KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN GENOTIPE HIBRIDA ANTARA HUNA BIRU (Cherax albertisii) DENGAN HUNA CAPITMERAH (Cheraxquadricarinatus)
IRIN IRIANA KUSMINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Karakteristik Fenotipe dan Genotipe Hibrida antara Huna biru (Cherax albertisii) dengan Huna Capitmerah (Cherax quadricarinatus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2009
Irin Iriana Kusmini NIM C151060221
ABSTRACT
Irin Iriana Kusmini. Phenotype and Genotype Characteristics of Blue Crayfish (Cherax albertisii) and Red Claw (Cherax quadricarinatus) Hybrid. Under direction of Komar Sumantadinata, Estu Nugroho and Alimuddin Freshwater crayfish is an endemic species of Papua and Australia and one of specific fisheries commodity in these regions.This species includes in family of Parastacidae and genus of Cherax. Morphologically blue crayfish and red claw have a similarity in body shape and colors. Because of inbreeding pressure the production of red claw started to be decreased. Hybridization between blue crayfish and red claw was aimed to increase genetic variation of crayfish in order to achieve better quality in growth and survival rate. RAPD analysis was conducted to determine the genetic variation of the crayfish offspring. The result showed that at four month-old, the growth of blue crayfish and red claw hybrid was similar to the non hybrid crayfish. After reached five month-old, the hybrid grew faster than the non hybrid. Hybridization of male blue crayfish with female red claw (AR) produced hybrid that had 25% heterosis effect on the increase of body weight. The hybrid had higher heterozigosity value (0,187-0,290) than that of the non hybrid (0,2211-0,0997). Key words: Redclaw, Blue Crayfish, Phenotype, Genotype, Hybrid
RINGKASAN Irin Iriana Kusmini. Karakteristik Fenotipe dan Genotipe Hibrida antara Huna Biru (Cherax albertisii) dengan Huna Capitmerah (Cherax quadricarinatus). Dibimbing oleh Komar Sumantadinata, Estu Nugroho dan Alimuddin Lobster air tawar adalah jenis endemik dan merupakan komoditas perikanan spesifik lokal Papua dan Australia, termasuk famili Parastacidae dan genus Cherax. Secara morfologi, ada persamaan bentuk dan warna antara huna biru dengan huna capitmerah. Di duga akibat tekanan inbreeding produksi huna capitmerah mulai menurun. Pada penelitian ini dilakukan hibridisasi antar huna dengan tujuan untuk meningkatkan keragaman genetiknya sehingga diperoleh kualitas benih huna yang lebih baik dalam hal pertumbuhan dan kelangsungan hidup (sintasan). Percobaan hibrida huna biru dengan huna capitmerah ini dilaksanakan selama 9 bulan di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung – Bogor. Analisis PCR-RAPD dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Sempur- Bogor. Induk huna biru dengan huna capitmerah dipijahkan secara alami dalam akuarium ukuran 50 x 50 x 40 cm. Rancangan percobaaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu : 1. jantan huna biru x betina huna biru (AA); 2. jantan huna biru x betina huna capitmerah (AR); 3. jantan huna capitmerah x betina huna capitmerah (RR); 4. jantan huna capitmerah x betina huna biru (RA); Benih-benih yang dihasilkan dari masing- masing induk betina dari perlakuan pemijahan di atas dipelihara secara terpisah sesuai dengan perlakuan dan ulangan. Kepadatan benih untuk masing- masing perlakuan dan ulangan adalah 80 ekor/ bak tembok, ukuran bak tembok 2x 2,5x 0,8 m, dengan sistem air mengalir. Pakan yang diberikan berupa pellet udang sebanyak 3% dari bobot massa per hari. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap 1 bulan sekali, dengan cara sampling 25 % atau 20 ekor. Benih ditimbang bobotnya per ekor dan diamati perbedaan morfologis dengan cara mengukur panjang total, panjang standar, panjang kepala (cm). Panjang capit dan lebar capit (cm) diukur setelah berumur 5 bulan. Pemeliharaan untuk mengamati berat rataan dan perbedaan morfologis serta kelangsungan hidup dilakukan selama 9 bulan. Rasio jenis kelamin diamati setelah benih berumur 5 bulan. Setiap tolok ukur kemudian dibandingkan terhadap persilangan lainnya dan terhadap turunan masing- masing induknya. DNA diekstraksi menggunakan metode Phenol-chloroform (Nugroho, 1997). Primer yang digunakan dalam analisis PCR-RAPD ini adalah OPA 08 dengan urutan basa 5’- GTGACGTAGG-3’. Hasil amplifikasi PCR kemudian dipisahkan secara elektroforesis dan diamati dengan illuminator (uv) serta dicetak gambarnya dengan polaroid. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan turunan hibrida antara huna capitmerah dengan huna biru sampai umur 4 bulan relatif sama dengan nonhibrida. Pada umur 5 bulan pertumbuhan hibrida lebih cepat dibandingkan
dengan yang nonhibrida. Hibridisasi antara jantan huna biru dengan betina huna capit merah (AR) memberikan efek heterosis 25 % pada pertumbuhan bobot badannya, sedangkan RA lebih rendah. Heterozigositas RA lebih tinggi daripada AR, jarak genetik terjauh antara huna AA dengan huna RR, sedangkan jarak genetik terdekat adalah antara huna AR dengan huna RA. Nilai heterozigositas hibrida lebih tinggi (0,187-0,290) dibandingkan dengan nonhibrida (0,09970,2211). Nilai heterosis AR maupun RA untuk bobot tubuh dan lebar capit menunjukkan yang jantan lebih tinggi dari pada betina, untuk panjang capit perlakuan AR betina mempunyai nilai heterosis yang tinggi dibandingkan dengan jantan. Rasio jenis kelamin dan sintasan tidak mempunyai nilai heterosis signifikan. Kata kunci : Huna Biru (Cherax albertisii), Huna Capitmerah (Cherax quadricarinatus), fenotipe, genotipe, hibrida, heterosis
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluiruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN GENOTIPE HIBRIDA ANTARA HUNA BIRU (Cherax albertisii) DENGAN HUNA CAPITMERAH (Cherax quadricarinatus)
IRIN IRIANA KUSMINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA.
Judul Tesis
: Karakteristik fenotipe dan genotipe hibrida antara huna biru (Cherax albertisii) dengan huna capitmerah (Cherax quadricarinatus) : Irin Iriana Kusmini : C151060221
Nama NIM
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc. Anggota
Dr. Alimuddin, S.Pi., M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S.
Tanggal Ujian : 26 Oktober 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr. Ir. Khairil A Notodiputro. M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillahirobil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hikmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis yang berjudul “ Karakteristik fenotipe dan genotipe hibrida antara huna biru (Cherax albertisii) dengan huna capitmerah (Cherax quadricarinatus)”. Atas selesainya penelitian dan penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Komar Sumantadinata, Dr. Estu Nugroho, dan Dr. Alimuddin selaku komisi pembimbing,
serta Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati,
DEA. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar yang telah memberikan fasilitas penuh selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya selama ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mulyasari STP, Glenni H.H. SPi dan Catur A.P. MSi, serta rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2006, yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan penyusunan tesis. Dalam penyusunan tesis ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Namun demikian, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan. Amin.
Bogor, Oktober 2009 Irin Iriana Kusmini
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 Agustus 1962 dari ayah Kusen (Alm) dan ibu Titi Suparti (Almh). Penulis merupakan anak ke delapan dari sepuluh bersaudara. Tahun 1980 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Bandung dan pada tahun
1980 lulus seleksi masuk pada Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Bandung dan lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1991 diterima sebagai staf peneliti di Pusat Riset Perikanan Budidaya, dari tahun 2003 sampai sekarang ditempatkan sebagai peneliti di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor. Penulis melanjutkan studi ke Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan izin dari Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor dan Kepala Badan Riset Kelautan Perikanan atas biaya sendiri.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
xv
PENDAHULUAN ................................................................................
1
Latar Belakang .......................................................................... Perumusan dan Pendekatan Masalah ........................................ Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. Hipotesis ...................................................................................
1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Morfologi ........................................................ Habitat Huna Biru dan Huna Capitmerah ................................ Hibridisasi .................................................................................. Manfaat Hibridisasi ................................................................... Heterosis .................................................................................... Keragaman Genetik pada Hibrida .............................................
5 6 8 10 12 12
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... Rancangan Perlakuan ................................................................. Pemijahan dan Pembenihan ...................................................... Pembesaran Benih Huna di Bak Tembok ................................. Prosedur Analisis RAPD ........................................................... Parameter yang Diamati ............................................................. Analisis Data .............................................................................
16 16 17 18 19 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Turunan Huna Hibrida ……………………....... Efek Heterosis …………………………………............... …. Heterozigositas dan Polimorfisme ............................................
22 22 26
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan …………………………………………………… Saran …………………………………………………………...
32 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
33
LAMPIRAN ..........................................................................................
38
xii
DAFTAR TABEL
No
Uraian
Halaman
1 Deskripsi genetik huna biru berdasarkan marker MtDNA .................. 15 2 Deskripsi genetik huna capitmerah berdasarkan marker MtDNA .......... 15 3 Skema perlakuan pemijahan huna biru dengan huna capitmerah ........... 16 4 Hasil pengukuran kualitas air .................................................................. 17 5 Primer RAPD yang digunakan untuk analisis DNA .................................20 6 Nilai efek heterosis (%) AR dan RA dalam hal pertumbuhan bobot tubuh (g), panjang tubuh, panjang kepala, panjang capit dan lebar capit (cm) turunan (F1) antara huna biru dan huna capitmerah pada umur 5 bulan dan 9 bulan ........................................... 22 7 Nilai efek heterosis (%) AR dan RA dalam hal perbedaan pertumbuhan jantan dan betina F1 huna ............................................... 25 8 Sintasan dan rasio kelamin jantan dan betina turunan (F1) hasil hibridisasi antara huna biru dengan huna capitmerah ............................. 25 9
Heterozigositas dan presentase polimorfisme hibrida hasil hibridisasi antara huna capitmerah & huna biru hasil RAPD menggunakan primer OPA-08 ....................................................................................... 26
10 Jarak genetik F1 hibrida hasil hibridisasi antara huna biru (AA) dengan huna capitmerah (RR).................................................................. 27
xiii
DAFTAR GAMBAR
No
Uraian
Halaman
1 Diagram alir tentang hibridisasi ....................................................
4
2 Huna biru ........................................................................................
5
3 Huna capitmerah ........................................................................... ..
6
4 Perkembangan bobot tubuh, panjang (total, standar, kepala) F1 hasil hibridisasi antara huna biru dengan huna capitmerah sampai umur 9 bulan …………………………………................. .
23
5 Dendrogram F1 hibrida hasil hibridisasi antara huna biru (AA) dengan huna capit merah (RR)………............................................
27
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No
Uraian
Halaman
1 Perbedaan bentuk tubuh induk jantan & betina huna biru dengan huna capitmerah ………………………………................
38
2 RAPD hibrida huna capit merah dengan huna biru menggunakan primer OPA-8 ……………………………………
41
3 Hasil analisa karakter fenotipe F1 umur 5 bulan dan 9 bulan menggunakan ANOVA dengan software SPSS 11,5 .................
42
4 Hasil analisa karakter genetik dengan RAPD .............................
50
xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Lobster air tawar
adalah jenis endemik dan merupakan komoditas
perikanan spesifik lokal Papua dan Australia, termasuk famili Parastacidae dan genus Cherax. Jumlah jenis Cherax asli Indonesia sekitar 12-15 spesies. Jenis Cherax yang potensial untuk dibudidayakan untuk tujuan konsumsi diantaranya C. monticula, C. lorentzi, C. lakembutu dan C. albertisii (Sukmajaya & Suharjo 2003). Namun demikian, hanya jenis huna biru (Cherax albertisii) asal Papua dan huna capitmerah (Cherax quadricarinatus) asal Australia bagian tenggara (Queensland) yang telah didomestikasikan dan telah terkuasai pembenihan dan budidayanya. Hal ini disebabkan karena huna biru dan huna capitmerah lebih mudah dalam beradaptasi pada lingkungan budidaya di luar habitatnya dan tidak ada masalah dalam reproduksinya (Kusmini & Nugroho, 2007). Huna capitmerah telah berkembang lebih awal dibandingkan dengan huna biru, sejak tahun 2003 di Indonesia budidaya huna capitmerah mulai berkembang dengan pesatnya, sedangkan huna biru baru dikenal di pembudidaya pada tahun 2006 dan kurang berkembang diduga tingkat keragaman genetiknya masih tinggi. Yogyakarta pada tahun 2004-2006 memiliki 800 orang lebih pembudidaya huna capitmerah, bulan April 2008 hanya ada 4 pembudidaya yang panen. Budidaya huna capitmerah di Tulungagung berkembang pesat pada tahun 2005-2006, namun pertengahan tahun 2007 usaha pembenihan dan pembesaran mulai berkurang (Kusmini, 2009). Produksi huna capitmerah mulai menurun hal ini dapat disebabkan oleh pengelolaan induk dalam budidaya dan terjadi silang dalam (inbreeding) yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan keragama genetik, salah satu program
untuk meningkatkan
keragaman genetik adalah
dengan hibridisasi. Huna capitmerah satu genus tetapi berbeda spesies dengan huna biru dan mempunyai kesamaan morfologi, sehingga untuk meningkatkan keragaman benih sebar huna capitmerah perlu penelitian hibrid antara huna capitmerah dengan huna biru.
1
Hibridisasi adalah memanfaatkan sifat heterosis karena sifat dominan dan heterozigot pada banyak lokus (Kapusckinski & Jacobson, 1987) atau interaksi dari alela pada lokus (Tave, 1993). Hibridisasi berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot (Falconer, 1996). Interspesifik hibridisasi adalah persilangan antar ikan yang berbeda species, yang dimaksudkan untuk memperoleh turunan yang tumbuh cepat, steril (triploid), tahan terhadap penyakit dan tahan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim (Hickling, 1968). Hibrid channel catfish betina >< catfish biru jantan menghasilkan turunan yang tumbuh lebih cepat dan lebih seragam (Brooks et al, 1982). Demikian juga dengan persilangan ikan- ikan jenis rainbow trout,
dan brook trout tumbuh lebih cepat dari pada garis parental
(induk) (Tave, 1993).
Behrends & Smitherman (1984) menyilangkan tilapia
aurea yang tahan dingin dengan Red tilapia untuk menghasilkan populasi red tilapia yang tahan dingin. Menurut Lawrence (2005), di Australia persilangan antara betina Cherax roduntus x jantan Cherax albitus menghasilkan turunan jantan semua, karena itu pertumbuhannya 4,8 kali lebih cepat setelah dipelihara selama 424 hari. RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA) adalah suatu aplikasi standar dari Polymerase Chain Reaction (PCR) yang digunakan untuk mendeteksi perbedaan polimorfik DNA yang ada antara spesies atau antar individu. Analisis RAPD terdiri dari tiga bagian, yaitu ekstraksi DNA, PCR dan elektroforesis (Soewardi, 2007). Semakin banyak jumlah primer yang digunakan semakin besar peluang untuk mendeteksi polimorfik DNA, sehingga lebih mudah menganalisis keragaman genetiknya. Primer
RAPD yang digunakan dalam penelitian ini
adalah OPA08, OPA11, OPB02, OPB06, OPC03 dan OPC09, sebagaimana yang telah dilakukan Nguye n et al. (2004) di Australia, dengan menggunakan 60 primer, 10 primer diantaranya yang disebut di atas menunjukkan adanya 31 locus yang berbeda antara Cherax destructor dengan turunan pertama (F1) dan turunan ke dua (F2).
2
Perumusan dan Pendekatan Masalah Ketersediaan benih yang bermutu unggul, baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas, seringkali merupakan masalah yang dihadapi dalam budidaya ikan, termasuk budidaya lobster air tawar. Umumnya pada tahapan awal budidaya yang sedang berkemb ang seperti lobster air tawar, produksi akan cukup bagus namun lambat laun produksinya akan menurun pada generasi berikutnya sebagai akibat penurunan mutu benih dan induk yang ada hubungannya dengan penurunan keragaman genetik. Untuk meningkatkan keragaman genetik, dapat dilakukan persilangan atau hibridisasi, yaitu karakter-karakter dari tetuanya akan saling bergabung menghasilkan turunan yang tumbuh cepat, terkadang steril (triploid), tahan terhadap penyakit dan tahan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim (Hickling, 1968). Pengukuran keragaman genetik dari hibridisasi dapat dilakukan melalui karakter fenotipe dan karakter genotip e. Karakter fenotipe dapat dilihat dari morfologi dan pertumbuhan keturunannya yaitu pengukuran kuantitatif hybrid vigour yang disebut heterosis, didefinisikan sebagai presentase peningkatan performa dari hasil hibridisasi di atas rataan tetuanya. Karakter genotipe diamati dengan RAPD, untuk mengetahui tingkat derajat heterosigositas antara persilangan yang sama (sejenis) dan resiprokalnya.
3
Hibridisasi
- Keragaman genetik meningkat - Menurunkan proporsi gen yang homozigot • Memperbaiki produktivitas (pertumbuhan dan sintasan) • Pembentukan varietas baru • Memperoleh heterozigositas tinggi • Produksi populasi monosek - Pengamatan fenotipe dan genotipe - Analisis efek heterosis - Analisis heterozigositas Gambar 1. Diagram alir tentang hibridisasi
Tujuan dan Manfaat Penelitian Hibridisasi antar huna bertujuan untuk meningkatkan keragaman genetiknya sehingga diperoleh kualitas benih huna yang lebih baik dalam hal pertumbuhan dan kelangsungan hidup (sintasan). Selain itu
juga untuk
mengetahui perbedaan morfologi dan rasio jenis kelamin benih huna hibrida. Analisis RAPD dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik (heterosigositas) dari turunannya. Manfaatnya adalah diperoleh benih huna yang mempunyai keragaman yang tinggi, berkualitas baik dalam hal pertumbuhan dan kelangsungan hidup (sintasan) untuk pembudidaya huna (lobster air tawar).
Hipotesis Persilangan antara huna biru dengan huna capitmerah dapat menghasilkan benih yang berkualitas baik, dan mempunyai nilai heterosigositas yang tinggi.
4
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Morfologi Menurut Ho lthuis (1950), huna biru dan huna capitmerah diklasifikasikan sebagai berikut : Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustacea
Ordo
: Decapoda
Famili
:` Parastacidae
Genus
: Cherax
Spesies
: Huna biru (Cherax albertisii) (Nobili, 1899)
Spesies
: Huna capitmerah (Cherax quadricarinatus) (Von Martens)
Gambar 2. Huna biru
Morfologi Huna biru Huna biru (Gambar 2) memiliki ciri-ciri morfologi seperti dijelaskan oleh Tim Cherax BBPBAT Sukabumi (2006a) sebagai berikut : Eksoskeleton berwarna hijau kecokla tan, ujung ekor (telson) berwarna coklat tua, chela (capit) berukuran kecil dan cendrung memanjang, rostrum cekung dilengkapi 2-3 buah duri halus. Ukuran panjang total dewasa mencapai 14 cm, rostral carina (keel) 4 buah,
5
ramping dan panjang. Capit pada Cherax jantan ramping dan terdapat garis non kalsium tidak penuh berwarna merah, sedang pada betina polos berwarna biru.
Morfologi huna capitmerah Disebut capitmerah (Gambar 3), karena dikedua ujung capitnya terdapat warna merah. Jenis huna capitmerah memiliki keunikan, yaitu warna tubuhnya biru laut yang berkilau sehingga dapat pula dimanfaatkan sebagai udang hias. Ukuran tubuh dan capit huna capitmerah lebih besar dibandingkan dengan huna biru. Ukuran capit 2-3 kali lebar tangkai capit. Huna capitmerah memiliki ukuran dan bentuk tubuh hampir sama dengan lobster air laut. Tumbuh dengan ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan jenis lobster air tawar yang lain, yaitu dapat mencapai ukuran panjang 30 cm dengan berat 500 – 600 gram.
Gambar 3. Huna capitmerah
Habitat huna biru & huna capitmerah Menurut Holthuis (1950), huna biru banyak ditemukan pada habitat yang berlokasi di Katau, Irian Barat dan penyebarannya sangat dipengaruhi oleh jenis dan kondisi lingkungannya serta ketinggian suatu daerah. Biasanya dapat ditemukan pada lokasi dengan ketinggian 30 meter di atas permukaan air laut. Huna biru menyukai perairan yang memiliki tempat-tempat perlindungan seperti
6
potongan kayu (pohon), bebatuan, juga dengan substrat dasar perairan yang berupa pasir berlumpur (Dinas Perikanan dan Kelautan Papua, 2003) . Menurut Rouse (1977), habitat alami huna capitmerah adalah wilayah tropis Australia bagian utara yaitu daerah Queensland bagian tenggara Australia dan
Australia
bagian
Utara
(Walkamin). Huna capitmerah
mengalami
pertumbuhan terbaik pada suhu 24o C– 29o C. Kondisi kualitas air untuk huna capitmerah meliputi : oksigen terlarut > 1 ppm, kesadahan dan alkalinitas 20 – 300 ppm, dan pH 6,5 – 9. Huna capitmerah dewasa menunjukkan toleransi terhadap kadar oksigen terlarut sampai 1 ppm, tetapi huna capitmerah muda lebih rentan terhadap kadar oksigen terlarut yang rendah. Huna capitmerah juga toleran terhadap konsentrasi ammonia terionisasi sampai 1,0 ppm dan nitrit sampai 0,5 ppm dalam jangka waktu yang pendek. Pembenihan huna biru & huna capitmerah Untuk melakukan pembenihan,
indukan jantan dan betina disatukan
dalam suatu media kolam atau akuarium (Sukmajaya & Suharjo, 2003). Indukinduk huna berukuran 5 inci dapat dipijahkan di dalam akuarium ukuran 90 x 45 x 40 cm dengan perbandingan 3 betina : 1 jantan. Akuarium tersebut dilengkapi dengan aerasi dan pipa pvc sebagai pelindung (selter). Pakan yang diberikan berupa pelet udang serta cacing tanah 3 – 10% berat tubuh lobster per hari (Kusmini & Nugroho, 2007). Induk betina yang telah bertelur dipindahkan ke akuarium khusus dan diberi makan secukupnya. Setelah 1 – 1,5 bulan, telur-telur akan menetas menjadi benih yang masih menempel pada induknya (diasuh oleh induknya). Ssetelah 7 – 10 hari kemudian, induk- induk lobster tersebut akan melepaskan benih-benihya. Jumlah benih 100 – 300 ekor per induk (Sukmajaya & Suharjo, 2003). Benih-benih huna ini dipelihara dalam akuarium yang dilengkapi dengan aerasi dan selter. Benih diberi makan pelet udang halus dan cacing cheronomus atau cacing tubifek 3 – 10 % bobot massa/ hari.
Pembesaran benih huna di kolam Wadah untuk pembesaran, bisa berupa kolam semen, bak fiber, bisa juga kolam tanah (Sukmajaya & Suharjo, 2003). Pembesaran huna asal hatchery telah
7
banyak dilakukan dalam kolam tanah di Australia ( Jones & Lawrence, 2001) dan dalam bak beton serta akuarium di Indonesia. Setelah benih di hatchery berumur 2 – 3 bulan, benih huna dapat dipelihara di kolam pembesaran dengan kepadatan yang sama sesuai dengan benih yang diperoleh, sebagai berikut : Kolam yang digunakan berukuran 2x2 m2 atau sesuai dengan yang diinginkan. Agar huna tidak stress dan tetap melakukan aktivitas pada siang hari sebagian kolam tersebut ditutup dengan tanaman air. Kolam dilengkapi dengan selter berupa rooster atau potongan bambu yang disusun bertingkat. Puncak pematang kolam dilapisi plastik untuk mencegah hewan uji merayap keluar kolam. Pipa pemasukan air dipasang menggantung dan tidak berhubungan langsung dengan badan air, pipa pembuangan dilengkapi dengan L-pipe yang dipasang di dalam kolam dan dilengkapi dengan saringan terbuat dari kawat. Dasar kolam ditebari kerikil batu kapur (CaCO3 ) sebagai sumber kalsium. Pakan diberikan setiap hari sebanyak 3-10% dari bobot biomas berupa pelet udang. Air dalam tiap kolam dipertahankan terus mengalir dengan debit 50-100 L/menit menggunakan gaya gravitasi untuk menjamin arus air yang mencukupi dalam rangka mendukung kehidupan hewan uji secara optimal. Hibridisasi Hibridisasi merupakan perkawinan antar individu yang berasal dari populasi yang berbeda secara genetik. Kegiatan ini bermaksud menggabungkan karakterkarakter dari tetuanya yang akan dimunculkan pada turunan sebagai efek heterosis atau sifat unggul dari hasil hibridisasi (Falconer, 1996). Menurut Tave (1993), hibridisasi dapat memperbaiki produktivitas oleh karena eksploitasi variasi dominan. Variasi dominan
adalah keragaman genetik yang dihasilkan oleh
interaksi masing- masing alel pada lokus. Sedangkan berdasarkan Beaumont & Hoare (2003), variasi dominan adalah variabilitas suatu trait/karakter
karena
kombinasi alel yang berbeda pada suatu lokus, efek dominansi mewakili interaksi antara pasangan-pasangan alel pada lokus yang sama. Genotipe- genotipe tersebut terpisah pada waktu meiosis dan disusun kembali secara acak pada waktu penyatuan gamet. Karena bentuk keragaman genetik ini tergantung pada interaksi, hal ini akan mengganggu selama meiosis dan tidak dapat ditransmisikan dari
8
induk kepada turunannya. Meiosis berlangsung pada saat pembentukkan gamet; dari satu sel induk akan diperoleh empat sel turunan (tetrad) yang mengandung kromosom dengan jumlah separuh dari jumlah yang dikandung oleh sel induknya. Dalam satu bivalen dua kromatid tidak bersaudara dapat saling bertukar ruas satu dengan lain, yang disebut pindah silang dalam membentuk kombinasi baru (rekombinasi) pada saat pembentukan turunan-turunan persilangan sehingga diperoleh keragaman genotipe ( Jusuf, 2001). Selain itu juga potensi krossing terbesar bila terdapat banyak variansi genetik non aditif atau overdominan gengen terkait dan hanya sedikit gen aditif (Falconer, 1996). Dalam
program
pengembangbiakan
silang
kombinasi
induknya
menghasilkan kombinasi dari alelnya yang akan berinteraksi pada keturunannya dan dengan demikian akan memperbaiki produktivitasnya, sehingga diperlukan kombinasi dalam persilangan. Agar tidak kehilangan hibrid yang baik, harus membuat perkawinan resiprokal (berbalasan). Persilangan resiprokal mempunyai 2 kemungkinan perkawinan antara 2 kelompok : betina A >< jantan B dan betina B >< jantan A (Tave, 1993). Hibrid Channel catfish betina >< Catfish biru jantan adalah super untuk reciprocalnya, tumbuh lebih cepat dan seragam ( Brooks et al., 1982). Menurut Falconer (1996), hibrid merupakan cara yang lebih baik untuk meningkatkan nilai rata-rata karakter yang diinginkan, terutama dalam hal keseragaman. Sebagian fenotipe yang terekspresi adalah hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Interaksi itu timbul karena beberapa alel bertanggung jawab terhadap suatu fenotipe yang diekspresikan secara berbeda dalam lingkungan yang berbeda. Hibrid dua galur dengan alel yang berbeda akan menghasilkan turunan (F1), dimana semua individu adalah heterozigot, dan ini adalah satu-satunya jalan untuk menghasilkan suatu kelompok individu yang semuanya heterozigot, bila ada overdominan dalam hal karakter yang diinginkan (Falconer, 1996). Menurut Hickling (1968), hibridisasi pada ikan dapat dibedakan menjadi hibridisasi intraspesifik, interspesifik dan intergenerik. Hibridisasi intraspesifik adalah hibridisasi antar ikan satu ras atau ras yang berbeda dari lokasi atau sistem budidaya yang berbeda. Hibridisasi interspesifik adalah persilangan antar ikan yang berbeda spesies, persilangan ini dimaksudkan untuk memperoleh turunan
9
yang tumbuh cepat, steril (triploid), tahan terhadap penyakit dan tahan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim. Intergenerik hibridisasi adalah persilangan antar ikan yang berbeda genus. Sedangkan menurut Reddy et al. (1997), hibridisasi adalah suatu metode tak langsung untuk memodifikasi atau memanipulasi genom turunan (F1) dengan mengkombinasi genom haploid dari kedua induknya yang berbeda dalam genus yang sama (Interspesifik atau antar spesies), antar dua genus yang berbeda (Intergenerik), bahkan antar dua strain dari spesies yang sama (intraspesifik). Hibridisasi yang sukses antara spesies yang mempunyai jumlah kromosom yang berbeda adalah amat kecil peluangnya. Oleh sebab itu pengetahuan detail tentang karyotipe spesies yang berpotensi untuk hibridisasi adalah penting untuk pengembangan dalam akuakultur (Beaumont & Hoare, 2003). Menurut Lutz (2001), hibrid ikan “sturgeon” adalah mengkombinasi karyotipe-karyotipe yang amat berbeda yang menghasilkan jumlah kromosom yang amat bervariasi antar keturunannya. Hibrid antar spesies dengan jumlah kromosom diploid yang lebih besar atau tidak sama, seperti antara ikan carp India (2n=50) dan ikan mas (Cyprinus carpio) (2n = 104) menghasilkan hibrid steril dengan status genom “uneuploid” (Reddy et al. 1997).
Manfaat Hibridisasi Hibridisasi merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki produktivitas, yang bermanfaat untuk menghasilkan produk yang seragam, dan juga dapat menghasilkan populasi yang monoseks (Tave, 1993). Menurut Ryman & Utter (1987), anak-anak hibrid mengekspresikan suatu kombinasi karakteristik yang terletak diantara kedua spesies induknya, yang cenderung tumbuh lebih cepat dari kedua induknya dan sebagian besar merupakan jantan yang steril. Hibridisasi mempunyai tujuan memperbaiki kualitas benih, seperti perbaikan terhadap laju pertumbuhan, penundaan kematangan gonad, meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan lingkungan yang kurang baik (Dunham & Smitherman, 1984). Menurut Falconer (1996), tujuan hibridisasi adalah untuk menemukan satu atau lebih dari galur rekombinasi yang lebih baik dari galur kedua induknya. Hasil penelitian Dunham & Smitherman (1984), menunjukkan bahwa hibrid pada
10
ikan lele (Chanel catfish), sembilan dari sebelas hasil hibrid tumbuh rata-rata 8– 18% lebih baik dibandingkan dengan indukannya. Hibrid dapat juga digunakan untuk memperbaiki masalah perikanan yang masih liar. Moav et al. (1978) memprogram penyediaan keturunan hatchery yang akan dihibridisasi dengan populasi lokal untuk menghasilkan pertumbuhan hibrid yang lebih cepat. Untuk meningkatkan hasil hibridisasi dapat dilakukan “ recurrent selection “ yaitu dengan menseleksi induk-induk yang mempunyai hibrid terbaik (membuat “pure breed”), setelah itu induk terseleksi tersebut dihibridkan lagi, setelah diketahui hasilnya maka induk- induk hasil seleksi 1 yang menghasilkan hibrid terbaik diseleksi dengan memproduksi “pure breed” lagi demikian berulang- ulang dari generasi ke generasi (Falconer, 1996).
Chappel (1979) menemukan bahwa
beberapa hibrid dapat memeperbaiki hasil produksi antara 10 – 18 %, dan dapat memperbaiki konversi pakan. Beberapa penyilangan hibridisasi menghasilkan populasi monosex. Populasi monosex telah dihasilkan oleh hibridisasi interspesifik (hibridisasi dari 2 jenis) dalam “ sun fishes” dan tilapia
(Tave, 1993). Beberapa spesies dari tilapia
mempunyai sistim tertentu dari kromosom kelamin XY sementara yang lain memepunyai sistim tertentu dari kromosom kelamin WZ. Kombinasi sebenarnya dari kromosom X pada induk akan menghasilkan keturunan jantan semua. Kombinasi ini dihasilkan oleh hibridisasi betina XX dan jantan ZZ. Contoh, Hibridisasi dari T. nilotica betina >< T. hornorum jantan akan menghasilkan populasi monosex.
T. nilotica (betina)
><
T. hornorum (jantan)
(XX)
(ZZ)
?
?
Gamet X
Gamet Z
(betina)
(jantan)
Keturunan semua XZ (Semua jantan)
11
Menurut
Lawrence (2005), di Australia persilangan antara betina Cherax
roduntus x jantan Cherax albitus menghasilkan turunan jantan semua dengan pertumbuhan 4,8 kali lebih cepat setelah dipelihara selama 424 hari, dengan laju pertumbuhan benih rata-rata lebih tinggi (0,004 g/hari) dibandingkan C. albitus (murni) yaitu 0,002 g/hari. Jantan hasil persilangan tersebut dipijahkan kembali dengan betina C. albitus atau C. destructor tidak menghasilkan anakan.
Heterosis Untuk mengukur hasil hibridisasi digunakan nilai heterosis.
Nilai ini
menunjukkan prosentase kenaikan atau penurunan hasil bibridisasi dibandingkan dengan perkawinan yang tidak hibrid. Perhitungannya menggunakan rumus sebagai berikut (Tave, 1993) :
Rata-rata hibrid - Rata-rata induknya H =
----------------------------------------------
X 100 %
Rata-rata induknya
Keragaman genetik pada hibrida Silang luar berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot. Namun, silang luar tidak mempengaruhi frekuensi genotipe. Perubahan derajat heterozigositas tergantung dari hubungan kekerabatan yang disilangkan, atau tergantung pada perbedaan genetik dari tetuanya. Hubungan kekerabatan yang jauh akan sedikit kesamaan gen- gennya dan akan besar tingkat heterozigositasnya. Variasi genetik dapat dievaluasi dengan dua cara yaitu dengan “ allelic diversity” dan “heterozygosity”. Beberapa metoda dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat variasi genetik yaitu penggunaan marker molekuler (Carvalho & Picher, 1995), termasuk diantaranya adalah DNA mitokondria (Park & Moran, 1995). Pengetahuan tentang keragaman genetik merupakan suatu informasi penting dari sebuah populasi untuk evaluasi dalam jangka pendek dari individu dan untuk evaluasi dalam jangka panjang dari suatu populasi (Ferguson et al.
12
1995). Keragaman genetik dapat diamati dalam tingkat DNA. Ryman & Utter (1987) mengemukakan bahwa salah satu metode terbaru untuk mengukur keragaman genetik dengan lebih akurat adalah pada tingkat DNA. Beberapa
pendekatan
yang
digunakan
untuk
mendeteksi
tingkat
polimorfisme dapat diimplementasikan. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan teknik molekuler genetik (Carvalho & Pitcher, 1995). Beberapa teknik molekuler DNA yang umum digunakan dalam bidang perikanan antara lain adalah Allozyme, Mitokondria DNA, Minisatelit DNA dan Mikrosatelit DNA. Minisatelit dan Mikrosatelit DNA lebih akurat digunakan dalam studi populasi genetik, sedangkan mitokondria DNA lebih sesuai untuk menguk ur
silsilah
keturunan (pendigri trace) (Park & Moran, 1995). Metode Isozym telah secara luas digunakan sebagai marker genetik untuk menganalisa keragaman populasi ikan. Namun analisis berdasarkan polimorfisme DNA lebih memberikan hasil yang lebih rinci tentang informasi keragaman genetik suatu spesies. Disamping analisis molekuler berdasarkan mtDNA, teknik identifikasi molekuler marker yang juga telah berkembang adalah Randomly Amplified Polymorphism DNA (RAPD). RAPD adalah suatu aplikasi standar dari Polymerase Chain Reaction (PCR) yang digunakan untuk mendeteksi perbedaan polimorfik DNA yang ada antara spesies atau antar individu. Analisis RAPD terdiri dari tiga bagian, yaitu ekstrasi DNA, PCR dan elektroforesis. Apabila PCR digunakan dalam analisis RAPD, maka ukuran primer tidak lebih panjang dari 10 basa. Pada analisis ini tidak dibutuhkan penempelan primer ke DNA secara specifik tetapi secara acak. Pemberian primer dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan penempelan pada sekuens DNA yang salah, tetapi primer berkonsentrasi rendah dapat mengakibatkan kegagalan dalam proses PCR karena hasil amplifikasi yang akan diperoleh sangat sedikit. Langkah awal dari analisis dilakukan dengan mengekstrasi DNA, yaitu memisahkan DNA dari molekulmolekul lain yang ada dalam jaringan dengan bantuan senyawa kimia, sehingga diperoleh DNA template yang murni. Kualitas DNA template yang tinggi akan menjamin keberhasilan dari teknik RAPD secara keseluruhan (Soewardi, 2007). Marker RAPD adalah sekuens DNA polimorfik yang dipisahkan oleh gel elektroforesis setelah proses PCR menggunakan satu atau sepasang primer
13
oligonukleotida pendek secara acak. RAPD sangat baik digunakan untuk mendeteksi polimorfik dalam jumlah besar karena primer oligonukleotida bisa mendata semua genom yang memiliki situs ikatan dalam reaksi PCR. Saat dua situs ikatan berjarak cukup dekat (3.000 bp atau kurang), pita RAPD akan terlihat pada gel. Biasanya setiap primer RAPD mampu mengamplifikasi beberapa pita. Marka RAPD yang muncul dihitung sebagai alel dominan. Produk DNA yang diamplifikasi dihitung berdasarkan ukuran dan penampakannya. Polimorfik dikatakan ada jika suatu pita muncul pada satu jenis parental tapi tidak muncul pada parental yang lain. Meskipun suatu fragmen homolog ada pada parental lain tersebut dan tampak sebagai suatu pita dengan ukuran yang berbeda akan dihitung sebagai marka yang berbeda, meskipun sebenarnya mewakili lokus yang sama atau lokasi umum yang sama dari sekuens DNA. Marker RAPD berguna untuk DNA fingerprinting yang efisien, ekonomis dan tidak mengandung radioaktif dalam menentukan hubungan genetik dan pembuatan petanya. RAPD tidak membutuhkan probe atau informasi sekuens seperti untuk analisis RFLP dan DNA satelit. RAPD memiliki kriteria sebagai sistem marka yang ideal karena polimorfiknya yang tinggi, mudah dan cepat, ekonomis serta bisa direproduksi kembali. Namun kelemahan analisis secara RAPD pertama dari pola pita dominan yang muncul tidak bisa dibedakan antara individu yang heterozigot dan homozigot walaupun turunan dari marka bisa diverifikasi dengan tes progeni, tapi hal ini tidak mudah dilakukan karena banyaknya jumlah pita yang ada. Kedua, perlu dilakukan uji coba primer dalam jumlah besar untuk mendapatkan marka dalam jumlah banyak pula (Dunham, 2004). Hasil pengamatan Nugroho (2003), secara karakterisasi genetis antara Cherax allbertisii dan Cherax quadricarinatus berdasarkan Mt DNA marker, deskriptif genetiknya berbeda (Tabel 1 & 2). Hasil penelitian Nugroho et al. (2006) menunjukkan bahwa, dua dari 20 primer RAPD menunjukkan perbedaan genetik yang nyata antara ikan Tor soro dari daerah Gandasoli, Ragawacana, Pesawahan, dan Sumedang. Nilai rata-rata terendah dimiliki
ikan batak dari populasi
Sumedang, yakni 0,0909, sedangkan ikan batak populasi Tarutung memiliki nilai terbesar yaitu 0,1407. Hasil penelitian Faizal et al., (1999) menunjukkan bahwa
14
metode RAPD-PCR dapat mendeteksi
perbedaan pola-pola pita DNA antara
strain ikan mas yang diamati. Penggunaan primer OPA-1 memperlihatkan adanya perbedaan pola-pola pita antara strain Majalaya dan Sinyonya. Penggunaan primer OPA-15 menghasilkan perbedaan pola pita antara strain Domas dengan Strain Majalaya dan Mirror.
Tabel 1. Dekripsi genetik huna biru berdasarkan marker MtDNA No
Uraian
Nilai
1
Panjang MtDNA daerah 16s r-RNA (bp)
1
2
Jumlah situs pemotongan MtDNA daerah 16s
2
r-RNA dengan ensim Mbo I (buah) 3
Jumlah situs pemotongan MtDNA daerah 16s
4
r-RNA dengan ensim Rsa I (buah) 4
Jumalah situs pemotongan MTDNA daerah
3
16s r-RNA dengan ensim Alu I (buah)
Tabel 2. Deskripsi genetik huna capitmerah berdasarkan marker MtDNA No
Deskriptif
Nilai
1
Panjang MtDNA daerah 16s r-RNA (bp)
1
2
Jumlah situs pemotongan MtDNA daerah
2
16s r-RNA dengan ensim Nde II (buah) 3
Jumlah situs pemotongan MtDNA daerah
1
16s r-RNA dengan ensim Hae III (buah) 4
Jumlah situs pemotongan MtDNA daerah
4
16s r-RNA dengan ensim Rsa I (buah)
Berdasarkan hasil Isozyme tidak terdapat perbedaan genetik yang nyata diantara populasi lobster mutiara dari 4 lokasi (P>0,05). Perbedaan genetik yang teramati antara populasi lobster mutiara dari Pangandaran dan Bulukumba dengan keragaman genetik yang tergolong rendah, jarak genetik Nei rata-rata adalah 0,026. (Nugroho et al. 2003). Hasil penelitian Nguyen et al. (2004), 10 dari 60 primer RAPD diantaranya OPA08, OPA11, OPB02, OPB06, OPC03 dan OPC09, menunjukkan 31 lokus yang berbeda antara induk Cherax destruktor dengan turunan pertama (F1) dan turunan ke dua (F2).
15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan dan pengukuran fenotipe hibrida huna biru dengan huna capitmerah ini dilaksanakan selama 9 bulan
di Instalasi Riset Lingkungan
Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung – Bogor. Analisis PCR- RAPD dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Ak uatik, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Sempur- Bogor.
Rancangan Perlakuan Induk huna biru dengan huna
capitmerah ( Lampiran 1),
dipijahkan
secara alami di akuarium ukuran 50 x 50 x 40 cm, dengan sistem resirkulasi. Dengan 4 perlakuan pemijahan yaitu : 1. jantan huna biru x betina huna biru (AA); 2. jantan huna biru x betina huna capitmerah (AR); 3. jantan huna capitmerah x betina huna capitmerah (RR); 4. jantan huna capitmerah x betina huna biru (RA); Ulangan dalam pemijahan ini sebanyak 3 ulangan yaitu jumlah indukan betina yang dipijahkan dalam masing- masing pemijahan 1 jantan : 3 betina. Perlakuan pemijahan sebagai berikut :
Tabel 3. Skema perlakuan pemijahan huna biru dengan huna capitmerah Jantan
huna biru
huna capitmerah
(A)
(R)
huna biru
AA
AR
(A)
1 jant : 3 bet
1jant : 3 bet
huna capitmerah
RA
RR
(R)
1 jant : 3 bet
1 jant : 3 bet
Betina
16
Benih-benih yang dihasilkan dari masing- masing induk betina dari perlakuan pemijahan di atas dipelihara secara terpisah sesuai dengan perlakuan dan ulangan induk. Kepadatan benih untuk masing- masing perlakuan dan ulangan adalah 80 ekor/ bak tembok, ukuran bak tembok 2x 2,5x 0,8 m, dengan sistem air mengalir. Rancangan percobaaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan untuk masing- masing perlakuan.
Pemijahan dan pembenihan Sumber air yang digunakan dalam penelitian ini adalah air tanah. Sebelum melakukan penelitian ini, diukur dulu kualitas air diantaranya suhu, DO, alkalinitas, kesadahan, CO2 , pH, NH3 dan NO2 . Tabel 4. Hasil pengukuran kualitas air Parameter
Kisaran hasil Kisaran pengamatan
yang
direkomendasikan (Rouse, 1977)
Suhu (o C)
28 – 29
25- 29
pH
7 - 8
6,5 – 9,0
Alkalinitas (mg/l CaC0 3 )
80 – 100
< 100
Kesadahan (mg/l CaC0 3 )
60 – 80
< 100
Oksigen terlarut (ppm)
4,5 – 6,6
> 5,0
CO 2 (ppm)
1 – 2,9
< 9,0
Amonia (ppm)
0,05 – 0,15
< 0,5
Nitrit (ppm)
0,03 – 0,04
< 0,5
Nitrat (ppm)
0,3 – 0,9
< 0,5
Percobaan pemijahan dilakukan
sistem resirkulasi, yang dilengkapi
dengan kerikil batu kapur (CaCO3 ) sebagai sumber kalsium. Tiga induk betina yang dapat menghasilkan benih (sebagai ulangan). Masing- masing perlakuan diberi potongan pipa PVC, yang berfungsi sebagai shelter untuk berlindung.
17
Pakan yang diberikan pagi hari
berupa pellet udang dengan kadar
protein 42 % dan pada sore hari cacing tanah sebanyak 3% dari bobot massa per hari. Untuk masing- masing perlakuan : -
Induk- induk yang bertelur diamati setiap sepuluh hari sekali
-
Induk- induk yang bertelur dipisahkan dalam akuarium penetasan secara terpisah untuk masing- masing perlakuan dan ulangan.
-
Masa inkubasi biasanya 1,5 – 2 bulan, induk-induk yang telah menghasilkan benih diukur beratnya, dikembalikan ke bak akuarium pemijahan.
-
Benih yang diperoleh dihitung, ditimbang bobot per ekor dan diberi pakan pelet udang sebanyak 3% dari bobot biomas per hari.
Pembesaran benih huna di bak tembok Setelah telur menetas benih yang diperoleh dipelihara di bak tembok ukuran 2 X 2,5 X 0,8 m
dengan sistem air mengalir, pembesaran secara terpisah sesuai
dengan masing- masing perlakuan dan ulangan. Kepadatan benih 80 ekor/bak tembok. Pakan diberikan setiap hari sebanyak 3-10% dari bobot biomas berupa pelet udang. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap 1 bulan sekali, dengan cara sampling 25 % atau 20 ekor benih masing- masing perlakuan dan ulangan, benih ditimbang bobotnya per ekor dan diamati perbedaan morfologis dengan cara mengukur panjang total, panjang standar, panjang kepala (cm). Sedangkan panjang capit dan lebar capit (cm) diukur setelah berumur 5 bulan. Setiap tolok ukur kemudian dibandingkan terhadap persilangan lainnya dan terhadap turunan masing- masing induknya.
Pemeliharaan untuk mengamati berat rataan dan
perbedaan morfologis serta kelangsungan hidup dilakukan selama 9 bulan. Rasio jenis kelamin yang dihasilkan dari persilangan diamati setelah benih berumur 5 bulan (Lampiran 1), dihitung jumlah jantan dan betina yang dihasilkan dari masing- masing persilangan.
18
Prosedur Analisis RAPD Ektraksi DNA DNA diekstraksi menggunakan
metode Phenol-chloroform (Nugroho,
1997). Potongan antena atau kaki jalan dengan berat 5 – 10 mg masing- masing induk huna yang disilangkan dan turunannya diambil, dan selanjutnya akan dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi 500 µl larutan TNES urea. Kemudian sampel ditambahkan 15 µl/ml proteinase lalu divortex dan diikubasi pada suhu 55o C selama 1 jam. Selanjutnya campuran tersebut divortex dan ditambahkan dengan larutan Phenol chloroform sebanyak 1.000
µl.
Lalu dilakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke dalam tabung baru lalu ditambahkan 1.000 µl larutan etanol 90% dan natrium asetat (NH3 COONO 2 ) 10 µl. Setelah itu campuran disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit hingga terbentuk endapan berwarna putih. Hasil dari campuran tersebut lalu dipisahkan antara DNA dengan larutan, DNA yang telah terpisah dikeringkan dalam suhu kamar. Selanjutnya DNA ditambahkan dengan 50-100 µl Rehydration Solution DNA.
RAPD-PCR Primer yang digunakan dalam RAPD ini adalah OPA08, OPA11, OPB02, OPB06, OPC03 dan OPC09 dengan urutan basa tertera pada Tabel 5. Pengamplifikasian dilakukan menggunakan metode Polymerize Chain Reaction (PCR) dengan komposisi reaksi yang terdiri : 10µg DNA, 10 pmol primer dan pure Taq DNA (Promega) dengan total volume keseluruhannya 25 µl. Program PCR yang digunakan dalam amplifikasi adalah predenaturasi pada suhu
95o C
selama 4 menit, 35 siklus penggandaan yang terdiri dari 95o C selama 1 menit, 36o C selama 1 menit, 72o C selama 2,5 menit. Selanjutnya ekstensi akhir pada suhu
72o C selama 10 menit. Hasil PCR kemudian dipisahkan secara
elektroforesis dengan menggunakan gel agarose 2% dalam Tris-Boric-EDTA (TBE) buffer dan diamati dengan illuminator (UV) serta dicetak gambarnya dengan polaroid.
19
Tabel 5. Primer RAPD yang digunakan untuk analisis DNA Nama
Urutan Basa 5 ‘ – 3’
OPA08
GTGACGTAGG
OPA11
CAATCGCCGT
OPB02
TGATCCCTGG
OPB06
TGCTCTGCCC
OPC03
GGGGGTCTTT
OPC09
CTCACCGTCC
Parameter yang diamati 1. Pertambahan bobot harian benih hasil persilangan 2. Perbedaan morfologis : -
Panjang total
-
Panjang standar
-
Panjang kepala
-
Panjang capit
-
Lebar capit
3. Rasio jenis kelamin 4. Sintasan (Kelangsungan hidup) 5. Heterosis 6. Heterozigositas
Analisis Data 1. Pertumbuhan berat individu cherax selama percobaan, dinyatakan dalam pertambahan berat rata-rata (g). Rata-rata bobot individu yang diperoleh dihitung dengan rumus sebagai berikut : X
=
ΣX1
+ ΣX2 + ΣX3 + ΣX4 +... + ΣXn n
Keterangan : X
=
rata-rata bobot individu
n
=
jumlah individu sampling
20
2. Kelangsungan hidup (sintasan ) S = Nt/No x 100 % (Effendie, 1979) Keterangan : S = Sintasan Nt = Jumlah Cherax yang hidup pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah Cherax yang hidup pada awal penelitian (ekor) Pertambahan bobot dan kelangsungan hidup serta perbedaan morfologis dari masing- masing perlakuan pemijahan, dianalisis
menggunakan ANOVA
dengan software SPSS 11,5.
3. Nilai heterosis dihitung dari data pertumbuhan yang diperoleh menggunakan rumus (Tave, 1993). Misalkan Heterosis antara huna biru (A) X huna capitmerah (R) AR H
AR
?AA + RR ?
=
2
X 100 %
AA + RR 2 Keterangan : H AR = Heterosis antara huna biru X huna capitmerah AR
= Parameter terukur hasil perkawinan jantan huna biru X betina
huna
capitmerah RA = Parameter terukur hasil perkawinan jantan huna capitmerah
X betina
huna biru AA = Parameter terukur hasil perkawinan jantan huna biru X betina huna biru RR = Parameter terukur hasil perkawinan jantan huna capitmerah X betina huna
capitmerah
4. Heterosigositas Heterosigositas merupakan perpaduan dari alel-alel yang berbeda pada lokus yang sama dihitung berdasarkan persamaan Hardy-Weinberg, (Nei, 1978 dalam Miller, 1997), Program Tools for Population Genetic Analysis (TFPGA) digunakan untuk mencari kekerabatan antar perlakuan yang dihitung menurut Wright (1978) modifikasi dari Rogers (1972) dalam Miller (1997).
21
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pertumbuhan Turunan Hibrid Huna Pertumbuhan bobot tubuh turunan hibrid antara huna capitmerah dengan huna biru sampai umur 4 bulan relatif sama, pada umur 5 bulan mulai tumbuh lebih cepat daripada yang non hibrid (Gambar 4). Efek Heterosis Nilai efek heterosis huna AR dan
RA pada umur 5 bulan dan 9 bulan
umumnya positif, kecuali lebar capit pada RA memiliki nilai heterosis negatif pada umur 5 bulan dan AR pada umur 9 bulan (Tabel 6). Tabel 6. Nilai efek heterosis (%) AR dan RA dalam hal pertumbuhan bobot tubuh (g), panjang tubuh, panjang kepala, panjang capit dan lebar capit (cm) turunan (F1) antara huna biru dan huna capitmerah pada umur 5 bulan dan 9 bulan. Umur 5 Bulan
AA rata-rata
Bobot tubuh Panjang total Panjang standar Panjang kepala Panjang capit Lebar capit
21,3 + 6,24a 10,1 + 0,88b 7,6 + 0,96bc 4,9 + 0,52b 6,1 + 1,18ab 0,6 + 0,18a
Umur 9 Bulan
AA rata-rata
Bobot tubuh Panjang total Panjang standar Panjang kepala Panjang capit Lebar capit
40,4 + 12,05a 11,7 + 1,20a 8,6 + 0,97 b 5,5 + 0,79 a 7,6 + 1,32 b 0,8 + 0,33a
AR rata-rata 26,6 + 8,32 b 10,5 + 1,08b 8,0 + 0,83c 4,9 + 0,50b 6,8 + 1,10b 0,8 + 0,24b
RA heterosis 25,01 9,22 10,35 5,56 14,60 10,20
AR rata-rata 55,2 + 20,95b 12,6 + 1,48 b 9,3 + 0,97c 6,2 + 0,82c 7,9 + 2,04b 0,9 + 0,69ab
rata-rata 24,4 + 9,99ab 10,2 + 1,46b 7,5 + 1,24b 4,8 + 0,75b 6,4+1,29ab 0,6+0,20a RA
heterosis 26,1 7,3 7,3 10,8 5,2 -5,6
rata-rata 48,9 + 20,43b 12,3 + 0,94ab 10,1 + 0,66a 6,6 + 0,44b 8,8+1,52 a 0,9+0,30ab
heterosis 14,82 6,57 3,49 3,86 7,99 -17,99
RR rata-rata 21,2 + 8,16a 9,0 + 1,17a 6,9 + 0,90a 4,4 + 0,56 a 5,8+1,02a 0,8+0,19b RR rata-rata
heterosis 11,8 47,1 + 14,02ab 4,7 11,8 + 1,82 a 16,1 8,8 + 1,37b 18,9 5,6 + 0,85a 16,6 7,5+1,89b 0,0 1,0+0,61b
Huruf superscrift yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) Rata-rata bobot tubuh pada umur 5 bulan perlakuan AR & RA lebih tinggi daripada RR & AA, antara perlakuan AR &RA berbeda nyata dengan RR &AA. Sedangkan pada umur 9 bulan rata-rata bobot tubuh AR paling tinggi diantara perlakuan namun tidak berbeda nyata dengan RA (p>0,05). Nilai efek heterosis untuk RA pada umur 5 bulan maupun 9 bulan menghasilkan efek heterosis sekitar 25 % pada kenaikan bobot badannya.
22
Gambar 4. Perkembangan bobot tubuh, panjang (total, standar, kepala) F1 hasil hibridisasi antara huna biru dengan huna capitmerah sampai umur 9 bulan
23
Rata-rata panjang tubuh pada umur 5 bulan relatif sama antara perlakuan, hanya RR yang mempunyai nilai lebih kecil, sedangkan pada umur 9 bulan panjang tubuh yang hibrid (AR & RA) lebih tinggi daripada non hibrid (AA &RR) namun relatif tidak berbeda nyata. Panjang tubuh pada umur 5 bulan perlakuan AR mempunyai nilai heterosis yang lebih tinggi dari pada RA, tetapi pada umur 9 bulan nilai heterosis panjang standar RA lebih tinggi daripada AR. Rata-rata panjang kepala pada umur 5 bulan relatif sama antar perlakuan kecuali RR, sedangkan pada umur 9 bulan yang hibrid lebih tinggi daripada yang non hibrid. Nilai heterosis untuk panjang kepala pada umur 5 bulan AR lebih tinggi daripada RA, sebaliknya pada umur 9 bulan nilai heterosis pajang kepala RA lebih tinggi daripada AR. Rata-rata panjang capit baik pada umur 5 bulan maupun 9 bulan yang hibrid lebih tinggi dari pada yang non hibrid namun relatif tidak berbeda nyata, sedangkan rata-rata lebar capit pada umur 5 bulan perlakuan AR dan RR berbeda nyata dengan AA dan RA, pada umur 9 bulan rata-rata lebar capit RR lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai heterosis panjang capit pada umur 5 bulan AR jauh lebih tinggi daripada RA, sebaliknya pada umur 9 bulan RA jauh lebih tinggi daripada AR. Demikian juga untuk lebar capit RA memiliki nilai heterosis negatif pada umur 5 bulan dan AR pada umur 9 bulan. Nilai efek heterosis huna yang jantan untuk bobot tubuh dan lebar capit menunjukkan yang jantan lebih tinggi dari pada yang betina (Tabel 7).
24
Tabel 7. Nilai efek heterosis (%) AR dan RA dalam hal perbedaan pertumbuhan jantan dan betina F1 huna AR Parameter
jantan
Bobot tubuh (g)
26,6+9,41a
RR
heterosis
betina
heterosis
jantan
betina
25,6
25+7,51a
23,1
21,0+9,17a
19,1+7,43a
Panjang total (cm)
10,3+1,01a
9,0
10,4+1,19a
8,9
8,9+1,41a
8,9+1,26a
Panjang standar (cm)
7,8+0,73a
7,6
8+0,98a
11,9
6,9+1,12a
6,7+0,85a
a
a
a
Panjang kepala (cm)
4,9+0,56
6,5
4,8+0,49
5,5
4,3+0,85
4,2+0,5a
Panjang capit (cm)
6,8+1,34a
10,6
6,8+16,67a
18,3
6,1+0,86a
5,5+0,88b
Lebar capit (cm)
0,9+0,29a
12,5
0,7+0,21b
0,0
0,9+0,14a
0,8+0,15b
RA Parameter Bobot tubuh (g)
jantan
AA
heterosis a
24,5+12,24
heterosis a
22,1
24,3+8,51
13,4
betina a
22,2+ 7,68
5,8
10,4 +1,32
8,9
10,0+1,03
10,2 + 0,79a
Panjang standar (cm)
7,3+1,43a
0,7
7,6+1,11a
6,3
7,6+1,12a
7,6 +0,87a
Panjang kepala (cm)
4,8+0,93a
4,3
4,7+0,64a
3,3
4,9+0,57a
6,7+1,53
a
8,9
6,2+1,1
7,8
a
20,7 + 5,33a
10,0+1,67
a
a
jantan
Panjang total (cm)
Panjang capit (cm)
a
betina
4,9+0,49a a
6,2 + 1,51
6 +0,98a
Lebar capit (cm) 0,7+0,27a -12,5 0,6+0,14b - 14,3 0,7+0,19a 0,6+0,16b Huruf superscrift yang berbeda pada baris dan perlakuan yang sama untuk jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
Berdasarkan
Tabel 7,
perlakuan yang jantan
dapat terlihat untuk semua parameter dalam
relatif tidak berbeda nyata dengan yang betina kecuali
panjang capit betina RR lebih kecil dan lebar capit untuk semua perlakuan yang jantan berbeda nyata dengan yang betina.Nilai heterosis terutama untuk parameter bobot tubuh dan lebar capit yang jantan lebih tinggi dari pada yang betina.
Tabel 8. Sintasan dan rasio kelamin jantan dan betina turunan (F1) hasil hibridisasi antara huna biru dengan huna capitmerah. AA
AR
RA
RR
(n = 160)
(n= 240)
( n=240)
(n=240)
32 ekor
49 ekor
55 ekor
55 ekor
(20 %)
(20,41 %)
(22,92%)
(22,92%)
Jantan
12 (37,5 %)
23 (46,93%)
21 (38,18%)
30 (54,54%)
Betina
20(62,5 %)
26 (53,07%)
34 (61,82%)
25 (45,46%)
Sintasan
Keterangan: n = Jumlah populasi awal
25
Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa sintasan untuk perlakuan hibrid dengan nonhibrid sekitar 20- 23 %. Rasio jenis kelamin jantan dengan betina AR hampir sama dengan RR mendekati perbandingan 1 : 1, sedangkan AA dan RA rasio betina lebih tinggi daripada yang jantan diduga dengan persilangan induk betina dari huna biru akan menghasilkan lebih banyak yang betina dibandingkan dengan yang jantan.
Heterozigositas dan Polimorfisme Dari 4 primer yang dicoba hanyai 1 primer menunjukkan hasil PCR yang baik. Primer OPA-8 urutan basa 5’GTG ACG TAG G 3’mempunyai fragmen yang dapat digunakan sebagai pembeda diantara populasi huna yang diuji. Hasil perhitungan RAPD (Lampiran 2) dapat terlihat bahwa untuk penciri dari Huna panjang molekulnya ada diantara 275 bp sampai 1400 bp. Panjang
molekul
hibrida huna RA dan hibrida huna AR mendapat kontribusi panjang molekul baik dari huna AA maupun huna RR.
Tabel 9. Heterozigositas dan presentase polimorfisme hibrida hasil hibridisasi antara huna capitmerah & huna biru dengan RAPD menggunakan primer OPA-08 AA
RR
AR
RA
Heterozigositas
0,2211
0,0997
0,1871
0,2907
Polimorfisme (%)
56,25
25,00
62,50
87,50
Keragaman genetik ditentukan oleh nilai rata-rata heterozigositas dan presentase lokus polimorfik. Hasil hibrid menunjukkan nilai heterozigositas dan presentase lokus polimorfik lebih tinggi dibandingkan dengan huna nonhibrid, nilai hetorozigositas dan polimorfik dari hibrid yang terpaut dengan asal induk betinanya memiliki nilai yang tinggi. Secara berurutan yang mempunyai nilai heterozigositas dan lokus polimorfik yang paling tinggi
adalah perlakuan RA,
kemudian AA, AR dan RR (Tabel 10).
26
Tabel 10. Jarak genetik F1 hibrida hasil hibridisasi antara dengan huna capitmerah (RR)
AA RR AR RA
AA xxxxxxxx 0,4816 0,2966 0,1012
huna biru (AA)
RR
AR
RA
xxxxxxxx 0,0983 0,1705
xxxxxxxx 0,0691
xxxxxxxx
Berdasarkan perhitungan jarak genetik dari empat perlakuan diperoleh nilai jarak genetik terjauh antara AA dengan RR, diikuti dengan AA dengan AR dan RR dengan RA, AA dengan RA, sedangkan jarak yang terdekat adalah antara AR dengan RA dan antara RR dengan AR. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik digambarkan dalam tiga kluster utama. Hibrida AR dengan RA mempunyai jarak genetik yang relatif rendah (0,0691) sehingga memiliki kluster yang sama dengan RA menunjukkan adanya jarak kekerabatan yang lebih dekat antara keduanya dibandingkan RA dengan RR atau RR dengan AA yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh (Gambar 5).
AR RA RR AA Gambar 5. Dendrogram F1 hibrida hasil hibridisasi antara huna biru (AA) dengan huna capitmerah (RR)
27
PEMBAHASAN Pertumbuhan turunan hibrida antara huna capitmerah dengan huna biru sampai umur 4 bulan relatif sama, pada umur 5 bulan mulai tumbuh lebih cepat daripada yang non hibrida. Hal ini diduga variasi dominan untuk pertumbuhan huna baru terlihat mulai umur 5 bulan. Nilai efek heterosis hibrida jantan huna biru dengan betina huna capitmerah (AR) baik pada umur 5 bula n maupun 9 bulan menghasilkan efek heterosis sekitar 25 % pada pertumbuhan bobot badannya, betina capitmerah menyebabkan positif untuk bobot tubuh. Menurut Tave (1993), hibridisasi dapat memperbaiki produktivitas karena eksploitasi vd (variasi dominan). Variasi dominan adalah keragaman genetik yang dihasilkan oleh interaksi masing- masing alel pada lokus atau kombinasi alel berbeda pada suatu lokus (Beaumont & Hoare 2003). Nilai efek heterosis tinggi ditunjang juga dengan hasil heterozigositas hibrida (AR & RA) yang lebih tinggi dari pada nonhibrida (AA & RR). Hibridisasi bermaksud menggabungkan karakter-karakter dari tetuanya yang akan dimunculkan pada turunan sebagai efek heterosis atau sifat unggul dari hasil hibridisasi (Falconer, 1996). Tujuan hibridisasi adalah untuk menemukan satu atau lebih dari galur rekombinasi lebih baik dari galur kedua induknya (Falconer, 1996). Persilangan antara betina Cherax roduntus x jantan Cherax albitus menghasilkan turunan jantan semua, dengan pertumbuhan 4,8 kali lebih cepat setelah dipelihara selama 424 hari (Lawrence,2005). Hasil penelitian Gustiano
&
Kristanto (2007), bahwa
hibrida antara betina P.
hypophthalmus dengan jantan P. jambal menujukkan rata-rata pertumbuhannya lebih baik daripada
kedua spesies induknya. Menurut Frankham (1999)
berkurangnya keragaman genetik akan mengurangi kemampuan spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Individu dengan keragaman genetik yang tinggi akan mempunyai komponen fitness yang besar yang meliputi laju pertumbuhan, fekunditas, viabilitas, dan daya tahan terhadap perubahan lingkungan dan stress.
Menurut Ryman & Utter (1987), anak-anak hibrid
mengekspresikan suatu kombinasi karakteristik yang terletak diantara kedua spesies induknya. Dari tipe DNA juga terlihat bahwa RR (huna capitmerah) yang telah lebih lama dibudidayakan mempunyai tip e DNA monomorpik jika dibandingkan dengan AA (huna biru) yang baru mulai dibudidayakan mempunyai
28
tipe dna lebih polimorpik. Menurut Ricardo dan Taniguchi (1999), rata-rata polimorfisme berasal dari lingkungan budidaya lebih rendah dibanding dengan populasi yang terdapat di alam. Heterozigositas RA lebih tinggi daripada AR,
disebabkan adanya
kontribusi gen dari induk betina AA yang mempunyai nilai heterozigositas lebih tinggi jika dibandingkan dengan RR. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik didapat
dari
huna
AA
menunjukkan tingginya
nilai
rata-rata
heterozigositas, presentase polimorfisme dan jarak genetik. Keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua populasi yang berbeda tempat (Soelistyawati, 1996). Jarak genetik terjauh antara huna AA dengan huna RR hal ini dapat disebabkan antara kedua huna tersebut berbeda spesies. Hibrida ada kontribusi dari induk betinanya lebih dekat jarak genetiknya. Sedangkan AR dengan RA masih dekat jarak genetiknya karena masing- masing mempunyai kontribusi dari kedua induknya. Hal ini menunjukkan bahwa selain adanya kontribusi diantara kedua induknya, juga menunjukkan bahwa adanya kontribusi dari induk betina (maternal effect) relatif kuat dibandingkan dengan dari induk jantannya. Menurut Saavedra, et al. 2005 bahwa penyebab maternal effect dapat disebabkan oleh lingkungan dan genetik, selain itu bahwa ekspresi dari beberapa gen dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Panjang tubuh
dan kepala pada umur 9 bulan hibrid lebih tinggi
daripada non hibrid, sedangkan
nilai heterosisnya baik pada umur 5 bulan
maupun 9 bulan panjang tubuh perlakuan AR lebih tinggi dari pada RA, hal ini menunjukkan adanya kontibusi gen dari induk betina huna capitmerah sehingga AR mempunyai nilai heterosis yang lebih tinggi dari pada RA. Menurut Tim Cherax (2006b), Ukuran tubuh huna capitmerah lebih besar dibandingkan dengan huna biru. Sedangkan nilai heterosis panjang kepala pada umur 5 bulan AR lebih tinggi dari RA dan sebaliknya pada umur 9 bulan. Menurut Falconer (1996), hibridisasi bermaksud menggabungkan karakter-karakter dari tetuanya yang akan dimunculkan pada turunan sebagai efek heterosis atau sifat unggul. Nilai heterosis untuk panjang capit baik pada umur 5 bulan maupun 9 bulan menunjukkan nilai positif, sedangkan untuk lebar capit ada yang menunjukkan nilai heterosis negatif, hal ini juga menunjukkan bahwa kontribusi
29
gen indukan betina lebih mendominasi dibandingkan dengan indukan jantan RR yang
mempunyai lebar capit lebih besar daripada AA. Betina huna biru
menyebabkan pleotropik yaitu yang menyebabkan lebar capit
menjadi kecil
(negatif). Menurut Tim Cherax (2006 b) ukuran capit huna capitmerah lebih besar dibandingkan dengan huna biru, ukuran capit huna capitmerah ( 2-3 kali lebar tangkai capit). Bila ada dua gen saling berpengaruh secara berlawanan, maka kedua pengaruh tersebut dapat akan saling mengurangi. Sebaliknya apabila kedua gen saling mempengaruhi yang sama, maka semua pengaruhnya akan bersifat menambah. Heterosis adalah keunggulan beberapa sifat yang semula terdapat dalam bangsa yang berbeda disatukan melalui persilangan, heterosis akan timbul pada sifat yang banyak dikendalikan oleh gen non-aditive (Hardjosubroto 2001). Nilai heterosis untuk bobot tubuh dan lebar capit menunjukkan huna jantan lebih tinggi dari pada betina, untuk panjang capit perlakuan AR betina mempunyai nilai heterosis tinggi dibandingkan dengan jantan. Beberapa jenis Cherax pertumbuhan jantan lebih cepat pada tahap dewasa daripada pada tahap awal. Pertumbuhan Cherax betina lebih lambat pada tahap dewasa karena banyaknya energi dibutuhkan untuk reproduksi. Namun secara keseluruhan parameter untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) antara pertumbuhan jantan dan betina, kecuali lebar capit dan panjang capit, sesuai dengan pernyataan Merrick (1993) bahwa Cherax destructor pada kondisi yang terkontrol tidak menunjukkan perbedaan nyata antara laju pertumbuhan jantan dan betina. Rata-rata pertumbuhan Cherax quadricarinatus jantan (0,31±0,41 g/hari) menunjukkan signifikansi yang lebih tinggi dari pada yang betina (0,18± 0,09 g/hari), (Manor et al. 2002). Rasio jenis kelamin dan sintasan
tidak mempunyai nilai heterosis
signifikan, karena mempunyai nilai hampir sama dengan nonhibrida. Menurut Lawrence et al. (2006) persilangan antara jantan Cherax destructor albitus dengan betina Cherax destructor destructor menghasilkan F1 dengan sex ratio jantan : betina 1 :1, sedangkan jantan Cherax destructor destructor yang disilangkan dengan betina Cherax destructor albitus menghasilkan F1 3 dari 4 famili dengan rasio 3 jantan :1 betina, dan famili yang ke 4 dengan rasio 100 % jantan. Rasio dari persilangan antara yabbie tidak berbeda nyata untuk
tiap-tiap populasi
30
menghasilkan F1 dengan perbandingan 1 betina : 1 jantan. Berdasarkan penelitian Akhmad, et al. (2007) pemeliharaan huna capitmerah dengan bobot awal 4-7g dan huna biru 2-4g
setelah dipelihara selama 3 bulan, sintasan untuk huna
capitmerah sekitar 51%, sedangkan huna biru 30%. Rodgers et al., (2006) menyatakan hasil pengamatan terhadap huna capitmerah dengan padat penebaran 4-6 ekor/m2, pemeliharaan selama 145 hari sintasannya
antara 41%-52%.
Timbulnya sifat kanibalisme disamping faktor internal seperti faktor genetik, juga faktor eksternal seperti lingkungan.
31
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN 1. Pertumbuhan turunan hibrida antara huna capitmerah dengan huna biru sampai 4 bulan relatif sama dengan nonhibrid a, pada umur 5 bulan pertumbuhan hibrida mulai terlihat lebih cepat dibandingkan dengan yang nonhibrida. 2. Hibridisasi antara jantan huna biru dengan betina huna capit merah (AR) menghasilkan hibrida dengan efek heterosis 25 % pada pertumbuhan bobot badannya. 3. Nilai heterozigositas hibrida lebih tinggi (0,187-0,290) dibanding nonhibrida 0,0997-0,2211). 4. Hibridisasi antara jantan huna capitmerah dengan betina huna biru (RA) menghasilkan nilai sintasan, heterozigositas dan jarak genetik yang lebih baik dibandingkan dengan AR.
Saran Pembudidaya huna dapat meningkatkan produksi benih sebarnya dengan memijahkan antara jantan huna biru dengan betina huna capitmerah. Program seleksi untuk huna biru dan huna capitmerah perlu dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar.
32
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T, Sofiarsih L, dan Sutrisno. 2007. Budidaya terpadu Cherax quadricarinatus dan C. albertisii dengan padi dalam kolam tanah. Jurnal Riset Akuakultur 2 (2):157-165. Beaumont AR, and Hoare K. 2003. Biotechnology and genetics in fisheries and aquaculture. Blackwell Publishing Inc USA. p.110-112. Behrends LL, and Smitherman RO. 1984. Development of a cold-tolerant population of red tilapia through introgressive hybridization. J. World Maricul. Soc. 15:172-178. Brooks MJ, Smitherman RO, Chappell JA. and Dunham RA. 1982. Sex-weight relation in blue channel, and white catfishes : Implication for brood stock selection. Prog. Fish-Cult. 44:105-107. Cavarlho GR, and TJ Pitcher. 1995. Molecular genetics in fisheries. Chapman & Hall, Inc. London. Chappell JA. 1979. An evaluation of twelve genetic groups of catfish for suitability in commercial production. Doctoral Dissertation, Auburn Univ. AL. Dunham RA. 2004. Aquaculture and fisheries biotechnology : Genetic approaches. CABI publishing UK. p 85-99. Dunham RA. and Smitherman RO. 1984. Ancestry and breeding of catfish in the United States. Circular 273, Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Dinas Perikanan dan Kelautan Papua. 2003. Inventarisasi potensi pengembangan udang Cherax spp di Kabupaten Jayawijaya. Departemen Perikanan dan Kelautan. Effendie MI. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri Bogor. Gustiano R, and Kristanto AH. 2007. Evaluation of hybridization between Pangasius djambal Bleeker 1846 and Pangasianodon hypophthalmus (Sauvage 1878) : Biometric characterization and growth analysis. Indonesian Aquaculture Journal. 2 (I):27-33.
33
Faizal I, Irawan D, Aliah RT, Makagiansar IT dan Amarullah MH. 1999. Studi pendahuluan pengamatan polimorfisme DNA ikan mas menggunakan teknik RAPD-PCR. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Genetika Ikan. Infigrad, bekerja sama dengan Puslitbangkan dan Ditjenkan Departemen pertanian. hlm. 40-44. Falconer DS. 1996. Introduction to quantitative genetics. Longman Malaysia. p.281-288. Frankham R. 1999. Quantitative genetic in conservation Pres.Cam. 74:237-244.
Biology. Genetics.
Ferguson AI, Taggart AJ, Prodohl PA, Mcmeel O, Thompson C, Stone C, Meginnity P, and Hynes RA. 1995. The application of molecular markers to study and conservation of fish population, with special reference to salmon. Journal of Fish Biology, 47:103-126. Hardjosubroto W. 2001. Genetika hewan. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hickling C. 1968. Fish hybridization. Proc. of world symp. on warm water pond fish culture. FAO Fish Rep. 44:1-10. Holthuis LB. 1950. The crustacea decapoda macruba collected by the archbold New Guinea expeditions. The America Museum of Natural History City of New York. p.1-17. Imron. 1998. Keragaman morfologis dan biokimia beberapa stock keturunan induk udang windu (Penaeus monodon) asal laut yang dibudidayakan di tambak. Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Jones JBN and CS Lawrence. 2001. Diseases of yabbies (Cherax albidus) in Western Australia. Aquaculture 194:221-232. Jusuf M. 2001. Genetika I struktur dan ekspresi gen. Institut Pertanian Bogor. CV Sagung Seto. Jakarta. hlm. 51-60. Kapusckinski AR and Jacobson LD. 1987. Genetic guidelines for fisheries management. Univ. of Minnesota, USA. Kusmini II, dan E Nugroho. 2007. Koleksi, domestikasi dan evaluasi bioreproduksi lobster air tawar (Cherax spp) asli Papua. Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. ISBN : 978-979-786021-9. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hlm. 512-517.
34
Kusmini II. 2009. Inventarisasi budidaya cherax di berbagai lokasi. Prosiding Seminar Nasional Kelautan V. ”Dampak Krisis Global Terhadap Pembangunan Kelautan & Perikanan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Maritim”. Universitas Hang Tuah. Surabaya. hlm. 293-296. Lawrence CS, Morrissy NM, Vercoe PE and Williams IH. 2006. Differences in growth rate, size at sexual maturity and sex ratio. Journal Freshwater Crayfish. 15:24-35. Lawrence CS. 2005. Yabby hibrid grouwth experiment. Fisheries Research Contract Report No. 11, FRDC. Project no. 97/3/9.02. Aquaculture Development Fund of Western Australia. Project. Leary RF, Allendorf FW and Knudsen KL, 1985. Development instability and high meris tic counts in interspesific hybrid of salmonid fishes. Evolution, 39:1318-1326. Lutz CG. 2001. Practical genetics for aquaculture. Fishing News Books. Blackwell Publishing, Inc, USA. p.101-112. Manor R, Seger R, Leibovitz MP, Aflalo ED and Sagi A. 2002. Intensifikation of redclaw crayfish Cherax quadricarinatus culture II. Growthout in a separate cell system. Aquaculture Engineering 26:263-276. Merrick JR. 1993. Freshwater crayfish of New South Wales. Linnean Society of New South Wales Australia. Miller MP. 1997. Tools For Population Genetic Analysis (TFPGA) version 1.3. Department of Biological Science. Northern Arizona University, Arizona, USA. Moav R, Brody T and Hulata G. 1978. Genetic improvement of wild fish populations. Science 201:1090-1094. Nugroho E. 1997. Practical manual on detection of DNA polymorphism in fish population study. Bulletin of Marine Science and Fisheries, 17:109-129. Nugroho E, Girsang ES dan Mardlilah S. 2003. Keragaman genetik lobster mutiara dari Pangandaran, Pamengpeuk, Liwa dan Bulukumba. Warta Penelitian Perikanan Indonesia, 9 (2):14-17. Nugroho E, Subagja J, Asih. S dan Kurniasih T. 2006. Evaluasi keragaman genetik ikan kancra dengan menggunakan Marker Mt DNA D- loop dan Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD). Jurnal Riset Akuakultur 1 (2):211-217.
35
Nguyen TTT, Austin CM. 2004. Inheritance of molecular markers and sex in the Australian freshwater crayfish. Cherax destructor Clark. Aquaculture Research 35:1328-1338. Park LK. and Moran P. 1995. Development in molecular genetic techniques in fisheries. In : Carvalho GR. & TJ Pitcher (Eds), Chapmann and Hall, London. Rodgers LJ, Saoud PI and Rouse DB. 2006. The effects of monosex culture and stocking density on survival, growth and yield of redclaw crayfish (Cherax quadricarinatus) in Earthen Ponds. Aquaculture 259:164-168. Ricardo PE and Tanaguchi N. 1999. Use of microsatellite DNA as genetic tags for the assessment of a stock enhancement program of red sea bream. J. Fish Sci. 65:374-379. Reddy PVGK, Mahapatra KD, Barman HK, Jana RK and Saha JN. 1997. Genetic improvement methods in Asiatic Carps. Central Institute of Freshwater Aquaculture. Kausalyaganga, Bhubaneswar-751002, Orissa, India. p. 4-38. Ryman N and Utter F. 1987. Population genetics and fishery management. Washington Sea Grant Program, London. p.161-191. Rouse DB. 1977. Production of Australian red claw crayfish. Auburn University. Alabama. USA. Saavedra C and Amat F. 2005. Materl effect on encysment in crosses between two geographic strains of Artemia franciscana. Journal of Heredity 96(6):713717. Soelistyawati DT. 1996. Genetika populasi. Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Soewardi K. 2007. Pengelolaan keragaman genetik sumberdaya perikanan dan kelautan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hlm. 112-119. Sokal RR and Rohlf FJ. 1995. Biometry. The Principles and Pratice of Statistics in Biological Research. W.H. Freeman and Company. San Fransisco. Sukmajaya Y dan Suharjo I. 2003. Lobster air tawar komoditas perikanan prospektif. Agromedia Pustaka. Tangerang. Tave D. 1993. Genetics for fish managers. The AVI Publ. Comp. Inc. NY. USA. Tave D. 1995. Selective breeding programme for medium-sized fish farms. FAO Fish. Tech. Paper. No. 352. Rome, Italy.
36
Tim Cherax. 2006a. Pelepasan huna biru (Cherax albertisii). Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat jenderal Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Tim Cherax. 2006b. Permohonan pelepasan Cherax quadricarinatus (huna capitmerah). Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan Perikanan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor.
37
LAM PIRAN
38
Lampiran 1.Perbedaan bentuk tubuh induk jantan & betina huna biru dengan huna capitmerah Tubuh
Induk AA (Huna biru)
Jantan
Betina
Induk RR (huna capitmerah)
Jantan
Betina
39
Lampiran 1 (lanjutan ) Perbedaan bentuk tubuh F1 jantan & betina antar perlakuan pada umur 5 bulan
Tubuh
Jantan
Betina
AA
*
*
RA
* *
AR
**
**
RR ** **
Keterangan : Symbol * & ** menunjukkan bentuk fenotifik yang sama untuk masingmasing jantan & betina (RA= AA) dan (AR = RR).
40
Lampiran 1(lanjutan). Perbedaan bentuk capit jantan & betina antar perlakuan pada umur 5 bulan Capit Jantan Betina
AA
*
*
RA
*
*
AR
©
**
**
RR
©
**
**
Keterangan : Symbol * & ** menunjukkan bentuk fenotifik yang sama pada masing-masing perlakuan jantan & betina. Symbol © menunjukkan bentuk capit jantan RR & AR bagian luar.
41
Lampiran 2. RAPD Hibrid huna capit merah dengan huna biru menggunakan primer OPA-8
Marker
AA
RA
AR
RR
42
Lampiran 3. Hasil analisa karakter fenotip F1 umur 5 bulan dan 9 bulan menggunakan ANOVA dengan prosedur SPSS 11,5.
Umur 5 bulan Oneway Test of Homogeneity of Variances
PJGTOTAL PJGSTDR PJGKPL BERAT
Levene Statistic 5.070 6.106 5.252 4.308
df1 3 3 3 3
df2 193 193 193 193
Sig. .002 .001 .002 .006
ANOVA Sum of Squares PJGTOTAL
PJGSTDR
PJGKPL
BERAT
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Mean Square
df
64.624
3
21.541
279.489
193
1.448
344.113
196
27.648
3
9.216
195.107
193
1.011
222.755
196
8.400
3
2.800
70.749
193
.367
79.149
196
803.862
3
267.954
193
72.640
14019.49 7 14823.35 9
F
Sig.
14.875
.000
9.117
.000
7.639
.000
3.689
.013
196
43
Lampiran 3 (l anjutan). Post Hoc Tests Homogeneous Subsets PJGTOTAL Duncan Subset for alpha = .05 1 2 4.00 60 9.0183 2.00 32 10.1313 1.00 55 10.2036 3.00 50 10.5210 Sig. 1.000 .360 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.458. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. POPULASI
N
PJGSTDR Duncan POPULASI
N
Subset for alpha = .05 1 2 3 4.00 60 6.9317 1.00 55 7.4818 2.00 32 7.5625 7.5625 3.00 50 7.9210 Sig. 1.000 .699 .087 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.458. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
44
Lampiran 3 (l anjutan). PJGKPL Duncan Subset for alpha = .05 1 2 4.00 60 4.3717 1.00 55 4.7545 3.00 50 4.9358 2.00 32 4.8719 Sig. 1.000 .383 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.458. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. POPULASI
N
BERAT Duncan Subset for alpha = POPULASI N .05 1 2 4.00 60 21.2233 2.00 32 21.2781 1.00 55 24.3800 24.3800 3.00 50 26.6464 Sig. .093 .377 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.458. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Test of Homogeneity of Variances
PJGCAPIT LBRCPT
Levene Statistic 3.012 1.962
df1 3 3
df2 186 186
Sig. .031 .121
45
Lampiran 3 (l anjutan). ANOVA Sum of Squares PJGCAPIT
LBRCPT
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Mean Square
df
228.802
3
76.267
6772.376
186
36.411
7001.178
189
1.637
3
.546
8.186
186
.044
9.823
189
F
Sig.
2.095
.102
12.396
.000
PJGCAPIT Duncan Subset for alpha = .05 PPOPUL AS N 1 2 4.00 58 5.8845 2.00 32 6.1688 6.1688 1.00 54 6.4111 6.4111 3.00 46 6.8822 Sig. .646 .062 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 45.071. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
46
Lampiran 3 (lanjutan).
LBRCPT Duncan Subset for alpha = POPULAS1 N .05 1 2 2.00 32 .6219 1.00 54 .6407 3.00 46 .8798 4.00 58 .8414 Sig. .670 .165 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 45.071. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Keterangan : Populasi 1.00 = RA Populasi 2.00 = AA Populasi 3.00 = AR Populasi 4.00 = RR
47
Lampiran 3 (lanjutan). Umur 9 bulan ANOVA Sum of Squares PJGTOT
PJGSTD
PJGKPL
BRT
PJGCPT
LBRCPT
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Mean Square
df
23.711
3
7.904
382.796
193
1.983
406.507
196
64.160
3
21.387
203.991
193
1.057
268.151
196
33.911
3
11.304
104.159
193
.540
138.070
196
4812.103
3
1604.034
193
308.719
59582.75 2 64394.85 5
F
Sig.
3.985
.009
20.234
.000
20.945
.000
5.196
.002
5.704
.001
2.329
.076
196
51.258
3
17.086
578.108
193
2.995
629.366
196
1.856
3
.619
51.264
193
.266
53.120
196
48
Lampiran 3 (lanjutan)
PJGTOT Duncan Subset for alpha = .05 PRLK N N 1 2 AA 32 11.7474 RR 55 11.8455 RA 53 12.3400 12.3400 AR 45 12.6122 Sig. .051 .344 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.142. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. PJGSTD Duncan Subset for alpha = .05 PRLK N N 1 2 3 AA 32 8.6263 RR 55 8.7727 AR 45 9.3449 RA 53 10.0636 Sig. .486 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.142. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. PJGKPL Duncan Subset for alpha = .05 PRLK N N 1 2 3 AA 32 5.5421 RR 55 5.6200 AR 45 6.2061 RA 53 6.6382 Sig. .604 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.142. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
49
Lampiran 3 (lanjutan). BRT Duncan Subset for alpha = .05 PRLK N N 1 2 3 AA 32 40.3684 RR 55 47.0982 47.0982 RA 53 48.8636 48.8636 AR 45 55.1878 Sig. .062 .623 .079 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.142. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. PJGCPT Duncan Subset for alpha = .05 PRLK N N 1 2 RR 55 7.5145 AA 32 7.6053 AR 45 7.9388 RA 53 8.7655 Sig. .260 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.142. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
LBRCPT Duncan Subset for alpha = .05 PRLK N N 1 2 AA 32 .7526 RA 53 .8982 .8982 AR 45 .9020 .9020 RR 55 1.0382 Sig. .182 .212 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.142. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
50
Lampiran 4. Hasil Analisa Karakter Genetik Dengan RAPD 6/17/2009 5:48:55 AM Analysis of C:\TFPGA\IRIN8.DAT Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid Marker Type: Dominant H-W Equilibrium Assumed. Allele frequencies estimated based on the square root of the frequency of the null (recessive) genotype.
DESCRIPTIVE STATISTICS
******************************************************** RESULTS FOR EACH POPULATION.
POPULATION 1 = AA esults over all loci Ave. sample size: 5.0000 Ave. heterozygosity: 0.1990 Ave. heterozygosity (unbiased): 0.2211 Ave. heterozygosity (direct count): 0.1990 % polymorphic loci (no criterion): 56.2500 % polymorphic loci (99% criterion): 56.2500 % polymorphic loci (95% criterion): 56.2500 POPULATION 2 = RR Results over all loci Ave. sample size: 10.0000 Ave. heterozygosity: 0.0947 Ave. heterozygosity (unbiased): 0.0997 Ave. heterozygosity (direct count): 0.0947 % polymorphic loci (no criterion): 25.0000 % polymorphic loci (99% criterion): 25.0000 % polymorphic loci (95% criterion): 25.0000
51
Lampiran 4 (lanjutan). POPULATION 3 = AR Results over all loci Ave. sample size: 9.0000 Ave. heterozygosity: 0.1767 Ave. heterozygosity (unbiased): 0.1871 Ave. heterozygosity (direct count): 0.1767 % polymorphic loci (no criterion): 62.5000 % polymorphic loci (99% criterion): 62.5000 POPULATION 4 = RA Results over all loci Ave. sample size: 9.0000 Ave. heterozygosity: 0.2746 Ave. heterozygosity (unbiased): 0.2907 Ave. heterozygosity (direct count): 0.2746 % polymorphic loci (no criterion): 87.5000 % polymorphic loci (99% criterion): 87.5000 % polymorphic loci (95% criterion): 87.5000 6/17/2009 5:54:19 AM Analysis of C:\TFPGA\IRIN8.DAT Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid Marker Type: Dominant H-W Equilibrium Assumed. Allele frequencies estimated based on the square root of the frequency of the null (recessive) genotype.
52
Lampiran 4 (lanjutan). GENETIC DISTANCES
NEI'S (1972/1978) IDENTITIES/DISTANCES Nei's original (1972) identity Population 1 2 3 4 1 ***** 2 0.6075 ***** 3 0.7284 0.8981 ***** 4 0.8812 0.8315 0.9169 ***** Nei's original (1972) distance Population 1 2 3 4 1 ***** 2 0.4984 ***** 3 0.3169 0.1074 ***** 4 0.1265 0.1845 0.0867 ***** Nei's unbiased (1978) identity Population 1 2 3 4 1 ***** 2 0.6178 ***** 3 0.7433 0.9064 ***** 4 0.9037 0.8433 0.9332 *****
Nei's unbiased (1978) distance Population 1 2 3 4 1 ***** 2 0.4816 ***** 3 0.2966 0.0983 ***** 4 0.1012 0.1705 0.0691 *****
6/17/2009 5:54:41 AM Analysis of C:\TFPGA\IRIN8.DAT Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid Marker Type: Dominant H-W Equilibrium Assumed. Allele frequencies estimated based on the square root of the frequency of the null (recessive) genotype.
53
Lampiran 4 (lanjutan). UPGMA Cluster using Nei's (1972) original distance Node Distance Includes Populations 1 0.0867 3 4 2 0.1460 2 3 4 3 0.3139 1 2 3 4 KET : Populasi 1 = AA Populasi 2 = RR Populasi 3 = AR Populasi 4 = RA
6/17/2009 5:56:14 AM Analysis of C:\TFPGA\IRIN8.DAT Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid Marker Type: Dominant H-W Equilibrium Assumed. Allele frequencies estimated based on the square root of the frequency of the null (recessive) genotype. Exact tests for population differentiation (Raymond and Rousset 1995) # of dememorization steps: 1000 # of batches: 10 # of permutations per batch: 2000 Matrix of combined probabilities for each pairwise comparison 1 2 3 4 1 ***** 2 0.0000 ***** 3 0.0001 0.2715 ***** 4 0.9858 0.0000 0.3366 *****
54