KARAKTERISTIK FISIK TANAH PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DI TANAH LATOSOL DARMAGA DAN PODSOLIK JASINGA
EKA FEBRIANI PRATIWI
ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Fisik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Tanah Latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Eka Febriani Pratiwi NIM A14090018
ABSTRAK EKA FEBRIANI PRATIWI. Karakteristik Fisik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Tanah Latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan ENNI DWI WAHJUNIE. Kebutuhan lahan pertanian yang meningkat tiap tahunnya menyebabkan konversi lahan hutan pun meningkat. Dampak konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah penurunan kualitas fisik lahan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perbedaan karakteristik fisik tanah dari penggunaan lahan hutan sekunder, kebun campuran dan tegalan pada dua jenis tanah yang berbeda yaitu latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis parameter yang dianalisis. Hasil yang diperoleh bahwa kebun campuran dan tegalan baik di tanah latosol Darmaga maupun podsolik Jasinga memiliki rata-rata bobot isi tinggi, porositas total rendah, air tersedia rendah, permeabilitas rendah, tahanan penetrasi tinggi, serta kadar air lapang rendah dibandingkan hutan sekunder. Tanah podsolik memiliki perbedaan sifat fisik tanah antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan lebih besar dibandingkan latosol. Tanah latosol mengandung kation polivalen yang lebih banyak dibandingkan podsolik sehingga struktur tanahnya lebih mantap/stabil dan konsolidasi agregatnya lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa tanah podsolik lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan tanah latosol. Kata kunci: sifat fisik tanah, tanah latosol, tanah podsolik
ABSTRACT EKA FEBRIANI PRATIWI. Soil Physical Characteristics of Various Land Uses on Latosol Darmaga and Podsolik Jasinga. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and ENNI DWI WAHJUNIE. Increasing need of agriculture land each year result in the increasing of forest land conversion. Conversion of forest land to agriculture land may lead to decrease in the physical quality of the land. A research aimed to compare the difference of soil physical properties under secondary forest, mixed farms, and annual crop was conductied on two soil types i.e. Latosol Darmaga and Podsolik Jasinga. Methods used in this research were suited to the analyzed parameters. The result shows that soil under mixed farm and annual crop tend to have higher bulk density, lower total porosity, lower water availability, lower permeability, lower water field content, and higher penetrability than soil under secondary forest both in latosol Darmaga or podsolik Jasinga. The result also shows that the difference physical quality between soil under forest and soil under mixed farm and annual crop in podsolik Jasinga is higher than those in latosol Darmaga. Latosol contain higher polyvalent cations than podsolik so that it has better aggregate consilidation and more stable soil structure. This suggests that Podsolik Jasinga is more susceptible than latosol. Keywords: Latosol, soil physical properties, Podsolik
KARAKTERISTIK FISIK TANAH PADA BEBERAPA PENGGUNAAN LAHAN DI TANAH LATOSOL DARMAGA DAN PODSOLIK JASINGA
EKA FEBRIANI PRATIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Karakteristik Fisik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Tanah Latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga Nama : Eka Febriani Pratiwi NIM : A14090018
Disetujui oleh
Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Pembimbing I
Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tulisan ini berisi tentang Karakteristik Fisik Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan di Tanah Latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga. Karakteristik fisik tanah pada lahan hutan sekunder berbeda dengan kebun campuran dan tegalan baik di tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Penggunaan lahan yang berbeda menyebabkan perbedaan karakteristik fisik tanah karena penggunaan lahan merupakan salah satu faktor pembentuk tanah. Lahan hutan sekunder umumnya memiliki nilai bobot isi, tahanan penetrasi lebih rendah dibandingkan kebun campuran dan tegalan. Sementara itu nilai porositas total, permeabilitas, air tersedia dan kemampuan menahan/menyimpan air lebih tinggi. Namun, pengaruh jenis tanah terhadap penggunaan lahan ikut mempengaruhi perbedaan sifat fisik tanah. Setiap jenis tanah memiliki karakteristik/sifat fisik yang berbeda. Perbedaan nilai sifat fisik tanah antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan pada tanah podsolik Jasinga lebih besar dibandingkan latosol Darmaga. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah podsolik lebih mudah mengalami kerusakan dibandingkan latosol. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran dalam membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Ibu Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi selaku pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, masukan, kesabaran, dan waktu sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. 3. Bapak Ir Wahyu Purwakusuma, MSc selaku penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan yang sangat berguna bagi penulis. 4. Kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku (Kak Yuli, Rosa, Josua dan Geri) yang tidak hentinya memberikan doa, dukungan, motivasi, dan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 5. Teman-teman MSL 46, teman-teman R&B MP 21, pegawai Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dan semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Eka Febriani Pratiwi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Penggunaan Lahan
2
Sifat Fisik Tanah
3
METODE
5
Waktu dan Tempat Penelitian
5
Bahan
5
Alat
5
Metode Penelitian
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Serasah
6
Bobot Isi
7
Porositas Total
9
Kadar Air Kapasitas Lapang dan Air Tersedia
10
Permeabilitas
12
Kadar Air Lapang
13
Tahanan Penetrasi Tanah
15
KESIMPULAN
18
Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah serasah di beberapa penggunaan lahan dan dua jenis tanah Bobot isi di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman tanah Porositas total di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman Kadar air kapasitas lapang ( KAKL) dan air tersedia di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman tanah Permeabilitas di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman Perbedaan kadar air lapang di dua jenis tanah, beberapa penggunaan lahan, kedalaman tanah, dan beberapa hari setelah hujan Perbedaan tahanan penetrasi tanah di dua jenis tanah, beberapa penggunaan lahan, kedalaman tanah, dan beberapa hari setelah hujan
6 8 9 11 12 15 17
DAFTAR GAMBAR 1.
2. 3.
Tutupan tajuk pada lahan hutan sekunder latosol (a); kebun campuran latosol (b); tegalan latosol (c); hutan sekunder podsolik (d); kebun campuran podsolik (e); tegalan podsolik (f) Kadar air lapang dan titik layu permanen (TLP) di berbagai kedalaman Tahanan penetrasi tanah pada beberapa penggunaan lahan hutan sekunder latosol (3a); hutan sekunder podsolik (3b); kebun campuran latosol (3c); kebun campuran podsolik (3d); tegalan latosol (3e); tegalan podsolik (3f)
7 14
16
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kandungan serasah di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Kandungan serasah di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Bobot isi di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Bobot isi di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Berat jenis partikel, porositas total, kadar air di berbagai pF, dan air tersedia di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Berat jenis partikel, porositas total, kadar air di berbagai pF, dan air tersedia di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Permeabilitas tanah di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Permeabilitas tanah di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan hutan sekunder pada tanah latosol Darmaga
21 21 21 22 22 23 23 24 24
10. 11. 12. 13. 14.
Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan kebun campuran pada tanah latosol Darmaga Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan tegalan pada tanah latosol Darmaga Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan hutan sekunder pada tanah podsolik Jasinga Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan kebun campuran pada tanah podsolik Jasinga Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan tegalan pada tanah podsolik Jasinga
25 25 26 26 27
PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan lahan pertanian untuk sandang, pangan dan papan juga terus meningkat. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan dan diikuti oleh perluasan lahan pertanian yang dilakukan dengan membuka/mengkonversi hutan. Konversi hutan menjadi lahan pertanian umumnya akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan. Hal ini terkait dengan berkurangnya serasah dan bahan organik tanah akibat cara pembukaan hutan yang umumnya dilakukan dengan cara tebang bakar. Alih fungsi hutan menjadi lahan petanian tanaman semusim melibatkan faktor-faktor yang kompleks yaitu kegiatan-kegiatan pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan budidaya yang diusahakan. Kegiatan tersebut akan memberi pengaruh tertentu terhadap sifat-sifat tanahnya (Asdak 2002). Widianto et al. (2004) mengemukakan bahwa alih guna lahan hutan menjadi kopi monokultur di Lampung mengakibatkan perubahan sifat tanah permukaan berupa penurunan bahan organik dan jumlah ruang pori. Alih guna lahan tersebut juga mengakibatkan penurunan makroporositas tanah (Suprayogo et al. 2004) dan menurunkan ketebalan serasah dan jumlah pori makro tanah (Hairiah et al. 2004a). Lahan hutan umumnya memiliki kualitas tanah yang baik seperti nilai bobot isi dan tahanan penetrasi tanah yang lebih rendah. Sementara itu nilai porositas total, air tersedia, permeabilitas, dan kemampuan menahan/menyimpan air lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya serasah dan bahan organik serta tutupan tajuk rapat yang mampu melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan. Tanah pada hutan alami cenderung porous sehingga laju infiltrasi pada hutan tinggi. Tutupan hutan mempengaruhi kapasitas retensi air pada daerahdaerah hutan dan akibatnya laju aliran permukaan rendah (Lull dan Reinhardt 1972). Kebun campuran dan tegalan merupakan lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Pengelolaan yang berbeda di kedua lahan ini menyebabkan terjadinya perbedaan sifat-sifat tanah. Kebun campuran umumnya terdiri dari beberapa tegakan tanaman bertajuk tinggi dengan jenis tanaman yang bervariasi. Menurut Saidi (2000) bahwa apabila lahan hutan dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan akan memberi pengaruh erosi dan aliran permukaan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan tanaman semusim. Hal ini dikarenakan kebun campuran masih mempunyai karakteristik yang menyerupai hutan sehingga besar perbedaan sifat-sifat tidak terlalu berbeda dengan lahan hutan. Berbeda dengan tegalan umumnya terdiri dari tanaman semusim bertajuk pendek yang pada saat tertentu diberakan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dilakukan penelitian untuk melihat karakteristik fisik tanah pada penggunaan lahan hutan sekunder, kebun campuran dan tegalan serta besar perbedaan sifat-sifat fisik tanah dari lahan hutan sekunder. Penurunan kualitas tanah pada suatu lahan dilihat dari perbedaan sifat-sifat fisik tanah, namun besar penurunannya tidak sama untuk setiap jenis tanah. Pengaruh jenis tanah terhadap setiap perubahan penggunaan
2 lahan berbeda karena sifat-sifat fisik tanah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perbedaan sifat-sifat fisik tanah pada lahan hutan sekunder, kebun campuran dan tegalan di dua jenis tanah yang berbeda, yaitu latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup analisis sifat-sifat fisik tanah pada dua jenis tanah yang berbeda dengan tiga penggunaan lahan yang berbeda. Perbedaan sifat fisik tanah dilihat berdasarkan porositas total, bobot isi, kadar air di berbagai pF, permeabilitas, tahanan penetrasi tanah, dan kadar air lapang.
TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi atau campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2006). Penggunaan lahan yang baik adalah memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air sehingga fungsi tanah sebagai salah satu faktor peningkatan produksi dapat dipertahankan (Soepardi 1983). Penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penggunaan lahan untuk pertanian dan bukan pertanian. Lahan tegalan merupakan lahan kering yang telah menyebabkan tanah-tanah pertanian menjadi rusak karena pada lahan ini telah terjadi pengolahan tanah yang terus menerus tanpa peristirahatan pada tanahnya (Arsyad 2000). Pengolahan tanah biasanya diartikan sebagai manipulasi mekanis pada tanah dengan tujuan memperbaiki kondisi tanah yang mempengaruhi produksi tanaman (Hillel 1997). Vegetasi/penggunaan lahan merupakan salah satu faktor pembentuk tanah. Vegetasi/penggunaan lahan yang berbeda akan membentuk karakteristik fisik tanah yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Saidi dan Rostim (2003) menunjukkan pada beberapa penggunaan lahan mempengaruhi sifat fisik tanah mengikuti urutan hutan > kebun kulit manis > sawah > kebun kelapa > kebun campuran. Menurut hasil penelitian Zurhalena dan Endriani (2008) alih fungsi lahan hutan menjadi lahan usaha tani menyebabkan penurunan sifat fisik tanah seperti distribusi pori, stabilitas agregat, permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik tanah mengalami penurunan berturut-turut dari kebun kulit manis, kebun kopi, dan kebun campuran. Winanti (1996) berpendapat bahwa perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan perubahan sifat biofisik tanah karena setiap jenis vegetasi memiliki sistem perakaran yang berbeda.
3 Sifat Fisik Tanah Bobot Isi Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa bobot isi menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah. Semakin padat suatu tanah maka semakin tinggi bobot isinya yang berarti tanah semakin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, tekstur, stuktur, pemadatan oleh alat-alat pertanian, dan kandungan air tanah. Nilai bobot isi penting dipergunakan untuk perhitungan-perhitungan kebutuhan air irigasi, pemupukan, pengolahan tanah, dan lain-lain (Sarief 1989). Tanah dengan bobot isi senilai 1,0 - 1,3 g/cm3 dikategorikan sebagai tanah dengan bobot isi ringan. Sedangkan tanah dengan bobot isi senilai 1,3 - 1,8 g/cm3 termasuk tanah dengan bobot isi berat (Hanafiah 2005). Bobot isi dipengaruhi oleh struktur tanah dan merupakan sifat fisik tanah yang dapat menunjukkan tingkat kepadatan tanah. Pada keadaan struktur tanah yang baik atau bobot isi tanah yang rendah, peluang untuk terjadinya stress air menjadi kecil, karena kisaran kadar air tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi lebar (Wesley 1973). Porositas dan Distribusi Ukuran Pori Porositas merupakan ruang di dalam tanah yang tidak ditempati oleh padatan tanah, baik bahan mineral maupun bahan organik (Baver 1959). Ruang pori total selalu ditempati oleh air dan atau udara (Soepardi 1983). Udara dan air di dalam ruang pori saling komplemen/melengkapi. Udara akan mengisi ruang pori yang tidak berisi air. Pori tanah merupakan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah. Pori-pori tanah dapat terbentuk oleh susunan agregat tanah akibat aktivitas akar, cacing, dan aktivitas organisme tanah lainnya. Aktivitas perakaran tumbuhan tahunan sangat berperan dalam penbentukan saluran untuk pergerakan air dan udara. Saluran yang terbentuk umumnya berbentuk pipa yang kontinu dengan panjang yang dapat mencapai satu meter (Brady dan Weil 2008). Porositas total merupakan salah satu sifat fisik tanah yang penting diperhatikan dalam pemilihan media tumbuh karena berhubungan dengan aerasi dan drainase yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Cara pengolahan tanah mempengaruhi sifat fisik tanah yang diolah. Pembajakan dan pengolahan tanah dirancang untuk meningkatkan porositas tanah dan mengakibatkan bobot isi tanah meningkat (Tan 2009). Adapun tanah yang diolah secara intensif akan mengalami penurunan pori makro terutama pada tanah lapisan atas (Soepardi 1983). Distribusi ukuran pori menunjukkan presentasi sebaran ukuran pori yang didasarkan pada persen volume udara tanah pada berbagai nilai kurva pF, sedangkan porositas dihitung berdasarkan penetapan bobot isi dan bobot jenis partikel (Hillel 1971). Permeabilitas Kemampuan tanah untuk melalukan air pada media berpori (tanah) dalam keadaan jenuh disebut permeabilitas. Permeabilitas umumnya diukur dengan laju aliran air melalui tanah dalam suatu waktu dan umumnya dinyatakan dalam cm/jam (Foth, 1988). Banyak faktor yang mempengaruhi terutama tekstur,
4 struktur, stabilitas agregat, porositas, distribusi ukuran pori, kekontinuan pori, dan kandungan bahan organik (Hillel 1971). Faktor lain yang mempengaruhi adalah interaksi antar ruang pori dan cairannya, mikroorganisme, kualitas air, dan pertukaran kation (Hillel 1980). Pergerakan air dalam keadaan jenuh berkorelasi negatif dengan pasir halus dan debu, tetapi berkorelasi positif dengan pasir kasar, stabilitas agregrat, dan kandungan bahan kation dalam komplek jerapan (Lal 1975 dalam Lal and Greenland 1979). Permeabilitas tanah meningkat bila (a) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, (b) adanya saluran bekas lubang akar tanaman yang terdekomposisi, (c) adanya bahan organik, dan (d) porositas tanah yang tinggi (Mohr dan Van Bahren 1954). Struktur tanah sangat penting dalam menentukan permeabilitas tanah karena struktur yang mantap dapat mempertahankan ruang pori sehingga mempermudah air untuk merembes ke tanah (Hillel 1971). Penetrasi Tanah Penetrasi tanah adalah daya yang dibutuhkan oleh sebuah benda untuk masuk ke dalam tanah. Penetrasi tanah merupakan refleksi atau gambaran dari kemampuan akar tanaman menembus tanah (Vepraskas 1984). Hillel (1980), menambahkan pada mulanya penetrometer hanya dirancang untuk penyelidikan kuantitatif terhadap kekuatan dan konsistensi tanah. Sekarang banyak jenis penetrometer telah dirancang untuk pengukuran kuantitatif kekuatan tanah terhadap penembusan sehingga dapat dihubungkan secara tepat dengan sifat-sifat tanah, seperti daya olah, kerapatan relatif zarah-zarah, kemampatan daya tahan terhadap tekanan dan daya dukung terhadap penggunaan alat-alat besar. Setia penggunaan lahan berbeda dalam sistem pengolahan tanah sehingga tanah yang diolah cukup intesif akan menyebabkan tanah menjadi lebih padat dan kemampuan menahan air yang rendah. Hasil penelitian Vepraskas (1984) memperlihatkan ketika kandungan air tanah meningkat, ketahanan penetrasi tanah menurun. Ketahanan terhadap penetrasi yang diberikan tanah kepada jarum penetrometer yang bergerak adalah gabungan parameter tanah, tarik, pemadatan, dan gesekan antara tanah dan logam penetrometer. Akan tetapi, komponen tarik hanya berperan jika tanah kering atau kandungan air rendah sehingga pada kandungan air tinggi indeks penetrometer hanya ditentukan oleh geseran dan padatan (Islami dan Utomo 1995). Lowery dan Schuler (1994) memperoleh ketahanan penetrasi tanah meningkat seiring dengan meningkatnya kepadatan tanah. Menurut Islami dan Utomo (1995) pengaruh kepadatan terhadap sudut geser dapat dijelaskan dari gejala saling mengunci. Pada benda yang mempunyai nilai susunan padatan tinggi mempunyai nilai rasio rongga pori rendah, ketahanan gesekan di samping timbul dari kekasaran permukaan bagian bagian benda yang digeser karena partikel-partikel yang menyusun benda ini mempunyai kedudukan saling mengunci. Nilai sudut geser juga berasal dari usaha untuk mengubah tempat kedudukan partikel-partikel yang saling mengunci tersebut atau memecahkan partikel penyusunnya.
5
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai bulan Agustus 2013. Penelitian ini dilaksanakan di Darmaga (Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor), Jasinga (Desa Sipak), dan Laboratorium Fisika Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan yang digunakan adalah serasah, sampel tanah utuh dan tidak utuh yang berasal dari Latosol Darmaga (108 sampel) dan Podsolik Jasinga (108 sampel). Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ring sampler, penetrometer, pisau, cangkul, cutter, garpu, golok, aluminium foil, timbangan digital, Pressure Plate Apparatus, Pressure Membrane Apparatus, cawan, gelas ukur, bak permeabilitas, ayakan 2 mm, dan penggaris. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tiga jenis penggunaan lahan yaitu hutan sekunder, kebun campuran dan tegalan di tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga pada kelas lereng yang sama (3-8%). Pada setiap penggunaan lahan dibuat/dipilih tiga blok sebagai ulangan dengan luas setiap blok sekitar 100 m2 dan jarak antar blok kira-kira 10 m. Pada setiap blok tersebut dilakukan pengukuran langsung dan pengambilan sampel tanah untuk diukur di laboratorium (pengukuran tidak langsung) serta pengambilan sampel serasah. Sifat fisik tanah yang diukur langsung di lapang adalah tahanan penetrasi tanah. Pengukuran penetrasi dilakukan dengan menggunakan penetrometer saku. Pada setiap blok yang telah ditentukan, dibuat lubang kecil dengan lebar 1 m x ½ m dengan kedalaman 40 cm. Pengukuran tahanan penetrasi tanah dilakukan di bidang sisi 1 m pada kedalaman 0-10 cm, 10-20 cm, 20-30 cm, dan 30-40 cm untuk setiap blok. Pada setiap kedalaman dilakukan pengukuran dengan 10 kali tusukan. Nilai yang diperoleh dari 10 kali tusukan kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai penetrasi tanah untuk setiap kedalaman. Pada saat pengukuran penetrasi tanah, diambil juga sampel tanah yang kemudian dibungkus dengan alumunium foil untuk diukur kadar air lapang di laboratorium. Pengukuran tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang dilakukan selama 4 hari berturutturut tanpa hujan setelah kejadian hujan. Selain itu, dilakukan pengambilan sampel serasah di setiap blok dengan luasan 1 m2. Jumlah total sampel serasah untuk masing-masing penggunaan lahan sebanyak tiga sampel. Sampel serasah yang diambil dari petakan di setiap blok kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diukur beratnya di laboratorium sehingga didapatkan serasah di setiap lahan.
6 Sifat fisik tanah yang diukur di laboratorium meliputi bobot isi, porositas total, kadar air di berbagai pF, dan permeabilitas. Untuk pengukuran parameterparameter tersebut dilakukan pengambilan sampel tanah utuh pada setiap blok menggunakan ring sampler. Sampel tanah utuh diambil di dua kedalaman tanah, yaitu 0-20 cm dan 20-40 cm. Masing-masing kedalaman diambil 3 sampel tanah utuh sebagai ulangan pengukuran untuk mendapatkan nilai pengukuran sifat fisik. Total jumlah sampel tanah utuh untuk setiap blok ialah enam. Perbedaan sifat fisik di tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga dihitung dengan cara mengurangkan nilai sifat fisik dari hutan sekunder dengan penggunaan lahan lainnya (kebun campuran dan tegalan) dengan hutan sekunder sebagai acuan. Hasil pengurangan sifat fisik tersebut dibuat dalam hasil persentase.
HASIL DAN PEMBAHASAN Serasah Serasah adalah lapisan di atas tanah terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Dephut 1997). Serasah di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah serasah di beberapa penggunaan lahan dan dua jenis tanah Serasah (g/m2) Penggunaan lahan
% perbedaan jumlah serasah *) Latosol Podsolik Darmaga Jasinga -
Hutan sekunder
Latosol Darmaga 734.0
Kebun campuran
314.4
131.0
57.2
66.3
Tegalan
43.4
47.7
94.1
87.7
Podsolik Jasinga 388.4
Keterangan : *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan
Berdasarkan Tabel 1 terlihat jumlah serasah yang berbeda-beda pada setiap penggunaan lahan baik pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Jumlah serasah tertinggi dijumpai di hutan sekunder diikuti kebun campuran dan tegalan Lebih rendahnya jumlah serasah pada kebun campuran dan tegalan disebabkan sudah adanya pengaturan jarak tanam dan pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani pada kedua lahan tersebut. Pada praktiknya untuk tegalan saat tertentu diberakan dan dilakukan pemanenan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hairiah et al (2004b) bahwa pada lahan pertanian jumlah dan keragaman vegetasi relatif lebih rendah dibandingkan hutan. Hutan memiliki vegetasi yang rapat dengan populasi yang padat akan menghasilkan serasah yang banyak melalui guguran-guguran daun, batang, ranting, dan bunga (Junedi 2010). Di samping itu, cara pembukaan lahan hutan di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tebang-bakar agar permukaan tanah dapat ditanami oleh tanaman pertanian. Akibatnya kondisi tanah pada lahan pertanian menjadi lebih terbuka. Kondisi permukaan tanah yang relatif
7 terbuka dibandingkan hutan sekunder menyebabkan proses dekomposisi berjalan cepat akibat peningkatan suhu. Kebun campuran memiliki jumlah serasah yang jauh lebih tinggi dari lahan tegalan walaupun lebih rendah dari hutan sekunder. Hal ini dikaitkan dengan jenis tanaman yang ditanam dan pengolahan pada kedua lahan tersebut berbeda. Kebun campuran didominasi oleh tanaman tahunan yang ditanam dengan jarak tertentu sehingga suplai serasah pada lahan ini lebih besar dibandingkan tegalan. Tegalan ditanami tanaman semusim, tanaman tidak bervariasi, bertajuk pendek, dan saat tertentu diberakan. Biasanya pada saat panen seluruh bagian tanaman yang ditanam akan dibawa keluar dari lahan dan sebagian juga sisa tanaman hasil panen dicampurkan bersama-sama dengan tanah sehingga suplai serasah pada lahan ini paling rendah. Perbedaan jenis tanaman dan pengelolaannya dalam suatu lahan akan menentukan besar kecilnya jumlah serasah. Produktivitas serasah dipengaruhi kualitas tempat tumbuh dan kerapatan tegakan tanaman (Spurr dan Burton 1980). Menurut Stevenson (1994), laju dekomposisi bahan organik/serasah pada lahan terbuka relatif lebih tinggi dibanding dengan laju dekomposisi bahan organik di bawah tegakan hutan ataupun yang relatif terlindungi.
(a)
(b)
(c)
(d) (e) (f) Gambar 1 Tutupan tajuk pada lahan hutan sekunder latosol (a); kebun campuran latosol (b); tegalan latosol (c); hutan sekunder podsolik (d); kebun campuran podsolik (e); tegalan podsolik (f)
Bobot Isi Bobot isi di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 2.
8 Tabel 2 Bobot isi di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman tanah Jenis tanah
Bobot isi (g/cm³)
% perbedaan bobot isi *)
Penggunaan lahan
Kedalaman (cm) Kedalaman (cm) 0-20 20-40 0-20 20-40 Hutan sekunder 0.81 0.91 Latosol Kebun campuran 0.94 1.01 -16.0 -11.0 Darmaga Tegalan 0.96 0.97 -18.5 -6.6 Hutan sekunder 0.85 0.96 Podsolik Kebun campuran 0.99 1.07 -16.5 -11.5 Jasinga Tegalan 1.01 1.01 -18.8 -5.2 Keterangan : *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan Tanda minus (-) menunjukkan bobot isi meningkat
Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum bobot isi di kedalaman 0-20 cm lebih rendah dibandingkan kedalaman 20-40 cm. Hal ini berkaitan dengan aktivitas perakaran, jumlah serasah, dan kadar bahan organik yang lebih tinggi pada kedalaman 0-20 cm dibandingkan 20-40 cm. Aktivitas perakaran, jumlah serasah dan kadar bahan organik yang tinggi menyebabkan bobot isi semakin rendah. Perkecualian terjadi pada tegalan di tanah podsolik Jasinga. Pada lahan ini bobot isi di kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm relatif sama. Hal ini dikarenakan pada saat pengambilan sampel tanah untuk pengukuran bobot isi, kondisi tegalan di tanah podsolik ditanami tanaman singkong yang berumur sekitar 2 bulan. Lahan ini selalu ditanami tanaman singkong (Manihot utilisima). Oleh sebab itu, terjadi kerusakan struktur tanah (pembongkaran tanah) hingga kedalaman sekitar 30 cm pada waktu pemanenan singkong yang dilakukan dengan cara mencabut umbi yang berada di dalam tanah. Akibatnya lapisan atas (0-20 cm) maupun bawah (20-40 cm) memiliki bobot isi yang relatif sama. Tabel 2 juga menunjukkan perbedaan bobot isi di kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Bobot isi tertinggi di kedalaman 0-20 cm dijumpai pada lahan tegalan. Sementara itu, di kedalaman 2040 cm bobot isi tertinggi dijumpai pada lahan kebun campuran. Perbedaan bobot isi tanah di masing-masing kedalaman dan jenis tanah berkaitan dengan penurunan jumlah serasah (Tabel 1). Berkurangnya jumlah serasah pada kebun campuran dan tegalan menyebabkan kandungan bahan organik rendah. Menurunnya kandungan bahan organik pada lahan pertanian umumnya juga menjadi faktor penyebab meningkatnya bobot isi tanah (Sinukaban et al. 2000). Bahan organik berpeluang dalam menurunkan bobot isi tanah. Bahan organik merupakan salah satu agen yang berperan dan mempengaruhi proses agregasi/pembentukan struktur tanah. Bobot isi sangat berkaitan dengan proses agregasi/pembentukan struktur tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi memiliki struktur tanah dan proses agregasi yang baik. Stevenson (1982) mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga mekanisme yang berjalan dari unsur pokok bahan organik yang dapat mempengaruhi agregat tanah yakni (1) bahan organik sebagai pengikat untuk kohesi dari partikel liat melalui ikatan hidrogen (-H) dan koordinasi dengan kation polivalen. Flokulasi liat merupakan prasyarat pembentukan agregat melalui pengendapan. Asam humat dan fulvat dapat membentuk ikatan kompleks liat-logam-humus, (2) lendir bahan organik (gelatinous organic mate-rials) menyelimuti partikel tanah dan mengikatnya
9 melalui penyemenan. Polisakarida memegang peranan dalam proses ini dan (3) partikel-partikel tanah diikat bersama-sama melalui ikatan fisik oleh hifa fungi dan akar-akar halus tumbuhan. Selain itu, tingginya bobot isi dipengaruhi juga oleh tekanan dari alat pertanian yang digunakan dan pijakan kaki dari petani itu sendiri yang secara rutin memberikan pemeliharaan tanaman seperti mengolah tanah, menyiang, memupuk, pencegahan hama/ penyakit, panen dan sebagainya (Monde 2010). Secara keseluruhan perbedaan bobot isi antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan pada tanah podsolik Jasinga lebih besar dibandingkan tanah latosol Darmaga. Kondisi ini menunjukkan tanah podsolik akan lebih mudah rusak sifat fisiknya dibandingkan tanah latosol apabila dilakukan pengolahan tanah. Kedua jenis tanah ini merupakan tanah bertekstur halus (klei), tetapi berbeda dalam hal kemantapan/stabilitas agregat. Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957) tanah latosol memiliki stabilitas agregat tanah tinggi, konsistensi remah, terjadi akumulasi sesquioksida akibat pencucian silika. Sementara podsolik memiliki struktur tanah gumpal dan stabilitas agregat rendah. Perbedaan kandungan besi alumunium oksida (seskuioksida) terhadap silika di kedua jenis tanah tidak sama. Pengaruh kandungan besi dan alumunium oksida erat hubungannya dengan pembentukan dan penstabilan agregat tanah. Besi dan alumunium oksida membentuk dan meningkatkan kestabilan agregat tanah melalui pengikatan gugus negatif dari liat oleh gugus-gugus positif dari oksidaoksida tersebut (Liebenow et al. 1990). Oleh sebab itu, mudah berubahnya sifat fisik tanah, seperti bobot isi tanah ditentukan dari kemantapan agregat suatu tanah. Tanah yang memiliki kemantapan/stabilitas agregat yang tinggi akan mempertahankan sifat fisik tanah dari perusak agregat.
Porositas Total Porositas total di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Porositas total di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman tanah Porositas total % perbedaan porositas total *) Jenis (%-volume) Penggunaan lahan tanah Kedalaman (cm) Kedalaman (cm) 0-20 20-40 0-20 20-40 Hutan sekunder 68.55 65.19 Latosol Kebun campuran 63.66 61.14 7.1 6.2 Darmaga Tegalan 62.79 62.56 8.4 4.0 Hutan sekunder 66.78 63.18 Podsolik Kebun campuran 61.85 59.07 7.4 6.5 Jasinga Tegalan 61.11 61.53 8.5 2.6 Keterangan : *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan
Berdasarkan data di atas, porositas total di kedalaman 0-20 cm lebih tinggi dibandingkan kedalaman 20-40 cm baik di setiap penggunaan lahan dan kedua
10 jenis tanah. Rendahnya bobot isi pada kedalaman ini dan banyaknya jumlah serasah di atas permukaan tanah maka porositas total semakin tinggi. Tabel 3 menunjukkan perbedaan porositas total di kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Hasil pengukuran memperlihatkan lahan kebun campuran dan tegalan di kedua jenis tanah memiliki porositas total lebih rendah dibandingkan lahan hutan sekunder. Porositas total terendah di kedalaman 0-20 cm dijumpai pada lahan tegalan. Sementara itu, porositas total terendah di kedalaman 20-40 cm dijumpai pada lahan kebun campuran. Hal ini diakibatkan karena tingginya bobot isi tanah (Tabel 2) dan rendahnya suplai bahan organik dari serasah (Tabel 1) pada lahan kebun campuran maupun tegalan akibat pengolahan tanah. Lal (1988) menyatakan pengggunaan lahan dan pengelolaan tanah dapat menyebabkan perubahan sifat fisik tanah seperti kemantapan agregat dan porositas tanah. Hal ini berkaitan dengan penyumbatan pori-pori tanah akibat pengolahan sehingga mempengaruhi ruang pori total di dalam tanah. Pengaruh pengolahan tanah hanya bersifat sementara menggemburkan tanah selanjutnya akan terjadi penyumbatan pori-pori tanah akibat pengolahan tanah yang salah (Arsyad 2006). Berkurangnya bahan organik pada lahan pertanian (kebun campuran dan tegalan) dapat menurunkan kestabilan agregat tanah. Menurut Parapasan et al. (1995) pada lahan yang diolah dapat menurunkan kandungan bahan organik tanah. Penurunan kadar bahan organik menyebabkan stabilitas agregat tanah menurun, terjadi dispersi dan pemadatan tanah. Tanah yang padat memiliki bobot isi yang tinggi dan ruang pori total rendah. Tanah podsolik memiliki perbedaan porositas total antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan yang lebih besar dibandingkan tanah latosol. Perbedaan sifat fisik yang lebih besar di tanah podsolik tersebut memperlihatkan sifat fisik tanah ini lebih mudah rusak (ruang pori total akan berkurang). Kedua jenis tanah ini bertekstur berat (klei), tetapi memiliki perbedaan kemantapan agregat. Kemantapan agregat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jenis dan kadar liat, bahan organik, serta jenis dan kation yang dijerap (Baskoro dan Henry 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Baskoro dan Henry (2005) tanah latosol Sindangbarang memiliki indeks stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan podsolik Jasinga. Tingginya indeks stabilitas agregat pada tanah latosol Sindangbarang terutama berkaitan dengan tingginya kalsium serta rendahnya natrium yang dapat dipertukarkan. Tanah yang banyak mengandung liat dan kation polivalen seperti kalsium cenderung mempunyai stabilitas agregat yang tinggi (Rowell 1997). Agregat yang mantap dan stabil pada tanah latosol menunjukkan tidak mudah berubahnya sifat fisik terhadap daya perusak (pengolahan) sehingga porositas total di dalam tanah tetap terjaga.
Kadar Air Kapasitas Lapang dan Air Tersedia Kadar air kapasitas lapang merupakan air maksimum yang dapat ditahan oleh tanah setelah proses drainase berhenti yang berada pada kadar air pF 2.54. Air tersedia merupakan air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang dapat ditetapkan berdasarkan nilai pF 2.54 dan pF 4.2 (kondisi titik layu permanen). Kadar air kapasitas lapang dan air tersedia di tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 4.
11 Tabel 4 Kadar air kapasitas lapang ( KAKL) dan air tersedia di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman tanah Jenis tanah
Penggunaan lahan
KAKL (%-volume)
Air tersedia (%-volume) Kedalaman (cm) 0-20 20-40
0-20 20-40 Hutan 50.8 50.7 19.7 17.1 sekunder Latosol Kebun Darmaga 49.0 48.2 13.0 11.3 campuran Tegalan 47.4 49.4 11.5 13.0 Hutan 55.6 56.6 21.7 18.9 sekunder Podsolik Kebun Jasinga 55.3 54.1 12.2 10.1 campuran Tegalan 60.5 58.5 16.1 14.2 Keterangan : *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan
% perbedaan air tersedia *) 0-20
20-40
-
-
33.7
34.2
41.4
24.4
-
-
44.0
46.6
25.7
24.6
Berdasarkan Tabel 4 kadar air kapasitas lapang (KAKL) dan air tersedia pada kedalaman 0-20 cm lebih tinggi dibandingkan KAKL dan air tersedia kedalaman 20-40 cm baik di tanah latosol Darmaga maupun Podsolik Jasinga. Hal ini dikarenakan lapisan atas (0-20 cm) mempunyai kadar bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan lapisan bawah (20-40 cm). Pada tanah-tanah yang telah berkembang seperti latosol Darmaga dan podsolik Jasinga maka kadar bahan organik menurun menurut kedalaman. Bahan organik di dalam tanah bersifat meretensi air. Semakin tinggi kandungan bahan organik di dalam tanah maka kemampuan tanah dalam meretensi air juga semakin tinggi. Menurut Yulnafatmawita et al. (2011) bahan organik tanah bersifat dinamik. Kandungannya mudah berubah dari suatu tanah ke tanah lain. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam menyimpan bahan organik tersebut serta faktor yang dapat mempercepat proses kehilangannya. Berkurangnya bahan organik dikaitkan dengan laju dekomposisi bahan organik. Laju dekomposisi bahan organik meningkat dengan naiknya suhu dan curah hujan. Laju dekomposisi tertinggi terjadi di daerah tropik (Laegard et al. 1999). KAKL dan air tersedia berbeda untuk setiap penggunaan lahan yang berbeda. Kecenderungannya berbeda untuk tanah latosol dan podsolik. Untuk tanah latosol pada kedalaman 0-20 cm nilai KAKL dan air tersedia terendah dijumpai pada lahan tegalan. Pada kedalaman 20-40 cm, KAKL dan air tersedia terendah dijumpai pada lahan kebun campuran. Untuk tanah podsolik baik kedalaman 0-20 cm maupun 20-40 cm nilai KAKL dan air tersedia terendah di dijumpai pada kebun campuran. Besarnya perbedaan KAKL di kebun campuran dan tegalan terhadap hutan sekunder disebabkan oleh rendahnya porositas total di kebun campuran maupun tegalan di dua jenis tanah. Berkurangnya ruang pori total di kebun campuran dan tegalan akibat pengolahan tanah yang dilakukan pada kedua lahan tersebut. Pengolahan tanah menyebabkan rusaknya agregat tanah dan tanah terdispersi sehingga pori-pori di dalam tanah tertutup/tersumbat. Pori-pori tanah yang tertutup mempengaruhi KAKL di dalam tanah. Perbedaan air tersedia pada kebun campuran dan tegalan terhadap hutan sekunder dapat dikaitkan dengan kadar air kapasitas lapang yang terdapat pada kedua jenis tanah tersebut. Selain itu, berkurangnya jumlah serasah pada kebun
12 campuran dan tegalan secara langsung mempengaruhi kandungan bahan organik. Berkurangnya bahan organik di kebun campuran dan tegalan dapat mempengaruhi kerusakan struktur tanah sehingga mengurangi ruang pori air tersedia. Perbedaan air tersedia di tanah podsolik antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan lebih besar dibandingkan tanah latosol. Setiap tanah memiliki karakteristik fisik yang berbeda apabila diolah dan digunakan. Hal ini berkaitan dengan kurang stabilnya agregat pada tanah podsolik dibandingkan tanah latosol. Tanah latosol memiliki agregat yang mantap dan stabil dibandingkan tanah podsolik sehingga porositas total pada tanah latosol lebih banyak dibandingkan tanah podsolik. Mudah berubahnya atau rusaknya sifat fisik tanah podsolik akibat pengolahan yang terjadi karena kurang mantapnya stuktur atau agregat pada tanah ini. Permeabilitas Permeabilitas di beberapa penggunaan lahan dan kedalaman pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Permeabilitas di beberapa jenis tanah, penggunaan lahan dan kedalaman tanah Jenis tanah
Penggunaan lahan
Permeabilitas (cm/jam) % perbedaan permeabilitas *) Kedalaman (cm) 0-20 20-40 0-20 20-40
Hutan 41.38 8.95 sekunder Latosol Kebun Darmaga 7.47 5.59 81.9 campuran Tegalan 12.79 2.73 69.1 Hutan 34.96 3.88 sekunder Podsolik Kebun Jasinga 7.06 0.14 79.8 campuran Tegalan 7.35 0.11 79.0 Keterangan : *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan
37.5 69.5 96.4 97.2
Berdasarkan Tabel 5, penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan memiliki nilai permeabilitas yang lebih rendah dibandingkan hutan sekunder baik di tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Permeabilitas terendah di kedalaman 0-20 cm terdapat pada lahan kebun campuran sementara itu di kedalaman 20-40 cm terdapat pada tegalan. Berkurangnya keragaman vegetasi dan perakaran tanaman serta adanya pengolahan tanah mempengaruhi permeabilitas. Stallings (1957) dan Baver et al. (1972) mengemukakan bahwa vegetasi biasanya akan menentukan distribusi ukuran pori tanah. Perakaran menyebabkan penyebaran pori-pori kontinu yang merata di dalam tanah. Kontinuitas pori akan menentukan besarnya permeabilitas di dalam tanah. Selain itu, tanaman dengan perakaran lebih banyak mampu menyumbangkan bahan organik yang dapat menciptakan pori makro kontinou sehingga permeabilitas meningkat. Kondisi sifat fisik tanah pada lahan yang vegetasi lebat akan cenderung lebih mampu meresapkan air dibandingkan lahan yang memiliki vegetasi jarang. Begitu juga tipe, jenis, komposisi, dan kerapatan vegetasi sangat menentukan besar-kecilnya air meresap ke dalam tanah (Lee 1990).
13 Perbedaan permeabilitas antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan di tanah podsolik secara umum lebih besar dibandingkan latosol. Tanah latosol dan podsolik merupakan tanah dengan tekstur klei, tetapi berbeda dalam kemantapan agregatnya. Tanah latosol memiliki kemantapan agregat/struktur yang lebih baik dibandingkan tanah podsolik karena tingginya kandungan kation polivalen (seskuioksida). Kation polivalen (seskuiosida) yang tinggi di dalam tanah akan membentuk agregat yang mantap dan stabil. Semakin mantap agregat atau struktur tanah mampu mempertahankan ruang pori yang mempengaruhi permeabilitas di dalam tanah (Hillel 1971). Menurut Meyer dan Harmon (1984) tanah-tanah dengan tingkat agregasi tinggi, berstruktur remah/granular tingkat penyerapan airnya tinggi dibandingkan tanah yang tidak berstruktur atau susunan butir-butir primernya lebih rapat. Dengan demikian, adanya pengolahan di tanah podsolik menyebabkan mudah berubahnya kemampuan tanah dalam melewatkan air (permeabilitas) karena kurang stabilnya agregat tanah dan adanya horison argilik juga ikut menurunkan permeabilitas tanah. Kadar Air Lapang Kadar air lapang adalah kadar air tanah pada saat pengukuran di lapangan. Gambar 2 menunjukkan grafik penurunan kadar air lapang setelah tidak turun hujan selama empat hari berturut-turut, setiap kedalaman (0-10 cm, 10-20 cm, 2030 cm, 30-40 cm) di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga. Perbedaan kadar air lapang di tanah latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Gambar 2 kadar air lapang pada penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan di tanah latosol Darmaga selama 4 hari berturut-turut setelah kejadian hujan lebih rendah dibandingkan hutan sekunder. Hal ini menunjukkan kemampuan tanah menyimpan dan memegang air pada kedua lahan tersebut rendah. Rendahnya porositas total di kebun campuran dan tegalan dibandingkan hutan sekunder menyebabkan kemampuan tanah memegang air lebih rendah. Rendahnya kadar air di tegalan dan kebun campuran juga disebabkan oleh kadar bahan organik yang lebih rendah dibanding hutan sekunder. Berkurangnya jumlah serasah dan perakaran pada lahan kebun campuran dan tegalan akibat pembukaan lahan hutan sekunder menyebabkan rendahnya kadar bahan organik pada kedua lahan tersebut. Poerwowidodo (1987) mengemukakan bahwa bahan organik yang telah terurai akan mempunyai kemampuan memegang air yang tinggi. Kecenderungan atau kasus yang berbeda terjadi pada tanah podsolik Jasinga. Pada tanah ini kadar air lapang di hutan sekunder justru lebih rendah dibandingkan kebun campuran dan tegalan selama 4 hari berturut-turut tidak hujan. Hal ini disebabkan karena kondisi hutan sekunder pada tanah podsolik merupakan hutan yang seragam didominasi oleh pohon bambu (Dendrocalamus asper) dan tidak adanya tanaman penutup tanah pada lahan ini. Pada saat pengambilan sampel tanah untuk analisis kadar air lapang, selama 4 hari berturut-turut tidak hujan kondisi tanah podsolik pada lahan hutan sekunder lebih kering dan lepas. Karakteristik tanaman bambu memiliki daun yang berukuran kecil dan banyak maka luas permukaan spesifik lebih besar sehingga evapotranspirasi menjadi lebih tinggi. Serasah dari bambu memiliki intersepsi yang tinggi sehingga air hujan yang masuk ke dalam tanah menjadi rendah.
14
TLP
Kadar air (%v)
H+1
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
Podsolik 0-10 cm
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
TLP
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
H+1 H+2 H+3 H+4
Kadar air (%v)
Kadar air (%v)
TLP
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
TLP
TLP H+3
H+4
TLP
H+2
H+3
H+4
Podsolik 30-40 cm Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
H+2
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
Waktu (hari)
Latosol 30-40 cm
Waktu (hari)
H+2 H+3 H+4 Waktu (hari)
Podsolik 20-30 cm
H+1
H+2 H+3 H+4 Waktu (hari)
Kadar air (%v)
Kadar air (%v)
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
H+1
H+4
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
H+1
Latosol 20-30 cm
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
H+3
Podsolik 10-20 cm
Waktu (hari)
H+1
H+2
Waktu (hari)
Latosol 10-20 cm
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
TLP H+1
H+2 H+3 H+4 Waktu (hari)
Kadar air (%v)
Kadar air (%v)
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
Kadar air (%v)
Latosol 0-10 cm 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
75 70 65 60 55 50 45 40 35 30
Hutan sekunder Kebun campuran Tegalan
TLP
H+1
H+2 H+3 H+4 Waktu (hari)
Gambar 2 Kadar air lapang dan titik layu permanen (TLP) di berbagai kedalaman
15 Berdasarkan Tabel 6 perbedaan kadar air lapang antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan di tanah latosol mengalami penurunan dibandingkan tanah podsolik. Hal ini disebabkan karena hutan sekunder pada tanah podsolik didominasi bambu yang memiliki karakteristik daun berukuran kecil dan lebat sehingga evapotranspirasi lebih tinggi. Kadar air lapang merupakan salah satu sifat fisik yang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan lahan dan jenis tanaman yang ditanam. Tabel 6 Perbedaan kadar air lapang di dua jenis tanah, beberapa penggunaan lahan, kedalaman tanah, dan beberapa hari setelah hujan Penggunaan lahan Hutan sekunder
Kebun campuran
Tegalan Keterangan :
% perbedaan kadar air % perbedaan kadar air Kelapang tanah latosol *) lapang tanah podsolik *) dalaman (cm) H+1 H+2 H+3 H+4 H+1 H+2 H+3 H+4 0-10 10-20 20-30 30-40 0-10 10.7 12.2 12.8 15.0 -1.7 -6.4 -14.1 -19.1 10-20 9.4 6.5 11.5 11.3 -8.1 -13.2 -15.1 -29.0 20-30 8.1 5.9 6.5 8.3 -3.9 -15.2 -13.6 -20.5 30-40 -2.3 -2.7 1.9 0.7 -3.8 -5.9 -6.7 -11.1 0-10 15.5 8.7 9.8 10.3 0.1 -1.7 -11.3 -9.7 10-20 10.0 7.4 7.2 6.0 -6.6 -10.9 -13.8 -24.3 20-30 9.7 3.0 4.1 4.9 -16.5 -19.3 -13.2 -18.5 30-40 -4.8 6.1 7.8 8.2 -17.8 -9.7 -14 -5.3 H+1 artinya 1 hari setelah hujan berhenti dan seterusnya *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan Nilai minus (-) menunjukkan kadar air lapang meningkat Nilai positif (+) menunjukkan kadar air lapang menurun
Tahanan Penetrasi Tanah Tahanan penetrasi merupakan kekuatan tanah yang bersifat komposit, artinya kekerasan tanah dipengaruhi oleh beberapa sifat fisik tanah lainnya seperti kadar air, struktur tanah, indeks plastisitas, adhesi, atau kombinasinya (Davidson 1965). Hasil tahanan penetrasi tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga di beberapa penggunaan lahan disajikan pada Gambar 3. Perbedaan tahanan penetrasi tanah di tanah latosol Darmaga dan Podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 7.
16 3a
0,7
Tahanan penetrasi tanah (kg/cm²)
3b
0,8 0-10 cm
0,6
10-20 cm
0,5
20-30 cm
0,4
30-40 cm
0,3
Tahanan penetrasi tanah (kg/cm²)
0,8
0,2
0-10 cm
0,7 0,6
10-20 cm
0,5
20-30 cm
0,4
30-40 cm
0,3 0,2
0,1
0,1 H+1
H+2
H+3
H+4
H+1
Waktu (hari)
0,5
30-40 cm
0,4 0,3 0,2
0,6
20-30 cm 30-40 cm
0,5 0,4 0,3 0,2
0,1
0,1 H+1
H+2 H+3 Waktu (hari)
H+4
H+1
3e
0,8
Tahanan penetrasi tanah (kg/cm²)
Tahanan penetrasi tanah (kg/cm²)
20-30 cm
0-10 cm 10-20 cm
0,7
0,7
0-10 cm
0,6
10-20 cm 20-30 cm
0,5
30-40 cm
0,4 0,3 0,2
H+2 H+3 Waktu (hari)
H+4
3f
0,8 0,7 Tahanan penetrasi tanah (kg/cm²)
Tahanan penetrasi tanah (kg/cm²)
10-20 cm
0,6
H+4
3d
0,8 0-10 cm
0,7
H+3
Waktu (hari)
3c
0,8
H+2
0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2
0,1
0,1 H+1
H+2 H+3 Waktu (hari)
H+4
H+1
H+2 H+3 Waktu (hari)
H+4
Gambar 3 Tahanan penetrasi tanah pada beberapa penggunaan lahan hutan sekunder latosol (3a); hutan sekunder podsolik (3b); kebun campuran latosol (3c); kebun campuran podsolik (3d); tegalan latosol (3e); tegalan podsolik(3f) Gambar 3 menunjukkan bahwa tahanan penetrasi tertinggi di setiap kedalaman terdapat pada kebun campuran dan tegalan baik di kedua jenis tanah. Kadar air yang menurun dari hari pertama hingga hari keempat setelah kejadian hujan menyebabkan tanah menjadi lebih kering dan keras pada kedua jenis tanah sehingga tahanan penetrasi tanah meningkat. Penurunan kadar air di dalam tanah dapat meningkatkan tahanan penetrasi tanah. Tanah dengan kadar air yang rendah menyebabkan ikatan kohesinya menjadi tinggi. Akibatnya tanah sulit ditembus dan nilai tahanan penetrasi menjadi tinggi. Ketahanan terhadap penetrasi yang diberikan tanah kepada jarum penetrometer yang bergerak adalah gabungan parameter tanah, tarik, pemadatan, dan gesekan antara tanah dan logam penetrometer. Akan tetapi, komponen tarik hanya berperan jika tanah kering atau
17 kandungan air rendah sehingga pada kandungan air tinggi indeks penetrometer hanya ditentukan oleh geseran dan padatan (Islami dan Utomo 1995). Tahanan penetrasi tanah tertinggi baik di tanah latosol maupun podsolik di kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm terdapat pada lahan tegalan, tetapi untuk kedalaman 20-30 cm dan 30-40 cm terdapat pada kebun campuran. Pengolahan tanah di kedua lahan ini berbeda karena disesuaikan dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Lahan tegalan ditanami tanaman musiman sedangkan kebun campuran untuk tanaman tahunan. Tegalan merupakan areal tanah terbuka yang ditanami tanaman bertajuk pendek serta mengalami pengolahan tanah yang intensif hingga kedalaman 20 cm. Hal ini mengakibatkan tanah pada tegalan hingga kedalaman 20 cm lebih padat sehingga tahanan penetrasi tanah menjadi lebih tinggi. Berbeda halnya dengan kebun campuran, dengan tutupan tajuk yang agak rapat, ditanami oleh tanaman tahunan sehingga pengolahan tanah yang dilakukan hingga kedalaman 40 cm. Hal ini mengakibatkan tanah kebun campuran menjadi padat hingga kedalaman 40 cm sehingga tahanan penetrasi tanah menjadi lebih tinggi. Tabel 7 Perbedaan tahanan penetrasi tanah di dua jenis tanah, beberapa penggunaan lahan, kedalaman tanah, dan beberapa hari setelah hujan % perbedaan tahanan % perbedaan tahanan Kepenetrasi tanah latosol *) penetrasi tanah podsolik *) dalaman (cm) H+1 H+2 H+3 H+4 H+1 H+2 H+3 H+4 0-10 10-20 Hutan sekunder 20-30 30-40 0-10 16.7 -7.1 -11.1 -22.7 -64.3 -25.0 0 -34.0 10-20 -33.3 -6.3 -5.6 14.8 -40.0 3.3 18.4 9.1 Kebun campuran 20-30 -45.5 5.9 -11.1 -23.8 -41.2 9.7 6.1 -2.1 30-40 -42.9 33.3 0 4.5 -37.5 0 -12.5 -4.3 0-10 -8.3 -64.3 -27.8 -45.5 -64.3 -32.1 0 -43.4 10-20 -88.9 -31.3 -27.8 -14.8 -60.0 -3.3 13.2 -61.8 Tegalan 20-30 -18.2 0 -11.1 0 -5.9 19.4 15.2 -4.2 30-40 -100 -13.3 -5.6 -13.6 -6.3 14.8 -9.4 -2.1 Keterangan : H+1 artinya 1 hari setelah hujan berhenti dan seterusnya *) dihitung dengan menggunakan hutan sekunder sebagai acuan Nilai minus (-) menunjukkan tahanan penetrasi meningkat Nilai positif (+) menunjukkan tahanan penetrasi menurun
Penggunaan lahan
Berdasarkan Tabel 7 perbedaan tahanan penetrasi antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan pada tanah podsolik Jasinga lebih besar dibandingkan tanah latosol Darmaga. Hal ini dapat dikaitkan dengan tigginya bobot isi pada tanah podsolik dibandingkan tanah latosol. Selain itu, kemantapan agregat pada tanah latosol lebih tinggi dibandingkan podsolik sehingga ketika ada gaya perusak dari luar maka podsolik lebih mudah berubah sifat fisiknya. Agregat tanah yang rusak pada tanah podsolik akan menyumbat ruang pori sehingga tanah ini menjadi menjadi padat. Tanah yang padat memiliki bobot isi tinggi, menciptakan ruang pori mikro lebih banyak, dan sulit ditembus akar sehingga
18 tahanan penetrasi tinggi. Akibatnya perbedaan tahanan penetrasi pada podsolik lebih besar dibandingkan latosol.
KESIMPULAN Kesimpulan 1. Penggunaan lahan yang berbeda baik pada tanah latosol Darmaga dan podsolik Jasinga menyebabkan perbedaan karakteristik fisik tanah. Secara umum penggunaan lahan hutan sekunder memiliki karakteristik fisik tanah yang lebih baik dibandingkan kebun campuran dan tegalan. Hutan sekunder memiliki nilai porositas total, permeabilitas, air tersedia, dan kemampuan menahan air yang lebih tinggi dibandingkan kebun campuran dan tegalan. Sementara itu, nilai bobot isi dan tahanan penetrasi tanah yang lebih rendah. 2. Perbedaan nilai sifat fisik tanah antara hutan sekunder dengan kebun campuran dan tegalan pada tanah podsolik Jasinga secara umum lebih besar dibandingkan tanah latosol Darmaga. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah podsolik lebih mudah mengalami kerusakan sifat fisik dibandingkan tanah latosol.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi. Lembaga Sumberdaya Informasi. Bogor (ID): IPB Press. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press. Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Baskoro DPT, DM Henry. 2005. Pengaruh metoda pengukuran dan waktu pengayakan basah terhadap nilai indeks stabilitas agregat tanah. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 7(2):54-57. Baver LD, Gardner WH, Gardner WR. 1972. Soil Physics. Canada (..): John Wiley & Sons. Baver LD. 1959. Soil Physics. 3rd Ed. New York (US): John Wiley and Sons, Inc. Besar Penyelidikan Tanah. Bogor (ID): Archipel Press. Brady NC, Weil RR. 2008. The Nature and Propeties of Soils, 14th Ed. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Davidson DT. 1965. Penetrometer measurement. pp. 472-483. In C. A. Black. &. Methods of Soil Analysis. Part I. Monograph 9. Am. Soc.Agron. Inc. Madison. Departemen Kehutanan. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Edisi I. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Dudal R, Soepraptohardjo.1957. Soil Clasifcation in Indonesia. Pemberitaan Balai Endriani, Zurhalena. 2008. Kajian beberapa sifat fisika andisol pada beberapa penggunaan lahan dan beberapa kelerengan di Kecamatan Gunung Kerinci. Prosiding. Dalam Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Universitas Lampung. 17-18 November 2008.
19 Foth DH. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta(ID):Terjemahaan Gadjah Mada University Press. Hairiah K, Suprayogo D, Widianto, Berlian, Suhara E, Mardiastuning A, Widodo, RH, Prayogo C, Rahayu S. 2004a. Alih guna Lahan hutan menjadi lahan agroforestri berbasis kopi: ketebalan seresah, populasi cacing tanah dan makroporositas tanah. Agrivita 26(1): 68-80. Hairiah K, Widianto B, Suprayogo D, Widodo RH, Purnomosidhi P, Rahayu S, Van Noordwijk M. 2004b. Ketebalan Serasah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai (DAS) Sehat. Bogor (ID): World Agroforesty Centre. Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo Hillel D. 1971. Soil and Water. Physical Principles and Processes. New YorkSan Francisco-London (US): Acad. Press. Hillel D. 1980. Soil and Water. Physical Principles and Processes. New York(US):Acad. Press Hillel D. 1997. Pengantar Fisika Tanah. Susanto RH, Purnomo RH, Penerjemah. Mitra Gama Widya. Penerjemah dari: Introduction to Soil Physics Islami T, Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang (ID):IKIP Semarang Press. Junedi H. 2010. Perubahan sifat fisika ultisol akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian. J.Hidrolitan,1:2:10-14. Laegard M, OC Beckman, O Kaarstad. 1999. Agriculture Fertilizer and the Environment. Cabi Publishing. In Association with Norsh Hydro Asa. Lal R, Greenland DJ. 1979. Soil Physical Properties and Crop Production and The Tropics. New York (US): John Wiley and Sons. Lal R, Moldenhauer WC. 1988. Effect of soil erosion on crop productivity. CRC Critical Review in Plant Science. Vol. 5. Issue 4: 303-366 Lee R. 1990. Hidrologi Hutan. Yogyakarta (ID): Gama Press. Liebenow AM, WJ Elliot, JM Laflen, KD Kohl. 1990. Interill erodibility collection and analysis of data from cropland soil. Am. Soc. Agric. Eng. 33(6):1882-1887. Lowery B, Schuler RT. 1994. Duration and effects of compaction on soil and plant growth in Wisconsin. Soil Tillage. Res. 29: 205-210. Lull HW, Reinhart KG. 1972. Forests and floods in the Eastern United States. USDA Forest Serv. Northeast. Forest Exp. Stn. Res. Pap. NE-226. 94- pp. Meyer LD, WC Harmon. 1984. Suspectibility of agricultural soils to interill erosion. Soil Sci. Soc. Am. J.8:1152-1157. Mohr EJC, Van Baren FA. 1954. Tropical Soil. London: Interscience Publishing. Monde A. 2010. Pengendalian aliran permukaan dan erosi pada lahan berbasis kakao di DAS Gumbasa, Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng III (2) : 131 – 136. Parapasan YR, Subiantoro, M Utomo.1995. Pengaruh sistem slah sanah terhadap kekerasan dan kerapatan lindak tanah pada musim tanam XVI. Pros. Sem. V. BDP-OTK. Lampung. Poerwowidodo. 1987. Lima Watak Fisis Tanah. Bogor (ID): IPB. Rowell DL. 1997. Soil Science. Methods and Applications. Longman Group UK Limited. London-Singapore. 350pp.
20 Saidi A, Rostim A. 2003. Kajian sifat fisika dan kimia tanah di bawah beberapa jenis penggunaan lahan di lereng Gunung Tandikat Kabupaten Padang Pariaman. Dalam Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Padang 21-23 Juli 2003. Saidi A. 2000. Kajian degradasi tanah di Sub DAS Sumani Solok Sumatera Barat. Makalah pada Kongres Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia. Medan 2627 Mei 2000. Sarief EH. 1989. Fisika Kimia Tanah Pertanian. Bandung (ID):Pustaka Buana. Sinukaban N, Tarigan SD, Purwakusuma W, Baskoro DPT, Wahyuni ED. 2000. Analysis of watershed functions. Sediment transfer across various types of filter strips. IPB. Bogor Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): IPB Press. Spurr HS, VB Burton. 1980. Forest Ecology. 3rd Ed. Toronto. John Wiley and Sons. Stallings. 1957. Soil Conservation. USA: Prentice Hall. Inc. Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. 2nd Ed. New York (US): John Wiley and Sons. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. 2nd Ed. New York (US): John Wiley and Sons. Suprayogo D, Widianto, Purnomosidi P, Widodo RH, Rusiana F, Aini ZZ, Khasanah N, Z Kusuma. 2004. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih guna lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur: kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita 26 (1):60-68. Tan KH. 2009. Environmental Soil Science. 3rd Ed. New York (US): CRC Press, Taylor and Francis Group. 557 p. Vepraskas MJ. 1984. Cone index of loamy sands as influenced by pore size distribution and effective stress. Soil Sci. Soc. Am. J. 48:1220-1225. Wesley LD. 1973. Mekanika Tanah. Jakarta(ID):Badan Penerbit Pekerja Umum. Widianto, Noveras H, Supratogo D, Purnomosidhi P, MV Noordwijk. 2004. Konversi hutan menjadi lahan pertanian: “Apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan agroforestri berbasis kopi?”. Agrivita 26 (1): 47- 52. Winanti T. 1996. Pekarangan sebagai media peresapan air hujan dalam upaya pengelolaan sumberdaya air. Konferensi Nasional Pusat Studi Lingkungan BKPSL, Universitas Udayana, Denpasar Bali 22-24 Oktober 1996. Yulnafatmawita, Adriani, Hakim AF. 2011. Pencucian bahan organik tamah pada tiga penggunaan lahan di daerah hutan hujan tropis super basah Pinang-Pinang Gunung Gadut Padang. J.Solum VIII (1):34-42.
21
Lampiran 1 Kandungan serasah di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Penggunaan lahan
Ulangan
Serasah (g/m2)
1 2 3 1 2 3 1 2 3
688.61 836.96 676.34 547.93 271.94 123.28 60.11 37.00 32.98
Hutan sekunder
Kebun campuran
Tegalan
Rata-rata 733.97
314.38
43.36
Lampiran 2 Kandungan serasah di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Penggunaan lahan Hutan sekunder
Ulangan 1 2 3
Serasah (g/m2)
Rata-rata
309.76 262.72
388.36
592.60 169.69 123.73 99.67 53.72 44.38 44.95
1 2 3 1 2 3
Kebun campuran
Tegalan
131.03
47.68
Lampiran 3 Bobot isi di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Penggunaan lahan
Kedalaman (cm) 0-20
Hutan sekunder 20-40
0-20 Kebun campuran 20-40
0-20 Tegalan 20-40
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bobot isi (g/cm³) 0.81 0.79 0.83 0.91 0.93 0.88 0.96 0.92 0.94 1.05 0.98 1.01 0.91 0.93 1.05 0.93 0.94 1.06
Rata-rata
0.81
0.91
0.94
1.01
0.96
0.97
22 Lampiran 4 Bobot isi di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Penggunaan lahan
Kedalaman (cm)
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0-20 Hutan sekunder 20-40
0-20 Kebun campuran 20-40
0-20 Tegalan 20-40
Bobot isi (g/cm³) 0.79 0.81 0.96 0.94 0.93 0.99 0.96 0.99 1.01 0.98 1.08 1.15 0.97 1.16 0.91 0.94 1.11 1.00
Rata-rata
0.85
0.96
0.99
1.07
1.01
1.01
Lampiran 5 Berat jenis partikel, porositas total, kadar air di berbagai pF, dan air tersedia di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Penggunan lahan HS 0-20 cm HS 20-40 cm KC 0-20 cm KC 20-40 cm T 0-20 T 20-40
Berat jenis partikel (g/cm³)
Porositas total (%v)
pF 2 (%v)
pF 2.54 (%v)
pF 4.2 (%v)
Air tersedia (%v)
2.57
68.55
53.29
50.79
31.14
19.66
2.6
65.19
51.71
50.66
33.52
17.14
2.58
63.66
51.94
49.00
35.98
13.03
2.61
61.14
48.95
48.24
36.97
11.27
2.58
62.79
53.55
47.36
35.84
11.52
2.6
62.56
51.80
49.41
36.44
12.96
Keterangan : %v = % volume HS = Hutan sekunder KC = Kebun campuran T = Tegalan
23 Lampiran 6 Berat jenis partikel, porositas total, kadar air di berbagai pF, dan air tersedia di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Penggunan lahan
Berat jenis partikel (g/cm³)
HS 2.57 0-20 cm HS 2.59 20-40 cm KC 2.60 0-20 cm KC 2.61 20-40 cm T 2.61 0-20 T 2.63 20-40 Keterangan : %v = % volume HS = Hutan sekunder KC = Kebun campuran T = Tegalan
Porositas total (%)
pF 2 (%v)
pF 2,54 (%v)
pF 4,2 (%v)
Air tersedia (%)
66.87
57.10
55.62
33.90
21.72
63.18
58.05
56.60
37.72
18.89
61.85
60.25
55.32
43.16
12.16
59.07
63.52
54.09
44.00
10.09
61.11
69.33
60.53
44.40
16.13
61.53
60.14
58.49
44.25
14.24
Lampiran 7 Permeabilitas tanah di beberapa penggunaan lahan pada tanah latosol Darmaga Penggunaan lahan
Kedalaman (cm) 0-20
Hutan sekunder 20-40
0-20 Kebun campuran 20-40
0-20 Tegalan 20-40
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Permeabilitas (cm/jam) 44.91 37.10 42.11 4.67 13.64 8.55 16.59 5.80 0.03 11.25 4.02 1.49 27.18 2.39 8.80 0.15 2.84 5.18
Rata-rata 41.38
8.95
7.47
5.59
12.79
2.73
24 Lampiran 8 Permeabilitas tanah di beberapa penggunaan lahan pada tanah podsolik Jasinga Kedalaman (cm)
Penggunaan lahan
1
Permeabilitas (cm/jam) 11.53
2 3 1 2 3
20.79 72.56 0.05 8.46 3.15
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
13.20 6.84 1.15 0.00 3.20 0.27 12.91 0.65 8.51 0.00 0.33 0.00
Ulangan
0-20 Hutan sekunder 20-40
0-20 Kebun campuran 20-40
0-20 Tegalan 20-40
Rata-rata
34.96
3.88
7.06
0.14
7.35
0.11
Lampiran 9 Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan hutan sekunder pada tanah latosol Darmaga Ulangan
HS1
HS2
HS3
Kedalaman 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm
H+1 TP (kg/cm²) 0 0 0 0.11 0.18 0.10 0.13 0 0.17 0.17 0.19 0.10
H+2 KA (%v) 52.44 54.69 50.61 47.08 61.42 53.62 51.70 49.73 58.34 56.30 58.45 51.02
Keterangan : HS = Hutan sekunder 1,2,3 = Ulangan pada hutan sekunder TP = Tahanan penetrasi tanah KA = Kadar air lapang %v = Persen volume
TP (kg/cm²) 0.13 0.14 0.19 0.14 0.16 0.19 0.17 0.16 0.14 0.14 0.14 0.15
H+3 KA (%v) 46.88 43.90 43.87 46.51 49.44 52.13 48.22 49.94 54.03 53.64 47.05 46.18
TP (kg/cm²) 0.17 0.15 0.21 0.29 0.11 0.17 0.20 0.12 0.25 0.21 0.15 0.14
H+4 KA (%v) 45.17 44.26 44.31 47.39 52.50 50.87 47.19 48.43 51.36 53.12 45.86 46.89
TP (kg/cm²) 0.23 0.27 0.20 0.19 0.21 0.32 0.22 0.26 0.21 0.24 0.22 0.21
KA (%v) 45.02 44.45 45.84 45.78 51.97 51.81 46.36 47.69 49.13 45.18 44.16 46.96
25 Lampiran 10 Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan kebun campuran pada tanah latosol Darmaga Ulangan
Kedalaman
0-10 cm 10-20 cm KC1 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm KC2 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm KC3 20-30 cm 30-40 cm
H+1 TP (kg/cm²) 0.16 0.21 0.28 0.00 0.00 0.00 0.00 0.14 0.15 0.15 0.20 0.15
H+2
H+3
KA TP KA TP KA (%v) (kg/cm²) (%v) (kg/cm²) (%v) 49.97 0.14 40.57 0.22 40.21 47.10 0.15 43.66 0.20 40.90 47.22 0.175 42.47 0.18 48.70 51.05 0.10 50.61 0.18 49.80 50.09 0.16 39.54 0.20 40.13 48.12 0.15 42.17 0.17 42.73 47.76 0.14 44.77 0.21 42.01 47.49 0.11 48.57 0.15 42.76 53.84 0.15 51.88 0.17 49.58 53.95 0.20 48.08 0.20 47.56 52.68 0.16 43.62 0.21 37.74 52.98 0.09 47.28 0.21 47.39
Keterangan : KC = Kebun campuran TP = Tahanan penetrasi tanah %v = Persen volume
H+4 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.33 40.70 0.25 41.30 0.27 41.15 0.16 44.95 0.28 41.34 0.26 42.56 0.27 41.62 0.26 45.22 0.21 42.14 0.20 41.53 0.26 42.27 0.22 49.24
1,2,3 = Ulangan pada kebun campuran KA = Kadar air lapang
Lampiran 11 Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan tegalan pada tanah latosol Darmaga Ulangan
T1
T2
T3
Kedalaman
H+1
H+2
H+3
H+4
0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm
TP (kg/cm²) 0.11 0.14 0.15 0.09 0.10 0.18 0.13 0.11 0.19
KA (%v) 45.58 47.10 47.22 54.43 46.10 47.09 45.21 47.49 53.84
TP (kg/cm²) 0.30 0.21 0.19 0.16 0.24 0.18 0.16 0.19 0.15
KA (%v) 48.23 46.57 43.21 44.43 42.47 45.24 45.25 42.11 46.48
TP (kg/cm²) 0.21 0.22 0.13 0.23 0.20 0.26 0.30 0.20 0.28
KA (%v) 47.48 47.61 45.15 46.41 46.26 50.12 45.26 42.28 40.71
TP (kg/cm²) 0.35 0.19 0.22 0.23 0.28 0.39 0.29 0.26 0.34
KA (%v) 44.56 47.68 42.37 42.96 46.85 43.61 43.54 42.74 39.64
10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm
0.20 0.12 0.22
53.95 52.68 52.98
0.24 0.16 0.15
46.83 46.55 47.33
0.20 0.17 0.15
39.76 41.35 42.89
0.34 0.13 0.25
41.64 43.69 43.27
Keterangan : T = Tegalan %v = Persen volume TP = Tahanan Penetrasi
KA = Kadar air 1,2,3 = Ulangan pada tegalan
26 Lampiran 12 Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan hutan sekunder pada tanah podsolik Jasinga Ulangan
HS1
HS2
Kedalaman 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm
H+1 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.12 62.89 0.12 63.35 0.14 63.13 0.15 63.60 0.16 50.73 0.16 54.73 0.22 53.51
0.16 55.43 30-40 cm 0.15 68.88 0-10 cm 0.16 63.70 10-20 cm HS3 0.15 60.90 20-30 cm 0.17 62.71 30-40 cm Keterangan : KC = Kebun campuran 1,2,3 = Ulangan pada kebun campuran TP = Tahanan penetrasi tanah KA = Kadar air %b = Persen volume
H+2 TP KA (kg/cm) (%v) 0.33 66.74 0.27 59.97 0.35 61.58 0.29 63.61 0.34 47.09 0.41 47.61 0.34 43.17 0.30 0.19 0.22 0.25 0.22
53.65 56.92 53.79 52.37 58.63
H+3 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.35 58.91 0.24 54.23 0.37 55.52 0.25 59.34 0.31 44.39 0.40 48.68 0.41 48.64 0.41 0.44 0.50 0.20 0.31
50.00 51.65 51.45 52.08 54.67
H+4 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.46 58.35 0.50 52.07 0.45 59.00 0.50 58.95 0.68 38.08 0.64 36.64 0.51 39.07 0.57 0.43 0.51 0.48 0.32
45.69 48.22 44.36 49.03 52.32
Lampiran 13 Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan kebun campuran pada tanah podsolik Jasinga Ulangan
KC1
KC2
KC3
Kedalaman 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm 0-10 cm 10-20 cm 20-30 cm 30-40 cm
H+1 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.16 62.98 0.16 62.07 0.20 59.11 0.24 59.88 0.30 60.65 0.20 64.54 0.25 62.94 0.18 63.91 0.24 61.89 0.26 69.90 0.29 62.45 0.26 64.77
Keterangan : KC = Kebun campuran 1,2,3 = Ulangan pada kebun campuran TP = Tahanan penetrasi tanah KA = Kadar air %v = Persen volume
H+2 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.28 61.34 0.20 57.80 0.35 41.99 0.28 60.29 0.37 59.81 0.35 63.98 0.22 67.87 0.29 63.93 0.41 60.58 0.34 60.89 0.27 71.14 0.25 62.11
H+3 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.25 61.01 0.30 55.37 0.34 57.98 0.65 55.47 0.54 56.85 0.29 58.76 0.30 60.37 0.28 58.31 0.32 58.93 0.35 63.56 0.30 59.17 0.15 61.16
H+4 TP KA (kg/cm²) (%v) 0.58 60.06 0.49 54.67 0.59 54.69 0.50 55.16 0.83 54.78 0.58 59.75 0.45 63.48 0.51 61.07 0.73 57.42 0.45 57.21 0.43 59.08 0.46 58.11
27 Lampiran 14 Tahanan penetrasi tanah dan kadar air lapang di lahan tegalan pada tanah podsolik Jasinga H+1 Ulangan
Kedalaman
TP (kg/cm²)
0-10 cm 0.32 10-20 cm 0.26 T1 20-30 cm 0.21 30-40 cm 0.20 0-10 cm 0.23 10-20 cm 0.29 T2 20-30 cm 0.16 30-40 cm 0.17 0-10 cm 0.15 10-20 cm 0.17 T3 20-30 cm 0.16 30-40 cm 0.13 Keterangan : T = Tegalan 1,2,3 = Ulangan pada tegalan TP = Tahanan penetrasi tanah KA = Kadar air %v = Persen volume
H+2 KA (%v) 60.76 65.87 68.96 71.37 62.60 64.61 67.93 71.59 58.93 63.34 69.98 71.14
TP (kg/cm²) 0.36 0.31 0.25 0.23 0.33 0.31 0.30 0.24 0.42 0.32 0.20 0.21
H+3 KA (%v) 58.56 58.90 60.04 64.31 57.53 61.13 65.11 64.08 57.65 58.95 62.30 64.54
TP (kg/cm²) 0.35 0.25 0.25 0.28 0.36 0.30 0.40 0.39 0.41 0.43 0.20 0.39
H+4 KA (%v) 56.31 60.41 56.77 64.06 58.59 58.54 58.98 62.34 57.61 56.67 61.19 60.62
TP (kg/cm²) 0.72 1.17 0.49 0.38 0.81 0.89 0.45 0.62 0.75 0.63 0.57 0.46
KA (%v) 48.13 45.54 55.36 57.91 56.48 60.17 63.35 54.94 54.12 59.70 55.62 52.36
28
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1991 di Timika. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Maju Hutahaean dan Ibu Nursalam Napitupulu. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2006 di SMP YPJ Kuala Kencana. Kemudian melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2009 di SMAN 20 Bandung. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Agrogeologi tahun 2011 dan Fisika Tanah tahun 2013. Selain itu, penulis juga berperan aktif dalam kepanitian di Institut Pertanian Bogor.