D, Bulonea D, Martoranaa V, Cavallarob. San Biagioa PL. 2005. K+ and Na+ effects on the gelation properties of kcarrageenan Biophy Chem. 113:129– 135 Marcotte M, Ali R. Hoshahili T, Ramaswamy HS. 2001. Rheological properties of selected hydrocolloids as a function of concentration and temperature. Food Resh Inter. 34: 695–703 Marine Colloid FMC.1978. Raw material test laboratory standar practise. Marine colloid div. Corp. Springfield. New Yersey USA McHugh DJ. 2003. A guide seaweed industri. Rome. FAO Fisheries Technical Paper. Michael G. B. and Rideout C. 2001. Method for extracting semi refined carrageenan from Seaweed. European Patent, EP 0 964 876 B1. WO 98/40412. Michel AS, Mestdagh MM, Axelos MAV. 1997. Physico-chemical propertiesof carrageenan gels in presence of various cations. Int J of Biol macromol. 21:195–200. Micheal, G.B., and Rideout, C.S. 2001. Method for extracting semi-refined carrageenan from seaweed. Patent No EP0964876 B1 Moirano AL. 1977. Sulfat polysaccharides. Di dalam HD Gram (ed). The Avi Publishing Company Inc. Westport. Connenticut. Montolalu RI, Tashiro Y, Matsukawa S Ogawa H. 2008. Effect of extraction parameters on gel properties of carrageenan from Kapaphycus alvarezii (Rhodophyta). J.Appl Phycol. 20: 521-526 Morris ER, Rees DA, and Robinson G. 1980. Cation-specific aggregation of carrageenan helices: Domain model of polymer gel structure. J of Mol Biol. 138: 349–362. Morris VJ, and Chilvers GR. 1981. Rheological studies on specific ion forms of carrageenan gels. Journal of the Science of Food and Agriculture. 32:1235–1241 Mtolera MS, and Buriyo, AS. 2004. Studies on Tanzanian Hypneaceae: Seasonal Variation in Content and Quality Kapa-Carageenan from Hynea musciformis Western Indian Ocean. J Mar Sci. 3: 43-49 Mueller GP, dan Rees DA. 1968. Current structural view of red seaweed polysacharides gruop from the sea. HD. Freudenthal (ed). Marine Technol. Soc. Necas J. Bartosikova L. 2013. Carrageenan: a review. Vet Med, 58, (4): 187 205. Neish IC. 1990. Alkali teratmen of carrageenan bearing seaweed: Past, present, future. Workshop on Seaweed Processing Industri, BPP Teknologi. Jakarta hal 42-66. Nguyen BT, Nicolai T, Benyahia, L, and Chassenieux, C. 2014. Synergistic effects of mixed salt on the gelation of k-carrageenan. Carbo Poly. 112: 1015 Norziah MH and CH, Ching. 2000. Nutritional composition of edible seaweed Gracilaria changgi. Food Chem. 68: 69-76 Nunez-Santiago MDC and Tecante A. (2007). Rheological and calorimetric studyof the sol–gel transition of k-carrageenan. Carbo Poly. 69: 763–773.
81 PNS [Philiphine National Standard]. 2012. Dried Raw Seaweed – Specification. Bereau of Agriculture and Fisheries Product Standard. Departement of Agriculture Philiphine. Pazur JH. 1987. Natural polysaccharides. In: Carbohydrate analysis a practical approach. M.F.Chaplin & J.F.Kennedy (Eds). IRL Press. Oxford Washington DC Pereira L, Jose FM. 2004. Population studies and carrageenan properties of Chondracanthus teedei var. lusitanicus (Gigartinaceae, Rhodophyta). J. Appl Phycol.16: 369–383. Pereira L. 2006. Identification of phycocolloid by vibrational spectroscopy. In AT. Critchey, M. Ohno, and B. largo (Eds). World seaweed-on authoritative system. ETI Information service Ltd. Pereira L, and Fred V de Velde. 2011. Portuguese Gigartinaleguese carragenophytes: Carrageenan composition and geographic distribution of eight spesies (Gigartinales, Rhodophyta). Carbo Poly. 84: 614-623. Rachmaniar.1995. Karakteristik karagenan asal Eucheuma alvarezii Doty Var. Tambalang yang dibudidayakan di beberapa perairan Indonesia. [Disertasi]. Program Pascasarjana Universitas Pajajaran Bandung. Rachmaniar dan Mursinah T. 1998. Analisis poliskarida karagenan dengan menggunakan GPC kromatograpi. Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia 1. Dalam Prosiding. Jakarta 14-15 Agustus 1998.hal 189-195. Radiarta IN, Erlania, dan Rasidi 2014. Analisis pola musim tanama rumput laut Kappaphycus alvarezii melalui pendekatan kesesuaian lahan di Nusa Penida, Bali. J. Ris. Akuakultur. 9 (2): 319-330 Reen DW. 1986. Use of marine algae in biotechnology and industri. Workshop on marine algae biotechnology. Summary Report. National Academic Press, Washington D.C Rotbart MI, Neeman A, Nussinovitch. Kopelman IJ, and. Cogan U. 1988. The extration of carrageenan and its effect on the gel texture. Int J of F Sci and Technol. 22: 991-599. Rui L, Jiajun L, and Wu CY. 1990. Effect of ammonium on growth and carrageenan content in Kapphapycus alvarezii (Gigartinales, Rhodopyta). Hidrobiogia 204/205: 499-503 Samhouri M, Abughoush M, Herald T. 2007. Fuzzy identification and modeling of gum –protein emulsifier in a model mayonnaise color development system. Int J of Food Eng. 3(4): 1-15. Sánchez-Machado DI, López-Hernández J, Paseiro-Losada P. (2004). Fatty acids, total lipid, protein and ash contents of processed edible seaweeds. Food Chem. 85: 439–444 Sen M and Erboz EN. 2010. Determination of critical gelation codition of kcarrageenan by viscosymetric and FT-IR analyses. Food Res Inter. 43 (5): 1361-1364 Shadori SN.1989. Budidaya rumput laut.Jakarta; Balai Pustaka. 110 hal. Shiroma R, Konishi T, Uechi S, and Tako MI. 2008. Structural Study of Fucoidan from the Brown Seaweed Hizikia fusiformis. Food Sci Technol. Res. 14(2): 176 – 182. Siddique MAM, Aktar, M. and Khatib, M.A. 2013. Proximate chemical composition and amino acid profile of two red seaweeds (Hypnea pannosa and Hypnea musciformis) collected from St. Martin‟s Island, Bangladesh. J of Fish Sci 7(2): 178-186. Singh RP dan Heldman DR. 2001. Introduction to Food Engineering. 3 rd ed. CA: Academic Press, San Diego.
82 Smidsord OH, Grasdalen.1982. Some physical properties of carrageenan in solution and gel state. Carbo Poly. 135: 270-272. SNI [Standar Nasional Indonesia]. 2015. Penentuan Clean Anhydrous Weed (CAW) pada rumput laut kering. SNI No. 8168. Badan Standar Nasional. SNI [Standar Nasional Indonesia]. 2015. Penentuan impurities pada rumput laut. SNI No. 8169. Badan Standar Nasional. SNI [Standar Nasional Indonesia]. 2015. Pengujian kadar air pada produk perikanan. SNI No. 2354.2:2015. Badan Standar Nasional. Speers, R. A., & Tung, M. A. (1986). Concentration and temperature dependence of flow behavior of xanthan gum dispersions. J of Food Science 51:96– 98,103. Stanley N. 1987. Production, properties and uses of carrageenan in: Production and utilization of product commercial seaweeds. FAO fisheries technical paper 288. D.J. McHugh (Edit). FAO of the United Nation. Rome. Subaryono Peranginangin R, Fardiaz D, dan Kusnandar F. 2009. Sifat fisikokimia alginat dari rumput laut Sargassum filipendula dan Turbinaria decurrens dari Perairan Binuangeun, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan V, Surabaya. (II): 529–535. Soegiarto AW, Sulistijo, Mubarak H. 1978. Rumput Laut Algae. Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional. LIPI Jakarta. 87 hal. Sulistijo. 1994. The harvest quality of alvarezzi culture by floating method in Pari Island North Jakarta. Jakarta: Research and Development Center for Oceanology. Indonesian Institute of Science. 87 p. Suryaningrum TD.1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditas rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sutamihardja RT, Hawab M, Girindra A, Suwandi E, dan Ungerere T. 1981. Aspek teknologi dan kimiawi berbagai rumput laut Indonesia. Dept. Biokimia IPB Bogor. Tako M, and Nakamura S. 1987. Indicative evidence for a conformational transition in iota carrageenan. Carbo Res. 161: 247–255. Tari O and Pekcan O. 2010. Comparison of cation effects on phase transitions of kapa and iota carrageenan. e- Polymers. 083 te Nijenhuis K. 1997. Carrageenans. Thermoreversible networks: Viscoelastic properties and structure of gels. Springer Thrimawithana TR, Young S, Dunstanb DE, Alany RG. 2010. Texture and rheological characterization of kapa and iota carrageenan in the presence of counter ions. Carbo Poly. 82: 69–77 Tobacman JK.2001. Review of harmful gastrointestinal effects of carrageenan in animal experiments. Res. Rev. 109 (10): 983-994. Toledo. 1991. Fundamental of Food Process Engineering, Champan & Hall, New York Towle GA. 1973. Carrageenan in industrial gums. Seaweed Industri and Trade. R.I. Westler and J.N. Be Miller (Ed.). Academic Press, London. Tuvikene R, Truus K, Robal M. Pehk T, Kailas T, Vaherc M, Paalme T. 2009. Structure and thermal stability of pyruvated carrageenan from the red alga Coccotylus truncatus. Carbo Res. 344: 788–794 Uy FS, Easteal AJ, Fard MM. 2005. Seaweed Processing Using Industrial Singlemode Cavity microwave heating: a preliminary investigation. Carbo Res. 340: 1357-1364. Van de Velde F, Peppelmen HE, Rollema, and Tromp RH. 2001. On structure of k/i hibryd carrageenans. Carbo Res. 33: 271-283
83 Usov AI. 1998. Structural analysis of red seaweed galactans of agar and carrageenan groups. Food Hydrocol. 12:301-308. Van de Velde F. 2008. Structure and function of hybrid carrageenan. Food Hydrocol, 22: 727-734. Van de velde F, Antipova AN, Rollema HS, Burovo TV, Grinberg NV, Pereira L, Gilsenan PM, Tromp RH, B Rudoph dan Ya Grinberg V. 2005. The structure of k/i-hybrid carrageenans II. Coil-helix transition as a function of chain composition. Carbo Res. 340: 1113-1129. Van de Velde, F and De Ruiter. 2004. Carrageenan. http://www.willeyvch.de/book/bioply/pdf_v06/bpol6009-245-250.pdf Verbeken D, Dierckx S, Dewettinck. 2003. Exudate gums: Occurrence, production, and applications. Mini Review. Appl Micro and Biotech. 63 (1): 10–21. Viana A, Noseda, MD. Duarte MER, Cerezo AS. 2004. Alkali modification of carrageenans. Part V. The iota-nu hybrib carrageenan from Eucheuma denticulatum and its cyclication to iota-carrageenan. Carbo poly. 58:455460 Villaneuva RD, Mendoza, WG Rodrigueza MRC, Romero JB, and Montano MNE. 2004. Structure and function performance of Gigartinacean kappa-iota hyibrid carrageenan dan solieracean kapa-iota karagenan blends. Food Hydrocol. 18: 283-292 Winarno FG. 1996. Teknologi pengolahan rumput laut: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 112 hal. WHO. 1999. Safety evaluation of certain food additive. International program on chemical safety. Geneva. Wong KH, Cheung PCK. 2000. Nutritional evaluation of some subtropical red and green seaweeds. Part I. Proximate composition, amino acid profiles and some physico-chemical properties. Food Chem. 71: 475-482. Wulandari N, Muctadi TR, Budijanto S, Sugiyono. 2011. Sifat fisik minyak sawit kasar dan korelasi dengan atribut mutu. J.Teknol Industri Pangan. XXII (2): 177:182. Young NWG (2003). Fruit Preparations Danisco A/S.Danisco‟s Hydrocolloid Diagnostics with the RVA™. RVA Word. The Technical Journal of Newport Scientific. 21: Zacharopoulos VR, Phillips DM (1997): Vaginal formulations of carrageenan protect mice from herpes simplex virus infection. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology 4, 465–468. Zamorano PJ, Recabarren H, Bost PE. 2002. Process for producing carrageenan with reduced amount of insoluble material. World Intellectual Property Organization. Patent No WO 02/057477 A1. Zatnika A dan Istini, S 1993. Pengaruh jenis dan volume alkohol dalam proses presipitasi pada ekstraksi iota-karagenan.Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I, Buku II. Jakarta 25-27 Agustus 1993. Pros. Puslitbangkan 37/1995. Zeneveld JS. 1955. Economic marine algae of tropical Soutland East Asia and their utillization. Indo Pasifik Fisheries Counc. Spec. Publ. Zertuche-Gonzales, Pacheco-Ruiz, JA. I and. Sorea Mercado, IE. 1993. Carrageenan Yield and Properties of Eucheuma unicatum (Setch and Gard) Daw, culturred under natural conditions. Hydrobiologia. 260/261: 601-605.
84
85
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pariaman Sumatera Barat pada tanggal 26 Juli 1970 anak pertama dari lima orang bersaudara oleh pasangan Anwar Kasun dan Djusnidar. Penulis menikah dengan Ir. Abrar Aliyasar dan dikarunia dua orang putra yaitu Muhammad Farrel Asyraf Abrar (12 tahun) dan Fathir Muhammad Kevin Abrar ( 6 tahun). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Riau lulus pada tahun 1996. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, di Jurusan Teknologi hasil Perikanan sejak tahun 1998. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan program Megister pada Program Studi Teknologi Pasca Panen Program Pascasarjana IPB didanai oleh beasiswa BPPS Dikti dan lulus pada tahun 2001. Pendidikan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan pada Sekolah Pascasarjana IPB mulai pada tahun 2012. Penulis telah mempublikasi artikel dengan judul “Profil viskositas karagenan Eucheuma spinosum dari Nusa Penida (Bali), Sumenep (Madura), dan Takalar (Sulawesi Selatan)” telah diterima untuk diterbitkan pada jurnal nasional yaitu Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia pada volume 18 No 3 Desember 2015, terakreditasi Dikti. Artikel lainnya adalah „‟Chemical and Physical Characteristics of Carrageenan Extracted from Eucheuma spinosum Harvested from Three Different Indonesian Coastal Sea Regions”, telah dikirim ke editorial Journal Phycological Research (Wiley) pada tanggal 7 Januari 2016, pada tanggal 26 Februrai 2016 diterima dengan mayor revisi. Kemudian juga telah mempresentasi makalah yang berjudul Komposisi Kimia dan Mineral Rumput Laut Eucheuma spinosum Kering dari Perairan Nusa Penida, Sumenep, dan Takalar di Seminar Nasional MPHI, pertemuan ilmiah yang ke- 7 pada tanggal 23-24 Oktober 2015 di Bogor. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.